Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
بسم الله الرحمن الرحيم
PENDAHULUAN
Salah satu masalah yang menimpa kita di zaman sekarang ini adalah masalah kenajisan anjing. Untuk orang Eropa mungkin sudah tidak ada ruang di sini untuk menyebutkan nya, karean di sana anjing berjalan bersama mereka di jalanan dan di pasar-pasar. Kita sering melihat anjing masuk ke dalam air, atau hujan di atasnya, lalu anjing itu menggerak-gerakan badannya sendiri, dan meneteskan air hingga ke tempat yang jauh, dan mengenai banyak orang.
Pertanyaan pertama yang terlintas dalam pikiran adalah: Apakah semua anjing itu objeknya najis?
Dengan asumsi bahwa semua anjing itu najis objeknya, lalu apakah rambut, kukunya, dan sejenisnya juga najis? Atau karena bagian-begian ini tidak bernyawa maka ia adalah suci?
Tetapi jika kita meragukan dalam kenajisan objeknya, maka kita bertanya: Apakah ia suci seperti semua hewan, atau apakah air liurnya saja yang najis atau semuanya najis?
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG SUCI DAN NAJISNYA ANJING
Ada tiga pendapat, ringkasnya adalah sbb:
- Pertama: Secara Mutlak Anjing itu Suci hingga ludahnya. Dan ini adalah Madzhab Imam Malik.
- Kedua: Rambut Anjing atau bulunya adalah suci, sementara air liurnya adalah najis. Ini adalah Madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat nya. Dan ini adalah yang ditarjih dan dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
- Ketiga: Secara Mutlak Anjing itu Najis hingga badannya dan rambutnya. Dan ini adalah mazhab Syafi'i, dan salah satu dari dua riwayat dari Ahmad.
Rinciannya adalah sbb:
PENDAPAT PERTAMA: ANJING ITU SUCI TERMASUK AIR LIURNYA:
Pendapat yang mengatakan Anjing itu Suci Secara Mutlak hingga air ludahnya adalah: pendapat Madzhab Imam Malik, Madzhab adz-Dzohiriyah. Dan pendapat sebagian para tabi'iin senior, termasuk: Ikrimah, Al-Zuhri, Abu Ubaidah Muslim bin Abi Karimah, Urwah bin Al-Zubayr, Malik bin Anas, Al-Awzai, Al-Tsawri, Abd Al- Rahman bin Al-Qasim Al-'Ataqi, Daud bin Ali, dan Ibnu Al-Mundzir An-Naisaburi.
[Baca: Nail al-Awthaar 1/43, al-Jami karya Ibnu Barkah ha. 397 dan al-Haawi al-Kabiir karya al-Maawardi 1/304]
Dan pendapat suci nya air liur anjing ini didukung pula oleh Imam al-Bukhari rahimahumallaah.
Al-Mawardi berkata:
وقَالَ مَالِكٌ وَدَاوُدُ:الْكَلْبُ طَاهِرٌ فَإِذَا وَلَغَ فِي الْإِنَاءِ كَانَ وَمَا فِيهِ طَاهِرًا، وَوَجَبَ غَسْلُهُ تَعَبُّدًا، وَبِهِ قَالَ الزُّهْرِيُّ والْأَوْزَاعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ اسْتِدْلَالًا بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَبَاحَ الِاصْطِيَادَ بِهِ فَقَالَ: {وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ)، وَلَوْ كَانَ نَجِسًا لَأَفْسَدَ مَا صَادَهُ بِفَمِهِ
Malik dan Daud [Adz-Dzohiri] berkata: Anjing itu suci, jadi jika dia menjilat bejana, maka apa yang ada di dalamnya adalah suci, dan itu harus dicuci sebagai tindakan Ibadah. Ini adaalah pendapat Al-Zuhri, Al-Awza’i, dan Al-Tsawri. Mereka berdalil bahwa Allah SAW mengizinkan berburu dengannya, karena Allah berfirman:
“Dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu".
Dan jika itu najis, dia akan merusak apa yang dia tangkap dengan mulutnya". [Baca: al-Haawi al-Kabiir karya al-Mawardi 1/304]
Madzhab Maaliki mengatakan bahwa anjing itu mutlak suci, dan bahkan Sahnuun - ulama dari madzhab Maaliki - mengatakan: boleh memperjual belikan anjing dan juga semua transaksi yang berkaitan dengannya.
Yang sangat terkenal dari perkataan Imam Malik adalah bahwa air liur anjing tidak najis, adapun kenapa wadah yang dijilatnya harus dicuci? dan kenapa Perintah mencuci bejana bekas minum anjing harus 7 kali salah satunya dengan debu?
Jawabannya:
Karena perintah untuk mencuci bejana dalam hadits itu adalah sebagai ibadah maknawi bukan bermaksud mensucikan objek atau 'ain dari najis. Dan adapun perintah mencuci nya harus 7 kali, salah satunya dengan debu ; maka ini menunjukkan bahwa perintah tsb masuk katagori perintah ibadah murni [عِبَادَة مَحْضَة] yang tidak difahami maknanya [غَيْرُ مَعْقُوْلِ المَعْنَى] sama halnya dengan perintah berwudhu atau yang semisalnya yang tidak masuk ranah logika manusia, hanya Allah yang tahu hikmanya.
Ibnu Abdil-Barr rahimahullah berkata:
وَاخْتَلَفَ الْفُقَهَاءُ أَيْضًا فِي سُؤْرِ الْكَلْبِ وَمَا وَلَغَ فِيهِ مِنَ الْمَاءِ وَالطَّعَامِ فَجُمْلَةُ مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مَالِكٌ وَاسْتَقَرَّ عَلَيْهِ مَذْهَبُهُ عِنْدَ أَصْحَابِهِ أَنَّ سُؤْرَ الْكَلْبِ طَاهِرٌ وَيُغْسَلُ الْإِنَاءُ مِنْ وُلُوغِهِ سَبْعًا تَعَبُّدًا اسْتِحْبَابًا أَيْضًا لَا إِيجَابًا وَكَذَلِكَ يُسْتَحَبُّ لِمَنْ وَجَدَ
Para fuqaha juga berbeda pendapat tentang sisa minuman anjing dan air serta makanan yang terkena jilatan anjing di dalamnya.
Maka kesimpulan dari madzhab Imam Malik dan para sahabatnya: bahwa air bejana bekas jilatan anjing adalah suci, dan bejananya harus dicuci tujuh kali; dalam rangka murni ibadah
Dan bejana harus dicuci tujuh kali sebagai amalan ibadah, juga dimustahabkan, bukan diwajibakan, dan juga dimustahabkan bagi mereka yang menemukannya pada diri mereka sendiri. [Baca: at-Tamhiid 18/269. Dan baca pula المقدمات الممهدات oleh Ibnu Rusyd al-Jadd 1/80 – 89]
Dalam kitab " الفقه على المذاهب الأربعة " 1/13 di foot notenya di sebutkan:
المالكية قالوا: «كلّ حيٍّ طاهر العين ولو كلباً. ووافقهم الحنفية على طهارة عين الكلب ما دام حيّاً، إلاّ أنّهم قالوا بنجاسة لعابه حال الحياة »
Madzhab Maliki berkata: “Setiap makhluk hidup suci objeknya, bahkan jika itu seekor anjing.” Dan Madzhab Hanafi setuju dengan mereka tentang kesucian objek anjing selama masih hidup, namun mereka mengatakan bahwa air liurnya najis saat masih hidup ».
Ibnu Hazm mengatakan:
"إن غسل الإناء لا يعني بالضرورة نجاسة اللعاب، فإن كان كذلك فهل يعني غسل الميت نجاسته ".
“Sesungguhnya mencuci bejana tidak harus berarti air liurnya najis. Karena jika demikian adanya maka apakah memandikan mayit juga berarti menunjukkan kenajisannya".
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 5/7 berkata:
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى طَهَارَةِ الْكَلْبِ الْجَائِزِ اتِّخَاذُهُ لِأَنَّ فِي مُلَابَسَتِهِ مَعَ الِاحْتِرَازِ عَنْهُ مَشَقَّةٌ شَدِيدَةٌ فَالْإِذْنُ فِي اتِّخَاذِهِ إِذْنٌ فِي مُكَمِّلَاتِ مَقْصُودِهِ كَمَا أَنَّ الْمَنْعَ مِنْ لَوَازِمِهِ مُنَاسِبٌ لِلْمَنْعِ مِنْهُ وَهُوَ اسْتِدْلَالٌ قَوِيٌّ لَا يُعَارِضُهُ إِلَّا عُمُومُ الْخَبَرِ الْوَارِدِ فِي الْأَمْرِ مِنْ غَسْلِ مَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ وَتَخْصِيصُ الْعُمُومِ غَيْرُ مُسْتَنْكَرٍ إِذَا سَوَّغَهُ الدَّلِيلُ
Dan bisa diambil dalil dari hadits ini akan kesucian anjing yang boleh dipelihara, karena dalam memeliharanya dan bergaul dengannya sambil menjaga jarak darinya sangatlah berat. Maka dengan diperbolehkan memeliharanya, ini menunjukkan kebolehan semua pelengkap yang dimaksud, sebagaimana pencegahan itu termasuk segala sesuatu yang berkaitan dengan pencegahan darinya.
Ini adalah pemahaman dalil yang kuat yang tidak bisa ditentang kecuali oleh keumuman hadits yang terkandung dalam masalah mencuci apa yang telah dijilat anjing tanpa terperinci, dan ini adalah pembatasan keumuman hadits yang tidak bisa dipungkiri jika selaras dengan dalil.[SELESAI KUTIPAN]
Pernyataan Dr. Ahmad Kariamah, seorang profesor yurisprudensi komparatif di Universitas Al-Azhar, dalam sebuah wawancara dengan saluran Mesir, membenarkan bahwa "anjing itu suci dan boleh dipelihara di rumah."
"أن الكلب الذي اتبع أهل الكهف كانت مهمته الحراسة، وعادة كلب الحراسة أن يكون على الباب، وهو ما يدل على أن الكلب أصلا ليس نجسًا، وهو ما قال به الإمام مالك بن أنس، لأن لديه قاعدة أن كل حي طاهر، والنجاسة ليست أصلية بل عارضة، فالأصل فيما خلق الله الطاهرة"، وأيد كريمة قول الإمام مالك.
“Anjing yang mengikuti Ashaabul Kahfi itu bertugas menjaga, dan biasanya anjing penjaga itu ada di depan pintu, itu menandakan bahwa anjing itu tidak najis asalnya, seperti yang dikatakan Imam Malik bin Anas, karena baginya ada kaidah: bahwa setiap makhluk hidup adalah suci, dan najis itu bukan asalnya, tetapi datang kemudian, maka hukum asalnya adalah apa yang diciptakan Allah adalah suci ".
DALIL PENDAPAT PERTAMA: BAHWA ANJING ITU SUCI
DALIL KE 1:
Ayat yang menyatakan bolehnya memakan apa yang ditangkap anjing pemburu untuk pemiliknya, ayat tsb ttidak memerintahkan untuk mencuci hewan buruan tersebut ; Dimana Allah Ta'ala berfirman:
{ يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ }
Mereka bertanya kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?"
Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu, kalian mengajarinya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kalian.
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya) ". [QS. Al-Maidah: 4].
Dari ayat ini mereka berkata:
لَوْ كَانَ نَجِسًا لَأَفْسَدَ مَا صَادَهُ بِفَمِهِ، وَلَمَا وَرَدَ الشَّرْعُ بِإِبَاحَتِهِ، فدل ذلك على طهارة ريقه.
Jika itu najis, maka ia akan merusak [menjadikan najis] apa yang dia tangkap dengan mulutnya, dan ketika hukum menyatakan bahwa itu diperbolehkan, maka ini menunjukkan kesucian air liurnya. [Baca: al-Haawi al-Kabiir karya al-Mawardi 1/304]
Ibnu Katsir ketika menafsiri ayat diatas berkata:
"Yaitu dihalalkan bagi kalian hewan-hewan sembelihan yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, rezeki-rezeki yang baik.
Dihalalkan pula bagi kalian hewan yang kalian tangkap melalui binatang pemburu, seperti anjing pemburu, macan tutul pemburu, burung falcon (elang), dan lain-lainnya yang serupa. Sebagaimana yang dikatakan oleh mazhab jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi'in, dan para imam".
Ibnu Rusyd - semoga Allah merahmatinya - berkata:
“فذهب مالك في الأمر بإراقة سؤر الكلب وغسل الإناء منه، إلى أن ذلك عبادة غير معللة، وأن الماء الذي يلغ فيه ليس بنجس، ولم ير إراقة ما عدا الماء من الأشياء التي يلغ فيها الكلب في المشهور عنه، وذلك كما قلنا لمعارضة ذلك القياس له.
ولأنه ظن أيضا أنه إن فهم منه أن الكلب نجس العين عارضه ظاهر الكتاب، وهو قوله تعالى: ( فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ ): يريد أنه لو كان نجس العين ، لنجس الصيد بمماسته "
Kemudian Malik berpendapat: bahwa dalam perintah untuk menumpahkan sisa air bekas jilatan anjing serta mencuci bejana-nya, ini adalah ibadah murni tanpa adanya alasan logis.
Dan bahwa air bejana yang terkena jilatan itu tidak najis.
Dan dia [Malik] berpandangan: untuk tidak menumpahkan semua kecuali hanya air yang tersentuh jilatan anjing, ini menurut pendapat Malik yang terkenal.
Dan itu seperti yang kami katakan bahwa itu bertentangan dengan analogi dengannya.
Dan karena dia juga mengira bahwa jika difahami darinya bahwa anjing itu najis 'ain [objeknya najis], maka ini bertentangan dengan makna yang tampak dari ayat al-Quran itu, yaitu firman Allah Ta'ala:
( فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ )
"Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian"
Dia ingin menyatakan bahwa jika itu najis 'ain [objeknya yang najis], maka tentunya hewan buruan juga akan menjadi najis dengan sentuhannya". [Lihat: Bidayatul Mujtahid 1/83-84]
Sementara Syeikhl Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"لُعَاب الْكَلْبِ إذَا أَصَابَ الصَّيْدَ: لَمْ يَجِبْ غَسْلُهُ فِي أَظْهَرِ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ ، وَهُوَ إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَد؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَأْمُرْ أَحَدًا بِغَسْلِ ذَلِكَ ، فَقَدْ عفا عَنْ لُعَابِ الْكَلْبِ فِي مَوْضِعِ الْحَاجَةِ ، وَأَمَرَ بِغَسْلِهِ فِي غَيْرِ مَوْضِعِ الْحَاجَةِ ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الشَّارِعَ رَاعَى مَصْلَحَةَ الْخَلْقِ وَحَاجَتَهُمْ"
Jika air liur anjing pemburu mengenai hewan buruannya ; maka tidak wajib dicuci, menurut pendapat yang nampak lebih benar dari dua pendapat para ulama, dan itu adalah salah satu dari dua versi yang diriwayatkan dari Ahmad. Karena Nabi SAW tidak pernah memerintahkan siapa pun untuk mencucinya ; karena Air liur anjing pada hewan buruan dinaafkan pada saat ada hajat, dan diperintahkan untuk mencucinya pada saat tidak ada hajat, ini menandakan bahwa asy-Syarii' [Allah SWT] memperhatikan mashlahat makhluknya dan segala kebutuhannya.(Majmu' al-Fataawaa [21/ 619-620])
DALIL KE 2:
Dari Ibnu Umar –semoga Allah meridloinya- beliau berkata:
«كَانَتِ الكِلاَبُ تَبُولُ، وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي المَسْجِدِ، فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ»
“Dahulu anjing-anjing kencing, lalu keluar masuk di mesjid di zaman Rasulullah SAW dan mereka tidak memercikan air samak sekali karenanya” (HR Al-Bukhari no 174 secara mu'allaq)
Dalam riwayat yang lain Ibnu Umar berkata:
» كُنْتُ أَبِيتُ فِي الْمَسْجِدِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكُنْتُ فَتًى شَابًّا عَزَبًا، وَكَانَتِ الْكِلَابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ، فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ »
“Aku dulu bermalam di masjid di zaman Rasulullah SAW, ketika itu aku masih muda dan bujangan, dan anjing-anjing kencing, lalu keluar masuk di mesjid, akan tetapi mereka (para sahabat Nabi) sama sekali tidak memercikan air (di mesjid) karena hal itu”
(HR Abu Dawud no 382 dan Ibnu Hibban no 1656. Di Shahihkan oleh Ibnu Hibbaan dan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 382].
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
وَاسْتَدَلَّ بذلك بن بَطَّالٍ عَلَى طَهَارَةِ سُؤْرِهِ لِأَنَّ مِنْ شَأْنِ الْكِلَابِ أَنْ تَتْبَعَ مَوَاضِعَ الْمَأْكُولِ وَكَانَ بَعْضُ الصَّحَابَةِ لَا بُيُوتَ لَهُمْ إِلَّا الْمَسْجِدَ فَلَا يَخْلُو أَنْ يَصِلَ لُعَابُهَا إِلَى بَعْضِ أَجْزَاءِ الْمَسْجِدِ وَتُعُقِّبَ بِأَنَّ طَهَارَةَ الْمَسْجِدِ مُتَيَقَّنَةٌ وَمَا ذُكِرَ مَشْكُوكٌ فِيهِ وَالْيَقِينُ لَا يُرْفَعُ بِالشَّكِّ ثُمَّ إِنَّ دَلَالَتَهُ لَا تُعَارِضُ دَلَالَةَ مَنْطُوقِ الْحَدِيثِ الْوَارِدِ فِي الْأَمْرِ بِالْغَسْلِ مِنْ وُلُوغِهِ وَاسْتَدَلَّ بِهِ أَبُو دَاوُدَ فِي السُّنَنِ عَلَى أَنَّ الْأَرْضَ تَطْهُرُ إِذَا لَاقَتْهَا النَّجَاسَةُ بِالْجَفَافِ". انتهى.
Dan Ibnu Baththal berdalil dengan hadits diatas akan kesucian bekas jilatan anjing karena karakter anjing itu selalu mengikuti tempat-tempat yang terdapat sesuatu yang bisa dimakan. Dan sebagian para Sahabat tidak memiliki rumah bagi mereka kecuali masjid, sementara air liur anjing-anjing dapat mencapai sebagian dari bagian-bagian masjid.
Dan apa yang Ibnu Baththal katakan itu terbantahkan karena kesucian masjid itu adalah hal yang yakin dan pasti sementara yang disebutkan Ibnu Baththal itu diragukan. Dan yang yakin itu tidak bisa terangkat oleh yang meragukan. Lagi pula maknanya tidak bertentangan dengan lafadz hadits yang disebutkan dalam perintah membasuh bekas jilatannya ".
Dan Abu Daud dalam Sunannya berdalil dengan hadits ini bahwa tanah yang terkena najis itu bisa menjadi suci jika sudah mengering ". [Fathul Baari 1/279]
Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, semoga Allah merahamatinya, berkata:
وَهَذَا الْحَدِيثُ احْتَجَّ بِهِ مَنْ رَأَى أَنَّ النَّجَاسَةَ إذَا أَصَابَتْ الْأَرْضَ فَإِنَّهَا تَطْهُرُ بِالشَّمْسِ وَالرِّيحِ وَنَحْوِ ذَلِكَ كَمَا هُوَ أَحَدُ الْقَوْلَيْنِ فِي مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَد وَغَيْرِهِمَا وَهُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ
Hadits ini dijadikan dalil oleh orang-orang yang berpendapat bahwa jika tanah terkena najis, maka akan disucikan dengan matahari, angin, dan sejenisnya, sebagaimana salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Syafi'i., Ahmad dan lainnya, dan itu adalah madzhab Abu Hanifah ". [Akhir kutipan dari Majmu' al-Fataawa (22/180)].
DALIL KE 3:
Madzhab Maliki berdalil dengan apa yang Imam al-Bukhari tulis dalam Sahihnya. Dan dia, meskipun dia tidak secara eksplisit menyatakan madzhabnya, namun ungkapannya menunjukkan kecenderungannya ke mazhab Imam Malik dalam hal ini. Karena beliau menyebutkan empat hadits, yang darinya dapat dipahami bahwa air liur anjing tidaklah najis, termasuk hadits tentang anjing pemburu dan juga hadits:
كَانَتْ الْكِلَابُ تَبُولُ وَتُقْبِلُ وَتُدْبِرُ فِي الْمَسْجِدِ فِي زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَكُونُوا يَرُشُّونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ
"Bahwa pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ada beberapa anjing yang kencing dan membuang kotoran di dalam masjid, namun para sahabat tidak menyiramnya dengan sesuatu". [HR. Bukhori no. 168, 174]
Apa faidah yang bisa diambil dari hadits ini, yang dikutip Al-Bukhari dalam Kitab ath-Thoharah [Kesucian]?
Imam as-Sayuuthi berkata:
إن البخاري فقيه، ودلالة الفقه في صحيحه أكثر من دلالتها في غيره؛ وذلك لفقهه، ولذا يقول العلماء: فقه البخاري في تبويبه، وقد يبوب الباب لمسألة فقهية ولا يورد فيها أي حديث؛ لأنه صح عنده حديث في معنى الباب، ولكن ليس على شرطه في الصحة، فيأتي بالمعنى تحت الباب ولا يسوق الحديث؛ لأنه دون ما اشترطه، وقد يترجم للمعنى ويأتي بحديث في الظاهر أنه بعيد جداً، ولكن المعنى موجود فيه.
فهنا البخاري بوب: كانت الكلاب تروح وتغدو في مسجد رسول الله صلى الله عليه وسلم، وذلك أنه في عام الوفود سنة تسع كان صلى الله عليه وسلم ينزل الوفود في المسجد، ولما جاء وفد بني ثقيف في السنة التاسعة أنزلهم في المسجد، ونصب خيامهم في المسجد، وكان يشرف على خدمتهم، وكان ذلك في رمضان؛ ليروا حال المسلمين في صيامهم وفطورهم، ويروا تلاحمهم وإخاءهم، ولذلك لم يخرج رمضان إلا وقد أسلموا جميعاً.
قال البخاري: كان هؤلاء القوم في المسجد، وكان يؤتى لهم بالطعام، وحاسة الشم قوية عند الكلب، فهو يمشي ويتشمم في تربة الأرض، ومعلوم أنه إذا تشمم الكلب تربة الأرض فإن لسانه يلهث أيضاً، فلا بد أن يصيب لعابه التربة، ولم يأمر صلى الله عليه وسلم بغسلها، ولا بصب الماء عليها كما أمر في قصة بول الأعرابي، ولا أمر بمسح التراب عن مواضع تشمم الكلاب في المسجد، ولو كان سؤر الكلب نجساً لمنعت الكلاب من ذلك، وتتبع مواطنها، وطهرت بما يمكن أن تطهر به.
Al-Bukhari adalah seorang ahli hukum fiqih, dan bukti ke faqihan-nya dalam Sahihnya menunjukkan lebih luas pada daripada yang lain. Ini karena kefaqihan-nya, dan oleh karena itu para ulama berkata:
Fiqhnya Imam Al-Bukhari terdapat dalam penulisan bab-babnya, dan dia terkadang menuliskan bab masalah Fiqih namun tanpa menyebutkan hadits apapun di dalamnya; Karena dia mengetahui adanya hadits yang shahih yang terkandung dalam makna Bab, akan tetapi hadits tsb tidak memenuhi standar syarat dalam Shahihnya, maka dari itu dia hanya membawakan maknanya di bawah Bab dan tidak mengetengahkan hadits; Karena levelnya dibawah apa yang dia syaratkan dalm shahihnya, dan dia terkadang menuliskan judul bab dan membawa hadits yang lafadznya nampak sangat jauh, akan tetapi maknanya terkandung di dalamnya.
Maka di sini Al-Bukhari memberi judul BAB:
كانت الكلاب تروح وتغدو في مسجد رسول الله
Anjing-anjing biasa datang dan pergi ke masjid Rasulullah SAW
Dan itu terjadi pada tahun delegasi, tahun ke sembilan, dimana Nabi SAW sibuk menjadi tuan rumah delegasi di masjid, dan ketika delegasi Bani Tsaqif datang pada tahun kesembilan, maka beliau SAW menempatkan mereka di masjid, dan mendirikan tenda-tenda mereka di masjid dan beliau SAW mengawasi pelayanan untuk mereka, dan itu di bulan Ramadhan ; agar beliau melihat keadaan umat Islam dalam puasa dan buka puasa mereka, dan agar bisa melihat kekompakan dan persaudaraan mereka. Dan oleh karena itu bulan Ramadhan belum keluar namun mereka semua telah memeluk Islam.
Al-Bukhari berkata:
Orang-orang ini berada di masjid, dan makanan dibawakan kepada mereka, dan indera penciuman anjing itu kuat, maka anjing itu berjalan dan mengendus di debu tanah. Dan yang sudah maklum bahwa jika anjing itu mencium bau debu tanah, maka lidahnya juga menjulur terengah-engah, sehingga air liurnya pasti mengenai tanah.
Dan Nabi SAW tidak memerintahkan untuk mencucinya, atau menuangkan air ke atasnya, seperti yang dia perintahkan dalam kisah orang Badui yang kecing di mesjid, juga tidak memerintahkan untuk menyeka debu dari tempatnya di mana anjing mengendus di masjid.
Dan jika air liur anjing itu najis, maka anjing akan dicegah dari itu, dan menelusuri tempat-tempat yang terkena air liur anjing, lalu disucikan dengan apa yang bisa mensucikannya.
[Di Kutip Syarah Bulughul Maram oleh Syeikh 'Athiyyah Salim 4/5]
DALIL KE 4:
Dari [Abu Hurairah radliallahu 'anhu] berkata; Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ أَمْسَكَ كَلْبًا فَإِنَّهُ يَنْقُصُ كُلَّ يَوْمٍ مِنْ عَمَلِهِ قِيرَاطٌ إِلَّا كَلْبَ حَرْثٍ أَوْ مَاشِيَةٍ
"Siapa yang memelihara anjing berarti sepanjang hari itu dia telah menghapus amalnya sebanyak satu qirath kecuali memelihara anjing penjaga ladang atau penjaga ternak ".
Berkata, [Ibnu Sirin] dan [Abu Shalih] dari [Abu Hurairah radliallahu 'anhu] dari Nabi SAW:
إِلَّا كَلْبَ غَنَمٍ أَوْ حَرْثٍ أَوْ صَيْدٍ
"Kecuali anjing untuk mengembalakan kambing atau untuk menjaga ladang atau anjing pemburu".
[HR. Bukhori no. 2154, 2322]
Dalam riwayat Muslim: Dari Abu Hurairah radhuyallahu 'anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda:
( مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا لَيْسَ بِكَلْبِ صَيْدٍ وَلا مَاشِيَةٍ وَلا أَرْضٍ فَإِنَّهُ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِهِ قِيرَاطَانِ كُلَّ يَوْمٍ ).
‘Siapa saja yang memelihara anjing bukan anjing pemburu, penjaga ternak, atau penjaga kebun, maka pahalanya akan berkurang sebanyak dua qirath setiap hari.’” [HR. Muslim no. 1575]
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari 5/7:
وَاسْتُدِلَّ بِهِ عَلَى طَهَارَةِ الْكَلْبِ الْجَائِزِ اتِّخَاذُهُ لِأَنَّ فِي مُلَابَسَتِهِ مَعَ الِاحْتِرَازِ عَنْهُ مَشَقَّةٌ شَدِيدَةٌ فَالْإِذْنُ فِي اتِّخَاذِهِ إِذْنٌ فِي مُكَمِّلَاتِ مَقْصُودِهِ كَمَا أَنَّ الْمَنْعَ مِنْ لَوَازِمِهِ مُنَاسِبٌ لِلْمَنْعِ مِنْهُ وَهُوَ اسْتِدْلَالٌ قَوِيٌّ لَا يُعَارِضُهُ إِلَّا عُمُومُ الْخَبَرِ الْوَارِدِ فِي الْأَمْرِ مِنْ غَسْلِ مَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ وَتَخْصِيصُ الْعُمُومِ غَيْرُ مُسْتَنْكَرٍ إِذَا سَوَّغَهُ الدَّلِيلُ
"Dan bisa diambil dalil dari hadits ini akan kesucian anjing yang boleh dipelihara, karena dalam memeliharanya dan bergaul dengannya sambil menjaga jarak darinya sangatlah berat. Maka dengan diperbolehkan memeliharanya, ini menunjukkan kebolehan semua hal yang melengkapi tujuannya, sebagaimana pencegahan itu termasuk segala sesuatu yang berkaitan dengan pencegahan darinya.
Ini adalah pemahaman dalil yang kuat yang tidak bisa ditentang kecuali oleh keumuman hadits yang terkandung dalam masalah mencuci apa yang telah dijilat anjing tanpa terperinci, dan ini adalah pembatasan keumuman hadits yang tidak bisa dipungkiri jika selaras dengan dalil ". [Selesai]
DALIL KE 5:
Anjing itu hanya disebutkan dalam beberapa ayat dalam al-Quran:
Pertama:
فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا
“Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya maka ia menjulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya maka dia [juga tetap] menjulurkan lidahnya. [QS. Al-A'raf: 176]
Kedua:
وَكَلْبُهُمْ بَاسِطٌ ذِرَاعَيْهِ بِالْوَصِيْدِۗ لَوِ اطَّلَعْتَ عَلَيْهِمْ لَوَلَّيْتَ مِنْهُمْ فِرَارًا وَّلَمُلِئْتَ مِنْهُمْ رُعْبًا
“Sedang anjing mereka membentangkan kedua lengannya di depan pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka tentu kamu akan berpaling melarikan (diri) dari mereka dan pasti kamu akan dipenuhi rasa takut terhadap mereka". [QS. Al-Kahfi: 18]
Ketiga:
{ يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ وَمَا عَلَّمْتُمْ مِنَ الْجَوَارِحِ مُكَلِّبِينَ تُعَلِّمُونَهُنَّ مِمَّا عَلَّمَكُمُ اللَّهُ ۖ فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ ۖ }
Mereka bertanya kepadamu, "Apakah yang dihalalkan bagi mereka?"
Katakanlah, "Dihalalkan bagi kalian yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang buas yang telah kalian ajar dengan melatihnya untuk berburu, kalian mengajarinya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepada kalian.
Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untuk kalian, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya) ". [QS. Al-Maidah: 4].
Artinya, Al-Qur'an tidak mengkritik atau mencela anjing, juga tidak mengisaratkan pada kenajisan atau permusuhan antara anjing dan malaikat. Sebaliknya, kami menemukan bahwa Al-Qur'an telah menghalalkan bagi umat Islam untuk memakan hasil buruan anjing yang dibawa kepada mereka, dan bukan rahasia lagi bagi siapa pun bahwa anjing membawa hewan buruan dengan mulut penuh air liur, jadi bagaimana bisa? apakah mungkin menganalisis daging yang telah terinfeksi najis dari air liur anjing?!
Kemudian Rasulullah SAW tidak memberi tahu para sahabatnya tentang tata cara mencuci bejana yang dijilat anjing, kecuali ketika ada seorang pria datang kepada beliau SAW dan bertanya kepadanya tentang bejana, akan tetapi tidak ada orang lain yang bertanya kepadanya tentang hewan-hewan lainnya yang tidak banyak tersebar luas di gurun Arab pada abad ketujuh Masehi.
PENDAPAT KE DUA: ANJNG ITU SUCI, KECUALI AIR LIURNYA NAJIS.
Pendapat Kedua mengatakan: “Badan anjing dan rambutnya atau bulunya adalah suci, sementara air liurnya adalah najis".
Ini adalah Madzhab Abu Hanifah dan Imam Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat nya. Dan ini adalah yang ditarjih dan dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah.
[Baca: ((Al-Bahr Al-Raa`iq)) oleh Ibnu Najim (1/106). Dan lihat pula: (((Bada`i Al-Sana`i`) oleh Al-Kasani (1/63), Majmu' al-Fataawa Ibnu Taimiyah 21/ 530 dan الموسوعة الفقهية الكويتية 3/72 (Syamilah)]
Syekh Al-Islam Ibnu Taimiyyah, rohimahullaah, berkata:
شَعْرُهُ طَاهِرٌ وَرِيقُهُ نَجِسٌ وَهَذَا هُوَ مَذْهَبُ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَد فِي إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُ. وَهَذَا أَصَحُّ الْأَقْوَالِ. فَإِذَا أَصَابَ الثَّوْبَ أَوْ الْبَدَنَ رُطُوبَةُ شَعْرِهِ لَمْ يَنْجُسْ بِذَلِكَ وَإِذَا وَلَغَ فِي الْمَاءِ أُرِيقَ الْمَاءُ
Rambutnya [Anjing] atau bulunya itu suci, dan air liurnya Najis. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Ahmad dalam salah satu dari dua riwayat nya. Dan ini adalah pendapat yang paling shahih [benar]. Maka jika basahnya rambut anjing mengenai pakaian atau tubuh seseorang, maka ia tidak najis karenanya. Dan jika anjing menjilat dalam air, maka airnya ditumpahkan.[SELESAI] (Lihat: Majmu' al-Fataawa [21/ 530]).
Asy-Syawkani mengatakan:
"النجاسات هي غائط الإنسان مطلقاً، وبوله ولعاب الكلب وروثه، ودم الحيض، ولحم الخنزير. وفي ما عدا ذلك خلافٌ ".
Objek-objek najis adalah kotoran [tinja] dan urin manusia secara mutlak, air liur Anjing dan kotoran-nya, darah haid, dan daging babi. Selain itu, ada perbedaan pendapat ". (al-Jami' Li Ahkaami ash-Sholaat 1/78 oleh Abu 'Iyasy 'Uwaidhah )
Di halaman lain Ibnu Taimiyah berkata:
لِأَنَّ الْأَصْلَ فِي الْأَعْيَانِ الطَّهَارَةُ فَلَا يَجُوزُ تَنْجِيسُ شَيْءٍ وَلَا تَحْرِيمُهُ إلَّا بِدَلِيلِ. كَمَا قَالَ تَعَالَى {وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إلَيْهِ} وَقَالَ تَعَالَى: {وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ} وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ: {إنَّ مِنْ أَعْظَمِ الْمُسْلِمِينَ بِالْمُسْلِمِينَ جُرْمًا مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ}. وَفِي السُّنَنِ عَنْ سَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ مَرْفُوعًا. وَمِنْهُمْ مَنْ يَجْعَلُهُ مَوْقُوفًا أَنَّهُ قَالَ: {الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ}. وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ فَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: {طَهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعًا أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ} وَفِي الْحَدِيثِ الْآخَرِ: {إذَا وَلَغَ الْكَلْبُ}. فَأَحَادِيثُهُ كُلُّهَا لَيْسَ فِيهَا إلَّا ذِكْرُ الْوُلُوغِ لَمْ يَذْكُرْ سَائِرَ الْأَجْزَاءِ فَتَنْجِيسُهَا إنَّمَا هُوَ بِالْقِيَاسِ
وَأَيْضًا فَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ فِي اقْتِنَاءِ كَلْبِ الصَّيْدِ وَالْمَاشِيَةِ وَالْحَرْثِ وَلَا بُدَّ لِمَنْ اقْتَنَاهُ أَنْ يُصِيبَهُ رُطُوبَةُ شُعُورِهِ كَمَا يُصِيبُهُ رُطُوبَةُ الْبَغْلِ وَالْحِمَارِ وَغَيْرِ ذَلِكَ فَالْقَوْلُ بِنَجَاسَةِ شُعُورِهَا وَالْحَالُ هَذِهِ مِنْ الْحَرَجِ الْمَرْفُوعِ عَنْ الْأُمَّةِ.
وَأَيْضًا فَإِنَّ لُعَابَ الْكَلْبِ إذَا أَصَابَ الصَّيْدَ لَمْ يَجِبْ غَسْلُهُ فِي أَظْهَرِ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ وَهُوَ إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَد؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَأْمُرْ أَحَدًا بِغَسْلِ ذَلِكَ فَقَدْ عُفِيَ عَنْ لُعَابِ الْكَلْبِ فِي مَوْضِعِ الْحَاجَةِ وَأَمَرَ بِغَسْلِهِ فِي غَيْرِ مَوْضِعِ الْحَاجَةِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الشَّارِعَ رَاعَى مَصْلَحَةَ الْخَلْقِ وَحَاجَتَهُمْ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ
Hal ini karena prinsip dasar pada setiap benda adalah suci, maka tidak boleh menghukumi najis sesuatu atau menghukuminya haram kecuali dengan dalil, sebagaimana firman Allah Ta'aalaa:
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ اِلَيْهِ ۗ
“Dan sungguh Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa" [QS. Al-An'aam: 119].
Dan Allah SWT berfirman:
﴿ وَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِلَّ قَوْمًاۢ بَعْدَ اِذْ هَدٰىهُمْ حَتّٰى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَّا يَتَّقُوْنَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ﴾
"Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, setelah mereka diberi-Nya petunjuk, sehingga dapat dijelaskan kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sungguh, Allah Maha Mengetahui segala sesuatu". (QS. At-Taubah: 115)
Dan Nabi SAW bersabda dalam hadits shahih:
إِنَّ أَعْظَمَ المُسْلِمِينَ جُرْمًا، مَنْ سَأَلَ عَنْ شَيْءٍ لَمْ يُحَرَّمْ، فَحُرِّمَ مِنْ أَجْلِ مَسْأَلَتِهِ
Sesungguhnya (seseorang dari) kaum Muslimin yang paling besar dosanya adalah yang bertanya tentang sesuatu yang tidak diharamkan, lantas hal tersebut diharamkan karena pertanyaannya. ( HR. Bukhory no. 6745 )
Dan dalam kitab-kitab Sunan, dari Salman Al-Farisi, secara marfu' Nabi. Dan di antara mereka ada yang memawqufkannya bahwa beliau SAW bersabda:
الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ»
"Yang halal adalah apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitab-Nya, dan yang haram adalah apa yang diharamkan oleh Allah di dalam kitab-Nya, dan apa yang Dia diamkan adalah sesuatu yang Dia maafkan." ( HR. Ibnu Majah No. 3358, Turmudzi no. 1648 dan al-Hakim 4/115 )
Dan jika demikian, maka Nabi SAW bersabda:
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
Dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Sucinya wadah (bejana) kalian jika ada anjing meminum [dengan cara menjilat] di dalamnya adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan debu.” (HR. Muslim 420 dan Ahmad 2/427).
Dan dalam lafadz riwayat lainnya:
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
Bila seekor anjing minum [dengan cara menjilat] dari wadah (bejana) milik kalian, maka tumpahkanlah lalu cucilah tujuh kali. (HR Bukhari no 418, Muslim no. 422).
Dalam semua hadits-haditsnya tidak ada kecuali penyebutan وَلَغَ [minum dengan cara menjilat], beliau tidak menyebutkan bagian-bagian tubuh anjing yang lain, maka mereka menghukumi najis bagian-bagian lainnya itu hanya berdasarkan dalil Qiyaas [analogi].
Dan juga, Nabi SAW membolehkan untuk memelihara anjing pemburu, penjaga ternak, dan penjaga ladang pertanian. Dan siapa pun yang memeliharanya pasti akan terkena oleh kelembaban rambut anjingnya sama seperti halnya dia terkena kelembaban hewan tunggangannya seperti Bighal, Keledai dan lainnya.
Maka pendapat yang mengatakan bahwa rambut anjing itu najis, sementara kondisi seperti ini sangat memberatkan maka harus diangkat dari umat ini [Yakni: jangan diberlakukan].
Juga, jika air liur anjing pemburu mengenai hewan buruannya ; maka tidak wajib dicuci, menurut pendapat yang nampak lebih benar dari dua pendapat para ulama, dan itu adalah salah satu dari dua versi yang diriwayatkan dari Ahmad. Karena Nabi SAW tidak pernah memerintahkan siapa pun untuk mencucinya ; karena Air liur anjing pada hewan buruan dinaafkan pada saat ada hajat, dan diperintahkan untuk mencucinya pada saat tidak ada hajat, ini menandakan bahwa asy-Syarii' [Allah SWT] memperhatikan mashlahat makhluknya dan segala kebutuhannya.(Majmu' al-Fataawaa [21/ 617 dan 619-620])
Dan di halaman lain Ibnu Taimiyah berkata pula:
وَشَعْرُ الْكَلْبِ وَالْخِنْزِيرِ إذَا بَقِيَ فِي الْمَاءِ لَمْ يَضُرَّهُ ذَلِكَ فِي أَصَحِّ قَوْلَيْ الْعُلَمَاءِ: فَإِنَّهُ طَاهِرٌ فِي أَحَدِ أَقْوَالِهِمْ وَهُوَ إحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عِنْدَ أَحْمَد وَهَذَا الْقَوْلُ أَظْهَرُ فِي الدَّلِيلِ؛ فَإِنَّ جَمِيعَ الشَّعْرِ وَالرِّيشِ وَالْوَبَرِ وَالصُّوفِ طَاهِرٌ سَوَاءٌ كَانَ عَلَى جِلْدِ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ أَوْ جِلْدِ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ وَسَوَاءٌ كَانَ عَلَى حَيٍّ أَوْ مَيِّتٍ. هَذَا أَظْهَرُ الْأَقْوَالِ لِلْعُلَمَاءِ؛ وَهُوَ إحْدَى الرِّوَايَاتِ عَنْ أَحْمَد.
Jika bulu anjing atau babi tertinggal di dalam air, maka tidak membahayakan [tdak membuatnya najis] menurut pendapat yang lebih shahih dan benar dari dua pendapat para ulama: maka itu adalah suci menurut salah satu pendapat mereka, dan itu adalah salah satu dari dua versi menurut Ahmad, dan pendapat ini lebih nampak benar dalam dalil-dalil.
Karena Semua rambut, bulu, bulu hewan, dan wol adalah suci, baik pada kulit hewan yang dagingnya boleh dimakan maupun kulit hewan yang dagingnya tidak boleh dimakan, baik pada hewan yang masih hidup maupun yang sudah mati. Ini adalah pendapat para ulama yang lebih nampak benar. Dan ini adalah salah satu riwayat dari Ahmad.. ”
(Majmu' al-Fataawaa [21/39].
PENDAPAT KE TIGA: ANJING ITU NAJIS SEMUANYA:
Secara Mutlak Anjing itu Najis hingga badannya dan rambutnya. Jadi Anjing adalah objek yang najis di semua bagiannya.
Ini adalah pendapat madzhab Syafi'i dan Hanbali. Dan salah satu dari dua riwayat dari Ahmad.
Dan ini yang dikatakan oleh Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hassan dari Madzhab Hanafi, dan itu adalah pilihan Ash-Shan'aani dan Syeikh Ibnu Utsaimin
[[Referensi: ((Al-Majmu') oleh al-Nawawi (2/ 567), dan lihat: ((Al-Umm)) oleh Asy-Syafi'i (1/18), ((Al-Haawi Al-Kabiir)) oleh Al-Mawardi (13/1).
((Al-Furuu'`) oleh Ibnu Muflih (1/314), ((Al-Inshaf)) oleh Al-Mardawi (1/310).
((Al-Bahr Al-Raa`iq)) oleh Ibnu Najim (1/106). Dan lihat pula: (((Bada`i Al-Shana`i`) oleh Al-Kasani (1/63).]]
Ash-Shan'aani berkata:
(... وهو ظاهرٌ في نجاسةِ فَمِه، وأُلحِقَ به سائِرُ بَدَنِه قياسًا عليه؛ وذلك لأنَّه إذا ثبت نجاسةُ لُعابِه، ولُعابُهُ جزءٌ من فَمِه؛ إذ هو عِرْقُ فَمِه، ففَمُه نَجِسٌ؛ إذ العِرْقُ جزءٌ متحلِّبٌ من البَدَنِ، فكذلك بقيَّةُ بَدَنِه).
(... dan itu tampak dalam kenajisan mulutnya. Dan seluruh tubuhnya diikut sertakan dengan mulutnya dengan cara Qiyas [analogi] kepadanya, karena jika ditetapkan bahwa ludahnya itu najis, dan ludahnya itu adalah bagian dari mulutnya, karena air ludah itu adalah keringat di mulutnya, maka mulutnya najis, karena keringat itu adalah bagian hasil perasan dari tubuh, begitu pula sisa badannya)". [((Subul Al-Salam)) (1/22), dan lihat: ((Neil Al-Awthar)) (1/35)].
Dan Syeikh Ibnu Utsaimin berkata: Anjing itu najis 'ain. [Baca: Syarah Raiydhusholihiin 2/80].
Ibnu Qudamah al-Hanbali, semoga Allah merahmatinya, berkata:
فالنجس نوعان: أحدهما: ما هو نجس، رواية واحدة، وهو الكلب، والخنزير، وما تولد منهما، أو من أحدهما، فهذا نجس، عينه، وسؤره، وجميع ما خرج منه، روي ذلك عن عروة، وهو مذهب الشافعي، وأبي عبيد، وهو قول أبي حنيفة في السؤر خاصة "
Yang najis itu ada dua jenis: salah satunya: sesuatu yang najis, satu riwayat, yaitu anjing, babi, dan apa yang lahir dari keduanya, atau dari salah satunya, maka ini najis, objeknya [esensinya], air liurnya, dan segala sesuatu. yang keluar darinya.
Ini diriwayatkan dari 'Urwah, dan itu adalah madzhab asy-Syaafi'i, dan Abu 'Ubaid". [Akhir kutipan dari al-Mughni (1/ 64)].
DALIL PENDAPAT KETIGA: BAHWA ANJING ITU NAJIS SEMUANYA:
HADITS Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwasanya Rasulullah SAW sabda,
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ
"`Sucinya wadah (bejana) kalian jika ada anjing meminum [dengan cara menjilat] di dalamnya adalah dengan mencucinya tujuh kali, yang pertama dengan debu.” (HR. Muslim 420 dan Ahmad 2/427).
Dan dalam riwayat at Tirmidziy [Dalam sunannya no. 91]:
«أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَاب »
“Yang terakhir atau yang pertama dengan menggunakan debu’’
Dan dalam lafadz riwayat lainnya:
إِذَا وَلَغَ الْكَلْبُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ فَلْيُرِقْهُ ثُمَّ لِيَغْسِلْهُ سَبْعَ مِرَارٍ
Bila seekor anjing minum [dengan cara menjilat] dari wadah (bejana) milik kalian, maka tumpahkanlah lalu cucilah tujuh kali. (HR Bukhari no 418, Muslim no. 422).
Makna lafadz-lafadz Musykil:
- [وَلَغَ]: Minum dengan menggunakan lidah atau memasukkan lidah ke dalam bejana lalu menggerakkannya
- [الكَلْبُ]: Anjing. Maksudnya adalah semua anjing. Al di sini memiliki makna umum.
Dalil yang bisa diambil dari hadits-hadits diatas.
Hadist-hadits tsb menunjukkan bahwa air liur anjing itu najis dari beberapa aspek:
Aspek Pertama:
Itu terdapat pada awal lafadz hadits: “Sucinya wadah (bejana) kalian jika ada anjing meminum [dengan cara menjilat] di dalamnya ". Dan hakikat suci dalam hukum syar'i adalah suci dari hadats atau najis.
Al-Nawawi, semoga Allah merahmatinya, berkata:
فَفِيهِ دَلَالَةٌ ظَاهِرَةٌ لِمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ وَغَيْرِهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِمَّنْ يَقُولُ بِنَجَاسَةِ الْكَلْبِ لِأَنَّ الطَّهَارَةَ تَكُونُ عَنْ حَدَثٍ أَوْ نَجَسٍ وَلَيْسَ هُنَا حَدَثٌ فَتَعَيَّنَ النَّجَسُ فَإِنْ قِيلَ الْمُرَادُ الطَّهَارَةُ اللُّغَوِيَّةُ فَالْجَوَابُ أَنَّ حَمْلَ اللَّفْظِ عَلَى حَقِيقَتِهِ الشَّرْعِيَّةِ مُقَدَّمٌ عَلَى اللُّغَوِيَّةِ
Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab al-Syafi'i dan lainnya yang mengatakan bahwa anjing itu najis, karena bersuci itu adalah dari hadats atau najis, dan tidak ada hadats di sini, maka dipastikan mensucikan dari najis.
Jika dikatakan: Yang dimaksud adalah suci secara linguistik [makna bahasa]?
Jawabannya adalah: Membawakan lafadz itu pada realitas makna hukum Syar'i lebih diutamakan daripada makna linguistik. [Lihat: Syarah Shahih Muslim 3/184] Dan lihat pula Fathul Bari 1/276]
Aspek Kedua:
Perintah untuk menumpahkan apa yang telah dijilat anjing: ( Jika anjing menjilat bejana salah satu dari kalian, maka tumpahkanlah ).
Al-Hafidz Ibnu Hajar, rahimahullah, berkata:
فَلْيُرِقْهُ وَقَالَ حَمْزَةُ الْكِنَانِيُّ إِنَّهَا غَيْرُ محفوظه وَقَالَ بن عَبْدِ الْبَرِّ لَمْ يَذْكُرْهَا الْحُفَّاظُ مِنْ أَصْحَابِ الْأَعْمَش كَأبي مُعَاوِيَة وَشعْبَة وَقَالَ بن مَنْدَهْ لَا تُعْرَفُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوِهِ إِلَّا عَنْ عَلِيِّ بْنِ مُسْهِرٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ قُلْتُ قَدْ وَرَدَ الْأَمْرُ بِالْإِرَاقَةِ أَيْضًا مِنْ طَرِيقِ عَطَاءٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَرْفُوعًا أخرجه بن عَدِيٍّ لَكِنْ فِي رَفْعِهِ نَظَرٌ وَالصَّحِيحُ أَنَّهُ مَوْقُوفٌ وَكَذَا ذَكَرَ الْإِرَاقَةَ حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَن أَيُّوب عَن بن سِيرِينَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ مَوْقُوفًا وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ أَخْرَجَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ وَغَيْرُهُ
Lafadz dalam hadits: ( maka tumpahkanlah ), ini menguatkan perkataan bahwa pencucian disini adalah untuk sesuatu yang terkena najis, karena menumpahkan lebih umum, bisa mencakup air atau makanan...
Jika itu suci, maka tidak akan diperintahkan untuk menumpahkannya, karena adanya larangan pemborosan dan membuang-buang harta.
Akan tetapi Imam An-Nasa'i berkata: Saya tidak tahu seorang pun yang mengikuti hadits riwayat Ali bin Mus-hir yang terdapat tambahan lafadz [فَلْيُرِقْهُ = maka tumpahkanlah]…..
Aku jawab: Perintah untuk menumpahkan air juga disebutkan melalui jalur Atho’ dari Abu Hurairah, dengan sanad marfu' ke Nabi SAW, diriwayatkan oleh Ibnu 'Adiyy, namun dalam kemarfua'n nya perlu ditinjau, dan yang shahih adalah mawquf. Demikian pula penyebutan lafadz [فَلْيُرِقْهُ = maka tumpahkanlah] disebutkan oleh Hammad bin Zayd dari Ayyub dari Ibnu Sirin dari Abu Hurairah secara mawqouf, dan sanadnya adalah Shahih, diriwayatkan ad-Daruquthni dan lainnya ". [Lihat: Fathul Baari 1/275]
Aspek Ketiga:
Ada sebagian para Sahabat dengan jelas menyatakan bahwa kenajisan adalah alasan dan sebab adanya perintah untuk mencuci dalam hadits ini, dan tidak diketahui jika ada ulama yang menyelisihinya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah, berkata:
وَالتَّعْلِيلُ بِالتَّنْجِيسِ أَقْوَى لِأَنَّهُ فِي مَعْنَى الْمَنْصُوصِ وَقَدْ ثَبَتَ عَنِ بن عَبَّاسٍ التَّصْرِيحُ بِأَنَّ الْغَسْلَ مِنْ وُلُوغِ الْكَلْبِ بِأَنَّهُ رِجْسٌ رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ نَصْرٍ الْمَرْوَزِيُّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَلَمْ يَصِحَّ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَة خِلَافه
Dan ta'lil [alasan] dengan adanya najis itu lebih kuat, karena sesuai dengan makna nash, dan bisa dibuktikan dengan hadits Ibnu Abbas bahwa membasuh jilatan anjing itu karena kotor [رِجْسٌ], diriwayatkan oleh Muhammad bin Nashr Al -Marwazi dengan sanad yang shahih, dan tidak ada sahabat yang menyelisihinya. [Lihat: Fathul Baari 1/276]
Al-Nawawi - rahimahullah- berkata:
“أَنَّهُ يُسْتَحَبُّ جَعْلُ التُّرَابِ فِي الْأُولَى فَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَفِي غَيْرِ السَّابِعَةِ أَوْلَى فَإِنْ جَعَلَهُ فِي السَّابِعَةِ جَازَ ".
Mustahabb menggunkan debu pada basuhan pertama, dan jika tidak dikerjakan maka pada selain ketujuh lebih diutamakan, tetapi jika dilakukan pada basuhan ketujuh maka itu diperbolehkan. ' (2/583).
Dan Syekh Al-Albani - rahimahullah - berkata:
"زيادة " أولاهن بالتراب " وقد رويت بلفظ " السابعة بالتراب " والأرجح الرواية الأولى كما قال الحافظ وغيره على ما بينته فى " صحيح أبى داود " (رقم 66) ويشهد لها الطريق الثامن ، لكن يخالفها حديث عبد الله بن مغفل " وعفروه الثامنة ".
Tambahan lafadz "yang pertama adalah dengan debu" telah diriwayatkan pula dengan lafadz "yang ketujuh adalah dengan debu." Yang paling benar adalah riwayat " pertama", seperti yang dikatakan al-Hafidz Ibnu Hajar dan yang lainnya, berdasarkan apa yang telah saya tunjukkan di Sahih Abi Daud (No. 66), dan jalur riwayat kedelapan menjadi saksinya.
Namun, hal itu dibantah oleh hadits Abdullah bin Mughoffal: “dan kalian lumurilah dengan debu pada yang kedelapan.” [Irwa al-Gholil 1/62].
Jika tidak memungkinkan dengan debu, atau dikhawatirkan pakaian akan rusak, sebaiknya gunakan disinfektan lain, seperti sabun dan sejenisnya.
JIKA PAKAIAN TERKENA AIR LIUR ANJING? HARUS DI CUCIKAH?
Syekh Ibnu Utsaimin, rahimahullah, pernah ditanya:
يوجد نقاط تفتيش في بعض المؤسسات الكبرى يستخدم فيها الكلاب المدربة، فتدخل في مقدمة السيارة ثم تبدأ بالشم واللحس. فهل تتنجس بذلك المقاعد والأماكن التي قام الكلب بشمها أو لحسها؟ وجزاكم الله خيراً.
Ada pos-pos pemeriksaan di beberapa lembaga besar di mana anjing terlatih digunakan, sehingga mereka masuk ke depan mobil dan kemudian mulai mengendus dan menjilat. Apakah tempat duduk dan tempat yang diendus atau dijilat anjing itu najis? Semoga Allah membalas kebaikan Anda.
Beliau menjawab:
أما الشم فإنه لا يضر؛ لأنه لا يخرج من الكلب ريق، وأما اللحس فيخرج فيه من الكلب ريق، وإذا أصاب ريق الكلب ثياباً أو شبهها: فإنها تغسل سبع مرات، ولا نقول: إحداها بالتراب؛ لأنه ربما يضر، لكن نقول: يستعمل عن التراب صابوناً أو شبهه من المزيل ويكفي مع الغسلات السبع ".
“Adapun untuk penciuman, tidak berpengaruh ; Karena air liur anjing tidak keluar, dan adapun jilatan, maka keluar air liur anjing. Dan jika air liur anjing mengenai pakaian atau sejenisnya: maka dibasuh tujuh kali, namun kami tidak mengatakan: salah satunya dengan debu; Karena mungkin berbahaya, tetapi kami katakan: Gunakan sabun atau pembersih serupa untuk membersihkan kotoran, dan cukup dengan tujuh kali basuhan. [Baca: لقاء الباب المفتوح 8/49].
Adapun berdasarkan pendapat madzhab Maaliki tentang kesucian air liur anjing, maka tidak wajib mencuci pakaiannya. Karena perintah membasuh tujuh kali, ini adalah hukum ta'abbudi khusus pada bejana di mana anjing menjilat air di dalamnya, dan yang lainnya tidak bisa di qiyaskan atau di analogikan pada-nya.
Dikatakan dalam al-Mudawwanah (1/116):
"قال ابن القاسم وقال مالك: لا بأس بلعاب الكلب يصيب الثّوب. وقاله ربيعة "
Ibnu al-Qasim berkata, dan Malik berkata: “Tidak apa-apa jika air liur anjing mengenai pakaian". Dan Rabi'ah mengatakan itu. [Selesai].
Dikatakan dalam Mawahib Al-Jaleel (1/274):
“فرع: قال سند: إذا لعق الكلب يد أحدكم: لا يغسلها "
Cabang: Sanad berkata: Jika seekor anjing menjilat tangan salah satu dari kalian, maka dia tidak usah mencucinya.
KESIMPULAN:
Menurut pendapat mayoritas ulama: bahwa air liur anjing itu najis, dan tidak boleh shalat dengan pakaian yang telah tersentuh air liur anjing manapun, hingga disucikan seperti yang telah dijelaskan di atas.
Adapun Madzhab Maaliki mengatakan bahwa air liur anjing itu suci: tidak ada dosa bagi orang yang shalat dengan pakaian yang terkena air liur anjung, dan shalatnya sah dan tidak ada beban apa-apa atas dirinya.
Barangsiapa mengamalkan pendapat ini karena keyakinan dengan dalil-dalilnya, atau mengikuti pendapat sesorang yang diakui sebagai imam dan ulama, maka dia jangan diingkari, karena perbedaan dalam masalah ini adalah perbedaan yang mu'tabar, dan masing-masing dari kedua belah pihak memiliki dalil yang mendukung pendapatnya.
Kaidah tentang suci dan Najis:
كلّ شيء طاهرٌ واقعاً إلاّ ما أخرجه الدليل.
"Segala sesuatu adalah suci dalam realitas kecuali apa yang dikecualikan oleh dalil"
TIDAK SEMUA YANG DIHARAMKAN ITU NAJIS
Allah SWT berfirman :
﴿ وَعَلَى الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍ ۚ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُوْمَهُمَآ اِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُوْرُهُمَآ اَوِ الْحَوَايَآ اَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۗ ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِبَغْيِهِمْ ۚ وَاِنَّا لَصٰدِقُوْنَ ﴾
Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Dan sungguh, Kami Mahabenar. (QS. Al-An'am: 146)
Tafsir al-Jalalain :
(Dan kepada orang-orang Yahudi) yaitu pemeluk agama Yahudi (Kami haramkan segala binatang yang berkuku) maksudnya hewan yang jari-jari kakinya tidak terpisah-pisah seperti unta dan burung unta (dan dari sapi dan domba .
Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang) yaitu lemak perut dan lemak pantat (kecuali lemak yang menempel di punggung keduanya) lemak yang menggantung pada punggungnya (atau) yang menempel (di perut besar) yang ada di lambung, kata jamak dari haawiyaa atau haawiyah (atau yang bercampur dengan tulang) lemak yang menempel di tulang, maka jenis lemak ini dihalalkan untuk mereka.
(Demikianlah) masalah pengharaman ini (Kami hukum mereka) sebagai balasan (atas kedurhakaan mereka) oleh sebab kelaliman mereka sendiri sebagaimana yang telah disebutkan dalam surah An-Nisa (dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar) di dalam berita-berita Kami dan janji-janji Kami. (Selesai)
Binatang-binatang yang diharamkan atas orang-orang Yahudi tersebut dalam ayat tidak di hukumi najis , bagitu pula lemak yang diharamkan untuk dimakan dari binatang yang disebutkan dalam ayat , tidak-lah najis , bahkan boleh memakan lemaknya yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang.
0 Komentar