BENARKAH WAKTU IMSAK PUASA SEBELUM MENDEKATI WAKTU FAJAR ITU BID’AH MUNKAROH
DAN LAGI-LAGI DA’I DARI KELOMPOK ITU MENGATAKAN : BAHWA IMSAK ADALAH BID’AH MUNKAROH MADE IN INDONESIA
*****
Disusun oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
====
====
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَىٰ رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ
----
PENDAHULUAN
IMSAK adalah batas awal waktu menahan diri dari larangan ketika berpuasa.
Ada sebagian para syeikh di timur tengah yang mengatakan dalam ceramahnya bahwa bahwa waktu Imsak sebelum mendekati waktu Fajar adalah Bid’ah Mungkaroh. Kemudian pernyataan ini diikuti oleh sebagian para da'i tanah air yang menisbatkan dirinya pada kelompok manhaj tertentu . Bahkan salah satu dari mereka mengatakan dalam ceramahnya :
"Imsak Sebelum Shubuh adalah Bid'ah Made In Indonesia".
Da’i ini tidak pernah berfikir dan memperhitungkan akan dampak negatifnya terhadap umat dari kata-kata celaannya. Dan itu sering ia keluarkan dari mulutnya di ceramah-ceramah materi lainnya . Dengan bangganya ia sebarkan ceramahnya itu di Youtube dan Medsos.
Padahal imsak sebelum mendekati fajar ini sudah lama diamalkan, bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa pengamalannya itu sudah ada semenjak zaman para sahabat RA dan tabi’iin, lalu diamalkan oleh banyak kaum Muslimin di hampir seluruh belahan dunia, termasuk di negara-negara Teluk, di negara-negara Afrika seperti Mesir, di Eropa dan negara-negara Asia seperti Indonesia.
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG WAKTU IMSAK PUASA :
Dan perbedaan pendapat para ulama tentang awal mulai imsak puasa Ramadhan ini sudah lama terjadi.
Al-Imam Ibnu Rusyd (lahir: 520 H – wafat: 595 H) menyebutkan dalam kitabnya "بداية المجتهد ونهاية المقتصد "(lihat: "الْهِدَايَةُ فِي تَخْرِيجِ أَحَادِيثِ الْبِدَايَةِ." 5/139-143) ada 3 pendapat dalam masalah ini:
-----
PENDAPAT PERTAMA :
Jumhur ulama berpendapat bahwa dimulainya imsak semenjak munculnya fajar kedua yang bergaris putih.
Kemudian pendapat pertama ini terpecah menjadi dua pendapat tentang orang yang tidak melihat fajar, padahal sebenarnya fajar sudah terbit, namun dia masih tetap makan dan minum:
Pertama: Tidak sah puasanya dan wajib mengqodlo.
Kedua: Sah puasanya dan tidak wajib mengqodlo.
-----
PENDAPAT KEDUA :
Sekitar bacaan 50 ayat al-Quran Sebelum waktu shubuh (sebelum Fajar shoodiq terbit).
-----
PENDAPAT KETIGA :
Imsak di mulai sejak munculnya Cahaya Fajar merah di langit setelah datangnya cahaya fajar putih bersamaan tampaknya dengan mega merah, yaitu ketika mendekati saat matahari terbit. Ini diriwayatkan dari Hudzaifah, lbnu Mas'ud dan lainnya.
Di sini penulis hanya akan membahas tentang pendapat kedua, yaitu yang menyatakan bahwa mulai waktu Imsak itu Sebelum waktu shubuh Sekitar bacaan 50 ayat al-Quran.
*****
DALIL PENDAPAT KETIGA
(Mulai Imsak 50 Ayat Sebelum Fajar)
Adalah sebagai berikut :
-----
Dalil Pertama:
Firman Allah SWT:
وَكُلُوْا وَاشْرَبُوْا حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْاَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْاَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِۖ ثُمَّ اَتِمُّوا الصِّيَامَ اِلَى الَّيْلِۚ وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ
Makan dan minumlah hingga jelas bagi kalian (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam. Tetapi jangan kamu campuri mereka, ketika kalian beriktikaf dalam masjid. Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya (QS. Al-Baqarah: 187).
Firman Allah SWT: "تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ" artinya: Itulah batasan-batasan Allah, maka janganlah kalian mendekatinya". Ini mirip dengan Firman-Nya:
وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلًا
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk". (QS: Al-Isra: 32)
Hal-hal yang bisa mendekatkan kepada perbuatan zina, itu di haramkan. Begitu juga dengan puasa, maka hal-hal yang bisa mendekatkan diri pada batal dan tidak sahnya, maka harus dijauhi.
-----
Dalil Kedua:
Imam Bukhari no. (1821) meriwayatkan dari Anas dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu dia berkata,
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
"Kami sahur bersama Rasulullah ﷺ, kemudian beliau bangkit untuk shalat."
Aku berkata, "Berapa lama perkiraan waktu antara adzan dan sahurnya". Beliau berkata, "sekedar (membaca) 50 ayat."
Dan Imam Bukhori sendiri menulis sebuah BAB khusus dalam Shahih nya dengan judul:
بَابُ قَدْرِ كَمْ بَيْنَ السُّحُورِ وَصَلَاةِ الْفَجْرِ
Lalu Imam Bukhori menyebutkan hadits Anas diatas, yaitu sbb:
1821: حَدَّثَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ، عَنْ أَنَسٍ، عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: "تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلَاةِ، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسُّحُورِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً".
No. 1821. Muslim bin Ibrahim memberi tahu kami bahwa Hisham Qatada memberi tahu kami dari Anas dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu dia berkata:.... dst
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya "فتح الباري" 4/164 ketika mensyarahi hadits Anas ini, beliau berkata:
"قَوْلُهُ: (بَابُ قَدْرِ كَمْ بَيْنَ السُّحُورِ وَصَلَاةِ الْفَجْرِ) أَيّ: انْتِهَاءُ السُّحُورِ وَابْتِدَاءُ الصَّلَاةِ؛ لِأَنَّ الْمُرَادَ تَقْدِيرُ الزَّمَانِ الَّذِي تَرُكَ فِيهِ الْأَكْلُ، وَالْمُرَادُ بِفِعْلِ الصَّلَاةِ أَوَّلُ الشُّرُوعِ فِيهَا قَالَهُ الزَّيْنُ بْنُ الْمُنِيرِ".
"Perkataan Imam Bukhory: (Bab: seberapa lama waktu antara Sahur dan sholat Subuh), Yakni: berakhirnya waktu sahur dan awal mulainya waktu shalat (Shubuh); Karena yang dimaksud adalah perkiraaan waktu yang tersisa meninggalkan makan sahur. Dan yang dimaksud dengan mengerjakan shalat adalah permulaan masuk waktu sholat, seperti yang dikemukakan oleh Al-Zein bin Al-Muniir".
Lalu al-Hafidz berkata:
قَوْلُهُ: (قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً) أَيّ: مُتَوَسِّطَةٌ لَا طَوِيلَةٌ وَلَا قَصِيرَةٌ، لَا سَرِيعَةٌ وَلَا بَطِيئَةٌ...
وَقَالَ الْقُرْطُبِيُّ: فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الْفَرَاغَ مِنَ السُّحُورِ كَانَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، فَهُوَ مُعَارِضٌ لِقَوْلِ حُذَيْفَةَ "هُوَ النَّهَارُ إِلَّا أَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ". انْتَهَى.
وَالْجَوَابُ أَنْ لَا مُعَارِضَةَ بَلْ تَحْمِلٌ عَلَى اخْتِلَافِ الْحَالِ، فَلَيْسَ فِي رِوَايَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مَا يُشْعِرُ بِالْمُوَاظِبَةِ، فَتَكُونُ قِصَّةُ حُذَيْفَةَ سَابِقَةً.
Kata-kata: (Dia berkata: perkiraan lima puluh ayat) yaitu: sedang, tidak panjang, tidak pendek, tidak cepat dan tidak lambat....
Al-Qurthubi berkata: "Ini menandakan bahwa selesainya makan sahur sebelum fajar terbit. Maka ini bertentangan dengan perkataan Hudzaifah, "Itu sudah siang akan tetapi matahari belum terbit."(selesai perktaan al-Qurthubi).
(Ibnu Hajar berkata) Jawabannya adalah: tidak ada pertentangan, tetapi masing-masing diarahkan sesuai dengan keadaan yang berbeda, karena dalam salah satu dari dua riwayat tsb tidak menunjukkan bahwa amalan tsb dilakukan secara kesinambungan atau terus menerus. Maka kisah Hudzaifah itu terjadi lebih dulu. (Selesai kutipan dari al-Hafidz Ibnu Hajar)
Baca pula: "عمدة القارئ" karya al-‘Aini 10/299.
Penulisan Imam Bukhori Bab di atas mengisyaratkan bahwa dirinya termasuk yang berpendapat waktu mulai Imsak itu beberapa saat sebelum Fajar terbit.
Dalil yang di ambil dari hadits diatas bahwa Hadits tsb menunjukkan bahwa waktu sahur Rasulullah ﷺ adalah beberapa saat sebelum adzan, sekitar bacaan al-Qur’an 50 ayat.
Akan tetapi dapat dibantah: bahwa hadits ini bukan menyatakan bahwa Nabi ﷺ memulai puasa dan menahan diri tidak makan dan minum beberapa saat sebelum fajar.
Waktu sahur "Berbeda dengan "waktu imsak" (menahan tidak makan dan minum). Sebagaimana anda mengatakan, ‘Aku sahur jam dua sebelum fajar, itu artinya bukan anda memulai puasa dari waktu tersebut, tapi hanya mengabarkan tentang waktu sahur tersebut.
Dalam kitab "شرح أحاديث عمدة الأحكام " karya Abdurrahman bin Abdullah as-Suhaim hadits ini di gabungkan (الجمع) dengan hadits Adzan Bilal waktu shubuh, yaitu sbb:
وَيُحْمَلُ الْأَذَانُ الْوَارِدُ فِي حَدِيثِ الْبَابِ فِي قَوْلِهِ: "كَمْ كَانَ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالسُّحُورِ؟" عَلَى الْإِقَامَةِ؛ لِأَنَّ الْإِقَامَةَ يُطْلَقُ عَلَيْهَا أَذَانٌ، كَمَا فِي قَوْلِهِ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ –: "بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ صَلَاةٌ". مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَالْمَقْصُودُ بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ.
"Adzan yang tersebut dalam hadits BAB ini, yaitu perkataannya: "Berapa lama waktu antara adzan dan sahur? "adzan di sini di artikan "Iqomat"; Karena iqamah juga disebut adzan, seperti dalam sabda beliau ﷺ: "Di antara dua adzan itu ada sholat". Hadits Muttafqun alaihi. Yang dimaksud adalah antara adzan dan iqomat". (Selesai)
-----
Dalil Ketiga:
Dari Abu ‘Abdillah Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"إِنَّ الحَلاَلَ بَيِّنٌ وَإِنَّ الحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا أُمُوْرٌ مُشْتَبِهَاتٌ لاَ يَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاس، فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرأَ لِدِيْنِهِ وعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِيْ الحَرَامِ كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيْهِ. أَلاَ وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمَىً. أَلا وَإِنَّ حِمَى اللهِ مَحَارِمُهُ ".
"Sesungguhnya perkara yang halal itu telah jelas dan perkara yang haram itu telah jelas. Dan di antara keduanya terdapat perkara-perkara yang (samar), tidak diketahui oleh mayoritas manusia.
Barang siapa yang menjaga diri dari perkara-perkara samar tersebut, maka dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya.
Barang siapa terjatuh ke dalam perkara syubhat, maka dia telah terjatuh kepada perkara haram, seperti seorang penggembala yang menggembalakan ternaknya di sekitar daerah larangan (hima), dikhawatirkan dia akan masuk ke dalamnya.
Ketahuilah, bahwa setiap raja itu mempunyai hima, ketahuilah bahwa hima Allah SWT adalah segala yang Allah SWT haramkan.
(HR. Imam al Bukhari no. 52, 2051 dan Muslim no. 1599).
-----
Dalil Keempat:
Dari Al-Hasan bin ‘Ali bin Abi Thalib, ia berkata, "Aku hafal (sebuah hadits) dari Rasulullah ﷺ:
دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيْبُكَ
‘Tinggalkanlah yang meragukanmu lalu ambillah yang tidak meragukanmu’."
Al-Imam Ahmad (1/201), an-Nasa’i (no. 5615), at-Tirmidzi no. 2637, dan ia nyatakan sahih.
Hadits ini sahih, disahihkan oleh para imam ahli hadits, termasuk di antaranya asy-Syaikh Muqbil dalam kitabnya "الصحيح المسند مما ليس في الصحيحين" (1/222—224)
===
KATA-KATA INDAH SEBAGIAN PARA ULAMA DALAM MASALAH INI :
Sebagian ungkapan para ulama dalam menanggapi perbedaan pendapat tentang waktu Imsak:
PERKATAAN IBNU RUSYD (wafat 595 H):
Betapa indahnya perkataan Ibnu Rusyd salah seorang ulama besar Madzhab Maliki, penulis kitab Fiqih "بداية المجتهد ونهاية المقتصد", kitab ini menjadi kuri kulum di UIM dan perguruan tinggi lainnya di Timur Tengah. Beliau berkata tentang perbedaan pendapat ini:
وَالْمَشْهُورُ عَنْ مَالِكٍ وَعَلَيْهِ الْجُمْهُورُ أَنَّ الْأَكْلَ يَجُوزُ أَنْ يَتَصَلَّ بِالطُّلُوعِ وَقِيلَ: بَلْ يَجِبُ الْإِمْسَاكُ قَبْلَ الطُّلُوعِ. وَالْحُجَّةُ لِلْقَوْلِ الْأَوَّلِ مَا فِي كِتَابِ الْبُخَارِيِّ - فِي بَعْضِ رِوَايَاتِهِ - قَالَ النَّبِيُّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-: "وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُنَادِيَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَإِنَّهُ لَا يُنَادِي حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ" وَهُوَ نَصٌّ فِي مَوْضِعِ الْخِلَافِ أَوْ كَالنَّصِّ وَالْمُوَافَقُ لِظَاهِرِ قَوْلِهِ تَعَالَى: {وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ}- الْآيَةُ.
"وَمَنْ ذَهَبَ إِلَى أَنَّهُ يَجِبُ الْإِمْسَاكُ قَبْلَ الْفَجْرِ فَجَرْيًا عَلَى الِاحْتِيَاطِ وَسَدًّا لِلذَّرِيعَةِ وَهُوَ أَوْرَعُ الْقَوْلَيْنِ ، وَالْأَوَّلُ أَقْيَسُ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ".
Artinya: "Dan yang masyhur dari Imam Malik sesuai dengan pendapat jumhur, batasnya adalah boleh makan hingga bersentuhan dengan eksistensi terbitnya fajar, bukan hanya sebatas tampaknya fajar, bahkan sebagian ulama membatasi sebelum terbit fajar.
Dasar pendapat Malik dan jumhur adalah hadits dalam kitab Bukhari, saya kira dalam sebagian riwayatnya, Nabi ﷺ bersabda:
وَكلُواْ واشربُواْ حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أمِّ مَكتُوم فإنَّهُ لا يُنَادِي حتَّى يَطْلُعَ الفَجْرْ
"Makan dan minumlah hingga ibnu Ummi Maktuum mengumandangkan adzan, sesungguhnya dia tidak menyeru hingga terbit fajar". (HR. Bukhori no. 617, 622 dan 2656).
Ini adalah Nash yang memutuskan perselisihan atau nash hadits yang sesuai dengan makna dzohir Firman Allah SWT: "كلُواْ واشربُواْ".... dst.
Mereka yang berpendapat : batas makan sahur itu (beberapa saat) sebelum terbit fajar, mereka berjalan diatas tindakan hati-hati dan preventif (jaga-jaga).
Dan INI ADALAH PENDAPAT YANG PALING WARO’ (paling extra hati-hati).
Adapun pendapat yang pertama (Imam Malik dan jumhur yaitu hingga terbit fajar), ini lebih analogis. Wallohu a'lam. (selesai dari Ibnu Rusyd. Lihat: "الْهِدَايَةُ فِي تَخْرِيجِ أَحَادِيثِ الْبِدَايَةِ." 5/143)
----
PERKATAAN AL-IMAM ASY-SYAFI’I (wafat 204 H):
Al-Imam asy-Syafi’i رحمه الله berkata:
وأَسْتَحِبُّ التَّأَنِّيَ بالسَّحُوْرِ مَا لَمْ يَكُنْ فِي وَقْتِ مُقَارِبٍ يُخَافُ أن يَّكوْنَ الفَجْرُ طَلَعَ ، فَإنِّي أُحِبُّ قَطْعَه فِي ذَلِكَ الوَقْتِ
"Aku menganggap mustahabb perbuatan teliti dan tidak tergesa-gesa dalam bersahur, selagi tidak sampai pada waktu yang mendekati (fajar/subuh) yang mana dikhawatirkan fajar terbit.
Aku menyukai untuk menghentikan sahur pada saat itu (sesaat sebelum mendekati waktu subuh)". (Baca: al-Umm 2/105 cetakan Dar al Fikr, tahun 1410 H)
====
FATWA KONTEMPORER:
Ahmad bin Abdul’aziz Al-Haddaad, Ketua Mufti, Direktur Departemen Iftaa di Dubai
Sumber: Blog "الإمارات اليوم". 13 Agustus 2010, Dengan Judul:
WAKTU IMSAK SEBELUM ADZAN
وَقْتُ الْإِمْسَاكِ عَنْ الطَّعَامِ قَبْلَ الْآذَانِ.
PERTANYAAN :
السَّلَامُ عَلَيْكُمُ:
لَوْ سَمِحْتَ كُنْتُ أُرِيدُ أَنْ أَسْأَلَ عَنْ وَقْتِ الْإِمْسَاكِ عَنْ الطَّعَامِ قَبْلَ الْأَذَانِ. يَقُولُونَ أَنَّ هُنَاكَ وَقْتًا يَجِبُ أَنْ نَكُونَ صَائِمِينَ فِيهِ قَبْلَ أَذَانِ الْفَجْرِ وَالَّذِي يُدْعَى بِالْإِمْسَاكِيَّةِ، قَبْلَ ١٠ دَقَائِقَ مِنْ أَذَانِ الْفَجْرِ. هَلْ هُوَ فَرْضٌ أَمْ سُنَّةٌ؟
Assalaamu’alaikum.
Jika anda berkenan, saya ingin menanyakan tentang waktu untuk Imsak (menahan diri) dari makan sebelum adzan ! Mereka mengatakan di sana ada waktu, di mana kita harus berpuasa sebelum adzan Subuh, yang disebut Imsakiyah, 10 menit sebelum adzan Subuh. Apakah itu wajib atau sunnah?
الجَوَابُ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ:
نَعَمْ يُسَنُّ الْإِمْسَاكُ قَبْلَ أَذَانِ الْفَجْرِ بِنَحْوِ عَشْرِ دَقَائِقَ اِتِّبَاعًا لِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَدْ كَانَ بَيْنَ أَذَانِهِ وَسَحُورِهِ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً، وَذَلِكَ حَتَّى لَا يَقَعَ فِي شَكٍّ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ، وَهُوَ مِنَ الِاحْتِيَاطِ وَلَيْسَ مِنَ الْعِزَائِمِ.
وَلَوْ أَنَّ الْمَرْءَ أَكَلَ حَتَّى قَبْلَ أَذَانِ الْفَجْرِ لَصَحَّ وَجَازَ لَهُ ذَلِكَ بِشَرْطِ عَدَمِ التَّمَادِي فِي الْأَكْلِ بَعْدَ سَمَاعِ الْأَذَانِ، فَقَدْ قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ بِلَالًا يُؤَذِّنُ بِلَيْلًا - يَعْنِي الْأَذَانَ الْأَوَّلَ الَّذِي يَكُونُ لِيَسْتَرِيحَ الْقَائِمُ وَيَقُومُ النَّائِمُ - فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ" أَيْ الْأَذَانَ الثَّانِيَ الَّذِي يَكُونُ عِنْدَ دُخُولِ الْفَجْرِ الصَّادِقِ وَهُوَ الْوَقْتُ الَّذِي تَصْحَ فِيهِ صَلَاةُ الْفَجْرِ.
وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ
الدُّكْتُورُ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَالْعَزِيزِ الْحَدَّادُ كَبِيرُ مُفْتِينَ مُدِيرُ إِدَارَةِ الْإِفْتَاءِ فِي دُبَيِّ
JAWABNYA, wabillaahi at-taufiiq:
Ya, di Sunnahkan untuk Imsak sekitar sepuluh menit sebelum adzan Subuh, mengikuti Sunnah Rasulullah ﷺ, yang mana jarak antara adzan dan sahurnya sekitar lima puluh ayat. Itu agar dia tidak ragu-ragu tentang terbitnya fajar, dan itu adalah tindakan kehati-hatian tapi bukan keharusan.
Jika seseorang makan bahkan sebelum adzan Subuh, maka sah dan dibolehkan melakukannya dengan syarat tidak kelamaan makannya setelah mendengar adzan.
Karena Beliau ﷺ bersabda: "Bilal mengumandangkan adzan di malam hari - yang berarti adzan pertama, yang agar orang yang sedang sholat qiyamullail segera beristirahat dan yang sedang tidur agar bangun - maka makan dan minumlah kalian sampai Ibn Umm Maktoum mengumandangkan adzan. "
Artinya, adzan kedua yang terjadi di awal munculnya fajar shodiq, yaitu saat sahnya untuk shalat Subuh.
Wallaahu a’lam.
FATWA LAIN:
Fatwa "islamweb.net" No. 30009 (30/03/2003 M) dengan judul:
IMSAK SEBELUM ADZAN FAJAR, BUKAN TERMASUK BID’AH
الإمْسَاكُ قَبْلَ أَذَانِ الْفَجْرِ لَا يُعَدُّ بِدْعَةً.
Di sebutkan di dalamnya:
وَأَمَّا كَوْنُ الْإِمْسَاكِ قَبْلَ الْأَذَانِ بِدْعَةً فَلَيْسَ ذَلِكَ بِصَحِيحٍ لِأَنَّ الْأَمْرَ عَلَى الْإِبَاحَةِ وَلَيْسَ عَلَى الْوُجُوبِ أَنْ يَأْكُلَ وَيَشْرَبَ حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ.
وَقَدْ كَانَ الصَّحَابَةُ مِنْهُمْ مَنْ يَمْسَكُ قَبْلَ الْفَجْرِ وَقَدْ جَاءَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ أَنَّهُمْ كَانُوا يَتَسَحَّرُونَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَقُومُونَ لِلصَّلَاةِ فُسِئِلَ كَمْ كَانَ بَيْنَ ذَلِكَ فَقَالَ: (مَقْدَارُ خَمْسِينَ آيَةً).
Adapun Imsak sebelum adzan dikatakan Bid’ah, itu tidak benar, karena hal itu adalah perkara yang mubah, dan tidak ada kewajiba makan dan minum sampai fajar terbit.
Dulu juga ada sebagian para sahabat RA yang melakukan Imsak sebelum fajar, dan ada hadits dalam Sahih al-Bukhari dari Zaid bin Thabit:
أَنَّهُمْ كَانُوا يَتَسَحَّرُونَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَقُومُونَ لِلصَّلَاةِ فُسِئِلَ كَمْ كَانَ بَيْنَ ذَلِكَ فَقَالَ: (مَقْدَارُ خَمْسِينَ آيَةً).
bahwa mereka biasa makan sahur dengan Rasulullah, semoga Tuhan memberkatinya dan memberinya damai, dan kemudian berdiri untuk berdoa". (Kutipan Selesai)
Ada Sebagian Para syeikh di timur tengah dan beberapa para ustadz di Tanah Air yang mengklaim bahwa Imsak sebelum Fajar itu:
"BID’AH MUNGKAROH " بِدْعَةٌ مُنْكَرَةٌ"
Mereka rata-rata mengutip perkataan Bid’ah Munkaroh ini dari perkataan al-Haafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya "Fathul Bari Syarah Shahih Bukhori" di awal Bab " تَعْجِيلُ الْإِفْطَارِ".
====
BENARKAH AL-HAFIDZ IBNU HAJAR MENGATAKANNYA: "BID’AH MUNKAROH"?
Sebagian mereka yang mengklaim Bid'ah Imsak Puasa, mereka mengutip perkataan Ibnu Hajar . Diantaranya adalah al-Ustadz al-Faadhil al-Haafidz Berik Said hafidzohullah dalam tulisannya yang berjudul:
"Benarkah Imsak Adalah Batas Akhir Waktu Sahur ?"
www.dakwahmanhajsalaf.com, Juni 08, 2019.
Beliau menyebutkan di dalamnya:
"Izinkan ana mengutipkan perkataan pakar hadits dan fiqih terbesar Madzhab Syafi'i, yakni Ibnu Hajar Al-Ashqalani rahimahullah, yang juga mengingkari masalah batas imsak ini, yang rupanya masalah ini juga telah muncul di zaman beliau ratusan tahun yang lampau.
Berikut kutipan perkataan beliau:
مِنَ الْبِدْعِ الْمُنْكَرَةِ مَا أَحْدَثَ فِي هَذَا الزَّمَانِ مِنْ إِيقَاعِ الْأَذَانِ الثَّانِي قَبْلَ الْفَجْرِ بِنَحْوِ ثُلُثِ سَاعَةٍ فِي رَمَضَانَ وَإِطْفَاءِ الْمَصَابِيحِ التِّي جَعَلَتْ عَلَامَةً لِتَحْرِيمِ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ عَلَى مَنْ يُرِيدُ الصِّيَامَ.
Artinya: "Termasuk bid'ah yang munkaroh adalah apa yang di ada-adakan di zaman ini (zaman hidupnya beliau ratusan tahun lampau -pent), yakni dikumandangkannya adzan yang kedua sebelum subuh yang waktunya sekitar 15 menit pada bulan Ramadhan serta memadamkan lampu-lampu sebagai pertanda telah datangnya waktu haram untuk makan dan minum (sahur) bagi yang akan berpuasa esok harinya". (Fathul Baari 4/199)
Perhatikan tokoh terbesar Madzhab Syafi'i ini berpendirian bahwa menganggap waktu imsak sebagai waktu sahur sebagai bid'ah yang munkar". (Selesai kutipan dari al-‘Allaamah Berik Said).
PENULIS COBA JELASKAN (maaf, penulis tidak bermaksud menyalahkan mereka !):
Menurut pemahaman penulis yang awam ini: dari apa yang dikatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar di atas, adalah bukan membid’ahkan imsak makan sahur pada waktu tsb, akan tetapi yang di maksud bid’ah munkaroh di sini adalah "memajukan adzan Shubuh sekitar 1/3 jam (20 menit) sebelum waktunya "sebagai pertanda Imsak.
Oleh karena itu al-Haafidz berkata setelah itu: "Jika sekarang saja waktu sholat shubuh diajukan 1/3 jam sebelum waktunya dengan alasan untuk kehati-hatian waktu sahur, maka bisa jadi suatu saat adzan maghribpun akan di undurkan, dengan alasan untuk memastikan waktu berbuka puasa".
Berikut ini texs lengkap perkataan al-Hafidz Ibnu Hajar:
((تنبيه: مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ مَا أُحْدِثَ فِي هَذَا الزَّمَانِ مِنْ إِيقَاعِ الْأَذَانِ الثَّانِي قَبْلَ الْفَجْرِ بِنَحْوِ ثُلُثِ سَاعَةٍ فِي رَمَضَانَ، وَإِطْفَاءِ الْمَصَابِيحِ الَّتِي جُعِلَتْ عَلَامَةً لِتَحْرِيمِ الْأَكْلِ وَالشُّرْبِ عَلَى مَنْ يُرِيدُ الصِّيَامَ، زَعَمًا مَمَّنْ أَحْدَثَهُ أَنَّهُ لِلاحْتِيَاطِ فِي الْعِبَادَةِ!!، وَلَا يَعْلَمُ بِذَلِكَ إلَّا آحَادُ النَّاسِ، وَقَدْ جَرَّهُمْ ذَلِكَ إلَى أَنَّ صَارُوا لَا يُؤَذِّنُونَ إلَّا بَعْدَ الْغُرُوبِ بِدَرَجَةٍ لِتَمْكِينِ الْوَقْتِ زَعَمُوا، فَأَخْرَوْا الْفِطْرَ وَعَجَّلُوا السُّحُورَ، وَخَالَفُوا السُّنَّةَ، فَلِذَلِكَ قُلَّ عَنْهُمُ الْخَيْرُ وَكَثُرَ فِيهِمُ الشَّرُّ، وَاللَّهُ الْمُسْتَعَانُ)).
"Perhatian: Termasuk bid’ah yang mungkar adalah bid’ah yang diadakan pada masa ini, yakni dengan mengumandangkan adzan kedua di Bulan Romadhon sebelum terbitnya fajar sekitar 20 menit dan memadamkan lentera-lentera yang dijadikan tanda haramnya makan dan minum bagi mereka yang hendak puasa. Orang yang mengada-adakan hal itu menganggapnya sebagai bentuk kehati-hatian dalam pelaksanaan ibadah, dan tidak diketahui yang demikian itu kecuali hanya segelintir orang saja.
Dan Sikap hati-hati yang demikian, juga akan mengantarkan mereka untuk tidak mengumandangkan Adzan kecuali setelah matahari terbenam beberapa saat, mereka mengira bahwa itu untuk lebih memastikan waktu. Akibatnya mereka suka mengakhirkan waktu berbuka puasa, suka menyegerakan waktu sahur, dan suka menyelisihi Sunnah. Oleh sebab itulah mereka sedikit mendapatkan kebaikan, tetapi banyak mendapatkan keburukan". (Lihat: Fathul bari 4/199, Bab: mempercepat buka puasa, syarah hadits No. 1908)
Prof. Dr. Muhammad bin Ibrohim Ash-Shubaihi mengomentari Perkataan Ibnu Hajar:
"Sesungguhnya berdalil dengan perkataan Al-hafidz Ibnu Hajar -rohimahulloh- ini, tidak pas dengan pembahasan kita, karena perkataan beliau ini menyangkut orang yang (sengaja mengumandangkan adzan kedua) lebih cepat dari waktu terbitnya fajar shodiq sekitar 20 menit, dan (pada masalah kita) kecepatan itu tidak ada di kalender Ummul Quro.
Adapun titik khilaf antara kita adalah kapan fajar dianggap telah terbit. Oleh karena itu perkataan Al-Hafidz ini tidak ada hubungannya dengan masalah kita ini, wallohu a’lam". (Kutipan selesai). ("طلوع الفجر الصادق" hal: 121)
Penulis katakan:
Dan sebagai bukti dan penguat bahwa al-Hafidz Ibnu Hajar tidak membid’ahkan Imsak sebelum shubuh, bisa kita baca dalam "فتح الباري" 4/164 dalam Bab:
بَابٌ: قَدْرُ كَمْ بَيْنَ السُّحُورِ وَصَلَاةِ الْفَجْرِ.
"BAB: Berapa lama kadar waktu antara Sahur dan sholat subuh"
Yaitu ketika Beliau mensyarahi hadits Anas dari Zaid bin Tsabit radhiallahu anhu:
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاةِ قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ قَالَ قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً.
"Kami sahur bersama Rasulullah ﷺ, kemudian beliau bangkit untuk shalat." Aku berkata, "Berapa lama antara adzan dan sahurnya," Beliau berkata, "sekedar (membaca) 50 ayat."
Dalam Bab ini Al-Hafidz Ibnu Hajar sama sekali tidak membid’ahkan Imsak sebelum shubuh, dan beliau berkata:
"قَوْلُهُ: (بَابُ قَدْرِ كَمْ بَيْنَ السُّحُورِ وَصَلَاةِ الْفَجْرِ) أَي: انْتِهَاءُ السُّحُورِ وَابْتِدَاءُ الصَّلَاةِ؛ لِأَنَّ الْمُرَادَ تَقْدِيرُ الزَّمَانِ الَّذِي تَرُكَ فِيهِ الْأَكْلُ، وَالْمُرَادُ بِفِعْلِ الصَّلَاةِ أَوَّلَ الشُّرُوعِ فِيهَا قَالَهُ الزَّيْنُ بْنُ الْمُنِيرِ".
"Perkataan Imam Bukhory: (Bab: seberapa lama waktu antara Sahur dan sholat Subuh), Yakni: berakhirnya waktu sahur dan awal mulainya waktu shalat (Shubuh); Karena yang dimaksud adalah perkiraaan waktu yang tersisa meninggalkan makan sahur. Dan yang dimaksud dengan mengerjakan shalat adalah permulaan masuk waktu sholat, seperti yang dikemukakan oleh Al-Zein bin Al-Muniir ".
Lalu al-Hafidz berkata:
قَوْلُهُ: (قَالَ: قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً) أَي: مُتَوَسِّطَةٌ لَا طَوِيلَةٌ وَلَا قَصِيرَةٌ لَا سَرِيعَةٌ وَلَا بَطِيئَةٌ...
وَقَالَ الْقُرْطُبِيُّ: فِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى أَنَّ الْفَرَاغَ مِنَ السُّحُورِ كَانَ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ، فَهُوَ مُعَارِضٌ لِقَوْلِ حُذَيْفَةَ "هُوَ النَّهَارُ إلَّا أَنْ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ". انْتَهَى.
وَالْجَوَابُ أَنَّ لَا مُعَارِضَةً بَلْ تَحْمِلٌ عَلَى اخْتِلَافِ الْحَالِ، فَلَيْسَ فِي رَوَايَةٍ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا مَا يَشْعُرُ بِالْمُوَاظَبَةِ، فَتَكُونُ قِصَّةُ حُذَيْفَةَ سَابِقَةً.
Kata-kata beliau: (Dia berkata: sekitar lima puluh ayat) yaitu: sedang, tidak panjang, tidak pendek, tidak cepat dan tidak lambat....
Al-Qurthubi berkata: Ini menandakan bahwa selesai makan sahur sebelum fajar terbit. Maka ini bertentangan dengan perkataan Hudzaifah, "Itu sudah siang akan tetapi matahari belum terbit."(selesai perktaan al-Qurthubi).
(Ibnu Hajar berkata) Jawabannya adalah: tidak ada pertentangan, tetapi masing-masing diarahkan sesuai dengan keadaan yang berbeda, karena dalam salah satu dari dua riwayat tsb tidak menunjukkan bahwa amalan tsb dilakukan secara kesinambungan atau terus menerus. Maka kisah Hudzaifah itu terjadi lebih dulu". (Selesai kutipan dari al-Hafidz Ibnu Hajar)
Wallahu a’lam.
****
TEXS LENGKAP TENTANG IMSAK DARI KITAB " بَدَايَةُ الْمُجْتَهِدِ وَنِهَايَةُ الْمُقْتَصِدِ":
Berikut ini texs lengkap berbahasa arab berikut terjemahannya tentang perbedaan pendapat tentang Imsak yang di tulis oleh Ibnu Rusyd dalam kitabnya " بَدَايَةُ الْمُجْتَهِدِ وَنِهَايَةُ الْمُقْتَصِدِ":
وأما التي تتعلق بزمان الإمساك: فإنهم اتفقوا على أن آخره غيبوبة الشمس لقوله – تعالى: (ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ) واختلفوا في أوله ، فقال الجمهور: هو طلوع الفجر الثاني المستطير الأبيض لثبوت ذلك عن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - أعني: حده بالمستطير - ولظاهر قوله – تعالى: (حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ) الآية. وشذت فرقة فقالوا: هو الفجر الأحمر الذي يكون بعد الأبيض وهو نظير الشفق الأحمر ، وهو مروي عن حذيفة وابن مسعود.
وسبب هذا الخلاف هو: اختلاف الآثار في ذلك ، واشتراك اسم الفجر - أعني: أنه يقال على الأبيض والأحمر.
وأما الآثار التي احتجوا بها: فمنها حديث ذر عن حذيفة قال: "تسحرت مع النبي - صلى الله عليه وسلم - ولو أشاء أن أقول هو النهار إلا أن الشمس لم تطلع ". وخرج أبو داود عن قيس بن طلق عن أبيه أنه - عليه الصلاة والسلام - قال: "كلوا واشربوا ولا يهيدنكم الساطع المصعد، فكلوا واشربوا حتى يعترض لكم الأحمر ". قال أبو داود: هذا ما تفرد به أهل اليمامة وهذا شذوذ ، فإن قوله – تعالى: (حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ) نص في ذلك أو كالنص.
والذين رأوا أنه الفجر الأبيض المستطير - وهم الجمهور والمعتمد - اختلفوا في الحد المحرم للأكل فقال قوم: هو طلوع الفجر نفسه. وقال قوم: هو تبينه عند الناظر إليه ومن لم يتبينه ، فالأكل مباح له حتى يتبينه وإن كان قد طلع. وفائدة الفرق: أنه إذا انكشف أن ما ظن من أنه لم يطلع كان قد طلع ، فمن كان الحد عنده هو الطلوع نفسه أوجب عليه القضاء ، ومن قال: هو العلم الحاصل به لم يوجب عليه قضاء.
وسبب الاختلاف في ذلك: الاحتمال الذي في قوله – تعالى: (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ) هل الإمساك بالتبيين نفسه أو بالشيء المتبين ؟ لأن العرب تتجوز فتستعمل لاحق الشيء بدل الشيء على وجه الاستعارة فكأنه قال – تعالى: (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ) ؛ لأنه إذا تبين في نفسه تبين لنا ، فإذا إضافة التبيين لنا هي التي أوقعت الخلاف ، لأنه قد يتبين في نفسه ويتميز ولا يتبين لنا ، وظاهر اللفظ يوجب تعلق الإمساك بالعلم ، والقياس يوجب تعلقه بالطلوع نفسه - أعني: قياسا على الغروب وعلى سائر حدود الأوقات الشرعية كالزوال وغيره - ، فإن الاعتبار في جميعها في الشرع هو بالأمر نفسه لا بالعلم المتعلق به.
والمشهور عن مالك وعليه الجمهور أن الأكل يجوز أن يتصل بالطلوع ، وقيل بل يجب الإمساك قبل الطلوع.
والحجة للقول الأول ما في كتاب البخاري أظنه في بعض رواياته ، قال النبي - صلى الله عليه وسلم -: "وكلوا واشربوا حتى ينادي ابن أم مكتوم ، فإنه لا ينادي حتى يطلع الفجر ". وهو نص في موضع الخلاف أو كالنص ، والموافق لظاهر قوله – تعالى: (وَكُلُوا وَاشْرَبُوا) الآية. ومن ذهب إلى أنه يجب الإمساك قبل الفجر فجريا على الاحتياط وسدا للذريعة ، وهو أورع القولين ، والأول أقيس - والله أعلم.
TERJEMAH :
Mengenai batas awal waktu menahan diri, para ulama berbeda pendapat:
- Jumhur ulama berpendapat batasnya adalah munculnya fajar kedua yang bergaris putih berdasarkan ketetapan dari Rasulullah ﷺ dan firman Allah SWT, "Hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitufajar."(Qs. Al Baqarah [2]: 187)
- Sebagian ulama berpendapat syadz, bahwa batasannya adalah fajar merah yang muncul sesudah fajar putih bersamaan tampaknya dengan mega merah. Ini diriwayatkan dari Hudzaifah dan lbnu Mas'ud.
Sebab perbedaan pendapat: Perbedaan atsar-atar dan isytirak nama fajar, yang bisa diartikan fajar putih dan fajar merah. Hadits-hadits yang dijadikan dasar tersebut adalah: Hadits Zin dari Hudzaifah, dia berkata,
"تَسَحَّرْتُ مَعَ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَلَوْ أَشَاءُ أَنْ أَقُولَ هُوَ النَّهَارُ إِلَّا أَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ ".
"Saya makan sahur bersama Rasulullah ﷺ, seandainya saya mau mengatakannya: saat itu sudah siang, hanya saja matahari belum muncul".
"كُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا يَهِيدَنَّكُمُ السَّاطِعُ الْمُصَعَّدُ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَعْتَرِضَ لَكُمُ الْأَحْمَرُ "
"Makan dan minumlah dan janganlah kamu menjadi bimbang karena cahaya yang memancar ke atas. Makanlah dan minumlah sehingga tampak melebar (melintang) pada kalian CAHAYA MERAH."
Abu Daud berkata:
هَذَا مَا تَفَرَّدَ بِهِ أَهْلُ الْيَمَامَةِ وَهَذَا شُذُوذٌ ، فَإِنَّ قَوْلَهُ - تَعَالَى -: (حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ) نَصٌّ فِي ذَلِكَ أَوْ كَالنَّصِّ. انتهى
Ini adalah hadits yang di riwayatkan oleh penduduk Yamamah secara tunggal dan ini termasuk syaadz karena nash Al Qur'an telah jelas: "Hingga nampak jelas bagi kalian benang putih...".
(Sunan Abu Daud 2/760 di hadits no. 2348. Baca juga: الْهِدَايَةُ فِي تَخْرِيجِ أَحَادِيثِ الْبِدَايَةِ. 5/141).
Mereka yang berpendapat batasnya adalah fajar putih yang bergaris - yaitu jumhur dan pendapat yang mu'tamad - mereka berselisih tentang batas mulai diharamkannya makan:
Maka menurut sebagian ulama, batasnya: adalah sejak terbit fajar itu sendiri.
Menurut sebagian yang lain, batasnya: adalah sejak fajar itu tampak jelas bagi orang yang melihatnya. Adapun bagi orang yang tidak nampak jelas melihat fajar, walaupun sebenarnya sudah terbit fajar, boleh makan hingga dia melihat fajar.
Masalah ini berkembang sebagai berikut:
Jika fajar telah muncul, namun dikira belum (dan dia masih terus makan):
- Maka bagi ulama yang berpendapat bahwa awal puasa itu sejak munculnya fajar, maka puasanya wajib diqadha.
- Sedang bagi ulama yang berpendapat awal puasa itu sejak mengetahui fajar, maka puasa tersebut tidak wajib diqadha.
Perbedaan tersebut berpangkal pada penafsiran yang berbeda terhadap firman Allah:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْر
"… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam dari fajar". (QS Al-Baqoroh 187)
Apakah batasnya / imsak itu sejak terbit fajar itu sendiri atau ada orang melihat fajar? Orang Arab terbiasa menggunakan kata isti'aaroh (kata pinjaman / personifikasi) yang dipakai tidak sebagai arti hakiki, mungkin maskud ayat tersebut adalah "apabila fajar terbit artinya tampak oleh kita ", yang mengandung perbedaan pendapat adalah, "Hingga terang dan jelas bagi kita ", karena jika fajar benar-benar terbit tentu akan tampak dengan jelas.
Menurut zhahir lafazh, batasnya adalah kita melihat fajar itu.
Sedangkan menurut qiyas, batasnya adalah sejak terbit fajar itu sendiri. (Maksudnya, diqiyaskan dengan terbenam matahari dan batas-batas waktu syar'iyyah, seperti condongnya matahari ke arah barat dan sebagainya.
Masalah syar'i kesemuannya terkait dengan eksistensinya / betul-betul fajar terbit, bukan terkait semata dengan pengetahuan yang terkait dengannya).
Dan yang masyhur dari Imam Malik sesuai dengan pendapat jumhur, batasnya adalah boleh makan hingga bersentuhan dengan eksistensi terbitnya fajar, bukan hanya sebatas tampaknya fajar, bahkan sebagian ulama membatasi sebelum terbit fajar.
Dasar pendapat Malik dan jumhur adalah hadits dalam kitab Bukhari, saya kira dalam sebagian riwayatnya, Nabi ﷺ bersabda:
وَكلُواْ واشربُواْ حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أمِّ مَكتُوم فإنَّهُ لا يُنَادِي حتَّى يَطْلُعَ الفَجْرْ
"Makan dan minumlah hingga ibnu Ummi Maktuum mengumandangkan adzan, sesungguhnya dia tidak menyeru hingga terbit fajar". (HR. Bukhori no. 617, 622 dan 2656).
Ini adalah Nash yang memutuskan perselisihan atau nash hadits yang sesuai dengan makna dzohir Firman Allah SWT: "كلُواْ واشربُواْ".... dst.
Mereka yang berpendapat: batas makan sahur itu sebelum terbit fajar, mereberjalan diatas tindakan hati-hati dan preventif (jaga-jaga). Dan ini adalah pendapat yang lebih Waro’ (lebih hati-hati).
Adapun pendapat yang pertama (Imam Malik dan jumhur yaitu hingga terbit fajar) lebih analogis. Wallohu a'lam. (Kutipan dari "بداية المجتهد" Berakhir).
====
TENTANG KALENDER JADWAL WAKTU SHALAT :
SEBAGAI PENUTUP PENULIS KATAKAN :
Al-hamdulillah untuk zaman sekarang sudah ada kalender yang terdapat di dalam nya jadwal waktu sholat, termasuk waktu fajar dan syuruq. Begitu juga sudah ada Jam Digital yang ada jadwal waktu sholatnya.
Lalu bagaimana menanggapi adanya sebagian para ulama yang mengatakan bahwa jadwal waktu sholat yang tersebar itu tidak akurat. Terutama waktu terbitnya Fajar Shodiq / waktu shubuh. Mereka mengatakan yang tercantum di jadwal itu terlalu cepat antara 15 hingga 30 menit sebelum Fajar terbit.
Bahkan ada yang mengira bahwa Syeikh Utsaimin mendukung pendapat yang mengatakan fajar shodiq kita terlalu cepat 15-30 menit, padahal itu tidak benar, inilah perkataan beliau:
بَعْضُ النَّاسِ الْآنَ يُشَكِّكُونَ فِي التَّقْوِيمِ الَّذِي بَيْنَ أَيْدِي النَّاسِ، يَقُولُونَ: إِنَّهُ مُتَقَدِّمٌ عَلَى طُلُوعِ الْفَجْرِ، وَقَدْ خَرَجْنَا إِلَى الْبَرِّ وَلَيْسَ حَوْلَنَا أَنْوَارٌ، وَرَأَيْنَا الْفَجْرَ يَتَأَخَّرُ، حَتَّى بَالَغَ بَعْضُهُمْ وَقَالَ: يَتَأَخَّرُ ثُلُثَ سَاعَةٍ، وَلَكِنَّ الظَّاهِرَ أَنَّ هَذَا مُبَالَغَةٌ لَا تَصِحُّ، وَالَّذِي نَرَاهُ أَنَّ التَّقْوِيمَ الَّذِي بَيْنَ أَيْدِي النَّاسِ الْآنَ فِيهِ تَقْدِيمُ خَمْسِ دَقَائِقَ فِي الْفَجْرِ خَاصَّةً.
Di masa sekarang ini, ada sebagian orang yang meragukan kebenaran kalender yang dipakai oleh orang-orang, mereka mengatakan, bahwa waktu kalender itu lebih cepat dari terbitnya fajar. Sungguh kami telah mencoba keluar ke padang pasir sehingga tidak ada polusi cahaya di sekitar kami, dan memang kami melihat fajar terlambat, hingga ada sebagian orang yang melebih-lebihkan dan mengatakan fajarnya terlambat hingga 20 menit. Tapi yang jelas, pendapat ini tidak benar dan terlalu berlebihan. Yang kami pandang benar, kalender yang dipakai oleh orang-orang sekarang ini, terlalu cepat 5 menit khusus dalam waktu fajar saja. (Majmu’ fatawa Syeikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, 19/302)
Dalam perkataan ini, beliau mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan fajar kita terlalu cepat 20 menit, itu pendapat yang tidak benar dan terlalu berlebih-lebihan. Kemudian beliau menyebutkan pendapat yang dipilihnya, yakni waktu fajar kita terlalu cepat 5 menit.
0 Komentar