HUKUM ISBAL DAN CINGKRANG SERTA PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA BERIKUT DALIL MASING MASING
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
=====
*****
DAFTAR ISI:
- DEFINISI ISBAL
- MAKNA جَرُّ الإِزَار خُيَلاء
- ARTI GAMIS, JUBAH, IZAAR DAN RIDAA'.
- LARANGAN BERSIKAP SOMBONG, UJUB DAN TAKABBUR
- PERINTAH UNTUK BERSIKAP TAWADHU'
- -------------
- HUKUM BERPAKAIN ISBAL DISERTAI KESOMBONGAN
- HUKUM MENGENDARAI KUDA ATAU UNTA DISERTAI KESOMBONGAN
- HUKUM WANITA MEMAKAI EMAS DISERTAI KESOMBONGAN
- ------------
- HUKUM ISBAL TANPA DISERTAI KESOMBONGAN
- PENDAPAT PERTAMA: PARA ULAMA YANG TIDAK MENGHARAMKAN ISBAL:
- ARGUMENTASI-ARGUMENTASI: PENDAPAT BAHWA ISBAL TIDAK HARAM JIKA TANPA KESOMBONGAN
- ARGUMENTASI PERTAMA: HADITS LARANGAN ISBAL YANG MUQOYYAD [DIBATASI] DENGAN KESOMBONGAN
- ARGUMENTASI KEDUA: NASH-NASH AL-QURAN YANG MELARANG MAKAN, MINUM DAN BERPAKAIAN SECARA BERLEBIHAN DAN DISERTAI KESOMBONGAN
- ARGUMENTASI KETIGA: HADITS-HADITS YANG MELARANG MAKAN, MINUM DAN BERPAKAIAN DISERTAI KESOMBONGAN SECARA UMUM
- ARGUMENTASI KE EMPAT: ATSAR PARA SAHABAT DAN PARA TABI'IIN:
- ARGUMENTASI KELIMA: PAKAIAN PADA ZAMAN NABI SAW SANGAT BERHARGA DAN BERNILAI
- ARGUMENTASI KE ENAM: NABI SAW MELARANG MEMAKAI PAKAIAN SYUHROH [BIKIN TENAR] DAN PAKAIAN KHUYALAA [ADA KESOMBONGAN]
- PENDAPAT KEDUA: HARAM NYA ISBAL DAN MELANDAIKAN PAKAIANNYA HINGGA TERSERET-SERET.
- DALIL-DALIL PENDAPAT KEDUA: YANG MENGHARAMKAN ISBAAL DAN MELANDAIKAN PAKAIAN HINGGA TERSERET, BAIK DISERTAI KESOMBONGAN ATAU TIDAK.
- TAMBAHAN FAIDAH DARI HADITS ABU UMAMAH: HUKUM BAGI SEORANG WANITA MENCUKUR DAN MENCABUT JENGGOT NYA
- FIQIH HADITS: DALAM MENYIKAPI HADITS LARANGAN ISBAL YANG MUTLAK DAN HADITS LARANGAN ISBAL YANG MUQOYYAD DENGAN KESOMBONGAN
- PENDAPAT KE TIGA: HUKUM ISBAL TANPA KESOMBONGAN ADALAH MAKRUH
- DALIL PENDAPAT KE TIGA
- KESIMPULAN DAN TARJIH
- HUKUM AS-SADL
- CINGKRANG TAPI RADIKAL & EXTRIM ADALAH CIRI KHAWARIJ
****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ. وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ:
DEFINISI ISBAL [الإِسْبَالُ]:
Ibnu al-Atsiir, al-Mundziri dan Ash-Shan'aani mendefinisikan:
المُسْبِل إزارَه: هو الذي يُطَوِّل ثوبَه ويُرْسلُه إلى الأرْض إذا مَشَى. وإنما يفَعَل ذلك كِبْراً واخْتيالاً
Al-Musbil Izaarohu [orang yang mengisbalkan pakaian bawahnya] adalah: Dialah yang memanjangkan pakaiannya dan melandaikannya ke tanah ketika dia berjalan, dan dia melakukannya hanya karena kesombongan dan keangkuhan.
Dan al-Khuyalaa dan al-Makhiilah, Ibnu al-Atsiir menafsirkannya dengan ujub dan takabbur".
[Baca: At-Targhiib wa at-Tarhiib 3/65 karya al-Mundziri cet. Dar al-Kutub Ilmiyyyah dan استِيفاءُ الأَقْوالِ فِي تَحْرِيمِ الإِسْبالِ عَلَى الرِّجَالِ. 1/32-33 karya ash-Shan'aani]
======
MACAM-MACAM ISBAAL
Rasulullah ﷺ bersabda:
الْإِسْبَالُ فِي الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَالْعِمَامَةِ مَنْ جَرَّ شَيْئًا خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
"Isbal itu terdapat pada kain sarung, baju gamis (lengan panjang) dan SORBAN. Barangsiapa menjuntaikan sesuatu [dari kain-kain tersebut] dengan sombong, niscaya Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari Kiamat kelak."
Abu Bakar berkata; "Husain bin Ali tidak menganggap asing hadits di atas."
[HR. Abu Daud (4094), an-Nasa'i (5334), dan lafadznya adalah miliknya, dan Ibn Majah (3576)]. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih an-Nasaa'i no. 5349.
Dan dari Syu'bah dari Muharib dari Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma berkata; Rasulullah ﷺ bersabda::
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مَخِيلَةً لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقُلْتُ لِمُحَارِبٍ أَذَكَرَ إِزَارَهُ قَالَ مَا خَصَّ إِزَارًا وَلَا قَمِيصًا
"Barangsiapa menyeret kainnya karena SOMBONG, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak."
Lalu aku (Syu'bah) bertanya kepada Muharib: "Apakah beliau menyebutkan kain sarung?"
Dia menjawab: "Beliau tidak mengkhususkan [larangan Isbal] itu hanya pada kain sarung dan tidak pula pada baju Gamis lengan panjang saja." (HR.Bukhari no. 5345)
Dan dari Asma' binti Yazid al-Anshari radhiallahu 'anha, dia berkata:
كَانَ كُمُّ قَمِيْصِ رَسُوْلِ الله - صلى الله عليه وسلم - إِلَى الرُّسْغِ.
"Ujung bawah kain lengan panjang gamisnya Rasulullah ﷺ itu sampai pada pergelangan tangan."
[HR. Abu Daud no. 4027, Tirmidzi no. 1765 dan Baihaqi no. 9666]
Abu Isa Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan ghoriib.
Berdasarkan hadits-hadits diatas, maka Isbal ada 3 macam :
Pertama : Isbal Pakaian bagian bawah Badan:
Artinya melandaikan, menyeret atau menjulurkan kain pakaian bawah melebihi mata kaki
Kedua : Isbal kain lengan Baju:
Artinya melandaikan atau menjulurkan kain kengan baju melebihi pergelangan tangan
Ketiga : Isbal Kain Sorban ('Imamah) :
Yang dimaksud dengan ISBAL [memanjangkan] sorban adalah:
إطالةُ طرَفِها وعذَبَتِها عن الزِّيادةِ المعتادةِ والمعروفةِ فوقَ الكَتِفَين
"Memanjangkan ujungnya dan kuncirnya melebihi panjang yang sudah menjadi kebiasaan. Dan yang sudah maklum adalah sampai di atas bahu".
MAKNA (جَرُّ الإِزَارِ خُيَلاء) :
Adalah berpakaian dengan memanjangkan ujung kain bagian bawahnya hingga terseret-seret menyapu tanah dan disertai rasa kesombongan:
Sementara makna “ جَرَّ – يَجُرُّ - جَرًّا “ adalah : Menyeret, menarik, menghela dan menderek (menggandeng).
Ahmad Huthaibah dalam Syarah Riyadhus Sholihiin 71/11 [المكتبة الشاملة الحديثة] berkata:
مَنْ يَقُولُ لِلْخَيَّاطِ: "فَصِّلْ لِي ثَوْبًا طَوِيلًا يُجَرْجِرُ عَلَى الْأَرْضِ"، كَأَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتَعَاظَمَ بِهَذَا الثَّوْبِ... . إِذًا: الْإِنسَانُ الَّذِي يَفْعَلُ ذَلِكَ عَجَبًا وَاسْتِكْبَارًا، وَمِنْ أَجْلِ أَنْ يَرَى النَّاسُ أَنَّهُ غَنِيٌّ وَيَمْشِي وَثَوْبُهُ عَلَى الْأَرْضِ هَذَا دَاخِلٌ فِي ذَلِكَ.
“Sesorang yang berkata kepada penjahit: "Jahitkan lah untuk-ku baju tsaub yang panjang, yang ujung kainnya terseret-seret di tanah". Seakan-akan dia ingin agar dirinya nampak semakin agung [hebat] dengan bajunya ini......
Maka: "jika orang yang melakukan hal itu dikarenakan adanya rasa ingin dikagumi dan ingin merasa besar alias takabbur, dan agar orang-orang yang melihatnya beranggapan bahwa dirinya itu kaya raya; dikarenakan dia berjalan dengan pakaian yang kainnya berlebihan hingga terseret-seret di tanah; maka orang ini masuk dalam ancaman yang ada dalam hadits".
MUFRODAAT [ARTI KATA] :
BAJU GAMISH [قَمِيْصٌ] pada masa Nabi ﷺ:
Yaitu, sebagaimana baju yang kita kenal saat ini, dan di sebagaian negara disebut dengan "Jilbab" atau "Jalabiyah"]. Pakaian seperti itu merupakan pakaian yang sangat disukai oleh Nabi ﷺ, panjang lengannya sampai ke pergelangan tangan.
JUBBAH [جُبَّةٌ] pada zaman Nabi ﷺ:
Yaitu: pakaian longgar, yang kedua lengannya pun longgar, bagian depannya terbelah, biasa dipakai diatas baju atau gamis. Di zaman kita saat ini sebagaimana jubah kehormatan yang biasa dipakai oleh ulama Al Azhar. [Baca: "Al Mu’jam Al Wasith" (1/104)]
IZAAR DAN RIDAA' [ الإِزَارُ وَالرِّدَاء]:
- Izaar adalah kain untuk menutup bagian bawah. Dan ridaa' adalah kain untuk menutup bagian atas.
- Izaar dan Ridaa', sejenis pakaian yang saat ini biasa dipakai oleh orang-orang yang sedang berpakaian ihram.
Al Waqidi berkata:
كَانَ رِدَاؤُهُ وَبِرْدُهُ طُولَ سِتَّةِ أَذْرُعٍ فِي ثَلَاثَةٍ وَشِبْرٍ، وَإِزَارُهُ مِن نَسِجِ عُمَانَ، طُولُ أَرْبَعَةِ أَذْرُعٍ وَشِبْرٍ فِي عَرْضِ ذِرَاعَيْنِ وَشِبْرٍ.
"Dahulu Ridaa' dan Burdah –kain bergaris yang diselimutkan pada badan Rasulullah ﷺ - panjangnya enam hasta dengan lebar tiga jengkal".
Hasta adalah, dari ujung jari tengah sampai ujung siku. Satu jengkal adalah, dari ujung ibu jari sampai ke ujung jari kelingking. Selimutnya terbuat dari tenunan negeri Oman, panjangnya empat hasta dan sejengkal, lebarnya dua hasta sejengkal.
(Dikutip secara ringkas dari kitab Zaadul Ma’aad karya Ibnu al-Qoyyim 1/135-145)
=====
LARANGAN BERSIKAP SOMBONG, UJUB DAN TAKABBUR
Allah Ta’ala berfirman :
إِنَّهُ لَا يُحِبُّ
الْمُسْتَكْبِرِينَ
“Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang
menyombongkan diri.” (QS. An Nahl: 23)
Haritsah bin Wahb Al Khuzai’i berkata bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ
النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
“Maukah kalian aku beritahu tentang penduduk neraka? Mereka
semua adalah orang-orang keras lagi kasar, tamak lagi rakus, dan takabbur
(sombong).“ (HR. Bukhari no. 4918 dan Muslim no. 2853).
Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ
وَلاَ تَمْشِ فِي اللأَرْضِ مَرَحاً إِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ
فَجُوْرٍ
“Dan janganlah kamu
memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan
di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman:18)
HAKIKAT SOMBONG :
Diriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dari
Nabi ﷺ, beliau
bersabda,
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ
فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ
أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ
يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat
kesombongan sebesar biji Sawi.”
Seseorang yang bertanya : “Bagaimana dengan seorang yang suka memakai
baju dan sandal yang bagus?”
Beliau menjawab : “Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai
keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.“ (HR.
Muslim no. 91)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :
“Hadist ini berisi larangan dari sifat sombong yaitu menyombongkan diri
kepada manusia, merendahkan mereka, serta menolak kebenaran” .
(Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi, 2/163)
Salah satu tujuan diutusnya Rasulullah ﷺ adalah untuk memperbaiki akhlak
manusia. Nabi ﷺ bersabda,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ
صَالِحَ الْأَخْلَاقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang baik.”
(HR. Ahmad 2/381. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menyatakan bahwa hadits
ini shahih)
Islam adalah agama yang mengajarkan akhlak yang luhur dan mulia. Oleh
karena itu, banyak dalil al Quran dan as Sunnah yang memerintahkan kita untuk
memiliki akhlak yang mulia dan menjauhi akhlak yang tercela. Demikian pula banyak
dalil yang menunjukkan pujian bagi pemilik akhlak baik dan celaan bagi pemilik
akhlak yang buruk. Salah satu akhlak buruk yang harus dihindari oleh setiap
muslim adalah sikap sombong.
Orang yang sombong merasa dirinya
sempurna dan memandang dirinya berada di atas orang lain. (Bahjatun
Nadzirin, I/664, Syaikh Salim al Hilali, cet. Daar Ibnu Jauzi)
======
PERINTAH UNTUK BERSIKAP TAWADHU
Kebalikan dari sikap sombong dan merasa suci adalah sikap tawadhu’
(rendah hati). Sikap inilah yang merupakan sikap terpuji, yang merupakan salah
satu sifat ‘ibaadur Rahman yang Allah terangkan dalam firman-Nya,
وَعِبَادُ الرَّحْمَنِ الَّذِينَ
يَمْشُونَ عَلَى الْأَرْضِ هَوْنًا وَإِذَا خَاطَبَهُمُ الْجَاهِلُونَ قَالُوا
سَلَامًا
“Hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang
berjalan di atas muka bumi dengan rendah hati (tawadhu’) dan apabila
orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik.” (QS.
Al Furqaan: 63)
Diriwayatkan dari Iyadh bin Himar radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah ﷺ pernah
bersabda,
وَإِنَّ اللَّهَ أَوْحَى إِلَيَّ
أَنْ تَوَاضَعُوا حَتَّى لَا يَفْخَرَ أَحَدٌ عَلَى أَحَدٍ وَلَا يَبْغِ أَحَدٌ
عَلَى أَحَدٍ
‘Sesungguhnya Allah mewahyukan kepadaku agar kalian
bersikap rendah hati hingga tidak seorang pun yang merasa bangga diatas
yang lain dan tidak ada yang berbuat aniaya terhadap yang lain”. (HR
Muslim no. 2865).
Dan Rasulullah ﷺ bersabda
:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ
لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ.
“Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang
memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah
kemuliaan untuknya. Dan tidak ada orang yang tawadhu’
(merendahkan diri) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat
derajatnya.” (HR. Muslim no. 2588)
Sikap tawadhu’ inilah yang akan mengangkat derajat seorang
hamba, sebagaimana Allah berfirman,
يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ
اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kalian dan orang-orang yang berilmu beberapa derajat “ (QS. Al Mujadilah: 11).
******
HUKUM ISBAL BERPAKAIAN DISERTAI KESOMBONGAN
Jika seorang laki-laki meng isbal kan pakaiannya hingga melewati bawah mata kakinya dengan maksud sombong dan angkuh, maka hal itu diharamkan, dan tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama, bahkan itu termasuk perbuatan dosa besar. [Lihat: al-Mausuu'ah al-Fiqhiyyah 34/169-170]
Dalam al-Mausuu'ah al-Fiqhiyyah 34/170 di sebutkan:
وَاتَّفَقُوا عَلَى إِبَاحَةِ إِطَالَةِ الثَّوْبِ إِلَى أَسْفَل مِنَ الْكَعْبَيْنِ لِلْحَاجَةِ، كَمَا إِذَا كَانَ بِسَاقَيْهِ حُمُوشَةٌ - أَيْ: دِقَّةٌ وَرِقَّةٌ - فَلاَ يُكْرَهُ مَا لَمْ يَقْصِدِ التَّدْلِيسَ.
Mereka para ulama sepakat akan bolehnya memanjangkan pakaian hingga ke bawah kedua mata kaki jika karena ada hajat kebutuhan, seperti jika pada kedua betisnya terdapat Humuusyah [yakni: cacat kurus kecil krempeng]; maka tidak dimakruhkan selama tidak bermaksud untuk mentadlis [pengelabuan].
[Baca pula: Syarah Muntaha Al-Iradaat karya Al-Bahouti 1/149 Cet. Dar Al-Fikr, dan Al-Raudh Al-Murbi' 1/516].
======
HUKUM MENGENDARAI KUDA ATAU UNTA DISERTAI KHUYALA (KESOMBONGAN).
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
"رَأْسُ الْكُفْرِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ وَالْفَخْرُ وَالْخُيَلَاءُ فِي أَهْلِ الْخَيْلِ وَالْإِبِلِ الْفَدَّادِينَ أَهْلِ الْوَبَرِ وَالسَّكِينَةُ فِي أَهْلِ الْغَنَمِ".
"Puncak kekafiran berada pada arah timur.
Dan kebanggaan diri sendiri dan kesombongan [khuyala] ada pada para pengendara kuda dan unta.
Dan orang-orang yang bersuara keras adalah para penggembala unta yang berpindah-pindah tempat [nomaden]
Sedangkan ketenangan ada pada para penggembala kambing." [HR. Bukhori no. 3301 dan Muslim no. 74]
Syarah hadits :
فَالنَّاقَةُ لَمَّا كَانَتْ تَمْشِي رَافِعَةً رَأْسَهَا إِلَى أَعْلَى، أَوْرَثَ ذَلِكَ مَنْ يَجْلِسُونَهَا كِبْرًا وَعَجَبًا، أَمَّا الشَّاةُ فَلِكُونِهَا سَاكِنَةً، أَوْرَثَتْ أَهْلَهَا سُكُونًا وَتَوَاضُعًا، وَمِنْ ثَمَّ قَالَ ﷺ: (مَا بَعَثَ اللَّهُ نَبِيًّا إِلَّا رَعَى الْغَنَمَ))؛ رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
"Ketika unta berjalan, ia mengangkat kepalanya ke atas, dan hal ini menimbulkan kekaguman dan kebanggaan di kalangan orang-orang yang duduk di atasnya.
Sementara domba, dengan sifatnya yang tenang, mewarisi ketenangan dan kerendahan hati kepada pemiliknya. Oleh karena itu, Nabi ﷺ bersabda: '(Tidak ada nabi yang diutus oleh Allah kecuali sebagai penggembala domba).' (HR. Al-Bukhari no. 2262)."
=====
HUKUM WANITA MEMAKAI EMAS DISERTAI KHUYALA (KESOMBONGAN)
Dalam kitab Siyar A'laam an-Nubalaa 2/269, Imam adz-Dzahabi menyebutkan:
هَذَا صَحِيْحٌ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، وَكَأَنَّهُ كَانَ يَذْهَبُ إِلَى تَحْرِيْمِ الذَّهَبِ عَلَى النِّسَاءِ أَيْضاً، أَوْ أَنَّ المَرْأَةَ إِذَا كَانَتْ تَخْتَالُ فِي لُبْسِ الذَّهَبِ وَتَفْخَرُ، فَإِنَّهُ يَحْرُمُ، كَمَا فِيْمَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
Ini adalah Shahih dari Abu Hurairah, seolah-olah dia juga berpandangan: mengharamkan emas bagi wanita. Atau bahwa seorang wanita jika dia memakai emas dengan sombong dan berbangga diri; maka itu diharamkan, sama halnya seperti seseorang yang isbal menyeret pakaiannya dengan kesombongan ..
Al-Azhari al-Ashly berkata:
لا شَكَّ أن لُبْسَ الذَّهَبِ لِلنِّسَاءِ حَلالٌ بَيْنَ فَمَعْنَى كَلامِ الذَّهَبِيِّ هُوَ جَوازُ الإِسْبالِ لَغَيْرِ الخِيلاءِ بِمَفْهُومِ الْمُخالَفَةِ.
" Tidak ada keraguan bahwa memakai emas untuk wanita adalah jelas halal, maka arti perkataan Al-Dzahabi adalah boleh memakainya tanpa kesombongan, berdasarkan Mafhum mukholafah". [Baca : al-Maktabah asy-Syamilah al-Haditsah 98/299]
******
PERBEDAAN PENDAPAT
HUKUM ISBAL TANPA DISERTAI KHUYALA (KESOMBONGAN)
Adapun meng isbaal kan pakaian tanpa bermaksud sombong atau angkuh, namun bukan karena ada hajat kebutuhan; maka para ulama berbeda pendapat dalam tiga pendapat:
Pendapat pertama: MUBAH.
Kedua: HARAM.
Ketiga: MAKRUH.
====
PENDAPAT PERTAMA :
TIDAK MENGHARAMKAN ISBAAL TANPA KESOMBONGAN
Mayoritas para ulama berpendapat bahwa Isbaal tidak diharamkan selama tidak bermaksud untuk kesombongan.
Dalam al-Mausuu'ah al-Fiqhiyyah 34/170 di sebutkan:
وَاخْتَلَفُوا فِي إِطَالَتِهَا إِلَى أَسْفَل مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنْ غَيْرِ كِبْرٍ وَلاَ اخْتِيَالٍ وَلاَ حَاجَةٍ: فَذَهَبَ الْجُمْهُورُ إِلَى الْكَرَاهَةِ التَّنْزِيهِيَّةِ... اهـ.
Dan mereka berbeda pendapat dalam memnjangkannya hingga di bawah kedua mata kaki, tanpa ada maksud takabbur, sombong dan kebutuhan; maka Jumhur ulama berpendapat MAKRUH TANZIIH..... [Selesai].
[Lihat referensi: Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 1/585, cet ketiga, al-Fataawa al-Hindiyah 5/333, Neilul Awthaar 2/112, 'Awnul-Baari oleh Siddiq Bin Hassan Bin Ali Al-Husseini Al-Qanouji, cetak ulang. Di Qatar pada 1404 H].
Di antara mereka yang berpendapat tidak haram isbal jika bukan karena kesombongan, adalah:
Abu Hanifah, Imam Asy-Syafi'i, Imam Ahmad dalam riwayat yang masyhur, Imam Bukhori, Imam Muslim dan Ibnu Hibbaan .
Dari madzhab Maliki:
Suleiman bin Khalaf Al-Baaji dalam kitabnya Al-Muntaqaa Sharh Al-Muwaththa dan Al -Nafraawai dalam kitab nya "Al-Fawaakih Al-Dawaani 'Alaa Risalah Ibnu Abi Zaid Al-Qayrawani".
Dari Madzhab Syafi'i:
Imam Al-Nawawi, Syeikh Al-Islam Zakaria Al-Anshari, Imam Shihabud-Din Ar-Ramli, Al-Hafidz Ibn Hajar Al-Haitami dan masih banyak lagi yang lainnya.
Dari Madzhab Hanbali:
Imam Ibnu Qudamah dalam kitab "Al-Mughni", Syeikhul-Islam IBNU TAIMIYAH dalam Sharh Al-'Umdah dan Al-Rahaibaani dalam Mathoolib Uli an-Nuha, Ibnu Muflih dalam al-Aadaab asy-Syar'iyyah dan Al- Mardawai dalam "al-Inshaaf".
-------
PENDAPAT IMAM BUKHORI, IMAM MUSLIM DAN IBNU HIBBAAN
IMAM BUKHORI :
Imam Bukhori menegaskan dalam Shahihnya bahwa Isbal tanpa Kesombangan itu tidak Haram; oleh sebab itu Imam Bukhori menulis sebuah BAB :
بَابَ مَنْ جَرَّ إزَارَهُ مِنْ غَيْرِ خُيَلَاءَ
"BAB: Orang yang menyeret sarungnya tanpa adanya kesombongan".
Lalu Imam Bukhori menyebutkan haditst berikut ini:
Pertama: hadits dari Salim dari Abdullah dari ayahnya Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ.
قالَ مُوسَى: فَقُلتُ لِسالِمٍ: أذَكَرَ عبدُ اللَّهِ: مَن جَرَّ إزارَهُ؟ قالَ: لَمْ أسْمَعْهُ ذَكَرَ إلَّا ثَوْبَهُ.
"Siapa yang menyeret bajunya karena kesombongan maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari qiyamat".
Kemudian Abu Bakr berkata; "Sesungguhnya sebelah dari pakaianku turun melandai kecuali bila aku memeganginya (mengangkatnya)".
Maka Rasulullah ﷺ berkata: "Sesungguhnya kamu melakukan itu bukan bermaksud sombong".
Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar menyebutkan lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kain sarungnya’? Salim menjawab, yang saya dengar hanya ‘barangsiapa menyeret bajunya’.". (HR. Bukhari 3665, Muslim 2085)
Kedua: Hadits Dari Abu Bakrah radliallahu 'anhu dia berkata;
خَسَفَتْ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ وَثَابَ النَّاسُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَجُلِّيَ عَنْهَا ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا
"Ketika kami berada di samping Nabi ﷺ, tiba-tiba terjadi gerhana Matahari, maka beliau segera berdiri menuju masjid, dan menyeret pakaiannya karena tergesa-gesa hingga tiba di masjid. Lalu orang-orang pun segera berdiri di sisinya dan beliau mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah matahari terang, beliau berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda:
"Matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang, tetapi keduanya merupakan tanda diantara tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat kedua gerhana tersebut, maka shalatlah dan berdoalah hingga gerhana tersingkap dari kalian (nampak kembali)." (HR.Bukhari no. 5448)
Dan sebelum BAB di atas, imam Bukhori berkata:
قَالَ النَّبِيُّ ﷺ كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ. وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُلْ مَا شِئْتَ وَالْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ اثْنَتَانِ سَرَفٌ أَوْ مَخِيلَةٌ
Nabi ﷺ bersabda: "Makan dan minumlah kalian, dan kenakanlah (pakaian) serta bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan kesombongan."
Ibnu Abbas berkata: "Makanlah apa yang engkau mau, kenakanlah apa yang engkau mau. Tidak ada yang membuatmu bersalah/berdosa kecuali dua: berlebihan atau kesombongan "
Kemudian Imam Bukhori menyebutkan hadits Ibnu Umar: Bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ
"Allah tidak akan melihat tidak akan mau melihat orang yang menyeret pakaiannya karena sombong." [HR. Bukhori no. 5446]
IMAM MUSLIM:
Dan Hadits di atas ini di sebutkan Imam Muslim dalam Shahihnya dalam BAB:
بَابٌ: تَحْرِيْمِ جَرِّ الثَّوْبِ خُيَلَاءَ
BAB: Pengharaman menyeret pakaian dengan kesombongan. [Hadits. No. 2085]
IBNU HIBBAN:
Begitu pula Ibnu Hibbaan dalam kitab Shahih nya, dia menuliskan sebuah Bab yang diberi nama:
"بَابُ: ذِكْرُ الْعِلَّةِ الَّتِي مِنْ أَجْلِهَا زُجِرَ عَنْ هَذَا الْفِعْلِ".
"Bab: Penyebutan ilat [sebab] mengapa dilarang melakukan perbuatan ini".
Lalu Ibnu Hibban menyebutkan hadits Ibnu Umar:
"مَن جَرّ ثِيَابَه مِن مخَيِلة فَإِن الله لَا يَنظُرُ إِليهِ يَومَ القِيامَة".
"Siapa yang menyeret pakaiannya karena kesombongan maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari qiyamat". [Shahih Ibnu Hibbaan hadits no. 5443]
------
PERKATAAN SEBAGIAN PARA ULAMA:
BAHWA ISBAL TANPA KESOMBONGAN ITU MUBAH
------------
ULAMA MADZHAB HANAFI:
Penulis kitab al-Muhith dari ulama Hanafiyah menyatakan:
وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ".
Telah diriwayatkan bahwasanya Abu Hanifah [Wafat 150 H] mengenakan mantel yang mahal seharga 400 dinar. [1 dinar = 4, 25 gram emas murni. 400 Dinar x 4, 25 gram = 1700 gram = 1, 5 M rupiah PEN.].
Dan beliau memanjangkannya hingga terseret di atas tanah.
Lalu ditanyakan kepadanya: "Bukankah kita dilarang untuk itu?"
Ia berkata, "Larangan itu hanyalah untuk yang memiliki kesombongan. Dan kami bukan termasuk dari mereka."
(Di Kutip oleh Ibnu Muflih dalam Al-Adab As-Syar’iyyah 4 /226). Dan lihat pula "Al-Fataawa Al-Hindiyah" (5/333).
Dalam kitab Fatawa Hindiyyah (5/333) kitab fiqih Madzhab Hanafi:
تَقْصِيرُ الثِّيَابِ سُنَّةٌ وَإِسْبَالُ الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ بِدْعَةٌ يَنْبَغِي أَنْ يَكُونَ الْإِزَارُ فَوْقَ الْكَعْبَيْنِ إلَى نِصْفِ السَّاقِ وَهَذَا فِي حَقِّ الرِّجَالِ، وَأَمَّا النِّسَاءُ فَيُرْخِينَ إزَارَهُنَّ أَسْفَلَ مِنْ إزَارِ الرِّجَالِ لِيَسْتُرَ ظَهْرَ قَدَمِهِنَّ. إسْبَالُ الرَّجُلِ إزَارَهُ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ إنْ لَمْ يَكُنْ لِلْخُيَلَاءِ فَفِيهِ كَرَاهَةُ تَنْزِيهٍ
"Memendekkan pakaian hukumnya sunnah. Dan isbal pada sarung dan gamis [dengan kesombongan] itu bid’ah. Sebaiknya sarung itu di atas mata kaki sampai setengah betis. Ini untuk laki-laki.
Sedangkan wanita hendaknya menurunkan kainnya melebihi kain lelaki untuk menutup punggung telapak kakinya.
Isbalnya seorang lelaki melebihi mata kaki jika tidak karena kesombongan maka hukumnya makruh Tanziih "
Al-Nahlawi berkata dalam Al-Durar Al-Mubahah:
"لَا يَجُوزُ إِسْبَالُ الثَّوْبِ تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ، إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ، وَالتَّكَبُّرِ، وَإِلَّا جَازَ إِلَّا أَنَّ الْأَفْضَلَ أَنْ يَكُونَ فَوْقَ الْكَعْبَيْنِ."
"Tidak boleh menurunkan pakaian di bawah mata kaki, jika karena kesombongan dan ketakabburan, dan jika selain itu ; maka itu boleh, namun yang lebih afdhol adalah di atas mata kaki.."
ULAMA MADZHAB MALIKI:
Abul Walid Sulaiman Al-Baaji dalam Al-Muntaqaa Syarh Al-Muwaththa (9/314-315):
وَقَوْلُهُ ﷺ الَّذِي يَجُرُّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ يَقْتَضِي تَعَلُّقَ هَذَا الْحُكْمِ بِمَنْ جَرَّهُ خُيَلَاءَ أَمَّا مَنْ جَرَّهُ لِطُولِ ثَوْبٍ لَا يَجِدُ غَيْرَهُ أَوْ عُذْرٍ مِنْ الْأَعْذَارِ فَإِنَّهُ لَا يَتَنَاوَلُهُ الْوَعِيدُ.
قَوْلُهُ صَلَّى الله عليه وسلم: «إِزَارُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ»، يَحْتَمَلُ أَنْ يَرِيدَ بِهِ – وَاللَّهُ أَعْلَمُ – أَنَّ هَذِهِ صِفَةٌ لِبَاسِهِ الْإِزَارِ؛ لِأَنَّهُ يَلْبَسُ لُبْسَ الْمُتَوَاضِعِ الْمُقْتَصِدِ الَّذِي يَقْتَصِرُ عَلَى بَعْضِ الْمُبَاحِ. وَيَحْتَمَلُ أَنْ يَرِيدَ بِهِ أَنَّ هَذَا الْقَدَرَ الْمَشْرُوعَ لَهُ. وَيُبَيِّنُ هَذَا التَّأْوِيلَ قَوْلُهُ صلى الله عليه وسلم: "لا جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ" يُرِيدُ وَاللَّهُ أَعْلَمُ أَنَّ هَذَا لَوْ لَمْ يَقْتَصِرْ عَلَى الْمُسْتَحَبِّ لَكَانَ مُبَاحًا لَا إِثْمَ عَلَيْهِ فِيهِ، وَإِنْ كَانَ قَدْ تَرَكَ الْأَفْضَلَ.
"Sabda Nabi ﷺ : ‘barangsiapa menyeret pakaiannya karena sombong‘ ini menunjukkan hukumnya terkait bagi orang yang melakukannya karena sombong.
Adapun orang yang menyeretnya karena panjangnya pakaian karena tak punya pakaian selain itu, atau karena suatu udzur, maka dia tidak termasuk ancaman hadits ini.
Dan sabda Nabi ﷺ: ‘Kainnya orang mu’min itu sepertengahan betis’, dimungkinkan –wallahu’alam– inilah deskripsi pakaian beliau. Karena beliau lebih menyukai memakai pakaian ketawadhu’an, yaitu yang seadanya, dibanding pakaian lain yang mubah.
Dimungkinkan juga, perkataan beliau ini menunjukkan kadar yang disyariatkan.
Tafsiran ini diperjelas oleh sabda beliau yang lain:
‘Tidak mengapa bagi mereka untuk mengenakan antara paha dan pertengahan betis’.
Beliau ingin mengatakan -wallahu’alam- bahwa kalau tidak mencukupkan diri pada yang mustahab [setengah betis], maka itu boleh dan dia tidak berdosa. Namun dia telah meninggalkan yang afdhol".
Al-Hafidz Ibnu Abdil-Barr berkata dalam "Al-Tamhiid" (3/244):
وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ مِنْ غَيْرِ خُيَلَاءٍ وَلَا بَطَرٍ أَنَّهُ لَا يَلْحَقُهُ الْوَعِيدُ الْمَذْكُورُ، غَيْرَ أَنَّ جَرَّ الإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَسَائِرِ الثِّيَابِ مَذْمُومٌ عَلَى كُلِّ حَالٍ" انتهى
"Hadits ini menunjukkan bahwa siapa pun yang menyeret pakaian bawahnya tanpa kesombongan atau kecongkakan, maka dia tidak termasuk dalam ancaman tersebut. Namun, menyeret sarung bagian bawah, baju gamis dan pakaian lainnya adalah tercela dalam hal apapun". Selesai
Dalam Ensiklopedia Fiqih Kuwait 2/321, hal itu dinyatakan:
وَفِي الْمَوَاهِبِ: مَا كَانَ مِنْ ذَلِكَ عَلَى سَبِيل الْخُيَلاَءِ فَلاَ شَكَّ فِي تَحْرِيمِهِ، وَمَا كَانَ عَلَى طَرِيقِ الْعَادَةِ فَلاَ تَحْرِيمَ فِيهِ، مَا لَمْ يَصِل إِلَى جَرِّ الذَّيْل الْمَمْنُوعِ مِنْهُ.
وَنَقَل الْقَاضِي عِيَاضٌ عَنِ الْعُلَمَاءِ كَرَاهَةَ كُل مَا زَادَ عَلَى الْعَادَةِ فِي اللِّبَاسِ لِمِثْل لاَبِسِهِ فِي الطُّول وَالسِّعَةِ
Dalam kitab al-Mawaahib: "Apa saja dari semua itu jika dilakukannya karena kesombongan; maka tidak ada keraguan akan keharamannya. Dan apa saja dari itu semua jika dilakukanya dengan cara yang biasa; maka tidak ada keharaman di dalamnya selama tidak sampai menseret-seret ujung kain yang dilarang dari pakaiannya.
Al-Qoodhi 'Iyaadh meriwayatkan dari para ulama: dimakrukannya segala sesuatu yang melampaui keumuman dan kebiasaan dalam berpakaian. Maka dianjurkan mengikuti standar dalam berpakaian, baik panjangnya maupun kelonggarannya. [Lihat pula: Syarah az-Zarqooni 'alaa al-Muwath-tha 1/273]
ULAMA MADZHAB SYAFI'I
An-Nawawi berkata :
الْإِسْبَالُ تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ لِلْخُيَلَاءِ فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوهٌ وَهَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى الْفَرْقِ بَيْنَ الْجَرِّ لِلْخُيَلَاءِ وَلِغَيْرِ الْخُيَلَاءِ قَالَ وَالْمُسْتَحَبُّ أَنْ يَكُونَ الْإِزَارُ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَالْجَائِزُ بِلَا كَرَاهَةٍ مَا تَحْتَهُ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَمَا نَزَلَ عَنِ الْكَعْبَيْنِ مَمْنُوعٌ مَنْعَ تَحْرِيمٍ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ وَإِلَّا فَمَنْعُ تَنْزِيهٍ لِأَنَّ الْأَحَادِيثَ الْوَارِدَةَ فِي الزَّجْرِ عَنِ الْإِسْبَالِ مُطْلَقَةٌ فَيَجِبُ تَقْيِيدُهَا بِالْإِسْبَالِ لِلْخُيَلَاءِ انْتَهَى
"Isbal (menjulurkan pakaian) di bawah mata kaki karena kesombongan.
Maka jika tanpa kesombongan hukumnya makruh. Demikian juga, Asy-Syafi'i menegaskan perbedaan antara menjulurkan pakaian karena kesombongan dan tanpa kesombongan. An-Nawawi berkata, 'Yang dianjurkan adalah pakaian itu hingga setengah betis, dan yang diperbolehkan tanpa makruh adalah apa yang di bawahnya hingga mata kaki, dan apa yang turun dari mata kaki itu dilarang dengan larangan haram jika karena kesombongan, jika tidak maka larangan tanzih (makruh). Karena hadits-hadits yang datang tentang larangan isbal itu redaksinya umum, maka harus dikaitkan dengan isbal karena kesombongan.' (Selesai)."[Dikutip oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 10/263].
Al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah (w. 204 H) berkata - sebagaimana diriwayatkan oleh al-Nawawi dalam al-Majmu' (3/177) -:
فَمَذْهَبُنَا أَنَّ السَّدْلَ فِي الصَّلَاةِ وَفِي غَيْرِهَا سَوَاءٌ، فَإِنْ سَدَلَ لِلْخُيَلَاءِ فَهُوَ حَرَامٌ، وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ الْخُيَلَاءِ فَمَكْرُوهٌ وَلَيْسَ بِحَرَامٍ. قَالَ الْبَيْهَقِيُّ: قَالَ الشَّافِعِيُّ: "فِي الْبُوَيْطِيِّ لَا يَجُوزُ السَّدْلُ فِي الصَّلَاةِ وَلَا فِي غَيْرِهَا لِلْخِيلَاءِ، فَأَمَّا السَّدْلُ لِغَيْرِ الْخِيلَاءِ فِي الصَّلَاةِ فَهُوَ خَفِيفٌ لِقَوْلِهِ ﷺ لِأَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَالَ لَهُ إِنَّ إِزَارِي يَسْقُطُ مِنْ أَحَدِ شِقَّيْنِ فَقَالَ لَهُ "لَسْتَ مِنْهُمْ". هَذَا نَصُّهُ فِي الْبُوَيْطِيِّ.
Madzhab kami bahwa as-Sadl dalam shalat dan yang lainnya adalah sama, jika as-Sadl itu untuk kesombongan, maka itu haram. Dan jika itu untuk selain kesombongan, maka itu makruh dan tidak haram."
Al-Bayhaqi berkata: Asy-Syafi’i berkata dalam kitab Muktashor Al-Buwaithi:
"Tidak boleh isbal dalam shalat atau lainnya jika disertai kesombongan. Adapun Isbaal bukan karena sombong dalam shalat, maka itu ringan"; karena sabda beliau ﷺ kepada Abu Bakar, RA, dia berkata kepada nya: bahwa kain sarung ku melorot dari salas satu sisinya", Lalu beliau ﷺ berkata kepadanya: "Engkau bukan salah satu diantara mereka." Ini adalah nash Asy-Syaafi'ii dalam al-Buwaithi".
Al-Imam an-Nawawi mengatakan dalam Syarah Shahih Muslim 14/62:
ظَوَاهِرُ الْأَحَادِيثِ فِي تَقْيِيدِهَا بِالْجَرِّ خُيَلَاءَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيمَ مَخْصُوصٌ بِالْخُيَلَاءِ, وَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى الْفَرْقِ كَمَا ذَكَرْنَا.
Makna yang nampak dari hadits-hadits dalam pembatasan menyeret baju dengan kesombongan; menunjukkan bahwa diharamkannya itu khusus dengan kesombongan. Dan demikianlah Nash Imam Syafi'i tentang perbedaan seperti yang kami sebutkan. [Selesai]
Syeikh Al-Munawi dari mazhab Syafi’i menuturkan:
(وَالْمُسَبِّلُ إِزَارَهُ) الَّذِي يُطَوِّلُ ثَوْبَهُ وَيُرْسِلَهُ (خُيَلَاءَ) أَيْ بِقَصْدِ الْخُيَلَاءِ بِخِلَافِهِ لَا بِقَصْدِهَا
"Dan orang yang memanjangkan sarungnya, yaitu orang yang memanjangkan pakaiannya dan melepaskannya karena tujuan kesombongan. Berbeda (hukumnya) bagi orang yang memanjangkannya bukan karena tujuan sombong" (Lihat: Muhammad Abdurrauf Al-Munawi, Faidhul Qadir 3/436).
Abu Hatim Ibnu Hibbaan (w. 354 H) berkata:
الْأَمْرُ بِتَرْكِ اسْتِحْقَارِ الْمَعْرُوفِ أَمْرٌ قُصِدَ بِهِ الْإِرْشَادُ وَالزَّجْرُ عَنْ إِسْبَالِ الْإِزَارِ زَجْرٌ حَتَّمٌ لِعُلَّةٍ مَعْلُومَةٍ وَهِيَ الْخِيلَاءُ فَمَتَى عَدَمَتِ الْخُيَلَاءُ لَمْ يَكُنْ بِإِسْبَالِ الْإِزَارِ بَأْسٌ.
"Perintah untuk meninggalkan menganggap remeh hal yang ma’ruf adalah perintah yang bermaksud untuk mendidik.
Dan larangan untuk tidak mengIsbalkan sarung adalah larangan yang pasti karena sebab yang telah diketahui, yakni kesombongan. Oleh karena itu, jika kesombongan itu tidak ada, maka tidaklah mengapa Isbal sarung." (Baca: Shahih Ibnu Hibban 2/282 no. 5442)
Al-Hafidz Al-Iraqi berkata dalam Thorhu At-Tatsriib:
التَّقْيِيدُ بِالْخُيَلَاءِ يَخْرُجُ مَا إذَا جَرَّهُ بِغَيْر هَذَا الْقَصْدِ، وَيَقْتَضِي أَنَّهُ لَا تَحْرِيمَ فِيهِ
Pembatasan dengan kata al-khuyalaa [kesombongan]; maka keluar dari hukum haram jika pakaian yang terseret itu tanpa maksud khuyalaa. Dan menunjukkan bahwa dalam hal itu tidak ada hukum haram".
Dan Al-Iroqi berkata pula :
وَأَمَّا الْأَحَادِيثُ الْمُطْلَقَةُ بِأَنَّ مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ فَالْمُرَادُ بِهِ مَا كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ؛ لِأَنَّهُ مُطْلَقٌ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى الْمُقَيَّدِ
“Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwasanya apa yang di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka, maksudnya adalah selama itu dalam rangka kesombongan; Karena mutlak, maka harus dibawa kepada yang muqoyyad”. (Thorhu At-Tatsrib 9/34)
Al-Imam As-Suyuthi dalam ad-Diibaaj berkata;
الْمُسْبِلُ إِزَارَهُ الْمُرْخيّ لَهُ الْجَارُّ طَرَفَيْهِ خُيَلَاءَ، فَهُوَ مُخَصَّصٌ بِالْحَدِيثِ الْآخَرِ: "لا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خِيلَاءَ" وَقَدْ رَخَّصَ ﷺ فِي ذَلِكَ لأَبِي بَكْرٍ حَيْثُ كَانَ جَرُّهُ لِغَيْرِ الْخِيلَاءِ.
Kalimat الْمُسْبِلُ إِزَارَهُ adalah yang dilandaikan dan menyeret kedua ujungnya dalam rangka kesombongan. Dan ini dikhususkan oleh hadits yang lain "Allah tidak akan melihat kepada orang yang menyeret pakaiannya karena sombong" dan Rasulullah ﷺ memberikan keringanan dalam hal itu untuk Abu Bakr karena ia menyeretnya bukan karena kesombongan. (Baca: الديباج على مسلم (1/120)
ULAMA MADZHAB HANBALI:
Berkata Ar-Ruhaibani al-Hanbali;
(فَإِنْ أَسْبَلَ) ثَوْبَهُ (لِحَاجَةٍ: كَسِتْرِ) سَاقٍ (قَبِيحٍ ، وَلَا خُيَلَاءَ وَلَا تَدْلِيسَ) عَلَى النِّسَاءِ: (أُبِيحَ).
قَالَ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ حَنْبَلٍ: جَرُّ الْإِزَارِ وَإِسْبَالُ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ ، إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ ، وَكَذَلِكَ إذَا لَمْ يُرِدْ التَّدْلِيسَ
(Dan jika ia menyeret) pakaiannya (untuk kebutuhan tertentu: seperti menutupi) betis (yang buruk, tidak dalam rangka sombong atau menyembunyikan sesuatu) dari wanita: maka itu diperbolehkan.
Imam Ahmad berkata dalam riwayat Hanbal: "Menyeret al-izaar [pakaian bagian bawah /sarung] dan meng-isbal-kan ar-Ridaa’ [pakaian bagian atas] saat shalat . Jika dia tidak menghendaki kesombongan, maka tidaklah mengapa. Dan hal yang sama juga terjadi jika dia tidak menghendaki pengelabuan ( yakni mengelabui orang lain agar dikira orang kaya, padahal dia orang miskin) ". [Baca: Matholib Uli An-Nuha 2/363].
Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) berkata dalam riwayat Hanbal:
جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ رَحِمَهُمُ اللَّهُ . وَقَالَ أَحْمَدُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَيْضًا {مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ} لَا يَجُرُّ شَيْئًا مِنْ ثِيَابِهِ وَظَاهِرُ هَذَا التَّحْرِيمُ ، فَهَذِهِ ثَلَاثُ رِوَايَاتٍ
"Menyeret sarung, jika tidak karena sombong, maka tidak mengapa" Dan ini adalah perkataan yang jelas dari banyak dari para Ulama semadzhab.
Dan juga [dalam riwayat lain] Imam Ahmad berkata:
"[Apa yang berada di bawah mata kaki, adalah di Neraka.] Maksudnya adalah tidak menyeret suatu apapun dari pakaiannya. Yang nampak dari ini adalah pengharaman.
Maka ini adalah tiga riwayat [dari Imam Ahmad].(Baca: Al-Adab As-Syar’iyyah 4/226)
Dan riwayat yang masyhur dari Imam Ahmad adalah Mubah [boleh] hukum Isbal tanpa kesombongan. (Lihat: Al-Adab Asy Syar'iyyah 3/492).
Ibnu Muflih dari madzhab Hanbali menuliskan:
جَرُّ الْإِزَارِ إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ، وَهَذَا ظَاهِرُ كَلَامِ غَيْرِ وَاحِدٍ مِنْ الْأَصْحَابِ
"Memanjangkan sarung, jika bukan bertujuan sombong, hukumnya tidak apa-apa. Dan pendapat ini merupakan dzahir pendapat lebih dari satu ulama mazhab Hanbali" (Lihat: Ibnu Muflih, Al-Adab Al-Syariyyah 3/521).
Dan Ibnu Muflih berkata:
وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ عَدَمَ تَحْرِيمِهِ وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا
Dan syaikh Taqiyuddin [IBNU TAIMIYAH] memilih ketidak haraman-nya. Namun beliau juga tidak berani untuk memakruhkannya maupun tidak memakruhkannya.
(Al-Adab As-Syar’iyyah 4 /226. Dan lihat: "Sharh al-'Umdah" oleh Sheikh al-Islam Ibnu Taymiyyah, hlm. (361-362))
Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah al-Bassaam [Beliau pernah jadi Imam Mesjid Haram Makkah. Wafat. 2003 M] berkata:
"إنَّ القاعِدَةَ الأَصُولِيَّةَ هِيَ حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ وَهِيَ قَاعِدَةٌ مُطْرَدَةٌ فِي عُمُومِ نُصُوصِ الشَّرِيعَةِ. وَالشَّارِعُ الْحَكِيمُ لَمْ يُقَيِّدْ تَحْرِيمَ الإِسْبَالِ - بِالْخِيلَاءِ - إِلا لِحِكْمَةٍ أَرَادَهَا وَلَوْلا هَذَا لَمْ يُقَيِّدهُ. وَالأَصْلُ فِي اللِّبَاسِ الإِبَاحَةُ، فَلا يَحْرُمُ مِنْهَا إِلاَّ مَا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ ﷺ. وَالشَّارِعُ قَصَدَ مِن تَحْرِيمِ هَذِهِ اللِّبْسَةِ الْخَاصَّةِ قَصْدَ الْخِيلَاءِ مِنَ الإِسْبَالِ وَإِلاَّ لَبَقِيَتِ اللِّبَسَةُ الْمَذْكُورَةُ عَلَى أَصْلِ الإِبَاحَةِ. وَإِذَا نَظَرْنَا إِلَى عُمُومِ اللِّبَاسِ وَهَيَئَاتِهِ وَأَشْكَالِهِ لَمْ نَجِدْ مِنْهُ شَيْئًا مُحَرَّمًا إِلا وَتَحْرِيمُهُ لَهُ سَبَبٌ وَإِلاَّ فَمَا مَعْنَى التَّحْرِيمِ وَمَا الْغَرْضُ مِنْهُ، لِذَا فَإِنَّ مَفْهُومَ الأَحَادِيثِ أَنَّ مَنْ أَسْبَلَ وَلَمْ يَقْصُدْ بِذَلِكَ الْكِبَرَ وَالْخُيَلَاءَ، فَإِنَّهُ غَيْرُ دَاخِلٍ فِي الْوَعِيدِ". ا.هـ"
"Sesungguhnya Kaidah Ushul Hamlul Muthlak ‘alal Muqoyyad adalah kaidah umum yang terdapat pada Nash-Nash syara’. Asy-syari’ (Allah) yang Mahabijak tidak membatasi pengharaman Isbal dengan kesombongan kecuali karena hikmah yang dikehendaki.
Andaikan tidak ada hikmah yang dikehendaki, tentu Dia tidak akan membatasinya.
Hukum asal pakaian adalah Mubah. Tidak ada yang haram darinya kecuali bila Allah dan Rasul-Nya mengharamkannya.
As-Syaari’ (Syari’at) memaksudkan pengharaman cara berpakaian khusus ini adalah pada kesombongan dalam Isbal. Jika tidak, maka cara berpakaian yang disebutkan seharusnya tetap dalam kemubahannya.
Dan jika kita melihat pada umumnya pakaian serta model dan bentuknya, kita tidak menemukan adanya sesuatu yang diharamkan kecuali pengharamannya karena sebab tertentu. Jika tidak, maka apalah artinya pengharamannya dan apa tujuan pengharamannya.
Oleh sebab itu, maka pemahaman terhadap hadits ini adalah barangsiapa yang Isbal dan tidak dalam rangka sombong dan angkuh, maka ia tidak masuk dalam ancaman."
(Baca: توضيح الأحكام من بلوغ المرام (6/246)
PERKATAAN SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di dalam Syarh al-Umdah 4/363 menjelaskan:
وَهَذِهِ نُصُوصٌ صَرِيحَةٌ فِي تَحْرِيمِ الإِسْبَالِ عَلَى وَجْهِ الْمُخِيْلَةِ، وَالْمُطْلَقُ مِنْهَا مَحْمُولٌ عَلَى الْمُقَيَّدِ، وَإِنَّمَا أُطْلِقَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْغَالِبَ أَنَّ ذَلِكَ إِنَّمَا يَكُونُ مُخِيْلَةً.
"Dan nash-nash (hadits) ini dengan jelas menunjukkan keharaman Isbal itu dalam bentuk Makhilah (takabur & sombong), kemutlakan dari nash-nash tersebut (harus) diasumsikan ke dalam bentuk yang Muqayyad. Di Mutlakkan-nya keharaman Isbal tersebut tidak lain karena pada masa itu biasanya Isbal tidak akan dilakukan kecuali dengan adanya (takabur & sombong).
Beliau selanjutnya berkata:
وَلِأَنَّ الْأَحَادِيثَ أَكْثَرُهَا مُقَيَّدَةٌ بِالْخُيَلَاء، فَيَحْمِلُ الْمُطْلَقُ عَلَيْهِ، وَمَا سَوَى ذَلِكَ فَهُوَ بَاقٍ عَلَى الْإِبَاحَةِ، وَأَحَادِيثُ النَّهِيِّ مَبْنِيَّةٌ عَلَى الْغَالِبِ وَالْمَظَنَّةِ.
"Dan karena Hadits-hadits (tentang Isbal) kebanyakan Muqayyad [terkait] dengan Khuyala’ sehingga (dengan alasan inilah) hadits yang Muthlak dibawa (hukumnya) kepada hadits-hadits yang Muqayyad.
Dan selain dari yang demikian itu, maka isbal itu tetap pada (Hukum) Ibahah/boleh, sedangkan hadits-hadits larangan (Isbal) yang ada, (itu hanya terlarang karena) didasarkan pada kebiasaan [orang-orang melakukannya untuk kesombongan] dan sebagai perbuatan yang rentan [untuk menjadi takabur pada masa itu]".
Dan Ibnu Taimiyah berkata dalam Majmu' Fataawanya:
وَالْفِعْلُ الْوَاحِدُ فِي الظَّاهِرِ يُثَابُ الْإِنسَانُ عَلَى فِعْلِهِ مَعَ النِّيَّةِ الصَّالِحَةِ وَيُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ مَعَ النِّيَّةِ الْفَاسِدَةِ.
" Dan ada satu perbuatan yang nampak di permukaan, seseorang akan diberi pahala atas perbuatannya jika dengan niat baik, dan dia akan diadzab jika perbuatannya disertai dengan niat buruk".
Lalu Ibnu Taimiyah menyebutkan beberapa contoh, kemudian dia berkata:
وَكَذَلِكَ اللِّبَاسُ، فَمَنْ تَرَكَ جَمِيلَ الثِّيَابِ بُخْلًا بِالْمَالِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَجْرٌ، وَمَنْ تَرَكَهُ مُتَعَبِّدًا بِتَحْرِيمِ الْمُبَاحَاتِ كَانَ آثِمًا، وَمَنْ لَبِسَ جَمِيلَ الثِّيَابِ إِظْهَارًا لِنِعْمَةِ اللَّهِ وَاِسْتِعَانَةً عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ كَانَ مَأْجُورًا، وَمَنْ لَبِسَهُ فَخْرًا وَخِيلَاءً كَانَ آثِمًا؛ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ. وَلِهَذَا حُرِّمَ إِطَالَةُ الثَّوْبِ بِهَذِهِ النِّيَّةِ كَمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ:
" مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ".
Demikian pula halnya dengan pakaian, maka barang siapa yang meninggalkan pakaian yang indah karena kikir dan pelit dengan uangnya; maka tidak ada pahalanya.
Dan barang siapa yang meninggalkannya dengan niat ibadah, namun dia telah mengharamkan yang halal; maka ia berdosa.
Barang siapa memakai pakaian yang indah dalam rangka untuk menunjukkan nikmat dan karunia Allah dan bertujuan agar bisa membantu dalam ketaatan kepada Allah; maka akan diberi pahala.
Dan barang siapa memakainya dengan kesombongan dan keangkuhan maka dia berdosa.
Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Itulah sebabnya mengapa dilarang memanjangkan pakaian dengan niat ini, sebagaimana dalam dua kitab hadits Shahih dari Nabi ﷺ yang mengatakan:
"Barangsiapa menyeret pakaiannya karena kesombongan, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. "
Kemudian Abu Bakr berkata; "Sesungguhnya sebelah dari pakaianku terjulur kecuali bila aku memeganginya (mengangkatnya)".
Maka Rasulullah ﷺ berkata: "Sesungguhnya kamu melakukan itu bukan bermaksud sombong". (HR. Bukhari 3665, Muslim 2085)
[Lihat Majmu' Fataawaa 22/138-139]
------
PERNYATAAN SEBAGIAN PARA ULAMA PEN-SYARAH KITAB-KITAB HADITS:
Pertama : Al-Hakiim at-Tirmidzi (W. 320 H) dalam kitabnya "المنهيات" hal. 7 berkata:
فَهٰذَا ٱلْإِسْبَالُ وَٱلْجَرُّ
لِلثَّوْبِ إِنَّمَا كُرِهَ لِلْمُخْتَالِ ٱلْفَخُورِ.
وَرُوِيَ عَنِ ٱبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
ٱللّٰهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: كُلْ مَا شِئْتَ وَٱلْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ
ٱثْنَتَانِ سَرَفٌ أَوْ مَخِيلَةٌ.
وَقَدْ كَانَ فِي بَدْءِ ٱلْإِسْلَامِ ٱلْمُخْتَالُ يَلْبَسُ ٱلْخَزَّ، وَيَجُرُّ ٱلْإِزَارَ وَيُسْبِلُهُ؛ فَنُهُوا عَنْ ذَٰلِكَ. وَقَدْ كَانَ فِيهِمْ مَنْ يَلْبَسُ ٱلْخَزَّ وَيُسْبِلُ ٱلْإِزَارَ فَلَا يُعَابُ عَلَيْهِ، مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ ٱللّٰهُ عَنْهُ.
Isbal dan menyeret pakaian, dibencinya itu bagi yang sombong dan berbangga diri.
Ibnu Abbas berkata: "Makanlah apa yang engkau mau, pakailah pakaian yang engkau mau. Tidak ada yang membuatmu bersalah/berdosa, kecuali dua: berlebihan atau kesombongan".
Dan sungguh Pada awal Islam, memakai al-Khozz [tenunan dari Sutra dan bulu] dan menarik pakaian dan meng isbal-kannya adalah termasuk kesombongan; lalu mereka dilarang darinya.
Akan tetapi ada di antara mereka yang memakai al-Khozz dan mengisbalkan pakaiannya, namun mereka tidak dicela, di antara mereka adalah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu [karena tidak ada kesombongan].
Dan Al-Hakiim At-Tirmidzi berkata pula;
وَعَامَّةُ الْأَحَادِيثِ الَّتِي جَاءَتْ عَنْ جَرِّ الْإِزَارِ، إِنَّمَا تَدُلُّ عَلَى أَنَّ النَّهْيَ مَعَ الشَّرْطِ، قَالَ: "مَنْ جَرَّ الْإِزَارَ خُيَلَاءَ"؛ فَدَلَّ هَذَا عَلَى أَنَّ النَّهْيَ عَنْ جَرِّ الْإِزَارِ إِذَا كَانَ خُيَلَاءَ.
Umumnya hadits-hadits yang ada tentang menyeret kain sarung, hanyalah menunjukkan bahwa larangan tsb dibarengi dengan syarat. Beliau ﷺ bersabda: "Barang siapa yang menyeret sarung karena sombong". Ini menunjukkan bahwa larangan tersebut adalah larangan untuk menyeret sarung jika dalam rangka kesombongan. (Al-Manhiyyat, hlm 7)
Kedua : Abu 'Awanah al-Asfaraayiini (w. 316 H) dlm Musnadnya berkata;
بَيَانُ الْأَخْبَارِ النَّاهِيَةِ عَنْ جَرِّ الرَّجُلِ إِزَارَهُ بَطَرًا وَخُيَلَاءَ وَالتَّشْدِيدِ فِيهِ وَالدَّلِيلُ عَلَى أَنَّ مَنْ لَمْ يُرِدْ بِهِ خُيَلَاءَ لَمْ تَكُنْ عَلَيْهِ تِلْكَ الشِّدَّةُ.
Penjelasan hadits-hadits yang melarang para lelaki untuk menyeret sarungnya dengan kesombongan dan keangkuhan serta memperkeras di dalam pelarangannya. Dan ini menunjukkan bahwa orang yang melakukannya tidak dengan kesombongan, maka tidak termasuk dalam pelarangan yang sangat tersebut". (Baca: Musnad Abu 'Awanah, 5/244)
Ketiga : al-Imam Asy-Syaukani dalam "Nail Al-Authoor" (2/112) berkata:
وَظَاهِرُ التَّقْيِيدِ بِقَوْلِهِ (خُيَلَاءَ) يَدُلُّ بِمَفْهُومِهِ أَنَّ جَرَّ الثَّوْبِ لِغَيْرِ الْخُيَلَاءِ لَا يَكُونُ دَاخِلًا فِي هَذَا الْوَعِيدِ.
Dan yang nampak dari pembatasan dengan perkataan "kesombongan" menunjukkan bahwa pemahamannya adalah bahwa menyeret pakaian tanpa disertai kesombongan, itu tidak termasuk dalam ancaman ini.
Lalu Asy-Syaukani berkata:
وَبِهَذَا يَحْصُلُ الْجَمْعُ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ وَعَدَمُ إِهْدَارِ قَيْدِ الْخُيَلَاءِ الْمُصَرَّحِ بِهِ فِي الصَّحِيحَيْنِ
Dan dengan inilah telah terjadi pengkompromian antara hadits-hadits tanpa perlu menyia-nyiakan Batasan sombong yang dinyatakan dengan jelas dalam Shahih Bukhari dan Muslim.(Baca: Nail Al-Author 2/112)
Keempat : As-Sindy dalam Haasyiahnya berkata;
لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ... إِلَى آخِرِهِ، كِنَايَةً عَنْ عَدَمِ الِالْتِفَاتِ إِلَيْهِمْ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ. الْمُسْبِلُ مِنَ الْإِسْبَالِ بِمَعْنَى الإِرْخَاءِ عَنِ الْحَدِّ الَّذِي يَنْبَغِي الْوُقُوفُ عِنْدَهُ وَالْمُرَادُ إِذَا كَانَ عَنْ مُخِيلَةٍ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ
Allah tidak mengajak bicara.....(hingga akhir hadits), merupakan kinayah tentang ketiadaan pandangan terhadap mereka dengan pandangan kasih sayang dan ampunan. Musbil adalah dari kata Isbal yang artinya penjuluran yang melebihi batas yang seharusnya. Maksudnya adalah jika hal itu karena kesombongan. Wallahu ta'ala a’lam.
(Baca: حاشية السندي على النسائي (5/51)
======
ARGUMENTASI-ARGUMENTASI PENDAPAT BAHWA ISBAAL TIDAK HARAM JIKA TANPA KESOMBONGAN
Argumentasi yang menunjukkan bahwa Isbal yang tanpa disertai kesombongan hukumnya Mubah adalah sebagai berikut
*****
ARGUMENTASI PERTAMA:
HADITS LARANGAN ISBAL YANG MUQOYYAD [DIBATASI] DENGAN KESOMBONGAN
Hadits-hadits larangan Isbal ini, ada yang muqoyyad [dibatasi] dengan kesombongan dan ada pula yang muthlak [absolut]
Dan kebanyakan hadits-hadits larangan Isbal tsb disertai dengan keterangan yang menyebabkan Isbal itu dilarang yaitu kesombongan.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di dalam Syarh al-Umdah 4/363 beliau menjelaskan:
وَلِأَنَّ الْأَحَادِيثَ أَكْثَرُهَا مُقَيَّدَةٌ بِالْخُيَلَاءِ فَيُحْمَلُ الْمُطْلَقُ عَلَيْهِ، وَمَا سِوَى ذَلِكَ فَهُوَ بَاقٍ عَلَى الْإِبَاحَةِ، وَأَحَادِيثُ النَّهْيِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى الْغَالِبِ وَالْمَظِنَّةِ.
"Dan karena Hadits-hadits (tentang Isbal) kebanyakan Muqayyad [terkait] dengan Khuyala’ sehingga (dengan alasan inilah) hadits yang Muthlak dibawa (hukumnya) kepada hadits-hadits yang Muqayyad.
Dan selain dari yang demikian itu, maka isbal itu tetap pada (Hukum) Ibahah/boleh, sedangkan hadits-hadits larangan (Isbal) yang ada, (itu hanya terlarang karena) didasarkan pada kebiasaan [orang-orang melakukannya untuk kesombongan] dan sebagai perbuatan yang rentan [untuk menjadi takabur pada masa itu]".
HADITS-HADITS MUQOYYAD:
Berikut ini sebagian hadits-hadits larangan Isbal yang muqoyyad dengan kesombongan:
HADITS KE 1:
Imam Bukhari meriwayatkan; Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
"Pada hari kiamat kelak, Allah tidak akan melihat orang yang menyeret kain sarungnya karena sombong." (HR. Bukhari no. 5788)
Makna Izaar adalah:
ما يَستُرُ الجزءَ السُّفليَّ مِن الجَسدِ
" Pakaian yang menutupi bagian bawah tubuh"
FIQIH HADITS:
Ahmad Huthaibah dalam Syarah Riyadhus Sholihiin 71/11 [المكتبة الشاملة الحديثة] berkata:
إِذًا: الإِنْسَانُ الَّذِي يَفْعَلُ ذَلِكَ عُجْبًا وَاسْتِكْبَارًا، وَمِنْ أَجْلِ أَنْ يُرِيَ النَّاسَ أَنَّهُ غَنِيٌّ وَيَمْشِي وَثَوْبُهُ عَلَى الأَرْضِ هَذَا دَاخِلٌ فِي ذَلِكَ، أَمَّا إِنْسَانٌ لَمْ يَقْصِدْ ذَلِكَ، مِثْلُ أَنْ تَشْتَرِيَ ثَوْبًا فَعِنْدَمَا لَبِسْتَهُ إِذَا هُوَ يَصِلُ إِلَى الأَرْضِ، فَأَنْتَ مَعْذُورٌ.
Maka: jika orang yang melakukan hal itu dikarenakan adanya rasa ingin dikagumi dan ingin merasa besar alias takabbur, dan agar orang-orang yang melihatnya beranggapan bahwa dirinya itu kaya raya; dikarenakan dia berjalan dengan pakaian yang kainnya berlebihan hingga terseret-seret di tanah; maka orang ini masuk dalam ancaman yang ada dalam hadits.
Adapun orang yang tidak bermaksud demikian, seperti jika kamu membeli baju tsaub, ketika kamu memakainya, ternyata kepanjangan hingga menyentuh tanah, maka yang demikian itu kamu dimaafkan". [Selesai]
HADITS KE 2:
Allah SWT men-sama ratakan Adzab : bagi yang Isbal karena sombong dan bagi yang berbaju bagus karena sombong dan ujub.
Yakni Allah SWT mensejajarkan adzab : antara orang yang isbal hingga menyeret kain sarungnya karena sombong dengan orang yang berpakaian bagus karena rasa takjub dan sombong .
Pertama : hadits Adzab bagi lelaki yang memakai sarung terseret-seret kainnya ; karena sombong :
Dari Ibnu 'Umar radliallahu 'anhuma: bahwa Nabi ﷺ besabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَجُرُّ إِزَارَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ ، خُسِفَ بِهِ ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِي الْأَرْضِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
“Ketika seorang laki-laki memanjangkan kain bawahnya hingga terseret-seret karena sombong, tiba-tiba dia ditelan bumi sambil menjerit-jerit ketakutan sampai hari kiamat.” (HR. Bukhari No. 3485. Muslim No. 2088, Ahmad No. 5340)
Kedua : hadits Adzab bagi lelaki yang memakai baju mewah ; karena sombong dan ujub:
Dari Abu Hurairah Rasulullah ﷺ bersabda:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فِي حُلَّةٍ ، تُعْجِبُهُ نَفْسُهُ ، مُرَجِّلٌ جُمَّتَهُ ، إِذْ خَسَفَ اللَّهُ بِهِ ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ
“ Ketika ada seorang lelaki yang sedang berjalan dengan berpakaian pakaian mewah yang membuat dirinya takjub, dan rambutnya tersisir rapi, tiba-tiba Allah membuat lelaki itu tertelan dalam bumi ; maka ia pun terus menerus berteriak ketakutan sampai hari kiamat”. (HR. Al-Bukhari no. 5789 dan Muslim no. 2088].
HADITS KE 3 :
Dari Abdullah bin Umar bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
"Pada hari kiamat kelak, Allah tidak akan melihat orang yang menyeret kain sarungnya karena sombong." (HR. Tirmidzi. Lihat Tuhfatul Ahwadzi 5/329 no. 1730)
Abu Isa Tirmidzi berkata:
وَفِي الْبَابِ عَنْ حُذَيْفَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَسَمُرَةَ وَأَبِي ذَرٍّ وَعَائِشَةَ وَهُبَيْبِ بْنِ مُغَفَّلٍ. وَحَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
" Dan dalam bab ini diriwayatkan pula dari Hudzaifah, Abu Sa'id, Abu Hurairah, Samurah, Abu Dzar, Aisyah dan Hubaib bin Mughaffal.
Dan hadits Ibnu Umar adalah hadits hasan shahih "
HADITS KE 4:
Dari Salim dari Abdullah dari ayahnya ra bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ, قَالَ أَبُوْ بَكْرٍ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّي إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ. فَقَالَ النَّبِيُّ صلّي الله عليه وسلّم: لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَءَ.
"Barangsiapa menyeret pakaiannya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat."
Abu Bakar berkata: " Wahai Rasulallah, sesungguhnya salah satu dari bagian bajuku (sejenis jubah) terjulur, kecuali bila aku menjaganya agar tidak terjulur."
Maka Nabi ﷺ menjawab: "Engkau bukanlah termasuk orang yang berbuat demikian karena sombong." [HR. Bukhori no. 5447]
Asy-Syaukani berkata dalam Nail Al-Awthar 3/105:
وَقَدْ عَرَفْتُ مَا فِي حَدِيثِ الْبَابِ مِنْ قَوْلِهِ ﷺ لِأَبِي بَكْرٍ: إِنَّكَ لَسْتَ مِمَّنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ، وَهُوَ تَصْرِيحٌ بِأَنَّ مَنَاطَ التَّحْرِيمِ الْخُيَلَاءَ، وَأَنَّ الْإِسْبَالَ قَدْ يَكُونُ لِلْخُيَلَاءِ، وَقَدْ يَكُونُ لِغَيْرِهِ، فَلَابُدَّ مِنْ حَمْلِ قَوْلِهِ "فَإِنَّهَا مِنَ الْمَخِيلَةِ" فِي حَدِيثِ جَابِرِ بْنِ عَلِيٍّ أَنَّهُ خَرَجَ مَخْرَجَ الْغَالِبِ،
فَيَكُونُ الْوَعِيدُ الْمَذْكُورُ فِي حَدِيثِ الْبَابِ مَتَوَجِّهًا إِلَى مَنْ فَعَلَ ذَلِكَ اخْتِيَالًا، وَالْقَوْلُ: بِأَنَّ كُلَّ إِسْبَالٍ مِنَ الْمَخِيلَةِ أَخَذًا بِظَاهِرِ حَدِيثِ جَابِرٍ تُرَدُّهُ الضُّرُورَةُ، فَإِنَّ كُلَّ أَحَدٍ يَعْلَمُ أَنَّ مِنَ النَّاسِ مَنْ يُسَبِّلُ إِزَارَهُ مَعَ عَدَمِ خَطُورَ الْخُيَلَاءِ بَبَالِهِ.
Anda tahu apa yang ada di dalam hadits bab tentang apa yang beliau ﷺ katakan kepada Abu Bakar:
" Kamu bukan termasuk orang yang melakukan itu dengan sombong".
Ini adalah sebuah pernyataan bahwa dasar pengharamannya itu adalah karena kesombongan, dan Isbal itu kadang bertujuan untuk kesombongan, dan terkadang untuk yang lainnya.
Maka tidak boleh tidak, harus membawa lafadz " maka itu termasuk kesombongan " pada hadits Jabir bin Ali bahwa lafadz tsb keluar dari jalan keluar yang pada umumnya.
Jadi, ancaman yang disebutkan dalam hadits bab ini ditujukan kepada orang yang melakukannya dengan kesombongan.
Dan perkataan: bahwa setiap isbal itu adalah kesombongan, berdasarkan makna yang tampak dari hadits Jabir, maka perkataan ini tertolak secara darurat. Karena semua orang tahu bahwa ada orang-orang yang meng-isbal-kan pakaian bawah mereka tanpa ada kesombongan yang muncul di benak mereka.
Kemudian beliau berkata:
وَبِهَذَا يَحْصُلُ الْجَمْعُ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ وَعَدَمِ إِهْدَارِ قَيْدِ الْخُيَلَاءِ الْمُصَرَّحِ بِهِ فِي الصَّحِيحَيْنِ.
Dan dengan ini hadits-hadits tersebut digabungkan dan tidak mengabaikan adanya batasan dengan kesombongan yang jelas-jelas disebutkan dalam shahih Bukhori dan Muslim.
Kemudian beliau berkata:
وَحَمَلَ الْمُطْلَقَ عَلَى الْمُقَيَّدِ وَاجِبٌ، وَأَمَّا كَوْنُ الظَّاهِرِ مِنْ عَمْرو أَنَّهُ لَمْ يَقْصِدِ الْخُيَلَاءَ فَمَا بِمِثْلِ هَذَا الظَّاهِرِ تَعَارُضُ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ.
Dan membawa yang mutlak ke atas yang muqoyyad [dibatasi] itu adalah wajib.
Dan adapun mengenai makna yang nampak dari 'Amr bahwa dia tidak bermaksud sombong, maka yang seperti itu tidak ada kontradiksi yang jelas dengan hadits-hadits shahih. [Selesai kutipan dari Syaukani]
BANTAHAN:
Ash-Shan'aani berkata:
وأمَّا حديثُ أَبي بَكرٍ رَضِيَ اللهُ عَنهُ، فَالَّذِي يَظهَرُ لِي: أَنَّهُ مِن بَابِ نَفِي القَيدِ وَالمُقَيَّدِ مَعًا، وَأَنَّ مَرَادَهُ ﷺ فِي جَوَابِهِ عَلَيهِ: "إِنَّكَ لَا تَسْبَلُ وَلَا تَفْعَلُهُ مُخَيِّلَةً"، وَذَلِكَ أَنَّهُ قَالَ: "إِنَّ إِزَارِي يَسْتَرخِي، وَهَذَا لَيْسَ بِإِسْبَالٍ فَإِنَّهُ لَا بُدَّ أَن يَكُونَ مِن فِعْلِ المَسْبَلِ نَفْسِهِ، وَهُنَا نَسَبَ الاسترخاءِ إِلَى الإِزَارِ مِنْ غَيْرِ إِرَادَتِهِ. فَالجَوَابُ مِنهُ ﷺ مِن بَابِ نَفِي القَيدِ وَالمُقَيَّدِ وَهُوَ نَظِيرٌ مَا قَالَهُ صَاحِبُ الكِشَافِ رَحِمَهُ اللهُ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى:
"{إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بَعْدَ إِيمَانِهِمْ ثُمَّ ازْدَادُوا كُفْرًا لَنْ تُقْبَلَ تَوْبَتُهُم} إِنَّهُ نَفِيٌّ لِلتَّوْبَةِ وَالقَبُولِ، أَيْ لَا تَوْبَةَ لَهُمْ وَلَا قَبُولَهُ".
Adapun hadits Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, maka menurut saya: ini masuk dalam BAB meniadakan pembatasan dan yang dibatasi secara bersamaan, dan bahwa yang maksud oleh beliau ﷺ dalam jawaban-nya:
"Sesungguhnya engkau tidak ber-isbal dan engkau tidak melakukkannya dengan kesombongan".
Dan itu karena Abu Bakar berkata: "Pakaianku longgar dan melorot".
Dan ini bukan lah isbaal, karena yang dikatakan isbal harus ada kesengajaan dari pelaku isbal itu sendiri, dan di sini Abu Bakar mengaitkan terjadinya istirkho [melorot] pada pakaiannya itu tanpa adanya kehendak darinya.
Maka jawaban dari Nabi ﷺ di sini adalah masuk dalam BAB meniadakan pembatasan dan yang dibatasi secara bersamaan.
Dan itu sama dengan apa yang di katakan oleh Penulis kitab tafsir al-Kasysyaaf - semoga Allah merahmatinya - dalam menafsirkan firman Allah Ta'aala:
اِنَّ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا بَعْدَ اِيْمَانِهِمْ ثُمَّ ازْدَادُوْا كُفْرًا لَّنْ تُقْبَلَ تَوْبَتُهُمْ ۚ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الضَّاۤلُّوْنَ
"Sungguh, orang-orang yang kafir setelah beriman, kemudian bertambah kekafirannya, tidak akan diterima tobatnya, dan mereka itulah orang-orang yang sesat". (QS. Ali 'Imran: 90)
"Ini adalah penolakan taubat dan penerimaan, yakni tidak ada taubat bagi mereka dan tidak ada penerimaan taubat baginya."
JAWABAN:
Abu Firoos menjawab pernyataan ash-Shan'aani dengan mengatakan:
وهذا الجواب من الصنعاني رحمه الله هو من أقوى الأجوبة على حديث أبي بكر رضي الله عنه، وأن مقصوده عليه الصلاة والسلام نفي القيد والمقيد أي أنك لا تسبل يا أبا بكر ولا تفعله مخيلة.
وفي الحقيقة إن المتامل للقصة يرى أن استفادة الصنعاني لهذا المعنى هو من مجموع اعتذار أبي بكر رضي الله عنه وقوله عليه الصلاة والسلام. بينما احتج غالب أهل العلم وتمسكوا بقوله عليه الصلاة والسلام "إنك لست منهم" واقتصرو عليه في إناطة حكم المسألة.
ونحتاج إلى أن ننظر ونتأمل في هذين المسلكين لأهل العلم وأيهما كان مقصود النبي صلى الله عليه وسلم حينما قال لأبي بكر: إنك لست منهم. هل يريد تعليق الحكم بالخيلاء. أو أنه يريد إنك يا أبكر لم تسبل ولم تصنعه خيلاء.
والذي يظهر لي والعلم عند الله: هو مسلك غالب أهل العلم ولاسيما وقد تصدى لهذه المسألة الأئمة الكبار: الشافعي وأحمد وابن عبد البر والباجي وابن تيمية وغيرهم كثير. كلهم نصوا على إفادة حديث أبي بكر على تعليق الحكم بالخيلاء.
وعند التأمل تجد أن أبا بكر لما عتذر بأن ثوبه يسترخي أجابه عليه الصلاة والسلام بأنه ليس منهم وفي رواية: إنك لست ممن يصنع ذلك خيلاء.
وهذا ظاهر جداً أن النبي صلى الله عليه وسلم أعرض عن جوابه المفصل وقال: يا أبكر إنك لست ممن يسبل خيلاء وكبرا، فالوعيد من حيث الأصل لا يرد عليك، فكيف وأنت لم تسبل، فعلة الحكم هي الخيلاء، وعذر أبي بكر أنه ليس من أهل الخيلاء ثم إنه هو لم يسبل.
Dan jawaban dari Al-San'ani ini - semoga Allah merahmatinya - adalah salah satu jawaban terkuat atas hadits Abu Bakar radhiyallahu 'anhu. Dan yang dimaksud oleh beliau ﷺ adalah meniadakan pembatasan dan yang dibatasi, artinya: sesungguhnya kamu tidak ber-isbal wahai Abu Bakar, dan juga kamu tidak melakukannya dengan kesombongan.
Namun pada hakikatnya bagi pengamat kisah tsb akan melihat bahwa kesimpulan yang diambil oleh ash-Shan'ani terhadap makna ini adalah dari sejumlah riwayat udzurnya Abu Bakar dan sabda Nabi ﷺ.
Sementara sebagian besar para ulama berargumentasi dan berpegang teguh pada sabda beliau ﷺ: "Engkau bukan salah satu dari mereka " dan mereka membatasi nya pada lafadz tsb dalam meletakkan pijakan [مناط] hukum terhadap masalah ini.
Kita perlu melihat dan mengamati dua methode para ulama ini, lalu yang mana kah di antara dua methode ini yang dimaksud oleh Nabi ﷺ ketika beliau berkata kepada Abu Bakar: "Engkau bukan salah satu dari mereka".
Apakah beliau ﷺ menghendaki pembatasan hukum dengan kesombongan. Atau beliau ﷺ menghendaki:
"Wahai Abu Bakar, engkau tidak ber-isbal dan engkau tidak melakukannya dengan kesombongan".
Dan yang nampak bagi saya-wallaahu a'lam-adalah:
Ini adalah jalan yang ditempuh oleh sebagian besar para ulama, dan dilakukan pula oleh para imam besar yang membahas masalah ini, diantaranya:
Imam Asy-Syafi'i, Imam Ahmad, Ibnu Abd al-Barr, al-Baaji, Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya juga banyak.
Mereka semua menyatakan bahwa hadits Abu Bakar menunjukkan terhadap pembatasan hukum larangan Isbal dengan kesombongan.
Ini sangat jelas bahwa Nabi ﷺ berpaling dari jawaban yang terperinci dan beliau berkata:
يَا أَبَكَرَ إِنَّكَ لَسْتَ مِمَّنْ يُسَبِّلُ خُيَلَاءَ وَكِبْرًا
"wahai Abu Bakar, sesungguhnya engkau bukan termasuk dari orang yang ber-isbal dengan sombong dan takabbur”, maka ancaman itu pada prinsipnya tidak datang pada mu, karena bagaimana mungkin sementara engkau tidak lah ber-isbal".
Maka illat hukumnya adalah kesombongan, dan udzur Abu Bakar adalah dia bukan termasuk dari orang-orang yang sombong, kemudian sesungguhnya dia itu tidak melakukan isbal.
BANTAHAN DARI AL-HAFIDZ IBNU HAJAR:
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Baari 15/326:
وَكَانَ سَبَب اِسْتِرْخَائِهِ نَحَافَة جِسْم أَبِي بَكْر.
قَوْله: إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَد ذَلِكَ مِنْهُ. أَيْ يَسْتَرْخِي إِذَا غَفَلْت عَنْهُ, وَوَقَعَ فِي رِوَايَة مَعْمَر عَنْ زَيْد بْن أَسْلَمَ عِنْد أَحْمَد إِنَّ إِزَارِي يَسْتَرْخِي أَحْيَانًا. فَكَأَنَّ شَدّه كَانَ يَنْحَلّ إِذَا تَحَرَّكَ بِمَشْيٍ أَوْ غَيْره بِغَيْرِ اِخْتِيَاره, فَإِذَا كَانَ مُحَافِظًا عَلَيْهِ لَا يَسْتَرْخِي لِأَنَّهُ كُلَّمَا كَادَ يَسْتَرْخِي شَدَّهُ. وَأَخْرَجَ اِبْن سَعْد مِنْ طَرِيق طَلْحَة بْن عَبْد اللَّه بْن عَبْد الرَّحْمَن بْن أَبِي بَكْر عَنْ عَائِشَة قَالَتْ: كَانَ أَبُو بَكْر أَحْنَى لَا يَسْتَمْسِك إِزَاره يَسْتَرْخِي عَنْ حَقْوَيْهِ. وَمِنْ طَرِيق قَيْس بْن أَبِي حَازِم قَالَ: دَخَلْت عَلَى أَبِي بَكْر وَكَانَ رَجُلًا نَحِيفًا.
قَوْله: لَسْت مِمَّنْ يَصْنَعهُ خُيَلَاء. فِي رِوَايَة زَيْد بْن أَسْلَمَ: لَسْت مِنْهُمْ." وَفِيهِ أَنَّهُ لَا حَرَج عَلَى مَنْ اِنْجَرَّ إِزَاره بِغَيْرِ قَصْده مُطْلَقًا. انتهـى
Sebab turunnya kain pakaian Abu Bakar adalah karena kurusnya badan Abu Bakar.
Perkataan Abu Bakar: "Kecuali jika aku menjaganya dari kondisi tsb". Maksudnya adalah: Salah satu sisi belahan kainnya tersebut turun melorot ketika aku lupa darinya [tanpa ada kesengajaan]
Dan dalam riwayat Mu'ammar dari Zaid bin Aslam yang diriwayatkan Imam Ahmad: Bahwsannya Abu Bakar berkata:
"Sesungguhnya kain sarungku terkadang turun melorot dengan sendirinya".
Maka seakan-akan dia mengencangkannya, lalu dengan sendirinya tiba-tiba menjadi longgar ketika dia bergerak dengan berjalan atau gerakan lainnya tanpa keinginannya.
Lalu ketika dia menjaganya; maka kain itu tidak melorot turun karena setiap kali mau melorot, maka dia langsung mengencangkan ikatannya.
Dan Ibnu Saad telah meriwayatkan dari jalur Thalhah bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Bakar dari 'Aisyah, dia berkata:
"Abu Bakar adalah orang yang badannya sangat kurus sehingga badannya tidak bisa menahan kainnya agar tidak turun melorot dari pinggangnya".
Dan Ibnu Saad juga meriwayatkan dari jalur Qois bin Abi Hazim, dia berkata:
"Aku masuk menemui Abu Bakar dan beliau adalah seorang pria yang sangat kurus".
Dan Sabdanya ﷺ: "Engkau bukan termasuk orang yang melakukannya karena sombong".
Dalam riwayat Zaid bin Aslam: "Engkau bukan salah satu dari mereka."
Dan di dalamnya terdapat dalil tidak ada keberatan bagi orang yang pakaiannya terjulur tanpa ada kesengajaan secara mutlak". [Baca: Fathul Baari 16/326].
JAWABANNYA:
Jawabannya adalah sama seperti yang di katakan Abu Firoos terhadap ash-Shan'aani di atas:
Kita perlu melihat dan mengamati dua methode para ulama ini, lalu yang mana kah di antara dua methode ini yang dimaksud oleh Nabi ﷺ ketika beliau berkata kepada Abu Bakar: "Engkau bukan salah satu dari mereka".
Apakah beliau ﷺ menghendaki pembatasan hukum dengan kesombongan. Atau beliau ﷺ menghendaki: "Wahai Abu Bakar, engkau tidak ber-isbal dan engkau tidak melakukannya dengan kesombongan".
Dan yang nampak bagi saya-wallaahu a'lam-adalah:
Ini adalah jalan yang ditempuh oleh sebagian besar para ulama, dan dilakukan pula oleh para imam besar yang membahas masalah ini, diantaranya:
Imam Asy-Syafi'i, Imam Ahmad, Ibnu Abd al-Barr, al-Baaji, Ibnu Taimiyyah dan yang lainnya juga banyak.
Mereka semua menyatakan bahwa hadits Abu Bakar menunjukkan terhadap pembatasan hukum larangan Isbal dengan kesombongan.
Ini sangat jelas bahwa Nabi ﷺ berpaling dari jawaban yang terperinci dan beliau berkata: "wahai Abu Bakar, sesungguhnya engkau bukan termasuk dari orang yang ber-isbal dengan sombong dan takabbur, maka ancaman itu pada prinsipnya tidak datang pada mu, karena bagaimana mungkin itu terjadi sementara engkau tidak lah ber-isbal".
Maka illat hukumnya adalah kesombongan, dan udzur Abu Bakar adalah dia bukan termasuk dari orang-orang yang sombong, kemudian sesungguhnya dia itu tidak melakukan isbal.
HADITS KE 5:
Dari Hubaib bin Mughfil al-Ghiffaary radliallahu 'anhu:
أَنَّهُ رَأَى مُحَمَّدًا الْقُرَشِيَّ قَامَ يَجُرُّ إِزَارَهُ فَنَظَرَ إِلَيْهِ هُبَيْبٌ فَقَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ مَنْ وَطِئَهُ خُيَلَاءَ وَطِئَهُ فِي النَّارِ
Bahwa ia melihat Muhammad Al Qurasyi berdiri dengan menjulurkan kainnya [sampai kebelakangnya dan menginjaknya. PEN], Hubaib kemudian melihat kearahnya seraya berkata:
"Saya mendengar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa menginjaknya karena sombong, maka ia akan menginjaknya kelak di neraka." (HR. Ahmad 3/437 no. 15052)
Dalam lafadz lain:
مَنْ وَطِئَ عَلَى إِزَارِهِ خُيَلَاءَ وَطِئَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ
"Barangsiapa menginjak pada sarungnya dengan rasa sombong, maka ia akan menginjaknya kelak di neraka Jahannam." (HR. Ahmad 3/437 no. 15053)
Di Hasankan oleh Imam as-Sayuuthi dlam al-Jaami' ash-Shoghiir no. 9061.
Makna hadits: yakni menjulurkan kain pakainnya hingga terinjak oleh kakinya.
HADITS KE 6:
Dari Aslam dia telah mendengar Hubaib bin Mughfil salah seorang sahabat Nabi ﷺ:
وَرَأَى رَجُلًا يَجُرُّ رِدَاءَهُ خَلْفَهُ وَيَطَؤُهُ فَقَالَ: "سُبْحَانَ اللَّهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: مَنْ وَطِئَهُ مِنْ الْخُيَلَاءِ وَطِئَهُ فِي النَّارِ.
Dia melihat seorang laki-laki yang memanjangkan kainnya sampai kebelakangnya dan menginjaknya. Dia berkata; Maha Suci Allah, Saya pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barangsiapa yang menginjak kainnya karena sombong, maka dia telah menginjaknya di neraka".(HR. Ahmad 3/437 no. 15054)
Di Hasankan oleh Imam as-Sayuuthi dlam al-Jaami' ash-Shoghiir no. 9061.
FIQIH HADITS:
Riwayat-riwayat ini dan yang semakna dengannya menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ melarang Isbal karena ada sebabnya yaitu kebiasaan sebagian orang yang mengulurkan dan menyeret pakaiannya karena angkuh nan sombong.
Mafhumnya (makna implisitnya):
Jika Isbal tersebut dilakukan tidak karena sombong berarti tidak terkena celaan dan tidak termasuk ke dalam ancaman.
Dengan kata lain Lafadz بَطَرًا (keangkuhan) dan خُيَلَاءَ (kesombongan) dalam riwayat-riwayat di atas menjadi Batasan (pengikat) dari syariat larangan Isbal.
Selama batasan tersebut ada, maka hukum berlaku, dan jika batasan tersebut tidak ada, maka hukum larangan Isbal tidak bisa diterapkan.
Batasan dengan lafadz بَطَرًا dan خُيَلَاءَ sama dengan batasan dengan lafadz خَطَأً yang terdapat dalam firman Allah berikut ini;
{ وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ}
“Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tidak sengaja (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya”. (QS. An-Nisa; 92)
Maksudnya: pada kasus pembunuhan, hukum kewajiban membebaskan budak mukmin dan membayar diyat hanya berlaku jika pembunuhan tersebut terealisasi sifat خَطَأً (yakni dilakukan secara tidak sengaja).
Jika pembunuhan tersebut secara عَمْداً [disengaja], maka hukuman membebaskan budak dan membayar diyat tidak dapat diterapkan.
Dalam masalah Isbal juga demikian. Jika terealisasi sifat sombong maka hukum larangan Isbal berlaku, namun jika tidak terealisasi sifat sombong maka hukum larangan Isbal tidak dapat diterapkan.
Dan berikut ini contoh yang lain, yiatu lafadz ظُلْمًا dalam ayat berikut ini;
{إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا}
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (Neraka). (An-Nisa; 10)
- Maknanya:
Orang yang terancam memakan api di Neraka dalam perut-perut mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak yatim secara ظُلْمًا (zalim).
- Mafhumnya:
Jika harta anak yatim itu dimakan dengan cara yang tidak zalim, misalnya karena pemberian sukarela dari anak yatim tersebut, maka orang tersebut tidak terkena ancaman.
Hal yang sama berlaku pada Isbal. Jika Isbalnya dilakukan dengan cara sombong, maka pelakunya terkena ancaman, namun jika dilakukan bukan karena sombong misalnya yang Isbal para petani yang pergi ke sawah, maka orang tersebut tidak terkena ancaman.
- Ringkasnya:
Hadits-hadits yang menunjukkan larangan Isbal adalah Nash-Nash yang disertai Batasan (pengikat) hukum.
Dengan kata lain, Nash-Nashnya termasuk Nash Muqoyyad (Nash terikat). Semua Nash Muqoyyad diterapkan sesuai dengan Batasannya dan dibatasi pelaksanaan hukumnya pada Batasan yang disebutkan.
HADITS KE 7:
Dari Muslim bin Yannaq menceritakan dari Ibnu 'Umar:
أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً يَجُرُّ إِزَارَهُ فَقَالَ مِمَّنْ أَنْتَ فَانْتَسَبَ لَهُ فَإِذَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي لَيْثٍ فَعَرَفَهُ ابْنُ عُمَرَ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ بِأُذُنَيَّ هَاتَيْنِ، يَقُولُ:
" مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ لَا يُرِيدُ بِذَلِكَ إِلَّا الْمَخِيلَةَ، فَإِنَّ اللهَ لَا يَنْظُرُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ".
Bahwa Ibnu Umar melihat seorang pria yang menyeret pakaian bawahnya, lalu dia berkata: Dari [Kabilah] siapa kamu datang?
Dia menjelaskan hubungan nasabnya (dengan kabilah tempat dia berasal) dan ternyata dia dari kabilah Laits. Ternyata Ibnu Umar mengenalinya, lalu dia berkata:
"Saya telah mendengar Rasulullah ﷺ dengan kedua telinga saya ini, beliau bersabda:
‘Barang Siapa yang menyeret kain sarungnya, tanpa maksud lain dengan itu kecuali karena kesombongan, maka Allah tidak akan memandangnya pada Hari Kiamat’." (HR. Muslim No. 45/208 3/1652).
HADITS KE 8:
Dari Al 'Ala bin 'Abdurrahman dari Bapaknya ia berkata:
سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنْ الْإِزَارِ فَقَال عَلَى الْخَبِيرِ سَقَطْتَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلَا حَرَجَ أَوْ لَا جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ ، مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ".
"Aku bertanya kepada Abu Sa'id Al Khudri tentang kain sarung, lalu ia berkata:
"Engkau bertanya kepada orang yang tepat. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Kain sarung seorang Muslim sebatas setengah betis, dan tidak berdosa antara batas setengah betis hingga dua mata kaki.
Adapun kain sarung yang sampai di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka.
Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena SOMBONG, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat."
[HR. Abu Daud (4093), Al-Nasa'i dalam "Al-Sunan Al-Kubra" (9716), Ibnu Majah (3573), dan Ahmad (11487), dan lafadznya adalah miliknya].
Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah no. 3573 dan Syu'aib al-Arna'uth dlm Takhriij al-Musnad no. 11487.
Dalam Riwayat Imam Malik, lafadznya sbb:
Dari Al 'Ala bin Abdurrahman dari Bapaknya berkata;
" سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنْ الْإِزَارِ فَقَالَ أَنَا أُخْبِرُكَ بِعِلْمٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ إِزْرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ لَا جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ ، مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِي النَّارِ مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِي النَّارِ ، لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا".
Aku bertanya kepada Abu Sa'id Al Khudri tentang pakaian. Dia menjawab;
"Aku akan mengabarkan kepadamu dengan berdasarkan ilmu. Aku mendengar Rasulullah ﷺ beliau bersabda:
'Panjang sarung seorang mukmin adalah setengah betisnya, dan tidak mengapa jika panjangnya antara betis hingga kedua mata kaki.
Jika di bawah itu maka tempatnya adalah Neraka, jika di bawah itu maka tempatnya adalah Neraka. Pada hari kiamat Allah tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena SOMBONG."
(HR. Imam Malik dalam al-Muwath-tha 5/416)
FIQIH HADITS:
Lafadz hadist:
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
" Apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka. Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat".
Difahami bahwa Rasulullah ﷺ membedakan keharaman Isbal, antara yang sombong dengan yang tidak sombong, kerena lafadz:
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
"Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat".
Dalam lafadz ini menunjukkan bahwa ancaman tsb berlaku bagi pelaku Isbal yang diserti kesombongan. Dan tingkatan Isbal dalam lafadz ini adalah Isbal yang sangat parah sehingga kainnya terseret-seret, bukan hanya sebatas di bawah mata kaki.
Dengan demikian lafadz: "Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena sombong... dst" sebagai penjelas terhadap lafadz sebelumnya, yaitu:
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
" Apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka".
KENAPA lafadz مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا sebagai penjelas lafaz مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ?
JAWABAN-nya ada dua alasan:
ALASAN PERTAMA:
Hal itu dikarenakan antara dua lafadz tersebut tidak disambung oleh Huruf 'Athof [yakni kata "dan"], sehingga dua lafadz tsb tidak bisa difahami sebagai dua hal yang berbeda. Lafadz kedua sejatinya adalah penjelas bagi lafadz pertama, artinya, lafadz:
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
“Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat”.
Menjelaskan lafadz:
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
“Apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka”.
Jadi yang dicela Rasulullah ﷺ terkait dengan pakaian di bawah matakaki adalah mereka yang melakukannya karena sombong.
Redaksi semacam ini semakna dengan ayat dalam surat Al-Luqman berikut;
{وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ}
"Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai". (QS. Luqman;19)
Artinya: lafadz:
إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
“Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai”.
Menjelaskan lafadz;
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ
"Lunakkanlah suaramu"
Yakni : melarang bersuara keras.
Dua ungkapan tersebut tidak bisa difahami sebagai dua hal yang berbeda; karena lafadz kedua menerangkan dan membuat lebih jalas lafadz sebelumnya.
ALASAN KEDUA:
Kandungan lafadz sebelumnya terhadap lafazd sesudahnya dalam hadits tsb, masuk dalam katagori bab-bab sbb:
Mafhum Muwaafaqoh(مفهوم موافقة) atau Anologi yang lebih utama (قِيَاس أَوْلَى) Atau (مِنْ بَابِ أَوْلَى).
Artinya: Jika isbal yang parah hingga terseret-seret saja di batasi keharamannya dan ancamannya dengan kesombongan, apalagi jika isbal nya itu hanya sebatas di bawah mata kaki.
Contoh lain Mafhum Muwaafaqah dan Qiyas awlaa adalah hukum larangan memukul kedua orang tua dengan dalil firman Allah SWT:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
Artinya: " Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka." [QS. Al-Israa: 23]
Dalam ayat hanya melarang mengucapkan " Aahh " dan membentak orang tua.
Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya: bahwa redaksi tersebut memberi artian larangan melawan orang tua, terlebih melawannya dengan menggunakan TANGAN".
PEMAHAMAN PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN ISBAL TERHADAP HADITS ABU SA'ID AL-KHUDRY DI ATAS:
Para ulama yang mengharamakan Isbal berdalil pula dengan hadits di atas. Mereka mengatakan:
" Difahami bahwa Rasulullah ﷺ tidak membedakan keharaman Isbal, baik karena sombong maupun tidak, kerena lafadz:
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
“Apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka”.
Lafadz ini menunjukkan ancaman Isbal secara mutlak termasuk Isbal tanpa sombong. Sementara lafadz:
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
"Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat".
Lafadz ini menunjukkan ancaman Isbal karena sombong.
Namun jika dua lafadz tersebut disatukan dalam satu lafadz; maka itu memberikan arti bahwa Rasulullah ﷺ tidak membedakan ancaman terhadap, Isbal baik dilakukan karena sombong maupun tidak.
HADITS KE 9:
Dari Ibnu Umar (RA) ia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda:
"مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ". فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ. قَالَ: "يُرْخِينَ شِبْرًا". فَقَالَتْ: "إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ". قَالَ: فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ".
"Barangsiapa menyeret kainnya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat."
Ummu Salamah bertanya: "Lalu apa yang harus dilakukan kaum wanita dengan dzail (lebihan kain bagian bawah) mereka?"
Beliau menjawab: "Mereka boleh memanjangkannya satu jengkal."
Ummu Salamah kembali menyelah: "Kalau begitu telapak kaki mereka akan terlihat!"
Beliau bersabda: "Mereka boleh memanjangkannya sehasta, dan jangan lebih."
[HR. Turmudzi no. 1653, Nasaa'i no. 5241 dan Ahmad no. 4541. Abu Isa Turmudzi berkata: "Hadits ini derajatnya hasan shahih". Dan di shahihkan pula oleh al-Albaani]
FIQIH HADITS:
Sabda Nabi ﷺ:
"مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ".
"Barangsiapa menyeret kainnya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat."
Ini menunjukkan bahwa ancaman Isbal berlaku bagi yang melakukan isbal yang disertai kesombongan.
PEMAHAMAN PARA ULAMA YANG MENGHARAMKAN ISBAL TERHADAP HADITS UMMU SALAMAH DI ATAS:
Para ulama yang mengharamakan Isbal berdalil pula dengan hadits Ummu Salamah di atas. Mereka mengatakan:
Hadits Ummu Salamah menunjukkan Ummu Salamah memahami larang Isbal itu mutlak.
Karena jika seandainya larangan Isbal tidak secara mutlak, maka tidak ada maknanya Ummu Salamah meminta penjelasan panjang pakaian wanita. Pertanyaan Ummu Salamah menunjukkan bahwa beliau memahami larangan Isbal itu mutlak yang berlaku bagi lelaki maupun wanita.
BANTAHAN:
Bantahan terhadap pemahaman mereka ini adalah sebagai berikut;
Hadis Ummu Salamah tidak menunjukkan bahwa Nabi ﷺ melarang Isbal secara mutlak.
Dan maksud pertanyaan Ummu Salamah adalah permintaan solusi terkait wanita jika seandainya larangan Isbal itu berlaku pula terhadap kaum wanita karena kecenderungan kaum wanita untuk sombong juga ada. Di sisi lain kaum juga wanita di wajibkan menutup semua auratnya kecuali bagian tertentu seperti yang kita ketahui.
Jadi ada dua problem yang ingin dipecahkan; menghilangkan kesombongan karena Isbal dan menjaga aurat. Solusi dari Nabi ﷺ adalah memberi izin Isbal sejengkal dari tengah betis dan maksimal sedepa dari tengah betis.
Yang menguatkan pemahaman ini adalah adanya lafadz "Khuyala/kesombongan " pada hadits tersebut. Oleh karena itu pertanyaan Ummu Salamah bermakna permintaan solusi terhadap wanita yang berisbal yang disisipi rasa sombong sementara pada sisi yang lain dia juga harus menjaga kehormatannya sebagai wanita, dengan semaksimal mungkin berusaha menutupi aurat.
HADITS KE 10:
Riwayat Imam Ahmad no. 5183 dan 6340 dari Zaid bin Aslam dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu, dia berkata: aku mendengar Rosulullah ﷺ bersabda:
"مَنْ جرَّ إزارَه مِنَ الخُيلاءِ لم ينظُرِ اللهُ عز وجل إليه".
قال زيدٌ: وكان ابنُ عمرَ يحدِّثُ أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ رآه وعليه إزارٌ يتقعقعُ يعني جديدًا فقال: مَنْ هذا ؟ فقلت: أنا عبدُ اللهِ فقال: إنْ كنتَ عبدَ اللهِ فارفعْ إزارَك قال: فرفعتُه قال: زدْ قال: فرفعتُه حتى بلغ نصفَ الساقِ.
قال: ثم التفتَ إلى أبي بكرٍ فقال: مَنْ جرَّ ثوبَه مِنَ الخُيلاءِ لم ينظُرِ اللهُ عز وجل إليه يومَ القيامةِ فقال أبو بكرٍ: إنه يسترخي إزاري فقال النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ: لستَ منهم
Barangsiapa menyeret ujung bawah pakaiannya disertai kesombongan, maka Allah tidak akan melihat kepadanya"
Zaid bin Aslam mengatakan: Ibnu Umar pernah bercerita:
"Suatu ketika Nabi ﷺ melihatnya sedang memakai pakaian bersuara [karena masih baru]. Beliau bertanya: "Siapakah ini?".
Aku menjawab: "Aku Abdullah (Ibnu Umar)".
Kemudian Nabi ﷺ berkata: "Jika benar kamu Abdullah, maka angkatlah sarungmu!". (Ibnu Umar) mengatakan: "Aku pun langsung mengangkatnya".
(Nabi) berkata lagi: "Tambah (angkat lagi)!". (Ibnu Umar) mengatakan: "Maka aku pun mengangkatnya hingga sampai pertengahan betis".
Kemudian Nabi ﷺ menoleh ke Abu Bakar, seraya mengatakan:
"Barangsiapa menyeret pakaiannya karena sombong, maka pada hari kiamat nanti Allah tidak akan melihat kepadanya".
Mendengar hal itu, Abu Bakar bertanya: "Sungguh sarungku melorot, akan tetapi aku selalu berusaha menjaganya agar ia tidak melorot".
Maka Nabi ﷺ menimpali: "Kamu bukanlah termasuk dari mereka". (HR. Ahmad no. 5183 dan 6340)
Sanadnya di shahihkan oleh Ahmad Syaakir di Takhriij al-Musnad 5/516 dan dishahihkan pula oleh al-Albaani dalam shahih at-Targhiib no. 2033
HADITS KE 11:
Berikut ini hadits yang menunjukkan bahwa larangan Isbal yang disertai sombong itu bukan hanya pada Izaar (sarung/kain bawahan), tetapi berlaku juga pada gamis, sorban dan semua aksesoris tubuh yang ketika memakainya disertai perasaan sombong.
Dari Ibnu Abu Rawwad dari Salim dari Ayahnya dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
الْإِسْبَالُ فِي الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَالْعِمَامَةِ مَنْ جَرَّ شَيْئًا خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
"Isbal itu terdapat juga pada kain izaar (pakaian bagian bawah), pakaian (gamis) dan SORBAN. Barangsiapa menyeret sesuatu dengan sombong, niscaya Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari Kiamat kelak."
Abu Bakar berkata; "Husain bin Ali tidak menganggap asing hadits di atas."
[HR. Abu Daud (4094), an-Nasa'i (5334), dan lafadznya adalah miliknya, dan Ibn Majah (3576)]. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih an-Nasaa'i no. 5349.
Yang dimaksud dengan ISBAL (memanjangkan) sorban adalah:
إطالةُ طرَفِها وعذَبَتِها عن الزِّيادةِ المعتادةِ والمعروفةِ فوقَ الكَتِفَين
" Memanjangkan ujungnya dan kuncirnya melebihi panjang yang biasa. Dan yang sudah maklum adalah sampai di atas bahu".
Dan Imam Al-Nawawi menulis sebuah bab di Riyadh Ash-Shalihin (119) dan menamakannya:
{بَابُ صِفَةِ الْقَمِيصِ وَالْكَمِّ وَالإِزَارِ وَطَرْفِ الْعِمَامَةِ وَتَحْرِيمِ إِسْبَالِ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ عَلَى سَبِيلِ الْخِيلَاءِ وَكَرَاهَتُهُ مِنْ غَيْرِ خِيلَاء}
{Bab: Sifat gamis, lengan baju, kain sarung, ujung sorban, dan haramnya meng isbal-kan sesuatu dari semua itu jika disertai kesombongan. Dan dimakruhkan jika tanpa kesombongan.}
Ibnu Hajar Al Asqalani menjelaskan:
وَقَالَ الطَّبَرِيُّ: إِنَّمَا وَرَدَ الْخَبَر بِلَفْظِ الْإِزَار لِأَنَّ أَكْثَر النَّاس فِي عَهْده كَانُوا يَلْبَسُونَ الْإِزَار وَالْأَرْدِيَة ، فَلَمَّا لَبِسَ النَّاس الْقَمِيص وَالدَّرَارِيع كَانَ حُكْمهَا حُكْم الْإِزَار فِي النَّهْي.
قَالَ اِبْن بَطَّال: هَذَا قِيَاس صَحِيح لَوْ لَمْ يَأْتِ النَّصّ بِالثَّوْبِ ، فَإِنَّهُ يَشْمَل جَمِيع ذَلِكَ ، وَفِي تَصْوِير جَرّ الْعِمَامَة نَظَر ، إِلَّا أَنْ يَكُون الْمُرَاد مَا جَرَتْ بِهِ عَادَة الْعَرَب مِنْ إِرْخَاء الْعَذْبَات ، فَمَهْمَا زَادَ عَلَى الْعَادَة فِي ذَلِكَ كَانَ مِنْ الْإِسْبَال
"At Thabari berkata, lafadz-lafadz hadits menggunakan kata izaar karena kebanyakan manusia di masa itu mereka memakai izaar [seperti pakaian bawahan untuk kain ihram] dan rida’ [selempang seperti pakaian atasan untuk kain ihram].
Ketika orang-orang mulai memakai gamis dan jubah, maka hukumnya sama seperti larangan pada sarung.
Ibnu Bathal berkata:
" Ini adalah qiyas atau analog yang tepat, andai tidak ada nash yang menggunakan kata tsaub. Karena tsaub itu sudah mencakup semua jenis pakaian [sehingga kita tidak perlu berdalil dengan qiyas. PEN].
Sedangkan adanya isbal pada SORBAN adalah suatu hal yang tidak bisa kita bayangkan kecuali dengan mengingat kebiasaan orang Arab yang menyeret ujung sorbannya. Sehingga pengertian isbal dalam hal ini adalah ujung sorban yang kelewat panjang melebihi umumnya panjang ujung sorban yang dibiasa dipakai di masyarakat setempat". (Lihat: Fathul Baari, 16/331)
Syamsyul Haq al-'Adziim Abaadi dalam 'Aunul Ma'buud Syarh Abi Daud (9/126) berkata:
فِي هَذَا الْحَدِيث دَلَالَة عَلَى عَدَم اِخْتِصَاص الْإِسْبَال بِالْإِزَارِ بَلْ يَكُون فِي الْقَمِيص وَالْعِمَامَة كَمَا فِي الْحَدِيث.قَالَ اِبْن رَسْلَان: وَالطَّيْلَسَان وَالرِّدَاء وَالشَّمْلَة
"Hadits ini merupakan dalil bahwa isbal tidak khusus pada kain sarung saja, bahkan juga pada gamis dan SORBAN sebagaimana dalam hadits.
Ibnu Ruslan berkata: juga pada thailasan [kain sorban yang disampirkan di pundak], rida’ dan syamlah [kain yang dipakai untuk menutupi bagian atas badan dan dipakai dengan cara berkemul]"
Al-’Aini dalam ‘Umdatul Qari (31/429) menuturkan:
قَوْلُهُ: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ يَدْخُلُ فِيهِ الإِزَارُ وَالرِّدَاءُ وَالْقَمِيصُ وَالسَّرَاوِيلُ وَالْجُبَّةُ وَالْقِبَاءُ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِمَّا يُسَمَّى ثَوْبًا بَلْ وَرُدَ فِي الْحَدِيثِ دُخُولُ الْعِمَامَةِ فِي ذَلِكَ…
"Perkataan Nabi ‘barangsiapa menyeret pakaiannya‘ ini mencakup kain sarung, rida’ [selempang], gamis, sirwal, jubah, qobaa’ [jenis pakaian luar], dan jenis pakaian lain yang masih disebut sebagai pakaian. Bahkan terdapat riwayat yang memasukan sorban dalam hal ini"
HADITS KE 12:
Imam Bukhari juga meriwayatkan: Dari Syu'bah dia berkata:
لَقِيتُ مُحَارِبَ بْنَ دِثَارٍ عَلَى فَرَسٍ وَهُوَ يَأْتِي مَكَانَهُ الَّذِي يَقْضِي فِيهِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ فَحَدَّثَنِي فَقَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مَخِيلَةً لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقُلْتُ لِمُحَارِبٍ أَذَكَرَ إِزَارَهُ قَالَ مَا خَصَّ إِزَارًا وَلَا قَمِيصًا ".
“Saya berjumpa Muharib bin Ditsar di atas kudanya, ketika ia datang di tempat untuk memutuskan suatu perkara, lalu aku bertanya tentang suatu hadits, maka dia menceritakan kepadaku, katanya; saya mendengar Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barangsiapa menyeret kainnya karena SOMBONG, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak."
Lalu tanyaku kepada Muharib: "Apakah beliau menyebutkan kain sarung?"
Dia menjawab: "Beliau tidak mengkhususkan kain sarung dan tidak pula Gamis." (HR.Bukhari no. 5345)
HADITS KE 13:
Diriwayatkan Ahmad bin Manii' dari sisi jalur lain dari Ibnu Umar dalam sebuah hadits yang marfuu' dari Nabi ﷺ:
((إيَّاك وإسبالَ الإزارِ؛ فإنَّها من المَخِيلَةِ، وإنَّ اللهَ لا يُحِبُّ المَخِيلةِ))
Jauhilah isbal dalam memakai kain sarung. Karena isbal itu adalah kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan". (HR. Abu Daud 4084, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud. Pen)
HADITS KE 14 : KESOMBONGAN [KHUYALAA] YANG DI SUKAI OLEH ALLAH SWT
Pengecualian kebolehan bersikap sombong (al-Khuyalaa) hanya dalam satu kondisi, yaitu: saat perang berdasarkan sebuah hadits berikut;
Dari Ibnu Jabir bin 'Atik dari ayahnya bahwa Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ الْغَيْرَةِ مَا يُحِبُّ اللَّهُ وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللَّهُ وَإِنَّ مِنْ الْخُيَلَاءِ مَا يُحِبُّ اللَّهُ وَمِنْهَا مَا يُبْغِضُ اللَّهُ وَأَمَّا الْغَيْرَةُ الَّتِي يُحِبُّ اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ الَّتِي فِي الرِّيبَةِ وَأَمَّا الْغَيْرَةُ الَّتِي يُبْغِضُ اللَّهُ فَالْغَيْرَةُ فِي غَيْرِ الرِّيبَةِ وَأَمَّا الْخُيَلَاءُ الَّتِي يُحِبُّ اللَّهُ فَاخْتِيَالُ الرَّجُلِ بِنَفْسِهِ عِنْدَ الْقِتَالِ وَاخْتِيَالُهُ عِنْدَ الصَّدَقَةِ وَالْخُيَلَاءُ الَّتِي يُبْغِضُ اللَّهُ فَاخْتِيَالُ الرَّجُلِ فِي الْفَخْرِ وَالْبَغْيِ
"Sesungguhnya diantara cemburu itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah. Dan diantara sikap SOMBONG itu ada yang disukai Allah dan ada yang dibenci Allah.
Cemburu yang disukai Allah adalah: Cemburu dalam keraguan [yakni: seperti melihat mahram nya atau lainnya melakukan perbutan haram].
Dan cemburu yang dibenci Allah adalah cemburu diluar keraguan [yakni: seperti melihat ibunya atau lainnya menikah lagi atau melakukan perbuatan halal]
Adapun sikap SOMBONG yang disukai Allah adalah;
- SOMBONG nya seorang hamba karena Allah saat berperang [yakni berlagak dengan gaya sombong untuk menggentarkan musuh].
- Dan SOMBONG saat sedekah [yakni merasa lega, senang dan lapang dada].
- SOMBONG nya seseorang dalam berbangga diri [seperti menyebut kehebatan dirinya, nasabnya atau hartanya].
- Dan SOMBONG dalam kekejian [yakni: memuji-muji dirinya atas perbuatan dzalimya seperti mengambil harta orang lain atau lainnya]."
(HR. Abu Daud no. 2659 dan Ahmad 48/261. Di Hasankan oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih Abi Daud no. 2659.
Hadits ini di riwayatkan pula oleh An-Nasaa'i no. 2557 dari Jabir bin 'Abdullah (RA). Dan di Hasankan pula oleh al-Albaani.
------
ARGUMENTASI KEDUA:
NASH-NASH AL-QURAN YANG MELARANG MAKAN, MINUM DAN BERPAKAIAN SECARA BERLEBIHAN DAN DISERTAI KESOMBONGAN
Nash-nash al-Qur'an dan Hadits yang melarang makan, minum, berpakaian, dan bersedekah disertai kesombongan.
Nash yang seperti ini menunjukkan bahwa perhatian, celaan, larangan, dan ancaman itu diarahkan pada aspek kesombongannya bukan semata-mata masalah mengulurkan pakaiannya.
Berikut ini sebagian nash-nash yang di maksud:
PERTAMA: ayat-ayat al-Quran yang menganjurkan secara umum untuk menutup aurat dan berpakaian dengan pakaian yang bagus dan indah, tanpa menyebutkan larangan ISBAL.
Ayat ke 1:
Allah SWT berfirman:
{يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (26)}
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. [QS. Al-A'raaf: 26].
TAFSIRNYA:
Al-Haafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata:
" Allah Swt. menyebutkan anugerah yang telah diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, antara lain Dia telah menjadikan untuk mereka pakaian dan perhiasan. Pakaian untuk menutupi aurat, sedangkan perhiasan untuk memperindah penampilan lahiriah. Pakaian termasuk kebutuhan pokok, sedangkan perhiasan termasuk keperluan sampingan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ar-riyasy menurut istilah bahasa Arab ialah perabotan rumah tangga dan aksesori pakaian.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan Imam Bukhari meriwayatkan pula darinya, bahwa ar-riyasy ialah harta benda.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, As-Saddi, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang. [SELESAI]
Lalu Ibnu Katsir menyebutkan hadits yang di riwayatkan Imam Ahmad dengan sanadnya dari Abul 'Alaa Asy-Syaami yang menceritakan:
لَبِسَ أَبُو أُمَامَةَ ثَوْبًا جَدِيدًا، فَلَمَّا بَلَغَ تَرْقُوَتَه قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَسَانِي مَا أُوَارِي بِهِ عَوْرَتِي، وَأَتَجَمَّلُ بِهِ فِي حَيَاتِي. ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "مَنِ اسْتَجَدَّ ثَوْبًا فَلَبِسَهُ فَقَالَ حِينَ يَبْلُغُ تَرْقُوَتَهُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَسَانِي مَا أُوَارِي بِهِ عَوْرَتِي، وَأَتَجَمَّلُ بِهِ فِي حَيَاتِي ثُمَّ عَمَدَ إِلَى الثَّوْبِ الَّذِي خَلُقَ أَوْ: أَلْقَى فَتَصَدَّقَ بِهِ، كَانَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ، وَفِي جِوَارِ اللَّهِ، وَفِي كَنَفِ اللَّهِ حَيًّا وَمَيِّتًا، [حَيًّا وَمَيِّتًا، حَيًّا وَمَيِّتًا] "
Bahwa Abu Umamah memakai pakaian baru, ketika pakaiannya sampai pada tenggorokannya, ia mengucapkan doa berikut:
"Segala puji bagi Allah yang telah memberi saya pakaian untuk menutupi aurat saya dan untuk memperindah penampilan dalam hidup saya".
Kemudian Abu Umamah mengatakan, ia pernah mendengar Umar ibnul Khattab bercerita bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ. bersabda:
Barang siapa memakai pakaian baru dan di saat memakainya hingga sampai pada tenggorokannya ia mengucapkan doa berikut:
"Segala puji bagi Allah yang telah memberi saya pakaian untuk menutupi aurat saya dan untuk memperindah penampilan dalam hidup saya", kemudian ia menuju ke pakaian bekasnya lalu mensedekahkannya, maka ia berada di dalam jaminan Allah dan berada di sisi Allah serta berada di dalam pemeliharaan Allah, selama hidup dan mati(nya), selama hidup dan mati(nya), selama hidup dan mati(nya).
[HR. Ahmad no. 288]. Ibnu al-Jauzi menyatakan dalam kitab العلل المتناهية (2/2680) bahwa hadits ini tidak shahih.
Ayat ke 2:
Allah SWT berfirman:
{يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنزعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ (27)}
Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kalian dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapak kalian dari surga; ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya.
Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kalian dari suatu tempat yang kalian tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman. [QS. Al-A'raaf: 27]
TAFSIRNYA:
Al-Haafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata:
" Allah Swt. memperingatkan anak Adam agar bersikap waspada terhadap iblis dan teman-temannya, seraya menjelaskan kepada mereka (anak Adam) bahwa iblis itu adalah musuh bebuyutan bapak seluruh umat manusia, yaitu Nabi Adam a.s. Iblis telah berupaya mengeluarkan Adam dari surga yang merupakan darunna'im (rumah kenikmatan), hingga akhirnya Adam dikeluarkan darinya sampai di darut tu'ab (rumah ke¬payahan dan penuh penderitaan).
Dan iblislah penyebab utama yang membuat auratnya terbuka, padahal sebelumnya selalu dalam keadaan tertutup, sehingga dia sendiri tidak dapat melihatnya".
Ayat ke 3:
Firman Allah SWT:
۞ يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
" Hai anak Adam, pakailah PAKAIAN kalian yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". [QS. Al-A'raaf: 31].
TAFSIRNYA:
Al-Haafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata:
“Ayat yang mulia ini merupakan bantahan terhadap orang-orang musyrik, yakni tradisi melakukan tawaf dengan telanjang bulat yang biasa mereka lakukan”.
Dan Ibnu Katsir berkata pula:
“Yang dimaksud dengan istilah الزِّينَةُ dalam ayat ini ialah pakaian, yaitu pakaian yang menutupi aurat, terbuat dari kain yang baik dan bahan lainnya yang dapat dijadikan pakaian. Mereka diperintahkan untuk memakai pakaiannya yang indah di setiap memasuki masjid”.
Lalu Ibnu Katsir berkata:
“Berdasarkan ayat ini dan hadis yang mengutarakan masalah yang semisal, disunatkan memakai pakaian yang indah di saat hendak melaku¬kan salat, terlebih lagi salat Jumat dan salat hari raya. Disunatkan pula memakai wewangian, karena wewangian termasuk ke dalam pengertian perhiasan. Juga disunatkan bersiwak, mengingat siwak merupakan kesempurnaan bagi hal tersebut”.
Ayat ke 4:
Allah SWT berfirman:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ ۚ قُلْ هِيَ لِلَّذِينَ آمَنُوا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۗ كَذَٰلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ
“Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?"
Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat".
Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui”. [QS. Al-A'raaf: 31]
TAFSIRNYA:
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata:
“Allah Swt. berfirman, menyanggah pendapat orang yang mengharamkan sesuatu dari makanan atau minuman atau pakaian menurut kehendak hatinya sendiri tanpa ada dasar syariat dari Allah.
{قُلْ}
Katakanlah. (Al-A’raf: 32)
Hai Muhammad, katakanlah kepada orang-orang musyrik yang mengharamkan segala sesuatu yang mereka haramkan menurut pendapat mereka sendiri yang rusak itu dan menurut buat-buatan mereka sendiri.
مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ
Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya. (Al-A'raf: 32), hingga akhir ayat.
Yakni yang diciptakan Allah untuk orang-orang yang beriman kepada-Nya dan Rasul-Nya dalam kehidupan dunia ini, sekalipun ikut memanfaatkannya bersama mereka secara lahiriah di dunia ini orang-orang kafir.
Akan tetapi, semuanya itu khusus bagi orang-orang yang beriman kelak di hari kiamat.
Tiada seorang pun dari kalangan orang-orang kafir bersama mereka dalam memanfaatkannya, karena surga diharamkan bagi orang-orang kafir.
KEDUA: Ayat-ayat al-Quran yang melarang berprilaku sombong dan angkuh, termasuk dalam berpakaian.
AYAT KE 1:
وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (18)
“Dan janganlah kalian memalingkan muka dari manusia (karena sombong) dan janganlah kalian berjalan di muka bumi dengan sombong. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”. [QS. Luqman: 18]
TAFSIRNYA:
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata:
“Janganlah kamu memalingkan mukamu saat berbicara dengan orang lain, atau saat mereka berbicara kepadamu, kamu lakukan itu dengan maksud menganggap mereka remeh dan bersikap sombong kepada mereka.
Akan tetapi, bersikap lemah lembutlah kamu dan cerahkanlah wajahmu dalam menghadapi mereka.
Di dalam sebuah hadis disebutkan seperti berikut:
"وَلَوْ أَنْ تَلْقَى أَخَاكَ وَوَجْهُكَ إِلَيْهِ مُنْبَسِط، وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ المِخيلَة، وَالْمَخِيلَةُ لَا يُحِبُّهَا اللَّهَ"
“Sekalipun berupa sikap yang ramah dan wajah yang cerah saat kamu menjumpai saudaramu.
Dan janganlah kamu meng-ISBAL-kan kainmu, karena sesungguhnya isbal itu termasuk prilaku sombong. Dan prilaku sombong itu tidak disukai oleh Allah”.
[HR. Ahmad no. 20651 dan al-Baihaqi no. 9691. Dishahihkan oleh al-Albaani dalam shahih al-Jaami' no. 98. PEN.]
HAKIKAT KESOMBONGAN:
Dalam hadits Abdullah bin Mas'ud: bahwa Nabi ﷺ telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam sabdanya:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
" Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi."
Ada seseorang yang bertanya: "Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?"
Beliau menjawab: "Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." (HR. Muslim no. 91)
AYAT KE 2:
Allah SWT berfirman:
{وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا (37) كُلُّ ذَلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا (38)}
Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan som¬bong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi, dari sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung. Semua kejahatannya itu adalah amat dibenci di sisi Tuhanmu. [QS. Al-Isra: 38]
TAFSIRNYA:
Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata:
"Yakni dengan langkahmu yang angkuh dan sifatmu yang besar diri itu kamu tidak akan sampai setinggi gunung, bahkan orang yang berlaku demikian akan mendapat balasan yang sebaliknya.
Seperti yang disebut-kan di dalam hadis sahih:
"بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، وَعَلَيْهِ بُرْدَان يَتَبَخْتَرُ فِيهِمَا، إِذْ خُسِف بِهِ الْأَرْضَ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"
" Dahulu kala di kalangan orang-orang sebelum kalian terdapat seorang lelaki yang sedang berjalan dengan langkah-langkah yang angkuh seraya memakai dua lapis baju burdahnya, tiba-tiba ia ditelan oleh bumi, dan ia amblas ke dalam bumi sampai hari kiamat".
[HR. Bukhori no. 5789 dan Muslim no. 2088 dari Abu Hurairah RA Pen.]
Demikian pula dalam firman Allah Swt. tentang Qorun, bahwa pada suatu hari Qarun pergi menemui kaumnya dengan memakai semua per¬hiasan kebesarannya lalu Allah Swt. membenamkan Qarun dan rumah¬nya serta harta bendanya ke dalam bumi.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
"مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ، فَهُوَ فِي نَفْسِهِ حَقِيرٌ وَعِنْدَ النَّاسِ كَبِيرٌ، وَمَنِ اسْتَكْبَرَ وَضَعَهُ اللَّهُ، فَهُوَ فِي نَفْسِهِ كَبِيرٌ وَعِنْدَ النَّاسِ حَقِيرٌ، حَتَّى لَهُوَ أَبْغَضُ إِلَيْهِمْ مِنَ الْكَلْبِ أَوِ الْخِنْزِيرِ"
“Barang siapa yang berendah diri karena Allah. Allah pasti meninggikannya, sedangkan dia merasa hina di matanya sendiri dan besar di mata orang lain. Dan barang siapa yang sombong, maka Allah akan merendahkannya, sedangkan dia merasa be¬sar diri menurut dirinya, tetapi hina di mata orang lain, sehing¬ga ia lebih dibenci oleh mereka daripada anjing dan babi”.
[Penulis katakan:
Hadits tsb diriwayatkan oleh Abu Naim dalam Al-Hilyah (7/129) dan Al-Khothib dlm Tarikh Baghdad (2/110) dari jalur Sa'id bin Salam, dari Al-Tsawri dari Al-A'masy, dari Ibrahim bin Abbas, dari Rabi'ah, dari Umar bin Al-Khattab, menurutnya.
Dan dia berkata: "Ghoriib dari hadits Al-Tsawri. Sa'iid bin Salam secara tunggal meriwayatkannya, dan dia pendusta. PEN]."
Kemudian Ibnu Katsir mengutip riwayat Abu Bakar Ibnu Abi ad-Dunia di dalam kitabnya yang berjudul Al-Khumul wat Tawaadhu' dengan sanadnya dari dari Abu Bakar Al-Hudzali yang mengatakan:
بَيْنَمَا نَحْنُ مَعَ الْحَسَنِ، إِذْ مَر عَلَيْهِ ابْنُ الْأَهْتَمِ -يُرِيدُ الْمَنْصُورَ - وَعَلَيْهِ جبَابُ خَزّ قَدْ نُضّد بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ عَلَى سَاقِهِ، وَانْفَرَجَ عَنْهَا قَبَاؤُهُ، وَهُوَ يَمْشِي وَيَتَبَخْتَرُ، إِذْ نَظَرَ إِلَيْهِ الْحَسَنُ نَظْرَةً فَقَالَ: أُفٍّ أُفٍّ، شَامِخٌ بِأَنْفِهِ، ثَانٍ عِطْفَهُ، مُصَعِّرٌ خَدَّهُ، يَنْظُرُ فِي عِطْفَيْهِ، أَيُّ حُمَيْق يَنْظُرُ فِي عِطْفِهِ فِي نِعَم غَيْرِ مَشْكُورَةٍ وَلَا مَذْكُورَةٍ، غَيْرِ الْمَأْخُوذِ بِأَمْرِ اللَّهِ فِيهَا، وَلَا الْمُؤَدِّي حَقَّ اللَّهِ مِنْهَا! وَاللَّهِ إِنْ يَمْشِي أَحَدُهُمْ طَبِيعَتَهُ يَتَلَجْلَجُ تَلَجْلُجَ الْمَجْنُونِ، فِي كُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ نِعْمَةٌ، وَلِلشَّيْطَانِ بِهِ لَعْنَةٌ، فَسَمِعَهُ ابْنُ الْأَهْتَمِ ، فَرَجَعَ يَعْتَذِرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: لَا تَعْتَذِرْ إِلَيَّ، وَتُبْ إِلَى رَبِّكَ، أَمَا سَمِعْتَ قَوْلَ اللَّهِ تَعَالَى: {وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا}.
"Ketika kami sedang bersama Al-Hasan, tiba-tiba lewatlah di hadapannya Ibnul Ahtam (yang dimaksud ialah Al-Mansur) dengan memakai jubah kain sutera yang sebagiannya dilapiskan pada sebagian yang lain, lalu bagian tengah jubahnya itu dibelah. Dia berjalan dengan langkah yang angkuh.
Saat itu Al-Hasan memandangnya dengan pandangan yang tajam, lalu berkatalah ia:
'Sombong benar orang ini, dia melangkah dengan langkah yang angkuh dan memalingkan mukanya seraya memandang ke arah dirinya. Orang bodoh macam apakah orang yang memandangi dirinya memakai pakaian yang tidak pernah disyukurinya, yang dipakai bukan berdasarkan perintah dari Allah, dan yang tidak pernah menunaikan hak Allah yang ada padanya.
Demi Allah, jika seseorang dari mereka berjalan seperti cara jalan orang ini, maka dia bagaikan orang gila yang sedang berjalan; tiap anggota tubuhnya merasa enak, tetapi syeithan yang ada padanya mendapat laknat'."
Ibnul Ahtam mendengar apa yang dikatakan oleh Al-Hasan itu, maka ia melangkah mundur dan meminta maaf kepada Al-Hasan.
Al-Hasan berkata: "Janganlah kamu meminta maaf kepadaku, tetapi bertobatlah kepada Tuhanmu. Tidakkah kamu pernah mendengar firman Allah Swt. yang mengatakan:
" Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan som¬bong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung". (Al-Isra: 37)
Lalu Ibnu Katsir berkata:
" Al-Bukhturi (seorang ahli ibadah) pernah melihat seorang lelaki dari kalangan keluarga Ali yang sedang berjalan dengan langkah-langkah yang angkuh.
Maka Al-Bukhturi berkata kepadanya:
يَا هَذَا، إِنَّ الَّذِي أَكْرَمَكَ بِهِ لَمْ تَكُنْ هَذِهِ مِشْيَتَهُ!
"Hai kamu, sesungguh¬nya orang yang menjadikanmu terhormat karenanya (maksudnya Ali r.a.) bukan seperti kamu cara jalannya."
Maka sejak saat itu lelaki tersebut meninggalkan cara jalan seperti itu.
Ibnu Umar pernah melihat seorang lelaki berjalan dengan langkah yang angkuh, maka Ibnu Umar berkata: "Sesungguhnya setan itu mempunyai teman."
Khalid ibnu Ma'dan pernah mengatakan:
إِيَّاكُمْ والخَطْر، فَإِنَّ الرَّجُلَ يَدُه مِنْ سَائِرِ جَسَدِهِ
"Tinggalkanlah oleh kalian bersikap sombong dalam berjalan, karena sesungguhnya kaki itu merupa¬kan tangan bagi seluruh tubuhnya."
Kedua atsar di atas diriwayatkan oleh Ibnu Abud Dunia. Ia mengata¬kan pula:
" Dari Muhsin yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ. pernah bersabda:
إذا مَشت أُمَّتي الْمُطَيطَاءَ ، وخدمَتْهُم فارسُ والرومُ سُلِّطَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ"
"Apabila umatku berjalan dengan langkah yang congkak dan mereka dilayani oleh orang-orang Persia dan Romawi, maka sebagian dari umat ku akan menguasai sebagian yang lainnya".
[Penulis katakan: Hadits tsb diriwayatkan oleh ath-Thabraani dalam al-Mu'jam al-Awsath no. 132 dari hadits Abu Hurairah RA. Di hasankan oleh Syeikh Bin Baaz dalam Majmu' Fataawaa 26/233.
Dan dalam riwayat Abdullah bin Umar, bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
إذا مَشت أُمَّتي الْمُطَيطَاءَ ، و خدَمَها أبناءُ الملوكِ أبناءُ فارسٍ و الرومِ ، سُلِّطَ شرارُها على خيارِها
"Apabila umatku berjalan dengan langkah yang congkak dan mereka dilayani oleh putra-putra para raja, putra-putra Persia dan Romawi, maka orang-orang yang buruk dari umatku akan berkuasa terhadap orang-orang pilihan darinya".
HR. al-Tirmidzi (2261), Ibnu al-Mubarak dalam "Al-Zuhd" (2/51), dan Abu Na'im dalam "Tarikh Isfahan" (1/362), dengan sedikit perbedaan.
Di shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jaami' no. 801. PEN].
--------
ARGUMENTASI KETIGA:
HADITS-HADITS YANG MELARANG MAKAN, MINUM DAN BERPAKAIAN DISERTAI KESOMBONGAN SECARA UMUM
HADITS KE 1:
Dari Abdullah bin Umar RA, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ تَعَظَّمَ فِي نَفْسِهِ أَوِ اخْتَالَ فِي مِشْيَتِهِ لَقِيَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَهُوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ
Barang siapa yang merasa agung [sombong] dalam dirinya atau Khuyala [congkak] dalam berjalan, maka dia akan bertemu dengan Allah ‘azza wa jalla dalam keadaan Allah murka terhadapnya
[HR. Ahmad dalam Musnad no. 5995 dan Al-Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 549 dan dan ath-Thabraani 13/64 no. 13692].
Lafadz lain:
ما من رجلٍ يتعاظمُ في نفسِه ، و يختالُ في مِشْيَتِه ، إلا لقيَ اللهَ و هو عليه غضبانٌ
" Tidak ada manusia yang merasa agung [sombong] dalam dirinya dan mukhtaal [congkak] dalam cara berjalannya, kecuali ia bertemu dengan Allah dalam keadaan Allah murka kepadanya".
As-Suyuti mengisyaratkan bahwa hadits tsb Hasan.
Al-Manawi berkata: هو كما قال، أو أعلى. [Ini seperti yang dia katakan, atau lebih tinggi]
Al-Haytsami berkata: رجاله رجال الصحيح [Para perawinya adalah orang-orang Sahih].
Dan Al-Mundhriri berkata: رراته محتج بهم في الصحيح [Para perawinya bisa dijadikan hujjah dalam kitab hadits Shahih] (Lihat: Faidh al-Qadiir 6/106).
Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam as-Silsilah ash-shahihah no. 2272 dan Shahih at-Targhiib no. 2918.
HADITS KE 2:
Nabi ﷺ bersabda:
كُلُوا وَاشْرَبُوا وَالْبَسُوا وَتَصَدَّقُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُلْ مَا شِئْتَ وَالْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ اثْنَتَانِ سَرَفٌ أَوْ مَخِيلَةٌ
"Makan dan minumlah kalian, dan kenakanlah (pakaian) serta bersedekahlah tanpa berlebih-lebihan dan kesombongan."
Ibnu Abbas berkata, "Makanlah apa yang engkau mau, kenakanlah apa yang engkau mau. Tidak ada yang membuatmu bersalah/berdosa kecuali dua: berlebihan atau kesombongan "
((HR. Bukhori dalam Shahihnya, kitab al-Libaas, secara Mu'allaq dengan Shighah Jazem))
Dan Hadits ini diriwayatkan secara maushul oleh Ibnu Abi Syaibah, An-Nasaa’i, Ibnu Majah dan al-Hakim dengan sanadnya dari Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
(كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ)
" Makan lah kalian, bersedekahlah kalian dan berpakainlah kalian dalam keadaan tidak berlebihan dan tidak ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya (alias pamer)".
[HR. Ahmad no. 6708, An-Nasaa’i No. 2559, Ibnu Majah no. 3605, al-Hakim no. 7188 dan Ibnu Abi Syaibah no. 24877. Di Shahihkan al-Hakim. Dan di hasankan oleh Syeikh al-Baani dalam Shahih an-Nasaa’i].
Ibnu Umar pernah menolak memakai pakaian yang terbuat dari kapas karena khawatir diselinapi kesombongan.
Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dengan sanadnya hingga Hilal bin Khabab dari Qoza’ah yang berkata:
رأيت على ابن عمر ثيابا خشِنة أو جَشبة ، فقلت له: إني قد أتيتك بثوب لَـيِّن مما يُصْنَع بخراسان وتَقَرّ عيناي أن أراه عليك. قال: أرنيه ، فلمسه ، وقال: أحرير هذا ؟ قلت: لا ، إنه من قطن. قال: إني أخاف أن ألبسه ، أخاف أكون مختالا فخورا: (وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ).
"Aku melihat ibnu Umar mengenakan pakaian-pakaian yang kasar. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Aku datang kepadamu dengan membawa pakaian yang halus, yang diproduksi di Khurasan. Dan kurasa aku akan merasa senang jika melihatmu mengenakannya.’ Ia berkata, ‘Perlihatkan kepadaku.’ Lalu ia menyentuhnya dan bertanya, ‘Suterakah ini?’ Kujawab, ‘Bukan, ini dari kapas.’
Ibnu Umar berkata, ‘Sungguh aku takut untuk memakainya, aku takut menjadi orang yang angkuh dan menyombongkan diri.’" [Lalu dia menyebutkan firman Allah SWT:]
(وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ)
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri [QS. Al-Hadid: 23]
(Baca: Siyar A'lam an-Nubalaa' 3/223. Dan lihat pula Hilyatul Awliyaa 1/302)
HADITS KE 3:
Dari Abu Hurairah RA, bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
"بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي فِيمَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، وَعَلَيْهِ بُرْدَان يَتَبَخْتَرُ فِيهِمَا، إِذْ خُسِف بِهِ الْأَرْضَ، فَهُوَ يَتَجَلْجَلُ فِيهَا إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ"
" Dahulu kala di kalangan orang-orang sebelum kalian terdapat seorang lelaki yang sedang berjalan dengan langkah-langkah yang angkuh dan sombong seraya memakai dua lapis baju burdahnya, tiba-tiba ia ditelan oleh bumi, dan ia amblas ke dalam bumi sampai hari kiamat".
[HR. Bukhori no. 5789 dan Muslim no. 2088]
Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya 5/76:
وَكَذَلِكَ أَخْبَرَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْ قَارُونَ أَنَّهُ خَرَجَ عَلَى قَوْمِهِ فِي زِينَتِهِ، وَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى خَسَفَ بِهِ وَبِدَارِهِ الْأَرْضَ، وَفِي الْحَدِيثِ: "مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ، فَهُوَ فِي نَفْسِهِ حَقِيرٌ وَعِنْدَ النَّاسِ كَبِيرٌ، وَمَنِ اسْتَكْبَرَ وَضَعَهُ اللَّهُ، فَهُوَ فِي نَفْسِهِ كَبِيرٌ وَعِنْدَ النَّاسِ حَقِيرٌ، حَتَّى لَهُوَ أَبْغَضُ إِلَيْهِمْ مِنَ الْكَلْبِ أَوِ الْخِنْزِيرِ".
Demikian pula dalam firman Allah Swt. tentang Qorun, bahwa pada suatu hari Qarun pergi menemui kaumnya dengan memakai semua per¬hiasan kebesarannya lalu Allah Swt. membenamkan Qarun dan rumah¬nya serta harta bendanya ke dalam bumi.
Di dalam sebuah hadis disebutkan:
"مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ، فَهُوَ فِي نَفْسِهِ حَقِيرٌ وَعِنْدَ النَّاسِ كَبِيرٌ، وَمَنِ اسْتَكْبَرَ وَضَعَهُ اللَّهُ، فَهُوَ فِي نَفْسِهِ كَبِيرٌ وَعِنْدَ النَّاسِ حَقِيرٌ، حَتَّى لَهُوَ أَبْغَضُ إِلَيْهِمْ مِنَ الْكَلْبِ أَوِ الْخِنْزِيرِ"
" Barang siapa yang berendah diri karena Allah. Allah pasti meninggikannya, sedangkan dia merasa hina di matanya sendiri dan besar di mata orang lain. Dan barang siapa yang sombong, maka Allah akan merendahkannya, sedangkan dia merasa be¬sar diri menurut dirinya, tetapi hina di mata orang lain, sehingga ia lebih dibenci oleh mereka daripada anjing dan babi". [SELESAI]
[Penulis katakan: Hadits tsb diriwayatkan oleh Abu Naim dalam Al-Hilyah (7/129) dan Al-Khothib dlm Tarikh Baghdad (2/110) dari jalur Sa'id bin Salam, dari Al-Tsawri dari Al-A'masy, dari Ibrahim bin Abbas, dari Rabi'ah, dari Umar bin Al-Khattab, menurutnya.
Dan dia berkata: "Ghoriib dari hadits Al-Tsawri. Sa'iid bin Salam secara tunggal meriwayatkannya, dan dia pendusta.]."
HADITS KE 4:
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
إذا مَشت أُمَّتي الْمُطَيطَاءَ ، و خدَمَها أبناءُ الملوكِ أبناءُ فارسٍ و الرومِ ، سُلِّطَ شرارُها على خيارِها
"Apabila umatku berjalan dengan langkah yang congkak dan mereka dilayani oleh putra-putra para raja, putra-putra Persia dan Romawi, maka orang-orang yang buruk dari umatku akan berkuasa terhadap orang-orang pilihan [terbaik] dari nya".
[HR. al-Tirmidzi (2261), Ibnu al-Mubarak dalam "Al-Zuhd" (2/51), dan Abu Na'im dalam "Tarikh Isfahan" (1/362), dengan sedikit perbedaan].
Di shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jaami' no. 801].
HADITS KE 5:
" Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
إذا مَشت أُمَّتي الْمُطَيطَاءَ ، وخدمَتْهُم فارسُ والرومُ سُلِّطَ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ"
"Apabila umatku berjalan dengan langkah yang congkak dan mereka dilayani oleh orang-orang Persia dan Romawi, maka sebagian dari umat ku akan menguasai sebagian yang lainnya".
[HR. ath-Thabraani dalam al-Mu'jam al-Awsath no. 132 dari hadits Abu Hurairah RA. Di hasankan oleh Syeikh Bin Baaz dalam Majmu' Fataawaa 26/233]
HADITS KE 6:
Dari Abdullah bin Mas'ud RA: bahwa Nabi ﷺ telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam sabdanya:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
" Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi."
Ada seseorang yang bertanya: "Bagaimana dengan seorang yang suka memakai baju dan sandal yang bagus?"
Beliau menjawab: "Sesungguhnya Allah itu indah dan menyukai keindahan. Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain." (HR. Muslim no. 91)
HADITS KE 7:
Pada masa Nabi ﷺ pakaian dan kain termasuk barang yang berharga. Dan ada sebagian orang pada masa itu yang hanya memiliki satu atau dua pakaian, maka jika ada orang yang berlebihan menggunkan kain untuk pakaiannya; itu mencirikan pada kesombongan.
Di dalam hadits Jabir bin Sulaim Abu Jariy al-Hujaimi, disebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
"وَلَوْأَنْ تَلْقَى أَخَاكَ وَوَجْهُكَ إِلَيْهِ مُنْبَسِط، وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ الْإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنَ المِخيلَة، وَالْمَخِيلَةُ لَا يُحِبُّهَا اللَّهَ"
Sekalipun berupa sikap yang ramah dan wajah yang cerah saat kamu menjumpai saudaramu.
Dan janganlah kamu mengISBAL-kan kainmu, karena sesungguhnya isbal itu termasuk dari prilaku sombong. Dan prilaku sombong itu tidak disukai oleh Allah.
[HR. Ahmad no. 20651 dan al-Baihaqi no. 9691. Dishahihkan oleh al-Albaani dalam shahih al-Jaami' no. 98. PEN.]
Di dalam hadits ini di tegaskan illat pelarangannya, yaitu adanya kesombongan:
وَالْمَخِيلَةُ لَا يُحِبُّهَا اللَّهَ
Dan prilaku sombong itu tidak disukai oleh Allah
HADITS KE 8:
Rasulullah ﷺ sendiri pernah melakukan Isbal dengan menyeret bajunya.
Ada sejumlah riwayat menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ sendiri pernah berisbal dan menyeret pakaiannya.
Dari Abu Bakrah Nufai' bin al-Haarits radliallahu 'anhu dia berkata;
خَسَفَتْ الشَّمْسُ وَنَحْنُ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ فَقَامَ يَجُرُّ ثَوْبَهُ مُسْتَعْجِلًا حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ وَثَابَ النَّاسُ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فَجُلِّيَ عَنْهَا ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا وَقَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ حَتَّى يَكْشِفَهَا
"Ketika kami berada di samping Nabi ﷺ, tiba-tiba terjadi gerhana Matahari, maka beliau segera berdiri menuju masjid, dan menyeret pakaiannya karena tergesa-gesa hingga tiba di masjid.
Lalu orang-orang pun segera berdiri di sisinya dan beliau mengerjakan shalat dua rakaat. Setelah matahari terang, beliau berkhutbah di hadapan kami seraya bersabda:
"Matahari dan bulan tidak mengalami gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang, tetapi keduanya merupakan tanda diantara tanda-tanda kebesaran Allah. Jika kalian melihat kedua gerhana tersebut, maka shalatlah dan berdoalah hingga gerhana tersingkap dari kalian (nampak kembali)." (HR.Bukhari no. 5785)
Dan dalam hadits Imran Ibnul Hushain RA juga terdapat kisah Isbalnya Rasulullah ﷺ. Dari Imran Ibnul Hushain, ia berkata:
سَلَّمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي ثَلَاثِ رَكَعَاتٍ مِنْ الْعَصْرِ ثُمَّ قَامَ فَدَخَلَ الْحُجْرَةَ فَقَامَ الْخِرْبَاقُ رَجُلٌ بَسِيطُ الْيَدَيْنِ فَنَادَى يَا رَسُولَ اللَّهِ أَقَصُرَتْ الصَّلَاةُ فَخَرَجَ مُغْضَبًا يَجُرُّ إِزَارَهُ فَسَأَلَ فَأُخْبِرَ فَصَلَّى تِلْكَ الرَّكْعَةَ الَّتِي كَانَ تَرَكَ ثُمَّ سَلَّمَ ثُمَّ سَجَدَ سَجْدَتَيْنِ ثُمَّ سَلَّمَ
"Rasulullah ﷺ pernah salam pada raka'at ketiga dalam shalat ashar, lalu beliau berdiri dan masuk kamar. Maka berdirilah Al Khirbaq, seorang laki-laki yang tangannya lebar, ia berkata:
"Wahai Rasulullah, apakah shalatnya diringkas?"
Beliau pun keluar dalam keadaan marah sambil menyeret kain sarungnya, beliau bertanya tentang hal itu hingga beliau diberitahu tentang hal itu.
Kemudian beliau melaksanakan raka'at yang tertinggal lalu salam, kemudian beliau sujud dua kali dan salam kembali. "
(H.R. Muslim no. 574 dan Ibnu Majah no. 1215)
Mustahil Rasulullah ﷺ melakukan Isbal -meski hanya sekali- jika Isbal hukumnya haram secara mutlak. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak sebagaimana haramnya berzina atau mencuri, maka satu kalipun Rasulullah ﷺ tidak akan pernah melakukannya karena seluruh Nabi Ma'shum (terjaga dari dosa).
Isbal yang dilakukan Rasulullah ﷺ menunjukkan bahwa larangan Isbal itu tidak mutlak, tetapi Muqoyyad (diikat kondisi tertentu) yaitu kesombongan. Artinya Isbal hukumnya haram jika dilakukan karena sombong, tetapi tidak haram jika dilakukan tidak karena sombong sebagaimana Isbal yang dilakukan Rasulullah ﷺ.
Seandainyapun ada yang memahami bahwa Isbal Rasulullah ﷺ adalah dalam kondisi khusus yaitu dalam kondisi فَزَعٌ (takut) seperti Isbal beliau saat terjadi gerhana matahari, atau dalam kondisi غَضَبٌ (marah) seperti Isbal beliau saat peristiwa shalat kurang rakaatnya, maka kesimpulan itu justru semakin menguatkan bahwa Isbal tanpa sombong tidak haram.
Karena takut dan marah bermakna selain kesombongan. Ketika Nabi melakukan Isbal bukan karena sombong misalnya saat takut dan saat marah, maka Isbal demikian hukumnya Mubah dan tidak tercakup dalam larangan Isbal karena sombong.
HADITS KE 9 : TAQRIR NABI ﷺ
Taqrir (sikap diam) Rasulullah ﷺ terhadap Isbal Abu Bakar. Terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ mendiamkan Abu Bakar melakukan Isbal.
Dari Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ.
قالَ مُوسَى: فَقُلتُ لِسالِمٍ: أذَكَرَ عبدُ اللَّهِ: مَن جَرَّ إزارَهُ؟ قالَ: لَمْ أسْمَعْهُ ذَكَرَ إلَّا ثَوْبَهُ.
Rasulullah ﷺ bersabda: "Siapa yang menyeret pakaiannya karena kesombongan maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari qiyamat".
Kemudian Abu Bakr berkata; "Sesungguhnya sebelah dari pakaianku terjulur kecuali bila aku memeganginya (mengangkatnya)".
Maka Rasulullah ﷺ berkata: "Sesungguhnya kamu melakukan itu bukan bermaksud sombong".
Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar menyebutkan lafadz ‘barangsiapa menjulurkan kainnya’? Salim menjawab, yang saya dengar hanya ‘barangsiapa menjulurkan pakaiannya’.". (HR. Bukhari 3665, 3392, 3709 danMuslim 2085)
Riwayat lain lafadznya;
فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاء
Lalu Nabi ﷺ bersabda: "Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong." (HR. Bukhari no. 5784, 5843)
Lafadz Sunan an-Nasaa'i no. 5335:
إنك لستَ ممَن يَصْنَعُ ذلك خُيَلاءَ
"Sesungguhnya engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong."
Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa'i no. 5350 dan al-Misykaat no. 4369.
FIQIH HADITS
Dalam riwayat di atas, Rasulullah ﷺ mencela dan mengancam orang yang menyeret pakaiannya karena sombong.
Ancamannya adalah tidak dilihat Allah pada hari kiamat, artinya tidak dikasihi dan tidak dirahmati tetapi dibenci dengan kebencian yang amat sangat. Ancaman yang menakutkan ini membuat Abu Bakar menjadi khawatir jika larangan Isbal tersebut adalah larangan yang mutlak.
Maka beliau menanyakan kondisi pakaiannya yag selalu terjulur/Isbal kecuali Abu Bakar benar-benar menjaganya. Kekhawatiran ini tentu beralasan, karena jika memang benar Isbal itu haram secara mutlak tentu kondisi apapun tidak akan ditoleransi.
Jika memang Isbal memang haram secara mutlak, maka sengaja maupun tidak sengaja tetap haram sehingga harus dijauhi dan tidak boleh didekati. Namun ternyata Rasulullah ﷺ mengatakan bahwa Abu Bakar melakukan Isbal itu tidak karena sombong.
Dan dalam riwayat yang lain dikatakan bahwa Abu Bakar itu ketika melakukan Isbal, beliau tidak termasuk golongan yang melakukannya kerena sombong.
Oleh karena itu hadis ini menunjukkan dua hal:
Pertama; Taqrir Nabi terhadap Isbal Abu Bakar.
Kedua; Isbal itu hanya dilarang karena sombong.
Riwayat yang kedua justru menunjukkan bahwa yang melakukan Isbal Mubah itu bukan hanya Abu Bakar saja, akan tetapi juga sebagian kaum Muslimin yang lain.
Karena ada Lafadz hadits lain yang berbunyi;
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
"Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong."
Menunjukkan bahwa di zaman Nabi pelaku Isbal itu ada dua golongan, yaitu; golongan yang melakukannya karena sombong dan golongan yang tidak melakukannya karena sombong.
Hal itu dikarenakan Harf "Min" pada lafadz مِمَّنْ adalah Min Lit Tab'idh/لِلتَّبْعِيْضِ (Harf Min yang bermakna sebagian).
Ketika Abu Bakar dikatakan bahwa beliau tidak termasuk diantara yang melakukannya karena sombong, berarti yang melakukannya tidak karena sombong bukan hanya Abu Bakar.
Jika yang melakukannya hanya Abu Bakar maka tidak ada maknanya menyebut Harf Min tersebut. Penyebutan Harf Min Lit -Tab'idh (لِلتَّبْعِيْضِ) menunjukkan bahwa pelaku Isbal yang tidak karena sombong bukan hanya Abu Bakar saja tetapi juga kaum Muslimin yang lain.
Abu Bakar didiamkan melakukan Isbal karena tidak termasuk golongan yang melakukannya karena sombong. Karena itu riwayat ini memberi penguatan lebih dalam tentang kebolehan Isbal yang tidak dilakukan karena sombong.
BANTAHAN dari pihak yang berpendapat haram Isbal secara mutlak :
Bahwa Isbal Abu Bakar itu dilakukan secara tidak sengaja , maka dengan demikian Isbal hukumnya tetap haram secara mutlak.
JAWABAN NYA:
Bantahan ini tidak bisa diterima dengan sebab empat alasan :
- Alasan ke Satu
Seandainya larangan Isbal bersifat mutlak seharusnya Rasulullah ﷺ bersikukuh melarang secara mutlak sebagaimana bersikukuhnya beliau melarang jual beli lemak bangkai dalam riwayat berikut ini;
Dari Jabir bin Abdullah bahwa saat ia sedang berada di Makkah ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda pada saat penaklukan Makkah:
إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ بَيْعَ الْخَمْرِ وَالْمَيْتَةَ وَالْخِنْزِيرَ وَالْأَصْنَامَ فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ شُحُومَ الْمَيْتَةِ فَإِنَّهُ يُطْلَى بِهَا السُّفُنُ وَيُدْهَنُ بِهَا الْجُلُودُ وَيَسْتَصْبِحُ بِهَا النَّاسُ فَقَالَ لَا هُوَ حَرَامٌ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عِنْدَ ذَلِكَ قَاتَلَ اللَّهُ الْيَهُودَ إِنَّ اللَّهَ لَمَّا حَرَّمَ عَلَيْهِمْ شُحُومَهَا أَجْمَلُوهُ ثُمَّ بَاعُوهُ فَأَكَلُوا ثَمَنَهُ
"Sesungguhnya Allah telah mengharamkan penjualan arak, bangkai, babi, serta berhala."
Kemudian beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang lemak bangkai, sesungguhnya lemak biasa digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan menyalakan lampu?"
Beliau bersabda: "Tidak boleh, karena ia adalah haram."
Beliau menambahkan: "Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi, ketika Allah mengharamkan lemak, mereka mencairkannya kemudian menjualnya dan memakan hasil penjualannya." (HR. Muslim No. 1581)
Maknanya:
Jika memang sesuatu itu haram secara mutlak maka tidak ada alasan apapun untuk memberikan toleransi untuk dilanggar.
Hal ini berbeda jika sesuatu itu dilarang tidak secara mutlak, tetapi dikecualikan pada hal (kondisi) tertentu sebagaimana toleransi memotong "Idzkhir" pada hadis berikut ini;
Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata; Nabi ﷺ bersabda pada hari pembebasan kota Makkah:
لَا هِجْرَةَ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا فَإِنَّ هَذَا بَلَدٌ حَرَّمَ اللَّهُ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ وَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَإِنَّهُ لَمْ يَحِلَّ الْقِتَالُ فِيهِ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَلَمْ يَحِلَّ لِي إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ فَهُوَ حَرَامٌ بِحُرْمَةِ اللَّهِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ لَا يُعْضَدُ شَوْكُهُ وَلَا يُنَفَّرُ صَيْدُهُ وَلَا يَلْتَقِطُ لُقَطَتَهُ إِلَّا مَنْ عَرَّفَهَا وَلَا يُخْتَلَى خَلَاهَا قَالَ الْعَبَّاسُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِلَّا الْإِذْخِرَ فَإِنَّهُ لِقَيْنِهِمْ وَلِبُيُوتِهِمْ قَالَ قَالَ إِلَّا الْإِذْخِرَ
"Tidak ada lagi hijrah [setelah penaklukan kota Makkah] tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Dan jika kalian diperintahkan berangkat perang; maka berangkatlah.
Sesungguhnya negeri ini telah Allah Ikrarkan kesuciannya sejak hari penciptaan langit dan bumi. Maka dia akan terus suci dengan pensucian dari Allah hingga hari qiyamat. Dan sesungguhnya tidak diperbolehkan perang didalamnya bagi seorangpun sebelum aku dan tidak dihalalkan pula buatku kecuali sesaat dalam suatu hari.
Maka dia suci dengan pensucian dari Allah hingga hari qiyamat.
Dan tidak boleh ditebang pepohonannya dan tidak boleh diburu hewan buruannya.
Dan tidak ditemukan satupun barang temuan kecuali harus dikembalikan kepada yang mengenalnya (pemiliknya) dan tidak boleh dipotong rumputnya".
Al 'Abbas radliallahu 'anhu berkata: "Wahai Rasulullah, kecuali rumput idzkhir yang berguna untuk wewangian tukang besi mereka dan untuk rumah-rumah mereka".
Dia berkata: Maka Beliau ﷺ bersabda: "Ya, kecuali rumput idzkhir". (HR. Bukhari no. 1834 dan Muslim no. 1353)
Maknanya:
Persetujuan Rasulullah ﷺ terhadap Abu Bakar yang berisbal semakna dengan persetujuan Rasulullah ﷺ kepada Al-'Abbas bahwa Idzkhir boleh dipotong, yang menunjukkan larangan Isbal bukan larangan mutlak sebagaimana larangan memotong tumbuhan Mekah bukan larangan mutlak.
- Alasan ke Dua
Tidak bisa dibuktikan bahwa Abu Bakar tidak berisbal sepanjang hidupnya. Seandainya Isbal Abu Bakar adalah sebuah ketidaksengajaan maka seharusnya itu hanya terjadi sekali atau dua kali dalam hidupnya. Sesudah itu seharusnya ada riwayat yang jelas bahwa beliau tidak berisbal dan selalu menaikkan pakaiannya setinggi tengah betis.
- Alasan ke Tiga
Pembiaran Nabi atas Isbalnya Abu Bakar bukan disebabkan karena masalah sengaja atau tidak sengaja, tetapi sebabnya diterangkan oleh Rasulullah ﷺ sendiri dengan terang benderang -seterang sinar matahari- bahwa sebabnya adalah karena Abu Bakar tidak melakukannya karena sombong.
Seandainya kebolehan Isbal adalah karena masalah tidak sengaja seharusnya Nabi mengatakan: "Kerena Engkau melakukannya tanpa sengaja".
Namun bukan alasan itu yang diucapkan Nabi ﷺ, melainkan beliau ﷺ berkata:
لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
"Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong."
- Alasan ke Empat
Dalam Thobaqot Ibnu sa'ad dinyatakan bahwa Isbal Abu Bakar adalah ciri pakaian beliau. Ibnu Sa'd menyatakan;
أَجْنَأَ لَا يَسْتَمْسِكُ إِزَارَهُ يَسْتَرْخِي عَنْ حِقْوَتِهِ
"Beliau berdahi menonjol (nonong), Izarnya (kain bawahannya) tidak terikat, terjuntai dari pinggangnya (Baca: At-Thobaqot-Al-Kubro, karya Ibnu Saad 3/1288)
Riwayat ini menunjukkan bahwa Isbal Abu Bakar adalah sesatu yang menonjol dan menjadi ciri berpakaian beliau yang tersimpan dalam benak orang yang melihatnya. Jika memang Isbal itu haram mutlak, mustahil Abu Bakar menyepelekan hal tsb dan berdekatan dengan perbuatan haram.
Lagi pula bukan suatu hal yang sulit bagi Abu Bakar untuk menaikkan ujung pakaiannya hingga tengah betis sehingga tidak perlu lagi bersusah payah menjaga agar pakaiannya tidak Isbal.
Dan untuk menyelesaikanya sangat simpel dan sederhana, yaitu cukup dengan cara memotongnya hingga tengah betis.
Tidak bisa pula Isbal Abu Bakar ini difahami Tazkiyah (pensucian) khusus dari Nabi untuk Abu Bakar. Karena pengklaiman ini terbantahkan dengan riwayat yang mengatakan:
إِنَّكَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ
"Sesungguhnya Engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena kesombongan."
Yang mana riwayat ini menunjukkan bahwa pelaku Isbal bukan hanya Abu Bakar tetapi juga sebagian kaum Muslimin yang lain.
Hal iu dikarenakan Nabi menyebut Abu Bakar bukan satu-satunya yang berisbal tidak karena sombong, tetapi disebut Nabi tidak termasuk yang melakukannya karena sombong sehingga bermakna bahwa pelaku Isbal di zaman itu ada dua kelompok, pelaku yang melakukannya karena sombong dan pelaku yang melakukannya tidak karena sombong dan Abu Bakar termasuk golongan yang terakhir.
Lagipula, syariat itu berlaku umum bagi seluruh umat, tidak bisa dikhususkan pada individu tertentu. Tidak bisa dikhususkan hanya kepada Abu Bakar dan tidak bisa pula dikhususkan kepada selainnya. Tambahan lagi, klaim bahwa hal itu Tazkiyah khusus terhadap Abu Bakar akan membuat Nash-Nash Muqoyyad terkait Isbal ini menjadi sia-sia.
Tidak bisa pula menuduh orang yang mengulurkan pakaian tidak karena sombong bahwa dia mensucikn dirinya sendiri.
Tidak bisa dikatakan demikian, karena mensifati keadaan diri adalah sesuatu yang wajar sebagaimana orang yang mensifati dirinya "saya melompat-lompat karena gembira" atau "saya memukul kaca karena sedih" dan semisalnya.
Orang yang sakit diabetes dan memiliki borok pada kakinya, kemudian berisbal untuk menutupi luka boroknya dari gangguan lalat tidak boleh dituduh secara semena-mena bahwa dia berisbal karena sombong dan mensucikan dirinya.
Aturan yang mengharuskan orang yang ingin berisbal maka harus ada yang mentazkiyah sebagaimana Rasulullah ﷺ mentazkiyah Abu Bakar, maka aturan ini tidak bisa dipakai karena tidak diperintahkan Allah dan RasulNya, tidak terkandung dalam riwayat Isbal Abu Bakar baik secara implisit maupun eksplisit, dan bertentangan dengan mafhum riwayat Isbal Abubakr yang menunjukkan izin Isbal dar Nabi secara mutlak jika tidak dikarenkan karena sombong.
Alasan bahwa Abu Bakar diizinkan Rasulullah ﷺ berisbal karena imannya tinggi juga tidak dapat diterima, karena jika sesuatu memang haram secara mutlak maka iman yang tinggi tidaklah mengubah status keharaman sesuatu tersebut. Zina yang hukumnya haram secara mutlak, keharamannya berlaku baik bagi orang yang imannya tinggi maupun rendah.
Lagipula, izin Rasulullah ﷺ kepada Abu Bakar untuk berisbal bukan karena imannya yang tinggi karena tidak ada satu lafadzpun yang menunjukkan hal itu. Izin Isbal Abu Bakar adalah karena Isbal beliau dilakukan tidak karena sombong. Itulah yang dinyatakan dengan jelas oleh Nash.
Alasan bahwa izin Isbal yang diberikan Rasulullah ﷺ kepda Abu Bakar adalah termasuk Fadhoil (keutamaan) Abu Bakar juga tidak dapat diterima, karena ucapan Rasulullah ﷺ kepada beliau dalam riwayat adalah dalam konteks menjelaskan hukum, bukan sedang memuji atau memberi kabar gembira kepada individu tertentu.
-------
ARGUMENTASI KE EMPAT:
ATSAR PARA SAHABAT DAN PARA TABI'IIN
Yakni argumentasi yang menunjukkan Mubahnya Isbal tanpa kesombongang, yaitu Praktek sejumlah shahabat yang dikuatkan oleh sejumlah para Tabi'in besar.
Terdapat sejumlah riwayat yang menunjukkan bahwa Isbal dilakukan sejumlah shahabat dan Tabiin.
Diantaranya sebagai berikut:
---
Ke 1: Isbal Ibnu Mas'ud (RA)
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan: Dari Abu Wail, dari Ibnu Mas’ud:
أَنَّهُ كَانَ يُسْبِلُ إِزَارَهُ ، فَقِيلَ لَهُ ، فَقَالَ: إِنِّي رَجُلٌ حَمِشُ السَّاقَيْنِ.
"Bahwasanya ia menyeret sarungnya. Lalu ditanyakan kepadanya perihal Isbalnya, ia pun menjawab: "Aku adalah seorang yang kecil kedua betisnya."
(HR. Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 8/202). Sanadnya Jayyid.
FIQIH ATSAR:
Cukup jelas dalam riwayat diatas bahwa Ibnu Mas'ud melakukan Isbal. Seandainya Isbal memang haram secara mutlak, maka tidak mungkin Ibnu Mas'ud melakukannya meski dengan alasan menutupi betisnya yang kecil.
Tidak bisa menafsirkan bahwa Isbalnya ibnu Mas'ud bermakna Isbalnya tidak melewati matakaki. Karena jika pakaian tidak melewati mata kaki, maka menurut yang mengharamkan secara mutlak hal itu bukan tercela, bukan barang yang aneh sehingga tidak perlu ditanyakan.
Ketika Isbal ibnu Mas'ud ditanyakan dan dipandang aneh karena bertentangan dengan sejumlah Nash yang melarang dan mungkin juga dengan fatwa beliau, maka hal ini menunjukkan bahwa Isbal beliau adalah melewati mata kaki.
Lagipula, penyebutan Isbal hukum asalnya harus difahami yang melewati matakaki, karena kondisi itulah yang dicela dalm sejumlah Nash.
Menafsirkan Isbal Ibnu Mas'ud hanya dalam kondisi darurat juga tidak bisa diterima, karena kaki kecil bukan kondisi darurat. Apalagi ada riwayat yang menunjukkan Nabi tetap melarang Isbal pada orang yang berkaki bengkok ketika ditemukan kondisi sombong padanya.
Riwayat ini menunjukkan bahwa kaki bengkok apalagi sekedar betis kecil bukanlah kondisi darurat.
----
KE 2: ISBALNYA IBNU ABBAAS (RA)
Shahabat lain yang diriwayatkan melakukan Isbal adalah Ibnu Abbas. At-Thobaroni meriwayatkan;
Dari Abu Ishaq, ia berkata:
رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ أَيَّامَ مِنًى طَوِيلَ الشَّعْرِ، عَلَيْهِ إِزَارٌ فِيهِ بَعْضُ الإِسْبَالِ، وَعَلَيْهِ رِدَاءٌ أَصْفَرُ.
"Aku melihat Ibnu Abbas pada hari Mina beliau berambut panjang, mengenakan sarung yang mencapai sebagian Isbal, dan mengenakan mantel berwarna kuning."
(HR. al-Tabarani dalam al-Kabir (10572) dan Abu Bakar asy-Syaibani dalam al-Ahaad wa al-Matssani no. (390)
Al-Haitsami berkata dalam al-Majma' 9/285: "Diriwayatkan oleh al-Tabarani dan sanadnya hasan".
Dari Ikrimah, yang berkata:
رَأَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ إِذَا ائْتَزَرَ أَرْخَى مُقَدِّمَ إِزَارِهِ حَتَّى تَقَعَ حَاشِيَتُهُ عَلَى ظَهْرِ قَدَمَيْهِ، وَيَرْفَعُ الإِزَارَ مِمَّا وَرَاءَهُ، فَقُلْتُ: لِمَ تَأْتَزِرُ هَكَذَا؟ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ يَأْتَزِرُ هَذِهِ الإِزْرَةَ.
Aku melihat Ibn Abbas jika mengenakan kain sarung beliau menyeret bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh punggung telapak kakinya.
Dia mengangkat pakaian di bagian belakangnya. Lalu aku bertanya: Mengapa engkau memakai pakaian seperti ini?
Dia berkata: Aku melihat Rasulullah memakai pakaian sarung seperti ini.
[HR. Abu Daud no. (4096), Ibnu Abi Syaibah no. (24831), dan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iiman (6147)
Al-Albani menilainya SHAHIH dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. (1238).
Riwayat yang lain; Dari Maulanya ibnu Abbas:
أن بن عباس كان إذا اتزر أرخى مقدم إزاره حتى تقع حاشيته على ظهر قدمه
"Bahwasanya ibnu Abbas jika mengenakan sarung beliau menyeret bagian depan sarungnya hingga ujung sarungnya menyentuh punggung telapak kakinya". (HR. An-Nasai 5/484)
FIQIH ATSAR
Kata:
حَتَّى تَقَعَ حَاشِيَتُهُ عَلَى ظَهْرِ قَدَمِهِ
"Hingga ujung sarungnya menyentuh punggung telapak kakinya"
Menunjukkan bahwa pakaian Ibnu Abbas melebihi mata kaki. Tidak perlu terlalu memaksakan diri dengan menafsirkan bahwa Hasyiyah adalah Ahdab (rumbai-rumbai), bukan ujung pakaian.
Betapapun ditafsirkan rumbai-rumbai, maka hal itu tetap bermakna Isbal yang melebihi mata kaki.
Apalagi secara bahasa Hasyiyah dengan rumbai-rumbai (Ahdab) itu berbeda. Ahdab adalah ujung Hasyiyah, bukan Hasyiyah itu sendiri.
Menurut Ibnu Sidah dalam Al-Muhkam: "Hasyiyah" malah dijelaskan tidak ada rumbai-rumbainya.
----
KE 3: ISBALNYA UMAR BIN ABDUL AZIZ Rahimahullah
Di kalangan Tabi'in, yang diriwayatkan melakukan Isbal adalah Umar bin Abdul Aziz.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan: Dari Amr bin Muhajir, ia berkata:
كَانَتْ قُمُصُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَثِيَابُهُ مَا بَيْنَ الْكَعْبِ وَالشِّرَاكِ
"Gamis-gamis Umar bin Abdul Aziz, serta pakaian-pakaiannya menjulur hingga antara mata kaki dan tali sandalnya."
(HR. Ibnu Abi Syaibah 8/208. Dan meriwayatakan dari nya Abu Nu'aim dalam Al-Hilyah (5/322) dan Ibnu Sa'ad dalam Ath-Thabaqaat (5/403))
Ibnu Abdil-Barr berkata:
وَهَذَا يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ عُمَرُ ذَهَبَ إِلَى أَنْ يَسْتَغْرِقَ الْكَعْبَيْنِ كَمَا إِذَا قِيلَ فِي الْوُضُوءِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ اسْتَغْرَقَهُمَا، وَكَانَ الِاحْتِيَاطُ أَنْ يُقَصِّرَ عَنْهُمَا إِلَّا أَنَّ مَعْنَى هَذَا مُخَالِفٌ لِمَعْنَى الْوُضُوءِ وَلَكِنْ عُمَرُ لَيْسَ مِنْهُمْ كَمَا قَالَ رَسُولُ اللَّهِ لِأَبِي بَكْرٍ: لَسْتَ مِنْهُمْ، أَيْ لَسْتَ مِمَّنْ يَجُرُّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ وَبَطَرًا.
Ini mungkin Umar melakukannya hingga menutupi kedua mata kaki, seperti yang dikatakan tentang dia ketika wudhu sampai kedua mata kaki.
Dan yang lebih hati-hati adalah tidak melewati kedua mati kaki, kecuali bahwa makna ini berbeda dengan makna wudhu. Akan tetapi Umar bin Abdul 'Aziz bukan salah satu dari mereka [yang sombong], sama seperti yang dikatakan Rasulullah ﷺ kepada Abu Bakar (RA): "Kamu bukan termasuk salah satu dari mereka", yakni: kamu bukan termasuk orang yang menyeret pakaiannya karena sombong dan congkak".
FIQIH ATSAR
Pakaian yang ujungnya berada di antara mata kaki dengan tali sandal menunjukkan dengan jelas bahwa pakaian Umar bin Abdul Aziz melewati mata kaki.
-----
KE 4: ISBALNYA IBRAHIM BIN YAZID AN-NAKHO'I [Wafat. 96 H.]:
Ulama besar dari kalangan Tabi'in yang lain adalah Ibrohim An-Nakho'i, Imam Ahli Kuufah.
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan; Dari Mughiroh, ia berkata:
كَانَ إِبْرَاهِيمُ قَمِيصُهُ عَلَى ظَهْرِ الْقَدَمِ
"Ibrohim An-Nakho’I, jubahnya menjulur hingga punggung telapak kakinya."
(HR. Ibnu Abi Syaibah 8/209 No. 24845) SANADNYA SHAHIH.
------
KE 5: ISBALNYA AYUB BIN ABI TAMIMAH
Tabi'in yang lain adalah Ayyub bin Abi Tamimah As-Sikhtiyani [Wafat 131 H]. Beliau berguru kepada lebih dari 35 para ulama besar dari murid-murid para Sahabat Nabi ﷺ. [Lihat: Siya al-A'laam an-Nubalaa 6/16].
Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab al-‘Ilal-riwayat putranya, Abdullah-nomor 841, dia berkata:
Sulaiman bin Harb memberitahu aku, Hammad bin Zaid berkata:
"أمرَنِي أيّوب أن أقطعَ له قميصاً قال: اجعلْه يضرِبُ ظَهْرَ القدم ، و اجعَلْ فَمَ كُمِّهِ شبراً
"Ayub memerintahkanku untuk memotong sebuah jubah untuknya. Ia berkata, ‘Jadikan jubahku (sepanjang) hingga menyentuh punggung telapak kakiku. Dan jadikan lebar lengannya sejengkal."
(HR.Ahmad dalam Al-'Ilal no. 841. Sanadnya Shahih).
Di antara ucapan-ucapan Ayyub bin Abi Tamimah As-Sikhtiyani [Wafat 131 H] adalah:
((يَا أَبَا عُرْوَة-هِيَ كُنْيَةُ مُعَمَّرٍ -: كَانَتْ الشُّهْرَةُ فِيمَا مَضَى فِي تَذْيِيلِهَا ، وَالشُّهْرَةُ اليَوْمَ فِي تَشْمِيرِهَا))
" Wahai Abu 'Urwah-kuniyah Mu'ammar- Ketenaran [syuhroh] di masa lalu adalah dalam meng-isbal-kannya, dan ketenaran [syuhroh] hari ini adalah dalam mencingkrangkannya."
Di riwayatkan oleh Ma'mar dalam "al-Jaami'" nya (11/84) - dan dari jalurnya oleh Abdur-Razzaq dalam "Al-Musannaf" (11/84), dan dari jalurnya juga: Ibnu Sa'ad memasukkannya ke dalam "ath-Thabaqaat" (1) (7).(248) dan Ad-Dainuuri dalam "Al-Mujaalasah" no. (1919), Abu Nu'aim dalam "Al-Hilyah" (3/7) dan Al-Bayhaqi dalam "Syu'ab al-Iimaan" (No. 6243).
Dan lafadznya dalam "al-Hilyah":
((كَانَ فِي قَمِيصُ أَيُّوب بَعْضُ التَّذييل فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ: الشُّهْرةُ اليَوْمَ فِي التَّشْمِير))
((Dulu pada baju gamis Ayub terdapat beberapa rumbai. Maka ditanyakan kepadanya? lalu dia berkata: "Ketenaran hari ini adalah dalam pencingkrangan baju)).
Dan seperti yang dikatakan Sufyan bin Husein [w. 150 H] kepada Umar bin Ali bin Muqaddam:
"أَ تَدْرِي مَا السَّمْتُ الصَّالِح ؟! لَيْسَ هُوَ بِحَلْقِ الشَّارِب ! ، و َلَا تَشْمِير الثَّوب ؛ وَ إِنَّما هُوَ: لزُوم طَرِيق القَوْم ، إِذَا فَعَل ذَلِك قِيلَ: قَد أَصابَ السَّمْت ، وتَدْري مَا الإقْتصَاد ؟! هُوالمشي الذي لَيس فِيهِ غُلُوّ ولا تَقْصِير".
Tahukah kamu apa yang dimaksud dengan tetap berada di jalan yang shaleh?!
Tetap berada di jalan yang sholeh itu bukanlah mencukur kumis!, dan bukan pula mencingkrangkan pakaian; yang benar itu adalah: tetap mengikuti jalannya orang-orang, maka jika dia melakukannya, maka dikatakan: Dia telah mendapatkan ketetapan berada di jalan yang sholeh.
Dan Anda tahu apa itu ekonomis [sederhana]?! Ia adalah langkah yang di dalamnya tidak berlebihan dan tidak cingkrang [kurang]".
Diriwayatkan oleh Ibn Abdil-Barr dalam at-Tamhiid (21/68) dan sanadnya adalah Shahih.
FIQIH ATSAR
Semua riwayat di atas semakin menguatkan bahwa Isbal yang dilakukan tidak karena sombong adalah Mubah dan dipraktikkan shahabat besar termasuk Tabi'in-Tabi'in yang keshalihannya tidak diragukan lagi.
------
KE 6: ISBALNYA 'ATHOO BIN ABI ROBAAH [Wafat 114 H]
'Athoo bin Abi Robaah adalah ulama besar dari kalangan Tabi'iin. Menimba ilmu dari Ummul Mukminin Aisyah, Abu Hurairah, Ummu Salamah, Ummu Haani, Ibnu Abbas, Abdullah bin Amr, Ibnu Umar, Jaber, Ibnu al-Zubayr, Muawiyah, Abu Sa'iid al-Khudri dan beberapa sahabat lainnya.
Al-Bayhaqi berkata:
"وَرَوَينْاَ عَنْ عَطَاء بْنُ أَبِي رَبَاح أَنَّهّ صَلَّى سَاِدلًا وَكَأَنَّهُ نَسِيَ الحَدِيث أَوْ حَمَلَهُ عَلَى َأنَّ ذَلِكَ إِنَّمَا لَا يَجُوزُ لِلْخُيَلَاء وَكَانَ لَا يَفَعَلُهُ خُيَلَاء وَالله َأعْلَمْ"
Kami meriwayatkan dari Athoo' bin Abi Rabaah bahwa dia shalat dengan meng isbal kan pakaiannya, seolah-olah dia lupa hadits atau difahami bahwa tidak perbolehkan Isbal itu jika disertai kesombongan, dan dia tidak melakukan isbal karena kesombongan. Wallaahu a'lam".
[Sunan al-Bayhaqi al-Kubra 2/242]
=====
ARGUMENTASI KELIMA:
PAKAIAN PADA ZAMAN NABI ﷺ SANGAT BERHARGA DAN BERNILAI
Pada zaman Nabi ﷺ pakaian merupakan barang yang sangat berharga, disebabkan barang-barang tsb hasil import dari luar seperti dari India, Syam, Yaman atau lainnya. Dan pada saat itu belum ada pabrik-pabrik tenun.
Sama halnya dengan nilai air di padang pasir. Dulu Rosulullah ﷺ dan para sahabat sangat hemat air, mereka berwudhu cukup dengan segelas air. Ketika mereka mandi, maka satu bejana air cukup untuk berdua, suami dan istri. Dan Ustman Bin Affaan membeli Sumur ar-Raumah seharga sekitar 6 Milyard jika di rupiahkan. [Baca: الاستيعاب في معرفة الأصحاب (3/1039 -1040) karya al-Muhaddits Ibnu Abdil Barr].
Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu anhuma :
"أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ مَرَّ بِسَعْدٍ وَهُوَ يَتَوَضَّأُ فَقَالَ: "مَا هَذَا السَّرَفُ يَا سَعْدُ " قَالَ: أَفِي الْوُضُوءِ سَرَفٌ قَالَ: "نَعَمْ وَإِنْ كُنْتَ عَلَى نَهْرٍ جَارٍ".
"Bahwasanya Rasulullah ﷺ berjalan melewati Sa'd yang sedang berwudhu', lalu menegurnya " "Kenapa kamu boros memakai air?".
Sa'ad balik bertanya, "Apakah untuk wudhu' pun tidak boleh boros?".
Beliau ﷺ menjawab, "Ya, tidak boleh boros meski pun kamu berwudhu di sungai yang mengalir." (HR. Ahmad, no. 6768, 7065 dan Ibnu Majah no. 419).
Sheikh Ahmad Syakir dalam Takhrij al-Musnad berkata: Isnadnya Shahih.
Dan Sheikh Al-Albani mendhaifkannya dalam "Irwa' al-Ghalil", namun kemudian beliau menilainya sebagai hadits hasan dalam Silsilah al-Ahadits al-Shahihah.
Hadits tersebut didhaifkan oleh sekelompok para ulama karena didalamnya terdapat Ibnu Lahi'ah, tetapi Syeikh al-Albani menyebutkan bahwa hadits tersebut ada juga yang dari riwayat Qutaybah bin Sa'id darinya dan riwayat darinya adalah shahih.
[Lihat: Silsilah al-Ahadits al-Shahihah no. 3292]
Hadits lain: Dari kakeknya 'Amr bin Su'aib:
جَاءَ أَعْرَابِيٌّ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ يَسْأَلُهُ عَنِ الْوُضُوءِ، فَأَرَاهُ الْوُضُوءَ ثَلَاثًا ثَلَاثًا، ثُمَّ قَالَ: "هَكَذَا الْوُضُوءُ، فَمَنْ زَادَ عَلَى هَذَا فَقَدْ أَسَاءَ وَتَعَدَّى وَظَلَمَ".
"Suatu ketika datang seorang badui menemui Nabi ﷺ, dan bertanya tentang tata cara wudhu. Beliaupun mengajarinya tata cara wudhu 3 kali-3 kali.
Kemudian beliau bersabda: "Seperti ini wudhu yang benar. Siapa yang nambahi lebih dari tiga, dia telah berbuat salah, melampaui batas, dan bertindak dholim."
(HR. Turmudzi, no. 140 Abu Daud no. 135 dan Ahmad, no. 6684. Di shahihkan Muhammad bin Abdul Hadi dalam al-Muharror no. 46 dan disasankan oleh al-Albaani dalam shahih Abi Daud no. 135]
Disebutkan dalam al-Mawsu'ah al-Fiqhiyyah (4/180):
"واتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الإِسْرافَ فِي اِسْتِعْمالِ الْماءِ مَكْرُوهٌ" انْتَهَى.
"Mereka sepakat bahwa tidak menyukai pemborosan dalam menggunakan air." [Selesai].
Betapa berharganya air pada zaman Nabi ﷺ, apalagi kain dan pakaian. Kain dan pakaian jauh lebih berharga dari pada air.
Allah SWT berfirman:
۞ يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
" Hai anak Adam, pakailah PAKAIAN kalian yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan". [QS. Al-A'raaf: 31].
Adapun pakaian pada masa Nabi ﷺ dan masa para sahabat kadang ada sebagian para sahabat yang hanya memiliki satu pakaian saja. Bahkan Nabi ﷺ pun hanya memiliki beberapa helai pakaian saja.
Oleh sebab itu, jika ada yang orang berpakaian dengan ukuran berlebihan sehingga ujung bawah pakaiannya terseret-seret, maka sangat rawan terindikasi melakukan kesombongan dan menyakiti orang lain yang tidak memiliki pakaian kecuali satu helai atau dua helai.
Al-Hakiim at-Tirmidzi (W. 320 H) dalam kitabnya "المنهيات" hal. 7 berkata:
وَقَدْ كَانَ فِي بَدْءِ الإِسْلَامِ الْمُخْتَالُ يَلْبَسُ الْخَزَّ، وَيَجُرُّ الإِزَارَ وَيُسْبِلُهُ؛ فَنُهُوا عَنْ ذَلِكَ. وَقَدْ كَانَ فِيهِمْ مَنْ يَلْبَسُ الْخَزَّ وَيُسْبِلُ الإِزَارَ فَلَا يُعَابُ عَلَيْهِ، مِنْهُمْ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ.
"Dan sungguh Pada masa awal Islam, memakai al-Khozz [kain tenunan dari Sutra dan bulu] dan menyeret izaar (bagian bawah pakaian) serta meng-isbal-kannya adalah termasuk kesombongan; lalu mereka dilarang darinya.
Akan tetapi ada di antara mereka yang memakai al-Khozz dan meng-isbal-kan pakaiannya, namun mereka tidak dicela, di antara mereka adalah Abu Bakar radhiyallahu 'anhu [karena tidak ada kesombongan]".
Dan Al-Hakiim at-Tirmidzi berkata pula:
فَهَذَا الإِسْبَالُ وَالْجَرُّ لِلثَّوْبِ إِنَّمَا كُرِهَ لِلْمُخْتَالِ الْفَخُورِ. وَرُوِيَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: كُلْ مَا شِئْتَ وَالْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ اثْنَتَانِ سَرَفٌ أَوْ مَخِيلَةٌ.
Maka Isbal dan menyeret pakaian, dimakruhkannya itu bagi yang sombong dan berbangga diri.
Di riwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa dia berkata: "Makanlah apa yang engkau mau, pakailah pakaian yang engkau mau. Tidak ada yang membuatmu bersalah/berdosa, kecuali dua: berlebihan atau kesombongan". [kutipan selesai]
Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab al-‘Ilal-riwayat putranya, Abdullah-nomor 841, dia berkata: Sulaiman bin Harb memberitahu aku, Hammad bin Zaid berkata:
"أمَرَنِي أَيُّوبُ أَنْ أَقْطَعَ لَهُ قَمِيصًا قَالَ: اجْعَلْهُ يَضْرِبُ ظَهْرَ الْقَدَمِ، وَاجْعَلْ فَمَ كُمِّهِ شِبْرًا"
"Ayub [bin Abi Tamimah As-Sikhtiyani. Wafat 131 H. PEN] memerintahkanku untuk memotong sebuah jubah untuknya. Ia berkata, ‘Jadikan jubahku (sepanjang) hingga menyentuh punggung telapak kakiku. Dan jadikan lebar lengannya sejengkal."
(HR.Ahmad dalam Al-'Ilal no. 841. Sanadnya Shahih).
Ayyub bin Abi Tamimah As-Sikhtiyani [Wafat 131 H] berkata:
((يَا أَبَا عُرْوَة-هِيَ كُنْيَةُ مُعَمَّرٍ -: كَانَتْ الشُّهْرَةُ فِيمَا مَضَى فِي تَذْيِيلِهَا ، وَالشُّهْرَةُ اليَوْمَ فِي تَشْمِيرِهَا))
" Wahai Abu 'Urwah-kuniyah Mu'ammar- Ketenaran [syuhroh] di masa lalu adalah dalam meng-isbal-kannya, dan ketenaran [syuhroh] hari ini adalah dalam mencingkrangkannya."
Di riwayatkan oleh Ma'mar dalam "al-Jaami'" nya (11/84) - dan dari jalurnya oleh Abdur-Razzaq dalam "Al-Musannaf" (11/84), dan dari jalurnya juga: Ibnu Sa'ad memasukkannya ke dalam "ath-Thabaqaat" (1) (7).(248) dan Ad-Dainuuri dalam "Al-Mujaalasah" no. (1919), Abu Nu'aim dalam "Al-Hilyah" (3/7) dan Al-Bayhaqi dalam "Syu'ab al-Iimaan" (No. 6243).
Dan lafadznya dalam "al-Hilyah":
((كَانَ فِي قَمِيصُ أَيُّوب بَعْضُ التَّذييل فَقِيلَ لَهُ فَقَالَ: الشُّهْرةُ اليَوْمَ فِي التَّشْمِير))
((Dulu pada baju gamis Ayub terdapat beberapa rumbai. Maka ditanyakan kepadanya? lalu dia berkata: "Ketenaran hari ini dalam pencingkrangan baju)).
Dan seperti yang dikatakan Sufyan bin Husein [w. 150 H] kepada Umar bin Ali bin Muqaddam:
"أَ تَدْرِي مَا السَّمْتُ الصَّالِح ؟! لَيْسَ هُوَ بِحَلْقِ الشَّارِب ! ، و َلَا تَشْمِير الثَّوب ؛ وَ إِنَّما هُوَ: لزُوم طَرِيق القَوْم ، إِذَا فَعَل ذَلِك قِيلَ: قَد أَصابَ السَّمْت ، وتَدْري مَا الإقْتصَاد ؟! هُوالمشي الذي لَيس فِيهِ غُلُوّ ولا تَقْصِير".
Tahukah kamu apa yang dimaksud dengan tetap berada di jalan yang shaleh?!
Tetap berada di jalan yang sholeh itu bukanlah mencukur kumis!, dan bukan pula mencingkrangkan pakaian; yang benar itu adalah: tetap mengikuti jalannya kaum (masyarakat), maka jika dia melakukannya, maka dikatakan: Dia telah mendapatkan ketetapan berada di jalan yang sholeh.
Dan Anda tahu apa itu ekonomis [sederhana]?! Ia adalah langkah yang di dalamnya tidak berlebihan dan tidak cingkrang [kurang]".
Diriwayatkan oleh Ibn Abdil-Barr dalam at-Tamhiid (21/68) dan sanadnya adalah Shahih
Dan Syekh Ibnu Muflih menyebutkan:
وَرُوِيَ أَنَّ أَبَا حَنِيفَةَ رَحِمَهُ اللَّهُ ارْتَدَى بِرِدَاءٍ ثَمِينٍ قِيمَتُهُ أَرْبَعُمِائَةِ دِينَارٍ وَكَانَ يَجُرُّهُ عَلَى الْأَرْضِ فَقِيلَ لَهُ أَوَلَسْنَا نُهِينَا عَنْ هَذَا ؟ فَقَالَ إنَّمَا ذَلِكَ لِذَوِي الْخُيَلَاءِ وَلَسْنَا مِنْهُمْ".
Telah diriwayatkan bahwasanya Abu Hanifah mengenakan Ridaa' [mantel] yang mahal seharga 400 dinar [1 dinar = 4, 25 gram emas murni. 400 Dinar x 4, 25 gram = 1700 gram = 1, 5 M rupiah PEN.]. Dan beliau memanjangkannya hingga terseret di atas tanah.
Lalu ditanyakan kepadanya: "Bukankah kita dilarang untuk itu?"
Ia berkata: "Larangan itu hanyalah untuk yang memiliki kesombongan. Dan kami bukan termasuk dari mereka."
(Baca: Al-Adab As-Syar’iyyah 4 /226). Dan lihat pula "Al-Fataawa Al-Hindiyah" (5/333).
=====
LARANGAN ISBAL BUKAN HANYA PADA KAIN IZAAR (BAGIAN BAWAH) SAJA
Disebabkan mahalnya harga kain dan sangat bernilai nya pakaian maka larangan Isbal pada zaman Nabi ﷺ bukan saja hanya pada pakaian yang melandai hingga bawah mata kaki, melainkan larangan tsb berlaku pula pada sorban, lengan baju dan semua aksesoris tubuh yang ketika memakainya berlebihan dan disertai perasaan sombong.
Berikut ini dalil yang menunjukkan bahwa larangan Isbal itu bukan hanya pakaian yang melandai ke bawah kaki saja:
Dalil ke 1
Dari Ibnu Abu Rawwad dari Salim dari Ayahnya dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
الْإِسْبَالُ فِي الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَالْعِمَامَةِ مَنْ جَرَّ شَيْئًا خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
"Isbal itu terdapat pada kain sarung, gamis dan SORBAN. Barangsiapa menyeret sesuatu [dari kain-kain tsb] dengan sombong, niscaya Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari Kiamat kelak."
Abu Bakar berkata; "Husain bin Ali tidak menganggap asing hadits di atas."
[HR. Abu Daud (4094), an-Nasa'i (5334), dan lafadznya adalah miliknya, dan Ibn Majah (3576)]. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih an-Nasaa'i no. 5349.
Yang dimaksud dengan ISBAL/memanjangkan sorban adalah:
إطالةُ طرَفِها وعذَبَتِها عن الزِّيادةِ المعتادةِ والمعروفةِ فوقَ الكَتِفَين
" Memanjangkan ujungnya dan kuncirnya melebihi panjang yang biasa. Dan yang sudah maklum adalah sampai di atas bahu".
Dalil ke 2
Dari Asma' binti Yazid al-Anshari radhiallahu 'anha, dia berkata:
كَانَ كُمُّ قَمِيْصِ رَسُوْلِ الله - صلى الله عليه وسلم - إِلَى الرُّسْغِ.
"-Ujung- kain lengan gamisnya Rasulullah ﷺ itu sampai pada pergelangan tangan."
[HR. Abu Daud no. 4027, Tirmidzi no. 1765 dan Baihaqi no. 9666]
Abu Isa Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan ghoriib.
Dalil ke 3
Imam Bukhari juga meriwayatkan: Dan Dari Syu'bah dia berkata:
لَقِيتُ مُحَارِبَ بْنَ دِثَارٍ عَلَى فَرَسٍ وَهُوَ يَأْتِي مَكَانَهُ الَّذِي يَقْضِي فِيهِ فَسَأَلْتُهُ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ فَحَدَّثَنِي فَقَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مَخِيلَةً لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقُلْتُ لِمُحَارِبٍ أَذَكَرَ إِزَارَهُ قَالَ مَا خَصَّ إِزَارًا وَلَا قَمِيصًا
"Saya berjumpa Muharib bin Ditsar di atas kudanya, ketika ia datang di tempat untuk memutuskan suatu perkara, lalu aku bertanya tentang suatu hadits, maka dia menceritakan kepadaku, katanya; saya mendengar Abdullah bin Umar radliallahu 'anhuma berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
"Barangsiapa menyeret kainnya karena SOMBONG, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari Kiamat kelak."
Lalu tanyaku kepada Muharib: "Apakah beliau menyebutkan kain sarung?"
Dia menjawab: "Beliau tidak mengkhususkan [larangan Isbal] itu hanya pada kain sarung dan tidak pula pada Gamis saja." (HR.Bukhari no. 5345)
====
PERNYATAAN PARA ULAMA PENULIS SYARAH KITAB-KITAB HADITS
Imam Al-Nawawi menulis sebuah bab di dalam kitabnya “Riyadh Ash-Shalihin” (119) dan menamakannya:
"بَابُ : صِفَةِ الْقَمِيصِ وَالْكُمِّ وَالإِزَارِ وَطَرْفِ الْعِمَامَةِ وَتَحْرِيمِ إِسْبَالِ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ عَلَى سَبِيلِ الْخُيَلَاءِ وَكَرَاهَتِهِ مِنْ غَيْرِ خُيَلَاءِ"
"BAB: Sifat gamis, lengan baju, kain sarung, ujung sorban, dan haramnya meng isbal-kan sesuatu dari semua itu jika disertai kesombongan. Dan dimakruhkan jika tanpa kesombongan".
Ketika orang-orang mulai memakai gamis dan jubah, maka hukumnya sama seperti larangan pada Izaar/sarung.
Ibnu Bathal berkata:
" Ini adalah qiyas atau analog yang tepat, andai tidak ada nash yang menggunakan kata tsaub. Karena tsaub itu sudah mencakup semua jenis pakaian [sehingga kita tidak perlu berdalil dengan qiyas, ed]. Sedangkan adanya isbal pada imamah adalah suatu hal yang tidak bisa kita bayangkan kecuali dengan mengingat kebiasaan orang Arab yang menyeret ujung sorbannya. Sehingga pengertian isbal dalam hal ini adalah ujung sorban yang kelewat panjang melebihi umumnya panjang ujung sorban yang dibiasa dipakai di masyarakat setempat". (Lihat: Fathul Baari, 16/331)
Penulis 'Aunul Ma'buud Syarh Sunan Abi Daud (9/126) berkata:
فِي هَذَا الْحَدِيث دَلَالَة عَلَى عَدَم اِخْتِصَاص الْإِسْبَال بِالْإِزَارِ بَلْ يَكُون فِي الْقَمِيص وَالْعِمَامَة كَمَا فِي الْحَدِيث.قَالَ اِبْن رَسْلَان: وَالطَّيْلَسَان وَالرِّدَاء وَالشَّمْلَة
قَالَ اِبْن بَطَّال: وَإِسْبَال الْعِمَامَة الْمُرَاد بِهِ إِرْسَال الْعَذَبَة زَائِدًا عَلَى مَا جَرَتْ بِهِ الْعَادَة اِنْتَهَى.
وَتَطْوِيل أَكْمَام الْقَمِيص تَطْوِيلًا زَائِدًا عَلَى الْمُعْتَاد مِنْ الْإِسْبَال.
وَقَدْ نَقَلَ الْقَاضِي عِيَاض عَنْ الْعُلَمَاء كَرَاهَة كُلّ مَا زَادَ عَلَى الْمُعْتَاد فِي اللِّبَاس فِي الطُّول وَالسَّعَة كَذَا فِي النَّيْل
"Hadits ini merupakan dalil bahwa isbal tidak khusus pada kain sarung saja, bahkan juga pada gamis dan sorban sebagaimana dalam hadits. Ibnu Ruslan berkata, juga pada thailasan [kain sorban yang disampirkan di pundak], rida’ dan syamlah [kain yang dipakai untuk menutupi bagian atas badan dan dipakai dengan cara berkemul]"
Ibnu Battal berkata: "Yang dimaksud dengan Isbaal sorban adalah melandaikan rumbai sorban melebihi apa yang biasa dilakukan orang-orang".
Dan memperpanjang lengan baju lebih panjang dari kebiasaan orang-orang dalam menjulurkannya.
Al-Qadi Iyad mengutip dari para ulama bahwa segala sesuatu yang melebihi biasanya dalam pakaian, dalam kepanjangannya dan kelebarannya adalah makruh. Sebagaimana disebutkan dalam kitab Nailul Awthaar.
Al’Aini dalam ‘Umdatul Qari (31/429) menuturkan:
قَوْلُهُ: مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ يَدْخُلُ فِيهِ الإِزَارُ وَالرِّدَاءُ وَالقَمِيصُ وَالسَّرَاوِيلُ وَالجُبَّةُ وَالقَبَاءُ وَغَيْرُ ذَلِكَ مِمَّا يُسَمَّى ثَوْبًا بَلْ وَرَدَ فِي الحَدِيثِ دُخُولُ العِمَامَةِ فِي ذَلِكَ...
"Perkataan Nabi ‘barangsiapa menyeret pakaiannya‘ ini mencakup kain sarung, rida’ [selempang], gamis, sirwal, jubah, qobaa’ [jenis pakaian luar], dan jenis pakaian lain yang masih disebut sebagai pakaian. Bahkan terdapat riwayat yang memasukan sorban dalam hal ini"
Ahmad Huthaibah dalam Syarah Riyadhus Sholihiin 71/11 [المكتبة الشاملة الحديثة] berkata:
مَنْ يَقُولُ لِلْخَيَّاطِ: فَصِّلْ لِي ثَوْبًا طَوِيلًا يُجَرْجِرُ عَلَى الْأَرْضِ، كَأَنَّهُ يُرِيدُ أَنْ يَتَعَاظَمَ بِهَذَا الثَّوْبِ.
Sesorang yang berkata kepada penjahit: "Jahitkan lah untuk-ku baju tsaub yang panjang, yang ujung kainnya terseret-seret di tanah". Seakan-akan dia ingin nampak semakin agung [hebat] dengan bajunya ini.
Lalu Ahmad Huthaibah berkata:
إِذًا: الإِنسَانُ الَّذِي يَفْعَلُ ذَلِكَ عُجْبًا وَاسْتِكْبَارًا، وَمِنْ أَجْلِ أَنْ يُرِيَ النَّاسَ أَنَّهُ غَنِيٌّ وَيَمْشِي وَثَوْبُهُ عَلَى الأَرْضِ هَذَا دَاخِلٌ فِي ذَلِكَ، أَمَّا إِنْسَانٌ لَمْ يَقْصِدْ ذَلِكَ، مِثْلُ أَنْ تَشْتَرِيَ ثَوْبًا فَعِنْدَمَا لَبِسْتَهُ إِذَا هُوَ يَصِلُ إِلَى الأَرْضِ، فَأَنْتَ مَعْذُورٌ حَتَّى تُقَصِّرَ هَذَا القَمِيصَ الَّذِي لَبِسْتَهُ.
إِذًا: هُنَا فَرْقٌ بَيْنَ مَنْ تَعَمَّدَ ذَلِكَ، وَاخْتَارَ أَنْ يُجَرْجِرَ ثَوْبَهُ عَلَى الأَرْضِ، وَبَيْنَ مَنْ لَمْ يَتَعَمَّدْ ذَلِكَ.
Maka: jika orang yang melakukan hal itu dikarenakan adanya rasa ingin dikagumi dan ingin merasa besar alias takabbur, dan agar orang-orang yang melihatnya beranggapan bahwa dirinya itu kaya raya; dikarenakan dia berjalan dengan pakaiannya yang berlebihan hingga terseret-seret di tanah; maka orang ini masuk dalam ancaman yang ada dalam hadits.
Adapun orang yang tidak bermaksud demikian, seperti jika kamu membeli baju tsaub, ketika kamu memakainya, ternyata kepanjangan hingga menyentuh tanah, maka kamu dimaafkan, sehingga tidak mengharuskan dirimu untuk memperpendek baju yang kamu kenakan itu.
Jadi: inilah perbedaan antara orang yang sengaja melakukannya dan memilih untuk menyeret pakaiannya ke tanah, dan orang yang tidak sengaja melakukannya". [Selesai]
-------
DALIL BAHWA PAKAIAN PADA ZAMAN NABI ITU SANGAT BERHARGA
Berikut ini yang menunjukkan sangat berharganya kain dan pakaian pada masa Nabi ﷺ:
PERTAMA: HAK SALAB PAKAIAN MUSUH DALAM PERANG BAGI PARA MUJAHID
Dalam peperangan, pakaian yang melekat pada tubuh masing-masing musuh adalah SALAB bagi pejuang muslim yang mengalahkannya atau membunuhnya.
Makna SALAB:
SALAB adalah Apa yang diambil seorang pejuang Muslim dari orang kafir yang kalah atau mati terbunuh dalam medan perang. Yaitu apa yang ada padanya dari pakaian dan alat-alat perang, dan dari kendaraannya yang dia bertempur dengannya, dan apa yang ada padanya dari pelana dan tali kekang.
Perbedaan antara Salab dan Ghanimah padahal sama-sama harta rampasan perang: Kalau Salab, pejuang muslim yang mendapatkannya, dia berhak langsung memilikinya. Berbeda dengan ghanimah, maka harus melalui proses pembagian sesuai dengan yang di tentukan dalam ayat al-Ghanimah.
Dari Abu Qatadah ia berkata, Rosulullah ﷺ bersabda:
مَن قَتَلَ قَتِيلًا له عليه بَيِّنَةٌ فَلَهُ سَلَبُهُ
"Barangsiapa yang membunuh (musuh) dan mempunyai bukti atas pembunuhannya, maka ia berhak mendapatkan salab (hak harta salab) orang yang dibunuhnya." [HR. Bukhori no. 3142 dan Muslim no. 1751].
Dalam Shahih Bukhori di riwayatkan dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata:
لَمَّا كَانَ يَوْمَ بَدْرٍ أُتِيَ بِأُسَارَى، وَأُتِيَ بِالْعَبَّاسِ وَلَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ ثَوْبٌ، فَنَظَرَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لَهُ قَمِيصًا فَوَجَدُوا قَمِيصَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أُبَىٍّ يَقْدُرُ عَلَيْهِ، فَكَسَاهُ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إِيَّاهُ، فَلِذَلِكَ نَزَعَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم قَمِيصَهُ الَّذِي أَلْبَسَهُ. قَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ كَانَتْ لَهُ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم يَدٌ فَأَحَبَّ أَنْ يُكَافِئَهُ
Ketika hari (perang) Badar, tawanan perang dibawa termasuk diantara mereka adalah Al-Abbas [paman Nabi ﷺ yang saat itu ikut bersama pasukan musyrikin Quraisy] dalam keadaan tidak pakai baju [karena baju nya di salab oleh sahabat yang menawannya].
Maka Nabi ﷺ mencarikan baju Gamish untuknya. Para sahabat mendapati bahwa kemeja ʻAbdullah bin Ubai seukuran dengan nya, maka Nabi ﷺ memakainkan al-Abbas dengan qamish tsb.
Itulah alasan mengapa Nabi ﷺ melepas dan memberikan bajunya sendiri kepada ʻAbdullah.
(Ibnu ‘Uyaynah berkata, " Karena Dia (Abdullah bin Ubay) telah melakukan kebaikan bagi Nabi ﷺ maka Nabi ﷺ berkeinginan untuk membalasnya. (HR. Bukhori no. 3008 dan Muslim no. 2773)
KEDUA: HADITS YANG MENUNJUKKAN SEDIKITNYA PAKAIAN NABI ﷺ
Imam Bukhori meriwayatkan dari Sahal bin Sa'ad radliallahu 'anhu berkata:
أَنَّ امْرَأَةً، جَاءَتِ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم بِبُرْدَةٍ مَنْسُوجَةٍ فِيهَا حَاشِيَتُهَا ـ أَتَدْرُونَ مَا الْبُرْدَةُ قَالُوا الشَّمْلَةُ. قَالَ نَعَمْ. قَالَتْ نَسَجْتُهَا بِيَدِي، فَجِئْتُ لأَكْسُوَكَهَا. فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مُحْتَاجًا إِلَيْهَا، فَخَرَجَ إِلَيْنَا وَإِنَّهَا إِزَارُهُ، فَحَسَّنَهَا فُلاَنٌ فَقَالَ اكْسُنِيهَا، مَا أَحْسَنَهَا. قَالَ الْقَوْمُ: مَا أَحْسَنْتَ، لَبِسَهَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مُحْتَاجًا إِلَيْهَا، ثُمَّ سَأَلْتَهُ وَعَلِمْتَ أَنَّهُ لاَ يَرُدُّ. قَالَ إِنِّي وَاللَّهِ مَا سَأَلْتُهُ لأَلْبَسَهَا إِنَّمَا سَأَلْتُهُ لِتَكُونَ كَفَنِي. قَالَ سَهْلٌ فَكَانَتْ كَفَنَهُ.
Ada seorang wanita mendatangi Nabi ﷺ dengan membawa kain burdah yang pinggirnya berjahit.
(Sahal) berkata: "Tahukah kamu apa yang dimaksud dengan burdah?" Mereka menjawab: "Bukankah itu kain selimut?". Dia berkata: "Ya benar".
Wanita itu berkata: "Aku menjahitnya dengan tanganku sendiri, dan aku datang untuk memakaikannya kepada engkau".
Maka Nabi ﷺ mengambilnya karena Beliau memerlukannya. Kemudian Beliau menemui kami dengan mengenakan kain Burdah tersebut sebagai sarungnya.
Diantara kami ada seseorang yang tertarik dengan kain tersebut lalu berkata:
"Wahai Rasulullah, pakaikanlah kain itu untukku, Alangkah bagusnya kain itu".
Orang-orang berkata kepada orang itu: "Betapa bagusnya apa yang anda lakukan, Nabi ﷺ memakai nya dalam keadaan sedang membutuhkannya, lalu Anda memintanya dan Anda tahu bahwa beliau tidak akan menolak permintaan seseorang".
Orang itu menjawab: "Demi Allah, sungguh aku tidak memintanya untuk aku pakai. Sesungguhnya aku memintanya untuk aku jadikan sebagai kain kafanku".
Sahal berkata: "Akhirnya kain Burdah itu benar-benar jadi kain kafannya".
[HR. Bukhori no. 1198]
Di sebutkan dalam kitab-kitab yang mensyarahi hadits ini:
لِأَنَّ الإِزَارَ الَّذِي كَانَ يَلْبَسُهُ ﷺ مُرَقَّعًا، فَاحْتَاجَ النَّبِيُّ ﷺ لِلِّبَاسٍ وَلَيْسَ عِنْدَهُ مَا يَشْتَرِي بِهِ، فَأَتَتْهُ الْمَرْأَةُ بِهَذِهِ الْهَدِيَّةِ، فَلَبِسَهَا وَخَرَجَ إِلَيْهِمْ.
" Karena pada saat itu kain sarung yang biasa Baliau ﷺ pakai penuh dengan tambal sulam, maka Nabi ﷺ sangat membutuhkan pakaian, sementara beliau tidak punya apa-apa untuk membelinya, maka wanita itu membawakannya sebagai hadiah untuknya. Lalu beliau memakainya dan keluar menemui mereka [para sahabatnya]".
KETIGA: KISAH SAHABAT YANG HANYA PUNYA SATU PAKAIAN
Imam Bukhori meriwayatkan dari Sahal bin Saad radhiallahu’anhu berkata:
جَاءَتْ امْرَأَةٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَتْ جِئْتُ أَهَبُ نَفْسِي فَقَامَتْ طَوِيلًا فَنَظَرَ وَصَوَّبَ فَلَمَّا طَالَ مُقَامُهَا فَقَالَ رَجُلٌ زَوِّجْنِيهَا إِنْ لَمْ يَكُنْ لَكَ بِهَا حَاجَةٌ قَالَ عِنْدَكَ شَيْءٌ تُصْدِقُهَا قَالَ لَا قَالَ انْظُرْ فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ وَاللَّهِ إِنْ وَجَدْتُ شَيْئًا قَالَ اذْهَبْ فَالْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ قَالَ لَا وَاللَّهِ وَلَا خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ وَعَلَيْهِ إِزَارٌ مَا عَلَيْهِ رِدَاءٌ فَقَالَ أُصْدِقُهَا إِزَارِي فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ إِزَارُكَ إِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ وَإِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ فَتَنَحَّى الرَّجُلُ فَجَلَسَ فَرَآهُ النَّبِيُّ ﷺ مُوَلِّيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ فَقَالَ مَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ قَالَ سُورَةُ كَذَا وَكَذَا لِسُوَرٍ عَدَّدَهَا قَالَ قَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ
Seorang wanita datang kepada Nabi ﷺ dan berkata:
"Saya datang kepada anda untuk menghibahkan diriku kepada anda "
Beliau ﷺ lalu berdiri lama dan menelitinya dengan seksama, ketika beliau berdiri lama seorang laki-laki berkata:
‘Wahai Rosulallah, jika anda tidak berkenan dengannya, maka nikahkanlah aku dengannya.’
Rosulallah ﷺ bertanya kepada laki-laki tersebut: ‘Apakah kamu mempunyai sesuatu yang dapat dijadikan mahar untuknya? ‘
Laki-laki itu menjawab: ‘Tidak.‘
Beliau bersabda: ‘Carilah terlebih dahulu.’
Lalu laki-laki itu pergi, sesaat kemudian dia kembali dan berkata: ‘Demi Allah, aku tidak mendapatkan sesuatupun'.
Beliau bersabda: ‘Pergi dan carilah lagi walaupun hanya dengan cincin dari besi.’
Kemudian laki-laki itu pergi, tidak berapa lama dia kembali sambil berkata: ‘Aku tidak mendapatkan apa-apa walau cincin dari besi.‘
Saat itu laki-laki tersebut tengah mengenakan kain sarung, lantas dia berkata:
‘Aku akan menjadikan kain sarung ini sebagai mahar.’
Maka Nabi ﷺ bersabda: ‘Jika kamu memakaikan kain sarung itu padanya, maka kamu tidak memakai apa-apa, sementara jika kamu yang memakai sarung tersebut, dia tidak memakai apa-apa.‘
Laki-laki itu duduk termenung. Ketika Nabi ﷺ melihat nya berpaling, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggilnya, lalu dipanggilah laki-laki tersebut.
Dan beliau bertanya: ‘Apakah kamu mempunyai hafalan dari Al Qur’an? ‘
Laki-laki itu menjawab: ‘Ya, saya telah hafal surat ini dan ini.’
Lalu beliau ﷺ bersabda: ‘Maka aku nikahkan kamu dengan wanita itu, dengan mahar apa yang telah engkau hafal dari surat Al Qur’an'." [HR. Bukhori no. 5422 dan Muslimno. 1425].
KEEMPAT: DZU RUQ'ATAIN, PRIA YANG HANYA MEMILIKI PAKAIAN DUA HELAI KAIN TAMBALAN
Ibnu Quddaamah menyebutkan dalam al-Mughni 7/139:
وروى أبو حفص ، بإسناده عن محمد بن سيرين ، قال:
قدم مكة رجل ، ومعه إخوة له صغار ، وعليه إزار ، من بين يديه رقعة ، ومن خلفه رقعة ، فسأل عمر ، فلم يعطه شيئا ، فبينما هو كذلك إذ نزغ الشيطان بين رجل من قريش وبين امرأته فطلقها ، فقال لها: هل لك أن تعطي ذا الرقعتين شيئا ، ويحلك لي ؟ قالت: نعم إن شئت فأخبروه بذلك. قال: نعم ، وتزوجها ، ودخل بها. فلما أصبحت أدخلت إخوته الدار. فجاء القرشي يحوم حول الدار ، ويقول: يا ويله ، غلب على امرأته ، فأتى عمر ،
وَرَوَى أَبُو حَفْصٍ، بِإِسْنَادِهِ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِين، قَالَ:
قَدِمَ مَكَّةَ رَجُلٌ، وَمَعَهُ إِخْوَةٌ لَهُ صِغَارٌ، وَعَلَيْهِ إِزَارٌ، مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ رُقْعَةٌ، وَمِنْ خَلْفِهِ رُقْعَةٌ، فَسَأَلَ عُمَرَ، فَلَمْ يُعْطِهِ شَيْئًا، فَبَيْنَمَا هُوَ كَذَلِكَ إِذْ نَزَغَ الشَّيْطَانُ بَيْنَ رَجُلٍ مِنْ قُرَيْشٍ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ فَطَلَّقَهَا، فَقَالَ لَهَا: هَلْ لَكِ أَنْ تُعْطِي ذَا الرُّقْعَتَيْنِ شَيْئًا، وَيُحِلَّكِ لِي؟ قَالَتْ: نَعَمْ إِنْ شِئْتَ. فَأَخْبَرُوهُ بِذَلِكَ. قَالَ: نَعَمْ، وَتَزَوَّجَهَا، وَدَخَلَ بِهَا. فَلَمَّا أَصْبَحَتْ أَدْخَلَتْ إِخْوَتَهُ الدَّارَ. فَجَاءَ الْقُرَشِيُّ يَحُومُ حَوْلَ الدَّارِ، وَيَقُولُ: يَا وَيْلَهُ، غَلَبَ عَلَى امْرَأَتِهِ. فَأَتَى عُمَرَ،
فَقَالَ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، غَلَبَ عَلَى امْرَأَتِي. قَالَ: مَنْ غَلَبَكَ؟ قَالَ: ذُو الرُّقْعَتَيْنِ. قَالَ: أَرْسِلُوا إِلَيْهِ. فَلَمَّا جَاءَ الرَّسُولُ، قَالَتْ لَهُ الْمَرْأَةُ: كَيْفَ مَوْضِعُكَ مِنْ قَوْمِكَ؟ قَالَ: لَيْسَ بِمَوْضِعِي بَأْسٌ. قَالَتْ: إِنَّ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ يَقُولُ لَكَ: طَلِّقْ امْرَأَتَكَ. فَقُلْ: لَا، وَاللهِ لَا أُطَلِّقُهَا. فَإِنَّهُ لَا يُكْرِهُكَ. وَأَلْبَسَتْهُ حُلَّةً، فَلَمَّا رَآهُ عُمَرُ مِنْ بَعِيدٍ، قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي رَزَقَ ذَا الرُّقْعَتَيْنِ. فَدَخَلَ عَلَيْهِ، فَقَالَ: أَتُطَلِّقُ امْرَأَتَكَ؟ قَالَ: لَا، وَاللهِ لَا أُطَلِّقُهَا. قَالَ عُمَرُ: لَوْ طَلَّقْتَهَا لَأَوْجَعْتُ رَأْسَكَ بِالسَّوْطِ.
Dan Abu Hafs meriwayatkan, dengan sanadnya, dari Muhammad bin Sirin, dia berkata:
Seorang pria datang ke Mekah, dan bersamanya adalah adik-adiknya, dan dia mengenakan pakaian, dengan tambalan di depannya., dan di belakangnya ada tambalan [kemudian dia dikenal dengan DZU RUQ'TAIAN = manusia dua kain penuh tambalan. Dia sangat miskin PEN].
Maka dia meminta bantuan kepada Umar, namun dia tidak memberinya apa-apa. Ketika dia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba terjadi pertengkaran antara seorang pria Quraisy dan istrinya, lalu dia menceraikannya [talak ke tiga].
Setelah itu suaminya menyesal dan ingin kembali lagi. Maka dia berkata kepada mantan istrinya: Apakah kamu punya sesuatu yang bisa di berikan kepada DZU RUQ'ATAIN, agar dia bisa menghalalkan mu untuk ku?
Dia [mantan istrinya] berkata: Ya, jika Anda mau, maka silahkan antum kabarkan itu padanya.
Dia berkata: Ya.
Maka Dzu Ruq'atain pun menikahinya dan menggaulinya.
Maka keesokan harinya suadara-saudara Dzu Ruq'tain berdatangan memasuki rumahnya.
Maka datanglah mantan suami dari Quraisy itu mengitari rumah itu sambil berkata:
" Aduuh, Celakalah dia! Dia telah menaklukkan istrinya".
Maka dia datang mengadu kepada Umar. Dia berkata: Wahai Amirul Mukminin, seseorang telah menguasai istriku.
Dia berkata: Siapa yang menguasainya?
Dia berkata: Dzul-Ruq'atain.
Umar berkata: Kalian bawa dia di kesini !.
Ketika Utusan datang, istrinya itu bertanya kepada Dzu Ruq'atain: "Bagaimana kedudukanmu di antara kaummu?".
Dzu Ruq'atain menjawab: "Kedudukan ku lumayan".
Istrinya berkata: Jika Amirul Mukminin berkata kepadamu: "Ceraikan istrimu!", maka kamu jawab: Tidak, demi Allah, saya tidak akan menceraikannya. Dia tidak akan memaksa mu".
Istrinya mendandaninya dengan pakain yang bagus, dan ketika Umar melihatnya dari jauh dia berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rizki kepada Dzu Ruq'atain".
Maka Dzu Ruq'atain masuk kepadanya. Lalu Umar berkata: Apakah kamu hendak menceraikan istrimu?
Dia berkata: Tidak, demi Allah, saya tidak akan menceraikannya.
Umar berkata: Jika kau menceraikannya, aku akan mencambuk kepalamu dengan cambuk.
Dan diriwayatkan oleh Saeed, dari Hasyim, dari Yunus bin Ubaid, dari Ibnu Sirin, serupa dengan ini.
KELIMA: ADA SEBAGIAN PARA SAHABAT YANG TIDAK MAU MEMAKAI PAKAIAN BAGUS KARENA TAKUT ADA RASA SOMBONG
Diantara nya:
Ibnu Umar pernah menolak memakai pakaian yang terbuat dari kapas karena khawatir diselinapi kesombongan.
Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dengan sanadnya hingga Hilal bin Khabab dari Qoza’ah yang berkata:
رأيت على ابن عمر ثيابا خشِنة أو جَشبة ، فقلت له: إني قد أتيتك بثوب لَـيِّن مما يُصْنَع بخراسان وتَقَرّ عيناي أن أراه عليك. قال: أرنيه ، فلمسه ، وقال: أحرير هذا ؟ قلت: لا ، إنه من قطن. قال: إني أخاف أن ألبسه ، أخاف أكون مختالا فخورا: (وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ).
"Aku melihat ibnu Umar mengenakan pakaian-pakaian yang kasar. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Aku datang kepadamu dengan membawa pakaian yang halus, yang diproduksi di Khurasan. Dan kurasa aku akan merasa senang jika melihatmu mengenakannya.’ Ia berkata, ‘Perlihatkan kepadaku.’ Lalu ia menyentuhnya dan bertanya, ‘Suterakah ini?’ Kujawab, ‘Bukan, ini dari kapas.’
Ibnu Umar berkata, ‘Sungguh aku takut untuk memakainya, aku takut menjadi orang yang angkuh dan menyombongkan diri.’"
(وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ)
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri [QS. Al-Hadid: 23] (Baca: Siyar A'lam an-Nubalaa' 3/223, 234.
Atsar ini diriwayatkan oleh Abu Nu'aim dalam Hilyatul Awliyaa 1/302 dan para perawi nya tsiqoot/dipercaya kecuali Hilal bi Khobaab telah berubah hafalannya pada masa menjelang akhir usianya.
Setelah menyebutkan hadits ini Imam adz-Dzahabi berkata:
قُلْتُ: كُلُّ لِبَاسٍ أَوْجَدَ فِي الْمَرْءِ خُيَلَاءَ وَفَخْرًا فَتَرَكَهُ مُتَعَيِّنًا وَلَوْ كَانَ مِنْ غَيْرِ ذَهَبٍ وَلَا حَرِيرٍ.
Aku berkata: Setiap pakaian yang menimbulkan kesombongan dan kebanggaan pada diri seseorang, maka meninggalkannya itu adalah sebuah keharusan, meskipun tidak terbuat dari emas dan tidak pula dari sutra". [Siyar A'lam an-Nubalaa' 3/223, 234].
Riwayat ini juga menunjukkan bahwa perhatian shahabat dalam masalah berpakaian diantaranya yang terpenting adalah penggunaannya yang membuat hati tidak menimbulkan kesombongan.
========
ARGUMENTASI KE ENAM:
NABI ﷺ MELARANG MEMAKAI PAKAIAN SYUHROH [BIKIN TENAR] DAN PAKAIAN KHUYALAA [ADA KESOMBONGAN]
Jadi yang dilarang itu bukan hanya ISBAAL saja, melainkan semua pakaian dan cara berpakaian yang disertai rasa sombong, angkuh dan rasa ingin tenar dengannya.
Berikut ini hadits-hadits yang berkenaan dengan hal tersebut:
HADITS KE 1:
Hadits Ibnu Umar RA, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
(مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)
"Barang siapa memakai pakaian syuhroh (pakaian yang dengannya agar terkenal) di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian yang menghinakan di hari Kiamat".
(HR. Abu Daud No. 4029), an-Nasaa’i dlm "السنن الكبرى" 5/460, Ibnu Majah No. 3606, Imam Ahmad dalam al-Musnad 2/92 dan lainnya. Hadits ini di Hasankan oleh Syeikh al-Baani dan Syu'aib al-Arna’uth).
Al-Imam as-Sarkhosi al-Hanafi dalam kitabnya "المبسوط" 30/268 berkata:
وَالْمُرَادُ أَنْ لَا يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ مِنَ الْحُسْنِ وَالْجَودَةِ فِي الثِّيَابِ عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ، أَوْ يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ مِنَ الثِّيَابِ الْخَلِقِ الْقَدِيمِ الْبَالِيَ عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ، فَإِنَّ أَحَدَهُمَا يَرْجِعُ إِلَى الْإِسْرَافِ وَالْآخَرُ يَرْجِعُ إِلَى التَّقْتِيرِ، وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا.
" Dan yang di maksud adalah jangan memakai pakaian yang paling bagus dan paling berkwalitas dengan tujuan agar jari-jari manusia menunjukkan padanya. Atau memakai pakaian yang paling jelek lapuk dengan tujuan agar jari-jari manusia menunjukkan padanya. Maka sesungguhnya salah satunya itu disebabkan berlebihan, sementara yang kedua karena terlalu pelit, dan sebaik-baiknya semua perkara adalah tengah-tengahnya". (Selesai)
HADITS KE 2:
Hadits Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
(كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ)
" Makan lah kalian, bersedekahlah kalian dan berpakainlah kalian dalam keadaan tidak berlebihan dan tidak ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya (alias pamer)".
(HR. Bukhori dalam Shahihnya, kitab al-Libaas, secara Mu'allaq dengan Shighah Jazem. Dan diriwayatkan An-Nasaa’i No. 2559 dengan sanadnya. Dan di hasankan oleh Syeikh al-Baani dalam Shahih an-Nasaa’i).
HADITS KE 3:
Dari Abu Dzar رَضِيَ اللَّهُ عَنْه, dari Nabi ﷺ bersabda:
مَا مِنْ عَبْدٍ لَبِسَ ثَوْبَ شَهْرَةٍ إِلَّا أَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى يَنْزِعَهُ، وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ حَبِيبًا.
"Tidaklah seorang hamba yang memakai pakaian syuhrah (ketenaran) kecuali Allah akan berpaling dari manusia tersebut hingga ia melepaskannya, meskipun dia itu kekasih di sisi-Nya".
(HR Ibnu Majah.
Zainuddin al-Iraqi berkata dalam al-Mughni 'an
Hamli al-Asfar halaman 1588 nomor 4:
رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ
مِنْ حَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ دُونَ قَوْلِهِ «وَإِنْ كَانَ عِنْدَهُ
حَبِيبًا».
"Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari hadits Abu Dzar dengan isnad yang baik, tanpa lafadz ' meskipun dia itu kekasih di sisi-Nya'."
HADITS KE 4:
Dari Mua’adz bin Anas رَضِيَ اللَّهُ عَنْه, bahwasanya Nabi ﷺ bersabda:
«مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الْإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا»
Barangsiapa yang meninggalkan (menjauhkan diri dari) suatu pakaian (yang mewah) dalam rangka tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, padahal dia mampu (untuk membelinya/memakainya), maka pada hari kiamat nanti Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluq, lalu dia dipersilahkan untuk memilih perhiasan/pakaian (yang diberikan kepada) orang beriman, yang mana saja yang ingin dia pakai" (HR. At Tirmidzi no. 2405 9/21, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam "Shahih Al-Jaami’ No. 6145)
---------
ATSAR PARA SAHABAT, TABI’IIN DAN TABI’T TABI’IIN:
Atsar Ibnu Abbas RA, dia berkata:
"كُلْ مَا شِئْتَ وَالْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ اثْنَتَانِ سَرَفٌ أَوْ مَخِيلَةٌ".
"Makan lah sesuka mu dan berpakaianlah sesukamu, tidak ada yang menyalahkanmu kecuali dua gaya: berlebihan dan ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya (alias pamer)".
(((HR. Bukhori dalam Shahihnya, kitab al-Libaas, secara Mu'allaq dengan Shighah Jazem, Kitab al-Libaas (77) )) . Dan di Riwayatkan dengan Sanad maushul oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 5/171.
Atsar Ibnu Umar رضي الله عنهما:
Ibnu Umar pernah menolak memakai pakaian yang terbuat dari kapas karena khawatir diselinapi kesombongan.
Imam adz-Dzahabi meriwayatkan dengan sanadnya hingga Hilal bin Khabab dari Qoza’ah yang berkata:
رَأَيْتُ عَلَى ابْنِ عُمَرَ ثِيَابًا خَشِنَةً أَوْ جَشْبَةً، فَقُلْتُ لَهُ: إِنِّي قَدْ أَتَيْتُكَ بِثَوْبٍ لَيِّنٍ مِمَّا يُصْنَعُ بِخُرَاسَانَ وَتَقَرُّ عَيْنَيَّ أَنْ أَرَاهُ عَلَيْكَ. قَالَ: أُرِنِيهِ، فَلَمَّسَهُ، وَقَالَ: أَحَرِيرٌ هَذَا؟ قُلْتُ: لَا، إِنَّهُ مِنْ قُطْنٍ. قَالَ: إِنِّي أَخَافُ أَنْ أَلْبِسَهُ، أَخَافُ أَكُونَ مُخْتَالًا فَخُورًا. (وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ).
"Aku melihat ibnu Umar mengenakan pakaian-pakaian yang kasar. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Aku datang kepadamu dengan membawa pakaian yang halus, yang diproduksi di Khurasan. Dan kurasa aku akan merasa senang jika melihatmu mengenakannya.’ Ia berkata, ‘Perlihatkan kepadaku.’
Lalu ia menyentuhnya dan bertanya, ‘Suterakah ini?’ Kujawab, ‘Bukan, ini dari kapas.’
Ibnu Umar berkata, ‘Sungguh aku takut untuk memakainya, aku takut menjadi orang yang angkuh dan menyombongkan diri.’" [Lalu dia menyebutkan firman Allah SWT:]
(وَاللَّهُ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ)
Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri [QS. Al-Hadid: 23]
(Baca: Siyar A'lam an-Nubalaa' 3/223. Dan lihat pula Hilyatul Awliyaa 1/302)
----------
DAN BERIKUT INI KUTIPAN ATSAR-ATSAR DARI KITAB "صيد الفوائد":
1. Dari Syahr bin Hausyab (W. 111 H), berkata:
“مَنْ رَكِبَ مَشْهُوْراً مِنَ الدَّوَابِّ، وَلَبِسَ مَشْهُوْراً مِنَ الثِّيَابِ، أَعْرَضَ اللهُ عَنْهُ، وَإِنْ كَانَ كَرِيْماً "
“Barang siapa menunggangi kendaraan masyhur dan pakaian masyhur, maka Allah berpaling darinya meskipun dia seorang yang dermawan”. [Baca سير أعلام النبلاء 4/375]
Al-Imam al-Baihaqi berkata:
كُلُّ شَيْءٍ صَيَّرَ صَاحِبَهُ شَهْرَةً، فَحَقُّهُ أَنْ يَجْتَنِبَ.
" Segala sesuatu yang mengantarkan dirinya pada pada Syuhroh (terkenal), maka hak dia adalah dijauhi".
2. Dari Buraidah bin al-Hushoib, berkata:
شَهِدْتُ خَيْبَرَ، وَكُنْتُ فِي مَنْ صَعِدَ الثُّلْمَةَ، فَقَاتَلْتُ حَتَّى رَأَيْتُ مَكَانِي، وَعَلَى ثَوْبٍ أَحْمَرَ، فَمَا أَعْلَمُ أَنِّي رَكِبْتُ فِي الْإِسْلَامِ ذَنْبًا أَعْظَمَ عَلَيَّ مِنْهُ. أَيُّ الشَّهْرَةِ.
" Waktu itu aku ikut serta perang Khaibar, dan aku termasuk orang yang mendaki "الثُّلْمَة" (Takik = celah antara dua dinding pada balkon benteng), lalu aku pun bertempur sehingga posisi ku nampak terlihat karena aku mengenakan baju merah, maka sepengetahuanku tidak ada dosa yang telah aku perbuat yang lebih besar darinya. Yakni pakai baju yang membuat dirinya jadi terkenal".
Takik / Tsulmah (celah antara dua dinding pada balkon benteng)
3. Dari Sufyan ats-Tsaury, berkata:
إِيَّاكَ وَالشَّهْرَةَ؛ فَمَا أَتَيْتُ أَحَدًا إِلَّا وَقَدْ نَهَى عَنِ الشَّهْرَةِ.
Waspadalah terhadap popularitas, maka tidak sekali-kali aku mendatangi seseorang kecuali dia telah melarang popularitas".
4. Ibrahim bin Adham berkata:
مَا صَدَقَ اللَّهُ عَبْدٌ أَحَبَّ الشَّهْرَةَ.
"Seorang hamba yang cinta popularitas, tidak percaya Allah".
5. Ayyub as-Sakhtiyani berkata:
مَا صَدَقَ عَبْدٌ قَطُّ، فَأَحَبَّ الشَّهْرَةَ.
" Tidak sekali-kali seorang hamba tidak percaya kepada Allah, melainkan dia mencintai popularitas".
6. Bisyer bin al-Haarits berkata:
مَا اتَّقَى اللَّهَ مَنْ أَحَبَّ الشَّهْرَةَ.
"Seorang hamba yang cinta popularitas, tidaklah bertaqwa kepada Allah".
*********
PENDAPAT KEDUA:
HARAM NYA ISBAL DAN MELANDAIKAN PAKAIANNYA HINGGA TERSERET-SERET, MESKI TANPA KESOMBONGAN
Ini adalah pendapat madzhab Zhahiriyyah.
Dan ini pendapat yang dipilih Al-Qadhi ‘Iyadh. Dan dipilih pula oleh al-Qorroofi, Ibnu al-Arabi dan Ibnu Abdil Barr dari Madzhab Maliki. Dan juga oleh Adz-Dzahabi dan al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalaani dari Madzhab Syafi'i. Dan di pilih oleh ash-Shon'aani.
Dan ini adalah salah satu riwayat dari Imam Ahmad, namun yang masyhur darinya adalah Mubah/boleh. Ibnu Muflih berkata: ‘Imam Ahmad berkata: 'Yang panjangnya di bawah mata kaki tempatnya adalah neraka, tidak boleh menyeret sedikitpun bagian dari pakaian melebihi itu'. Perkataan ini dzahirnya adalah pengharaman’ (Al-Adab Asy Syar'iyyah 3/492).
Adapun dari kalangan para ulama Mu'aashirin adalah Syaikh Bin Baaz, Syeikh Al-Albani, Syeikh Ibnu ‘Utsaimin.
PERNYATAAN AL-QORROOFII AL-MAALIKI [W. 684]:
Syekh Al-Qarafi mengatakan:
يَحْرُمُ عَلَى الرَّجُلِ أَنْ يُجَاوِزَ بِثَوْبَيْهِ الْكَعْبَيْنِ
"Haram bagi laki-laki melebihkan kedua pakaiannya melewati kedua mata kaki" (Lihat: Adzakhirah karya Al-Qarafi 13/265).
PERNYATAAN IBNU AL-'ARABI AL-MAALIKI:
Ibnu al-'Arabi berkata:
لَا يَجُوز لِلرَّجُلِ أَنْ يُجَاوِز بِثَوْبِهِ كَعْبه ، وَيَقُول: لَا أَجُرّهُ خُيَلَاء ، لِأَنَّ النَّهْي قَدْ تَنَاوَلَهُ لَفْظًا ، وَلَا يَجُوز لِمَنْ تَنَاوَلَهُ اللَّفْظ حُكْمًا فَيُقَال إِنَّي لَسْتُ مِمَّنْ يَمْتَثِلُه لِأنَّ الْعِلَّة لَيْسَتْ فِيَّ ، فَإِنَّهُ مُخَالِفَةٌ للشَّرِيْعَة ، ودَعْوَى لاَ تُسَلَّمُ له ، بَلْ مِنْ تَكَبُّرِه يُطِيْلُ ثَوْبَه وَإِزَارَه فكِذْبُه مَعْلُوْمٌ فِيْ ذلَكَ قطعًا " انتهى
Tidak diperbolehkan bagi seorang pria untuk melandaikan pakaiannya ke bawah melewati mata kaki sambil berkata: "Aku tidak menyeretnya dengan sombong". Kenapa? Karena larangan tsb mencakup ucapan [kesombongan] dan mencakup pula illat nya [penyebabnya].
Dan tidak diperbolehkan dengan ucapan secara hukum, lalu di katakan: bahwa saya bukan termasuk orang yang melakukannya [yakni kesombongan]; karena illat nya [sebabnya] tidak ada dalam diri ku ", karena yang demikian itu melanggar syariah.
Dan [ungkapan] itu adalah dakwa'an yang tidak bisa diterima, melainkan kesombongannya itu adalah dengan memanjangkan pakaiannya dan izaarnya, maka kebohongan dalam perkataannya itu diketahui secara pasti." [Baca: عارضة الأحوذي 7/238. Lihat pula Fathul Baari 10/264]
PERNYATAAN AL-HAAFIDZ IBNU HAJAR
Al-Haafidz Ibn Hajar al-Asqalani Rahimahullah dalam Fathul Bari 10/264 mengutip perkataan Ibnu al-Arabi yang diatas lalu mengomentarinya dengan mengatakan:
وَحَاصِلُهُ : أَنَّ الْإِسْبَالَ يَسْتَلْزِمُ جَرَّ الثَّوْبِ وَجَرُّ الثَّوْبِ يَسْتَلْزِمُ الْخُيَلَاءَ وَلَوْ لَمْ يَقْصِدِ اللَّابِسُ الْخُيَلَاءَ وَيُؤَيِّدُهُ مَا أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ بن منيع من وَجه آخر عَن بن عُمَرَ فِي أَثْنَاءِ حَدِيثٍ رَفَعَهُ وَإِيَّاكَ وَجَرَّ الْإِزَارِ فَإِنَّ جَرَّ الْإِزَارِ مِنَ الْمَخِيلَةِ .
وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ مِنْ حَدِيثِ أَبِي أُمَامَةَ بَيْنَمَا نَحْنُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ إِذْ لَحِقَنَا عَمْرُو بْنُ زُرَارَةَ الْأَنْصَارِيُّ فِي حُلَّةٍ إِزَارٍ وَرِدَاءٍ قَدْ أَسْبَلَ فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَأْخُذُ بِنَاحِيَةِ ثَوْبه ويتواضع لله وَيَقُول عَبدك وبن عَبْدِكَ وَأَمَتِكَ حَتَّى سَمِعَهَا عَمْرٌو فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي حَمْشُ السَّاقَيْنِ فَقَالَ يَا عَمْرُو إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ يَا عَمْرُو إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُسْبِلَ الْحَدِيثَ وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ مِنْ حَدِيثِ عَمْرٍو نَفْسِهِ لَكِنْ قَالَ فِي رِوَايَتِهِ عَنْ عَمْرِو بْنِ فُلَانٍ .
وَأَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ أَيْضًا فَقَالَ عَنْ عَمْرِو بْنِ زُرَارَةَ وَفِيهِ وَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِأَرْبَعِ أَصَابِعَ تَحْتَ رُكْبَةِ عَمْرٍو فَقَالَ يَا عَمْرُو هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ ثُمَّ ضَرَبَ بِأَرْبَعِ أَصَابِعَ تَحْتَ الْأَرْبَعِ فَقَالَ يَا عَمْرُو هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ الْحَدِيثَ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ وَظَاهِرُهُ أَنَّ عَمْرًا الْمَذْكُورَ لَمْ يَقْصِدْ بِإِسْبَالِهِ الْخُيَلَاءَ وَقَدْ مَنَعَهُ مِنْ ذَلِكَ لِكَوْنِهِ مَظِنَّةً.
وَأَخْرَجَ الطَّبَرَانِيُّ مِنْ حَدِيثِ الشَّرِيدِ الثَّقَفِيِّ قَالَ أَبْصَرَ النَّبِيُّ ﷺ رَجُلًا قَدْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فَقَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَقَالَ إِنِّي أَحْنَفُ تَصْطَكُّ رُكْبَتَايَ قَالَ ارْفَعْ إِزَارَكَ فَكُلُّ خَلْقِ اللَّهِ حَسَنٌ وَأَخْرَجَهُ مُسَدّد وَأَبُو بكر بن أبي شيبَة من طرق عَن رجل من ثَقِيف لم يسم وَفِي آخِره ذَاكَ أَقْبَحُ مِمَّا بِسَاقَيْكَ انتهى .
(Kesimpulannya: Bahwa isbaal itu mengharuskan menyeret pakaian, dan menyeret pakaian mengharuskan kesombongan, meskipun pemakainya tidak bermaksud sombong. Hal ini didukung oleh apa yang diriwayatkan Ahmad bin Manii' dari sisi jalur lain dari Ibnu Umar dalam sebuah hadits yang marfuu' dari Nabi ﷺ:
((إيَّاك وإسبالَ الإزارِ؛ فإنَّها من المَخِيلَةِ، وإنَّ اللهَ لا يُحِبُّ المَخِيلةِ))
Jauhilah isbal dalam memakai kain sarung. Karena isbal itu adalah kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan"
(HR. Abu Daud 4084, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud. Pen)
Imam ath-Thabrani meriwayatkan sebuah hadits yang berasal dari Abi Umamah:
بينما نَحْنُ مَعَ رَسُول اللَّه ﷺ إذ لحقنا عَمْرو بْن زرارة الْأَنْصَارِيّ، فِي حُلَّةِ إزَارٍ ورِدَاءٍ، وَقَدْ أسْبَلَ، فَجَعَلَ النَّبِيّ ﷺ يَأْخُذ بِحَاشِيَةِ ثَوْبِه وَيَتَوَاضَعُ للهِ عَزَّ وَجَلَّ ويقول: "اللَّهم، عَبْدُك وابْنُ عَبْدِكَ ابْنُ أَمَتِكَ "
حتَّى سمعها عَمْرو بْن زرارة، فالتفت إِلَى النَّبِيّ ﷺ فَقَالَ: "يا رَسُوْلَ اللَّه، إِنِّي حَمِشُ السَّاقَيْنِ "
فقال رَسُول اللَّه ﷺ: "إن اللَّه قَدْ أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَه يا عَمْرو بْن زُرَارَة، إنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ المُسْبِلِيْنَ".
Ketika kami bersama Rasulullah ﷺ, ketika itu kami bertemu dengan ‘Amr Bin Zurarah al-Anshari, saat itu beliau mengenakan sarung dan selendang yang Isbal, maka Nabi ﷺ memegang ujung pakaian nya, lalu beliau merendahkan diri kepada Allah lalu beliau ﷺ berkata:
(Ya Allah aku adalah) hambamu, dan anak dari hambamu, dan anak dari hamba perempuanmu"
‘Amr pun mendengar ucapan tersebut, maka ia menoleh kepada Nabi ﷺ, lalu berkata: "Ya Rasulallah sesungguhnya betisku kecil".
Rasulallah ﷺ menjawab: "Ya ‘Amr sesungguhnya Allah telah membaguskan segala sesuatu yang telah Dia ciptakan, ya ‘Amr sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang Isbal". [Penulis katakan: Di Shahihkan al-Albaani dlm as-Silsilah ash-Shahihah 6/405 no. 2682].
Dan Imam Ahmad menyebutkan hadits yang dari riwayat ‘Amr ini sendiri, namun pada riwayat ini beliau berkata: "dari ‘Amr bin Fulan".
Imam ath-Thabrani juga meriwayatkannya, beliau berkata: (Hadits ini) "dari ‘Amr bin Zurarah, " dan pada hadits ini disebutkan:
ضَرَبَ رَسُولُ الله ﷺ بِأرْبَعَة أصَابَعَ تحْتَ الأرْبَعِ، فقَالَ: يَا عَمْرو هَذا مَوْضِعُ الإزَارِ... الحديث
Bahwa Rasulullah ﷺ memukulkan (meletakkan) empat jari beliau di bawah lutut ‘Amr kemudian beliau bersabda: "ya ‘Amr! Inilah (batasan) tempat sarung.... Al-hadits".
[Penulis katakan: Di Shahihkan al-Albaani dalam as-Silsilah ash-Shahihah 6/105 no. 2682]
Para perawi yang meriwayatkan hadits ini semuanya Tsiqah dan dari segi lahiriyyah konteksnya, bahwa (beliau) ‘Amr yang tersebut dalam hadits tidak memaksudkan Isbalnya sebagai kesombongan, namun Rasulullah tetap melarangnya dari Isbal, karena posisi isbal itu berada pada titik rawan dari kesombongan.
Dan Imam at-Thabrani meriwayatkan dari hadits asy-Syuraid ats-tsaqafi, ia berkata:
أَبْصَرَ النَّبِيُّ ﷺ رَجُلًا قَدْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: "ارْفَعْ إِزَارَكَ " ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَحْنَفُ يَصْطَكُّ رُكْبَتَاي ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "ارْفَعْ إِزَارَكَ ، فَكُلُّ خَلْقِ اللَّهِ حَسَنٌ " ، فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلَّا وَإِزَارُهُ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ
Rasulullah ﷺ melihat seorang yang isbal sarungnya, beliau bersabda: "tinggikan sarungmu".
Orang itu menjawab: "sungguh kakiku bengkok, kedua lututku bersentuhan".
Beliau ﷺ bersabda: "tinggikan sarungmu, semua ciptaan Allah itu bagus".
[Penulis katakan: Sanadnya di Shahihkan oleh al-Albaani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 1441 dan di ulang lagi di 6/106 dalam takhrij hadits no. 2682. Pen.].
Dan hadits ini di riwayatkan juga oleh Musaddad dan Abu Bakr bin Abi Syaibah melalui beberapa jalur periwayatan dari seorang yang berasal dari Tsaqif yang tidak disebutkan namanya, di akhir hadits ini disebutkan:
وَذَاكَ أَقْبَحَ مِمَّا بِسَاقَيْكَ
"Isbal itu lebih buruk dari pada cacat yang terdapat di kedua betismu". [Baca: Fathul Bari 10/264].
Kesimpulan akhir dari al-Hafidz Ibnu Hajar, dia berkata:
وَفِي هَذِهِ الْأَحَادِيث أَنَّ إِسْبَال الْإِزَار لِلْخُيَلَاءِ كَبِيرَة، وَأَمَّا الْإِسْبَال لِغَيْرِ الْخُيَلَاء فَظَاهِر الْأَحَادِيث تَحْرِيمه أَيْضًا
Dan dalam hadits-hadits ini bahwa meng-isbalkan pakaian karena kesombongan adalah dosa besar, dan adapun Isbal tanpa kesombongan maka hukum yang nampak dari hadits-hadits tsb adalah diharamkan juga". [Lihat: Fathul Bari 10/266].
Jadi yang nampak dari perkataan al-Hafidz Ibnu Hajar adalah bahwa Hadits-hadits tentang Isbal ini dengan jelas mengharamkan Isbal, sekalipun dengan tanpa untuk kesombongan.
Penulis katakan:
Apa yang dinyatakan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar tentang Isbal dan dalam menanggapi apa yang dikatakan oleh Ibnu al-'Arabi, ini berbeda dengan apa yang di katakan oleh Gurunya, yaitu al-Hafidz Zainuddin Abu al-Fadhel Abdur Rahim al-Iraqi (Wafat 725 H), seperti yang telah penulis sebutkan diatas dalam uraian pendapat pertama, bhawa al-Iraqi berpendapat bahwa Isbal itu mubah jika tanpa kesombongan.
Dan al-Iraqi menanggapi pendapat Ibnul ‘Arabi yang berpendapat Haramnya Isbal secara mutlak, dengan bantahan sbb:
وَهُوَ مُخَالِفٌ لتَقْيِيْدِ الحَدِيْثِ بالخُيَلاَء.
"Dan dia (pendapat Ibnul ‘Araby) menyelisihi (bentuk) keterkaitannya hadits tersebut dengan takabbur. [Baca Thorhu at-Tatsriib karya al-'Iroqy 8/167, Jaami' al-Kutubul Islamiyyah].
Dan Al-Hafidz Al-Iraqi berkata pula dalam Thorhu At-Tatsriib:
التَّقْيِيدُ بِالْخُيَلَاءِ يَخْرُجُ مَا إذَا جَرَّهُ بِغَيْرِ هَذَا الْقَصْدِ، وَيَقْتَضِي أَنَّهُ لَا تَحْرِيمَ فِيهِ
Pembatasan dengan kata al-khuyalaa [kesombongan]; maka keluar dari hukum haram jika pakaian yang terseret itu tanpa ada maksud untuk khuyalaa. Dan menunjukkan bahwa itu tidak diharamkan
Dan Al-Iroqi berkata pula;
وَأَمَّا الْأَحَادِيثُ الْمُطْلَقَةُ بِأَنَّ مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ فَالْمُرَادُ بِهِ مَا كَانَ لِلْخُيَلَاءِ ؛ لِأَنَّهُ مُطْلَقٌ فَوَجَبَ حَمْلُهُ عَلَى الْمُقَيَّدِ
Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwasanya apa yang di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka, maksudnya adalah selama itu dalam rangka kesombongan; Karena mutlak, maka harus dibawa kepada yang muqoyyad (Thorhu At-Tatsrib 8/167).
Dan al-Hafidz Ibnu Hajar sendiri di akhir pernyataannya , dia berkata :
لَكِنْ اُسْتُدِلَّ بِالتَّقْيِيدِ فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث بِالْخُيَلَاءِ عَلَى أَنَّ الْإِطْلَاق فِي الزَّجْر الْوَارِد فِي ذَمّ الْإِسْبَال مَحْمُول عَلَى الْمُقَيَّد هُنَا، فَلَا يَحْرُم الْجَرّ وَالْإِسْبَال إِذَا سَلِمَ مِنْ الْخُيَلَاء.
“Akan tetapi hadis-hadis yang ada, menunjukkan harus dibatasi dengan khuyala (kesombongan) lantaran hadis-hadis yang menyebutkan ancaman dan celaan Isbāl masih bersifat mutlak (umum), maka dari itu yang umum harus dibatasi di sini. Maka, tidak haram menjulurkan pakaian jika selamat dari rasa sombong.” [Lihat: Fathul Bari 10/266]
PERNYATAAN IMAM ADZ-DZAHABI [Wafat: 748 H]
Barang siapa yang Isbal pakaiannya, kemudian ia beranggapan bahwa dirinya tidak melakukannya dengan sombong, maka sikap ini tidak bisa diterima, karena Isbal itu sendiri melazimkan kesombongan [yakni pasti disertai rasa sombong].
Adapun perihal yang dilakukan oleh Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu; maka ini seperti yang dijelaskan oleh Imam adz-Dzahabi Rahimahullah dalam Siyaar al-A’laam an-Nubalaa’ 3/234 sebagai berikut:
وَكَذَلِكَ نَرَى الْفَقِيهَ الْمُتَرَفَّ إِذَا لَيِمَ فِي تَفْصِيلِ فَرْجِيَّةٍ - نَوْعٌ مِنَ اللِّبَاسِ - تَحْتَ كَعْبَيْهِ، وَقِيلَ لَهُ: قَدْ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "مَا أَسْفَلَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ الْإِزَارِ فَفِي النَّارِ" يَقُولُ: إِنَّمَا قَالَ هَذَا فِيمَنْ جَرَّ إِزَارَهُ خِيلَاءً وَأَنَا لَا أَفْعَلُهُ خِيلَاءً. فَنَرَاهُ يَكَابَرُ وَيُبْرِئُ نَفْسَهُ الْحُمْقَاءَ، وَيَعْمَدُ إِلَى نَصٍّ مُسْتَقِلٍّ عَامٍّ فَيُخَصُّهُ بِحَدِيثٍ آخَرَ مُسْتَقِلٍّ بِمَعْنَى الْخِيلَاءِ، وَيَتَرَخَّصُ بِقَوْلِ الصَّدِيقِ: (إنَّهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَسْتُرْخِي إِزَارِي) فَقَالَ: "لَسْتَ يَا أَبَا بَكْرٍ مِمَّنْ يَفْعَلُهُ خِيلَاءً"
فَقُلْنَا: أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ يَكُنْ يَشُدُّ إِزَارَهُ مَسْدُولًا عَلَى كَعْبَيْهِ أَوَّلًا، بَلْ كَانَ يَشُدهُ فَوْقَ الْكَعْبِ، ثُمَّ فِيمَا بَعْدُ يَسْتَرْخِي. وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: "إزَرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ لَا جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ"
وَمِثْلُ هَذَا فِي النَّهْيِ لِمَنْ فَصَلَ سَرَاوِيلَ مُغَطِّيًا لِكَعَابِهِ، وَمِنْهُ طُولُ الْأَكْمَامِ زَائِدًا، وَتَطَوُّيلُ الْعِذَابَةِ، وَكُلُّ هَذَا مِنْ خِيلَاءٍ كَامِنٍ فِي النُّفُوسِ، وَقَدْ يُعْذَرُ الْوَاحِدُ مِنْهُمْ بِالْجَهْلِ، وَالْعَالِمُ لَا عُذْرَ لَهُ فِي تَرْكِهِ الْإِنْكَارَ عَلَى الْجَهِلَةِ.
Demikian juga halnya dapat kita lihat pada seorang ahli fiqih yang keras kepala, jika ia dicela [disalahkan] dalam ukuran pakaian Furujiyyah (jenis pakaian) yang menjulur hingga di bawah kedua mata kakinya, ketika dikatakan padanya: Sungguh Nabi ﷺ telah bersabda:
"إِزْرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ لا جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ "
"Kain sarung seorang Muslim sampai batas pertengahan betis, dan tidak berdosa antara pertengahan betis hingga dua mata kaki".
[Penulis katakan: HR. Abu Daud (4093), Al-Nasa'i dalam "Al-Sunan Al-Kubra" (9716), Ibnu Majah (3573), dan Ahmad (11487), dan lafadznya adalah miliknya. Hadits ini di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah no. 3573 dan Syu'aib al-Arna'uth dlm Takhriij al-Musnad no. 11487 PEN].
[Setelah di sebutkan hadits ini] Maka ia ahli fikih ini menjawab: "Nabi mengatakan ini hanya kepada orang yang meng-ISBAL-kan sarungnya dengan sombong, sedangkan aku tidak melakukannya dengan sombong".
Kami perhatikan jawabannya [ahli Fikih ini] penuh dengan ketakaburan dan berusaha membebaskan dirinya yang DUNGU dari kesalahan. Ia kemudian akan berpegang pada dalil tersendiri yang bersifat Umum, lantas keumuman tersebut ia khususkan dengan hadits lain tersendiri yang mengandung makna sombong, ia akan mencari keringanan dengan dalih ucapan Ash-shiddieq:
"يَا رَسُولَ اللَّهِ يَسْتَرْخِي إِزَارِي". فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلَاءَ".
" Sarungku ya Rasulallah melorot dengan sendirinya", maka Nabi ﷺ bersabda: "kamu tidaklah termasuk orang yang melakukannya dengan sombong". [HR. Bukhori dan Muslim]
Kita katakan kepadanya [Ahli Fiqih]:
Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu pada awalnya tidaklah beliau memakai sarungnya dengan terurai sampai di bawah dua mata kaki, namun beliau memakainya sampai di atas mata kaki, baru kemudian setelahnya terurai melorot. Dan Nabi bersabda:
"إِزْرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ لا جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ "
"Kain sarung seorang Muslim sampai batas pertengahan betis, dan tidak berdosa antara pertengahan betis hingga dua mata kaki".
Dan larangan semisal ini (yakni isbal) juga berlaku pada orang yang membuat celananya dengan ukuran yang menutup mata kakinya. Termasuk juga orang yang memanjangkan lengan berlebihan, memanjangkan ‘Adzbah (ujung sorban).
Semua hal ini merupakan bagian dari Khuyala’ yang tersembunyi di dalam jiwa, mungkin saja seorang dari mereka (ahli fikih) dapat di’udzurkan karena tidak tahu.
Adapun orang berilmu maka tiada ‘udzur baginya meninggalkan peng-ingkaran atas orang-orang yang tidak tahu".
[KUTIPAN SELASAI. Demikianlah perkataan imam Adz-Dzahabi].
Penulis katakan:
Apa yang adz-Dzahabi katakan dalam masalah Isbal ini berbeda dengan pendapat gurunya, yaitu Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, seperti yang telah penulis sebutkan di atas dalam uraian pendapat pertama.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah di dalam Syarh al-Umdah 4/363 beliau menjelaskan:
وَهَذِهِ نُصُوصٌ صَرِيحَةٌ فِي تَحْرِيمِ الْإِسْبَالِ عَلَى وَجْهِ الْمُخَيَّلَةِ، وَالْمُطْلَقُ مِنْهَا مَحْمُولٌ عَلَى الْمُقَيَّدِ، وَإِنَّمَا أُطْلِقَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْغَالِبَ أَنَّ ذَلِكَ إِنَّمَا يَكُونُ مُخَيَّلَةً.
"Dan naskah-naskah (hadits) ini dengan jelas menunjukkan keharaman Isbal DALAM BENTUK MAKHILAH (TAKABUR), kemutlakan dari naskah-naskah tersebut (harus) diasumsikan ke dalam bentuk yang Muqayyad. Di Mutlakkan-nya keharaman Isbal tersebut tidak lain karena biasanya Isbal tidak akan dilakukan kecuali dengan Makhilah/takabur.
Beliau Ibnu Taimiyah selanjutnya berkata:
وَلِأَنَّ الْأَحَادِيثَ أَكْثَرُهَا مُقَيَّدَةٌ بِالْخِيلَاءِ فَيُحْمَلُ الْمُطْلَقَ عَلَيْهِ، وَمَا سَوَى ذَلِكَ فَهُوَ بَاقٍ عَلَى الْإِبَاحَةِ، وَأَحَادِيثُ النَّهْيِ مَبْنِيَّةٌ عَلَى الْغَالِبِ وَالْمَظَنَّةِ.
Dan karena Hadits-hadits (tentang Isbal) kebanyakan Muqayyad/terkait dengan Khuyala’ sehingga (dengan alasan inilah) hadits yang Muthlak dibawa (hukumnya) kepada hadits-hadits yang Muqayyad, selain dari yang demikian itu, maka ia tetap pada (Hukum) Ibahah/boleh, sedangkan hadits-hadits larangan (Isbal) yang ada, (itu hanya terlarang karena) dikokohkan atas dasar kebiasaan dan sebagai tempat yang rentan (untuk menjadi takabur).
PERNYATAAN AL-HAFIDZ IBNU ABDIL BARR [Wafat: 463 H]
al-Hafidz Ibnu ‘Abdil Barr dalam At Tamhid (3/249):
وَقَدْ ظَنَّ قَوْمٌ أَنَّ جَرَّ الثَّوْبِ إذَا لَمْ يَكُنْ خِيلَاءَ فَلَا بَأْسَ بِهِ. وَاحْتَجُّوا لِذَلِكَ بِمَا حَدَّثَنَاهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ أَسَدٍ… قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
«مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خِيلَاءً لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ» فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: إِنَّ أَحَدَ شَقَّى ثَوْبِي لَيَسْتَرِخِي إِلَّا أَنْ أَتْعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خِيلَاءً» قَالَ مُوسَى قُلْتُ لِسَالِمٍ أَذَكُرْ عَبْدَ اللَّهِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ، قَالَ لَمْ أَسْمَعْهُ إِلَّا ذَكَرَ ثَوْبَهُ، وَهَذَا إِنَّمَا فِيهِ أَنَّ أَحَدَ شَقَّى ثَوْبَهُ يَسْتَرِخِي، لَا أَنَّهُ تَعَمَّدَ ذَلِكَ خِيلَاءً، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «لَسْتَ مِمَّنْ يَرْضَى ذَلِكَ»
وَلَا يَتَعَمَّدُ وَلَا يَظُنُّ بِكَ ذَلِكَ
Artinya: "Sebagian orang menyangka bahwa menyeret pakaian jika tidak karena sombong itu tidak mengapa. Mereka berdalih dengan riwayat dari Abdullah bin Muhammad bin Asad (beliau menyebutkan sanadnya) bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ.
قالَ مُوسَى: فَقُلتُ لِسالِمٍ: أذَكَرَ عبدُ اللَّهِ: مَن جَرَّ إزارَهُ؟ قالَ: لَمْ أسْمَعْهُ ذَكَرَ إلَّا ثَوْبَهُ.
"Siapa yang menyeret pakaiannya karena kesombongan maka Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari qiyamat".
Kemudian Abu Bakr berkata; "Sesungguhnya sebelah dari pakaianku terjulur kecuali bila aku memeganginya (mengangkatnya)".
Maka Rasulullah ﷺ berkata: "Sesungguhnya kamu melakukan itu bukan bermaksud sombong".
Musa bertanya kepada Salim, apakah Abdullah bin Umar menyebutkan lafadz ‘barangsiapa menyeret kain sarung nya’? Salim menjawab, yang saya dengar hanya: ' barangsiapa menyeret bajunya’.". (HR. Bukhari 3665, Muslim 2085)
Dalam masalah Abu Bakar ini yang melorot hanyalah satu sisi pakaiannya saja, bukan karena Abu Bakar sengaja memelorotkan pakaiannya. Oleh karena itulah Rasulullah ﷺ bersabda:
‘Engkau bukanlah termasuk orang yang dengan ridho melakukan hal tersebut '
Dan engkau tidak bersengaja melakukan hal tersebut dan tidak mungkin ada orang yang menduga bahwa engkau melakukan hal tersebut dengan sengaja". [SELESAI kutipan dari Ibnu Abdil Barr]
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al Asqalani Berkesimpulan :
وحاصِلُه: أنَّ الإسبالَ يستلزمُ جرَّ الثَّوبِ، وجرَّ الثَّوبِ يستلزِمُ الخُيَلاءَ، ولو لم يقصِدِ اللابِسُ الخُيَلاءَ، ويؤَيِّدُه: ما أخرجه أحمدُ بن منيع من وجهٍ آخَرَ عن ابنِ عُمَرَ في أثناءِ حديثٍ رَفَعه ((وإيَّاك وجَرَّ الإزارِ؛ فإنَّ جَرَّ الإزارِ من المَخِيلةِ)).
Artinya : "Kesimpulannya, isbal itu pasti menyeret pakaian. Sedangkan menyeret pakaian itu merupakan kesombongan, walaupun si pemakai tidak bermaksud sombong. Dikuatkan lagi dengan riwayat dari Ahmad bin Mani’ dengan sanad lain dari Ibnu Umar. Di dalam hadits tersebut dikatakan ‘Jauhilah perbuatan menyeret pakaian, karena menyeret pakaian itu adalah kesombongan‘" (Fathul Baari, 10/264)
=======
DALIL PENDAPAT KEDUA:
YANG MENGHARAMKAN ISBAAL DAN MELANDAIKAN PAKAIAN HINGGA TERSERET, BAIK DISERTAI KESOMBONGAN MAUPUN TIDAK.
------
DALIL PERTAMA :
Mereka berdalil dengan hadits Abu Sa'id al-Khudri. Yaitu: dari Al 'Ala bin 'Abdurrahman dari Bapaknya ia berkata:
سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنْ الْإِزَارِ فَقَال: عَلَى الْخَبِيرِ سَقَطْتَ. قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
إِزْرَةُ الْمُسْلِمِ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ وَلَا حَرَجَ أَوْ لَا جُنَاحَ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ ، مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ".
"Aku bertanya kepada Abu Sa'id Al Khudri tentang kain sarung, lalu ia berkata:
"Engkau bertanya kepada orang yang tepat. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Kain sarung seorang Muslim sebatas setengah betis, dan tidak berdosa antara batas setengah betis hingga dua mata kaki.
Adapun kain sarung yang sampai di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka.
Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena SOMBONG, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat."
[HR. Abu Daud (4093), Al-Nasa'i dalam "Al-Sunan Al-Kubra" (9716), Ibnu Majah (3573), dan Ahmad (11487), dan lafadznya adalah miliknya].
Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah no. 3573 dan Syu'aib al-Arna'uth dlm Takhriij al-Musnad no. 11487.
Dalam Riwayat Imam Malik, lafadznya sbb:
Dari Al 'Ala bin Abdurrahman dari Bapaknya berkata;
" سَأَلْتُ أَبَا سَعِيدٍ الْخُدْرِيَّ عَنْ الْإِزَارِ فَقَالَ أَنَا أُخْبِرُكَ بِعِلْمٍ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ إِزْرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ لَا جُنَاحَ عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ ، مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِي النَّارِ مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فَفِي النَّارِ ، لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا".
Aku bertanya kepada Abu Sa'id Al Khudri tentang pakaian. Dia menjawab;
"Aku akan mengabarkan kepadamu dengan berdasarkan ilmu. Aku mendengar Rasulullah ﷺ beliau bersabda:
'Panjang sarung seorang mukmin adalah setengah betisnya, dan tidak mengapa jika panjangnya antara betis hingga kedua mata kaki.
Jika di bawah itu maka tempatnya adalah Neraka, jika di bawah itu maka tempatnya adalah Neraka. Pada hari kiamat Allah tidak akan melihat orang yang menyeret sarungnya karena SOMBONG."(HR. Imam Malik dalam al-Muwath-tha 5/416)
FIQIH HADITS
Para ulama yang mengharamakan Isbal secara mutlak dan absolut meskipun tanpa adanya kesombongan, mereka berdalil dengan hadits ini dengan mengatakan:
" Difahami bahwa Rasulullah ﷺ tidak membedakan keharaman Isbal, baik karena sombong maupun tidak, kerena lafadz:
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
" Apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka"
Lafadz ini menunjukkan ancaman Isbal secara mutlak termasuk Isbal tanpa sombong.
Sementara lafadz:
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
"Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat".
Lafadz ini menunjukkan ancaman Isbal karena sombong.
Namun jika dua lafadz tersebut disatukan dalam satu lafadz; maka memberikan arti bahwa Rasulullah ﷺ tidak membedakan ancaman terhadap pelaku Isbal baik dilakukan karena sombong maupun tidak.
Singkatnya: penggabungan dua ancaman adzab dalam satu susunan kalimat adalah dalil adanya perbedaan antar dua lafadz, masing-masing lafadz berdiri sendiri.
Imam Ash-Shan'aani dalam Risalahnya اِسْتِيفَاءُ الاِسْتِدْلَالِ فِي تَحْرِيمِ الإِسْبَالِ. berkata:
وَقَدْ دَلَّتْ الْأَحَادِيثُ عَلَى أَنَّ مَا تَحْتَ الْكَعْبَيْنِ فِي النَّارِ، وَهُوَ يَفِيدُ التَّحْرِيمَ.
وَدَلَّ عَلَى أَنَّ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ خِيلَاءً لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَيْهِ، وَهُوَ دَالٌّ عَلَى التَّحْرِيمِ، وَعَلَى أَنَّ عُقُوبَةَ الْخِيلَاءِ عُقُوبَةٌ خَاصَّةٌ فِي عَدَمِ نَظَرِ اللَّهِ إِلَيْهِ، وَهُوَ مِمَّا يُبْطِلُ الْقَوْلَ بِأَنَّهُ لَا يُحْرَمُ إِلَّا إِذَا كَانَ لِلْخِيلَاءِ.
Hadits-hadits menunjukkan bahwa pakaian yang melandai ke bawah mata kaki adalah di Neraka, itu menunjukkan pengharaman.
Dan menunjukkan bahwa siapa pun yang menyeret pakaiannya karena kesombongan, maka Allah tidak akan melihatnya, dan ini juga menunjukkan pengharaman. Dan bahwa balasan kesombongan baginya adzab khusus yaitu Allah tidak akan memandangnya. Dan ini adalah yang membatalkan pendapat bahwa tidak haram Isbaal kecuali jika disertai kesombongan".
Dan dalam artikel قراءة في رسالة الصنعاني "اِسْتِيفَاءُ الاِسْتِدْلَالِ فِي تَحْرِيمِ الإِسْبَالِ." karya DR. Abu Firoos Fuad bin Yahya al-Haasyimi, disebutkan sisi pendalilan bagi pendapat yang mengharamkan Isbal secara muthlak dari hadits Abu Sa'id, yaitu perkataan:
وَهَذَا مِنْ أَقْوَى أَدْلَةٍ مَنْ أَطْلَقَ تَحْرِيمَ الْإِسْبَالِ وَلَمْ يُقَيِّدْهُ بِالْخُيَلَاءِ فَهُوَ يَقُولُ: إِنَّ الْإِسْبَالَ لَهُ حُكْمٌ خَاصٌّ، وَالْإِسْبَالَ بِخُيَلَاءَ لَهُ حُكْمٌ خَاصٌّ وَوَعِيدٌ يَنَاسِبُهُ، بِدَلِيلِ أَنَّهُمَا ذُكِرَا فِي حَدِيثٍ وَاحِدٍ وَفَرَّقَ بَيْنَهُمَا فِي الْعُقُوبَةِ فَذُكِرَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ أَنَّ مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ بَيْنَمَا تُوعَدُ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بِطَرًا أَنَّ اللَّهَ لَا يَنْظُرُ إِلَيْهِ.
فَالْعُقُوبَةُ فِي الْمَسْأَلَتَيْنِ تَدُلُّ عَلَى الِاشْتِرَاكِ فِي أَصْلِ التَّحْرِيمِ وَيَدُلُّ اخْتِلَافُ الْعُقُوبَتَيْنِ عَلَى أَنَّهُمَا مَسْأَلَتَانِ مُسْتَقِلَّتَانِ وَإِلَّا فَمَا سَبَبُ الِاخْتِلَافِ فِي الْعُقُوبَةِ؟
وَلَذَا فَعَلَى مَنْ قَصَرَ التَّحْرِيمَ عَلَى مَا كَانَ خُيَلَاءَ أَنْ يَتَكَلَّفَ الْجَوَابَ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ.
Dan inilah salah satu dalil yang paling kuat bagi orang yang berpendapat pengharaman isbaal secara muthlak tanpa membatasinya dengan kesombongan.
Maka dia mengatakan: Sesungguhnya Isbaal [tanpa kesombongan] memiliki hukum khusus, dan Isbaal dengan kesombongan juga memiliki hukum khusus serta ancaman yang layak untuknya.
Ini berdasarkan dalil bahwa kedua duanya disebutkan dalam satu hadits dan dibedakan antara keduanya dalam hukuman [ancaman adzab]. Oleh karena itu disebutkan dalam hadits ini:
(1) bahwa apa pun yang berada di bawah mata kaki adalah di neraka.
(2) Sementara orang yang menyeret pakaiannya dengan kesombongan maka Allah tidak akan memandangnya.
Maka hukuman dalam dua masalah tersebut menunjukkan keikutsertaan dalam asal usul keharaman tersebut.
Dan perbedaan kedua hukuman tersebut menunjukkan bahwa keduanya merupakan dua masalah yang berdiri sendiri. Jika tidak, apa penyebab dari perbedaan antara keduanya dalam hukuman tersebut?
Oleh karena itu, barang siapa yang membatasi peng-haram-an Isbal dengan kesombongan maka dia harus menjawab hadits ini [Yakni: hadits Abu Said yang di atas] !!!.
BANTAHAN TERHADAP HARAMNYA ISBAL SECARA MUTLAK BERDASARKAN HADITS ABU SA'ID AL-KHUDRY DIATAS:
Abu Firaas dalam menanggapi perkataan ash-Shan'aani, dia berkata:
وَالَّذِي يَظْهَرُ لِي وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ فِي هَذَا الْحَدِيثِ هُوَ مَا ذَكَرَ الشَّيْخُ عَبْدُ الْوَهَّابِ مُهِيَّةٍ فِي رِسَالَتِهِ:
"رَفْعُ الْعَتَابِ عَنْ جَوَازِ إِسْبَالِ الثِّيَابِ".
فَإِنَّ هَذِهِ الرِّسَالَةَ عَلَى مَا فِيهَا مِنْ مُلَاحِظَاتٍ فَإِنَّ صَاحِبَهَا أَجَادَ فِي الْجَوَابِ عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ، قَالَ حَفِظَهُ اللَّهُ وَرَعَاهُ:
وَ زَعَمَ بَعْضُهُمْ أَنَّ الْجَمْعَ بَيْنَ الْعُقُوبَتَيْنِ فِي لَفْظٍ وَاحِدٍ دَلِيلٌ عَلَى اخْتِلافِهِمَا.
وَ الْجَوَابُ: أَنَّ قَوْلَهُ " لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ..." فِي الْحَدِيثِ هُوَ تَذْيِيلٌ لِتَقْرِيرِ حُكْمٍ وَتَعْلِيلِهِ. وَ لِذَلِكَ لَمْ تُعَطَّفْ عَلَى مَا قَبْلَهَا ، كَمَا فِي الرَّوَايَةِ السَّابِقَةِ ، وَ إِنْ كَانَ قَدْ أَثْبَتَ بَعْضُهُمْ حَرْفَ الْعَطْفِ وَلَكِنْ هَذِهِ أَرْجَحُ.
وَ الْمَعْنَى: أَنَّ مَنْ أَسْبَلَ ثَوْبَهُ خِيلَاءً وَكِبْرًا ، حَقٌّ لَهُ أَنْ يَطَأَ فِي النَّارِ إِلَى كَعْبَيْهِ ، لِأَنَّ اللَّهَ لَا يَرْحَمُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بَلْ يَمْقُتُهُ. وَ هَذَا مَا فَهِمَهُ الْإِمَامُ مَالِكٌ مِنَ الْحَدِيثِ ، حَيْثُ أَوْرَدَهُ فِي بَابٍ (مَا جَاءَ فِي إِسْبَالِ الرَّجُلِ ثَوْبِهِ)
Dan yang nampak bagi saya-wallaahu A'lam-adalah apa yang disebutkan Syeikh Abdul-Wahhab Muhayyah dalam Risalahnya yang berjudul:
"رَفْعُ العتاب عن جواز إسبال الثياب"
‘Mengangkat celaan terhadap bolehnya Isbal pakaian’
Sesungguhnya Risalah ini meski didalamnya terdapat beberapa konten yang disangsikan namun penulisnya sangat pandai menjawab tentang hadits ini, beliau berkata:
" Sebagian dari mereka ada yang mengklaim bahwa penggabungan dua hukuman dalam satu susunan kalimat adalah dalil adanya perbedaan antar dua lafadz.
JAWABNYA:
Bahwa Sabdanya ﷺ:
لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا
"Pada hari kiamat kelak, Allah tidak akan melihat orang yang menyeret kain sarungnya karena sombong."
Lafadz ini adalah merupakan lampiran untuk menetapkan hukum serta alasannya.
Oleh karena itu, lafadz tsb tidak di 'athap kan [yakni tidak di sambung dengan kata "DAN'] pada lafadz yang datang sebelumnya, seperti yag terdapat dalam riwayat sebelumnya, meskipun sebagian riwayat dari mereka ada yang menetapkan adanya huruf 'Athaf [yakni: DAN], akan tetapi riwayat yang Raajih adalah tanpa kata " DAN".
Artinya: Barang siapa yang meng-isbal-kan pakaiannya karena kesombongan dan keangkuhan, maka ia berhak menginjak api neraka hingga ke mata kakinya; karena, Allah SWT tidak akan memberikan rahmat kepadanya pada hari kiamat, melainkan membencinya.
Dan inilah yang dipahami Imam Malik dari hadits tsb, sebagaimana disebutkan dalam al-Muwaththo:
بَابٌ (مَا جَاءَ فِي إِسْبَالِ الرَّجُلِ ثَوْبِهِ)
"BAB: (Apa yang terjadi tentang seorang pria yang melepaskan pakaiannya)"
Lalu Abu Firaas berkata:
وَيَبْدُو لِي وَالْعِلْمُ عِنْدَ اللَّهِ وَجَاهَةَ مَا ذَكَرَهُ الشَّيْخُ عَبْدُ الْوَهَّابِ وَنَلْخُصُ جَوَابَهُ فَنَقُولُ:
1- جَوَابُهُ مَبْنِيٌّ عَلَى مُقَدِّمَةٍ وَهِيَ أَنَّ الرَّاجِحَ فِي رَوَايَاتِ هَذَا الْحَدِيثِ هِيَ الرَّوَايَةُ الَّتِي أَغْفَلَتْ الْعَطْفَ وَهِيَ (مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فِي النَّارِ. لَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بِطَرًا
2- بَيْنَمَا كَانَ حُجَّةَ مَنِ اسْتَدْلَ بِهَذَا الْحَدِيثِ مَبْنِيٌّ عَلَى الرَّوَايَةِ الَّتِي جَاءَ فِيهَا حَرْفُ الْعَطْفِ وَهِيَ (مَا أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فِي النَّارِ وَلَا يَنْظُرُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بِطَرًا)
Sedangkan argumentasi orang-orang yang [mengharamkan Isbal] dengan hadits ini didasarkan pada riwayat yang terdapat di dalamnya huruf Athaf [DAN], yaitu:
Tampaknya bagi saya-wallaahu a'lam - adalah keabsahan dari apa yang dikatakan Syeikh Abdul Wahhab. Kami merangkum jawabannya, maka kami katakan:
1- Jawabannya berdasarkan pendahuluan, yaitu bahwa periwayatan-periwauatan yang paling benar dalam hadits ini adalah riwayat yang tidak ada huruf Athaf nya [yakni tanpa kata DAN], yaitu:
" مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ ، مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ".
Adapun kain sarung yang sampai di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka. Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena SOMBONG, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat."
" مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ ، وَمَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ".
2- Adapun kain sarung yang sampai di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka. DAN barangsiapa menyeret kain sarungnya karena SOMBONG, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat."
Lalu Abu Firaas berkata:
وَهَذِهِ الْمُقَدِّمَةُ تَحْتَاجُ إِلَى مَزِيدِ تَحْرِيرٍ فِي بَيَانِ الرَّوَايَةِ الرَّاجِحَةِ مِنَ الرَّوَايَتَيْنِ.
Muqoddimah ini perlu diteliti lebih lanjut agar bisa menjelaskan riwayat yang paling benar [Rajiih] dari dua riwayat tsb.
3- أَنَّ الْجُمْلَةَ الثَّانِيَةَ هِيَ تَذْيِيلٌ وَتَعْلِيلٌ لِلْجُمْلَةِ الْأُولَى، وَالْمَعْنَى: أَنَّ مَنْ أَسْبَلَ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ حَقٌّ لَهُ أَنْ يَطَأَ فِي النَّارِ إِلَى كَعْبَيْهِ ، لِأَنَّ اللَّهَ لَا يَرْحَمُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بَلْ يَمْقُتُهُ.
4- أَنَّ هَذَا مَا فَهِمَهُ الْإِمَامُ مَالِكٌ مِنَ الْحَدِيثِ ، حَيْثُ أَوْرَدَهُ فِي بَابٍ (مَا جَاءَ فِي إِسْبَالِ الرَّجُلِ ثَوْبِهِ)
3- Susunan Kalimat kedua adalah lampiran dan penjelasan illat untuk kalimat pertama. Artinya adalah: bahwa siapa pun yang meng-isbal-kan pakaiannya karena kesombongan maka ia berhak menginjak api neraka sampai ke mata kaki, karena Allah tidak akan merahmatinya pada hari kiamat, melainkan Dia membencinya.
4- Bahwa ini adalah yang dipahami Imam Malik dari hadits tsb, sebagaimana disebutkan dalam al-Muwaththo, BAB:
بَابٌ (مَا جَاءَ فِي إِسْبَالِ الرَّجُلِ ثَوْبِهِ)
"BAB: (Apa yang terjadi tentang seorang pria yang melepaskan pakaiannya)"
Lalu Abu Firaas berkesimpulan dengan mengatakan:
وَهَذَا الْجَوَابُ مُتَجَهٌّ جِدًّا عَلَى الطَّرِيقَةِ الَّتِي حَكَيْنَاهَا عَنْ الْأَئِمَّةِ فِي ذَمِّ الْإِسْبَالِ عَمُومًا، وَمُلْتَئِمٌ كَذَلِكَ مَعَ تَفْسِيرِ سَبَبِ إِطْلَاقِ النَّبِيِّ ﷺ نُصُوصَ الْوَعِيدِ عَلَى الْإِسْبَالِ مِنْ غَيْرِ تَقْيِيدٍ وَأَنَّ سَبَبَهُ هُوَ غَلَبَةُ الْمَحَلِّ فَلَمَّا كَانَ الْإِسْبَالُ غَالِبًا مَحْلًا وَمَظَنَّةً لِلْخَيْلَاءِ نَاسَبَ أَنْ يَنْيَطَ النَّبِيُّ ﷺ التَّحْرِيمَ بِهِ فِي بَعْضِ الْمُنَاسِبَاتِ لَاسِيَمَا وَأَنَّهَا هَيْئَةٌ مَعْرُوفَةٌ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ ﷺ فَكَانَ لَا يَشْكُلُ الْإِطْلَاقَ، وَلِذَا فَلَمَّا اسْتَشْكَلَ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَجَابَهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ بِالْمَعْنَى الْمُبَاشِرِ لِلتَّحْرِيمِ وَهُوَ "إِنَّكَ لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ خُيلَاءً".
Jawaban ini sangat tepat sasaran sesuai metode yang telah kami riwayatkan dari para imam dalam mencela isbaal secara umum. Dan jawaban ini selaras.
Demikian pula dengan penafsiran tentang alasan Nabi ﷺ memutlakkan sabda-sabdanya tentang ancaman terhadap pelaku isbaal tanpa adanya batasan [dengan kesombongan].
Alasan beliau ﷺ memutlakkannya adalah karena pada umumnya di masa itu isbal adalah prilaku sombong.
Maka ketika isbal itu sudah menjadi keumuman di daerah tsb dan sangat rentan terindikasi kesombongan, maka sudah selayaknya Nabi ﷺ menjadikan standar [المَنَاطُ] hukum isbal itu dilarang pada sebagian munasabah-munasabah [suasana-suasana tertentu].
Terutama bahwa pada zaman Nabi ﷺ isbal itu adalah gaya penampilan yang terkenal dengan kembongannya, maka pada masa itu tidak ada problem ketika beliau ﷺ mengungkapkannya dengan kata-kata yang mutlak [orang-orang sudah tahu bahwa isbal itu perilaku sombong PEN]
Oleh karena itu, ketika Abu Bakar radhiyallahu 'anhu merasa kebingungan, maka beliau ﷺ menjawabnya dengan menjelaskan makna yang sebenarnya pelaku isbal yang diharamkan, yaitu dengan mengatakan:
إنَّكَ لَسْتَ ممَن يَصْنَعُ ذلك خُيَلاءَ
"Sesungguhnya engkau bukan termasuk orang yang melakukan hal itu karena sombong."
[Baca: artikel قراءة في رسالة الصنعاني "اِسْتِيفَاءُ الاِسْتِدْلَالِ فِي تَحْرِيمِ الإِسْبَالِ." karya DR. Abu Firoos Fuad bin Yahya al-Haasyimi]
BANTAHAN LAIN YANG LEBIH LUAS TERHADAP ISTIDLAL DARI HADITS ABU SA'ID BAHWA ISBAL ITU HARAM SECARA MUTHLAK.
Para ulama yang berpendapat bahwa Isbal tanpa kesombongan itu mubah, mereka berkata:
" Lafadz hadist:
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
" Apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka. Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat".
Difahami bahwa Rasulullah ﷺ membedakan keharaman Isbal, antara yang sombong dengan yang tidak sombong, kerena lafadz:
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
"Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat".
Dalam lafadz ini menunjukkan bahwa ancaman tsb berlaku bagi pelaku Isbal yang diserti kesombongan. Dan tingkatan Isbal dalam lafadz ini adalah Isbal yang sangat parah sehingga kainnya terseret-seret, bukan hanya sebatas di bawah mata kaki.
Dengan demikian lafadz: "Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena sombong... dst" sebagai penjelas terhadap lafadz sebelumnya, yaitu:
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
" Apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka".
KENAPA lafadz مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا sebagai penjelas lafaz مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ?
JAWABAN-nya ada dua alasan:
ALASAN PERTAMA:
Hal itu dikarenakan antara dua lafadz tersebut tidak disambung oleh Huruf 'Athof [yakni kata "dan"], sehingga dua lafadz tsb tidak bisa difahami sebagai dua hal yang berbeda. Lafadz kedua sejatinya adalah penjelas bagi lafadz pertama, artinya, lafadz:
مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ بَطَرًا لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ
Barangsiapa menyeret kain sarungnya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat
Menjelaskan lafadz:
مَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ فَهُوَ فِي النَّارِ
‘Apa yang ada di bawah kedua mata kaki adalah di Neraka’
Jadi yang dicela Rasulullah ﷺ terkait dengan pakaian di bawah matakaki adalah mereka yang melakukannya kerana sombong.
Redaksi semacam ini semakna dengan ayat dalam surat Al-Luqman berikut;
{وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ}
"Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai". (Luqman;19)
Artinya: lafadz:
إِنَّ أَنْكَرَ الْأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيرِ
Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai Menjelaskan lafadz;
Dan lafadz:
وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَ
"Lunakkanlah suaramu"
Yang melarang bersuara keras.
Dua ungkapan tersebut tidak bisa difahami sebagai dua hal yang berbeda; karena lafadz kedua menerangkan dan membuat lebih jalas lafadz sebelumnya.
ALASAN KEDUA:
Kandungan lafadz sebelumnya terhadap lafazd sesudahnya dalam hadits tsb, masuk dalam katagori bab-bab sbb:
Mafhum Muwaafaqoh /مفهوم موافقة atau Anologi yang lebih utama /قِيَاس أَوْلَى Atau مِنْ بَابِ أَوْلَى
Artinya: Jika isbal yang parah hingga terseret-seret saja di batasi keharamannya dan ancamannya dengan kesombongan, apalagi jika isbal nya itu hanya sebatas di bawah mata kaki.
Contoh lain Mafhum Muwaafaqah dan Qiyas awlaa adalah hukum larangan memukul kedua orang tua dengan dalil firman Allah SWT:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
Artinya: " Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka." [QS. Al-Israa: 23]
Dalam ayat hanya melarang mengucapkan " Aahh " dan membentak orang tua.
Ibnu Katsir mengatakan dalam tafsirnya: bahwa redaksi tersebut memberi artian larangan melawan orang tua, terlebih melawannya dengan menggunakan TANGAN".
DALIL KE DUA:
Dalam menyikapi adanya hadist larangan Isbal muqoyyad dengan kesombongan dan hadits larangan Isbal muthlak adalah:
Bahwa masing-masing hadits tsb hukumnya berdiri sendiri, maka dengan demikian hukum Isbal itu tetap mutlak diharamkan, baik disertai kesombongan maupun tidak.
Hadist-hadits tsb tidak bisa di gabungkan dengan kaidah Ushul حمل المطلق على المقيد [Yakni: yang muthlak dibawa kepada yang muqoyyad]; karena dengan demikian hukumnya menjadi berbeda, yaitu isbal dengan kesombongan haram hukumnya, sementara isbal tanpa kesombongan itu mubah hukumnya.
Adapun hadits-hadits larangan Isbal muqoyyad dengan kesombongan, telah di sebutkan diatas dalam penyebutan argumentasi pendapat pertama. Dan Hadits Yang Muqoyyad itu lebih banyak sebagaimana yang dinyatakan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Sharh al-'Umdah 4/363:
ولأن الأحاديث أكثرها مقيدة بالخيلاء
"Dan karena sebagian besar hadits-hadits tsb muqoyyad/dibatasi dengan kesombongan".
*****
Adapun hadits-hadits larangan Isbal secara mutlak, yakni diharamkan meski tanpa kesombongan, yaitu sbb:
HADITS KE 1:
Dari Abdullah bin Umar رضي الله عنهما berkata:
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ! فَرَفَعْتُهُ. ثُمَّ قَالَ: زِدْ! فَزِدْتُ. فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ. فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ: إِلَى أَيْنَ؟ فَقَالَ: أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
"Aku (Ibnu Umar) pernah melewati Rasulullah ﷺ, sementara kain sarungku terjurai (sampai ke tanah).
Beliau pun bersabda, "Hai Abdullah, naikkan sarungmu!". Aku pun langsung menaikkan kain sarungku.
Setelah itu Rasulullah bersabda, "Naikkan lagi!" Aku naikkan lagi. Sejak itu aku selalu menjaga agar kainku setinggi itu."
Ada beberapa orang yang bertanya, "Sampai di mana batasnya?" Ibnu Umar menjawab, "Sampai pertengahan kedua betis." (HR. Muslim no. 2086)
FIQIH HADITS:
Hadits diatas menunjukan dilarangnya Isbal secara muthlak, meskipun tanpa kesombongan.
BANTAHAN:
Sebelum menyimpulkan hukum dari hadits Ibnu Umar ini, sebaiknya kita kumpulkan dulu semua riwayat darinya. Setelah itu kita simpulkan benarkah hadits Ibnu Umar ini menunjukkan larang Isbal secara muthlak?
Berikut ini sebagian riwayat-riwayat hadits Isbal dari Ibnu 'Umar:
Riwayat hadits Isbal dari Ibnu 'Umar Ke 1:
Riwayat Imam Ahmad no. 5183 dan 6340 dari Zaid bin Aslam dari Abdullah bin Umar radhiyallahu 'anhu, dia berkata: aku mendengar Rosulullah ﷺ bersabda:
"مَنْ جرَّ إزارَه مِنَ الخُيلاءِ لم ينظُرِ اللهُ عز وجل إليه".
قال زيدٌ: وكان ابنُ عمرَ يحدِّثُ أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ رآه وعليه إزارٌ يتقعقعُ يعني جديدًا فقال: مَنْ هذا ؟ فقلت: أنا عبدُ اللهِ فقال: إنْ كنتَ عبدَ اللهِ فارفعْ إزارَك قال: فرفعتُه قال: زدْ قال: فرفعتُه حتى بلغ نصفَ الساقِ.
قال: ثم التفتَ إلى أبي بكرٍ فقال: مَنْ جرَّ ثوبَه مِنَ الخُيلاءِ لم ينظُرِ اللهُ عز وجل إليه يومَ القيامةِ فقال أبو بكرٍ: إنه يسترخي إزاري فقال النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ: لستَ منهم
Barangsiapa menyeret ujung bawah pakaiannya disertai kesombongan, maka Allah tidak akan melihat kepadanya"
Zaid bin Aslam mengatakan: Ibnu Umar pernah bercerita:
" Suatu ketika Nabi ﷺ melihatnya sedang memakai pakaian bersuara [karena masih baru]. Beliau bertanya: "Siapakah ini?".
Aku menjawab: "Aku Abdullah (Ibnu Umar)".
Kemudian Nabi ﷺ berkata: "Jika benar kamu Abdullah, maka angkatlah sarungmu!". (Ibnu Umar) mengatakan: "Aku pun langsung mengangkatnya".
(Nabi) berkata lagi: "Tambah (angkat lagi)!". (Ibnu Umar) mengatakan: "Maka aku pun mengangkatnya hingga sampai pertengahan betis".
Kemudian Nabi ﷺ menoleh ke Abu Bakar, seraya mengatakan:
"Barangsiapa menyeret pakaiannya karena sombong, maka pada hari kiamat nanti Allah tidak akan melihat kepadanya".
Mendengar hal itu, Abu Bakar bertanya: "Sungguh sarungku melorot, akan tetapi aku selalu berusaha menjaganya agar ia tidak melorot".
Maka Nabi ﷺ menimpali: "Kamu bukanlah termasuk dari mereka". (HR. Ahmad no. 5183 dan 6340)
Sanadnya di shahihkan oleh Ahmad Syaakir di footnote al-Musnad 5/516 dan dishahihkan pula oleh al-Albaani dalam shahih at-Targhiib no. 2033
Syeikh Abdul-Wahhab Muhayyah dalam Risalahnya yang berjudul:
" رَفْعُ الْعَتَابِ عَنْ جَوَازِ إِسْبَالِ الثِّيَابِ "
Mengangkat celaan terhadap bolehnya Isbal pakaian:
Dia berkata:
" فَإِنْ قِيلَ: لِمَ أَمَرَ ابْنُ عُمَرَ بِالتَّشْمِيرِ وَلَمْ يَسْتَفْصِلْ ؟
فَالْجَوَابُ: أَنَّ حَالَ ابْنِ عُمَرَ كَانَتْ تُغْنِي عَنْ الِاسْتِفْصَالِ ؛ شَابٌّ حَدَثٌ ، عَلَيْهِ لِبَاسٌ جَدِيدٌ ، يَتَقَعْقَعُ أَيْ يُحْدِثُ صَوْتًا عِنْدَ تَحْرِيكِهِ ، قَدْ أَسْبَلَهُ ، فَمَا ظَنُّكَ بِهِ وَ هُوَ فِي مَجْتَمِعٍ قَدْ تَوَاطَأَ عَلَى اعْتِبَارِ مِثْلِ تِلْكَ الْمَظَاهِرِ ؟..
وَ لِذَلِكَ بَالَغَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِي أَمْرِهِ بِالتَّشْمِيرِ ، وَكَانَ يَكْفِيهِ أَنْ يَأْمُرَهُ بِرَفْعِهِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ.
وَالظَّاهِرُ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَدْ كَانَ فِي نَفْسِهِ بَعْضُ تِلْكَ الْمَعَانِي ، لِأَنَّهُ لَمْ يَعْتَذِرْ بِشَيْءٍ بَعْدَ سَمَاعِهِ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ مِنَ الْخَيْلَاءِ " كَمَا اعْتَذَرَ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ".
Jika ada yang bertanya:
Mengapa beliau ﷺ memerintahkan Ibnu Umar mencinkrangkan pakaianya dan Ibnu Umar tidak minta penjelasan darinya?
Jawabannya adalah:
Kondisi Ibnu Umar saat itu tidak memerlukan penjelasan yang rinci, dia seorang anak muda, baru menginjak dewasa, mengenakan baju baru, bajunya bersuara - yakni baju baru tsb menimbulkan suara ketika terseret-seret - karena dia telah mengisbalkannya.
Maka Apa pendapat Anda tentang dia ketika dia berada di tengah masyarakat yang bersepakat terhadap anggapan penampilan seperti itu [adalah kesombongan]?
Oleh karena itu Nabi ﷺ melebihkan perintahnya untuk menyingsingkan pakaiannya, padahal mestinya cukup baginya untuk mengangkatnya hingga mata kaki.
Nampaknya Ibnu Umar dalam dirinya terdapat beberapa makna ini, karena dia tidak menjelaskan udzur [alasan] untuk apa pun setelah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ".
"Barangsiapa menyeret kainnya dengan rasa sombong... "
Seperti Abu Bakar dalam menjelaskan 'udzurnya". [Kutipan Selesai]
Riwayat hadits Isbal dari Ibnu 'Umar Ke 2:
Dari Ibnu Abu Rawwad dari Salim bin Abdullah dari Ayahnya [Abdullah bin Umar] dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
الْإِسْبَالُ فِي الْإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَالْعِمَامَةِ مَنْ جَرَّ شَيْئًا خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ.
"Isbal itu terdapat juga pada kain sarung (celana), pakaian (gamis) dan surban. Barangsiapa menyeret sesuatu dengan sombong, niscaya Allah tidak akan melihat kepadanya pada hari Kiamat kelak."
Abu Bakar berkata; "Husain bin Ali tidak menganggap asing hadits di atas."
[HR. Abu Daud (4094), an-Nasa'i (5334), dan lafadznya adalah miliknya, dan Ibn Majah (3576)]. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih an-Nasaa'i no. 5349.
Riwayat hadits Isbal dari Ibnu 'Umar Ke 3:
Dari Ibnu Umar (RA) ia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda:
"مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ". فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: فَكَيْفَ يَصْنَعْنَ النِّسَاءُ بِذُيُولِهِنَّ. قَالَ: "يُرْخِينَ شِبْرًا". فَقَالَتْ: "إِذًا تَنْكَشِفُ أَقْدَامُهُنَّ". قَالَ: فَيُرْخِينَهُ ذِرَاعًا لَا يَزِدْنَ عَلَيْهِ".
"Barangsiapa menyeret kainnya dengan rasa sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat."
Ummu Salamah bertanya: "Lalu apa yang harus dilakukan kaum wanita dengan dzail (buntut kain bagian bawah) mereka?"
Beliau menjawab: "Mereka boleh memanjangkannya satu jengkal."
Ummu Salamah kembali menyelah: "Kalau begitu telapak kaki mereka akan terlihat!"
Beliau bersabda: "Mereka boleh memanjangkannya sehasta, dan jangan lebih."
[HR. Turmudzi no. 1653, Nasaa'i no. 5241 dan Ahmad no. 4541. Abu Isa Turmudzi berkata: "Hadits ini derajatnya hasan shahih". Dan di shahihkan pula oleh al-Albaani]
Kesimpulan: riwayat-riwayat hadits Ibnu Umar tentang Isbal ini, setelah dikumpulkan ternyata sama sekali tidak menunjukkan haram nya Isbal secara mutlak, melainkan muqoyyad dengan kesombongan. Wallaahu a'lam.
HADITS KE 2:
Dari Abu Hurairah, dia berkata:
بَيْنَمَا رَجُلٌ يُصَلِّي مُسْبِلاً إِزَارَهُ إِذْ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم " اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ " . فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ ثُمَّ قَالَ " اذْهَبْ فَتَوَضَّأْ " . فَذَهَبَ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا لَكَ أَمَرْتَهُ أَنَّ يَتَوَضَّأَ فَقَالَ " إِنَّهُ كَانَ يُصَلِّي وَهُوَ مُسْبِلٌ إِزَارَهُ وَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى لاَ يَقْبَلُ صَلاَةَ رَجُلٍ مُسْبِلٍ إِزَارَهُ
" Ketika seorang laki-laki sedang shalat dengan meng-isbal-kan ujung pakaian bawahnya, tiba-tiba Rasulullah ﷺ berkata kepadanya: "Pergilah lalu berwudhu lah !".
Maka dia pun pergi dan berwudhu lalu kembali.
Beliau ﷺ berkata lagi: Pergilah lalu berwudhu lah !.
Maka dia pun kembali pergi dan berwudhu lalu kembali.
Lalu ada seorang laki-laki berkata kepadanya (Nabi ﷺ): Ya Rasulullah, mengapa Anda menyuruhnya berwudhu?
Beliau ﷺ menjawab: Sesungguhnya dia itu shalat dengan meng-isbal-kan ujung pakaian bawahnya, dan sesungguhnya Allah tidak menerima sholat seorang pria yang meng-isbal-kan ujung pakaian bawahnya. [HR. Abu Daud no. 638 dan no. 4086.]
Al-Imam An-Nawawi, semoga Allah SWT merahmatinya, mengatakan dalam "Riyaadhush Shalihin" (No. 795), "Al -Majmu' Sharh Al-Muhadhdhab" (3/178) dan dalam: "Khulaashotul Ahkaam" (1/331):
" إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ "
"Sanadnya Shahih sesuai Syarat Muslim"
Hadits ini jika seandainya sanadnya shahih, maka tidak ada seorang pun dari kalangan para ulama yang berpendapat demikian.
FIQH HADITS:
Hadits diatas menunjukan dilarangnya Isbal secara muthlak, meskipun tanpa kesombongan.
BANTAHAN:
Hadits ini Di Dhaifkan oleh al-Albaani dalam Dhaif Abu Daud no. 638 dan Dhaif at-Targhiib no. 1248 dan Syeikh Ibnu 'Utsaimiin dalam فتاوى نور على الدرب].
Al-Badr al-Aini, semoga Allah merahmatinya, mengatakan dalam: "Syarah Sunan Abi Daud" (3/169- cet. al-Rusyd).
"الحَدِيثُ مَنْسُوخٌ وَضَعِيفٌ؛ لِأَنَّ فِيهِ رَجُلًا مَجْهُولَ الْاسْمِ، وَهُوَ أَبُو جَعْفَرٍ"أ.هـ.
"Hadits itu telah di mansukh [hukumnya dihapus] dan sanadnya lemah; Karena di dalamnya ada seorang pria yang tidak diketahui namanya, dan dia adalah Abu Jaafar".
Dan Syekh Mahmud Al-Subki berkata dalam: "Al-Manhal Al-'Adzbu Al-Mawruud Syarah Sunan Abi Daud" (5/123):
"وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى عَدَمِ قَبُولِ صَلَاةِ مُسْبِلِ الإِزَارِ، وَلَمْ يَقُلْ بِهِ أَحَدٌ مِنَ الْأُمَّةِ لِضَعْفِ الْحَدِيثِ. وَعَلَى فَرْضِ ثُبُوْتِهِ فَهُوَ مَنْسُوخٌ؛ لِأَنَّ الإِجْمَاعَ عَلَى خِلَافِهِ"أ.هـ.
Dan di dalam hadits terdapat dalil bahwa shalat orang yang meng-isbal-kan pakaiannya tidak diterima, namun tidak ada seorang pun dari umat ini yang berpendapat demikian; karena dhaifnya hadits tersebut. Dan jika seandainya dianggap shahih maka hukumnya sudah dibatalkan [منسوخ]; Karena adanya Ijma' yang menyelisihinya."
Adapun Ibnu Hazm adz-Dzohiri dalam: "Al-Muhalla" (4/102) yang mengatakan makna hadits sesuai dzohirnya, yaitu batalnya sholat orang yang Isbal, maka perkataan ibnu Hazem ini tidak berguna, meskipun itu telah menjadi ketetapan dalam madzhab Daud adz-Dzohiri.
Imam An-Nawawi sendiri mengatakan dalam: "Al-Majmu'" (2/137):
"وَمُخَالَفَتُهُ دَاوُدَ لَا تَقْدَحُ فِي الإِجْمَاعِ عِنْدَ الْجُمْهُورِ"
"Dan penyelisihan Daud adz-Dzohiri tidak mengurangi nilai Ijma' di sisi Jumhur Ualam."
Syeikh al-Albaani dalam Silsilatul Hudaa wan-Nuur (272) berkata:
لَكِنَّ صَلَاةَ الْمُسْبِلِ إِزَارُهُ لَا يُوجَدُ مَا يَقْتَضِي أَنْ تَكُونَ صَلَاتُهُ بَاطِلَةً لَكِنَّهُ آثِمٌ بِلَا شَكٍّ لِأَنَّهُ إِنْ كَانَ يَأثَمُ بِإِسْبَالِهِ إِزَارَهُ خَارِجَ الصَّلَاةِ فَلِأَنْ يَكُونَ آثِمًا بِهَذَا الْاسْبَالِ فِي الصَّلَاةِ مِنْ بَابِ أَوْلَى، لَكِنَّ الْحُكْمَ بِبَطْلَانِ الصَّلَاةِ يَحْتَاجُ إِلَى نَصٍّ خَاصٍّ وَهَذَا النَّصُّ لَا يُوجَدُ إِلَّا فِي حَدِيثٍ ذَكَرَهُ النَّوَوِيُّ فِي رِيَاضِ الصَّالِحِينَ وَهُوَ حَدِيثٌ ضَعِيفٌ فِيهِ رَجُلٌ اسْمُهُ أَبُو جَعْفَرٍ الْمَدِينِيُّ وَهُوَ مَجْهُولٌ.
Tetapi shalat orang yang meng-Isbal-kan pakaiannya, tidak ada alasan yang membatalkan shalatnya, namun dia berdosa tanpa ada keraguan, karena jika ia berdosa dengan meng-Isbal-kan pakaiannya di luar shalat; maka berdosanya dengan meng-isbal-kannya dalam shalat itu lebih utama.
Akan tetapi hukum batalnya shalat karena Isbal, itu memerlukan nash khusus. Dan nash ini hanya terdapat dalam hadits yang disebutkan oleh An-Nawawi dalam Riyadhush Shalihin, dan itu adalah hadits lemah di mana dalam sanadnya ada seorang pria bernama Abu Jaafar al-Madini, yang tidak dikenal (majhul)".
Dan Syeikh Ibnu Utsaimiin dalam Fataawaa Nurun 'Alaa ad-Darb berkata:
هَذَا الْحَدِيثُ رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ - لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ لَا تَقُومُ بِهِ حُجَّةٌ وَالْمُسْبِلُ إِزَارُهُ وَإِنْ قَبِلْتَ صَلَاتَهُ فَهُوَ آثِمٌ
Hadits ini diriwayatkan dari Nabi ﷺ tetapi itu dhaif, tidak bisa di jadikan hujjah. Dan orang yang mengisbalkan pakaiannya, meskipun sholatnya diterima namun dia berdosa".
Namun ada sekelompok para ulama yang menafsirkan hadits tsb sebagai teguran terhadap orang yang ber isbal dengan kesombongan dan ketakaburan; berdasarkan hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لاَ يَنْظُرُ اللهُ إلَى صَلاَةِ رَجُلٍ ، يَجُرّ إزَارَه بَطَراً
" Allah tidak akan mau melihat shalat seorang pria yang menyeret ujung pakainnya dengan kesombongan". [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 1/382 no. 781]
Dan hadits Ibnu Masoud radhiyallahu 'anhu bahwa dia berkata: Saya mendengar Rasulullah, semoga Allah swt, bersabda:
مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِى صَلاَتِهِ خُيَلاَءَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِى حِلٍّ وَلاَ حَرَامٍ
"Siapa yang shalat dalam keadaan isbal disertai kesombongan, maka Allah tidak memberikan jaminan halal dan haram untuknya."
[HR. Abu Daud no. 637. Di shahihkan oleh al-Mundziri dalam at-Targhiib wa at-Tarhiib 3/133 dan al-Albaani dalam Shahih Abi Daud no. 637]
Syarfud-Din ath-Thiibi, semoga Allah merahmatinya, mengatakan - seperti dalam kitab: "Syarah Misykaat al-Mashaabih" (2/510) karya al-Khothib at-Tibriizy -:
لَعَلَّ السِّرَّ فِي أَمْرِهِ بِالتَّوْضِيءِ وَهُوَ طَاهِرٌ أَنْ يَتَفَكَّرَ الرَّجُلُ فِي سَبَبِ ذَلِكَ الْأَمْرِ فَيَقِفَّ عَلَى شِنَاعَةِ مَا ارْتَكَبَهُ وَأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى بِبَرَكَةِ أَمْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطُهُورِ الظَّاهِرِ يُطَهِّرُ بَاطِنَهُ مِنَ التَّكَبُّرِ وَالْخِلَاءِ؛ لِأَنَّ الطُّهُورَ الظَّاهِرَةَ مُؤَثِّرَةٌ فِي طُهُورِ الْبَاطِنِ.
" Mungkin rahasia di balik perintahnya untuk berwudhu dalam keadaan suci adalah agar seorang pria merenungkan alasannya dan mengetahui kekejian dari apa yang dia lakukan.
Dan bahwa Allah Ta'aala dengan berkah-Nya, memerintahkan Rasulullah ﷺ agar dengan kesucian yang dzohir itu bisa mensucikan yang baathin; karena kesucian yang dzahir berpengaruh pada kesucian yang batin".
HADITS KE 3:
Dari Abu Umamah رضي الله عنه, dia berkata:
بينما نَحْنُ مَعَ رَسُول اللَّه ﷺ إذ لحقنا عَمْرو بْن زرارة الْأَنْصَارِيّ، فِي حُلَّةِ إزَارٍ ورِدَاءٍ، وَقَدْ أسْبَلَ، فَجَعَلَ النَّبِيّ ﷺ يَأْخُذ بِحَاشِيَةِ ثَوْبِه وَيَتَوَاضَعُ للهِ عَزَّ وَجَلَّ ويقول: "اللَّهم، عَبْدُك وابْنُ عَبْدِكَ ابْنُ أَمَتِكَ "
حتَّى سمعها عَمْرو بْن زرارة، فالتفت إِلَى النَّبِيّ ﷺ فَقَالَ: "يا رَسُوْلَ اللَّه، إِنِّي حَمِشُ السَّاقَيْنِ "
فقال رَسُول اللَّه ﷺ: "إن اللَّه قَدْ أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلْقَه يا عَمْرو بْن زُرَارَة، إنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ المُسْبِلِيْنَ".
Ketika kami bersama Rasulullah ﷺ, ketika itu kami bertemu dengan ‘Amr Bin Zurarah al-Anshari, saat itu beliau mengenakan sarung dan selendang yang Isbal, maka Nabi ﷺ memegang ujung pakaian nya, lalu beliau merendahkan diri kepada Allah lalu beliau ﷺ berkata:
(Ya Allah aku adalah) hambamu, dan anak dari hambamu, dan anak dari hamba perempuanmu, "
‘Amr pun mendengar ucapan tersebut, maka ia menoleh kepada Nabi ﷺ, lalu berkata: "Ya Rasulallah sesungguhnya betisku kecil".
Rasulallah ﷺ menjawab: "Ya ‘Amr sesungguhnya Allah telah membaguskan segala sesuatu yang telah Dia ciptakan, ya ‘Amr sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang Isbal".
[HR. Thabrani no. 7909, Ahmad no. 17782 dan Ibnu al-Atsiir dalam Asadul Ghoobah 3/720 no. 3919. Cet. Dar al-Fikr]
Hadits ini di Shahihkan al-Albaani dlm as-Silsilah ash-Shahihah 6/405 no. 2682.
-------
TAMBAHAN FAIDAH DARI HADITS ABU UMAMAH:
--------
HUKUM BAGI SEORANG WANITA MENCUKUR DAN MENCABUT JENGGOT NYA:
Syeikh al-Albaani ber-istinbaath pula dari hadits Abu Umamah diatas akan haram nya atas wanita mencukur dan mencabut jenggotnya jika seandainya tumbuh lebat dan panjang.
Syeikh al-Albaani berkata:
وَهَذَا فِي الْوَاقِعِ مِمَّا يُعْطِي قُوَّةً لِلرَّأْيِ الْقَائِلِ بِأَنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا نَبَتَ لَهَا لِحْيَةٌ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَحْلِقَهَا أَوْ تَنْتَفِهَا، لِأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ. وَلَا شَكَّ أَنَّهَا حِينَ تَنْتَفِهَا إِنَّمَا تَفْعَلُ ذَلِكَ لِلْحُسْنِ وَالتَّجَمُّلِ كَمَا تَفْعَلُ الْوَاصِلَةُ لِشَعْرِهَا، فَتَسْتَحِقُّ بِذَلِكَ لَعْنَةَ اللَّهِ، وَالْعِيَاذُ بِاللَّهِ تَعَالَى.
Hal ini justru menguatkan pendapat bahwa jika ada seorang wanita tumbuh jenggot, maka tidak boleh mencukur atau mencabutnya, karena Allah telah menyempurnakan segala sesuatu yang Dia ciptakan.
Tidak diragukan lagi, ketika dia mencabutnya, maka dia melakukannya demi kerupawanan dan kecantikan, seperti halnya seorang wanita yang menyambung rambutnya; maka dia berhak mendapat laknat Allah, Na'uudzu billah". [As-Silsilah As-Shahihah (6/405)]
PENULIS KATAKAN:
Apa yang dikatakan syeikh al-Albaani di atas berbeda dengan Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki dan Madzhab Syafi'i:
Madzhab Hanafi dan Madzhab Syafi'i mereka mengatakan:
يُستحَبُّ للمرأةِ إزالةُ ما نبَتَ مِن شَعرٍ في لِحيتِها وشارِبِها ؛ وذلك لأنَّ هذا الشَّعرَ نابِتٌ في محلٍّ غيرِ مُعتادٍ، فهو مُشَوِّهٌ للخِلقةِ
MUSTAHAB bagi seorang wanita mencabut rambut yang tumbuh di jenggotnya dan kumisnya. Yang demikian itu karena rambut tersebuat tumbuh di tempat yang tidak biasa, dan itu menodai standar ciptaan.
[baca: ((Al-Durr Al-Mukhtar oleh Al-Hashkafi dan Hashiyah Ibnu Abidin)) (6/373), ((Al-Majmu’) oleh Al-Nawawi (1/290), ((Mughni Al-Muhtaaj)) oleh Al-Syarbini (1/191).
Sementara Madzhab Maliki mengatakan: WAJIB bagi seorang wanita mencabut rambut yang tumbuh di jenggotnya dan kumisnya.
Lihat: ((مواهب الجليل)) oleh Al-Haththaab (4/220), ((Asy-Syarh Al-Kabii)) oleh Ad-Dardiir (1/90).
HADITS KE 4:
Imam ath-Thabrani juga meriwayatkannya, beliau berkata: (Hadits ini) "dari ‘Amr bin Zurarah, " dan pada hadits ini disebutkan:
ضَرَبَ رَسُولُ الله ﷺ بِأرْبَعَة أصَابَعَ تحْتَ الأرْبَعِ، فقَالَ: (يَا عَمْرُو هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ) ثُمَّ رَفَعَهَا ، ثُمَّ وَضَعَهَا تَحْتَ الثَّانِيَةِ ، فَقَالَ (يَا عَمْرُو هَذَا مَوْضِعُ الْإِزَارِ)
Bahwa Rasulullah ﷺ memukulkan (meletakkan) empat jari beliau di bawah lutut ‘Amr kemudian beliau ﷺ bersabda: "ya ‘Amr! Inilah (batasan) tempat ujung kain sarung " Kemudian dia mengangkatnya, lalu meletakkannya di bawah yang kedua.
Lalu Beliau ﷺ berkata: (Wahai Amr, ini adalah (batasan) tempat ujung kain sarung). [HR. Ahmad no. 17782].
Di Shahihkan al-Albaani dalam as-Silsilah ash-Shahihah 6/405 no. 2682.
Al-Haafidz Ibnu Hajar berkata:
" وَرِجَاله ثِقَات، وَظَاهِره أَنَّ عَمْرًا الْمَذْكُور لَمْ يَقْصِد بِإِسْبَالِهِ الْخُيَلَاء ، وَقَدْ مَنَعَهُ مِنْ ذَلِكَ لِكَوْنِهِ مَظِنَّةً
Para perawi yang meriwayatkan hadits ini semuanya Tsiqah dan dari segi lahiriyyah konteksnya, bahwa (beliau) ‘Amr yang tersebut dalam hadits tidak memaksudkan Isbalnya sebagai kesombongan, namun Rasulullah tetap melarangnya dari Isbal, karena posisi isbal itu berada pada titik rawan dari kesombongan. [Fathul Baari 10/264].
HADITS KE 5:
Dari hadits asy-Syuraid ats-tsaqafi, ia berkata:
أَبْصَرَ النَّبِيُّ ﷺ رَجُلًا قَدْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: "ارْفَعْ إِزَارَكَ " ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَحْنَفُ يَصْطَكُّ رُكْبَتَاي ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: "ارْفَعْ إِزَارَكَ ، فَكُلُّ خَلْقِ اللَّهِ حَسَنٌ " ، فَمَا رُئِيَ ذَلِكَ الرَّجُلُ بَعْدُ إِلَّا وَإِزَارُهُ إِلَى أَنْصَافِ سَاقَيْهِ
Rasulullah ﷺ melihat seorang yang isbal sarungnya, beliau bersabda: "tinggikan sarungmu".
Orang itu menjawab: "sungguh kakiku bengkok, kedua lututku bersentuhan".
Beliau ﷺ bersabda: "tinggikan sarungmu, semua ciptaan Allah itu bagus".
[HR. al-Humaidi dalam Musnadnya 2/54, Ahmad 4/390 dan Ath-Thabraani sebagaimana disebutkan al-Hafidz dalam Fathul Bari 10/264]
Dan hadits ini Di sebutkan pula oleh as-Sayuuthi dalam "ad-Duror al-Mantsuur 5/172.
Sanadnya di Shahihkan oleh al-Albaani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 1441 dan di ulang lagi di 6/106 dalam takhrij hadits no. 2682.
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
Dan hadits ini di riwayatkan juga oleh Musaddad dan Abu Bakr bin Abi Syaibah melalui beberapa jalur periwayatan dari seorang yang berasal dari Tsaqif yang tidak disebutkan namanya. Di akhir hadits ini disebutkan:
وَذَاكَ أَقْبَحَ مِمَّا بِسَاقَيْكَ
"Isbal itu lebih buruk dari pada cacat yang terdapat di kedua betismu".
[Baca: Fathul Bari 10/264]
HADITS KE 6:
Dari Abu Dzar al-Ghifaari رضي الله عنه, bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ » قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَ مِرَارٍ.
قَالَ أَبُو ذَرٍّ: خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟
قَالَ « الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ ».
"Tiga orang yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat, Allah tidak akan melihat mereka tidak juga mensucikan mereka dan bagi mereka adzab yang pedih."
Rasulullah ﷺ bersabda demikian tiga kali. Abu Dzarr berkata: " Mereka gagal dan merugi sekali, siapa mereka wahai Rasulullah?"
Beliau ﷺ bersabda: "Musbil (orang yang memakai pakaian yang kainnya melebihi mata kakinya), dan orang yang selalu mengungkit pemberiannya, dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu." (HR Muslim no. 106).
TANGGAPAN TENTANG MAKNA HADITS INI :
Tanggpan ke 1 : dari Nuruddin As-Sindy dalam Haasyiahnya berkata;
لَا يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ... إِلَى
آخِرِهِ، كِنَايَةً عَنْ عَدَمِ الِالْتِفَاتِ إِلَيْهِمْ بِالرَّحْمَةِ وَالْمَغْفِرَةِ.
الْمُسْبِلُ مِنَ الْإِسْبَالِ بِمَعْنَى الإِرْخَاءِ عَنِ الْحَدِّ الَّذِي يَنْبَغِي
الْوُقُوفُ عِنْدَهُ وَالْمُرَادُ إِذَا كَانَ عَنْ مُخِيلَةٍ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ
Allah
tidak mengajak bicara.....(hingga akhir hadits), merupakan kinayah tentang
ketiadaan pandangan terhadap mereka dengan pandangan kasih sayang dan ampunan.
Musbil adalah dari kata Isbal yang artinya penjuluran yang melebihi batas yang
seharusnya. Maksudnya adalah jika hal itu karena kesombongan. Wallahu ta'ala
a’lam.
[lihat : Hasyiah as-Sindi Alaa As-Sunan an-Nasaa’i 5/81 no. 2563].
Tanggapan ke 2 : dari Syeikh Alawi Abdul Qadir as-Saqqaf dalam ad-Durar as-Saniyyah berkata:
والنَّوعُ الثَّالثُ: الذي يُطيلُ ثيابَه ويَترُكها تُجَرجِرُ على الأرضِ تَكبُّرًا وفخرًا؛ يَدلُّ عَلى ذلكَ رِوايةُ الصَّحيحَينِ عَن أبي هُرَيرةَ رَضيَ اللهُ عَنهُ، أنَّ رَسولَ اللهِ ﷺ قالَ: «لا يَنظُرُ اللهُ يومَ القيامةِ إلى مَنْ جرَّ إزارَهُ بَطَرًا»، والإزارُ هو اللِّباسُ الذي يُغطِّي الجُزءَ الأسفلَ من الجِسمِ.
قيلَ: إنَّما جمَعَ بَينَ الثَّلاثةِ وقَرَنَها؛ لأنَّ المُسبِلَ هو المُتكبِّرُ المُرتفِعُ بنَفسِه عَلى النَّاسِ وَيَحتقِرُهُم .....".
Dan macam ketiga: orang yang memanjangkan pakaiannya dan membiarkannya menjuntai hingga terseret seret di tanah dengan sombong dan angkuh.
Hal
ini ditunjukkan oleh riwayat dari Shahihain dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«لا يَنظُرُ اللهُ يومَ القيامةِ إلى مَنْ جرَّ إزارَهُ بَطَرًا»
"Allah
tidak akan melihat pada hari kiamat kepada orang yang menjulurkan
pakaiannya hingga terseret karena sombong". [HR. Bukhori no. 5788 dan Muslim no.
2087]
Dan
izaar adalah pakaian yang menutupi bagian bawah tubuh.
HADITS KE 7:
Di dalam hadits Jabir bin Sulaim Abu Juraiy al-Hujaimi, disebutkan bahwa Nabi ﷺ bersabda:
ولاَ تَحْقِرَنَّ مِنَ المَعْرُوفِ شَيْئًا، وأَنْ تُكَلِّمَ أخَاكَ وَأَنْتَ مُنْبَسِطٌ إِلَيْهِ وَجْهُكَ، إنَّ ذَلِكَ مِنَ المَعْرُوفِ، وَارْفَعْ إزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ، فَإنْ أبَيْتَ فَإلَى الكَعْبَينِ، وَإيَّاكَ وَإسْبَالَ الإزَار، فَإنَّهَا مِنَ المَخِيلَةِ. وَإنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ المَخِيلَةَ
"Janganlah engkau meremehkan sedikitpun dari perbuatan yang baik -yakni sekalipun tampaknya tidak berarti dan kurang berharga-, tetapi lakukanlah itu.
Hendaklah engkau berbicara dengan saudaramu dan engkau senantiasa menunjukkan muka yang manis padanya, karena sesungguhnya yang sedemikian itu termasuk perbuatan yang baik.
Angkatlah sarungmu sampai kepertengahan betis, tetapi jikalau engkau enggan berbuat semacam itu, maka bolehlah sampai pada kedua mata kaki. Takutlah pada perbuatan meng-isbal-kan sarung, sebab sesungguhnya yang sedemikian itu termasuk kesombongan dan sesungguhnya Allah itu tidak suka kepada kesombongan".
[HR. Ahmad no. 20651, Abu Daud (4084) dan al-Baihaqi no. 9691.
Dishahihkan oleh oleh al-Hafidz Ibnu Hajar (al-Futuuhat
ar-Rabbaniyyah 5/322) dan al-Albaani dalam shahih Abi Daud no. 4084 dan Shahih al-Jaami' no. 98]
Imam an-Nawawi dalam Riyadholihin no. 119 berkata:
رواهُ أَبُو دَاوُدَ وَالتِّرْمِذِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ، وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: «حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ».
" Diriwayatkan oleh Imam-imam Abu Daud dan Tirmidzi dengan isnad yang shahih dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa ini adalah hadis hasan shahih".
HADITS KE 8:
Dari Abu ad-Dardaa: "Rasulullah ﷺ bersabda:
«نِعْمَ الرَّجُلُ خُرَيمٌ الأسَديُّ! لولا طُولُ جُمَّتِهِ وَإسْبَالُ إزَارِهِ!» فَبَلَغَ ذَلِكَ خُرَيْمًا فَعَجَّلَ، فَأَخَذَ شَفْرَةً فَقَطَعَ بِهَا جُمَّتَهُ إِلَى أُذُنَيْهِ، وَرَفَعَ إزارَهُ إِلَى أنْصَافِ سَاقَيْهِ.
"Sebaik-baik lelaki ialah Khuraim al-Usaidi, andaikata tidak panjang rambut kepala yang menjuntai ke bahunya dan tidak pula meng-isbal-kan sarungnya."
Sabda beliau ﷺ sampailah pada Khuraim, lalu cepat-cepat ia mengambil pisau kemudian ia memotong rambut kepalanya dengan pisau tadi sampai pada kedua telinganya serta mengangkat sarungnya sampai di pertengahan kedua betisnya. [HR. Abu Daud no. 4089]
Imam an-Nawawi berkata dalam Riyadhus Sholihin (119):
رواهُ أَبُو دَاوُدَ بإِسْنَادٍ حَسَنٍ، إِلَّا قَيْسَ بن بِشْرٍ فَاخْتَلَفُوا فِي تَوْثِيقِهِ وَتَضْعِيفِهِ، وَقَدْ رَوَى لَهُ مُسْلِمٌ..
“Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang hasan, kecuali Qais bin Bisyr, maka mereka berbeda pendapat dalam mentautsiqnya atau mendhaifkannya.
Dan Muslim meriwayatkan [hadits-hadits] darinya”.
-------
HADITS KE 10:
Dari Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu’anhu beliau berkata:
« رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ وَهُوَ آخِذٌ بِحُجْزَةِ سُفْيَانَ بْنِ سَهْلٍ وَهُوَ ابْنُ أَبِي سَهْلٍ - وَهُوَ يَقُولُ: «لَا تُسْبِلْ إِزَارَكَ ، فَإِنَّ اللهَ لَا يُحِبُّ الْمُسْبِلِينَ»
"Aku melihat Rasulullah ﷺ mendatangi kamar Sufyan bin Abi Sahl, lalu beliau berkata: ‘Wahai Sufyan, janganlah engkau isbal. Karena Allah tidak mencintai orang-orang yang isbal’"
(HR. Al-Nasa'i dalam Al-Kubra (5/9704), Ibnu Maajah no.2892, Ahmad (4/246 - 250-253), ath-Thabraani 20/423, Ibn Hibban (12/5442), Ibnu Abi Shaybah (5/167) dan Ibn Al-Ja'ad (2235). Dan dalam sanadnya ada perbedaan. Lihat al-Ishoobah karya al-Hafidz Ibnu Hajar (3/103).
Dan al-Haitsam berkata dalam Majma' Al-Zawa'id: "إسناده صحيح، رجاله ثقات [Isnadnya Shahih, para perawinya tsiqoot/dipercaya].
Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Maajah no. 2892.
----
HADITS KE 11:
Dari Hudzaifah Radhiallahu’anhu bahwa Rosulullah ﷺ bersabda:
" مَوْضِعُ الْإِزَارِ إِلَى أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ وَالْعَضَلَةِ ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَأَسْفَلَ ، فَإِنْ أَبَيْتَ فَمِنْ وَرَاءِ السَّاقِ ، وَلَا حَقَّ لِلْكَعْبَيْنِ فِي الْإِزَارِ".
Tempat sarung adalah sampai pertengahan dua betis dan pada tonjolan dagingnya, tetapi jika kamu tidak menghendakinya maka (boleh) di bawah dua betis, dan tidak ada hak bagi mata kaki (tertutupi) sarung".
[HR, Al-Nasa'i (2/299), Al-Tirmidzi (1/329), Ibn Majah (3572) Ibn Hibban (1447) dan Ahmad (5/382 dan 400-401)]
At-Tirmidzi berkata:
"حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ ، رَوَاهُ الثَّوْرِيُّ وَشُعْبَةُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ."
"Hadits Hasan shahih, diriwayatkan oleh Al-Tsawri dan Syu’bah dari Abu Ishaq."
[Lihat: As-Silsilah ash-Shahihah 6/405 karya Syeikh al-Albaani].
-------
HADITS KE 11: ATSAR UMAR BIN AL-KHATHTHAAB:
Dalam Shahih al-Bukhari diriwayatakan dari sahabat ‘Amr bin Maymun tentang kisah terbunuhnya Umar. Saat menjelang ajalnya kaum muslimin berdatangan untuk menjenguk nya. Di antaranya ada seorang pemuda yang memuji-muji beliau:
أَبْشِرْ يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ بِبُشْرَى اللَّهِ لَكَ مِنْ صُحْبَةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَقَدَمٍ فِي الْإِسْلَامِ مَا قَدْ عَلِمْتَ ثُمَّ وَلِيتَ فَعَدَلْتَ ثُمَّ شَهَادَةٌ
"Bergembiralah wahai Amirul Mu’minin dengan kabar gembira dari Allah terhadapmu. Engkau telah menjadi Sahabat Rasulullah shollallaahu ‘alaihi wasallam, engkau termasuk orang yang utama dalam Islam, seperti yang engkau ketahui. Kemudian engkau menjadi pemimpin, dan engkau bersikap adil sebagai pemimpin, kemudian engkau akan menjadi syahid".
Umar bin Khottob menjawab:
وَدِدْتُ أَنَّ ذَلِكَ كَفَافٌ لَا عَلَيَّ وَلَا لِي
" Kalau seandainya (kebaikan-kebaikan) itu seimbang (impas) dengan dosaku (aku sudah senang)"
Selanjutnya, ‘Amr bin Maymun menceritakan:
فَلَمَّا أَدْبَرَ إِذَا إِزَارُهُ يَمَسُّ الْأَرْضَ قَالَ رُدُّوا عَلَيَّ الْغُلَامَ قَالَ يَا ابْنَ أَخِي ارْفَعْ ثَوْبَكَ فَإِنَّهُ أَبْقَى لِثَوْبِكَ وَأَتْقَى لِرَبِّكَ
" Ketika pemuda itu berbalik hendak pergi, Umar melihat sarung pemuda itu menyapu tanah, kemudian Umar berkata:
"Panggil kembali pemuda itu padaku".
Umar selanjutnya berkata kepada pemuda itu: " Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu karena sesungguhnya hal itu lebih AWET [tidak cepat rusak] bagi pakaianmu dan lebih bertaqwa kepada Tuhanmu". (HR al-Bukhari no. 3700)
Dalam riwayat Ibnu Hibban: فَإِنَّهُ أَنْقَى لِثَوْبِكَ artinya karena sesungguhnya hal itu lebih BERSIH bagi pakaianmu ", bukanأَبْقَى artinya: lebih awet atau lebih kekal. [Lihat: Shahih Ibnu Hibbaan no. 6917].
FIQIH HADITS:
Apa yang dilakukan oleh Umar bin al-Khththaab ini menunjukkan bahwa masalah isbal, yaitu mengenakan pakaian dari atas dijulurkan hingga melampaui mata kaki bagi para lelaki adalah masalah besar, haram dan termasuk dosa besar, bukan suatu hal yang bisa dipandang remeh. Jika itu hanyalah dosa kecil, tentunya Umar tidak akan repot-repot memanggil pemuda itu kembali untuk dinasihati. Karena Umar sendiri dalam kondisi kritis menjelang meninggal dunia.
BANTAHANNYA:
Pertama: Umar tidak mengatakan terus terang bahwa Isbal itu haram, namun beliau hanya mengatakan: lebih awet [tidak cepat rusak] untuk pakaianmu dan lebih bertaqwa kepada Rabb mu.
Kedua: pada masa itu sudah menjadi hal yang masyhur bahwa pada umumnya orang yang menyeret-nyeret kain bajunya dalam berpakaian adalah prilaku kesombongan.
Ketiga: lagi pula yang dilakukan pemuda di depan Umar itu bukan Isbal biasa, melainkan dia menyeret ujung pakaiannya diatas tanah yang membuatnya tidak aman dari kotoran najis, apalagi pada masa itu kotoran unta, keledai dan lainnya ada disekitar mereka. Dan juga dengan menyeret ujung kainnya itu lebih nampak kesombongannya dari pada yang hanya sebatas dibawah mata kaki tapi tidak sampai menyentuh tanah.
Keempat: Yang menegur pemuda tsb hanya Umar bin Khththab sendirian, padahal saat itu banyak kaum muslimin termasuk para sahabat Nabi ﷺ.
FIQIH HADITS:
DALAM MENYIKAPI HADITS LARANGAN ISBAL YANG MUTLAK DAN HADITS LARANGAN ISBAL YANG MUQOYYAD DENGAN KESOMBONGAN.
Apakah antara hadits-hadits larangan Isbal secara mutlak dan hadits-hadits yang muqoyyad dengan keombongan bisa digabungkan, dengan cara: yang muthlak di bawa ke yang muqoyyad. Atau masing-masing dari dua kelompok hadits tsb berdiri sendiri???
Para ulama yang mengharamkan Isbal secara mutlak menyatakan bahwa masing-masing hadits larangan Isbal secara Muthlak dan Hadits larangan Isbal muqoyyad dengan kesombongan hukumnya berdiri sendiri. Tidak boleh di gabungkan antara yang satu sama yang lain dengan teori kaidah atau muqoddimah Ushul, seperti kaidah " Yang Mutlak dibawa kepada yang muqoyyad atau kaidah Mafhum ash-Shifat.
Dengan demikian hukum Isbal menurutnya adalah mutlak haram, baik dengan kesombongan maupun tidak.
Ash-Shan'aani dalam kitab " استِيفاءُ الأَقْوالِ فِي تَحْرِيمِ الإِسْبالِ عَلَى الرِّجَالِ. " menyatakan:
وَلِنَعُدَّ إِلَى تَحْرِيرِ الْمَقَالِ فِي الإِسْبَالِ، فَنَقُولُ: هُنَا أَرْبَعُ صُورٍ: إِسْبَالٌ مَعَ مَخِيلَةٍ ، وَبِغَيْرِهَا، فِي الصَّلَاةِ ، وَفِي غَيْرِهَا.
الأَوَّلُ: الإِسْبَالُ فِي الصَّلَاةِ:
قَالَ النَّوَوِيُّ: إِنَّهُ فِي الصَّلَاةِ وَفِي غَيْرِهَا سَوَاءٌ، فَإِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ فَهُوَ حَرَامٌ ، وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ الْخُيَلَاءِ فَهُوَ مَكْرُوهٌ"
Mari kita kembali mengklasifikasi pembahasan tentang Isbal ! Maka kita katakan:
Di sini ada empat gambaran:
- Isbal dengan kesombongan,
- dan Isbal tanpa kesombongan.
- Isbal dalam Sholat,
- dan lainnya.
Yang pertama: Isbal dalam shalat
An-Nawawi berkata: "Sesungguhnya Isbal dalam shalat dan yang lainnya itu sama saja. Jika untuk kesombongan, maka itu diharamkan. Dan jika itu untuk selain kesombongan, maka itu makruh."
Kemudian Ash-Shan'aani berkata:
فَأَمَّا السُّدُلُ لِغَيْرِ الْخَيْلَاءِ فِي الصَّلَاةِ فَهُوَ خَفِيفٌ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- وَقَدْ قَالَ: إِنَّ إِزَارِي يَسْتَرْخِي، أَيْ يَسْقُطُ مِنْ أَحَدِ شَقِي -: "إِنَّكَ لَسْتَ مِنْهُمْ" انْتَهَى.
Adapun Isbal yang tidak untuk kesombongan dalam shalat, maka itu ringan, sebagaimana Nabi ﷺ bersabda kepada Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, dan Abu Bakar berkata: "Pakaian sarungku melorot ", yakni melorot pada salah satu sisinya: "Nabi ﷺ bersabda "Sesungguhnya engkau bukan termasuk dari mereka." [Selesai].
Kemudian Ash-Shan'aani berkata:
كَلَامُهُ مَبْنِيٌّ عَلَى تَسْلِيمِ مُقَدَّمَتَيْنِ: الْأُولَى: حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ. وَالثَّانِيَةُ: الْقَوْلُ بِمَفْهُومِ الصِّفَةِ. وَفِي الْمُقَدَّمَتَيْنِ نِزَاعٌ طَوِيلٌ بَيْنَ أُئِمَّةِ الْأُصُولِ تَأْتِي الْإِشَارَةُ إِلَيْهِ"
Perkataan nya [Para ulama yang membolehkan Isbal tanpa kesombongan] didasarkan pada penerapan dua muqoddimah [dua kaidah]:
Muqoddimah Pertama:
حَمْلُ المُطْلَقِ عَلَى المُقَيَّدِ
Bahwa yang mutlak harus dibawa kepada yang muqoyyad.
Muqoddimah Yang kedua:
القَوْلُ بِمَفْهُوْمٍ الصِّفَةِ
Berpedoman dengan "Mafhum ash-Shifah".
Sementara dalam dua muqoddimah ini terdapat perselisihan panjang antara para imam tentang kaidah-kaidah ushul tersebut [Selesai kutipan dari ash-Shan'aani].
[[Penulis jelaskan dulu: tentang hal berikut ini :
القَوْلُ بِمَفْهُوْمٍ الصِّفَةِ
Berpedoman dengan "Mafhum ash-Shifah".
Mafhum (مَفْهُوْم) adalah makna yang ditunjukkan oleh lafadz diluar apa yang diucapkan. Contoh: Allah SWT berfirman:
فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا
" Maka janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan janganlah kamu membentak mereka " [QS. Al-Isra: 23]
Secara textual ayat ini menunjukkan keharaman berbicara kotor dan kasar kepada kedua orang tua. Akan tetapi mafhum nya adalah tidak boleh menyakiti mereka, termasuk memukulnya dan lainnya.
Yang Termasuk Mafhum ash-Shifat / مَفْهُوْمٍ الصِّفَةِ adalah hal-hal berikut ini:
1. Mafhum illat (مَفْهُوْمٍ العِلَّةِ) . Contoh:
أَعْطِ السَّائِلَ لِحَاجَته
"Berilah orang minta-minta karena kebutuhannya".
'illat dari pemberian yang diperintahkan adalah membutuhkan. Mafhum-nya orang yang tidak membutuhkan, tidak berhak memperoleh pemberian".
2. Mafhum Dzorof (مَفْهُوْمٍ الظَّرْف) . Dzorof Zaman atau Tempat. Contoh:
إِجْلِسْ أمامَ فُلاِن
"Duduklah di depan Fulan".
Mafhum nya: tempat duduk yang diperintahkan adalah di arah depan si Fulan, bukan di arah lain nya.
3. Mafhum Haal [kondisi] ( مَفْهُوْمٍ الحَالِ) . Contoh:
أَحْسِنْ إلى العَبْدِ مُطيْعًا
Berbuat baiklah pada hamba sahaya yang taat.
4. Mafhum Syarat (مَفْهُوْمٍ الشَّرْطِ) . Contoh:
وَإِن كُنَّ أُو۟لَٰتِ حَمْلٍۢ فَأَنفِقُوا۟ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Dan jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan, (QS. At-Talaq: 6)
5. Mafhum Ghooyah [batas akhir] (مَفْهُوْمٍ الغَايَةِ) . Contoh:
فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُۥ مِنۢ بَعْدُ حَتَّىٰ تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ
Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. [QS. Al-Baqarah: 230].
6. Mendahulukan Ma'mul [yang diajak berdialog] (تَقْدِيْم المَعْمُوْل). Contoh:
اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ
Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS. Al-Fatihah: 5)
7. Mafhum 'Adad [bilangan] (مَفْهُوْمٍ العَدَدِ). Contoh:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera/cambuk [QS. An-Nuur: 4].
8. Mafhum Hashr [khusus dan terbatas] (مَفْهُوْمٍ الحَصْرِ) . Contoh:
اِنَّمَآ اِلٰهُكُمُ اللّٰهُ الَّذِيْ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۗ
Sungguh, Tuhanmu hanyalah Allah, tidak ada tuhan selain Dia.
9. Mafhum Dhomir Fashl [kata ganti pemisaha] (مَفْهُوْمٍ ضَمِيْر الفَصْلِ) . Contoh:
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ
Sesungguhnya Allah Dialah yang Maha kaya lagi Maha Terpuji.
10. Mafhum istitsna [pengecualian] (مَفْهُوْمٍ الاسْتِثْنَاءِ). Contoh:
قَامَ القَوْمُ إلاَّ زَيْدٌ
Orang-orang semuanya berdiri kecuali Zaid.]].
Para ulama yang menetapkan bolehnya berdalil dengan konsep Mafhum ash-Shifat berargumentasi dengan dua dalil [seperti yang terdapat dalam Mukhtashar Ibnu al-Haajib dan kitab-kitab Ushul lainnya], yaitu:
الأَوَّلُ : أَنَّهُ نُقِلَ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ - وَهُوَ مِنْ أُئِمَّةِ اللُّغَةِ - أَنَّهُ قَالَ فِي قَوْلِهِ ﷺ: "لَيُّ الْوَاجِدِ يَحْلُ عُقُوبَتَهُ وَعَرْضَهُ"، أَنَّهُ يُدْلِي أَنَّ لَيَّ غَيْرَ الْوَاجِدِ لَا يَحْلُ عَرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ. قَالَ: وَفِي قَوْلِهِ ﷺ: "مُطِلُّ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ" مِثْلَ هَذَا.
وَأَنَّهُ قِيلَ لَهُ فِي قَوْلِهِ ﷺ: "لَأَنْ يَمْتَلِئَ بَطْنُ أَحَدِكُمْ قَيْحًا خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمْتَلِئَ شِعَرًا"، الْمُرَادُ بِالشِّعَرِ هُنَا: الْهَجَاءُ مُطْلَقًا، أَوْ هَجَاءُ النَّبِيِّ ﷺ. فَقَالَ: لَوْ كَانَ كَذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لِذِكْرِ الْامْتِلَاءِ مَعْنًى، لِأَنَّ قَلِيلَهُ وَكَثِيرَهُ سَوَاءٌ، فَجَعَلَ الْامْتِلَاءَ مِنَ الشِّعَرِ فِي قُوَّةِ الشِّعَرِ الْكَثِيرِ، فَفَهِمَ مِنْهُ أَنَّ الْقَلِيلَ لَيْسَ كَذَلِكَ، فَاحْتَجَ بِهِ. وَقَدْ أَلْزَمَ مِنْ تَقْدِيرِ الصِّفَةِ الْمَفْهُومِ، فَكَيْفَ مَعَ التَّصْرِيحِ بِهَا؟ قَالُوا: وَلِأَنَّهُ قَالَ بِمَفْهُومِ الصِّفَةِ الشَّافِعِيِّ، وَهُوَ وَأَبُو عُبَيْدَةَ مِنْ أُئِمَّةِ اللُّغَةِ، فَظَهَرَ إِفَادَتُهَا لُغَةً. انْتَهَى.
Pertama: Dikutip dari Abu Ubaidah - yang merupakan salah satu imam dalam bahasa - bahwa dia berkata tentang sabda Nabi ﷺ:
" لَىُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ".
"Penundaan hutang oleh seorang yang mampu membayar hutang, menghalalkan kehormatan (harga diri) dan pemberian hukuman padanya." [HR. Ahmad]
Hadits Ini menunjukkan bahwa orang yang tidak mampu membayar hutang; maka tidak halal kehormatannya [harga dirinya] dan menimpakan hukuman padanya
Dan dia berkata pula: "tentang sabda beliau ﷺ:
"مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ ، فَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىٍّ فَلْيَتْبَعْ".
"Penundaan (pembayaran hutang dari) seorang yang kaya adalah sebuah kedzaliman [HR. Bukhori], ini juga sama seperti yang diatas.
Dan ditanyakan kepadanya tentang sabda beliau ﷺ:
« لأَنْ يَمْتَلِئَ جَوْفُ رَجُلٍ قَيْحًا خَيْرٌ له مِن أَنْ يَمْتَلِئَ شِعْرًا »
"Lebih baik perut salah satu dari kalian dipenuhi dengan nanah daripada dipenuhi dengan Sya'ir." [HR. Muslim no. 2259]
Apakah Yang dimaksud dengan syair disini: al-Hijaa' [Syair Cacian & Penghinaan] secara mutlak atau al-Hijaa' [Syair Cacian & Penghinaan] kepada Nabi ﷺ?
Dia [Abu Ubaidah] menjawab: Jika seperti itu, maka penyebutan kata "dipenuhi" tidak akan ada artinya, karena sedikit dan banyaknya adalah sama, maka ia menjadikan kata "dipenuhi' dari syair dalam arti kekuatan syair yang banyak. Dari situ difahami bahwa jika sedikit maka tidak begitu, maka dia menjadikannya sebagai argumentasi. Dan itu telah melazimkan perkiraan safat akan adanya Mafhum, jika demikian adanya lalu bagaimana jika jelas-jelas menyatakannya?
Mereka berkata:
Dan juga karena orang yang berhujjah dengan konsep mafhum ash-Shifah adalah Imam Syafi'i, sementara dia itu dan Abu Ubaidah adalah termasuk para imam dalam bahasa, maka pernyataannya berfaidah sebagai bahasa yang diakui.
[selesai pembahasan tentang Mafhum ash-Shifat].]]
BANTAHAN TERHADAP ASH-SHAN'AANI:
Abu Firoos berkata:
إذًا مَوْقَفُ الصَّنْعَانِيِّ مِنْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ وَاضِحٌ جِدًّا فَهُوَ لَا يُصَحِّحُ قَضِيَّتَيْنِ أُصُولِيَّتَيْنِ بَنَى عَلَيْهِمَا مِنْ قَيْدِ نُصُوصِ الْوَعِيدِ بِالْخُيَلَاءِ:
1- حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ. 2- الْقَوْلُ بِمَفْهُومِ الصِّفَةِ.
Jadi sikap dan pendirian Ash-Shan'ani tentang masalah ini sangat jelas, karena dia tidak membenarkan dua kaidah ushul [dua muqoddoimah] di terapakan dalam masalah ini, yang mana berdasarkan dua kaidah ini hukum haramnya Isbal dan menyeret kain pakaian itu di taqyid [di batasi] dengan kesombongan.
Dua Kaidah ushul tsb adalah:
- kaidah yang mutlak harus dibawa kepada yang muqoyyad.
- kaidah Mafhum ash-Shifah.
Lalu abu Firoos menanggapinya:
وَهَذَا الْمَوْقِفُ مِنَ الصَّنْعَانِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ غَرِيبٌ جِدًّا، فَالْغَالِبُ عَلَى أَهْلِ الْعِلْمِ هُوَ اعْتِبَارُ هَاتَيْنِ الْقَضِيَّتَيْنِ.
وَنَحْنُ الْآنَ بَيْنَ أَمْرَيْنِ:
1- إِمَّا أَنْ نَتَكَلَّفَ الِاحْتِجَاجَ لِهَاتَيْنِ الْقَضِيَّتَيْنِ الْأُصُولِيَّتَيْنِ
2- أَوْ أَنْ نُحِيلَ النِّقَاشَ فِي هَذِهِ الْمَسَائِلِ إِلَى كُتُبِ الْأُصُولِ فَهِيَ بِهِ أَشْبَهُ.
وَبِمَا أَنَّ الْغَالِبَ عَلَى أَهْلِ الْعِلْمِ هُوَ اعْتِبَارُ هَاتَيْنِ الْمَسْأَلَتَيْنِ الْأُصُولِيَّتَيْنِ فَإِنَّا نَخْتَارُ الْخِيَارَ الثَّانِيَ، غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُمْكِنُنَا بِهَذِهِ الطَّرِيقَةِ أَنْ نَنْقُضَ كَلَامَ الصَّنْعَانِيِّ إِلَّا بِإِثْبَاتِهَا عَلَيْهِ ثُمَّ تَقْرِيرِهِ بِهَا عَلَى الْمَسْأَلَةِ الْحَاضِرَةِ.
Sikap dan pendirian Al-San'ani ini sangat aneh, karena mayoritas para ulama menggunakan dua kaidah ini.
Kita sekarang berada di antara dua opsi:
- Apakah kita diharuskan berargumentasi dengan dua kaidah ushul ini ?.
- Atau kita merujuk pembahasan masalah ini ke kitab-kitab ushul, yang lebih tepat dengannya?.
Karena mayoritas para ulama mempertimbangkan dua masalah ini dengan menggunakan kaidah ushul, maka kami memilih opsi kedua, namun, kita tidak bisa dengan methode ini membantah pernyataan Al-San'ani kecuali dengan kesepakatan untuk menetapkan methode ini terlebih dahulu padanya, kemudian setelah itu menerapkannya pada masalah yang kita hadapi ini.
Lalu Abu Firoos melanjutkan tanggapannya:
وَهَذِهِ الطَّرِيقَةُ فِي النِّقَاشِ مَعَ الصَّنْعَانِيِّ هِيَ نَفْسُ الطَّرِيقَةِ الَّتِي اسْتَعْمَلَهَا الصَّنْعَانِيُّ نَفْسُهُ فِي حَاشِيَتِهِ الْعُدَّةِ عَلَى إِحْكَامِ الْأَحْكَامِ حِينَ حَاكَمَ بَيْنَ الْإِمَامَيْنِ: ابْنِ حَزْمٍ وَابْنِ دَقِيقِ الْعِيدِ فِي مَسْأَلَةِ الْبَوْلِ فِي الْمَاءِ الدَّائِمِ ثُمَّ قَضَى لِابْنِ حَزْمٍ، وَمَا ذَاكَ إِلَّا لِأَنَّ الشَّارِحَ وَهُوَ ابْنُ دَقِيقِ الْعِيدِ أَهْمَلَ أَصْلًا أَصِيلًا تَدُورُ عَلَيْهِ فَلَكُ الْمُنَاظَرَةِ وَهُوَ تَسْلِيمُ الْمُخَالِفِ.
وَكَانَ فِي ذَلِكَ الْمَوْضِعِ يُدَافِعُ عَنْ ابْنِ حَزْمٍ فِي اسْتِطَالَةِ الْفُقَهَاءِ عَلَيْهِ وَيَقُولُ: ابْنُ حَزْمٍ يُنَازِعُكُمْ فِي هَذِهِ الْأُصُولِ فَأَثْبِتُوهَا عَلَيْهِ ثُمَّ قَرِّرُوهُ بِهَا.
Dan metode ini yang digunakan dalam berdiskusi dengan Ash-Shan'ani, sebenarnya ia adalah metode yang sama yang digunakan oleh Ash-Shan'ani sendiri dalam kitabnya حَاشِيَةُ العُدَّةِ عَلَى إِحْكَامِ الْأَحْكَامِ ketika dia memutuskan sebuah hukum di antara dua imam, yaitu antara Ibnu Hazem dan Ibnu Daqiiq al-"Iid dalam perselisihan tentang masalah kencing di air yang diam tidak mengalir.
Kemudian dia memenangkan pendapat Ibnu Hazm, dan itu hanya karena pensyarah Kitab, yaitu Ibnu Daqiiq al-'Iid, mengabaikan prinsip dasar yang menjadi dasar perdebatan, yaitu penyerahan terhadap lawan yang menyelisihinya.
Dan di posisi itu Ash-Shan'aani membela Ibnu Hazm dalam menghadapi perkataan para Fuqooha yang mengandung celaan tentang ibnu Hazem, dengan mengatakan:
ابْنُ حَزْمٍ يُنَازِعُكُمْ فِي هَذِهِ الْأُصُولِ فَأَثْبِتُوهَا عَلَيْهِ ثُمَّ قَرِّرُوهُ بِهَا
Ibnu Hazm membantah kalian dalam penetapan kaidah-kaidah ushul ini, maka silahkan kalian buktikan kaidah itu padanya dan kemudian kalian putuskan padanya denganya.
Lalu Abu Firaas berkesimpulan dengan mengatakan:
وَنَحْنُ هُنَا وَإِنْ لَمْ نَتَّفِقْ مَعَ الصَّنْعَانِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي مُخَالَفَةِ هَذِهِ الْأُصُولِ إِلَّا أَنَّهُ قَدْ لَقَّنَّا فِي ذَلِكَ الْمَوْضِعِ دَرْسًا نَمْتَنِعُ مَعَهُ أَنْ نُحَاكِمَهُ بِمَا لَا يُسَلِّمُهُ.
Kami di sini, meskipun kami tidak sepakat dengan Ash-Shan'aani dalam menyelisihi kaidah-kaidah ushul ini, namun sungguh dia mengajari kami dalam masalah itu pelajaran yang dengannya kami menahan diri untuk tidak menghakimi nya dengan sesuatu yang dia tidak mau menerimanya.
Ibnu al-Atsiir [w. 630 H] berkata dalam an-Nihaayah:
"المُسْبِلُ إِزَارَهُ: هُوَ الَّذِي يُطَوِّلُ ثِيَابَهُ وَيُرْسِلُهَا إِلَى الْأَرْضِ إِذَا مَشَى وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ كِبْرًا وَاخْتِيَارًا"
" Orang yang meng-isbal-kan kain sarungnya: Dia adalah orang yang memanjangkan pakaiannya dan melandaikannya ke tanah ketika dia berjalan, dan dia melakukannya itu karena kesombongan dan sengaja sesuai pilihannya
*******
PENDAPAT KE TIGA:
HUKUM ISBAL TANPA KESOMBONGAN ADALAH MAKRUH
Kholil Ahmad As-Sahaarunfuri al-Hanafi [w. 1346 H] berkata:
قَالَ العُلَمَاءُ: المُسْتَحَبُّ فِي الإِزَارِ وَالثَّوْبِ إِلَى نِصْفِ السَّاقَيْنِ، وَالجَائِزُ بِلَا كَرَاهَةٍ مَا تَحْتَهُ إِلَى الكَعْبَيْنِ، فَمَا نَزَلَ عَنِ الكَعْبَيْنِ فَهُوَ مَمْنُوعٌ. فَإِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ فَهُوَ مَمْنُوعٌ مَنْعَ تَحْرِيمٍ وَإِلَّا فَمَنْعُ تَنْزِيهٍ.
"Para ulama berkata: Dianjurkan dalam memakai sarung dan pakaian hingga setengah betis. Hukumnya boleh (tanpa makruh) jika melebihi setengah betis hingga mata kaki. Sedangkan jika melebihi mata kaki maka dilarang. Jika melakukannya karena sombong maka haram, jika tidak maka MAKRUH" (Lihat: Badzlul Majhuud 16/411)
Imam An-Nawawi mengatakan dalam Sharh Muslim (14/62):
لَا يَجُوزُ إِسْبَالُهُ تَحْتَ الكَعْبَيْنِ إِنْ كَانَ لِلْخُيَلَاءِ، فَإِنْ كَانَ لِغَيْرِهَا فَهُوَ مَكْرُوهٌ، وَظَوَاهِرُ الأَحَادِيثِ فِي تَقْيِيدِهَا بِالْجَرِّ خُيَلَاءَ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ التَّحْرِيمَ مَخْصُوصٌ بِالْخُيَلَاءِ، وَهَكَذَا نَصَّ الشَّافِعِيُّ عَلَى الفَرْقِ" انْتَهَى.
Tidak boleh meng-isbal-kannya ke bawah mata kaki jika untuk kesombongan. Dan jika untuk yang lain bukan kesombongan maka MAKRUH.
Makna yang tampak dari hadis-hadis tsb dalam membatasinya dengan menyeret untuk kesombongan menunjukkan bahwa pengharamannya itu khusus untuk kesombongan, dan ini adalah sebagaimana Imam asy-Syaafa'i menetapkan perbedaannya.
Abu Naja Al Maqdisi al-Hanbali Dalam kitab Al-Iqnaa' (1/139) di sebutkan:
وَيُكْرَهُ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُ الرَّجُلِ إِلَى فَوْقِ نِصْفِ سَاقِهِ وَتَحْتَ كَعْبِهِ بِلَا حَاجَةٍ، لَا يُكْرَهُ مَا بَيْنَ ذَلِكَ.
"Makruh hukumnya pakaian seorang lelaki panjangnya di atas pertengahan betis atau melebihi mata kaki tanpa adanya kebutuhan. Jika di antara itu [pertengahan betis sampai sebelum mata kaki] maka tidak makruh".
Ibnu Quddaamah berkata dalam: "Al-Mughni" (2/298):
"وَيُكْرَهُ إِسْبَالُ الْقَمِيصِ وَالإِزَارِ وَالسِّرْوَالِ؛ فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ عَلَى وَجْهِ الْخُيَلَاءِ حَرُمَ" انْتَهَى.
Adalah makruh meng-Isbal-kan Gamish, izaar dan celana. Maka jika seseorang melakukan itu karena kesombongan, maka itu diharamkan.
Ibnu Muflih berkata dalam "Al-Adab al-Syar’iyyah" (3/521):
وَاخْتَارَ الشَّيْخُ تَقِيُّ الدِّينِ رَحِمَهُ اللَّهُ (ابْنُ تَيْمِيَّةَ) عَدَمَ تَحْرِيمِهِ ، وَلَمْ يَتَعَرَّضْ لِكَرَاهَةٍ وَلَا عَدَمِهَا " انتهى
Dan Syeikh Taqiyud-Diin (Ibnu Taymiyyah), semoga Allah merahmatinya, memilih pendapat tidak mengharamkannya, namun dia tidak menjelaskan apakah itu makruh atau mubah".
Dan lihat: "Syarh al-'Umdah" oleh Sheikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, hlm. (361-362).
Al-Hafidz Ibnu Abd al-Barr mengatakan dalam "Al-Tamhiid" (3/244):
وَهَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّ مَنْ جَرَّ إِزَارَهُ مِنْ غَيْرِ خُيَلَاءَ وَلَا بَطَرٍ أَنَّهُ لَا يَلْحَقُهُ الْوَعِيدُ الْمَذْكُورُ، غَيْرَ أَنَّ جَرَّ الإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَسَائِرِ الثِّيَابِ مَذْمُومٌ عَلَى كُلِّ حَالٍ.
"Hadits ini menunjukkan bahwa orang yang menyeret pakaian bawahnya tanpa kesombongan atau ketakaburan; maka tidak akan tersentuh oleh ancaman tersebut, namun demikian menyeret izaar, gamis dan semua pakaian lainnya itu tercela dalam hal apapun."
Abu al-Hasan Ali al-'Adawi dalam Haashiyah al-Adawy (2/453) berkata:
الْحَاصِلُ أَنَّ النُّصُوصَ مُتَعَارِضَةٌ فِيمَا إذَا نَزَلَ عَنْ الْكَعْبَيْنِ بِدُونِ قَصْدِ الْكِبْرِ: فَمُفَادُ "الْحَطَّابِ"-من علماء المالكية-أَنَّهُ لَا حُرْمَةَ بَلْ يُكْرَهُ ، ومُفَادُ "الذَّخِيرَةِ"-كتاب للإمام القرافي -: الْحُرْمَةُ. و َالظَّاهِرُ: أَنَّ الَّذِي يَتَعَيَّنُ الْمَصِيرُ إلَيْهِ الْكَرَاهَةُ الشَّدِيدَةُ"
"Intinya adalah bahwa nash-nash itu saling bertentangan, dalam hal pakaian jika turun melandai di bawah mata kaki tanpa bermaksud sombong.
Jadi yang dimaksud oleh "Syeikh Al-Haththob"-dari kalangan para ulama Maliki-adalah bahwa Isbal tidak haram, melainkan MAKRUH, dan yang dimaksud oleh kitab "Adz-Dzakhiiro"-kitab karya Imam Al-Qoroofi-adalah: haram.
Dan yang nampak dari keputusan akhir hukumnya adalah MAKRUH YANG SANGAT "
====
DALIL PENDAPAT YANG MEMAKRUHKAN ISBAL:
Para ulama yang memakruhkan rata-rata berpegangan pada hadits larangan Isbal yang mutlak, yakni sama dengan dalil para ulama yang mengharamkannya.
KESIMPULAN DAN TARJIH
Ada sebagian para ulama yang berkesimpulan: bahwa hukum Isbal itu tergantung pada kondisi dan kuatnya anggapan kesombongan terhadap Isbal ditengah masyarakat pada masanya. Mereka berkata :
وَإِذَا كَانَ الإِسْبَالُ مُظِنَّةَ الْخُيَلَاءِ، وَكَانَ غَالِبُ النَّاسِ يَفْعَلُونَهُ خُيَلَاءَ كَمَا سَبَقَ فِي كَلَامِ شَيْخِ الإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَغَيْرِهِ، كَانَ الإِفْتَاءُ بِمَنْعِهِ وَتَحْرِيمِهِ قَوْلًا قَوِيًّا مُؤَيَّدًا بِمَا سَبَقَ مِنَ الأَحَادِيثِ.
Jika isbaal itu adalah sesuatu yang sudah dianggap sebagai prilaku kesombongan, dan pada umumnya orang-orang yang melakukannya itu karena kesombongan - Sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam perkataan Syekhul-Islam Ibnu Taimiyah dan lainnya, ; maka fatwa yang melarangnya dan mengharamkannya itu adalah pendapat yang kuat yang didukung oleh hadits-hadits yang telah disebutkan diatas.
Dan ada pula pendapat yang ke empat: yaitu yang berpendapat bahwa Isbal dengan SOMBONG hanya Makruh saja, namun pendapat ini terbantahkan dengan ancaman Neraka yang begitu jelas dalam Nash yang tidak bermakna lain selain haram.
Al-Haafidz Hajar al-‘Asqalani dalam kitabnya Fathul-Bari (10/315) menyatakan: "Bahwa dari hadits-hadits tersebut ada pertimbangan-pertimbangan keadaan masing-masing orang di dalam menentukan suatu hukum".
Wallaahu a'lam.
=====******=====
HUKUM AS-SADL
Ash-Shan'aani dalam kitabnya استِيفاءُ الأَقْوالِ فِي تَحْرِيمِ الإِسْبالِ عَلَى الرِّجَالِ 1/32-33 berkata:
" Makna السَّدْلُ [as-Sadl]. Ibnu al-Atsiir dalam an-Niahaayah berkata:
وَالسَّدْلُ: هُوَ أَنْ يَلْتَحِفَ بِثَوْبِهِ، وَيُدْخِلَ يَدَيْهِ مِنْ دَاخِلٍ، فَيَرْكَعَ وَيَسْجُدَ وَهُوَ كَذَلِكَ. وَكَانَتِ الْيَهُودُ تَفْعَلُهُ، فَنُهُوا عَنْ ذَلِكَ. وَهَذَا مُطَّرِدٌ فِي الْقَمِيصِ وَغَيْرِهِ مِنَ الثِّيَابِ.
وَقِيلَ: هُوَ أَنْ يَضَعَ وَسَطَ الإِزَارِ عَلَى رَأْسِهِ، وَيُرْسِلَ طَرَفَيْهِ عَنْ يَمِينِهِ وَشِمَالِهِ، مِنْ غَيْرِ أَنْ يَجْعَلَهُمَا عَلَى كَتِفَيْهِ. وَمِنْهُ حَدِيثُ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: أَنَّهُ رَأَى قَوْمًا وَهُمْ يُصَلُّونَ وَقَدْ سَدَلُوا ثِيَابَهُمْ، فَقَالَ: كَأَنَّهُمْ الْيَهُودُ. انْتَهَى.
[As-Sadl] adalah: Dia menyelimuti dirinya dengan pakaiannya, dan memasukkan kedua tangannya ke dalam, lalu dia ruku' dan sujud dalam keadan dia seperti itu. Dan dulu orang-orang Yahudi melakukannya, maka mereka [kaum muslimin] dilarang dari itu. Dan hukum ini berlaku pula pada baju dan pakaian lainnya.
"Dan dikatakan: as-Sadl adalah meletakkan bagian tengah pakaian di atas kepalanya, dan melandaikan dua ujungnya ke kanan dan kiri, tanpa menempatkan keduanya di pundaknya.
Dan diantara dalil yang melarangnya adalah hadits Ali radhiyallahu 'anhu:
"Bahwa Ia melihat suatu kaum sedang shalat dan pakaian mereka men-SADL-kan pakaiannya, maka ia berkata: Seakan-akan mereka seperti orang-orang Yahudi".
Lalu: Ash-Shan'aani berkata:
وَبِهَذَا يُعْرَفُ أَنَّ تَفْسِيرَ ابْنِ رَسْلَانَ فِي شَرْحِهِ لِلسُّنَنِ لِلسَّدْلِ وَالإِسْبَالِ: بِأَنَّهُ إِرْسَالُ طَرَفَيْ الرِّدَاءِ - وَمَا فِي مَعْنَاهُ مِنَ الطَّيْلَسَانِ وَنَحْوِهِ - حَتَّى تُصِيبَ الأَرْضَ بِذَيْلِهَا، غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّهُ بُنِيَ عَلَى أَنَّهُمَا مُتَرَادِفَانِ، وَكَلَامُ (النِّهَايَةِ) يَقْضِي بِتَغَايُرِهِمَا، وَهُوَ الَّذِي دَلَّ عَلَيْهِ صَنِيعُ الْبَيْهَقِيِّ فِي (السُّنَنِ الْكُبْرَى)؛ فَإِنَّهُ عَقَدَ لِكُلِّ وَاحِدٍ بَابًا مُسْتَقِلًّا.
وَيَدُلُّ لَهُ مَا فِي (سُنَنِ التِّرْمِذِيِّ)؛ فَإِنَّهُ قَالَ: (بَابُ مَا جَاءَ فِي كَرَاهِيَةِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ). ثُمَّ ذَكَرَ بِسَنَدِهِ إِلَى عَسَلِ بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ عَطَاءٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ.
قَالَ: وَفِي الْبَابِ عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ. قَالَ أَبُو عِيسَى: حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ عَطَاءِ [عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا] إِلَّا مِنْ حَدِيثِ عَسَلِ بْنِ سُفْيَانَ. انْتَهَى.
Dengan ini, maka diketahui bahwa penafsiran Ibnu Ruslan dalam kitab Syarah Sunan nya tentang makna as-Sadl dan al-Isbaal adalah melandaikan dua ujung Ridaa' [selempang] - dan dan yang semakna dengan Ridaa' seperti Thailasaan [jenis selempang] dan sejenisnya - hingga menimpa tanah dengan ekor ridaa'-nya, maka makna ini tidak benar; karena dibangun di atas dua sinonim.
Sementara perkataan Ibnu al-Atsiir dalam (an-Nihaayah) menetapkan adanya perbedaan antara makna keduanya. Dan yang dilakukan Al-Bayhaqi dalam "Al-Sunan Al-Kubra" menunjukkan makna yang berbeda pula; karena dia menuliskan untuk masing-masing bab yang terpisah.
Hal ini ditunjukkan pula dengan apa yang ada dalam (Sunan al-Tirmidzi); Maka seusungguhnya dia berkata:
(بَابُ مَا جَاءَ فِي كَرَاهِيَةِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ)
(Bab: apa yang diriwayatkan tentang kemakruhan as-Sadl dalam Shalat).
Kemudian dia menyebutkan dengan Sanadnya ke 'Asal bin Sufyan, dari 'Athoo, dari Abu Hurairah RA:
"نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنِ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ"
“Rasulullah ﷺ melarang as-Sadl saat shalat”.
Dia berkata: dalam bab terdapat riwayat dari Abu Juhaifah.
Abu Iisa Tirmidzi berkata: Hadits Abu Hurairah ini, kami tidak mengetahuinya dari hadits Ataa [dari Abu Hurairah secara Marfuu' dar Nabi] kecuali dari hadits 'Isal bin Sufyan. [Kutipan Selesai]
Lalu: Ash-Shan'aani berkata:
"قُلْتُ: "عَسَلٌ، بِالْمُهْمَلَتَيْنِ، الْأُولَى مَكْسُورَةٌ، وَالثَّانِيَةُ سَاكِنَةٌ، وَقِيلَ: مُفْتَوحَةٌ. هُوَ أَبُو قُرَّةَ الْبَصْرِيِّ، ضَعِيفٌ. قَالَهُ فِي (التَّقْرِيبِ).
ثُمَّ قَالَ التِّرْمِذِيُّ: قَالَ بَعْضُهُمْ: إِنَّمَا كُرِهَ السَّدْلُ إِذَا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ إِلَّا ثَوْبٌ وَاحِدٌ، فَأَمَّا إِذَا كَانَ عَلَيْهِ قَمِيصٌ فَلَا بَأْسَ. وَهُوَ قَوْلُ أَحْمَدَ. وَكَرِهَ ابْنُ الْمُبَارَكِ السَّدْلَ فِي الصَّلَاةِ. انتهى.
ثُمَّ ذَكَرَ التِّرْمِذِيُّ بَابًا آخَرَ فِي جَرِّ الْإِزَارِ، وَذَكَرَ فِيهِ حَدِيثَ ابْنِ عُمَرَ.
وَهَكَذَا أَبُو دَاوُدَ، جَعَلَ لِكُلِّ بَابٍ.
قَالَ الْبَيْهَقِيُّ: وَالسَّدْلُ: إرْسَالُ الرَّجُلِ ثَوْبهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَضُمَّ جَانِبَيْهِ بَيْنَ يَدَيْهِ، فَإِنَّ ضَمَّهُ فَلَيْسَ بِسَدْلٍ. قَالَ: وَرُوِيَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ _ فِي إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ _ أَنَّهُ كَرِهَهُ. وَكَرِهَهُ مُجَاهِدٌ وَإِبْرَاهِيمُ النَّخْعِيُّ. وَيُذْكَرُ عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، ثُمَّ عَنِ الْحَسَنِ وَابْنِ سِيرِينَ، أَنَّهُمْ لَمْ يَرَوْا بِهِ بَأْسًا. وَكَأَنَّهُمْ إِنَّمَا رَخَّصُوا فِيهِ لِمَنْ فَعَلَهُ لِغَيْرِ مَخِيْلَةٍ، وَأَمَّا مَنْ يَفْعَلُهُ بَطَرًا فَهُوَ مَنْهِيٌّ عَنْهُ. انتهى.
وَالْخُيَلَاءُ وَالْمَخِيْلَةُ، فَسَّرَهُمَا ابْنُ الْأَثِيرِ بِالْعُجْبِ وَالْكِبَرِ".
Aku berkata: 'Isal, dengan dua huruf tanpa titik, yang pertama di baca kasrah, yang kedua mati (sukun), dan ada yang mengatakan: fathah. Dia adalah Abu Qurrah al-Bashri, dia Dh'aif. Al-Hafidz Ibnu Hajar mengatakannya dalam (Al-Taqriib).
Kemudian At-Tirmidzi berkata:
Sebagian dari mereka berkata: Adapun kapan as-Sadl itu di makruhkan, yaitu ketika hanya ada satu pakaian di atasnya, tetapi jika ada baju gamish di atasnya, maka tidaklah mengapa.
Inilah yang dikatakan Ahmad. Sementara Ibnu Al-Mubarak memakruhkan as-Sadl dalam shalat. [selesai].
Kemudian Al-Tirmidzi menyebutkan bab lain tentang menyeret kaian pakaian, di mana ia menyebutkan hadits Ibnu Umar.
Dan begitu pula Abu Dawud, dia menjadikan untuk masing-masing adalah bab tersendiri.
Al-Bayhaqi berkata: Al-Sadl adalah seorang pria melandaikan pakaiannya tanpa kedua sisinya di hadapannya.
Dia berkata: Diriwayatkan dari Ibn Umar - dalam salah satu dari dua riwayat - bahwa dia memakruhkannya.
Mujahid dan Ibrahim al-Nakh'i memakruhkannya. Dan disebutkan pula dari sahabat Jabir bin Abdullah.
Kemudian dari Al-Hasan al-Bashry dan Ibnu Siirin, mereka berpandangan: tidak ada yang salah dengannya. Seolah-olah mereka hanya mengizinkannya bagi mereka yang melakukannya tanpa kesombongan. dan adapun bagi mereka yang melakukannya dengan kesombongan, maka itu dilarang. [selesai].
Al-Imam asy-Syafi'i rahimahullah (w. 204 H) berkata - sebagaimana diriwayatkan oleh al-Nawawi dalam al-Majmu' (3/177) -:
فَمَذْهَبُنَا أَنَّ السَّدْلَ فِي الصَّلَاةِ وَفِي غَيْرِهَا سَوَاءٌ، فَإِنْ سَدَلَ لِلْخُيَلَاءِ فَهُوَ حَرَامٌ، وَإِنْ كَانَ لِغَيْرِ الْخُيَلَاءِ فَمَكْرُوهٌ وَلَيْسَ بِحَرَامٍ. قَالَ الْبَيْهَقِيُّ: قَالَ الشَّافِعِيُّ: "فِي الْبُوَيْطِيِّ لَا يَجُوزُ السَّدْلُ فِي الصَّلَاةِ وَلَا فِي غَيْرِهَا لِلْخِيلَاءِ، فَأَمَّا السَّدْلُ لِغَيْرِ الْخِيلَاءِ فِي الصَّلَاةِ فَهُوَ خَفِيفٌ لِقَوْلِهِ ﷺ لِأَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَقَالَ لَهُ إِنَّ إِزَارِي يَسْقُطُ مِنْ أَحَدِ شِقَّيْنِ فَقَالَ لَهُ "لَسْتَ مِنْهُمْ". هَذَا نَصُّهُ فِي الْبُوَيْطِيِّ.
Madzhab kami bahwa as-Sadl dalam shalat dan yang lainnya adalah sama, jika as-Sadl itu untuk kesombongan, maka itu haram. Dan jika itu untuk selain kesombongan, maka itu makruh dan tidak haram."
Al-Bayhaqi berkata: Asy-Syafi’i berkata dalam kitab Muktashor Al-Buwaithi:
"Tidak boleh isbal dalam shalat atau lainnya jika disertai kesombongan. Adapun Isbaal bukan karena sombong dalam shalat, maka itu ringan"; karena sabda beliau ﷺ kepada Abu Bakar, RA, dia berkata kepada nya: bahwa kain sarung ku melorot dari salas satu sisinya", Lalu beliau ﷺ berkata kepadanya: "Engkau bukan salah satu diantara mereka." Ini adalah nash Asy-Syaafi'ii dalam al-Buwaithi".
******
CINGKRANG TAPI RADIKAL & EXTRIM ADALAH CIRI KHAWARIJ
Dari Abu Sa'id Al Khudriy radliallahu 'anhu berkata :
بَعَثَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِنَ اليَمَنِ بِذُهَيْبَةٍ فِي أَدِيمٍ مَقْرُوظٍ، لَمْ تُحَصَّلْ مِنْ تُرَابِهَا، قَالَ : فَقَسَمَهَا بَيْنَ أَرْبَعَةِ نَفَرٍ، بَيْنَ عُيَيْنَةَ بْنِ بَدْرٍ، وَأَقْرَعَ بْنِ حابِسٍ، وَزَيْدِ الخَيْلِ، وَالرَّابِعُ: إِمَّا عَلْقَمَةُ وَإِمَّا عَامِرُ بْنُ الطُّفَيْلِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِهِ: كُنَّا نَحْنُ أَحَقَّ بِهَذَا مِنْ هَؤُلاَءِ، قَالَ: فَبَلَغَ ذَلِكَ النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ: «أَلاَ تَأْمَنُونِي وَأَنَا أَمِينُ مَنْ فِي السَّمَاءِ، يَأْتِينِي خَبَرُ السَّمَاءِ صَبَاحًا وَمَسَاءً».
قَالَ: فَقَامَ رَجُلٌ غَائِرُ العَيْنَيْنِ، مُشْرِفُ الوَجْنَتَيْنِ، نَاشِزُ الجَبْهَةِ، كَثُّ اللِّحْيَةِ، مَحْلُوقُ الرَّأْسِ، مُشَمَّرُ الإِزَارِ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اتَّقِ اللَّهَ، قَالَ: «وَيْلَكَ، أَوَلَسْتُ أَحَقَّ أَهْلِ الأَرْضِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ» قَالَ: ثُمَّ وَلَّى الرَّجُلُ، قَالَ خَالِدُ بْنُ الوَلِيدِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلاَ أَضْرِبُ عُنُقَهُ؟ قَالَ: «لاَ، لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ يُصَلِّي» فَقَالَ خَالِدٌ: وَكَمْ مِنْ مُصَلٍّ يَقُولُ بِلِسَانِهِ مَا لَيْسَ فِي قَلْبِهِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : «إِنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أَنْقُبَ عَنْ قُلُوبِ النَّاسِ وَلاَ أَشُقَّ بُطُونَهُمْ» قَالَ: ثُمَّ نَظَرَ إِلَيْهِ وَهُوَ مُقَفٍّ، فَقَالَ: «إِنَّهُ سَيَخْرُجُ مِنْ ضِئْضِئِ هَذَا قَوْمٌ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ رَطْبًا، لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ، يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ كَمَا يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ»، وَأَظُنُّهُ قَالَ: «لَئِنْ أَدْرَكْتُهُمْ لَأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ ثَمُودَ».
Ali bin Abu Thalib mengirimkan sebatang emas yang belum diangkat dari cetakannya kepada Rasulullah ﷺ. Rasulullahﷺ membagikannya kepada empat orang:
'Uyainah bin Badr, Aqra bin Habis, Zaid Al Khail, dan yang keempat adalah Alqamah atau 'Amir bin Thufail.
Melihat hal itu, salah seorang sahabatnya berkata; "Kami lebih berhak atas emas tersebut daripada orang-orang ini."
Ketika kabar itu didengar Rasulullah ﷺ, maka Rasulullahﷺ bersabda: 'Tidakkah kalian mempercayaiku padahal aku adalah orang yang terpercaya dari langit (surga)? Aku menerima kabar dari langit, pagi hari maupun sore hari.'
Tiba-tiba seorang laki-laki dengan mata cekung, tulang pipi cembung, dahi menonjol, berjanggut tipis, berkepala gundul dan mencingkrangkan pakaian bawanya [sarungnya] , berdiri dan berkata:
'Ya Rasulullah! Takutlah kepada Allah.'
Nabiﷺ bersabda: 'Celaka kamu.' Bukankah di muka bumi ini akulah yang paling takut kepada Allah? '
Orang itu beranjak dari tempat duduknya. Khalid bin Walid berkata; 'Ya Rasulullah! Izinkan aku menebasnya.
Nabi ﷺ bersabda: Jangan, bisa jadi ia mengerjakan shalat.
Khalid berkata; Berapa banyak orang yang shalat berkata dengan lisannya yang tidak sesuai dengan hatinya.
Rasulullah ﷺ bersabda: Aku tidak diperintah untuk menyelidiki hati seseorang atau mengetahui isi perutnya.
Kemudian Nabi ﷺ melihat kepada orang itu ketika hendak pergi , beliau bersabda :
" Sesungguhnya dari keturunannya akan muncul suatu kaum yang membaca Kitabullah tetapi hanya sampai tenggorokannya saja. Mereka lepas dari agama sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya".
Aku kira Nabi ﷺ juga berkata ; "Seandainya aku hadir pada masa itu, aku akan membunuh mereka sebagaimana bangsa Tsamud dibinasakan." [ HR. Bukhori no. 7432 dan Muslim no. 1064].
Makna : مُشَمَّرُ الإِزَارِ :
"(مُشَمِّر الإِزَار) إِزَارُهُ مَرْفُوع عَنْ كَعْبِهِ".
(Menyingsingkan sarung) artinya kain sarungnya diangkat atau diikat lebih tinggi dari mata kakinya [ Baca : Ta'liq Shahih al-Bukhori oleh Mustafa al-Baghoo 4/163 no. 4351 Cet. as-Sulthaniyyah].
Al-Khothib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdaad 1/502 no. 97 meriwayatkan dengan sanadnya , dia berkata : Ali bin Yahya bin Jaafar, imam Isfahan, memberi tahu kami: Abu al-Hasan Ahmad bin al-Qasim bin al-Rayyan al-Mashry al-Bashry memberi tahu kami, dia berkata: Ahmad bin Ishaq bin Ibrahim bin Nubaith bin Syariith Al-Asyja'i meriwayatkan kepada kami, di Mesir, dia berkata: ayahku menceritakan padaku , dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata :
لَمَّا فَرَغَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ مِنْ قِتَال ِأَهْلِ النَّهْرِ قَفَلَ أَبُو قَتَادَةَ الأَنْصَارِيُّ وَمَعَهُ سِتُّونَ أَوْ سَبْعُون مِنَ الأَنْصَارِ. قَالَ: فَبَدَأَ بِعَائِشَةَ، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: فَلَمَّا دَخَلْتُ عَلَيْهَا، قَالَتْ: مَا وَرَاءَكَ؟ فَأَخْبَرْتُهَا أَنَّهُ لَمَّا تَفَرَّقَتِ الْمَحْكَمَةُ مِنْ عَسْكَرِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ لَحِقْنَاهُمْ فَقَتَلْنَاهُمْ.
فَقَالَتْ: مَا كَانَ مَعَكَ مِنَ الْوَفْدِ غَيْرِكَ؟ قُلْتُ: بَلَى سِتُّونَ أَوْ سَبْعُوْن .
قَالَتْ: أَفَكُلُّهُمْ يَقُولُ مِثْلَ الَّذِي تَقُولُ؟ قُلْتُ: نَعَمْ.
قَالَتْ: قُصَّ عَلَيَّ ْقِصَّةَ.
فَقُلْتُ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ، تَفَرَّقَتِ الْفِرْقَةُ وَهُمْ نَحْوٌ مِنَ اثْنَيْ عَشَرَ أَلْفًا يُنَادُونَ: لا حُكْمَ إِلا لِلَّهِ، فَقَالَ َلِيٌّ: كَلِمَةُ حَقٍّ يُرَادُ بِهَا بَاطِلٌ. فَقَاتَلْنَاهُمْ بَعْدَ أَنْ نَاشَدْنَاهُمُ اللَّهَ وَكِتَابَهُ، فَقَالُوا: كَفَرَ عُثْمَانُ، وَعَلِيٌّ، وَعَائِشَةُ، وَمُعَاوِيَةُ.
فَلَمْ نَزَلْ نُحَارِبُهُمْ وَهُمْ يَتْلُونَ الْقُرْآنَ، فَقَاتَلْنَاهُمْ وَقَاتَلُونَا، وَوَلَّى مِنْهُمْ مَنْ وَلَّى، فَقَالَ: لا تَتْبَعُوا مُوَلِّيًا.
فَأَقَمْنَا نَدُورُ عَلَى الْقَتْلَى حَتَّى وَقَفَتْ بَغْلَةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَعَلِيٌّ رَاكِبُهَا، فَقَالَ: اقْلِبُوا الْقَتْلَى، فَأَتَيْنَاهُ وَهُوَ عَلَى نَهْرٍ فِيهِ الْقَتْلَى، فَقَلَبْنَاهُمْ، حَتَّى خَرَجَ فِي آخِرِهِمْ رَجُلٌ أَسْوَدُ عَلَى كَتِفِهِ مِثْلُ حَلَمَةِ الثَّدْيِ،
فَقَالَ عَلِيٌّ: اللَّهُ أَكْبَرُ، وَاللَّهِ مَا كَذَبْتُ وَلا كُذِبْتُ، كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ ﷺ وَقَدْ قَسَمَ فَيْئًا، فَجَاءَ هَذَا، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ اعْدِلْ، فَوَاللَّهِ مَا عَدَلْتَ مُنْذُ الْيَوْمَ.
فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ، وَمَنْ يَعْدِلُ عَلَيْكَ إِذَا لَمْ أَعْدِلْ؟ "، فَقَالَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلا أَقْتُلُهُ؟ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " لا، دَعْهُ فَإِنَّ لَهُ مَنْ يَقْتُلُهُ ".
وَقَالَ: صَدَقَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ.
قَالَ: فَقَالَتْ عَائِشَةُ: مَا يَمْنَعُنِي مَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَلِيٍّ أَنْ أَقُولَ الحَقَّ سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: " تَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى فِرْقَتَيْنِ تَمْرُقُ بَيْنَهُمَا فِرْقَةٌ مُحَلِّقُونَ رُءُوسَهُمْ مُحِفُّونَ شَوَارِبَهُمْ، أُزُرُهُمْ إِلَى أَنْصَافِ سَوْقِهِمْ، يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لا يَتَجَاوَزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَقْتُلُهُمْ أَحَبُّهُمْ إِلَيَّ وَأَحَبُّهُمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى "،
قَالَ: فَقُلْتُ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ َأَنْتِ تَعْلَمِينَ هَذَا، فَلِمَ كَانَ الَّذِي كَانَ مِنْكِ؟ قَالَتْ: يَا أَبَا قَتَادَةَ وَكَانَ أَمْرُ اللَّهِ قَدَرًا مَقْدُورًا، وَلِلْقَدَرِ أَسْبَابٌ، وَذَكَرَ بَقِيَّةَ الْحَدِيثِ".
Ketika Ali bin Abi Thalib - radhiyallahu 'anhu- selesai dari memerangi penduduk an-Nahr , maka Abu Qaddad al-Ansari - radhiyallahu 'anhu- dan bersamanya enam puluh atau tujuh puluh dari para sahabat al-Anshar kembali pulang . Dia berkata: Maka dia mulai dengan mendatangi Aisyah - radhiyallahu 'anha-.
Abu Qatadah berkata: Ketika aku masuk padanya, Aisyah bertanya : Apa yang melatar belakangimu?
Maka saya mengkabarkan kepadanya bahwa ketika mahkmah [dialog antara pasukan Ali dan pasukan Khawarij] gagal dan mereka memisahkan diri dari pasukan Amiirul mukminiin , maka kami mengejar mereka dan membunuh mereka.
Dia [Aisyah] berkata: Apakah tidak ada delegasi lain dengan Anda?
Saya [Abu Qatadah] berkata: Ya, enam puluh atau tujuh puluh.
Dia [Aisyah] berkata: Apakah mereka semua mengatakan hal yang sama seperti yang Anda katakan?
Saya bilang : iya. Dia berkata: Ceritakan padaku kisahnya .
Aku berkata : Wahai Ummul Mu'miniin [Bunda orang-orang beriman], firqoh [kelompok] itu memisahkan diri dan mereka berjumlah sekitar dua belas ribu sambil berseru :
لا حُكْمَ إِلا لِلَّهِ
"Tidak ada hukum kecuali hukum milik Allah"
Maka dia [Ali] berkata kepadaku :
كَلِمَةُ حَقٍّ يُرَادُ بِهَا بَاطِلٌ
Sebuah kalimat yang hak namun dimaksudkan untuk kebathilan .
Maka kami memerangi mereka setelah kami menyeru mereka kembali kepada Allah dan Kitab-Nya. Namunn mereka berkata : Utsman, Ali, Aisyah, dan Muawiyah adalah kafir.
Lalu kami tidak berhenti memerangi mereka , sementara mereka terus bertempur sambil membaca Al-Qur’an, maka kami memerangi mereka dan mereka pun memerangi kami, dan di antara mereka ada yang lari dari peperangan, maka dia [Ali] berkata: Jangan kalian ikuti orang yang lari dari peperangan !.
Maka kami berdiri mengitari tumpukan orang-orang mati terbunuh hingga keledai Rasulullah ﷺ berhenti , dan Ali adalah penunggangnya. Lalu kami datangi dia ketika dia berada di tepi sungai yang terdapat orang-orang mati terbunuh , maka kami pun membalik-balikkannya, sampai yang terakhir keluar seorang pria kulit hitam yang di bahunya terdapat sesuatu semisal puting susu payudara .
Ali berkata : Allahu Akbar , demi Allah aku tidak pembohong dan aku juga tidak berbohong. Dulu aku pernah bersama Nabi ﷺ , dan beliau membagi-bagi harta rampasan perang . Lalu datang orang ini, dia berkata :
" Wahai Muhammad, berlaku adillah !, karena demi Allah , kamu tidak melakukan keadilan sejak hari ini".
Nabi ﷺ berkata: "Semoga ibumu kehilanganmu, dan siapa yang akan berlaku adil kepadamu jika aku tidak melakukan keadilan?"
'Umar Ibnu Al-Khattab berkata: Wahai Rasulullah, tidak kah sebaiknya aku membunuhnya?
Nabi ﷺ berkata: "Tidak, biarkan dia pergi, karena baginya ada seseorang yang akan membunuhnya."
Dan dia [Ali] berkata: Maha benar Allah dan Rasul-Nya.
Dia [Abu Qatadah] berkata: Aisyah berkata: Apa yang menghalangi aku dan Ali untuk berbicara kebenaran? Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda :
" تَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى فِرْقَتَيْنِ تَمْرُقُ بَيْنَهُمَا فِرْقَةٌ مُحَلِّقُونَ رُءُوسَهُمْ مُحِفُّونَ شَوَارِبَهُمْ، أُزُرُهُمْ إِلَى أَنْصَافِ سَوْقِهِمْ، يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لا يَتَجَاوَزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَقْتُلُهُمْ أَحَبُّهُمْ إِلَيَّ وَأَحَبُّهُمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى "
“Umatku akan terpecah menjadi dua golongan , di mana satu golongan diantara keduanya keluar memisahkan diri , kepala mereka gundul , KUMIS mereka dipangkas habis [hingga tampak kulitnya], dan sarung-sarung mereka CINGKRANG hingga pertengahan betis mereka, mereka membaca Al-Qur'an tetapi tidak melampaui kerongkongan mereka . Mereka akan dibunuh oleh orang yang paling di cintai oleh aku dan paling di cintai oleh Allah Ta'aala."
Dia [Abu Qatadah] berkata : Saya berkata: Wahai Ummul Mi'miniin [Ibunda orang-orang beriman] , Anda tahu ini, lalu mengapa itu pernah terjadi dari Anda?
Dia [Aisyah] menjawab : Wahai Abu Qatadah, Takdir Allah itu telah ditentukan sebelumnya, dan bagi masing-masing takdir memiliki sebab ", lalu dia [Abu Qotadah] menyebutkan sisa kisahnya .
[ Di riwayatkan oleh Abu al-Hasan Ahmad bin al-Qasim bin al-Rayyan al-Mashry al-Bashry dalam " نسخة نبيط بن شريط الأشجعي" hal. 129 no. 54-(382) dan al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdaad 1/502 no. 97]
Sanadnya : PALSU .
Adz-Dzahabi berkata dalam Nuskhoh Nabith (53) :
[فيه] أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنُ نَبِيطَ بْنُ شَرِيطَ رَوَى عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ بِنُسْخَةٍ فِيهَا بَلايَا لَا يَحِلُّ الِاحْتِجَاجُ بِهَا فَهُوَ كَذَّابٌ
[Di dalamnya] ada Ahmad bin Ishaq bin Ibrahim bin Nubaith bin Syariith meriwayatkan dari ayahnya dari kakeknya dalam nuskhoh [salinan] yang berisi penuh balaya yang tidak halal berhujjah dengannya, karena dia itu PENDUSTA ".
===================
CUPLIKAN SINGKAT DARI ARTIKEL INI :
Imam Ahmad - dalam riwayat Hanbal - berkata :
جَرُّ الْإِزَارِ وَإِسْبَالُ الرِّدَاءِ فِي الصَّلَاةِ ، إذَا لَمْ يُرِدْ الْخُيَلَاءَ فَلَا بَأْسَ ، وَكَذَلِكَ إذَا لَمْ يُرِدْ التَّدْلِيسَ
"Menyeret al-Izaar [pakaian bagian bawah (sarung)] dan meng-isbal-kan ar-Ridaa’ [pakaian bagian atas] saat shalat . Jika dia tidak menghendaki kesombongan, maka tidaklah mengapa, dan hal yang sama juga terjadi jika dia tidak menghendaki pengelabuan ( yakni mengelabui orang lain agar dikira dirinya orang kaya , padahal dia orang miskin) ". [Baca: Matholib Uli An-Nuha 2/363].
Imam Bukhori , Imam Muslim, Ibnu Hibban dan lainnya menegaskan dalam kitab Shahih mereka bahwa Isbaal tanpa Kesombangan itu tidak Haram.
Oleh sebab itu Imam Bukhori menulis sebuah BAB dalam kitab Shahih nya:
" بَابَ مَنْ جَرَّ إزَارَهُ مِنْ غَيْرِ خُيَلَاءَ".
"BAB: Orang yang menyeret sarungnya tanpa adanya kesombongan".
Begitu pula Imam Muslim dalam Shahihnya menulis BAB dalam kitab Shahih nya :
" بَابٌ: تَحْرِيْمِ جَرِّ الثَّوْبِ خُيَلَاءَ ".
BAB: Pengharaman menyeret pakaian dengan kesombongan. [Hadits. No. 2085]
Dan begitu pula Ibnu Hibbaan dalam kitab Shahih nya, dia menuliskan sebuah Bab yang diberi nama:
"بَابُ: ذِكْرُ الْعِلَّةِ الَّتِي مِنْ أَجْلِهَا زُجِرَ عَنْ هَذَا الْفِعْلِ".
"Bab: Penyebutan ilat [sebab] mengapa dilarang melakukan perbuatan ini".
Syeikhul-Islam Ibnu Taymiyyah berkata dalam Sharh al-'Umdah 4/363:
وَهَذِهِ نُصُوصٌ صَرِيحَةٌ فِي تَحْرِيمِ الإِسْبَالِ عَلَى وَجْهِ الْمَخِيْلَةِ، وَالْمُطْلَقُ مِنْهَا مَحْمُولٌ عَلَى الْمُقَيَّدِ، وَإِنَّمَا أُطْلِقَ ذَلِكَ؛ لِأَنَّ الْغَالِبَ أَنَّ ذَلِكَ إِنَّمَا يَكُونُ مَخِيْلَةً.
“Ini adalah nash-nash yang jelas gamblang dalam pengharaman Isbaal yang disertai kesombongan .
Dan nash-nash yang mutlak harus dibawa kepada yang muqoyyad . Dan adapun kenapa ada nash-nash Isbal yang muthlak ; karena pada umumnya Isbal itu dilakukan karena kesombongan”.
VERSI IBNU TAIMIYAH : ISBAL & CINGKRANG ITU TERGANTUNG NIAT
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
وَالْفِعْلُ الْوَاحِدُ فِي الظَّاهِرِ يُثَابُ الْإِنسَانُ عَلَى فِعْلِهِ مَعَ النِّيَّةِ الصَّالِحَةِ وَيُعَاقَبُ عَلَى فِعْلِهِ مَعَ النِّيَّةِ الْفَاسِدَةِ.
" Dan ada satu perbuatan yang nampak di permukaan, seseorang akan diberi pahala atas perbuatannya jika dengan niat baik, dan dia akan diadzab jika perbuatannya disertai dengan niat buruk".
Kemudian beliau berkata:
" وَكَذَلِكَ اللِّبَاسُ، فَمَنْ تَرَكَ جَمِيلَ الثِّيَابِ بُخْلًا بِالْمَالِ لَمْ يَكُنْ لَهُ أَجْرٌ، وَمَنْ تَرَكَهُ مُتَعَبِّدًا بِتَحْرِيمِ الْمُبَاحَاتِ كَانَ آثِمًا، وَمَنْ لَبِسَ جَمِيلَ الثِّيَابِ إِظْهَارًا لِنِعْمَةِ اللَّهِ وَاِسْتِعَانَةً عَلَى طَاعَةِ اللَّهِ كَانَ مَأْجُورًا، وَمَنْ لَبِسَهُ فَخْرًا وَخِيلَاءً كَانَ آثِمًا؛ فَإِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ. وَلِهَذَا حُرِّمَ إِطَالَةُ الثَّوْبِ بِهَذِهِ النِّيَّةِ كَمَا فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنِ النَّبِيِّ قَالَ:
" مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ ثَوْبِي يَسْتَرْخِي إِلَّا أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّكَ لَسْتَ تَصْنَعُ ذَلِكَ خُيَلَاءَ".
Demikian pula halnya dengan pakaian, maka barang siapa yang meninggalkan pakaian yang indah karena kikir dan pelit dengan uangnya; maka tidak ada pahalanya.
Dan barang siapa yang meninggalkannya dengan niat ibadah, namun dia telah mengharamkan yang halal; maka ia berdosa.
Barang siapa memakai pakaian yang indah dalam rangka untuk menunjukkan nikmat dan karunia Allah dan bertujuan agar bisa membantu dalam ketaatan kepada Allah; maka akan diberi pahala.
Dan barang siapa memakainya dengan kesombongan dan keangkuhan maka dia berdosa.
Karena sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.
Itulah sebabnya mengapa dilarang memanjangkan pakaian dengan niat ini, sebagaimana dalam dua kitab hadits Shahih dari Nabi ﷺ yang mengatakan:
"Barangsiapa menyeret pakaiannya karena kesombongan, Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat. "
Kemudian Abu Bakr berkata; "Sesungguhnya sebelah dari pakaianku terjulur kecuali bila aku memeganginya (mengangkatnya)".
Maka Rasulullah ﷺ berkata: "Sesungguhnya kamu melakukan itu bukan bermaksud sombong". (HR. Bukhari 3665, Muslim 2085) [Lihat Majmu' Fataawaa 22/138-139]
Cingkrang Tapi Sombong Itu Haram , apalagi dengan merendahkan orang lain:
Ayyub bin Abi Tamimah As-Sikhtiyani [ wafat 131 H] berkata :
(( يَا أَبَا عُرْوَة – هِيَ كُنْيَةُ مُعَمَّرٍ - : كَانَتْ الشُّهْرَةُ فِيمَا مَضَى فِي تَذْيِيلِهَا ، وَالشُّهْرَةُ اليَوْمَ فِي تَشْمِيرِهَا ))
" Wahai Abu 'Urwah – kuniyah Mu'ammar- Ketenaran [ syuhroh ] di masa lalu adalah dalam meng-isbal-kannya , dan ketenaran [syuhroh] hari ini adalah dalam mencingkrangkannya." [ Di riwayatkan oleh Ma'mar dalam "al-Jaami'" nya (11/84)].
Rasulullah ﷺ, bersabda,
"لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ .... الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ".
“Tidak akan masuk surga seseorang yang di dalam hatinya terdapat kesombongan sebesar biji sawi ..... Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.“ (HR. Muslim no. 91).
CINGKRANG TAPI RADIKAL & EXTRIM ADALAH CIRI KHAWARIJ
Dari Abu Sa'id Al Khudriy radliallahu 'anhu berkata :
قَامَ رَجُلٌ غَائِرُ العَيْنَيْنِ، مُشْرِفُ الوَجْنَتَيْنِ، نَاشِزُ الجَبْهَةِ، كَثُّ اللِّحْيَةِ، مَحْلُوقُ الرَّأْسِ، مُشَمَّرُ الإِزَارِ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ اتَّقِ اللَّهَ، قَالَ: «وَيْلَكَ، أَوَلَسْتُ أَحَقَّ أَهْلِ الأَرْضِ أَنْ يَتَّقِيَ اللَّهَ» قَالَ: ثُمَّ وَلَّى الرَّجُلُ، قَالَ خَالِدُ بْنُ الوَلِيدِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلاَ أَضْرِبُ عُنُقَهُ؟ قَالَ: «لاَ، لَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ يُصَلِّي» فَقَالَ خَالِدٌ: وَكَمْ مِنْ مُصَلٍّ يَقُولُ بِلِسَانِهِ مَا لَيْسَ فِي قَلْبِهِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «إِنِّي لَمْ أُومَرْ أَنْ أَنْقُبَ عَنْ قُلُوبِ النَّاسِ وَلاَ أَشُقَّ بُطُونَهُمْ»
Tiba-tiba seorang laki-laki dengan mata cekung, tulang pipi cembung, dahi menonjol, berjanggut tipis, berkepala gundul dan cingkrang sarungnya, berdiri dan berkata :
'Ya Rasulullah! Takutlah kepada Allah.'
Nabi (SAW) bersabda: 'Celaka kamu.' Bukankah di muka bumi ini akulah yang paling takut kepada Allah? '
Orang itu beranjak dari tempat duduknya. Khalid bin Walid berkata; 'Ya Rasulullah! Izinkan aku menebas lehernya.
Nabi (SAW) bersabda: Jangan, bisa jadi ia mengerjakan shalat.
Khalid berkata : Berapa banyak orang yang shalat berkata dengan lisannya yang tidak sesuai dengan hatinya.
Rasulullah (SAW) bersabda: Aku tidak diperintah untuk menyelidiki hati seseorang atau mengetahui isi perutnya". [ HR. Bukhori no. 7432 dan Muslim no. 1064]
Dan dalam hadits 'Aisyah , ia berkata:
" Apa yang menghalangi aku dan Ali untuk berbicara kebenaran? Aku mendengar Nabi ﷺ bersabda :
" تَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى فِرْقَتَيْنِ تَمْرُقُ بَيْنَهُمَا فِرْقَةٌ مُحَلِّقُونَ رُءُوسَهُمْ مُحِفُّونَ شَوَارِبَهُمْ، أُزُرُهُمْ إِلَى أَنْصَافِ سَوْقِهِمْ، يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لا يَتَجَاوَزُ تَرَاقِيَهُمْ، يَقْتُلُهُمْ أَحَبُّهُمْ إِلَيَّ وَأَحَبُّهُمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى "
“Umatku akan terpecah menjadi dua golongan , di mana satu golongan diantara keduanya keluar memisahkan diri , kepala mereka gundul , KUMIS mereka dipangkas habis [hingga tampak kulitnya], dan sarung-sarung mereka CINGKRANG hingga pertengahan betis mereka, mereka membaca Al-Qur'an tetapi tidak melampaui kerongkongan mereka . Mereka akan dibunuh oleh orang yang paling di cintai oleh aku dan paling di cintai oleh Allah Ta'aala." :
[ Di riwayatkan oleh Abu al-Hasan Ahmad bin al-Qasim bin al-Rayyan al-Mashry al-Bashry dalam " نسخة نبيط بن شريط الأشجعي" hal. 129 no. 54-(382) dan al-Khathib al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdaad 1/502 no. 97]
Cingkrang oleh kelompok faham Khawarij di jadikan alat pemecah belah umat . Kelompok ini karena merasa dirinya pasti benar ijtihadnya dalam masalah-maslah khilafiyah termasuk masalah Isbaal, maka kelopmpok khawarij ini mengklaim sesat siapa saja yang menyelisihinya dan pasti di nerakanya. Lalu mereka mewajibkan diri mereka dan golongannya untuk menghajer dan mentahdzir seluruh kaum muslimin yang berbeda dengan pendapat mereka . Mereka merasa berdosa dan akan pasti masuk neraka jika mereka coba-coba berdekatan dengan kaum muslimin yang bukan golongannya . Bahkan menurut mereka haram hukumnya memberikan salam, berbicara dan duduk-duduk dengan selain golongannya .
0 Komentar