Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
Di kutip dari buku “Mari Bertawassul ” Karya Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
======
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
====*****====
HADITS TAWASSULNYA NABI MUHAMMAD ﷺ DENGAN HAK DIRINYA SEBAGAI NABI DAN HAK-HAK PARA NABI SEBELUMNYA
Ketika Fatimah binti Asad bin Hasyim ibunda Ali bin Abi Thalib radhiallahu 'anhu wafat, maka beliau ﷺ mengajak Usamah bin Zaid, Abu Musa Al-Anshari, Umar bin Khaththab dan seorang budak hitam untuk menggali liang kubur. Setelah selesai, Rasulullah ﷺ masuk dan berbaring di dalamnya, kemudian beliau berkata:
« اللَّهُ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَهُوَ حَيٌّ لا يَمُوتُ ، اغْفِرْ لأُمِّي فَاطِمَةَ بِنْتِ أَسَدٍ ، ولَقِّنْهَا حُجَّتَهَا ، وَوَسِّعْ عَلَيْهَا مُدْخَلَهَا ، بِحَقِّ نَبِيِّكَ وَالأَنْبِيَاءِ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِي ، فَإِنَّكَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ »
"Allah adalah Zat yang menghidupkan dan mematikan. Dia Maha Hidup dan tidak mati, ampunilah bibiku Fatimah binti Asad. Ajarkanlah padanya hujjahnya dan luaskanlah tempat tinggalnya yang baru dengan hak nabi-Mu dan hak para nabi sebelumku, karena sesungguhnya Engkau adalah Zat Yang Maha Penyayang."
(HR. Thabrani di “المعجم الكبير” 24/352 no. 871 dan Abu Nuaim dalam “حلية الأولياء” ( كنز العمال 12/148 no. 34425 ) dan Ibnu al-Jauzy dlm “العلل المتناهية” 1/269 No. 433.
DERAJAT HADITS :
Ibnu Hajar al-Haitsamy berkata dalam kitabnya “مجمع الزوائد” 9/257 :
وفيه رُوْحُ بْنُ صَلاَحٍ، وَثَّقَهُ ابْنُ حِبَّانَ وَالحَاكِمُ وَفِيهِ ضَعْفٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيْحِ
" Di dalamnya terdapat perawi bernama Rauh bin Shalah, ditsiqohkan oleh Ibnu Hibban dan Hakim , pada dirinya terdapat kelemahan , dan perawi selebihnya adalah perawi shahih ) " .
TANGGAPAN :
Yang benar hadits ini sanadnya dlaif ( lemah ) karena Rauh bin Solah ini jika dia sendirian meriwayatkan sebuah hadits maka dia lemah bahkan munkar seperti yang di nyatakan oleh Abu Nuaim sendiri , si perawi hadits tsb .
Ibnu al-Jauzy berkata :
Rouh bin Sholah sendirian meriwayatkan hadits ini ( Yakni : Dari at-Tsauri ) , dan dia itu termasuk orang-orang yang majhul / tdk di kenal . Ibnu Adiy mendha’ifkannya “. ( Baca : “العلل المتناهية” 1/270 )
Dan Rauh ini di dha’ifkan oleh Ibnu Adiy daalm kitabnya “الكامل” 3/146 , dan dia pernah berkata pula setelah meriwayat dua hadits lain dari Rauh :
ضَعِيفٌ... لَهُ أَحَادِيثُ لَيْسَتْ بِالكَثِيرَةِ وَفِي بَعْضِ حَدِيثِهِ نَكِرَةٌ
“ Dia dho’iif .... hadits-hadits dia tidak banyak dan disebagian hadits-hadits nya terdapat kejanggalan “.
Ibnu Yunus berkata : " Aku meriwayatkan darinya ( Rauh ) hadits-hadits yang mungkar (maksudnya : yang batil , palsu atau yang dalam sanadnya terdapat cacat perawi) . ( Lihat Al-Anwarul- Kasyifah 1/274 ).
Imam Daruquthny berkata : " Dia lemah ( dhoif ) dalam hadits " .
Ibnu Makuula berkata : " Mereka ( para ulama ahli hadits ) mendhoifkannya ".
( Baca : “ميزان الاعتدال” 2/58 dan “لسان الميزان” 3/108)
Asy-Syaukani berkata :
Hadits Fathimah binti Asas , dho’if , di dalam sanadnya terdapat Rouh bin Sholah , dan dia itu dho’iif “. ( Baca : “الدر النضيد في إخلاص كلمة التوحيد” hal. 64 )
Mereka sepakat bahwa dia lemah, dan haditsnya munkar karena dia sendirian yang meriwayatkannya.
Ada sebagian dari mereka berusaha untuk menshahihkannya dan memperkuat hadits ini dengan tautsiq Ibnu Hibban dan Al-Hakim untuk Rouh bin Sholah ini - Ibnu Hibban memasukkan nya dalam kitabnya “الثقات” kitab kumpulan para perawi yang di percaya , dan al-Hakim menganggapnya Tsiqoh / dipercaya - namun al-Hakim dan Ibnu Hibban ini termasuk orang-orang yang menggampangkan dlm mentautsiq . Maka pentautsiq kan Ibnu Hibban dan al-Haakim ini tidak berpengaruh , karena mereka dikenal dengan menggampangkan dalam men tautsiq , sehingga pernyataan mereka berdua ketika bertentangan dengan yang lainya ; maka tidak memiliki kekuatan bahkan meskipun cacat perawinya itu hanya sebatas mubham ( tidak ada kejelasan ), maka bagaimana jika perawi tsb jelas-jelas dinyatakan seperti yang disebutkan diatas ?
( Baca : “ميزان الاعتدال” 2/58 dan “لسان الميزان” 3/108)
Syeikh al-Albany mengatakan :
" Sungguh mereka (para pakar hadits) telah sepakat akan kedhaifannya , maka haditsnya menjadi mungkar jika dia meriwayatkan nya sendirian. Ada sebagian para pakar hadits menguatkan hadits ini , karena berdasarkan tautsiq (pengukuhan bisa di percaya) dari Ibnu Hibban dan al-Hakim terhadap Rauh ini , namun tautsiq mereka berdua sama sekali tidak berpengaruh , karena seperti yang telah di ketahui bersama bahwa Ibnu Hibban dan Hakim mereka berdua di kenal dengan menggampangkan dalam mentautsiq , maka pendapatnya tidak berpengaruh dan tidak diperhitungkan saat terjadi kontradiksi meskipun perawi tsb hanya sebatas mubham / tidak jelas , apalagi jika ada kejelasan akan informasi kedhaifan perawi tsb seperti Rauh ini .
(Untuk lebih detail mengenai kedhoifan hadits ini bisa merujuk ke kitab Silsilah Dhoifah karya Syeikh al-Albany no. 23).
Syeikh Al Albani berkata pula :
" Hadits ini tidak mengandung targhib (anjuran untuk melakukan suatu amalan yang ditetapkan syariat) dan tidak pula menjelaskan keutamaan amalan yang telah ditetapkan dalam syariat. Sesungguhnya hadits ini hanya memberitahukan permasalahan seputar boleh atau tidak boleh, dan seandainya hadits ini shahih, maka isinya menetapkan suatu hukum syar'i. Sedangkan kalian (para penyanggah -pent) menjadikannya sebagai salah satu dalil bolehnya tawassul yang diperselisihkan ini.
Maka apabila kalian telah menerima kedha'ifan hadits ini, maka kalian tidak boleh berdalil dengannya. Aku tidak bisa membayangkan ada seorang berakal yang akan mendukung kalian untuk memasukkan hadits ini ke dalam bab targhib dan tarhib, karena hal ini adalah sikap tidak mau tunduk kepada kebenaran, mengatakan sesuatu yang tidak pernah dikemukakan oleh seluruh orang yang berakal sehat."
(Lihat “التوسل أنواعه وأحكامه” hal. 110 dan “سلسلة الأحاديث الضعيفة والموضوعة” (1/32) hadits nomor 23).
KESIMPULAN DERAJAT HADITS INI :
Abu ‘Amr Usamah bin ‘Athaaya al-‘Utaiby berkata dlm makalahnya “الضياء اللامع في الرد على الإباضي” :
" الْحَدِيثُ ضَعِيفٌ جِدًّا أَوْ مَوْضُوعٌ فِيهِ آفَاتٌ".
Artinya : “ Hadits ini LEMAH SEKALI atau PALSU, di dalamnya terdapat afaat / banyak hama”.
Wallahu a’lam.
0 Komentar