KAJIAN NIDA AL-ISLAM
DAFTAR ISI :
- KUMPULAN FATWA: ADZAN TIDAK WAJIB DENGAN TAJWID
- YANG MANA? ALLAAHU AKBARULLAAHU AKBAR atau ALLAAHU AKBAR - ALLAAHU AKBAR?
- PARA ULAMA YANG MENGATAKAN :BACA AL-QUR'AN TIDAK WAJIB DENGAN TAJWID, TAPI SUNNAH
*****
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
KUMPULAN FATWA ADZAN TIDAK WAJIB DENGAN TAJWID
====***===
PERTAMA: FATWA SYEIKH AL-ALBAANI -rahimahullah ta'ala-:
===***=====
SYEIKH AL-ALBAANI: Saudaraku, [penerapan tajwid dalam adzan] ini adalah kesalahan yang merajalela. Adzan itu, ia adalah adzan
PENANYA: ???
SYEIKH AL-ALBAANI: Tidak, itu adalah murni kesalahan yang telah menyebar. [Penerapan tajwid dalam adzan] Ini adalah kesalahan yang telah merajalela, bahkan termasuk pada para penyiar radio.
Adapun membacanya dengan LAHN [membaguskan lantunannya hingga merubah makna], membacanya dengan Nashob [fathah], dengan ROFA' [dhommah] dan KHOFADH [kasrah] adalah perkara baru yang diada-adakan [muhdats] namun itu tidak lah mengapa.
PENANYA: Apakah diperbolehkan penerapan hukum-hukum tajwid dalam adzan, atau diperbolehkan tanpa tajwid? Apakah muadzin harus dengan TARTIL ketika mengumandangkan adzan?
SYEIKH AL-ALBAANI: Saya tidak tahu bahwa adzan itu dikumandangkan dengan TAJWID pada zaman Rasulullah saw, oleh karena itu maka yang benar, mengumandangkan adzan itu cukup dengan bahasa Arab saja [tidak harus dengan tajwid].
Sumber:
====***====KEDUA: FATWA SYEIKH SHAQR BIN HASAN=====***=====
PENANYA:
Kami mohon penjelasan!
SYEIKH SHAQR BIN HASAN MENJAWAB:
Adzan tidak harus mengikuti hukum Tajwid, sebagaimana dalam kitab-kitab fiqih pada bab tentang adzan, di sana tidak ada sama sekali pembahasan yang menyinggung hal demikian.
Namun muadzin harus waspada terhadap al-Lahn [lantunan lagu yang merubah makna] lafadz-lafadz adzan. Sebagian di antara nya ada yang makruh dan sebagian di antara lainnya ada yang haram, bahkan bisa menyebabkan nya menjadi kufur jika melakukannya dengan SENGAJA, contohnya seperti memanjangkan lafadz [[أَكْبَر = Akbar]] menjadi [[أَكْبَار = Akbaaar]].
Para ulama telah menjelaskan hal ini, termasuk Imam Al-Nawawi, seperti dalam Kitab al-Adzkaar, dan lain-lain.
Dan dalam "Matan Al-Zaad", disebutkan apa yang harus dilakukan oleh muadzin, yaitu: “Yang nyaring suaranya, dapat dipercaya, mengetahui waktu.”
SUMBER: ملتقى أهل الحديث - 3 [المكتبة الشاملة الحديثة] 12/432
====***=====
KETIGA: FATWA SYEIKH ABU ABDILLAH AL-FAASHIL
====***=====
Segala bacaan yang tunduk pada hukum Tajwid adalah bacaan al-Isti'aadzah, al-Basmalah, Al-Qur'an, dan takbir al-Khotm. Maka ini adalah objek yang berkenaan dengan Tajwid dan Qiro'aat.
Adapun keumuman bacaan zikir, hadits, do'a, ADZAN, dan lain sebagainya, maka itu tidak ada hubungannya dengan hukum-hukum TAJWID dari sisi secara global.
SUMBER: ملتقى أهل الحديث - 3 [المكتبة الشاملة الحديثة] 12/432
Dan Abdullah al-Faashil berkata:
Namun, dalam Tajwid ada keistimewaan-keistimewaan yang tidak ditemukan pada selain Tajwid, seperti:
Keharusan memperhatikan panjang MAD LAAZIM enam harakat.
Serta keharusan memperhatikan SAKTAH [diam] pada sebagian huruf-huruf.
Dan seperti keharusan memperhatikan penyama rataan panjang MAD JAAIZ sampai batas tertentu.
Dan itu semua bukan kebiasaan orang-orang Arab untuk mematuhinya, oleh karena itu saya berkata:
Aturan dasarnya [Hukum Asalnya] pada selain Al-Qur'an, adalah bahwa itu dibaca sebagaimana orang-orang Arab membacanya seperti yang telah menjadi kebiasaannya.
Tak ada seorang pun dari ahli bahasa mengatakan: "wajib memanjangkan Mad Laazim dengan enam harakat ". Dan tak satu pun dari mereka mengatakan: " Wajib menyama ratakan panjangnya bacaan-bacaan Madd ".
Jika seseorang mengatakan: دَابَّة (artinya: binatang) dan dia tidak memanjangkan bacaannya enam harakat, maka dia tidak harus ditegur, akan tetapi jika dia melakukannya dalam Al-Qur'an, maka dia harus ditegur.
Dan jika anda membaca [[الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ]] dengan suara RAUM pada Fathah terakhir ; maka apa yang anda lakukan adalah benar dalam Bahasa Arab, akan tetapi menurut para pakar Tajwid bahwa itu salah [Lahn] ; karena tidak dengan cara RAUM menurut mereka kecuali pada Dhommah dan Kasrah.
Tetapi jika Anda membaca apa saja dari bahasa Arab lainnya, maka diperbolehkan bagi Anda untuk melakukan semua itu. Dengan demikan diperbolehkan bagi Anda untuk membaca Sabda Nabi SAW [[إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ]] dengan bacaan tanpa Ghunnah [dengung] seukuran panjang dua harakat.
Dan jika anda membaca syair:
Maka Dibolehkan bagi anda untuk membaca dhommah dengan bacaan شَبْع dan anda tidak harus ditegur.
SUMBER: ملتقى أهل الحديث - 3 [المكتبة الشاملة الحديثة] 12/433
Dan Abdullah al-Faashil juga berkata:
Pilar utama kaidah-kaidah Tajwid dan Qiro'aat adalah riwayat bersanad atau talaqqi. Maka para Imam telah meriwayatkan kepada kami mengenai bacaan Al-Qur'an yang Mulia dalam sifat-sifat bacaan tertentu, lalu kami pun membacanya sesuai dengannya.
Prinsip dasar dalam membaca selain Al-Qur'an, adalah bahwa itu dibaca sebagaimana orang Arab membacanya seperti biasanya, tanpa mensyaratkan sebuah keharusan untuk senantiasa membaca dengan cara memanjangkan bacaan-bacaan mad, dengan cara diam tidak bersuara sambil tanpa bernafas pada bacaan-bacaan SAKTAH dan lain sebagainnya yang semisalnya.
Barangsiapa mengatakan bahwa membaca hadits-hadits dan sejenisnya dengan Tajwid itu hukumnya wajib atau sunnah ; maka dia harus diminta untuk mendatangkan dalil. Karena sesungguhnya tidak ada keterangan dari para ulama ahli hadits terdahulu bahwa mereka membaca hadits-hadits dengan TAJWID, apalagi tentang kemustahabannya atau mengatakannya wajib.
Dan adapun hanya sebatas boleh hukumnya membaca hadits dan sejenisnya dengan kaidah TAJWID ; maka tidak ada masalah dengan itu. Adapun yang dipermasalahkan di sini adalah ketika ada orang yang mengatakannya sunnah atau wajib.
Padahal kita semua tahu bahwa masalah ini tidak ada keterangan dari para ulama terdahulu yang memperselisihkannya.
SUMBER: ملتقى أهل الحديث - 3 [المكتبة الشاملة الحديثة] 12/434]
====***=====
KEEMPAT: FATWA SYEIKH ABU AL-'IZZ AN-NAJDI [أبو العز النجدي]:
====***=====
تَجْوِيدُ الْأَذَانِ مِنَ التَّكَلُّفِ أَخِي الْحَبِيبِ؛ فَإِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِرَفْعِ الصَّوْتِ فِي الْأَذَانِ وَحَثَّ عَلَيْهِ وَلَا يُمْكِنُ الرَّفْعُ إِلَّا بِزِيَادَةِ الْمَدِّ كَمَا قَالَ الْمُحَقِّقُونَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ.
فَلَوْ التَزَمَ ==المُتَعمِّق== بِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ لَانْتَهَى الْأَذَانُ بِسُرْعَةٍ. وَلَعَلَّكَ تَجْرِبُ بِنَفْسِكَ لِتَرَى النَّتِيجَةَ! لَكِنَّ يَكُونُ فِي الصَّحْرَاءِ أَوِ الْبَيْتِ خَالِيًا حَتَّى لَا يُسْمِعُكَ أَحَدٌ.
Nabi SAW memerintahkan untuk meninggikan suara dalam adzan dan beliau sangat menganjurkannya. Tidak mungkin bisa meninggikan suara kecuali dengan menambahkan panjangnya bacaan Mad, sebagaimana yang dikatakan oleh para muhaqqiq dari kalangan orang-orang yang berilmu.
Jika ada orang yang sangat mendalam dalam hal ini dan bersikukuh harus mengikuti kaidah Tajwid ketika adzan, maka pengumandangan adzan akan cepat selesai.
Dan anda bisa mencobanya sendiri untuk melihat hasilnya! Kecuali jika itu di gurun atau rumah kosong sehingga tidak ada yang bisa mendengar anda!
Dan Syeikh abu al-'Izz an-Najdi berkata:
Saya katakan hadits tentang ini banyak, yang terkuat di antaranya diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Sahih-nya:
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah ['Abdullah bin Yusuf] berkata, telah mengabarkan kepada kami Malik dari Abdurrahman bin Abdullah bin 'Abdurrahman bin Abu Sha'sha'ah Al Anshari Al Mazini dari Bapaknya bahwa ia mengabarkan kepadanya, bahwa Abu Sa'id Al Khudri berkata kepadanya:
"Aku lihat kamu suka kambing dan lembah (pengembalaan). Jika kamu sedang mengembala kambingmu atau berada di lembah, lalu kamu mengumandangkan adzan shalat, maka keraskanlah suaramu. Karena tidak ada yang mendengar suara mu'adzin, baik manusia, jin atau apapun dia, kecuali akan menjadi saksi pada hari kiamat."
Abu Sa'id berkata, "Aku mendengarnya dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam."
[HR. Bukhori no. 574]
Wallahu A'lam wa Ahkam.
SUMBER: ملتقى أهل الحديث - 3 [المكتبة الشاملة الحديثة] 12/434]
====***=====
KELIMA: SYEIKH IBNU 'UTSAIMIN – rahimahullah ta'ala -:
====***=====
Apakah boleh menggunakan tajwid dalam bacaan atau perkataan selain Al-Qur’an, seperti membaca hadits Nabi (shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan lain sebagainya?
Beliau menjawab:
Sebagian para ulama al-Muta'akhkhiriin menafsiri firman Allah Ta'ala:
“Dan sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutarbalikkan Kitab dengan lidahnya (ketika mereka membacanya), supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab". [QS. Aal 'Imran 3:78].
Sebagian para ulama al-Muta'akhkhiriin mengatakan bahwa ini termasuk membaca bacaan selain Al-Qur'an dengan cara yang sama seperti membaca Al-Qur'an.
Contohnya: seperti membaca hadits Nabi (shallallahu alaihi wa sallam) dengan cara yang sama seperti membaca Al-Qur'an, atau membaca perkataan para ulama dengan cara yang sama seperti membaca Al-Qur'an.
Berdasarkan hal tersebut, maka tidak boleh melagukan bacaan [perkataan] selain Al-Qur'an dengan cara membacakan Al-Qur'an, terutama di depan orang awam yang tidak bisa membedakan antara Al-Qur'an dan perkataan lain kecuali dengan intonasi dan bacaan..
[Sumber: Fataawa Nuur 'ala ad-Darb (Kaset tape no. 212)]
JANGANKAN ADZAN, NABI SAW KADANG MEMBACA AL-QURAN TANPA DENGAN TAJWID sebagaimana yang di katakan Syeikh Ibnu al-Utsaimiin.
Syeikh Haitsam Hamdan berkata:Syekh Ibnu Utsaimin - semoga Allah merahmatinya - menyebutkan dalam kaset "Sharh Al-Mumti" bahwa Nabi SAW tidak beriltizam dengan kaidah-kaidah Tajwid yang dikenal saat ini.
Dia berdalil dengan hadits Nabi SAW bahwa beliau pernah memperpanjang Mad Basmalah dan kembali melakukan dengan yang sama.
Wallahu a'lam.
SUMBER: ملتقى أهل الحديث - 3 [المكتبة الشاملة الحديثة] 12/434]
====***=====
KEENAM: FATWA ISLAM WEB: Nomor Fatwa: 34034
====***=====
Apakah aturan tajwid berlaku untuk adzan sebagaimana berlaku untuk bacaan Al-Qur'an?
JAWABAN:
Adapun hukum-hukum Tajwid yang tidak disyaratkan dalam bahasa Arab, seperti Gunnah dan Idghom, dan juga menghindari kesalahan dalam bacaan yang menurut para Qoori disebut al-Lahn al-Khofii [kesalahan yang kurang jelas], maka di mustahab-kan untuk diterapkan dalam adzan, namun tidak diwajibkan ; karena dengan memperhatikan hal-hal tsb bisa membaguskan suara adzan. Dan para ahli Fiqih telah sepakat akan mustahabb-nya membaguskan suara dalam adzan. Karena dengan demikian bisa menarik orang-orang kepadanya dan membuat mereka menyukai seruan adzan tsb. Wallahu A'lam.
========
Yang Mana ? "ALLAAHU AKBARULLAAHU AKBAR" atau "ALLAAHU AKBAR - ALLAAHU AKBAR"
========
----***-----
PERTAMA: FATWA ABDUL KARIM BIN ABDULLAH AL-KHUDHAIR
----***-----
PERTANYAAN:
Cara yang benar dalam adzan bagaimana, apakah itu waqf [berhenti untuk bernafas] atau washl [nyambung tanpa jeda] antar kalimat-kalimat adzan?
JAWABAN:
Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa waqf [berhenti untuk bernafas] untuk setiap kalimat lebih Afdhol ; karena dengan demikian lebih jelas dalam penyampaian.
Dan beberapa dari mereka berpendapat bahwa Wasl [menyambung keduanya tanpa berhenti untuk bernafas] dalam mengumandangkan takbir, itu lebih utama dan Afdhol ;
Karena berdasarkan sabda beliau SAW dalam menjawab muadzin:
“Jika muadzin mengumandangkan kalimat: " الله أكبر الله أكبر " maka salah seorang dari kalian menjawab: " الله أكبر الله أكبر ". Beliau SAW menggabungkan diantara keduanya dan menghubungkan kedua kalimat tersebut.
Kemudian beliau berkata: " أشهد أن لا إله إلا الله". Lalu berkata: أشهد أن لا إله إلا الله. Di sini di dalamnya terdapat waqf [berhenti untuk bernafas] dan dan tidak washl [menyambung tanpa bernafas]
Kemudian beliau berkata: " أشهد أن محمدًا رسول الله". Beliau berkata: " أشهد أن محمدًا رسول الله"... dan seterusnya [HR. Muslim no. 385]
Jadi Beliau SAW menggabungkan dua takbir. Karena beliau SAW bersabada: "Jika muadzin berkata: " الله أكبر الله أكبر", maka salah seorang dari kalian menjawab: " الله أكبر الله أكبر".
Dan untuk ini al-Nawawi dan ulama lainnya telah mengisyaratkannya ". [Kutipan Selesai]
SUMBER FATWA:
PERHATIAN:
Pertama: Yang dimaksud WAQF [berhenti] oleh Syeikh al-Hudhair di sini adalah berhenti untuk bernafas dan memisahkan antara dua sususan kalimat. Yaitu seperti berikut ini:
Seorang Muadzin mengumandangkan: [[Allaahu Akbar]] lalu berhenti dan bernafas. Kemudian melanjutkan [[Allaahu Akbar]].... dan seterusnya.
Kedua: Yang di Maksud WASHL [menyambung] di sini, Syeikh al-Khudhair tidak bermaksud mengharuskan dibaca Fathah [[الله أكبرَ الله أكبر]] atau dhommah [[الله أكبرُ الله أكبر]] dan juga tidak bermaksud melarang dibaca Sukun [[الله أكبرْ الله أكبر]]. Melainkan yang dia maksud washl di sini adalah menyambung kedua takbir tsb tanpa dipisah dengan berhenti untuk bernafas.
----***-----
KEDUA: FATWA SYEIKH MUHAMMAD RASYID RIDHA:
----***-----
Ada sebagian as-Sabakiyyah yang mengeluarkan bantahan terhadap muadzin yang menyambungkan bacaan antara dua takbir adzan, seperti yang dilakukan oleh para muadzin hari ini.
Dan mereka berkata: Yang Sunnah adalah memisahkan antara setiap takbir dari takbir yang lain. Dan untuk memisahkannya itu harus dengan waqf [berhenti dengan harakat Sukun] untuk masing-masing takbir.
Dan sama sekali tidak diperbolehkan untuk membacanya dengan harakat pada huruf akhir dari takbir yang pertama, dengan tujuan untuk disambungkan dengan takbir yang kedua.
Kami belum menemukan dalil yang jelas dan terang untuk ini".
LALU SYEIKH RASYID MELANJUTKAN PERKATAANNYA:
Sesungguhnya untuk masalah ini terdapat SUMBER dari dua arah:
SALAH SATU-NYA adalah:
Apa yang diriwayatkan dari para ulama Salaf dalam hal ini, maka dalam dua kitab, Al-Mughni dan Al-Sharh Al-Kabir Lil-Muqni' dari kitab-kitab madzhab Hanbali [[yang sangat berhati-hati dalam mengutip perkataan para sahabat, para tabi'iin, para ulama mujtahid dari berbagi penjuru negeri dan dalil-dalilnya]] di sebutkan:
Abdullah bin Baththah [W. 387] berkata: Dalam adzan dan iqaamah, tidak menghubungkan kalimat-kalimat adzan antara yang satu dengan yang lain secara mu'rab [berharakat fathah, dhommah atau kasrah], melainkan yang benar adalah Jazem [Sukun / mati].
Dan Ibnu Al-Arabi meriwayatkannya dari para ahli bahasa.
Dan diriwayatkan dari Ibrahim an-Nakha'i [W. 96 H] bahwa dia berkata: Ada dua hal yang di baca Jazem [sukun] dan dulu mereka tidak membacanya secara mu'rob [berharakat fathah, dhommat atau kasrah], yaitu: adzan dan iqaamah.
Penulis kitab al-Mughni dan penulis asy-Syarah al-Kabiir berkata:
"Ini adalah isyarat terhadap IJMA' mereka ; Yaitu: Ijma' para Sahabat, karena Ibrahim adalah salah satu ulama Tabi'in yang paling terkenal".
Ini adalah argumen mereka.
DAN [SUMBER] YANG KEDUA: - dan ini berlawanan dengan yang diatas - adalah bahwa hadits Umar Ibnu Al-Khattab radhiyallahu 'anhu, dalam menjawab muadzin, menunjukkan berhenti di setiap kalimat (yaitu: susunan jumlah kata) dari kalimat-kalimat adzan, kecuali Takbiir maka sesungguhnya berhenti pada setiap dua takbir.
Karena Rosulullah SAW bersabda:
Apabila muadzdzin mengucapkan: " Allaahu Akbar Allaahu Akbar", maka salah seorang di antara kalian mengucapkan: " Allaahu Akbar Allaahu Akbar".
Kemudian ketika muadzdzin mengucapkan: " Asyhadu allaa ilaaha illallaah", maka ia juga mengucapkan " Asyhadu allaa ilaaha illallaah… [Shahih Muslim no. 876).
Di dalamnya, menjadikan waqf pada dua takbir di awal adzan dan di akhir adzan, tidak seperti pada kalimat-kalimat lainnya yang diulang, yaitu dua, dua ; karena ia berhenti pada masing-masing dari kalimat-kalimat tsb. Dan jawabannya sesuai aturan itu -. Dan yang maklum bahwa makna waqf dalam bahasa Arab adalah dengan sukun [mati] dan makna washl adalah dengan memberikan harakat [dhommah atau fathah atau kasrah] -
Maka makna yang tampak dari hadits tersebut sesuai dengan apa yang dilakukan para muazin di negeri-negeri Islam saat ini dengan menyambungkan setiap dua takbir.
Hal ini berkonsekwensi bahwa kata " Akbar ' di baca rofa' [dhommah] pada takbir yang pertama berdasrkan kaidah umum dalam bahasa arab ini, yaitu dibaca dengan berharakat di tengah susunan kata.
[Lihat: Al-Manar jilid 25 (1924), hlm. 195-196]
----***-----KETIGA: FATAWA ASY-SYABAKAH AL-ISLAMIYAH [المكتبة الشاملة الحديثة 14/4669]:-----***-----
PERTANYAAN:
Apakah disyaratkan dalam takbir-takbir itu harus tersambung atau tidak?
JAWABAN:
Jika maksud Anda adalah bertanya tentang takbir adzan, apakah itu harus terhubungkan atau terpisahkan masing-masing dari dua takbir?
Maka ketahuilah bahwa para ulama berbeda pendapat tentang masalah ini:
An-Nawawi di Sharh Muslim manshahihkan bahwa setiap dua takbir itu tersambung.
Sekelompok para peneliti memenangkan pendapat disyariatkannya Waqf [berhenti] pada setiap takbir ; Karena asal setiap kalimat adalah untuk membangun makna baru, bukan untuk mengukuhkan apa yang datang sebelumnya.
Di antara mereka yang mentarjih pendapat ini dengan kuat adalah SYEKH BAKR ABU ZAID -semoga Allah merahmatinya - dalam kitabnya [[تصحيح الدعاء]] yang bermanfaat.
Namun yang nampak dzohir - insya Allah - bahwa masalah ini adalah luas, dan siapa pun yang melakukan yang ini maka tidak ada masalah, dan begitu juga siapa pun yang melakukan yang itu ; maka tidak ada yang salah". [Selesai]
Ibnu al-Qosim dalam kitab-nya "Hashiyat al-Raudh al-Murbi' 1/439" berkata:
Yakni: Seorang muadzin jika telah mengumandangkan: " اللَّهُ أَكْبَرْ " maka dia berhenti, begitu pula pada takbir-takbir berikutnya.
An-Nakha'i [W. 96 H] berkata: Ada dua hal yang di baca Jazem [sukun / mati] dan tidak dibaca mu'rab [dibaca sesuai i'rabnya] dalam bahasa Arab: yaitu pada adzan dan iqaamah.
Sementara Syekh - yakni Syekh al-Islam Ibnu Taymiyyah – berkata:
" Dan sebagian orang-orang ada yang menjadikan empat takbir ini menjadi dua kalimat, membaca takbir pertama sesuai i'rabnya [di baca dhommah] pada dua tempat tsb.
Dan ini adalah shahih menurut semua Salaful Ummah, dan sebagian besar kholafnya, baik pada seperempat di awal atau pada kedua".
Dan dia [Ibnu Taimiyah berkata]:
Yang dimaksud dengan kalimat majemuk gramatikal [jumlah nahwiyah] yang terdiri dari subjek [mubtada] dan predikat [khobar], maka jumlah takbir adzan di awal dan di akhir adalah enam".
----***-----KEEMPAT: FATWA ISLAMWEB: Nomor Fatwa: 337819-----***------
PERTANYAAN:
Apakah wajib menyambungkan dua takbir pertama dalam adzan?
JAWABAN:
Jika yang anda tanyakan tentang waqf [berhenti] pada takbir pertama itu maksudnya adalah membaca sukun [mati] pada huruf terakhirnya, atau menyambungkannya dengan takbir yang kedua tanpa waqf [berhenti].
Ada perbedaan pendapat tentang dua takbir pertama: apakah huruf terakhirnya sukun [mati] atau tidak? ......
Maka dengan demikian jawabannya adalah ; Tidak wajib washol [menyambung] atau tidak wajib waqf [berhenti] di antara dua takbir pertama. [Yakni kedua-duanya diperbolehkan]
PARA ULAMA YANG MENGATAKAN :
BACA AL-QUR'AN TIDAK WAJIB DENGAN TAJWID, TAPI SUNNAH
AL-HAFIDZ IBNU HAJAR :
Syeikh Abdul Muhsin bin Hamad al-Abbad al-Badr - semoga Allah melindunginya - dalam "Syarah Sunan Abi Dawud" berkata :
سَبَقَ أَنْ ذَكَرْتُ فِي مَنَاسِبَاتٍ مُتَعَدِّدَةٍ كَلَامَ الْحَافِظِ ابْنِ حَجَرٍ الَّذِي ذَكَرَهُ عِنْدَ شَرْحِ حَدِيثِ ابْنِ مَسْعُودٍ: (( هَذًّا كَهَذِّ الشِّعْرِ )) فِي “صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ”. قَالَ: لَا خِلَافَ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ ــ أَوْ عِبَارَةٌ نَحْوَهَا ــ أَنَّ الْقِرَاءَةَ بِالتَّجْوِيدِ أَحْسَنُ وَأَفْضَلُ، وَأَنَّهُ يَجُوزُ الْقِرَاءَةَ بِدُوْنِهِ. اهـ
"Telah saya sebutkan dalam berbagai kesempatan pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar yang menyebutkannya saat menjelaskan hadis Ibnu Mas'ud: (( هَذًّا كَهَذِّ الشِّعْرِ )) dalam "Sahih al-Bukhari", beliau mengatakan:
"Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama - atau kata-kata semisalnya - bahwa membaca Al-Quran dengan tajwid lebih baik dan lebih utama, dan boleh juga membaca tanpa tajwid".
SYEIKH ALI QORI :
Ali al-Qari berkata:
وَيَنْبَغِي أَنْ تُرَاعَى جَمِيعُ قَوَاعِدِهِمْ وَجُوبًا فِيمَا يَتَغَيَّرُ بِهِ الْمَبْنَى، وَيُفْسَدُ بِهِ الْمَعْنَى، وَاسْتِحْبَابًا فِيمَا يُحْسِنُ بِهِ اللَّفْظُ، أَوْ يُسْتَحْسَنُ بِهِ النُّطْقُ حَالَ الْأَدَاءِ"،
"Seharusnya semua kaidah-kaidahnya diperhatikan secara wajib dalam hal yang dengannya bisa merubah struktur kata dan merusak makna, namun dianjurkan dalam hal memperindah bunyi lafadz atau memperbaiki pelafalan saat membaca."
[Syarh al-Jazariyah oleh Sheikh Ali al-Qari hal. 20, dan Nihayat al-Qawl al-Mufid halaman 25].
Dan dia berkata pula :
"وَأَمَّا اللَّحْنُ (الْخَطَأُ) الْخَفِيُّ، فَلَا يَتَصَوَّرُ أَنْ يَكُونَ فَرْضًا عَيْنًا، يَتَرَتَّبُ الْعُقُوبَةُ عَلَى قَارِئِهِ؛ لِمَا فِيهِ مِنْ حَرَجٍ عَظِيمٍ".
"Sedangkan kesalahan tersembunyi tidak boleh dianggap sebagai kewajiban yang dapat menyebabkan hukuman bagi pembaca karena adanya kesulitan yang besar."
IBNU TAIMIYAH :
Syeikhul-Islam Ibnu Taymiyyah berkata:
وَلَا يَجْعَلُ هِمَّتَهُ فِيمَا حُجِبَ بِهِ أَكْثَرُ النَّاسِ مِنْ الْعُلُومِ عَنْ حَقَائِقِ الْقُرْآنِ إمَّا بِالْوَسْوَسَةِ فِي خُرُوجِ حُرُوفِهِ وَتَرْقِيقِهَا وَتَفْخِيمِهَا وَإِمَالَتِهَا وَالنُّطْقِ بِالْمَدِّ الطَّوِيلِ وَالْقَصِيرِ وَالْمُتَوَسِّطِ وَغَيْرِ ذَلِكَ. فَإِنَّ هَذَا حَائِلٌ لِلْقُلُوبِ قَاطِعٌ لَهَا عَنْ فَهْمِ مُرَادِ الرَّبِّ مِنْ كَلَامِهِ .
وَكَذَلِكَ شَغْلُ النُّطْقِ بـ {أَأَنْذَرْتَهُمْ} وَضَمُّ الْمِيمِ مِنْ (عَلَيْهِمْ وَوَصْلُهَا بِالْوَاوِ وَكَسْرُ الْهَاءِ أَوْ ضَمُّهَا وَنَحْوُ ذَلِكَ. وَكَذَلِكَ مُرَاعَاةُ النَّغَمِ وَتَحْسِينُ الصَّوْتِ.
وَكَذَلِكَ تَتَبُّعُ وُجُوهِ الْإِعْرَابِ وَاسْتِخْرَاجُ التَّأْوِيلَاتِ الْمُسْتَكْرَهَةِ الَّتِي هِيَ بِالْأَلْغَازِ وَالْأَحَاجِيِّ أَشْبَهُ مِنْهَا بِالْبَيَانِ
وَكَذَلِكَ صَرْفُ الذَّهْنِ إِلَى حِكَايَةِ أَقْوَالِ النَّاسِ وَنَتَائِجِ أَفْكَارِهِمْ .
"Seseorang tidak seharusnya memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang dengannya bisa menghalangi mayoritas manusia dari ilmu-ilmu tentang hakikat kandungan al-Quran , seperti menghabiskan waktunya untuk berspekulasi tentang makhroj huruf-huruf, mentarqiiq-nya, mentafkhim-nya, meng-imaalah-kannya, pengucapan mad panjang, mad pendek, taqshiir dan lain sebagainya.
Hal ini akan menghalangi hati-hati manusia dari memahami maksud kalam-kalam Tuhan.
Dan juga disibukkan dengan pengucapan { أَأَنْذَرْتَهُمْ } dan membaca dhommah huruf "م" dari (عَلَيْهِمْ) dengan menyambungnya dengan "وَ" dan membaca kasrah pada "هَاءٌ" atau membaca dhommah dan sejenisnya. Dan demikian pula memperhatikan nada dan memperbagus suara.
Begitu pula dengan menelusuri bentuk-bentuk I’rob dan penggalian takwil yang tidak pantas yang lebih mirip dengan teka-teki dan perumpamaan dibandingkan dengan penjelasan.
Dan seseorang tidak boleh memusat perhatiannya hanya untuk mendengarkan hikayat dari perkatan-perkataan manusia atau mengikuti pemikiran mereka."
(Sumber: Majmu' Fatawa Ibn Taymiyyah16/50-51)
IBNU AL-QOYYIM :
Ibnu al-Qayyim mengikuti gurunya dalam hal ini. Dan Ibnu Qayyim dalam Ighootstul Lahfaan 1/160 berkata:
(فَصْلٌ: وَمِنْ ذَلِكَ الْوَسْوَسَةُ فِي مَخَارِجِ الْحُرُوفِ وَالتَّنَطُّعُ فِيهَا، وَنَحْنُ نَذْكُرُ مَا ذَكَرَهُ الْعُلَمَاءُ بِأَلْفَاظِهِمْ:
"Termasuk dari itu adalah was-was dalam makhroj-makhroj huruf dan berlebihan di dalamnya, dan kami menyebutkan apa yang telah disebutkan oleh para ulama dengan ucapan-ucapan mereka."
Lalu Ibnu al-Qoyyim berkata :
قَالَ أَبُو الْفَرْجِ بْنُ الْجَوْزِيِّ: قَدْ لُبِسَ إِبْلِيسُ عَلَى بَعْضِ الْمُصَلِّينَ فِي مَخَارِجِ الْحُرُوفِ، فَتَرَاهُ يَقُولُ الْحَمْدُ الْحَمْدُ فَيَخْرُجُ بِإِعَادَةِ الْكَلِمَةِ عَنْ قَانُونِ أَدَبِ الصَّلَاةِ، وَتَارَةً يَلْبَسُ عَلَيْهِ فِي تَحْقِيقِ التَّشْدِيدِ فِي إِخْرَاجِ ضَادِ الْمَغْضُوبِ. قَالَ: وَلَقَدْ رَأَيْتُ مَنْ يَخْرُجُ بُصَاقَهُ مَعَ إِخْرَاجِ الضَّادِ لِقُوَّةِ تَشْدِيدِهِ، وَالْمُرَادُ تَحْقِيقُ الْحَرْفِ فَحَسْبُ، وَإِبْلِيسُ يُخْرِجُ هَؤُلَاءَ بِالزِّيَادَةِ عَنْ حَدِّ التَّحْقِيقِ، وَيُشْغِلُهُمْ بِالْمُبَالَغَةِ فِي الْحُرُوفِ عَنْ فَهْمِ التِّلاَوَةِ، وَكُلُّ هَذِهِ الْوَسَاوِسُ مِنْ إِبْلِيسَ.
Abu al-Faraj Ibnu al-Jawzi berkata: "Iblis telah menyesatkan sebagian orang-orang yang sedang shalat dalam makhroj-makhroj huruf, sehingga Anda melihatnya mengucapkan 'al-hamdulillah', 'al-hamdulillah' dengan mengulang kata tersebut, yang keluar dari kaidah tata cara shalat.
Dan kadang-kadang dia terkelabui iblis ketika memastikan penekanan dalam pengucapan 'ضَادٌ' pada (المَغْضُوبِ). Saya melihat seseorang mengeluarkan air ludahnya bersamaan dengan pengucapan huruf 'dhâdh' untuk memberikan penekanan yang kuat, yang dimaksudkan hanya untuk memperkuat pengucapan huruf itu saja, namun Iblis membuat mereka berlebihan dalam pengucapan huruf, sehingga mengalihkan perhatian mereka dari pemahaman terhadap kandungan al-Qur’an. Semua was-was ini berasal dari Iblis."
Lalu Ibnu al-Qoyyim berkata :
وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ قُتَيْبَةَ فِي مُشْكِلِ الْقُرْآنِ : وَقَدْ كَانَ النَّاسُ يَقْرُؤُنَ الْقُرْآنَ بِلُغَاتِهِمْ ثُمَّ خَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ قَوْمٌ مِّنْ أَهْلِ الْأَمْصَارِ وَأَبْنَاءِ الْعَجَمِ لَيْسَ لَهُمْ طَبْعُ اللُّغَةِ وَلَا عِلْمُ التَّكَلُّفِ، فَهَفُوا فِي كَثِيرٍ مِّنَ الْحُرُوفِ، وَذَلُوا فَأَخْلَوْا وَمِنْهُمْ رَجُلٌ سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ عَنِدَ الْعَوَامِّ بِالصَّلَاحِ وَقُرْبِهِ مِنَ الْقُلُوبِ بِالدِّينِ، فَلَمْ أَرَ فِيمَنْ تَتَبَّعْتُ فِي وُجُوهِ قِرَاءَتِهِ أَكْثَرَ تَخْلِيطًا وَلَا أَشَدَّ اضْطِرَابًا مِّنْهُ لِأَنَّهُ يَسْتَعْمِلُ فِي الْحَرْفِ مَا يَدْعُهُ فِي نَظِيرِهِ، ثُمَّ يُؤْصِلُ أَصْلًا وَيُخَالِفُ إِلَى غَيْرِهِ بِغَيْرِ عِلَّةٍ، وَيَخْتَارُ فِي كَثِيرٍ مِّنَ الْحُرُوفِ مَا لَا مَخْرَجَ لَهُ إِلَّا عَلَى طَلَبِ الْحِيَلَةِ الضَّعِيفَةِ، هَذَا إِلَى نَبْذِهِ فِي قِرَاءَتِهِ مَذَاهِبَ الْعَرَبِ وَأَهْلِ الْحِجَازِ بِإِفْرَاطِهِ فِي الْمَدِّ وَالْهَمْزِ وَالْإِشْبَاعِ وَإِفْحَاشِهِ فِي الْإِضْجَاعِ وَالْإِدْغَامِ، وَحُمْلِهِ الْمُتَعَلِّمِينَ عَلَى الْمَذْهَبِ الصَّعْبِ، وَتَعْسِيرِهِ عَلَى الْأُمَّةِ مَا يَسَّرَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَتَضِيقُهُ مَا فَسَّحَهُ، وَمِنَ الْعَجَبِ أَنَّهُ يَقْرَىٰءُ النَّاسُ بِهَذِهِ الْمَذَاهِبِ وَيَكْرَهُ الصَّلَاةَ بِهَا، فَفِي أَيِّ مَوْضِعٍ يَسْتَعْمِلُ هَذِهِ الْقِرَاءَةَ إِن كَانَتْ الصَّلَاةُ لَا تَجُوزُ بِهَا؟
Dan Muhammad bin Qutaibah berkata : "Orang-orang pada awalnya membaca Al-Quran dalam dialek bahasa mereka sendiri. Kemudian, digantikan oleh sekelompok orang dari penduduk berbagai macam negeri dan anak keturunan non-Arab yang tidak memiliki tabi’at bahasa arab dan pengetahuan tata bahasa. Maka mereka membuat kesalahan dalam banyak huruf, sehingga menyebabkan kebingungan dan kekeliruan.
Di antara mereka ada seoarang pria – semoga Allah menutupi aib dia pada orang-orang awam dengan kebaikan dan semoga mendekatkannya dengan hati-hati dalam agama -
Maka , saya tidak pernah melihat di antara mereka yang saya teliti dalam berbagai cara bacaan Al-Quran yang lebih campur aduk dan kacau balau dari pada dia. Hal ini karena dia menggunakan dalam suatu huruf apa yang dia anggap tepat di dalamnya.
Kemudian dia menetapkan aturan dasar yang menyelisihi aturan lain tanpa sebab .
Dia juga memilih dalam banyak huruf apa yang tidak memiliki makhroj huruf kecuali dengan mencari jalan tipu muslihat yang lemah.
Hal ini membuat dia dijauhi dalam bacaannya oleh para orang Arab dan penduduk Hijaz karena kebablasan dalam bacaan madd, hamz, Isybaa’, Ifhasy, Idjaa’dan Idghoom.
Para pengajar mengantarkannya pada madzhab yang sulit. Dan dia membuat agama ini menjadi sulit bagi umat ini, dia membuat sulit apa yang Allah mudahkan dan dia membuatnya sempit apa yang Allah luaskan.
Dan yang sangat aneh dari orang ini adalah bahwa dia itu membacakan Al-Quran kepada orang-orang dengan qiro’at madzhab-madzhab lain , akan tetapi dia membenci melakukan shalat dengan membaca qiro’at madzhab-madzhab tersebut. Kalau begitu, lalu ditempat manakah diperbolehkan membacanya jika diwaktu sholat saja tidak diperbolehkan membacanya ?”. [ Lihat : Ighootstul Lahfaan 1/160]
SYEIKH AS-SA’DI [ Guru Syeikh Utsaimin]
Syeikh As-Sa’di rahimahullah berkata tentang hal ini:
إِنَّ التَّجْوِيدَ بِحَسَبِ الْقَوَاعِدِ الْمُفَصَّلَةِ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ غَيْرُ وَاجِبٍ.
"Mengenai tajwid berdasarkan kaidah-kaidah yang terdapat dalam kitab-kitab tajwid tidaklah wajib." [Di kutip dari Kitabul Ilmi : 163 oleh Ibnu Utsaimin]
SYEIKH BIN BAAZ :
Syeikh Bin Baaz rahimahullah berkata dalam fatwa beliau:
"يَجُوزُ أَنْ يُقْرَأَ الْقُرْآنُ بِغَيْرِ التَّرْتِيبَاتِ وَالْاِصْطِلَاحَاتِ الَّتِي ذَكَرَهَا أَصْحَابُ التَّجْوِيدِ، إِذَا قُرِئَ بِاللُّغَةِ الْعَرَبِيَّةِ قِرَاءَةً وَاضِحَةً، لَكِنْ إِذَا اعْتَنَى بِمَا ذَكَرَهُ الْقُرَّاءُ وَبِمَا ذَكَرَهُ أَصْحَابُ التَّجْوِيدِ، فَهَذَا حَسَنٌ مِنْ بَابِ تَحْسِينِ الْقِرَاءَةِ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ: (زَيِّنُوا الْقُرْآنَ بِأَصْوَاتِكُمْ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ، وَصَحَّحَهُ الْأَلْبَانِيُّ، فَإِذَا لَاحَظَ الْغُنَّةَ وَالتَّرْقِيقَ وَالتَّفْخِيمَ يَكُونُ أَفْضَلَ، وَإِلَّا فَلَيْسَ بِلاَزِمٍ -فِيمَا يَظُهُرُ لِي- إِذَا قَرَأَهُ الْقَرَاءَةَ الْوَاضِحَةَ، لَيْسَ فِيهَا خَلَلٌ".
"Diperbolehkan untuk membaca Al-Quran tanpa tata bahasa dan terminologi yang disebutkan oleh ahli tajwid, asalkan dibaca dengan bahasa Arab yang jelas. Namun, jika seseorang memperhatikan apa yang disebutkan oleh para qari dan ahli tajwid, maka itu lebih baik sebagai upaya untuk memperbagus bacaan. Sebagaimana sabda Nabi: (Hiasilah Al-Quran dengan suaramu). Riwayat Abu Daud dan dinilai shahih oleh Al-Albani. Jadi, jika terdapat ghunnah, tarqiq, atau tafkhim, itu akan lebih baik. Namun, jika tidak, itu tidaklah wajib menurut pendapat saya, asalkan bacaannya jelas tanpa cacat."
[ Lihat : Nurun ‘Ala Ad-Darb / حكم قراءة القرآن دون تطبيق أحكام التجويد]
Dan Syeikh Bin Baaz juga mengatakan:
لا أعلَمُ دَلِيلاً شَرْعِيًّا يَدُلُّ عَلَى وُجُوبِ الِالْتِزَامِ بِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ، أَمَّا قَوْلُهُ تَعَالَى: {وَارْتَلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا}، فَهُوَ يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوْعِيَّةِ التَّمَهُّلِ بِالْقِرَاءَةِ وَعَدَمِ الْعَجَلَةِ، وَيُؤَيِّدُهُ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَى: {وَرَتَّلْنَاهُ تَرْتِيلًا}.
"Saya tidak mengetahui dalil syar'i yang menunjukkan kewajiban mematuhi aturan tajwid. Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: {Dan bacalah Al-Qur'an dengan tartil}, itu menunjukkan disyariatkannya membaca dengan penuh perhatian dan tanpa terburu-buru, dan ini diperkuat oleh firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: {Dan sungguh, Kami telah membacakan Al-Qur'an ini dengan tartil}.
[Sumber : حكم قراءة القرآن بالتجويد (Islam.web. Fatwa no. 208900) . Dan lihat pula : Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, 12/11/1415 Hijriah..
SYEIKH UTSAIMIN :
Syeikh Ibnu Utsaimiin rahimahullah mengatakan:
"أَمَّا التَّجْوِيدُ فَلَيْسَ بِوَاجِبٍ، التَّجْوِيدُ تَحْسِينٌ لِلْفَظِّ فَقَطْ، وَتَحْسِينُ اللَّفْظِ بِالْقُرْآنِ لَا شَكَّ أَنَّهُ خَيْرٌ، وَأَنَّهُ أَتَمُّ فِي حُسْنِ الْقِرَاءَةِ، لَكِنَّ الْوُجُوبَ بِحَيْثُ نَقُولُ مَنْ لَمْ يَقْرَأْ الْقُرْآنَ بِالتَّجْوِيدِ فَهُوَ آثِمٌ قَوْلٌ لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ، بَلْ الدَّلِيلُ عَلَى خِلَافِهِ"
"Tajwid bukanlah wajib, tajwid hanyalah untuk memperindah lafal. Memperindah pelafalan Al-Quran tidak diragukan lagi bahwa itu baik dan lebih sempurma dalam bacaan. Namun, jika dikatakan wajib , sehingga orang yang membacanya tanpa tajwid itu berdosa maka itu perkataan tanpa dalil atasnya, bahkan sebaliknya dalil yang ada adalah kebalikannya . ["Fatawa Nur 'ala al-Darb" (2/157)]
Membaca al-Qur’an dengan Tajwid menurut pendapat Syekh Ibnu Utsaimin tidak wajib, tetapi wajib untuk menegakkan harakat-harakatnya, dan mengucapkan huruf sebagaimana mestinya, contohnya jangan mengubah huruf (رَ) dengan (لَ), begitu juga huruf (ذَ) dengan (زَ) dan sejenisnya, inilah yang dilarang.
Syeikh Ibnu Utsaimiin rahimahullah juga mengatakan dalam fatwanya:
(( لَا أَرَى وَجُوبَ الِالْتِزَامِ بِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ الَّتِي فُصِّلَتْ بِكُتُبِ التَّجْوِيدِ ، وَإِنَّمَا أَرَى أَنَّهَا مِنْ بَابِ تَحْسِينِ الْقِرَاءَةِ ، وَبَابُ التَّحْسِينِ غَيْرُ بَابِ الْإِلْزَامِ ، وَقَدْ ثَبَتَ فِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – أَنَّهُ سُئِلَ كَيْفَ كَانَتْ قِرَاءَةُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ؟ فَقَالَ : كَانَتْ مَدًّا ، قَرَأَ : { بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ } يَمُدُّ بِبِسْمِ اللَّهِ ، وَيَمُدُّ الرَّحْمَنِ ، وَيَمُدُّ الرَّحِيمِ ، وَالْمَدُّ هُنَا : طَبِيعِيٌّ لَا يَحْتَاجُ إِلَى تَعَمُّدِهِ وَالنَّصُّ عَلَيْهِ ، هُنَا يُدِلُّ عَلَى أَنَّهُ فَوْقَ الطَّبِيعِيِّ .
وَلَوْ قِيلَ : بِأَنَّ الْعِلْمَ بِأَحْكَامِ التَّجْوِيدِ الْمُفَصَّلَةِ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ وَاجِبٌ ، لَلْزَمَ تَأْثِيمَ أَكْثَرِ الْمُسْلِمِينَ الْيَوْمَ ، وَلَقُلْنَا لِمَنْ أَرَادَ التَّحَدُّثَ بِاللُّغَةِ الْفُصْحَى : ” طَبَّقْ أَحْكَامَ التَّجْوِيدِ فِي نُطْقِكَ بِالْحَدِيثِ وَكُتُبِ أَهْلِ الْعِلْمِ ، وَتَعَلُّمِكَ ، وَمَوَاعِظِكَ ” ، وَلْيَعْلَمْ أَنَّ الْقَوْلَ بِالْوَجْوَبِ يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ تُبَرَّأُ بِهِ الذَّمَّةُ أَمَامَ اللَّهِ – عَزَّ وَجَلَّ – فِي إِلْزَامِ عِبَادِهِ بِمَا لَا دَلِيلَ عَلَى إِلْزَامِهِمْ بِهِ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ – تَعَالَى – أَوْ سُنَّةِ رَسُولِهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، أَوْ إِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ .
وَقَدْ ذَكَرَ شَيْخُنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ سَعْدٍي – رَحِمَهُ اللَّهُ – فِي جَوَابٍ لَهُ : ” أَنَّ التَّجْوِيدَ حَسَبَ الْقَوَاعِدِ الْمُفَصَّلَةِ فِي كُتُبِ التَّجْوِيدِ غَيْرُ وَاجِبٍ ".
"Saya tidak melihat kewajiban untuk mematuhi hukum tajwid, yang dirinci oleh buku-buku Tajwid, akan tetapi saya melihat bahwa itu adalah masalah memperindah bacaan, dan BAB untuk tahsiin (memperbagus) bukanlah BAB pengharusan (Ilzaam).
Telah disebutkan di dalam Shahih Bukhari dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu bahwa dia ditanya tentang bagaimana dulu bacaan Nabi ﷺ. Ia menjawab, ‘Bacaan beliau adalah mad ketika membaca Bismillahirrahmanirrahim, memanjangkan bismillah, memanjangkan Ar Rahman, memanjangkan Ar Rahim. Padahal mad di sini adalah mad thabi’i tidak butuh untuk sengaja memanjangkan, sedang nash (dalil) ini menunjukkan mad nya melebihi mad thabi’i.’
Seandainya dikatakan bahwa hukum-hukum yang dituliskan di dalam kitab-kitab tajwid hukumnya wajib, maka akan memberikan konsekwensi berdosanya banyak sekali kaum muslimin. Dan kita akan mengatakan bagi orang yang hendak berbicara dengan bahasa arab fasih, ‘Praktekkan ilmu tajwid ketika kalian membaca hadits dan kitab-kitab para ulama, dalam pengajaran kalian dan dalam nasehat-nasehat kalian.’
Dan hendaknya diketahui bahwa pendapat yang mewajibkan ( membaca sesuai tajwid ~ed), membutuhkan dalil yang akan melepaskan tanggung jawab dihadapan Allah kelak, yang terambil dari kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya ﷺ atau ijma’(konsensus para ulama).
Dan Syaikh kami, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menyebutkan di dalam salah satu fatwa beliau bahwa tajwid sesuai yang dirinci di dalam kitab-kitab tajwid itu tidak wajib hukumnya.”
[Ini adalah kutipan dari “Kitab Al-'Ilmi" oleh Syekh Muhammad bin Shalih al-'Utsaimin, semoga Allah merahmatinya, cetakan Dar al-Thariyah untuk Penerbitan, halaman 170-171, Pertanyaan Nomor 70].
MUHAMMAD AL-HASAN AD-DADU :
Dekat dengan pandangan ini, yang juga dipegang oleh Syeikh Muhammad Al-Hasan Al-Dadu :
أَنَّ الْقِرَاءَةَ بِالتَّجْوِيدِ يَنْتَابُهَا الْأَحْكَامُ الْخَمْسَةُ، فَمِنْهَا مَا هُوَ وَاجِبٌ؛ وَهُوَ الَّذِي إذَا لَمْ يَأخُذْ بِهِ الْإِنْسَانُ أَفْسَدَ قِرَاءَتَهُ. وَمِنْهَا مَا يُؤْثِمُ فَاعِلُهُ مُتَعَمِّدًا، وَهُوَ الَّذِي يَقْتَضِي اخْتِلَاطَ الْحُرُوفِ فِي مَخَارِجِهَا وَصِفَاتِهَا، أَوْ إدْغَامَ بَعْضِ مَا لَا يُدْغَمُ، أَوْ إزَالَةَ بَعْضِ الْحَرَكَاتِ بِالْإِشَالَةِ، وَالسُّرْعَةِ، كَالْهَذْرَمَةِ، وَنَحْوِهَا. وَمِنْهَا يَكُونُ سُنَّةً مُسْتَحَبَّةً، وَهُوَ مَا يُقْتَضِي تَحْسِينَ الْقُرْآنِ وَحُسْنَ تَقْطِيعِهِ، وَيُعِينُ عَلَى تَدَبُّرِهِ، كَالْوَقْفِ فِي مَوَاضِعِ الْوَقْفِ عَلَى التَّمَامِ أَوْ الْكَمَالِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ. وَمِنْهُ مَا هُوَ مَكْرُوهٌ، وَهُوَ مَا يَكُونُ كَشَكْلِ الطَّرَبِ، وَالْغِنَاءِ، وَنَحْوِهِمَا. وَمِنْهُ مَا يَكُونُ مُحَرَّمًا، وَهُوَ مَا يَبَالُغُ الْإِنْسَانُ فِيهِ حَتَّى يَتَقَعَّرُ، وَيُخْرَجُ بِهِ الْكَلَامُ عَنْ أَصْلِهِ. وَمِنْهُ مَا يَكُونُ مُنْدُوبًا عِنْدَ طَائِفَةٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ: وَهُوَ تَحْسِينُ الصَّوْتِ بِهِ حَتَّى يَكُونَ أَرَقَّ مِنْ صَوْتِهِ الْعَادِيِّ، وَذَلِكَ بِأَنْ يُشْجِي صَوْتَهُ بِهِ، حَتَّى يَكُونَ نَدِيًّا شَجِيًّا.
“ Bahwa dalam membaca dengan tajwid, terdapat lima macam hukum. Di antaranya :
Ada yang wajib; jika seseorang tidak mengamalkannya, maka bacaannya menjadi rusak.
Ada pula yang dosa jika dilakukan dengan sengaja, seperti yang menyebabkan bercampur baurnya huruf-huruf dalam makhraj-makhrajnya atau sifat-sifatnya, atau meng-idghom-kan apa yang seharusnya tidak diidghomkan, atau menghilangkan beberapa harakat dengan menggeser, serta kecepatan seperti mempercepat bacaan, dan sejenisnya.
Ada juga yang disunahkan dan dimustahabkan, yaitu yang mengantarkan pada sesuatu yang memperindah bacaan Al-Qur'an dan memotong-motongnya dengan baik, serta membantu dalam memahaminya, seperti berhenti di tempat-tempat yang memerlukan berhenti secara sempurna, dan sejenisnya.
Ada pula yang makruh, seperti bacaan dengan intonasi yang mirip dengan nyanyian atau musik, dan sejenisnya.
Ada yang diharamkan, yaitu jika seseorang melampaui batas sehingga terkesan merendahkan, dan dengan itu bacaan nya menjadi melenceng dari makna aslinya.
Dan ada yang manduub [disukai] oleh sebagian para ulama, yaitu memperbaiki suara sehingga lebih halus dari suara biasanya, dengan cara memperindah suaranya hingga menjadi merdu”.
[Sumber : حكم قراءة القرآن بالتجويد (Islam.web. Fatwa no. 208900)].
SYEIKH SHALEH AL-FAWZAN :
Dan Syeikh Saleh bin Fawzan berkata:
قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ بِالتَّجْوِيدِ مُسْتَحَبَّةٌ مِنْ غَيْرِ إفْرَاطٍ، وَلَيْسَتْ وَاجِبَةً، وَإِنَّمَا الْوَاجِبُ تَجْوِيدُ الْقُرْآنِ مِنَ اللَّحْنِ وَالْخَطَأِ فِي الْإِعْرَابِ.
"Membaca Al-Qur'an dengan tajwid itu disunnahkan tanpa berlebihan dalam bertajwid, dan bukanlah wajib. Yang wajib hanyalah memperbaiki bacaan Al-Qur'an dari kesalahan dalam melafalkan dan kesalahan dalam I’rob (tata bahasa)".
[Sumber : حكم قراءة القرآن بالتجويد (Islam.web. Fatwa no. 208900)]
Wallaahu a'lam.
1 Komentar
ustad kirim kisah Iblis melihat catatan yg ter gantung nama yang akan membangkang
BalasHapus