Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

MENELUSURI DALIL NAJISNYA BABI

Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

===========

بسم الله الرحمن الرحيم

Al-Imam an-Nawawi berkata:

"لَيْسَ لَنَا دَلِيلٌ وَاضِحٌ عَلَى نَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ فِي حَيَاتِهِ "

“Kami [yakni: Madzhab Syafi'i] tidak memiliki dalil yang jelas tentang najisnya babi semasa hidupnya. [al-Majmu' 2/268].

BABI ITU HARAM DI MAKAN DAN BABI ADALAH RiJS [رِجْسٌ]

Allah SWT berfirman:

(قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ)

“Katakanlah (Ya Muhammad): "Tiadalah aku dapatkan dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu adalah Rijs [رِجْسٌ]- atau binatang disembelih atas nama selain Allah". (QS. Al-An'aam: 145)

Telah dimaklumi bersama bahwa babi itu haram untuk dimakan secara Ijma' seluruh umat Islam. Dan semua yang ada pada babi di haramkan walaupun yang disebutkan dalam al-Qur'an hanya dagingnya saja.

Al-Jash-shaas berkata:

وَاللَّحْمُ ‌وَإِنْ ‌كَانَ ‌مَخْصُوصًا ‌بِالذِّكْرِ ‌فَإِنَّ ‌الْمُرَادَ ‌جَمِيعُ ‌أَجْزَائِهِ، وَإِنَّمَا خَصَّ اللَّحْمَ بِالذِّكْرِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ مَنْفَعَتِهِ وَمَا يُبْتَغَى مِنْهُ، كَمَا نَصَّ عَلَى تَحْرِيمِ قَتْلِ الصَّيْدِ عَلَى الْمُحْرِمِ وَالْمُرَادُ حَظْرُ جَمِيعِ أَفْعَالِهِ فِي الصَّيْدِ، وَخَصَّ الْقَتْلَ بِالذِّكْرِ لِأَنَّهُ أَعْظَمُ مَا يُقْصَدُ بِهِ الصَّيْدُ. وَكَقَوْلِهِ تَعَالَى: {إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسَعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ} [الجمعة: 9] فَخَصَّ الْبَيْعَ بِالنَّهْيِ; لِأَنَّهُ كَانَ أَعْظَمَ مَا يَبْتَغُونَ مِنْ مَنَافِعِهِمْ وَالْمَعْنِيُّ جَمِيعُ الْأُمُورِ الشَّاغِلَةِ عَنْ الصَّلَاةِ. وَإِنَّمَا نَصَّ عَلَى الْبَيْعِ تَأْكِيدًا لِلنَّهْيِ عَنْ الِاشْتِغَالِ عَنْ الصَّلَاةِ، كَذَلِكَ خَصَّ لَحْمَ الْخِنْزِيرِ بِالنَّهْيِ تَأْكِيدًا لِحُكْمِ تَحْرِيمِهِ وَحَظْرًا لِسَائِرِ أَجْزَائِهِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِذَلِكَ جَمِيعُ أَجْزَائِهِ وَإِنْ كَانَ النَّصُّ خَاصًّا فِي لَحْمِهِ

(...dan daging, meskipun disebutkan secara khusus, namun yang dimaksud adalah semua bagiannya, dan adapun daging dikhususkan untuk disebutkan: karena daging itu adalah manfaat terbesarnya dan yang diinginkan darinya, sebagaimana nash yang menetapkan larangan berburu bagi orang yang ber-ihram, dan yang dimaksud adalah: melarang semua tindakannya dalam berburu, dan adapun kata membunuh yang dipilih dalam penyebutan ; Karena itu adalah hal terbesar yang dimaksudkan dalam berburu.

Dan seperti halnya firman Allah SWT:

(إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ)

“Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". [QS. Al-Jum'ah: 9]

Mengkhususkan kata jual beli yang dilarang; Karena itu adalah manfaat terbesar yang mereka cari, dan maknanya adalah: segala sesuatu yang menyibukkan dari shalat Jum'at.

Adapun kenapa menetapkan jual beli ? Karena itu adalah sebagai penegasan larangan penyibukkan diri yang membuatnya lalai dari shalat jumat.

Dan begitu pula kenapa daging babi dikhususkan dalam penyebutan keharaman? Karena sebagai bentuk penegasan hukum haram dan larangan semua bagiannya.

Jadi ini menunjukkan bahwa apa yang dimaksud dengan daging adalah semua bagiannya, sekalipun teks itu menyatakan khusus dagingnya. [Ahkaam al-Qur'an 1/151]

KELEDAI JINAK ITU HARAM DIMAKAN DAN KELEDAI JINAK ADALAH RIJS [رِجْسٌ]

Dari Anas bin Malik dia berkata:

“لَمَّا فتَحَ رَسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم خيبَرَ، أصَبْنا حُمُرًا خارِجًا مِنَ القريةِ، فطَبَخْنا منها، فنادى مُنادي رَسولِ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ألا إنَّ اللهَ ورَسولَه يَنهَيانِكم عنها؛ فإنَّها رِجسٌ مِن عَمَلِ الشَّيطانِ ". فَأُكْفِئَتْ الْقُدُورُ بِمَا فِيهَا وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِمَا فِيهَا ".

"Ketika Rasulullah SAW menaklukkan Khaibar, kami menangkap keledai di luar kampung lalu kami memasaknya. Tiba-tiba datang pesuruh Rasulullah SAW berseru:

'Perhatian! Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian semua memasak daging keledai, karena daging keledai itu RIJS [رِجْسٌ], sesungguhnya itu termasuk perbuatan setan.'

Maka salah seorang menumpahkan periuk sehingga isinya tertumpah."

[HR. Bukhori no. 2991 dan Muslim no. 1940, 3593]

Dari Ibnu Abi Aufaa radliallahu 'anhu berkata;

“أصابَتْنا مجاعةٌ لياليَ خَيبَرَ، فلمَّا كان يومُ خَيبَرَ وقَعْنا في الحُمُرِ الأهليَّةِ فانتَحَرْناها، فلمَّا غَلَت بها القُدورُ نادى مُنادي رَسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أنْ أكفِئُوا القُدورَ- ورُبَّما قال- ولا تأكُلوا مِن لُحومِ الحُمُرِ شَيئًا ".

"Kami mengalami kelaparan pada beberapa malam saat perang Khaibar. Dan ketika hari penaklukan Khaibar, kami dapatkan keledai-keledai jinak piaraan penduduk, maka kami menyembelihnya. Ketika periuk-periuk sudah mendidih, penyeru Rasulullah SAW mengumandangkan seruan;

"Tumpahkanlah periuk-periuk itu dan janganlah kalian memakan daging-daging keledai sedikitpun". [HR. Bukhori no. 2922]

Hadits Jabir bin ‘Abdillah, beliau berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ

“Ketika perang Khaibar, Rasulullah SAW melarang makan daging keledai jinak dan membolehkan memakan daging kuda.” (HR. Bukhari no. 4219 dan Muslim no. 1941)

MAKNA KATA RIJS [الرِّجْسُ]

Jamaknya adalah الأَرْجَاسُ. Adapun maknanya adalah sbb:

1- Perbuatan buruk [عَمَلٌ قَبِيْحٌ].

2- Kotoran, kotor [قَذرٌ، وَسِخٌ].

3- sesuatu yang kotor [شَيْءٌ قَذْرٌ].

4- Hukuman [عِقَابٌ].

5- Haram [حَرَامٌ].

6- Laknat [لَعْنَةٌ].

7- Kafir [كُفْرٌ].

8- Siksaan [عَذابٌ].

9- Bisikan setan [وَسْوَسَةُ الشَّيْطَانِ]

10- Gerakan ringan. [حَرَكَةُ الخَفِيْفَةِ]

11- Kemarahan [غَضَبٌ].

[Lihat Mu'jam al-Wasiith dan معجم اللغة العربية المعاصرة]

SEMUA YANG HARAM DAN DI LARANG ADALAH RIJS [رِجْسٌ]

Allah SWT berfirman:

اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan KEJI [رِجْسٌ] dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung. [QS. al-Maidah: 90]

Dan Allah SWT berfirman:

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تُؤْمِنَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِيْنَ لَا يَعْقِلُوْنَ

Dan tidak seorang pun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan ADZAB [لرِّجْسَ] kepada orang yang tidak mengerti. [QS. Yunus: 100]

Dan Allah SWT berfirman:

 فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْاَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوْا قَوْلَ الزُّوْرِ ۙ

Maka jauhilah olehmu (penyembahan) berhala-berhala yang KOTOR [Najis = لرِّجْسَ] itu dan jauhilah perkataan dusta. [QS. al-Hajj: 30]

Dan Allah SWT berfirman:

{ يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْمُشْرِكُوْنَ نَجَسٌ فَلَا يَقْرَبُوا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هٰذَا }

“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya orang-orang musyrik itu NAJIS (kotor jiwa), karena itu janganlah mereka mendekati Masjidilharam setelah tahun ini". [QS. At-Taubah: 28]

BABI ADALAH HARAM, NAMUN APAKAH BABI ITU NAJIS 'AIN?

Pendapat bahwa babi dan anjing itu najis bukanlah hukum yang disepakati bersama, melainkan itu adalah pendapat kebanyakan para ulama.

Dan di antara para ulama ada yang meyakini bahwa keduanya suci, yaitu Imam Malik, dan inilah yang di tarjih oleh Syekh al-Islam Ibnu Taimiyyah.

Sebagian para ulama ada yang membedakan antara anjing dan babi, lalu mereka mengatakan bahwa anjing itu najis tetapi babi tidak najis.

Mereka yang mengatakan bahwa Babi itu najis , berdalil dengan meng-analogi-kan babi kepada anjing . Abu Ishaq asy-Syairazi asy-Syafi'i - rahimahullah - berkata:

وأمَّا الخِنْزِيْرُ فَنَجَسٌ ؛ لِأَنَّهُ أَسْوَأُ حَالًا مِنْ الْكَلْبِ ، لِأَنَّهُ لَا يُقْتَنَى بِحَالٍ ‌وَلِأَنَّهُ ‌مَنْدُوبٌ ‌إلَى ‌قَتْلِهِ ‌مِنْ ‌غَيْرِ ‌ضَرَرٍ ‌فِيهِ ‌وَمَنْصُوصٌ ‌عَلَى ‌تَحْرِيمِهِ

“Adapun babi, maka itu najis karena kondisinya lebih buruk daripada anjing, karena tidak boleh dipelihara dengan kondisi apapun, dan karena itu dianjurkan untuk membunuhnya tanpa menyakitinya., dan diharamkan secara nash. Jika anjing saja najis, maka babi lebih pantas.” [Kutipan Selesai. Lihat al-Majmu' 2/568]

An-Nawawi mengomentari perkataan Asy-Syairazi sebelumnya dengan megatakan:

نَقَلَ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي كِتَابِ الْإِجْمَاعِ إجْمَاعَ الْعُلَمَاءِ عَلَى نَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ ‌وَهُوَ ‌أَوْلَى ‌مَا ‌يُحْتَجُّ ‌بِهِ ‌لَوْ ‌ثَبَتَ ‌الْإِجْمَاعُ ‌وَلَكِنَّ ‌مذهب ‌مالك ‌طهارة ‌الخنزير ‌مادام ‌حَيًّا وَأَمَّا مَا احْتَجَّ بِهِ الْمُصَنِّفُ فَكَذَا احْتَجَّ بِهِ غَيْرُهُ وَلَا دَلَالَةَ فِيهِ وَلَيْسَ لَنَا دَلِيلٌ وَاضِحٌ عَلَى نَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ فِي حَيَاتِهِ

Ibnu al-Mundzir menukil dalam kitab "Al-Ijma'": Ijma' para ulama bahwa babi itu najis, dan itu adalah dalil yang paling utama digunakan jika ijma' tersebut benar adanya, namun pada kenyatannya madzhab Malik berpendapat bahwa babi itu suci selama masih hidup.

Adapun apa yang disebut oleh pengarang al-Muhadzab [yakni: asy-Syeirazi], begitu pula orang lain berdalil dengannya. Dan yang benar itu tidak bisa dijadikan dalil untuk itu, dan kami tidak memiliki dalil yang jelas tentang najisnya babi ketika masih hidup. [al-Majmu' 2/268].

Sebagian para ulama lainnya berpendapat sebaliknya, dan mereka mengatakan: bahwa anjing itu suci, tetapi babi itu najis.Ini adalah pendapat sebagian Hanafi.

Al-Kasani Al-Hanafi berkata:

وَأَمَّا الْكَلْب: فَالْكَلَامُ فِيهِ بِنَاءٍ عَلَى أَنَّهُ نَجِسُ الْعَيْنِ أَمْ لَا، وَقَدِ اخْتَلَفَ مَشَايِخُنَا فِيهِ، فَمَنْ قَالَ إِنَّهُ نَجِسُ الْعَيْنِ فَقَدْ أَلْحَقَهُ بِالْخِنَازِيْرِ فَكَانَ حُكْمُهُ حُكْمَ الْخِنْزِيْرِ، وَمَنْ قَالَ إِنَّهُ لَيْسَ بِنَجِسِ الْعَيْنِ فَقَدْ جَعَلَهُ مِثْلَ سَائِرِ الْحَيَوَانَاتِ سَوَى الْخِنْزِيْرِ، وَهَذَا هُوَ الصَّحِيْحُ."

“Adapun anjing: maka pembahasannya didasarkan pada apakah itu najis 'ain atau bukan ? dan para syekh kami berbeda pendapat tentang itu.

Mereka yang berpendapat bahwa ia najis, maka mereka mensejajarkan dan meng-analogikan-nya dengan anjing

Dan mereka yang mengatakan bahwa itu bukan najis 'ain, maka maka mereka menyamakan-nya dengan semua binatang selain babi, dan ini adalah yang shahih. [Badai' ash-Shana'i 1/63].

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“وذلك لأنَّ الأصل في الأعيان الطهارة ، فلا يجوز تنجيس شيء ولا تحريمه إلا بدليلٍ, كما قال تعالى: (وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُّرِرْتُم إِلَيْهِ) الأنعام/119 ، وقال تعالى: (وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْماً بَعْدَ إِذْ هَدَاهُم حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَا يَتَّقُونَ) التوبة / 115...

"Hal demikian itu, karena hukum asal pada setiap benda adalah suci, maka tidak boleh menyatakan sesuatu najis atau haram kecuali berdasarkan dalil. Sebagaimana firman Allah Ta'ala:

 (وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَعَلَيْكُمْ إِلاَّ مَا اضْطُّرِرْتُم إِلَيْهِ)

Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. (QS. Al-An'am: 11)

Allah juga berfirman:

(وَمَا كَانَ اللهُ لِيُضِلَّ قَوْماً بَعْدَ إِذْ هَدَاهُم حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُم مَا يَتَّقُونَ)

"Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi." (QS. At-Taubah: 115).[Majmu Fatawa, 21/617]

RINGKASNYA: PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG NAJISNYA BABI

Para ulama berbeda pendapat tentang najis 'ain babi, dan secara garis besarnya ada dua pendapat:

PENDAPAT PERTAMA: BABI ADALAH SUCI SEMASA HIDUPNYA.

Ini adalah pendapat mazhab Maliki, dan Asy-Syawkani mentarjihnya.

Profesor Perbandingan Fikih dan Hukum Islam di Universitas Al-Azhar, Ahmad Kariimah, tentang kesucian babi dan anjing, beliau berkata, dalam sebuah wawancara di televisi Mesir:

“إن الكلب طاهر وليس نجسا، وكذلك الخنزير".

"Anjing itu suci dan tidak najis, demikian juga babi".

Lalu Karimah mengutip perkataan Imam Malik:

"إن الخنزير كحيوان أو ككائن حي طاهر رغم أننا لا نأكل لحمه وفقا لنص القرآن الكريم، ومع ذلك الخنزير كالكلب طاهر الذات أو الجسد، وهذا يؤكد أن الله لا يخلق شيئا نجسا".

“Babi sebagai hewan atau sebagai makhluk hidup adalah suci, meskipun dagingnya tidak kita makan sesuai dengan nash Al-Qur'an. Namun demikian, babi itu seperti anjing, suci dzatnya atau badannya. Dan ini menegaskan bahwa Allah tidak menciptakan sesuatu yang najis.”

Madzhab Maliki berpendapat bahwa setiap hewan yang hidup adalah suci, karena ketika kematian adalah penyebab najisnya setiap hewan yang mati, maka hidup nya hewan adalah sebagai sebab sucinya setiap hewan yang hidup, sehingga air liur, keringat, penyaringan dan air mata yang hidup adalah sama-sama suci.

Dan itu karena tidak adanya dalil yang jelas yang menunjukkan bahwa babi itu najis. Dan kaidah menyatakan:

الأصْلُ في الأشْيَاءَ الطَّهَارَة

“Hukum Asal pada segala sesuatu adalah Suci ".

Adapun air kencing dan kotoran hewan yang boleh dimakan, maka mereka madzhab Maliki menghukuminya suci karena adanya dalil yang menyatakan bahwa itu suci.

Maka berdasarkan ini madzhab Maliki berpendapat : suci nya binatang buas seperti singa, macan tutul, serigala, harimau dan monyet. Dan juga suci nya burung liar seperti elang, elang peregrine dan Had'ah [Elang api yang menyebabkan kebakaran hutan menyebar]. Dan juga sucinya keledai jinak dan Baghal. Juga sucinya racun, al-Kohol, MiRas dan lain sebagainya.[Baca: الموسوعة الفقهية الكويتية 3/72]

Dalam kitab al-Mudawwanah:

إنَّ ‌أَهْلَ ‌الْعِلْمِ ‌لَا ‌يَرَوْنَ ‌عَلَى ‌مَنْ ‌أَصَابَهُ ‌شَيْءٌ ‌مِنْ ‌أَبْوَالِ ‌الْبَقَرِ ‌وَالْإِبِلِ ‌وَالْغَنَمِ ‌وَإِنْ ‌أَصَابَ ‌ثَوْبَهُ فَلَا يَغْسِلُهُ، وَيَرَوْنَ عَلَى مَنْ أَصَابَهُ شَيْءٌ مِنْ أَبْوَالِ الدَّوَابِّ: الْخَيْلِ وَالْبِغَالِ وَالْحَمِيرِ أَنْ يَغْسِلَهُ وَاَلَّذِي فَرَّقَ بَيْنَ ذَلِكَ أَنَّ تِلْكَ تُشْرَبُ أَلْبَانُهَا وَتُؤْكَلُ لُحُومُهَا، وَأَنَّ هَذِهِ لَا تُشْرَبُ أَلْبَانُهَا وَلَا تُؤْكَلُ لُحُومُهَا وَقَدْ سَأَلْتُ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ عَنْ هَذَا فَقَالُوا لِي هَذَا

Imam Malik berkata: Para ahli Ilmu tidak berpendapat bahwa orang yang terkena sesuatu dari kencing sapi, onta, dan domba itu harus mencucinya meskipun mengenai pakaiannya. Dan mereka berpendapat bahwa orang yang terkena sesuatu dari urin hewan: kuda, bagal, dan keledai harus mencucinya.

Dan perbedaan antara itu semua adalah bahwa yang itu boleh diminum susunya dan dimakan dagingnya, sementara yang ini tidak boleh diminum susunya dan tidak boleh dimakan dagingnya.

Dan Saya sungguh telah bertanya kepada beberapa ahli ilmu tentang ini, lalu mereka memberi jawaban kepada saya seperti ini. [al-Mudawwanah 1/127]

Dan dalam kitab Syarah Mukhtashar Khalil Lil-Khurashi, Syeikh Khalil mengatakan:

بَوْلُ الْحَيَوَانِ الْمُبَاحِ الْأَكْلِ وَرُوثُهُ طَاهِرَانِ؛ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مِمَّا يُسْتَعْمَلُ النَّجَاسَاتِ بِالْمُشَاهَدَةِ أَكْلًا أَوْ شُرْبًا فَبَوْلُهُ وَرُوثُهُ نَجْسَانِ مَدَّةَ ظَنِّ بَقَاءِ النَّجَاسَةِ فِي جَوْفِهِ."

Urine binatang yang halal dimakan dan kotorannya adalah suci; Kecuali binatang tersebut terbukti mengkonsumsi makanan dan minuman yang najis ; jika demikian maka air kencing dan tahinya adalah najis selama dia mengira najisnya itu masih ada di dalam perutnya. [Baca: Syarah Mukhtashar Khalil Lil-Khurashi 1/86].

Dalam kitab al-Hadaa'iq an-Naadhirah [الحدائق الناضرة] karya Syeikh Yusuf Aali 'Ushfuur al-Bahraani, seorang muhaddits Syiah disebutkan:

رَوَاهُ فِي الصَّحِيحِ عَنِ ابْنِ أَبِي عُمَيْرٍ عَنْ أَبِي زِيَادِ النَّهْدِيِّ عَنْ زُرَارَةَ قَالَ: 'سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللَّهِ (عَلَيْهِ السَّلاَمُ) عَنْ جِلْدِ الْخِنْزِيرِ يُجْعَلُ دَلْوًا يُسْتَقَى بِهِ؟ قَالَ: لَا بَأْسَ.'" [[رواه في الوسائل في الباب 14 من ابواب الماء المطلق]].

Diriwayatkan dalam Ash-Shahih dari Ibn Abi Umair dari Abi Ziyad Al-Nahdi dari Zurara, dia berkata:

“Saya bertanya kepada Abu Abdullah tentang kulit babi yang dijadikan sebagai ember untuk mengambil air untuk penyiraman tanaman ? Dia bilang: " Tidak apa-apa".

[Diriwayatkan dalam al-Wasaail di Bab 14 dari bab tentang air muthlak].

Lalu Syeikh Yusuf berkata:

"وَيُؤَيِّدُ هَذَا الْمَعْنَى مُوَثَّقَةُ الْحُسَيْنِ بِنْ زِيَادٍ عَنِ الصَّادِقِ (عَلَيْهِ السَّلَامُ) قَالَ: 'قُلْتُ لَهُ جِلْدُ الْخِنْزِيرِ يُجْعَلُ دَلْوًا يُسْتَقَى بِهِ مِنَ الْبِئْرِ الَّتِي يَشْرَبُ مِنْهَا أَوْ يَتَوَضَّأُ مِنْهَا؟' قَالَ: 'لَا بَأْسَ.'"

[[ وَقَدْ رَوَاهَا فِي الْوَسَائِلِ فِي الْبَابِ 14 مِنَ الْمَاءِ الْمُطْلَقِ. وَقَدْ أَثْبَتَ الْمُحَقِّقُ الْهَمْدَانِيُّ (قَدَّهُ) فِي مِصْبَاحِ الْفُقِيهِ لِلْحُسَيْنِ بِنِ زُرَارَةَ رِوَايَتَيْنِ إِحْدَاهُمَا فِي شَعْرِ الْخِنْزِيرِ وَالْأُخْرَى فِي جِلْدِهِ، وَيَحْتَمَلُ أَنَّهُ اعْتَمَدَ فِي رِوَايَةِ الْجِلْدِ عَلَى الْحُدَائِقِ مَعَ ابْدَالِ زِيَادٍ بِزُرَارَة."]]

Dan makna ini didukung oleh Al-Hussein bin Ziyad yang didokumentasikan dari Al-Shadiq yang mengatakan: “Saya mengatakan kepadanya bahwa kulit babi yang dijadikan sebagai ember untuk mengambil air untuk penyiraman yang dia ambil dari sumur yang digunakan sebagai sumber air minum atau berwudhu darinya? Dia bilang: " tidak apa-apa".

[[Diriwayatkan dalam al-Wasaail di Bab 14 dari bab tentang air muthlak.

Dan pentahqiq Al-Hammadani (Qaddah) di Misbah Al-Faqih oleh Al-Hussein Bin Zarara membenarkan dua riwayat: salah satunya di rambut babi dan yang lain di kulitnya.

Dan mungkin saja dia bersandar pada riwayat kulit di kebun-kebun dengan penggantian Ziyad dengan Zurara]].

[Baca: kitab al-Hadaa'iq an-Naadhirah [الحدائق الناضرة] karya Syeikh Yusuf Aali 'Ushfuur al-Bahraani, Pasal 8 dan 9, hal. 206 dan 207]

PENDAPAT KEDUA: BABI ADALAH NAJIS 'AIN.

Ini adalah pendapat Mayoritas para ulama dari Madzhab Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali, dan salah satu qoul dalam madzhab Maliki.

REFERENSI:

  • ((المبسوط)) للسرخسي (1/48)، وينظر: ((بدائع الصنائع)) للكاساني (1/63).

  • ((روضة الطالبين)) للنووي (1/31)، ((المجموع)) للنووي (2/568).

  • ((الفروع)) لابن مفلح (1/314)، ((الإنصاف)) للمرداوي (1/310).

  • ((التمهيد)) لابن عبدِ البَرِّ (1/320)، ((الكافي)) لابن عبدِ البَرِّ (1/161).

Ibnu Qudamah berkata:

(وحُكمُ الخِنزير حُكمُ الكَلبِ؛ لأنَّ النصَّ وقَعَ في الكَلبِ، والخِنزيرُ شرٌّ منه وأغلَظُ؛ لأنَّ الله تعالى نصَّ على تحريمه، وأجمَع المسلمون على ذلك، وحرُم اقتناؤه)

"Dan hukum babi adalah hukum anjing, karena nashnya ada pada anjing, namun babi lebih buruk dari anjing dan lebih keras, karena Allah SWT menetapkan bahwa babi itu haram, dan umat Islam ber-ijma' tentang itu., dan diharamkan pula memelihara babi ". [Baca: ((Al-Mughni)) (1/42)].

Mereka yang berpendapat Babi itu Najis mengatakan:

"إِنَّ الْأَصْلَ فِي الْحَيَوَانَاتِ الَّتِي لَا تُؤْكَلُ لِحُرْمَتِهَا أَنَّهَا نَجِسَةٌ حَالَ الْحَيَاةِ وَالْمَوْتِ وَلَكِنَّ اسْتُثْنِيَ مَا يَشُقُّ التَّحْرُزُ مِنْهُ لِعِلَّةِ الطَّوَافِ وَهَذِهِ الْعِلَّةُ مُنْتَفِيَةٌ فِي الْخِنْزِيرِ فَهُوَ نَجِسٌ."

Sesungguhnya hukum asal setiap hewan yang haram dimakan adalah najis baik ketika masih hidup maupun sudah mati. Kecuali hewan yang susah dihindari seperti kucing ; Dengan alasan atau illat karena ia selalu berkeliaran dan mengitari kita serta hidup ditengah-tengah kita. Dan alasan ini tidak ditemukan pada babi, maka oleh sebab itu babi adalah najis.

Maka berdasarkan ini madzhab Hanafi berpendapat: Najisnya keledai jinak [الحُمُر الأَهْلِيَة] ; karena keledai jinak termasuk yang diharamkan. Dan juga najis nya binatang buas seperti singa, macan tutul, serigala, harimau dan monyet. Dan juga najis nya burung liar seperti elang, elang peregrine dan Had'ah [Elang api yang menyebabkan kebakaran hutan menyebar]. [Baca: الموسوعة الفقهية الكويتية 3/72]

Berikut ini dalil yang menunjukkan bahwa binatang buas dan burung pemangsa adalah haram hukumnya:

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

كُلُّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

“Setiap binatang buas yang bertaring, maka memakannya adalah haram.” (HR. Muslim no. 1933)

Dari Abi Tsa’labah, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِى نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap hewan buas yang bertaring.” (HR. Bukhari no. 5530 dan Muslim no. 1932)

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنْ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنْ الطَّيْرِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan setiap binatang buas yang bertaring, dan setiap jenis burung yang mempunyai kuku untuk mencengkeram.” (HR. Muslim no. 1934)

An Nawawi rahimahullah mengatakan: “Yang dimaksud dengan memiliki taring–menurut ulama Syafi’iyah- adalah taring tersebut digunakan untuk berburu (memangsa).”

[Lihat: Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 13/83, Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, cetakan kedua, 1392].

Artinya di sini, syarat diharamkan burung yang bercakar adalah apabila cakarnya digunakan untuk menerkam atau menyerang mangsanya. Oleh karena itu, ayam jago, burung pipit, dan burung merpati tidak termasuk yang diharamkan dan tidak termasuk yang najis.

DALIL PENDAPAT KEDUA: BABI ADALAH NAJIS 'AIN.

DALIL KE 1: Firman Allah SWT:

(قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَماً مَسْفُوحاً أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقاً أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ)

“Katakanlah (Ya Muhammad):"Tiadalah aku dapatkan dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya itu adalah RiJS [رِجْسٌ]- atau binatang disembelih atas nama selain Allah.

Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Rabbmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-An'aam: 145)

Para ulama yang berpendapat bahwa babi itu najis, baik babi itu hidup atau mati. Mereka berdalil dengan ayat diatas, yang didalamnya Allah menggambarkan babi sebagai Rijs [رِجْسٌ], dan Rijs adalah najis.

BANTAHAN KE 1:

LAJNAH FATWA DI AL-AZHAR menyatakan:

“جمهور الفقهاء على نَجاسته حيًّا ومَيِّتًا بدليل هذه الآية، وإن كان في الدليل مناقشة، فقد يراد بالنجاسة النجاسة الحُكميّة وهي حُرمة الأكل، وليس النجاسة العَينيّة، كنجاسة المشركين في قوله تعالى: (إنّما المُشرِكُونَ نَجَسٌ) فالمراد نجاسة الاعتقاد وليس النجاسة العينية، حيث لم يقل أحد بأن المُشرك ينجُس. على مثل ما جاء في قوله: (إنّما الخَمْرُ والمَيْسِر والأنْصابُ والأزْلامُ رِجس مِنْ عَمَل الشَّيْطان) فنَجاسة الأنصابِ والأزْلام حكميّة وهي الحرمة، وليست نجاسة عينية.

ولما كانت الآية لا تدلّ دَلالة قطعيّة على نَجاسة الخِنزير نَجاسة عَيْنيّة استدلّ بعض العلماء على ذلك بالقِياس على نجاسة الكَلْب؛ لأنه أسوأ حالًا منه حيث لا يجوز الانتفاع به، ولكن هذا الدليل غير مسلّم؛ لأن الحشرات لا يُنتفع بها ومع ذلك هي طاهرة.

ومن هنا قال النووي: ليس لنا ـ أي الشافعية ـ دليل على نجاسة الخنزير، بل مقتضى المذهب طهارته كالأسد والذئب والفأر، وقال ابن المنذر: الإجماع على نجاسة الخنزير، لكن دعوى الإجماع فيها نظر؛ لأن مالكًا يُخالف فيه ويقول بطهارته ". انتهى

Jumhur Fuqoha berpendapat bahwa babi adalah najis, baik dalam keadaan masih hidup maupun telah mati, berdasarkan dalil ayat ini.

Namun dalam berdalil dengan ayat ini terdapat perdebatan, karena bisa jadi yang dimaksud dengan najis dalam ayat adalah najis hukmiah, yaitu hanya haram memakannya, bukan najis 'Ain [objeknya].

Sama halnya seperti najisnya kaum musyrikin dalam firman Allah Ta'aala:

إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ

"Sesungguhnya orang-orang musyrik adalah najis". {Al -Taubah: 28}.

Yang dimaksud najis di sini adalah najis al-I'tiqad [keyakinan] dan bukan najis 'ain [objek], karena tidak ada yang mengatakan bahwa orang musyrik itu najis. 

Dan sebagaimana pula firman Allah Ta'aala:

إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ

“Sesungguhnya minuman keras, judi, (berkurban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah Rijs [رِجْسٌ] dari perbuatan setan.” [Al-Maa'idah: 90]

Najisnya (berkurban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah najis hukmiyah, yaitu keharaman, bukan najis 'ain.

Dan ketika ayat tersebut tidak secara qath'i [definitif] menunjukkan najis babi, maka sebagian ulama berdalil untuk ini dengan analogi atau qiyas kepada najisnya anjing, karena babi lebih buruk dari anjing, karena tidak diperbolehkan mengambil manfaat darinya.

Akan tetapi dalil ini tidak bisa diterima ; Karena serangga tidak bisa mendapatkan manfaat darinya, namun serangga tetap hukumnya suci.

Oleh karena itu an-Nawawi berkata: Kami – yakni Madzhab Syafi'I - tidak memiliki dalil tentang najisnya babi, bahkan secara konsep madzhab menunjukkan kesucian babi, sama seperti singa, serigala dan tikus.

Ibnu al-Mundzir menukil Ijma' bahw babi adalah najis, tetapi dakwaan ijma' disini perlu dipertimbangkan ; Karena Malik menyelisihinya dan mengatakan bahwa itu suci.

[lihat: لجنة الفتوى بالأزهر. No. Fatwa: 8545. Judul: نجاسة الخنزير].

BANTAHAN KE 2:

Para ulama yang mengatakan bahwa babi itu suci, mereka memberikan bantahan dengan mengatakan:

"الرِّجْسُ هُوَ الْمَحْرَمُ وَالْمَحْرَمُ لَا تَلَازِمُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّجَسِ؟"

Makna ar-Rijs di sini adalah sesuatu yang diharamkan. Dan sesuatu yang diharamkan tidak selalu harus najis hukumnya.

JAWABAN:

هذا محتمل ولكن لما قال تعالى (فإنه رجس) بعد قوله (قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً) لو قلنا إن معناه المحرم لصار فيه تكرار والأولى أن يكون قوله (رجس) له معنى آخر غير التحريم وهو النجاسة

Itu memang mungkin, namun ketika Allah SWT berfirman:

(فَإِنَّهُ رِجْسٌ)

(karena itu adalah kotoran [kekejian])

setelah firman-Nya

(قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّماً)

"Katakanlah (Ya Muhammad):"Tiadalah aku dapatkan dalam apa yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan "

Jika kita mengatakan bahwa maknanya adalah diharamkan, maka itu akan menjadi pengulangan kata-kata. Maka yang lebih utama: kata ar-Rijs memiliki makna selain diharamkan, yaitu najis.

BANTAHAN TERHADAP JAWABAN:

Ada beberapa hewan yang di haramkan dan dinyatakan sebagai Rijs, namun kebanyakan para ulama mengatakan bahwa hewan tersebut adalah suci.

Contohnya: Keledai dan bighal yang jinak.

Jabir bin ‘Abdillah berkata:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ وَأَذِنَ فِي لُحُومِ الْخَيْلِ

“Ketika perang Khaibar, Rasulullah SAW melarang makan daging keledai jinak dan membolehkan memakan daging kuda.” (HR. Bukhari no. 4219 dan Muslim no. 1941)

Dan dari Anas bin Malik dia berkata:

“لَمَّا فتَحَ رَسولُ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم خيبَرَ، أصَبْنا حُمُرًا خارِجًا مِنَ القريةِ، فطَبَخْنا منها، فنادى مُنادي رَسولِ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: ألا إنَّ اللهَ ورَسولَه يَنهَيانِكم عنها؛ فإنَّها رِجسٌ مِن عَمَلِ الشَّيطانِ ". فَأُكْفِئَتْ الْقُدُورُ بِمَا فِيهَا وَإِنَّهَا لَتَفُورُ بِمَا فِيهَا ".

"Ketika Rasulullah SAW menaklukkan Khaibar, kami menangkap keledai di luar kampung lalu kami memasaknya. Tiba-tiba datang pesuruh Rasulullah SAW berseru:

'Perhatian! Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya melarang kalian semua memasak daging keledai, karena daging keledai itu RiJS [رِجْسٌ], sesungguhnya itu termasuk perbuatan setan.'

Maka salah seorang menumpahkan periuk sehingga isinya tertumpah."

[HR. Bukhori no. 2991 dan Muslim no. 1940, 3593]

Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:

"وَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ الصَّحِيحُ: أَنَّ الْحِمَارَ الْأَهْلِيَّ وَالْبَغَلَ طَاهِرَانِ فَسُؤْرُهُمَا يَكُونُ طَاهِرًا وَعَرَقُهُمَا طَاهِرٌ وَرَيْقُهُمَا طَاهِرٌ وَمَا يَخْرُجُ مِنْ أَنْفَيْهِمَا طَاهِرًا أَيْضًا."

“Dan pendapat ini adalah yang benar dan shahih: bahwa keledai peliharaan dan baghal itu suci, maka bekas makan dan minumnya suci, keringatnya suci, air liurnya suci, dan apa yang keluar dari lubang hidungnya juga suci ". [Syarah Zaad al-Mustqni' – Kitab ath-Thoharah 6 - 19b]

Dan Syeikh Abdurrahman Nashir al-Barraak berkata:

ورجَّح كثيرٌ مِن أهل العلم: أنَّ الحمار الأهلي، وكذلك البغل: طاهران ؛ لأنَّه ينطبقُ عليهما معنى التطواف؛ ولأنَّ النَّبيَّ -صلَّى الله عليه وسلَّم- وأصحابه كانوا يركبونها، ولم يأمرهم بالاستنزاه عن عرقها، أو لا تُركب إلّا بسرج، أو بشيء واقٍ.

فالصَّواب: أنَّهما طاهران، وكذلك سؤرهما وعرقهما، فسواء ركبهما الإنسان على بردعة، أو بدون بردعة، بل عريًا، فهو طاهرٌ 

Dan kebanyakan para ahli ilmu mentarjih: bahwa keledai peliharaan, serta bagal: adalah suci; Karena makna mengitari berlaku bagi keduanya. Dan karena Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam- dan para sahabat biasa mengendarainya, dan beliau tidak memerintahkan mereka untuk membersihkannya dari keringatnya, atau mengendarainya hanya dengan pelana atau sesuatu yang melindungi.

Pendapat yang benar adalah bahwa keduanya adalah suci, begitu pula air liurnya dan keringat nya, maka baik seseorang itu mengendarainya dengan mengenakan pelana, atau tanpa pelana, atau lebih tepatnya telanjang, maka ia adalah suci.

[Baca: سباع البهائم والطير والحمار الأهلي والبغل: كلٌّ ذلك طاهر oleh Syeikh Abdurrahman Nashir al-Barraak. Baca Pula: Al-Mughni 1/68 “Al-Sharh Al-Kabir” 1/154 “Al-Inshaaf” 1/342 “Al-Mukhtarat Al-Jaliyah” 8/214]

Dan contoh lain: adalah binatang buas dan burung pemangsa yang haram di makan.

Hukum bekas air liur binatang buas seperti serigala, harimau dan singa, dan burung pemangsa seperti elang adalah suci. Ini adalah pendapat Madzhab Maliki, Syafi'i, dan sebuah riwayat dari Ahmad. Dan dipilih oleh Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Hazm, dan Ibnu Utsaimiin. Dan ini adalah Fatwa yang dikeluarkan oleh al-Lajnah ad-Daimah Saudi Arabia.

Referensi:

((الشرح الكبير)) للدردير (1/34، 35)، ((مواهب الجليل)) للحطاب (1/107)، وينظر: ((المدونة الكبرى)) لسحنون (1/115). ((المجموع)) للنووي (1/171)، وينظر: ((الأم)) للشافعي (1/18). ((الشرح الكبير)) لشمس الدين ابن قدامة (1/310).

Ibnu al-Mundzir berkata:

(ثابتٌ عن نبيِّ الله صلَّى اللهُ عليه وسلَّم الله أنَّه قال في الهِرَّة: ((ليست بنَجِسٍ؛ إنَّها من الطوَّافينَ عليكم والطوَّافاتِ))؛ فحكمُ أسآرِ الدوابِّ التي لا تؤكَل لحومُها، حُكمُ سُؤرِ الهرِّ، على أنَّ كلَّ ماءٍ على الطَّهارةِ إلَّا ما أجمَعَ أهلُ العِلمِ عليه أنَّه نَجِسٌ، أو يدلُّ عليه كتابٌ أو سنَّة)

(Telah ada ketetapan dari Nabi Allah SAW bahwa dia berkata tentang kucing: "Ia tidak najis; ia adalah hewan yang senantiasa mengitari kalian ". Maka hukum bekas air liur semua hewan peliharaan yang dagingnya tidak halal dimakan hukumnya sama dengan hukum bekas air liur kucing. Dengan ketentuan hukum bahwa semua air adala suci, kecuali yang disepakati secara ijma' oleh para ahli bahwa itu adalah najis, atau berdasarkan dari al-Quran atau sunnah.” (((Al-Isyraaf)) (1/160)

Ibnu Utsaimin berkata:

(الظاهِرُ أنَّ الصحيحَ هو أنها- أي: أسْآر سِباعِ البهائم وجوارح الطير- طاهرةٌ؛ لأنَّنا لو قلنا بأنها نجِسةٌ لأدَّى ذلك إلى مشقَّةٍ على الناس؛ فإنَّه يوجَدُ مِنَ الغُدران في البرِّ ما هو دون القُلَّتينِ، ولا شكَّ أنَّ السِّباعَ والطيور ترِدُ هذا الماءَ، فإذا قلنا بأنَّه نَجِسٌ صار بهذا مشقَّة على الناس، والنبيُّ عليه الصلاة والسلام- فيما يظهر لنا- أنَّه كان يمرُّ بهذه المياهِ، ويتوضَّأُ منها)

(Tampaknya yang benar dan shahih adalah bahwa semua itu -yaitu: bekas air liur binatang buas dan burung pemangsa- adalah SUCI, karena jika kita mengatakan bahwa itu adalah najis, maka ini akan menyebabkan kesulitan dan keberatan bagi orang-orang, karena ada sebagian genangan air yang kurang dari dua qullah, dan tidak ada keraguan bahwa binatang buas dan burung yang melintasi air ini, jadi jika kita mengatakan bahwa itu adalah najis, maka itu akan menjadi beban yang menyulitkan bagi orang-orang, dan Nabi SAW - seperti yang nampak pada kami - bahwa beliau SAW biasa melewati genangan air seperti ini dan berwudhu dengannya.) [[Situs resmi Ibnu Utsaimin - Dari kaset-kaset yang menjelaskan kesucian dari kitab Al-Kafi]].

Al-Lajnah ad-Daa'imah Lil Iftaa Saudi Arabia berkata:

(الراجِحُ طَهارةُ سُؤرِ البَغلِ والحِمارِ الأهليِّ وسِباع البهائم، كالذِّئبِ والنَّمِرِ والأسدِ، وجوارح الطَّير كالصَّقر والحِدَأة)

(Yang paling benar adalah sucinya begas air liur baghal, keledai peliharaan, dan binatang buas, seperti serigala, harimau, singa, dan burung pemangsa, seperti elang dan burung layang-layang). ((Fatwa Al-Lajnah ad-Daa'imah - Grup Satu)) (5/380 No. 8052).

DALIL KE 2:

Dari [Abu Tsa'labah Al Khusyani]:

أَنَّهُ سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّا نُجَاوِرُ أَهْلَ الْكِتَابِ وَهُمْ يَطْبُخُونَ فِي قُدُورِهِمْ الْخِنْزِيرَ وَيَشْرَبُونَ فِي آنِيَتِهِمْ الْخَمْرَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ وَجَدْتُمْ غَيْرَهَا فَكُلُوا فِيهَا وَاشْرَبُوا وَإِنْ لَمْ تَجِدُوا غَيْرَهَا فَارْحَضُوهَا بِالْمَاءِ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا

bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah SAW, ia berkata, "Sesungguhnya kami bertetangga dengan orang ahli kitab sementara mereka merebus babi di dalam kuali mereka dan minum khamr dalam bejana mereka?"

Kemudian Rasulullah SAW bersabda: "Apabila kalian mendapatkan selainnya maka makan dan minumlah padanya, dan apabila kalian tidak mendapatkan selainnya maka cucilah menggunakan air dan makan serta minumlah!"

[HR. Abu Daud no. 3839 dan Ahmad. Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud]

Sementara dalam lafadz Bukhori dan Muslim adalah sbb:

قُلتُ: يا نَبِيَّ اللَّهِ، إنَّا بأَرْضِ قَوْمٍ مِن أهْلِ الكِتَابِ، أفَنَأْكُلُ في آنِيَتِهِمْ؟ وبِأَرْضِ صَيْدٍ، أصِيدُ بقَوْسِي، وبِكَلْبِي الذي ليسَ بمُعَلَّمٍ وبِكَلْبِي المُعَلَّمِ، فَما يَصْلُحُ لِي؟ قالَ: أمَّا ما ذَكَرْتَ مِن أهْلِ الكِتَابِ، فإنْ وجَدْتُمْ غَيْرَهَا فلا تَأْكُلُوا فِيهَا، وإنْ لَمْ تَجِدُوا فَاغْسِلُوهَا وكُلُوا فِيهَا، وما صِدْتَ بقَوْسِكَ فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ، وما صِدْتَ بكَلْبِكَ المُعَلَّمِ، فَذَكَرْتَ اسْمَ اللَّهِ فَكُلْ، وما صِدْتَ بكَلْبِكَ غيرِ مُعَلَّمٍ فأدْرَكْتَ ذَكَاتَهُ فَكُلْ.

"Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, kami tinggal di daerah ahli kitab, apakah kami boleh makan dengan bejana mereka? kami juga tinggal di daerah yang suka berburu; kami berburu dengan tombak dan dengan anjing yang terlatih atau anjing yang belum terlatih. Maka apa yang harus kami lakukan?"

Beliau menjawab: "Berkenaan dengan ahli kitab sebagaimana yang kamu sebutkan, jika kamu bisa mendapatkan bejana yang lain maka jangan kamu gunakan bejana mereka. Namun jika kamu tidak mendapatkan yang lainnya, maka cuci dan makanlah dengannya.

Buruan yang kamu dapat dengan tombakmu, setelah menyebut nama Allah, maka makanlah.

Buruan yang didapat oleh anjingmu yang terlatih, setelah menyebut nama Allah saat melepasnya maka makanlah.

Dan buruan yang didapat oleh anjingmu yang tidak terlatih, jika kamu sempat menyembelihnya maka makanlah."

[HR. Bukhori no. 5478 dan Muslim no. 1930]

Sebagian dari mereka berdalil dengan hadits ini akan najisnya daging babi.

BANTAHAN:

Para ulama yang berpendapat bahwa babi itu suci membantahnya dengan mengatakan:

"إِنَّ التَّحْرِيمَ لَيْسَ لِنَجَاسَةِ الْخَمْرِ وَالْخِنْزِيرِ وَلَكِنَّ لِخَشْيَةِ بَقَاءِ شَيْءٍ مِنْ آثَارِهُمَا فَيَتَنَاوَلُهُمَا الْمُسْلِمُ وَيُؤَيِّدهُ أَنَّ النَّبِيّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَكَلَ مِنْ طَعَامِهِمَا."

Larangan dalam hadits ini bukan karena najisnya minuman keras dan babi, melainkan karena takut masih ada yang tersisa dari khamr dan babi di dalamnya, yang mengkhawatirkan seorang Muslim memakannya. Dan itu bisa diperkuat bahwa Nabi SAW juga makan makanan dari mereka.

DALIL KE 3:

Dari Buraidah Al-Aslami radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda:

مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ خِنْزِيرٍ وَدَمِهِ

Orang yang bermain dadu (berjudi) seolah telah memasukkan tangannya ke dalam babi dan darahnya. (HR. Muslim no. 2260)

Imam Al-Nawawi berkata dalam Syarah Shahih Muslim 15/417:

“وَمَعْنَى (صَبَغَ يَده فِي لَحْم الْخِنْزِير وَدَمه فِي حَال أَكْله مِنْهُمَا) وَهُوَ تَشْبِيه لِتَحْرِيمِهِ بِتَحْرِيمِ أَكْلهمَا. وَاللَّهُ أَعْلَم. اهـ".

Yang dimaksud (mencelupkan tangannya ke dalam daging dan darah babi ketika dia memakannya), itu adalah analogi larangannya dengan larangan memakannya. Wallaahu a'lam ".

BANTAHAN:

Imam an-Nawawi sendiri mengatakan dalam al-Majmu' 2/268:

"وَلَيْسَ لَنَا دَلِيلٌ وَاضِحٌ عَلَى نَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ فِي حَيَاتِهِ "

“Dan kami tidak memiliki dalil yang jelas tentang najisnya babi ketika masih dalam keadaan hidup".

DALIL KE 4:

Dari [Humaidah binti 'Ubaid bin Rifa'ah] dari [Kabsyah binti Ka'ab bin Malik] -dan waktu itu ia masih menjadi isteri Ibnu Abu Qatadah-:

أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ دَخَلَ عَلَيْهَا فَسَكَبَتْ لَهُ وَضُوءًا فَجَاءَتْ هِرَّةٌ تَشْرَبُ مِنْهُ فَأَصْغَى لَهَا أَبُو قَتَادَةَ الْإِنَاءَ حَتَّى شَرِبَتْ قَالَتْ كَبْشَةُ فَرَآنِي أَنْظُرُ فَقَالَ أَتَعْجَبِينَ يَا بِنْتَ أَخِي قُلْتُ نَعَمْ قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ

 [Abu Qatadah] pernah masuk menemuinya, lalu ia (Kabsyah binti Ka'ab) menuangkan air untuk wudhu, lalu datanglah seekor kucing meminumnya (air wudhu), maka Abu Qatadah memiringkan bejana tersebut agar kucing itu bisa minum (dengan leluasa),

Kabsyah berkata: 'Abu Qatadah melihatku yang tengah memperhatikan dengan penuh keheranan', lalu ia bertanya: 'Apakah kamu heran wahai anak saudaraku? ',

Aku menjawab: 'Ya, benar',

Dia berkata lagi: ' Rasulullah SAW pernah bersabda: ' (kucing) tidaklah najis, hanya ia hewan yang seringkali berkeliaran dan mengelilingi (berada di dekat) kalian' ".

[HR. Abu Daud (75), Al-Tirmidzi (92), Al-Nasa'i (340), Ibnu Majah (367), dan Ahmad (22580), dan kata-katanya adalah miliknya.

Di Shahihkan oleh Syu'aib al-Arna'uth dalam Takhrij al-Musnad dan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 75]

FIQIH HADITS:

Hadits ini menunjukkan bahwa hewan yang senantiasa mengitari kita dan berat bagi kita untuk menghindari ; maka hukumnya adalah suci meski hewan tersebut haram dimakan, misalnya kucing. Berbeda dengan babi, tidak mengitari kita, maka ia najis.

BANTAHAN:

Justru sebaliknya, hadits ini menunjukkan bahwa hewan yang dagingnya haram di makan itu tidak najis, sebagaimana halnya kucing. Begitu juga keledai jinak, singa dan burung elang.

DALIL KE 5:

Ibnu al-Mundhir menukil Ijma' para ulama [konsensus] bahwa babi adalah Najis.

BANTAHAN:

Akan tetapi tentang adanya Ijma ini tidaklah terbukti keabsahannya dan tidak valid, karena adanya perbedaan pendapat tentang hal tersebut.

An-Nawawi berkata:

نَقَلَ ابْنُ الْمُنْذِرِ فِي كِتَابِ الْإِجْمَاعِ إجْمَاعَ الْعُلَمَاءِ عَلَى نَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ ‌وَهُوَ ‌أَوْلَى ‌مَا ‌يُحْتَجُّ ‌بِهِ ‌لَوْ ‌ثَبَتَ ‌الْإِجْمَاعُ ‌وَلَكِنَّ ‌مذهب ‌مالك ‌طهارة ‌الخنزير ‌مادام ‌حَيًّا... وَلَيْسَ لَنَا دَلِيلٌ وَاضِحٌ عَلَى نَجَاسَةِ الْخِنْزِيرِ فِي حَيَاتِهِ

Ibnu al-Mundzir menukil dalam kitab "Al-Ijma": Ijma' para ulama bahwa babi itu najis, dan ini adalah dalil yang paling utama digunakan jika ijma' tersebut benar adanya, namun pada kenyatannya madzhab Malik berpendapat bahwa babi itu suci selama ia masih hidup …. dan kami tidak memiliki dalil yang jelas tentang najisnya babi ketika masih hidup. [al-Majmu' 2/268].

DALIL KE 6:

Qiyas kepada Anjing. Yakni dengan analogi atau Qiyas kepada hukum najisnya anjing, karena kondisi babi lebih buruk darinya, karena anjing boleh dipelihara untuk kebutuhan, tidak seperti babi, bahkan babi dianjurkan untuk dibunuh.

Banyak para ulama yang berpendapat bahwa babi itu najis, baik babi itu hidup atau mati. Karena Allah menggambarkannya sebagai Rijs [رِجْسٌ], dan Rijs adalah najis, berdasarkan ayat [أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ]. Akan tetapi itu hanya sebatas penafsiran bukan dalil qoth'i bahwa babi itu najis 'ain. Oleh karena itu sebagian para ulama berdalil dengan meng-qiyaskan atau meng-analogikan babi dengan najis 'ainnya anjing. Karena babi lebih buruk darinya, karena tidak boleh mengambil manfaat darinya.

BANTAHAN:

Salah satu syarat sahnya dalam qiyas adalah: Hukum Asal yang di jadikan Qiyas Hukum harus disepakati. Sementara hukum najisnya anjing itu diperselisihkan oleh para ulama. Maka qiyas najisnya babi kepada najisnya anjing di sini tidak berlaku dan tidak sesuai.

Berikut ini sekilas tentang hukum asal [الأَصْلُ]:

Ashal (asal) yaitu sesuatu yang di- nash -kan hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan/meng- qiyas -kan.

Di dalam istilah ushul disebut ashal (الأَصْلُ) atau maqis 'alaih (المَقِيْسُ عَلَيْه) atau musyabbah bi h (المُشَبَّهُ بِهِ)

Ashal sebagai rukun qiyas menurut sebagian ahli ushul adalah nash-nash, baik dari Al-Quran maupun al-sunnah bahkan al-ijma'; karena berbicara qiyas adalah berbicara tentang sumber pokok hukum. Maka syarat ashal dalam qiyas adalah harus berasal dari nash al-Qur'an, al-Sunnah dan al-Ijma'.

DALIL KE 7:

Mereka yang berpendapat Babi itu Najis mengatakan:

"إِنَّ الْأَصْلَ فِي الْحَيَوَانَاتِ الَّتِي لَا تُؤْكَلُ لِحُرْمَتِهَا أَنَّهَا نَجِسَةٌ حَالَ الْحَيَاةِ وَالْمَوْتِ وَلَكِنَّ اسْتُثْنِيَ مَا يَشُقُّ التَّحْرُزُ مِنْهُ لِعِلَّةِ الطَّوَافِ وَهَذِهِ الْعِلَّةُ مُنْتَفِيَةٌ فِي الْخِنْزِيرِ فَهُوَ نَجِسٌ."

Sesungguhnya hukum asal setiap hewan yang haram dimakan adalah najis baik ketika masih hidup maupun sudah mati. Kecuali hewan yang susah dihindari seperti kucing; Dengan alasan atau illat karena ia selalu berkeliaran dan mengitari kita serta hidup ditengah-tengah kita. Dan alasan ini tidak ditemukan pada babi, maka oleh sebab itu babi adalah najis.

Dan Syeikh Bayan berkata:

"هَذَا أَقْوَى دَلِيلٍ فِي نَظَرِي عَلَى الْحُكْمِ بِنَجَاسَةِ كُلِّ حَيْوَانٍ مُحَرَّم الْأَكْلِ." آمين.

“Ini adalah dalil yang paling kuat, menurut pandangan saya, untuk menetapkan bahwa setiap hewan yang diharamkan untuk dimakan adalah najis.”

BANTAHAN:

Kebanyakan para ulama mengatakan:

Bahwa binatang buas seperti serigala, harimau dan singa, dan burung pemangsa seperti elang yang diharamkan dagingnya adalah suci. Ini adalah pendapat Madzhab Maliki, Syafi'i, dan sebuah riwayat dari Ahmad. Dan dipilih oleh Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Hazm, dan Ibnu Utsaimiin. Dan ini adalah Fatwa yang dikeluarkan oleh al-Lajnah ad-Daimah Saudi Arabia.

TIDAK SEMUA MAKANAN YANG DIHARAMKAN ITU NAJIS

Unta dan burung unta haram dimakan bagi pemeluk agama Yahudi , namun tidak najis . Begitu pula Lemak sapi dan kambing haram dimakan bagi mereka , namun tidak najis, bahkan halal dimakan bagi mereka jika lemak itu melekat di tulang , dipunggung atau di dalam perut .   

Allah SWT berfirman :

﴿ وَعَلَى الَّذِيْنَ هَادُوْا حَرَّمْنَا كُلَّ ذِيْ ظُفُرٍ ۚ وَمِنَ الْبَقَرِ وَالْغَنَمِ حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ شُحُوْمَهُمَآ اِلَّا مَا حَمَلَتْ ظُهُوْرُهُمَآ اَوِ الْحَوَايَآ اَوْ مَا اخْتَلَطَ بِعَظْمٍ ۗ ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِبَغْيِهِمْ ۚ وَاِنَّا لَصٰدِقُوْنَ ﴾ 

Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan semua (hewan) yang berkuku, dan Kami haramkan kepada mereka lemak sapi dan domba, kecuali lemak yang melekat di punggungnya, atau lemak yang dalam isi perutnya, atau lemak yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami menghukum mereka karena kedurhakaannya. Dan sungguh, Kami Mahabenar. (QS. Al-An'am: 146)

Dalam Tafsir al-Jalalain dijelaskan : 

(Dan kepada orang-orang Yahudi) yaitu pemeluk agama Yahudi (Kami haramkan segala binatang yang berkuku) maksudnya hewan yang jari-jari kakinya tidak terpisah-pisah seperti unta dan burung unta.

(dan dari sapi dan domba, kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang tersebut) yaitu lemak perut dan lemak pantat .

(Kecuali lemak yang menempel di punggung keduanya) lemak yang menggantung pada punggungnya (atau) yang menempel (di perut besar) yang ada di lambung, kata jamak dari haawiyaa atau haawiyah.

(Atau lemak yang bercampur dengan tulang) lemak yang menempel di tulang, maka jenis lemak ini dihalalkan untuk mereka.

(Demikianlah) masalah pengharaman ini (Kami hukum mereka) sebagai balasan (atas kedurhakaan mereka) oleh sebab kelaliman mereka sendiri sebagaimana yang telah disebutkan dalam surah An-Nisa (dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar) di dalam berita-berita Kami dan janji-janji Kami. (Selesai)

Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata :

" Ibnu Jarir mengatakan bahwa Allah Swt. berfirman, "Kami telah mengharamkan kepada semua orang Yahudi semua hewan yang berkuku, yaitu hewan ternak dan burung selagi kukunya tidak terbelah, seperti unta, burung unta, angsa, dan bebek."

Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang berkuku. (Al-An'am: 146) Yakni unta dan burung unta. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan As-Saddi dalam suatu riwayatnya.

Sa'id ibnu Jubair mengatakan, yang dimaksud ialah segala jenis hewan yang kukunya tidak terbelah. Menurut suatu riwayat darinya, yang dimaksud ialah segala hewan yang terbelah kukunya, antara lain ayam kalkun

HARAM DIMAKAN TAPI TDAK NAJIS :Binatang-binatang yang diharamkan atas orang-orang Yahudi tersebut dalam ayat diatas tidak di hukumi najis . Begitu pula lemak yang diharamkan untuk dimakan dari binatang yang disebutkan dalam ayat , tidak-lah najis , bahkan boleh memakan lemaknya yang melekat di punggungnya, atau yang dalam isi perutnya, atau yang bercampur dengan tulang.

Referensi:

((الشرح الكبير)) للدردير (1/34، 35)، ((مواهب الجليل)) للحطاب (1/107)، وينظر: ((المدونة الكبرى)) لسحنون (1/115). ((المجموع)) للنووي (1/171)، وينظر: ((الأم)) للشافعي (1/18). ((الشرح الكبير)) لشمس الدين ابن قدامة (1/310).

 



Posting Komentar

0 Komentar