HUKUM SHOLAT ORANG YANG MEMAKAI POPOK atau PAMPERS
Oleh Abu Haitsam Fakhri :
KAJIAN NIDA ISLAM
==
===****===
PENDAHULUAN
Shalat merupakan kewajiban seorang muslim dalam kondisi bagaimanapun selama akalnya masih berfungsi.
Jika seseorang mengalami sakit dan dia mampu shalat dalam keadaan berdiri, maka dia harus shalat dalam keadaan berdiri, jika tidak mampu dia shalat dalam keadaan duduk, dan jika tidak mampu, dia shalat dalam keadaan berbaring, jika tidak mampu berbaring, maka dia shalat dalam keadaan terlentang.
Berdasarkan riwayat Bukhari, no. 1066, dari Imran bin Hushain, dia berkata :
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ ، فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ ﷺ عَنْ الصَّلَاةِ ، فَقَالَ : (( صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ )).
"Suatu kali aku menderita sakit wasir (ambaien) lalu aku tanyakan kepada Nabi ﷺ tentang cara shalat. Maka Beliau ﷺ menjawab: "Shalatlah dengan berdiri, jika kamu tidak sanggup lakukanlah dengan duduk dan bila tidak sanggup juga lakukanlah dengan berbaring pada salah satu sisi badan"
Demikianlah pula hukumnya berlaku dalam hal bersuci, jika dia mampu berwudu dengan air, maka dia harus berwudu, jika tidak mampu, maka dia bertayammum dengan debu.
====****====
SHOLAT ORANG YANG MEMAKAI POPOK atau PAMPERS:
Adapun yang berkaitan dengan masalah shalat nya seseorang yang memakai popok atau pambahasannya, maka urutan pemabahasannya adalah sbb :
PEMBAHASAN PERTAMA : TENTANG SYARAT SAH SHALAT .
Syarat sahnya sholat adalah : kesucian pakaian, badan, dan tempat sholat. Maka tidak sah shalat sesorang yang pakaiannya najis.
Allah SWT berfirman :
(وَثِيَابَكَ فَطَهِّرْ)
“Dan pakaianmu sucikanlah” ( QS. Al-Muddatstsir : 4 )
Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ صَلَاتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ جِبْرِيلَ ﷺ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا
“Tatkala Rasulullah ﷺ mengerjakan shalat bersama para sahabatnya, tiba tiba beliau melepaskan kedua sandalnya lalu meletakkannya di sebelah kirinya. Sewaktu para sahabat melihat tindakan beliau tersebut, mereka ikut pula melepas sandal mereka.
Maka tatkala Rasulullah ﷺ selesai shalat, beliau bersabda: "Apa gerangan yang membuat kalian melepas sandal sandal kalian?"
Mereka menjawab; Kami melihat engkau melepas sandal, sehingga kami pun melepaskan sandal sandal kami.
Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya Malaikat Jibril 'Alaihis Salam telah datang kepadaku, lalu memberitahukan kepadaku bahwa di sepasang sandal itu ada najisnya."
Selanjutnya beliau bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka perhatikanlah, jika dia melihat di sepasang sandalnya terdapat najis atau kotoran maka bersihkan, dan shalatlah dengan sepasang sandalnya itu." (HR. Abu Dawud No. 555 )
Dishahihkan oleh Syeikh al-Albaani dalam shahih Sunan Abi Daud .
Al-Hijaawii berkata dalam kitab Zad al-Mustaqni' :
"فَمَنْ حَمَلَ نَجَاسَةً لَا يُعْفَى عَنْهَا، أَوْ لَاقَاهَا بِثَوْبِهِ أَوْ بِدَنِهِ: لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ"
"Barangsiapa membawa najis yang tidak dimaafkan atau menemukannya pada pakaian atau tubuhnya, maka shalatnya tidak sah."
Dan Syeikh Ibnu Utsamin dalam Syarah Zad al-Mustaqni' berkata :
"فَمَنْ حَمَلَ نَجَاسَةً لَا يُعْفَى عَنْهَا، أَفَادَنَا بِقَوْلِهِ: لَا يُعْفَى عَنْهَا أَنَّ مِنَ النَّجَاسَاتِ مَا يُعْفَى عَنْهُ، وَهُوَ كَذَلِكَ، وَقَدْ سَبَقَ أَنَّهُ يُعْفَى عَنْ يَسِيرِ الدَّمِ إِذَا كَانَ مِنْ حَيَوَانٍ طَاهِرٍ كَدَمِ الْآدَمِيِّ مِثْلًا، وَدَمِ الشَّاةِ وَالْبَعِيرِ وَمَا أَشْبَهَهَا، وَسَبَقَ أَيْضًا: أَنَّ شَيْخَ الإِسْلَامِ يَرَى العَفْوَ عَنْ يَسِيرِ جَمِيعِ النَّجَاسَاتِ، وَلَا سِيَّمَا إِذَا شَقَّ التَّحَرُّزُ مِنْهَا مِثْلُ أَصْحَابِ الْحَمِيرِ الَّذِينَ يُلابِسُونَهَا كَثِيرًا، فَلَا يَسْلَمُ مِنْ رَشَاشِ بَوْلِ الْحِمَارِ أَحْيَانًا بَلْ غَالِبًا، فَشَيْخُ الإِسْلَامِ يَرَى أَنَّ العِلَّةَ الشَّقَّةَ، فَكُلَّمَا شَقَّ اجْتِنَابُ النَّجَاسَةِ فَإِنَّهُ يُعْفَى عَنْ يَسِيرِهَا، وَكَذَا يُقَالُ فِي مِثْلِ أَصْحَابِ الْبَوِيَاتِ إِنَّهُ يُعْفَى عَنْ يَسِيرِهَا إِذَا أَصَابَتْ أَبْدَانَهُمْ مَا يَحُولُ بَيْنَهَا وَبَيْنَ الْمَاءِ؛ لِأَنَّ الدِّينَ يُسْرٌ، وَمِثْلُ هَذِهِ الْمَسَائِلِ تَحْصُلُ غَالِبًا لِلْإِنسَانِ، وَهُوَ لَا يَشْعُرُ بِهَا أَحْيَانًا أَوْ يَشْعُرُ بِهَا، وَلَكِنْ يَشُقُّ عَلَيْهِ التَّحَرُّزُ مِنْهَا.
مِثَالُ حَمْلِ النَّجَاسَةِ: إِذَا تَلَطَّخَ ثَوْبُهُ بِنَجَاسَةٍ، فَهَـٰذَا حَامِلٌ لَهَا فِي الْوَاقِعِ؛ لِأَنَّهُ يَحْمِلُ ثَوْبًا نَجِسًا، وَإِذَا جَعَلَ النَّجَاسَةَ فِي قَارُورَةٍ فِي جَيْبِهِ، فَقَدْ حَمَلَ نَجَاسَةً لَا يُعْفَى عَنْهَا، وَهَـٰذَا يَقَعُ أَحْيَانًا فِي عَصْرِنَا فِيْمَا إِذَا أَرَادَ الإِنسَانُ أَنْ يُحَلِّلَ الْبِرَازَ أَوْ الْبَوْلَ؛ فَحَمَلَهُ فِي قَارُورَةٍ وَهُوَ يُصَلِّي، فَهَـٰذَا صَلَاتُهُ لَا تَصِحُّ؛ لِأَنَّهُ حَمَلَ نَجَاسَةً لَا يُعْفَى عَنْهَا." .
“Barangsiapa membawa najis yang kadarnya tidak dimaafkan , dia telah memberikan faedah kepada kami dengan perkataannya : “najis yang tidak dimaafkan “ bahwa ada sebagian najis yang dimaafkan, dan masalah ini sama seperti itu juga .
Dan dlam pembahasan sebelumnya telah di jelaskan : bahwa dimaafkan darah yang sedikit jika berasal dari hewan yang suci, seperti darah manusia misalnya , darah domba, unta, dan sejenisnya.
Dan sebelumnya juga telah di sebutkan : bahwa Syekhul Islam berpandangan dimaafkan pula sedikit dari semua jenis najis , terutama jika sulit untuk menghindarinya seperti pemilik keledai yang banyak memakainya ; maka kadang-kadang dia tidak aman dari semburan air kencing keledai, bahkan sering .
Syekhul Islam melihat bahwa illatnya adalah kesulitan (المَشَقَّة), sehingga semakin sulit untuk menghindari najis, maka semakin dimaafkan jika sedikit najisnya. Demikian pula, dikatakan dalam contoh para tukang cat bahwa mereka dimaafkan untuk bagian-bagian kecil mereka jika badan-badan mereka terkena cat, yang menghalanginya dari air.
Karena agama itu mudah, dan masalah-masalah seperti ini sering terjadi pada seseorang, dan dia kadang-kadang tidak merasakannya atau merasakannya tetapi sulit baginya untuk menghindarinya.
Contoh membawa najis, yaitu : jika pakaiannya ternoda oleh najis, maka ini pada realitanya dia itu benar-benar pembawanya ; karena dia memang membawa pakaian yang najis, dan jika dia memasukkan najis itu ke dalam botol di sakunya ; maka dia membawa najis yang tidak dapat dimaafkan, dan ini kadang-kadang terjadi di zaman kita sekarang jika seseorang ingin menganalisis kotoran atau air seni ( di Laboratorium) , lalu dia membawanya dalam botol di kantong saat dia mau sholat ; maka sholat nya tidak sah ; karena dia itu membawa najis yang tidak bisa dimaafkan “. [Selesai . Baca : “الشَّرْحُ الْمُمْتِعُ” (2/22 )]
Jadi : Barang siapa yang shalat dengan memakai popok yang di dalamnya terdapat najis, dan dia menyadari akan adanya najis tersebut , dia mengingatnya, maka shalatnya tidak sah, kecuali dia itu orang yang sedang kena sakit BESER .
PEMBAHASAN KEDUA : KEWAJIBAN MENSUCIKAN DIRI
Seseorang wajib berusaha mensucikan dirinya dari najis sebagaimana tersebut di atas ; karena dalam hal ini ada sebuah Qoidah Fiqhiyah yang berbunyi :
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
“ Apa saja yang kewajiban itu tidak bisa sempurna kecuali dengannya, maka ia menjadi wajib pula hukumnya “.
Al-Bahuuty berkata dalam “كَشَّافُ القِنَاعِ” (1/102):
وَإِذَا وُجِدَ الأَقْطَعُ وَنَحْوُهُ كَالأَشْلِ وَالْمَرِيضِ الَّذِي لَا يَقْدِرُ أَنْ يُوَضِّئَ نَفْسَهُ مِنْ يُوَضِّئِهِ أَوْ يَغْسِلُهُ بِأُجْرَةِ المِثْلِ وَقَدَرَ عَلَيْهَا مِنْ غَيْرِ إِضَرَارٍ بِنَفْسِهِ أَوْ مِنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ لَزِمَهُ ذَلِكَ؛ لِأَنَّهُ فِي مَعْنَى الصَّحِيحِ.
وَإِنْ وُجِدَ مَنْ يُيَمِّمُهُ وَلَمْ يَجِدْ مَنْ يُوَضِّئَهُ لَزِمَهُ ذَلِكَ كَالصَّحِيحِ يَقْدِرُ عَلَى التَّيَمُّمِ دُونَ الوُضُوءِ، فَإِنْ لَمْ يَجِدْ مَنْ يُوَضِّئَهُ وَلَا مِنْ يُيَمِّمُهُ، بِأَنْ عَجَزَ عَنْ الأُجْرَةِ أَوْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى مَنْ يَسْتَأْجِرُهُ صَلَّى عَلَى حَسَبِ حَالِهِ. قَالَ فِي الْمُغْنِي: لَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا، وَكَذَا إِنْ لَمْ يَجِدْهُ إِلَّا بِزِيَادَةٍ عَنْ أُجْرَةِ مِثْلِهِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ يَسِيرَةً عَلَى مَا يَأْتِي فِي التَّيَمُّمِ وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ كَفَاقِدِ الطَّهُورَيْنِ، وَاسْتِنْجَاءٌ مِثْلُهُ أَيْ: مِثْلُ الوُضُوءِ، فَكَمَا تَقَدَّمَ. وَإِنْ تَبَرَّعَ أَحَدٌ بِتَطْهِيرِهِ لَزِمَهُ ذَلِكَ.
قَالَ فِي الفُرُوعِ: وَيَتَوَجَّهُ: لَا، [أي: لَا يُلْزَمُ ذَلِكَ] وَيَتَيَمَّمُ" انتهى .
“Jika seorang yang tangannya terputus dan yang semisalnya - seperti orang lumpuh atau orang sakit yang tidak mampu berwudhu untuk dirinya sendiri – menemukan orang yang mau me wudlu kannya atau membasuhnya dengan bayar upah standar , dan dia mampu untuknya tanpa membahayakan dirinya , atau ada orang yang berkewajiban menafkahinya ; maka orang tersebut berkewajiban untuk melakukannya ; karena jika demikian keadaanya , berarti dia sama dengan orang yang sehat .
Dan jika dia menemukan seseorang untuk membantunya bertayamum, dan dia tidak menemukan seseorang untuk membantunya berwudhu baginya, maka dia harus melakukan tayammum karena dia sama seperti orang yang sehat yang hanya mampu bertayammum karena tidak air untuk berwudhu.
Jika dia tidak menemukan seseorang untuk membantunya berwudhu dan juga tidak untuk bertayammum, umpamanya karena dia tidak mampu membayar sewa atau tidak mampu mempekerjakan seseorang untuk membantunya, maka dia harus sholat sesuai dengan kondisinya.
Ibnu Quddaamah dalam kitab “al-Mughni” berkata :
Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat , begitu pula jika dia tidak menemukannya kecuali dengan upah yang lebih mahal , kecuali jika perbedaan lebih mahalnya itu sedikit (seperti yang akan dijelaskan dalam Bab tayammum, dan itu tidak perlu di ulang di sini) maka hukumnya sama seperti orang yang kehilangan kemampuan dua cara bersuci ( wudlu dan tayammum ). Dan beristinja ( cebok pake air ) juga sama seprti itu , yakni seperti wudlu , seperti yang sudah di jelaskan . Dan jika ada orang yang dengan suka rela membantunya untuk bersuci ; maka dia wajib bersuci .
Dalam kitab “الفروع” di katakan : “ dan ketika ada yang menawarkan bantuan apakah harus menerimanya ? : Tidak, [yaitu, dia tidak harus melakukan itu] dan melakukan tayamum”. (Selesai).
PEMBAHASAN KETIGA : KEWAJIBAN PENANGGUNG JAWAB.
Penanggung jawab terhadap orang tua yang sedang sakit dan menggunakan popok tersebut, maka dia harus melakukan salah satu dari dua hal berikut ini :
Hal Pertama :
الِاسْتِغْنَاءُ عَنْ الْحِفَاظَةِ، بِأَنْ تُجْعَلَ بِقُرْبِهِ إِنَاءٌ وَنَحْوُهُ تَقْضِي فِيهِ حَاجَتَهَا، وَتَسْتَنْجِي أَوْ تَسْتَجْمِرُ وَلَوْ بِمِنْدِيلٍ وَنَحْوِهِ.
Berusaha untuk tidak menggunakan popok (pampers), tapi dengan cara menempatkan bejana dan sejenisnya di dekatnya agar bisa meringankan kebutuhannya, dan agar bisa ber istinja (cebok pakai air) atau ber istijmar (cebok pakai benda kering yang meresap), walaupun dengan tisu dan sejenisnya.
Hal Kedua :
إِزَالَةُ الْحِفَاظَةِ وَالتَّطَهُّرُ مِنَ النَّجَاسَةِ قَبْلَ الصَّلَاةِ فَإِنْ لَمْ يُمْكِنْ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ وَلَوْ بِاسْتِئْجَارِ مَنْ يَقُومُ عَلَى إِفْرَاغِ الإِنَاءِ، أَوْ تَبْدِيلِ الْحِفَاظَةِ، وَلَمْ يَتَبَرَّعْ بِهِ أَحَدٌ، صَلَّتْ بِالنَّجَاسَةِ، وَهُوَ مَعْذُورٌ. .
Berusaha Melepaskan popok (pampers) dan bersuci dari najis sebelum shalat .
Jika semua itu tidak mungkin, meskipun dengan menyewa seseorang hanya untuk mengosongkan bejana, atau mengganti popok, dan tidak ada yang suka rela membantunya , maka dia boleh shalat dengan najis, dan dia dimaafkan.
FATWA SYEIKH BIN BAZ :
Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya tentang orang sakit yang dipasang padanya kantong penampung air kencing, bagaiman dia shalat dan berwudu?
Beliau menjawab :
صَلَّى عَلَى حَسَبِ حَالِهِ، مِثْلُ صَاحِبِ السَّلِسِ وَمِثْلُ الْمَرْأَةِ الْمُسْتَحَاضَةِ، يُصَلِّي الْمَرِيضُ إِذَا دَخَلَ الْوَقْتُ عَلَى حَسَبِ حَالِهِ، وَيَتَيَمَّمُ إِذَا كَانَ لَا يَسْتَطِيعُ اسْتِعْمَالَ الْمَاءِ، فَإِنْ كَانَ يَسْتَطِيعُ ذَلِكَ وَجَبَ عَلَيْهِ الوُضُوءُ بِالْمَاءِ؛ لِقَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: ﴿فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ﴾، وَالخَارِجُ بَعْدَ ذَلِكَ لَا يُضِرُّهُ، لَكِنْ لَا يَتَوَضَّأُ إِلَّا بَعْدَ دُخُولِ الْوَقْتِ، وَيُصَلِّي وَلَوْ خَرَجَ الخَارِجُ مَا دَامَ فِي الْوَقْتِ، لِأَنَّهُ مُضْطَرٌّ لِهَـٰذَا، مِثْلُ صَاحِبِ السَّلِسِ فَإِنَّهُ يُصَلِّي فِي الْوَقْتِ وَلَوْ كَانَ البَوْلُ يَخْرُجُ مِنْ ذَكَرِهِ، وَهَكَذَا الْمُسْتَحَاضَةُ تُصَلِّي فِي الْوَقْتِ، وَلَوْ خَرَجَ مِنْهَا الدَّمُ مُدَّةً طَوِيلَةً، فَإِنَّهَا تُصَلِّي عَلَى حَسَبِ حَالِهَا، لَكِنْ لَا يَتَوَضَّأُ مَنْ حَدَثُهُ دَائِمٌ إِلَّا إِذَا دَخَلَ الْوَقْتُ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمُسْتَحَاضَةِ: "تَوَضَّي لِوَقْتِ كُلِّ صَلَاةٍ"، فَيُصَلِّي صَاحِبُ السَّلِسِ وَالْمُسْتَحَاضَةُ وَالْمَرِيضُ السَّؤَالُ عَنْهُ فِي الْوَقْتِ جَمِيعَ الصَّلَوَاتِ مِنْ فَرْضٍ وَنَفْلٍ، وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ مِنَ الْمُصْحَفِ، وَيَطُوفُ بِالْكَعْبَةِ مَنْ كَانَ بِمَكَّةَ مَا دَامَ فِي الْوَقْتِ، فَإِذَا خَرَجَ الْوَقْتُ أَمْسَكَ عَنْ ذَلِكَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ لِلْوَقْتِ الَّذِي دَخَلَ.
'Dia shalat sesuai kondisinya, seperti penderita beser dan seperti wanita mustahadhah. Penderita sakit tersebut shalat sesuai kondisinya, dan dia bertayammum jika tidak dapat menggunakan air, jika dia mampu berwudu, maka dia wajib berwudu dengan air.
Berdasarkan firman Allah Ta'ala : "Bertakwalah kalian semampu kalian"
Apa yang keluar setelah itu tidak mempengaruhi. Akan tetapi dia jangan berwudu kecuali waktu telah masuk, lalu dia shalat, meskipun ada sesuatu yang keluar, selama dia masih berada dalam waktu tersebut, walaupun air kencing keluar dari kemaluannya.
Begitu pula halnya dengan wanita mustahadhah, dia boleh shalat jika sudah masuk waktu meskipun darah keluar pada masa yang lama. Dia shalat sesuai kondisinya.
Akan tetapi bagi orang yang hadatsnya keluar terus menerus tidak boleh berwudu kecuali telah masuk waktu.
Berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada wanita mustahadhah,
تَوَضَّئِيْ لِوَقْتِ كُلِّ صَلَاةٍ
“Berwudulah pada setiap waktu shalat”
Maka, wanita mustahadhah, orang yang terkena beser serta orang sakit seperti yang ditanyakan, boleh melakukan shalat pada waktunya, seluruh shalat, baik fardhu maupun sunnah, dia juga boleh membaca Al-Quran lewat mushaf, thawaf di Ka'bah bagi yang berada di Mekah selama masih berada dalam waktu shalat tersebut. Apabila waktunya telah keluar, dia tidak boleh melakukan semua itu hingga dia berwudu lagi untuk waktu yang masuk kemudian."
[Sumber : “الْفَتَاوَى الْمُتَعَلِّقَةُ بِالطِّبِّ وَأَحْكَامِ الْمَرِيضِينَ” hal. 57]
Wallaahu a’lam
0 Komentar