Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Benarkah IBNU UMAR RA Beristighotsah dengan berseru “YA MUHAMMAD” ketika terkena KRAM?

Benarkah IBNU UMAR RA Beristighotsah dengan berseru “YA MUHAMMAD” ketika terkena KRAM?

Ditulis oleh: Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM

>> DOWNLOAD <<

*versi downoad dilengkapi dengan footnote

بسم الله الرحمن الرحيم


Atsar Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah sebagai berikut:

حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: “خَدِرَتْ رِجْلُ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: اذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ “يَا مُحَمَّدُ ".


“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’d, ia berkata: “Kaki Ibnu ‘Umar pernah mati rasa. Lalu seorang laki-laki berkata kepadanya: “Sebutlah /ingat-ingatlah orang yang paling engkau cintai”. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata: “Wahai Muhammad” [Al-Adabul-Mufrad no. 964].

  • (الخَدَر: mati rasa hingga tak dapat bergerak)

Dan atsar Ibnu ‘Umar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Sinny dalam kitabnya (عمل اليوم والليلة), bab: apa yang perlu di ucapkan ketika kaki terasa letih dan kram (باب ما يقوله إذا خدرت رجله), hal. 169,

"من طريق محمد بن مصعب ، ثنا إسرائيلُ، عن أبي إسحاق، عن الهيثم بن حنش، قال: (كنا عند عبد الله بن عمر رضي الله عنهما, فخَدِرَت رِجلُه, فقال له رَجُل: اذكر أحبَّ الناس إليك: فقال: يا محمد, قال: فقام, فكأنما نَشِطَ من عِقال".


Dari jalan Muhammad bin Mush’ab: telah berbicara kepada kami Israa’il dari Abu Ishaaq dari al-Haitsam bin Hanasy, beliau berkata: "Suatu saat ketika kami bersama Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, tiba-tiba Abdullah bin Umar merasakan letih dan kram pada kakinya, maka seorang lelaki berkata kepadanya: ingat-ingatlah orang yang paling engkau cintai, maka Abdullah bin Umar berkata: ya Muhammad, lalu seakan-akan ia kembali segar bugar dan sembuh dari pegal dan kram.

Imam an-Nawawi setelah menyebutkan atsar Ibnu Umar riwayat Ibnu Sinny di atas:

وروينا فيه عن مجاهد قال: “خدرت رجل رجل عند ابن عباس, فقال ابن عباس رضي الله عنهما: اذكر أحب الناس إليك, فقال: محمد (صلى الله عليه وسلم) فذهب خدره.

Dan juga dikisahkan kepada kami di dalam kitab yang sama dari Mujahid, ia berkata: "Seseorang merasakan letih dan kram pada kakinya ketika ia berada bersama Ibnu Abbas, maka Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata kepadanya: ingatlah manusia yang paling kau cintai, maka ia menjawab: Muhammad, maka seketika itu hilang rasa kesemutannya."

Di dalam kitab Al-Adzkar karya Imam An-Nawawi, tentang apa yang perlu di ucapkan ketika kaki terasa letih dan kram, lalu beliau menyebutkan atsar Ibnu ‘Umar dan atsar Ibnu ‘Abbas diatas:
 

Maka atsar Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas ini merupakan dalil bolehnya dan dianjurkan Istighosah dengan menyebut nama Nabi ﷺ seperti apa yang telah dikutip oleh imam Nawawi di dalam kitab Al-Adzkar, dan jika istighosah merupakan suatu perbuat yang mungkar dan syirik sudah pasti Imam Nawawi akan mengingkari hal tersebut bukan malah mengutip dan menganjurkannya. Contohnya perkataan:

مدد يا رسول الله......

Turunkan bantuan, wahai Rosulullah! 

BANTAHAN

Terdapat tiga kategori bantahan:

  • Pertama – Makna dan tujuan Atsar jika seandainya riwayat atsar tsb shahih.
  • Kedua – tentang derajat keshahihan atsar Ibnu ‘Umar tsb.
  • Ketiga – tentang derajat keshahihan atsar Ibnu ‘Abbaas tsb.

Bantahan Pertama – Makna dan Tujuan Atsar Jika Seandaianya Riwayat Tsb Shahih Adanya.

Atsar ini disebutkan oleh Imam Bukhori, Ibnu Taimiyah, Ibnu Sinny dan lainnya, akan tetapi mereka tidak menjadikan atsar ibnu ‘Umar imi sebagai dalil disyariatkan nya beristighotsah kepada selain Allah SWT, bahkan Ibnu ‘Allaan dalam syarahnya menjadikan nya sebagi dalil akan kebathilan perbuatan tsb.

TERUS, BAGAIMANAKAH PARA AHLUL ILMI DALAM MEMAHAMI ATSAR INI?

Jawabannya seperti berikut ini:

1. Jika seandainya kita menshahihkan Atsar Ibnu ‘Umar tsb serta menshahihkan pula bahwa dalam perkataan Ibnu ‘Umar terdapat kata “Wahai” yakni wahai Muhammad “(يا محمد) – meskipun dalam riwayat Sufyan ats-Tsaury tidak ada huruf nida nya (محمد) - maka yang demikian itu bukan berarti dari kata-kata itu otomatis bertujuan istighotsah.

Kita semua berkeyakinan bahwa menggunakan kata “Wahai / يَا “jika hanya sebatas untuk memanggil, itu bukan syirik, dan itu mirip dengan ucapan orang yang sedang sholat (السلام عليك أيها النبي) atau sedang meratap seperti perkataan Fathimah - rodhiyallohu ‘anhaa – ketika Rosulullah SAW wafat:

“يا أبتاه: أجاب ربًا دعاه، يا أبتاه: جنةُ الفردوس مأواه، يا أبتاه إلى جبريلَ ننعاه ".


“Wahai Ayahanda, engkau telah menyambut panggilan Tuhan. Wahai Ayahanda, surga Firdauslah tempatmu. Wahai Ayahanda, kepada Jibril kami sampaikan berita duka ini”. (HR. Bukhori no. 1841)
Dan perkataan Abu Bakar RA ketika Rosulullah SAW wafat:

“بِأَبِي أَنْتَ يَا نَبِيَّ اللَّهِ, لاَ يَجْمَعُ اللَّهُ عَلَيْكَ مَوْتَتَيْنِ, أَمَّا المَوْتَةُ الَّتِي كُتِبَتْ عَلَيْكَ فَقَدْ مُتَّهَا ".


“Kutebus engkau dengan ayahku wahai Nabiyullah, Allah SWT tidak akan mengumpulkan pada dirimu dua kali kematian, adapun kematian yang telah ditetapkan pada dirimu telah engkau alaminya”. (HR. Bukhori no. 1197)

Dan juga doa Nabi SAW ketika dalam safar ketika menjelang malam tiba: 

((يا أرضُ, ربي وربُّك اللهُ.........

 “Wahai Bumi! Tuhanku dan Tuhanmu Allah ……”.

Bila demikian adanya, maka kata-kata: “Wahai Muhammad” dalam Atsar Ibnu ‘Umar ini tujuannya adalah berkeinginan untuk menghadirkan kepribadian Nabi SAW yang sangat dicintainya dalam hatinya.
Atau seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar al-Haitamy dalam kitabnya (الدر المنضود) hal. 236: “Maksudnya adalah menghadirkan kepribadian Nabi SAW dalam rangka untuk bersholawat padanya. Maka perkiraan maknanya adalah: 

“يا محمد صلى الله عليك ". 

As-Syeikh Ibnu Taimiyah berkata:

“قوله: (يا محمد يا نبي الله) هذا وأمثاله نداء يطلب به استحضار المنادى في القلب, فيخاطب المشهود بالقلب, كما يقول المصلي: (السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته) والإنسان يفعل مثل هذا كثيرا, يخاطب من يتصوره في نفسه وإن لم يكن في الخارج من يسمع الخطاب”.


“Perkataan dia: (Wahai Muhammad, Wahai Nabi Allah!) ini dan yang semisalnya adalah panggilan / seruan yang digunakan untuk menghadirkan orang yang diserunya ke dalam hati, maka dia bermukhothobah (mengajak bicara) al-masyhud (orang yang disaksikan) dengan hati. Ini Sama seperti ucapan orang yang sedang sholat (السلام عليك أيها النبي ورحمة الله وبركاته). Dan banyak manusia yang sering sekali melakukan hal yang seperti ini, yaitu berbicara dengan orang tergambarkan dalam benaknya, dan terkadang orang yang di sekitarnya saja tidak ada yang mendengar khithobnya (perkataannya)”. 

(baca: اقتضاء الصراط المستقيم 2/319).

Dan kalau kita perhatikan perkataan imam an-Nawawi dalam (الأذكار النووية) hal.305 - ketika menyebutkan Atsar Ibnu ‘Umar ini - tidak ada suatu perkataan beliau yang menunjukkan bolehnya beristighotsah dengan selain Allah SWT. Beliau hanya mengatakan “mengingat orang yang dicintai “, bukan berseru kepadanya. Dan coba perhatikan pula perkataan beliau dalam kitabnya (المجموع) 4/524:

« وإذا طنت أذنه صلى على النبي, وقال: ذكر الله بخير من ذكرني. وإذا خدرت رجله ذكر من يحبه»

“Jika seseorang telinganya berdengung, bershalawatlah kepada Nabi saw, lalu berkata; (Semoga Allah mengingatnya dengan kebaikan bagi orang yang mengingatku).”( ) Dan ketika kaki seseorang terasa kram atau kesemutan, ingatlah orang yang dia cintai”. Beliau tidak mengatakan: (استغاث به أو توسل به) ber istighotsah kepadanya atau bertawasul dengannya.

Di sini Imam an-Nawawi mengulang-ulang kata (ذكر) sebanyak 3 x, semuanya ini jelas tujuannya hanya sebatas mengingat dan menghadirkannya dalam hati. Dan tidak ada kata-kata yang menunjukan beristighotsah atau bertawassul atau meminta hajat.

Dengan demikian: Nidaa' di sini sama sekali tidak bermakna panggilan Istighatsah karena seandainya maknanya demikian maka seharusnya lelaki yang menyeru Abdullah Bin Umar – radhiyallahu 'Anhuma – untuk mengucapkan "ya Muhammad”akan berkata: “استغث! “(beristighatsahlah), dan ternyata lelaki tersebut tidak mengucapkan kata itu, melainkan berkata: “اذكر! “(sebutlah). Ini menunjukkan menguatkan bahwa makna Nidaa' di sini bukanlah Nidaa' istighatsah melainkan hanya menyebut nama orang yang dicintai saja.

Sebagai tambahan saya sebutkan pula beberapa perkataan para ulama lainnya di footnote bawah ini namun masih berbahasa arab.

2. Memanggil atau mengingat-ingat atau mengkhayalkan nama seseorang yang paling dicintai konon adalah obat mati rasa di kalangan bangsa Arab pada masa Jahiliyyah, dan banyak contoh syair mereka yang menceritakan kenyataan tersebut.

Imam an-Nawawi dalam (الأذكار النووية) hal.305 - ketika menyebutkan Atsar Ibnu ‘Umar ini - tidak ada suatu perkataan beliau yang menunjukkan bolehnya beristighotsah dengan selain Allah SWT, melainkan hanya sebatas menyebut dan mengingat nama orang yang dicintai bukan beristighotsah.
Bahkan beliau telah mengisyaratkan dalam kitabnya bahwa pengobatan kram atau mati rasa pada kaki dengan cara mengingat-ingat dan menyebut nama sang kekasih itu sudah menjadi tradisi dan budaya Arab yang sudah lama.

Untuk membuktikannya, mari kita perhatikan perkataan beliau yang berikut nya setelah menyebutkan atsar Ibnu ‘Umar tadi:

 « وروينا فيه عن إبراهيم بن المنذر الحزامي أحد شيوخ البخاري الذين روى عنهم في صحيحه قال: أهل المدينة يعجبون من حسن بيت أبي العتاهية:

وتَخْدَرُ فِيْ بعْضِ الأَحايِيْنِ رِجْلُه  فإِنْ لم يقُلْ يا عُتْبَ لَمْ يَذْهَبِ الْخَدَرُ»

Dan telah diriwayatkan kepada kami juga di kitab yang sama, dari Ibrahim bin Mundzir al-Hizami, ia adalah salah seorang guru dari Imam Bukhari yang dimana ia meriwayatkan dari mereka di dalam kitab "Shahihnya", ia berkata: penduduk kota Madinah mengagumi keindahan bait syair Abu al-‘Ataahiyah:

Dan ketika kakinya merasakan kram (kesemutan) dibeberapa waktu  bila ia tidak memanggil "ya ‘Utba (kekasihnya)", maka tidak akan sirna kram tersebut. (الأذكار للنووي ص210)
 

Di sini Imam an-Nawawi tidak sekali-kali menyebutkan bait syair Abu al-‘Ataahiyah, kecuali beliau ingin menunjukkan akan adanya tradisi Arab Jahiliyah yang semisal dengan atsar Ibnu ‘Umar tadi, yaitu mengingat / menyebut nama orang yang dicintai ketika seseorang kakinya terkena kram atau kesemutan.

Begitu Juga Ibnu ‘Allaan dalam kitabnya: (الفتوحات الربانية 6/200) syarah kitab  (الأذكار النووية) beliau berkata:

 « من حيث كمال المحبة بهذا المحبوب بحيث تمكن حبه من الفؤاد حتى إذا ذكره ذهب عنه الخدر»

“Sebagai bentuk kesempurnaan kecintaan seseorang terhadap kekasihnya, sehingga rasa cinta dalam hatinya mampu menghilangkan rasa kesemutan darinya ketika mengingatnya”.

Lalu beliau berkata: 

وفي كتاب ابن السني أيضا في معنى ذلك: قال الوليد بن عبد الملك في حَبَّابَة:

Dalam kitabnya Ibnu Sinny juga terdapat perkataan yang semakna itu: Telah berkata al-Waleed bin Abdul Malik pada kekasihnya “Habbaabah"*:

 أَثِـيْبِـي مُغرَماً كَلِفاً مُحِبّاً( ) إذا خدَرتْ له رِجْلٌ دعاكِ

Balaslah atau penuhilah olehmu seruan lelaki yang jatuh cinta (pada mu) yang kakinya sedang terkena mati rasa ketika dia menyerumu!

Kemudian Ibnu ‘Allan berkata:

وفيه( ) أيضا عن أبي بكر الهذلي قال: دخلت على محمد بن سيرين، وقد خدرت رجلاه؛ فنقعهما في الماء وهو يقول:
إذا خدرت رجلي تذكرت قولها  فناديت لُبْنَى باسمها ودعوت
دعوت التي لو أن نفسي تطيعني  لألقيت نفسي نحوها فقضيت
فقلت: يا أبا بكر تنشد مثل هذا الشعر، فقال: يا لكع وهل هو إلا كلام حسنه كحسن الكلام، وقبيحه كقبيحه؟


Dan juga di dalam nya (Kitab Ibnu Sinny) dari Abu Bakar al-Hudzaly berkata: aku masuk kepada Muhammad ibnu Siiriin, dan dia saat itu kedua kakinya sedang kena kram, maka dia merendamnya di dalam air, dan dia membacakan syair:

 "Jika kakiku mati rasa, aku teringat perkataan si dia, maka aku memanggilnya “Lubnaa”(kekasihnya) dengan menyebut namanya, dan aku mengundangnya
Aku mengundang si dia, yang kalau seandainya nafsuku menuruti keinginanku, sungguh aku telah melemparkan nafsuku ke arahnya, maka aku telah menunaikannya.
Maka aku (yakni Abu Hudzail) berkata (kepada Ibnu Siiriin): Wahai Abu Bakar, engkau menyenandungkan bait syair seperti ini? Maka dia menjawab: Wahai Luka’(*), itu hanya sepenggal kalam (susunan kata-kata), bagusnya seperti bagusnya sepenggal kalam, jeleknya juga sama seperti jeleknya sepenggal kalam."

(lihat:الفتوحات الربانية 6/200)

* [[[1]) (اللُكَع عند العرب: اللئيم، أو هو: رديء النسب والحسب، وقيل: من لا يعرف له أصل ولا يحمد له خلق.
قاله في تحفة الأحوذي، وقال في النهايةاللكع عند العرب العبد، ثم استعمل في الحمق والذم.]]

Dan coba perhatikan perkataan Ibnu al-Jauzy dalam kitab nya (زاد المسير) 4/344:

« إذا خدرت رجلي تذكرت قولها  فناديت لُبنىَ باسمها ودعوت».

تأمل قوله (تذكرت) ثم ذكر النداء باسمها.

“Jika kakiku mati rasa, aku teringat perkataan si dia, maka aku memanggilnya “Lubnaa”dengan menyebut namanya, dan aku mengundangnya
Renungkan dan perhatikan kata-kata nya ((aku teringat)) kemudian dia menyebut kata (النداء باسمها) memanggil dengan menyebut namanya!”.


Kemudian penyair lain Jamil Butsainah (جميلُ بثينةَ) berkata:

وأنتِ لعَيْنِيْ قُرَّةٌ حين نَلْتَقِيْ  وذِكْرُكِ يَشفِيْني إذا خَدَرتْ رجلي

Engkau di mataku adalah sesuatu yang indah ketika kita bertemu, dan apabila kakiku mati rasa maka menyebut namamu akan mengobatiku

Dan penyair lainnya Al-Maushili (الموصلي) berkata:

واللهِ ما خَدَرَتْ رجلي وما عَثَرَتْ  إلا ذكرتُكِ حتى يَذْهبَ الخدَرُ

Demi Allah, tiadalah kakiku keram dan sakit, kecuali menyebutmu sehingga mati rasa itu sembuh.

Syair lainnya dari Kutsair:

إذا خدرت رجلي ذكرتك أشتفي  بذكرك من خدر بها فيهون

"Jika kaki ku mati rasa, aku mengingatmu agar dengan cara mengingatmu itu aku bisa sembuh dari mati rasa, maka seketika jadi ringanlah "

Dan Syair lainnya:

صبّ محبّ إذا ما رِجلُهُ خدرَت  نادىَ كُبَيْشَةَ حتى يذهب الخدر

"Tumpah ruahkanlah rasa cintanya, pria yang sedang jatuh cinta ketika kakinya terkena mati rasa, sambil memanggil “Kubaisyah “(nama kekasihnaya) hingga betul-betul hilang mati rasa nya."

Dan ada seorang wanita dari Bani Bakr bin Kilaab bersyair:

إذا خدرت رجلي دعوت ابنَ مُصعب  فإن قلت: عبدَ الله! أَجْلَى فتورَها

"Jika kaki ku mati rasa, aku memanggil “Ibnu Mush’ab “, maka ketika aku mengatakan: “hamba Allah!!!”terangkatlah mati rasa nya"


Al-Aaluusy (الآلوسي) dalam Tafsirnya (فتح المنان ص375) berkata:

« أفيقال: أن هؤلاء الشعراء لما خدرت أرجلهم استغاثوا بمن يحبونه من امرأة أو غلام. لا أرى من يقول بذلك إلا من خدر عقله، وتركب جهله».

“Apakah bisa dikatakan: bahwa mereka para penyair ketika kaki-kaki mereka terkena kram, lalu mereka beristighotsah dengan menyebut orang yang mereka cintai, baik itu perempuan maupun bocah laki-laki?. Saya tidak melihat orang yang bicara demikian kecuali hanya orang yang otaknya terkena kram dan dungunya bertumpuk-tumpuk”.

KESIMPULANNYA:

Tradisi mengingat sambil menyebut nama seseorang yang dicintainya ketika seseorang terkena mati rasa, kram atau rasa kesemutan adalah perkara yang lama menyebar luas di kalangan bangsa Arab. Telah ada banyak syair-syair mereka berkaitan dengan tradisi ini. Begitu juga tradisi menggunakan kata seruan “wahai”(ياء النداء) ketika seseorang mengingat sang kekasih yang dicintainya dan menyebut namanya atau ketika dia menghadirkan sang kekasih yang diserunya ke dalam lubuk hatinya.

Berobat dengan cara mengingat sang kekasih untuk menghilangkan rasa kram dan kesemutan di kaki sudah menjadi tradisi dan budaya lama mereka. Maka sudah menjadi kebiasaan berkata kepada orang yang sedang terkena kesemutan pada kakinya: “ingat-ingat lah orang yang paling kamu cintai!”.
Jadi yang benar, apa yang dia lakukan adalah hanya sebatas mengingatnya, bukan bermaksud untuk beristighotsah dengannya.

Jika beranggapan bahwa Nidaa' di sini bermakna Istighatsah, lantas apakah para penyair ini ketika kaki mereka keram dan demi kesembuhannya kemudian mereka menyebut nama kekasihnya seraya beristighatsah kepada para wanita pujaan mereka tersebut? tentunya tidak.

Apakah setiap orang yang tertimpa penyakit wabilkhusus mati rasa jika ia menyebut nama orang yang paling ia cintai dan ternyata pemilik nama tersebut adalah orang fasiq atau kafir, maka akankah terjadi kesembuhan? betapa mustahilnya Islam akan mengajarkan ummatnya memohon pertolongan darurat dari musibah (yang jalan kesembuhannya hanyalah Allah) kepada makhluk, apalagi kepada makhluk yang fasiq dan kafir. Maka dari sisi ini juga akan tertolak anggapan bahwa Nidaa'nya Abdullah Bin Umar – Radhiyallahu 'Anhuma - dalam hadits ini adalah bermakna Istighatsah.

Jika anda berkeyakinan bolehnya beritighotsah dengan berdalil hadist Abdullah bin ‘Umar ini, berarti anda telah membenarkan perbuatan orang jahiliyah, dan anda berkeyakinan bahwa setiap orang musyrik yang bertighotsah kepada kekasihnya dan dia akan menolongnya. Dan anda juga berarti meyakini bahwa Allah SWT ridlo terhadap apa yang dilakukan oleh Jamiil Butsainah dan para penyair jahiliyah lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang Istighatsah:

فأما ما لا يقدر عليه إلا الله تعالى، فلا يجوز أن يطلب إلا من الله سبحانه، لا يطلب ذلك لا من الملائكة، ولا من الأنبياء ولا من غيرهم، ولا يجوز أن يقال لغير الله: اغفر لي، واسقنا الغيث، وانصرنا على القوم الكافرين، أو اهد قلوبنا، ونحو ذلك. ولهذا روى الطبراني في معجمه أنه كان في زمن النبي صلى الله عليه وسلم منافق يؤذي المؤمنين*، فقال الصديق: قوموا بنا نستغيث برسول الله صلى الله عليه وسلم من هذا المنافق، فجاءوا إليه فقال: “إنه لا يستغاث بي، وإنما يستغاث بالله"( ) وهذا في الاستعانة مثل ذلك. (مجموعة الفتاوى لشيخ الإسلام ابن تيمية 1/229)

Artinya: “Maka adapun perkara yang tidak mampu diperbuat kecuali oleh Allah Ta'aala, maka tidak boleh memintanya kecuali kepada Allah yang maha suci, perkara tersebut tidak boleh diminta kepada para malaikat, tidak kepada para nabi, dan tidak pula kepada selain mereka.

Tidak boleh mengatakan kepada selain Allah: "Ampunilah aku", "Curahkanlah kami hujan", "Tolonglah kami dari kaum yang kafir", atau "Tunjukkanlah hati kami", dan yang semisalnya.

Dari itulah Al-Thabrani – Rahimahullah - di dalam kitab Mu'jamnya meriwayatkan: "Bahwasanya dulu pada zaman Nabi SAW ada seorang munafik yang sering menyakiti kaum mukmin, maka berkatalah Al-Shiddiq:
"Ayo kita bangkit berIstighatsah kepada Rasulullah SAW dari orang yang munafik ini!”maka mereka pun akhirnya datang kepada Nabi, maka Nabi pun bersabda: “Sesungguhnya masalah ini tiadalah di Istighatsahkan denganku, namun hanya di Istighatsahkan dengan Allah",

Dan (Hadits) ini dalam perkara meminta tolong sama seperti (hukum Istighatsah) itu.”.

Dan beliau Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berkata:

وفي الباب حكايات عن بعض الناس، أنه رأى مناما قيل له فيه: ادع بكذا وبكذا، ومثل هذا لا يجوز أن يكون دليلا باتفاق العلماء. وقد ذكر بعضَ هذه الحكايات مَنْ جَمَع في الأدعية.
ورُوي في ذلك أثر عن بعض السلف، مثل ما رواه ابن أبي الدنيا في كتاب مجابي الدعاء، قال: حدثنا أبو هاشم، سمعت كثير ابن محمد ابن كثير بن رفاعة يقول: جاء رجل إلى عبد الملك بن سعيد ابن أبجر، فجس بطنه فقال: بك داء لا يبرأ. قال: ماهو؟ قال: الدُّبَيْلة. قال: فتحول الرجل فقال: الله الله، الله ربي، لا أشرك به شيئا، اللهم إني أتوجه إليك بنبيك محمد نبي الرحمة ﷺ تسليما، يا محمد إني أتوجه بك إلى ربك وربي يرحمني مما بي. قال فجس بطنه فقال: قد برئتْ ما بك علةٌ. (*)
قلت: فهذا الدعاء ونحوه قد روي أنه دعا به السلف، ونقل عن أحمد بن حنبل في منسك المروذي التوسل بالنبي ﷺ في الدعاء، ونهى به آخرون. فإن كان مقصود المتوسلين التوسل بالإيمان به وبمحبته وبموالاته وبطاعته، فلا نزاع بين الطائفتين، وإن كان مقصودهم التوسل بذاته فهو محل النزاع، وما تنازعوا فيه يرد إلى الله والرسول. وليس مجرد كون الدعاء حصل به المقصود مما يدل على أنه سائغ في الشريعة، فإن كثيرا من الناس يدعون من دون الله من الكواكب والمخلوقين، ويحصل ما يحصل من غرضه.
وبعض الناس يقصد الدعاء عند الأوثان والكنائس وغير ذلك، ويدعو التماثيل التي في الكنائس، ويحصل ما يحصل من غرضه. وبعض الناس يدعو بأدعية محرمة باتفاق المسلمين، ويحصل ما يحصل من غرضه. فحصول الغرض ببعض الأمور لا يستلزم إباحته، وإن كان الغرض مباحا، فإن ذلك الفعل قد يكون فيه مفسدة راجحة على مصلحته. والشريعة جاءت بتحصيل المصالح وتكميلها، وتعطيل المفاسد وتقليلها، وإلا فجميع المحرمات من الشرك والخمر والميسر والفواحش والظلم قد يحصل لصاحبه به منافع ومقاصد، لكن لما كانت مفاسدها راجحة على مصالحها نهى الله ورسوله عنها.
كما أن كثيرا من الأمور كالعبادات والجهاد وإنفاق الأموال قد تكون مضرة، لكن لما كانت مصلحته راجحة على مفسدته أمر به الشارع. فهذا أصل يجب اعتباره، ولا يجوز أن يكون الشيء واجبا أو مستحبا إلا بدليل شرعي يقتضي إيجابه أو استحبابه. والعبادات لا تكون إلا واجبة أو مستحبة، فما ليس بواجب ولا مستحب فليس بعبادة. والدعاء لله تعالى عبادة إن كان المطلوب به أمرا مباحا.
وفي الجملة فقد نقل عن بعض السلف والعلماء به السؤال به، بخلاف دعاء الموتى والغائبين من الأنبياء والملائكة والصالحين، والاستغاثة بهم والشكوى إليهم، فهذا مما لم يفعله أحد من السلف، من الصحابة والتابعين لهم بإحسان، ولا رخص فيه أحد من أئمة المسلمين. 

(مجموع الفتاوى1/264، قاعدة جليلة في التوسل والوسيلة ص:8).


Artinya: 

Dan pada pembahasan bab ini juga terdapat beberapa cerita yang berasal dari sebagian orang, bahwasanya ia melihat di dalam mimpi ada yang berkata kepadanya: berdoalah dengan doa ini dan yang ini, maka mimpi seperti ini tidak boleh menjadi dalil berdasarkan kesepakatan para ulama, dan sungguh sebagian cerita-cerita ini telah disebutkan dari beberapa ulama dalam beberapa doa.

Dan telah diriwayatkan pada yang demikian itu suatu Atsar yang berasal dari sebagian salaf, seperti Atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abiddunya di dalam kitab Majabuddu'a (مجابو الدعاء) beliau berkata: Abu Haitsam telah mengatakan kepada kami: aku telah mendengar Katsir Bin Muhammad Bin katsir Bin Rifa'ah berkata: “Seorang lelaki datang kepada Abdul Malik Bin Sa'id Bin Abjar, tiba-tiba ia memegang perutnya, maka (Abdul malik) bertanya: sepertinya kamu terkena penyakit yang tiada akan sembuh. 

Lelaki itu berkata: penyakit apakah itu? Abdul Malik berkata: "Addubailah"*, dan Katsir Bin Rifa'ah berkata: Maka orang itu pun pergi dan berkata: "Allah, Allah, Allah adalah tuhanku, tiadalah aku menyekutukannya dengan apapun, ya Allah sesungguhnya aku menghadap kepadamu dengan Nabimu Muhammad, yang adalah sebagai Nabi Rahmah, wahai Muhammad sesunguhnya aku menghadap denganmu kepada Tuhanmu dan Tuhanku agar ia mengasihani diriku dari penyakit yang ada padaku”.

Katsir Bin Rifa'ah berkata: maka lelaki itu meraba perutnya, dan Abdul malik berkata: sungguh telah sembuh penyakit yang ada pada dirimu”.

BANTAHAN OLEH IBNU TAIMIYAH

Aku katakan: jelasnya doa ini dan yang semisalnya, sebenarnya telah diriwayatkan bahwasanya generasi Salaf pernah berdoa dengannya, dan telah dinukilkan dari imam Ahmad Bin Hanbal di dalam kitab Mansakul Marruudzi tentang Tawassul dengan Nabi SAW dalam berdoa, dan sebagian ulama lainnya melarang akan hal ini.

Yang jelas apabila tujuan orang yang bertawassul itu adalah berwasilah dengan Iman kepadanya (Nabi), dengan mencintainya, dengan loyalitas penuh kepadanya, dan berwasilah dengan mentaatinya, maka sebenarnya tiadalah ada sengketa di antara kedua belah pihak, namun jika tujuan mereka yang bertawassul adalah berwasilah dengan diri nabi, maka hal inilah yang menjadi letak sengketa, dan perkara apa saja yang orang orang saling bersengketa padanya harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul.

Dan bukanlah sekedar dari adanya doa yang dapat mewujudkan keinginan lantas akan menjadi suatu petunjuk atas bahwasanya hal itu terhitung boleh di dalam Syariat. Karena sebenarnya banyak orang-orang yang berdoa kepada selain Allah seperti berdoa kepada bintang-bintang dan makhluk-makhluk lalu kemudian mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Dan ada sebagian manusia mendatangi berhala-berhala dan gereja-gereja dan lainnya untuk berdoa disisinya, ternyata mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan.

Begitu juga ada sebagian manuisa berdoa dengan doa-doa yang diharamkan - sesuai kesepakatan ulama akan keharamannya – namun mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan dalam doanya. Maka keberhasilan mendapatakan apa yang diharapkan dengan mengamalkan perkara-perkara tertentu bukanlah standar bolehnya suatu amalan, meskipun tujuannya untuk perkara mubah, karena bisa jadi amalan tsb terdapat mafsadah yang lebih kuat dari pada mashlahatnya.

Dan syariat ini datang dalam rangka untuk menggapai mashlahat-mashlahat dan menyempurnakannya serta membatalkan perkara-perkara mafsadah dan menghilangkannya. Jika tidak, maka banyak sekali perkara-perkara yang diharamkan seperti kesyirikan, khomr, judi, zina dan kedzaliman, itu semua bisa jadi ada manfaat dan maksud yang diinginkannya, akan tetapi ketika mafsadat-mafsadat nya lebih kuat dibanding mashlahat-mashlahatnya, maka Allah dan Rosul-Nya melarangnya.    

Kesimpulannya, telah dinukil dari sebagian salaf dan para ulamanya pernyataan seperti ini ketika ditanya tentang hal tsb. Berbeda dengan menyeru orang-orang mati dan ghaib (yang tidak hadir di hadapannya) dari kalangan para nabi, para malaikat dan orang-orang shaleh, begitu juga beritsighotsah dan mengadu kepadanya, maka ini semua tidak ada satu pun ulama salaf yang melakukannya, baik dari kalangan para sahabat, tabi’iin serta tidak satupun dari kalangan para imam dari kaum muslimin yang memberikan rukhsoh dalam masalah ini”. (selesai perkataan Ibnu Taimiyah)

BANTAHAN KEDUA: BERKAITAN DENGAN DERAJAT KESAHIHAN ATSAR IBNU ‘UMAR    

Poros semua sanad-sanad Atsar Ibnu ‘Umar ini bermuara pada ABU ISHAQ AS-SUBAI’IY (أبو إسحاق السبيعي) ( ).

SIAPAKAH ABU ISHAQ AS-SUBAI’IY ITU?:

  • Dia adalah orang yang tsiqoh tapi dia seorang mudallis.
  • Al-hafidz Ibnu Hajar meyebutkannya dalam martabat ke tiga dari maratib al-Mudallisiin (*). Begitu juga Ibnu Hibbaan, al-Karoobisy dan Abu Ja’far ath-Thobary ( ).
  • Syu’bah berkata: “Dia tidak mendengar dari Harits al-A’war kecuali empat hadits( ). Yakni yang selebihnya itu dia mentadlisnya. Dia juga berkata: “Dan dia tidak mendengar dari Abu Wail kecuali dua hadits( )”.
  • Al-‘Ijliy العجلي berkata: “Dan sisanya, sesungguhnya dia itu hanya mengambil kitab”.
  • Dan ada jamaah yang memasukkan dia termasuk orang yang ngaku-ngaku meriwayatkan dari mereka padahal tidak.
  • Dan al-Hafidz Ibnu Sholah dalam Muqoddimahnya menyebutkannya dalam kelompok mudallisiin.
  • Begitu juga al-Haafidz al-‘Irooqy dalam (التقييد) hal. 445, Ibnu Hibban dalam (الثقات) 5/177, al-Hakim dalam (معرفة علوم الحديث) hal. 105, an-Nasaai (ميزان الاعتدال للذهبي) 1/360 dan al-‘Allaai dalam (جامع التحصيل) hal. 108.

ADA 5 PERAWI YANG MERIWAYATKAN NYA DARI ABU ISHAQ AS-SUBAI’IY.

Mereka itu adalah sbb:

  1. Sufyaan ats-Tsauriy (سفيان الثوري).
  2. Zuhair bin Mu’awiyah (زهير بن معاوية).
  3. Syu’bah (شعبة).
  4. Israiil bin Yunus (إسرائيل بن يونس).
  5. Abu Bakar bin ‘Ayyaasy (أبو بكر بن عياش).

Akan tetapi mereka berlima berbeda-beda sanadnya dalam meriwayatkan atsar dari Abu Ishaq as-Subai’iy (أبو إسحاق السبيعي), yaitu seperti berikut ini ( ):

1. سفيان الثوري    (عن) أبو إسحاق السبيعي    (عن) عبد الرحمن بن سعد    قال: خدرت رجل ابن عمر, فقال له رجل: اذكر أحب الناس إليك. فقال: محمد ( ).
2. زهير بن معاوية    (عن) أبو إسحاق السبيعي    Sda    جئت ابن عمر فخدرت رجله فقلت: ما لرجلك ؟ قال: اجتمع عصبها. قلت: ادع أحب الناس إليك. قال: يا محمد. فبسطها( )
3    شعبةُ    (عن) أبو إسحاق السبيعي    (عن) من سمع ابن عمر    قال: خَدِرَت رِجلُه, فقيل: اذكر أحبَّ الناس, قال: يا محمد( )
4. إسرائيلُ    (عن) أبو إسحاق السبيعي    (عن) الهيثم بن حنش    قال: كنا عند عبد الله بن عمر, فخَدِرَت رِجلُه, فقال له رَجُل: اذكر أحبَّ الناس إليك: فقال: يا محمد, قال: فقام, فكأنما نَشِطَ من عِقال( )
5. أبو بكر بن عياش    (ثنا) أبو إسحاق السبيعي    (عن) أبو شعبة    قال: كنت أمشي مع ابن عمر, فخَدِرَت رِجلُه, فجلس فقال له رَجُل: اذكر أحبَّ الناس إليك, فقال: يا محمَّداه, فقام فمشى( )

Berikut ini penjelasan masing-masing dari lima jalur sanad yang lebih rinci:

PERTAMA: JALUR SANAD DARI SUFYAN ATS-TSAURY( ) DAN ZUHAIR BIN MU’AAWIYAH( ):

Dari Abu Ishaaq As-Sabii’iy, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’d( ), dari Ibnu ‘Umar dengan lafadz: 

“خدرت رجل ابن عمر, فقال له رجل: اذكر أحب الناس إليك. فقال: محمد ".

Kaki Ibnu ‘Umar mati rasa atau kram. Maka seorang pria berkata kepadanya: ingat-ingatlah – sebutlah – orang yang paling kamu cintai! maka beliau menjawab: “Muhammad”.

Jalur ini adalah sebagaimana jalur riwayat yang dibawakan oleh Al-Bukhaariy dlm kitabnya al-Adabul Mufrod no. 964 dan Imam Ad-Daruquthni dalam kitab (العلل) 13/242.

Riwayat Imam Bukhory ini adalah yang paling shahih dibanding riwayat-riwayat yang lainnya. Karena ini adalah riwayat dari Sufyan ats-Tsaury. Beliau adalah (من الحفاظ والأثبات) termasuk orang-orang yang hafidz dan kokoh hafalannya.

Dr. Saad al-Humeid berkata:

“أرجح هذه الطرق رواية سفيان الثوري"

“Jalur yang paling rajih adalah riwayat Sufyan at-Tsaury"

Dan dalam riwayat beliau (Bukhory) ini lafadznya (محمد) tdk ada huruf nida, bukan (يا محمد). Kecuali riwayat yang terdapat dalam kitab (العلل) 13/242 karya ad-Daruquthni, maka terdapat huruf nidanya (يا محمد). Begitu juga yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dlm (الطبقات الكبرى) 4/395 dari jalan Sufyaan Ats-Tsauriy dan Zuhair dari Abu Ishaaq yang selanjutnya seperti riwayat Zuhair di atas.
Telah terjadi perbedaan pendapat antar para ulama hadits dalam tingkat keshahihan atsar ini. Ada yang menshahihkan dan ada pula yang men dhoif kan.
Yang menshahihkan atsar ini tidaklah banyak, berbeda dengan yang mendlaifkannya dari kalangan ulama mu’asiriin. Dan ‘illat (علة) yang paling kuat penyebab dloifnya atsar ini adalah terdapat kelabilan (الاضطراب) dalam sanadnya.
 

Namun demikian kebanyakan para ulama yang menshahihkannya menyatakan bahwa kandungan matannya ini tidak layak untuk dijadikan dalil akan bolehnya bertawassul dengan orang-orang yang sudah mati.
Di antara ulama yang mensahihkan atsar ini adalah asy-Syeikh Abdullah bin Abdurrahman as-Saad, beliau mensahihkan atsar ini, dan telah ditanyakan kepadanya tentang istighotsah berdasarkan atsar ini? maka beliau menjawab: “Ini tidak shahih”.
 

Begitu juga Syaikh al-Huwaini الحويني (lahir 1375 H), murid Syeikh Al-Bani, beliau mensahihkan riwayat Ibnu Umar dalam al-Adab al-Mufrad, beliau menyelisihi Syeikh al-Baany gurunya. al-Huwaini berkata:

أخرجه البخاري في (الأدب المفرد) (964), قال: حدثنا أبو نعيم: ثنا سفيان به, والثوري أثبت في أبي إسحاق من إسرائيل, وعبد الرحمن بن سعد ثقة, فهذا الوجه قوي..... والمعتمد رواية الثوري. والله أعلم.

“Al-Bukhory telah meriwayatkan dalam al-Adab al-Mufrad (964), dia berkata: telah bercerita kepada kami Abu Nai’im, telah bercerita kepada kami Sufyaan … dst. Sufyan Ats-Tsaury ini lebih tsabat dalam riwayat Abu Ishaq dari pada Israaiil. Sementara Abdurrahman bin Saad adalah Tsiqoh. Maka riwayat ini adalah kuat ….. Dan yang mu'tamad adalah riwayat al-Tsauri”. (الفتاوى الحديثية 1/126)..."

Dan ada pula para ulama yang hanya menyebutkannya saja dan mereka diam tanpa menghukumi shahih dan dhoif nya, seperti Imam Nawawi, Ibnu ‘Allaan dan lainnya.
 

Adapun yang mendhoifkan atsar ini di antaranya  Syeikh al-Baany( ), Syeikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid( ), Syeikh Ibnu Saad, mereka semua adalah ulama-ulama besar pakar hadits. Dan ada beberapa ulama ahlul hadits terdahulu yang mendloifkan atsar Ibnu ‘Umar ini seperti yang termaktub dalam kitab-kitab mereka.
Menurut mereka ada beberapa illat yang menyebabkan atsar ini dhoif sekali, di antaranya  adalah sbb:

Pertama: 

Atsar ini termasuk atsar yang Abu Ishaq As-Subai’iy sendirian yang meriwayatkannya (مما تفرد به إسحاقٌ السبيعي). Semua sanadnya berporos pada beliau:

[زهير بن معاوية].. والراوي عنه؛ هو: [علي بن الجعد].. والراوي عنه السبيعي عنده: [عبد الرحمن بن سعد]
[سفيان الثوري].. والراوي عنه؛ هو: [أبو نعيم الفضل بن دكين].. والراوي عنه السبيعي عنده: [عبد الرحمن بن سعد]
[سفيان وزهير] مقرونين.. والراوي عنهما؛ هو: [أبو نعيم الفضل بن دكين].. والراوي عنه السبيعي عنده: [عبد الرحمن بن سعد].
[شعبة].. والراوي عنه؛ هو: [عفان بن مسلم].. والراوي عنه السبيعي عنده: [مجهول لا يعرف لم يُسَمْ].
[إسرائيل بن يونس].. والراوي عنه؛ هو: [محمد بن مصعب].. والراوي عنه السبيعي عنده: [الهيثم بن حنش]
[أبو بكر بن عياش].. والراوي عنه؛ هو: [محمد بن خداش].. والراوي عنه السبيعي عنده: [أبو شعبة] وفي نسخة [أبو سعيد]


Di sini antara sanad Sufyan dan Zuhair sama dan sepakat, tapi berbeda dengan sanad Syu’bah, Israaiil dan Abu Bakar …. illat satu ini saja sudah cukup untuk melemahkan sanad kisah ini karena adanya kelabilan (لاضطرابها). Dan juga karena Abu Ishaq as-Subai’iy ini telah kacau balau hafalannya (اختلط) diakhir usianya, maka dia mengalami kesulitan untuk men tamyiznya. Jadi illat ini saja sebetulnya sudah cukup untuk men dhoif kan atsar ini.

Kedua: 

Sebab ‘an’anah (عنعنة) Abu Ishaaq As-Sabii’iy dan beliau termasuk perawi mudallis (مدلس) yang masyhur. Disini dalam semua jalur sanadnya sama sekali tidak ada riwayat beliau yang menyatakan dengan kata-kata (حدثنا) atau yang semisalnya. Ini adalah illat yang lain yang tidak boleh dianggap enteng. Karena as-Subai’iy ini telah banyak meriwayatkan banyak hadits dari orang-orang yang tidak dikenal, dan Di antara meraka ada yang dhoif, ditambah lagi beliau meriwayatkannya sendirian dari mereka.

Al-hafidz Ibnu Hajar memasukkan Abu Ishaaq As-Sabii’iy dalam tingkatan ketiga perawi mudallis, sehingga tidak diterima riwayatnya kecuali jika ia menjelaskan penyimakan riwayatnya [Ta’riifu Ahlit-Taqdiis oleh Ibnu Hajar, hal. 101 no. 91 dan Riwaayatul-Mudallisiin fii Shahiih Al-Bukhaariy oleh Dr. ‘Awwaad Al-Khalaf, hal. 454].

  • Catatan: Sufyaan Ats-Tsauriy mendengar hadits Abu Ishaaq sebelum masa ikhtilaath-nya.

Sufyaan ats-Tauriy dalam periwayatan dari Abu Ishaaq mempunyai mutaba’ah dari Zuhair bin Mu’aawiyyah; sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d 4/395, ‘Aliy bin Ja’d no. 2539, Al-Harbiy dalam Ghariibul-Hadiits 2/674 dan Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 172, Ibnu ‘Asaakir dalam At Taariikh 131/177, dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal 17/143.

Riwayat dari jalur ini dhoif dengan sebab (عَنْعَنَة) Abu Ishaaq As-Sabii’iy.

KEDUA: JALUR SANAD DARI RIWAYAT SYU’BAH (شعبة( )):

Dari Abu Ishaaq As-Sabii’iy, dari seseorang yang mendengar riwayat dari Ibnu ‘Umar, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.

Diriwayatkan oleh al-Imam Al-Harbiy dalam Ghariibul-Hadiits 2/673: Telah menceritakan kepada kami ‘Affaan( ): Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Abu Ishaaq, dari orang yang mendengar riwayat dari Ibnu ‘Umar.
 

Syu’bah mendengar hadits Abu Ishaaq sebelum ikhtilaath-nya. Riwayat dari jalur ini lemah (ضعيف) dengan sebab mubham-nya syaikh dari Abu Ishaaq As-Sabii’iy. Adapun faktor ‘an’anah-nya Abu Ishaaq pada jalur riwayat ini tidak memudlaratkan karena riwayat Abu Ishaaq ini berasal Syu’bah. Syu’bah berkata:

كفيتكم تدليس ثلاثة: الأعمش وأبو إسحاق وقتادة

“Aku cukupkan bagi kalian tadlis dari tiga orang: Al-A’masy, Abu Ishaaq, dan Qataadah” [Ma’rifatu Sunan wal-Atsar lil-Baihaqiy, no. 29] ( ).

Oleh karena itu, ‘an’anah (عنعنة) Abu Ishaaq yang diriwayatkan oleh Syu’bah dihukumi muttashil (bersambung sanadnya).

KETIGA: JALUR SANAD DARI RIWAYAT ISRAA’IIL (إسرائيل):

Dari Abu Ishaaq As-Sabii’iy, dari Al-Haitsam bin Hanasy, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.

Diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 170: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khaalid bin Muhammad Al-Bardza’iy: Telah menceritakan kepada kami Haajib bin Sulaimaan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mush’ab: Telah menceritakan kepada kami Israaiil, dari Abu Ishaaq, dari Al-Haitsam bin Hanasy, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.

Sanad atsar ini lemah sekali, karean terdapat beberapa ilat:

a. Riwayat dari jalur ini lemah karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi dari Israaiil (إسرائيل) yang bernama Muhammad bin Mush’ab bin Shadaqah Al-Qarqasaaniy, Abu ‘Abdillah/Abul-Hasan. 

Dia seorang yang shaduuq, namun banyak kesalahannya (katsiirul-ghalath). Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 208 H. Dipakai oleh At-Tirmidziy dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 897 no. 6342].

Dia di dloifkan oleh Ibnu Ma’iin dan an-Nasaai. Yahya bin Ma’in berkata:

“ليس بشيء لم يكن من أصحاب الحديث وكان مغفلاً ".

“Dia tidak ada apa-apanya, bukan golongan ahli hadits, dan dia itu bodoh lemah ingatan”. (baca: العبر للذهبي 1/279 dan تهذيب التهذيب 9/458)

Ibnu Hibbaan berkata: “Dia buruk hafalannya, dia itu memutarbalikan sanad-sanad dan memarfu’kan hadist-hadits mursal, tidak boleh berhujjah dengannya”.

Al-Khothiib berkata: “Dia banyak salah ketika meriwayatkan hadits dari hafalannya”.

Akan tetapi Imam Ahmad berkata: “(ليس به بأس) lumayan / tidak mengapa dengannya”. Begitu juga perkataan Ibnu ‘Adiy. Bahkan dia juga di tautsiq (dipercaya) oleh Ibnu Naafi’, akan tetapi Ibnu Naafi’ termasuk orang-orang yang bermudah-mudahan dalam mentautsiq”.) (

Syeikh Soleh Aali as-Syeikh berkata: “Dari Sini jelaslah akan ke dhoifan Muhammad bin Mush’ab seperti yang dikatakan ahlul ‘ilmi. Adapun perkataan Imam Ahmad (ليس به بأس), maksudnya dalam dirinya, namun dalam haditsnya tetap Dhoiif. (Baca: هذه مفاهيمنا hal. 44)

b. Kemudian di dalam sanadnya juga terdapat Al-Haitsam bin Hanasy.

Biografinya disebutkan dalam (التاريخ الكبير) 8/213, dan dalam (الجرح والتعديل) 9/79 bahwa dirinya tidak ada seorang pun dari ahlul ilmi yang mentautsiq dan men tajriih. Maka dia itu kondisinya tidak dikenal (مجهول الحال) seperti yang di tamtsilkan oleh al-Khothiib al-Baghdady dalam (الكفاية) hal. 88 tentang orang-orang yang tidak dikenal (المجاهيل)) (.

Akan tetapi Al-Imam Ibnu al-Mulaqqin di dalam kitabnya Al-Muqni’ berkata tentang Haitsam sekaligus membantah dan menjawab komentar al-Kahtib

 وذكر الخطيب أيضا أنه لم يرو “عن الهيثم بن حنش”غيرُ أبي إسحاق هذا وليس كما قال فقد روى عنه أيضا سلمة ابن كهيل

“Dan al-Khatib juga berkata “Bahwasanya tidak meriwatyatkan dari Haitsam bin Hanasy selain Abu Ishaq “, sungguh ini bukan seperti yang dikatakan al-Khatib tsb, sungguh telah meriwayatkan juga darinya Salmah bin Kuhail”.) )

Ibnu Abi Haatim ar-Raazy dalam (الجرح والتعديل) 320/15975 berkata:

الهيثم بن حنش النخعي كوفي روى عن ابن عمر روى عنه أبو إسحاق الهمداني وسلمة بن كهيل سمعت أبي يقول ذلك.


“Haitsam bin Hanasy an-Nakho’iy, ahli kufah, meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar. Telah meriwayatkan dari beliau Abu Ishaq al-Hamdany dan Salamah bin Kuhail. Aku mendengar ayahku berkata demikian”.

Al-Hafidz ‘Alauddin Mughlathoy di dalam Syarh Sunan Ibnu Majah mengatakan:

“روى أبو نعيم – أي الإمامُ الفضلُ بنُ دكينٍ – في كتاب الصلاة بسند صحيح على رسم الـبستي عن أبي الأحوص عن أبي إسحاقَ عن الهيثم بن حنش عن ابن عمر موقوفا: اللهم اجعَلْكَ أحبَّ شىءٍ إليّ وأحسنَ شىءٍ عندي ".

"Abu Nu’aim meriwayatkan di dalam kitab sholat dengan sanad yang sahih atas rosem al-Basti dari Abi Al-Ahwash dari Abi Ishaq dari Haitsam bin Hanasy dari Ibnu Umar scara Mauquf “Ya Allah aku jadukan Engkau yang paling aku cintai dan yang paling baik di sisiku “( ).

c. illat berikutnya yaitu terdapat Abu Ishaq as-Sabii’iy, dia seorang Mudallis, dan disini dia meriwayatkannya dengan shighoh ‘an’anah (عنعنة).

Catatan: Ad-Daaruquthny menyebutkannya dalam kitabnya (العلل) 13/242 bahwa Israaiil telah meriwayatkannya dari Abu Ishaaq dan Ibnu ‘Umar secara mursal. Namun saya tidak menemukan riwayat tsb di dalamnya.

KEEMPAT: JALUR DARI RIWAYAT ABU BAKR BIN ‘AYYAASY (أبو بكر بن عياش):


Dari Abu Ishaaq As-Sabii’iy, dari Abu Syu’bah( ), dari Ibnu ‘Umar. Diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dalam (عمل اليوم والليلة) no. 168:

حدثني محمد بن إبراهيم الأنماطي, وعمرو بن الجنيد بن عيسى, قالا: ثنا محمد بن خداش, ثنا أبو بكر بن عياش, ثنا أبو إسحاق السبيعي, عن أبي شعبة, قال: كنت أمشي مع ابن عمر رضي الله عنهما, فخدرت رجله, فجلس, فقال له رجل: اذكر أحب الناس إليك. فقال: “يا محمداه فقام فمشى "


Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Ibraahiim Al-Anmaathiy dan ‘Amru bin Al-Junaid bin ‘Iisaa, mereka berdua berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Khidaasy: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy: Telah menceritakan kepada kami Abu Ishaaq as-Sabii’iy, dari Abu Syu’bah, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.

Riwayat ini lemah dengan beberapa sebab:

  • a)    Muhammad bin Ibrahim al-Anmaathiy. Telah berkata Ibnu Abi Haatim ar-Raazy dalam (الجرح والتعديل) 7/187: “أدركتهُ ولم أكتب عنهُ”. Aku telah menjumpainya dan aku tidak mau menulis darinya”.
  • b)    ‘Amr bin Junaid bin ‘Isa. Beliau tidak dikenal
  • c)    Muhammad bin Khidaasy, seorang yang majhuul (مجهولٌ لا يعرف حاله ولا عينه) dan (كان يروي عن جده الذي كان يروي المكذوبات)


Berbeda dengan perkataan Majdi ghossan ma’ruf: “Muhammad bin Ibrahim bin Nairuuz al-Anmaathy, hafidz, tsiqoh, masyhur. Dan Mahmud bin Khodaasy – di sebagian kitab-kitab “Muhammad bin Khidasy -. Dan orang yang al-Anmaathy meriwayatkan darinya sesungguhnya dia itu adalah Mahmud bin Khidasy, Imam, tsiqoh, seperti yang terdapat dalam Tahdziibul kamal karya al-Haafidz al-Mizzy. Mahmud bin Khidasy adalah Imam, Tsiqoh, Hafidz, Abu Muhammad ath-Thooliqoony, kemudian al-Baghdaady “( ). 

  • d)    Abu Bakar Bin ‘Ayyaasy “عبد الرحمن بن عياش”.

متكلمٌ فيه.. وكان كثير الخطأ، وقد اختلط في أخرة، وإذا روى عنه الضعفاء والمجاهيل فليس حديثه بشيء

“Diperbincangkan tentang dirinya … dan dia banyak salah, dan sungguh dia telah terjadi kekeliruan di akhir usianya. Dan jika orang yang meriwayatkan dari dia itu orang-orang yang lemah dan orang-orang yang tidak dikenal maka hadits nya tidak ada nilainya”.

Ibnu Thohman (ابن طهمان) dalam (سؤالات ابن طهمان) hal. 34 berkata:

“سئل يحيى عن حديث رواه أبو بكر بن عياش فلم يلتفت إليه, قال: لم يروه شعبة ولا سفيان, لو رووه كان أبو بكر صدوقا ".

 “Yahya (bin Ma’in) pernah ditanya tentang hadits yang diriwaytakan oleh Abu Bakar bin ‘Ayyaasy, maka beliau tidak mau melirik kepadanya. Dia berkata: Baik Syu’bah maupun Sufyan tidak meriwayatkan hadits darinya, kalau seandainya mereka meriwayatkan darinya maka kedudukan dia adalah shoduuq (صدوق)”.

Bahkan nash Imam Ahmad menyatakan bahwa Ibnu ‘Ayyash ini labil (يضطرب) dalam hadits As-Subai’iy ….. Telah berkata Ya’qub bin Sufyan dalam (المعرفة والتاريخ) 2/103:

(حدثني الفضل قال: قال أبو عبد الله: أبو بكر يضطرب في حديث هؤلاء الصغار فأما حديثه عن أولئك الكبار وما أقربه عن أبي حصين وعاصم وأنه ليضطرب عن أبي إسحق أو نحو ذا. ثم قال: ليس هو مثل زائدة وزهير وسفيان، وكان سفيان فوق هؤلاء وأحفظ)

“Telah bercerita padaku al-Fadlel, dia berkata bahwa Abu Abdillah berkata: Abu Bakar labil dalam hadits mereka yang muda-muda. Adapun haditsnya dari mereka yang tua-tua maka yang paling dekat kebenarannya adalah dari Abu Hushoin dan ‘Asheem. Dan sungguh dia itu labil jika meriwayatkan dari Abu Ishaq atau yang sejajar dengannya”. 

Kemudian beliau berkata lagi: “Dia tidak setara dengan Zaaidah, Zuhair dan Sufyan. Sementara Sufyana diatas semuanya dan lebih kuat hafalannya”.
 

Dengan demikian, jika saja Abu Bakar bin ‘Ayyaasy labil dalam hadits Abi Ishaq As-Subai’iy, dan Abu Ishaq As-Subai’iy juga sama labilnya ketika diusia ikhtilath alias kacau balau dalam riwayat haditsnya, maka dia tidak tahu apa yang disampaikannya, dan tidak diketahui kapan Ibnu ‘Ayyas mendengar hadits dari Abu Ishaq as-Subai’iy?

Maka dapat kita lihat bahwa semua jalur di atas – yang berporos pada Abu Ishaaq – terdapat kelemahan.

Di antaranya  dalam riwayat Abu Ishaq ini terdapat kelabilan (الاضطراب) yang nyata dan jelas sekali. Ini menunjukkan bahwa Abu Ishaq meriwayatkannya setelah masa ikhtilath (الاختلاط) ( ) dan sebagai bukti akan adanya ikhtilath dalam hadits ini bahwa beliau kadang meriwayatkannya Abu Syu’bah atau Abu Sa’id, dan terkadang dari Abdurrahman bin Saad. 

Ini adalah kelabilan yang menyebabkan tertolaknya periwayatan hadits. Bahkan al-Juuzajaany telah menuduhnya dengan tuduhan fanatik syiah (التشيع) dari kalangan para pemimpin ahli hadits Kuufah. Dan dari Ma’an, beliau berkata:

“أفسد حديث أهل الكوفة الأعمش وأبو إسحاق يعني للتدليس, وروى عن أناس لم يعرفوا عند أهل العلم إلا ما حكى هو عنهم. فإذا روى تلك الأشياء عنهم كان التوقف أولى “

“Hadits masyarakat Kuufah telah dirusak oleh al-A’masy dan Abu Ishaq, yakni dengan cara Tadliis. Dia meriwayatkan hadits dari orang-orang yang tidak dikenal oleh dikalangan ahlul ilmi, kecuali apa yang dia riwayatkan dari mereka. Maka jika dia meriwayatkan sesuatu-sesuatu itu dari mereka, maka berhenti utk tidak mengambilnya itu lebih baik”. (Baca: تهذيب التهذيب 8/66)

Telah meng itsbat kan akan ikhtilath nya Abu Ishaq As-Subai’iy masing-masing dari Al-Hafidz Ibnu Hajar dlm (تقريب التهذيبhal. 639) dan (مقدمة فتح الباري hal. 431), Imam an-Nawawi dalam (شرح صحيح مسلم 1/34) dan Burhanuddin al-Halaby dalam risalahnya (الاغتباط). 

Begitu juga Ibnul Kayyal telah meng itsbat kan ikhtilathnya dalam (الكواكب النيرات). Dan juga al-Haafidz Ibnu Sholah seperti yang dihikayatkan oleh Ibnu Kayyal dari nya ( ).

Sementara al-Juzajany الجوزجاني menghikayatkan tentang Abu Ishaq as-Subai’iy: “أنه واحد ممن لا يحمد الناس مذاهبهم ".

Bahwa dia adalah salah seorang dari orang-orang yang madzhabnya tidak terpuji. Lagi pula riwayat yang datang tanpa ("يا”النداء) secara riwayat lebih kuat. Yakni jika dibandingkan dengan riwayat-riwayat yang lainnya yang terdapat banyak illat nya, dan illat yang paling memberatkan adalah adanya ketidak jelasan dan kelabilan (الجهاله والاضطراب).

Ditambah lagi adanya sebagian para perawi yang diperselisihkan ketsiqohannya seperti Abu Ishaq itu sendiri. Kalau seandainya kita menganggapnya tsiqoh, maka tetap saja kita tidak bisa menerima dalam penshahihan sanad di sebabkan adanya ketidak jelasan dan kelabilan (الجهاله والاضطراب). Kelabilan Abu Ishaq di sanad ini sangat nampak jelas tidak bisa dipungkiri. 

Wallahu a’lam bish showaaab. 

Apakah riwayat Syu’bah (jalur kedua) dapat menguatkan riwayat Ats-Tsauriy dan Zuhair (jalur pertama) – sehingga dapat disimpulkan bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah adalah ‘Abdurrahmaan bin Sa’d?.

JAWABNYA: Tidak, dengan sebab:

  1. Riwayat Ats-Tsauriy tidak shahih hingga ‘Abdurrahmaan karena ‘an’anah Abu Ishaaq, sedangkan riwayat Syu’bah shahih hingga perawi mubham tersebut. Atau dengan kalimat singkat: Riwayat Syu’bah lebih shahih hingga tingkatan syaikh-nya Abu Ishaaq daripada riwayat Ats-Tsauriy.
  2. Jalur riwayat ketiga dan keempat merupakan qarinah tambahan adanya idlthiraab dalam periwayatan Abu Ishaaq.

Selain itu, matan riwayat tersebut juga mengandung nakarah dengan adanya permintaan doa kepada selain Allah ta’ala ketika tertimpa musibah. Hal ini bertentangan dengan firman Allah ta’ala:

أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الأرْضِ أَإِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلا مَا تَذَكَّرُونَ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi? Apakah di samping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati (Nya)” [QS. An-Nam: 62].

KESIMPULANNYA:

Hadits ini Dho’if. Asy-Syeikh Al-Albaaniy rahimahullah melemahkan atsar Ibnu Umar ini dalam Dla’iif Al-Adabil-Mufrad hal. 87.

BANTAHAN KE TIGA: BERKAITAN DENGAN DERAJAT KESAHIHAN ATSAR IBNU ‘ABBAAS

Atsar ini diriwayatkan Ibnu Sinny dalam (عمل اليوم والليلة) no.169, dia berkata:

حدثنا جعفر بن عيسى أبو أحمد, ثنا أحمد بن عبد الله بن روح, ثنا سلام بن سليمان, ثنا غياث بن إبراهيم, عن عبد الله بن عثمان بن خثيم, عن مجاهد, عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: خَدِرَت رِجلُ رَجُل عند ابن عباس, فقال ابنُ عباس: اذكر أحبَّ الناس إليك, فقال: محمد صلى الله عليه وسلم, فذهب خَدَرُه.

Telah bercerita kepada kami Ja’far bin ‘Isa Abu Ahmad, telah bercerita kepada kami Ahmad bin Abdullah bin Rouh, telah bercerita kepada kami Salam bin Sulaiman, telah bercerita kepada kami Ghoyyats bin Ibrahim, dari Abdullah bin Utsman bin Khutsaim, dari Mujahid, dari Ibnu Abbaas. Dia berkata:

Telah mengalami kram kaki seorang pria di sisi Ibnu ‘Abbaas, maka Ibnu ‘Abbas berkata: “Ingat-ingatlah orang yang paling kamu cintai, maka dia berkata: “Muhammad”. Maka hilanglah rasa kramnya”.

Riwayat ini lemah karena terdapat Ghoyyats bin Ibrahim. Imam Ahmad bin Hanbal berkata tentang dia: “orang-orang meninggalkan haditsnya”. Dan Imam Bukhori juga berkata: “Mereka meninggalkannya”. 

Ditambah lagi masih ada beberapa perawi yang lemah. (Lihat: ميزان الاعتدال 5/406)   
Syeikh Soleh ‘aali asy-Syeikh dalam kitabnya (هذه مفاهيمنا) hal. 45-46 berkata:

“وفي إسناده: غياث بن إبراهيم كذبوه. قال ابن معين: كذاب خبيث. ولفظه في تذكره (محمداً) مجردٌ من حرف النداء. فلا حجة فيه "( ).

“Di dalam sanadnya terdapat Ghoyyaats bin Ibrahim, mereka menganggapnya pendusta. Ibnu Ma’iin berkata: Dia pendusta busuk. Dan dalam “تذكره “lafadznya (محمد) tanpa adanya (يا) huruf nida, maka jika demikian tidak ada hujjah di dalam nya”.  Atsar ini didhoifkan pula oleh Sheikh al-Albaany dalam (ضعيف الأدب المفرد) hal. Dan Syeikh Bakr Abu Zaid dalam (تصحيح الدعاء) hal. 362.

SELESAI AL-HAMDULILLAAH, SEMOGA BERMANFAAT

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين والحمد لله رب العالمين

ABU HAITSAM FAKHRY

KAJIAN NIDA AL-ISLAM


 

Posting Komentar

0 Komentar