Tulisan ini adalah sambungan dari: >> Tafsir Kalimat Laata Uzza dan Manah
A. LAATA: (nama batu tapakan atau kuburan orang saleh)
[Laata adalah batu besar berwarna putih berukir, dalam sebuah rumah pesarean di Thaif, di kelilingi tirai dan terdapat para kuncen]
Imam Bukhory dalam sahihnya no. 4859, Ibnu Jarir ath-Thobary dalam tafsirnya 22/523, Ibnu Humeid, Ibnu Mandah, Ibnu Mardawaih dan Ibnu Katsir dalam tafsirnay 7/455 menyebutkan tentang tafsir Al-Laata dari Ibnu 'Abbas:
« أنه كان رجلا يَلُتُّ للحجيج في الجاهلية السويق، فلما مات عكفوا على قبره فعبدوه ».
"Dulunya dia adalah seorang penumbuk Sawiq (tepung) untuk jemaah haji, maka ketika dia meninggal mereka ber i'tikaf (nyepi) di kuburannya, lalu mereka menyembahnya".
Tafsir ini di riwayatkan pula oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 7/455 dari Robi' bin Anas. Dan juga di riwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsirnya 22/523 dengan sanadnya dari Mujahid.
Ibnu 'Abbas t juga berkata: "Dulunya dia adalah penjual Sawiiq (tepung atau makanan yang terbuat dari tepung) dan minyak samin di samping batu besar. Maka ketika dia meninggal, penduduk Tsaqif menyembah nya dengan maksud sebagai penghormatan dan pengagungan kepada penjual sawiiq itu.
Keterangan ini sama seperti yang di riwayatkan Mujahid dan Said bin Mansur. Dan juga seperti riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu 'Abbas. Di dukung pula oleh sekelompok pendapat Ahli Ilmu. (Lihat: Tafsir Thobari 22/523 dan Ibnu Katsir 7/455).
Ibnu Kalbi dalam Al-Ashnam menyebutkan bahwa: "Al-Laata itu adalah batu besar segi empat, dulunya tempat seorang yahudi menumbuk tepung".
Ibnu Katsir dalam tafsirnya 7/455 berkata: "Laata adalah batu besar berwarna putih berukir, dalam sebuah rumah (pesarean) di Thaif, di kelilingi kelambu / tirai dan terdapat para pengabdi / pelayan / kuncen. Di sekelilingnya terdapat halaman yang diagungkan dan dikultuskan bagi penduduk Thaif – mereka adalah kabilah Tsaqif dan para pengikutnya – mereka sangat membanggakan dan mengandalkan nya terhadap suku-suku lainnya di penjuru jazirah arab, selain kepada Qureish".
Sungguh ada banyak riwayat mengenai hal Laata ini:
Salah satunya seperti yang diriwayatkan oleh al-Azroqi: “Orang yang membuat adonan roti dahulu berasal dari Tsaqif. Ketika orang itu meninggal, Amr (bin Luhay) mengatakan kepada orang-orang Quraisy,
“Sesungguhnya orang tersebut belum mati, akan tetapi ia masuk ke dalam batu “.
Kemudian ia memerintahkan mereka untuk menyembahnya, dan membangun rumah di atas batu itu. Dinamakan Laatta…Ketika orang itu mati dinamakan batu tersebut dengan Laat dengan ta’ yang ringan. Dan dijadikan sebagai berhala yang disembah”. (Baca As-Suhaili dalam ar-Raudhul Unuf: 1/102 dan al-Azraqi dalam Akhbaru Makkah: 1/125-126)
Maksud perkataan al-Azraqi ini: menjelaskan bahwa Amr bin Luhai adalah orang yang menyuruh masyarakat Arab untuk menyembah Laata.
Ibnu al-Kalbi mengatakan dan dinukil oleh Imam Ibnul Qoyyim:
“Kemudian orang-orang musyrik meletakkan Laata di Thaif. Dan ia lebih baru dibandingkan Manat. Bentuknya adalah batu persegi. Juru kuncinya berasal dari Tsaqif. Orang-orang musyrik membangun rumah di atasnya. Orang-orang Quraisy dan seluruh masyarakat Arab mengagungkan berhala tersebut. Dengannya orang-orang Arab menamakan Zaid al-Laata, dan Taim al-Laata. Berada di menara Masjid Thaif sebelah kiri pada saat sekarang. Senantiasa seperti itu sampai suku Tsaqif memeluk Islam. Maka Rasulullah SAW mengutus al-Mughirah bin Syu’bah, kemudian di hancurkan lalu di bakar”. (Ibnu al-Kalbi: al-Ashnam: 16,17. Ibnul Qayyim: Ighatsatul Lahafan: 2/626-627).
Berbeda dengan as-Suhaily, dia mengatakan: “Amr bin Luhai adalah Latta yang membuat adonan roti untuk jama’ah haji, di atas sebuah batu yang dikenal dengan batu Latta”. (Baca As-Suhaili dalam ar-Raudhul Unuf: 1/105)
Ada pula yang mengatakan: “Latta, merupakan “dewi dunia bawah” yang disembah kaum pagan di jazirah Arab sebelum Islam. Dewi ini merupakan tradisi pagan, bercampurnya agama asli Arab dengan dewa-dewi dari Yunani dan Romawi serta dari negeri lain melalui berbagai cara. Bagi orang Nabatea di Petra, yang tinggal di utara semenanjung Arabia tepatnya di daerah Yordania sekarang, dewi Latta ini merepresentasikan Athena, Tyche atau Minerva. Herodotus juga menyebutkan tentang “Al-ilah” yang merupakan penyebutan Arab terhadap Aphrodite “.
Kaum musyrikin para penyembah Laata, Uzza dan Manah mereka tidak merasa jika dirinya telah menyekutukan Allah dengan berhala-berhala tadi, mereka menganggapnya sebagai sarana bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam surat Az-Zumar ayat 3, Allah SAW berfirman:
Tafsir ini di riwayatkan pula oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya 7/455 dari Robi' bin Anas. Dan juga di riwayatkan Ibnu Jarir dalam tafsirnya 22/523 dengan sanadnya dari Mujahid.
Ibnu 'Abbas t juga berkata: "Dulunya dia adalah penjual Sawiiq (tepung atau makanan yang terbuat dari tepung) dan minyak samin di samping batu besar. Maka ketika dia meninggal, penduduk Tsaqif menyembah nya dengan maksud sebagai penghormatan dan pengagungan kepada penjual sawiiq itu.
Keterangan ini sama seperti yang di riwayatkan Mujahid dan Said bin Mansur. Dan juga seperti riwayat Ibnu Abi Hatim dari Ibnu 'Abbas. Di dukung pula oleh sekelompok pendapat Ahli Ilmu. (Lihat: Tafsir Thobari 22/523 dan Ibnu Katsir 7/455).
Ibnu Kalbi dalam Al-Ashnam menyebutkan bahwa: "Al-Laata itu adalah batu besar segi empat, dulunya tempat seorang yahudi menumbuk tepung".
Ibnu Katsir dalam tafsirnya 7/455 berkata: "Laata adalah batu besar berwarna putih berukir, dalam sebuah rumah (pesarean) di Thaif, di kelilingi kelambu / tirai dan terdapat para pengabdi / pelayan / kuncen. Di sekelilingnya terdapat halaman yang diagungkan dan dikultuskan bagi penduduk Thaif – mereka adalah kabilah Tsaqif dan para pengikutnya – mereka sangat membanggakan dan mengandalkan nya terhadap suku-suku lainnya di penjuru jazirah arab, selain kepada Qureish".
Sungguh ada banyak riwayat mengenai hal Laata ini:
Salah satunya seperti yang diriwayatkan oleh al-Azroqi: “Orang yang membuat adonan roti dahulu berasal dari Tsaqif. Ketika orang itu meninggal, Amr (bin Luhay) mengatakan kepada orang-orang Quraisy,
“Sesungguhnya orang tersebut belum mati, akan tetapi ia masuk ke dalam batu “.
Kemudian ia memerintahkan mereka untuk menyembahnya, dan membangun rumah di atas batu itu. Dinamakan Laatta…Ketika orang itu mati dinamakan batu tersebut dengan Laat dengan ta’ yang ringan. Dan dijadikan sebagai berhala yang disembah”. (Baca As-Suhaili dalam ar-Raudhul Unuf: 1/102 dan al-Azraqi dalam Akhbaru Makkah: 1/125-126)
Maksud perkataan al-Azraqi ini: menjelaskan bahwa Amr bin Luhai adalah orang yang menyuruh masyarakat Arab untuk menyembah Laata.
Ibnu al-Kalbi mengatakan dan dinukil oleh Imam Ibnul Qoyyim:
“Kemudian orang-orang musyrik meletakkan Laata di Thaif. Dan ia lebih baru dibandingkan Manat. Bentuknya adalah batu persegi. Juru kuncinya berasal dari Tsaqif. Orang-orang musyrik membangun rumah di atasnya. Orang-orang Quraisy dan seluruh masyarakat Arab mengagungkan berhala tersebut. Dengannya orang-orang Arab menamakan Zaid al-Laata, dan Taim al-Laata. Berada di menara Masjid Thaif sebelah kiri pada saat sekarang. Senantiasa seperti itu sampai suku Tsaqif memeluk Islam. Maka Rasulullah SAW mengutus al-Mughirah bin Syu’bah, kemudian di hancurkan lalu di bakar”. (Ibnu al-Kalbi: al-Ashnam: 16,17. Ibnul Qayyim: Ighatsatul Lahafan: 2/626-627).
Berbeda dengan as-Suhaily, dia mengatakan: “Amr bin Luhai adalah Latta yang membuat adonan roti untuk jama’ah haji, di atas sebuah batu yang dikenal dengan batu Latta”. (Baca As-Suhaili dalam ar-Raudhul Unuf: 1/105)
Ada pula yang mengatakan: “Latta, merupakan “dewi dunia bawah” yang disembah kaum pagan di jazirah Arab sebelum Islam. Dewi ini merupakan tradisi pagan, bercampurnya agama asli Arab dengan dewa-dewi dari Yunani dan Romawi serta dari negeri lain melalui berbagai cara. Bagi orang Nabatea di Petra, yang tinggal di utara semenanjung Arabia tepatnya di daerah Yordania sekarang, dewi Latta ini merepresentasikan Athena, Tyche atau Minerva. Herodotus juga menyebutkan tentang “Al-ilah” yang merupakan penyebutan Arab terhadap Aphrodite “.
Kaum musyrikin para penyembah Laata, Uzza dan Manah mereka tidak merasa jika dirinya telah menyekutukan Allah dengan berhala-berhala tadi, mereka menganggapnya sebagai sarana bertaqorrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Hal ini seperti yang diungkapkan dalam surat Az-Zumar ayat 3, Allah SAW berfirman:
) أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى (.
Artinya: Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil wali-wali (pelindung / penolong / kekasih) selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (QS. Zumar: 3).
Dalam menafsiri firman Allah SWT: "melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya "Imam Malik, Qotadah dan Suday dari Zaid bin Aslam dan Ibnu Zaid berkata:
((أي: ليشفعوا لنا، ويقربونا عنده منزلة))
"Maksudnya adalah: agar wali-wali itu mensyafaati kami dan mendekatkan kedudukan kami di sisi Allah". (Tafsir Ibnu Katsir 7/85).
Ibnu Hisyam berkata: "Maka Rosulullah SAW mengutus Mughiroh bin Syu'bah RA, maka beliau menghancurkannya serta membakarnya".
KESIMPULAN: Dari keterangan di atas bisa di simpulkan sbb:
- Tempat yang di I'tikafinya adalah rumah pesarean didalamnya terdapat kuburan orang saleh yang bernama Al-Laata yang diatasnya terdapat batu besar berwarna putih berukir di kelilingi kelambu / tirai. Dijaga para pengabdi / pelayan / kuncen. Di sekelilingnya terdapat halaman yang diagungkan dan dikultuskan bagi penduduk Thaif.
- Dalam riwayat lain seperti yang telah disebutkan di atas menunjukkan bahwa tempat itu adalah tapakan Al-Laata, tempat dia berjualan dan menumbuk tepung semasa hidupnya. Ini menunjukkan bahwa pengkultusan terhadap tapakan sudah ada pada zaman jahiliyah.
- Cara Ibadah mereka adalah dengan cara beri'tikaf atau nyepi. Dan makna I'tikaf itu sendiri dalam bahasa arab adalah: berdiam diri di sebuah tempat karena sesuatu.
- Mereka menggunakan istilah Taqorrub (sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah) namun pada hakikatnya mereka telah menyembah batu dan kuburan sebagai bentuk penuhanan dan pengkultusan keduanya.
- Dengan demikian menunjukkan bahwa masyarakat Jahiliyah dan umat-umat terdahulu telah menjadikan pula orang-orang saleh yang telah mati sebagai sesembahan dengan menggunakan istilah taqorrub / perantara.
0 Komentar