Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM MEMPERJUAL BELIKAN KUCING

Di susun oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM:


بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين. والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين. أما بعد:


Imam Muslim dalam Shahih-nya (1569) meriwayatkan melalui jalur Ma'qil dari Abu al-Zubair, yang berkata:

سَأَلْتُ جَابِرًا، عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ؟ قَالَ: (زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ).


"Aku bertanya kepada Jabi bin Abdullah tentang jual beli anjing dan sinnaur (kucing liar). Lalu beliau menjawab: Nabi SAW melarang itu." (HR. Muslim no. 1569).

Telah terjadi perbedaan pendapat antara para ulama: tentang hukum memperjual belikan kucing dan dalam hal memahami makna hadits diatas:

ADA DUA PENDAPAT:

Pendapat pertama     : boleh atau makruh.
Pendapat kedua     : Haram

PENDAPAT PERTAMA: YANG MEMBOLEHKAN.


Di mana mayoritas ulama – termasuk empat mazhab – memperbolehkan memperjual belikan kucing peliharaan (jinak). Dan ini adalah pendapat Syeikh Ibnu Utsaimin.

Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:

" اختلف العلماء في ذلك، فمنهم من أجازه، وحمل الحديث الذي فيه النهي على هرٍّ لا فائدة منه؛ لأن أكثر الهررة معتدٍ، لكن إذا وجدنا هرًّا مربى ينتفع به فالقول بجواز بيعه ظاهر؛ لأن فيه نفعاً ".


Para ulama berselisih pendapat dalam hal itu:

Sebagian dari mereka menghalalkannya, dan membawa makna hadits larangan pada kucing yang tidak ada manfaatnya, karena sebagian besar kucing adalah liar, tetapi jika kita menemukan kucing yang terdidik dan terlatih yang bisa diambil manfaat darinya, maka pendapat yang boleh menjualnya, itu adalah yang dzohir (nampak kebenarannya), karena ada manfaat di dalamnya “. [Akhir kutipan dari “الشرح الممتع” (8/ 114) karya Syeikh al-‘Utsaimiin].

Imam al-Nawawi berkata:

" بَيْعُ الْهِرَّةِ الْأَهْلِيَّةِ: جَائِزٌ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا... وَبِهِ قَالَ جَمَاهِيرُ الْعُلَمَاءِ... وَرَخَّصَ فِي بَيْعِهِ: ابْنُ عَبَّاسٍ ، وَابْنُ سِيرِينَ ، والحكم ، وحمَّاد ، ومالك ، والثوري ، والشافعي ، وأحمد ، واسحق ، وَأَبُو حَنِيفَةَ وَسَائِرُ أَصْحَابِ الرَّأْيِ".


"Penjualan kucing jinak diperbolehkan tanpa ada perbedaan pendapat di antara kita... dan dengannya mayoritas ulama mengatakan...

Dan yang mengizinkan untuk menjual kucing adalah: Ibnu Abbas, Ibnu Sirin, al-Hakam, dan Hammaad, Imam Malik, Imam ats-Tsauri, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Ishak (bin Rahawaih), Imam Abu Hanifah dan para ulama ahli Ro’yi (logika) lainnya". [Akhir kutipan dari “المجموع شرح المهذب” (9/229)].

Dan Imam an-Nawawi juga berkata dalam “Syarah Shahih Muslim (23/10)”:

" فَإِنْ كَانَ مِمَّا يَنْفَعُ ، وَبَاعَهُ: صَحَّ الْبَيْعُ ، وَكَانَ ثَمَنُهُ حَلَالًا. هَذَا مَذْهَبُنَا ، وَمَذْهَبُ العلماء كافة. إلا ما حكى ابن الْمُنْذِرِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَطَاوُسٍ وَمُجَاهِدٍ وَجَابِرِ بْنِ زَيْدٍ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ بَيْعُهُ ".


Jika sesuatu itu termasuk yang bermanfaat lalu dia menjualnya, maka penjualannya sah, dan harganya (uangnya) halal.

Ini adalah Madzhab kami, dan madzhab para ulama semuanya. Kecuali apa yang diriwayatkan oleh Ibn al-Mundhir dari Abu Hurairah, Tawus, Mujahid dan Jabir bin Zayd: bahwa itu tidak boleh menjualnya. (Baca: Syarah Sahih Muslim (23/10) karya Imam an-Nawawi).

Imam An-Nawawi juga menambahkan:

واحتج أصحابنا بأنه طاهر منتفع به، ووُجِدَ فيه جميع شروط البيع بالخيار فجاز بيعه، كالحمار والبغل.


Para sahabat kami berhujjah bahwa kucing itu hewan suci yang bisa dimanfaatkan, dan semua persyaratan jual beli dengan khiyaar terpenuhi di dalamnya, sehingga diperbolehkan untuk memperjual belikannya, seperti keledai dan bagal. [Lihat “المجموع” 9/229]

Mereka yang membolehkan berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (2619) dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

(دَخَلَتْ امْرَأَةٌ النَّارَ مِنْ جَرَّاءِ هِرَّةٍ لَهَا ، أَوْ هِرٍّ ، رَبَطَتْهَا ؛ فَلَا هِيَ أَطْعَمَتْهَا ، وَلَا هِيَ أَرْسَلَتْهَا تُرَمْرِمُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ حَتَّى مَاتَتْ هَزْلًا)


"Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing yang ia ikat sehingga mati, ia tidak memberinya makan atau melepasnya sehingga bisa mencari makanan dari serangga bumi." (HR. Muslim no. 4751).

Mereka yang mengtakan boleh berkata:
 

الأصل في اللام أنها للملك ، أي قوله: (هرة لها) ، وما كان مملوكا منتفعا به ، جاز بيعه


Prinsip dasarnya adalah: bahwa huruf lam untuk menunjukkan kepemilikan, yaitu sabdanya: (anak kucing miliknya), dan apa saja yang dimiliki dan bisa diambil manfaat darinya ; maka diperbolehkan untuk diperjual belikan. [Lihat: “كشاف القناع” (3/153)].

PENDAPAT KE DUA: YANG MENGATAKAN HARAM.


Ada sebagian ulama berpendapat bahwa jual beli kucing diharamkan.

Diantara nya adalah Asy-Syaukaani [نيل الأوطار 6/227]. Dan ini adalah Madzhab Adz-Dzoohiriyyah, seperti yang dijelaskan oleh Imam Ibnu Hazm (456 H) dalam kitabnya Al-Muhalla (9/13 masalah no. 1515).

Tapi hukumnya menurut Madzhab adz-Dzoohiri bisa menjadi wajib jika memang kucing itu dibutuhkan untuk menakut-nakuti tikus. Dalam kitabnya dikatakan:

وَلاَ يَحِلُّ بَيْعُ الْهِرِّ فَمَنْ اُضْطُرَّ إلَيْهِ لأَذَى الْفَأْرِ فَوَاجِبٌ


“Tidak halal menjual kucing, maka barang siapa yang terpaksa membelinya karena adanya gangguan tikus, maka hukumnya wajib. (Selesai).

Sehingga walaupun madzhab Dzoohiri ini mengharamkan, tapi keharamannya tidak mutlak. Terdapat kondisi di mana jual beli kucing diperbolehkan, bahkan menjadi wajib hukumnya.

Dan mereka yang mengharamkan ini berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (1569) melalui Ma'qil dari Abu al-Zubair, yang berkata:

سَأَلْتُ جَابِرًا، عَنْ ثَمَنِ الْكَلْبِ وَالسِّنَّوْرِ؟ قَالَ: (زَجَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ).


"Aku bertanya kepada Jabi bin Abdullah tentang jual beli anjing dan sinnaur (kucing liar). Lalu beliau menjawab: Nabi SAW melarang itu." (HR. Muslim no. 1569).

Dan Sinnaur dalam hadits: adalah kucing.

Ibnu al-Qayyim menegaskan larangan menjualnya dalam “زاد المعاد” (5/773) dan berkata:

وبذلك أفتى أبو هريرة رضي الله عنه ، وهو مذهب طاووس ومجاهد وجابر بن زيد ، وجميع أهل الظاهر ، وإحدى الروايتين عن أحمد.وهو الصواب ، لصحة الحديث بذلك ، وعدم ما يعارضه ؛ فوجب القول به " انتهى.


“Dengan pendapat inilah Abu Huraira ra berfatwa, dan itu adalah madzhab Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, dan semua pengikut madzhab Dzohiri, dan salah satu dari dua riwayat dari Ahmad.

Dan inilah yang benar, karena hadits nya shahih dan tidak ada hadits lain yang menyelisihinya, maka wajib berpendapat dengan nya " (Selesai).

Ibnu Al-Mundzir berkata:

" إن ثبت عن النبي صلى الله عليه وسلم النهي عن بيعه: فبيعه باطل ، وإلا ؛ فجائز"


Jika seandainya terbukti shahih dari Nabi SAW bahwa jual beli kucing itu dilarang, maka jual belinya tidak shah. Akan tetapi jika tidak terbukti, maka itu boleh. (Selesai kutipan dari Al-Majmu' (9/ 269) karya Imam an-Nawawi.

Fatwa al-Lajnah ad-Daa’imah 13/37:

" لا يجوز بيع القطط والقردة والكلاب وغيرها من كل ذي ناب من السباع لأن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن ذلك ، وزجر عنه ولما في ذلك من إضاعة المال ، وقد نهى النبي صلى الله عليه وسلم عن ذلك " انتهى.


Tidak boleh menjual kucing, monyet, anjing, dan lainya dari setiap binatang buas yang memiliki taring ; Karena Nabi SAW melarang nya dan menegurnya, dan dikarenakan dalam hal itu terdapat penyia-nyiaan harta, dan Nabi SAW melarang itu. (Selesai)

BANTAHAN DARI PIHAK PENDAPAT PERTAMA


Jumhur ulama menanggapi hadits larangan tsb dengan tiga jawaban:

PERTAMA

 

أن الذي ثبت هو تحريم بيع الكلب ، وأما لفظ "السنور" الوارد في الحديث فهي زيادة ضعيفة


Yang terbukti shahih adalah larangan menjual anjing, sedangkan kata “Sinnaur / kucing” dalam hadits merupakan tambahan yang dhaif.

Ibnu Rajab berkata:

" وهذا إنّما يُعرف عن ابن لهيعة عن أبي الزبير ، وقد استنكر الإمامُ أحمد رواياتِ مَعْقِلٍ عن أبي الزبير، وقال: هي تشبه أحاديثَ ابنِ لهيعة، وقد تُتُبِّعِ ذلك، فوُجِدَ كما قاله أحمد رحمه الله".


“ Tambahan “Sinnaur” ini hanya terdapat dalam riwayat dari Ibnu Lahi'ah dari Abu al-Zubair. Dan Imam Ahmad mengingkari semua riwayat hadits dari Ma'qil dari Abu al-Zubair. Dan dia (Imam Ahmad) berkata: Riwayat ini mirip dengan hadits-hadits Ibnu Lahi'ah, dan itu telah di telusuri, dan ternyata ditemukan, sebagaimana yang di katakan Imam Ahmad, semoga Allah merahmati dia “. [selesai kutipan dari “جامع العلوم والحكم” hal. 418].

Al-Tirmidzi berkata:

" هَذَا حَدِيثٌ فِي إِسْنَادِهِ اضْطِرَابٌ ، وَلاَ يَصِحُّ فِي ثَمَنِ السِّنَّوْرِ"


“Hadits ini dalam sanadnya ada pergolakan (اضْطِرَابٌ), dan tidak shahih tambahan kalimat “harga Sinnuur / kucing.” (Akhir kutipan dari Sunan al-Tirmidzi (2/568))

Abu ‘Awaanah berkata:

" فِي الأَخْبَارِ الَّتِي فِيهَا نَهي عَنْ ثَمَنِ السِّنَّوْرِ: فِيهَا نَظَرٌ فِي صِحَّتِهَا وَتَوْهِينِهَا".


“Dalam hadits-hadits yang melarang jual beli Sinnuur / kucing: terdapat sesuatu yang harus ditinjau ulang dari sisi keshahihannya dan kelemahannya” [Akhir kutipan dari “المستخرج” (12/336)].

Ibnu Abdil-Barr dari madzhab Maliki berkata:

" كل ما أبيح اتخاذه والانتفاع به وفيه منفعة: فثمنه جائز في النظر؛ إلا أن يمنع من ذلك ما يجب التسليم له ، مما لا معارض له فيه ، وليس في السنور شيء صحيح ، وهو على أصل الإباحة "


“Segala sesuatu yang boleh mengambilnya dan memanfaatkannya, serta memiliki manfaat ; maka penjualannya diperbolehkan dalam pertimbangan, kecuali jika dicegah dari apa yang harus diserahkan (yakni: barangnya tidak bisa diserah terimakan. pen), termasuk sesuatu yang tidak bertentangan dengan dalil, dan tidak ada hadits yang shahih tentang Sinnuur/kucing ini“. [Akhir kutipan dari “التمهيد” (8/403)]

Jawaban Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ 9/269:

وأما ما ذكره الخطابي وابن المنذر أن الحديث ضعيف فغلط منهما ، لأن الحديث في صحيح مسلم بإسناد صحيح " انتهى


“Adapun apa yang disebutkan oleh al-Khaththabi dan Ibnu al-Mundhir bahwa hadits tersebut lemah / dhoif, maka keduanya salah, karena hadits tersebut ada dalam Sahih Muslim dengan sanad yang shahih “.

Namun demikian Imam an-Nawawi berkata:

والجواب عن الحديث من وجهين:

أحدهما: أن المراد الهرة الوحشية فلا يصح بيعها لعدم الانتفاع بها.

والثاني: أن المراد نهي تنزيه، والمراد النهي على العادة بتسامح الناس فيه، ويتعاوزونه في العادة"


Jawaban tentang makna hadits ada dua sisi:

Salah satu nya: Yang dimaksud adalah kucing liar, dan tidak sah memperjual belikannya karena tidak ada manfaatnya.

Dan yang kedua: bahwa yang dimaksud adalah larangan tanziih (makruh). Dan yang dimaksud adalah larangan terhadap suatu adat kebiasaan agar orang-orang tetap saling toleran dalam hal kucing, dan biasanya mereka saling membutuhkannya. [al-Majmu’ 2/229].

Ditanggapi oleh Asy-Syaukani dalam “نيل الأوطار” 6/227 dengan mengatakan:

" ولا يخفى أن هذا إخراج للنهي عن معناه الحقيقي بلا مقتضِ " انتهى


“ Bukan hal yang samar bahwa ini adalah mengeluarkan kata larangan dari makna sebenarnya dengan tanpa adanya keperluan “.

KEDUA


أن المراد بالحديث: " السنور الوحشي" ، وليس القطط الأليفة.


Bahwa Yang dimaksud dalam hadis adalah “Sinnuur / kucing liar”, bukan kucing rumahan yang jinak.

Al-Khaththaabi berkata:

" إنما كُره... لأنه كالوحشي الذي لا يُملك قياده ، ولا يصح التسليم فيه ، وذلك لأنه ينتاب الناس في دورهم ويطوف عليهم فيها ، ثم يكاد ينقطع عنهم ، وليس كالدواب التي تربط على الأوادي ، ولا كالطير الذي يحبس في الأقفاص، وقد يتوحش بعد الأنوسة ويتأبد حتى لا يقرب ولا يقدر عليه. فإن صار المشتري له إلى أن يحبسه في بيته أو يشده في خيط أو سلسلة لم ينتفع به".


“Adapun kenapa di MAKRUH kan... ; karena sinnuur/kucing itu seperti binatang buas yang tidak terkendali dan tidak terarah, dan tidak shah serah terima dalam jual belinya ; karena sinnuur senantia berkeliling pada orang-orang di rumah-rumahnya dan berkeliaran di sekitar mereka.

Dan terkadang sinnuur / kucing ini hampir putus dari mereka, dan tidak seperti binatang-binatang yang diikat ke lembah-lembah, dan tidak seperti burung yang dikurung dalam sangkar.

Dan Sinnuur ini kadang berubah menjadi liar setelah familiar, lalu pergi selamanya tidak pernah mendekat lagi dan tidak bisa di dapatkan lagi.

Jika si pembeli berkinginan menjadi pemiliknya dengan cara menguncinya di rumahnya atau mengikatnya dengan benang atau rantai, maka dengan seperti itu dia tidak mendapat manfaat darinya.” [Akhir kutipan dari “معالم السنن” Ma'alim al-Sunan (3/130)].

Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:

" اختلف العلماء في ذلك، فمنهم من أجازه، وحمل الحديث الذي فيه النهي على هرٍّ لا فائدة منه؛ لأن أكثر الهررة معتدٍ، لكن إذا وجدنا هرًّا مربى ينتفع به فالقول بجواز بيعه ظاهر؛ لأن فيه نفعاً ".


Para ulama berselisih pendapat dalam hal itu:

Sebagian dari mereka menghalalkannya, dan membawa makna hadits larangan pada kucing yang tidak ada manfaatnya, karena sebagian besar kucing adalah liar, tetapi jika kita menemukan kucing yang terdidik dan terlatih yang bisa diambil manfaat darinya, maka pendapat yang boleh menjualnya, itu dzohir (nampak kebenarannya), karena ada manfaat di dalamnya “. [Akhiri kutipan dari “الشرح الممتع” (8/ 114) karya Syeikh al-‘Utsaimiin].

KETIGA


أن النهي للكراهة ؛ لأن الشرع أراد أن يتسامح الناس في بذل القطط دون بيعها.


Bahwa larangan itu hanya sebatas makruh. Karena syariat Islam menghendaki agar masyarakat toleran dalam memberi kucing tanpa menjualnya.

Al-Dumairi berkata dalam “حياة الحيوان” (1/577):

" وقيل: هو نهي تنزيه حتى يعتاد الناس هبته وإعارته كما هو الغالب". انتهى


“ Dan ada yang mengatakan: Itu adalah larangan tanziih (yakni: makruh) agar orang terbiasa menghibahkannya dan meminjamkannya, seperti biasanya. (sudah selesai).”

Ibnu Rajab al-Hanbali berkata:

" ومنهم من حمل النهي على ما لا نفع فيه كالبري ونحوه ، ومنهم من قال: إنما نهى عن بيعها لأنه دناءة وقلة مروءة ، لأنها متيسرة الوجود والحاجة إليها داعية ، فهي مرافق الناس التي لا ضرر عليهم في بذل فضلها ، فالشحُّ بذلك من أقبح الأخلاق الذميمة ، فلذلك زجر عن أخد ثمنها "


“Dan di antara mereka ada yang membawa makna larangan tsb pada kucing yang tidak ada manfaatnya seperti kucing liar dan sejenisnya.

Dan di antara mereka ada yang mengatakan: Kucing itu bisanya dilarang menjualnya karena binatang rendahan dan kurang kesopanan,

Karena mudah keberadaannya dan kebutuhan padanya memangilnya, maka kucing itu adalah pendamping orang-orang yang tidak membahayakan mereka dalam memberikan sisa makanannya.

Pelit dengan itu adalah salah satu perilaku tercela yang paling buruk, maka oleh karena itu dicegah dari mengambil uang dari harga jualnya. [Akhir kutipan dari “جامع العلوم والحكم” hal 418].

TANGGAPAN Imam al-Baihaqi terhadap hujjah Jumhur Ulama:

Imam al-Baihaqi berkata:

" وقد حمله بعض أهل العلم على الهر إذا توحش فلم يقدر على تسليمه ، ومنهم من زعم أن ذلك كان في ابتداء الإسلام حين كان محكوماً بنجاسته ، ثم حين صار محكوماً بطهارة سؤره حل ثمنه".


“Sebagian para ulama telah membawa maknanya kepada kucing liar dan buas, sehingga ia tidak mampu untuk menyerahkannya.

Dan sebagian dari mereka mengklaim bahwa larangan ini terjadi pada permulaan Islam ketika itu kucing di hukumi najis, dan kemudian setelah itu di hukumi suci air liurnya ; maka di perbolehkan menjualnya “.

Lalu Imam Baihaqi menanggapinya dengan mengatakan:
 

"وليس على واحد من هذين القولين دلالة بينة".


“Tidak ada dalil yang jelas untuk salah satu dari dua perkataan ini”. [Baca: “السنن الكبرى” 6/227]

KESIMPULAN


Terdapat keraguan tentang keshahihan hadits larangan memperjual belikan kucing. Dan jika seandainya Shahih, maka maknanya dibawa kepada makna yang disebutkan oleh jumhur ulama, diantaranya: makruh tanzaih, maka seolah-olah asy-Syaari’ berkeinginan agar orang-orang bermurah hati dalam memberikan kucing tanpa menjualnya.

PERINGATAN


Meskipun demikian adanya, kami hendak mengingatkan di sini kesalahan yang dilakukan oleh sebagian orang-orang yang memelihara kucing dan hewan lain. Di mana kesalahan mereka adalah berlebihan dalam membeli kucing-kucing itu dengan harga selangit, lalu berlebihan pula dalam merawatnya, memberi makanannya, dan mengobatinya …, yang mana itu semua membuat orang tsb keluar dari batas kewajaran menuju ke batas Takalluf (berlebihan), Israaf (penghamburan), tabdzir, menyia-nyiakan harta untuk hal-hal yang bathil, persaingan dan berbangga – banggaan.

Wallahu a’lam.

Al-hamdulillah 


 

Posting Komentar

0 Komentar