Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PENGARUH "AL-ISTIHALAH (PERUBAHAN SENYAWA)" DALAM MENSUCIKAN NAJIS

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

============

DAFTAR ISI:

  • PENDAHULUAN
  • MAKNA الاسْتِحَالَةُ [PERUBAHAN SENYAWA]:
  • PENJELASAN PERUBAHAN SENYAWA DALAM ILMU KIMIA:
  • KEMIRIPAN AL-ISTIHAALAH [PERUBAHAN SENYAWA] DENGAN ISTILAH BERIKUT INI:
  • PERTAMA: TRANSFORMASI:
  • KEDUA: METAMORFOSIS:
  • FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN SENYAWA DAN GAMBARANNYA:
  • FAKTOR-FAKTOR TERPENTING PENYEBAB AL-ISTIHAALAH/PERUBAHAN SENYAWA:
  • HUKUM GLOBAL TENTANG MEMENFAATKAN BARANG NAJIS YANG TELAH BERUBAH SIFATNYA MENJADI SENYAWA LAIN
  • RINCIAN HUKUM TENTANG BARANG NAJIS JIKA TELAH BERUBAH MENJADI SENYAWA LAIN [TELAH AL-ISTIHALAH]
  • PERTAMA: AL-ISTIHAALH DENGAN CARA التّخَلُّلُ وَالتَّخْلِيْلُ [MIRAS MENJADI CUKA ATAU DI JADIKAN CUKA]
  • KE 1: FAKTOR التّخَلُّلُ/BERUBAH JADI CUKA SECARA ALAMI:
  • KE 2: FAKTOR التَّخْلِيْلُ/BERUBAH MENJADI CUKA YANG NON ALAMI:
  • Salah satu KISAH pada masa Nabi SAW sebelum diharamkannya MINUMAN KERAS.
  • FATWA KONTEMPORER TENTANG AL-KOHOL, SUCI ATAU NAJIS ???:
  • KEDUA: AL-ISTIHAALAH DENGAN API [النَّارُ].
  • KETIGA: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA [الاسْتِهْلاَكُ/PELENYAPAN]
  • KEEMPAT: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA [المُكَاثَرَةُ/DIDOMINASI OBJEK SUCI]
  • KELIMA: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA [الاِخْتِلاَطُ] PEMBAURAN.
  • KEENAM: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA [الدَّبْغُ/PENYAMAKAN KULIT]
  • KETUJUH: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA [العَمَلُ الكِيْمَاوِيّ/PROSES KIMIA]
  • RINGKASAN DAN KESIMPULAN:
  • FATWA SIMPOSIUM ORGANISASI ISLAM UNTUK ILMU-ILMU KEDOKTERAN
  • FATWA Majalah Akademi Fiqh Islam Internasional

===========

بسم الله الرحمن الرحيم

PENDAHULUAN

Salah satu perkembangan baru dalam kehidupan modern kita saat ini adalah bahwa sebagian yang didatangkan dari non-muslim seperti makanan, minuman, pakaian, dan lain-lain yang digunakan dan dimanfaatkan manusia ada sebagian yang berasal dari bahan-bahan yang najis.

Dan yang sudah dimaklumi bersama bahwa yang najis itu tidak dihalalkan bagi seorang Muslim, karena Allah SWT berfirman:

وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ

"Dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka". [QS. al-A'raf: 157]

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيْرِ وَمَآ اُهِلَّ لِغَيْرِ اللّٰهِ بِهٖ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوْذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيْحَةُ وَمَآ اَكَلَ السَّبُعُ اِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْۗ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَاَنْ تَسْتَقْسِمُوْا بِالْاَزْلَامِۗ ذٰلِكُمْ فِسْقٌۗ

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih. Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan pula) mengundi nasib dengan azlam (anak panah), (karena) itu suatu perbuatan fasik [QS. Al-Maidah: 3].

Di antara alasan pelarangan hal-hal ini adalah kenajisannya, baik dalam secara fakta maupun secara hukum.

Namun, senyawa zat najis ini dapat berubah - baik dengan sendirinya atau dengan tindakan eksternal - menjadi senyawa lain yang berbeda dari aslinya, seperti perubahan khamr menjadi cuka, atau bangkai menjadi abu, debu, atau garam...,

Dalam hal ini, apakah hukum zat-zat ini setelah terjadi al-istihaalah [perubahan senyawa menjadi objek-objek baru], hukumnya masih tetap pada hukum yang awal dalam hal kenajisannya dan keharamannya ?

Atau apakah zat-zat itu berubah mengikuti hukum objek baru dan menghukumi nya suci dan halal ?

Inilah yang akan kami bahas dalam tulisan ini, insya Allah.

MAKNA PERUBAHAN SENYAWA [الاسْتِحَالَةُ]:

Makna [الاسْتِحَالَةُ] dalam bahasa adalah : 

الْانْقِلَاب وَالتَّغَيُّر مِنْ حَالٍ إِلَى حَالٍ. أَوْ هِيَ تَغَيُّرُ الشَّيْء عَنْ طَبْعِهِ وَوَصْفِهِ

Inversi dan perubahan dari satu keadaan ke keadaan lain. Atau ia adalah perubahan sesuatu dari karakternya dan deskripsinya. [Al-Misbah Al-Munir: oleh Al-Fayoumi: 1/73.]

Adapun [الاسْتِحَالَةُ] dalam terminologi para ahli Fiqih, maka dalam مجلة مجمع الفقه الإسلامي الدولي di katakan:

الاسْتَحَالةُ في الاصْطِلاَحِ الفِقْهِي: تَغَيُّر حَقِيقَة المَادَّة النَّجِسَة أو المُحَّرَّم تَنَاوُلُهَا، وَانْقِلَاب عَيْنِهَا إِلَى مَادَّة أُخْرَى مُخْتَلِفَة عَنْهَا فِي الاسْمِ وَالْخَصَائِص وَالصِّفَات، وَيُعَبَّر عَنْهَا فِي الاصْطِلَاح العِلْمِي الشَّائِع بِشَأْنِهَا: "كُلُّ تَفَاعُل كِيمَائِي يُحَوِّل الْمَادَّة إِلَى مُرَكَّب آخَر".

Makna al-Istihaalah dalam terminologi fikih adalah: perubahan hakikat suatu zat najis atau yang haram untuk dikonsumsi, dan perubahan zatnya menjadi zat lain yang berbeda darinya dalam nama, kekhususan dan sifat-sifat.

Dan ini dinyatakan dalam terminologi ilmiah yang beredar viral tentang AL-ISTIHAALAH adalah:

"كُلُّ تَفَاعُلٍ كِيْمَائِيٍّ يُحَوِّلُ المَادَةَ إِلَى مُرَكَّبٍ آخَرَ"

"SETIAP REAKSI KIMIA YANG MENGUBAH SUATU ZAT MENJADI SENYAWA LAIN"

Contohnya: seperti transformasi minyak dan lemak dari berbagai sumber menjadi sabun. Dan penguraian zat menjadi berbagai komponennya seperti pelarutan minyak dan lemak menjadi asam lemak dan gliserin.

[Sumber: مجلس مجمع الفقه الإسلامي الدولي (Akademi Fiqh Islam Internasional) yang berasal dari Organisasi Kerjasama Islam, bersidang dalam sidangnya yang ke 22 di Kuwait, pada periode: 2-5 Jumada II 1436 H, bertepatan dengan: 22-25 Maret 2015 M]

Dan makna terminologi lainnya yang menarik perhatian kita adalah:

"انقلابُ العَينِ النَجِسَةِ إلى عَينِ أُخْرَى جَدِيدَةٍ مُبَايِنَةٍ لَهَا، كَانقِلَابِ الخَمْرِ خَلًّا، وَتَحَوُّلِ دَمِ الغَزَالِ مِسْكًا، وَالعَلَقَةِ وَالنَّطْفَةِ مُضْغَةٌ، وَالزَيْتِ المُتَنَجِّسِ صَابُونًا".

Perubahan [transformasi] objek najis menjadi objek baru lain yang berbeda darinya, seperti transformasi khamr [miras] menjadi cuka, transformasi darah rusa menjadi minyak wangi kesturi, gumpalan darah dan air mani menjadi janin, dan minyak najis menjadi sabun.

[Baca: أثر الاستحالة في تطهير المواد المنجسة وحليتها Oleh Muhammaf ar-Rauky, Al-Qomus Al-Muhiith: 2/374 dan Mukhtar Ash-Shihah: 181]

Berdasarkan terminologi diatas maka konsekwensinya adalah sbb:

Pertama:

المركبات الإضافية ذات المنشأ الحيواني المحرم أو النجس التي تتحقق فيها الاستحالة ؛ تعتبر طاهرة حلال التناول في الغذاء والدواء.

Senyawa yang ditambahkan yang berasal dari hewan yang diharamkan atau najis di mana proses al-Istihalah [transformasi] telah terpenuhi ; maka dianggap suci dan dihalalkan untuk dikonsumsi dalam makanan dan obat-obatan.

Kedua:

المركبات الكيميائية المستخرجة من أصول نجسة أو محرمة كالدم المسفوح أو مياه المجاري والتي لم تتحقق فيها الاستحالة ؛ لا يجوز استخدامها في الغذاء والدواء.

Senyawa kimia yang diambil dari sumber najis atau haram seperti darah yang tertumpah atau air limbah najis, di mana proses al-istihaalah [transformasi] belum tercapai ; maka tidak diperbolehkan untuk menggunakannya dalam makanan dan obat-obatan.

Misalnya: makanan yang ditambahkan cairan darah, seperti sosis yang diisi dengan darah, bubur yang mengandung darah (puding hitam) dan hamburger yang mengandung darah, makanan bayi yang mengandung darah, pasta darah, sup dengan darah dan sejenisnya, dianggap makanan najis dan dilarang. untuk dimakan, karena mengandung cairan darah yang tidak terbukti terjadinya al-istihaalah [perubahan senyawa].

Adapun plasma darah, yang dianggap sebagai pengganti putih telur yang murah - dan dapat digunakan dalam pancake, sup, bubur (puding), roti, produk susu, obat-obatan dan makanan anak-anak, yang dapat ditambahkan ke tepung, maka Islamic Organization for Medical Sciences dalam simposium Tentang: "ZAT HARAM DAN NAJIS DALAM MAKANAN DAN OBAT-OBATAN " menganggap bahwa itu adalah zat yang berbeda dari darah dalam nama, sifat dan sifat, sehingga tidak memiliki aturan darah. Meskipun ada sebagian dari mereka yang hadir berpendapat sebaliknya..."

Sumber:

1]- Rekomendasi [توصيات] Simposium Fikih Kedokteran Ke. 9/مجلة المجمع الفقهي, Edisi 10, Bagian 2/ 461-463.

2] “Fiqh an-Nawaziil” oleh Dr. Muhammad al-Jizani (4/263)].

3] Fatwa Syekh Hussamuddin 'Afaanah dalam " ما الفرق بين الكحول والخمرة".

=====

PENJELASAN PERUBAHAN SENYAWA DALAM ILMU KIMIA:

Terjadinya Perubahan di sini mungkin bisa dinamakan pula dengan "perubahan Kimia". Yaitu perubahan pada suatu zat yang mengubah sifat-sifat kimianya sehingga menghasilkan zat baru.

Mengapa zat baru? Karena zat baru memiliki struktur molekul yang berbeda dengan sebelumnya. Ada penyusunan ulang atom dari suatu zat dan muncul perubahan sifat kimia dan komposisinya.

Jadi Perubahan kimia merupakan fenomena perubahan zat tertentu yang terjadi karena reaksi kimia sehingga menghasilkan suatu zat baru.

Contohnya: Ketika anda membakar kertas dan kertas itu berubah menjadi abu, sejatinya anda telah menyaksikan perubahan kimia itu di depan mata anda.

SENYAWA: adalah Zat yang terdiri dari dua unsur atau lebih yang terbentuk melalui reaksi kimia. Oleh karena itu, senyawa juga dapat diartikan sebagai suatu zat tunggal yang dapat diuraikan menjadi zat-zat lain yang lebih sederhana melalui reaksi kimia. Dengan demikian senyawa dapat diuraikan menjadi unsur-unsur pembentuknya.

Arti ZAT TUNGGAL itu sendiri adalah zat yang terdiri dari sejenis zat zat tunggal atau zat yang terdiri dari unsur dan senyawa

Adapun arti UNSUR: adalah zat tunggal atau zat murni yang tidak dapat diuraikan lagi menjadi zat yang lebih sederhana melalui reaksi kimia. Karena unsur adalah bahan dasar yang menyusun segala macam materi. [Encyclopedia Britannica]

---------

KEMIRIPAN AL-ISTIHAALAH [PERUBAHAN SENYAWA] DENGAN ISTILAH BERIKUT INI:

PERTAMA: TRANSFORMASI:

Ada sedikit kemiripan antara al-Istihaalah dengan istilah TRANSFORMASI, yang artinya: perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya) atau perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya.

Namun transformasi sering digunakan seseorang dalam menilai penampilan orang lain karena lama tidak bertemu dengan waktu yang agak lama sehingga ada perubahan dalam bentuk fisik seseorang.

Bukan hanya perubahan bentuk fisik atau sifat tetapi transformasi bisa dikaitkan dengan mengubah struktur dasar menjadi struktur lahir dengan menerapkan kaidah transformasi. Dan juga bisa diartikan perubahan tempat yang beralih fungsi, misal: rumah kosong transformasi menjadi cafe.

Sinonim Transformasi adalah: Transfigurasi, Mutasi, Peralihan, Variasi, Transposisi, Alternasi, Renovasi, Permutasi, Konversi Dan Transisi.

KEDUA: METAMORFOSIS:

Metomorfosis adalah perubahan bentuk secara bertingkat yang dialami beberapa hewan dalam pertumbuhan dan perkembangannya.

Contoh hewan yang mengalami Metomorfosis adalah nyamuk, lalat, kupu-kupu dan katak.

Tahapannya dimulai dari fase telur, larva, pupa (kepompong) dan imago (dewasa).

======

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERUBAHAN SENYAWA DAN GAMBARANNYA:

Al-Istihaalah pada asalnya adalah:

“انقلاب الشيء بذاته وبفعل طبعي إلى شيء آخر، دون أن يكون ذلك بفعل فاعل ".

"Perubahan sesuatu [transformasi] dengan sendirinya dan dengan proses alami menjadi sesuatu yang lain, tanpa adanya campur tangan seseorang ".

Akan tetapi para ahli Fiqih juga menggunakan istilah ini untuk perubahan sesuatu [transformasi] dengan adanya peran aktif seseorang agar menjadi sesuatu yang lain.

Dan jika mereka berbeda pendapat dalam beberapa bentuk, apakah sama antara transformasi diri secara alami dan transformasi melalui adanya tindakan aktif atau tidak?

Apa pun itu, ada banyak bentuk Al-Istihaalah [perubahan], beberapa di antaranya karena sebab-sebab alami yang tidak ada hubungannya dengan tindakan dan produk manusia, dan beberapa di antaranya karena adanya peran aktif dan hasil produk manusia.

=======

FAKTOR-FAKTOR TERPENTING PENYEBAB AL-ISTIHAALAH:

Pertama: Faktor التّخَلُّلُ وَالتَّخْلِيْلُ 
[berubah dengan sendirinya menjadi cuka dan merubahnya dengan peran aktif menjadi cuka]

Seperti transformasi khamr menjadi cuka, baik secara spontan merusak sifat asli sebelumnya, atau dengan memasukkan zat lain ke dalamnya, seperti mencampurkannya dengan cuka juga, ragi, atau lainnya, atau dengan memindahkannya dari tempat teduh ke tempat terbuka agar terkana matahari atau sebaliknya, atau dengan cara lain.

Kedua: Faktor Api [النَّارُ].

Contohnya seperti terbakarnya objek yang najis hingga berubah menjadi abu, dan seperti mengubah tanah liat yang najis menjadi tembikar, dan kismis [anggur kering] yang najis berubah menjadi sirup dengan cara memasaknya dan merebusnya.

Ketiga: [الاسْتِهْلاَكُ والمُكَاثَرَةُ] 
Lenyap atau terminimalisir karena Terdominasi oleh banyaknya unsur lain:

Contohnya seperti zat najis jatuh ke dalam zat suci, kemudian musnah dan lenyap di dalamnya dengan segala bagian dan unsurnya, dan berubah menjadi zat murni, seperti bangkai hewan atau babi jatuh ke ladang garam lalu berubah menjadi garam.

Demikian pula, sedikit kenajisan jatuh ke dalam cairan suci yang mengalahkannya dan membuatnya menjadi bagian dari yang suci.

Keempat: Faktor الاخْتِلاَط بالأرْضِ والتَّقَادُمِ والتَّعَّرُضُ للعَوَامِل الطَّبِيْعِيَّة 
[Bercampur dengan tanah, dalam tempo waktu yang lama, dan terpapar faktor-faktor alam]:

Contohnya: seperti kotoran najis yang jatuh ke tanah dan berubah menjadi debu setelah beberapa lama, atau berubah menjadi bagian tanaman dan pohon, atau berubah menjadi lumpur kering. Atau seperti terpapar atau sengaja dipaparkan dalam waktu yang lama di tempat terbuka agar terkena matahari, hujan, dan angin, sehingga berubah menjadi zat lain yang suci.

Kelima: Faktor Penyamakan Kulit [الدَّبَاغُ = Tanner]:

Contohnya: Seperti penyamakan kulit bangkai hewan, maka itu adalah mengubahnya menjadi zat yang suci yang bisa digunakan untuk tempat tidur, pakaian, sepatu, wadah barang-barang dan aspek penggunaan lainnya.

Keenam: Faktor Pengolahan Dengan Reaksi Kimia [العَمَلُ الكِيْمَاوِيُ].

Tindakan dengan zat kimia ini adalah penyebab terluas dan paling berpengaruh dalam proses transformasi senyawa saat ini. Maksud saya, transformasi objek yang najis menjadi objek yang lain melalui aksi kimiawi. Karena tidak bisa ditutup-tutupi bahwa apa yang laboratorium ilmiah ketahui saat ini tentang kemajuan besar dalam mekanisme dan sarana yang memungkinkan ahli kimia mengubah beberapa zat yang najis menjadi zat yang suci.

Dan dengan lebih hati-hati mengembalikan zat-zat yang najis ke asalnya dan menghimpun zat-zat yang sucinya dengan cara mengontrol zat-zat najis lalu mengumpulkan unsur-unsurnya, dan memilah-milahnya dari yang lain, agar memisahkannya darinya.

Dan hal ini masuk dalam katagori peribahasa klasik berikut ini:

الخمر إذا صارت مادة جامدة فقد ذكرها خليل المالكي معطوفة على الطاهرات. وكذلك انقلاب العين النجسة إلى صابون

“Jika khamr [minuman keras] berubah menjadi zat padat, maka Khalil Al-Maliki pernah menuturkannya bahwa khamr tersebut diikutkan hukumnya pada yang Suci. Begitu pula perubahan objek najis menjadi sabun".

=======

HUKUM GLOBAL TENTANG MEMANFAATKAN BARANG NAJIS YANG TELAH BERUBAH "SIFATNYA" MENJADI "SENYAWA" LAIN

Telah disebutkan diatas bahwa perubahan itu disebabkan oleh sejumlah faktor yang menghasilkan banyak bentuk materi perubahan. Di sini penulis ingin menjelaskan hukum syariat tentang memanfaatkan dari bahan-bahan tersebut dan menggunakannya untuk makanan, obat-obatan, pakaian, perkakas, perabotan, dan lain-lain, yang dibutuhkan manusia dalam kebiasaannya.

Hukum al-Istihalah [perubahan senyawa] secara Umum dan garis besarnya:

Jika objek yang najis berubah menjadi objek yang lain, maka ia menjadi suci dengan al-Istihalah [perubahan senyawa].

Ini adalah pendapat Mkadzhab Hanafi, Madzhab Maliki, dan satu riwayat dari Ahmad, dan itu adalah pilihan Ibnu Hazm adz-Dzoohiri, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu al-Qoyyim, dan itu adalah fatwa dari al-Lajnah ad-Daaimah, dan begitu pula perkataan sebagian besar para ulama.

[Lihat: ((Tabyiin al-Haqaa'iq)) oleh Al-Zailai (6/220), dan lihat: ((Fath Al-Qadiir)) oleh Al-Kamal Ibnu Al-Hammam (1/200). ((at-Taaj wal Ikliil)) oleh Al-Mawaaq (1/97), dan ((Al-Dzakhirah)) oleh Al-Qaraafi (1/188). ((Inshaf)) oleh Al-Mardawi (1/318). ((al-Muhalla)) oleh Ibnu Hazm (6/100). ((Majmu' Fataawa Ibnu Taimiyah)) (20/522). ((A'laam Al-Muwaaqi'iin)) oleh Ibnu al-Qoyyim (2/14), dan lihat: ((Al-Sharh Al-Mumti') oleh Ibn Utsaimiin (1/30-31), ((Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah - Majmuah Pertama)) (22/299).]

Ibnu Hazm adz-Dzoohiri berkata:

“الحرام إذا بطَلت صفاتُه التي بها سُمِّي بذلك الاسم ِالذي به نُصَّ على تَحريمِه؛ فقد بطَل ذلك الاسمُ عنه، وإذا بطَل ذلك الاسمُ سقط التَّحريم؛ لأنَّه إنَّما حُرِّمَ ما يُسمَّى بذلك الاسمِ، كالخَمرِ والدَّمِ والمَيتةِ،.

فإذا استحال الدَّمُ لَحمًا، أو الخَمرُ خلًّا، أو الميتةُ بالتغذِّي أجزاءً في الحيوانِ الآكِلِ لها من الدَّجاج وغيره، فقد سقَطَ التَّحريمُ، وبالله تعالى التوفيق.

ومَن خالف هذا لَزِمَه أن يحرِّم اللَّبَنَ؛ لأنَّه دمٌ استحال لبنًا، وأن يُحرِّمَ التَّمرَ والزَّرع المسقيَّ بالعَذِرةِ والبَولِ، ولزِمه أن يُبيحَ العَذِرة والبَولَ؛ لأنَّهما طعامٌ وماءٌ حلالانِ استحالَا إلى اسمٍ مَنصوصٍ على تحريمِ المسمَّى به).

Sesuatu yang diharamkan, jika telah hilang sifat-sifatnya yang disebut dengan nama yang diharamkan ; maka telah hilang pula nama tersebut darinya, dan jika nama itu telah hilang, maka hukum haramnya telah hangus. Karena penyebab di haramkannya itu karena disebut dengan nama itu, seperti khamar [minuman keras], darah dan bangkai hewan. Maka Jika darah itu berubah menjadi daging, atau khamr menjadi cuka, atau bangkai hewan yang daging nya dikonsumsi oleh ayam dan lainnya lalu berubah menjadi daging ; maka hukum haramnya menjadi hilang. Wabillaahi at-Taufiiq

Dan barang siapa yang menyelisihinya [berseberangan dengan pendapat ini] maka kalau begitu dia juga wajib mengharamkan susu ; Karena susu itu asalnya adalah darah yang telah diubah menjadi susu, dan dia juga harus mengaharamkan kurma kurma dan tanaman yang diairi dengan kotoran dan air seni. Dan juga harus menghalalkan kotoran dan air seni karena keduanya itu dulunya adalah makanan dan air yang halal yang kemudian berubah menjadi sesuatu yang dengan nama tersebut menjadi haram hukumnya. [((al-Muhallaa)) (6/100)].

Dan Ibnu Taimiyah berkata:

(وقول القائل: إنَّها تَطهُر بالاستحالةِ أصحُّ؛ فإنَّ النَّجاسةَ إذا صارت مِلحًا أو رَمادًا، فقد تبدَّلت الحقيقةُ، وتبدَّلَ الاسمُ والصِّفةُ، فالنُّصوصُ المُتناولة لتحريمِ المَيتةِ والدَّمِ ولَحمِ الخِنزير، لا تتناوَلُ المِلح والرَّمادَ والتُّرابَ، لا لفظًا ولا معنًى).

(Dan perkataan orang yang mengatakan: Bahwa benda najis menjadi suci dengan al-Istihaalah [perubahan senyawa] itu lebih shahih, karena jika benda najis berubah menjadi garam atau abu, maka hakikatnya telah berubah, dan begitu juga nama serta sifat telah berubah. Dalil-dalil yang membahas haramnya bangkai hewan, darah, dan babi tidak mencakup haramnya garam, abu, dan tanah, baik dalam lafadznya maupun maknanya. [((Majmu' Fataawa Ibnu Taimiyah)) (20/522)]

Ibnu al-Qoyyim berkata:

(وعلى هذا الأصلِ؛ فطهارةُ الخَمرِ بالاستحالةِ على وَفقِ القِياسِ، فإنَّها نجِسةٌ لوصفِ الخَبَث، فإذا زال الموجِبُ زال الموجَبُ، وهذا أصلُ الشريعةِ في مصادرِها وموارِدِها، بل وأصلُ الثَّوابِ والعِقابِ؛ وعلى هذا فالقِياسُ الصَّحيحُ تعديةُ ذلك إلى سائِرِ النَّجاساتِ إذا استحالت).

(Dan menurut prinsip dasar dalam hal ini, hukum suci-nya khamr [minuman keras] dengan al-istihaalah [perubahan senyawa] maka itu sesuai dengan Qiyas [analogi], karena najis menggambarkan sesuatu yang menjijikan, dan jika sesuatu yang mewajibkannya itu telah dihapus, maka yang diwajibkannya juga dihapus.

Ini adalah dasar hukum Syar'i yang terdapat dalam sumber-sumbernya dan referensi-referensinya. Dan bahkan dasar untuk mendapatkan pahala dan hukuman. Berdasarkan hal ini, maka Qiyas yang Shahih [analogi yang benar] adalah bahwa hukum al-Istihalah ini berlaku pula pada semua benda-benda najis lainnya jika telah terjadi perubahan senyawa [al-Istihalah]. ((A'laam Al-Muwaaqi'iin)) oleh Ibnu al-Qoyyim (2/14)

DALIL: Mereka berdalil dengan sbb:

Pertama: mereka berkata:

القياسُ على ما أجمَعوا عليه من أنَّ الخَمرةَ إذا استحالتْ بنفْسِها وصارتْ خلًّا، كانت طاهرةً؛ فكذلك سائِرُ النَّجاساتِ إذا انقلَبَت إلى عينٍ طاهرةٍ، صار لها حُكمُ الطَّاهراتِ

Analoginya didasarkan pada apa yang disepakati dengan suara bulat [Ijma'], bahwa jika khamr [minuman keras] berubah dengan sendirinya menjadi cuka, maka ia menjadi suci. Maka Hal yang sama berlaku pula untuk semua benda najis lainnya, jika telah berubah menjadi benda yang suci, maka hukumnya diperlakukan sebagai benda-benda yang suci. [((Majmu' Fataawa Ibnu Taimiyah)) (20/522)]

Dalil kedua: mereka berkata:

أنَّ المعنى الذي لأجْله كانت تلك العَينُ نَجسةً، معدومٌ في العَينِ التي استحالَت إليها؛ فلا معنى لبقاءِ الاسمِ عليه، فالشَّرعُ رتَّبَ وَصفَ النَّجاسةِ على تلك الحقيقةِ، فينتفي بانتفائِها

Makna yang karenanya benda itu adalah najis, itu sudah hilang pada benda yang telah berubah menjadi benda lain ; maka tidak ada artinya nama itu tetap berada di atasnya, karena syariat telah mengatur sifat-sifat benda najis berdasarkan fakta dan hakikat itu, sehingga ia ditiadakan dengan ketiadaannya. [((al-Fataawaa al-Kubroo)) oleh Ibnu Taimiyyah (1/415, 5/313)].

=========

RINCIAN HUKUM TENTANG BARANG NAJIS TELAH BERUBAH MENJADI SENYAWA LAIN [TELAH BER-ISTIHALAH]

=========

PERTAMA: AL-ISTIHAALH DENGAN CARA التّخَلُّلُ وَالتَّخْلِيْلُ [MIRAS MENJADI CUKA ATAU DI JADIKAN CUKA]

=========

Maksudnya adalah: Perubahan karena Faktor التّخَلُّلُ [berubah dengan sendirinya menjadi cuka] dan التَّخْلِيْلُ [merubahnya dengan peran aktif seseorang agar menjadi cuka]

KE 1: FAKTOR التّخَلُّلُ/BERUBAH JADI CUKA SECARA ALAMI:

Yakni: berubah dengan sendirinya menjadi cuka tanpa rekayasa dan campur tangan manusia.

Para ulama telah sepakat bahwa jika khamr [minuman keras] dengan sendirinya tanpa tindakan aktif berubah menjadi cuka, maka itu dianggap suci dan diperbolehkan untuk diambil manfaat darinya.

Imam An-Nawawi - rahimahullah - berkata:

“إذا انقلبت الخمر بنفسها خلاًّ فتطهر عند جمهور العلماء ، ونقل عبد الوهاب المالكي فيه الإجماع ، وحكى عن سحنون المالكي أنها لا تطهر "

“Jika khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya, maka itu menjadi suci menurut mayoritas ulama, dan Abd al-Wahhab al-Maliki mengutip Ijma' [konsensus] mengenai hal itu, dan dia meriwayatkan dari Sahnun al-Maliki bahwa itu tidak suci ”. [al-Majmu' 2/596].

Ini berdasarkan hadits-hadits berikut ini:

Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah

أَنَّ النَّبِىَّ - صلى الله عليه وسلم - سَأَلَ أَهْلَهُ الأُدُمَ فَقَالُوا مَا عِنْدَنَا إِلاَّ خَلٌّ. فَدَعَا بِهِ فَجَعَلَ يَأْكُلُ بِهِ ، وَيَقُولُ « نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ نِعْمَ الأُدُمُ الْخَلُّ»

“Bahwa Nabi Muhammad SAW meminta pada keluarganya lauk-pauk, lalu keluarga beliau menjawab: ‘Kami tidak memiliki apa pun kecuali cuka’.

Maka Nabi SAW pun meminta cuka tsb dan beliau makan dengan nya, dan beliau bersabda:

‘Lauk yang paling baik adalah cuka, lauk yang paling baik adalah cuka’.” (HR Muslim no. 2051)

Makna “اَلإِدَامُ”: Ibnul Atsir dalam “النهاية في غريب الحديث ” berkata:

اَلإِدَامُ بِاْلكَسْرِ وَاْلأُدْمُ بِالضَّمِّ مَا يُؤْكَلُ مَعَ اْلُخبْزِ أَيُّ شَيْءٍ كَانَ اِنْتَهَى

(Al-idam اَلإِدَامُ dengan hamzah di kasrahkan) dan (al-udmu اْلأُدْمُ dengan hamzah di dhommahkan), yaitu apa saja yang di makan dengan roti. (Lihat “تحفة الأحوذي” 465/5)

Jabir bin Abdillah ra berkata:

أَخَذَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدِي ذَاتَ يَوْمٍ إِلَى مَنْزِلِهِ ، فَأَخْرَجَ إِلَيْهِ فِلَقًا مِنْ خُبْزٍ ، فَقَالَ: مَا مِنْ أُدُمٍ ؟ فَقَالُوا: لَا إِلَّا شَيْءٌ مِنْ خَلٍّ. قَالَ: فَإِنَّ الْخَلَّ نِعْمَ الْأُدُمُ. قَالَ جَابِرٌ: فَمَا زِلْتُ أُحِبُّ الْخَلَّ مُنْذُ سَمِعْتُهَا مِنْ نَبِيِّ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. وقَالَ طَلْحَةُ: مَا زِلْتُ أُحِبُّ الْخَلَّ مُنْذُ سَمِعْتُهَا مِنْ جَابِرٍ

“Pada suatu hari Rasulullah S.A.W. memegang tanganku untuk pergi ke rumahnya, lalu beliau mengeluarkan beberapa keping roti, dan beliau berkata:

“apakah ada lauk pauk (الأُدُم) “.

Mereka (keluarganya) menjawab:” Tidak ada, kecuali ada sedikit dari cuka “.

Rasulullah S.A.W. bersabda: “ Sesungguhnya cuka lauk yang terbaik “.

Jabir berkata: “ Aku selalu menyukai cuka sejak mendengarnya dari Nabi S.A.W”.

Tholhah berkata: “ Aku juga selalu menyukai cuka sejak mendengar dari Jabir”. (HR. Muslim no. 2052)

Dari Ummu Hani` binti Abu Tholib berkata:

دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: هَلْ عِنْدَكُمْ شَيْءٌ ؟ فَقُلْتُ: لَا ، إِلَّا كِسَرٌ يَابِسَةٌ وَخَلٌّ. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " قَرِّبِيهِ ، فَمَا أَقْفَرَ بَيْتٌ مِنْ أُدْمٍ فِيهِ خَلٌّ"

Rasulullah S.A.W masuk kepadaku, lalu berkata: Apakah kamu punya sesuatu ?

Aku berkata: Tidak punya, kecuali roti kering dan cuka “.

Nabi S.A.W. bersabda: “ Hidangkanlah kesini, suatu rumah tidak akan kering selama di dalamnya ada cuka “.

(HR, Turmudzi no. 1841, dia berkata: “ Ini hadits Hasan ghoriib dari arah ini “. Dan hadits ini di hasankan oleh al-Albaani dlm “سلسلة الأحاديث الصحيحة” no. 2220.

JENIS CUKA KESUKAAN NABI SAW:

Kami telah mencari di buku-buku hadits dan riwayat, tetapi kami tidak menemukan sebuah hadits yang menunjukkan kepada kita jenis cuka yang disukai oleh Nabi SAW kecuali kemungkinan besar cuka yang masyhur pada masa waktu itu adalah cuka anggur atau cuka kurma.

(Baca: “التمهيد” karya Ibnu Abdil Barr 1/262, “الجراثيم” karya Ibnu Qutaibah (w. 276) 2/114, “تهذيب اللغة” karya al-Azhari 6/301 “المبسوط” karya as-Sarkhosy 2/180, “القاموس المحيط” karya al-Fayruz Aabaadi hal. 994 dan “المدخل” karya Ibnul hajj 4/94).

Bahwa banyak cuka terbuat dari proses perubahan dari Khomer ke cuka (الاستحالة/perubahan alami). Dan al-Khomer itu kebanyakan dari buah anggur dan kurma.

FIQIH HADITS:

Di dalam hadits-hadits terdapat hukum halalnya cuka, dan bahwa itu adalah salah satu lauk pauk yang terbaik, dan tidak ada seorang pun yang menyelisihi akan kehalalannya. Dan ini berlaku untuk cuka, yang berasal dari khamr [minuman keras] lalu berubah menjadi cuka dengan sendirinya dengan idzin Allah SWT. Dan karena illat pengharaman al-khamr adalah memabukan dan intensitas penyanyi, dan itu akan hilang dengan berubah menjadi cuka, dan jika illatnya hilang, maka hilang pula hukum ma'lulnya.

--------

KE 2: FAKTOR التَّخْلِيْلُ/BERUBAH MENJADI CUKA YANG NON ALAMI:

Yakni: perubahan khamr menjadi cuka yang tidak alami melainkan karena ada rekayasa dan peran aktif manusia.

Ada dua cara yang berkenaan dengan adanya rekayasa dan peran aktif:

CARA PERTAMA: TANPA MENCAMPURKAN SESUATU:

Yakni: tanpa mencampurkan sesuatu di dalam nya, melainkan dengan sengaja membuka tutup wadah agar bisa mempercepat proses perubahan menjadi cuka atau memindahkannya dari tempat teduh ke tempat yang terkena matahari.

Dalama hal ini para ulama ahli fiqih berbeda pendapat: Apakah dengan cara demikian itu bisa menjadi halal dan suci ?

  • Pendapat pertama: Halal dan suci. Ini adalah pendapat Madzhab Syafi'i yang lebih Shahih dan juga riwayat dari madzhab Hanbali.
  • Pendapat kedua: Tidak Halal dan Tidak Suci: Ini adalah pendapat Madzhab Hanbali dan salah satu wajah Madzhab Syafii dalam.

[Lihat: Al-Majmu’ 2/594, Ma’uunat Uli Al-Nuha fi Syarh Al-Muntaha 1/452].

CARA KEDUA: DENGAN MENCAMPURKAN SESUATU:

Yakni: Ada campur tangan dan peran aktif manusia dengan mencampurkan bahan atau zat lain ke dalam Khamr agar cepat bereaksi menjadi cuka.

Maka dalam hal ini bagaimana hukumnya: Halal atau tidak ? Suci atau tidak ?

ADA DUA PENDAPAT:

PENDAPAT PERTAMA:

Hukumnya suci dan halal. Di analogikan dengan perubahan khamr menjadi cuka dengan sendirinya, tanpa ada rekayasa dan campur tangan manusia.

Ini adalah pendapat Madzhab Hanafi, Madzhab Maliki dan Ibnu Hazm Adz-Dzohiri. [Lihat: Fath al-Qadir 1/315, Mawahib al-Jalil 1/139, al-Muhalla 1/124.]

Dan Ibnu Qudamah mengutip dari Abi Al-Khattab Al-Hanbali bahwa ini adalah pandangan [وجه] dalam Madzhab Imam Ahmad. [al-Mughni 3/10].

Dan itu adalah pendapat ats-Tsawri, al-Awza'i, dan al-Laits ibn Sa'd. [Baca: Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an: oleh Al-Qurtubi: 6/290, dan Al-Majmu’ oleh Al-Nawawi: 2/579.

Dan itu adalah pendapat 'Athaa', Amr bin Dinar dan al-Harits al-'Akliy. [Baca: Al-Mughni oleh Ibnu Qudamah: 10/338].

Dan itu adalah pilihan asy-Syawkani dari kalangan ulama Muta'akhiriin. [Baca: As-Sail Al-Jarrar: 1/52]

Adapun dari Madzhab Hanafi, maka Al-Kaasaani al-Hanafi mengatakan:

"فأما إذا خللها صاحبها بعلاج من خل أو ملح أو غيرهما، فالتخليل جائز، والخل حلال عندنا"

“Adapun jika pemilik khamr melakukan proses perubahan agar menjadi cuka dengan cara memasukan bahan cuka, garam, atau yang lainnya, maka proses seperti ini diperbolehkan, dan cuka-nya halal menurut kami.” [Baca: Bada'i ash-Shana'i': 5/114].

Dan adapun dari Madzhab Maliki maka itu di sebutkan dalam riwayat Ashhab dari Imam Malik (Al-Jami’ Li Ahkam Al-Qur’an oleh Al-Qurtubi: 6/290)

Dan itu yang di sebutkan pula oleh Khalil dalam "Mukhtashar" nya dan dia berkata, tentang sesuatu yang tergolong suci:

"وخَمْرٌ تُحجِّرَ أو خُلِّلَ"

“Dan khamr yang telah berubah menjadi batu atau menjadi cuka.”

Syarahnya:

الخمر إذا خلل بفعل فاعل، أو تحجر أي صار كالحجر في اليبس بفعل فاعل يصير طاهرا، وأولى لو تخلل بنفسه أو تحجر بنفسه.

Jika khamr jadi cuka oleh tindakan aktif seseorang, atau mengeras kering seperti batu oleh tindakan seseorang, maka itu berubah menjadi suci, dan lebih utama lagi jika berubah menjadi cukanya itu dengan sendirinya atau menjadi batu dengan sendirinya. [Baca: As-halul Madaarik 1/63].

Ad-Dasuuqi al-Maliki berkata:

"قوله "أن خلل" أي بطرح ماء أو خل أو ملح أو نحو ذلك فيه، ومحل طهارته بصيرورته خلا ما لم يكن وقعت فيه نجاسة قبل تخليله وإلا فلا"

“Perkataannya: “memprosesnya menjadi cuka ” yakni dengan memasukkan air atau cuka atau garam atau sejenisnya ke dalamnya. Dan itu dianggap suci ketika berubah menjadi cuka nya itu selama tidak ada najis yang jatuh ke dalamnya sebelum melakukan proses perubahan, jika tidak maka ia tidak suci dan tidak halal. [Hasyiyah ad-Dasuqi Alaa asy-Syarh al-Kabiir 1/52]

PENDAPAT KEDUA:

Tidak Halal dan Tidak Suci. Artinya: Tidak boleh seseorang sengaja memproses khamr menjadi cuka. Dan jika itu terjadi, maka cuka tersebut tidak halal dan tidak suci..

Di antara mereka yang berpendapat demikian adalah: Madzhab Syafi'i, Madzhab Hanbali, dan Madzhab Maliki dalam riwayat Ibnu al-Qasim dan Ibnu Wahb.

[Baca: Al-Majmu’ oleh an-Nawawi 2/594, Ma’wna Ola Al-Nuha 1/452 dan Al-Qurtubi: 6/290]

Dan ini adalah yang dipilih oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qayyim. Dan ini adalah fatwa al-Lajnah ad-Daaimah lil Iftaa. Dan ini adalah yang dikatakan oleh sebagian besar para ulama.

 [Baca: Majmu’ Fataawa Ibnu Taymiyyah 21/483, Ighotsatul Lahfaan Ibnu Qoyyim 2/11, ((Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah - Grup Satu)) (109/22) dan Al-Majmu’ oleh an-Nawawi 2/594]

Al-Nawawi mengaitkan madzhab ini dengan mayoritas para ulama. Dia berkata:

"فالتخليل عندنا وعند الأكثرين حرام، فلو فعله فصار خلا لم يطهر"

"Proses pencukaan khamr yang non alami, menurut kami dan menurut mayoritas, adalah haram. Jika dia melakukannya dan itu berubah menjadi cuka, maka itu tidak menjadi suci.” [al-Majmu': 2/576.]

Dan dia berkata di tempat lain:

"وأما إذ خللت بوضع شيء فيها، فمذهبنا أنها لا تطهر، وبه قال أحمد والأكثرون"

“Adapun jika menjadi cuka dengan cara memasukkan sesuatu ke dalamnya, maka pendapat kami adalah itu tidak mensucikan, dan ini yang dikatakan Ahmad dan mayoritas.”[al-Majmu': 2/578]

Al-Khiroqi al-Hanbali berkata:

"والخمرة إذا أفسدت فصيرت خلا لم تزل عن تحريمها، وإن قلب الله عينها فصارت خلا فيه حلال".

“Dan khamr jika diproses menjadi cuka maka ia tetap pada keharamannya, dan jika Allah yang merubah objeknya, lalu menjadi cuka ; maka itu halal.”[Al-Mughni: 10/338]

Dan ini serupa dengan apa yang dikatakan Imam Az-Zuhri, dan ini pula yang diriwayatkan dari Umar bin Al-Khattab. [Al-Mughni: 10/338]

Ibn al-Qayyim berkata:

(إذا كان له عصيرٌ فخاف أن يتخمَّرَ؛ فلا يجوز له بعد ذلك أن يتَّخِذَه خلًّا؛ فالحِيلة: أن يُلقَى فيه أولًا ما يمنَعُ تخمُّره، فإن لم يفعل حتى تخمَّرَ، وجَب عليه إراقَتُه، ولم يجُزْ له حبسُه حتى يتخلَّلَ، فإن فعل لم يطهُرْ)

(Jika dia memiliki jus lalu dia khawatir itu akan berubah menjadi khamr [minuman keras], maka tidak diperbolehkan baginya setelah itu untuk menjadikannya sebagai cuka.

Caranya agar halal adalah dengan mencampurkan terlebih dahulu sesuatu yang bisa mencegahnya jadi khamr.

Maka jika tidak melakukannya sehingga berubah menjadi khamr, maka wajib baginya untuk membuangnya, dan dia tidak boleh menahannya hingga berubah menjadi cuka. Lalu jika dia melakukannya ; maka itu tidak suci. [Ighotstullahfaan 2/11]

Dalam fatwa al-Lajnah ad-Daaimah yang dipimpin oleh Syeikh Bin Baaz di nyatakan:

(إذا حُوِّلَتِ الخمرة إلى خلٍّ بَقِيَت على تحريمِها، ولا تنقُلُها الإزالة عن حُكمِها؛ لَمَا في صحيحِ مُسلمٍ عن أنس رَضِيَ اللهُ عنه: ((أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم سُئِلَ عن الخمر تُتَّخذ خلًّا، فقال: لا))، أمَّا إذا تخلَّلت بنَفسِها من دون عملِ أحدٍ؛ فإنَّها تطهُرُ بذلك وتُباحُ)

"Jika khamr [minuman keras] dirubah menjadi cuka, maka itu tetap haram, dan perubahannnya tidak mengubah hukumnya, berdasarlam apa yang ada dalam Sahih Muslim dari Anas radhiyallahu 'anhu:

سُئِلَ رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عن الخَمرِ تُتَّخَذُ خَلًّا؟ قال: لا

(Rasulullah shallallahu alayhi wa sallam ditanya tentang khamr yang dijadikan cuka. Beliau berkata: “ Tidak ”) [HR. Muslim no. 1983]

Adapun jika ia berubah menjadi cuka dengan sendirinya tanpa peran siapa pun; maka itu suci dan mubah ". ((Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah - Grup Satu)) (109/22)

--------

DALIL MASING-MASING PENDAPAT

--------

DALIL PENDAPAT PERTAMA: Mereka Yang mengatakan suci dan halal:

Dalil ke 1:

Hadits Jaber sebelumnya, yaitu sabdanyaSAW: "Lauk pauk terbaik adalah cuka." Ibnu Hazm berkata:

"فعم عليه السلام، ولم يخص، والخل ليس خمرا"

"Jadi beliau SAW menyatakannya umum, dan tidak mengkhususkannya, dan cuka adalah bukanlah khamr.” [Al-Muhalla: 1/125].

Dalil ke 2:

Qiyas [Analogi] terhadap khamr yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya.

Karena para ahli fikih telah sepakat sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa jika khamr berubah dengan sendirinya lalu menjadi cuka, maka ia menjadi suci dan halal, maka bisa dianalogikan juga kepadanya khamr yang menjadi cuka karena adanya peran manusia. Karena adanya kesamaan konversi [illat yang dihasilkan], yaitu berubahnya khamr menjadi cuka. Dan cuka itu halal dan suci.

Dalil ke 3:

Illat haramnya khamr adalah: memabukkan dan bikin teler, dan itu bisa dihilangkan dengan dirubah menjadi cuka, dengan demikian maka ia harus dihukumi suci dan halal, karena jika illatnya dihilangkan, maka hilang pula hukumnya.

Dalil ke 4:

Di Qiyaskan atau di analogikan dengan kulit bangkai hewan yang disamak. Kulit bangkai hewan diharamkan karena najis, akan tetapi jika telah disamak maka menjadi suci dan boleh dimanfaatkan.

Jika demikian maka khamr yang di rubah menjadi cuka bisa di analogikan dengan penyamakan kulit bangkai hewan karena pada masing-masing keduanya khamr dan kulit bangkai terdapat najis yang dihilangkan dengan proses yang dilakukan seseorang.

DALIL PENDAPAT KE DUA: yang mengatakan najis dan tidak halal:

Dalil ke 1:

Dari Anas radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

سُئِلَ رَسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم عن الخَمرِ تُتَّخَذُ خَلًّا؟ قال: لا

(Rasulullah SAW ditanya tentang khamr yang dijadikan cuka. Beliau SAW berkata: “ Tidak ”) [HR. Muslim no. 1983]

Al-Nawawi mengatakan dalam syarahnya tentang hadits ini:

"هذا دليل الشافعي والجمهور، أنه لا يجوز تخليل الخمر، ولا تطهر بالتخليل، هذا إذا خللتها بخبز أو بصل أو خميرة أو غير ذلك مما يلقى فيها، فهي باقية على نجاستها، وينجس ما ألقى فيها ولا يطهر هذا الخل بعده أبدا، لا بغسل ولا بغيره"

"Ini adalah dalil asy-Syafi'i dan Jumhur, bahwa tidak diperbolehkan mentakhlil khamr menjadi cuka, dan tidak menjadi sucikan dengan Takhlil. Ini jika anda merubah khamr menjadi cuka dengan cara mencemplungkan roti atau bawang atau ragi atau lainnya ke dalam ; maka itu hukumnya tetap najis. Dan apa yang dicemplungkan ke dalamnya juga menjadi najis. Dan cuka tersebut tidak bisa suci selamanya, tidak juga dengan mencucinya atau dengan cara lain". [Lihat: Syarah Al-Nawawi terhadap Sahih Muslim: 13/152].

Dalil ke 2:

Hadits-hadits yang memerintahkan untuk menumpahkan minuman keras, di antaranya:

Hadits Anas bin Malik, yang mengatakan:

“أَنَّ أَبَا طَلْحَةَ سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَيْتَامٍ وَرِثُوا خَمْرًا ، قَالَ: أَهْرِقْهَا ! قَالَ: أَفَلَا أَجْعَلُهَا خَلًّا ؟. قَالَ: لَا ".

"Bahwa Abu Thalhah bertanya kepada Nabi SAW mengenai anak-anak yatim yang mewarisi khamer. Beliau bersabda: "Tumpahkanlah khamer tersebut!" Abu Thalhah bertanya, "Bolehkah aku jadikan cuka?" Beliau menjawab: "Tidak." [HR. Abu Daud no. 3675. Di shahihkan asy-Syaukani dalam Neil al-Awthaar 9/74 dan al-Albaani dalam Shahih Abi Daud no. 3675]

Bantahan dari pendapat pertama:

أن الإراقة إنما كانت للزجر وحمل الناس على الإقلاع، لحداثة عهدهم بتحريمها يومذاك. وأن أحاديث الأمر بالإراقة منسوخة ، كما أمروا في أول الأمر بكسر آنية الخمر وشق الظروف.

Bahwa perintah untuk menumpahkan minuman keras itu hanyalah untuk teguran dan mengantarkan orang-orang agar berhenti dan out total dari minuman keras ; karena mereka berada pada masa belum lama dan baru saja diharamkannya minuman keras saat itu.

Dan Hadits-hadits yang memerintahkan untuk menumpahkan minuman keras itu sudah di mansukh [dihapus hukumnya]. Sama halnya mereka juga dahulu diperintahkan untuk memecahkan bejana-bejana khamr dan merobek wadah-wadah kulit untuk khamr agar mereka bisa menahan diri dari khamr.

Jawaban atas bantahan:

Ibnu Taimiyyah menjawab ini - dan dia adalah salah satu dari mereka yang membela madzhab larangan Takhlil Khamr - dan dia berkata:

فَإِنْ قِيلَ: هَذَا مَنْسُوخٌ لِأَنَّهُ كَانَ فِي أَوَّلِ الْإِسْلَامِ فَأُمِرُوا بِذَلِكَ كَمَا أُمِرُوا بِكَسْرِ الْآنِيَةِ وَشَقِّ الظُّرُوفِ لِيَمْتَنِعُوا عَنْهَا. قِيلَ: هَذَا غَلَطٌ مِنْ وُجُوهٍ.

أَحَدُهَا: أَنَّ أَمْرَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ لَا يُنْسَخُ إلَّا بِأَمْرِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَلَمْ يَرِدْ بَعْدَ هَذَا نَصٌّ يَنْسَخُهُ.

الثَّانِي: أَنَّ الْخُلَفَاءَ الرَّاشِدِينَ بَعْدَ مَوْتِهِ عَمِلُوا بِهَذَا. كَمَا ثَبَتَ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ أَنَّهُ قَالَ: " ‌لَا ‌تَأْكُلُوا ‌خَلَّ ‌خَمْرٍ ‌إلَّا ‌خَمْرًا ‌بَدَأَ ‌اللَّهُ ‌بِفَسَادِهَا وَلَا جُنَاحَ عَلَى مُسْلِمٍ أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْ خَلِّ أَهْلِ الذِّمَّةِ ". فَهَذَا عُمَرُ يَنْهَى عَنْ خَلِّ الْخَمْرِ الَّتِي قَصَدَ إفْسَادَهَا وَيَأْذَنُ فِيمَا بَدَأَ اللَّهُ بِإِفْسَادِهَا وَيُرَخِّصُ فِي اشْتِرَاءِ خَلِّ الْخَمْرِ. مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ؛ لِأَنَّهُمْ لَا يُفْسِدُونَ خَمْرَهُمْ وَإِنَّمَا يَتَخَلَّلُ بِغَيْرِ اخْتِيَارِهِمْ. وَفِي قَوْلِ عُمَرَ حُجَّةٌ عَلَى جَمِيعِ الْأَقْوَالِ. الْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنْ يُقَالَ الصَّحَابَةُ كَانُوا أَطْوَعَ النَّاسِ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ

الْوَجْهُ الثَّالِثُ: أَنْ يُقَالَ الصَّحَابَةُ كَانُوا أَطْوَعَ النَّاسِ لِلَّهِ وَرَسُولِهِ وَلِهَذَا لَمَّا حُرِّمَ عَلَيْهِمْ الْخَمْرُ أَرَاقُوهَا فَإِذَا كَانُوا مَعَ هَذَا قَدْ نُهُوا عَنْ تَخْلِيلِهَا وَأُمِرُوا بِإِرَاقَتِهَا فَمَنْ بَعْدَهُمْ مِنْ الْقُرُونِ أَوْلَى مِنْهُمْ بِذَلِكَ فَإِنَّهُمْ أَقَلُّ طَاعَةً لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مِنْهُمْ.

“Jika dikatakan: Ini mansukh [hukumnya sudah dihapus] karena itu berlaku pada awal Islam, maka mereka diperintahkan untuk melakukan hal itu seperti halnya mereka diperintahkan untuk memecahkan bejana-bejana khamr dan merobek wadah-wadah khamr dari kulit agar mereka menahan diri dari khamr, maka jawabannya adalah bahwa ini salah karena beberapa aspek:

Salah satunya:

Bahwa perintah Allah dan Rasul-Nya tidak dapat dimansukh [dibatalkan] kecuali dengan perintah Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada setelah itu nash yang memansukhnya.

Yang kedua:

Bahwa Khulafaa Rosyidiin setelah wafat nya Nabi SAW, meraka melakukan ini, sebagaimana terbukti dari Umar ibn al-Khattab bahwa dia berkata:

“‌لَا ‌تَأْكُلُوا ‌خَلَّ ‌خَمْرٍ ‌إلَّا ‌خَمْرًا ‌بَدَأَ ‌اللَّهُ ‌بِفَسَادِهَا وَلَا جُنَاحَ عَلَى مُسْلِمٍ أَنْ يَشْتَرِيَ مِنْ خَلِّ أَهْلِ الذِّمَّةِ "

“Jangan makan cuka khamr kecuali khamr yang Allah menghendaki nya jadi cuka. Dan Tidak ada dosa bagi seorang Muslim untuk membeli cuka dari non muslim ahli dzimmah ".

Maka Ini Umar, dia melarang cuka dari khamr yang sengaja dirusak agar menjadi cuka, dan dia mengizinkan cuka yang Allah menghendakinya, dan mengidzinkan pembelian cuka yang asalnya khamr dari Ahli Kitab, alasannya karena mereka tidak sengaja memproses khamr mereka agar menjadi cuka, melainkan berubah menjadi cuka tanpa kemauan mereka. Dan dalam perkataan Umar terdapat argumen atas semua pendapat.

Aspek yang ketiga:

Dikatakan: Para sahabat adalah orang yang paling taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan itulah sebabnya ketika khamr diharamkan atas mereka, maka mereka pun menumpahkannya.

Jika mereka para sahabat saja yang keadaannya seperti ini, mereka dilarang melakukan Takhlil khamr menjadi cuka dan memerintahkan mereka untuk menumpahkannya, maka orang-orang yang datang setelah mereka lebih berhak daripada para sahabat, karena mereka ini jika dibanding dengan para sahabat maka mereka lebih kurang ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya daripada mereka. [Majmu’ Fataawa Ibnu Taymiyyah 21/484]

Bantahan:

Bantahan terhadap perkataan Ibnu taimiyah: " membolehkan pembelian cuka khamr dari Ahli Kitab, karena cuka dari mereka adalah alami, mereka tidak sengaja merubah khamr mereka agar menjadi cuka, melainkan berubah menjadi cuka dengan sendirinya tanpa kemauan mereka".

Jika seandainya benar bahwa cuka yang dari ahli Kitab itu cuka alami, yaitu dihasilkan dari khamr yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya tanpa rekayasa, maka tentunya stock yang ada dipasar sangat lah sedikit dan tidak akan bisa mengcover kebutuhan masyarakat. Sementara kebutuhan terhadap cuka pada masa itu sangat tinngi, sehingga Nabi SAW sendiri dalam sehari-harinya senantiasa mengkonsumsi cuka sebagai lauk pauk, bahkan beliau SAW bersabda: " Sebaik-baiknya lauk pauk adalah cuka '.

Adapun Nabi SAW pada saat itu melarang para sahabatnya mentakhlil khamr menjadi cuka, maka tujuannya agar tidak ada khamr [minuman keras] yang tersisa dan tersimpan dirumah-rumah kaum muslimiin. Apalagi larangan minum keras itu baru saja turun dan berlakukan. Dan biasanya sangat berat bagi seseorang untuk melepaskan diri dari kecanduan minum keras. Maka Nabi SAW untuk hal ini mengembil sikap tegas sebagai langkah سَدًّ الذَّرِيُعَة menutup celah agar para sahabat cepat melupakannya.

Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kapan tahun diharamkannya minuman keras ? Ada yang mengatakan: Pada tahun ketiga setelah Perang Uhud. Dan Ada yang mengatakan: Tahun penaklukan kota Mekkah di tahun kedelapan.

Dan Ada yang mengatakan pula: Selain itu.

Salah satu KISAH pada masa Nabi SAW sebelum diharamkannya MINUMAN KERAS.

Dalam hadits Shahih Bukhori dan Mulim: Dari Husain bin Ali bahwa Ali radhiyallahu 'anhuma berkata:

"Dahulu saya pernah memiliki seekor unta dari hasil pembagian harta rampasan perang Badr, pada hari itu pula Rasulullah SAW memberikan seekor unta dari bagian seperlima.

Maka Ketika saya hendak membina rumah tangga dengan Fatimah -puteri Rasulullah SAW- saya telah mengadakan perjanjian dengan seorang tukang emas dari Bani Qainuqa' untuk pergi bersamaku sambil membawa idzkhir (semacam tumbuh-tumbuhan) yang akan saya jual, dan uang hasil penjualan itu dapat saya pergunakan untuk penyelenggaraan pernikahan saya.

Pada saat mempersiapkan barang-barang bagi keperluan kedua unta tersebut, seperti pelana, karung dan tali. Yang mana Saat itu kedua unta saya terikat di samping rumah seorang Anshar, dan tiba-tiba saya mendapati kedua unta saya -setelah mempersiapkan barang-barang yang perlu dipersiapkan- sudah terpotong-potong punuknya, terbelah perutnya dan telah terambil hatinya.

Kedua mataku tidak kuasa melihat pemandangan itu, lalu saya bertanya,

"Siapakah yang melakukan semua ini?"

Orang-orang menjawab:

فَعَلَهُ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطّلِبِ. وَهُوَ فِي هَذَا الْبَيْتِ فِي شَرْبٍ مِنَ الأَنْصَارِ. غَنّتْهُ قَيْنَةٌ وَأَصْحَابهُ. فَقَالَتْ فِي غِنَائِهَا: أَلاَ يَا حَمْزَ لِلشّرُفِ النّوَاءِ. فَقَامَ حَمْزَةُ بِالسّيْف. فَاجْتَبّ أَسْنِمَتَهُمَا، وَبَقَرَ خَوَاصِرَهُمَا. فَأَخَذَ مِنْ أَكْبَادِهِمَا.

"Hamzah bin Abdul Mutthalib, dan dia sekarang berada di rumah ini bersama-sama dengan orang-orang Anshar yang suka meminum minuman keras.

[Penyebab Hamzah memotong-motong dua unta tsb] Dia dan teman-temannya sedang dihibur oleh seorang penyanyi perempuan yang dalam salah satu nyanyiannya terselip kata-kata:

'Wahai Hamzah, ingatlah pada unta-unta yang montok.'

Maka Hamzah pun berdiri dengan membawa pedang terhunus. Lalu dia memotong punuk kedua unta tersebut dan ia belah perut keduanya kemudian hati keduanya di ambil."

Ali berkata: "Kemudian saya langsung pergi menemui Rasulullah SAW yang pada saat itu beliau sedang duduk bersama Zaid bin Haritsah."

Ali berkata: "Melihat raut mukaku, ternyata Rasulullah SAW tahu akan peristiwa yang terjadi."

Maka Rasulullah SAW bertanya: "Apa yang terjadi denganmu?"

Saya menjawab: "Wahai Rasulullah, demi Allah belum pernah seumur hidupku melihat kejadian seperti hari ini. Hamzah telah menyerang kedua untaku, dia telah memotong punuknya dan membelah isi perutnya. Sekarang dia berada di rumah bersama teman-temannya yang suka meminum minuman keras."

Ali berkata: "Kemudian Rasulullah SAW mengambil jubahnya. Setelah mengenakannya beliau berangkat ke rumah yang disebutkannya itu dengan berjalan kaki, sementara saya dan Zaid mengikutinya dari belakang.

Sesampainya di depan pintu rumah yang di dalamnya ada Hamzah, Rasulullah SAW meminta izin masuk. Para penghuni rumah pun memberikan izin masuk. Ternyata mereka adalah para peminum minuman keras.

Lalu Rasulullah SAW mulai mencela Hamzah terhadap apa yang telah diperbuatnya. Pada saat itu, kedua mata Hamzah memerah dan dia juga mulai mengamati Rasulullah SAW dari kedua lutut naik ke pusar dan akhirnya ke wajah beliau.

Kemudian Hamzah berkata:

وَهَلْ أَنْتُمْ إِلاّ عَبِيدٌ لأَبِي؟

"Kalian ini tidak lain hanyalah para budak bapakku."

Akhirnya Rasulullah SAW mengetahui bahwa Hamzah sedang mabuk berat.

Lalu beliau mundur ke belakang dan keluar. Melihat itu kami pun pergi keluar mengikuti beliau." [HR. Bukhori no. 4003 dan Muslim no. 3661].

Kejadian Hamzah dalam hadits ini terjadi sebelum perang Uhud karena beliau mati syahid pada waktu perang Uhud.

TARJIIH:

Nampaknya melalui dalil yang disebutkan oleh masing-masing dari dua pendapat ini, maka dalil-dalil yang melarang itu lebih kuat, karena itu lebih sesuai dengan nash-nash dalil syar'i, lebih jelas, dan lebih hati-hati untuk agama.

Namun, ada dua peringatan yang harus benar-benar diperhatikan:

Yang pertama: Perbedaan antara mereka yang senantiasa menyimpan khamr untuk dijadikan cuka dan mereka yang tidak. Yang pertama lebih parah dan lebih pantas dilarang, karena kepemilikan khamr tidak diperbolehkan dalam keadaan apa pun.

Kedua: Dibedakan antara orang yang merekayasa khamr menjadi cuka dengan hanya menahannya atau memindahkannya dari tempat teduh ke bawah terik matahari atau sebaliknya, dengan orang yang merekayasanya dengan cara memasukkan zat ke dalamnya. Maka rekayasa yang pertama itu lebih ringan.

Karena yang pertama ini lebih seperti apa yang terjadi ketika khamr berubah menjadi cuka dengan sendirinya, dan kasus rekayasa yang kedua tidak seperti itu, karena jika khamr dimasukkan ke dalam sesuatu agar menjadi cuka, maka itu menjadi najis sebelum diproses menjadi cuka, karena itu ia adalah najis, dan ketika ia berubah setelah itu maka ia kembali menjadi najis oleh benda yang najis olehnya yang ditempatkan di dalamnya.

Maka dari sini ada kelaziman: bahwa jika khamr itu dicampur dengan memasukkan sesuatu ke dalamnya, maka tidak akan bisa menghilangkan kenajisan darinya dalam keadaan apa pun walaupun telah berubah menjadi cuka.

FATWA KONTEMPORER TENTANG AL-KOHOL, SUCI ATAU NAJIS ???:

Fatwa Syekh Hussamuddin 'Afaanah dalam " ما الفرق بين الكحول والخمرة".

وأما الكحول فهو محرم وليس بنجس لأنه لم يثبت دليل على نجاسته وليس كل محرم نجس فالحرير محرم على الذكور وليس بنجس والسمَّ حرام وليس بنجس.

“Adapun al-Kohol itu haram dan tidak najis, karena tidak ada dalil yang membuktikan akan kenajisannya, dan tidak setiap yang haram itu najis. Contohnya: Sutera diharamkan bagi laki-laki, tapi tidak najis. Dan racun diharamkan, tetapi tidak najis".

Organisasi Islam untuk Ilmu Kedokteran telah meneliti masalah zat yang diharamkan dalam makanan dan obat-obatan dan telah memutuskan sebagai berikut:

1] - مادة الكحول غير نجسة شرعا، بناء على ما سبق تقريره من أن الأصل في الأشياء الطهارة، سواء أكان الكحول صرفاً أم مخففاً بالماء. وعليه، فلا حرج شرعا من استخدام الكحول طبيا كمطهر للجلد -الجروح- والأدوات، وقاتل للجراثيم، أو استعمال الروائح العطرية (ماء الكولونيا) التي يستخدم الكحول فيها باعتباره مذيبا للمواد العطرية الطيارة، أو استخدام الكريمات التي يدخل الكحول فيها. ولا ينطبق ذلك على الخمر لحرمة الانتفاع به.

2] - بما أن الكحول مادة مسكرة ويحرم تناولها، وريثما يتحقق ما يتطلع إليه المسلمون من تصنيع أدوية لا يدخل الكحول في تركيبها ولا سيما أدوية الأطفال والحوامل، فلا مانع شرعا من تناول الأدوية التي تصنع حاليا ويدخل في تركيبها نسبة ضئيلة من الكحول، لغرض الحفظ، أو إذابة بعض المواد الدوائية التي لا تذوب في الماء مع عدم استعمال الكحول فيها مهدئا، وهذا حيث لا يتوافر بديل عن تلك الأدوية، وتوصي الندوة الجهات الصحية المختصة بتحديد هذه النسب حسب الأصول العلمية ودساتير الأدوية.

3] - لا يجوز تناول المواد الغذائية التي تحتوي على نسبة من الخمور مهما كانت ضآلتها، ولا سيما الشائعة في البلاد الغربية، كبعض الشوكولاتة وبعض أنواع المثلجات (الآيس كريم، الجيلاتي، البوظة)، وبعض المشروبات الغـازية، اعتباراً للأصل الشرعي في أن ما أسكر كثيرة فقليله حرام، ولعدم قيام موجب شرعي استثنائي للترخيص بها.

4]- المواد الغذائية التي يستعمل في تصنيعها نسبة ضئيلة من الكحول لإذابة بعض المواد التي لا تذوب بالماء من ملونات وحافظات وما إلى ذلك، يجوز تناولها لعموم البلوى ولتبخر وتلاشي معظم الكحول المضاف في أثناء تصنيع الغذاء، حسب دساتير وتعاليم هيئات الصحة والأغذية مع الحرص على استعمال البدائل الخالية من الكحول تماماً.

1]- Zat Alkohol tidaklah najis menurut hukum Syar'i, berdasarkan apa yang telah lalu ketetapannya bahwa hukum asal segala sesuatu adalah suci, baik alkohol itu murni maupun diencerkan dengan air. Oleh karena itu, tidak ada salahnya berdasarkan hukum syar'i menggunakan alkohol untuk keperluan medis seperti untuk desinfektan pada kulit [luka] dan peralatan, dan untuk pembunuh kuman, atau menggunakannya untuk aroma parfum (air cologne) di mana alkohol digunakan sebagai pelarut untuk zat aromatik yang mudah menguap, atau menggunakan krim yang mengandung alkohol. Dan Ini tidak berlaku pada khamr [Minuman Keras] karena diharamkan menggunakannya.

2]- Karena alkohol adalah zat yang memabukkan dan dilarang untuk dikonsumsi, dan sambil terus menunggu realisasi dari apa yang dicita-citakan umat Islam dalam hal pembuatan obat-obatan yang tidak mengandung alkohol, terutama obat-obatan untuk anak-anak dan wanita hamil, maka tidak ada keberatan hukum [boleh-boleh saja] untuk menggunakan obat-obatan yang saat ini diproduksi dan mengandung persentase kecil alkohol dalam komposisinya, untuk tujuan pengawetan, atau untuk melarutkan beberapa bahan obat yang tidak larut dalam air jika tanpa menggunakan alkohol di dalamnya sebagai penenang.

Dan ini berlaku disaat tidak ada alternatif lain untuk obat-obat seperti ini. Dan para peserta simposium atau seminar ini merekomendasikan lembaga otoritas kesehatan yang kompeten untuk menentukan proporsi ini sesuai dengan prinsip ilmiah dan farmakope.

3]- Tidak boleh memakan bahan makanan yang mengandung kadar alkohol sedikit apapun, apalagi yang yang sudah merajalela di negara Barat, seperti beberapa coklat dan beberapa jenis es krim (es krim, gelato, Booza), dan beberapa minuman ringan. Mengingat hukum asal Syariat Islam bahwa apa saja yang memabukkan, maka yang sedikitnya juga haram. Dan tidak ada dalil Syar'i yang mengecualikannya untuk mengizinkannya.


Booza [البُوْظَة]

4]- Bahan-bahan makanan yang dalam pembuatannya menggunakan sedikit alkohol untuk melarutkan beberapa zat yang tidak larut dalam air, seperti pewarna, pengawet, dan lain lain ; maka itu diperbolehkan untuk dikonsumsi ; dikarenakan itu merupakan kebutuhan publik yang tidak bisa dihindari dan dikarenakan akan menguap, musnah dan lenyap sebagian besar alkohol yang ditambahkan selama pembuatan makanan, sesuai dengan konstitusi dan maklumat lembaga kesehatan dan makanan, sambil terus berusaha keras untuk mendapatkan penggantinya yang benar-benar bebas dari alkohol dengan sempurna.

[Lihat: ندوة المواد المحرمة والنجسة.في الغذاء والدواء/المنظمة الإسلامية للعلوم الطبية. Yang diselenggarakan di Kuwait pada: 22-24 Dzulhijjah 1415 H/22-24 Mei 1995 M, di Islamic Organization for Medical Sciences di KUWAIT].

-------------

KEDUA: AL-ISTIHAALAH DENGAN API [النَّارُ].

Maksudnya: perubahan senyawa atau transformasi dengan menggunakan panasnya api, umpamanya: di bakar, direbus, dipanggang dan lain sebagainya

Para ulama ahli fiqih berbeda pendapat tentang kesucian benda najis jika diubah dengan cara dibakar dengan api hingga berubah menjadi asap, abu, atau benda lainnya.

ADA DUA PENDAPAT:

PENDAPAT PERTAMA:

Adalah jika benda najis berubah menjadi abu atau yang lainnya, maka ia menjadi suci. Ini adalah mazhab Hanafi. Dan salah satu pandangan [وَجْهٌ] bagi madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali, dan Qoul bagi madzhab Maliki, dan itu adalah yang mu'tamad dikalangan Muta'akhiriin Madzhab Maliki.

[Lihat: Badaa' al-Sana'i' 1/85, al-Fatawa al-Hindiyyah 1/44, Haashiyat al-Dasuqi 1/57-58, Fath al-Aziz 1/62-63, al-Majmu' 2/ 579, al-Mughni 1/97].

Madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa benda najis jika diubah oleh api menjadi abu atau benda lain, maka hukumnya suci, mereka berhujjah dengan mengatakan:

“لأن النجاسة لما استحالت وتبدلت أوصافها ومعانيها خرجت عن كونها نجاسة، لأنها اسم لذات موصوفة، فتنعدم بانعدام الوصف، وصارت كالخمر إذا تخللت".

“Karena najis itu ketika ia berubah dan berganti sifat-sifatnya dan makna-maknanya ; maka ia keluar dari kenajisan, karena ia adalah nama untuk dzat yang disifati, maka menjadi hilang najisnya dengan hilangnya sifat, sama seperti Khamr [minuman keras] ketika berubah menjadi cuka ". [Badaa'i ash-Shanaa'i': 1/85]

Dan semisal ini pula Ibnu Hazm adz-Dhohiri bermadzhab, dan dia berkata:

وَإِذَا ‌أُحْرِقَتْ ‌الْعَذِرَةُ ‌أَوْ ‌الْمَيْتَةُ ‌أَوْ ‌تَغَيَّرَتْ ‌فَصَارَتْ ‌رَمَادًا ‌أَوْ ‌تُرَابًا، فَكُلُّ ذَلِكَ طَاهِرٌ، وَيُتَيَمَّمُ بِذَلِكَ التُّرَابِ.

بُرْهَانُ ذَلِكَ أَنَّ الْأَحْكَامَ إنَّمَا هِيَ عَلَى مَا حَكَمَ اللَّهُ تَعَالَى بِهَا فِيهِ مِمَّا يَقَعُ عَلَيْهِ ذَلِكَ الِاسْمُ الَّذِي بِهِ خَاطَبَنَا اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ، فَإِذَا سَقَطَ ذَلِكَ الِاسْمُ فَقَدْ سَقَطَ ذَلِكَ الْحُكْمُ، وَأَنَّهُ غَيْرُ الَّذِي حَكَمَ اللَّهُ تَعَالَى فِيهِ. وَالْعَذِرَةُ غَيْرُ التُّرَابِ وَغَيْرُ الرَّمَادِ، وَكَذَلِكَ الْخَمْرُ غَيْرُ الْخَلِّ، وَالْإِنْسَانُ غَيْرُ الدَّمِ الَّذِي مِنْهُ خُلِقَ، وَالْمَيْتَةُ غَيْرُ التُّرَابِ

“Jika tinja atau bangkai dibakar, atau berubah menjadi abu atau debu, maka semua itu adalah suci, dan boleh bertayammum dengan debu itu.

Dalilnya: bahwa hukum-hukum itu hanyalah berdasarkan apa yang dengannya Allah tetapkan padanya dari apa yang jatuh padanya nama yang Allah SWT tujukan kepada kita.

Dalilnya adalah bahwa hukum-hukum itu hanya menurut apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT atas nama yang Allah tujukan kepada kita. Jika nama itu disingkirkan, maka batallah hukum itu, dan itu selain hukum yang diperintah oleh Allah SWT. Dan yang namanya Tinja itu bukanlah debu dan bukanlah abu. Demikian pula, khamr [miras] bukanlah cuka, dan manusia bukanlah darah yang darinya ia diciptakan, dan juga bangkai bukanlah debu ". [al-Muhalla: 1/136]

Dan ini dalam hal kebolehan yang dijelaskan Ibnu Hazm di atas, maka Ibnu Taimiyyah pun ikut bergabung di dalamnya, karena ia menganggap bahwa al-Istihaalah [perubahan senyawa] itu mensucikan najis, termasuk men-takhlil khamr [miras]. Beliau setelah menyebutkan pendapat para ulama yang membolehkannya, berkata:

‌فَإِنَّ ‌هَذِهِ ‌الْأَعْيَانَ ‌لَمْ ‌يَتَنَاوَلْهَا ‌نَصُّ ‌التَّحْرِيمِ ‌لَا ‌لَفْظًا ‌وَلَا ‌مَعْنًى وَلَيْسَتْ فِي مَعْنَى النُّصُوصِ بَلْ هِيَ أَعْيَانٌ طَيِّبَةٌ فَيَتَنَاوَلُهَا نَصُّ التَّحْلِيلِ وَهِيَ أَوْلَى بِذَلِكَ مِنْ الْخَمْرِ الْمُنْقَلِبَةِ بِنَفْسِهَا وَمَا ذَكَرُوهُ مِنْ الْفَرْقِ بِأَنَّ الْخَمْرَ نَجُسَتْ بِالِاسْتِحَالَةِ فَتَطْهُرُ بِالِاسْتِحَالَةِ بَاطِلٌ؛ فَإِنَّ جَمِيعَ النَّجَاسَاتِ إنَّمَا نَجُسَتْ بِالِاسْتِحَالَةِ: كَالدَّمِ فَإِنَّهُ مُسْتَحِيلٌ عَنْ الْغِذَاءِ الطَّاهِرِ وَكَذَلِكَ الْبَوْلُ وَالْعَذِرَةُ حَتَّى الْحَيَوَانُ النَّجِسُ مُسْتَحِيلٌ عَنْ الْمَاءِ وَالتُّرَابِ وَنَحْوِهِمَا مِنْ الطَّاهِرَاتِ. وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يُعَبَّرَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ النَّجَاسَةَ طَهُرَتْ بِالِاسْتِحَالَةِ فَإِنَّ نَفْسَ النَّجِسِ لَمْ يَطْهُرْ لَكِنْ اسْتَحَالَ وَهَذَا الطَّاهِرُ لَيْسَ هُوَ ذَلِكَ النَّجِسَ وَإِنْ كَانَ مُسْتَحِيلًا مِنْهُ وَالْمَادَّةُ وَاحِدَةٌ كَمَا أَنَّ الْمَاءَ لَيْسَ هُوَ الزَّرْعَ وَالْهَوَاءَ وَالْحَبَّ وَتُرَابُ الْمَقْبَرَةِ لَيْسَ هُوَ الْمَيِّتَ وَالْإِنْسَانُ لَيْسَ هُوَ الْمَنِيَّ. وَاَللَّهُ تَعَالَى يَخْلُقُ أَجْسَامَ الْعَالَمِ بَعْضَهَا مِنْ بَعْضٍ وَيُحِيلُ بَعْضَهَا إلَى بَعْضٍ وَهِيَ تُبَدَّلُ مَعَ الْحَقَائِقِ لَيْسَ هَذَا هَذَا. فَكَيْفَ يَكُونُ الرَّمَادُ هُوَ الْعَظْمَ الْمَيِّتَ وَاللَّحْمَ وَالدَّمَ نَفْسَهُ. بِمَعْنَى أَنَّهُ يَتَنَاوَلُهُ اسْمُ الْعَظْمِ. وَأَمَّا كَوْنُهُ هُوَ هُوَ بِاعْتِبَارِ الْأَصْلِ وَالْمَادَّةِ فَهَذَا لَا يَضُرُّ فَإِنَّ التَّحْرِيمَ يَتْبَعُ الِاسْمَ وَالْمَعْنَى الَّذِي هُوَ الْخَبَثُ وَكِلَاهُمَا مُنْتَفٍ. وَعَلَى هَذَا فَدُخَانُ النَّارِ الْمُوقَدَةِ بِالنَّجَاسَةِ طَاهِرٌ وَبُخَارُ الْمَاءِ النَّجِسِ الَّذِي يَجْتَمِعُ فِي السَّقْفِ طَاهِرٌ وَأَمْثَالُ ذَلِكَ مِنْ الْمَسَائِلِ

Dan ini adalah pendapat yang benar, karena benda-benda tersebut tidak tercakup dalam nash pengharaman, baik secara lisan maupun makna, dan tidak termasuk dalam makna nash. Bahkan ia adalah objek-objek yang baik, maka nash yang menghalalkan mencakupnya, dan ia lebih pantas mendapatkannya daripada khamr [miras] yang berubah menjadi cuka dengan sendirinya.

Dan apa yang mereka sebutkan tentang perbedaan bahwa khamr [miras] menjadi najis melalui al-Istihalah [perubahan senyawa], maka ia menjadi suci pula melalui al-istihaalah ; maka itu bathil, karena semua benda-benda najis bisanya menjadi najis karena melalui al-Istihaalah [perubahan senyawa], seperti darah di mana ia adalah perubahan dari asupan gizi makanan yang suci.

Demikian juga air kencing dan tinja, bahkan binatang yang najis, itu semua hasil proses perubahan dari air, tanah, dan sejenisnya dari benda-benda yang suci. Dan tidak boleh dikatakan bahwa benda najis bisa berubah menjadi suci melalui proses al-Istihaalah [perubahan senyawa] ; karena objek benda najis itu sendiri tidak suci, akan tetapi ber istihaalah.

Dan yang suci ini bukan lah yang najis itu, meskipun ber istihaalah darinya, dan objek nya satu, sama halnya seperti air bukanlah tanaman, udara dan biji-bijian. Dan debu kuburan bukanlah mayit. Dan manusia bukanlah sperma.

Dan Allah SWT menciptakan jasmani-jasmani alam semesta sebagiannya dari sebagian yang lain, dan merujuk sebagiannya kepada sebagian yang lain, dan semua itu dengan dengan realitas. Ini bukanlah ini. Bagaimana mungkin dikatakan bahwa abu adalah tulang mayit, sedangkan daging adalah ayahmu sendiri, dalam artian bahwa nama tulang mencakupnya.

Adapun keadaannya itu tergantung pada asal dan zat ; maka ini tidaklah berpengaruh, karena pengharamannya itu mengikuti nama dan maknanya, yaitu najis. Dan keduanya tidak ada.

Oleh karena itu, maka asap api yang dinyalakan dengan benda najis adalah suci. Dan uap air najis yang terkumpul di langit-langit adalah suci, dan begitu pula hal-hal yang serupa.” [Baca: Majmu' Fataawaa Ibnu Taimiyah: 21/610-611]

Dan pembahasan yang luas seperti diatas juga dilakukan oleh asy-Syawkani. [Lihat: As-Sail Al-Jarraar: 1/52]

Dan pendapat yang menyatakan bahwa al-Istihalah dengan api itu mensucikan najis adalah pandangan [وَجْهٌ] kedua yang muncul dari madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali, akan tetapi dirujuk oleh mereka.

Imam al-Haromain mengutip dari Abu Zaid dan al-Khudhori, salah satu para sahabat madzhab Syafi'i:

أَنَّ كُلُّ ‌عَيْنٍ ‌نَجِسَةٍ ‌رَمَادُهَا ‌طَاهِرٌ ‌تَفْرِيعًا ‌عَلَى ‌الْقَدِيمِ إذْ الشَّمْسُ وَالرِّيحُ والنَّارُ تُطَهِّر الأَرْضَ النَّجِسَة

"Bahwa setiap objek yang najis maka abunya suci, berdasarkan cabang qoul al-qodiim, karena matahari, angin, dan api mensucikan tanah yang najis ". [al-Majmu': 2/579]

Dan Ibnu Qudamah setelah menetapkan pendapat yang dzohir dalam Madzhab Hanbali, dia berkata:

‌ويَتَخرَّجُ ‌أن ‌تطْهُرَ ‌النجاساتُ ‌كلُّها ‌بالاسْتحالةِ ‌قياسًا ‌علَى ‌الخمرةِ ‌إذا ‌انْقلَبتْ، وجُلودِ المَيْتَةِ إذا دُبغَتْ، والْجَلَّالةِ إذا حُبِسَتْ. والأوَّلُ ظاهرُ المذهبِ. وقد نَهَى إمامُنا رحمَه اللَّه عن الْخَبْزِ في تَنُّورٍ شُوِىَ فيه خِنْزيرٌ

“Dan bisa diambil suatu pendapat bahwa benda-benda najis semuanya bisa menjadi suci melalui al-Istihaalah [perubahan senyawa], berdasarkan analogi kepada khamr [miras[ketika telah berubah menjadi cuka, kulit bangkai jika disamak, dan binatang ternak al-Jallaalah [yang mengkosumsi pakan najis] jika telah dikarantina. Dan yang pertama adalah yang tampak dalam madzhab, dan imam kami – rahimahullah - melarang roti dalam oven di mana ada daging babi dipanggang di dalamya ". [al-Mughni: 1/97].

Adapun dalam madzhab Maliki, mereka bersama memiliki dua pendapat, akan tetapi apa yang dipelajari dari ungkapan para al-Mutaakhiriin adalah bahwa pendapat yang mengatakan suci adalah yang mu'tamad [dapat diandalkan]. Oleh karena itu ketika Khalil menyebutkan dalam Mukhthasar-nya abu benda najis dan asap nya dikaitkan dengan benda-benda najis, maka Syeikh Ad-Dardiir mengikutinya dengan mengatakan tentang abu-nya:

"‌بناءً ‌على ‌أن ‌النجاسة ‌إذا ‌تغيرت ‌أعراضها ‌لا ‌تتغير ‌عن ‌الحكم ‌الّذي ‌كانت ‌عليه؛ ‌عملًا بالاستصحاب. والمعتمد أنه طاهر ".

Berdasarkan bahwa benda najis, jika komponen-komponennya berubah, maka ia tidak berubah dari hukum yang berlaku; berdasarkan pengamalan kaidah al-ishtishaab [dikembalikan ke hukum asal]. Dan yang mu'tamad bahwa itu adalah suci ". [Lihat: Haasyiyah ad-Dasuuqi 'alaa asy-Syarh al-Kabiir 1/57].

 Dalam konteks ini, Ad-Dasuuqi mengutip dari Ibnu Marzuq mengomentari Khalil dengan mengatakan:

"اعتمد المصنف فيما صرح به من نجسة الرماد على قول المازري أنه لا يطهر عند الجمهور من الأئمة، وما كان حقه أن يفتي فيه إلا بما اختاره اللخمي والتونسي وابن رشد من طهارته، وأما كلام المازري فيحتمل أن يريد به: الأئمة من غير مذهبنا"

“al-Mushonnif berpegang terhadap apa yang dia nyatakan tentang kenajisan abu pada perkataan Al-Maaziri bahwa itu tidak suci menurut mayoritas dari para imam. Dan dia tidak berhak mengeluarkan fatwa kecuali dengan apa yang dipilih Al-Lakhmi, Al-Tunisi dan Ibnu Rusyd bahwa itu adalah suci. Adapun kata-kata al-Maaziri, bisa jadi yang dia maksud adalah: imam-imam dari selain mazhab kita. [Lihat: Haasyiyah ad-Dasuuqi 'alaa asy-Syarh al-Kabiir 1/57].

Adapun anggapan bahwa asap najis yang terbakar adalah najis, maka ad-Dardir menganggapnya perkataan yang dhaif [lemah], dan yang Mu'tamad dalam Madzhab Maliki juga adalah suci. [asy-Syarhul Kabiir 1/58]

Akan Tetapi Ad-Dasiuki menukil bahwa Dzoohir al-Madzhab adalah tidak suci, dan itu adalah yang dipilih oleh Al-Lakhmi, Al-Tunisi, Al-Mazari, Abu Al-Hassan dan Ibn Arafah, seperti yang di kutipan dari sebagian mereka bahwa itu adalah yang Masyhur.

Adapun Ibnu Rusyd memilih kesuciannya, sama seperti abu". [Lihat: Haasyiyah ad-Dasuuqi 'alaa asy-Syarh al-Kabiir 1/58]

PENDAPAT KEDUA:

Bahwa segala sesuatu yang najis tidak bisa disucikan dengan pembakaran atau api. Ini adalah mazhab Syafi'i dan pendapat yang tampak dari mazhab Hanbali, dan salah satu qoul dari madzhab Maliki. Dan ini yang dikatakan oleh Abu Yusuf dari madzhab Hanafi.

[Lihat: Badaa' al-Sana'i' 1/85, al-Fatawa al-Hindiyyah 1/44, Haashiyat al-Dasuqi 1/57-58, Fath al-Aziz 1/62-63, al-Majmu' 2/ 579, al-Mughni 1/97].

Abu Ishaq Al-Shirazi dari Madzhab Syafi'i berkata:

"‌وإن ‌أُحْرِقَ ‌السرجين ‌أو ‌العذرة ‌فصار ‌رمادًا ‌لم ‌يطهر؛ لأن نجاستها لعينها، ويخالف الخمر؛ لأن نجاستها لمعنًى معقولٍ، وقد زال"

“Dan jika tinja atau kotoran dibakar lalu menjadi abu, maka ia tidak menjadi suci, karena najisnya ada pada objeknya sendiri, dan itu berbeda dengan khmar, karena najisnya memiliki arti yang masuk akal, dan itu telah dihilangkan”. [al-Muhadzdzab (Majmu' 2/579)].

Dan di dalam hal asap benda najis menurut mereka (Madzhab Syafi'i) ada dua Qaul, yang paling shahih adalah najis sebagaimana ditetapkan oleh al-Nawawi (Majmu' 2/579). Dan Ibnu Qudamah berkata:

‌ظاهرُ ‌المذهبِ، ‌أنه ‌لا ‌يطْهُر ‌شيءٌ ‌مِن ‌النَّجاساتِ ‌بالاِستحالةِ، إلِّا الخمرة، إذا انْقلَبتْ بنفسِها خَلًّا، وما عَدَاهُ لا يطْهرُ؛ كالنجاساتِ إذا احْترقتْ وَصارت رَمادًا، والخنزيرِ إذا وقَع في المَلَّاحة وصار مِلْحًا، والدُّخَانِ الْمُتَرَقِّى مِن وَقُودِ النجاسةِ، والبُخارِ المُتصَاعِدِ مِن الماءِ النَّجِسِ إذا اجْتمعَتْ منه ندَاوةٌ علَى جسمٍ صَقِيلٍ ثم قَطَّر، فهو نَجِسٌ

“Madzhab yang tampak adalah bahwa sesuatu dari yang najis tidak bisa di sucikan dengan cara al-Itihaalah [perubahan senyawa], kecuali khmar [minuman keras] jika berubah menjadi cuka dengan sendirinya. Dan segala sesuatu yang lain tidak bisa suci, seperti segala sesuatu yang najis jika dibakar menjadi abu...

Dan juga babi, jika jatuh ke dalam ladang garam dan berubah menjadi garam. Dan juga asap yang mengepul dari bahan bakar najis. Dan juga uap yang menguap dari air najis, jika terhimpun menjadi embun darinya yang melekat pada tubuh, kemudian menetes, maka tetesan itu najis juga. [al-Mughni 1/97]

Dan salah satu pandangan [وَجْه] untuk qaul ini dalam madzhab Syafi'i nampak jelas dalam perkataan Asy-Syairaazi:

"لأنَّ نَجَاسَتَها لِعَيْنِها"

"Karena najisnya ada pada objeknya."

Maknanya: Bahwa tinja itu – misalnya – ia adalah najis dalam dzatnya dan objeknya sendiri, maka jika ia berubah menjadi abu atau asap karena api, maka itu tidak mempengaruhinya, karena objeknya tetap ada meskipun bentuknya berubah.

Dan salah satu pandangan [وَجْه] dalam madzhab Hanbali menyatakan: Bahwa hukum najis pada objek najis tidak bisa hilang dengan al-Istihalah [perubahan senyawa] maka tidak bisa menjadi suci dengannya. Tidak seperti anggur, itu tidak murni melalui transformasi, jadi diperbolehkan untuk memurnikannya. [Al-Mughni: 1/776].

Menurut penalaran Madzhab Hanbali ini, perlu dibedakan antara najis dan sesuatu yang menjadi najis akibat kena api. Dan karenanya, objek yang menjadi najis karena bercampur dengan najis, ketika telah diubah oleh api menjadi abu, asap., atau sesuatu yang lain, maka itu hukumnya menjadi suci, karena asal mulanya adalah suci dan kemudian menjadi najis melalui al-istihalah, maka sudah seharusnya menjadi suci olehnya.

CONTOH-CONTOH PERUBAHAN SENYAWA BENDA NAJIS DENGAN API:
  1. Abu benda najis dan asap nya jika dibakar.
  2. Uap air najis yang menguap karena memasaknya dengan api.
  3. Tanah liat yang najis menjadi tembikar karena dibakar dengan api.
  4. Kismis [anggur kering] yang najis dan menjadi syrup karena direbus dengan api.
  5. Adonan roti dipanggang dengan kayu bakar dari kotoran najis.

--------------

KETIGA: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA [الاسْتِهْلاَكُ/PELENYAPAN]

Maksudanya: perubahan senyawa atau transformasi dengan cara melarutkan dan melenyapkan objek najis ke dalam objek suci yang jauh lebih banyak kadarnya.

Definisi al-istihlaak [الاسْتِهْلاَكُ]:

“أن تفني عين النجاسة في مادة طاهرة حتى تصير جزءا منها، كوقوع نجاسة في ملاحة وانقلابها ملحا ".

"Melenyapkan objek najis ke dalam zat suci sehingga berubah menjadi bagian dari zat suci".

Atau dalam definisi lain:

"انغمار عين في عين تزول معه صفات وخصائص العين المغمورة، ولا يمكن تمييزها بوجه من الوجوه المختلفة ".

“Pembenaman suatu objek ke dalam objek lain yang menghilangkan sifat-sifat dan karakteristik objek yang terbenam, dan tidak dapat dibedakan dalam salah satu aspek yang berbeda".

Contoh al-Istihaalah dengan cara [الاسْتِهْلاَكُ]:

1] Objek najis yang jatuh ke dalam ladang garam dan berubah menjadi garam.

2] Menuangkan air suci yang kadarnya lebih banyak pada air yang najis.

3] Menguras air sumur atau kolam yang tertimpa najis

4] air sumur atau kolam yang tertimpa najis yang berubah dengan sendirinya.

5] air sumur atau kolam yang tertimpa najis dengan menaburkan debu padanya atau diambil sedikit demi sedikit untuk menyiram tanaman atau diminum oleh hewan.

Perbedaan pendapat para ulama ahli fiqih dalam hal ini mendekati perbedaan mereka pada masalah al-istihlak dengan api, sebagaimana yang telah di sebutkan diatas.

Madzhab Hanafi, dengan pengecualian Abu Yusuf, menganggapnya Suci dan halal.

Begitu juga yang dikatakan Ibnu Hazm al-Zahiri, Ibnu Taimiyyah al-Hanbali, dan al-Shawkani.

[Lihat: Bada’i Ash-Shanaa’i’: 1/85, Al-Muhalla: 1/128, Majmu' Fataawa Ibnu Taimiyah: 21/481, As-Sail Al-Jarraar: 1/52 karya Ibnu Hazm.

Ini adalah wajh mukhorroj dalam madzhab Syafi'i dan Ahmad. Namun yang shahih dalam madzhab Syafa'i dan yang dzahir dalam madzhab Hanbali adalah bahwa ini tidak Suci. [Lihat “Al-Majmu”: 2/579 dan Al-Mughni: 1/89].

Dan menurut Maliki terdapat dua qoul secara bersamaan, sama seperti dalam hukum al-Istihaalah dengan api.

TARJIIH:

YANG MANA YANG RAJIH DAN SEJALAN DENGAN RUH SYARIAH ?

Yang sejalan dengan ruh, semangat dan tujuan syariat adalah bahwa itu adalah suci disebabkan karena telah berubah objeknya. Wallahu a'lam.

Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:

‌وَتَنَازَعُوا ‌فِيمَا ‌إذَا ‌صَارَتْ ‌النَّجَاسَةُ ‌مِلْحًا ‌فِي ‌الْمَلَّاحَةِ ‌أَوْ ‌صَارَتْ ‌رَمَادًا أَوْ صَارَتْ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَالصَّدِيدُ تُرَابًا: كَتُرَابِ الْمَقْبَرَةِ فَهَذَا فِيهِ قَوْلَانِ فِي مَذْهَبِ مَالِكٍ وَأَحْمَد: أَحَدُهُمَا: أَنَّ ذَلِكَ طَاهِرٌ كَمَذْهَبِ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَهْلِ الظَّاهِرِ. وَالثَّانِي: أَنَّهُ نَجِسٌ كَمَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ. وَالصَّوَابُ أَنَّ ذَلِكَ كُلَّهُ طَاهِرٌ إذَا لَمْ يَبْقَ شَيْءٌ مِنْ أَثَرِ النَّجَاسَةِ لَا طَعْمُهَا وَلَا لَوْنُهَا وَلَا رِيحُهَا؛ لِأَنَّ اللَّهَ أَبَاحَ الطَّيِّبَاتِ وَحَرَّمَ الْخَبَائِثَ وَذَلِكَ يَتْبَعُ صِفَاتِ الْأَعْيَانِ وَحَقَائِقَهَا ، فَإِذَا كَانَتْ الْعَيْنُ مِلْحًا أَوْ خَلًّا دَخَلَتْ فِي الطَّيِّبَاتِ الَّتِي أَبَاحَهَا اللَّهُ وَلَمْ تَدْخُلْ فِي الْخَبَائِثِ الَّتِي حَرَّمَهَا اللَّهُ.....

“Dan mereka memperdebatkan apakah jika benda najis berubah menjadi garam di ladang garam, atau berubah menjadi abu. atau mayat, darah dan nanah berubah menjadi debu seperti debu kuburan ?

Ada dua pendapat dalam madzhab Malik dan Ahmad:

Salah satunya: adalah suci, seperti Madzhab Abu Hanifah dan madzhab adz-Dzohiri.

Yang kedua adalah najis, seperti mazhab Syafi'i.

Dan pendapat yang benar adalah bahwa semuanya itu suci, karena tidak ada yang tersisa dari jejak najis, baik rasanya, warnanya, maupun baunya. Karena Allah menghalalkan yang baik-baik [الطَّيِّبَاتُ] dan mengharamkan yang buruk dan menjijkan [الخَبَائِثُ], dan itu dengan mengikuti karakteristik objek dan realitasnya. Maka jika objeknya itu nampak garam atau cuka, maka ia termasuk objek-objek yang baik [الطَّيِّبَاتُ] yang dihalalkan Allah, dan tidak termasuk objek-objek yang buruk [الخَبَائِثُ] yang diharamkan Allah…” [Majmu' Fataawaa Ibnu Taimiyah 21/481-482].

Dan al-istihaalah dengan cara al-istihlaak ini dilakukan dengan mencampurkan suatu zat yang haram atau najis dengan zat lain yang suci, halal yang mendominasi, yang menghilangkan sifat najis dan diharamkan menurut syariat Islam. Jika sifat zat yang dicampuri dan terdominasi itu telah hilang dari rasa, warna dan baunya, di mana zat yang terdominasi ini lenyap oleh zat yang mendominasi ; maka hukumnya ikut yang mendominasi atau mayoritas. Contohnya:

Contoh pertama:

Lesitin dan kolesterol, yang diekstraksi dari sumber yang najis, meski tanpa proses al-Istihaalah [transformasi]; maka dapat digunakan dalam makanan dan obat-obatan dalam jumlah yang sangat sedikit sekali yang dilarutkan dalam campuran yang suci dan halal.

[Lecithin atau Lesitin: dapat diperoleh dari kuning telur, minyak biji matahari, lemak hewani, dan yang paling banyak dari keledai titik dalam pangan, lesitin berfungsi sebagai emulsifier, yaitu zat yang dapat mencampur minyak dan air.

Digunakan pada sekian banyak produk pangan misalnya: coklat sama permen susu kopi dan banyak lagi titik kita bisa mengecek kandungan lesitin melalui daftar komposisi pada bungkus makanan.

Lesitin juga digunakan pada banyak produk mulai dari cat, bahan anti lengket untuk plastik, suatu aditif antisludge (anti-lumpur) dalam pelumas motor, zat antigumming dalam bensin dan pengemulsi, zat penyebaran dan antioksidan pada tekstil, karet, dan industri lain.

Lesitin dari babi banyak digunakan karena memiliki hasil yang sangat baik dan harga relatif murah. Bahan utama pembuatan lesitin dari babi adalah lemak babi titik apabila dalam komposisi sebuah produk yang tidak berlabel halal terdapat “Lesitin” saja tanpa penambahan “kedelai” Atau “soya” atau “soy”].

Contoh kedua:

Enzim babi, seperti pepsin dan ragi pencernaan lainnya dan sejenisnya, digunakan dalam jumlah sangat sedikit dan sebagian besar dikonsumsi dalam makanan dan obat-obatan.

[Pepsin adalah enzim yang memecah protein menjadi peptida yang lebih kecil (pepsin merupakan salah satu protease). Enzim yang diproduksi di lambung dan merupakan salah satu enzim pencernaan utama dalam sistem pencernaan manusia dan banyak hewan lainnya yang membantu mencerna protein dalam makanan.

Produk ini adalah pepsin yang diekstraksi dari mukosa lambung babi, domba atau sapi. Ini memiliki kemampuan untuk mencerna protein untuk gangguan pencernaan].

[Baca: مجلة مجمع الفقه الإسلامي/Jurnal Akademi Fiqh Islam (2/ 21031-21032)]

Para peserta Simposium memutuskan sebagai berikut:

“إن المذيبات الصناعية والمواد الحاملة والدافعة للمادة الفعالة في العبوات المضغوطة إذا استخدمت وسيلة لغرض أو منفعة مشروعة جائزة شرعاً. أما استعمالها من أجل الحصول على تأثيرها المخدر أو المهلوس باستنشاقها فهو حرام شرعاً اعتباراً للمقاصد ومآلات الأفعال".

"Zat Pelarut Buatan dan zat yang mengangkut serta mendorong zat aktif dalam kemasan kaleng bertekanan [yakni: yang mengandung tekanan gas seperti minuman Pepsi kaleng. PEN.], jika digunakan sebagai sarana untuk tujuan atau manfaat yang syar'i, maka diperbolehkan secara hukum syar'i.

Adapun menggunakannya untuk mendapatkan efek narkotik [obat bius] atau halusinogen dengan menghirupnya, maka itu haram menurut syariat, mengingat akan tujuan dan akibat perbuatannya".

[Sumber: توصيات الندوة الفقهية الطبية التاسعة/مجلة المجمع الفقهي Edisi 10, 2/461-463].

----------------

KEEMPAT: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA DIDOMINASI OBJEK SUCI
المُكَاثَرَةُ]

Yakni: mencampurkan objek yang kadarnya jauh lebih banyak ke objek najis yang sedikit.

Adapun makna al-Mukaatsaroh [المُكَاثَرَةُ] adalah:

أن تختلط نجاسة قليلة بعين طاهرة غالبة عليها

Mencampur objek najis yang sedikit dengan objek suci yang mendominasi terhadapnya

Yang paling diperdebatkan oleh para ulama ahli fiqih dalam hal ini adalah masalah benda-benda cair seperti mentega, minyak samin, susu, cuka, dan yang sejenisnya:

- Maka sebagian mereka ada yang menjadikannya seperti air, artinya: jika bercampur dengan najis, tidak menjadi najis kecuali terjadi perubahan. Ini adalah Madzhab Hanafi, dan salah satu qoul dalam madzhab Maliki dan madzhab Hanbali. [Lihat: Majmu' Fataawaa Ibnu Taimiyah 21/488 dan sesudahnya, 21/524 dan sesudahnya].

- Dan di antara mereka ada yang menjadikannya lebih utama dari air dalam arti tidak najis, dan oleh karenanya maka air tersebut tidak najis jika objek najisnya dihilangkan atau tersembunyi dan berubah. [Lihat: Majmu' Fataawaa Ibnu Taimiyah 21/490 dan sesudahnya, 21/524 dan sesudahnya].

- Dan sebagian dari mereka menjadikan derajatnya dibawah air, artinya: air lebih utama darinya dalam hal ketidak najisan. Dan oleh karenanya, jika objek najis bercampur dengannya, maka air tersebut menjadi najis meskipun dalam jumlah banyak. Dan ini adalah Madzhab Syafi'i, Madzhab Maliki dan madzhab Hanbali dalam perkataan lain yang ada pada mereka. [Lihat: Majmu' Fataawaa Ibnu Taimiyah 21/488 dan sesudahnya, asy-Syarh al-Kabiir karya ad-Dardiir 1/159].

Sebagian para ulama ahli Fiqih membedakan antara cairan berair, seperti cuka kurma, yang mereka cemplungkan ke air, dan cairan non-air, seperti cuka anggur, maka ia tidak seperti air. Ini adalah riwayat ketiga dalam madzahb Hanbali. [Lihat: Majmu' Fataawaa Ibnu Taimiyah 21/489 dan sesudahnya]

Dan Imam Ibnu Taimiyyah secara luas membahas madzhab-madzhab para ulama ahli fiqih dan perkataan mereka dalam hal ini. Dan dia mentarjih dan lebih memilih SUCI-nya cairan yang bercampur dengan najis selama tidak berubah dari asalnya. Dan dia menguraikan dalil-dalil tentang itu dengan melimpah dan untuk membelanya, serta untuk menanggapi dan membantah mereka yang menyelisihinya dalam hal ini.

Ibnu Taimiyyah berkata:

وَفِي الْجُمْلَةِ فَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ الصَّوَابُ ‌وَذَلِكَ ‌أَنَّ ‌اللَّهَ ‌حَرَّمَ ‌الْخَبَائِثَ ‌الَّتِي ‌هِيَ ‌الدَّمُ ‌وَالْمَيْتَةُ ‌وَلَحْمُ ‌الْخِنْزِيرِ ‌وَنَحْوُ ‌ذَلِكَ فَإِذَا وَقَعَتْ هَذِهِ فِي الْمَاءِ أَوْ غَيْرِهِ وَاسْتُهْلِكَتْ لَمْ يَبْقَ هُنَاكَ دَمٌ وَلَا مَيْتَةٌ وَلَا لَحْمُ خِنْزِيرٍ أَصْلًا. كَمَا أَنَّ الْخَمْرَ إذَا اُسْتُهْلِكَتْ فِي الْمَائِعِ لَمْ يَكُنْ الشَّارِبُ لَهَا شَارِبًا لِلْخَمْرِ

Kesimpulannya, pendapat ini adalah yang benar, dan itu karena Allah telah mengharamakan segala yang khobits, yaitu darah, bangkai hewan, babi, dan sejenisnya. Maka jika najis ini jatuh ke dalam air atau sesuatu yang lain dan lenyap karena larut, maka tidak ada yang tersisa baik darah, bangkai, atau pun daging babi sama sekali, sebagaimana halnya seperti ketika khamr [miras[larut dan lenyap dalam cairan; maka orang yang meminumnya bukanlah meminum al-Khamr [miras]. [Majmu' Fataawaa 21/501-502]

Kemudian Ibnu Taimiyah berkata:

وَهَذِهِ الْأَدْهَانُ وَالْأَلْبَانُ وَالْأَشْرِبَةُ الْحُلْوَةُ وَالْحَامِضَةُ وَغَيْرُهَا مِنْ الطَّيِّبَاتِ وَالْخَبِيثَةِ قَدْ اُسْتُهْلِكَتْ وَاسْتَحَالَتْ فِيهَا فَكَيْفَ يَحْرُمُ الطَّيِّبُ الَّذِي أَبَاحَهُ اللَّهُ تَعَالَى وَمَنْ الَّذِي قَالَ: إنَّهُ إذَا خَالَطَهُ الْخَبِيثُ وَاسْتُهْلِكَ فِيهِ وَاسْتَحَالَ قَدْ حَرُمَ؟ وَلَيْسَ عَلَى ذَلِكَ دَلِيلٌ لَا مِنْ كِتَابٍ وَلَا مِنْ سُنَّةٍ وَلَا إجْمَاعٍ وَلَا قِيَاسٍ

Lemak, susu, minuman manis dan asam ini, serta lainnya dari yang baik-baik dan yang khobits telah hilang dan berubah di dalamnya, maka bagaimana mungkin mengharamkan yang baik yang telah dimubahkan oleh Allah.

Dan siapakah yang mengatakan: Jika yang khobits bercampur dengan yang thoyib, lalu yang khobits lenyap didalamnya dan berubah, lalu diharamkan?

Tidak ada dalil untuk itu, baik dari Kitab, maupun dari As-Sunnah, maupun dari Ijma', dan maupun dari Qiyas [analogi]. [Majmu' Fataawaa 21/502]

Dari uraian di atas, diketahui bahwa objek najis menjadi suci dengan al-Istihaalh [transformasi] melalui cara al-Istihlaak dan al-Mukaatsarah [الاسْتِهْلاَكُ وَالمُكَاثَرَةُ] ; karena dalam kedua cara itu sama-sama kehilangan hakikat dan realitas aslinya.

Dan itu berubah menjadi objek lain yang digambarkan sebagai sesuatu yang suci, baik secara syar'i maupun tradisi, maka harus dinyatakan bahwa itu telah berubah menjadi suci dan diperbolehkan untuk mengambil manfaat darinya.

Berikut ini beberapa contoh praktek dalam fiqih kontemporer untuk hal ini, yaitu adalah:

Menggunakan sebagian bahan-bahan najis yang diharamkan, seperti lemak babi atau alkohol, misalnya untuk mengolah makanan atau obat-obatan. Dan itu dalam kadar jumlah yang sangat sedikit, dengan maksud untuk mencairkan, membekukan, menguatkan atau mengawetkan semua itu, atau untuk tujuan lain, baik itu dalam benda-benda cair, padat, kering, atau lainnya, di mana semua zat najis berubah menjadi zat suci dengan cara melarutkannya di dalamnya hingga hilang, atau dengan menjadikan yang suci jauh lebih mendominasi. Maka dari sini menjadi halal thoyyib bisa dimanfaatkan.

SEBAGAI CONTOH: AIR SUMUR YANG TERTIMPA NAJIS ?

Madzhab Hanafi berpendapat bahwa jika sebagian air sumur najis dikeluarkan dari nya, maka itu mensucikan apa yang tersisa dari air di dalamnya, akan tetapi mereka berbeda pendapat tentang kadar yang harus dikuras atau dikeluarkan agar bisa mensucikan air yang tersisa.

Sementara madzhab Maliki berpendapat bahwa perubahannya menjadi najis bisa dihilangkan dengan cara memperbanyak apa saja ke dalamnya atau dengan memmasukan air lain yang suci, dan jika itu hilang dengan sendirinya, maka yang dzohir hukumnya adalah telah kembali ke keadaan semula, yaitu kembali suci.

Madzhab Syafi'i dan Madzhab Hanbali mengklasifikasikan air menjadi tiga kategori:

Salah satunya: jika lebih dari dua QULLAH, maka disucikan dengan tiga cara: menambahkan air ke dalamnya dengan kesepakatan, atau dengan menguras, dengan syarat sisanya dua Qullah, sesuai kesepakatan juga; Atau hilangnya perubahan dengan sendirinya. Dan ini adalah menurut Madzhab Syafa'i.

Dan yang kedua: jika ada dua Qullah, maka ia tetap suci dengan semua yang disebutkan di atas kecuali jika diambil sebagian sehingga menjadi kurang dari dua qullah ; maka ia tidak suci, ini berdasarkan kesepakatan para ulama.

Dan yang ketiga: jika kurang dari dua Qullah, lalu ditambahi dengan air hingga mencapai dua qalatin, maka itu menjadi suci, ini berdasarkan kesepakatan para ulama.

[Lihat: Bada'i Al-Sana'i 1/84, Mawahib Al-Jalil 1/84-85, Al-Majmu' 1/183 dan sesudahnya, Al-Mughni 1/35-43, Majallah Da'wat Al-Haqq Edisi No. 334 S.39 hal./81-83, مجلة البحوث الإسلامية Edisi 35, hlm. 42-59.

DUA QULLAH

Ukuran volume dua qullah dalam ukuran standar besaran international di masa sekarang ini menurut Para ulama kontemporer kira-kira sejumlah 270 liter. Seperti yang disebutkan oleh Dr. Wahbah az-Zuhaili dalam Al-Fiqhul Islami Wa Adillatuhu

---------

KELIMA: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA PEMBAURAN [الاِخْتِلاَطُ].

Maksudnya adalah:

الاستحالة بالاِخْتِلاَطُ بالأرض والتقادم والتعرض للعوامل الطبيعية

Artinya: Transformasi atau perubahan senyawa dengan cara berbaur dengan tanah, lamanya masa berlalu dan terpapar faktor-faktor alami.

Contohnya adalah sbb:

  1. Transformasi atau perubahan senyawa benda najis menjadi debu.
  2. Tanaman yang diairi dengan senyawa najis.
  3. Pohon dan buah-buahan yang diairi dengan air kotoran najis.
  4. Lumpur jalanan yang najis, dan lumpur selokan yang najis jika mengering atau menjadi kering.
  5. Bangkai yang jatuh ke dalam sumur dan berubah menjadi lumpur.

BAGAIMANA HUKUM AL-ISTIHAALAH JENIS INI ?

Sebagian besar para ulama ahli Fiqih mengatakan bahwa jika kenajisan itu berubah dengan cara seperti itu, maka itu menjadi SUCI.

Al-Kaasani dari ulama madzhab Hanafi berkata:

“ولو أصابت النجاسة الأرض فجفت وذهب أثرها تجوز الصلاة عليها عندنا، وعند زفر لا تجوز، وبه أخذ الشافعي".

“Dan jika najis menimpa tanah lalu mengering dan bekasnya hilang, maka diperbolehkan untuk mendirikan shalat diatasnya – menurut madzhab kami -. Dan menurut pendapat Zufar: tidak diperbolehkan, dan ini pendapat yang diambil oleh Al-Syafi'i.” [Bada'i al-Sana'i': 1/85.]

Lalu Al-Kaasani berkata pula:

"النجاسة إذا تغيرت بمضي الزمان وتبدلت أوصافها تصير شيئا آخر عند محمد فيكون طاهرا...... وعلى هذا الأصل مسائل....: (منها): الكلب إذا وقع في الملاحة، والجمد، والعذرة إذا أحرقت بالنار وصارت رمادا، وطين البالوعة إذا جف وذهب أثره والنجاسة إذا دفنت في الأرض وذهب أثرها بمرور الزمان ".

“Jika kenajisan berubah dengan berlalunya waktu dan deskripsinya berubah, serta menjadi sesuatu yang lain - menurut Muhammad [Asy-Syaibaani]- maka itu menjadi SUCI…

Berdasarkan asas ini, terdapat beberapa masalah....:

(Antara lain): anjing jika jatuh ke ladang garam dan membeku. Kotoran Tinja jika dibakar dan menjadi abu. Lumpur selokan jika mengering dan hilang bekasnya. Dan benda najis jika terkubur dalam tanah dan jejaknya hilang seiring berjalannya waktu. [Bada'i al-Sana'i': 1/85].

Dan masih berkaitan dengan masalah benda-benda yang dianggap suci, Khalil al-Maliki berkata berkata:

"(وزرع بنجس) أي سقي، وذكر الدسوقي صورة أخرى أغلظ من هذه وحكم بطهارتها، وهي أن يزرع زرع نجس بذاته، فإنه إذا نبت صار طاهرا ".

"(Dan tanaman dengan najis) yakni menyiraminya. Dan Ad-Dasuuqi menyebutkan bentuk lain yang lebih parah dari ini, namun dia tetap menganggapnya SUCI, yaitu menanam benih najis dzatnya, jika ia tumbuh, maka menjadi SUCI". [Haasyiyah Ad-Dasuuqi: 1/52.]

Al-Nawawi berkata:

الزَّرْعُ ‌النَّابِتُ ‌عَلَى ‌السِّرْجِينِ ‌قَالَ ‌الْأَصْحَابُ ‌لَيْسَ ‌هُوَ ‌نَجِسَ الْعَيْنِ لَكِنْ يَنْجُسُ بِمُلَاقَاةِ النَّجَاسَةِ نَجَاسَةً مُجَاوِرَةً وَإِذَا غُسِلَ طَهُرَ وَإِذَا سَنْبَلَ فَحَبَّاتُهُ الْخَارِجَةُ طَاهِرَةٌ قَطْعًا وَلَا حَاجَةَ إلَى غَسْلِهَا وَهَكَذَا الْقِثَّاءُ وَالْخِيَارُ وَشَبَهُهُمَا يَكُونُ طَاهِرًا وَلَا حَاجَةَ إلَى غَسْلِهِ قَالَ الْمُتَوَلِّي وَكَذَا الشَّجَرَةُ إذَا سُقِيَتْ مَاءً نَجِسًا فَأَغْصَانُهَا وَأَوْرَاقُهَا وَثِمَارُهَا طَاهِرَةٌ كُلُّهَا لِأَنَّ الْجَمِيعَ فَرْعُ الشَّجَرَةِ وَنَمَاؤُهَا

“Benih yang tumbuh diatas kotoran tinja, para sahabat [ulama Madzhab Syafi'i] berkata: tidak najis …

Dan jika keluar mayang atau bulir, maka bulirnya yang keluar itu pasti suci dan tidak perlu dicuci, begitu juga bonteng, ketimun, dan sejenisnya adalah suci dan tidak perlu mencucinya.

Al-Mutawalli berkata: Demikian juga, jika pohon disiram dengan air yang najis, maka cabang, daunnya dan buahnya juga suci semua, karena semuanya adalah dahan dari pohon dan tumbuh berkembang darinya [al-Majmu' 2/573].

*******

HADITS-HADIT YANG BERKAITAN DENGAN PEMBAHASAN INI:

Hadits ke 1: “Dari seorang ibu putera Ibroohim bin 'Abdurrohmaan bin 'Auf

 أَنَّهَا سَأَلَتْ أُمَّ سَلَمَةَ زَوْجَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ إِنِّى امْرَأَةٌ أُطِيلُ ذَيْلِى وَأَمْشِى فِى الْمَكَانِ الْقَذِرِ. فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم « يُطَهِّرُهُ مَا بَعْدَهُ ».

Bahwa ia pernah bertanya kepada Ummu Salamah radhiyallahu 'anhaa, istri Nabi SAW:

“Sesungguhnya saya adalah seorang perempuan yang biasa memanjangkan pakaianku dan (terkadang) saya berjalan di tempat yang kotor? ”

Maka jawab Ummu Salamah radhiyallahu 'anhaa, bahwa Nabi SAW pernah bersabda, “ Tanah sesudahnya mensucikannya .”

[HR. At-Tirmidzi (143), Abu Dawud (383) dan Ibnu Majah (531). Hadits tersebut digolongkan sebagai shahih oleh Syekh al-Albani dalam Shahih al-Tirmidzi. Hadits tersebut dihukumi shahih oleh Syekh al-Albani dalam Shahih al-Tirmidzi.]

Hadits ke 2: Dari Abdullah bin Yazid dari Seorang perempuan dari Bani Abdil Asyhal dia berkata;

قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لَنَا طَرِيقًا إِلَى الْمَسْجِدِ مُنْتِنَةً فَكَيْفَ نَفْعَلُ إِذَا مُطِرْنَا. قَالَ: أَلَيْسَ بَعْدَهَا طَرِيقٌ هِيَ أَطْيَبُ مِنْهَا ؟ قَالَتْ: قُلْتُ: بَلَى. قَالَ: " فَهَذِهِ بِهَذِهِ ".

Saya pernah bertanya; Wahai Rasulullah! Sesungguhnya jalan kami menuju ke masjid kotor bau busuk, maka bagaimanakah yang kami lakukan apabila turun hujan? Beliau bersabda: "Bukankah sesudah jalan (yang kotor bau busuk itu) adalah jalan yang lebih bagus (suci)?" Saya menjawab: Ya.

Beliau bersabda: "Maka jalan kotor tadi disucikan oleh tanah jalanan yang suci."

[HR. Abu Daud (384) dan lafalnya adalah miliknya, Ibnu Majah (533), dan Ahmad (27452) dengan sedikit perbedaan. Di shahihkan oleh al-Albaani.

Hadits ke 3: Dari Abu Hurairoh radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

قَامَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي الْمَسْجِدِ فَتَنَاوَلَهُ النَّاسُ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعُوهُ وَهَرِيقُوا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلًا مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ

 “Telah berdiri seorang Arab Badui di (pojok) di masjid lalu buang air kecil (kencing), maka kemudian para Shohabat hendak menghentikannya.

Lalu Nabi SAW kepada mereka:

Biarkan dia (sampai selesai) dan (kemudian) tuangkanlah diatas urinnya setimba air atau seember air, karena kalian diutus (ke permukaan bumi) sebagai pemberi kemu-dahan, bukan diutus untuk menyulit-kan .” [HR. Bukhori no. 220, 6128].

Hadits ke 4: Dari [Abu Sa'id Al-Khudri] dia berkata;

بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِأَصْحَابِهِ إِذْ خَلَعَ نَعْلَيْهِ فَوَضَعَهُمَا عَنْ يَسَارِهِ فَلَمَّا رَأَى ذَلِكَ الْقَوْمُ أَلْقَوْا نِعَالَهُمْ فَلَمَّا قَضَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاتَهُ قَالَ مَا حَمَلَكُمْ عَلَى إِلْقَاءِ نِعَالِكُمْ قَالُوا رَأَيْنَاكَ أَلْقَيْتَ نَعْلَيْكَ فَأَلْقَيْنَا نِعَالَنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ جِبْرِيلَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ فِيهِمَا قَذَرًا أَوْ قَالَ أَذًى وَقَالَ إِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلْيَنْظُرْ فَإِنْ رَأَى فِي نَعْلَيْهِ قَذَرًا أَوْ أَذًى فَلْيَمْسَحْهُ وَلْيُصَلِّ فِيهِمَا

Tatkala Rasulullah SAW mengerjakan shalat bersama para sahabatnya, tiba tiba beliau melepaskan kedua sandalnya lalu meletakkannya di sebelah kirinya. Sewaktu para sahabat melihat tindakan beliau tersebut, mereka ikut pula melepas sandal mereka.

Maka tatkala Rasulullah SAW selesai shalat, beliau bersabda:

"Apa gerangan yang membuat kalian melepas sandal sandal kalian?"

Mereka menjawab; Kami melihat engkau melepas sandal, sehingga kami pun melepaskan sandal sandal kami.

Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Malaikat Jibril 'Alaihis Salam telah datang kepadaku, lalu memberitahukan kepadaku bahwa di sepasang sandal itu ada najisnya."

Selanjutnya beliau bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian datang ke masjid, maka perhatikanlah, jika dia melihat di sepasang sandalnya terdapat najis atau kotoran maka usaplah, dan shalatlah dengan sepasang sandalnya itu."

[HR. Abu Daud (650) dan disahihkan oleh Al-Albani dalam “Sahih Abi Daud”]

Hadits ke 6: Dari Abu Hurairah: bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا وَطِئَ أَحَدُكُمْ بِنَعْلِهِ الْأَذَى فَإِنَّ التُّرَابَ لَهُ طَهُورٌ

"Apabila salah seorang di antara kalian menginjak kotoran dengan sandalnya, maka debu tanah dapat menjadi penyuci baginya". 

Dan lafadz riwayat lain:

 إِذَا وَطِئَ الْأَذَى بِخُفَّيْهِ فَطَهُورُهُمَا التُّرَابُ

"Apabila di antara kamu menginjak kotoran dengan dua khufnya [kaos kaki kulit], maka debu tanahlah yang mensucikan keduanya".

[HR. Abu Daud (385) di shahihkan al-Albaani dalam التعليقة الرضية 1/103].

----------

KEENAM: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA PENYAMAKAN KULIT [الدَّبْغُ]

Penyamakan kulit adalah suatu proses mengubah kulit mentah menjadi kulit tersamak (leather). Penyamakan kulit biasanya digunakan pada hampir semua jenis ternak antara lain kulit sapi, kerbau, kambing, kelinci, domba, ikan pari dll, bahkan beberapa hewan ekstrim di antaranya ular, harimau dan buaya.

Penyamakan kulit merupakan cara untuk mengubah kulit yang bersifat labil dan mudah rusak oleh pengaruh fisik, kimia dan biologi menjadi kulit yang stabil terhadap pengaruh tersebut. Kulit samak memiliki sifat khusus yang sangat berbeda dengan kulit mentahnya, baik sifat fisis maupun sifat khemisnya.

Kulit mentah mudah membusuk dalam keadaan kering, keras, dan kaku. Sedangkan kulit tersamak memiliki sifat yang awet dan mudah dibentuk menjadi segala jenis kerajinan di antaranya tas, jaket, sabuk atau gesper, gantungan kunci, cover buku, dompet dan kerajinan lainnya. 

Teknik mengolah kulit mentah menjadi kulit samak disebut penyamakan. Dengan demikian, kulit hewan yang mudah busuk dapat menjadi tahan terhadap serangan mikroorganisme.

Prinsip mekanisme penyamakan kulit adalah memasukkan bahan penyamak ke dalam jaringan serat kulit sehingga menjadi ikatan kimia antara bahan penyamak dan kulit didalam serat kulit.

LOGIKA SUCINYA KULIT BANGKAI SETELAH DI SAMAK.

وَهُوَ أَنَّ الدَّبْغَ يُزِيل سَبَبَ النَّجَاسَةِ وَهُوَ الرُّطُوبَةُ وَالدَّمُ، فَصَارَ الدَّبْغُ لِلْجِلْدِ كَالْغَسْل لِلثَّوْبِ. وَلأَنَّ الدِّبَاغَ يَحْفَظُ الصِّحَّةَ لِلْجِلْدِ وَيُصْلِحُهُ لِلاِنْتِفَاعِ بِهِ كَالْحَيَاةِ، ثُمَّ الْحَيَاةُ تَدْفَعُ النَّجَاسَةَ عَنِ الْجُلُودِ فَكَذَلِكَ الدِّبَاغُ

Artinya: Yaitu bahwa penyamakan itu menghilangkan penyebab najis, yaitu kelembaban dan darah, sehingga penyamakan kulit menjadi sama seperti mencuci pakaian.

Dan karena penyamakan itu menjaga kesehatan kulit dan menjadikannya layak untuk digunakan sama seperti ketika hewannya masih hidup. Kemudian semasa hidupnya hewan itu bisa mengusir najis dari kulit, maka begitu pula dengan penyamakan.

[Lihat: Ibn Abidin 1/136, Al-Bada'i' 1/85, Al-Binaayah 1/236, 362, Al-Majmu' 1/216 dan seterusnya, Mughni Al-Muhtaaj 1/78, Kashshaaf Al-Qina' 1/54, dan Al-Mughni 1/67.]

HADITS-HADITS PENYAMAKAN KULIT BANGKAI:

Hadits ke 1: Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu 'anhu: bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 إِذَا دُبِغَ الْإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ

“Jika kulit binatang telah disamak maka ia menjadi suci.”

[HR. Muslim no. 366]

Hadits ke 2: Dalam lafadz lain dari Ibnu Abbas, Rosulullah SAW bersabda:

“‌أَيُّمَا ‌إِهَابٍ ‌دُبِغَ ‌فَقَدْ ‌طَهُرَ "

“Kulit binatang apapun yang telah disamak maka ia menjadi suci".

[HR. Muslim (366), Asy-Syafi'i 1/26, Ahmad no. (1895), Al-Humaidi (486), Ibnu Abi Shaybah 8/378, Ibnu Majah (3609), Al-Tirmidzi (1728), Al-Nasa'i no. (4241), Abu Ya'la (2385), dan Al-Tabari dalam "Tahdziib Al-Atsar" 2/809, Abu 'Awaanah 1/212, Al-Thohawi dalam "Syarh Al-Ma'ani" 1/469, Ibnu Hibban (1288), ath-Thabrani dalam ash-Shogiir (698), Abu Na'iim dalam al-Hilyah 10/218, dan Al-Baihaqi 1/16]

Di Shahihkan al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa'i no. 4252, Syu'aib al-Arna'uth dan para pentahqiq Musnad Imam Ahmad 3/382 (1895)].

Hadits ke 3: Dari Maimunah Radliyallaahu 'anhu berkata:

مَرَّ رَسُولُ الْلَّهِ صلى الله عليه وسلم بِشَاةٍ يَجُرُّونَهَا فَقَالَ: لَوْ أَخَذْتُمْ إِهَابَهَا؟ فَقَالُوا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ فَقَالَ: يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ

Bahwa Rasulullah SAW melewati seekor kambing yang sedang diseret orang-orang.

Beliau bersabda: Alangkah baiknya jika engkau mengambil kulitnya.

Mereka berkata: Ia benar-benar telah mati?

Beliau bersabda: Ia dapat disucikan dengan air dan daun qorodz [nama daun yang biasa untuk menyamak kulit].

[Abu Dawud no. 4126 dan Nasa'i. Di shahihkan al-Albaani dalam shahih Abu Daud].

Hadits ke 4: Dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata:

وَجَدَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ شَاةً مَيِّتَةً أُعْطِيَتْهَا مَوْلَاةٌ لِمَيْمُونَةَ مِنَ الصَّدَقَةِ، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: هَلَّا انْتَفَعْتُمْ بجِلْدِهَا؟ قالوا: إنَّهَا مَيْتَةٌ، قالَ: إنَّما حَرُمَ أكْلُهَا.

Nabi SAW mendapatkan seekor kambing yang diberikan oleh seorang sahaya wanita Maimunah sebagai zakatnya dalam keadaan mati.

Maka Nabi SAW bersabda: "Kenapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya? '.

Orang-orang berkata,: "Kambing itu sudah jadi bangkai".

Beliau SAW menjawab: "Yang diharamkan itu memakannya". [HR. Bukhori no. 1492 dan Muslim no. 363].

Hadits ke 5: Dari Salamah Ibnul Muhabbaq al-Hudzali berkata:

أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ في غَزوةِ تبوكَ أتى على بيتٍ ، فإذا قِربةٌ معلَّقةٌ ، فسألَ الماءَ ، فقالوا: يا رسولَ اللَّهِ ، إنَّها مَيتةٌ ، فقالَ: دباغُها طُهورُها

"Ketika perang Tabuk, Rasulullah SAW mendatangi sebuah rumah, lalu beliau menemukan sebuah wadah dari kulit yang digantung. Beliau kemudian minta diambilkan air dengan wadah tersebut.

Maka para sahabat pun berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya wadah itu dari kulit bangkai!"

Beliau bersabda: "Penyamakannya telah menjadikan ia suci." [HR. Abu Daud no. 4125. Di Shahihkan oleh al-Albaani].

Photo Qirbah [wadah dari kulit]
Hadits ke 6: Dari Aisyah Radliyallaahu 'anha, dia berkata:

سُئِلَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ عن جُلودِ الميتةِ ؟ فقالَ: دباغُها ذَكاتُها

bahwa Rasulullah SAW ditanya tentang kulit Bangkai ? Maka beliau menjawab:

“Menyamak nya itu adalah mensucikannya.” [HR. An-Nasaa'i no. 4256. Di Shahihkan oleh al-Albaani]

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA:

Para fuqaha’ memiliki perbedaan yang luas mengenai kulit bangkai hewan, kulit babi, dan kulit selain hewan ternak yang dagingnya tidak halal dimakan:

Pendapat pertama: Sebagian dari mereka mengharamkannya sama sekali.
Pendapat kedua: Sebagian dari mereka menghalalkannya sama sekali.
Pendapat ketiga: Sebagian dari mereka ada yang membedakan antara yang telah disamak dan yang belum disamak.

Dan mereka yang menghalalkan penggunaan kulit yang disamak, terbagi dua pendapat: Yang pertama: sebagian dari mereka menghalalkanya secara mutlak, baik dalam keadaan cair maupun kering. Yang kedua: Sebagian dari mereka membatasi yang halal digunakan itu adalah kulit yang kering. [Baca: Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd 1/76].

Yang kami pilih dan yakini adalah jika disamak, maka menjadi suci dan boleh digunakan untuk keperluan-keperluan yang sudah menjadi tradisi dan kebiasaan seperti untuk wadah dan menampung benda cair, padat dan kering. Dan juga menggunakannya untuk mantel, sepatu dan pakaian lainnya.

Dan yang demikian itu karena berdasarkan keumuman sabda Nabi SAW:

أيُّما إهابٍ دبغَ فقد طَهرَ

“Kulit binatang apapun yang telah disamak maka ia menjadi suci".

[HR. Muslim (366), Asy-Syafi'i 1/26, Ahmad no. (1895), Al-Humaidi (486), Ibnu Abi Shaybah 8/378, Ibnu Majah (3609), Al-Tirmidzi (1728), Al-Nasa'i no. (4241), Abu Ya'la (2385), dan Al-Tabari dalam "Tahdziib Al-Atsar" 2/809, Abu 'Awaanah 1/212, Al-Thohawi dalam "Syarh Al-Ma'ani" 1/469, Ibnu Hibban (1288), ath-Thabrani dalam ash-Shogiir (698), Abu Na'iim dalam al-Hilyah 10/218, dan Al-Baihaqi 1/16]

Di Shahihkan al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa'i no. 4252, Syu'aib al-Arna'uth dan para pentahqiq Musnad Imam Ahmad 3/382 (1895)].

Proses Penyamakan kulit yang najis menjadikannya suci dengan al-Istihaalah [transformasi], oleh sebab itu kami memasukkannya di sini.

Abu Ishaq Al-Shirazi berkata:

"ولا يطهر من النجاسات بالاستحالة إلا شيآن: أحدهما جلد الميتة...".

“Tidak ada kenajisan yang dapat disucikan dengan transformasi kecuali dua hal: salah satunya adalah kulit bangkai …”. [al-Muhadzab dengan syarahnya al-Majmu' 572]

-------------

KETUJUH: AL-ISTIHAALAH DENGAN CARA PROSES KIMIA [العَمَلُ الكِيْمَاوِيّ]

Di zaman kita sekarang ini, teknologi modern untuk memproses pemurnian dan pensucian telah memiliki kemampuan besar dalam menghilangkan zat-zat terentu dan memurnikannya dari kotoran najis yang menimpa-nya dan melekat padanya, yang mengantarkan pada pensucian zat-zat ini dan mentransfomasikannya kembali ke keadaan semula tanpa ada keraguan, sebagaimana disaksikan dan diputuskan oleh para pakar khusus, yang tidak diragukan lagi akan pengalamannya dan hasil uji cobanya.

Metode dan sarana penelitian kimia telah berkembang pesat saat ini, sehingga memungkinkan untuk mentransformasi banyak zat najis ke zat suci, atau mengembalikan zat najis ke keadaan suci semula. Dalam semua ini, maka jenis al-Istihaalah [perubahan senyawa] ini bisa merubah menjadi suci seperti jenis lainnya yang sebelumnya.

di antara contoh-contoh transformasi melalui proses kimia yang pernah dilakukan oleh orang-orang terdahulu adalah sbb:

  1. Transformasi minyak najis menjadi sabun.
  2. Minuman keras menjadi beku, berubah menjadi cuka, atau dirubah menjadi cuka.
  3. Tulang bangkai hewan dibuat darinya salep.

[Lihat: أحكام النجاسات في الفقه الإسلامي oleh Abd al-Majid Mahmoud Salaheen 2/495-509, مجلة دعوة الحق Edisi. (334) s39/hal. 76-83, مجلة البحوث الإسلامية Edisi.35/hal. 35- 59].

FATWA SIMPOSIUM KE. 9 
ORGANISASI ISLAM UNTUK ILMU KEDOKTERAN. 

Menyatakan:

"الاستحالة التي تعني انقلاب العين إلى عين أخرى تغايرها في صفاتها تحول المواد النجسة أو المتنجسة إلى مواد طاهرة وتحول المواد المحرمة إلى مواد مباحة شرعاً. 

وبناءً على ذلك:

- الجيلاتين المتكون من استحالة عظم الحيوان النجس وجلده وأوتاره: طاهر وأكله حلال.

- الصابون الذي ينتج من استحالة شحم الخنزير أو الميتة يصير طاهراً بتلك الاستحالة ويجوز استعماله.

- الجبن المنعقد بفعل إنفحة ميتة الحيوان المأكول اللحم طاهر ويجوز تناوله.

- المراهم والكريمات ومواد التجميل التي يدخل في تركيبها شحم الخنزير لا يجوز استعمالها إلا إذا تحققت فيها استحالة الشحم وانقلاب عينه. أما إذا لم يتحقق ذلك فهي نجسة.

– المواد المخدرة محرمة لا يحل تناولها إلا لغرض المعالجة الطبية المتعينة وبالمقادير التي يحددها الأطباء وهي طاهرة العين. ولا حرج في استعمال جوزة الطيب ونحوها في إصلاح نكهة الطعام بمقادير قليلة لا تؤدي إلى التفتير أو التخدير".

Al-Istihaalah [Transformasi], yaitu berubahnya suatu objek menjadi objek lain dengan sifat-sifat yang berbeda, bisa mengubah objek najis atau objek yang terkena najis menjadi objek Suci, dan mengubah objek yang diharamkan menjadi objek yang halal menurut hukum syar'i.

Berdasarkan hal tersebut:

  • Gelatin yang terbentuk dari perubahan tulang, kulit, dan urat hewan najis: adalah suci dan dibolehkan untuk dimakan.
  • Sabun yang dihasilkan dari transformasi lemak babi atau bangkai menjadi murni dengan al-Istihalah [transformasi] ini dan diperbolehkan untuk menggunakannya.
  • Keju yang terbuat dari rennet bangkai hewan [yang halal jika disembelih secara syar'i] adalah suci dan boleh dimakan.
  • Salep, krim dan kosmetik yang mengandung lemak babi tidak boleh digunakan kecuali jika telah terbukti secara medis bahwa lemak tersebut telah terjadi perubahan senyawa [al-Istihaalh] menjadi zat lain dan berubah bentuk nya. Adapun jika ini tidak terbukti, maka itu adalah najis.
  • Narkotika [obat Bius] diharamkan dan tidak boleh dikonsumsi kecuali untuk tujuan pengobatan tertentu dan dalam jumlah yang ditentukan oleh dokter. Namun objeknya adalah Suci.

Dan tidak mengapa menggunakan Pala dan sejenisnya untuk meningkatkan rasa makanan dengan kadar sedikit yang tidak menyebabkan disorientasi [teler] atau pembiusan.

[Lihat: توصيات الندوة الثامنة للمنظمة الإسلامية للعلوم الطبية/الفقه الإسلامي وأدلته 9/662-664]

RINGKASAN DAN KESIMPULAN:

Pendapat yang paling rajih - menurut penulis - adalah bahwa al-Istihaalah [perubahan senyawa] memiliki kekuatan dan berpengaruh untuk mensucikan objek-objek najis. Ini berdasaakan alasan-alasan sebagai berikut:

Karena hukum Syariah mengatur sifat najis sesuai dengan hakikat ini. Dan hakikat ini menjadi hilang dengan hilangnya sebagian dari bagian-bagiannya, lalu bagaimana dengan keseluruhannya? Maka sesungguhnya garam itu bukanlah tulang dan daging, maka jika berubah jadi garam, maka harus mengikuti aturan hukum garam.

Penulis telah lihat bahwa para ulama ahli fiqih telah sepakat bahwa minuman keras bisa menjadi suci jika berubah dengan sendirinya secara alami menjadi cuka.

Adapun selain itu, dari macam-macam bentuk al-istihaalah dan jenisnya, memang mereka para ahli fiqih berbeda pendapat dalam kesuciannya dan kehalalannya sebagaimana yang telah disebutkan yang lalu. Namun terlepas dari perbedaan pendapat di antara mereka dalam hal itu, tidak ada jenis al-istihaalah atau salah satu bentuknya, kecuali Anda menemukan sebagian para ulama dari masing-masing madzhab ada yang menghukuminya suci dan halal.

Dan penulis telah melihat para ulama Madzhab yang paling banyak mempermudah dan memberi keluasan dalam masalah-masalah ini adalah madzhab Hanafi [kecuali Abu Yusuf], lalu Ibnu Hazm Al-Zahiri, Ibnu Taimiyyah Al-Hanbali, dan Al-Shawkani. Dan di antara mereka yang tengah-tengah adalah Maliki. Dan yang paling keras di antara mereka adalah madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali.

Dan apa yang penulis simpulkan dari semua itu adalah:

Bahwa jika kita mengecualikan kasus khamr [miras] yang sengaja diproses menjadi cuka karena kasus ini lebih mendekati aspek ta'abbudi [ibadah] dari pada aspek tradisi dan kebiasaan. Jika demikian adanya maka segala sesuatu selain dari itu jika terjadi transformasi di dalamnya ; maka bisa dianggap mensucikan, dan juga objek najis yang bertransformasi manjadi objek lain., bisa dianggap suci dan halal untuk dimanfaatkan. Dengan alasan sbb:

Ke 1]

Karena Allah Azza Wa Jalla berfirman:

{ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ }

“dan yang menghalalkan segala yang baik bagi mereka dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka ". [QS. Al-A'raf: 157]

Benda-benda yang baik dan suci ini, yang sebelumnya adalah benda-benda najis atau yang terkena najis, lalu berubah menjadi benda-benda yang baik dan suci, tidak ada seorang pun yang berhak mengeluarkannya dari yang baik kemudian mengklaimnya sebagai benda-benda yang khobits buruk dan najis, kecuali dengan adanya dalil, dan tidak ada dalil untuk itu.

Ke 2]

Karena Allah Azza Wa Jalla berfirman:

{ وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ اِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ اِلَيْهِ }

“Padahal Allah telah menjelaskan kepadamu apa yang diharamkan-Nya kepadamu, kecuali jika kamu dalam keadaan terpaksa ". [QS. Al-An'am: 119].

Objek-objek Najis yang berubah menjadi ke objek lain tidak termasuk dalam nash yang mengharamkannya dengan penyelidikan yang maximal.

Ke 3]

Halalnya cuka yang berasal dari khamr [miras].

Ke 4]

Halalnya memanfaatkan kulit najis jika telah disamak.

Ke 5]

Halalnya memanfaatkan minyak wangi kesturi yang berasal dari darah.

Ke 6]

Halalnya memanfaat daging al-Jallalah [hewan pemakan najis] dan susunya setelah dikarantinakan dengan hanya mengkonsumsi makanan suci].

Ke 7]

Karena objek najis itu jika telah bertransformasi maka bukan lagi objek najis, tetapi telah menjadi sesuatu yang lain, substansi baru yang semisalnya itu disifati suci. Jadi abu, kotoran, garam, sabun, dan tembikar semuanya suci. Dan apapun yang berubah menjadi seperti itu juga sama di hukumi suci.

Ke 8]

Alasan dan illat pengharaman sebelum bertransformasi adalah najis, sementara najisnya telah dihilangkan dengan transformasi. Dan qaidah menyatakan:

‌الْحُكْمُ ‌يَدُورُ ‌مَعَ ‌الْعِلَّةِ ‌وُجُودًا ‌وَعَدَمًا ، فإِذَا زَالَتْ زَالَ

“Hukum itu berkisar pada illat [penyebab], adanya atau tidak adanya, jika illatnya hilang, maka hilang pula hukumnya ".

Ke 9]

Salah satu Qaidah Syar'i:

الحَرَجُ مَرْفُوْعٌ

“Bahwa rasa keberatan dan sempit itu diangkat ".

Dan di dalam pengharaman benda yang berasal dari benda najis yang ditransformasikan menjadi benda lain, terdapat kesulitan [عُسْر] dan kesempitan [حَرَجٌ] yang tidak bisa ditanggung oleh manusia, sehingga perlu untuk menghilangkannya dari mereka sejalan dengan tujuan Syariah [مَقَاصِد الشَّرِيْعَة] yang memperhatikan kebutuhan umum bagi orang-orang mukallaf.

Di antara apa yang telah diputuskan para ahli fiqih adalah: untuk memaafkan [العَفْو] dan untuk menghilangkan kesempitan [رَفْعُ الحَرَجِ]. Dan qaidah-qaidah berikut ini berdasarkan hasil penelusuran dan istiqro':

  • [اليُسْر: kemudahan]
  • [مَا لاَ يَتَحَرَّزُ مِنْه: Apa yang tidak membuatnya keberatan]
  • [مَا تَعُمُّ بِه البَلْوَى: Apa yang menjadi kebutuhan umum]
  • [يَعْسُرُ اجْتِنَابُه: Tidak dapat dihindari] dan lain-lain yang semisalnya.

Ke 10]

Hukum asalnya dalam segala sesuatu adalah suci. Adapun najis adalah perubahan yang datang kemudian. Maka jika objek najis itu diperbaharui dengan mengubahnya kembali, maka ia kembali ke asalnya semula, yaitu suci.

Ke 11]

Hukum asalnya dalam segala sesuatu adalah halal, maka hukum asal ini akan kembali pada benda-benda najis yang diubah kembali ke asalnya, sampai ada dalil yang sebaliknya, seperti dalam kasus Takhlil Khamr [yakni: sengaja merubah miras menjadi cuka].

Ke 12]

Para ahli fikih sepakat bahwa salah satu syarat barang yang diperjual belikan adalah barang suci, maka tidak boleh menjual barang najis atau barang yang terkena najis yang tidak bisa disucikan lagi, seperti cairan yang tercampur dengan kenajisan.

Dan diperbolehkan menjual barang najis yang bisa disucikan, seperti pakaian, jika dijelaskan kepada pembeli. Dan berdasarkan ini, maka cairan yang terkena najis, jika kenajisan telah dihilangkan dengan tindakan proses kimia, maka wajib hukumnya menjadi suci dan halal.

Dan kesimpulan pada prinsip ini: Maka jika benda najis diubah menjadi zat lain yang dianggap suci, maka itu harus menjadi suci dan halal pula.

Semua itu adalah dalil-dalil yang bertebaran - dan saling melengkapi - untuk menetapkan suatu putusan hukum yang sesuai dengan nash, tujuan dan prinsip syariah, yaitu:

طهارة ما استحالت إليه النجاسات من أعيان مغايرة، وحلية استعمالها والانتفاع بها.

"Sucinya sesuatu yang telah berubah dari najis menjadi benda-benda yang berbeda., dan halalnya menggunakan dan memanfaatkannya".

Wallaahu a'lam.

*********

FATWA ORGANISASI ISLAM UNTUK ILMU-ILMU KEDOKTERAN ISLAMIC
[ORGANIZATION FOR MEDICAL SCIENCES]
المنظمة الإسلامية للعلوم الطبية

Para peserta simposium menyepakati apa yang tertuang dalam fatwa dan rekomendasi yang dikeluarkan oleh Islamic Organization for Medical Sciences dalam simposium:

Tentang:

ZAT HARAM DAN NAJIS DALAM MAKANAN DAN OBAT-OBATAN

[ندوة المواد المحرمة والنجسة.في الغذاء والدواء]

Yang diselenggarakan di Kuwait pada: 22-24 Dzulhijjah 1415 H/22-24 Mei 1995 M, di Islamic Organization for Medical Sciences di KUWAIT, naskah kesepakatan sebagai berikut:

المبادئ العامة:

  1. يجب على كل مسلم الالتزام بأحكام الشريعة الإسلامية، وخاصة في مجال الغذاء والدواء، وذلك محقق لطيب مطعمه ومشربه وعلاجه، وإن من رحمة الله بعباده وتيسير سبيل الإتباع لشرعه مراعاة حال الضرورة والحاجة التي تضمنتها مبادئ شرعية مقررة، منها: أن الضرورات تبيح المحظورات، وأن الحاجة تنزل منزلة الضرورة ما دامت متعينة، وأن الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يقم دليل معتبر على الحرمة. كما أن الأصل في الأشياء كلها الطهارة، ما لم يقم دليل معتبر على النجاسة ، ولا يعتبر تحريم أكل الشيء أو شربه حكما بنجاسته شرعاً.
  2. مادة الكحول غير نجسة شرعا، بناء على ما سبق تقريره من أن الأصل في الأشياء الطهارة، سواء أكان الكحول صرفاً أم مخففاً بالماء. وعليه، فلا حرج شرعا من استخدام الكحول طبيا كمطهر للجلد -الجروح- والأدوات، وقاتل للجراثيم، أو استعمال الروائح العطرية (ماء الكولونيا) التي يستخدم الكحول فيها باعتباره مذيبا للمواد العطرية الطيارة، أو استخدام الكريمات التي يدخل الكحول فيها. ولا ينطبق ذلك على الخمر لحرمة الانتفاع به.
  3. بما أن الكحول مادة مسكرة ويحرم تناولها، وريثما يتحقق ما يتطلع إليه المسلمون من تصنيع أدوية لا يدخل الكحول في تركيبها ولا سيما أدوية الأطفال والحوامل، فلا مانع شرعا من تناول الأدوية التي تصنع حاليا ويدخل في تركيبها نسبة ضئيلة من الكحول، لغرض الحفظ، أو إذابة بعض المواد الدوائية التي لا تذوب في الماء مع عدم استعمال الكحول فيها مهدئا، وهذا حيث لا يتوافر بديل عن تلك الأدوية، وتوصي الندوة الجهات الصحية المختصة بتحديد هذه النسب حسب الأصول العلمية ودساتير الأدوية.
  4. لا يجوز تناول المواد الغذائية التي تحتوي على نسبة من الخمور مهما كانت ضآلتها، ولا سيما الشائعة في البلاد الغربية، كبعض الشوكولاتة وبعض أنواع المثلجات (الآيس كريم، الجيلاتي، البوظة)، وبعض المشروبات الغـازية، اعتباراً للأصل الشرعي في أن ما أسكر كثيرة فقليله حرام، ولعدم قيام موجب شرعي استثنائي للترخيص بها.
  5. المواد الغذائية التي يستعمل في تصنيعها نسبة ضئيلة من الكحول لإذابة بعض المواد التي لا تذوب بالماء من ملونات وحافظات وما إلى ذلك، يجوز تناولها لعموم البلوى ولتبخر وتلاشي معظم الكحول المضاف في أثناء تصنيع الغذاء، حسب دساتير وتعاليم هيئات الصحة والأغذية مع الحرص على استعمال البدائل الخالية من الكحول تماماً.
  6. المواد الغذائية التي يدخل شحم الخنزير في تركيبها مثل بعض الأجبان وبعض أنواع الزيت والدهن والسمن والزبد وبعض أنواع البسكويت والشكولاتة والآيس كريم، هي محرمة ولا يحل أكلها مطلقا، اعتباراً لإجماع أهل العلم على نجاسة الخنزير وعدم حل أكله، ولانتفاء الاضطرار إلى تناول هذه المواد.
  7. الجيلاتين: يرى المجمع تكليف أمانة المجمع بمزيد من البحث والدراسة للموضوع.

الهرمونات والإنزيمات:

  • الهرمون: مادة كيميائية تفرز في الدم بواسطة الغدد الصماء ويقوم بتنظيم كثير من العمليات الحيوية من استقلابية وبنائية وتأثيره عام على الجسم.
  • الإنزيم: جزيء بروتيني يفرز من خلايا الجسم وله تأثير موضعي يسرع معدل التفاعل الكيميائي في الكائنات الحية دون أن يستهلك.
  • الهيبارين المستخرج من الخنزير: لا يجوز استخدامه إلا في حالة الضرورة وإذا تم تعديله للحصول على هيبارين ذي وزن جزيئي منخفض، فإن هذه العملية لا تعتبر استحالة كيميائية ينبني عليها حكم مستقل، وأما الهيبارين المحضر عن طريق الهندسة الوراثية من دون استخدام أجزاء الخنزير فلا حرج في استخدامه.
  • الإنسولين المستخلص من الخنزير لا يجوز استخدامه الا لضرورة لوجود، البديل الحلال. أما الإنسولين البشري ونظائره المحضر عن طريق الهندسة الوراثية فإن استخدامه جائز.
  • صمامات القلب: الصمامات البديلة إما أن تكون معدنية أو حيوية (بشرية أو حيوانية) يجوز استخدامها، أما الصمام المأخوذ من الخنزير فلا يجوز استخدامه إلا في حال الضرورة.

وقررمجلسالمجمع الآتي:

الجبن المصنع من الإنفحة:

  1. حرمة إنفحة الخنزير ونجاستها.
  2. إذا كانت الإنفحة من حيوان مأكول اللحم مذكى فتعد طاهرة حلالاً.
  3. إذا كانت الإنفحة من حيوان غير مذكى أو من ميتة، فيرى أغلب المشاركين عدم طهارتها وحلها، ويرى بعض المشاركين طهارتها.
  4. يجوز استخدام الأنفحة المحضرة بواسطة الهندسة الوراثية للجين الذي ينتج الأنفحة.

Artinya:

PRINSIP-PRINSIP DASAR UMUM:

1]- Setiap muslim wajib mentaati ketentuan syariat Islam, khususnya di bidang makanan dan obat-obatan. Hal ini bisa terpenuhi dengan baik dan halalnya makanan, minuman, dan pengobatannya.

Dan sebagian dari rahmat Allah kepada hamba-hambanya dan kemudahan jalan untuk mengikuti hukumnya adalah memperhatikan keadaan-keadaan darurat dan juga hajat kebutuhan yang tercakup dalam asas-asas hukum yang telah ditetapkan.

di antaranya adalah:

أن الضرورات تبيح المحظورات

Bahwa darurat itu membolehkan mahdzurat [larangan]

وأن الحاجة تنزل منزلة الضرورة ما دامت متعينة

Dan bahwa hajat kebutuhan itu statusnya bisa sama seperti status darurat selama ia telah ditentukan.

وأن الأصل في الأشياء الإباحة ما لم يقم دليل معتبر على الحرمة،

Dan bahwa hukum dasar dalam segala hal adalah diperbolehkan selama tidak ada dalil larangan yang signifikan.

كما أن الأصل في الأشياء كلها الطهارة، ما لم يقم دليل معتبر على النجاسة

Sebagaimana hukum asal segala sesuatu adalah suci, selama tidak ada dalil kenajisan yang signifikan.

Pengharaman makan sesuatu atau minum sesuatu tidak bisa dianggap sebagai ketetapan hukum jika hanya berdasarkan pada pengklaiman hukum najis secara syar'i tanpa dalil.

2]- Zat Alkohol tidaklah najis menurut hukum Syar'i, berdasarkan apa yang telah lalu ketetapannya bahwa hukum asal segala sesuatu adalah suci, baik alkohol itu murni maupun diencerkan dengan air. Oleh karena itu, tidak ada salahnya berdasarkan hukum syar'i menggunakan alkohol untuk keperluan medis seperti untuk desinfektan pada kulit [luka] dan peralatan, dan untuk pembunuh kuman, atau menggunakannya untuk aroma parfum (air cologne) di mana alkohol digunakan sebagai pelarut untuk zat aromatik yang mudah menguap, atau menggunakan krim yang mengandung alkohol. Dan Ini tidak berlaku pada khamr [Minuman Keras] karena diharamkan menggunakannya.

3]- Karena alkohol adalah zat yang memabukkan dan dilarang untuk dikonsumsi, dan sambil terus menunggu realisasi dari apa yang dicita-citakan umat Islam dalam hal pembuatan obat-obatan yang tidak mengandung alkohol, terutama obat-obatan untuk anak-anak dan wanita hamil, maka tidak ada keberatan hukum [boleh-boleh saja] untuk menggunakan obat-obatan yang saat ini diproduksi dan mengandung persentase kecil alkohol dalam komposisinya, untuk tujuan pengawetan, atau untuk melarutkan beberapa bahan obat yang tidak larut dalam air jika tanpa menggunakan alkohol di dalamnya sebagai penenang.

Dan ini berlaku disaat tidak ada alternatif lain untuk obat-obat seperti ini. Dan para peserta simposium atau seminar ini merekomendasikan lembaga otoritas kesehatan yang kompeten untuk menentukan proporsi ini sesuai dengan prinsip ilmiah dan farmakope.

4]- Tidak boleh memakan bahan makanan yang mengandung kadar alkohol sedikit apapun, apalagi yang yang sudah merajalela di negara Barat, seperti beberapa coklat dan beberapa jenis es krim (es krim, gelato, Booza), dan beberapa minuman ringan. Mengingat hukum asal Syariat Islam bahwa apa saja yang memabukkan, maka yang sedikitnya juga haram. Dan tidak ada dalil Syar'i yang mengecualikannya untuk mengizinkannya.

Booza [البُوْظَة]

5]- Bahan-bahan makanan yang dalam pembuatannya menggunakan sedikit alkohol untuk melarutkan beberapa zat yang tidak larut dalam air, seperti pewarna, pengawet, dan lain lain ; maka itu diperbolehkan untuk dikonsumsi ; dikarenakan itu merupakan kebutuhan publik yang tidak bisa dihindari dan dikarenakan akan menguap, musnah dan lenyap sebagian besar alkohol yang ditambahkan selama pembuatan makanan, sesuai dengan konstitusi dan maklumat lembaga kesehatan dan makanan, sambil terus berusaha keras untuk mendapatkan penggantinya yang benar-benar bebas dari alkohol dengan sempurna.

6]- Bahan-bahan Makanan yang mengandung lemak babi, seperti beberapa jenis keju, beberapa jenis minyak, lemak, margarin, mentega, beberapa jenis biskuit, coklat dan es krim, maka itu diharamkan dan tidak boleh dimakan sama sekali, mengingat ijma' para ulama bahwa babi itu najis dan tidak halal dimakan, dan juga karean tidak ada nya darurat untuk mengkonsumsi bahan-bahan dari babi ini..

7]- Adapun GELATIN: maka al-Majma' [Kongres Para Ulama] masih mempertimbangkan untuk menugaskan Sekretariat al-Majma' untuk melakukan penelitian dan studi lebih lanjut tentang masalah gelatin ini.


Gelatin Babi

[Gelatin adalah suatu jenis protein yang diekstraksi dari jaringan kolagen kulit, tulang atau ligamen (jaringan ikat) hewan. PEN]

HORMON DAN ENZIM:

  • Hormon: Zat kimia yang disekresikan ke dalam darah oleh kelenjar endokrin, yang mengatur banyak proses vital, termasuk metabolisme dan konstruksi, serta efek umumnya pada tubuh.
  • Enzim: molekul protein yang dikeluarkan dari sel-sel tubuh dan memiliki efek lokal yang mempercepat laju reaksi kimia pada organisme hidup tanpa dikonsumsi.
  • Heparin yang diekstraksi dari BABI: Ini tidak boleh digunakan kecuali jika dalam kondisi gawat darurat. Dan jika telah dimodifikasi untuk mendapatkan heparin dengan berat molekul rendah, maka proses ini tidak dianggap sebagai transformasi kimia yang menjadi dasar hukum tersendiri [independen].

Adapun heparin yang dibuat melalui rekayasa genetika tanpa menggunakan bagian tubuh babi, maka tidak mengapa menggunakannya.

[[Heparin dari Babi:Penggunaan ekstrak babi pada obat heparin sendiri sudah diproduksi sejak awal 1990. Hal ini berawal dari banyaknya penyakit sapi gila di Inggris pada 1980-an yang menimbulkan kekhawatiran dari pembuatan heparin menggunakan sapi.

Semua produsen heparin pun menarik dengan sukarela produknya dari pasar AS. Sejak saat itu, babi sepenuhnya digunakan untuk produksi heparin di AS dan Eropa. 

Di Indonesia sendiri, untuk heparin berat molekul tinggi menggunakan heparin sapi sedangkan heparin berat molekul rendah berasal dari babi, karena sampai saat ini belum ada alternatif dari bahan baku halal lain seperti sapi. PEN]]

  • Insulin yang diekstrak dari babi tidak boleh digunakan kecuali untuk kondisi darurat karena telah ada alternatif yang halal.

Adapun insulin manusia dan analognya yang dibuat melalui rekayasa genetika, maka penggunaannya halal dan diperbolehkan.

  • Katup jantung: Katup alternatif yang terbuat dari logam atau makhluk hidup (manusia atau hewan) boleh digunakan, sedangkan untuk katup yang diambil dari babi, maka tidak boleh digunakan kecuali jika dalam kondisi darurat [tidak ada yang halal].


Dewan Majelis juga memutuskan sebagai berikut:

KEJU YANG TERBUAT DARI RENNET:

  1. Haramnya dan Najisnya rennet babi.
  1. Jika rennet berasal dari hewan yang dagingnya halal dimakan dan disembelihnya sesuai hukum syar'i, maka dianggap suci dan halal.
  1. Jika rennet berasal dari hewan yang tidak disembelih [secara syar'i] atau dari bangkai hewan, maka sebagian besar peserta kongres menganggap rennet itu tidak suci dan tidak halal, dan sebagian peserta menganggap rennet tersebut suci.
  1. Diperbolehkan menggunakan rennet yang dibuat dengan rekayasa genetika dari gen penghasil rennet.

------------

FATWA MAJALAH AKADEMI FIQH ISLAM INTERNASIONAL
مجلة مجمع الفقه الإسلامي الدولي
Journal of International Islamic Fiqh Academy

------------------

Majalah berkala yang diterbitkan oleh Akademi Fiqh Islam Liga Dunia Muslim

مجلة دورية يصدرها المجمع الفقهي الإسلامي برابطة العالم الإسلامي

International Islamic Fiqh Academy [مجمع الفقه الإسلامي الدولي] didirikan pada Rabi` al-Awwal 1401 H (Januari 1981 M), dan merupakan badan ilmiah global yang berasal dari Organisasi Kerjasama Islam. warisan Islam dan terbuka bagi perkembangan pemikiran Islam.

Tentang:

PENGGUNAAN BABI DALAM PENGOBATAN MEDIS MODERN:

استخدام الخنزير في الطب الحديث:

“يستخدم الأوربيون وغيرهم الخنزير في أغراض التداوي لرخص الخنزير وتوفر شحمه ولحمه. وتذكر دائرة المعارف البريطانية الميكروبيديا 6/48 الطبعة 15 لعام 1982):

أن زيت اللارد (دهن الخنزير) يستخدم في تغذية المضادات الحيوية Antibiotics التي تستخرج من أنواع من الفطور fungi وفي الكبسولات التي تحتوي على المضادات حيث يستخدم الجيلاتين من جلد وعظام وغضاريف الخنزير.

وكان الأنسولين يستخرج من الخنزير ومن الأبقار ولا يزال. وهناك بعض الأشخاص الذين لا يتحملون الأنسولين البقري ويحدث لهم حساسية.. وفي هذه الحالة كانوا يحولون إلى الأنسولين الخنزيري. أما الآن فقد تم تصنيع أنسولين إنساني كيميائيا، وبواسطة هندسة الجينات، وبالتالي لم تعد هناك حاجة للأنسولين الخنزيري، واختفى نتيجة ذلك من الأسواق. وإن كان الأنسولين الإنساني أغلى ثمناً من مثيله الحيواني.

وكان الأطباء يستبدلون الصمامات التالفة بصمامات معدنية أو صمامات حيوانية..

والحيوانية كانت تعتبر أفضل من المعدنية. ولذا استخدمت صمامات القلب من الأبقار والخنازير، ولكن مع التقدم السريع في جراحة القلب أمكن إصلاح العطب لهذه الصمامات بدون الحاجة إلى الاستبدال إلا فيما ندر. وما ندر يمكن استبداله بالصمامات المصنوعة من المواد الصناعية دون الحاجة للحيوانات

ولا تزال شركات الأدوية تستخدم الخنزير في تصنيع المواد الهاضمة وفي استخراج بعض الهرمونات، وفي تنمية المضادات الحيوية، وفي تصنيع الكبسولات.. وهي أمور يمكن تفاديها إذا قامت صناعة دوائية في البلاد الإسلامية لإمكان استخدام البديل من الأبقار أو غيرها من المباحات.

ويستخدم الأطباء جلد الخنزير في بعض الأحيان لمعالجة الحروق المتسعة، وعندما لا يتم توفر جلد إنساني (من ميت أو حي متبرع).. ولكن التقدم الطبي السريع سيجعل الحاجة لذلك نادرة جداً حيث أمكن تصنيع جلود بحيث تؤخذ كمية قليلة من جلد المصاب ذاته، ثم تنمى وتوسع بحيث تكفي للمريض دون الحاجة لأخذ الجلد من إنسان أو حيوان.

وخلاصة الأمر أن الحاجة الحقيقية لاستخدام الخنزير في التداوي نادرة جداً، ولكن بما أن الدواء يأتينا في كثير من الأحيان مصنعاً، فإنه في أحيان كثيرة يحتوي على مشتقات خنزيرية مثل الكبسولات التي تصنع من جيلاتين مختلط نباتي وحيواني.. والحيواني يحتوي على جيلاتين من الخنزير (من الغضاريف والجلد).. وكما أسلفنا تتم تنمية بعض المضادات الحيوية في مشتقات خنزيرية.. وتستخدم بعض المواد الهاضمة من بنكرياس الخنزير وكذلك بعض الهرمونات الأخرى.

والحل الحقيقي هو إقامة صناعة دوائية في بلاد المسلمين تتجنب استخدام الخنزير ومشتقاته. وهو نفس الحل لقضية الغول في الدواء.. وقضية الأطعمة التي تأتي من الخارج حيث إن بعض الأطعمة تحتوي على دهن خنزير كما تذكر ذلك دائرة المعارف البريطانية حيث جاء فيها أن أنواعاً من البسكويت والشيكولاته والآيس كريم والأجبان تحتوي على دهون الخنزير، وكذلك يتم استخدام دهن الخنزير في بعض أنواع الصابون وفي مستحضرات التجميل وفي معجون الأسنان. ويستخدم اللارد (دهن الخنزير) في الطبخ كما يستخدم زيت اللارد Lard oil، Lard Stearine في تركيب السمن والزيوت الحيوانية Animal Shortening وأما الذين يعيشون في الغرب فيواجهون مشاكل عديدة؛ إذ إن دهن الخنزير يستخدم في العديد من الأطعمة والأشربة..

وقد ذكر الدكتور أحمد حسين صقر في مقاله (الدهون في الأطعمة) (2) أسماء لبعض الشركات التي تستخدم الخنزير، فمثلاً شركة أطعمة المطبخ العامة General Foods Kitchen تحتوي منتوجاتها الجيلاتينية على الجيلاتين المستخرج من جلود وغضاريف الخنزير والبقر والغنم،

ومعظم الشركات التي تنتج الهامبرجر والفرانكفورتر يحتوي لحمها على نسبة من لحم الخنزير إلا إذا ذكر أنه مصنوع من لحم البقر فقط مثل Au beef hambergur أو Au beef Frank furter وهكذا الشركات التي تنتج أغذية بها زيوت حيوانية أو حتى نباتية ولكنها مخلوطة بشيء من الزيت الحيواني فإنها تحتوي على مشتقات دهون الخنزير ما لم يكتب صراحة أنها مصنوعة من الزيت النباتي النقي الصافي Pure Vegetable Oil.

ولا شك أن هذه مشكلة عويصة وخاصة لمن يعيشون في الغرب.. وللعالم الإسلامي الذي يستورد الأطعمة والصابون وأدوات الزينة والأدوية من الغرب حيث تدخل منتجات الخنزير بشكل أو آخر في كثير من هذه القوائم. وكذلك الجلود الفاخرة، فكثير منها مصنوع من جلد الخنزير، وجلد الخنزير لا يطهر بالدباغ عند الشافعية والأحناف والحنابلة.

وعلى الحكومات الإسلامية أن تراقب هذه الأطعمة وأدوات الزينة والأدوية التي تحتوي على مواد خنزيرية وتمنعها. أما بالنسبة للفرد المسلم فإن علم أن هذه المادة تحتوي مواد خنزيرية فعليه أن يتوقاها ويمتنع عن تناولها واستعمالها. وليس عليه أن يبحث، بل ليس في مقدوره، في أغلب الأحيان، أن يعرف ذلك؛ لأنه مما يحتاج إلى مختبرات متخصصة. ولا يكتب أهل الغرب في بضائعهم أنها مصنعة من الخنزير ومشتقاته، فتكون الجهالة في ذلك عذراً.

Artinya :

PENGGUNAAN BABI DALAM PENGOBATAN MEDIS MODERN:

Orang Eropa dan lainnya menggunakan babi untuk tujuan pengobatan karena babi murah dan stock lemak serta dagingnya tersedia.

The Encyclopedia Britannica Micropedia [6/48 Edisi ke-15 1982] menyebutkan:

Bahwa minyak LARD (lemak babi) digunakan untuk memberi nutrisi antibiotik yang diekstraksi dari jamur [FUNGI] dan dalam kapsul yang mengandung antibiotik, dimana gelatin digunakan dari kulit, tulang, dan tulang rawan babi.

Insulin masih diekstraksi dari babi dan sapi. Ada sebagian orang yang tidak mentolerir insulin sapi dan menjadi alergi terhadapnya.. Dalam hal ini, mereka beralih ke insulin babi. Tetapi sekarang insulin manusia telah diproduksi secara kimiawi, dan dengan rekayasa genetika, dan oleh karena itu insulin babi tidak lagi dibutuhkan, dan akibatnya menghilang dari pasar. Meskipun insulin manusia lebih mahal daripada insulin sapi dan babi.

Dokter mengganti katup jantung yang rusak dengan katup logam atau katup hewani.

Dan bahan hewani dianggap lebih baik daripada logam. Oleh karena itu, katup jantung dari sapi dan babi digunakan, tetapi dengan kemajuan pesat dalam operasi jantung, kerusakan pada katup ini dapat diperbaiki tanpa perlu penggantian, kecuali dalam kasus yang jarang terjadi. Dan jarang, bisa diganti dengan katup yang terbuat dari bahan sintetis tanpa membutuhkan bahan hewani

Perusahaan farmasi masih menggunakan babi dalam pembuatan zat pencernaan, dalam ekstraksi beberapa hormon, dalam pengembangan antibiotik, dan dalam pembuatan kapsul.... Hal-hal tersebut dapat dihindari jika industri farmasi didirikan di negara-negara Islam karena dapat menggunakan penggantinya, seperti dari sapi atau lainnya yang dihalalkan.

Dokter terkadang menggunakan kulit babi untuk mengobati luka bakar yang luas, dan ketika kulit manusia tidak tersedia (dari pendonor orang hidup atau orang mati)....

Tetapi kemajuan medis yang pesat akan membuat kebutuhan akan hal ini menjadi sangat langka, karena dimungkinkan untuk membuat kulit dengan cara mengambil sejumlah kecil dari kulit pasien itu sendiri, kemudian ditumbuhkan dan dikembang biakkan sehingga cukup untuk pasien tanpa perlu mengambil kulit dari manusia lain atau hewan.

Kesimpulannya, sebenarnya kebutuhan penggunaan babi dalam pengobatan sangat jarang, namun karena obat tersebut sering datang kepada kita buatan pabrik, seringkali mengandung turunan babi, seperti kapsul yang terbuat dari campuran sayur dan gelatin hewani..... Dan gelatin hewani mengandung gelatin dari babi (dari tulang rawan dan kulit).. Seperti yang kami sebutkan di atas, beberapa antibiotik dikembangkan dalam turunan babi.. Beberapa zat pencernaan digunakan dari pankreas babi, dan begitu pula beberapa hormon lainnya.


Gelatin Pig [Gelatin Babi] photo dari Tokopedia

Solusi yang benar adalah mendirikan industri farmasi di negara-negara Muslim yang menghindari penggunaan daging babi dan turunannya. Dan itu adalah solusi yang sama untuk masalah alkohol dalam pengobatan.. dan masalah makanan yang berasal dari luar, karena beberapa makanan mengandung lemak babi, seperti yang disebutkan oleh Encyclopedia Britannica (1) Dimana disebutkan bahwa jenis biskuit, coklat, es krim dan keju mengandung lemak babi.

Dan lemak babi juga digunakan pada beberapa jenis sabun, kosmetik dan pasta gigi.

Lard (lemak babi) digunakan untuk memasak, sama seperti minyak Lard dan Lard Stearine digunakan dalam komposisi ghee hewani dan minyak hewani [Animal Shortening].

Sedangkan bagi mereka yang tinggal di Barat, mereka menghadapi banyak masalah. Lemak babi digunakan dalam banyak makanan dan minuman.


ISTILAH-ISTILAH LAIN DARI BABI

Ahmad Hussein Saqr menyebutkan dalam artikelnya “ الدهون في الأطعمة/Fats in Food” (2) nama beberapa perusahaan yang menggunakan daging babi, misalnya perusahaan General Foods Kitchen yang produk agar-agarnya mengandung gelatin yang diekstraksi dari kulit dan tulang rawan babi, sapi dan domba, Sebagian besar perusahaan yang memproduksi hamburger dan frankfurter mengandung daging babi, kecuali dinyatakan hanya terbuat dari daging sapi, seperti Au beef hamburgur atau Au beef Frank furter.

Demikian pula perusahaan yang memproduksi makanan yang mengandung minyak hewani atau bahkan minyak nabati, tetapi dicampur dengan sedikit minyak hewani, mengandung turunan lemak babi kecuali jika tertulis secara eksplisit dibuat dari Pure Vegetable Oil [minyak nabati murni].

Tidak diragukan lagi bahwa ini adalah masalah yang sulit, terutama bagi mereka yang tinggal di Barat.. dan bagi dunia Islam yang mengimpor makanan, sabun, perlengkapan mandi, dan obat-obatan dari Barat, karena produk babi termasuk dalam satu atau lain bentuk. dalam banyak daftar ini. Seperti halnya kulit halus, banyak yang terbuat dari kulit babi, dan kulit babi tidak disucikan dengan penyamakan menurut madzhab Syafa’i, Hanafi dan Hanbali.

Pemerintah Islam harus memantau dan mencegah makanan, perlengkapan mandi, dan obat-obatan yang mengandung babi. Adapun bagi seorang muslim, jika dia mengetahui bahwa zat tersebut mengandung babi, maka dia harus menghindarinya dan menahan diri dari makan dan menggunakannya. Dia tidak harus meneliti, bahkan itu diluar kemampuannya dalam kebanyakan kasus, dikarenakan, itu membutuhkan laboratorium khusus. Dan orang-orang Barat tidak menulis pada barang-barang mereka bahwa barang-barang tsb terbuat dari daging babi dan turunannya, jadi ketidaktahuan kita akan hal itu menjadi udzur dan alasan akan kebolehan menggunakannya [SELESAI. DIKUTIP dari " مجلة مجمع الفقه الإسلامي " EDISI 8/1404 – 1406]

Posting Komentar

0 Komentar