Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HADITS TAWASSUL DENGAN HAK SEMUA MAKHLUK YANG BERDO’A DI DARATAN DAN LAUTAN ?

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
Di kutip dari buku “Mari Bertawassul ” Karya Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM


بسم الله الرحمن الرحيم


Rasulullah SAW dulu ketika selesai Shalat beliau mengucapkan doa:

"اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ بِحَقِّ السَّائلينَ عَلَيْكَ، فإنَّ للسَّائِلِ عَلَيْكَ حَقًّا، أيَّمَا عَبْدٍ أوْ أمَةٍ مِن أهْلِ البَرِّ والبَحْرِ تَقَبَّلتَ دعْوَتَهُمْ، واسْتَجَبْتَ دُعَاءَهُمْ، أن تُشْرِكَنَا فِي صَالِحِ مَا يَدْعُونَكَ فيهِ، وأن تُشْرِكَهُمْ في صَالحِ ما ندْعُوكَ فيهِ، وأن تُعَافِينَا وإيَّاهُمْ، وأن تَتَقَبَّلَ مِنَّا ومِنْهُم، وأن تتجَاوَزَ عَنَّا وعَنْهُمْ فإنَّنا آمَنَّا بِمَا أنزَلْتَ واتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدينَ".


وَكَانَ يَقُولُ: " لا يَتَكَلَّمُ بِهذا أَحَدٌ مِنْ خَلْقِه إلاَّ أشْرَكَه اللهُ فِي دَعْوَةِ أهْلِ بَرِّهِم وَبَحْرِهِم فعَمَّتْهُم وَهُوَ مَكَانَه".


“Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon kepada-Mu, karena sesungguhnya orang-orang yang memohon kepada-Mu ada hak pada Mu, siapapun orangnya dari hamba lelaki maupun perempuan, dari kalangan penghuni daratan dan lautan, yang Engkau kabulkan permohonan mereka dan Engkau perkenankan doa mereka ; Agar engkau sertakan kami dalam kebaikan doa yang mereka panjatkan kepada-Mu, dan Engkau sertakan mereka dalam kebaikan doa yang kami panjtakan kepada-Mu; Engkau berikan al-‘afiat kepada kami dan mereka; Engkau terima amalan ibadah dari kami dan mereka; Engkau hapuskan kesalahan kami dan mereka.

Karena sesungguhnya kami telah beriman dengan apa yang Engkau turunkan dan kami telah mengikuti sang Rosul, maka masukkanlah kami bersama para syaahid!.”

Lalu beliau SAW bersabda:
 
“Tidak ada seorang pun dari makhluknya yang berdoa dengan doa ini kecuali Allah menggabungkan dengannya dalam doa para penghuni di daratan dan di lautan, maka doanya menyebar kepada mereka, sementar dia yang berdoa tetap berada di tempatnya.”

RIWAYAT-RIWAYAT HADITS


Hadits ini diriwayatkan dari tiga sahabat, yaitu: 1. Hadits Abu Sa’id al-Khudri. 2. Hadits Bilal bin Abu Robaah. 3. Hadist Abdullah al-Aslami رضي الله عنهم:

PERTAMA: HADITS ABU SA’ID AL-KHUDRY رضي الله عنه


Ada dua riwayat:

Riwayat ke 1: Riwayat ‘Athiyyah bin ‘Amr.

Dari jalur ‘Athiyyah ini: Abu Sa’iid al-Khudri radhiyallahu 'anhu menyebutkan:


“Bahwa Rasulullah SAW dulu ketika dia selesai Shalat mengucapkan:

"اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ بِحَقِّ السَّائلينَ عَلَيْكَ، فإنَّ للسَّائِلِ عَلَيْكَ حَقًّا، أيَّمَا عَبْدٍ أوْ أمَةٍ مِن أهْلِ البَرِّ والبَحْرِ تَقَبَّلتَ دعْوَتَهُمْ، واسْتَجَبْتَ دُعَاءَهُمْ، أن تُشْرِكَنَا فِي صَالِحِ مَا يَدْعُونَكَ فيهِ، وأن تُشْرِكَهُمْ في صَالحِ ما ندْعُوكَ فيهِ، وأن تُعَافِينَا وإيَّاهُمْ، وأن تَتَقَبَّلَ مِنَّا ومِنْهُم، وأن تتجَاوَزَ عَنَّا وعَنْهُمْ فإنَّنا آمَنَّا بِمَا أنزَلْتَ واتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدينَ".


وَكَانَ يَقُولُ: " لا يَتَكَلَّمُ بِهذا أَحَدٌ مِنْ خَلْقِه إلاَّ أشْرَكَه اللهُ فِي دَعْوَةِ أهْلِ بَرِّهِم وَبَحْرِهِم فعَمَّتْهُم وَهُوَ مَكَانَه".


“Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon kepada-Mu, karena sesungguhnya orang-orang yang memohon kepada-Mu ada hak pada Mu.

Siapapun dari hamba lelaki maupun perempuan, dari kalangan penghuni daratan dan lautan, yang Engkau kabulkan permohonan mereka dan Engkau perkenankan doa mereka ; Agar engkau sertakan kami dalam kebaikan doa yang mereka panjatkan kepada-Mu, dan Engkau sertakan mereka dalam kebaikan doa yang kami panjtakan kepada-Mu; Engkau berikan al-‘afiat kepada kami dan mereka; Engkau terima amalan ibadah dari kami dan mereka; Engkau hapuskan kesalahan kami dan mereka.

Karena sesungguhnya kami telah beriman dengan apa yang Engkau turunkan dan kami telah mengikuti sang Rosul, maka masukkanlah kami bersama para syaahid!.”

Lalu beliau SAW bersabda: “Tidak ada seorang pun dari makhluknya yang berdoa dengan doa ini kecuali Allah menggabungkan dengannya dalam doa para penghuni di daratan dan di lautan, maka doanya menyebar kepada mereka, sementar dia yang berdoa tetap berada di tempatnya.”

(HR. Ibnu Mardawayh ((seperti dalam “الدر المنثور” 2/36), al-Daylami dalam “مسند الفردوس” (1/90/1-2 (seperti dalam “الضعيفة” no. 5986)) dan al-Syajari dalam ” الأمالي” (1/251)

Riwayat ke 2: Riwayat Fudhail bin Marzuuq.


Ada perbedaan pendapat riwayat darinya, apakah sanadnya MARFU’ atau MAUQUF ?.
 
Dalam riwayat Fudhail ini: Abu Said al-Khudry رضي الله عنه menyebutkan bahwa Rosulullah SAW bersabda:

« مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلاَةِ ، فَقَالَ: " اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ ، وَأَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا ، وَلاَ رِيَاءً وَلاَ سُمْعَةً ، وَخَرَجْتُ اتِّقَاءَ سُخْطِكَ ، وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ ، فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ " ، أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ ، وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ ».


Artinya: " Barang siapa keluar dari rumahnya untuk shalat, kemudian mengucapkan:

"Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang berdo'a kepada-Mu, dan aku meminta kepada-Mu dengan hak jalan kaki ku ini.
 
Sesungguhnya aku tidaklah keluar dengan sombong dan angkuh, tidak pula dengan riya' dan sum'ah (yakni: tidak mencari popularitas. Pen).

Aku keluar agar terbebas dari murka-Mu dan untuk mencari ridlo-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk membebaskanku dari apineraka dan mengampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau."

Maka Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya dan tujuh puluh ribu malaikat akan memohonkan ampun untuknya.

(HR. Ibnu Majah no. (778), Ahmad (3/21), Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid (hal. 17 cet. al-Harroos atau 1/41 cet. asy-Syahwaan atau اتحاف المهرة 5/342), al-Baghawi dalam “الجعديات” no. 2119, Ibnu al-Mudziir dlm “الأوسط” no. 1791, al-Baihaqi dlm “الدعوات الكبير” no. 65, ath-Tabraani dalam “الدعاء” no. 421 dan Ibnu as-Sinni no. 85).

HADITS KE DUA: HADITS BILAL BIN ABU ROBAAH رضي الله عنه


Dari Bilal RA muadzin Rosulullah SAW, dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا خَرَجَ إِلَى الصَّلاةِ قَالَ: ” بِسْمِ اللَّهِ، آمَنْتُ بِاللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ، اللَّهُمَّ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ، وَبِحَقِّ مَخْرِجِي هَذَا، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْهُ أَشَرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلا سُمْعَةً، خَرَجْتُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ، وَاتِّقَاءَ سَخَطِكَ، أَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ، وَتُدْخِلَنِي الْجَنَّةَ “


Dulu ketika Rasulullah SAW keluar untuk sholat, beliau mengucapkan:

“Dengan nama Allah, aku beriman kepada Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah

Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon kepada-Mu, dan dengan hak keluar ku ini, sesungguhnya aku tidak mengeluarkannya dengan sombong, tidak pula riya dan sum'ah, tetapi aku keluar karena berkeinginan mendapatkan ridho-Mu karena takut akan murka-Mu ; aku memohon pada-Mua agar Engkau melindungi ku dari api Neraka, dan memasukkan ku ke dalam surga

((HR. Ibnu Al-Sunni dalam “عمل اليوم والليلة” (No. 84(85) - dan lewat jalurnya Ibnu Hajar dalam “نتائج الأفكار” (1/270) dan Al-Daraqutni dalam “الأفراد” (2 /274 No. 1355) dan Jawami’u al-Kalim v4.5))

HADITS KE TIGA: HADITS ABDULLAH AL-ASLAMI رضي الله عنه:


Muhammad bin Ali bin Al-Muhtadii Billah dalam “المشيخة” (1/188/a) meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah al -Aslami RA, dia menagatakan:

Bahwa Rasulullah SAW di saat ia datang untuk shalat, beliau mengucapkan:

” اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ وَإِقْبَالِي إِلَيْكَ لَمْ أُقْبِلُ أَشِرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلَكِنْ أَقْبَلْتُ ابْتِغَاءَ طَاعَتِكَ، تَنْزِيهًا عَنْ سَخَطِكَ، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، فَإِنَّهُ لا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا أَنْتَ “.


قَالَ: ” مَنْ قَالَهَا أَقْبَلَ اللَّهُ بِوَجْهِهِ إِلَيْهِ، وَحُفَّتْ حَوْلَهُ الْمَلائِكَةُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاتِهِ “


Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon kepada-Mu, dan dengan hak aku menghadap-Mu, sesungguhnya aku tidak menghadap-Mu dengan sombong, tidak pula riya dan sum'ah, tetapi aku manghadap-Mu karena berkeinginan Taat pada-Mu agar terbebas dari murka-Mu ; maka ampuni lah dosa-dosaku, sungguh tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.

Beliau SAW berkata: "Siapa pun yang mengucapkannya, Allah akan menghadapkan wajah-Nya kepadanya, dan para malaikat akan mengelilinginya sampai dia menyelesaikan shalatnya."

(HR. Muhammad bin Ali bin Al-Muhtadii Billah dalam “المشيخة” (1/188/a) atau [ الأول من مشايخ أبي الحسين بن المهتدي بالله No. 139] dan Jawami’u al-Kalim v4.5)

DERAJAT HADITS SECARA RINGKAS


Ada dua pendapat:

Pertama: Yang mendhaifkan:

 
Hadits diatas DI DHA’IFKAN oleh sekelompok besar para ulama mutaakhiriin (generasi akhir), diantaranya adalah:

Muhammad ibn Abd al-Wahhab, Abul-Tsanaa' Mahmuud Al-Aluusi, Shiddiiq Hasan Khaan, Muhammad Bashir Al-Sahsawaani Al-Hindi, dan Abu Al-Ma'aalii Mahmuud Shukri Al-Aluusi.

Di antara ulama besar kontemporer yang mendhaifkannya adalah:

Sheikh al-Albaani, Syeikh Bin Baaz, Sheikh Hammaad Al-Anshari, Syeikh Abd al-Qadir al-Arna'uuth, Syekh Ali Hassan Abdul Hamid Al Halabi, Syeikh Shaleh bin Abdullah Al-Ushoymi dan Abu Hamzah Sayid bin Muhammad Al-Minyaawi.
.

Kedua: yang menshahihkannya atau yang menghasankannya.


Yang menshahihkannya: Ibnu Khuzaimah (menurut keterangan al-Bushairi) dan Syekh Ismail Al-Anshari..

Yang menghasankannya:
Diantaranya Ali bin Al-Mufadhdhal Al-Maqdisi, al-Dimyathi, al-‘Iraaqi, Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaani.

FIQIH HADITS DAN DALIL YANG BISA DI AMBIL DARI HADITS


Ada dua pendapat:

Pendapat Pertama:


Dalam hadits-hadits di atas, terdapat dalil akan di syariatkannya bertawassul dalam berdo’a dengan menyebut hak semua makhluk Allah yang bedo’a kepada-Nya, di manapun adanya, baik di daratan maupun di lautan.

Pendapat Kedua:


Bahwa maksud hadits ini adalah bertawassul dalam berdoa dengan cara menyebutkan janji Allah SWT yang telah berjanji memberikan hak orang yang berdoa kepada-Nya, yaitu hak dikabulkan doanya jika ikhlas / murni ditujukan kepada Allah dan karena Allah.  

Pendapat Ini berdasarkan pada firman Allah SWT:
 

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِى عَنِّى فَإِنِّى قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ ٱلدَّاعِ إِذَا دَعَانِ ۖ فَلْيَسْتَجِيبُوا۟ لِى وَلْيُؤْمِنُوا۟ بِى لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ


Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. Al-Baqarah Ayat 186).

Dan Firman Allah SWT:

رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ

 
“Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau”. (QS. Al Imran:194).

Dan Rosulullah SAW bersabda:

لَا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ مَا لَمْ يَسْتَعْجِلْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الِاسْتِعْجَالُ قَالَ يَقُولُ قَدْ دَعَوْتُ وَقَدْ دَعَوْتُ فَلَمْ أَرَ يَسْتَجِيبُ لِي فَيَسْتَحْسِرُ عِنْدَ ذَلِكَ وَيَدَعُ الدُّعَاءَ


“Senantiasa akan dikabulkan (permintaan/doa) seorang hamba selama dia tidak berdo’a dalam perkara dosa, perkara yang memutus silaturrahim, serta selama tidak tergesa-gesa dalam do’anya”.

Salah seorang sahabat bertanya: ‘Apa yang dimaksud ketergesa-gesaan dalam do’a Ya Rasulullah?’
Beliau mengatakan: “dia mengatakan aku telah berdo’a, aku telah berdo’a namun aku tidak melihat Allah mengabulkannya untukku’ kemudian ia pun berpaling dan meninggalkannya”.
[HR. Muslim no. 2735]

Mushthofa bin Kamaluddin al-Bakri dalam “الضياء الشمسي على الفتح القدسي” 1/313 (Tahqiqi Ahmad al-Muzaidi) berkata:

"والمراد من حق السائلين ما وعدهم به سبحانه من استجابة دعائهم وإثابتهم على طاعتهم ، وإن كان لس لمخلوق حق على خالقه – كما هو مذهب أهل السنة والجماعة – فنزل إنجاز ما وعدهم به منزلة الحق ، الحق الواجب عليه ؛ لثبوت وقوعه وتحقق إنجازه ، وإن لم يجب عليه شيء ، لكنه يخلف الميعاد ، وإن جاز عليه خلف الوعيد والإيعاد ".


“Yang dimaksud dengan hak orang yang berdo’a adalah: apa yang dijanjikan-Nya kepada mereka - Maha Suci Dia - untuk mengabulkan do’a mereka dan imbalan pahala atas ketaatan mereka, meskipun bagi makhluk tidak memiliki hak atas Penciptanya - Sebagaimana dalam madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jamaa'ah - maka pemenuhan apa yang dijanjikan Allah kepada mereka itu adalah sesuatu yang hak / benar, hak yang wajib atas-Nya ; karena itu adalah sesuai dengan realita yang terjadi dan benar-benar terbukti terpenuhinya janji tsb, dan meskipun tidak ada kewajiban atas-Nya, akan tetapi jika tidak maka dia mengingkari janji, meskipun boleh-boleh saja baginya untuk menyelisi janji”.

Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam jawaban khusus untuk hadits (مجموع الفتاوى 1/369):

"Adapun perkataan, 'Aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang meminta kepada-Mu', diriwayatkan oleh Ibnu Majah akan tetapi sanad hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah.

Sekiranya hadits ini berasal dari Nabi SAW, maka makna hadits ini adalah sesungguhnya hak orang-orang yang berdo'a kepada Allah adalah Allah kabulkan do'a mereka. Sedangkan hak orang yang beribadah kepada Allah adalah Allah memberikan pahala padanya.

Hak ini Dia tetapkan atas diri-Nya sebagaimana firman-Nya,

 وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ 

    
"Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku." (QS. Al Baqarah: 186)

Maka ini adalah permintaan kepada Allah dengan hak yang telah Dia wajibkan atas diri-Nya, sehingga persis do'a berikut ini:

 رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ .


"Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau." (QS. Ali Imran: 194)

Dan seperti do'a ketiga orang yang berlindung ke goa, ketika mereka meminta kepada Allah dengan perantara amalan shalih mereka yang Allah telah berjanji untuk memberi pahala atas amalan tersebut." (Majmu' Fatawaa (1/369)). [ Lihat pula: “اقتضاء الصراط المستقيم” (418)]

TAKHRIIJ HADITS-HADITS DI ATAS YANG LEBIH RINCI


Hadis tersebut diriwayatkan dari Abu Sa’iid Al-Khudri, Bilal bin Abi Rabah, dan Abdullah Al-Aslami radhiyallahu 'anhum:

PERTAMA: HADITS ABU SA’IID AL-KHUDRIY رضي الله عنه:


ATHIYYAH AL-‘AUFI meriwayatkan darinya. Dan ada dua orang meriwayatkan dari Athiyyah:

PERAWI KE 1 dari Athiyyah: adalah Fudhail bin Marzouq:


Ibnu Majah (no. 778) berkata: Telah menceritakan kepada kami [Muhammad bin Sa'id bin Yazid bin Ibrahim At Tustari] berkata, telah menceritakan kepada kami [Al Fadhlu Ibnul Muwaffaq Abu Al Jahm] berkata, telah menceritakan kepada kami [Fudlail bin Marzuq] dari [Athiyyah al-‘Aufi ] dari [Abu Sa'id Al Khudri رضي الله عنه], ia berkata; Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:

« مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلاَةِ ، فَقَالَ: " اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ ، وَأَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا ، وَلاَ رِيَاءً وَلاَ سُمْعَةً ، وَخَرَجْتُ اتِّقَاءَ سُخْطِكَ ، وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ ، فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ " ، أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ ، وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ ».


Artinya: " Barang siapa keluar dari rumahnya untuk shalat, kemudian mengucapkan:

"Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang berdo'a kepada-Mu, dan aku meminta kepada-Mu dengan hak jalan kaki ku ini.
 
Sesungguhnya aku tidaklah keluar dengan sombong dan angkuh, tidak pula dengan riya' dan sum'ah (yakni: tidak mencari popularitas. Pen).

Aku keluar agar terbebas dari murka-Mu dan untuk mencari ridlo-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk membebaskanku dari apineraka dan mengampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau."

Maka Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya dan tujuh puluh ribu malaikat akan memohonkan ampun untuknya.

Ada perbedaan pendapat tentang riwayat dari dia dengan sanad MARFU’ dan MAUQUF.

Riwayat MARFU’’:

Diriwayatkan oleh Ibn Majah (778) melalui jalur Al-Fadhel Ibnu Al-Muwaffaq.

Diriwayatkan oleh Ibn Khuzaymah dalam al-Tauhaid (hal. 17 cet. al-Haras / الهراس, 1/42 cet. al-Syahwaan / الشهوان, atau 5/342 إتحاف المهرة) dari jalur Salim bin Hayyan al-Basri.

Diriwayatkan oleh Al-Baghawi dalam “الجعديات” (2119), Ibnu Al-Mundzir dalam “الأوسط” (1791) dan Al-Bayhaqi dalam “الدعوات الكبير” (65) dari jalan Yahya bin Abi Bukair.

Dan Al-Tabarani meriwayatkannya dalam “الدعاء” (421) - dan dari jalurnya Ibnu Hajar al-Asqalani meriwayatkannya dalam “نتائج الأفكار” (1/272) - dan Ibnu Al-Sunni (85) melalui Abdullah bin Saleh Al-‘Ijliy.

Mereka meriwayatkan nya dari Fudhail, dengan sanad MARFU’.

Diriwayatkan oleh Ahmad (3/21) dan Ahmad ibnu Munai'/منيع (seperti dalam “مصباح الزجاجة” 1/99) dan al-Baghawi dalam “الجعديات” (2118) dari Yazid ibn Harun dari Fudhail dengan itu.

Yazid berkata:

قلت لفضيل: رفعه؟ قال: أحسب قد رفعه


Aku berkata kepada Fudhail: Dia memarfu’kannya? Dia berkata: Saya pikir dia memarfu’kannya.

Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dalam al-Tauhiid (hal. 17 cet. al-Haras, 1/41 cet. al-Syahwaan) dan Ibnu Busyraan dalam “الأمالي” (1/325 nomor 754) dari Muhammad ibnu Yahya ibnu Dhoriis, dari Ibnu Fudhaill (dia adalah Muhammad ibn Fudhail ibn Ghazwaan), dari Fudhail dengannya.

Ibnu Dhoriis berkata: “أراه رفعه: Saya melihat bahwa dia me marfu’ kannya”. (Seperti itu yang terdapat dalam cetakan “Al-Haraas / الهراس)

Riwayat MAUQUF:

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim al-Fadhel bin Dakiin dalam Kitab “الصلاة” (seperti dalam “النتائج” 1/273) dari Fudhail dengan sanad MAUQUF, dan di dalamnya ada تصريح / pernyataan Athiyyah dengan التحديث / bicara langsung.

Dan Ibnu Hajar meriwayatkan bahwa Abu Na'im al-Asbahani meriwayatkannya melalui Abu Nua'im al-Kufi dari Fudhail dengan sanad MARFU’, dan ini bertentangan dengan apa yang ada dalam kitab Abu Nua'im sendiri, dan dengan apa yang dinyatakan oleh Abu Haatim dalam “العلل” (2048), dan al-Dhahabi dalam “الميزان” (2/447).

Dan itu diriwayatkan oleh Ibnu Abi Shaybah (10/211) dari Waki', dari Fudhail, dan itu juga dengan sanad MAUQUF.

Peringatan:

Hadits tersebut disebutkan oleh Roziin / رزين (seperti dalam “الترغيب والترهيب” At- 2/304 dan “جامع الأصول” 4/318), dan ada tambahan dalam teksnya yang tidak ada dasar nya.

DERAJAT HADITS:


Ada yang mendhoifkannya dan adapula yang meng hasan kannya, bahkan ada yang menshahihkannya.

PARA AHLI HADITS YANG MEN-DHA’IFKAN-NYA:

 
Riwayat ini didhaifkankan oleh sekelompok besar para ulama mutaakhiriin (generasi akhir).

Diantaranya: Muhammad ibn Abd al-Wahhab, dalam “تلخيص كتاب الاستغاثة” (manuscrift, seperti dalam kitab “الانتصار” karya Syekh Ismail al-Anshari, hal. 15, Abul-Tsanaa' Mahmuud Al-Aluusi dalam “روح المعاني” (6/127), Shiddiiq Hasan Khaan dalam “نزل الأبرار” (71), Muhammad Bashir Al-Sahsawaani Al-Hindi dalam “صيانة الإنسان” (102-115), dan Abu Al-Ma'aalii Mahmuud Shukri Al-Aluusi dalam “غاية الأماني” (1/255).

Di antara ulama kontemporer yang mendha’ifkannya adalah:

Sheikh Bin Baaz dalam “التحفة الكريمة” dan Syeikh Al-Albani dalam sejumlah bukunya.

Termasuk diantara mereka adalah Sheikh Hammaad Al-Anshari dalam “تحفة القاري في الرد على الغماري” (hal.56-59). Dia juga berkata (seperti dalam “المجموع في ترجمة حماد الأنصاري” 2/480):

حديث "أسألك بحق السائلين" من الصعب تصحيحه، بل هو ضعيف.


“Hadits “Aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang berdo’a pada-Mu” sulit untuk dishahihkannya, melainkan ia adalah dha’if “.

Dan diantara mereka yang mendhaifkannya adalah Syeikh Abd al-Qadir al-Arna'uuth dalam “تخريج جامع الأصول” (4/318) dan dalam “تخريج زاد المعاد” (2/369), semoga Allah merahmati pada mereka semua.

Bahkan diantara mereka ada juga yang mengkhususkan sebuah karya ilmiyah penelitian tercetak dan menyimpulkan kedha’ifan hadits tsb, mereka itu adalah:

Syekh Ali Hassan Abdul Hamid Al Halabi dalam “الكشف والتبيين”, Syeikh Shaleh bin Abdullah Al-Ushoimi dalam “الفصل بين المتنازعين”, dan Abu Hamzah Sayid bin Muhammad Al-Minyaawi dalam “مدارج السالكين”.

PARA AHLI HADITS YANG MEN-SHAHIHKAN HADITS ATAU MENG-HASANKAN-NYA:


Meskipun adanya illat-illat sanad hadits, diantaranya Athiyyah Al-Aufi, namun ada sebagian para hufaadz dari kalangan mutaakhirin yang mentolerir dan memperkuat hadits kemudian sebagian dari mereka ada yang menshahihkannya dan ada pula yang menghasankannya.

Al-Bushairi mengatakan dalam Zawa'id Ibnu Majah (1/98):

"هذا إسناد مسلسل بالضعفاء، عطية هو العوفي، وفضيل بن مرزوق، والفضل بن الموفق: كلهم ضعفاء، لكن رواه ابن خزيمة في صحيحه من طريق فضيل بن مرزوق، فهو صحيح عنده".


“Ini adalah Sanad yang berantai dengan rantaian para perawi yang dha’if, Athiyah adalah Al-Aufi, Fudhail bin Marzuuq, Al-Fadhel bin Al-Muwaffaq: mereka semua adalah lemah.

Tapi itu diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaymah dalam “as-Shahih” nya melalui Fudhail bin Marzuuq, dan itu shahih menurut dia”.

Ali bin Al-Mufadhdhal Al-Maqdisi, beliau menghukuminya HASAN [ Seperti dalam “الترغيب والترهيب” (3/273) ].

Dan juga al-Dimyathi dalam “المتجر الرابح” (hal. 471)

Dan begitu pula al-‘Iraaqi menghasankan sanadnya dalam “تخريج إحياء علوم الدين” (1/291). Dan dinukil darinya dalam “إتحاف السادة المتقين” 5/89

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam “نتائج الأفكار” (1/272):

هذا حديث حسن... إن عطية صرح بالتحديث في رواية أبي نعيم الفضل بن دكين الموقوفة، وقد أُمِنَ بذلك تدليس عطية!


Ini adalah hadits yang HASAN.... Sesungguhnya Athiyyah secara jelas menyatakan dengan tahdiits (التحديث / bicara langsung) dalam riwayat Abu Nu’aim Al-Fadhel bin Dukain yang MAUQUF. Dan dengan itu telah aman dari tadliisnya “.

Syekh Ismail Al-Anshari, semoga Allah merahmatinya, menulis sebuah Risalah khusus untuk memperkuat akan keshahihan hadits tsb yang berjudul “الانتصار”, ini sudah dicetak.

Syeikh al-Kautsari mengatakan dalam artikelnya (425):

"ولم ينفرد عطية عن الخدري، بل تابعه أبوالصديق عنه في رواية عبدالحكم بن ذكوان، وهو ثقة عند ابن حبان، وإن أعله به أبوالفرج في علله".


“Athiyah tidak sendirian meriwayatkannya dari al-Khudri, akan tetapi ada mutaaba’ah, yaitu Abu Ash-Shiddiiq yang mengikutinya dalam riwayat Abd al-Hakam ibnu Dzakwan, dan dia dapat dipercaya / tsiqoh menurut Ibnu Hibban, meskipun Abu al- Faraj menganggapnya sebagai illat dalam kitabnya “العِلَل”.”

BANTAHAN TERHADAP PENSHAHIHAN DAN PENGHASANAN HADITS:


Pentashihan Ibnu Khuzaimah, penghasanan Ibnu Hajar dan lainya ini perlu dikaji ulang.

PERTAMA: apakah benar Ibnu Khuzaimah menshahihkan hadits tsb seperti yang di kutip oleh al-Busyairi:


Al-Bushairi mengatakan dalam Zawa'id Ibnu Majah (1/98):

" رواه ابن خزيمة في صحيحه من طريق فضيل بن مرزوق، فهو صحيح عنده".


“Ibnu Khuzaymah meriwayatakannya dalam kitab “ash-Shahih”nya melalui Fudhail bin Marzuuq, dan itu shahih menurut dia”.

Jawabannya:

Demikianlah, Bushairy menukil dari Ibn Khuzaymah dalam Shahih-nya, akan tetapi saya tidak menemukannya di dalam Shahihnya, dan Ibn Hajar juga tidak menukilnya dalam “اتحاف المهرة” (5/342 dan 348), dan saya tidak menemukan nukilan ini dari siapa pun selain al-Bushairi.

Mungkin dia keliru antara Kitab “at-Tauhid” dengan kitab “as-Shahih” yang sama-sama karya Ibnu Khuzaymah, dan yang pasti hadits tsb ada dan diketemukan dalam kitab at-Tauhid.

Dan Bagi orang yang meneliti Kitab “at-Tauhid” ; akan menemukan bahwa Ibnu Khuzaymah tidak mensyaratkan harus hadits yang shahih di dalamnya, melainkan hanya sebatas mengutipnya sebagai isyarat dan syahid.

Nampaknya al-Bushari telah merujuknya ke dalam kitab lain miliknya.

Jika ada seseorang yang mengatakan bahwa Ibnu Khuzaymah tidak menshahihkannya sesuai dengan syaratnya, ; maka perkataan itu tidak berlebihan dan tidak jauh jauh dari kebenaran ; karena dia tidak memasukkannya dalam kitab “ash-Shahih” nya, dan begitu pula dia tidak menshahihkannya dalam. kitab “at-Tauhid”.

Padahal diriwayatkan olehnya dan diketahui olehnya, bahkan Ibn Hajar menyatakan dalam “إتحاف المهرة” (6/477):

أن منهج ابن خزيمة في الأخبار الضعيفة والمعلولة هو تعليقها ثم وَصلها


bahwa manhaj Ibn Khuzaymah terhadap hadits-hadits dha’if dan ber illat adalah dengan men ta’liq nya dan kemudian menyambungkan sanadnya.

(Lihat pula: Risaalah “مدارج السالكين في تحقيق حديث أسألك بحق السائلين” hal. 22-23)

Dan Ibnu Khuzaymah sendiri berulang kali menyatakan dengan jelas: bahwa Athiyah itu dha’if. Dan karenanya ; maka nampaknya Ibnu Khuzaymah mendha’ifkan hadits tsb, oleh karena itu tidak memasukkannya ke dalam kitan “ash-Shahih”nya. Ini adalah kesimpulan yang paling tepat untuk hadits ini, dan didukung pula dengan adanya perkataan para ulama ber abad-abad sebelum al-Bushairy ; maka jelaslah bahwa pemahamannya terhadap penshahihan Ibnu Khuzaimah adalah sebuah ijtihad yang marjuuh (اجتهاد مرجوح).

[ Lihat: “الدرة اليتيمة في تخريج أحاديث التحفة الكريمة” (66) hadits “اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ”. Artikel yang di tulis oleh Syeikh Muhammad Ziyad At-Taklah ].

KEDUA: bantahan terhadap peng-hasan-an al-Hafidz Ibnu Hajar dan lainnya ;


Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaani berkata dalam “نتائج الأفكار” (1/272):

هذا حديث حسن... إن عطية صرح بالتحديث في رواية أبي نعيم الفضل بن دكين الموقوفة، وقد أُمِنَ بذلك تدليس عطية!


Ini adalah hadits yang HASAN.... Sesungguhnya Athiyyah secara jelas menyatakan dengan tahdiits (التحديث / bicara langsung) dalam riwayat Abu Nu’aim Al-Fadhel bin Dukain yang MAUQUF. Dan dengan itu telah aman dari tadliisnya “.

Bantahan:

Yang benar sanad hadits ini lemah, karena didalamnya terdapat perawi yang bernama Athiyah al-Aufi, dia itu dhoif (lemah) seperti yang di katakan Imam Nawawi dalam kitabnya Al-Adzkaar, Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Qoidah Al-Jalilah dan Adz-Dzahaby dalam kitabnya Al-Miizan, bahkan beliau menyatakan dalam kitabnya Adh-Dhu'afa: " Telah di sepakati (Ijma') akan kedhaifannya ".

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Haitsamy (beliau guru al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaani) dalam kitabnya “مجمع الزوائد” mengatakan:

" Abu Bakar bin Muhib al-Ba'labaky telah memasukkan Athiyah al-Aufy ini ke dalam kitabnya Ad-Dhuafa wal Matrukin (kumpulan orang-orang yang lemah dan yang ditinggalkan hadits-haditsnya)". (Selesai)

BAHKAN al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolany sendiri menyatakan tentang Athiyyah:

" Dia adalah Shoduq banyak salah-salahnya, dia seorang syiah dan seoarang Mudallis (orang yang biasa menghilangkan atau mengaburkan nama perawi yang dhaif dalam sanad agar dikira sanadnya bagus)".

Beliau menjelaskan sebab kedhaifannya, yaitu ada tiga sebab:

Pertama: lemah hafalannya. Seperti yang beliau jelaskan dalam kitab-kitabnya Tabaqat Mudallisin, Talkhisul Habir dan lainnya.

Kedua: dia seorang syiah. Namun Predikat syiah ini sebetulnya tidak bisa di katagorikan cacat perawi secara mutlak menurut qaul yang rajih.

Ketiga: Dia seorang Mudallis (مدلس). Dan Tadliis (تدليس) itu ada banyak jenis nya, yang termashhur adalah seperti berikut ini:

Tadliis pertama:

Yaitu Seorang perawi meriwayatkan dari orang yang pernah ia jumpainya sebuah hadits yang dia tidak mendengarnya dari orang tsb atau meriwayatkan sebuah hadits dari orang yang hidup sezaman dengannya, tapi belum pernah berjumpa, supaya di kira dia mendengarnya langsung, seperti dengan mengatakan: dari si Fulan atau si Fulan telah berkata:

Tadliis Kedua:

Seorang perawi menyebutkan nama syeiknya atau gelarnya yang tidak masyhur untuk membutakan kondisi syeiknya yang dhaif. Para ulama pakar hadits terang-terangan mengharamkan tadliis jenis ini, yaitu jika sheikhnya tidak tsiqoh (tidak dipercaya), kemudian dia lakukan pentadliisan agar tidak dikenal kondisinya atau mengaburkan pandangan sehingga di kira dia adalah orang lain yang tsiqoh (dipercaya) karena namanya atau gelarnya sama. Tadliis jenis ini di kenal dengan istilah Tadliis Syuyukh (تدليس الشيوخ).

(Lihat: الأحاديث الضعيفة والموضوعة وآثارها السيء في الأمة karya syeikh Al-Albany hal. 24)

Dan tadliis yang di lakukan oleh ‘Athiyyah al-Aufi itu adalah Tadliis jenis yang kedua ini, yaitu Tadliis Syuyukh (تدليس الشيوخ), tadliis yang paling buruk dan di haramkan, seperti yang di tegaskan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqolany dalam kitabnya “طبقات المدلسين” hal. 18, beliau berkata:

" Dia seorang tabi'i yang di kenal, lemah hafalannya, dia seorang yang masyhur dengan predikat mudallis yang buruk ".

RINGKASNYA:


Bahwa Athiyah ini pernah meriwayatkan hadits dari sahabat Nabi SAW yang bernama Abu Said Al-Khudry رضي الله عنه, setelah beliau wafat dia berguru kepada salah seorang dari para pendusta yang terkenal dengan kebohongannya dalam menyampaikan hadits, yaitu orang yang bernama Al-Kalby.

Semenjak itu Athiyah setiap kali meriwayatkan hadits dari dia, selalu menggunakan Kuniyah Abu Said, maka orang-orang yang mendengarnya mengira nya Abu Said Al-Khudry sahabat Nabi SAW, bukan Abu Said Al-Kalby si pendusta. Hal ini saja sudah cukup untuk menjatuhkan kredibelitasnya, apalagi jika ditambah dengan daya hafalnya yang buruk.

(Lihat: اختصار علوم الحديث karya Ibnu Katsir hal. 59, dengan syarah Ahmad Syakir hal. 95, التوسل أنواعه وأحكامه karya Syeikh Al-Albaany hal. 110).

Dengan demikian al-Hafidz Ibnu hajar sendiri telah menggelari Athiyah seorang mudallis secara muthlak.

Dan dalam hadits ini, sungguh Athiyyah telah meriwayatakannya dengan ‘An’anah / عنعنة (Yakni dengan kata: “dari “).

Adapun Ibnu Hajar menghukumi HASAN hadits ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari pernyataan Athiyyah bahwa dirinya mendengar lagsung (بالسماع) oleh Abu Nua'im al-Fadhel bin Dukain ; maka saya tidak melihatnya itu mahfudz (bisa dipertahankan), karena setiap orang yang meriwayatkannya dari Fudhail dari Athiyyah mengutipnya itu dengan an'anah / عنعنة.

Adapan dengan تصريح (penjelasan) dengan السماع (mendengar langsung), maka itu datang dalam riwayat MAUQUF, bukan marfu’!

Dan juga dinyatakannya tanpa menisbatkan bahwa Abu Sa’iid di sini adalah al-Khudri.

Jika seandainya benar terbukti adanya تصريح / penjelasan dengan السماع / mendengar langsung – dalam hal ini – ; maka tetap saja tidak menghilangkan apapun dari kelemahan hadits ini ; bahkan akan lebih mencurigakan lagi bahwa Abu Sa’iid di sini sebenarnya adalah al-Kalbi, bukan al-Khudry.

Syeikh Al-Albani menyebutkan hal ini dalam “الضعيفة” (1/86), dan dalam “التوسل” (hal. 96), serta Sheikh Hammaad Al-Anshari dalam “تحفة القارئ” (hal. 59).

BANTAHAN TERHADAP AL-KAUTSRY:


Bantahan terhadap pernyataan Syeikh al-Kautsari bahwa terdapat mutaaba’ah untuk hadits ini, yaitu riwayat Abu Ash-Shiddiiq. Beliau mengatakan dalam artikelnya (425):

"ولم ينفرد عطية عن الخدري، بل تابعه أبوالصديق عنه في رواية عبدالحكم بن ذكوان، وهو ثقة عند ابن حبان، وإن أعله به أبوالفرج في علله".


“Athiyah tidak sendirian meriwayatkannya dari al-Khudri, akan tetapi ada mutaaba’ah, yaitu Abu Ash-Shiddiiq yang mengikutinya dalam riwayat Abd al-Hakam ibnu Dzakwan, dan dia dapat dipercaya / tsiqoh menurut Ibnu Hibban, meskipun Abu al- Faraj menganggapnya sebagai illat dalam kitabnya “العِلَل”.”

Bantahannya:

Syeikh al-Albaani telah membantah al-Kautsari dalam “السلسلة الضعيفة” no. 24 dan 6252, dengan menyatakan bahwa illat hadits mutaaba’ah tsb adalah “جهالة الراوي” ketidak jelasan status perawi.

Namun penulis katakan:

Bantahan yang paling tepat adalah apa yang di katakan oleh Syeikh Muhammad Ziyad At-Taklah dalam makalahnya:

قلت: حديثنا هذا لم يروه أحدٌ من طريق أبي الصديق، والمتابعة المزعومة هي ما رواه أبوالفرج ابن الجوزي في العلل المتناهية (1/410 رقم 689) من حديث عبدالحكم، عن أبي الصديق، عن أبي سعيد، عن النبي - صلى الله عليه وسلم - أنه قال: "بشر المشائين في الظلم بالنور التام يوم القيامة"!....

فضلا أن عبدالحكم ليس ابن ذكوان، بل هو ابن عبدالله القسملي، وهو ضعيف جدا.

ثم لم ينفرد ابنُ الجوزي بإعلال الحديث، بل سبقه العقيلي وابن عدي.

وقد رواه من هو أعلى من ابن الجوزي -كالطيالسي وأبي يعلى الموصلي والعقيلي وابن عدي...


Aku katakan: “Bahwa hadits yang kami bahas ini tidak ada yang meriwayatkannya - siapa pun - dari jalur Abu Ash-Shiddiiq.

Dan mutaaba’ah yang al-Kautsari klaim itu ternyata hadits lain, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Abu Al-Faraj Ibnu Al-Jauzi dalam “العلل المتناهية” (1/ 410 No.689) dari hadits Abdul Hakam ibnu Dzakwan dari Abu Ash-Shiddiiq, dari Abu Sa’iid, dari Nabi -SAW- bahwa beliau bersabda:

" بَشِّرِ المَشَّائينَ في الظُّلْمِ إِلَى المَسَاجِدِ، بالنُّورِ التَّامِّ يَوْمَ القِيَامَةِ ".


"Berilah kabar gembira kepada mereka yang berjalan menuju masjid-masjid dalam kegelapan malam dengan cahaya terang sempurna di hari kiamat.”

Ini adalah hadits lain sangat berbeda subtansinya.

[Hadits ini diriwayatkan Abu Daud no. 561 dari hadits Buraidah bin al-Hushoib al-Aslami. Di shahihkan oleh al-Albaani. Dan sebutkan pula oleh imam as-Sayuthi dalam “الجامع الصغير” no. 2129 dari hadits Buraidah, Anas bin Malik dan Sahal bin Sa’ad رضي الله عنهم. Pen].

Selain itu, Abd al-Hakam di sini bukanlah Ibnu Dzakwaan, melainkan Ibnu Abdullah al-Qosmali, dan dia itu Dha’if sekali.

Kemudian Ibnu al-Jawzi tidak sendirian dalam menghukumi bahwa hadits ini ber illat / cacat, tetapi al-Uqaili dan Ibnu ‘Adiy telah mendahuluinya.

Telah meriwayatkannya orang-orang yang lebih tinggi dari Ibnu al-Jauzi - seperti ath-Thoyaalisi, Abu Ya'la al-Mauhsili, al-‘Uqaili dan Ibnu ‘Adiy…

[ Lihat: “الدرة اليتيمة في تخريج أحاديث التحفة الكريمة” (66) hadits “اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ” ].

KESIMPULANNYA:


Dalam sanad hadits ini ada ada empat illat:

Yang pertama:


Dhaifnya Athiyyah, dia itu dhaif yang banyak menduga-duga (ضعيف وَاهٍ) menurut mayoritas para ulama dan para ahli hadits, dan sebagian yang mereka lakukan adalah mendhaifkan haditsnya.

Yang Kedua:


‘An'anah (عَنْعَنَة) Athiyyah, dia itu seoarang mudallis derajat keempat menurut pembagian Ibnu Hajar, dan tadlis Atiyah dari Abu Sa’id Al-Khudri RA secara khusus, itu buruk menurut sekelompok para ulama.

Imam Ahmad dan Ibnu Hibban menyebutkan bahwa Athiyyah biasa meriwayatkan dari al-Kalbi (sosok orang yang Matruuk / ditinggalkan haditsnya), dan kuniyah nya (nama panggilannya) adalah Abu Sa’id, sehingga membuat orang yang mendengarnya mengira bahwa dia adalah Abu Sa’iid al-Khudri.

Hadits diatas ini diriwayatkan dengan sanadnya dari jalur al-Kalbi, dan dengan tanpa sanad dua konteks lainnya, dan seklompok para huffaadz berhujjah dengan kisah hadits ini bahwa Athiyyah itu seorang mudallis yang buruk.

Berdasarkan hal ini, maka sekalipun dijelaskan bahwa nisbat kepada Abu Sa’iid di sini adalah Al-Khudri, maka tetap saja tidak aman, bisa jadi nisbat nya itu datang dari perawi di bawah Athiyyah, atau itu adalah ilusi / وَهْمُ dari Athiyyah sendiri!

Dan menurut pendapat orang yang tidak mengakui hikayat Athiyah dengan al-Kalbi, maka al-Hafidz Ibnu hajar sendiri telah menggelari Athiyah seorang mudallis secara muthlak, dan sungguh Athiyyah di hadits ini telah meriwayatakannya dengan ‘An’anah / عنعنة.

Syeikh Al-Albani menyebutkan hal ini dalam “الضعيفة” (1/86), dan dalam “التوسل” (hal. 96), serta Sheikh Hammaad Al-Anshari dalam “تحفة القارئ” (hal. 59).

Yang ketiga:


Pembicaraan tentang Fudhail bin Marzuuq:

Dia itu meskipun jujur / صدوق menurut jumhur, akan tetapi ada pembicaraan tentang dirinya pada sisi hafalan dan penguasaan yang betul-betul meyakinkan, terutama dalam apa yang dia riwayatkan dari Athiyyah. Dan ini termasuk bukti yang menunjukkan bahwa Fudhail tidak bisa menetapkan dengan tepat perbedaan perawi tentang sanad hadits itu, apakah MARFU’ atau MAUQUF. [ Lihat “تهذيب الكمال وحاشيته” 23/307-309 ].

Yang Keempat:


Mengenai Perbedaan riwayat dalam hal MAUQUF dan MARFU’, maka barang siapa yang meriwayatkannya MAUQUF jauh lebih hafal dan lebih sempurna dari yang meriwayatkannya MARFU’.

Dan Imam Abu Haatim Al-Razi dalam “العلل” (2/184 No. 2048) menyatakan bahwa yang memauqufkan lebih mirip ke yang shahih, begitu juga dengan hukum yang dipakai oleh Al-Dzahabi dalam “الميزان” (4/447).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka hadits ini sangat lemah, bahkan meskipun ilat yang kedua dikecualikan.

Al-Bushairi mengatakan dalam Zawa'id Ibnu Majah (1/98):

"هذا إسناد مسلسل بالضعفاء، عطية هو العوفي، وفضيل بن مرزوق، والفضل بن الموفق: كلهم ضعفاء


“Ini adalah Sanad yang berantai dengan rantaian para perawi yang dha’if, Athiyah adalah Al-Aufi, Fudhail bin Marzuuq, Al-Fadhel bin Al-Muwaffaq: mereka semua adalah lemah “.

Dan Syeikh Al-Albaany menyimpulkan:

"Kesimpulannya, sesungguhnya hadits ini dha'if dari dua jalur periwatannya dan salah satunya lebih berat kedha'ifannya daripada yang lain. Hadits ini telah didha'ifkan oleh Al Bushiriy, Al Mundziri dan para pakar hadits. Barangsiapa yang menghasankan hadits ini, maka sesungguhnya dia salah sangka atau bertasaahul (terlalu menggampangkan)."
(سلسلة الأحاديث الصحيحة (1/38) nomor 24).

Dan Hadits Abu Sa’id ini di Dhaifkan pula oleh Su’aib al-Arnauth dalam “تخريج منهاج القاصدين” no. 58.

Wallahu a’lam.

PERAWI KE 2 dari Athiyyah: ‘Amr bin Athiyyah al-‘Aufi.


‘Amr adalah putra ‘Athiyyah, dan riwayatnya berbeda dengan yang lain dalam teks / matan haditsnya:

Diriwayatkan oleh Ibnu Mardawayh ((seperti dalam “الدر المنثور” 2/36), al-Daylami dalam “مسند الفردوس” (1/90/1-2 (seperti dalam “الضعيفة” no. 5986)) dan al-Syajari dalam ” الأمالي” (1/251) dari jalur ini dari Abu Sa’iid al-Khudri radhiyallahu 'anhu: bahwa Rasulullah SAW dulu pernah mengatakan ketika dia selesai Shalat:

اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ بِحَقِّ السَّائلينَ عَلَيْكَ، فإنَّ للسَّائِلِ عَلَيْكَ حَقًّا، أيَّمَا عَبْدٍ أوْ أمَةٍ مِن أهْلِ البَرِّ والبَحْرِ تَقَبَّلتَ دعْوَتَهُمْ، واسْتَجَبْتَ دُعَاءَهُمْ، أن تُشْرِكَنَا فِي صَالِحِ مَا يَدْعُونَكَ فيهِ، وأن تُشْرِكَهُمْ في صَالحِ ما ندْعُوكَ فيهِ، وأن تُعَافِينَا وإيَّاهُمْ، وأن تَتَقَبَّلَ مِنَّا ومِنْهُم، وأن تتجَاوَزَ عَنَّا وعَنْهُمْ فإنَّنا آمَنَّا بِمَا أنزَلْتَ واتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدينَ.


 “Ya Allah! Dengan hak orang-orang yang meminta kepada-Mu, karena sesungguhnya orang-orang yang meminta kepada-Mu ada hak pada Mu, siapapun dari hamba lelaki mahupun perempuan, dari kalangan penghuni daratan dan lautan, yang Engkau kabulkan permohonan mereka dan Engkau perkenankan doa mereka ; Agar engkau sertakan kami dalam kebaikan doa yang mereka panjatkan kepada-Mu, dan Engkau sertakan mereka dalam kebaikan doa yang kami panjtakan kepada-Mu; Engkau berikan al-‘afiat kepada kami dan mereka; Engkau terima amalan ibadah dari kami dan mereka; Engkau hapuskan kesalahan kami dan mereka. Karena sesungguhnya kami telah beriman dengan apa yang Engkau turunkan dan kami telah mengikuti sang Rosul, maka masukkanlah kami bersama para syaahid.”

وكان يقول: "لا يتكلم بهذا أحد من خلقه إلا أشركه الله في دعوة أهل برّهم وبحرهم فعمتهم وهو مكانه".


Dan beliau SAW berkata:

“Tidak ada seorang pun dari makhluknya yang berdoa dengan doa ini kecuali Allah menggabungkan dengannya dalam doa para penghuni di daratan dan di lautan, maka doanya menyebar kepada mereka, sementar dia yang berdoa tetap berada di tempatnya.”

DERAJAT HADITS:

Ini adalah munkar yang sangat lemah, karena ‘Amr bin Athiyyah ini orang yang banyak duga-duga (وَاهٍ), dan Amr ini menyelisihi orang yang lebih kuat darinya, dan masih ada dalam sanadnya kelemahan Athiyyah dan tadliisnya.

Al-Suyuti menyatakannya bahwa dalam hadits tsb terdapat ilat, yaitu lemah nya ; Amr (seperti dalam كنز العمال 2/644 No. 4977).

Dan syeikh al-Albani mengatakan dalam “الضعيفة” (5986): Sangat lemah / ضعيف جدا.

TAMBAHAN PERNYATAAN DARI PARA ULAMA TENTANG HADITS RIWAYAT ATHIYYAH INI


Hadits tersebut oleh Abu Hatim dan al-Dzahabi dianggap ber illat dengan MAUQUF, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.

Al-Mundziri mengeluarkannya dalam “الترغيب والترهيب” (1/135) dengan lafadz: “رُوِيَ” artinya “telah diriwayatkan” dengan shigoh Tamridh atau majhul yang menunjukkan bahwa dia mendha’ifkan nya.

Dan dia juga berkata: “رواه ابن ماجه بإسناد فيه مقال” artinya: “Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan Sanad yang di dalamnya ada perawi yang dibicarakan“.

Al-Nawawi mengatakan dalam “الأذكار” (83) setelah dia menyebutkannya: “Athiyyah Dha’if”.

Dan Syeikhul-Islam Ibnu Taymiyyah mendha’ifkannya di beberapa tempat dalam kitab-kitabnya, diantaranya:

Dia berkata dalam “التوسل والوسيلة” (107):

"وهذا الحديث هو من رواية عطية العوفي عن أبي سعيد، وهو ضعيف بإجماع أهل العلم، وقد رُوي من طريق آخر، وهو ضعيف أيضا، ولفظه لا حجة فيه.." الخ.


“Hadits ini dari riwayat Athiyah al-‘Aufii dari Abu Sa’iid, dan dia itu lemah menurut Ijma’ para ulama. Dan itu diriwayatkan pula dari jalur lain, dan juga lemah, dan lafadznya tidak ada hujjah di dalamnya.....“.

Dia juga mengatakan dalam “التوسل والوسيلة” (143) dan dalam kitab “الاستغاثة” (123 ringkasannya):

"وهذا الحديث في إسناده عطية العوفي، وفيه ضعف، فإن كان من كلام النبي.... الخ.


“Hadits ini dalam sanadnya ada Athiyah al-Aufi, dan ada kelemahan pada dirinya, maka jika dari kata-kata Nabi..” dll.

Dan dia berkata dalam jawaban khusus untuk hadits (bagian dari Majmu' al-Fatawa 1/369):

"لا يقوم بإسناده حجة، وإن صح هذا عن النبى - صلى الله عليه وسلم - كان معناه أن حق السائلين على الله أن يجيبهم، وحق العابدين له أن يثيبهم.." الخ.


“Sanadnya tidak bisa di jadikan hujjah, dan jika ini shahih dari Nabi SAW maka itu maknanya:
bahwa hak orang-orang yang berdo’a adalah bagi Allah untuk mengabulkan doa mereka, dan hak orang-orang yang beribadah kepada-Nya adalah wajib bagi Allah untuk memberi balasan untuk mereka..”.

Dan dia berkata dalam “اقتضاء الصراط المستقيم” (418):

"فهذا الحديث رواه عطية العوفي، وفيه ضعف، لكن بتقدير ثبوته.." الخ.


“Hadits ini diriwayatkan oleh Atiyah al-Awfi, dan itu lemah, tetapi diperkirakan terbukti …”.

HADIST KEDUA: HADITS BILAL BIN ABU ROBAAH رضي الله عنه:


Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Al-Sunni dalam “عمل اليوم والليلة” (No. 84(85) - dan lewat jalurnya Ibnu Hajar dalam “نتائج الأفكار” (1/270) dan Al-Daraqutni dalam “الأفراد” (2 /274 No. 1355) melalui jalur:

Ali bin Tsaabit Al-Jazariy, dari Al-Waazi’ (الوازع) bin Nafii’ Al-Uqailiy, dari Abu Salamah bin Abdul Rahman, dari Jaber bin Abdullah, dari Bilal رضي الله عنه muadzin Rosulullah SAW, berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا خَرَجَ إِلَى الصَّلاةِ قَالَ: ” بِسْمِ اللَّهِ، آمَنْتُ بِاللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ، اللَّهُمَّ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ، وَبِحَقِّ مَخْرِجِي هَذَا، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْهُ أَشَرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلا سُمْعَةً، خَرَجْتُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ، وَاتِّقَاءَ سَخَطِكَ، أَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ، وَتُدْخِلَنِي الْجَنَّةَ “


Dulu ketika Rasulullah SAW keluar untuk sholat, beliau mengucapkan:

“Dengan nama Allah, aku beriman kepada Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah

Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon kepada-Mu, dan dengan hak keluar ku ini, sesungguhnya aku tidak mengeluarkannya dengan sombong, tidak pula riya dan sum'ah, tetapi aku keluar karena berkeinginan mendapatkan ridho-Mu karena takut akan murka-Mu ; aku memohon pada-Mua agar Engkau melindungi ku dari api Neraka, dan memasukkan ku ke dalam surga “.

 (HR Ibnu Sunni dalam “عمل اليوم والليلة” No. 84(85), Jawami’u al-Kalim v4.5)

Semua rawinya terpercaya kecuali al-Wazi’ bin Nafi’ al-‘Uqaili, ia dhaif. Bahkan sebagian menyatakan dia memalsukan hadist.

Dan Al-Daraqutni menyatakan tentang tafarrud nya al-Waazi’ dalam hal ini (yakni: dia sendirian).

Dan diriwayatkan oleh Al-Daraqutni dalam “الأفراد” (2/273 No. 1352) dari sisi lain dari Al-Waazi', dari Salim bin Abdullah bin Umar, dari ayahnya., dari kakeknya Umar, dari Bilal dengannya.

Dan di sini Al-Daraqutni menyatakan pula tentang tafarrud nya al-Waazi’ dalam hal ini (yakni: dia sendirian).

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam “عمل اليوم والليلة” (seperti dalam “النتائج” (1/271) dari jalur ini, akan tetapi tidak disebutkan kata "dari kakeknya" dalam “النتائج” yang sudah dicetak.

Dan al-Waazi’ ini matruuk / orang yang ditinggalkan karena dia perawi hadits-hadits PALSU.
Al-Nawawi berkata dalam “الأذكار” (82):

حديث ضعيف، أحد رواته الوازع بن نافع العقيلي، وهو متفق على ضعفه وأنه منكر الحديث


Sebuah hadis yang DHAIF, salah satu perawinya adalah Al-Wazi’ bin Nafi’ Al-Uqaili, dan disepakati bahwa dia itu lemah dan dia itu hadits nya mungkar.

Dan di Dhaifkan pula oleh Ibnu Taimiyah dlm “قاعدة جليلة في التوسل والوسيلة” hal. 107.

Ibn Hajar berkata: هذا حديث واه جدا / Ini adalah hadits yang sangat lemah. Lalu beliau mengutip perkataan Al-Nawawi tentang Al-Waazi', dan dia berkata:

والقول فيه أشد من ذلك


Dan pembicaraan tentang dia itu sebenarnya jauh lebih parah dari itu.

Al-Albani berkata dalam “الضعيفة” (6252):

وهذا إسناد ضعيف جدا، إن لم يكن موضوعا.


Ini adalah sanad yang sangat lemah, jika bukan Palsu.

Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan: matruk al-hadist. Sehingga tidak bisa jadi penguat bagi hadis ‘Athiyah al-‘Aufi.

HADITS KETIGA: HADITS ABDULLAH AL-ASLAMI رضي الله عنه:


Muhammad bin Ali bin Al-Muhtadii Billah berkata dalam “المشيخة” (1/188/a):


Telah bercerita kepada saya Muhammad bin Ahmad [dia adalah putra Ali Al-Haddad]: Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Al-Hussein Al-Harrani, Telah bercerita kepada kami Abu Al-Abbas Muhammad bin Ahmed bin Yaqoub [begitu, dia adalah Ibnu al-Husain] Al-Ahwazi al-Khathiib, Telah bercerita kepada kami Jaafar bin Hamdawaih al-Jundisaabuurii, Telah bercerita kepada kami Abdullah bin Rashid, Telah bercerita kepada kami Abu Ubaidah, dari al-Hasan, dia berkata: Abdullah al -Aslami telah bercerita kepada saya:

Bahwa Rasulullah SAW di saat ia datang untuk shalat, beliau mengucapkan:

” اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ وَإِقْبَالِي إِلَيْكَ لَمْ أُقْبِلُ أَشِرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلَكِنْ أَقْبَلْتُ ابْتِغَاءَ طَاعَتِكَ، تَنْزِيهًا عَنْ سَخَطِكَ، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، فَإِنَّهُ لا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا أَنْتَ “.

قَالَ: ” مَنْ قَالَهَا أَقْبَلَ اللَّهُ بِوَجْهِهِ إِلَيْهِ، وَحُفَّتْ حَوْلَهُ الْمَلائِكَةُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاتِهِ “


Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon kepada-Mu, dan dengan hak aku menghadap-Mu, sesungguhnya aku tidak menghadap-Mu dengan sombong, tidak pula riya dan sum'ah, tetapi aku manghadap-Mu karena berkeinginan Taat pada-Mu agar terbebas dari murka-Mu ; maka ampuni lah dosa-dosaku, sungguh tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.

Beliau SAW berkata: "Siapa pun yang mengucapkannya, Allah akan menghadapkan wajah-Nya kepadanya, dan para malaikat akan mengelilinginya sampai dia menyelesaikan shalatnya."

(HR Abul Husain bin Muhammad bin ‘Ali bin al-Muhtadi billah dalam al-Awwal min Masyaikhah Abi al-Husain bin al-Muhtadi billah No. 139, Jawami’u al-Kalim v4.5)

Syeikh Muhammad Ziyad At-Taklah dalam makalahnya berkata:


قلت: هذا موضوع، فالأهوازي كذاب، وقد تفرد به، وهو يروي بهذا الإسناد نسخة ابن رشيد عن أبي عبيدة مُجّاعة بن الزبير، وليس الحديث في الجزء الثاني الموجود منها، على أن هذه النسخة ضعيفة، فمجاعة ضعيف، وقال ابن خراش: ليس مما يُعتبر به. وابن رشيد وإن قواه ابن حبان وجعفر الجوزي، فقد قال عنه البيهقي: لا يحتج به. وأشار ابن عدي إلى أنه ليس حجة في ذاته. ثم الراوي عنه -وهو جعفر بن محمد بن حبيب- لم أهتد لحاله، والله أعلم.

ولم أميّز شيخ الحسن، ولم أهتد في شيوخه من العبادلة لمن كان أسلمياً، وهناك جماعة من الصحابة اسمه عبد الله الأسلمي، ومن ثم لم يمكني التوثق إن كان ممن أرسل عنه؛ أو كما زُعم في السند سماعه منه!


Aku berkata: “Ini adalah PALSU, karena Al-Ahwaazi adalah pendusta, dan dia sendirian dalam meriwayatkannya, dan dia meriwayatkan dengan sanad ini, salinan Ibnu Rashid dari Abu Ubaidah, Muja`ah bin Al-Zubayr.

Dan hadits ini tidak ada di Juz kedua yang ada darinya.

Di samping salinan ini lemah, ditambah lagi MUJA’AH juga lemah. Ibnu Kharaasy berkata: Ini tidak bisa di jadikan i’tibar dengannya.

Dan Ibn Rasyid, meskipun dianggap kuat oleh Ibn Hibban dan Ja`far al-Jawzi, namun al-Bayhaqi berkata tentang dia (Muja’ah): Dia tidak bisa di jadikan hujjah.

Ibn ‘Adiy mengisyaratkan bahwa dia itu bukanlah hujjah pada dirinya.

Kemudian perawi yang meriwayatkan dari dia - yaitu Jaafar bin Muhammad bin Habib - saya tidak mendaptkan petunjuk tentang dirinya. Wallaahu a’lam.

Saya tidak bisa memberikan gambaran tentang Syekh Al-Hassan, dan saya tidak mendapat petunjuk dalam biografi para Syeikh-syeikhnya dari para perawi yang sama-sama beranam “Abdullah” yang bernisabat kepada ASLAMIY, dan di sana juga ada sekelompok para sahabat yang sama-sama bernama Abdullah Al-Aslami. Oleh karena itu, saya tidak bisa mentautsiq apakah dia memursalkan hadits atau seperti yang di klaim dalam sanad ini bahwa dia mendebgar langsung darinya “.

[ Lihat: “الدرة اليتيمة في تخريج أحاديث التحفة الكريمة” (66) hadits “اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ” ].

Di dalam sanadnya banyak para rawi yang bermasalah:

  1. Pertama: Abu ‘Ubaidah Maja’ah bin az-Zubair.

    Al-Jurjani berkata: “Dia termasuk yang mungkin (يحتمل), dan hadisnya ditulis”. Al-‘Uqaili menyebutnya dalam adh-Dhu’afa’ / kumpulan orang-orang yang dhaif.

    Ibnu Hibban menyebutkan dalam ats-Tsiqat: hadisnya mustaqim dari para tsiqaat.

    Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Tidak ada masalah pada dirinya”.

    Ad-Daruquthni menyebutkan dalam sunan-nya dan berkata: “Dha’if”.

    Syu’bah mengatakan: dia banyak puasa dan shalat.

    ‘Abdurrahman bin Yusuf bin Kharrasy mengatakan: “Dia tidak bisa dijadikan i’tibar”.

     
  2. Kedua: ‘Abdullah bin Rasyid

    Al-Baihaqi berkata: “Tidak boleh berhujjah dengannya”.

    Ibnu Hibban menyebutkannya dalam ats-Tsiqaat.

    Abu ‘Awanah al-Isfaraini mentsiqahkannya.

    Adz-Dzahabi mengatakan: “Tidak kuat dan ada jahalah pada dirinya”.

     
  3. Ketiga: Ja’far bin Hamdawaih yakni Ja’far bin Muhammad

    Disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim ar-Razi dalam al-Jarh wa at-Ta’dil. Beliau berkata:

    “Dia meriwayatkan dari ‘Abdillah bin Abi Bakr al-‘Atki, Abu Hamid Ahmad bin Sahal al-Isfaraini dan ‘Abdan al-Jawaliqi meriwayatkan darinya”.

    Jawami’ul Kalim v4.5 menyimpulkan: majhul hal (مجهول الحال) dan tidak kuat (ليس بالقوي).

    Di dalam Al Maktabah Asy Syamilah juga hanya ada keterangan dari Ibnu Abi Hatim di Al-Jarh wa at-Ta’dil sama dengan di Jawami’u al-Kalim v4.5. Setidaknya dua orang tsiqah yang meriwayatkan darinya dalam Jawami’u al-Kalim v4.5.

    Kesimpulannya: kondisinya tidak diketahui (مجهول الحال) dan dia tidak kuat (ليس بالقوي).

     
  4. Ke empat: Abu al-‘Abbas Ahmad bin Ya’qub al-Ahwazi al-Khatib.

    yakni Muhammad bin Ya’qub al-Khatib.

    Tidak didapatkan jarh wa ta’dil hanya Ibnu Hibban dan ath-Thabrani meriwayatkan darinya. Di dalam Maktabah Syamilah pun tidak ditemukan pentsiqahannya walaupun para tsiqah meriwayatkan darinya (dalam Jawami’u al-Kalim v4.5 ada setidaknya lima tsiqah)

    Sehingga kesimpulan setinggi-tingginya majhul hal.

     
  5. Kelima: Muhammad bin Ahmad bin ‘Ali.

    Tidak ada keterangan jarh wa ta’dil.

    Al-Khatib hanya menyebutkan beliau di Tarikh Baghdad. Tercatat hanya Muhammad bin ‘Ali al-Qurasyi yang meriwayatkan darinya.

    Kesimpulannya adalah majhul ‘ain karena hanya satu rawi saja yang meriwayatkan darinya sehingga tidak bisa jadi penguat bagi hadis ‘Athiyah.

    Dalam Tarikh Baghdad (1/146, Maktabah Syamilah), disebutkan bahwa Muhammad bin ‘Ali bin al-Muhtadi billah mengatakan pada al-Khatib al-Baghdadi:

    “Beliau (Muhammad bin Ahmad bin ‘Ali) adalah hamba yang shalih dan memujinya dengan pujian yang baik”.

    Saya tidak tahu apakah ini cukup untuk pentsiqahan beliau ataukah pujian biasa karena ibadahnya, sebab lafadznya tidak jelas sebagai tautsiq.

RINGKASAN PENELITIAN TERHADAP JALUR-JALUR HADITS:


Adapun hadits Al-Aslami palsu, dan hadits Bilal, maka sanad nya sangat jatuh banget.

Adapun yang melalui jalur Amr bin ‘Athiyyah, maka sangat lemah, dan munkar baik sanadnya maupun matannya.

Dalam sanad jalur Fudhail dari Athiyyah dari Abu Sa’id, masih ada ada empat illat lagi seperti yang telah disebutkan di atas.

BAGAIMANA JIKA SEANDAINYA HADITS ITU SHOHIH ?


Apakah bisa di jadikan dalil disyariatkannya bertawassul dalam berdoa dengan menyebut hak orang-orang yang berdoa ?

JAWABANNYA :


Yang benar bahwa maksud hadits ini adalah bertawassul dalam berdoa dengan cara menyebutkan janji Allah SWT yang telah Allah janjikan hendak memberikan hak orang yang berdoa kepada-Nya, yaitu hak dikabulkan doanya jika ikhlas / murni ditujukan kepada  Allah dan karena Allah .   

Sebagaimana yang di katakan syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dan lainya , seperti yang telah di sebutkan di atas .

Diantaranya perkataan Mushthofa bin Kamaluddin al-Bakri dalam “الضياء الشمسي على الفتح القدسي”  1/313 (Tahqiqi Ahmad al-Muzaidi ) , dia berkata :

"والمراد من حق السائلين ما وعدهم به سبحانه من استجابة دعائهم وإثابتهم على طاعتهم ، وإن كان لس لمخلوق حق على خالقه – كما هو مذهب أهل السنة والجماعة – فنزل إنجاز ما وعدهم به منزلة الحق ، الحق الواجب عليه ؛ لثبوت وقوعه وتحقق إنجازه ، وإن لم يجب عليه شيء ، لكنه يخلف الميعاد ، وإن جاز عليه خلف الوعيد والإيعاد ".


“Yang dimaksud dengan hak orang yang berdo’a adalah : apa yang dijanjikan-Nya kepada mereka - Maha Suci Dia - untuk mengabulkan do’a mereka dan imbalan pahala atas ketaatan mereka, meskipun bagi makhluk tidak memiliki hak atas Penciptanya - Sebagaimana dalam madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jamaa'ah - maka pemenuhan apa yang dijanjikan Allah kepada mereka itu adalah sesuatu yang hak / benar , hak yang wajib atas-Nya ; karena itu adalah sesuai dengan realita yang terjadi dan benar-benar terbukti terpenuhinya janji tsb , dan meskipun tidak ada kewajiban atas-Nya, akan tetapi jika tidak maka dia mengingkari janji, meskipun boleh-boleh saja baginya untuk menyelisi janji”.

Wallaahu a’lam.



Posting Komentar

1 Komentar