MENSYUKURI NIKMAT ALLAH DENGAN BERJUANG
AGAR MANDIRI EKONOMI-NYA
Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
=====
====
DAFTAR ISI :
- PERINTAH BERUSAHA AGAR MANDIRI DALAM BER-EKONOMI
- KEMANDIRIAN EKONOMI NABI DAUD ALAIHIS SALAM TANPA MEMBEBANI RAKYATNYA
- NABI DAUD (AS) BEKERJA CARI RIZKI PADAHAL DIA SEORANG RAJA
- BEKERJA CARI NAFKAH ITU BAGIAN DARI BERSYUKUR KEPADA ALLAH.
- KENAPA BEKERJA MENCARI RIZKI ITU UNGKAPAN RASA SYUKUR ??
- JAMINAN SYURGA BAGI YANG MANDIRI EKONOMINYA , TIDAK MENYUSAHKAN TETANGGA DAN BERJALAN DIATAS SUNNAH
- ANCAMAN NERAKA ATAS PRIA YANG TIDAK MAU MENCARI RIZQI:
- AMPUNAN DARI ALLAH BAGI YANG SUKA MEMAAFKAN HUTANG ORANG YANG SUSAH
- BAGAIMANA MEMAHAMI HADITS BERIKUT INI ?
- NABI AYYUB ‘ALAIHIS SALAM TIDAK PERNAH PUAS DENGAN RIZKI HALAL YANG PENUH BERKAH.
- HARAMNYA MENGEMIS DAN MINTA-MINTA
- HARAMNYA MEMBISNISKAN ILMU AGAMA ; KARENA BUKAN BARANG DAGANGAN
*****
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
===****===
PERINTAH BERUSAHA AGAR MANDIRI DALAM BER-EKONOMI
Dari al-Miqdam radhiallahu ‘anhu,
bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
((مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا
قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ
دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ))
“Tidaklah seorang
(hamba) memakan makanan yang lebih baik dari apa yang ia makan, yang berasal
dari hasil usaha tangannya (sendiri). Dan sungguh Nabi Dawud ‘alaihissalam
makan dari hasil usaha tangannya (sendiri).” [HR.. al-Bukhari (no.
1966)]
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan makna hadits ini dengan berkata:
وَمِنْ فَضْلِ الْعَمَلِ بِالْيَدِ
الشَّغْلُ بِالْأَمْرِ الْمُبَاحِ عَنْ الْبَطَالَةِ وَاللَّهْوِ وَكَسْرُ
النَّفْسِ بِذَلِكَ وَالتَّعَفُّفُ عَنْ ذِلَّةِ السُّؤَالِ وَالْحَاجَة إِلَى
الْغَيْر
“Di antara keutamaan
bekerja secara mandiri:
(1) menyibukan diri
dengan perkara yang mubah sehingga terhindar dari pengangguran dan sendagurau,
serta mengekang diri dengan itu;
(2) menjaga
kehormatan diri darikehinaan meminta-minta dan bergantung kebutuhan hidupnya
kepada orang lain.”Lihat, Fath al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 4/304.
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rosulullah ﷺ
bersabda:
خَيْرُ الْكَسْبِ كَسْبُ يَدِ الْعَامِلِ
إِذَا نَصَحَ
“Usaha paling baik
adalah usaha yang dihasilkan oleh tangan pekerja (usaha dengan tangan sendiri)
apabila ia bersih.”
(HR. Ahmad, 2/334, No. 8393, Ibnu Khuzaimah, Baihaqi dan ad-Dailami.
al-haitsami berkata dlm “مجمع الزوائد” 4/461
No. 6213: “رجاله ثقات “. Di hasankan oleh al-Iraqy
dlm Takhrij al-Ihya dan al-Baani dlm “صحيح الجامع الصغير”).
Ibnu Hajar berkata:
وَمِنْ شَرْطِهِ أَنْ لَا يَعْتَقِدَ
أَنَّ الرِّزْق مِنْ الْكَسْبِ بَلْ مِنْ اللَّه تَعَالَى بِهَذِهِ الْوَاسِطَةِ
“Di antara syaratnya
tidak berkeyakinan bahwa rizki itu bersumber dari kasab, tapi harus
berkeyakinan bersumber dari Allah dengan perantaraan kasab ini.” Fath
al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 4/304
Dari Ka’ab bin ‘Ujroh (كعبُ بنُ عجرةٍ):
مَرَّ رَجُلٌ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَرَأَى أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مِنْ جَلَدِهِ وَنَشَاطِهِ مَا رَأَوْا، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَوْ كَانَ
هَذَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
«إِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صُغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ
كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعَفِّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ يَسْعَى رِيَاءً وَمُفَاخِرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ»
Suatu hari ada
seorang lelaki lewat di depan rasulullah ﷺ,
dan para shahabat radhiyallahu `anhu melihat kondisi lelaki tersebut dari kulit
tubuhnya dan semangatnya (seperti lelaki pekerja yang tangguh- pen), maka
rasulullah ﷺ berkata:
“Jika dia keluar
bekerja untuk anaknya yang masih kecil, maka dia itu sedang berjihad Fii
Sabiilillah.
Dan jika dia keluar
bekerja untuk kedua orang tuanya, maka dia itu sedang berjihad Fii Sabiilillah.
Dan jika dia keluar
bekerja untuk dirinya sendiri dalam rangka `iffah (menjaga kehormatan diri
untuk tidak minta-minta - pen) maka dia itu sedang berjihad Fii Sabiilillah.
Dan jika keluar dalam
rangka riya` dan berbangga diri maka dia terhitung di jalan syaithon.”
(HR. Al-Imam Athobraany (13/491) para perawinya tsiqoot / dipercaya).
Dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ
bersabda:
أَمَّا إِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى وَالِدَيْهِ
أَوْ أَحَدِهِمَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ
فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Adapun jika dia
bekerja cari rizki untuk kedua orang tuanya atau salah satu dari keduanya, maka
dia itu sedang berjihad Fii Sabiilillah, dan jika dia bekerja untuk dirinya
sendiri maka dia itu sedang berjihad Fii Sabiilillah. (HR. Baihaqi
7/787 No. 13112 & 15754). Lihat pula “الجامع الصغير وزوائده والجامع الكبير” 2/165 No. 4603.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu : bahwa Rasulullah ﷺ bersabda (Dalam lafadz lain):
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا شَابٌّ مِنَ الثَّنِيَّةِ فَلَمَّا
رَأَيْنَاهُ بِأَبْصَارِنَا قُلْنَا: لَوْ أَنَّ هَذَا الشَّابَ جَعَلَ شَبَابَهُ
وَنَشَاطَهُ وَقُوَّتَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ فَسَمِعَ مَقَالَتَنَا رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ:« وَمَا سَبِيلُ اللَّهِ إِلاَّ مَنْ قُتِلَ؟
مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ
فَفِى سَبِيلِ اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى نَفْسِهِ لِيُعِفَّهَا فَفِى سَبِيلِ
اللَّهِ وَمَنْ سَعَى عَلَى التَّكَاثُرِ فَهُوَ فِى سَبِيلِ الشَّيْطَانِ
“Ketika kami sedang
duduk-duduk bersama Rasulullah ﷺ,
tiba-tiba muncul seorang pemuda dari arah jalan bukit. Ketika dia nampak di
hadapan kami, maka kami berkata: Duhai seandainya pemuda ini memanfaatkan masa
muda, semangat, dan kekuatannya di jalan Allah!
Rasulullah ﷺ mendengar perkataan kami.
Beliau bersabda: “
Apakah di jalan Allah itu hanya untuk orang yang terbunuh saja?
Barangsiapa yang
berusaha (mencari rizki) untuk kedua orangtuanya, maka dia di jalan Allah.
Barangsiapa yang
berusaha (mencari rizki) untuk keluarganya, maka dia di jalan Allah.
Barangsiapa yang
berusaha (mencari rizki) untuk dirinya (dalam rangka menjaga kehormatannya agar
tidak meminta-minta. pen), maka dia di jalan Allah.
Barangsiapa yang
berusaha (mencari rizki) untuk berbanyak-banyakan harta (semata), mka dia
berada di jalan syaithan”.
Dalam lafadz riwayat lain:
وَمَا سَبِيلُ اللَّهِ إِلَّا مَنْ قُتِلَ؟
مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ
فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى مُكَاثِرًا فَفِي سَبِيلِ الطَّاغُوتِ.
“ Apakah di jalan
Allah itu hanya untuk yang terbunuh saja?
Siapa yang berusaha
mencari nafkah untuk menghidupi orang tuanya maka dia di jalan Allah, siapa
yang berkerja untuk menghidupi keluarganya maka dia di jalan Allah, tapi siapa
yang bekerja untuk berbanyak-banykan harta semata maka dia di jalan
thaghut.”
(H.R al-Baihaqiy dalam as-Sunan al-Kubro, Ath-Thabrani “المعجم الأوسط” 5/119 dan Abu Nu’aim al-Ashfahaani
“حلية الأولياء وطبقات الأصفياء” hal. 197).
Dinyatakan sanadnya jayyid oleh Syaikh al-Albaniy dalam Silsilah
al-Ahaadits as-Shahihah no 2232)
===****===
KEMANDIRIAN EKONOMI NABI DAUD ALAIHIS SALAM TANPA MEMBEBANI RAKYATNYA
*****
NABI DAUD (AS) BEKERJA CARI RIZKI PADAHAL DIA SEORANG RAJA:
Dari al-Miqdam
radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:
((مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا
قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ وَإِنَّ نَبِيَّ اللَّهِ
دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ))
“Tidaklah seorang
(hamba) memakan makanan yang lebih baik dari apa yang ia makan, yang berasal
dari hasil usaha tangannya (sendiri). Dan sungguh Nabi Dawud ‘alaihissalam
makan dari hasil usaha tangannya (sendiri).” [HR.. al-Bukhari (no. 1966)]
Padahal Nabi Daud alaihis salam adalah seorang raja.
Allah SWT berfirman:
وَلَقَدْ آتَيْنَا دَاوُودَ مِنَّا
فَضْلًا ۖ يَا جِبَالُ أَوِّبِي مَعَهُ وَالطَّيْرَ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ.
أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا ۖ إِنِّي
بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Dan sesungguhnya
telah Kami berikan kepada Daud kurnia dari Kami. (Kami berfirman): "Hai
gunung-gunung dan burung-burung, bertasbihlah berulang-ulang bersama
Daud", dan Kami telah melunakkan besi untuknya,
(yaitu) buatlah baju
besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya; dan kerjakanlah amalan yang
saleh. Sesungguhnya Aku melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Saba: 10-11).
Imam Ibnu Katsir
berkata dalam Tafsirnya ketika menafsiri Firman Allah Swt di atas:
"Al-Hafiz Ibnu Asakir mengatakan dalam biografi Daud a.s. melalui jalur
Ishaq ibnu Bisyr yang di dalamnya terdapat kisah dari Abul Yas, dari Wahb ibnu
Munabbih, yang kesimpulannya seperti berikut:
أَنَّ دَاوُدَ، عَلَيْهِ السَّلَامُ، كَانَ
يَخْرُجُ مُتَنَكِّرًا، فَيَسْأَلُ الرُّكْبَانَ عَنْهُ وَعَنْ سِيرَتِهِ، فَلَا يَسْأَلُ
أَحَدًا إِلَّا أَثْنَى عَلَيْهِ خَيْرًا فِي عِبَادَتِهِ وَسِيرَتِهِ وَمَعْدَلَتِهِ،
صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ۔
"Bahwa Daud a.s.
keluar dengan menyamar, lalu ia menanyakan tentang dirinya kepada
kafilah-kafilah yang datang. Maka tidaklah ia menanyai seseorang, melainkah
orang tersebut memujinya dalam hal ibadah dan sepak terjangnya ".
Lalu Wahb ibnu Munabbih
melanjutkan perkataannya:
حَتَّى بَعَثَ اللهُ مَلَكًا فِي صُورَةِ
رَجُلٍ، فَلَقِيَهُ دَاوُدُ فَسَأَلَهُ كَمَا كَانَ يَسْأَلُ غَيْرَهُ، فَقَالَ: هُوَ
خَيْرُ النَّاسِ لِنَفْسِهِ وَلِأُمَّتِهِ، إِلَّا أَنَّ فِيهِ خَصْلَةً لَوْ لَمْ
تَكُنْ فِيهِ كَانَ كَامِلًا. قَالَ: مَا هِيَ؟ قَالَ: يَأْكُلُ وَيُطْعِمُ عِيَالَهُ
مِنْ مَالِ الْمُسْلِمِينَ، يَعْنِي بَيْتَ الْمَالِ.
فَعِنْدَ ذَلِكَ نَصَبَ دَاوُدُ، عَلَيْهِ
السَّلَامُ، إِلَى رَبِّهِ فِي الدُّعَاءِ أَنْ يُعَلِّمَهُ عَمَلًا بِيَدِهِ يَسْتَغْنِي
بِهِ وَيُغْنِي بِهِ عِيَالَهُ، فَأَلَانَ لَهُ الْحَدِيدَ، وَعَلَّمَهُ صِنَاعَةَ
الدُّرُوعِ، فَعَمِلَ الدِّرْعَ، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ عَمِلَهَا، فَقَالَ اللهُ تَعَالَى:
(أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ) يَعْنِي: مَسَامِيرَ الْحَلَقِ.
قَالَ: وَكَانَ يَعْمَلُ الدِّرْعَ، فَإِذَا
ارْتَفَعَ مِنْ عَمَلِهِ دِرْعٌ بَاعَهَا، فَتَصَدَّقَ بِثُلُثِهَا، وَاشْتَرَى بِثُلُثِهَا
مَا يَكْفِيهِ وَعِيَالَهُ، وَأَمْسَكَ الثُّلُثَ يَتَصَدَّقُ بِهِ يَوْمًا بِيَوْمٍ
إِلَى أَنْ يَعْمَلَ غَيْرَهَا۔
"Bahwa pada akhirnya Allah mengutus malaikat dalam rupa seorang lelaki.
Kemudian lelaki itu dijumpai oleh Daud a.s., lalu Daud menanyakan kepadanya
dengan pertanyaan yang biasa ia kemukakan kepada orang lain.
Maka malaikat itu
menjawab:
"Dia adalah seorang yang paling baik buat dirinya sendiri dan buat orang lain, hanya saja di dalam dirinya terdapat suatu pekerti yang seandainya pekerti itu tidak ada pada dirinya, tentulah dia adalah seorang yang kamil."
Daud bertanya, "Pekerti apakah itu?"
Malaikat menjawab, "Dia makan dan
menafkahi anak-anaknya dari harta kaum muslimin.' yakni baitul mal [Kas Negara].
Maka pada saat itu
juga Nabi Daud a.s. menghadapkan diri kepada Tuhannya seraya berdoa, semoga Dia
mengajarkan kepadanya suatu pekerjaan yang dilakukan tangannya sendiri sehingga
menjadi orang yang berkecukupan dan dapat membiayai anak-anak dan keluarganya.
Lalu Allah melunakkan besi baginya dan mengajarkan kepadanya cara membuat baju
besi.
Lalu Daud dikenal
sebagai pembuat baju besi; dia adalah orang yang mula-mula membuat baju besi.
Allah Swt. telah
berfirman:
{ أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ وَقَدِّرْ فِي
السَّرْدِ }
"Buatlah baju
besi yang besar-besar dan ukurlah anyamannya" (Saba: 11)
Yang dimaksud dengan
sard ialah pakunya lingkaran besi yang dipakai sebagai anyaman baju besi.
Wahb ibnu Munabbih
mengatakan:
Bahwa Daud bekerja sebagai pembuat baju besi. Apabila telah selesai, maka ia jual;
Sepertiga dari hasil penjualan itu dia sedekahkan.
Sepertiganya lagi ia belikan keperluan hidup untuk mencukupi keluarga dan anak-anaknya.
Sedangkan yang sepertiganya
lagi ia pegang untuk ia sedekahkan setiap harinya, hingga selesai dari membuat
baju besi lainnya ".
Al-Imam al-Qurthubi
dlam tafsir nya berkata:
فِي هَذِهِ الآيَةِ دَلِيلٌ عَلَى تَعَلُّمِ
أَهْلِ الْفَضْلِ الصَّنَائِعَ، وَأَنَّ التَّحَرُّفَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ مَنَاصِبِهِمْ،
بَلْ ذَلِكَ زِيَادَةٌ فِي فَضْلِهِمْ وَفَضَائِلِهِمْ؛ إِذْ يَحْصُلُ لَهُمُ التَّوَاضُعُ
فِي أَنْفُسِهِمْ وَالِاسْتِغْنَاءُ عَنْ غَيْرِهِمْ، وَكَسْبُ الْحَلَالِ الْخَالِي
عَنِ الِامْتِنَانِ۔
Dalam ayat ini,
terdapat bukti bahwa orang-orang yang berbudi luhur telah mempelajari
tehnik-tehnik industri , dan bahwa bekerja mencari nafkah dengan keahliannya
tidak mengurangi kedudukan mereka, melainkan meningkatkan pahala dan keutamaan
mereka.
Karena mereka mencapai kerendahan hati dalam diri mereka sendiri dan tidak
bergantung pada orang lain, dan mendapatkan rizki yang halal yang bebas dari
minta-minta belas kasihan kepada manusia ".
Dan al-Hafidz Ibnu Katsir berkata tentang firman Allah SWT:
{ وَأَلَنَّا لَهُ الْحَدِيدَ }
" dan kami telah
melunakkan besi untuknya". (Saba: 10)
Al-Hasan Al-Basri,
Qatadah, Al-A'masy, dan lain-lainnya mengatakan bahwa untuk melunakkan besi
bagi Nabi Daud tidak perlu memasukkannya ke dalam tungku api, dan tidak perlu
palu untuk membentuknya, tetapi Daud dapat memintalnya dengan tangannya seperti
halnya memintal kapas untuk menjadi benang. Karena itulah disebutkan dalam
firman selanjutnya:
{ أَنِ اعْمَلْ سَابِغَاتٍ }
" Buatlah baju
besi yang besar-besar. (Saba: 11)
Yaitu baju-baju besi
yang dianyam lagi besar-besar.
Qatadah mengatakan
bahwa Daud adalah orang yang mula-mula membuat baju besi dengan dianyam. Dan
sesungguhnya sebelum itu baju besi-hanya berupa lempengan-lempengan.
Ibnu Abu Hatim
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan
kepada kami Ibnu Sama'ah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Damrah, dari Ibnu
Syauzab yang mengatakan bahwa Daud a.s. setiap hari dapat membuat sebuah baju
besi, lalu ia menjualnya dengan harga enam ribu dirham; dua ribu untuk dirinya
dan keluarganya, sedangkan yang empat ribu dia belikan makanan pokok untuk
memberi makan kaum Bani Israil.
Dan firman Allah SWT:
{ وَقَدِّرْ فِي السَّرْدِ }
" Dan ukurlah
anyamannya. (Saba: 11)
Ini merupakan
petunjuk dari Allah Swt. kepada Daud dalam mengajarinya cara membuat baju besi.
Mujahid telah
mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan ukurlah anyamannya. (Saba:
11): " Janganlah kamu menjadikan pakunya kecil karena akan membuatnya
longgar pada lingkaran. Jangan pula kamu menjadikannya besar karena mengalami
keausan, tetapi pakailah paku yang berukuran sedang.
Al-Hakam ibnu Uyaynah
mengatakan, bahwa janganlah engkau memakai paku yang besar karena akan aus,
jangan pula memakai paku kecil karena longgar. Hal yang sama telah diriwayatkan
dari Qatadah dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Ali ibnu Abu Talhah
telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan as-sard ialah
lingkaran besi. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa bila dikatakan baju besi
yang dianyam, istilah Arabnya ialah dar'un masrudah.
Sebagai dalilnya
ialah ucapan seorang penyair yang mengatakan:
وَعَليهما مَسْرُودَتَان قَضَاهُما
... دَاودُ أَوْ صنعَ السَّوابغ تُبّعُ ...
" Keduanya
memakai baju besi yang dianyam, sebagaimana baju besi buatan Nabi Daud atau
baju besi yang biasa dipakai oleh Tubba' (buatan negeri Yaman) ".
[Lalu Allah Swt
mengingatkan kita agar jangan lupa dengan beramal shaleh dengan firman nya:]
{ وَاعْمَلُوا صَالِحًا }
"dan kerjakanlah
amalan yang saleh". (Saba: 11).
Artinya, gunakanlah
nikmat-nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadamu untuk mengerjakan amal
saleh.
{ إِنِّي بِمَا تَعْمَلُونَ
بَصِيرٌ}
Sesungguhnya Aku
melihat apa yang kamu kerjakan. (Saba: 11)
Yakni mengawasi
kalian dan melihat semua amal perbuatan dan ucapan kalian, tiada sesuatu pun
darinya yang samar bagi Allah Swt. [SELESAI KUTIPAN DARI IBNU KATSIR].
*****
BEKERJA CARI NAFKAH ITU BAGIAN DARI BERSYUKUR KEPADA ALLAH.
Firman Allah Swt.:
﴿اعْمَلُوا آلَ دَاوُدَ شُكْرًا
وَقَلِيلٌ مِنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ﴾
" Bekerjalah,
hai keluarga Daud, untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari
hamba-hamba-Ku yang bersyukur ". (Saba: 13)
Al-Hafidz Ibnu Katsir
dalam Tafsirnya berkata:
" Yakni dan Kami
katakan kepada mereka, "Bekerjalah sebagai ungkapan rasa syukur yang telah
dilimpahkan Allah kepada kalian untuk kepentingan agama dan dunia kalian."
Syukran adalah bentuk
masdar tanpa fi'il, atau menjadi maf'ullah. Berdasarkan kedua hipotesis ini terkandung
pengertian yang menunjukkan bahwa syukur itu adakalanya dengan perbuatan,
adakalanya pula dengan lisan dan niat, sebagaimana yang dikatakan oleh salah
seorang penyair:
أفَادَتْكُمُ النّعْمَاء منِّي ثَلاثةً
:... يدِي، ولَسَاني، وَالضَّمير المُحَجَّبَا ...
Telah kulimpahkan
tiga macam nikmat dariku kepada kalian (sebagai rasa terima kasihku), yaitu
melalui tanganku, lisanku, dan hatiku yang tidak kelihatan.
Abu Abdur Rahman
As-Sulami telah mengatakan bahwa shalat adalah ungkapan rasa syukur, puasa juga
ungkapan rasa syukur, serta semua amal kebaikan yang engkau kerjakan karena
Allah Swt. merupakan ungkapan rasa syukurmu (kepada-Nya).
Dan Ibnu Katsir
berkata:
" Hal ini
merupakan berita tentang kenyataannya". [Selesai Kutipan dari Ibnu
Katsir].
Penulis katakan:
Bekerja mencari
nafkah itu sendiri adalah bentuk ungkapan rasa syukur. Tidak cukup hanya dengan
menikmati anugerah dan mengucapkan kata syukur kepada Allah. Yang lebih besar
dan lebih mulia dari itu adalah menggunakan nikmat-nikmat Allah untuk
kepentingan manusia, dan itu adalah sabiilillah / jalan Allah.
Bahkan para nabi dan
raja pun tidak boleh meninggalkan pekerjaan mencari nafkah , dan tidak
bergantung pada Baitul Maal [Kas Negara] . Yang demikian itu agar mereka bisa
menjadi contoh dan teladan dalam hal itu. Bukan saja menjadi teladan dan contoh
bagi para generasi bangsa mereka dan rakyat mereka, bahkan juga bagi para raja
dan penguasa sepanjang zaman.
Kemandirian ekonomi
bagi penguasa dan tidak memakan uang negara atau tidak pilih kasih dan tidak
mementingkan dirinya sendiri ; itu adalah merupakan pelajaran terpenting yang
bisa di ambil dari amalan Nabi Daud.
Dan bekerja itu
sendiri merupakan sebuah nilai prestasi. Rosulullah SAW bersabda:
وَمَنْ بَطَّأَ بِهِ عَمَلُهُ لَمْ
يُسْرِعْ بهِ نَسَبُهُ
Barangsiapa yang
lambat dalam bekerja , sungguh nasabnya tidak akan bisa membantunya.” (HR.
muslim no. 2699 )
Tidaklah cukup bagi
seorang anak untuk bergantung pada kekayaan seseorang atau kekayaan ayahnya
atau reputasi ayahnya atau kemuliaannya atau kehormatan garis keturunannya.
Sebaliknya, dia harus bangkit dengan pekerjaannya, karena dia sendiri yang
dianggap sebagai orang yang terhormat.
Ada pepatah yang di
nisbatkan kepada Ali , tersebar dalam kitab-kitab Syi'ah:
الشَّرَفُ عِنْدَ اللهِ سُبْحَانَهُ بِحُسْنِ
الْأَعْمَالِ لَا بِحُسْنِ الْأَقْوَالِ۔
" Kemuliaan di
sisi Allah SWT adalah dengan pekerjaan-pekerjaan yang baik, bukan hanya dengan
kata-kata yang baik saja ".
*****
KENAPA BEKERJA MENCARI RIZKI ITU UNGKAPAN RASA SYUKUR ??.
Pertama:
يَعْنِي – فِي مَا يَعْنِيهِ – أَنَّ اللهَ
تَعَالَى وَاهِبُ (النِّعَمِ) وَ(الْأَدَوَاتِ) الَّتِي بِهَا تُسْتَحْصَلُ (تُكْتَسَبُ)
تِلْكَ النِّعَمُ، فَالْمُتَفَضِّلُ فِي كَسْبِهَا وَاسْتِحْصَالِهَا هُوَ وَاهِبُ
الْمُمَكِّنَاتِ مِنْ ذَلِكَ، وَشُكْرُ الْيَدِ عَمَلُهَا، كَمَا أَنَّ شُكْرَ الرِّجْلِ
السَّعْيُ فِي مَا يُرْضِي اللهَ تَعَالَى مِنْ أَعْمَالٍ صَالِحَةٍ، وَهَكَذَا فِي
كُلِّ عُضْوٍ وَجَارِحَةٍ، وَيَبْقَى شُكْرُ اللهِ مَعَ ذَلِكَ يَحْتَاجُ إِلَى شُكْرٍ،
فَكُلَّمَا قُلْنَا بِعَمَلِنَا شُكْرًا، وَجَبَ أَنْ نَقُولَ لِلَّهِ عَلَى تَوْفِيقِنَا
إِلَى ذَلِكَ شُكْرًا۔
Yakni - dalam artian
- bahwa Allah Ta'aala adalah Pemberi (segala nikmat) dan (segala alat / anggota
tubuh ) yang dengannya nikmat-nikmat itu bisa (diperoleh).
Jadi yang memberi
kemampuan anggota tubuh untuk bekerja dan memperoleh kenikmtan-kenikmatan tsb
adalah dia pula yang menganugerahi keeuksesan-kesuksean dari semua itu.
Dan cara mensyukuri
nikmat tangan adalah dengan menggunakannya untuk bekerja. Demikian juga,
seseorang mensyukuri nikmat Kaki dengan berjalan diatas apa yang diridhai Allah
SWT dari pekerjaan-pekerjaan yang baik.
Hal yang sama berlaku
untuk setiap anggota badan dan panca indra kita.
Dan rasa syukur kita
kepada Allah atas nikmat yang ada dlam tubuh kita meskipun senantiasa harus
ada, namun perlu adanya tambahan rasa syukur. Yaitu setiap kali kita bersyukur
atas nikmat kemampuan anggota tubuh kita untuk bekerja, namun kita juga harus
besyukur kepada Allah atas keberhasilan kita dalam hal itu.
Kedua:
الْعَمَلُ شُكْرًا يَعْنِي تَوْظِيفَ النِّعْمَةِ
فِي الْمَكَانِ الصَّحِيحِ، فَلَيْسَ كُلُّ عَمَلِ الْيَدِ شُكْرًا، بَلْ إِنَّ الْأَعْمَالَ
الْمُنْكَرَةَ وَالْمُسْتَنْكَرَةَ وَالْمُسْتَقْبَحَةَ الَّتِي تَقُومُ بِهَا الْيَدُ
مِنْ قَتْلٍ وَبَطْشٍ وَسَرِقَةٍ وَتَزْوِيرٍ وَتَحْرِيفٍ وَصِنَاعَةِ أَدَوَاتِ الْقَتْلِ
وَالتَّدْمِيرِ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يُشِينُ النِّعْمَةَ وَيُشَوِّهُهَا هُوَ كُفْرٌ
بِالنِّعْمَةِ، وَلِذَلِكَ قَالَ مُوسَى فِي تَوْظِيفِ نِعْمَةِ وَقُوَّةِ الْفُتُوَّةِ
الَّتِي كَانَ يَتَمَتَّعُ بِهَا: ﴿رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ فَلَنْ أَكُونَ
ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ﴾ (القصص/ 17)۔
Pekerjaan sebagai
ungkapan rasa syukur , berarti menggunakan nikmat pada tempat yang shahih /
benar, karena tidak semua pekerjaan tangan adalah sebagai ungkpan rasa syukur.
Melainkan ada pekerjaan dan perbuatan tercela, munkar dan buruk yang dilakukan
dengan tangan, seperti pembunuhan, kekejaman, pencurian, pemalsuan,
penyelewengan, dan pembuatan alat untuk membunuh , menghancurkan dan selain
dari itu yang menodai nikmat dan mendistorsinya , itu adalah bentuk kekufuran
terhadap nikmat.
Itulah sebabnya Musa
mengatakan dalam hal menggunakan rahmat dan kekuatan masa muda yang dia
nikmati:
﴿قَالَ رَبِّ بِمَا أَنْعَمْتَ عَلَيَّ
فَلَنْ أَكُونَ ظَهِيرًا لِلْمُجْرِمِينَ﴾
Musa berkata: Ya
Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali
tiada akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa". (QS.
Al-Qoshosh 17).
Al-Hafidz Ibnu Hajar
berkata:
وَمِنْ فَضْلِ الْعَمَلِ بِالْيَدِ
الشَّغْلُ بِالْأَمْرِ الْمُبَاحِ عَنْ الْبَطَالَةِ وَاللَّهْوِ وَكَسْرُ
النَّفْسِ بِذَلِكَ وَالتَّعَفُّفُ عَنْ ذِلَّةِ السُّؤَالِ وَالْحَاجَة إِلَى
الْغَيْر
“Di antara keutamaan kerja dan usaha mandiri:
(1) menyibukan diri
dengan perkara yang mubah sehingga terhindar dari pengangguran dan sendagurau,
serta mengekang diri dengan itu;
(2) menjaga
kehormatan diri dari kehinaan meminta-minta dan bergantung kebutuhan hidupnya
kepada orang lain.”
[Lihat, Fath
al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 4/304].
Dari Abu Hurairah RA
, bahwa Rosulullah SAW bersabda:
خَيْرُ الْكَسْبِ كَسْبُ يَدِ الْعَامِلِ
إِذَا نَصَحَ
“Usaha paling baik
adalah usaha yang dihasilkan oleh tangan pekerja (usaha dengan tangan sendiri)
apabila ia bersih.”
(HR. Ahmad, 2/334,
No. 8393 , Ibnu Khuzaimah , Baihaqi dan ad-Dailami. al-haitsami berkata dlm “مجمع الزوائد” 4/461 No. 6213: “ رجاله ثقات “. Di hasankan oleh al-Iraqy dlm Takhrij al-Ihya dan al-Baani
dlm “صحيح الجامع الصغير”.
Ibnu Hajar berkata:
وَمِنْ شَرْطِهِ أَنْ لَا يَعْتَقِدَ
أَنَّ الرِّزْق مِنْ الْكَسْبِ بَلْ مِنْ اللَّه تَعَالَى بِهَذِهِ الْوَاسِطَةِ
“Di antara syaratnya
tidak berkeyakinan bahwa rizki itu bersumber dari kasab, tapi harus
berkeyakinan bersumber dari Allah dengan perantaraan kasab ini.” Fath al-Bari
Syarh Shahih al-Bukhari, 4/304
====****====
NABI AYYUB ‘ALAIHIS SALAM TIDAK PERNAH PUAS DENGAN RIZKI HALAL YANG PENUH BERKAH.
Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi ﷺ bersabda:
بَيْنَمَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ
عُرْيَانًا خَرَّ عَلَيْهِ رِجْلُ جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ فَجَعَلَ يَحْثِي فِي
ثَوْبِهِ فَنَادَى رَبُّهُ يَا أَيُّوبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى
قَالَ بَلَى يَا رَبِّ وَلَكِنْ لَا غِنَى بِي عَنْ بَرَكَتِكَ
"Ketika Ayyub
sedang mandi dalam keadaan telanjang, tiba-tiba segerombolan belalang dari emas
jatuh di atasnya. Lalu, Ayyub mengumpulkannya ke dalam pakaiannya.
Kemudian, Tuhannya
memanggilnya : 'Wahai Ayyub, bukankah Aku telah memberimu kekayaan sehingga
kamu tidak memerlukan apa yang kamu lihat ini ?'
Ayyub menjawab,
'Benar wahai Rabbku, namun saya tidak pernah merasa cukup dari
barakah-Mu'." [HR. Bukhori no. 7493]
Dalam salah satu
riwayat Bukhori no. 279:
جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ
“Belalang-belalang
dari emas”.
Syeikh
Alwi Abdul Qodir as-Saqqaaf berkata :
وَفِي ذَلِكَ شُكْرٌ
عَلَى النِّعْمَةِ، وَتَعْظِيمٌ لِشَأْنِهَا، وَفِي الْإِعْرَاضِ عَنْهَا كُفْرٌ
بِهَا. وَفِي الْحَدِيثِ: مَشْرُوعِيَّةُ الْحِرْصِ عَلَى الْمَالِ الْحَلَالِ.
وَفِيهِ: بَيَانُ فَضْلِ الْغِنَى لِمَنْ شَكَرَ؛ لِأَنَّهُ سَمَّاهُ بَرَكَةً.
"Di
dalam hal itu terdapat rasa syukur atas nikmat, dan pengagungan terhadap
kedudukannya. Sementara berpaling darinya merupakan bentuk kekufuran terhadap
nikmat tersebut. Dalam hadits ini juga terdapat ajaran tentang pentingnya
mencari harta yang halal. Selain itu, hadits ini menjelaskan keutamaan kekayaan
bagi orang yang bersyukur, karena kekayaan tersebut disebut sebagai
berkah."
Al-Hafidz
Ibnu Hajar ketika menjelaskan hadits di atas, dia berkata :
وَفِي رِوَايَةِ
بَشِيرِ بْنِ نَهِيكٍ فَقَالَ وَمَنْ يَشْبَعُ مِنْ رَحْمَتِكَ أَوْ قَالَ مِنْ
فَضْلِكَ وَفِي الْحَدِيثِ جَوَازُ الْحِرْصِ عَلَى الِاسْتِكْثَارِ مِنَ
الْحَلَالِ فِي حَقِّ مَنْ وَثِقَ مِنْ نَفْسِهِ بِالشُّكْرِ عَلَيْهِ وَفِيهِ
تَسْمِيَةُ الْمَالِ الَّذِي يَكُونُ مِنْ هَذِهِ الْجِهَةِ بَرَكَةً وَفِيهِ
فَضْلُ الْغَنِيِّ الشَّاكِرِ .
وَاسْتَنْبَطَ مِنْهُ
الْخَطَّابِيُّ جَوَازَ أَخْذِ النُّثَارِ فِي الاملاك وَتعقبه بن التِّينِ
فَقَالَ هُوَ شَيْءٌ خَصَّ اللَّهُ بِهِ نَبِيَّهُ أَيُّوبَ وَهُوَ بِخِلَافِ
النُّثَارِ فَإِنَّهُ مِنْ فِعْلِ الْآدَمِيِّ فَيُكْرَهُ لِمَا فِيهِ مِنَ
السَّرَفِ وَرُدَّ عَلَيْهِ بِأَنَّهُ أُذِنَ فِيهِ مِنْ قِبَلِ الشَّارِعِ إِنْ
ثَبَتَ الْخَبَرُ وَيُسْتَأْنَسُ فِيهِ بِهَذِهِ الْقِصَّةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
"Dan dalam riwayat Basyir bin Nahik disebutkan bahwa
Rasulullah ﷺ berkata:
'Siapa yang bisa merasa puas dengan rahmat-Mu' atau beliau berkata, 'dengan
karunia-Mu.'
Dalam
hadits ini terdapat kebolehan untuk bersemangat dalam memperbanyak harta yang
halal bagi orang yang yakin dirinya mampu bersyukur atasnya. Selain itu, bahwa
harta yang diperoleh dari cara tersebut, disebut sebagai berkah.
Hadits
ini juga menunjukkan keutamaan orang kaya yang bersyukur.
Al-Khattabi
mengambil kesimpulan dari hadits ini tentang kebolehan mengambil harta yang
disebarkan (ditawurkan) dalam acara pernikahan.
Namun
Ibnu at-Tiin mengkritiknya dengan mengatakan bahwa hal tersebut adalah sesuatu
yang dikhususkan oleh Allah untuk Nabi-Nya, Ayyub, dan itu berbeda dengan harta
yang disebarkan oleh manusia, karena hal tersebut makruh disebabkan adanya
unsur pemborosan.
Akan
tetap kritikan Ibnu at-Tin ini ditanggapi dengan argumen bahwa hal itu telah
diizinkan oleh syariat jika haditsnya sahih, dan kisah ini bisa dijadikan
petunjuk. Wallahu a'lam." [Fathul Bari 6/421].
===*****===
JAMINAN SYURGA BAGI YANG MANDIRI EKONOMINYA , TIDAK MENYUSAHKAN TETANGGA DAN BERJALAN DIATAS SUNNAH
Dari Abu Sa’id
al-Khudri RA , beliau berkata: Rasulallah SAW. bersabda,
«مَنْ أَكَلَ طَيِّبًا،
وَعَمِلَ فِي سُنَّةٍ، وَأَمِنَ النَّاسُ بَوَائِقَهُ دَخَلَ الجَنَّةَ» فَقَالَ
رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ هَذَا اليَوْمَ فِي النَّاسِ لَكَثِيرٌ،
قَالَ: «وَسَيَكُونُ فِي قُرُونٍ بَعْدِي
“Barangsiapa memakan
makanan yang baik, beramal sesuai sunnah, dan orang lain aman dari keburukannya
maka dia masuk Surga.”
Seorang sahabat berkata: Wahai Rasulallah! Sesungguhnya ini banyak pada ummatmu
sekarang. Rasulallah bersabda, “Mereka akan ada sepeninggalku nanti.”
( HR. Turmudzy No.
2520 , Thabrani dlm “المعجم الأوسط”
2/52
, Baihaqi dlm “شعب الإيمان” 7/501 , al-Laalakaa’i ( اللالكائي ) 1/59
, al-Haakim 4/117 dan Ibnu Abi ad-Dunya 1/57 ).
At-Turmudzi berkata:
“ حسن صحيح غريب”. al-Haakim berkata: “ صحيح الإسناد”.
Hadits ini di masukkan pula oleh Syeikh al-Baani dlm “سلسلة الأحاديث الصحيحة”
===****===
ANCAMAN NERAKA ATAS PRIA YANG TIDAK BERUSAHA MENCARI RIZQI:
Dari Iyadl bin
Khammar al-Mujasyi'ii radhiyallahu ‘anhu : Bahwa, pada suatu hari
Rasulullah ﷺ bersabda di dalam khutbah beliau:
أَلَا إِنَّ رَبِّي أَمَرَنِي أَنْ
أُعَلِّمَكُمْ مَا جَهِلْتُمْ مِمَّا عَلَّمَنِي يَوْمِي هَذَا : ........
قَالَ: وَأَهْلُ النَّارِ خَمْسَةٌ
الضَّعِيفُ الَّذِي لَا زَبْرَ لَهُ الَّذِينَ هُمْ فِيكُمْ تَبَعًا لَا
يَبْتَغُونَ أَهْلًا وَلَا مَالًا ، وَالْخَائِنُ الَّذِي لَا يَخْفَى لَهُ طَمَعٌ
وَإِنْ دَقَّ إِلَّا خَانَهُ ، وَرَجُلٌ لَا يُصْبِحُ وَلَا يُمْسِي إِلَّا وَهُوَ
يُخَادِعُكَ عَنْ أَهْلِكَ وَمَالِكَ، وَذَكَرَ الْبُخْلَ أَوْ الْكَذِبَ ،
وَالشِّنْظِيرُ الْفَحَّاشُ
"Ingatlah!
Sesungguhnya Rabb-ku telah menyuruhku untuk mengajarkan kalian semua tentang
sesuatu yang tidak kalian ketahui, yang diajarkan Allah kepadaku seperti pada
hari ini....................................
(Diantaranya.
Pen) Allah berfirman: " Dan penghuni neraka itu ada lima macam:
1). Seorang lelaki
yang lemah yang tidak menggunakan akalnya [yang bisa dipergunakan untuk menahan
diri dari hal yang tidak pantas].
Mereka itu adalah
orang yang hanya menjadi pengikut di antara kalian [ yakni: hidupnya bisanya
hanya numpang dan jadi beban kalian ].
Mereka tidak
berkeinginan untuk membangun kehidupan keluarga dan tidak pula membangun
ekonomi.
2). Pengkhianat yang
memperlihatkan sifat rakusnya, sekalipun dalam hal yang samar.
3). Seorang lelaki
yang pagi dan petang selalu memperdayamu (melakukan tipu muslihat) dari
keluargamu dan hartamu.
4) Lalu Allah
menyebutkan sifat bakhil dan sifat dusta.
5). Dan Orang yang
akhlaknya buruk." (HR. Muslim No. 5109)
====****====
AMPUNAN DARI ALLAH BAGI YANG SUKA MEMAAFKAN HUTANG ORANG YANG SUSAH.
Dari Abu Hurairah
dari Rasulullah SAW, beliau bersabda:
إِنَّ رَجُلًا لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا
قَطُّ وَكَانَ يُدَايِنُ النَّاسَ، فَيَقُولُ لِرَسُولِهِ: خُذْ مَا تَيَسَّرَ،
وَاتْرُكْ مَا عَسُرَ، وَتَجَاوَزْ لَعَلَّ اللَّهَ أَنْ يَتَجَاوَزَ عَنَّا
فَلَمَّا هَلَكَ. قَالَ لَهُ اللَّه - عز وجل -: هَلْ عَمِلْتَ خَيْرًا قَطُّ؟،
قَالَ: لَا، إِلَّا أَنَّهُ كَانَ لِي غُلَامٌ وَكُنْتُ أُدَايِنُ النَّاسَ،
فَإِذَا بَعَثْتُهُ لِيَتَقَاضَى، قُلْتُ لَهُ: خُذْ مَا تَيَسَّرَ وَاتْرُكْ مَا
عَسُرَ وَتَجَاوَزْ لَعَلَّ اللَّهَ يَتَجَاوَزُ عَنَّا. قَالَ اللَّه تَعَالَى:
قَدْ تَجَاوَزْتُ عَنْكَ
"Sesungguhnya
terdapat seorang laki-laki yang belum pernah berbuat kebaikan sama sekali, dan
dia biasa memberikan hutang kepada orang-orang. Kemudian dia berkata kepada
utusannya (penagih hutang) ;
"
Ambillah apa yang mudah (orang yang mudah membayarnya) dan tinggalkan apa yang
sulit dan maafkan semoga Allah ta'ala mengampuni kita !!!."
Kemudian tatkala dia
meninggal, Allah 'azza wajalla berfirman kepadanya: "Apakah engkau pernah
mengerjakan kebaikan?"
Dia berkata;
"Tidak, hanya saja saya memiliki seorang pembantu dan saya biasa
memberikan hutang kepada orang-orang kemudian apabila saya mengutusnya untuk
menagih hutang, saya katakan kepadanya; 'Ambillah apa yang mudah dan tinggalkan
apa yang sulit dan maafkan, semoga Allah memaafkan kita."
Allah ta'ala
berfirman: sungguh Aku telah memaafkanmu." (HR. Bukhori No. 2078,
Muslim No. 1562 dan Nasaa’i No. 4694
****
BAGAIMANA MEMAHAMI HADITS BERIKUT INI ?
Dari ’Ubaidillah bin
Mihshan Al Anshary dari Nabi ﷺ,
beliau bersabda,
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِى
سِرْبِهِ مُعَافًى فِى جَسَدِهِ عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ
لَهُ الدُّنْيَا
“Barangsiapa di antara
kalian mendapatkan rasa aman di rumahnya (pada diri, keluarga dan
masyarakatnya), diberikan kesehatan badan, dan memiliki makanan pokok pada hari
itu di rumahnya, maka seakan-akan dunia telah terkumpul pada
dirinya.”
(HR.
Tirmidzi no. 2346, Ibnu Majah no. 4141. Abu ’Isa mengatakan bahwa hadits ini
hasan ghorib).
Al-Munaawi dlm kitabnya “فيض القدير” 6/88 berkata dalam menyikapi hadits tsb:
" يَعْنِي: مَنْ جَمَعَ
اللَّهُ لَهُ بَيْنَ عَافِيَةِ بَدَنِهِ ، وَأَمْنِ قَلْبِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَ ،
وَكِفَافِ عَيْشِهِ بِقُوَّةِ يَوْمِهِ ، وَسَلَامَةِ أَهْلِهِ ، فَقَدْ جَمَعَ
اللَّهُ لَهُ جَمِيعَ النِّعَمِ الَّتِي مِنْ مَلَكِ الدُّنْيَا لَمْ يَحْصُلْ
عَلَى غَيْرِهَا ، فَيَنْبَغِي أَنْ لَا يَسْتَقْبِلَ يَوْمَهُ ذَلِكَ إِلَّا
بِشُكْرِهَا ، بِأَنْ يُصَرِّفَهَا فِي طَاعَةِ الْمُنْعِمِ ، لَا فِي مَعْصِيَّةٍ
، وَلَا يَفْتَرِ عَنْ ذِكْرِهِ.
قَالَ نَفْطُوَيْهِ:
إِذَا مَا كَسَاكَ الدَّهْرُ ثَوْبَ
مُصِحَّةٍ *** وَلَمْ يَخْلُ مِنْ قُوتٍ يُحَلَّى وَيَعْذُبُ
فَلَا تَغْبَطَنَّ الْمُتْرَفِينَ
فَإِنَّهُ *** عَلَى حَسْبِ مَا يُعْطِيهِمُ الدَّهْرُ يَسْلُبُ
Artinya: Barangsiapa
orangnya yang Allah telah mengumpulkan untuknya: kesehatan tubuhnya, keamanan
hatinya kemanapun dia pergi, tercukupi pangannya untuk kelangsungan hidupnya
untuk hari itu, dan keselamatan keluarganya, maka sungguh Allah telah
mengumpulkan untuknya semua kenikmatan seolah-olah dia memiliki dunia semuanya.
Jika demikian, maka
dia seharusnya tidak mengunakan hari nya itu kecuali dengan mensyukurinya dan memanfaatkannya untuk ketaatan kepada Allah Sang Pemberi Nikmat,
bukan untuk kemaksiatan, dan jangan bosan berdzikir dengan mengingatnya.
Seorang penyair
Nafthaweih berkata:
إِذَا مَا كَسَاكَ الدَّهْرُ ثَوْبَ
مُصِحَّةٍ *** وَلَمْ يَخْلُ مِنْ قُوتٍ يُحَلَّى وَيَعْذُبُ
فَلَا تَغْبَطَنَّ الْمُتْرَفِينَ
فَإِنَّهُ *** عَلَى حَسْبِ مَا يُعْطِيهِمُ الدَّهْرُ يَسْلُبُ
Jika ad-Dahr
(masa/waktu) menyelemuti mu dengan baju sehat walafiat *** dan tidak pernah
kosong dari makanan, yang manis dan segar.
Maka janganlah kau
merasa cemburu terhadap orang-orang yang hidupnya serba mewah, karena
sesungguhnya itu semua *** di atas apa yang Ad-Dahr berikan kepada mereka, dan
apa saja yang ad-Dahr berikan pasti kelak ia akan mencabutnya kembali“.
(SELESAI) Baca: فيض القدير (6/88).
Dan Perkataan Syeikh Sholeh Fauzan al-Fauzan dalam memahami hadits tsb:
فَعَلَيْنَا أَنْ نَشْكُرَ اللَّهَ -
عَزَّ وَجَلَّ - بِأَنْ نَسْتَعْمِلَ هَذِهِ النِّعَمَ فِي طَاعَةِ اللَّهِ، وَلَا
نَبْطُرَ نِعْمَةَ اللَّهِ أَوْ نَتَكَبَّرَ أَوْ نَسْتَعْمِلَ هَذِهِ النِّعَمَ
فِي مَعْصِيَّةِ اللَّهِ، وَفِي الْإِسْرَافِ وَالتَّبْذِيرِ وَالْبُذْخِ وَغَيْرِ
ذَلِكَ
Artinya: Kita harus
bersyukur kepada Allah Azza Wajalla dengan cara menggunakan semua nikmatnya ini
dalam ketaatan kepada Allah, dan tidak menyalah gunakan nikmat Allah atau tidak
takabur atau tidak menggunakan nikmat-nikmat ini dalam kemaksiatan kepada
Allah. Dan tidak pula untuk pemborosan, tabdzir, gaya hidup glamour, dan lain
sebagainya.
===*****===
HARAMNYA MENGEMIS DAN MINTA-MINTA
Semua keterangan yang
tersebut diatas sangat jelas sekali berlawanan dengan karakter dan perbuatan
minta-minta alias mengemis yang dampaknya menghinakan diri sendiri, umat Islam
dan agamanya serta mengadukan Allah kepada manusia.
Pada zaman sekarang
ini meminta-minta dan mengemis dianggap suatu hal yang biasa dan bahkan
dijadikan sebagai mata pencaharian. Fenomena ini terus berkembang dan memiliki
beragam pola serta perangkat-perangkat yang mampu menunjang perkembangannya.
Dari Abu Bisyer Qubaishoh bin
Al-Mukhoriq radhiyallahu ‘anhu berkata:
تَحَمَّلْتُ حَمَالَةً فَأَتَيْتُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْأَلُهُ فِيهَا فَقَالَ
أَقِمْ حَتَّى تَأْتِيَنَا الصَّدَقَةُ فَنَأْمُرَ لَكَ بِهَا قَالَ ثُمَّ قَالَ
يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لَا تَحِلُّ إِلَّا لِأَحَدِ ثَلَاثَةٍ رَجُلٍ
تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ
يُمْسِكُ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ
الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ
عَيْشٍ وَرَجُلٌ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلَاثَةٌ مِنْ ذَوِي
الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلَانًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ
الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ
عَيْشٍ فَمَا سِوَاهُنَّ مِنْ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا
صَاحِبُهَا سُحْتًا
Aku pernah menanggung
hammaalah (yakni: tanggungan diat Qosaamah / قسامة,
yaitu: diat kasus pembunuhan terhadap salah seorang dari dua kabilah,
pembunuhnya tidak di ketahui, tapi lokasi mayat nya diketemukan di dekat
wilayah kabilah musuhnya, maka sudah menjadi hukum adat bagi kabilah yang
terduduh harus membayar diat 100 ekor unta, jika tidak dibayar, akan terjadi
perang antar dua kabilah. Pen).
Lalu aku datang
kepada Rasulullah ﷺ, meminta bantuan beliau untuk
membayarnya.
Beliau ﷺ menjawab: "Tunggulah sampai orang datang mengantarkan zakat, nanti
kusuruh menyerahkannya kepadamu."
Kemudian beliau
melanjutkan sabdanya: "Hai Qabishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak
boleh (tidak halal) kecuali untuk tiga golongan.
(Satu) orang
yang menanggung Hammaalah, maka orang itu boleh meminta-minta, sehingga
tanggungan hammaalahnya lunas. Bila tanggunganya telah lunas, maka tidak boleh
lagi ia meminta-meminta.
Kedua: seseorang yang kena hama yang menghancurkan semua hartanya, maka dia
boleh meminta sehingga dia mendapat pegangan untuk kehidupannya atau bisa
menutupi kehidupannya.
Ketiga : seseorang yang jatuh miskin/bangkrut, dengan kesaksian tiga orang
yang betul-betul berakal sehat dari kaumnya (penduduk desa tersebut), seraya
mereka menyatakan: Sungguh si Fulan itu telah tertimpa kebangkrutan, maka halal
baginya meminta, sehingga dia mendapatkan pegangan hidup atau bisa menutupi
kebutuhannya.
Adapun meminta selain
dari tiga hal tersebut, wahai Qubaishoh, haram orang yang memakannya juga
makanan yang haram.” (HR.Muslim No. 1730)
Selain faktor-faktor
pendorong lainnya, meminta-minta adalah alternatif yang praktis diperankan oleh
pelakunya dikarenakan mudah dan cepatnya hasil yang didapatkan, yaitu cukup
dengan mengulurkan tangan kepada anggota masyarakat agar memberikan bantuan dan
sumbangan.
=====
KATA IMAM GHOZALI : “MINTA-MINTA ITU HARAM”
Imam
Ghozali dalam kitabnya Ihya Ulumuddin (4/205) berkata:
السُّؤَالُ حَرَامٌ فِي الْأَصْلِ وَإِنَّمَا
يُبَاحُ بِضَرُورَةٍ أَوْ حَاجَةٍ مُهِمَّةٍ قَرِيبَةٍ مِنَ الضَّرُورَةِ فَإِنْ كَانَ
عَنْهَا بُدٌّ فَهُوَ حَرَامٌ، وَإِنَّمَا قُلْنَا إِنَّ الْأَصْلَ فِيهِ التَّحْرِيمُ
لِأَنَّهُ لَا يَنْفَكُّ عَنْ ثَلَاثَةِ أُمُورٍ مُحَرَّمَةٍ:
اْلأَوَّلُ: إِظْهَارُ الشَّكْوَى مِنَ اللَّهِ
تَعَالَى إِذِ السُّؤَالُ إِظْهَارٌ لِلْفَقْرِ وَذِكْرٌ لِقُصُورِ نِعْمَةِ اللَّهِ
تَعَالَى عَنْهُ وَهُوَ عَيْنُ الشَّكْوَى وَكَمَا أَنَّ الْعَبْدَ الْمَمْلُوكَ لَوْ
سَأَلَ لَكَانَ سُؤَالُهُ تَشْنِيعًا عَلَى سَيِّدِهِ فَكَذَلِكَ سُؤَالُ الْعِبَادِ
تَشْنِيعٌ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى وَهَذَا يَنْبَغِي أَنْ يُحَرَّمَ وَلَا يَحِلَّ
إِلَّا لِضَرُورَةٍ كَمَا تَحِلُّ الْمَيْتَةُ.
الثَّانِي: أَنَّ فِيهِ إِذْلَالَ السَّائِلِ
نَفْسَهُ لِغَيْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَيْسَ لِلْمُؤْمِنِ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ لِغَيْرِ
اللَّهِ بَلْ عَلَيْهِ أَنْ يُذِلَّ نَفْسَهُ لِمَوْلَاهُ فَإِنَّ فِيهِ عِزَّهُ، فَأَمَّا
سَائِرُ الْخَلْقِ فَإِنَّهُمْ عِبَادٌ أَمْثَالُهُ فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُذِلَّ لَهُمْ
إِلَّا لِضَرُورَةٍ وَفِي السُّؤَالِ ذُلٌّ لِلسَّائِلِ بِالْإِضَافَةِ إِلَى الْمَسْؤُولِ.
الثَّالِثُ: أَنَّهُ لَا يَنْفَكُّ عَنْ إِيذَاءِ
الْمَسْؤُولِ غَالِبًا لِأَنَّهُ رُبَّمَا لَا تَسْمَحُ نَفْسُهُ بِالْبَذْلِ عَنْ
طِيبِ قَلْبٍ مِنْهُ فَإِنْ بَذَلَ حَيَاءً مِنَ السَّائِلِ أَوْ رِيَاءً فَهُوَ حَرَامٌ
عَلَى الْآخِذِ وَإِنْ مَنَعَ رُبَّمَا اسْتَحْيَا وَتَأَذَّى فِي نَفْسِهِ بِالْمَنْعِ
إِذْ يَرَى نَفْسَهُ فِي صُورَةِ الْبُخَلَاءِ فَفِي الْبَذْلِ نُقْصَانُ مَالِهِ وَفِي
الْمَنْعِ نُقْصَانُ جَاهِهِ وَكِلَاهُمَا مُؤْذِيَانِ وَالسَّائِلُ هُوَ السَّبَبُ
فِي الْإِيذَاءِ وَالْإِيذَاءُ حَرَامٌ إِلَّا بِضَرُورَةٍ. [ إحياء علوم الدين 4/205]
“Meminta-minta
itu hukum asalnya adalah haram. Adapun dibolehkannya karena darurat atau
kebutuhan yang amat mendesak mendekati darurat.
Jika bukan
karena kebutuhan mendedsak , maka itu haram . Adapun kenapa kami mengatakan
bahwa hukum asalnya adalah haram karena tidak lepas dari tiga hal yang
diharamkan :
Pertama :
Karena
meminta-minta itu mengandung unsur gugatan kepada Allah SWT serta pengaduan
kepada selain-Nya, dan juga mengandung makna demo akan kedangkalan nikmat Allah
SWT kepada hambanya.
Yang
demikian itu adalah wujud nyata bentuk pengaduan .
Dan seperti
halnya seorang hamba yang dimiliki tuannya meminta-minta pada orang lain, maka
perbuatan minta-mintanya tsb akan membuat cela kepada tuannya, demikian juga
perbuatan minta-minta seorang hamba , itu sama saja dengan mencela Allah SWT.
Dan ini harus dilarang dan tidak halal kecuali karena darurat, seperti
diperbolehkan memakan bangkai .
Kedua :
Dalam
meminta-minta itu sang peminta telah merendahkan dirinya kepada selain Allah
SWT .
Seorang
mukmin tidak boleh menghinakan dirinya kepada selain Allah, tetapi ia harus
merendahkan dirinya kepada Maulanya [ Allah ] , karena kepada-Nya itu terdapat
kehormatan dirinya. Sedangkan makhluk-makhluk lainnya itu adalah para hamba ,
sama seperti dia. Maka dia tidak boleh menghinakan dirinya kepada mereka
kecuali karena darurat.
Dan dalam
meminta-minta itu terdapat kehinaan bagi si peminta yang di sandarkan kepada
orang yang diminta .
Ketiga :
Yang
demikian itu pada umumnya tidak bisa dipisahkan dari penghinaan orang yang
dimintanya. Maka kadang dia memberinya itu karena rasa tidak enak (malu) atau
karena ingin mendapat pujian (riya), dan ini adalah haram bagi yang
mengambilnya.
Dan jika dia
tidak memberinya , dia mungkin merasa malu dan menyakiti perasaan dirinya
sendiri jika tidak memberinya , karena dia akan menganggap dirinya termasuk
orang-orang yang kikir.
Dilamatis,
jika dia memberinya maka akan mengurangi hartanya . Dan jika tidak memberinya,
maka akan merendahkan martabatnya.
Dan keduanya
sama-sama menyakiti, dan orang yang minta-minta adalah penyebab yang menyakiti
. Dan menyakiti itu haram hukumnya kecuali karena darurat .
[Lihat :
Ihya Ulumuddin (4/205)]
Dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Sahal bin Handzoliyah Al-Anshory RA bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
((مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا
يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنْ النَّار جهنم)) قالوا: يا رسولَ اللهِ !
ما يُغنيه ؟ قال: ((ما يُغدِّيه أو يُعَشِّيه))
“Sesungguhnya
barangsiapa yang meminta-minta, padahal dia memiliki sesuatu yang mencukupinya,
maka sesungguhnya dia telah memperbanyak sesuatu dari api neraka Jahannam. Para
sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, apa batasan sesuatu yang mencukupinya itu?
Beliau menjawab: “Sesuatu cukup untuk makan siang atau makan malam.”
(HR. Ahmad no. 17625, Abu Daud no. 1388, Ibnu Hibban dan Al-Hakim).
Dishahihkan oleh syeikh al-Albaani dlm Shahih Abu Daud no. 1629 dan Shahih
at-Targhiib no. 805. Dan dishahihkan pula oleh para pentahqiiq Musnad Imam
Ahmad 29/166.
Diriwayatkan dari
sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:Rasulullah
Shallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
((مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ
النَّاسَ حَتَّى يَأْتِىَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِى وَجْهِهِ مُزْعَةُ
لَحْمٍ))
“Seseorang terus
menerus meminta-minta kepada orang lain sehingga ia kelak akan datang pada hari
Kiamat dalam keadaan tidak ada sekerat daging pun di wajahnya.” (HR.
Bukhori no. 1381, 1474 dan Muslim no. 1040)
Diriwayatkan pula
dari Hubsyi bin Junaadah RA, ia berkata: Rasulullah ﷺ
bersabda:
((مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ
فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ))
“Barangsiapa
meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kefakiran, maka seolah-olah ia
memakan bara api.” (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya (no. 2446),
Ath-Thahawi dalam Syarah Ma’anil Atsar (no. 3021), dan Ath-Thabrani dalam
Mu’jam Al-Kabir (no. 3506), semuanya dari jalan Israil).
Hadits ini
dishahihkan Ibnu Khuzaimah dan Al-Bani dalam Shahih at-Targhiib no. 802.
Dan dari Samuroh bin
Jundub RA bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
((الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا
الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ
لَا بُدَّ مِنْهُ))
“Sesungguhnya meminta
itu cakaran, seseorang dengan meminta mencakar mukanya sendiri, kecuali seorang
meminta kepada sultan atau untuk sebuah perkara yang tidak boleh tidak
(darurat).”
(HR. Turmudzi no. 681. Dia berkata: “ Hasan Shahih “. Dan di Shahihkan
oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih Turmudzi no. 681)
===****===
HARAM-NYA MEMBISNISKAN ILMU AGAMA ; KARENA BUKAN BARANG DAGANGAN
Dalilnya
adalah sbb :
Pertama :
Orang durhaka adalah orang yang makan dan minumnya dari hasil al-Qur'an :
Dari
Abu Sa’id Al-Khudri , dia mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah
ﷺ bersabda:
"يكون خَلْفٌ من بعد السِّتِّينَ سنةً
أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا ثم
يكون خَلْفٌ يقرؤونَ القرآنَ لا يعْدو تراقيهم
ويقرأ القرآنَ ثلاثٌ مؤمنٌ ومنافقٌ وفاجرٌ ".
قال بَشِيْر : قُلْتُ للوَلِيْد : مَا هَؤلَاء
الثَّلاثةُ؟ قَالَ : المُؤْمِن مُؤْمِنٌ بِه، والمُنافِقُ كَافِرٌ به،
والفَاجِرُ يَأكُلُ بِهِ
Kelak akan
ada generasi pengganti sesudah enam puluh tahun, mereka menyia-nyiakan
shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan
menemui kesesatan.
Kemudian akan muncul pula pengganti lainnya yang pandai membaca Al-Quran ,
tetapi tidak sampai meresap ke dalam hati mereka.
Saat itu
yang membaca Al-Quran ada tiga macam orang, yaitu orang Mukmin ,
orang , dan orang durhaka.
Basyir
mengatakan bahwa ia bertanya kepada Al-Walid tentang pengertian dari ketiga
macam orang tersebut : "Siapa sajakah mereka itu?"
Maka
Al-Walid menjawab : "Orang Mukmin adalah orang yang beriman
kepada Al-Quran , orang Munafiq adalah orang yang ingkar
terhadap Al-Quran , sedangkan orang yang DURHAKA adalah orang yang mencari
makan (nafkah) dengan Al-Quran."
[HR. Ahmad
no. 11340].
Derajat
Hadits :
Ibnu Katsir
dalam kitab البداية والنهاية 6/233 berkata :
إِسْنَادُهُ جَيِّدٌ قَوِيٌّ عَلَى شَرْطِ
السُّنَنِ
"Sanad nya bagus dan kuat sesuai syarat kitab-kitab
as-Sunan".
Dan Syeikh
al-Albaani dalam السلسلة
الصحيحة (1/520) berkata :
"رِجَالُهُ ثِقَاتٌ غَيْرُ الوَلِيدِ، فَحَدِيثُهُ
يَحْتَمِلُ التَّحْسِينِ وَهُوَ عَلَى كُلِّ حَالٍ شَاهِدٌ صَالِحٌ".
"Para
perawinya tsiqoot [ dipercaya] selain al-Wallid , maka haditsnya bisa dibawa ke
derajat Hasan , dan haditst tsb bagaimana pun juga layak dan baik sebagai syahid
".
Dalam riwayat lain : Dari Abu Sa’id al-Khudri , bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
(
تَعَلَّموا القرآنَ، وَسَلُوا اللهَ بِهِ الجنَّةَ، قَبْلَ أنْ يَتعَلَّمَهُ
قَوْمٌ، يَسْأَلُونَ به الدُّنْيا، فَإِنَّ القُرآنَ يَتَعَلَّمُهُ ثَلاثَةٌ:
رَجُلٌ يُباهِي بِهِ، وَرَجُلٌ يَسْتَأْكِلُ بِهِ، وَرَجُلٌ يَقْرَأُهُ لله ) .
“Kalian
Belajarlah Al-Quran dan mintalah kepada Allah surga dengannya, sebelum muncul
satu kaum yang mempelajari Al-Quran untuk tujuan duniawi.
Sesungguhnya
ada tiga kelompok yang mempelajari Al-Quran:
· Seseorang yang
mempelajarinya untuk berbangga diri.
· Seseorang yang
mencari makan dengannya .
· dan seseorang
yang membaca karena Allah Subhanahu Wata’ala.”
(HR. Baihaqi
dan Abu ‘Ubeid dalam kitab “فضائل القرآن” , Bab : القارئ يستأكل بالقرآن
hal. 206 . Hadits di sebutkan oleh Syeikh al-Baani dalam
“السلسلة الصحيحة
“
1/118-119 No. 258 , dan beliau berkata :
وَلِلْحَدِيثِ شَوَاهِدُ أُخْرَى تُؤَيِّدُ صِحَّتَهُ عَنْ جَمَاعَةٍ
مِنَ الصَّحَابَةِ.
“
Hadits ini memiliki syahid-syahid lain yang memperkuat keshahinnya dari jemaah
para sahabat “ )
NOTE : Belajar mengajar ilmu agama
serta berdakwah itu masuk dalam katagori IBADAH .
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
وَالصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ وَتَابِعُو
التَّابِعِينَ وَغَيْرُهُمْ مِنَ الْعُلَمَاءِ الْمَشْهُورِينَ عِنْدَ الْأُمَّةِ بِالْقُرْآنِ
وَالْحَدِيثِ وَالْفِقْهِ إِنَّمَا كَانُوا يُعَلِّمُونَ بِغَيْرِ أُجْرَةٍ، وَلَمْ
يَكُنْ فِيهِمْ مَنْ يُعَلِّمُ بِأُجْرَةٍ أَصْلًا. ا.هـ.
Para
Sahabat, Tabi’iin, Tabi’it Tabi’iin , dan ulama lainnya yang masyhur akan
keilmuannya di kalangan Umat dalam bidang ilmu Al-Qur'an, Hadits dan Fikih,
sesungguhnya mereka itu mengajar tanpa upah , dan tidak ada seorang pun di
antara mereka yang mengenal tentang upah dalam berdakwah sama sekali . ( Baca :
مختصر الفتاوى المصرية hal. 481 dan مجموع الفتاوى jilid 30 hal. 204 ).
Namun Para
Fuqohaa telah sepekat akan bolehnya menerima tunjangan dari baitul maal ( Kas
Negara ) atas pengajaran ilmu-ilmu syar’i yang membawa manfaat dan yang semisalnya
.
Dalil ke dua : Larangan Menerima Imbalan Jasa Dari
Orang Yang Diajari al-Qur'an Olehnya :
Dari Ubay
bin Ka’ab (ra) , berkata :
"عَلَّمْتُ رَجُلاً الْقُرْآنَ
فَأَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ( إِنْ
أَخَذْتَهَا أَخَذْتَ قَوْسًا مِنْ نَارٍ ) فَرَدَدْتُهَا".
“
Aku mengajar al-Qur’an pada seseorang , lalu dia menghadiahkan Busur panah pada
ku . Maka aku menceritakannya pada Rosulullah ﷺ , maka beliau bersabda : “ Jika kamu
mengambilnya , maka kamu telah mengambil busur dari api neraka “. Lalu Aku
mengembalikannya .
(
HR. Ibnu Majah No. 2149 dan di Shahihkan oleh syeikh al-Baani dalam kitab “ إرواء الغليل “ No. 1493 ).
Dari Abu
ad-Dardaa’ (ra) , Rosulullah ﷺ bersabda :
((مَنْ أَخَذَ عَلَى تَعْلِيمِ الْقُرْآنِ
قَوْساً قَلَّدَهُ الله مَكَانَهَا قَوْساً مِنْ نَارِ جَهَنَّمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))
Barang siapa
menerima [imbalan] Busur Panah dari Mengajar al-Qur’an , maka Allah akan
mengalungkan sebagai gantinya kelak busur dari api neraka Jahannam pada hari
Kiamat “.
( HR. Imam
al-Baihaqi dlm “السنن الكبرى” 6/126 dan lainnya . Di
shahihkan oleh Syeikh al-Baani dalam kitab “صحيح
الجامع “
no. 5982 dan dalam kitab “السلسلة
الصحيحة “
1/113 no. 256 )
Dari Ubadah
bin ash-Shoomit RA , berkata :
" عَلَّمْتُ نَاسًا مِنْ أَهْلِ
الصُّفَّةِ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ فَأَهْدَى إِلَيَّ رَجُلٌ مِنْهُمْ قَوْسًا فَقُلْتُ
لَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لآتِيَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلأَسْأَلَنَّهُ فَأَتَيْتُهُ
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ رَجُلٌ أَهْدَى إِلَيَّ قَوْسًا مِمَّنْ كُنْتُ
أُعَلِّمُهُ الْكِتَابَ وَالْقُرْآنَ وَلَيْسَتْ بِمَالٍ وَأَرْمِي عَنْهَا فِي
سَبِيلِ اللَّهِ . قَالَ صلى الله عليه وسلم ( إِنْ كُنْتَ تُحِبُّ أَنْ تُطَوَّقَ
طَوْقًا مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا )
Artinya: Aku
telah mengajarkan Al Qur’an pada seseorang dari Ahli ash-Shuffah kemudian dia
menghadiahiku sebuah busur (panah). Maka aku berkata :
“ Ini
bukanlah harta , tetapi ini bisa digunakan untuk berjihad fii sabilillah ,
namun demikian aku harus menghadap dulu ke Rosulullah ﷺ , aku mau menanyakannya , lalu aku mendatangi
beliau ﷺ , dan aku berkata pada nya :
“ Wahai
Rosulullah , seseorang telah menghadiahi ku Busur panah , orang tsb salah
seorang yang aku mengajarkan al-Kitab dan al-Qur’an padanya, dan ini bukan
HARTA , dan aku bisa memanfaatkannya
untuk berjihad di jalan Allah “.
Rosulullah ﷺ menjawab : “ Jika kau suka busur itu kelak akan dikalung kan pada
dirimu dari api Neraka , maka silahkan ambil !!! “. Lalu aku pun mengembalikannya.”
Dalam lafadz
riwayat Ibnu Majah :
( إِنْ سَرَّكَ أَنْ تُطَوَّقَ بِهَا طَوْقًا
مِنْ نَارٍ فَاقْبَلْهَا )
"Jika
engkau suka untuk dihimpit api neraka, maka terimalah."
Dalam lafadz
lain :
(جَمْرَةٌ بَيْنَ كَتِفَيْكَ تَقَلَّدْتَهَا
أَوْ تَعَلَّقْتَهَا)
“
Itu Bara Api diantara dua pundakmu , kamu telah melingkarkannya atau kamu
mengalungkannya “.
[ HR. Imam
Ahmad No. 21632 , Abu Daud no. 2964 dan Ibnu Majah No. 2148 ].
Di Shahihkan
oleh al-Haakim dan Syeikh al-Baani dlm “سلسلة الأحاديث الصحيحة” (1/115), Shahih Abu Daud
no. 3416 dan dalam Shahih Turmudzi “.
Dalil ke tiga : Hadits peringatan terhadap orang yang
mendahulukan upah duniawi dalam membaca al-Qur'an dari pada pahala akhirat:
Dari Sahal bin Sa’ad as-Saa’idi , berkata :
" خرج علينا رسول الله ﷺ يوماً ونحن
نقريء فقال: الحمدُ لله، كتابُ الله واحدٌ، وفيكم الأحْمَرُ وفيكم الأبْيَضُ وفيكم
الأسْوَد اقْرَؤوهُ قَبْل أنْ يَقْرَأَهُ أقْوامٌ يُقيمُونَهُ كما يُقَوَّمُ
السَّهْمُ يَتَعَجَّلُ
أَجْرَهُ ولا يتَأجَّلُهُ ".
“ Pada suatu hari Rosulullah ﷺ keluar menemui kami , dan saat itu
kami sedang membaca al-Qur’an , maka beliau ﷺ bersabda
: “ Al-Hamdulillah , Kitab Allah satu , sementara di dalam kalian ada yang
berkulit merah , berkulit putih dan berkulit hitam ( Yakni ada etnis Arab dan
Non Arab ) , bacalah kalian al-Quran sebelum adanya kaum-kaum membaca al-Qur’an , mereka
menetapkannya seperti anak panah yang diluruskan ( yakni mereka memperbagus
bacaannya), namun dia mempercepat upahnya ( di dunia ) dan tidak
menundanya ( untuk akhirat ) .
( HR. Abu
Daud 1/220 No. 831 . Di Shahihkan oleh Syeikh al-Baani dlm Shohih Abu Daud
1/157 No. 741, beliau berkata : Hasan Shahih ).
Penjelasan
hadits ini:
قوله: "يقيمونه كما يُقَوَّمُ السَّهم"
أي: يُحَسِّنون النُّطق به. وقوله: "يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ ولا يَتَأَجَّلُهُ"
أي: يَطْلُبُ بِذَلِكَ أَجْرَ الدُّنْيَا مِنْ مَالٍ وَجَاهٍ وَمَنْصِبٍ، وَلا يَطْلُبُ
بِهِ أَجْرَ الْآخِرَةِ.
Ucapan-Nya: "يقيمونه كما يُقَوَّمُ السَّهم" artinya: Mereka memperbaiki cara
mengucapkannya. Dan ucapan-Nya:
"يَتَعَجَّلُ أَجْرَهُ وَلا يَتَأَجَّلُهُ" artinya: Mereka mencari dengan itu pahala
dunia berupa harta, kedudukan, dan jabatan, dan mereka tidak mencari dengan itu
pahala akhirat. [Referensi: Jami' al-Usul,
oleh Ibnu Athir
(2/450-451).]
Riwayat lain
: Dari Jabir bin Abdullah , berkata :
دَخَلَ النَّبي ﷺ المسجدَ، فإذا فيه
قومٌ يَقرَؤُونَ القُرآنَ، قال: « اقْرَؤُوا القُرآنَ، وابْتَغُوا به
اللهَ مِن قَبْلِ أن يَأتِيَ قَوْمٌ يُقِيمونَه إِقَامَةَ القِدْحِ،
يَتَعَجَّلُونَه ولا يَتَأَجَّلُونَه«.
Nabi ﷺ masuk masjid , dan ternyata di dalamya terdapat orang-orang yang sedang
baca al-Qur’an .
Beliau ﷺ bersabda : “ Bacalah kalian al-Qur’an , dan dengannya semata-mata
karena mengharapkan Allah , sebelum
datangnya kaum yang menetapkannya seperti anak panah yang diluruskan ( yakni
mereka memperbagus bacaanya ) , namun dia mempercepat upahnya ( di dunia ) dan
tidak menundanya ( untuk akhirat ).
( HR. Imam
Ahmad 3/357 dan Abu Daud 1/220 No. 831. Di Shahihkan oleh Syeikh al-Baani dlm
Shohih Sunan Abu Daud 1/156 no. 740 .
Muhammad
Syamsul haq al-Adziim Aabadi dalam kitabnya “عون المعبود” 3/42 berkata :
فَقَدْ أَخْبَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلم عَنْ مَجِيءِ أُقَوَّامٍ بَعْدَهُ يُصَلِّحُونَ أَلْفَاظَ الْقُرْآنِ وَكَلِمَاتِهِ
وَيَتَكَلَّفُونَ فِي مَرَاعَاةِ مَخَارِجِهِ وَصِفَاتِهِ، كَمَا يُقَامُ الْقِدْحُ
- وَهُوَ السَّهْمُ قَبْلَ أَنْ يُعَمَّلَ لَهُ رِيشٌ وَلَا نَصْلٌ - وَالْمَعْنَى:
أَنَّهُمْ يُبَالِغُونَ فِي عَمَلِ الْقِرَاءَةِ كَمَالَ الْمُبَالَغَةِ؛ لِأَجْلِ
الرِّيَاءِ وَالسُّمْعَةِ وَالْمُبَاهَاةِ وَالشُّهْرَةِ. أَيُّهَا الْإِخْوَةُ الْكَرَامُ..
هَؤُلَاءِ تَعَجَّلُوا ثَوَابَ قِرَاءَتِهِمْ فِي الدُّنْيَا وَلَمْ يَتَأَجَّلُوهُ
بِطَلَبِ الْأَجْرِ فِي الْآخِرَةِ، إِنَّهُمْ بِفَعْلِهِمْ يُؤْثِرُونَ الْعَاجِلَةَ
عَلَى الْآجِلَةِ وَيَتَأَكَّلُونَ بِكِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى، وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ
أَنْوَاعِ هِجْرِ الْقُرْآنِ الْكَرِيمِ، فَبِئْسَ مَا يَصْنَعُونَ.
Maka sungguh Nabi ﷺ telah mengkabarkan : bahwa
sesudahnya akan munculnya kaum-kaum yang memperbagus lafadz-lafadz dalam
membaca al-Quran dan kalimat-kalimatnya , bahkan berlebihan di dalam
memperhatikan makhroj-makhroj dan sifat-sifat dari huruf-huruf al-Quran ,
seperti halnya orang yang memperbagus atau meluruskan batang panah sebelum di
pasangkan bulu-bulu dan besi tajam diujungnya .
Maksudnya : Mereka sangat
berlebihan di dalam mempercantik dan menyempurnakan bacaan al-Quran dengan
tujuan agar mendapatkan sanjungan dari manusia , popularitas ,
berbangga-banggaan dan ketenaran .
Wahai para ikhwan yang mulia
, mereka adalah orang-orang yang tergesa-gesa untuk mendapatkan upah bacaan
al-Qurannya di dunia , mereka tidak sabar menundanya untuk mendapatkan pahala
di akhirat .
Sesungguhnya
perbuatan mereka itu adalah sama dengan mengutamakan dunia dari pada akhirat ,
dan mereka makan dan minumnya dengan Kitab Allah Ta’la . Dan ini adalah jenis
perbuatan meng hajer / MEMBOIKOT al-Quran yang paling dahsyat , maka ini adalah
sebusuk-busuknya yang mereka lakukan . ( Baca : “عون المعبود شرح سنن أبي
داود”
3/42) .
Dalil ke 4 : Hadits larangan terima uang tips atau
upah Jasa baca al-Qur'an :
Hadits Imran
bin Hushain (ra) : bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
« مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللهَ
بِهِ فَإِنَّهُ سَيَأْتِيْ أَقْوَامٌ يَقْرَءُوْنَ القرآنَ وَيَسْأَلُوْنَ بِهِ
النَّاسَ » .
Artinya :
" Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah
dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca
Al Quran lalu mereka meminta ( upah ) kepada manusia dengan Al Quran itu".
( HR. Ahmad
, Turmudzi , Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Baihaqi dalam Syuabul Iman. Lihat: Al
Jami' Al Kabir ).
Hadits ini
di sahihkan oleh Al-Albaani dalam kitab-kitabnya : Islahus Saajid hal. 106 ,
silsilah sahihan 1/461 , sahih Targhib no. 1433 , dan lainnya ).
Dan masih dari Imran bin Hushain (ra) :
" أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَارِئٍ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ ثُمَّ يَسَأَلَ
النَّاسَ بِهِ فَاسْتَرْجَعَ عِمرانُ ، ثُمَّ قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُولُ: " مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ
فَلْيَسْأَلْ اللَّهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ
وَيَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ ".
“Suatu ketika ia melewati seorang qori sedang membaca Al-Qur'an
, kemudian setelah membacanya meminta ( upah ) kepada orang-orang , maka Imran
ber istirja’ ( Yakni berkata : Innaa Lillaahi wa Innaa Ilaihi Rooji’uun dan
menyuruhnya untuk mengembalikan ) , dan berkata : Aku mendengar Rosulullah ﷺ bersabda :
" Barangsiapa membaca Al Quran maka
hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan
datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta ( upah )
kepada manusia dengan ( bacaan ) Al Quran itu ".
( HR. Turmudzi no. 2917 dan beliau berkata :
" Hadits Hasan ". Dan Syeikh Al-Albaani dalam sahih Targhib 2/80 no.
1433 mengatakan : " Sahih karena ada yang lainnya ". Dan dalam Sahih
wa Dloif al-Jami' no. 11413 serta Shahih wa Dloif Sunan Turmudzi 6/417 no. 2917
beliau mengatakan : " Hasan " .
Syarah Hadits : Al-Mubaarokfuury dalam syarah Sunan Tirmidzi berkata :
قَوْلُهُ
( يَقْرَأُ ) أَيْ: يَقْرَأُ الْقُرْآنَ.
وَقَوْلُهُ:
( ثُمَّ سَأَلَ ) أَيْ: طَلَبَ الْقَارِئُ مِنَ النَّاسِ شَيْئًا مِنَ الرِّزْقِ لِقِرَاءَتِهِ
الْقُرْآنَ.
وَقَوْلُهُ:
( فَاسْتَرْجَعَ ) أَيْ: قَالَ عِمْرَانُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: ﴿ إِنَّا لِلَّهِ
وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾ [البَقَرَةِ: 156]؛ لِابْتِلَاءِ الْقَارِئِ بِهَذِهِ
الْمُصِيبَةِ، وَهِيَ سُؤَالُ النَّاسِ بِالْقُرْآنِ، أَوْ لِابْتِلَاءِ عِمْرَانَ
- رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - بِمُشَاهَدَةِ هَذِهِ الْحَالَةِ الشَّنِيعَةِ، وَهِيَ مِنْ
أَعْظَمِ الْمُصِيبَاتِ.
Sabda-nya : ( membaca ), yaitu dia membaca
Al-Qur’an.
Dan sabdanya: (Kemudian dia meminta )
artinya: Qoori itu meminta rizki dari orang-orang karena dia telah membaca
Al-Qur'an.
Dan sabdanya: (Maka dia meminta untuk
mengembalikannya ) artinya: Imran radhiyallahu ‘anhu berkata : “ Kami adalah
milik Allah dan kepada-Nya kami akan kembali” [Al-Baqarah: 156].
Dia berkata demikian karena perbuatan itu
adalah bala [bencana] yang menimpa Qoori.
Atau karena Imran – semoga Allah meridhoinya
– merasa menderita ketika menyaksikan situasi sangat keji ini, yang mana
perbuatan tsb merupakan salah satu bencana dan musibah terdahsyat. [ Baca : تحفة الأحوذي
بشرح جامع الترمذي 8/235 ] .
Dalil ke lima : Larangan Terima Upah
Dakwah , Ceramah Agama Dan Mengajar Ilmu Agama :
Asy-Syeikh Muhammad al-Amiin Asy-Syinqithi
dalam kitabnya “ أضواء البيان
“
ketika menafsiri surat
Hud : 29 , berkata :
قَوْلُهُ
تَعَالَى: { وَيَا قَوْمِ لَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مَالًا إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى
اللَّهِ } ذَكَرَ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ عَنْ نَبِيِّهِ نُوحٍ
عَلَيْهِ وَعَلَى نَبِيِّنَا الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنَّهُ أَخْبَرَ قَوْمَهُ أَنَّهُ
لَا يَسْأَلُهُمْ مَالًا فِي مُقَابَلَةِ مَا جَاءَهُمْ بِهِ مِنَ الْوَحْيِ وَالْهُدَى،
بَلْ يَبْذُلُ لَهُمْ ذَلِكَ الْخَيْرَ الْعَظِيمَ مُجَانًا مِنْ غَيْرِ أَخْذِ أَجْرَةٍ
فِي مُقَابَلَتِهِ، وَبَيَّنَ فِي آيَاتٍ كَثِيرَةٍ: أَنَّ ذَلِكَ هُوَ شَأْنُ الرُّسُلِ
عَلَيْهِمْ صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ.
Firman Allah Ta’aalaa : Dan (dia berkata):
“Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kalian (sebagai upah) bagi
seruanku. Upahku hanyalah dari Allah “.
Allah Yang Maha Kuasa menyebutkan dalam ayat
mulia ini tentang Nabinya Nuh 'alaihis salam , bahwa dia memberi tahu kaumnya
bahwa dia tidak meminta harta kepada mereka sebagai imbalan atas apa yang telah
dia sampaikan kepada mereka dari wahyu dan hidayah . Sebaliknya, kebaikan yang
agung itu disampaikan kepada mereka secara cuma-cuma tanpa memungut bayaran
sebagai imbalannya. Dan Allah menjelaskan dalam banyak ayat : bahwa Itu adalah
berlaku pada semua dakwah para Rasul 'alaihimus salaam .
Seperti yang Allah firmankan dalam Surat Saba
tentang Nabi kita ﷺ
:
{قُلْ
مَا سَأَلْتُكُم مِّنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى اللَّهِ}
" Katakanlah ( hai Muhammad) : "Aku tidak minta upah
kepada kalian, maka itu untuk kalian. Upahku hanyalah dari Allah” (QS. Saba :
47 ).
Kemudian Asy-Syeikh Muhammad al-Amiin
Asy-Sying-qithi setelah menyebutkan ayat-ayat di atas dia berkata :
وَيُؤْخَذُ
مِنْ هَذِهِ الْآيَاتِ الْكَرِيمَةِ: أَنَّ الْوَاجِبَ عَلَى أَتْبَاعِ الرُّسُلِ مِنَ
الْعُلَمَاءِ وَغَيْرِهِمْ أَنْ يَبْذُلُوا مَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْعِلْمِ مُجَانًا
مِنْ غَيْرِ أَخْذِ عَوْضٍ عَلَى ذَلِكَ، وَأَنَّهُ لَا يَنْبَغِي أَخْذُ الْأَجْرَةِ
عَلَى تَعْلِيمِ كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى وَلَا عَلَى تَعْلِيمِ الْعَقَائِدِ وَالْحَلَالِ
وَالْحَرَامِ". انتَهَى.
" Diambil dari ayat-ayat luhur ini : Tugas para pengikut
Rasul dari kalangan ulama dan lain-lain adalah memberikan ilmunya secara
cuma-cuma tanpa memungut bayaran untuk itu, dan tidak lah layak mengambil upah
atas pengajaran Kitab Allah Azza wa Jalla , begitu juga atas mengajar ilmu
tentang aqidah dan hukum tentang halal dan haram “. (Selesai).
0 Komentar