Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM MENGAMALKAN HADITS DHOIF

Di susun oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM


بسم الله الرحمن الرحيم

TELAH ADA PERBEDAAN PENDAPAT DIANTARA PARA ULAMA TENTANG HUKUM MENGAMALKAN HADITS DHA’IF.

Yaitu ada tiga pendapat:

PENDAPAT PERTAMA


Hadits Dha’if Boleh Diamalkan secara mutlak, baik hadits itu berhubungan dengan aqidah, hukum syari’maupun Fadloilul a’maal [فضائل الأعمال] akan tapi dengan Syarat –syarat tertentu:

Ada Sebagian ulama yang membolehkan secara mutlak, Yakni tidak ada batasan pada hadits dha’if yang boleh diamalkan, baik hadits itu berhubungan dengan aqidah, hukum syari’, Fadloilul a’maal (فضائل الأعمال) dsb.

Semuanya boleh, tapi DENGAN SYARAT:
  1. Tidak ada satupun dalil shahih mengenai suatu bab kecuali hadits dha’if tersebut
  2. dan tidak ditemukan dalil yang menyelisihinya / bertentangan.

Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Daud, Imam Ahmad, Abdullah bin Al-Mubarak, Abdul Rahman bin Mahdi, dan Sufyan Al-Thawri, Ibnu Abdil Barr, semoga Allah merahmatinya.

[Baca: الفتوحات الربانية 1/182 حكم قبول الحديث الضعيف في فضائل الأعمال karya Abdul Khaliq hal 3].

Perkataan Abu Daud: Dalam penulisan kitab Sunan, beliau tidak sekedar mengeluarkan hadis-hadis shahih saja, namun juga hadis-hadis yang disepakati ulama untuk tidak meninggalkannya, yakni meskipun tidak shahih akan tetapi di amalkan oleh sebagian ulama.

Hal itu diketahui ketika dirinya berkirim surat pada ahli Makkah (رسالة إلى أهل مكة) sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan mereka mengenai kitab Sunan-nya:

" ‌كَتَبْتُ ‌عَنْ ‌رَسُولِ ‌اللَّهِ ‌صَلَّى ‌اللَّهُ ‌عَلَيْهِ ‌وَسَلَّمَ ‌خمسمائة ‌أَلْفِ ‌حَدِيثٍ، ‌انْتَخَبْتُ ‌مِنْهَا ‌مَا ‌ضَمَّنْتُهُ ‌هَذَا ‌الْكِتَابَ جَمَعْتُ فِيهِ أَرْبَعَةَ آلاف وثمانمائة حَدِيثٍ، ذَكَرْتُ الصَّحِيحَ وَمَا يُشْبِهُهُ وَيُقَارِبُهُ ".

''Aku mendengar dan menulis hadis Rasulullah SAW sebanyak 500 ribu buah. Dari jumlah itu, aku seleksi sebanyak 4.800 hadis yang kemudian aku tuangkan dalam kitab Sunan ini. Dalam kitab tersebut, aku himpun hadis-hadis sahih, semisahih, dan yang mendekati sahih.

[Lihat: Ma'aalim as-Sunan 4/365 karya al-Khoth-thoobi].

Dan Abu Daud juga berkata:

‌‌لَيْسَ فِي الْكتاب حَدِيث عَن مَتْرُوك. وَلَيْسَ فِي كتاب السّنَن الَّذِي صنفته عَن رجل مَتْرُوك الحَدِيث شَيْء

Dalam kitab itu, aku tidak mencantumkan satu hadis pun dari orang yang haditsnya ditinggalkan oleh para ulama. [“رسالته لأهل مكة” hal. 25].

وَمَا كَانَ فِي كتابي من حَدِيث فِيهِ وَهن شَدِيد فقد بَينته، وَمِنْه مَالا يَصح سَنَده. ومنه مَا لم أذكر فِيهِ شَيْئا فَهُوَ صَالح، وَبَعضهَا أصح من بعض

Mengenai hadis dalam kitabku yang mengandung kelemahan, maka ku jelaskan sebagai hadis macam ini, dan sebagian ada hadis yang tidak sahih sanadnya.

Dan sebagian lain ada hadis yang tidak kuberi penjelasan sedikit pun, maka hadis tersebut bernilai sahih, sebagian hadits ada yang lebih shahih dari yang lain “. SELESAI 27

Dan beliau Abu Daud juga menyatakan dalam “رسالته لأهل مكة” hal. 25:

" وَأما الْمَرَاسِيل: فقد كَانَ يحْتَج بهَا الْعلمَاء فِيمَا مضى، مثل سُفْيَان الثَّوْريّ وَمَالك بن أنس وَالْأَوْزَاعِيّ، حَتَّى جَاءَ الشَّافِعِي فَتكلم فِيهَا، وَتَابعه على ذَلِك أَحْمد بن حَنْبَل وَغَيره رضوَان الله عَلَيْهِم، فَإِذا لم يكن مُسْند غير الْمَرَاسِيل، وَلم يُوجد الْمسند: فالمرسل يحْتَج بِهِ، وَلَيْسَ هُوَ مثل الْمُتَّصِل فِي الْقُوَّة ". انتهى

“Adapun hadits-hadits MURSAL: maka telah dijadikan hujjah oleh para ulama di masa lalu, seperti Sufyan Al-Tsauri, Malik bin Anas, dan Al-Awza’i, sampai Al-Syafi'i datang dan berbicara tentang hadits-hadits mursal tsb (yakni: mempermasalahkannya). Lalu Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya mengikutinya - semoga Allah meridhoi mereka -. Maka Jika tidak ada hadits yang musnad selain hadits-hadist mursal, alias hadits Musnad tidak ditemukan, maka hadits mursal dijadikan hujjah, namun demikian hadits mursal tidaklah seperti hadits yang muttashil sanadnya dalam segi kekuatan hujjahnya “.

Dan beliau berkata pula dalam “رسالته لأهل مكة” di hal. 30:

" وَإِن من الْأَحَادِيث فِي كتابي السّنَن مَا لَيْسَ بِمُتَّصِل، وَهُوَ مُرْسل ومُدَلَّس، وَهُوَ إِذا لم تُوجد الصِّحَاح عِنْد عَامَّة أهل الحَدِيث على معنى أَنه مُتَّصِل ". انتهى

"Dan jika ada hadits dalam Kitab Sunnahku yang tidak muttashil sanadnya, maka itu adalah Mursal dan mudallas (مدلَّس = perkataan perawi yang disusupkan). Dan yang demikian itu jika tidak ditemukan hadits-hadits sahih yang semakna pada para pakar hadits pada umumnya, maka sesungguhnya itu dianggap Muttashil “.

Dan Abu Daud berkata:

وَلَا أعلم شَيْئا بعد الْقُرْآن ألزم للنَّاس أَن يتعلموه من هَذَا الْكتاب. وَلَا يضر رجلا أَن لَا يكْتب من الْعلم بعد مَا يكْتب هَذِه الْكتب شَيْئا وَإِذا نظر فِيهِ وتدبره وتفهمه حِينَئِذٍ يعلم مِقْدَاره

Kami tidak mengetahui sebuah kitab sesudah Alquran yang harus dipelajari, selain daripada kitab ini. Dan tidak mengapa seorang laki-laki tidak menuliskan suatu ilmu pun setelah dia menulis kitab-kitab ini, dan jika dia melihatnya, merenungkannya, mentadabburinya dan memahaminya, maka dia akan mengetahui nilainya. [“رسالته لأهل مكة” di hal. 28].

Adapun Perkataan Imam Ahmad, maka sebagai contohnya adalah sbb:

Beliau membolehkan Talqin Mayit setelah di kubur dan tidak mewajibkannya dengan alasan hadits Talqin tsb dloif. Ibnu Taimiyah menyebutkan dalam kitab Majmu' al-Fatawa 24/296,

هذا التلقين المذكور (يعني تلقين الميت بعد الدفن) قد ثبت عن طائفة من الصحابة انهم امروا به كأبي أمامة الباهلي و غيره. و روي فيه حديث عن النـبي صلى الله عليه و سلم, و لكنه مما لا يحكم بصحته و لم يكن كثير من الصحابة يفعل ذلك. فلهذا قال الإمام أحمد و غيره من العلماء: إن هذا التلقين لا بأس به, فرخصوا فيه و لم يأمروا به. و استحبه طائفة من اصحاب الشافعي و احمد و كرهه طائفة من اصحاب مالك و غيرهم

“ Talqin mayyit ini (yakni menuntun mayit setelah dikubur) ditetapkan dari sekelompok sahabat seperti Abu Umamah al-Baahili dan lain-lain. Mereka memerintahkan untuk melakukan hal itu.

Dalam masalah Talqin Mayit ini telah diriwayatkan sebuah hadis Nabi SAW, namun hadis ini tidak dinilai sebagai hadis shahih dan tidak banyak sahabat Nabi SAW yang melakukannya. Oleh karena itu, Imam Ahmad dan sekelompok ulama lainnya menyatakan, bahwa talqin mayit tidak apa-apa diamalkan. Dalam arti, mereka hanya merukhshoh kannya dan tidak memerintahkan orang-orang untuk melakukannya.

Namun sekelompok sahabat - sahabat Syafi’iy dan Ahmad memandangnya mustahab. Sementara sekelompok dari sahabat sahabat Maliki dan ulama`lainnya memakruhkan nya. (Majmu' al-Fatawa 24/296)

Begitu juga pendapat Imam Ahmad berkaitan dengan at-Tariif, yaitu berkumpul di masjid di daerah masing-masing untuk berdo’a dan dzikir pada waktu sore hari Arafah.

Dalam kitab: “مسائل الإمام أحمد بن حنبل “, riwayat Ishaq bin Ibrahim bin Hani al-Naisaabuuri (1/94) di sebutkan:

 (وسئل عن التعريف في القرى؟ فقال: قد فعله ابن عباس بالبصرة، وفعله عمرو بن حريث بالكوفة.
قال أبو عبد الله: ولم أفعله أنا قط، وهو دعاء، دعهم، يكثّر الناس، قيل له: فنرى أن ينهوا؟ قال: لا، دعهم، لا ينهون، وقال مبارك: رأيت الحسن، وابن سيرين، وناسًا يفعلونه، سألتُه عن التعريف في الأمصار؟ قال: لا بأس به)

Artinya: “Beliau – Imam Ahmad - ditanya tentang at-Ta’riif di desa-desa?
Dia berkata: “Ibn Abbas melakukannya di Basrah, dan Amr bin Huraith melakukannya di Kufah, "

Abu Abdullah – yakni Imam Ahmad - berkata: Saya tidak pernah melakukannya, dan itu adalah berdoa, biarlah mereka memperbanyak oarang-orang – untuk melakukannya -.
Dan dikatakan pada nya: “ Lalu apakah kita melarang mereka ?
Dia berkata: Tidak, biarkanlah, mereka jangan di larang “.

Dan Mubarak berkata: Saya melihat al-Hassan, Ibn Siiriin, dan orang-orang melakukannya, saya bertanya kepadanya tentang at-Ta’riif di daerah-daerah? Dia berkata: “ Tidak ada yang salah dengan itu".

DALIL PENDAPAT PERTAMA


Dalil bolehnya meriwayatkan sebuah informasi yang belum di ketahui keshahihannya secara ilmu sanad dan jarh wat-ta’diil:

Pertama:

Dari Abdullah ibn ‘Amr: Bahwa Nabi saw bersabda:

بَلِّغُوا عَنِّي وَلَوْ آيَةً، وَحَدِّثُوا عَنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلاَ حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ.

Sampaikan dariku sekalipun satu ayat dan ceritakanlah (apa yang kalian dengar) dari Bani Isra'il dan itu tidak apa (dosa). Dan barang siapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka. (HR. Bukhori no. 3461).

Dalam hadits ini Rosullullah SAW mengijinkan umatnya untuk menyampaikan ilmu yang datang dari Bani Israil, selama tidak ada unsur kesengajaan berdusta. Dan sudah dipastikan riwayat-riwayat Israiliyat sebelum Islam datang itu tidak bersanad, bahkan belum ada ilmu jarh wat ta’diil.

Kedua:

Jika disyaratkan harus shahih sanadnya, maka ini bisa di pastikan banyak ilmu-ilmu agama Islam yang hilang, baik yang berkaitan dengan hukum maupun sejarah dan lainnya.

Rosulullah SAW membenarkan sebuah amalan yang diajarkan dari si pendusta jika amalan itu benar. Dan itu beliau SAW membolehkan untuk mengamalkannya. Sebagaimana yang terdapat dalam hadits shahih berikut ini:

Dalam Shahih Bukhari disebutkan sebuah kisah dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

وَكَّلَنِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – بِحِفْظِ زَكَاةِ رَمَضَانَ، فَأَتَانِى آتٍ فَجَعَلَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَأَخَذْتُهُ.
وَقُلْتُ وَاللَّهِ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –.
قَالَ إِنِّى مُحْتَاجٌ، وَعَلَىَّ عِيَالٌ، وَلِى حَاجَةٌ شَدِيدَةٌ.
قَالَ: فَخَلَّيْتُ عَنْهُ فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم –:« يَا أَبَا هُرَيْرَةَ مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ ». قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالاً فَرَحِمْتُهُ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ.
قَالَ « أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ «.
فَعَرَفْتُ أَنَّهُ سَيَعُودُ لِقَوْلِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – إِنَّهُ سَيَعُودُ. فَرَصَدْتُهُ فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ: لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –.
قَالَ: دَعْنِى فَإِنِّى مُحْتَاجٌ، وَعَلَىَّ عِيَالٌ لاَ أَعُودُ، فَرَحِمْتُهُ، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ.
فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ ». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ شَكَا حَاجَةً شَدِيدَةً وَعِيَالاً، فَرَحِمْتُهُ فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ. قَالَ « أَمَا إِنَّهُ قَدْ كَذَبَكَ وَسَيَعُودُ «.
فَرَصَدْتُهُ الثَّالِثَةَ فَجَاءَ يَحْثُو مِنَ الطَّعَامِ، فَأَخَذْتُهُ فَقُلْتُ لأَرْفَعَنَّكَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم –، وَهَذَا آخِرُ ثَلاَثِ مَرَّاتٍ أَنَّكَ تَزْعُمُ لاَ تَعُودُ ثُمَّ تَعُودُ.
قَالَ: دَعْنِى أُعَلِّمْكَ كَلِمَاتٍ يَنْفَعُكَ اللَّهُ بِهَا. قُلْتُ: مَا هُوَ ؟
قَالَ: " إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ (اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ) حَتَّى تَخْتِمَ الآيَةَ، فَإِنَّكَ لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَنَّكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ".
فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ فَأَصْبَحْتُ، فَقَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « مَا فَعَلَ أَسِيرُكَ الْبَارِحَةَ ».
قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ زَعَمَ أَنَّهُ يُعَلِّمُنِى كَلِمَاتٍ، يَنْفَعُنِى اللَّهُ بِهَا، فَخَلَّيْتُ سَبِيلَهُ. قَالَ « مَا هِىَ ؟ ».
قُلْتُ: قَالَ لِى: إِذَا أَوَيْتَ إِلَى فِرَاشِكَ فَاقْرَأْ آيَةَ الْكُرْسِىِّ مِنْ أَوَّلِهَا حَتَّى تَخْتِمَ (اللَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَىُّ الْقَيُّومُ) وَقَالَ لِى لَنْ يَزَالَ عَلَيْكَ مِنَ اللَّهِ حَافِظٌ وَلاَ يَقْرَبَكَ شَيْطَانٌ حَتَّى تُصْبِحَ، وَكَانُوا أَحْرَصَ شَىْءٍ عَلَى الْخَيْرِ.
فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « أَمَا إِنَّهُ قَدْ صَدَقَكَ وَهُوَ كَذُوبٌ، تَعْلَمُ مَنْ تُخَاطِبُ مُنْذُ ثَلاَثِ لَيَالٍ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ ؟».
قَالَ لاَ. قَالَ « ذَاكَ شَيْطَانٌ«


Artinya: Rasulullah SAW pernah mewakilkan padaku untuk menjaga zakat Ramadhan (zakat fitrah). Lalu ada seseorang yang datang dan menumpahkan makanan dan mengambilnya.

Aku pun mengatakan, “Demi Allah, aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah SAW.”

Lalu ia berkata: “Aku ini benar-benar dalam keadaan butuh. Aku memiliki keluarga dan aku pun sangat membutuhkan ini.”

Abu Hurairah berkata: “Aku membiarkannya. Lantas di pagi hari, Nabi SAW berkata padaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?”

Aku pun menjawab: “Wahai Rasulullah, dia mengadukan bahwa dia dalam keadaan butuh dan juga punya keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya.”

Nabi SAW bersabda: “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi.“

Aku pun tahu bahwasanya ia akan kembali sebagaimana yang Rasulullah SAW katakan. Aku pun mengawasinya, ternyata ia pun datang dan menumpahkan makanan, lalu ia mengambilnya.

Aku pun mengatakan, “Aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah SAW.”

Lalu ia berkata: “Biarkanlah aku, aku ini benar-benar dalam keadaan butuh. Aku memiliki keluarga dan aku tidak akan kembali setelah ini.”

Abu Hurairah berkata: “Aku pun menaruh kasihan padanya, aku membiarkannya. Lantas di pagi hari, Nabi SAW berkata padaku: “Wahai Abu Hurairah, apa yang dilakukan oleh tawananmu?”

Aku pun menjawab: “Wahai Rasulullah, dia mengadukan bahwa dia dalam keadaan butuh dan juga punya keluarga. Oleh karena itu, aku begitu kasihan padanya sehingga aku melepaskannya pergi.”

Nabi SAW bersabda: “Dia telah berdusta padamu dan dia akan kembali lagi.“

Pada hari ketiga: aku terus mengawasinya, ia pun datang dan menumpahkan makanan lalu mengambilnya.

Aku pun mengatakan, “Aku benar-benar akan mengadukanmu pada Rasulullah SAW. Ini sudah kali ketiga, engkau katakan tidak akan kembali namun ternyata masih kembali.

Ia pun berkata: “Biarkan aku. Aku akan mengajari suatu kalimat yang akan bermanfaat untukmu.”

Abu Hurairah bertanya, “Apa itu?”

Ia pun menjawab: “Jika engkau hendak tidur di ranjangmu, bacalah ayat kursi: ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum …‘ hingga engkau menyelesaikan ayat tersebut. Maka Allah akan senantiasa menjagamu dan Syaithon tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.”

Abu Hurairah berkata: “Aku pun melepaskan dirinya dan ketika pagi hari Rasulullah SAW bertanya padaku, “Apa yang dilakukan oleh tawananmu semalam?”

Abu Hurairah menjawab: “Wahai Rasulullah, ia mengaku bahwa ia mengajarkan suatu kalimat yang Allah beri manfaat padaku jika membacanya. Sehingga aku pun melepaskan dirinya.”

Nabi SAW bertanya, “Apa kalimat tersebut?”

Abu Hurairah menjawab: “Ia mengatakan padaku, jika aku hendak pergi tidur di ranjang, hendaklah membaca ayat kursi hingga selesai yaitu bacaan: ‘Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qoyyum’........

Lalu ia mengatakan padaku: bahwa Allah akan senantiasa menjagaku dan Syaithon pun tidak akan mendekatimu hingga pagi hari.

Dan para sahabat lebih semangat dalam melakukan kebaikan.”

Nabi SAW pun bersabda: “Adapun dia, untuk kali ini sungguh telah berkata benar pada mu, padahal aslinya dia itu pendusta. Engkau tahu siapa yang bercakap denganmu sampai tiga malam itu, wahai Abu Hurairah?”

Dia menjawab: “Tidak”.

Lalu Nabi SAW berkata: “Dia adalah Syaithon.” (HR. Bukhari no. 2311).

PENDAPAT KEDUA


Hadits Dha’if Hanya BOLEH Diamalkan dalam Fadhoil A'maal [فضائل الأعمال] dengan Syarat-Syarat Tertentu

Imam An-Nawawi, Syaikh Ali Al-Qori, dan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menukil: kesepakatan JUMHUR ULAMA dan FUQOHA atas pendapat yang membolehkan pengamalan hadits dha’if dalam fadhoil a'maal.

Pendapat ini dijadikan pedoman oleh banyak para imam, diantaranya: Imam Ibnu Hajar Al Asqolani, Imam Al Luknawi, Imam Ahmad, Abu Zakariya, dan Ibnu Mahdi.
[Baca: Abdul Khaliq, حكم قبول الحديث الضعيف في فضائل الأعمال, hlm 3]

Imam Ahmad menuturkan pendapat beliau sebagi berikut:

اِذَا رَاوَيْنَا فِى الحَلاَلِ وَالحَرَامِ شَدَّدْنَا وَ إِذَا رَوَيْنَا فِى الفَضَائِلِ وَنَحْوِهَا تَسَاهَلْنَا

Artinya: “Apabila kami meriwayatkan (hadits) dalam masalah halal dan harom kami bersikap tegas, dan jika kami meriwayatkan (hadits) dalam fadhoil dan semisalnya kami bermudah-mudah “. [Baca: Abdul Khaliq, حكم قبول الحديث الضعيف في فضائل الأعمال, hlm 3].

Imam Al-Zarkashi Al-Syafi'i mengatakan dalam bukunya “النكت على مقدمة ابن الصلاح”:

: أجمع أهل الحَدِيث وَغَيرهم على الْعَمَل فِي الْفَضَائِل وَنَحْوهَا مِمَّا لَيْسَ فِيهِ حكم وَلَا شَيْء من العقائد وصفات الله تَعَالَى بِالْحَدِيثِ الضَّعِيف فِي فَضَائِل الْأَعْمَال، إِذا علمت هَذَا فقد نَازع بعض الْمُتَأَخِّرين وَقَالَ جَوَازه مُشكل، فَإِنَّهُ لم يثبت عَن النَّبِي صلى الله عَلَيْهِ وَسلم، فإسناد الْعَمَل إِلَيْهِ يُوهم ثُبُوته وَيُؤَدِّي إِلَى ظن من لَا معرفَة لَهُ بِالْحَدِيثِ الصِّحَّة فينقلونه ويحتجون بِهِ، وَفِي ذَلِك تلبيس، قَالَ: وَقد نقل بعض الْأَثْبَات عَن بعض تصانيف الْحَافِظ أبي بكر بن الْعَرَبِيّ الْمَالِكِي أَنه قَالَ: إِن الحَدِيث الضَّعِيف لَا يعْمل بِهِ مُطلقًا. اهـ

Para ulama ahli hadits dan yang lainnya dulu telah ber Ijma’ [bersuara bulat] akan bolehnya mengamalkan hadits-hadits Dhoif dalam Fadloilul a’maal (فضائل الأعمال) dan yang semisalnya, selama mengamalkan hadits dhoif tsb tidak berkaitan dengan hukum syar’i dan juga bukan hal-hal yang berkaitan dengan Aqidah serta sifat-siafat Allah Ta’aala

Jika mengetahui hal ini, maka sungguh setelah masa itu ada sebagian ulama dari generasi akhir yang memprotesnya dan mengatakan bahwa jika hal tsb diperbolehkan, maka itu bermasalah, dengan alasan bahwa yang namanya hadits dhoif itu hadits yang tidak valid datang dari Nabi SAW. Maka menyandarkan dalil sebuah amalan kepadanya akan memberi kesan kevalidan hadits tsb. Dan dampaknya adalah terhadap orang-orang yang tidak faham ilmu hadits, mereka mengira bahwa hadits tsb Shahih, lalu mereka menyebarkannya dan berhujjah dengannya. Dan yang demikian itu adalah bentuk pengelabuan.

Dia berkata: “ Ada beberapa orang-orang yang kokoh lagi di percaya menukil dari sebagian karya-karya Hafidz Abu Bakr bin Al-Arabi Al-Maliki bahwa dia mengatakan: Hadis yang lemah itu tidak boleh diamalkan sama sekali “. SELESAI

Meskipun demikian ada sebagian dari mereka yang mengatakan: dibolehkan-nya itu tidak berlaku secara mutlak, namun ada beberapa ketentuan yang harus di perhatikan. Seperti yang dijelaskan oleh al-Haafidz ibnu Hajar al-Haitami, ketentuan-ketentuan itu adalah sbb:

  • Hadits tersebut tidak parah dha’ifnya. Dan yang termasuk sangat dha’if adalah mungkar, matruk, dan maudlu’ alias palsu.
  • Amalan yang ada dalam hadits itu berdasarkan hadits yang maqbul [bisa diterima].
  • Tidak berkeyakinan bahwa hadits tersebut mempunyai kekuatan hukum yang kuat, bahkan hanya diniatkan untuk sekedar berhati-hati saja.

[Maksud bermudah-mudahan, adalah: sikap tidak begitu memperdulikan atau meremehkan cela perawi dalam sanadnya.].

[Maksud Berhati-hati (احتاط): berjaga-jaga bila ternyata hadits tersebut benar dari rosul saw maka ia telah menunaikan haknya (hak hadits untuk diamalkan) atau jika ternyata tidak benar, maka tidak ada dosa bagi yang mengamalkan.]

Dalam kitab “قواعد التحديث”, Imam al-Hakim menyebutkan pendapat Abu Zakariya Al-Anbari; beliau berkata:

سَمِعْتُ اَبَا زَكَرِيَّا العَنْبَرِى يَقُوْلُ: " الخَبَرُ وَرَدَ لَمْ يُحَرِّمْ حَلاَلاً وَلَمْ يُحِلَّ حَرَامًا وَلَمْ يُوْجِبْ حُكْمًا وَكَانَ فِى تَرْغِيْبٍ اَوْ تَرْهِيْبٍ أُغْمِضَ عَنْهُ وَتُسُوْهِلَ فِى رُوَاتِهِ ".

Aku mendengar Abu Zakariya Al-Anbari menyatakatan: “ khabar [hadits[yang muatannya tidak mengharamkan yang halal, tidak menghalalkan yang haram, tidak mewajibkan suatu hukum dan pula kandungannya itu dalam hal targhib (menanamkan rasa suka) atau tarhib (menakut-nakuti), maka itu dibiarkan dan dipermudah dalam (hal cacat) para rawinya “. (Baca: Al-Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 114)

Syarat-syarat dibolehkannya mengamal-kan Hadits Dhoif menurut sebagian para ulama yang berpendapat yang ke dua ini adalah sbb:
  1. Bahwa hadits tersebut tidak terlalu lemah (bukan hadits dhoif jiddan apalagi maudhu/ palsu)
  2. Hadits dhoif itu tidak boleh diyakini bahwa dia adalah sabda Nabi SAW atau perbuatan Beliau SAW. Maka hadits diamalkan hanya karena kehati-hatian dari pada mengamalkan sesuatu yang tidak ada dalilnya.
  3. Hadits tersebut khusus untuk Fadhoilul A’mal atau Targhib wat-tarhib. Tidak boleh dalam masalah aqidah, hukum, Tafsir Al-Qur’an dan lain-lain yang usul (prinsip) dari Ad-Din ini.
  4. Orang yang mengamalkan tidak boleh memperkenalkan hadits tersebut kepada masyarakat awam, karena jika melihat hadits itu mashyur dan banyak diamalkan akan mengira bahwa itu adalah sunnah yang shohih.

SYEIKH AL-UTSAIMIIN:


Berkenaan dengan hadits dho’if, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berkata:

“Sedangkan hadits dho’if diperselisihkan oleh para ulama -rahimahumullah-. Ada yang membolehkan untuk disebarluaskan dan dinukil, namun mereka memberikan 3 SYARAT dalam masalah ini,

  1. Pertama: Hadits tersebut tidaklah terlalu dho’if (tidak terlalu lemah).
  2. Kedua: Hadits tersebut didukung oleh dalil lain yang shahih yang menjelaskan adanya pahala dan hukuman.
  3. Ketiga: Tidak boleh diyakini bahwa hadits tersebut dikatakan oleh Nabi SAW. Hadits tersebut haruslah disampaikan dengan lafazh tidak jazim (yaitu tidak tegas). Hadits tersebut hanya digunakan dalam masalah at targhib untuk memotivasi dan at tarhib untuk menakut-nakuti.” 
[Kutipan Selesai]

PENDAPAT KE TIGA


Hadits Dha’if Tidak Boleh Diamalkan Secara Mutlak

Yakni: pendapat ke tiga ini tidak membolehkan pengamalan hadits dha’if secara mutlak, baik dalam masalah hukum syari’, aqidah, fadhoil amal, atau pun hanya sekedar untuk berhati-hati.

Ini adalah pendapat: Imam Bukhari, Imam Muslim, Yahya bin Ma’in, Abu Bakr ibnu al-Arabi al-Maaliki, Ibnu Taimiyyah, Imam Ibnu Hazm –rahimahullahu- dan lain-lain.

Baca: [Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 113 dan Abdul Khaliq, حكم قبول الحديث الضعيف في فضائل الأعمال, hlm 3]

IMAM BUKHORI: Benarkah beliau melarang pengamalan hadits dho'if ???

Ada yang mengatakan:

" Bahwa dalam pembahasan ini, tidak satupun kitab yang mencantumkan penjelasan Imam Bukhori dan Imam Muslim yang melarang pengamalan hadits dha’if.

Para ulama hanya menyimpulkan kecenderungan Imam Bukhori dan imam Muslim kepada pendapat ini setelah melihat kitab shahih mereka berdua yang seluruh haditsnya shahih.

PENULIS KATAKAN

 
Namun penulis menemukan pendapat Imam Bukhory yang menunjukkan bahwa hadits dhoif yang isinya melarang sebuah amalan yang mentakhshish amalan mutlak yang mubah, maka hadits dhoif tsb tidak boleh diamalkan.

Diantaranya: masalah hukum membaca Al-Quran ketika Ruku dan Sujud. Maka Mayoritas para ulama mengatakan makruh, mereka berhujjah dengan hadits Ali dan hadits Ibnu Abbas. Sementara Imam Bukhori berpendapat lain, yaitu boleh, seperti yang di kutip oleh Ibnu Rusyd dlam kitab “بداية المجتهد”, beliau berkata:

اتفق الجمهور على منع قراءة القرآن في الركوع والسجود لحديث علي في ذلك قال:

نَهَانِي حِبِّي صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، أنْ أقْرَأَ رَاكِعًا، أوْ سَاجِدًا

قال الطبري: وهو حديث صحيح، وبه أخذ فقهاء الأمصار. وصار قوم من التابعين إلى جواز ذلك، وهو مذهب البخاري، لأنه لم يصح الحديث عنده. والله أعلم

Artinya: Mayoritas para ulama sepakat bahwa dilarang membaca Al-Qur’an ketika ruku’ dan sujud, berdasarkan hadits Ali tentang hal itu, beliau SAW bersabda:

نَهَانِي حِبِّي صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، أنْ أقْرَأَ رَاكِعًا، أوْ سَاجِدًا

"Kekasihku SAW melarangku membaca (al-Quran) ruku' atau sujud" [HR. Muslim no.480]

Ath-Thabari berkata: Ini adalah hadits shahih, dan para ahli fiqih di seluruh pelosok negeri mengamlkannya.

Namun ada satu kaum dari kalangan para tabi’iin yang membolehkan baca al-Quran ketika ruku dan sujud. Dan ini adalah MADZHAB IMAM AL-BUKHORI, alasannya karena hadits larangan baca al-Quran ketika ruku dan sujud menurutnya tidak shahih “.

(Lihat Kitab “بداية المجتهد” karya Ibnu Rusyd 3/46, di cetak bersama “الهداية في تخريج البداية” karya al-Muhaddits Ahmad al-Ghumaari al-Hasani).

Sementara dalam riwayat lain larangan tsb hanya saat sedang ruku saja:

Dari 'Ali - radhiyallahu anhu- berkata:


عَنْ عَلِيٍّ قَالَ نَهَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْقَسِّيِّ وَالْحَرِيرِ وَخَاتَمِ الذَّهَبِ وَأَنْ أَقْرَأَ وَأَنَا رَاكِعٌ وَقَالَ مَرَّةً أُخْرَى وَأَنْ أَقْرَأَ رَاكِعًا

 "Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam melarangku memakai pakaian sutra, kain sutra, dan cincin emas, serta melarang membaca (Al Qur'an) saat ruku.

Dia berkata lagi: dan beliau melarangku membaca (Al Qur'an) saat ruku'."

[HR. An-Nasaa'i no. 1040] Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih an-Nasaa'i no. 1040

SAYA KATAKAN (Penulis):

 
Pertama: Hadits Ali dan Ibnu Abbaas tentang larangan baca Al-Quran ketika Ruku dan Sujud, dua-duanya shahih, di riwayatkan imam Muslim, imam Ahmad, Daud, Turmudzi, Nasai dan lain lain.

Kedua: Kalo seandainya benar bahwa hadits larangan tsb lemah, lalu dalil yang di jadikan imam Bukhori itu apa, sehingga beliau membolehkan baca al-quran ketika sujud dan ruku ????

Mungkin dalil beliau itu adalah keumuman dari firman Allah swt tentang bacaan dalam shalat:

 فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ

Artinya: “ karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran “ (QS. Al-Muzammil: akhir ayat)

Dan Sabda Nabi SAW:

إِنَّ هَذِهِ الصَّلَاةَ لَا يَصْلُحُ فِيهَا شَيْءٌ مِنْ كَلَامِ النَّاسِ هَذَا إِنَّمَا هِيَ التَّسْبِيحُ وَالتَّكْبِيرُ وَقِرَاءَةُ الْقُرْآنِ

"Sesungguhnya shalat ini tidak layak ada sesuatu kata-kata orang pun didalamnya, shalat hanyalah tasbih, takbir dan bacaan Al Quran (HR. Muslim).

NOTE:


Dalam pemaparan di atas, ada yg perlu perhatikan, Yaitu sbb:

Pertama:

Antara Imam Bukhori dengan Muslim terjadi perbedaan pendapat tentang keshahihan hadits larangan baca Al-Quran ketika Ruku dan sujud.

Kedua:

Ada riwayat shahih lainnya yg menyatakan bhw yang dilarang baca Quran itu hanya ketika Ruku Saja.

Ketiga:

Imam Bukhori memboleh kan baca al-Quran ketika Ruku dan Sujud TANPA adanya DALIL YG JELAS.

Karena imam Bukhori hanya berdalil dgn mengatakan bhw hadits larangan tersebut Dho'if.

Lalu beliau berdalil dengan mengembalikannya ke hukum asal atau dalil umum. Yaitu menurut madzhab Imam Bukhori bhw dalam shalat secara mutlak boleh baca alquran, dzikir dan Tasbiih.

IMAM MUSLIM


Adapun Imam Muslim sendiri ; maka beliau berkata di muqoddimah Shahih Muslim:

اعلم وفقك الله أن الواجب على كل أحد عرف التمييز بين صحيح الروايات وسقيمها وثقات الناقلين لها من المتهمين: أن لا يروي منها إلا ما عرف صحة مخارجه والستارة في ناقليه، وأن يتقي منها ما كان منها عن أهل التهم والمعاندين من أهل البدع

" Ketahuilah - semoga Allah memberi Anda taufiq - bahwa wajib atas setiap orang untuk mengetahui perbedaan antara riwayat-riwayat yang shahih dan yang tidak shahih, dan mengetahui para perawi yang dapat dipercaya dari para perawi yang tertuduh tidak dipercaya.

Agar masing-masing orang tidak meriwayatkan darinya kecuali apa yang diketahui keshahihan sumbernya dan tabir tentang kondisi para perawinya.

Dan agar berjaga-jaga darinya jangan sampai mengambil hadits dari orang-orang yang tertuduh dan orang-orang keras kepala dari kalangan ahli bid'ah". [Selesai]

Dari perkataan beliau ini bisa di fahami: Bahwa beliau sangat mencela peperawi yang sengaja menebarkan hadits dha’if, terlebih kepada para orang awam. Beliau mewajibkan periwayatan dari para tsiqoot yang terkenal kejujuran dan amanahnya, sehingga para peperawi harus berhati-hati dari riwayat ahli bid’ah dan tidak meriwayatkan kecuali shohih saja.

Imam Muslim sangat berpegang teguh dengan hadits yang beliau riwayatkan dalam shahihnya, yaitu hadits:

مَنْ حَدَّثَ عَنِّي بِحَدِيْثٍ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الكَاذِبِيْنَ

“Barang siapa menceritakan suatu hadits tentangku yang ia anggap bahwa (hadits) itu suatu kedustaan maka ia termasuk salah satu dari pada pendusta”. (HR. Muslim di Muqoddimah Shahih Muslim 1/8)

IBNU HAZEM ADZ-DZOOHIRI


Al-Qosimi menukilkan penuturan Ibnu Hazm dari kitab “الملل والنحل” sebagai berikut:

مَا نَقَلَهُ أَهْلُ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ أَوْ كَافَّةٌ عَنْ كَافَّةٍ أَوْ ثِقَةٌ عَنْ ثِقَةٍ حَتَّى يَبْلُغَ اِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه و سلم: إِلاَّ أَنَّ فِى الطَّرِيْقِ رَجُلاً مَجْرُوْحًا بِكِذْبٍ اَوْ غَفْلَةٍ اَوْ مَجْهُوْلِ الحَالِ. فَهَذَا يَقُوْلُ بِهِ بَعْضُ المُسْلِمِيْنَ وَلاَ يَحِلُّ عِنْدَنَا القَوْلُ بِهِ وَلاَ تَصْدِيْقُهُ وَلاَ الأَخْذُ بِشَيْئٍ مِنْهُ

”Apa-apa yang dinukil oleh penduduk timur dan barat atau keseluruhan mereka, atau seorang tsiqot dari tsiqot yang lain hingga sampai (berakhir) pada Nabi saw. Kecuali jika dalam sanadnya (ada) seorang perawi yang tercela karena kedustaan, kelalaian, atau tidak diketahui keadaanya. Maka ini diperbolehkan berpendapat dengannya oleh sebagain muslimin, sedangkan menurut kami tidak halal berpendapat dengannya (hadits yang ada perawi tercelanya), tidak halal membenarkannya, dan tidak pula pengambilan sedikitpun darinya.”
(Baca: Al Qosimi, Qowaidut Tahdits, hlm 113)

Maksudnya ; Ibnu Hazm menyatakan bahwa sebagian muslimin membolehkan pengamalan hadits yang dinukil oleh para perawi tsiqot atau seorang perawi tsiqot dan seterusnya hingga berakhir pada Nabi SAW, selagi hadits itu tidak terdapat di dalamnya perawi pendusta, lalai, atau tidak diketahui kondisinya.

Menurut beliau: “ Bila memang hadits itu dha’if maka tidak boleh diamalkan secara mutlak”.

Berkata Asy-Syaikh Al-Muhaddits Ahmad Syakir –رحمه الله-:

“…Bahwasanya tidak ada perbedaan antara masalah ahkam (hukum-hukum) fadhoilul ‘amal dan yang lainnya tentang tidak bolehnya mengambil hadits dhoif sebagai pegangan, bahkan seorang tidak boleh berhujjah kecuali dari khabar yang datangnya dari Rasulullah SAW berupa hadits shohih atau hasan”.

Dan perlu diingat bahwa hadits-hadits yang shohih sangatlah banyak dan sudah cukup untuk mengamalkan Ad-Dien ini dan kita tidak membutuhkan lagi hadits yang lemah.

Sangat benar perkataan Imam Abdullah bin Mubarak –رحمه الله-: “Pada hadits shohih terdapat kesibukan dari (mengamalkan) hadits yang lemah”
 

DALIL-DALIL YANG DI JADIKAN HUJJAH BAGI PENDAPAT KE TIGA:


Pertama:


Dari Abu Hurairah RA dia berkata: "Rasulullah SAW bersabda::

مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ

"Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari neraka." (HR. Bukhori no.3202 dan Muslim no. 4)

Telah berkata ibnu Hibban dalam Muqaddimah kitab shohihnya pasal “Wajibnya masuk neraka seseorang yang menisbatkan sesuatu (perkataan maupun perbuatan) kepada Al Musthofa SAW padahal orang tersebut tidak mengetahui keshohihan hadits tersebut” kemudian beliau (Ibnu Hibban) mengutip dua hadits yang menunjukkan kebenaran perkataannya:

Pertama: Dari Abi Hurairah RA, bersabda Rasulullah SAW:

مَنْ قَالَ عَلَيَّ مَالَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار.

“Barangsiapa yang berkata atas (nama) ku apa yang aku tidak katakan, maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di Neraka”.

[HR. Al-Haakim no. 348 dan Ibnu Hibban. Di Hasankan oleh al-Albaani dalam ash-Shahihah no. 1753].

Hadits ini di riwayatkan pula oleh Imam Bukhori no. 109 dari Salamah RA dengan lafadz:

" مَنْ يَقُلْ عَلَيَّ مَالَمْ أَقُلْ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّار ".

“Barangsiapa yang berkata atas (nama) ku apa yang aku tidak katakan, maka hendaknya dia menempati tempat duduknya di Neraka”

Kedua: Dari al-Mughiroh bin Syu’bah, bahwa Nabi SAW bersabda:

"مَن حَدَّثَ بحديثٍ، وهو يَرى أنَّه كَذِبٌ؛ فهو أحَدُ الكاذِبَيْنِ "، وقال عبدُ الرَّحمنِ: "فهو أحَدُ الكَذَّابينَ".

“Barangsiapa meriwayatkan hadits dariku yang dia tahu bahwa itu dusta, maka dia adalah salah satu pembohong”.

Dari keterangan di atas: maka seharusnya seseorang yang hendak menyebarkan hadits-hadits Nabi SAW, meneliti terlebih dahulu akan keshohihannya, karena jika tidak maka dikhawatirkan dia itu termasuk orang-orang yang berdusta atas nama Rasulullah SAW.

(HR. Muslim di Muqoddimah Shahih Muslim 1/8)

Selain hadits-hadits diatas Nabi SAW juga telah bersabda:

إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“"Sesungguhnya berdusta atas (nama) diri ku tidak sama dengan orang yang berdusta kepada orang lain. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia bersiap-siap (mendapat) tempat duduknya di neraka”(HR. Bukhari no. 1209 dan Muslim no. 4 & 5)

PERKATAAN ABU DAUD TENTANG PENGUASAAN HADITS-HADITS NABI SAW:


imam Abu Daud berkata:

وَيَكْفِي الإِنْسَانَ لِدِينِهِ مِنْ ذَلِكَ أَرْبَعَةُ أَحَادِيثَ:
أَحَدُهَا: قَوْلُهُ عَلَيْهِ السَّلامُ «الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ».
وَالثَّانِي: قَوْلُهُ «مِنْ حُسْنِ إِسْلامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لا يَعْنِيهِ».
وَالثَّالِثُ: قَوْلُهُ «لا يَكُونُ الْمُؤْمِنُ مُؤْمِنًا حَتَّى يَرْضَى لأخيه ما يرضاه لِنَفْسِهِ».
وَالرَّابِعُ: قَوْلُهُ « إنَّ الحلالَ بيِّنٌ وإنَّ الحرامَ بيِّنٌ وبينهما أمورٌ مُشتبِهاتٌ لا يعلمهنَّ كثيرٌ من الناس فمنِ اتَّقى الشُّبُهاتِ استبرأ لدِينِه وعِرضِه، ومن وقع في الشُّبهاتِ وقع في الحرامِ، كالراعي يرعى حول الحِمى يوشكُ أن يرتعَ فيه، ألا وإنَّ لكلِّ ملكٍ حمًى، ألا وإنَّ حمى اللهِ محارمُه، ألا وإنَّ في الجسدِ مُضغةً إذا صلُحتْ صلُح الجسدُ كلُّه وإذا فسدتْ فسد الجسدُ كلُّه ألا وهي القلبُ ».


Empat buah hadis saja dari kitab ini sudah cukup menjadi pegangan bagi keberagaman tiap orang.'' Keempat hadis yang disebutkannya itu adalah:

Pertama, hadits tentang niat:

''Sesungguhnya, segala amal itu tergantung pada niatnya...''

Kedua, hadits:

''Termasuk, kebaikan Islam seseorang ialah meninggalkan apa yg tidak berguna baginya.''

Ketiga, hadits:

''Tidaklah seseorang beriman menjadi Mukmin sejati sebelum ia merelakan untuk saudaranya apa-apa yang ia rela untuk dirinya.''

Dan keempat, hadits:

''Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun telah jelas pula. Di antara keduanya terdapat hal-hal syubhat yg tidak diketahui oleh banyak orang. Barang siapa menghindari syubhat, ia telah membersihkan agama dan kehormatan dirinya.

Barang siapa terjerumus ke dalam syubhat, ia telah terjerumus ke dalam perbuatan haram ibarat penggembala yang menggembalakan ternaknya di dekat tempat terlarang. Ketahuilah sesungguhnya tiap penguasa itu mempunyai larangan.

Ketahuilah sesungguhnya larangan Allah adalah segala yang diharamkan-Nya. Ingatlah di dalam tubuh ini terdapat sepotong daging. Jika ia baik, baik pulalah semua tubuh. Jika rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ingatlah, ia itu hati.''

[Lihat: Ma'aalim as-Sunan 4/365 karya al-Khoth-thoobi]


BERSAMBUNG......

Posting Komentar

0 Komentar