Di Susun oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
*****
بسم الله الرحمن الرحيم
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN: DEFINISI PAKAIAN SYUHRAH [شُهْرَة / YANG BIKIN VIRAL]
- BATASAN YANG DIMAKSUD PAKAIAN SYUHRAH [YANG BIKIN VIRAL]
- ANTARA PERINTAH BERPAKAIAN YANG BAGUS DAN LARANGAN BERPAKAIAN SYUHROH.
- PEMBAHASAN PERTAMA: ANJURAN BERPAKAIAN YANG BAGUS DAN TERHORMAT
- ANJURAN BERPAKAIAN BAGUS KETIKA SHALAT, TERUTAMA SHALAT JUMAT DAN IED:
- ANJURAN BERPAKAIAN BAGUS DAN TERHORMAT, MESKIPUN DI LUAR SHALAT:
- ORANG KAYA TAPI BERPAKAIAN SEDERHANA KARENA TAWADHU BUKAN UNTUK SYUHRAH
- PEMBAHASAN KEDUA: LARANGAN BERPAKAIAN SYUHROH YANG MEMBUATNYA VIRAL DAN MENJADI PUSAT PERHATIAN PUBLIK.
- [A]-LARANGAN BERPAKAIN PAKAIAN SYUHROH [VIRAL], PAKAIAN YANG BERBEDA DAN MENGUNDANG PERHATIAN PUBLIK.
- [B] – LARANGAN SYUHROH PADA SELAIN PAKAIAN:
- PEMBAHASAN KETIGA: ANJURAN BERPAKAIAN YANG SESUAI DENGAN PAKAIAN ADAT SETEMPAT ATAU YANG BIASA DIPAKAI OLEH MASYARAKAT SETEMPAT
====
بسم الله الرحمن الرحيم
----
PENDAHULUAN
Rosulullah ﷺ melarang umatnya memakai pakaian SYUHROH
[Makna شُهْرَة adalah MENJADI PUSAT PERHATIAN, VIRAL & TENAR]
Hadits Ibnu Umar RA, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
(مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)
“Barang siapa memakai pakaian syuhroh (pakaian yang bisa membuat dirinya viral) di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian yang menghinakan di hari Kiamat “.
(HR. Abu Daud No. 4029), an-Nasaa’i dalam “السنن الكبرى” 5/460, Ibnu Majah No. 3606, Imam Ahmad dalam al-Musnad 2/92 dan lainnya. Hadits ini di Hasankan oleh Syeikh al-Albaani dan Syu'aib al-Arna’uth).
Perkataan seorang sahabat Buraidah bin al-Hushoib radhiyallahu anhu [W. 63 H]:
شَهِدْتُ خَيْبَرَ، وَكُنْتُ فِيْمَنْ صَعِدَ الثُّلْمَةَ، فَقَاتَلْتُ حَتَّى رُئِيَ مَكَانِي، وَعَلَيَّ ثَوْبٌ أَحْمَرُ، فَمَا أَعْلَمُ أَنِّي رَكِبْتُ فِي الإِسْلَامِ ذَنْباً أَعْظَمَ عَلَيَّ مِنْهُ - أَيْ : الشُّهْرَةَ
" Waktu itu aku ikut serta perang Khaibar, dan aku termasuk orang yang mendaki "الثُّلْمَة" (Takik = celah antara dua dinding pada balkon benteng), lalu aku pun bertempur sehingga posisi ku nampak terlihat karena aku mengenakan baju merah, maka sepengetahuanku tidak ada dosa yang telah aku perbuat yang lebih besar darinya. Yakni pakai baju yang membuat dirinya jadi terkenal".
Takik / Tsulmah (celah antara dua dinding pada balkon benteng)
DEFINISI PAKAIAN SYUHRAH [شُهْرَة / YANG BIKIN VIRAL]
Makna pakaian SYUHROH: Adalah pakaian yang asing dan aneh, yang membuat orang yang memakainya menjadi pusat perhatian banyak orang, karena pakaian tersebut sangat berbeda dengan kebiasaan masyarakat di sekitar. Kemudian orang yang memakainya juga berniat dengan niat yang keji, yaitu ujub, takabbur dan menginginkan dirinya menjadi pusat perhatian publik.
Pakaian Syuhroh ini biasanya akan membuat banyak orang tercengang saat pertama kali , merasa asing dan membuat mereka bertanya-tanya serta membicarakannya.
Ibnu al-Atsiir dalam النهاية في غريب الحديث 2/515 berkata:
الشُّهْرَة ظُهُور الشَّيْء فِي شُنْعة حَتَّى يَشْهَرَهُ النَّاسُ
" Syuhroh adalah munculnya sesuatu dengan cara yang keji sehingga ia menjadi viral dan terkenal di kalangan publik".
Al-Imam Asy-Shawkani mengatakan dalam Nayl Al-Awthar 2/111 setelah menyebutkan perkataan Ibnu al-Atsir diatas:
وَالْمُرَاد : أَنَّ ثَوْبه يَشْتَهِر بَيْن النَّاس لِمُخَالَفَةِ لَوْنه لِأَلْوَانِ ثِيَابهمْ فَيَرْفَع النَّاس إِلَيْهِ أَبْصَارهمْ، وَيَخْتَال عَلَيْهِمْ بِالْعُجْبِ وَالتَّكَبُّر". انتهى.
Yang dimaksud:bahwa pakaiannya menjadi terkenal dan viral di kalangan orang-orang karena berbeda warnanya dengan warna pakaian mereka. Maka orang-orang pun mengarahkan pandangan mereka kepada-nya, dan dia dengan rasa ujub dan takabbur merasa mampu mengelabui publik.”
Lalu Asy-Shawkani berkata:
وَالْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى تَحْرِيمِ لُبْسِ ثَوْبِ الشُّهْرَةِ وَلَيْسَ هَذَا الْحَدِيثُ مُخْتَصًّا بِنَفِيسِ الثِّيَابِ، بَلْ قَدْ يَحْصُلُ ذَلِكَ لِمَنْ يَلْبَسُ ثَوْبًا يُخَالِفُ مَلْبُوسَ النَّاسِ مِنْ الْفُقَرَاءِ، لِيَرَاهُ النَّاسُ فَيَتَعَجَّبُوا مِنْ لُبْسِهِ وَيَعْتَقِدُوهُ، قَالَهُ ابْنُ رَسْلَانَ. وَإِذَا كَانَ اللُّبْسُ لِقَصْدِ الِاشْتِهَارِ فِي النَّاسِ فَلَا فَرْقَ بَيْنَ رَفِيعِ الثِّيَابِ وَوَضِيعِهَا وَالْمُوَافِقِ لِمَلْبُوسِ النَّاسِ وَالْمُخَالِفِ لِأَنَّ التَّحْرِيمَ يَدُورُ مَعَ الِاشْتِهَارِ، وَالْمُعْتَبَرُ الْقَصْدُ وَإِنْ لَمْ يُطَابِقْ الْوَاقِعَ." انتهى.
Dan hadits tersebut menunjukkan larangan pakaian Syuhroh, dan berlakunya hadits ini tidak hanya khusus pada pakaian yang sangat berharga, akan tetapi itu berlaku juga pada orang yang memakai pakaian yang menyelisihi pakain orang-orang pada umumnya, seperti berpakaian dengan pakaian orang-orang faqir [sangat miskin] dengan tujuan agar orang-orang melihatnya dan mereka terkagum-kagum akan ke tawadhu'annya dan kezuhudannya, kemudian mereka berkeyakinan bahwa orang tsb bukan sembarangan orang, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Ruslan.
Dan jika pakaian itu untuk tujuan ketenaran [viral] pada manusia, maka tidak ada perbedaan antara pakaian yang berkelas tinggi dan pakaian kelas rendahan, begitu juga baik yang sesuai dengan pakaian orang-orang maupun pakaian yang menyelisihunya; karena hukum haramnya itu bergantung pada syuhroh [keviralan dan ketenaran].
Dan yang menjadi patokan adalah niat dan tujuan, meskipun tidak sesusai dengan realita ".:[Yakni:Yang tujuannya ingin viral, ternyata gagal alias tidak jadi viral]
Al-Imam as-Sarkhosi al-Hanafi dalam kitabnya “المبسوط” 30/268 berkata:
" والمراد أن لا يلبس نهاية ما يكون من الحسن والجودة في الثياب على وجه يشار إليه بالأصابع ، أو يلبس نهاية ما يكون من الثياب الخَلِقِ – القديم البالي-على وجه يشار إليه بالأصابع, فإن أحدهما يرجع إلى الإسراف والآخر يرجع إلى التقتير ، وخير الأمور أوسطها " انتهى
“ Dan yang di maksud adalah jangan memakai pakaian yang paling terbagus dan paling berkwalitas dengan tujuan agar jari-jari manusia menunjukkan padanya.
Atau memakai pakaian yang paling jelek lapuk dengan tujuan agar jari-jari manusia menunjukkan padanya.
Maka sesungguhnya salah satunya itu disebabkan berlebihan, sementara yang kedua karena terlalu pelit, dan sebaik-baiknya semua perkara adalah tengah-tengahnya “. (Selesai)
Al-Allamah Manshur bin Yunus al-Buhuti al-Hanbali (wafat 1051 H) rahimahullah berkata:
(وَيُكْرَهُ لُبْسُ مَا فِيهِ شُهْرَةٌ) أَيْ:مَا يَشْتَهِرُ بِهِ عِنْدَ النَّاسِ وَيُشَارُ إلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ
“Ucapan matan ‘Dan dibenci memakai sesuatu yang di dalamnya terdapat Syuhrah’, maksudnya adalah segala pakaian yang menjadikan pemakainya terkenal di kalangan manusia dan ditunjuk dengan jari-jari (karena merasa aneh, pen).”
(Kasy-syaful Qina’ an Matnil Iqna’:2/309, Syarh Muntahal Iradat:1/369, ar-Raudhul Murabbi’:1/62).
Al-Allamah Abdur Rauf al-Munawi asy-Syafi’i (wafat tahun 1029 H) rahimahullah menyatakan:
(من لبس ثوب شهرة) بحيث يشتهر به لابسه
“Sabda beliau (Barangsiapa memakai pakaian Syuhrah) sehingga pemakainya menjadi terkenal.” (At-Taisir Syarh al-Jami’ish Shaghir:2/856).
BATASAN YANG DIMAKSUD PAKAIAN SYUHRAH [YANG BIKIN VIRAL]
Baju syuhrah tidaklah memiliki batasan, cara atau pun sifat tertentu.
Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
ثوب الشهرة ليس له كيفية معينة أو صفة معينة وإنما يراد بثوب الشهرة ما يشتهر به الإنسان أو يشار إليه بسببه فيكون متحدث الناس في المجالس فلان لبس كذا فلان لبس كذا وبناء على ذلك قد يكون الثوب الواحد شهرة في حق إنسان وليس شهرة في حق الآخر فلباس الشهرة إذن هو ما يكون خارجا عن عادات الناس بحيث يشتهر لابسه وتلوكه الألسن وإنما جاء النهي عن لباس الشهرة لئلا يكون ذلك سببا لغيبة الإنسان وإثم الناس بغيبته
“Baju Syuhrah tidak mempunyai tata cara tertentu atau sifat tertentu. Yang dimaksud dengan baju Syuhrah hanyalah pakaian yang menjadikan seseorang terkenal dan mendapatkan isyarat telunjuk orang-orang karena pakaian tersebut.
Sehingga ia menjadi bahan pembicaraan manusia di majelis-majelis. Fulan memakai baju demikian. Fulan memakai baju demikian.
Atas dasar ini, maka suatu pakaian bisa menjadi baju Syuhrah pada seorang manusia dan tidak menjadi baju Syuhrah pada orang lain.
Maka kalau begitu, pakaian Syuhrah adalah pakaian yang keluar dari kebiasaan manusia sehingga pemakainya menjadi terkenal dan menjadi buah bibir.
Larangan pakaian Syuhrah hanyalah datang agar ia tidak menjadi bahan ‘ghibah’ orang lain dan juga agar manusia tidak jatuh dalam dosa perbuatan ghibah karenanya.” (Fatawa Nur alad Darb, Ahkam Libasil Mar’ah:23).
Syaikh Nashir al-Ghamidi hafizhahullah berkata dalam risalah doktoralnya:
لباس الشهرة يختلف من زمن لآخر ، فما يُعد في زمن شهرة قد لا يعد في زمن آخر كذلك، وما يُعتبر شهرة في بلد او مجتمع قد لا يكون كذلك في غيره من البلاد والمجتمعات
“Pakaian Syuhrah’ itu berbeda dari suatu masa ke masa lain. Suatu pakaian kadang-kadang dianggap Syuhrah di suatu jaman, tetapi tidak dianggap Syuhrah di jaman lain.
Begitu pula suatu pakaian itu kadang-kadang dianggap Syuhrah di suatu negeri atau masyarakat, tetapi tidak dianggap Syuhrah di negeri atau masyarakat lainnya.”
(Libasur Rajul, Ahkamuhu wa Dhawabithuhu fil Fiqhil Islami:1/613).
*****
ANTARA PERINTAH BERPAKAIAN YANG BAGUS DAN LARANGAN BERPAKAIAN SYUHROH.
=====
PEMBAHASAN PERTAMA:
ANJURAN BERPAKAIAN YANG BAGUS DAN TERHORMAT
-----
ANJURAN BERPAKAIAN BAGUS KETIKA SHALAT, TERUTAMA SHALAT JUMAT DAN 'IED
Allah dalam Al-Quran memerintahkan agar kaum muslimin memakai “ziinah“ (perhiasan / pakaian yang bagus), ketika menuju masjid untuk shalat dan ibadah.
Allah berfirman:
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ
" Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaian kalian yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan. ” (Al A’raf:31).
Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat ini agar kita memakai pakaian terbaik ketika shalat. Beliau berkata:
وَلِهَذِهِ الْآيَةِ، وَمَا وَرَدَ فِي مَعْنَاهَا مِنَ السُّنَّةِ، يُسْتَحَبُّ التَّجَمُّلُ عِنْدَ الصَّلَاةِ، وَلَا سِيَّمَا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَيَوْمَ الْعِيدِ، وَالطِّيبُ لِأَنَّهُ مِنَ الزِّينَةِ، وَالسِّوَاكُ لِأَنَّهُ مِنْ تَمَامِ ذَلِكَ
“Ayat ini menunjukkan makna bahwa termasuk sunnah yaitu dianjurkan berhias ketika shalat, terutama pada hari jumat dan hari ‘ied. Dan memakai parfum karena farfum itu termasuk Ziinah dan bersiwak karena bersiwak itu menyempurnakannya.” (lihat:Tafsir Ibnu Katsir 3/406)
Al-Baghawi dalam tafsirnya 3/225 ketika menafsirkan ayat di atas, dia mengutip perkataan para pakar Tafsir dengan mengatakan:
قَالَ أَهْلُ التَّفْسِيرِ:كَانَتْ بَنُو عَامِرٍ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ عُرَاةً، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ:"يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ"، يَعْنِي الثِّيَابَ. قَالَ مُجَاهِدٌ:مَا يُوَارِي عَوْرَتَكَ وَلَوْ عَبَاءَةٌ.
قَالَ الْكَلْبِيُّ:الزِّينَةُ مَا يُوَارِي الْعَوْرَةَ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ لِطَوَافٍ أَوْ صَلَاةٍ
Ahli tafsir berkata:Dulu Bani Amir biasa berthawaf di Ka'bah dengan keadaan telanjang, maka Allah SWT menurunkan:{ Wahai anak cucu Adam! Pakailah ziinah [pakaian kalian yang bagus] pada setiap (memasuki) masjid } yakni pakaian.
Mujahid berkata:Apa yang bisa menutup auratmu meskipun hanya pakaian 'abaayah [sejenis mantel yang terbuka bagian depannya].
Al-Kalbi berkata:" Maksud dari “ziinah” (perhiasan) yaitu menutup aurat ketika pergi ke masjid untuk tawaf atau untuk shalat.” (Lihat Tafsir Al-Baghawi 3/225)
Syaikh Abdurrahman As-Sa’diy menjelaskan bahwa termasuk perintah dalam ayat ini adalah tidak hanya menutup aurat saja tetapi juga meperbagus pakaian dengan perhiasan lainnya. Beliau berkata:
ويحتمل أن المراد بالزينة هنا ما فوق ذلك من اللباس النظيف الحسن
“Makna lainnya juga bahwa “ziinah” (perhiasan) yaitu lebih dari hal tersebut (lebih dari sekedar menutup aurat) yaitu pakaian yang bersih dan bagus.” (Lihat tafsir As-Sa’diy hal. 287)
Secara umum kita diperintahkan agar memakai pakaian dan perhiasan yang bagus ketika shalat.
Allah SWT pencipta kita lebih berhak dalam hal ini, yaitu kita berhias ketika menghadap-Nya, jangan hanya ketika menjumpai manusia saja kita berhias.
Dalam hadits Abdullah bin Salam:Rasulullah SAW bersabda:
ﺇِﺫَﺍ ﺻَﻠﻰَّ ﺃﺣَﺪُﻛُﻢْ ﻓَﻠْﻴَﻠْﺒَﺲْ ﺛَﻮْﺑَﻴْﻪِ ﻓَﺈِﻥَّ ﺍﻟﻠﻪَ ﺃَﺣَﻖُّ ﺃَﻥْ ﻳُﺘَﺰَﻳَّﻦَ ﻟَﻪُ
“Apabila salah seorang di antara kamu shalat, maka pakaialah kedua pakaiannya, karena sesungguhnya Allah lebih berhak untuk berhias kepada-Nya.”
[Diriwayatkan oleh Abu Dawood (989) dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Sahih Al-Jami' (1078) dan Silsilah Ash- Shahiihah (1369)]
Syeikh al-Albaani berkata:
والزينة هنا وإن كانت من حيث سبب نزول الآية تعني ستر العورة، لكن العبرة بعموم اللفظ ولا بخصوص السبب. وقد جاء في السنة الصحيحة ما يؤيد هذا العموم من الآية ألا وهو قوله عليه الصلاة والسلام:(من كان له إزار ورداء فليتزر وليرتد، فإنَّ الله أحق أن يتزين له). ا. هـ،
" Dan kata az-Ziinah [perhiasan] di sini, meskipun dari sisi sebab turunnya ayat tersebut adalah berarti menutupi aurat, akan tetapi yang dijadikan ibrah [batasan] adalah pada umum lafadz dan bukan pada khushus nya sebab.
Telah ada sebuah hadits shahih yang mendukung makna keumuman ayat ini, yaitu sabda beliau SAW:
Barangsiapa memiliki sarung [kain bagian bawah] dan selendang [kain bagian atas], maka hendaklah dia memakainya dan mengenakannya, karena Allah lebih berhak agar seseorang senantiasa menghiasi dirinya untuk-Nya".
[Baca:الشيخ الألباني / سلسلة الهدى والنور – 033] Lihat pula Tafsir أضواء البيان 2/420.
------
ANJURAN BERPAKAIAN BAGUS DAN TERHORMAT, MESKIPUN DI LUAR SHALAT:
Dari Abu Al Ahwash al-Jusyami dari Bapaknya Malik bin Nadhlah al-Jusyami:
أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي ثَوْبٍ دُونٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَلَكَ مَالٌ قَالَ نَعَمْ مِنْ كُلِّ الْمَالِ قَالَ مِنْ أَيِّ الْمَالِ قَالَ قَدْ آتَانِي اللَّهُ مِنْ الْإِبِلِ وَالْغَنَمِ وَالْخَيْلِ وَالرَّقِيقِ قَالَ فَإِذَا آتَاكَ اللَّهُ مَالًا فَلْيُرَ عَلَيْكَ أَثَرُ نِعْمَةِ اللَّهِ وَكَرَامَتِهِ
" Bahwasanya ia pernah berkunjung menemui Nabi SAW dengan mengenakan pakaian yang telah usang.
Maka Nabi SAW pun bertanya kepadanya:"Apakah engkau memiliki harta?"
Dia menjawab:"Tentu wahai Rasulullah, semuanya aku punya."
Beliau bertanya lagi:"Apa saja itu?"
Dia menjawab:"Allah telah memberiku unta, kambing, kuda dan budak."
Beliau SAW lantas bersabda:"Jika Allah telah memberikan harta kepadamu maka perlihatkanlah wujud dari nikmat dan kemuliaan-Nya kepadamu."
[HR. Nasa'i no. 5239. Di shahihkan sanadnya oleh al-Albaani]
Dalam riwayat lain dari Malik bin Nadhlah al-Jusyami, dia berkata:
رآني النَّبيُّ-صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ-وعليَّ أطمارٌ، فقالَ:هل لَكَ من مالٍ ؟ ! قلتُ:نعَم ، قالَ:مِن أيِّ المالِ ؟ قلتُ:مِن كلٍّ قد آتانيَ اللهُ ، منَ الشَّاءِ والإبلِ ، قالَ:إذا آتاكَ اللهُ مالًا فليُرَ أثرُ نعمةُ اللهِ وَكَرامتُهُ عليكَ
Rasulullah SAW melihatku ketika saya memakai kain yang lusuh, lalu beliau berkata kepadaku:"Apakah engkau mempunyai harta?"
Saya menjawab:"Ya".
Beliau bertanya, dari mana harta itu semua?.
Saya menjawab, "Harta itu dari segala macam, sebagaimana Allah Azzawajalla telah memberiku dari kambing dan unta".
Beliau bersabda:"Perlihatkanlah, bahwa Allah telah memberimu nikmat Nya dan dermawan-Nya kepadamu.
[HR. Ahmad (15887), Ath-Thahawi dalam “Sharh Mushkil Al-Atsar” (3043), dan Al-Tabarani (19/276) (607), dengan sedikit perbedaan.
Di Shahihkan oleh al-Albaani dlam تخريج مشكاة المصابيح no. 4278.
Dalam riwayat lain dari Malik bin Nadhlah al-Jusyami, dia berkata:
أَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا قَشِفُ الْهَيْئَةِ فَقَالَ هَلْ لَكَ مَالٌ قَالَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ مِنْ أَيِّ الْمَالِ قَالَ قُلْتُ مِنْ كُلِّ الْمَالِ مِنْ الْإِبِلِ وَالرَّقِيقِ وَالْخَيْلِ وَالْغَنَمِ فَقَالَ إِذَا آتَاكَ اللَّهُ مَالًا فَلْيُرَ عَلَيْكَ ثُمَّ قَالَ هَلْ تُنْتِجُ إِبِلُ قَوْمِكَ صِحَاحًا آذَانُهَا فَتَعْمَدُ إِلَى مُوسَى فَتَقْطَعُ آذَانَهَا فَتَقُولُ هَذِهِ بُحُرٌ وَتَشُقُّهَا أَوْ تَشُقُّ جُلُودَهَا وَتَقُولُ هَذِهِ صُرُمٌ وَتُحَرِّمُهَا عَلَيْكَ وَعَلَى أَهْلِكَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإِنَّ مَا آتَاكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَكَ وَسَاعِدُ اللَّهِ أَشَدُّ وَمُوسَى اللَّهِ أَحَدُّ وَرُبَّمَا قَالَ سَاعِدُ اللَّهِ أَشَدُّ مِنْ سَاعِدِكَ وَمُوسَى اللَّهِ أَحَدُّ مِنْ مُوسَاكَ قَالَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ رَجُلًا نَزَلْتُ بِهِ فَلَمْ يُكْرِمْنِي وَلَمْ يَقْرِنِي ثُمَّ نَزَلَ بِي أَجْزِيهِ بِمَا صَنَعَ أَمْ أَقْرِيهِ قَالَ اقْرِهِ
Saya mendatangi Rasulullah SAW dalam keadaan yang amburadul, lalu beliau bertanya, "Apakah engkau mempunyai harta?"
Lalu saya jawab:Ya.
Beliau bertanya:dari mana saja hartamu?
Saya menjawab, "Dari banyak jalan, dari unta, gandum, kuda dan kambing".
Beliau bersabda:"Jika Allah memberimu harta, maka perlihatkanlah".
Lalu beliau betanya:
"Apakah unta pada kaummu melahirkan dalam keadaan sehat telinganya, lalu kamu mengambil pemotong lalu kamu potong telinganya, lalu kalian berkilah ini adalah suatu penyakit.
Atau kamu membelahnya atau membelah kulitnya, dan kau katakan ini adalah adalah unta yang terpotong telinganya dan kamu haramkan atas diri kalian dan atas keluarga kalian?".
Mereka menjawab:ya.
(Rasulullah SAW) bersabda:
"Sesungguhnya apa yang Allah Azzawajalla berikan kepadamu, itu adalah bagian untukmu, dan lengan Allah itu lebih keras, gunting Allah lebih tajam daripada guntingmu"
(Bapaknya Abu Al Ahwas Radliyallahu'anhu) berkata;
Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang seseorang yang saya menginap dirumahnya namun dia tidak memuliakanku, dan tidak menyambutku?. Lalu dia mampir ke tempatku apakah saya membalas sebagaimana yang dia perbuat terhadapku atau saya sambut dia dengan baik?.
Beliau bersabda:"Sambutlah dengan baik."
[HR. Ahmad (15887)] Syu'aib al-Arna'uth berkata dalam Takhriij al-Musnad no. 15888:"Sanadnya Shahih sesuai syarat Muslim ".
Dari 'Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya r.a., bahwa "Rasulullah s.a.w. bersabda:
»إنَّ اللهَ يُحِبُّ أَنْ يُرَى أثَرُ نِعْمَتِهِ عَلَى عَبْدِهِ«
"Sesungguhnya Allah itu menyukai jika bekas kenikmatan-Nya atas hambaNya itu diperlihatkan". Yakni:dengan jalan menunjukkan keindahan dan kesempurnaannya dalam berpakaian, makan, berumah tangga dan lain-lain.
Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadis hasan. [Baca Riyadhush Sholihin no. 802]
-----
ORANG KAYA TAPI BERPAKAIAN SEDERHANA KARENA TAWADHU BUKAN UNTUK SYUHRAH
Rasulullah SAW bersabda:
إن الله يُحبُّ العَبْدَ التَّقِي الغَنِيَّ الخَفِيَّ
Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, kaya raya, dan tersembunyi.
(HR. Muslim No. 2965)
Dari Mu’adz bin Anas رَضِيَ اللَّهُ عَنْه, bahwasanya Nabi SAW bersabda:
«مَنْ تَرَكَ اللِّبَاسَ تَوَاضُعًا لِلَّهِ وَهُوَ يَقْدِرُ عَلَيْهِ دَعَاهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَى رُءُوسِ الْخَلَائِقِ حَتَّى يُخَيِّرَهُ مِنْ أَيِّ حُلَلِ الْإِيمَانِ شَاءَ يَلْبَسُهَا»
Barangsiapa yang meninggalkan (menjauhkan diri dari) suatu pakaian (yang mewah) dalam rangka tawadhu’ (rendah hati) karena Allah, padahal dia mampu (untuk membelinya / memakainya), maka pada hari kiamat nanti Allah akan memanggilnya di hadapan seluruh makhluq, lalu dia dipersilahkan untuk memilih perhiasan / pakaian (yang diberikan kepada) orang beriman, yang mana saja yang ingin dia pakai”.
(HR. At Tirmidzi no. 2405 9/21, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam “Shahih Al-Jaami’ No. 6145)
*****
PEMBAHASAN KEDUA: LARANGAN BERPAKAIAN SYUHROH YANG MEMBUATNYA VIRAL DAN MENJADI PUSAT PERHATIAN PUBLIK.
Di awal pembahasan, yaitu dipendahuluan telah di sebutkan tentang makna dan definisi pakaian Syuhroh. Namun di sini penulis menambahkannya sedikit saja.
Definisi Pakaian Syuhroh:
ثوب الشهرة هو الثوب الذي يلبسه الشخص ويخالف فيه الناس ليشتهر بينهم ويتميز عليهم
" Pakaian Syuhrah [viral] adalah pakaian yang dikenakan seseorang dan di mana dengannya dia berbeda dengan orang-orang, bertujuan agar menjadi viral dan terkenal di antara mereka dan membedakan diri dari mereka".
[A] HADITS-HADITS YANG MELARANG BERPAKAIAN SYUHROH:
Berikut ini sebagian hadits-hadits yang melarang berpakaian syuhroh yang membuatnya viral, heboh dan terkenal.
HADITS KE 1:
Hadits Ibnu Umar RA, bahwa Nabi SAW bersabda:
(مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ)
“Barang siapa memakai pakaian syuhroh (pakaian yang bisa membuatnya terkenal) di dunia, maka Allah akan memakaikannya pakaian yang menghinakan di hari Kiamat “.
[HR. Abu Daud No. 4029), an-Nasaa’i dalam “السنن الكبرى” 5/460, Ibnu Majah No. 3606, Imam Ahmad dalam al-Musnad 2/92 dan lainnya].
Hadits ini di Hasankan oleh Syeikh al-Albaani dan Syu'aib al-Arna’uth.
Muhammad bin Abdul Wahhab dalam الحديث لابن عبدالوهاب 1/29 menyatakan:Sanadnya Jayyid [Bagus].
Lafadz lain:
Dari Abdullah bin Umar radliyallahu anhuma bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَن لبسَ ثوبَ شُهْرةٍ في الدُّنيا ألبسَهُ اللَّهُ ثوبَ مذَلَّةٍ يومَ القيامةِ ، ثمَّ أُلهبَ فيهِ نارًا
“Barangsiapa memakai pakaian Syuhrah di dunia, maka Allah akan memberikannya pakaian kehinaan pada hari kiamat, kemudian dinyalakan api untuknya.”
(HR. Ahmad:5406, Abu Dawud:3511, Ibnu Majah:3596. Tambahan dalam kurung adalah milik Abu Dawud dan Ibnu Majah.
Hadits ini di-hasan-kan oleh as-Sakhawi dalam al-Maqashidul Hasanah:1173 (668), di-hasan-kan oleh al-Munawi dalam at-Taisir Syarh al-Jami’ish Shaghir:2/856 dan di-hasan-kan pula oleh al-Albani dalam Shahihul Jami’:6526).
Al-Imam as-Sarkhosi al-Hanafi dalam kitabnya "المبسوط" 30/268 berkata:
وَالْمُرَادُ أَنْ لَا يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ
مِنَ الْحُسْنِ وَالْجَودَةِ فِي الثِّيَابِ عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ،
أَوْ يَلْبَسَ نِهَايَةَ مَا يَكُونُ مِنَ الثِّيَابِ الْخَلِقِ الْقَدِيمِ الْبَالِيَ
عَلَى وَجْهٍ يُشَارُ إِلَيْهِ بِالْأَصَابِعِ، فَإِنَّ أَحَدَهُمَا يَرْجِعُ إِلَى
الْإِسْرَافِ وَالْآخَرُ يَرْجِعُ إِلَى التَّقْتِيرِ، وَخَيْرُ الْأُمُورِ أَوْسَطُهَا.
" Dan yang di maksud adalah jangan memakai pakaian yang paling bagus dan paling berkwalitas dengan tujuan agar jari-jari manusia menunjukkan padanya. Atau memakai pakaian yang paling jelek lapuk dengan tujuan agar jari-jari manusia menunjukkan padanya. Maka sesungguhnya salah satunya itu disebabkan berlebihan, sementara yang kedua karena terlalu pelit, dan sebaik-baiknya semua perkara adalah tengah-tengahnya". (Selesai)
HADITS KE 2:
Dari Abu Dzar رَضِيَ اللَّهُ عَنْه, dari Nabi SAW bersabda:
” مَا مِنْ عَبْدٍ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ إلَّا أعْرضَ اللهُ عَنْه حتَّى يَنزِعَه ، وَإنْ كَانَ عِنْدَه حَبِيْباً “
“Tidaklah seorang hamba yang memakai pakaian syuhrah (ketenaran) kecuali Allah akan berpaling dari manusia tersebut hingga ia melepaskannya, meskipun dia itu kekasih di sisi-Nya“.
(HR Ibnu Majah, Al Hafizh Al Iraqy dalam takhrij hadits al ihya’ no. 1588 berkata:
رَوَاهُ ابْن مَاجَه من حدثي أبي ذَر بِإِسْنَاد جيد دون قَوْله «وَإِن كَانَ عِنْده حبيبا»
"Sanad hadits ini Jayyid (baik), tapi tanpa perkataan:“meskipun dia itu kekasih di sisi-Nya “
Lafadz lain:
Dari Abu Dzarr radliyallahu anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ أَعْرَضَ اللَّهُ عَنْهُ حَتَّى يَضَعَهُ مَتَى وَضَعَهُ
“Barangsiapa memakai pakaian Syuhrah, maka Allah berpaling darinya sampai ia meletakkannya ketika meletakkannya.”
(HR. Ibnu Majah:3598, dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman:6230 (5/169). Isnadnya di-hasan-kan oleh al-Bushiri dalam Mishbahuz Zujajah:4/90). Dan di-hasan-kan pula oleh Syaikh Nashir al-Ghamidi dalam Libasur Rajul, Ahkamuhu wa Dhawabithuhu fil Fiqhil Islami:1/610).
HADITS KE 3:
Dari Harun bin Kinanah rahimahullah:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الشُّهْرَتَيْنِ أَنْ يَلْبَسَ الثِّيَابَ الْحَسَنَةَ الَّتِى يُنْظَرُ إِلَيْهِ فِيهَا أَوِ الدَّنِيَّةِ أَوِ الرَّثَّةِ الَّتِى يُنْظَرُ إِلَيْهِ فِيهَا
“Bahwa Nabi SAW melarang dari dua macam Syuhrah;
Seseorang memakai baju yang bagus sehingga pandangan mata tertuju kepadanya.
Atau baju yang jelek sehingga pandangan mata tertuju kepadanya.”
(HR. al-Baihaqi dalam al-Kubra:6319 (3/273). Al-Albani menyatakan bahwa isnadnya shahih tetapi mursal karena Kinanah adalah tabi’in. Lihat Jilbab al-Mar’atil Muslimah:173).
ATSAR SAHABAT :
Seorang sahabat Nabi SAW , yang bernama
Buraidah bin al-Hushoib radhiyallahu anhu [W. 63 H] berkata :
شَهِدْتُ خَيْبَرَ، وَكُنْتُ فِيْمَنْ صَعِدَ الثُّلْمَةَ، فَقَاتَلْتُ حَتَّى رُئِيَ مَكَانِي، وَعَلَيَّ ثَوْبٌ أَحْمَرُ، فَمَا أَعْلَمُ أَنِّي رَكِبْتُ فِي الإِسْلَامِ ذَنْباً أَعْظَمَ عَلَيَّ مِنْهُ - أَيْ: الشُّهْرَةَ
“ Waktu itu aku ikut serta perang Khaibar , dan aku adalah salah satu dari mereka yang menaklukkan benteng itu , lalu aku pun bertempur sehingga posisi ku nampak terlihat [oleh orang-orang] karena aku mengenakan BAJU MERAH , maka sepengatahuanku tidak ada dosa dalam Islam yang telah aku perbuat yang lebih besar darinya" . Yakni pakai baju yang membuat dirinya jadi pusat perhatian dalam medan jihad . [ Baca سير أعلام النبلاء 2/470]
Adz-Dzahabi berkata :
قُلْتُ: بَلَى، جُهَّالُ زَمَانِنَا يَعْدُّونَ الْيَوْمَ مِثْلَ هَذَا الْفِعْلِ مِنْ أَعْظَمِ الْجِهَادِ، وَبِكُلِّ حَالٍ فَالْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَلَعَلَّ بُرَيْدَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَازَدْرَائِهِ عَلَى نَفْسِهِ، يَصِيرُ لَهُ عَمَلُهُ طَاعَةً وَجِهَادًا! وَكَذَلِكَ يَقَعُ فِي الْعَمَلِ الصَّالِحِ، رُبَّمَا افْتَخَرَ بِهِ الْغِرُّ وَنَوَّهَ بِهِ، فَيَتَحَوَّلُ إِلَى دِيْوَانِ الرِّيَاءِ. قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَّنثُورًا} [الفُرْقَانِ: 23].
"Aku berkata: Ya, orang-orang bodoh zaman kita ini menganggap perbuatan seperti ini sebagai salah satu dari bentuk jihad yang paling agung.
Namun, segala amal perbuatan bergantung pada niat. Mungkin Buraidah (ra) dengan kerendahan hatinya berharap agar amal perbuatannya menjadi ketaatan dan jihad. Begitu juga yang harus terjadi dalam amal perbuatan yang shaleh. Seringkali ada orang yang tergoda yang ketika melihat dirinya menonjol , lalu dia berubah menjadi ingin pamer dan riya'. Maka Allah Ta'ala berfirman:
{ وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا }
'Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang
mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang
beterbangan. (QS. Al-Furqan: 23) ". [ Siyaar al-A'lam an-Nubalaa 4/91]
[B] – DALIL LARANGAN SYUHROH PADA SELAIN PAKAIAN:
Pertama : Hadits Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash, bahwa Nabi SAW bersabda:
(كُلُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا فِي غَيْرِ إِسْرَافٍ وَلَا مَخِيلَةٍ)
“ Makan lah kalian, bersedekahlah kalian dan berpakainlah kalian dalam keadaan tidak berlebihan dan tidak ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya (alias pamer) “.
(HR. An-Nasaa’i No. 2559. Dan di hasankan oleh Syeikh al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa’i).
Kedua:Jabir bin 'Abdullah berkata; bahwa Nabi SAW bersabda:
لَا تَمْشِ فِي نَعْلٍ وَاحِدٍ وَلَا تَحْتَبِ فِي إِزَارٍ وَاحِدٍ وَلَا تَأْكُلْ بِشِمَالِكَ وَلَا تَشْتَمِلْ الصَّمَّاءَ
"Janganlah kamu berjalan dengan menggunakan sandal sebelah
[Janganlah] Duduk (dengan meninggikan lutut ke dada) dengan memakai satu kain [yakni:agar auratnya tidak terbuka. Pent].
[Janganlah] Makan dengan tangan kiri.
Dan [Janganlah] Menyelimuti seluruh tubuh dengan satu kain [yakni:karena rawan tersingkap auratnya. Pent]. [HR. Muslim no. 2099]
Dalam lafadz lain:Dari [Abu Az Zubair] dari [Jabir]
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَأْكُلَ الرَّجُلُ بِشِمَالِهِ أَوْ يَمْشِيَ فِي نَعْلٍ وَاحِدَةٍ وَأَنْ يَشْتَمِلَ الصَّمَّاءَ وَأَنْ يَحْتَبِيَ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ كَاشِفًا عَنْ فَرْجِهِ
" Bahwa Rasulullah SAW melarang makan dengan tangan kiri, berjalan dengan sandal sebelah, berpakaian dengan menyelimuti seluruh tubuh dengan satu kain (tanpa tangan dan tanpa baju dalam), dan duduk mencangkung (duduk dengan meninggikan lutut ke dada) dengan pakaian satu lapis sehingga auratnya kelihatan."
[HR. Muslim no. 2099]
Adapun dilarangnya berjalan dengan memakai satu sandal, salah satu sebabnya adalah:
لَعلَّهُ يكونُ في ذلك نَوعٌ مِنَ المُباهاةِ والظُّهورِ
Mungkin itu semacam pamer dan menampakan sesuatu agar menjadi pusat perhatian.
ATSAR PARA SAHABAT, TABI’IIN DAN TABI’T TABI’IIN:
Ibnu Abbas RA berkata:
" كُلْ مَا شِئْتَ وَالْبَسْ مَا شِئْتَ مَا أَخْطَأَتْكَ خَصْلَتَانِ سَرَفٌ وَمَخِيلَةٌ "
“Makan lah sesuka mu dan berpakaianlah sesukamu, tidak ada yang menyalahkanmu kecuali dua gaya:berlebihan dan ada kesombongan ingin menonjolkan dirinya (alias pamer) “.
[HR. Bukhori secara mu'allq dalam Shahihnya, Kitab al-Libaas (77) dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 5/171 secara maushul].
DAN BERIKUT INI KUTIPAN DARI KITAB “صيد الفوائد”:
1. Dari Syahr bin Hausyab, berkata:
" مَنْ رَكِبَ مَشْهُوْراً مِنَ الدَّوَابِّ، وَلَبِسَ مَشْهُوْراً مِنَ الثِّيَابِ، أَعْرَضَ اللهُ عَنْهُ، وَإِنْ كَانَ كَرِيْماً "
“ Barang siapa menunggangi kendaraan masyhur dan pakaian masyhur, maka Allah berpaling darinya meskipun dia seorang yang dermawan “. [Baca سير أعلام النبلاء 4/375]
Al-Imam al-Baihaqi berkata:
"كل شيء صير صاحبه شهرة ، فحقه أن يجتنب ".
“ Segala sesuatu yang mengantarkan dirinya pada pada Syuhroh (pusat perhatian), maka hak dia adalah dijauhi “.
2. Dari Sufyan ats-Tsaury, berkata:
"إياك والشهرة ؛ فما أتيت أحدًا إلا وقد نهى عن الشهرة"
Waspadalah terhadap popularitas, maka tidak sekali-kali aku mendatangi seseorang kecuali dia telah melarang popularitas “.
3. Ibrahim bin Adham berkata:
"ما صدق اللهَ عبدٌ أحب الشهرة "
“Seorang hamba yang cinta popularitas, tidak percaya Allah “.
4. Ayyub as-Sakhtiyani berkata:
"مَا صدق عبد قط، فأحب الشهرة "
“ Tidak sekali-kali seorang hamba tidak percaya kepada Allah, maka dia mencintai popularitas“.
5. Bisyer bin al-Haarits berkata:
" مَا اتقى الله من أحب الشهرة "
“Seorang hamba yang cinta popularitas, tidaklah bertaqwa kepada Allah “. (Washaya As Salaf wal Fuqaha No. 63)
6. Imam Ibnul Atsir Rahimahullah berkata:
إن الشهوة الخفية : حب اطلاع الناس على العمل
Sesungguhnya syahwat tersembunyi itu adalah menampakkan amal di hadapan manusia. (Washaya As Salaf wal Fuqaha No. 62)
*****
PEMBAHASAN KETIGA: ANJURAN BERPAKAIAN YANG SESUAI DENGAN PAKAIAN ADAT SETEMPAT ATAU YANG BIASA DIPAKAI OLEH MASYARAKAT SETEMPAT
Allah SWT berfirman:
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
"Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaian kalian yang bagus pada setiap (memasuki) masjid” (Al A’raf:31).
Ayat ini tidak menentukan jenis pakaian golongan tertentu atau suku tertentu atau bangsa tertentu.
Maka dalam hal ini kembali kepada kebiasaan atau ‘urf masyarakat setempat, apakah masyarakat setempat memiliki tradisi memakai pakaian tertentu yang mereka anggap sebagai perhiasan menuju shalat dan ke masjid atau tidak?
Karena syariat tidak menjelaskan secara rinci mengenai “ziinah”, maka berlaku kaidah
العَادَة ُمُحَكَّمَةٌ
“Adat/kebiasaan dapat dijadikan sandaran hukum”
Apabila masyarakat setempat menilai “pakaian tertentu” adalah perhiasan untuk shalat maka sebaiknya berpakaian pakaian tersebut, apabila masyarakat setempat menilai bukan, maka sebaiknya kita tidak memakainya sebagai perhiasan shalat
Termasuk sunnah adalah kita menyesuaikan pakaian yang telah menjadi kebiasaan masyarakat setempat selama tidak melanggar syariat dan menurunkan muru’ah (kehormatan) seorang muslim.
FATWA ISLAMWEB:
Dan dalam Fatwa IslamWeb no. 14805 di sebutkan:
أنه يشرع لكل أهل بلد أن يلبسوا ما تعارف عليه الناس في نفس البلد، ويكره لهم مخالفته، بل قد يحرم، وذلك إذا وصل إلى حد يكون به لباس شهرة
Disyariatkan bagi seluruh penduduk suatu negeri memakai apa yang menjadi kebiasaan penduduk negeri tersebut, dan dimakruhkan bagi mereka untuk menyelisihinya, bahkan boleh jadi itu DIHARAMKAN, jika sampai pada titik di mana ia menjadi PAKAIAN SYUHRAH [menjadi pusat perhatian publik].
FATWA SYEIKH IBNU UTSAIMIN:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin berkata:
أن موافقة العادات في غير المحرم هي السنة؛ لأن مخالفة العادات تجعل ذلك شهرة، والنبي صلّى الله عليه وسلّم نهى عن لباس الشهرة ، فيكون ما خالف العادة منهياً عنه
وبناء على ذلك نقول:هل من السنة أن يتعمم الإنسان؟ ويلبس إزارا ورداء؟
الجواب:إن كنا في بلد يفعلون ذلك فهو من السنة، وإذا كنا في بلد لا يعرفون ذلك، ولا يألفونه فليس من السنة.
" Bahwa menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat dalam hal yang bukan keharaman adalah disunnahkan.
Karena menyelisihi kebiasaan yang ada berarti menjadi hal yang SYUHROH (suatu yang tampil beda sekali dan mencolok, pent). Nabi SAW melarang berpakaian SYUHROH.
Jadi sesuatu yang menyelisihi kebiasaan masyarakat setempat, itu terlarang dilakukan.”
Dan berdasarkan penjelasan ini kita katakan:
“Apakah termasuk dari as-Sunnah jika seseorang menggunakan imamah (sorban)? Dan memakai sarung dan selendang?
JAWABAN:
Jika kita berada di negeri yang menggunakannya, maka itu termasuk dari as-Sunnah. Dan jika kita menggunakannya di negeri yang tidak mengenal pakaian tersebut dan tidak memakainya, maka itu bukan termasuk as-Sunnah.”
(Syarhul Mumti’ 6/109, syamilah)
Fatwa di atas ini sesuai dengan pendapat keumuman ulama Hanabilah.
FATWA AL-MARDAWAI AL-HANBALI:
Abul Hasan al-Mardawi al-Hanbali (wafat tahun 885 H) rahimahullah menyatakan:
يكره لبس ما فيه شهرة أو خلاف زي بلدة من الناس على الصحيح من المذهب
“Dibenci (dimakruhkan, pen) memakai baju yang di dalamnya terdapat Syuhrah atau baju yang menyelisihi pakaian kebiasaan negeri manusia, menurut pendapat yang benar dari Madzhab Hanbali.” (Al-Inshaf fi Ma’rifatir Rajih minal Khilaf:1/333).
FATWA IBNU BATHTHAL:
Al-Imam Ibnu Baththal (wafat tahun 404 H) dari kalangan ulama Malikiyah, dia berkata:
فالذى ينبغى للرجل أن يتزى فى كل زمان بزى أهله مالم يكن إثمًا لأن مخالفة الناس فى زيهم ضرب من الشهرة
“Maka yang seharusnya bagi seseorang adalah berpakaian di setiap jaman sesuai dengan pakaian penduduk jamannya, selagi bukan dosa, karena menyelisihi manusia dalam pakaian mereka termasuk bagian dari ‘Syuhrah’.”
(Baca:Syarah Shahih al-Bukhari karya Ibnu Baththal:9/123).
FATWA ATH-THABARY:
Al-Imam ath-Thabari dari kalangan ulama Syafi’iyah. Dia berkata:
فَإِنَّ مُرَاعَاةَ زِيِّ الزَّمَانِ مِنَ الْمُرُوءَةِ مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا وَفِي مُخَالَفَةِ الزِّيِّ ضَرْبٌ مِنَ الشُّهْرَةِ
“Sesungguhnya menjaga diri untuk berpakaian yang sesuai dengan penduduk jamannya adalah termasuk sikap muru’ah [bijak dan gentle], selagi bukan perbuatan dosa. Dan di dalam menyelisihi pakaian mereka itu bagian dari bentuk ‘Syuhrah’.”
(Dikutip dalam:Fathul Bari:10/319).
FATWA SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH:
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah di tanya:
Apakah yang dianggap sesuai dengan sunnah Nabi SAW itu memakai gamis atau jubah karena Rasulullah SAW memakainya?
Ataukah memakai baju sesuai dengan baju kaum muslimin karena Rasulullah SAW memakai gamis dan jubah karena menjadi baju keumuman kaum muslimin saat itu?
JAWABAN:
Yang sesuai dengan syariat adalah memakai baju yang menjadi keumuman kaum muslimin.
Dan dia berkata:
وَالدَّلِيلُ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ الصَّحَابَةَ لَمَّا فَتَحُوا الْأَمْصَارَ كَانَ كُلٌّ مِنْهُمْ يَأْكُلُ مَنْ قُوتِ بَلَدِهِ وَيَلْبَسُ مِنْ لِبَاسِ بَلَدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَقْصِدَ أَقْوَاتَ الْمَدِينَةِ وَلِبَاسَهَا وَلَوْ كَانَ هَذَا الثَّانِي هُوَ الْأَفْضَلُ فِي حَقِّهِمْ لَكَانُوا أَوْلَى بِاخْتِيَارِ الْأَفْضَلِ
“Dalil atas demikian adalah bahwa para sahabat Nabi SAW ketika menaklukkan negeri-negeri (sehingga wilayah Islam menjadi luas, pen.) maka masing-masing dari mereka mengkonsumsi makanan negerinya dan berpakaian dengan pakaian negerinya tanpa berkeinginan (untuk mendatangkan) makanan dan pakaian Madinah. Seandainya yang kedua ini (yakni berpakaian dan mengkonsumsi makanan kota Madinah, pen) itu lebih utama menurut mereka maka mereka akan memilih yang lebih utama.” (Majmu’ al-Fatawa:22/325).
FATWA IBNU QOYYIM:
Al-Imam Ibnu Qayyim rahimahullah menyatakan:
Bahwa yang sesuai dengan sunnah Nabi SAW adalah memakai baju yang sesuai dengan baju kaum muslimin [setempat].
Ini karena Rasulullah SAW kadang-kadang memakai jubah, kadang-kadang memakai gamis, baju wol dan sebagainya tergantung keadaan kaum muslimin saat itu.
Ibnu Qoyyim berkata:
والصواب أن أفضل الطرق طريقُ رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ التي سنها، وأمر بِها، ورغَّب فيها، وداوم عليها، وهي أن هديَه في اللباس:أن يلبس ما تيسر مِنَ اللباس، من الصوف تارة، والقطن تارة، والكتان تارة. ولبس البرود اليمانية، والبردَ الأخضر، ولَبسَ الجبة، والقَباء، والقميص، والسراويل، والإِزار، والرداء، والخف، والنعل، وأرخى الذؤابة من خَلْفِه تارة، وتركها تارة
“Dan yang benar adalah bahwa jalan yang paling utama adalah jalan Rasulullah SAW yang mana beliau telah men-sunnahkannya, memerintahkannya, mendorong kepadanya, dan mendawamkannya.
Yaitu bahwa petunjuk beliau dalam masalah pakaian adalah memakai pakaian yang mudah didapat, kadang-kadang memakai baju wol, kadang-kadang katun, kadang-kadang kapas, memakai baju selempang bergaris dari Yaman, baju selempang bergaris hijau, memakai jubah, baju luar (mantel), gamis, sirwal (celana), sarung, rida’ (selendang), sepatu khuf, sandal dan kadang-kadang mengulurkan kuncir imamahnya dan kadang-kadang tidak.”
(Baca:Zaadul Ma’ad:1/143).
DALIL:
Di antara dalil yang memperkuat pendapat ini adalah hadits Anas bin Malik radliyallahu anhu dalam kisah Dhimam bin Tsa’labah radliyallahu anhu:
بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ دَخَلَ رَجُلٌ عَلَى جَمَلٍ فَأَنَاخَهُ فِي الْمَسْجِدِ ثُمَّ عَقَلَهُ ثُمَّ قَالَ لَهُمْ أَيُّكُمْ مُحَمَّدٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَّكِئٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْهِمْ فَقُلْنَا هَذَا الرَّجُلُ الْأَبْيَضُ الْمُتَّكِئُ..الخ
“Suatu ketika kami sedang duduk-duduk bersama Nabi SAW di masjid. Tiba-tiba masuklah seorang laki-laki di atas unta. Kemudian ia merundukkan unta itu dan mengikatnya.
Kemudian ia bertanya:“Yang manakah di antara kalian yang bernama Muhammad?”
Sedangkan Nabi SAW duduk bersandar di antara mereka (para sahabat). Maka kami jawab:“Ini lelaki (berkulit) putih yang bersandar.......”
(HR. Al-Bukhari:61, Abu Dawud:411, an-Nasai:2065 dan Ibnu Majah:1392).
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad ketika menjelaskan hadits di atas, dia berkata:
وكان عليه الصلاة والسلام لتواضعه لا يعرف، فإذا كان بين أصحابه الذي لا يعرفه لا يميزه..الخ
“Adalah beliau SAW karena sifat tawadhu’nya, tidak dikenal (oleh orang yang belum pernah tahu, pen). Jika beliau berada di antara sahabat beliau, maka beliau tidak bisa dikenal dan dibedakan...” (Syarh Sunan Abi Dawud:3/297).
Ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW memakai pakaian yang tidak menonjol di antara sahabat beliau. Sehingga apa yang beliau pakai juga dipakai oleh para sahabat beliau.
0 Komentar