Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

KAPAN PENDERITA MATI OTAK DITETAPKAN TELAH WAFAT?

KAPAN PENDERITA MATI OTAK DITETAPKAN TELAH WAFAT?

******
Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM


DAFTAR ISI:

  • PENDAHULUAN:
  • PERANGKAT MEDIS RESUSITASI
  • PEMBAGIAN OTAK MANUSIA:
  • KONSEP KEMATIAN OTAK:
  • KEWAJIBAN MERAWAT PENDERITA MATI OTAK:
  • KAPAN PENDERITA MATI OTAK DITETAPKAN TELAH WAFAT?
  • PENDERITA YANG MATI PANGKAL OTAKNYA NAMUN JANTUNGNYA MASIH BERDENYUTAPAKAH DIA TELAH WAFAT?
  • ADA DUA PENDAPAT:
  • DALIL MASING-MASING PENDAPAT YANG LEBIH RINCI:
  • WASPADA DAN HATI-HATI:
  • MAFIA KLAIM PASIEN MATI BATANG OTAKNYA
  • Resolusi No.(11) oleh Dewan Iftaa` Yordania, Research and Islamic Studies:
  • HUKUM MENANDA TANGANI PERINTAH UNTUK TIDAK MENGGUNAKAN
  • PERANGKAT NAFAS BUATAN [RESUSITASI] BAGI PASIEN

******

بسم الله الرحمن الرحيم

Apakah patokan wafatnya seseorang cukup hanya dengan matinya otak, meski jantungnya masih hidup atau harus mati kedua-duanya?


PENDAHULUAN

Masalah ini berkaitan erat dengan konsekwensi beberapa hukum, di antaranya:

Pertama: Hukum donor organ tubuh jantung atau lainnya dari seorang pasien yang di vonis wafat karena otaknya sudah mati, tetapi jantung nya masih berdenyut.

Kedua: Hukum mengangkat alat resusitasi buatan dari pasien yang telah divonis wafat karena otaknya sudah mati, tetapi jantungnya masih berdenyut. Atau sebaliknya otaknya masih hidup, tetapi jantung nya telah mati, adapun masih berdenyut, karena adanya alat bantu pernafasan.


PERANGKAT MEDIS RESUSITASI:

Perangkat medis Resusitasi dalam dunia kedokteran: Merupakan perawatan intensif yang dilakukan oleh tim medis untuk membantu organ kehidupan seseorang, hingga dapat menjalankan fungsinya atau untuk mengganti sebagian organ yang rusak, agar tercapai interaksi yang harmonis antara keduanya.

Perangkat resusitasi terdiri dari:

  • Alat resusitasi kardiopulmoner seperti defibrillator.
  • Alat pacu jantung TPA (pacing).
  • Perangkat perguruan tinggi industri.
  • Kompleks pada obat-obatan.

PEMBAGIAN OTAK MANUSIA:

Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:

  1. Otak [المُخُّ] ; dia adalah pusat berpikir, ingatan dan perasaan.
  2. Otak kecil [المُخَيْخُ]: Tugasnya adalah menjaga keseimbagan tubuh.
  3. Akar otak atau pangkal otak atau batang otak [جَذْعُ المُخَّ]: Dia adalah pusat dasar untuk bernafas dan mengontrol jantung dan aliran darah.

*****
KONSEP KEMATIAN OTAK:

Yang dimaksud dengan kematian otak dalam pembahasan di sini adalah: "otak berhenti bekerja sepenuhnya dan tidak bisa hidup lagi."

Kemudian para ahli medis berbeda pendapat dalam mendefinisikan berhentinya otak ini? Ada dua pendapat:

Pendapat pertama:

Bahwa mati otak adalah berhentinya semua fungsi otak secara menyeluruh dan tidak dapat diubah (otak besar, otak kecil, dan batang otak). Ini adalah pandangan sekolah Amerika.

Pendapat kedua:

Kematian otak adalah hanya berhentinya fungsi batang otak saja secara total dan permanen. Ini adalah pendapat sekolah Inggris.

Perbedaan pendapat ini berdampak pula pada ketidaksepakatan yang terperinci dalam hal persyaratan untuk mendiagnosis kematian otak.

Tanda-tanda kematian otak hanya diketahui oleh para dokter dan spesialis.

HUKUM KEMATIAN OTAK:

A - Para ulama ahli Fiqih dan para dokter telah sepakat untuk menetapkan bahwa secara umum kematian itu dengan berpisahnya nyawa dari tubuh. Dan itu jika dalam kondisi tidak terjadi di bawah perangkat medis resusitasi.

Dan ciri-ciri kematiannya adalah kematian otaknya, kehilangan pernapasannya, denyut jantungnya berhenti dan denyut nadinya juga sama.

B- Para ulama ahli Fiqih dan para dokter berpandangan bahwa seseorang dapat hidup dengan kematian otak besar atau otak kecil, tetapi itu adalah kehidupan nabati [tumbuhan].

******

KEWAJIBAN MERAWAT PENDERITA MATI OTAK:

Pasien mati otak harus dirawat dan disadarkan, karena kondisi pasien sangat serius, dan kebutuhannya akan alat resusitasi menjadi sama pentingnya dengan kebutuhannya akan makan dan minum, seperti menyelamatkan yang tenggelam, memberi air kepada yang haus, dan memberi makan yang lapar.

Adapun hukum memberikan pertolongan kepada pasien dan menyadarkannya dengan alat penyadar, bagi umat Islam merupakan fardu kifayah. Jika ada di antara mereka ada yang melakukannya dan menolongnya, maka kewajiban atas yang lainnya menjadi hilang. Dan jika tidak ada yang melakukannya, maka setiap orang ikut berdosa.

*****

KAPAN PENDERITA MATI OTAK DITETAPKAN TELAH WAFAT?

Berdasarkan hal tersebut diatas, muncul beberapa masalah fiqih, di antaranya;

Apakah seseorang yang telah mati otaknya bisa ditetapkan telah mati? atau apakah juga harus mati jantungnya?

Bolehkan mencopot alat-alat bantu pernafasan kepada orang yang telah mati otaknya walaupun jantungnya masih bekerja?

Adapun mencabut alat bantu pernafasan [alat resusitasi] dari orang yang secara klinik telah ditetapkan mati otak-nya, maka mayoritas ulama fiqih masa kini berpendapat hal itu dibolehkan, karena tidak ada keharusan melanjutkan pemasangan alat tersebut jika tidak ada harapan lagi kesembuhannya. Hal ini telah diputuskan oleh berbagai lembaga fiqih.

Adapun menghukumi kematiannya berdasarkan syariat, maka para ulama kontemporer berbeda pendapat tentang kematian pangkal otak, apakah hal ini dianggap sebagai akhir kehidupan seseorang?

******

PENDERITA YANG MATI PANGKAL OTAKNYA NAMUN JANTUNGNYA MASIH BERDENYUT APAKAH DIA TELAH WAFAT?

ADA DUA PENDAPAT:

PENDAPAT PERTAMA:

Menganggap telah mati secara hakiki bagi orang yang pangkal otaknya mati meski jantungnya belum mati. Karena batang atau pangkal otak nya telah mati.

Jadi tidak diharuskan jantung berhenti berdetak sehingga seseorang dihukumi telah mati.

Jika hanya otak besar atau otak kecil yang merupakan bagian dari otak telah mati, maka masih mungkin bagi seseorang untuk hidup dengan kehidupan yang tidak normal, disebutkan sebagai kehidupan flora [tumbuh-tumbuhan].

Adapun jika yang mati adalah pangkal otak, maka inilah yang disebut sebagai akhir kehidupan menurut medis. Karena, jika ada organ-organ atau fungsi-fungsi utama lainnya, seperti jantung, organ pernafasan berhenti sementara, maka itu masih dapat dilakukan pertolongan dan sejumlah pasien dapat terselamatkan, selama pangkal atau batang otaknya masih hidup.

Adapun jika pangkal otaknya telah mati, maka tidak ada harapan untuk menyelamatkannya, berarti sang pasien telah tamat kehidupannya, walaupun di dalam mesin masih tersisa gerak atau fungsinya. (Lihat Majma’ Al-Fiqhul Islamy, 2/2/hal. 440)

Di antara para ulama ahli Fiqih yang mengatakannya adalah:

Syekh Athiyyah bin Muhammad Salim (Lihat: Syarah Bulugh al-Maram, oleh Attia bin Muhammad Salem, yaitu pelajaran audio yang diunggah oleh situs Jaringan Islam.)

International Islamic Fiqh Academy [مجمع الفقه الإسلامي الدولي] yang berasal dari Organisasi Konferensi Islam, diselenggarakan di Amman, Yordania pada tahun 1986 Masehi.

Dua simposium diadakan di Organisasi Islam [المنظمة الإسلامية للعلوم الطبيبة] untuk Ilmu Kedokteran di Kuwait:

Yang pertama: pada tahun 1985 M tentang "Kehidupan manusia, awal dan akhirnya"

Dan yang kedua: pada tahun 1996 M tentang "Definisi Medis Kematian."

Keduanya menganggap seseorang mati jika fungsi seluruh otaknya akhirnya berhenti, termasuk batang otak.

[Lihat: Konsultasi berjudul: (Kematian Otak dari Perspektif Islam), Prof. Dr. Abdel-Fattah Idris, dikutip dari website: On Islam]

Begitu pula banyak para ulama ahli Fiqih kontemporer dan para dokter, di antaranya:

Ahmad Syaraf El-Din, DR. Muhammad Ali Al-Bar, DR. Muhammad Ayman Safi dan lain-lain, dengan diperbolehkannya melepas alat resusitasi dari pasien dalam kasus ini.

[Dari penelitian berjudul: (Hukum melepas peralatan resusitasi dari pasien mati otak), Muhammad Ibrahim Abu Al-Aish, Islamic University, Gaza].

FATWA MAJMA' AL-FIQHI AL-ISLAMI:

Ini merupakan keputusan Lembaga Fikih Islam yang bernaung dibawah Organisasi Konferensi Islam pada pertemuannya yang dilaksanakan di Amman, tahun 1986.

(Lihat Majalah Majma Al-Fiqhul Islamy, 3/2/809)

Dalam resolusi Majelis Fiqh Islam no (5), tanggal 3/07/86, tentang peralatan resusitasi disebutkan: 

Dalam pertemuan Dewan Fiqh Islam yang diadakan selama konferensi ketiga di 'Ammaan, ibu kota Kerajaan Yordania dari 8 hingga 13 Safar/11 hingga 16 Oktober 1986. 

بعد التداول في سائر النواحي التي أثيرت حول موضوع "أجهزة الإنعاش" واستماعه إلى شرح مستفيض من الأطباء المختصين، قرر ما يلي: " يعتبر شرعًا أن الشخص قد مات وتترتب جميع الأحكام المقررة شرعًا للوفاة عند ذلك إذا تبينت فيه إحدى العلامتين التاليتين:

1- إذا توقف قلبه وتنفسه توقفا تامًا وحكم الأطباء بأن هذا التوقف لا رجعة فيه.

2- إذا تعطلت جميع وظائف دماغه تعطلًا نهائيًا، وحكم الأطباء الاختصاصيون الخبراء بأن هذا التعطل لا رجعة فيه. وأخذ دماغه في التحلل، وفي هذه الحالة يسوغ رفع أجهزة الإنعاش المركبة على الشخص وإن كان بعض الأعضاء كالقلب مثلا لا يزال يعمل آليًا بفعل الأجهزة المركبة ". انتهى من "مجلة مجمع الفقه" عدد 3 مجلد 2 ص 807.

Mengikuti pembahasan segala aspek tentang peralatan resusitasi dan mendengarkan penjelasan panjang lebar dari dokter spesialis, 

Berikut ini ditentukan: 

Dalam syariat seseorang dianggap telah meninggal dan berlaku semua hukum yang diakibatkan oleh kematian jika terbukti salah satu dari dua tanda berikut ini: 

  1. Jika jantung dan pernapasannya telah berhenti sama sekali dan tim dokter telah memutuskan bahwa mereka tidak dapat dihidupkan kembali. 
  1. Jika semua fungsi otak telah berhenti sama sekali, dan tim dokter spesialis telah menentukan bahwa penghentian ini tidak dapat diubah, dan otaknya sudah mulai hancur. 

Dalam hal ini, melepas peralatan resusitasi yang terhubung dengan orang tersebut diperbolehkan, meskipun beberapa organ seperti jantung mungkin masih berfungsi secara artifisial karena tindakan peralatan pendukung kehidupan. 

Akhir kutipan dari Majallat Majma' al-Fiqh, terbitan no. 3, jilid. 2, hal. 807. Lihat pula: (Qororot wa Taushiyat Majma Al-Fiqhul Islamy, hal. 12)

Kesepakatan dua Akademi Fiqh Islam [المجمع الفقهي الإسلامي]:

Akademi Fiqh Islam yang berafiliasi dengan Liga Muslim Dunia [رابطة العالم الإسلامي].

Dan Akademi Fiqh Islam yang berasal dari Organisasi Konferensi Islam [منظمة المؤتمر الإسلامي]

Dua-duanya sepakat bahwa alat resusitasi dibolehkan dicabut darinya, jika semua fungsi otak pasien benar-benar telah terbukti rusak dan tidak berfungsi, dan dokter spesialis ahli memutuskan bahwa rusaknya ini sudah tidak dapat kembali sehat lagi, meskipun jantung dan pernapasan masih bekerja secara otomatis oleh perangkat yang terpasang.

[Baca: Ringkasan: قرارات دار الإفتاء: موت الدماغ بين الفقهاء والأطباء]

Mereka berdalil tentang pendapat tersebut bahwa bayi yang dilahirkan, apabila dia tidak bersuara maka dia tidak dianggap hidup, walaupun dia bernafas, atau kencing atau bergerak, karena perbuatan yang terjadi tanpa disadari atau bukan sebagai respon dari fungsi otak maka dia tidak dianggap sebagai tanda kehidupan. Hal ini terjadi pada mereka yang mati fungsi otaknya, maka dianggap seperti bayi yang dilahirkan tak bersuara.

Dalil Pendapat ini dikritik: bahwa masalah bayi yang dilahirkan berbeda kasusnya. Karena bayi yang baru dilahirkan masih diragukan kehidupannya, berbeda dengan kita, karena asalnya sang pasien adalah hidup, maka dia tidak pindah dari asalnya tersebut kecuali dengan yakin.

*****

PENDAPAT KEDUA:

Pasien koma otak, atau mereka yang didiagnosis dengan kematian batang otaknya, maka dia pada hakikatnya masih hidup.

Matinya otak tanpa matinya jantung tidak dianggap kematian. Tapi jantung harus berhenti berdetak agar dapat diputuskan kematian seseorang.

Pendapat ini dipilih oleh mayoritas ahli fikih dan peneliti masa kini, di antaranya adalah:

1. DR. Abdul Fattah Idris

  • [Profesor Fikih Komparatif di Universitas Al-Azhar, lihat artikel kehormatannya yang berjudul: (موت الدماغ من منظور إسلامي), dikutip dari website: On Islam].

2. Bakr bin Abdullah Abu Zaid

  • [Lihat: Fiqh An-Nawazil, (1/232) dan artikel: أجهزة الإنعاش وحقيقة الوفاة بين الفقهاء والأطباء / Perangkat resusitasi dan realitas kematian di kalangan ahli fiqih dan dokter]

3. Syekh Abdullah Al-Bassam rahimahullah

  • [Majalah Al-Majma Al-Fiqhul Al-Islamy, Munazamah Muktamar Islamy, edisi 3, 2/ 545]

4. Syekh Muhamad Mukhtar Syinqithi

  • [Ahkam Al-Jirahah Ath-Thibiyah, hal. 325]

5. Wasiim Fathullah

  • [Lihat penelitiannya yang berjudul: (تهافت موت الدماغ / Stroke kematian otak), di mana dia menyebutkan lebih dari empat puluh bukti ketidaktegasan hukum kematian terhadap seseorang yang otaknya cacat permanen]

6. Abd al-Halim Mansour

  • [Lihat Topik: (موت جذع المخ / Kematian batang otak), oleh Dr. Abdul Halim Mansour, di akun Facebooknya]

7. Muhammad al-Mukhtar al-Mahdi.

Dan inilah yang telah menjadi ketetapan Fatwa Dewan Fiqh Liga Dunia Muslim, dan Komite Fatwa Kementerian Awqaf Kuwait.

Dan dinisbatkan kepada pendapat Sheikh Abdul Aziz bin Baz, dan itu adalah pendapat Syekh Jad al-Haq Ali Jad al-Haq.

[Lihat Topik: (موت جذع المخ / Kematian batang otak), oleh Dr. Abdul Halim Mansour, di akun Facebooknya]

Dan Inilah yang ditetapkan oleh Al-Majma Al-Fiqhi yang berada di bawah naungan Rabithah Alam Islamy pada pertemuannya yang kesepuluh yang diadakan di Mekah 1408 H.

Dalam surat keputusannya disebutkan:

" المريض الذي ركبت على جسمه أجهزة الإنعاش: يجوز رفعها إذا تعطلت جميع وظائف دماغه نهائياً، وقررت لجنة من ثلاثة أطباء اختصاصيين خبراء، أن التعطل لا رجعة فيه، وإن كان القلب والتنفس لا يزالان يعملان آلياً، بفعل الأجهزة المركبة. لكن لا يحكم بموته شرعاً إلا إذا توقف التنفس والقلب، توقفاً تاماً بعد رفع هذه الأجهزة ".

“Pasien yang pada tubuhnya telah dipasang peralatan bantu, boleh dilepas jika seluruh fungsi otaknya telah lumpuh sama sekali yang telah diputuskan oleh oleh tim medis dari tiga dokter spesialis bahwa kelumpuhan ini tidak dapat pulih kembali, walaupun jantung dan pernafasan masih bekerja secara otomatis karena pengaruh alat bantu tadi.

Akan tetapi, orang tersebut tidak dapat diputuskan telah mati secara syar’i kecual jika pernafasan dan jantungnya telah berhenti secara total setelah alat-alat bantu tadi diangkat".

(Qororot Al-Majma Al-Fiqhi Al-Islamy, Rabithah, hal. 49)

Syekh Bakar Abu Zaid berkata:

" فكما لا يسوغ إعلان الوفاة بمجرد سكوت القلب... لوجود الشك ، فكذلك لا يسوغ إعلان الوفاة بموت الدماغ مع نبض القلب ، وتردد التنفس تحت الآلات.

وكما أن مجرد توقف القلب ليس حقيقة للوفاة ، بل هو من علاماته ، إذ من الجائز جداً توقف القلب ثم تعود الحياة بواسطة الإنعاش أو بدون بذل أي سبب.

وكذلك يقال أيضاً: إن موت الدماغ علامة وأمارة على الوفاة ، وليس هو كل الوفاة ، بدليل وجود حالات ووقائع متعددة يقرر الأطباء فيها موت الدماغ ، ثم يحيا ذلك الإنسان ، فيعود الأمر إذاً إلى ما قرره العلماء الفقهاء من أن حقيقة الوفاة هي: مفارقة الروح البدن ، وحينئذٍ تأتي كلمة الغزالي المهمة في معرفة ذلك فيقول: (باستعصاء الأعضاء على الروح) ، أي: حتى لا يبقى جزء في الإنسان مشتبكة به الروح ، والله تعالى أعلم ". انتهى من "فقه النوازل" (1/232).

“Sebagaimana tidak dibenarkan diumumkannya kematian seseorang sekedar berhentinya detak jantung, karena masih adanya keraguan, demikian pula tidak dibenarkan mengumumkan kematian dengan kematian otak dan berhentinya detak jantung sementara nafas masih tersisa melalui alat-alat bantu.

Sebagaimana berhentinya jantung belum dikatakan kematian hakiki, akan tetapi merupakan tanda kematian, karena mungkin sekali jantung berhenti berdetak namun seseorang kembali hidup lagi melalui alat-alat bantu atau tanpa usaha dan sebab.

Begitu juga, dengan kematian otak, dia merupakan salah satu tanda kematian, tapi bukan kematian seluruhnya, dalil dalil ada beberapa kejadian yang diakui para ahli medis, orang yang telah mati otaknya kemudian hidup lagi. Maka perkara ini kembali seperti yang telah ditetapkan para ulama dan ahli fiqih, bahwa kematian hakiki adalah berpisahnya ruh dari jasad.

Ketika itu, ada ungkapan Al-Ghazali yang penting untuk mengetahui masalah ini, dia berkata, “Berpisahnya anggota badan dari ruh”, maksudnya, hingga tidak tersisa lagi bagian dari tubuh manusia yang masih tersambung dengan ruh. Wallahu ta’ala a’lam”. (Baca: Fiqhun-Nawazil, 1/232) 

FATWA ISLAMQA NO. 230086:

Dalam blog. Al-Islam Soal dan Jawab di bawah naungan Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid di nyatakan:

" Yang lebih dekat dengan kebenaran, wallahu a’lam:

“Tidak kita hukumi seseorang telah mati kecuali jika kita yakin tentang hal itu, yaitu dengan berhentinya jantung dan pernafasan secara total. Meskipun berhentinya otak pasien merupakan tanda yang kuat bagi kematiannya, akan tetapi menghukumi kematiannya berdampak perkara-perkara syar’i, seperti pembagian waris, menikahnya sang isteri jika dia berminat dan sebagainya. Karena itu, tidak boleh menghukumi kematiannya kecuali jika telah yakin.

Maka, tidak boleh dihukumi mati kecuali sekedar berhentinya nafas, begitu juga berhentinya detak jantung atau matinya pangkal otak sementara tanda-tanda zahir dan batin yang menunjukkan kehidupan masih ada.

Jika kematian adalah berpisahnya ruh dari tubuh, maka perpisahan ini tidak dapat ditangkap secara indra, karena ruh tidak dapat ditangkap oleh indra. Akan tetapi berpisahnya ruh dari tubuh memiliki tanda-tanda yang telah ditunjukkan para ahli fikih atas kematian yang tampak pada seseorang, di antaranya; Berhentinya kerja jantung, terputusnya nafas, lemasnya persendian dan urat dan tubuh tak bergerak dan tenang, warna tubuh berubah, mata terbelalak, mata tidak berkedip ketika disentuh, pelipis menjadi cekung, hidung menyamping, kedua bibir menganga, kulit muka kendor. Itulah tanda-tanda yang tidak tampak pada pasien yang mengalami gagal fungsi otak yang secara singkat dinamakan sebagai ‘kematian klinis’.

Pada tubuh mereka masih mengalir unsur kehidupan, karena sebagian organ masih bekerja seperti jantung, kedua ginjal, dan selainnya.......

Berdasarkan hal tersebut:

1-Tidak dibenarkan menjadikan diagnose ini (kematian klinis) sebagai alasan untuk menetapkan kematian secara syar’i.

2-Sebagaiman tidak dibenarkan mengambil salah satu bagian tubuhnya yang masih hidup, bagi mereka yang berpendapat boleh mengambil organ tubuh orang yang telah mati, bukan yang masih hidup.

[Lihat: Islamqa, Fatwa no. 230086 Tanggal publikasi: 20-06-2015]

Sebagai tambahan, silakan lihat Al-Mausu’ah Ath-Tibbiyah Al-Fiqhiyah Wan-Nawazil Al-Mu’ashirah, 2/36-61, karangan DR. Muhamad bin Abduljawad Annatsyah.

Mereka berdalil dengan kisah Ashabul Kahfi dan firman Allah Taala:

(فَضَرَبْنَا عَلَى آَذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا * ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَى لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا)

" Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu. Kemudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu] yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu)". [QS. Al-Kahfi: 11-12]

Dan firmannya:

(وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ)

" Dan engkau mengira mereka itu tidak tidur, padahal mereka tidur; dan Kami bolak-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri.. ". [QS. Al-Kahfi: 18]

Pemahaman dalilnya adalah firman Allah Taala (بعثناهم) maknanya adalah: Kami bangunkan mereka. Ayat-ayat ini merupakan dalil yang jelas bahwa sekedar merasakan saja tidak menjadi dalil yang cukup untuk menghukumi seseorang telah mati, sebagaimana ditunjukkan pada ayat tersebut.

Karena ‘Perkara yakin tidak hilang dengan keraguan’ dan keyakinan dalam kondisi yang diperselisihkan ini adalah; bahwa sang pasien itu asalnya hidup dan bahwa jantungnya masih berdetak, sedangkan kematiannya masih meragukan, karena otaknya telah mati, maka kita wajib bersandar pada yang yakin. 

Pada Asalnya, seorang pasien adalah hidup, maka dia tetap dalam asalnya hingga telah dipastikan berakhir kehidupannya.

Hakekat kematian menurut para ahli fiqih adalah berpisahnya ruh dari badan. Dan hakekat berpisah adalah terlepasnya seluruh anggota badan dari ruh, dalam arti sudah tidak tersisa sama sekali sisa-sisa kehidupan dalam organ tubuhnya.

******

DALIL MASING-MASING PENDAPAT YANG LEBIH RINCI:

******

DALIL PENDAPAT PERTAMA: 
BAHWA MATI OTAK ADALAH TANDA WAFAT MESKI JANTUNGNYA MASIH BERDENYUT:

Mereka yang mengatakan bahwa pasien koma otak adalah telah meninggal jika terbukti batang otaknya telah mati, berdalil dengan dalil-dalil sbb:

DALIL KE SATU:

Siapa pun yang mati otaknya maka dia telah kehilangan nyawanya ; Karena otak adalah organ yang tanpanya kehidupan tidak ada. Dan adapun pergerakan yang muncul di tubuh pasien ini, yaitu: bekerjanya jantung dan paru-paru, maka itu tidak bisa dikaitkan pada pasien, melainkan pada perangkat alat medis, karena merupakan sebuah gerakan tak sadar, Seperti gerakan orang yang disembelih, yang tidak bisa dihukum qishah bagi pembunuhnya, melainkan dita'ziir ; Karena dia tidak membunuh seseorang yang hidupnya utuh dan sempurna, dan seolah-olah seperti air seni keluar mengalir darinya.

Sebagian para ulama ahli fiqih mengatakan:

الطفل ولو بال لا يعتبر حيًا إذا لم يستهل صارخًا.

" Seorang bayi, meskipun dia telah buang air kecil, tidak dianggap hidup jika dia lahir tidak bersuara "

Para Dokter berkata:

العضو قد يعمل لساعات وهو منفصل عن صاحبه، وقد يقطع الرأس ويبقى الدم يتدفق من عروقه، أي: القلب، ولا يدل ذلك على حياة صاحبه، وكبقاء حياة الأنسجة فإنها لا تموت بموت صاحبها مباشرة، وهو ما عبر عنه الفقهاء قديمًا بقولهم: آثار الحياة الغريزية

" Organ kadang dapat bekerja berjam-jam sementara ia terpisah dari pemiliknya, dan kepala dipotong namun darah tetap mengalir dari pembuluh darahnya, yaitu jantung, dan ini tidak menunjukkan bahwa pemiliknya masih hidup. dan seperti kelangsungan hidup jaringan tubuh, maka ia tidak mati secara langsung dengan kematian pemiliknya, sebagaimana diungkapkan para ulama ahli Fiqih di masa lalu dengan mengatakan: Sisa-sisa dari kehidupan naluriah".

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

BANTAHAN:

Pertama:

Kami hanya berbicara tentang organ yang mati. Dan kehidupan tidak akan ada tanpa organ tersebut. Jika organ tsb dipisah dan terlepas dari yang hidup, maka pada saat itu kami tahu dengan pasti bahwa itu telah mati, tetapi selama organ itu masih terhubung dengan tubuh, dan dengan tubuh ini ada manifestasi kehidupan seperti denyut nadi, pernapasan, dan pertumbuhan... Bagaimana mungkin kita bisa mengatakan bahwa ia telah mati !? Bahkan yang benar adalah sebaliknya, dia lebih dekat dengan kondisi masih hidup, atau setidaknya ada keraguan besar bahwa dia masih hidup. Dan kami tidak dapat menawarkan untuk mengambil kemungkinan yang sama dalam hidupnya ; akan tetapi yang lebih rajih.

Kedua:

Kata-kata yang sama dikatakan tentang contoh yang Anda berikan tentang jantung yang berdenyut dengan darah setelah kepalanya dipenggal. Jantung seperti itu telah diketahui dengan yakin bahwa ia pasti telah mati. Dan ini berbeda dengan jantung yang kepala pemiliknya tidak dipenggal, bahkan tubuhnya masih sehat, tanda-tanda kehidupan muncul di sana, maka qiyas anda di sini adalah qiyas yang tidak nyambung [قياس مع الفارق].

Ketiga:

Adapun Qiyas Anda dengan bayi yang disyaratkan mengeluarkan suara tangisan saat lahir, itu adalah qiyas yang tidak nyambung juga [قياس مع الفارق].

Maka orang yang meninggal karena mati otak, ia pasti hidup. Jadi ketika dia terkena koma otak, maka kami meragukan kematiannya. Dan rasa yakin akan hidupnya tidak bisa dihilangkan dengan keraguan tentang kematiannya. Dan oleh karena itu kami menilainya masih hidup.

Berbeda dengan janin, karena pada asalnya tidak ada, maka tidak boleh tidak untuk menetapkan dalil yang menyakinkan bahwa janin tsb hidup.

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KEDUA:

Orang yang otaknya telah mati, ada kemungkinan dia masih hidup dan ada kemungkinan telah mati. Jika dia mati, maka tidak ada keraguan bahwa alat resusitasinya boleh dicabut darinya.

Dan jika dia masih hidup, maka tidak diragukan lagi bahwa dia menderita rasa sakit yang luar biasa, dan mengalami sekaratul maut yang parah yang berkepanjangan baginya. Dan yang menyebabkan panjang waktu penderitaannya adalah perangkat yang bekerja untuk melestarikan struktur tubuh. Dan pada akhirnya, yang akan terlihat adalah kematiannya yang pasti.

Berdasarkan hal ini: jadi dengan mencabut perangkat-perangkat itu darinya, akan menjadi istirahat baginya, menjadi rahmat baginya, dan kemudahan baginya. 

BANTAHAN:

Pertama:

Jiwa dan ruh bukan milik kita sehingga kita tidak berhak untuk menahannya atau melepaskannya. Yang benar, ruh itu adalah milik Allah SWT yang menciptakannya sendirian, Dia menahannya kapan pun Dia mau, dan Dia melepaskannya kapan pun Dia mau.

Kedua:

Kami tidak setuju dengan Anda bahwa dia menderita sakit dan sekarat, bahkan dia seperti orang yang pingsan dan tidak sadar. Dan orang yang tidak sadar itu seperti orang yang tertidur, yang tidak merasakan apapun, dan tidak menderita apapun, kecuali mimpi yang dia lihat sebagaimana orang yang tertidur melihatnya.

Ketiga:

Dengan asumsi kebenaran apa yang Anda katakan tentang penderitaan-nya dari rasa sakit, kami tidak lah lebih sayang kepadanya daripada Allah yang menciptakannya dan yang mengujinya dengan cobaan yang terjadi padanya, bahkan Allah SWT lebih penyayang kepadanya daripada semua orang di muka bumi.

Dalam hadits Umar bin al-Khattab, dia berkata:

قَدِمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِسَبْىٍ فَإِذَا امْرَأَةٌ مِنَ السَّبْىِ تَبْتَغِى إِذَا وَجَدَتْ صَبِيًّا فِى السَّبْىِ أَخَذَتْهُ فَأَلْصَقَتْهُ بِبَطْنِهَا وَأَرْضَعَتْهُ فَقَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَتَرَوْنَ هَذِهِ الْمَرْأَةَ طَارِحَةً وَلَدَهَا فِى النَّارِ ». قُلْنَا لاَ وَاللَّهِ وَهِىَ تَقْدِرُ عَلَى أَنْ لاَ تَطْرَحَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم: « لَلَّهُ أَرْحَمُ بِعِبَادِهِ مِنْ هَذِهِ بِوَلَدِهَا ».

“Rosulullah SAW memperoleh banyak tawanan perang. Tiba-tiba ada seorang perempuan dari mereka yang mencari bayinya dalam kelompok tawanan tersebut. Kemudian dia mengambil bayi itu, memeluknya kemudian menyusuinya. Rosulullah SAW bertanya kepada kami, “Menurut kalian, apakah perempuan ini tega melemparkan anaknya itu ke api?”

Kamipun menjawab: “Demi Allah, tidak akan melemparkannya ke api selama dia masih mampu untuk tidak melemparnya”.

Lalu Rosulullah SAW bersabda, “Sungguh Allah lebih sayang kepada para hamba Nya melebihi kasih sayang perempuan ini terhadap anaknya” [HR. Bukhori no. 5999, Muslim no. 2754].

Dari shahabat Anas Rodhiyallahu ‘anhu. Dia berkata:

مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَفَرٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَصَبِيٌّ فِي الطَّرِيقِ فَلَمَّا رَأَتْ أُمُّهُ الْقَوْمَ خَشِيَتْ عَلَى وَلَدِهَا أَنْ يُوطَأَ فَأَقْبَلَتْ تَسْعَى وَتَقُولُ ابْنِي ابْنِي وَسَعَتْ فَأَخَذَتْهُ فَقَالَ الْقَوْمُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كَانَتْ هَذِهِ لِتُلْقِيَ ابْنَهَا فِي النَّارِ قَالَ فَخَفَّضَهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ وَلَاءُ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَا يُلْقِي حَبِيبَهُ فِي النَّارِ

“Nabi SAW bersama para shahabat sedang melintasi sebuah jalan yang di tengahnya ada seorang anak kecil. Ketika ibunya melihat rombongan, dia pun khawatir anaknya terinjak. Maka dia berusaha menyelamatkan anaknya tersebut dan mengatakan, “Anakku … anakku…..”. Kemudian dia pun mengambil anaknya.

Kemudian Dia (Anas) berkata, “Wahai Rosulullah, Ibu ini tidak mungkin melemparkan anaknya ke api?”

Rosulullah SAW pun menenangkan mereka: “Allah ‘Azza wa Jalla tidak akan menjerumuskan kekasih Nya ke dalam neraka”.

[HR. Ahmad no. 12037. Hadits yang dinilai shahih oleh Syaikh Syu’aib Al-Arna'uth].

Diriwayatkan dari Abullah bin Mas’ud Rodhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَمْ يُحَرِّمْ حُرْمَةً إِلَّا وَقَدْ عَلِمَ أَنَّهُ سَيَطَّلِعُهَا مِنْكُمْ مُطَّلِعٌ أَلَا وَإِنِّي آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ أَنْ تَهَافَتُوا فِي النَّارِ كَتَهَافُتِ الْفَرَاشِ أَوْ الذُّبَابِ

“Sesungguhnya Allah tidaklah mengharamkan sesuatu yang haram melainkan Allah telah mengetahui ada sekelompok orang dari kalian yang menginginkannya [mencobanya]. Ketahuilah sesungguhnya aku (Rosulullah) memegang pinggang kalian agar tidak jatuh ke dalam api [neraka] sebagaimana jatuhnya kupu-kupu ataupun lalat”.

[HR. Ahmad no. 3704. Hadits ini dinilai hasan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnatuh Rohimahullah].

Abu Hurairah berkata: saya mendengar Rasulullah SAW bersabda:

" جَعَلَ اللَّهُ الرَّحْمَةَ مِائَةَ جُزْءٍ فَأَمْسَكَ عِنْدَهُ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ جُزْءًا وَأَنْزَلَ فِي الْأَرْضِ جُزْءًا وَاحِدًا فَمِنْ ذَلِكَ الْجُزْءِ يَتَرَاحَمُ الْخَلْقُ حَتَّى تَرْفَعَ الْفَرَسُ حَافِرَهَا عَنْ وَلَدِهَا خَشْيَةَ أَنْ تُصِيبَهُ ".

"Allah menjadikan rahmat (kasih sayang) seratus bagian, maka dipeganglah disisi-Nya sembilan puluh sembilan bagian dan diturunkan-Nya satu bagian ke bumi. Dari yang satu bagian inilah seluruh makhluk berkasih sayang sesamanya, sehingga seekor kuda mengangkat kakinya karena takut anaknya akan terinjak olehnya." [HR. Bukhori no. 5541]

Keempat:

Dengan logika apa kita mengatakan bahwa membunuh itu adalah rahmat? Bahkan sebaliknya, pembunuhan adalah kejahatan yang keji, dan serangan terhadap jiwa yang harus dilindungi dan diharamkan membunuhnya.

Al-Bahuuti berkata:

«(ولا يجوز قتلها)؛ أي: البهيمة، (ولا ذبحها للإراحة)؛ لأنها مال ما دامت حية، وذبحها إتلاف لها، وقد نهي عن إتلاف المال، (كالآدمي المتألم بالأمراض الصعبة) ، أو المصلوب بنحو حديد؛ لأنه معصوم مادام حيًا»

"(Tidak diperbolehkan membunuhnya) Yaitu: hewan ternak, (dan tidak boleh menyembelihnya demi untuk membuatnya istirahat) Karena itu adalah harta selama masih hidup, dan menyembelihnya itu akan menghancurkan hartanya, dan dilarang menghancurkan harta, (seperti manusia yang menderita penyakit yang sulit), atau disalib dengan besi ; Karena dia itu wajib dilindungi nyawanya selama dia masih hidup. [Baca: Kasyaf al-Qinaa' 5/495]

DALIL KE TIGA:

Penderita kematian batang otak ini, dengan asumsi bahwa dia belum mati secara hakiki, akan tetapi dia adalah pasien yang tidak ada harapan lagi untuk sembuh. Dan telah terhenti semua sebab material, sudah tidak ada kemampuan untuk mengobatinya atau memperbaiki kondisinya.

Tidak ada perbedaan pendapat di antara para dokter bahwa pasien batang otak tidak dapat kembali ke kehidupan yang stabil lagi. Salah satu prinsip dasar patologi saraf secara umum adalah sel-sel otak tidak dapat diperbarui jika rusak.

Bahkan sebaliknya, semua organ tubuh berkemungkinan tubuh manuisa bisa bertahan hidup dengan normal tanpa organ tersebut atau mungkin bisa diganti dengan yang lain, sementara otak manusia tidak dapat diganti, dan itu tidak terpikirkan ada gantinya ; bahkan, semua bagian tubuh dapat diamputasi dan orang tersebut tetap hidup, bahkan setelah hemispherectomy, yaitu operasi langka, terkadang dilakukan di beberapa kasus epilepsi pada anak-anak.

Institusi medis di Inggris menindaklanjuti 700 kasus yang didiagnosis dengan kematian otak, berjalan sesuai protokol atau syarat-syarat yang ditetapkan, dan ternyata tidak ada satu kasus pun yang selamat dan hidup. [Baca: مسألة موت جذع المخ = Masalah kematian batang otak, oleh Dr. Abdel Halim Mansour].

Yang lebih utama jika kondisinya seperti ini, sebaiknya jangan membuang-buang uang dan waktu untuk menangani kasus yang tidak ada harapan karena alasan materi kita.

BANTAHAN:

Pertama:

Tidak adanya harapan kesembuhan dari penyakit bukan berarti boleh mempercepat kematian dan secara langsung melakukan sebab-sebab kematiannya, sebagaimana yang terdapat dalam hadits tentang orang yang mengoyak lukanya.

Dari Jundub ibn Abdillah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah SAW:

" كاَنَ فِيْمَنْ كاَنَ قَبْلَكُمْ رَجِلٌ، بِهِ جُرْحٌ فَجَزِعَ، فَأَخَذَ سِكِّيْناً فَحَزَّ بِهَا يَدَهُ، فَماَ رَقَأَ الدَّمُ حَتَّى ماَتَ قَالَ اللهُ تَعاَلَى: " باَدَرَنِي عَبْدِى بِنَفْسِهِ، حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ ".

“Terdapat seseorang laki-laki dari orang-orang sebelummu yang memiliki luka, dia tidak bersabar, maka dia mengambil pisau lalu memotong tanganya denganya, maka darahnya pun terus mengalir keluar hingga dia meninggal, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: 'Hambaku telah terburu-buru menemuiku dengan jiwanya, maka aku haramkan baginya surga '”. [HR. Bukhari no. 3463 dan Muslim no. 113]

Kedua:

Jika benar illat ini layak untuk dijadikan al-I'tibar dalam qiyas dan wajib untuk bertindak sesuai dengan illat itu ; maka ini akan membuka pintu mafsadat yang besar ; Karena ada banyak penyakit kronis yang tidak ada harapan untuk sembuh atau disembuhkan, dan itu lebih ringan dari kematian otak.

Dan jika demikian mengapa kita tidak membolehkan untuk membunuh mereka dengan cara melepas alat pernapasannya, dan dengan memotong organnya, seperti yang dilakukan pada pasien yang mati mati, berdasarkan penerapan illat. [Baca: تهافت موت الدماغ]

DALIL KE EMPAT:

Biaya material:

Biaya pengobatan untuk pasien dengan kematian otak sangat tinggi ; Karena apa yang dia butuhkan dalam hal peralatan dan pekerja khusus di unit perawatan intensif, biayanya bisa mencapai puluhan juta bahkan ratusan juta, sebagai pembayaran pengobatan yang sia-sia dalam hal menyembuhkan penyakit mati otak dan menyembuhkannya.

Itu bukan dari kemashlahatan, dan tidak layak untuk menyia-nyiakan uang dalam jumlah besar ini untuk kasus individu, sementara membelanjakan uang ini untuk keperluan kesehatan lain yang membawa banyak manfaat nyata bagi individu-individu dan masyarakat lainnya yang tidak dapat disangkal, Seperti pengeluaran untuk program pelayanan primer, dan pengobatan penyakit menular yang bisa disembuhkan dan lain sebagainya [Baca: تهافت موت الدماغ].

BANTAHAN:

Syubhat ini berada di luar cakupan perselisihan pendapat diantara kita, karena perselisihannya adalah kematian otak identik dengan hukum wafat yang syar'i.

Adapun untuk biaya yang sangat tinggi, maka ada rumusan yang diusulkan untuk menangani kasus kematian otak adalah sebagai berikut:

1] Menghentikan pengobatan pada batas yang dicapai oleh tim medis pada saat diagnosis kematian otak, dan tidak mengintensifkan atau meningkatkan pengobatan lebih dari itu, sesuai dengan prinsip: boleh meninggalkan pengobatan, terutama dalam kasus penyakit terminal, atau penyakit yang tidak ada harapan untuk sembuh.

Teori ini baru-baru ini beredar dalam kebiasaan profesi, yang dikenal sebagai terapi non-eskalasi.

2] Saat terjadi kegagalan memperbaiki atau mengembalikan perangkat medis yang secara otomatis dapat rusak dari sarana perawatan yang diterima pasien.

Jika alat rusak, atau selang pernapasan keluar dari posisinya, atau obat terputus ; maka tidak harus dikembalikan ; Berdasarkan prinsip non-intensifikasi pengobatan.

3] Terus menerus memasok tubuh dengan gizi makanan dan air agar pasien tidak terkesan dibunuh secara perlahan.

4] Berhenti melakukan tes diagnostik dan evaluasi lain yang sama sekali tidak memberikan manfaat bagi pasien.

Dengan demikian, rumusan ini tidak termasuk penggunaan salah satu penyebab yang secara langsung menyebabkan kematian.

Dan itu termasuk penerapan dalil yang menunjukkan sunnah-nya berobat, dengan disertai sebab melakukan pengobatan sebelum waktu diagnosis kematian otak.

Dan bukti yang menunjukkan diperbolehkannya meninggalkan pengobatan sakit kematian, dengan menghentikan penggunaan sesuatu yang tidak berguna dari jenis pengobatan yang belum pernah ada sebelumnya, yang dinilai oleh dokter yang berwenang bahwa itu tidak diperlukan.

Perlu dicatat bahwa tindakan yang disebutkan di atas seringkali tidak bertahan lama. Dan inilah yang menolak syubhat udzur dengan alasan lamanya perawatan pasien, dan biaya material yang dapat menghabiskan dana kas publik bagi umat Islam [تهافت موت الدماغ].

DALIL KELIMA:

Ada sebagian para pasien yang hidupnya masih stabil dan terverifikasi, namun mereka hidupnya bergantung pada donor ginjal atau lobus hati dari pasien-pasien mati otak yang dipindahkan ke mereka....

Dan organ-organ ini tidak cocok untuk transplantasi kecuali jika dipindahkan dari seseorang yang otaknya telah mati. Jika ini ditunda dan darahnya terputus, maka sebagian besar akan rusak setelah beberapa menit.

BANTAHAN:

Darah orang yang mati otak tidak kalah sempurnanya dengan darah pasien yang Anda bicarakan. Dan yang sudah maklum bahwa salah satu qaidah Fiqhiyah menyatakan:

(الضرر لا يُزال بالضرر)

(Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya yang sama)

Bahaya Penyakit pada seorang pasien masih tetap ada dengan menimbulkan bahaya penyakit pada pasien yang lain. Dan kondisi darurat pasien tidak boleh membatalkan hak orang lain.

Lalu dengan hak apa dokter dan orang lain mengizinkan mengekspos aurat pasien ini, memotong-motong tubuhnya, dan mengeluarkan organ-organnya. Sementara Rosulullah SAW bersabda:

" كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا ".

“ Bahwa memecahkan tulang mayit sama seperti memecahkannya saat dia hidup “.

(HR. Abu Daud, no: 3207, Ibnu Majah, no: 1616, Ahmad no. 24739 dan Ibnu Hibban, no: 3167. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah no. 1616)

Bahkan sebaliknya, siapa pun yang dipaksa untuk membunuh orang lain untuk menyelamatkan nyawanya tidak diizinkan untuk membunuh orang lain ; Karena keharaman nyawa orang lain tidak kurang dari keharamannya, dan 'ishmah [darah orang lain yang tidak dapat diganggu gugat] tidak kurang dari 'ishmahnya.

Imam Ibnu Hazm rahimahullah berkata:

« وَالْإِكْرَاهُ عَلَى الْفِعْلِ يَنْقَسِمُ قِسْمَيْنِ:

أَحَدُهُمَا - كُلُّ مَا تُبِيحُهُ الضَّرُورَةُ، كَالْأَكْلِ وَالشُّرْبِ فَهَذَا يُبِيحُهُ الْإِكْرَاهُ؛ لِأَنَّ الْإِكْرَاهَ ضَرُورَةٌ، فَمَنْ أُكْرِهَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ هَذَا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ؛ لِأَنَّهُ أَتَى مُبَاحًا لَهُ إتْيَانُهُ.

وَالثَّانِي - مَا لَا تُبِيحُهُ الضَّرُورَةُ، كَالْقَتْلِ، وَالْجِرَاحِ، وَالضَّرْبِ، وَإِفْسَادِ الْمَالِ، فَهَذَا لَا يُبِيحُهُ الْإِكْرَاهُ، ‌فَمَنْ ‌أُكْرِهَ ‌عَلَى ‌شَيْءٍ ‌مِنْ ‌ذَلِكَ ‌لَزِمَهُ ‌الْقَوَدُ ‌وَالضَّمَانُ؛ ‌لِأَنَّهُ ‌أَتَى ‌مُحَرَّمًا ‌عَلَيْهِ ‌إتْيَانُهُ »

“Paksaan untuk bertindak terbagi menjadi dua bagian:

Salah satunya:

Segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat, Seperti makan dan minum, maka ini diperbolehkan dengan paksaan ; karena paksaan di sini adalah darurat [suatu keniscayaan]. Maka barang siapa yang memaksa seseorang melakukan hal seperti ini, maka tidak ada apa-apa baginya ; Karena dia memaksakan sesuatu yang diperbolehkan baginya.

Yang kedua:

Sesuatu yang tidak diperbolehkan meski karena darurat ; seperti membunuh, melukai, memukul, dan merampok uang, hal ini tidak diperbolehkan dengan paksaan.

Maka barangsiapa terpaksa melakukan sesuatu dari itu ; maka wajib atasnya qishash dan ganti rugi ; Karena dia memaksakan hal yang di haramkan ” [Baca: Al-Muhalla bil-Aatsaar, oleh Ibnu Hazm, Dar Al-Fikr, Beirut (7/203). Dan lihat pula: تهافت موت الدماغ]

******

DALIL PENDAPAT KEDUA: 
BAHWA PASIEN YANG MATI OTAK TAPI JANTUNGNYA HIDUP ADALAH MASIH HIDUP:

Mereka berdalil dengan dalil-dalil sbb:

DALIL PERTAMA:

Firman Allah Ta'aala:

{ قُلِ اللّٰهُ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ }

" Katakanlah, “Allah yang menghidupkan kemudian mematikan kalian.” (QS. Al-Jasiyah: 26)


Dan firman Allah Ta'aala:

{كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ} 

Bagaimana kalian ingkar kepada Allah, padahal kalian (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kalian, kemudian Dia mematikan kalian lalu Dia menghidupkan kamu kembali. Kemudian kepada-Nyalah kalian dikembalikan. (QS. Al-Baqarah: 28)

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA::

Dimana Allah SWT memutuskan bahwa kematian adalah lawan dari kehidupan dan kebalikannya, dan dua hal yang berlawanan tidak bertemu; Seorang pasien mati otak [koma serebral] itu antara hidup dan mati, dan tidak mungkin untuk memutuskan bahwa dia sudah mati ; karena munculnya banyak tanda kehidupan padanya; Seperti detak jantung, pernapasan, suhu hangat tubuh...

BANTAHAN:

Tanda-tanda ini tidak berasal dari batang otak yang mati; melainkan, itu karena alat medis yang terhubung dengannya, jadi jika dicabut, masalahnya akan selesai.

JAWABAN:

Perangkat ini adalah jenis perawatan sementara, setelah itu pasien dapat kembali ke kehidupan normal, seperti seseorang yang mengalami pingsan tak sadarkan diri dan kemudian bangun setelah beberapa saat.

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE DUA:

Firman Allah SWT:

{أَمْ حَسِبْتَ أَنَّ أَصْحَابَ الْكَهْفِ وَالرَّقِيمِ كَانُوا مِنْ آيَاتِنَا عَجَبًا (9) إِذْ أَوَى الْفِتْيَةُ إِلَى الْكَهْفِ فَقَالُوا رَبَّنَا آتِنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً وَهَيِّئْ لَنَا مِنْ أَمْرِنَا رَشَدًا (10) فَضَرَبْنَا عَلَى آذَانِهِمْ فِي الْكَهْفِ سِنِينَ عَدَدًا (11) ثُمَّ بَعَثْنَاهُمْ لِنَعْلَمَ أَيُّ الْحِزْبَيْنِ أَحْصَى لِمَا لَبِثُوا أَمَدًا (12)} 

Atau Anda mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang memiliki) raqim itu, mereka termasuk tanda-tanda kekuasaan Kami yang mengejutkan? 

(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat perlindungan ke dalam gua, lalu mereka berdoa, "Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini). 

Maka kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, kemudian Kami membangunkan mereka, agar Kami mengetahui dimana di antara kedua golongan yang lebih tepat dalam menghitung berapa lama mereka tinggal (dalam gua itu). [QS. Al-Kahfi: 9 – 12]

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA::

Dimana orang-orang di gua itu tetap tidur nyenyak selama lebih dari tiga ratus tahun, lalu Allah mengembalikan mereka kepada kehidupan normal, maka begitu pula mungkin pasien koma otak kembali ke kehidupan normalnya.

BANTAHAN:

Pertama: Ini adalah masalah yang luar biasa [خارق للعادة] dari karomah para wali, dan tidak di benarkan untuk dianalogikan kepadanya.

Kedua: Tidak ada argumen untuk masalah ini ; karena ashabul Kahfi itu sedang tidur, bahkan kan mereka membolak balikan badannya dalam tidurnya, berdasarkan nash ayat:

{وَتَحْسَبُهُمْ أَيْقَاظًا وَهُمْ رُقُودٌ وَنُقَلِّبُهُمْ ذَاتَ الْيَمِينِ وَذَاتَ الشِّمَالِ}

Dan kamu mengira mereka itu terjaga, padahal mereka tidur; Dan kami balik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, [Al-Kahfi: 18].

Dan orang tidur adalah hidup tanpa ada perselisihan pendapat, dan semua organ tubuhnya adalah sehat, bekerja tanpa memerlukan perangkat medis, tidak seperti mereka yang batang otaknya mati.

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE TIGA:

Firman Allah SWT:

{اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ} 

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya, dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya. Maka Dia menahan jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya, dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah, bagi kaum yang berfikir.” [QS. Az-Zumar 39: 42]

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA::

Dimana Allah menjelaskan keadaan ruh, sebagaimana firman Al-Qurtubi:

«يريد الأرواح في قول جماعة من أهل التأويل»

“ Dia menghendaki ruh-ruh, menurut sekelompok ahli tafsir". (Tafsir Al-Qurtubi (Al-Baqarah: 44)

Maka pada saat kematian, Allah menahan ruh dan tidak mengirimkannya ke jasad, sehingga terjadi kematian. Jadi Allah SWT mengaitkan hukum wafat atau kematian pada penahanan ruh, dan pasien koma otak belum di tahan ruhnya. Dan kematian salah satu anggota tubuh itu tidak dianggap sebagai hukum wafat, selama ruh masih ada di dalam tubuh.

BANTAHAN:

Di antara organ-organ ada orang yang tidak bisa hidup tanpanya, maka kerusakannya pasti mengarah pada kebinasaan seluruh tubuh. Di antara organ tersebut adalah otak. Jika rusak, maka kami memutuskan kematian pemiliknya.

JAWABAN:

Fakta bahwa tubuh tetap utuh, tidak membusuk, mempertahankan suhunya dan tidak mendingin, serta darah mengalir dan tidak membeku... itu semua merupakan bukti kuat adanya aliran kehidupan di dalamnya.

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE EMPAT:

Allah SWT berfirman:

{فَلَوْلَا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ (83) وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ (84) وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لَا تُبْصِرُونَ (85) فَلَوْلَا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ (86) تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ} 

Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal ketika itu kalian melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kalian. Tetapi kalian tidak melihat, maka mengapa jika kalian tidak dikuasai (oleh Allah)? kalian tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kalian adalah orang-orang yang benar. [QS. Al-Waqi'ah: 83-87]

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA::

Al-Hafidz Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:

«يقول تعالى: {فلولا إذا بلغت} أي: الروح، {الحلقوم} أي: الحلق، وذلك حين الاحتضار»

Artinya: " Firman Allah Swt:

{فَلَوْلا إِذَا بَلَغَتِ}

Maka mengapa ketika sampai. (Al-W'aqi'ah: 83)

Yakni nyawa atau roh.

{الْحُلْقُومَ}

di kerongkongan. (Al-Waqi'ah: 83)

Maksudnya, tenggorokan. Hal ini terjadi di saat seseorang mengalami ihtidar (sekarat)nya". [Tafsir Ibnu Katsir surat al-Waqi'ah: 83]

Allah SWT menetapkan kematian bergantung pada keluarnya ruh dari tubuh. Dan Dia menetapkan mereka bisa kembali pada kehidupan bergantung pada apa yang mereka tidak mampu melakukannya, yaitu kembalinya ruh ke tubuh itu. Dan semua itu jelas dan terbukti dalam ketergantungan kematian dengan terpisahnya ruh dari tubuh, tidak ada yang lain. [Baca: Penelitian: (تهافت موت الدماغ) DR. Wasiim Fathullah].

BANTAHAN:

Kami setuju dengan Anda, tetapi pemisahan nyawa dari tubuh adalah hal yang ghaib yang tidak terlihat, dan itu hanya diketahui dengan tanda-tanda dan efeknya, dan di antara efek yang paling menonjol dari kematian adalah diketahui nya dengan: kematian batang otak.

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE LIMA:

Dalam hadits panjang Al-Bara bin 'Azib, di mana Nabi SAW bersabda:

إنَّ العبدَ المؤمِنَ إذا كان في إقبالٍ مِن الآخِرةِ وانقِطاعٍ مِن الدُّنيا، نزَلَت إليه الملائكةُ، كأنَّ على وُجوهِهِمُ الشَّمسَ، معهم كَفنٌ مِن أكفانِ الجَنَّةِ، وحَنوطٌ مِن حَنوطِ الجنَّةِ، فجَلَسوا مِنه مَدَّ البَصرِ، ثمَّ يَجيءُ ملَكُ الموتِ حتَّى يَجلِسَ عندَ رأسِه، فيَقولُ: يا أيَّتُها النَّفْسُ الطَّيِّبةُ، اخرُجي إلى مَغفِرةٍ مِن اللهِ ورِضْوانٍ، قال: فتخرُجُ تَسيلُ كما تَسيلُ القَطْرةُ مِن في السِّقاءِ،

" Sesungguhnya SEORANG HAMBA YANG MUKMIN apabila ajalnya di dunia sudah habis dan akan menghadap ke akhirat, maka turunlah kepadanya para malaikat yang semua wajahnya putih seakan-akan seperti matahari.

Mereka turun dengan membawa kain kafan dari surga dan wewangian pengawet jenazah dari surga, hingga mereka semua duduk di dekatnya sampai sejauh mata memandang.

Kemudian datanglah malaikat maut dan duduk di dekat kepalanya, lalu malaikat maut berkata: "Hai jiwa yang tenang, keluarlah menuju kepada ampunan dan rida Allah!"


Nabi SAW melanjutkan sabdanya: " Maka keluarlah rohnya, mengucur sebagaimana mengucurnya tetesan air dari mulut (lubang) wadah penyiram.

Lalu Nabi SAW bersabda:

" وإنَّ العبدَ الكافِرَ إذا كان في انقِطاعٍ مِن الدُّنيا وإقبالٍ مِن الآخرةِ، نزَلَ إليه مِن السَّماءِ مَلائكةٌ سُودُ الوُجوهِ، معَهم المُسوحُ، فيَجلِسون مِنه مَدَّ البصَرِ، ثمَّ يَجيءُ ملَكُ الموتِ حتَّى يَجلِسَ عِندَ رأسِه، فيَقولُ: أيَّتُها النَّفسُ الخبيثةُ، اخرُجي إلى سَخطٍ مِن اللهِ وغَضبٍ، قال: فتَتفرَّقُ في جسَدِه، فيَنتزِعُها كما يُنتزَعُ السَّفُّودُ مِن الصُّوفِ المبلولِ، فيَأخُذُها، فإذا أخَذَها لم يدَعوها في يدِه طَرْفةَ عينٍ، حتَّى يَجعَلوها في تلك المسوحِ، ويَخرُجَ منها كأنتَنِ ريحٍ خَبيثةٍ وُجِدَتْ على وجهِ الأرضِ".

Dan sesungguhnya SEORANG HAMBA YANG KAFIR apabila ajalnya sudah habis di dunia ini dan hendak menghadap ke alam akhirat, maka turunlah kepadanya para malaikat yang berwajah hitam dengan membawa karung, lalu mereka duduk sejauh mata memandang darinya.


Kemudian datanglah malaikat maut yang langsung duduk di dekat kepalanya.

Lalu malaikat maut berkata: "Hai jiwa yang jahat, keluarlah engkau menuju kepada kemurkaan dan marah Allah".

Nabi SAW melanjutkan kisahnya: " Maka rohnya bercerai-berai keseluruh tubuhnya (bersembunyi), kemudian malaikat maut mencabutnya sebagaimana seseorang mencabut besi pemanggang daging yang berjeruji dari kain wol yang basah (mencabut kain kerudung dari dahan yang beronak duri, pent.).

Malaikat maut pun mencabut rohnya.

Dan apabila ia telah mencabutnya, maka mereka tidak membiarkan roh itu berada di tangan malaikat maut barang sekejap pun, melainkan langsung mereka masukkan ke dalam karung tersebut, dan tercium darinya bau bangkai yang paling busuk di muka bumi ini".

[HR. Abu Daud (4754) dengan sedikit perbedaan, an-Nasa'i (2001) disingkat, dan Ahmad (573) dan kata-katanya adalah miliknya.]

Di Shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 4753 dan Syu'aib al-Arna'uth dalam Takhrij Syarah ath-Thohaawiyah no. 573]

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA::

Di mana Nabi SAW menunjukkan bahwa jiwa dapat menyebar ke seluruh tubuh, seperti dalam kasus seorang hamba yang kafir. Dan itu juga dapat menyelaraskan dirinya dengan bagian tubuh, seperti yang ditunjukkan oleh kasus tentang hamba yang beriman, di mana jiwanya berkumpul di pintu keluarnya dengan mudah dan lancar.

Dalil yang bisa diambil darinya: bahwa adanya kemungkinan ruh terpencar atau membias di dalam tubuh. Ini adalah bukti bahwa rusaknya sebagian tubuh, sehingga tidak layak lagi ruh melekat padanya, tidak mengharuskan ruh meninggalkan seluruh tubuh.

Dan dalam pembahasan masalah kami ini, jika diasumsikan kematian otak, maka ini tidak mengharuskan jiwa meninggalkan seluruh tubuh, dan tidak ada yang mencegah untuk terus-menerus melekatnya jiwa ke tubuh, cenderung pada organ lain. Dan dalil Syar'iah menunjukkan bahwa ini mungkin, dan tidak ada penolakan untuk itu dalam logika, dan dengan demikian meniadakan korelasi imajiner antara kerusakan otak dan kematian. [Baca: Penelitian: (تهافت موت الدماغ) DR. Wasiim Fathullah].

BANTAHAN:

Hal yang pasti adalah ada sebagian organ yang tidak bisa hidup tanpa ruh. Dan tidak diragukan lagi salah satu organ tersebut adalah otak.

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE ENAM:

Dari [Abu Hurairah] bahwa Rasulullah SAW bersabda:

بَيْنَمَا رَجُلٌ يَمْشِي بِطَرِيقٍ اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَوَجَدَ بِئْرًا فَنَزَلَ فِيهَا فَشَرِبَ ثُمَّ خَرَجَ فَإِذَا كَلْبٌ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنْ الْعَطَشِ فَقَالَ الرَّجُلُ: " لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الْكَلْبَ مِنْ الْعَطَشِ مِثْلُ الَّذِي كَانَ بَلَغَ بِي فَنَزَلَ الْبِئْرَ فَمَلَأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ فَغَفَرَ لَهُ".

قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا

فَقَالَ: " نَعَمْ فِي كُلِّ ذَاتِ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ ".

"Pada suatu ketika ada seorang laki-laki sedang berjalan melalui suatu jalan, lalu dia merasa sangat kehausan. Kebetulan dia menemukan sebuah sumur, maka dia turun ke sumur itu untuk minum. Setelah keluar dari sumur, dia melihat seekor anjing menjulurkan lidahnya menjilat-jilat tanah karena kehausan.

Orang itu berkata dalam hatinya; 'Alangkah hausnya anjing itu, seperti yang baru ku alami.'

Lalu dia turun kembali ke sumur, kemudian dia menciduk air dengan sepatunya, dibawanya ke atas dan diminumkannya kepada anjing itu. Maka Allah berterima kasih kepada orang itu (diterima-Nya amalnya) dan diampuni-Nya dosanya.'

Para sahabat bertanya; 'Ya, Rasulullah! Dapat pahalakah kami bila menyayangi hewan-hewan ini? '

Jawab beliau: 'Ya, setiap menyayangi makhluk hidup adalah berpahala." [HR. Bukhori no. 5550]

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA:

Dan hadits ini datang menjelaskan tentang memberi minum hewan, maka memberi minum manusia termasuk di dalamnya bahkan lebih utama.

Dan dalil yang bisa diambil darinya adalah bahwa pahala memberi minum hanya bisa terjadi pada orang yang masih hidup, maka maknanya bukan memberi air minum pada orang yang mati, karena tidak ada hubungannya dengan pahala.

Dan yang maklum bahwa pasien yang memenuhi kriteria kematian otak itu masih lembab dan hidup.

Dan di antara organ tersebut adalah hati. Demikian pula hadits ini menunjukkan: Bahwa siapa pun yang memiliki hati yang hidup dan lembab adalah tempat di mana pahala melekat padanya dengan memberi minum, dan ini hanya bisa terjadi pada orang yang masih hidup. [Baca: Penelitian: (تهافت موت الدماغ) DR. Wasiim Fathullah]

BANTAHAN:

Ini adalah kehidupan delusi yang tidak berdiri sendiri. Sehingga jika alat resusitasi dicabut dari pemiliknya, ia langsung meninggal.

Dan argumen Anda dibantah oleh bagaimana jika kita menyimpan jenazah di lemari es, atau kapsul berpendingin, atau membalsem jenazahnya, maka jenazahnya tetap tidak berubah, Apakah kita juga bisa mengatakan:

Keberadaan jenazah dalam keadaan tanpa adanya perubahan adalah bukti bahwa pemiliknya masih hidup !?

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE TUJUH:

Dari Abu Musa, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda:

 إذَا مَرِضَ العَبْدُ، أوْ سَافَرَ، كُتِبَ له مِثْلُ ما كانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Apabila seorang hamba sakit atau sedang melakukan safar, Allah akan menuliskan baginya pahala seperti saat ia lakukan ibadah di masa sehat dan bermukim.” (HR. Bukhari no. 2996)

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA: [Titik inferensi]:

Adanya orang sakit di catat amalnya adalah dalil bahwa ajalnya belum tiba.

Dan yang telah maklum bahwa amal perbuatan mayit segera berakhir setelah dia meninggal, kecuali tiga perkara.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

“Jika manusia itu mati, maka akan putus amalannya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya.” (HR. Muslim: 163)

Dan tidak tersedia satupun dari pengecualian-pengecualian ini bagi orang yang mati otaknya. Dan tidak ada keraguan bahwa orang yang otaknya mati itu berlaku baginya sebagai orang sakit yang tidak mampu beramal ibadah, maka pahala amal ibadahnya mengalir padanya karena dia hidup dan diberi rizki, dan hanya orang yang sudah mati saja yang amalnya terputus.

Dan hasil dari dalil ini adalah kita bertanya kepada lawan pendapat: Apakah orang yang otaknya sudah mati itu catatan amalnya berjalan sesuai dengan apa yang biasa dia amalkan saat dia sehat dan mapan, atau tidak?

Maka jika mereka menjawab "YA", ini pasti menandakan bahwa orang yang otaknya mati masih hidup ; Karena orang mati itu putus amalnya kecuali tiga amalan yang dikecualikan oleh nash, dan ini bukan darinya. Dan jika mereka menjawab "TIDAK", maka itu adalah murni pemaksaan hukum.

Dan kami katakan kepada mereka: Di mana dalil yang mengecualikan orang yang otaknya mati dari keumuman hadits:

 إذَا مَرِضَ العَبْدُ، أوْ سَافَرَ، كُتِبَ له مِثْلُ ما كانَ يَعْمَلُ مُقِيمًا صَحِيحًا

“Apabila seorang hamba sakit atau sedang melakukan safar, Allah akan menuliskan baginya pahala seperti saat ia lakukan ibadah di masa sehat dan bermukim.” (HR. Bukhari no. 2996)

Dan mereka tidak memiliki dalil pengecualian kecuali klaim kematian. Dan ini ditolak karena hal itu termasuk dalam Bab:

رَدُّ المُخْتَلَفِ فِيْهِ إلى المُخْتَلَفِ فِيْهِ

"Mengembalikan yang disengketakan di dalamnya kepada yang disengketakan di dalamnya".

Dan itu tidak bisa mengikat kami. Dan dalil kami ini sangat kuat dalam menyanggah klaim kematian orang mati otak. [Baca: Penelitian: (تهافت موت الدماغ) DR. Wasiim Fathullah].

BANTAHAN:

Bahkan sebaliknya, yaitu tegaknya dalil bahwa itu adalah kehidupan delusi, dan dia ada dalam hukum orang yang sudah mati. Yang mana semua penampakan hidup darinya, akan segera lenyap secara keseluruhan setelah alat resusitasi buatan disingkirkan darinya.

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE DELAPAN:

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu, bahwa Nabi SAW bersabda:

أيُّها النَّاسُ اتَّقوا اللَّهَ وأجملوا في الطَّلبِ فإنَّ نفسًا لن تموتَ حتَّى تستوفيَ رزقَها وإن أبطأَ عنْها فاتَّقوا اللَّهَ وأجملوا في الطَّلبِ خذوا ما حلَّ ودعوا ما حَرُمَ

“Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah, dan gunakanlah cara yang indah dalam mencari rezeki. Karena tidak ada jiwa yang mati kecuali sudah terpenuhi rezekinya, walaupun (terkadang) rezeki tersebut lambat sampai kepadanya. Maka gunakanlah cara yang indah dalam mencari rezeki. Ambilah yang halal-halal dan tinggalkan yang haram-haram” 

(HR. Ibnu Majah no. 1756, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA::

Letak dalil dalam sabdanya: " tidak ada jiwa yang mati kecuali sudah terpenuhi rezekinya"

Ini adalah khabar dari Nabi SAW yang menginformasikan tentang keterkaitan rezeki dengan kehidupan, dan pemenuhannya dengan datangnya ajal, karena rezeki itu tertulis sesuai dengan batas hidup dan berakhir dengan kematian, maka tidak ada orang yang mati, kecuali rezekinya terputus di dunia ini, karena rezeki adalah untuk yang hidup.

Dan Anda melihat pasien sakit dalam keadaan mati otak, dia diberi makan dengan cairan bergizi, atau lebih tepatnya dengan makanan yang disiapkan dalam bentuk cair, yang diberikan melalui saluran perut, atau melalui pembuluh darah dan tubuhnya menerima makanan dan memetabolisme itu.

Metabolisme makanan artinya: tubuh mengolahnya sehingga berubah dari formulanya yang diambil tubuh menjadi unsur-unsurnya yang memungkinkan tubuh mendapat manfaat darinya, dan inilah yang tidak terjadi pada bangkai dan mayat, maka pertimbangkanlah !. [Baca: Penelitian: (تهافت موت الدماغ) DR. Wasiim Fathullah].

Orang sakit ini diberi rezeki, dan rezeki itu tidak datang setelah kematian, jadi jika dia meninggal - seperti yang diklaim oleh orang-orang yang berbeda pendapat – maka itu bertentangan dengan dalil syar'i, yang menunjukkan bahwa rezeki itu terpenuhi pada masa hidup dan terputus dengan kematian. Dan masa sih dalil syar'i itu bolong? Dan kesimpulannya: bahwa orang yang bisa diberi air minum dan makanan adalah hidup dan tidak mati. [Baca: Penelitian: (تهافت موت الدماغ) DR. Wasiim Fathullah].

BANTAHAN:

Makna hadits tersebut adalah mengajak seorang muslim untuk mencari rezeki dari jalan yang halal, dan agar tidak membiarkan hatinya hancur karena kesedihan atau hatinya pecah karena kekhawatiran atas rezekinya, padahal itu pasti akan datang kepadanya, dan rizki dia akan terpenuhi semuanya, dan rizkinya sedikitpun tidak akan dirampas darinya.

Al-Munawi berkata:

"(أيها الناس اتقوا الله وأجملوا في الطلب): ترفقوا في السعي في طلب حظكم من الرزق؛ (فإن نفسًا لن تموت حتى تستوفي رزقها): {نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا } [الزخرف:32]، (وإن أبطأ عنها) فهو لا بد يأتيها ".

Wahai manusia, bertakwalah kepada Allah dan per-indah-lah dalam mencari rizki " Bersikaplah lembut dalam mencari keberuntangan rezeki kalian. Sebab jiwa tidak akan mati hingga terpenuhi rezekinya.

Allah Ta’ala berfirman:

أَهُمْ يَقْسِمُونَ رَحْمَتَ رَبِّكَ نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا وَرَحْمَتُ رَبِّكَ خَيْرٌ مِّمَّا يَجْمَعُونَ

“Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. ” (QS. Az-Zukhruf: 32)

Sekalipun rizki itu datang tertunda, namun rizki tsb pasti datang. [Faydh al-Qadir, oleh al-Munawi (3/159)]

Hal ini didukung oleh fakta bahwa mayit, yang kematiannya disepakati, diberikan kain kafan yang menutupi auratnya, dan kuburan yang menutupi tubuhnya.

Dan yang telah maklum bahwa bekal tersebut tidak hanya makanan dan minuman, bahkan pakaian adalah bekal, dan tempat tinggal adalah bekal...,

Dan tidak ada yang mengatakan bahwa dia hidup karena dia diberi ini!!

Rizki itu bukanlah dalil kehidupan bagi yang diberi rizki, karena yang mati dapat diberi rizki sama halnya dengan orang yang hidup.

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE SEMBILAN:

Dari Jundub ibn Abdillah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata, telah bersabda Rasulullah SAW:

" كاَنَ فِيْمَنْ كاَنَ قَبْلَكُمْ رَجِلٌ، بِهِ جُرْحٌ فَجَزِعَ، فَأَخَذَ سِكِّيْناً فَحَزَّ بِهَا يَدَهُ، فَماَ رَقَأَ الدَّمُ حَتَّى ماَتَ قَالَ اللهُ تَعاَلَى: " باَدَرَنِي عَبْدِى بِنَفْسِهِ، حَرَّمْتُ عَلَيْهِ الجَنَّةَ ".

“Terdapat seseorang laki-laki dari orang-orang sebelummu yang memiliki luka, dia tidak bersabar, maka dia mengambil pisau lalu memotong tanganya denganya, maka darahnya pun terus mengalir keluar hingga dia meninggal, Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman: 'Hambaku telah terburu-buru menemuiku dengan jiwanya, maka aku haramkan baginya surga '”. [HR. Bukhari no. 3463 dan Muslim no. 113]

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA:

Pria ini mengalami luka yang mengancam jiwanya, dan bengkak [membisul] yang menutup luka ini adalah yang mencegah pendarahan fatal yang bisa membunuhnya.

Dan gambaran ini terdapat dalam firman Allah SWT:

" باَدَرَنِي عَبْدِى بِنَفْسِهِ

" Hamba-Ku terburu-buru menjumpai ku dengan jiwanya ".

Ini menunjukkan bahwa pria ini berada di ambang kematian dan bahwa hidupnya bergantung pada sebab materi yang sangat pelik dan tidak stabil. Dan ditambah lagi dengan parahnya rasa sakit yang dideritanya yang mendorongnya untuk mempercepat kematian. [Ini adalah tanggapan eksplisit atas dalih meringankan penderitaan pasien tersebut. Dan ini pun jika klaim penderitaan itu bisa diterima].

Dan ketika luka ini robek, terjadi pendarahan yang bisa membunuhnya dan mengantarkannya pada kematian.

Dan yang menjadi patokan dasar hukum di sini adalah keterburu-buruan seorang hamba untuk menghilangkan sebab yang kehidupannya itu bergantung pada situasi kritis ini, yaitu: bengkak yang membisul yang menghalangi pendarahan.

Oleh karena itu, kami mengeluarkan masalah kematian otak, yang hidupnya tergantung - dalam kondisi kritisnya - pada alat-alat yang menjalankan fungsi pernapasan, dimana menghentikan alat-alat tersebut adalah sejenis dengan tindakan orang yang merobek luka ; Karena pada umumnya dalam banyak kasus tidak lama kemudian dia meninggal dengan perbedaan durasi dan kecepatan.

Dan hukum yang bisa diambil di sini adalah haramnya melakukam tindakan pencabutan sebab yang bergantung padanya kehidupan orang yang mendekati kematian.

Dan ini menunjukkan bahwa kehidupan orang yang mendekati kematian dianggap sebagai kehidupan, tidak peduli seberapa terkait dan bergantung pada sebab-sebab yang lemah.

Ini sama sekali tidak sesuai dengan hukum wafat bagi seseorang yang otaknya mati, meskipun tanda-tanda kehidupan yang tetap ada padanya itu karena perangkat medis. Karena gambaran kematian otak dalam aspek ini termasuk dalam gambaran yang disebutkan dalam hukum hadits diatas sebagaimana yang nampak pada kita. Dan jika yang ada dalam gambaran ini hukumnya adalah hukum orang mati, maka ancaman adzabnya tidak ada kaitan dengannya. [Baca: Penelitian: (تهافت موت الدماغ) DR. Wasiim Fathullah].

BANTAHAN:

Analogi Anda masalah melepas peralatan resusitasi dari seseorang yang otaknya mati pada masalah seseorang yang memotong tangannya lalu dia meninggal adalah analogi dengan masalah yang berbeda. Perbedaannya dalam beberapa aspek:

Pertama: Orang yang memotong tangannya sebagaimana dalam hadits adalah dalam kondisi hidup yang sempurna, dia bisa bergerak, merasa kesakitan, memegang pisau dan bisa menyayat tangannya dengan pisau itu. Adapun orang yang otaknya mati, maka dia tidak memiliki kemampuan seperti itu. Bahkan, dia tidak mampu membuka atau menutup matanya, atau mengucapkan sepatah kata pun, atau mengangkat tangannya, atau menelan sesuap makanan..... !

Kedua: Hadits tersebut berbicara tentang bunuh diri yang mempercepat kematian ketika dia masih hidup, karena dia tidak dapat menahan rasa sakit. Sementara orang yang otaknya mati tidak dapat membahayakan atau menguntungkan dirinya atau bergerak, bahkan dia sama sekali tidak dapat dibayangkan untuk bunuh diri.

Ketiga: Analogi Anda tentang kasus dokter yang mencabut alat resusitasi dari seseorang yang otaknya mati kepada orang yang memotong tangannya dan bunuh diri, analogi ini tidak lah tepat ; karena dokter tidak bermaksud untuk membunuh, menyakiti, atau memutus penyebab kehidupan... Tidak sama sekali ! Bahkan, dia tidak akan berani mengangkat perangkat ini kecuali dia telah memverifikasi kematian pasien yang batang otaknya telah mati.

Bagi mereka yang batang otaknya mati, pada umumnya tidak akan pernah kembali pada kehidupan yang stabil setelah perangkat medis diangkat darinya.

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE SEPULUH:

Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu mengatakan;

اقْتَتَلَتِ امْرَأَتَانِ مِن هُذَيْلٍ، فَرَمَتْ إحْدَاهُما الأُخْرَى بحَجَرٍ، فَقَتَلَتْهَا وَما في بَطْنِهَا، فَاخْتَصَمُوا إلى رَسولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ، فَقَضَى رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ أنَّ دِيَةَ جَنِينِهَا غُرَّةٌ عَبْدٌ، أَوْ وَلِيدَةٌ، وَقَضَى بدِيَةِ المَرْأَةِ علَى عَاقِلَتِهَا، وَوَرَّثَهَا وَلَدَهَا وَمَن معهُمْ، فَقالَ حَمَلُ بنُ النَّابِغَةِ الهُذَلِيُّ: يا رَسولَ اللهِ، كيفَ أَغْرَمُ مَن لا شَرِبَ وَلَا أَكَلَ، وَلَا نَطَقَ وَلَا اسْتَهَلَّ، فَمِثْلُ ذلكَ يُطَلُّ، فَقالَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ: إنَّما هذا مِن إخْوَانِ الكُهَّانِ، مِن أَجْلِ سَجْعِهِ الذي سَجَعَ.

"Dua wanita Bani Hudzail sedang berkelahi, yang satu melempar lawannya dengan batu sehingga menyebabkan kamatiannya dan kematian janin yang dikandungnya. Lalu mereka mengadukan peristiwa itu kepada Rasulullah SAW.

Beliau lalu memberi putusan bahwa denda bagi janin tersebut adalah membebaskan Gurroh [seorang budak yang mahal], baik itu budak laki-laki atau perempuan. Sementara tebusan untuk wanita (terbunuh) dibebankan kepada kerabat terdekat wanita (si pembunuh). Dan menetapkan bahwa harta warisan (wanita yang membunuh) untuk anak-anaknya dan orang yang bersama mereka."

Hamal bin Nabighah Al Hudzali berkata: "Ya Rasulullah, bagaimana aku harus menanggung orang yang belum bisa makan dan minum, bahkan belum bisa berbicara ataupun menjerit sama sekali? Bukankah itu sebuah kesia-siaan belaka?"

Mendegar hal itu Rasulullah SAW pun bersabda: "Hanyasanya ini seperti saudara-saudaranya para dukun, karena sajak yang ia ucapkan." [HR. Bukhari no. 6910 dan Muslim no. 1681]

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA:

Dalil yang diambil dari hadits ini adalah ucapan salah satu kerabat pembunuh:

"Ya Rasulullah, bagaimana aku harus menanggung orang yang belum bisa makan dan minum, bahkan belum bisa berbicara ataupun menjerit sama sekali? Bukankah itu sebuah kesia-siaan belaka?"

Janin ini tidak memiliki banyak tanda-tanda kehidupan yang biasa, namun demikian ada kewajiban bayar diyat di dalamnya, yang menunjukkan bahwa hidupnya Janin itu diperhitungkan sebagai kehidupan meskipun tidak lengkap. Dan menyerang janin itu tidak diperbolehkan dan mewajibkan bayar diyat.

Dan jika kita lihat tanda-tanda kehidupan yang tersisa pada janin, yang tidak minum, tidak makan, tidak berbicara, dan tidak bersuara, ini menunjukkan bahwa bahwa janin belum bernafas.

'Tanda-tanda kehidupan janin ini tidak lain adalah hanya peredaran darah dalam tubuhnya dan detak jantungnya, bahkan, pernapasan yang akrab dengan paru-paru tidak ada sejak awal pada janin yang terbenam dalam cairan ketuban.

Jika kita melihat orang mati otak yang bergantung pada alat bantu pernapasan buatan, kita menemukan tanda-tanda kehidupan pada dirinya yang tidak kalah dengan tanda-tanda kehidupan pada janin. Bahkan, kami menemukan lebih dari itu, seperti pernapasan paru-paru, dan gerakan otot, dan ini dengan mempertimbangkan perbedaan yang mungkin terjadi pada orang yang mati otak, yaitu bahwa keberadaan otak mati ada pada seseorang yang hidup sempurna, sedangkan kehidupan janin kemungkinan bisa berkurang jika janin yang disebutkan dalam hadits itu kondisinya sebelum ditiupkan ruh.

Jadi jika nyawa janin yang berada pada batas terendah saja dianggap hidup secara syar'i ; maka bagamana mungkin dikatakan bahwa kehidupan orang yang mati otak itu tidak dianggap atau dikatakan bahwa ia telah wafat???.

Kesimpulannya: bahwa orang yang mati otak masih terdapat padanya tanda-tanda kehidupan yang menunjukkan bahwa hidupnya dianggap sah secara syar'i, dan hukum kematiannya batal. [Baca: Penelitian: (تهافت موت الدماغ) DR. Wasiim Fathullah].

BANTAHAN:

Analogi atau qiyas Anda kehidupan orang yang mati otak dengan kehidupan janin juga merupakan qiyas dengan sesuatu yang berbeda. Yang Rajih pada umumnya, embrio menyelesaikan proses kehidupan dan stabilitas di dalam rahim, dan persentasinya kecil, bahkan jarang terjadi, dari embrio yang mati atau tidak tumbuh hingga sempurna.

Adapun orang yang batang otaknya mati, pada umumnya dan yang rajih dari harapan masa depan mereka adalah hilangnya tanda-tanda yang membayangkan diri nya bisa bertahan hidup.

Dan dari mereka yang terbukti mengalami kematian otaknya, tidak ada dari mereka yang pernah kembali pada kehidupan normal, kecuali apa yang kita dengar tentang kasus langka. Jika itu benar, maka itu tidak lebih dari masalah langka.

Dan argumen Anda bahwa wajib membayar diyat gurroh [membebaskan hamba] dalam pembunuhan janin ; maka itu tidak bisa diterima ; Karena segala sesuatu yang dirusak oleh seseorang harus ditanggung resiko olehnya, sekalipun itu binatang atau benda mati, maka barangsiapa yang merobohkan rumah atau merusak alat … maka itu harus ditanggung olehnya, dan itu sesuatu yang ditanggung bukan dalil hidupnya sesuatu itu.

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE SEBELAS:

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya:

أَنَّ مَاعِزَ بْنَ مَالِكٍ الْأَسْلَمِيَّ أَتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ ظَلَمْتُ نَفْسِي وَزَنَيْتُ وَإِنِّي أُرِيدُ أَنْ تُطَهِّرَنِي فَرَدَّهُ فَلَمَّا كَانَ مِنْ الْغَدِ أَتَاهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ زَنَيْتُ فَرَدَّهُ الثَّانِيَةَ فَأَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى قَوْمِهِ فَقَالَ أَتَعْلَمُونَ بِعَقْلِهِ بَأْسًا تُنْكِرُونَ مِنْهُ شَيْئًا فَقَالُوا مَا نَعْلَمُهُ إِلَّا وَفِيَّ الْعَقْلِ مِنْ صَالِحِينَا فِيمَا نُرَى فَأَتَاهُ الثَّالِثَةَ فَأَرْسَلَ إِلَيْهِمْ أَيْضًا فَسَأَلَ عَنْهُ فَأَخْبَرُوهُ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ وَلَا بِعَقْلِهِ فَلَمَّا كَانَ الرَّابِعَةَ حَفَرَ لَهُ حُفْرَةً ثُمَّ أَمَرَ بِهِ فَرُجِمَ قَالَ فَجَاءَتْ الْغَامِدِيَّةُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي قَدْ زَنَيْتُ فَطَهِّرْنِي وَإِنَّهُ رَدَّهَا فَلَمَّا كَانَ الْغَدُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ تَرُدُّنِي لَعَلَّكَ أَنْ تَرُدَّنِي كَمَا رَدَدْتَ مَاعِزًا فَوَاللَّهِ إِنِّي لَحُبْلَى قَالَ إِمَّا لَا فَاذْهَبِي حَتَّى تَلِدِي فَلَمَّا وَلَدَتْ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي خِرْقَةٍ قَالَتْ هَذَا قَدْ وَلَدْتُهُ قَالَ اذْهَبِي فَأَرْضِعِيهِ حَتَّى تَفْطِمِيهِ فَلَمَّا فَطَمَتْهُ أَتَتْهُ بِالصَّبِيِّ فِي يَدِهِ كِسْرَةُ خُبْزٍ فَقَالَتْ هَذَا يَا نَبِيَّ اللَّهِ قَدْ فَطَمْتُهُ وَقَدْ أَكَلَ الطَّعَامَ فَدَفَعَ الصَّبِيَّ إِلَى رَجُلٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَحُفِرَ لَهَا إِلَى صَدْرِهَا وَأَمَرَ النَّاسَ فَرَجَمُوهَا فَيُقْبِلُ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ بِحَجَرٍ فَرَمَى رَأْسَهَا فَتَنَضَّحَ الدَّمُ عَلَى وَجْهِ خَالِدٍ فَسَبَّهَا فَسَمِعَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَبَّهُ إِيَّاهَا فَقَالَ مَهْلًا يَا خَالِدُ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ

Bahwa Ma'iz bin Malik Al Aslami pergi menemui Rasulullah SAW seraya berkata: "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah menzhalimi diriku, karena aku telah berzina, oleh karena itu aku ingin agar anda berkenan membersihkan diriku."

Namun beliau menolak pengakuannya. Keesokan harinya, dia datang lagi kepada beliau sambil berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina."

Namun beliau tetap menolak pengakuannya yang kedua kalinya. Lalu Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk menemui kaumnya dengan mengatakan: "Apakah kalian tahu bahwa pada akalnya Ma'iz ada sesuatu yang tidak beres yang kalian ingkari?"

Mereka menjawab: "Kami tidak yakin jika Ma'iz terganggu pikirannya, setahu kami dia adalah orang yang baik dan masih sehat akalnya."

Untuk ketiga kalinya, Ma'iz bin Malik datang menemui Rasulullah SAW untuk membersihkan dirinya dari dosa zina yang telah diperbuatnya. Lalu Rasulullah SAW pun mengirimkan seseorang menemui kaumnya untuk menanyakan kondisi akal Ma'iz, namun mereka membetahukan kepada beliau bahwa akalnya sehat dan termasuk orang yang baik.

Ketika Ma'iz bin Malik datang keempat kalinya kepada beliau, maka beliau memerintahkan untuk membuat lubang ekskusi bagi Ma'iz. Akhirnya beliau memerintahkan untuk merajamnya, dan hukuman rajam pun dilaksanakan."

Buraidah melanjutkan:

"Suatu ketika ada seorang wanita Ghamidiyah datang menemui Rasulullah SAW seraya berkata: "Wahai Rasulullah, diriku telah berzina, oleh karena itu sucikanlah diriku."

Tetapi untuk pertama kalinya Rasulullah SAW tidak menghiraukan bahkan menolak pengakuan wanita tersebut.

Keesokan harinya wanita tersebut datang menemui Rasulullah SAW sambil berkata, "Wahai Rasulullah, kenapa anda menolak pengakuanku? Sepertinya anda menolak pengakuan aku sebagaimana pengakuan Ma'iz. Demi Allah, sekarang ini aku sedang mengandung bayi dari hasil hubungan gelap itu."

Mendengar pengakuan itu, Rasulullah SAW bersabda: "Sekiranya kamu ingin tetap bertaubat, maka pulanglah sampai kamu melahirkan."

Setelah melahirkan, wanita itu datang lagi kepada beliau sambil menggendong bayinya yang dibungkus dengan kain, dia berkata, "Inilah bayi yang telah aku lahirkan."

Beliau lalu bersabda: "Kembali dan susuilah bayimu sampai kamu menyapihnya."

Setelah mamasuki masa sapihannya, wanita itu datang lagi dengan membawa bayinya, sementara di tangan bayi tersebut ada sekerat roti, lalu wanita itu berkata: "Wahai Nabi Allah, bayi kecil ini telah aku sapih, dan dia sudah dapat menikmati makanannya sendiri."

Kemudian beliau memberikan bayi tersebut kepada laki-laki muslim, dan memerintahkan untuk melaksanakan hukuman rajam. Akhirnya wanita itu ditanam dalam tanah hingga sebatas dada. Setelah itu beliau memerintahkan orang-orang supaya melemparinya dengan batu.

Sementara itu, Khalid bin Walid ikut serta melempari kepala wanita tersebut dengan batu, tiba-tiba percikan darahnya mengenai wajah Khalid, seketika itu dia mencaci maki wanita tersebut. Ketika mendengar makian Khalid, Nabi Allah SAW bersabda:

"Tenangkanlah dirimu wahai Khalid, demi dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat, sekiranya taubat (seperti) itu dilakukan oleh seorang pelaku AL-MAKS niscaya dosanya akan diampuni."

Setelah itu beliau memerintahkan untuk menshalati jenazahnya dan menguburkannya."

[HR. Muslim no. 3208]

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA: [Titik inferensi]

Bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menunda melaksanakan hukuman zina yaitu rajam pada wanita ini karena janin dalam kandungannya, dan ternyata dari konteks cerita bahwa kehamilan ini terjadi pada tahap-tahap awal ; Karena tidak terlihat oleh wanita sampai dia diberitahu tentang hal itu.

Dan ini kemungkinan besar terjadi sebelum empat bulan pertama, karena masalah kehamilan wanita tersebut belum terlihat oleh orang-orang, dan ini pada umumnya sesuai dengan periode sebelum ditiupkan ruh, yaitu ketika kehidupan janin lebih dekat dengan kehidupan vegetatif. Dan bahkan jika diasumsikan bahwa janin tersebut setelah peniupan ruh, maka kompetensi janin belum sempurna, dan hidupnya juga masih dalam kehidupan yang tidak lengkap. Namun demikian hukum syariat tetap menganggap hidupnya sebagai kehidupan yang bermakna, yang memiliki kehormatan yang membuat tertundanya pelaksanaan hukuman had [rajam] yang ditetapkan oleh Allah SWT.

Jika kita melihat orang yang otaknya telah mati, maka ia tetap tidak kurang, dalam kondisi terendahnya, dari kehidupan nabati [vegetatif/tumbuhan], sebagaimana diakui oleh mereka yang berpendapat hukum wafatnya, dan mereka juga menafsirkan fenomena vital dalam dirinya dengan kehidupan nabati [tumbuhan], seperti halnya dilihat dari sudut pandang kapasitas dan kemampuan, yakni kapasitas kewajiban [أهلية الوجوب], dia memiliki kapasitas yang sempurna, dan dengan demikian maka dia lebih tinggi dan lebih layak dari janin yang kurang kapasitasnya [ناقص الأهلية].

Jadi jika saja janin, dalam kehidupan vegetatifnya dan kapasitasnya yang tidak sempurna, diakui kehormatannya oleh syariat, maka yang lebih utama lagi adalah pasien yang otaknya mati, yang mana tanda-tanda kehidupan vegetatifnya masih tetap ada padanya, serta dengan menerapkan hukum al-Istishab yakni mengembalikan kepada hukum asalnya yaitu kapasitas kewajiban penuh, karena tidak ada bukti akan kecacatannya. Sesungguhnya pasien sakit ini lebih layak untuk diakui kehormatannya oleh Syariah, sehingga tidak diperbolehkan untuk mendzaliminya dengan melepas alat pernapasannya, yang menyebabkan kematiannya. [Baca: Penelitian: (تهافت موت الدماغ) DR. Wasiim Fathullah].

BANTAHAN:

Sebagaimana yang telah lalu respon analogi anda - yaitu analogi orang yang mati batang otaknya kepada janin - sudah terjawab bahwa itu qiyas yang tidak sinkron.

Mengenai perkataan Anda bahwa siapa pun yang mati batang otaknya memiliki kompetensi atau kapsitas penuh, kami tidak setuju dengan Anda, dan yang benar bahwa ia adalah orang mati yang kehilangan kapasitas dan kemampuannya, dan bukti kehilangan kapasitas dan kemampuannya adalah kematiannya ; karena orang mati itu tidak memiliki kapasitas menunaikan kewajiban atau kapasitas untuk menyampaikan.

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE DUA BELAS:

Dari Amr bin Shuaib, dari ayahnya, dari kakeknya, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda:


مَنْ تَطَبَّبَ وَلَمْ يُعْلَمْ مِنْهُ طِبٌّ قَبْلَ ذَلِكَ فَهُوَ ضَامِنٌ

“Barang siapa yang melakukan praktek pengobatan dan dia tidak mengetahui ilmunya sebelum itu maka dia harus bertanggung jawab.”

[HR. An-Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah dan yang lain. Hadits ini di hasankan oleh al-Hafidz dalam Hidayah al-Ruwaah 3/392 dalam muqoddimahnya. Lihat pula kitab Bahjah Qulub Al-Abrar no. 54]

Dari Abdul Aziz bin Umar bin Abdul Aziz, berkata, telah menceritakan kepadaku [beberapa utusan] yang datang kepada bapakku, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda:

أيُّما طبيبٍ تَطبَّبَ على قَومٍ لا يُعرَفُ لهُ تَطَبُّبٌ قبلَ ذلكَ فأعْنَتَ فهوَ ضامِنٌ

"Dokter [Thabib] mana saja yang mengobati suatu kaum, padahal sebelum itu ia tidak dikenal sebagai dokter [thabib], lalu menyebabkan kecelakaan [sakit yang lebih parah] maka ia harus bertanggung jawab". [HR. Abu Daud no. 4587. Di Hasankan oleh al-Albaani]

Amar Ibnu Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu berkata:

" مَنْ تَطَبَّبَ - وَلَمْ يَكُنْ بِالطِّبِّ مَعْرُوفًا - فَأَصَابَ نَفْسًا فَمَا دُونَهَا ، فَهُوَ ضَامِنٌ ".

“Barangsiapa melayani pengobatan padahal ia tidak mengerti ilmu pengobatan, lalu mencelakakan satu jiwa atau kurang daripada itu, maka ia harus bertanggungjawab.”

Syeikh Ibnu Utsaimin berkata:

" أخرجه الدارقطني وصححه الحاكم، وهو عند أبي داود والنسائي وغيرهما، إلا أن من أرسله أقوى ممن وصله ".

Riwayat Daruquthni dan dinilai shahih oleh Hakim. Abu Dawud, Nasa’i dan lain-lain juga meriwayatkannya, namun mereka yang menilainya mursal lebih kuat daripada yang menilainya maushul.

[Baca: Syarah Bulughul Maram karya Ibnu Utsaimin, Syarah Kitab ad-Diyat 03].

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA: [Titik inferensi]

Hadits di sini adalah untuk umum, yang dibuktikan dengan perkataannya (مَنْ = siapa) dan itu merupakan salah satu rumusan keumuman.

Setiap orang yang mempraktikkan suatu jenis pengobatan dan perawatan termasuk dalam hukum pertanggung jawaban [inklusi], ini adalah ketika kesalahan medis terjadi secara sengaja atau tidak sengaja, sehingga siapa pun yang menderita kematian otak tetap berada di alat resusitasi dan di unit perawatan intensif untuk jangka waktu tertentu. Dan dia dalam semua ini di bawah perawatan medis, dan tunduk pada berbagai jenis pengobatan, perawatan, dan praktik medis, dengan kemungkinan terjadinya kesalahan medis.

Maka jika seseorang yang divonis mati otak, terkena kesalahan medis yang mematikan, contohnya seperti disuntik dengan overdosis kalium atau morfin secara tidak sengaja, maka gambaran seperti ini masuk dalam katagori pembunuhan yang tidak disengaja, berdasarkan hukum asal.

Jika dikatakan: Ini adalah pembunuhan yang tidak disengaja, apakah mewajibkan bayar diyat dan kafarat, atau tidak?.

Jika dikatakan: yang pertama [wajib diyat dan kafarat], dan itu yang sesuai dengan tuntutan keumuman makna hadits ; maka itu bertentangan dengan hukum kematian orang yang mati otak ; Karena terjadinya pembunuhan tidak bisa terbayangkan terjadi pada orang yang sudah mati.

Dan jika dikatakan yang kedua [tidak wajib diyat dan kafarat], dan itu sebuah keharusan bagi orang yang berpendapat telah wafatnya seseorang yang otaknya telah mati ; maka tidak ada kewajiban bayar diyat dan kafarat, dan dengan demikian kesalahan medis adalah hal yang sia-sia. Dan ini bertentangan dengan keumuman hukum pertanggung jawaban atas dokter yang melakukan kesalahan dalam perawatan medis, terlebih lagi apa yang terkandung didalamnya berupa mensia-siakan hak pasien dan walinya.

Dan nampak jelas bahwa pendapat kedua adalah antara bathil dan rusak.

Dan kesimpulannya adalah bahwa pendapat yang mengatakan: menghilangkan hak orang yang mati otak dari orang yang membunuhnya karena alasan tidak sengaja, ini adalah pendapat yang rusak, karena ada sebuah kaidah yang mengatakan:

وإذا فسد اللازم فسد الملزوم

"Jika yang lazimya telah rusak maka yang malzumnya juga terah rusak pula". [Yaitu hukum wafatnya orang yang mati otaknya].

BANTAHAN:

Hadits tersebut menetapkan pertanggung jawaban dokter sebagai syarat, yaitu sabdanya: "Dan dia tidak mengetahui ilmu pengobatan sebelum itu".

Al-Munawi berkata:

«أي من تعاطى الطب ولم يسبق له تجربة «فهو ضامن» لمن طبه بالدية إن مات بسببه؛ لتهوره بالإقدام على ما يقتل بغير معرفة»

“Artinya, barang siapa yang melakukan praktek pengobatan sementara dia belum pernah melakukan uji coba sebelumnya ; mka dia harus bertanggung jawab pada orang yang dia obati dengan membayar diyat jika dia meninggal karenanya ; Karena kecerobohannya dengan melakukan sesuatu menyebabkan kematian karena kebodohannya dan tidak punya ilmu tentangnya. [Al-Tayseer bi Sharh Al-Jami Al-Saghir, oleh Al-Munawi (2/410), Penerbit: Perpustakaan Al-Imam Al-Syafi'i, Riyadh, edisi ketiga, 1408 H/1988 M.]

Al-Sindi berkata:

«قوله: «من تطبب» أي: تكلف في الطب فهو ضامن لما تلف بفعله، قال الموفق: إن من تعاطى فعل الطب، ولم يتقدم له بذلك سابقة تجربة فتلف فهو ضامن»

"Sabdanya: Barang siapa yang melakukan praktek pengobatan ", berarti: dia menaruh minat pada praktek pengobatan, maka dia harus bertanggung jawab atas apa yang dirusak oleh perbuatannya. Al-Muwaffaq mengatakan: Barang siapa melakukan praktek pengobatan, dan dia melakukannya tanpa memiliki pengalaman uji coba sebelumnya dengan itu, lalu menyebabkan kerusakan pada pasien, maka dia harus bertanggung jawab". [Hasyiyah Al-Sindi 'Alaa Sunan Ibni Majah, oleh Abu al-Hasan al-Sindi (2/348), penerbit: Dar Al-Jil, Beirut, tanpa edisi.]

Dan ini didukung oleh apa yang datang dalam riwayat Amr bin Shuaib dari ayahnya dari kakeknya:

" مَنْ تَطَبَّبَ - وَلَمْ يَكُنْ بِالطِّبِّ مَعْرُوفًا - فَأَصَابَ نَفْسًا فَمَا دُونَهَا ، فَهُوَ ضَامِنٌ ".

“Barangsiapa melayani pengobatan padahal ia tidak mengerti ilmu pengobatan, lalu mencelakakan satu jiwa atau kurang daripada itu, maka ia harus bertanggungjawab.” [Subul As-Salam, oleh Al-Sana'ani (2/363), Penerbit: Dar Al-Hadits].

Maka Inilah dia, satu-satunya yang menjami, dia adalah dokter yang bodoh yang melakukan percobaan tanpa pengetahuan atau pengalaman pada pasien sebelumnya.

Adapun dokter yang menilai kematian seseorang yang batang otaknya telah mati, mereka tidak kekurangan pengetahuan atau pengalaman.

Al-Manawi juga mengatakan di tempat lain:

«ولفظ التفعل(التطبب) يدل على تكلف الشيء والدخول فيه بكلفة؛ ككونه ليس من أهله، «فهو ضامن» لمن طبه بالدية إن مات بسببه؛ لتهوره بإقدامه على ما يقتل، ومن سبق له تجربة وإتقان لعلم الطب بأخذه عن أهله، فطب وبذل الجهد الصناعي فلا ضمان عليه»

“Dan kata "التَّطَبَّبُ" menunjukkan pemaksaan diri pada sesuatu [تكلف الشيء] dan masuk ke dalamnya dengan susah payah, yang seolah-olah dia itu bukan pakarnya, " maka dia harus bertanggung jawab" bagi orang yang diobatinya dengan membayar diyat jika dia meninggal karenanya ; Karena kecerobohannya dengan melakukan sesuatu yang menyebabkan kematiannya.

Dan barangsiapa yang sebelumnya memiliki pengalaman dan penguasaan ilmu kedokteran yang meyakinkan dengan menimba ilmu dari pakarnya, lalu ia menjadi seorang dokter dan melakukan usaha maximal, maka dia tidak ada tanggungan resiko baginya". [Faydh al-Qadeer, oleh al-Munawi (6/106), penerbit: The Great Commercial Library, Mesir, edisi pertama, 1356 H].

Dan semua ini adalah berdasarkan asumsi jika kesalahan itu benar terjadi, akan tetapi kami tidak mengatakan bahwa menghukumi wafatnya orang yang mati batang otaknya adalah kesalahan yang terjadi, bahkan sebaliknya, bahwa itu menurut kami adalah yang hak dan benar.

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE TIGA BELAS:

Jabir bin Abdullah radliallahu 'anhuma berkata ;

مَرِضْتُ مَرَضًا فَأَتَانِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي وَأَبُو بَكْرٍ وَهُمَا مَاشِيَانِ فَوَجَدَانِي أُغْمِيَ عَلَيَّ فَتَوَضَّأَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ صَبَّ وَضُوءَهُ عَلَيَّ فَأَفَقْتُ فَإِذَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ أَصْنَعُ فِي مَالِي كَيْفَ أَقْضِي فِي مَالِي فَلَمْ يُجِبْنِي بِشَيْءٍ حَتَّى نَزَلَتْ آيَةُ الْمِيرَاثِ

Aku pernah menderita sakit, lalu Nabi SAW dan Abu Bakar datang menjengukku dengan berjalan kaki, ketika beliau SAW menemuiku ternyata aku sedang pingsan, maka beliau SAW berwudlu' dan memercikkan sisa air wudlu'nya kepadaku, aku pun tersadar, ternyata Nabi SAW sudah berada di depanku, lalu aku berkata:

"Wahai Rasulullah, bagaimana caranya aku mengurus harta bendaku, bagaimana caranya aku memutuskan terhadap harta bendaku?"

Beliau SAW tetap tidak menjawab sampai turun ayat tentang harta warisan." [HR. Bukhori no. 5219].

DALIL YANG BISA AMBIL DARINYA:

Imam Al-Bukhari rahimahullah dalam kitab Shahih nya menulis sebuah BAB dengan diberi judul: [بَابُ عِيَادَةِ المُغْمَى عَلَيْهِ = Bab: menjenguk orang pingsan).

Imam Al-Ayni mengatakan dalam syarah hadits:

«هذا باب في بيان عيادة المغمى عليه، من: أغمي، بضم الهمزة، من الإغماء وهو الغشي، وهو تعطل جل القوى المحركة والحساسة؛ كضعف القلب، واجتماع الروح كله إليه، واستفراغه وتخلله، وقيل: فائدة هذه الترجمة أن لا يعتقد أن عيادة المغمى عليه ساقطة الفائدة لكونه لا يعلم بعائده»

“Ini adalah bab yang menjelaskan tentang menjenguk orang pingsan …., yaitu orang yang sebagian besar daya geraknya dan daya pekanya terganggu, seperti orang yang jantungnya lemah, dan berkumpulnya seluruh ruh ke arahnya, kekosongannya dan perembesannya. Dan ada yang mengatakan: Manfaat dari BAB ini adalah agar tidak ada keyakinan bahwa mengunjungi orang yang tidak sadar itu kehilangan manfaatnya dikarenakan dia tidak diketahui apakah dia akan hidup kembali " [Umdat Al-Qari, Syarah Shahih Al-Bukhari, oleh Badr Al-Din Al-Aini (213/21), Penerbit: Dar Ihya Al-Turath Al-Arabi, Beirut].

Dalil yang bisa di ambil adalah bahwa orang yang otaknya mati termasuk dalam pengertian pingsan dalam perspektif ilmu syariat dan perspektif ilmu kedokteran. Dan hadits 'iyadah orang pingsan menunjukkan dibenarkan-nya menjenguk [عِيَادَة] orang pingsan.

Dan hal ini berguna ketika melihat dan merenungkan ketidak absahan pendapat yang mengatakan wafatnya orang yang otaknya mati. Karena kita bisa menanyakan pada mereka tentang orang yang otaknya mati:

Apakah boleh mengunjunginya dan apakah dia mendapatkan pahala karenanya?

Maka jawabanya itu tidak boleh tidak harus mengatakan "ya" atau "tidak".

Jika jawabannya: Tidak, maka mereka telah membatasi lafadz hadits [منطوق الحديث] tanpa adanya dalil yang membatasinya atau mengkhusus kan keumumannya, dan mereka membuat pengecualian tanpa dalil, maka tidak ada yang tersisa jawabannya kecuali "ya", yang secara eksplisit ditunjukkan oleh hadits ; Karena kata “orang pingsan” termasuk orang koma yang disebabkan otaknya rusak dan mati.

Lalu kami katakan pula: Bagaimana mungkin dianggap benar istilah menjenguk orang yang anda sebut mayit menurut hukum syar'i, dan orang yang menjenguknya bisa mendapat pahala 'iyadah? Dan yang namanya menjenguk orang sakit itu berlaku hanya kepada orang yang masih hidup. [Baca: Penelitian: (تهافت موت الدماغ) DR. Wasiim Fathullah].

BANTAHAN:

Ada perbedaan besar antara orang pingsan dan orang yang mati otak.

Yang pertama [orang pingsan[: orang yang sakit, yang biasa nya kembali sadar dan bangun.

Adapun yang kedua [orang mati otak]: batang otaknya telah mati seperti orang yang lehernya dipotong dan lengan atau kakinya masih kejang dengan gerakan mekanis yang tidak bermanfaat bagi kehidupan. Maka silahkan pertimbangkan perbedaan di antara keduanya!

Adapun perkataan Anda: (Dan apakah menjenguk pasien itu hanya untuk orang sakit yang masih hidup), maka kami katakan: Barang siapa yang datang kepada orang yang otaknya telah mati, tidak harus dikatakan bahwa dia telah menjenguk orang sakit. Bahkan sebaliknya, bisa dikatakan: Dia masuk untuk melihat orang mati, dan Nabi SAW pernah melakukannya. Dan itu benar, sebagaimana Nabi SAW pernah menjenguk orang-orang sakit, lalu beliau masuk untuk melihat orang-orang mati.

Dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit:

" أَنَّ أُمَّ الْعَلَاءِ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ بَايَعَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّهُ اقْتُسِمَ الْمُهَاجِرُونَ قُرْعَةً فَطَارَ لَنَا عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ فَأَنْزَلْنَاهُ فِي أَبْيَاتِنَا فَوَجِعَ وَجَعَهُ الَّذِي تُوُفِّيَ فِيهِ فَلَمَّا تُوُفِّيَ وَغُسِّلَ وَكُفِّنَ فِي أَثْوَابِهِ دَخَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ أَبَا السَّائِبِ فَشَهَادَتِي عَلَيْكَ لَقَدْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا يُدْرِيكِ أَنَّ اللَّهَ قَدْ أَكْرَمَهُ فَقُلْتُ بِأَبِي أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَمَنْ يُكْرِمُهُ اللَّهُ فَقَالَ أَمَّا هُوَ فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرْجُو لَهُ الْخَيْرَ وَاللَّهِ مَا أَدْرِي وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ مَا يُفْعَلُ بِي قَالَتْ فَوَاللَّهِ لَا أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدَهُ أَبَدًا ".

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ بِهَذَا ، وَقَالَ: مَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِهِ. قَالَتْ: وَأَحْزَنَنِي فَنِمْتُ فَرَأَيْتُ لِعُثْمَانَ عَيْنًا تَجْرِي فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ذَلِكَ عَمَلُهُ".

Bahwa [Ummu Al 'Ala'] seorang wanita Kaum Anshar yang pernah berbai'at kepada Nabi SAW mengabarkannya bahwa; Ketika Beliau sedang mengundi pembagian sahabat Muhajirin (untuk tinggal di rumah-rumah sahabat Anshar sesampainya mereka di Madinah), maka 'Utsman bin Mazh'un mendapatkan bagiannya untuk tinggal bersama kami. Akhirnya dia kami bawa ke rumah-rumah kami.

Namun kemudian dia menderita sakit yang membawa kepada kematianya. Setelah dia wafat, maka dia dimandikan dan dikafani dengan baju yang dikenakannya. Tak lama kemudian Rasulullah SAW datang lalu aku berkata kepada beliau:

"Semoga rahmat Allah tercurah atasmu wahai Abu As-Sa'ib ('Utsman bin Mazh'un). Dan persaksianku atasmu bahwa Allah telah memuliakanmu".

Maka Nabi SAW berkata: "Dari mana kamu tahu bahwa Allah telah memuliakannya?"

Aku jawab: "Demi bapakku, wahai Rasulullah, siapakah seharusnya orang yang dimuliakan Allah itu?"

Beliau menjawab: "Adapun dia, telah datang kepadanya Al Yaqin (kematian) dan aku berharap dia berada diatas kebaikan. Demi Allah meskipun aku ini Rasulullah, aku tidak tahu apa yang akan dilakukan-Nya terhadapku".

Dia (Ummu Al 'Ala') berkata: "Demi Allah, tidak seorangpun yang aku anggap suci setelah peristiwa itu selamanya".

Telah menceritakan kepada kami [Abul Yaman] Telah mengabarkan kepada kami [Syu'aib] dari [Az Zuhri] dengan isnad ini:

Dan Beliau bersabda: "Saya tidak tahu, bagaimana aku diperlakukan!".

Ummul 'Ala berkata: " Hal itu menjadikanku sedih sehingga aku tidur dan aku bermimpi melihat 'Utsman mempunyai mata air yang mengalir, dan aku kabarkan kepada Rasulullah SAW, dan beliau bersabda: "Itulah amalnya."

[HR. Bukhori no. 1166 dan 6487]

Dari A’isyah berkata:

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم يُقَبِّلُ عُثْمَانَ بْنَ مَظْعُونٍ وَهُوَ مَيِّتٌ حَتَّى رَأَيْتُ الدُّمُوعَ تَسِيلُ

Aku melihat Rasulullah SAW mencium jenazah ‘Utsman ibn Mad’un sampai aku melihat air matanya mengalir.

(HR. Abu Daud (3163) dan susunan katanya adalah miliknya, Al-Tirmidzi (989), Ibnu Majah (1456), dan Ahmad (24165).).

At-Tirmidzi menilai bahwa hadis ini adalah hadis sahih. Dan di shahihkan pula oleh Ibnu al-Qoyyim dalam Uddatush Shobirin 1/164 dan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 3153

Lafadz lain:

أنَّ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ قبَّلَ عثمانَ بنَ مظعونٍ وَهوَ ميِّتٌ وَهوَ يَبكي ، أو قالَ: عيناهُ تُهَراقانِ

Nabi SAW mencium Utsman bin Madz’un ketika dia meninggal dan beliau SAW menangis. Atau dia berkata: Kedua matanya tumpah bercucuran air mata. [Lihat: Tuhfatul Muhtaaj, oleh Ibnu al-Mulaqqin 2/12. Di shahihkan atau di hasankannya sebagaimana yang tersirat dalam muqoddimahnya].

Lafadz lain:

«جَاءَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم إلى عُثْمان بْنِ مَظْعون وهُو ميِّت، فَكَشَف الثَّوبَ عَنْ وَجْهِه وبَكَى، ثُمَّ قبَّل ما بَيْن عَيْنَيْه»

“Nabi SAW mendatangi Utsman bin Madz’un dalam keadaan meninggal dunia, lalu beliau membuka kain dari wajahnya dan menangis, lalu mencium apa yang ada di antara kedua matanya.”

Sanadnya Dha'if. [Baca: Al-Mukhlishiyat, oleh Abu Tahir al-Mukhlis (1/297), pentahqiq: Nabil Saad al-Din Jarrar, penerbit: Kementerian Awqaf dan Urusan Islam Negara Qatar, edisi pertama, 1429 H/2008 M. Dan Mu'jam Ibnu al-Arabi (994/3), investigasi dan kelulusan: Abdul Mohsen bin Ibrahim Bin Ahmed Al-Husseini, Penerbit: Dar Ibn Al-Jawzi, Arab Saudi, edisi pertama, 1418 H/1997 M].

Dan apa yang dilakukan oleh Rosulullah SAW, dilakukan pula oleh Abu Bakar radhiyallahu 'anhu. Dari ['Aisyah] berkata:

لَمَّا قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ عِنْدَ امْرَأَتِهِ ابْنَةِ خَارِجَةَ بِالْعَوَالِي فَجَعَلُوا يَقُولُونَ لَمْ يَمُتْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا هُوَ بَعْضُ مَا كَانَ يَأْخُذُهُ عِنْدَ الْوَحْيِ فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ عَنْ وَجْهِهِ وَقَبَّلَ بَيْنَ عَيْنَيْهِ وَقَالَ أَنْتَ أَكْرَمُ عَلَى اللَّهِ مِنْ أَنْ يُمِيتَكَ مَرَّتَيْنِ قَدْ وَاللَّهِ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعُمَرُ فِي نَاحِيَةِ الْمَسْجِدِ يَقُولُ وَاللَّهِ مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا يَمُوتُ حَتَّى يَقْطَعَ أَيْدِيَ أُنَاسٍ مِنْ الْمُنَافِقِينَ كَثِيرٍ وَأَرْجُلَهُمْ فَقَامَ أَبُو بَكْرٍ فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ فَقَالَ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَمْ يَمُتْ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ } قَالَ عُمَرُ فَلَكَأَنِّي لَمْ أَقْرَأْهَا إِلَّا يَوْمَئِذٍ

"Ketika Rasulullah SAW meninggal Abu Bakar sedang berada di rumah isterinya -putri Kharijah- di daerah 'Awali. Orang-orang waktu itu berkata:

"Nabi SAW belum meninggal, itu hanyalah sebagian yang biasa beliau alami ketika menerima wahyu. "

Kemudian datanglah [Abu Bakar], ia membuka kain penutup wajah beliau dan mencium antara kedua mata beliau. Setelah itu ia berkata:

"Engkau terlalu mulia di sisi Allah jika harus mati dua kali. Demi Allah, Rasulullah SAW telah wafat. "

Sementara Umar yang berada di pojok masjid berkata: "Demi Allah, Rasulullah SAW belum meninggal! Beliau tidak akan meninggal hingga memotong tangan dan kaki orang-orang munafik. "

Lalu Abu Bakar bangkit dan naik ke atas mimbar, ia mengatakan: "Sesungguhnya Muhammad telah meninggal, [kemudian menyebutkan firman Allah SWT]:

{ وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ }

(Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah Jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur). " [QS. Ali Imran: 144]

Umar pun berkata: "Sungguh, seakan-akan aku belum pernah membaca ayat ini kecuali hari ini. " [HR. Ibnu Majah. Di Sahihkan al-Albani dalam Shahih dan Dhaif Ibni Majh no. 1627]

[Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE EMPAT BELAS:

Hukum asalnya [الاسْتِصْحَابُ] dan Qaidah: " اليَقِيْنُ لاَ يَزُوْلُ بالشَّكَّ ", artinya: Yang pasti tidak bisa hilang oleh keraguan ".

Penjelasannya: bahwa hukum asalnya adalah hidup, sementara sakit koma otak [serebral] datang sesudahnya, maka hukumnya dikembalikan kepada asal sebelumnya yang pasti, yaitu pada asalnya adalah hidup, dan terjadinya kematian itu diragukan, maka kami ambil yang pasti dan kami tinggalkan yang meragukan.

BANTAHAN:

Pertama: Kami tidak mengatakan bahwa yang pasti dihilangkan dengan yang meragukan ; melainkan kami tegaskan bahwa sesuatu yang pasti tidak bisa dihilangkan kecuali dengan sesuatu yang pasti yang setara dengannya.

Dan karenanya kami tidak mengatakannya telah wafat kecuali jika team dokter telah sepakat secara bulat bahwa pasien tsb telah mati batang otaknya secara menyeluruh, kematian yang setelah itu ia tidak akan kembali lagi bekerja atau bergerak. Dan padanya terdapat ketetapan bahwa sesuatu yang pasti bisa dihilangkan dengan sesuatu yang pasti yang sama, bukan dengan yang meragukan.

Kedua: Kaidah " استصحاب الأصل الأصلية " pengembalian pada hukum asal yang aslinya, ini hanya berlaku selama kondisinya tidak berubah menjadi yang lain dengan pasti dan yakin. Namun jika berubah dengan yakin dan pasti, maka tidak ada gunanya berpegang teguh pada kaidah Istish-haab al-Ashel itu.

Ketiga: Jika telah terjadi sesuatu dari apa yang Anda klaim, maka itu adalah kesalahan dalam diagnosis. Hal yang sama dapat terjadi pada tanda-tanda kematian yang telah dikenal yang disebutkan oleh para ahli fiqih di masa lalu. Kemudian memvonis hukum kematiannya adalah dengan mayoritas dugaan atau pada uamumnya, dan penerapannya sama dengan hukum kematian orang hilang.

[Lihat: حكم رفع أجهزة الإنعاش عن مريض موت الدماغ karya Muhammad Ibrahim Abu al-'Aisy]

DALIL KE LIMA BELAS:

Munculnya tanda-tanda kehidupan pada penderita mati otak yang terus menerus dan berkesinambungan pada pasien mati otak, dan indikatornya adalah sebagai berikut:

1] Sel-sel tubuh pasien ini tetap hidup, diperbarui, dan tumbuh ; Karena hormon pertumbuhan terus bekerja, dan suhu tubuh ini tetap sama dengan suhu pasien yang tidak koma, maka ini adalah bukti kelangsungan hidup mereka dengan pasti dan yakin.

[Lihat: مسألة موت جذع المخ oleh DR. Abdul Halim Manshur]

2] Bahwa pasien-pasien ini tidak terhenti sistem tubuh mereka untuk bekerja secara ireversibel, tetapi perangkat ini tetap bekerja dengan efisiensi yang sama seperti sebelum koma, dan bantuan perangkat medis ke sistem tubuh dalam bekerjanya tidak mengakibatkan kematian para pasien ini ; Karena alat kesehatan ini tidak menghidupkan kembali orang mati.

[Dari sebuah wawancara berjudul:

موتى جذع المخ أحياء، ونزع الأجهزة عنهم قتل عمد

(Batang otak yang mati tetap hidup, dan pencabutan perangkat dari mereka, hukumnya adalah pembunuhan terencana)

Oleh Muhammad Sayed, diterbitkan di surat kabar Al-Madina: www.al-madina.com]

3] Kondisi orang yang mati otak pada hakikatnya yang nampak menunjukkan bahwa dia masih hidup, karena orang yang mati otak, jantungnya masih berdetak, sirkulasi darah bekerja untuknya, dan semua organ tubuh, kecuali hanya otak.

Semuanya menjalankan fungsinya, Seperti hati, ginjal, pankreas, sistem pencernaan, sumsum tulang belakang, dll. Semua organ ini bekerja untuk orang mati otak dan menjalankan fungsinya, tetapi hanya yang tidak berfungsi untuknya adalah otak, dan karenanya pasien yang mati otak bisa buang air kecil, buang air besar, dan berkeringat, sehingga keluar keringat, dan mungkin suhu tubuhnya Stabil seperti suhu lingkungan sekitar, yaitu kira-kira tiga puluh tujuh derajat celecius. Dan dapat berfluktuasi baik dengan naik atau turun.

Dan ini menunjukkan kehidupan dalam tubuhnya, dan dia mungkin menggigil, atau dia mungkin menderita jantung berdebar-debar, dan tekanan naik atau turun, bahkan, dia mungkin melakukan gerakan yang mudah, seperti gerakan anggota badan tangan atau kaki.

[Dari artikel: (فقه النوازل (23) موت الدماغ وأحكامه الشرعية = Kematian otak dan keputusan hukumnya), oleh Saad bin Turki Al-Khatslan]

BANTAHAN:

Semua yang Anda bicarakan sesungguhnya itu hanyalah seperti gerakan orang yang disembelih, gerakan mekanis yang spontan dan tidak disengaja, karena tidak menimbulkan sinyal dari otak, juga tidak berasal dari kehendak manusia yang sadar, karena tidak menunjukkan kehidupan yang ada sejak awal. Bahkan sebaliknya, untuk keadaan yang seperti itu adalah hukumnya sudah mati. 

Al-Zubaidi mengatakan:

«(قوله: ‌وَمَنْ ‌اسْتَهَلَّ ‌بَعْدَ ‌الْوِلَادَةِ ‌سُمِّيَ ‌وَغُسِّلَ ‌وَصُلِّيَ ‌عَلَيْهِ).

قَالَ فِي النِّهَايَةِ اسْتَهَلَّ بِفَتْحِ التَّاءِ عَلَى بِنَاءِ الْفَاعِلِ لِأَنَّ الْمُرَادَ بِهِ رَفْعُ الصَّوْتِ وَاسْتِهْلَالُ الصَّبِيِّ أَنْ يَرْفَعَ صَوْتَهُ بِالْبُكَاءِ عِنْدَ وِلَادَتِهِ أَوْ يُوجَدَ مِنْهُ مَا يَدُلُّ عَلَى الْحَيَاةِ مِنْ تَحْرِيكِ عُضْوٍ أَوْ صُرَاخٍ أَوْ عُطَاسٍ أَوْ تَثَاؤُبٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يَدُلُّ عَلَى حَيَاةٍ مُسْتَقِرَّةٍ وَلَا عِبْرَةَ بِالِانْتِفَاضِ وَبَسْطِ الْيَدِ وَقَبْضِهَا لِأَنَّ هَذِهِ الْأَشْيَاءَ حَرَكَةُ الْمَذْبُوحِ وَلَا عِبْرَةَ بِهَا حَتَّى لَوْ ذُبِحَ رَجُلٌ فَمَاتَ أَبُوهُ وَهُوَ يَتَحَرَّكُ لَمْ يَرِثْهُ الْمَذْبُوحُ لِأَنَّ لَهُ فِي هَذِهِ الْحَالَةِ حُكْمَ الْمَيِّتِ »

«(Perkataannya: Dan bayi yang menangis setelah lahir, diberi nama, di mandikan, dan dishalati untuknya)

Dia berkata dalam an-Nihaayah: istahalla dibaca fathah sebagai subjek ; Karena yang dimaksud adalah meninggikan suara, dan suara tangisan bayi baru lahir: yaitu meninggikan suaranya dengan menangis ketika dia lahir, atau jika ada bukti kehidupan darinya, seperti menggerakkan anggota tubuh, berteriak, bersin, menguap, atau apapun yang menandakan kehidupan yang stabil atau normal.

Dan tidak termasuk tanda hidup: berkelojotan, mengulurkan tangan dan mencengkeram ; Karena hal-hal ini adalah gerakan orang yang disembelih, dan itu tidak diperhitungkan sebagai tanda hidup, sehingga jika seseorang disembelih, lalu ayahnya meninggal saat dia sedang bergerak meregang nyawa, maka orang yang disembelih tidak berhak mendapat warisan dari ayahnya ; Karena baginya dalam kondisi seperti ini dihukumi sebagai orang yamg sudah mati".

[Baca: Al-Jawharah Al-Nairah, oleh Abi Bakr Al-Zubaidi (1/110), Penerbit: Al-Mubta'a Al-Khairiya, Edisi Pertama, 1322 H. Dan lihat pula: Durar Al-Hukaam, Syarah Ghurar Al-Ahkaam, oleh Mulla Khosruw, Penerbit: Dar Ihya Al-Kutub Al-Arabiya. Dan Radd Al-Muhtaar (2/227)].

Al-Mawardi dalam al-Haawi berkata, ketika berbicara tentang pemberian penyakit:

« وَإِنْ مَاتَ عُقَيْبَ عَطِيَّتِهِ، لِأَنَّ حُدُوثَ الموت بغيره فهذا هو قِسْمٌ.

وَالْقِسْمُ الثَّانِي: حَالُ الْمُعَايَنَةِ، وَحشرجَةُ النَّفْسِ، ‌وَبُلُوغُ ‌الرُّوحِ ‌التَّرَاقِيَ، ‌فَلَا ‌يَجْرِي ‌عَلَيْهِ ‌فِيهَا ‌حُكْمُ ‌قَلَمٍ، وَلَا يَكُونُ لِقَوْلِهِ حُكْمٌ، لِأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَوْتَى وَإِنْ كَانَ يَتَحَرَّكُ حَرَكَةَ الْمَذْبُوحِ، وَكَذَلِكَ مَنْ شُقَّ بَطُنُهُ وَأُخْرِجَتْ حَشْوَتُهُ لا يُحْكَم بِقَوْلِه وَوَصِيَّتِه في هَذِه الْحَالَةِ وَإِنْ كَانَ يَتَحَرَّكُ أَوْ يَتَكَلَّمُ لِأَنَّ البَاقي مِنْهُ كحَرَكَةِ المَذْبُوْح بَعْدَ الذَّبْح »

“Dan kategori kedua: Kondisi di hadapkan pada kematian, suara derak jiwa [yakni ; bunyi nafas dikerongkongan saat sekarat], dan sampainya ruh dikerongkongan, maka saat itu sudah tidak berlaku lagi hukum catatan pena amal, dan hukum ucapannya sudah tidak diterima ; Karena dia dalam hukum orang yang sudah mati, meskipun masih bergerak seperti gerakan orang yang disembelih, begitu pula orang yang dibelah perutnya dan dikeluarkan usunya, maka ucapannya dan wasiatnya tidak berlaku secara hukum meskipun dia masih bergerak-gerak atau berbicara; Karena gerakan yang tersisa darinya sama seperti gerakan orang yang disembelih setelah proses penyembelihan". [Baca: الحاوي الكبير karya al-Mawardi 8/319]

Juga masih dalam kitab Al-Haawi:

« قَالَ الشَّافِعِيُّ رَحِمَهُ اللَّهُ: " ‌وَلَوْ ‌قَطَعَ ‌مَرِيئَهَ ‌وَحُلْقُومَهُ ‌أَوْ ‌قَطَعَ ‌حَشْوَتَهُ ‌فَأَبَانَهَا ‌مِنْ ‌جَوْفِهِ أَوْ صَيَّرَهُ فِي حَالِ الْمَذْبُوحِ ثُمَّ ضَرَبَ عُنُقَهُ آخَرُ فَالْأَوَّلُ قَاتِلٌ دُونَ الْآخَرِ ".

قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ: وَهَذَا صَحِيحٌ إِذَا كَانَتْ جِنَايَةُ الْأَوَّلِ قَدْ أَتَتْ عَلَى النَّفَسِ بِقَطْعِ حُلْقُومِهِ أَوْ مَرِيئِهِ أَوْ قَطْعِ حَشَوْتِهِ، فَهُوَ فِي حُكْمِ الْمَيِّتِ، لِانْتِقَاضِ بِنْيَتِهِ الَّتِي تَحْفَظُ حَيَاتَهُ، وَلَا حُكْمَ لِمَا بَقِيَ مِنَ الحَيَاةِ؛ لِأَنَّهَا تَجْرِي مَجْرَى حَرَكَةِ الْمَذْبُوحِ الَّتِي لَا يُنْسَبُ مَعَهَا إِلَى الْحَيَاةِ وَتَجْرِي مَجْرَى الِاخْتِلَاجِ ».

“Asy-Syafi'i, rahimahullah, berkata: “ Dan jika ada seseorang memotong kerongkongan orang lain dan tenggorokannya, atau memotong ususnya lalu memisahkannya dari perutnya, atau memjadikannya dalam kondisi orang yang disembelih, dan setelah itu lehernya ditebas oleh orang lain, maka orang yang pertama adalah pembunuh bukan orang yang berikutnya ".

Al-Mawardi berkata: Ini adalah yang benar jika kejahatan pertama dilakukan terhadap jiwa dengan memotong tenggorokan atau kerongkongan, atau dengan memotong ususnya, maka korbannya itu di bawah hukum orang mati ; karena telah rusak strukturnya yang bisa mempertahankan hidupnya, dan tidak ada hukum atas apa yang tersisa dari ajalnya ; Karena hal itu mengalir dalam proses kematian seperti gerakan orang yang disembelih, yang sudah tidak dikaitkan lagi dengan hidup, dan dia mengalir pada aliran kejang-kejang. [Baca: الحاوي الكبير karya al-Mawardi 12/44]

Tentang siapa yang dianggap mati syahid dalam perang dan siapa yang tidak?.

Al-Qazwini mengatakan:

«لو جرح في القتال ومات بعد انقضائه ففي ثبوت حكم الشهادة قولان...»، وبعد أن عرضهما قال: «وللقولين شرطان:

أحدهما:... أن يقطع بموته من تلك الجراحة، فأما إذا توقع بقاؤه فمات بعد انقضاء القتال فليس بشهيد بلا خلاف.

والثاني: أن تبقى فيه حياة مستقرة ثم يموت بعد انقضاء القتال، فأما إذا انقضى القتال وليس به إلا حركة المذبوح فهو شهيد بلا خلاف»

“Jika seseorang terluka dalam perang dan meninggal setelah selesai peranga, maka ketetapan tentang hukum mati syahidnya terdapat dua pendapat … ”, dan setelah menyampaikan keduanya, dia berkata:

“Dan bagi kedua pendapat itu memiliki dua syarat:

Salah satunya:

Menetapkan kematiannya akibat luka perang tsb, tetapi jika ada kemungkinan dia masih bisa bertahan hidup, lalu dia mati setelah pertempuran berakhir, maka dia bukanlah seorang yang mati syahid tanpa ada perselisihan pendapat.

Dan yang kedua:

Yaitu kondisi kehidupan stabil masih ada padanya, kemudian dia meninggal setelah perang selesai. Maka jika perang selesai dan dalam dirinya tidak ada kecuali gerakan orang yang disembelih, maka dia syahid tanpa ada perselisihan pendapat. [Baca: Fathul 'Aziz karya Imam ar-Rafi'i 5/154]

Dan di Al-Syarh Al-Kabiir 25/435 oleh Ibnu Qudamah:

« وإن ألْقَتْه حَيًّا، فَجَاءَ آخَرُ فقَتَلَه، ‌وكَانَتْ ‌فِيْهِ ‌حَيَاةٌ ‌مُسْتَقِرَّةٌ، ‌فعلى ‌الثانى ‌القِصاصُ ‌إذا ‌كان ‌عَمْدًا، أو الدِّيَةُ كاملةً، وإن لم تَكُنْ فيه حياةٌ مُسْتَقِرَّةٌ، بَلْ كَانَتْ حَرَكَتُه كحرَكَةِ المَذْبُوحِ، فالقاتلُ هو الأَوَّلُ، وعَلَيْهِ الدِّيَةُ كاملةً »

“Dan jika ada seseorang melemparkannya hidup-hidup (yakni: janin) kemudian orang yang lain datang dan membunuhnya, dan dalam dirinya ada kehidupan yang stabil, maka bagi orang yang kedua harus diqishah jika itu adalah disengaja, atau bayar diyat penuh. Namun jika dalam dirinya tidak ada kehidupan yang stabil, bahkan gerakannya seperti gerakan orang yang disembelih, maka pembunuhnya adalah yang pertama, dan dia harus membayar diyat penuh". [Al-Syarh Al-Kabiir 25/435 oleh Ibnu Qudamah]

Nash pernyataan para ulama ahli Fiqih dalam hal ini banyak sekali dan tidak bisa dibatasi, dan kesimpulannya adalah:

أنه لا عبرة بمثل تلك الحياة الغير مستقرة التي هي أقرب للموت منها للحياة، فما بالك ونحن نقول بموت من مات جذع مخه

" Bahwasanya tidak ada 'ibrah pada yang hidup tidak stabil yang mana ia lebih dekat dengan mati daripada hidup. Maka apalagi ketika kita mengatakan bahwa orang yang mati otak batangnya adalah telah mati". [Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE ENAM BELAS:

Jika mati itu adalah karakteristik eksistensial yang diciptakan berlawanan dengan hidup. Sementara mati dan hidup tidak bisa saling bertemu dalam satu tubuh pada waktu yang sama, maka pasien dengan koma serebral [mati batang otak], apakah ia digambarkan sebagai orang yang sudah mati atau masih hidup?

Pendapat mereka yang mengatakannya sebagai orang yang sudah mati maka itu dibatalkan oleh kehidupan yang kontinuitas dalam tubuh mereka seperti yang telah kami jelaskan. Dan tidak dibenarkan untuk menilainya sebagai kematian seseorang. Karena tubuhnya hidup dan menerima suplay makanan dan obat-obatan, dan jejak penerimaannya itu muncul padanya dari sisi perkembangan dan lainnya.

Dan organ-organ manusia tidak bisa respon terhadap sarana-sarana kehidupan kecuali organ-organ tsb masih hidup. Jadi kehidupan fisik itu dianggap mu'tabar, bukan kehidupan kognitif ; Karena yang terakhir ini adalah dasar pijakan hukum taklifi. Dan hilangnya itu semua dalam keadaan koma tidak berarti pemiliknya itu telah mati jika tubuhnya masih memiliki manifestasi kehidupan. Dan oleh karena itu pasien-pasien ini harus digambarkan sebagai orang-orang yang masih hidup yang ruhnya belum keluar dari tubuh mereka ; Karena ada bukti-bukti kelangsungan hidupnya.

[Dari sebuah wawancara berjudul: (Batang otak yang mati tetap hidup, dan pemindahan perangkat dari mereka adalah pembunuhan terencana), oleh Muhammad Sayed, diterbitkan di surat kabar Al-Madina: www.al-madina.com]

BANTAHAN:

Kami membantah Anda bahwa itu memiliki kehidupan yang signifikan ; Bahkan sebaliknya, seperti yang baru saja kami jelaskan, itu hanya seperti kehidupan orang yang disembelih, dan gerakannya tidak memiliki 'ibroh atau timbangan.

Adapun perkataan Anda bahwa ia menerima suplay makanan dan tumbuh dengannya, jika itu benar, maka itu bukanlah bukti kehidupan. Yang demikian itu, karena jika kita meletakkan sepotong kayu kering (mati) di rawa air, maka itu akan menerima air dan menyerapnya, bahkan itu akan bertambah besar dan berubah bentuknya, lalu apakah ini bukti kehidupan dari potongan kayu kering itu?

Bahkan orang itu sendiri, jika dia tenggelam di laut dan mati, dan tidak dikeluarkan darinya, lalu dia menyerap air dan bertambah ukurannya, dan tidak ada orang waras otaknya yang akan mengatakan bahwa ini adalah bukti bahwa dia masih hidup?! Dengan satu perbedaan, yaitu orang yang tenggelam membusukkan tubuhnya ; Karena dia tidak ditempatkan pada perangkat yang menjaga aliran darah di pembuluh darahnya, nafas yang masuk dan keluar dari paru-parunya. [Lihat artikel: موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي oleh Tayyar al-Ishlah]

DALIL KE TUJUH BELAS:

Ilmu pengetahuan eksperimental semakin maju dalam setiap harinya dan membawa hal-hal baru. Sehingga penyakit yang kemarin tidak ada obatnya sekarang ada obatnya. Jadi kami yakin dan sama sekali bukan hal mustahil akan diketemukannya obat untuk pasien yang koma serebral [mati batang otaknya] yang dengannya memungkinkan mereka bisa sembuh, serta bisa membuktikan, tidak diragukan lagi, bahwa mereka masih hidup dan ruh mereka belum meninggalkan tubuh mereka.

"وتجري الآن أبحاث ناجحة في الغرب لعلاجهم، سواء عن طريق التنفس الصناعي أو العلاج الدوائي، وهو ما أكدته الجمعية الأمريكية لطب الحالات الحرجة، وأعلنه الأطباء في بوسطن، وقد أكدت بعض الأبحاث الطبية التي أُجريت على كثير من المرضى، الذين تم تشخيص حالاتهم كموتى جذع المخ، أن الحياة الطبيعية قد عادت إلى نسبة غير قليلة منهم، ونظرًا لإمكان عودة هؤلاء إلى الحياة الطبيعية فإن البروتوكولات المختلفة لتشخيص موت المخ اتفقت على عدم جواز تطبيق مفهومه على الأطفال؛ لقدرة أبدانهم على استعادة وظائف المخ وإن طال زمن غيبوبتهم، وهذا يدل على بطلان مفهوم موت المخ كعلامة على الموت".

“Penelitian yang sukses sekarang sedang dilakukan di Barat untuk mengobati mereka, baik melalui pernapasan buatan atau perawatan farmakologis, yang dikonfirmasi oleh American Society for Critical Condition Medicine, dan diumumkan oleh para dokter di Boston.

Dan beberapa penelitian medis yang dilakukan pada banyak pasien, yang hasil diagnosisnya menetapkan mati batang otaknya, setelah melalui perawatan dan pengobatan pada mereka, lalu team media mengkonfirmasi bahwa kehidupan normal telah kembali ke persentase yang signifikan dari mereka.

Dan mengingat kemungkinan orang-orang ini kembali ke kehidupan normal, berbagai protokol untuk mendiagnosis kematian otak telah sepalat bahwa itu tidak diperbolehkan untuk menerapkan konsepnya pada anak-anak, karena kekuatan daya tahan tubuhnya untuk memulihkan fungsi otak, meskipun masa komanya berlangsung lama. Dan ini menunjukkan ketidakabsahan Konsep kematian otak sebagai tanda seseorang telah wafat]

[Lihat: Konsultasi berjudul: (موت الدماغ من منظور إسلامي = Kematian Otak dari Perspektif Islam), Prof. Dr. Abdul Fattah Idris]

******

PENGGABUNGAN DUA PENDAPAT:

Syeikh Tayyar al-Ishlah dalam artikelnya yang berjudul " موت الدماغ رفع أجهزة الإنعاش الصناعي", beliau mencoba menggabungkan dua pendapat di atas, dengan mengatakan sbb:

" Pertama-tama, seseorang harus mengakui keseriusan dan bahayanya masalah yang kita bahas ini. Karena susungguhnya para ulama yang berpendapat bahwa orang yang mati batang otaknya adalah telah wafat secara hakiki dan sebenarnya, mereka tidak peduli bagaimana tanda-tanda kehidupan masih muncul pada penderita kemtian batang otak. Dengan demikian menurutnya berarti boleh melepaskan alat resusitasi [perangkat nafas buatan] darinya, dan menghentikan nafas yang keluar dan masuk, meskipun ini adalah hanya sebatas gambaran ….

Jika demikian, maka pendapat yang menyatakan bahwa dia masih hidup, itu lebih ringan bagi ulama yang berfatwa dengannya dan lebih hati-hati bagi penderita, dan itu sesuai dengan kesepakatan para dokter bahwa kerusakan sel otak tidak dapat dikompensasi, dan sel baru tidak tumbuh menggantikannya....

Akan tetapi pendapat ini menimbulkan problem besar bagi keluarga penderita atau pasien, yaitu problem psikologis, materi dan moral. Dan itu juga menimbulkan beban besar bagi kas negara, Seperti biaya perawatan yang sangat tinggi, dan penyediaan ruang perawatan intensif lengkap yang dibatasi untuk satu pasien untuk periode yang berkemungkinan terus diperpanjang ….

Kemudian Syeikh Tayyar al-Ishlah berkata:

" وكل ذلك ونحن نوقن تمامًا أن مَن رَأَيْنا، ممن مات جذع مخهم حقًا، لم يعد أحد منهم إلى الحياة ثانية أبدًا، ولكن هذه الحقيقة ما زالت محل خلاف بين الأطباء، وعلاماتها أو جلها ظنية ولم تكتسب اليقين بعد، وأن قاعدة الشرع: أن اليقين لا يزول بالشك، وأن الشرع يتطلع إلى إحياء النفوس وإنقاذها، وأن أحكامه لا تبنى على الشك، وأن الشرع يحافظ على البنية الإنسانية بجميع مقوماتها، ومن أصوله المطهرة المحافظة على: الضروريات الخمس، ومنها: المحافظة على النفس.... ".

Dan semua ini, dan kami benar-benar yakin bahwa penderita yang kami lihat, yang batang otaknya benar-benar mati, tidak ada dari mereka yang pernah hidup kembali, tetapi “fakta ini masih menjadi masalah ketidaksepakatan di antara para dokter, dan tanda-tandanya atau sebagian besar itu adalah dugaan dan belum mendapatkan kepastian, dan bahwa Kaidah Syariah menyatakan:

أن اليقين لا يزول بالشك

Bahwa yang telah yakin itu tidak bisa hilang oleh kerguan yang datang kemudian.

Dan bahwa Syariah berupaya agar bisa menghidupkan kembali penderita mati otak dan menyelamatkan jiwa. Dan bahwa keputusan hukumnya tidak didasarkan pada hal yang meragukan. Dan bahwa Syariah menjaga struktur tubuh manusia dengan segala komponennya. Dan di antara prinsip-prinsipnya yang mulia adalah penjagaan dan perlindungan lima darurat, di antaranya: perlindungan terhadap nyawa …..

[Baca pula: أجهزة الإنعاش، وحقيقة الوفاة بين الفقهاء والأطباء.]

Lalu Tayyar al-Ishlah berkata:

Oleh karena itu, kami merasa tidak nyaman ketika kami memutuskan untuk melepas peralatan resusitasi dari pasien yang menunjukkan tanda-tanda kehidupan, seperti napas masih keluar masuk darinya, jantungnya berdetak, dia masih merespons beberapa (pemeriksaan), respons terhadap beberapa jenis pengobatan.

Kami merasa tidak nyaman karena kami tahu bahwa semua penampakan ini akan benar-benar langsung padam setelah perangkat dicabut darinya.

Kami juga merasa tidak nyaman dengan menghukuminya masih hidup ; karena kami menjerumuskan keluarganya dan orang-orang di sekitarnya dalam kesulitan besar tanpa faidah dan tanpa guna, dalam banyak kasus dan pada umumnya, terutama karena orang yang otaknya mati kadang dapat bertahan selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun, tanda-tanda kehidupan muncul di bawah perangkat medis tersebut !

Oleh karena itu, kami terpaksa harus membedakan antara dua kondisi (90) pasien yang mati batang otaknya:

Kondisi pertama:

Yaitu penderita yang telah ditempatkan di bawah perangkat medis resusitasi, dan tanda-tanda kehidupan muncul padanya seperti denyut nadi dan pernapasan …..

Maka dalam kondisi seperti ini, kami berpendapat: haram hukumnya mencabut perangkat ini darinya ; Karena masih nampak tanda-tanda kehidupan, dan karena tindakan seperti ini sama saja dengan tindakan pembunuhan yang disengaja.

Dan ini adalah tindakan yang lebih hati-hati dalam kondisi seperti itu, mengikuti:

"مَبْدَأُ عَدَمِ تَكْثِيْفِ العِلاِجِ"

"Prinsip tidak mengintensifkan perawatan", sebagaimana yang telah disebutkan di atas dalam hal perawatannya.

Kondisi kedua:

Penderita yang tidak ditempatkan di bawah perangkat medis ini, dan para dokter yang memenuhi syarat dan dapat dipercaya memutuskan bahwa batang otaknya telah mati dan sel-selnya telah rusak. Kecuali jika orang yang mati batang otaknya itu adalah seorang wanita hamil, dan indikasinya masih menunjukkan kehidupan janin, maka kami berpendapat bahwa dia wajib ditempatkan di bawah alat resusitasi untuk mempertahankan kehidupan Janinnya.

Kami mengatakan bahwa penderita ini diperbolehkan untuk tidak ditempatkan di bawah peralatan resusitasi, berdasarkan dua fakta:

Yang pertama: Yang disepakati para dokter adalah bahwa sel-sel otak tidak dapat diperbarui, dan jika semuanya telah rusak, maka pasien sudah pasti meninggal.

Kedua: Berdasarkan apa yang telah ditetapkan oleh syari'ah tentang bolehnya meninggalkan pengobatan.

Dan dalilnya banyak, antara lain:

Apa yang diriwayatkan dari ‘Atha’ ibn Abi Rabah -rahimahullah- berkata:

قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: أَلَا أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ؟ قُلْتُ: بَلَى، قَالَ: هَذِهِ الْمَرْأَةُ السَّوْدَاءُ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ: إِنِّي أُصْرَعُ وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ لِي قَالَ: إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الْجَنَّةُ وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ قَالَتْ: أَصْبِرُ قَالَتْ: فَإِنِّي أَتَكَشَّفُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ لَا أَتَكَشَّفَ فَدَعَا لَهَا

“Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ’anhuma bertanya kepadaku: ‘Maukah aku perlihatkan kepadamu salah satu wanita penghuni Surga?’

Aku menjawab: ‘Tentu.’

Beliau berkata: ‘Inilah seorang wanita kulit hitam yang suatu hari datang kepada Nabi SAW lalu berkata:

‘Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan dan auratku terbuka (saat kambuh –pent), maka berdoalah untukku kepada Allah (agar Allah memberikan kesembuhan kepadaku –pent)’

Beliau bersabda: ‘Jika kamu mau bersabar maka kamu akan mendapatkan Surga. Dan jika kamu mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Allah memberikan kesembuhan kepadamu.’

Wanita itu menjawab: ‘Aku akan bersabar.’ Lalu dia berkata lagi: ‘Akan tetapi auratku tersingkap (ketika kambuh –pent), maka berdoalah untukku kepada Allah agar auratku tidak tersingkap (saat kambuh –pent).’

Lalu Nabi SAW berdoa untuk wanita tadi agar tidak tersingkap.” (HR. Al-Bukhari, no. 5220 dan Muslim, no. 4673)

Ibn Hajar Al-Asqalani berkata, menjelaskan:

« وَفِي الْحَدِيثِ فَضْلُ مَنْ يُصْرَعُ ‌وَأَنَّ ‌الصَّبْرَ ‌عَلَى ‌بَلَايَا ‌الدُّنْيَا ‌يُورِثُ ‌الْجَنَّةَ ‌وَأَنَّ ‌الْأَخْذَ ‌بِالشِّدَّةِ ‌أَفْضَلُ ‌مِنَ ‌الْأَخْذِ ‌بِالرُّخْصَةِ لِمَنْ عَلِمَ مِنْ نَفْسِهِ الطَّاقَةَ وَلَمْ يَضْعُفْ عَنِ الْتِزَامِ الشِّدَّةِ وَفِيهِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ تَرْكِ التَّدَاوِي... »

Dan dalam hadits terdapat keutamaan orang yang menderita epilepsi. Dan bersabar dengan penderitaan dunia akan mewarisi surga. Dan bahwa mengambil kesulitan lebih baik daripada mengambil rukhshoh [konsesi] bagi orang yang tahu bahwa dirinya mampu. Dan tidak melemah dalam menanggung resiko kesulitan. Dan di dalam hadits tsb terdapat dalil diperbolehkannya meninggalkan obat …". [Fathul Baari 10/115]

Juga dari Ibn Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

 يدخلُ مِن أمَّتي الجنَّةَ سبعونَ ألفًا بغيرِ حسابٍ همُ الَّذينَ لاَ يسترقونَ ولاَ يكتَوونَ، ولا يَتطيَّرونَ وعلى ربِّهم يتوَكَّلونَ

“Tujuh puluh ribu dari umatku akan masuk surga tanpa hisab. Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah bertathayur (menganggap sial sesuatu hingga tidak jadi beramal), tidak pernah meminta untuk diruqyah dan tidak mau menggunakan Kay (pengobatan dengan besi panas), dan kepada Tuhan merekalah mereka bertawakkal." [HR. Bukhori no. 6059]

Nabi SAW menggambarkan mereka yang masuk surga tanpa hisab sebagai: " Mereka tidak minta di ruqyah, " dan dalam sebuah riwayat lain: dan tidak mau menggunakan Kayy (pengobatan dengan besi panas) ". Maka beliau SAW memuji mereka yang tidak minta diruqyah dan meninggalkan pengobatan al-Kayy [dengan besi panas].

Diferensiasi ini menggabungkan dalil-dalil dari dua pendapat para ulama, mengimplementasikan nash-nash dalil dan kaidah-kaidah fiqih yang mereka kutip, menjaga kehormatan nyawa manusia, dan mengangkat beban dan rasa keberatan dari keluarga yang menderita dan dari kas negara.

Kami kira, ini adalah yang terasa lebih nyaman serta menenangkan hati. Wallaahu a'lam bi sh-Showaab. [SELESAI KUTIPAN DARI SYEIKH TAYYAR AL-ISHLAH]

WASPADA DAN HATI-HATI:

Sebagian para ulama mengatakan:

وينبغي الحذر من التعجل في هذا القرار بدافع الشفقة من الأبوين أو أحدهما ، أو بدافع حرص الطبيب على توفير جهاز الإنعاش لمريض آخر ، ولهذا كان لابد من اتفاق ثلاثة من الأطباء على وجود أحد الأسباب التي تجيز رفع الإنعاش.

Sebaiknya berhati-hati dan penuh waspada, jangan terburu-buru membuat keputusan seperti itu dengan alasan belas kasihan kepada orang tua, atau salah satu dari mereka, atau dengan alasan lain karena dokter hendak menggunakan peralatan untuk pasien lain, maka sebaiknya ini harus dihindari. Oleh karena itu perlu ada kesepakatan antara tiga dokter bahwa ada salah satu alasan yang memungkinkan untuk mematikan alat penopang hidup pasien. [Lihat: Islamqa, Fatwa no. 230086 Tanggal publikasi: 20-06-2015]

MAFIA KLAIM PASIEN MATI BATANG OTAKNYA

Ahmad Musthofa menulis dalam blog اليوم السابع sebuah artikel:

أساتذة وبرلمانيون يؤكدون: موت جذع المخ أكذوبة

Profesor dan anggota parlemen menegaskan: kematian batang otak adalah dusta

Di posting pada Rabu, 31 Maret 2010 13:56

كشف الدكتور فخرى صالح رئيس مصلحة الطب الشرعى وكبير الأطباء الشرعيين بوزارة العدل سابقا، أن عملية نقل الأعضاء ليست جديدة علينا وهى مقننة من قبل نقابة الأطباء ووزارة الصحة، ولكن المسألة تعود إلى عهد قديم حينما فشلوا فى الحصول على أعضاء وحيدة مثل القلب والكبد والبنكرياس من أموات، فاخترعوا ما يسمى بموت جذع المخ لكى يحصلوا على هذه الأعضاء من أحياء، فجذع المخ هو حالة إصابة قد نقول إنها خطيرة ولكنه لا يستطيع أحد أن يجزم بأنها ستشفى أم لا، ولكن هناك محاولات للعلاج. وأضاف هم يقولون على مصاب جذع المخ ميت وأنا أقول إنه حى وإذا أخذنا منه أعضاؤه قتلناه عمدا.

Dr. Fakhry Salih, kepala Departemen Kedokteran Forensik dan mantan kepala dokter forensik di Kementerian Kehakiman, mengungkapkan:

Bahwa proses transplantasi organ bukanlah hal baru bagi kita dan dilegalkan oleh Sindikat Medis dan Kementerian Kesehatan, tetapi isunya kembali ke zaman kuno ketika mereka gagal mendapatkan organ tunggal seperti jantung, hati, dan pankreas dari kematian, maka mereka mencetuskan sesuatu yang baru yaitu apa yang disebut kematian batang otak untuk mendapatkan organ-organ ini dari makhluk hidup. Batang otak saat dalam kondisi cedera, kita mungkin bisa mengatakan dalam bahaya, namun tidak ada yang bisa memastikan apakah itu akan sembuh atau tidak, tetapi ada upaya di pengobatan.

Dia menambahkan: “Mereka mengatakan bahwa orang yang menderita batang otak adalah sudah wafat, maka saya katakan: bahwa itu masih hidup, dan jika kita mengambil organnya, berarti kita membunuhnya dengan sengaja.”

ووصف الدكتور مصطفى كامل أستاذ التخدير والعناية المركزة بجامعة عين شمس موت جذع المخ خلال الندوة التى عقدت بمركز ماعت للدراسات الحقوقية مساء أمس، بأنه أكذوبة، وأكد على أنها اختلقت للحصول على القلب والكبد والبنكرياس من إنسان حى نابض القلب، وقام بعرض فيديو وضح فيه الحقائق المخفاة حول أكذوبة موت جذع المخ، وشمل هذا الفيديو وثائق وأفلام لأمهات استمر حملهن ووضعن أطفالا أحياء بعد تشخيصهن بـموت جذع المخ المزعوم بالإضافة إلى وثائق وأفلام لحالات شفيت واستعادت الوعى بعد الإعلان عن وفاتهم مخيا.

Mustafa Kamal, Profesor Anestesiologi dan Perawatan Intensif di Universitas 'Ain Shams, menggambarkan kematian batang otak selama simposium yang diadakan di Pusat Studi Hak Asasi Manusia Maat kemarin malam, bahwa itu adalah kebohongan dan Kedustaan.

Dia menekankan bahwa itu sengaja dibuat-buat untuk mendapatkan jantung, hati, dan pankreas dari jantung yang masih hidup dan berdetak.

Dan beliau menunjukkan video di mana dia menjelaskan fakta tersembunyi tentang kebohongan kematian batang otak. Video ini menyertakan dokumen dan film ibu-ibu yang berkelanjutan dalam kehamilannya dan melahirkan anak-anaknya dalam keadaan hidup setelah mereka didiagnosis dengan dugaan kematian batang otak, dan menyertakan dokumen dan film kasus-kasus yang pulih dan sadar kembali setelah diumumkan kematian otaknya......

Resolusi No.(11) oleh Dewan Iftaa` Yordania, Research and Islamic Studies:

“Kapan Seorang Pasien Dianggap Meninggal”

Tanggal: 8/11/1408 H, 22/6/1988

قرار رقم: (11) متى يحكم بموت الإنسان؟

بتاريخ: 8/ 11/ 1408هـ ، الموافق: 22/ 6/ 1988م

ورد إلينا سؤال يقول فيه صاحبه:

هل موت الدماغ وتوقف القلب والتنفس بالنسبة للمريض يعتبر موتاً؟ ما الحكم الشرعي في ذلك؟

الجواب وبالله التوفيق:

رأى المجلس ما يلي: يعتبر شرعاً أن الشخص قد مات وتترتب جميع الأحكام المقررة شرعاً للوفاة عند ذلك إذا تبينت فيه إحدى العلامتين الآتيتين:

1- إذا توقف قلبُه وتنفسُه توقفاً تاماً، وحَكَم الأطباء بأن هذا التوقف لا رجعة فيه.

2- إذا تعطَّلت جميعُ وظائف دماغه تعطلاً نهائياً، وأخذ دماغه في التحلل، وحَكَم الأطباء المختصون الخبراء بأن هذا التعطل لا رجعة فيه، ولا عبرة حينئذ بكون أعضاء الميت كالقلب لا يزال يعمل عملا آلياً بفعل أجهزة الإنعاش المركبة.

وفي هذه الحالة (الثانية) يسوغ رفع أجهزة الإنعاش المركبة على الشخص، ولا يحكم الأطباء بالموت في هذه الحالة إلا بعد الاستيثاق والتأكد من الأمور التالية:

1- توافر جميع شروط تشخيص موت الدماغ.

2- استبعاد الأسباب الأخرى للغيبوبة.

3- غياب جميع منعكسات جذع الدماغ.

4- القيام بجميع الفحوصات اللاّزمة طبياً لإثبات وقف التنفس.

5- السكون الكهربائي في تخطيط الدماغ.

6- إجراء أي فحوص طبية لازمة للتأكد من موت الدماغ.

7- أن تتم هذه الفحوص في مستشفى مؤهل، تتوافر فيه الإمكانات اللاّزمة لهذه الفحوص.

ونظراً لما لهذا الموضوع من أهميةٍ شرعيةٍ، وقانونيةٍ، وطبيةٍ، وأخلاقيةٍ، واجتماعيةٍ، فإن الحكم بموت الدماغ يجب أن يتم من لجنة طبية مختصة، لا يقل عدد أعضائها عن ثلاثة، وألاّ يكون لأحد منهم أي علاقة بالموضوع تُورث شبهةً، وأن تقوم اللجنة بإعادة الفحوصات السابقة بعد فترة كافية من الفحوص الأولى، يقررها الأطباء المختصون للتأكد من إثبات اكتمال جميع الشروط المذكورة آنفاً.

وتعتبر ساعة توقيع اللجنة الطبية المختصة المذكورة هي ساعة وفاة الشخص في حق الأمور التي ترتبط بتاريخ الوفاة.

ويؤكد المجلس ضرورة إصدار قانون لمعالجة هذا الأمر، لضمان تنفيذ الشروط الواردة في هذه الفتوى، واتخاذ الإجراءات القانونية بحق المخالفين لها. والله تعالى أعلم.

رئيس مجلس الإفتاء

قاضي القضاة / محمد محيلان

المفتي العام/ عزالدين الخطيب التميمي

مفتي القوات المسلحة الأردنية الدكتور نوح سلمان القضاة

(أتحفظ على ما جاء في وصف العلامة الثانية وأرى أن يعتبر حياً مادامت فيه أمارة حياة)

د. إبراهيم الكيلاني

د. عبد السلام العبادي

د. محمود السرطاوي

الشيخ سعيد الحجاوي

د. ياسين درادكة

الأستاذ مصطفى الزرقاء

د.عبد الحليم الرمحي

د. محمود العواطلي الرفاعي

(أتحفظ على البند الثاني فقط إن بقي أثر للحياة)

Dewan telah menerima pertanyaan berikut: 

Apakah kematian otak pasien dan berhentinya jantung dan paru-parunya membuatnya mati? 

Dan bagaimana hukum syariah dalam hal ini?

Jawaban:

Semua kesuksesan adalah karena Allah Dewan telah menganggap sebagai berikut: Dari sudut pandang Syariah, seseorang dianggap meninggal dan hukum Syariah orang mati berlaku untuknya jika salah satu dari tanda-tanda berikut hadir:

1- Jantungnya berhenti berdetak dan napasnya berhenti sama sekali, dan dokter memutuskan bahwa dia tidak dapat dihidupkan kembali.

2- Fungsi otaknya telah berhenti sama sekali, otaknya mulai membusuk, dan ahli medis spesialis memutuskan bahwa otak ini mati total dan tidak dapat dihidupkan kembali. Dalam hal ini, ia dianggap meninggal walaupun jantungnya masih berdetak dengan berada di mesin pendukung kehidupan. Dalam kasus (2) ini, diperbolehkan bagi para dokter untuk mengambil mesin-mesin ini, tetapi mereka tidak dapat memutuskan bahwa orang tersebut telah meninggal kecuali mereka benar-benar yakin akan hal-hal berikut:

1- Semua kondisi kematian otak ada.

2- Tidak termasuk alasan koma lainnya.

3- Refleks inti otak benar-benar berhenti.

4- Menjalankan semua tes medis yang diperlukan yang membuktikan bahwa pernapasan telah berhenti.
5- Listrik statis saat melakukan pemindaian otak.

6- Menjalankan tes medis yang diperlukan untuk memastikan bahwa otak sudah mati.

7- Semua tes ini harus dilakukan di rumah sakit dengan peralatan lengkap.

Karena pertimbangan agama, hukum, medis, etika, dan sosial dari masalah ini, penilaian bahwa otak pasien mati harus dilakukan oleh komite ahli medis spesialis yang terdiri dari setidaknya tiga anggota, dan tidak ada dari mereka yang memiliki jenis apa pun. permusuhan dengan pasien yang bersangkutan. Waktu kematian dimulai sejak anggota panitia tersebut di atas membubuhkan tanda tangan.

Pada bagiannya, Dewan menekankan perlunya menangani masalah kritis ini untuk memastikan bahwa syarat-syarat yang ditetapkan dalam Fatwa ini dilaksanakan, dan melanggarnya memerlukan pertanggungjawaban hukum. Dan Allah Maha Tahu.

Dewan Ifta`

Ketua Dewan, Ketua Mahkamah Agung, Mohammad Mohailan

Mufti Agung Yordania,: Izz al-Diin al-Tamimi, Wakil Ketua Dewan Iftaa`

Dr. Nooh al-Qudhoh, Mufti Angkatan Bersenjata Yordania “ Saya memiliki reservasi pada tanda kedua dan melihat bahwa seorang pasien dianggap hidup selama ada tanda kehidupan dalam dirinya.

Dr.Ibrahim al-Keelani Dr. Abdulsalam Abbadi

Dr. Abdulfatah Amr Dr. Abdulhalim Ar-Ramahi

Dr. Mostafa Az-Zarqa Dr. Mahmood al-Sartawi

Dr. Yasee Dradkeh

Dr. Abdulssalam al-AbbadiDr. Sa`eid Hijawi

Dr. Mahmood Al-Awattli ” Reservasi yang sama

HUKUM MENANDA TANGANI PERINTAH UNTUK TIDAK MENGGUNAKAN PERANGKAT NAFAS BUATAN [RESUSITASI] BAGI PASIEN

FATWA AL-LAJNAH AD-DAIMAH

[اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء]

menyatakan:

والتوقيع على DNR ومعناه: "لا تقم بعملية الإنعاش" Do Not Resuscitate" لا يجوز إلا في حالات معينة بَيَّنها أهل العلم، وهي كما يلي:

" أولا: إذا وصل المريض إلى المستشفى وهو متوفى فلا حاجة لاستعمال جهاز الإنعاش.

ثانيا: إذا كانت حالة المريض غير صالحة للإنعاش بتقرير ثلاثة من الأطباء المختصين الثقات - فلا حاجة أيضا لاستعمال جهاز الإنعاش.

ثالثا: إذا كان مرض المريض مستعصيا غير قابل للعلاج ، وأن الموت محقق بشهادة ثلاثة من الأطباء المختصين الثقات - فلا حاجة أيضا لاستعمال جهاز الإنعاش.

رابعا: إذا كان المريض في حالة عجز ، أو في حالة خمول ذهني مع مرض مزمن ، أو مرض السرطان في مرحلة متقدمة ، أو مرض القلب والرئتين المزمن ، مع تكرار توقف القلب والرئتين ، وقرر ثلاثة من الأطباء المختصين الثقات ذلك - فلا حاجة لاستعمال جهاز الإنعاش.

خامسا: إذا وجد لدى المريض دليل على الإصابة بتلف في الدماغ مستعص على العلاج بتقرير ثلاثة من الأطباء المختصين الثقات - فلا حاجة أيضا لاستعمال جهاز الإنعاش ، لعدم الفائدة في ذلك.

سادسا: إذا كان إنعاش القلب والرئتين غير مجد ، وغير ملائم لوضع معين حسب رأي ثلاثة من الأطباء المختصين الثقات – فلا حاجة لاستعمال آلات الإنعاش ، ولا يلتفت إلى رأي أولياء المريض في وضع آلات الإنعاش أو رفعها ، لكون ذلك ليس من اختصاصهم" انتهى.

الشيخ عبد العزيز بن عبد الله بن باز... الشيخ عبد الرزاق عفيفي.

"فتاوى اللجنة الدائمة" (25/80).

Menandatangani perintah “Jangan lakukan Resusitasi” (DNR) pada pasien, tidak diperbolehkan kecuali dalam kasus-kasus tertentu yang telah ditentukan oleh para ulama. Mereka adalah sebagai berikut: 

  1. Jika orang yang sakit telah dibawa ke rumah sakit dan meninggal, dalam hal ini tidak perlu menggunakan peralatan resusitasi. 
  1. Jika kondisi pasien tidak fit untuk dilakukan resusitasi menurut pendapat tiga dokter spesialis terpercaya, dalam hal ini juga tidak perlu menggunakan alat resusitasi. 
  1. Jika penyakit pasien kronis dan tidak dapat diobati, dan kematian tidak dapat dihindari menurut kesaksian tiga dokter spesialis yang dapat dipercaya, maka tidak perlu menggunakan peralatan resusitasi. 
  1. Jika pasien tidak berdaya, atau dalam keadaan vegetatif yang terus-menerus dan sakit kronis, atau dalam kasus kanker stadium lanjut, atau penyakit jantung dan paru-paru kronis, dengan penghentian berulang pada jantung dan paru-paru, dan tiga dokter spesialis tepercaya telah menentukan itu, maka tidak perlu menggunakan peralatan resusitasi.
  1. Jika ada indikasi pada pasien cedera otak yang tidak bisa ditangani menurut laporan tiga dokter spesialis terpercaya maka tidak perlu menggunakan alat resusitasi, karena tidak ada gunanya melakukannya.
  1. Jika menghidupkan jantung dan paru-paru tidak bermanfaat dan tidak tepat karena keadaan tertentu menurut pendapat tiga dokter spesialis terpercaya, maka tidak perlu menggunakan alat resusitasi, dan tidak perlu memperhatikan pendapat pasien. kerabat terdekat mengenai penggunaan peralatan resusitasi atau lainnya, karena ini bukan spesialisasi mereka. Akhiri kutipan. 

Komite Tetap Riset Akademik dan Mengeluarkan Fatwa 

Syekh 'Abd al-'Aziz ibn 'Abd-Allaah ibn Baaz, Syekh 'Abd al-Razzaaq 'Afeefi. 

Fataawa al-Lajnah al-Daa'imah (25/80). 

Posting Komentar

0 Komentar