Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM SALING BERMAAF-MAAFAN PADA HARI RAYA IDUL FITRI. BENARKAH ITU HARAM?

HUKUM SALING BERMAAF-MAAFAN PADA HARI RAYA IDUL FITRI. BENARKAH ITU HARAM?

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM


------

DAFTAR ISI :

  • HUKUM ASAL SALING MAAF-MEMAAFKAN
  • HUKUM SALING MAAF MEMAAFKAN DI HARI RAYA IDUL FITRI
  • KENAPA MESTI DI HARI RAYA IDUL FITRI?
  • FATWA HARAM DAN BANTAHANNYA
  • ULAMA YANG MENGHARAMKAN BERMAAF-MAAFAN PADA HARI RAYA:
  • BANTAHAN TERHADAP FATWA HARAM BERMAAF-MAAFAN:

------

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

*****

HUKUM ASAL SALING MAAF-MEMAAFKAN

Hukum asal saling bermaaf maafan dan saling minta dihalalkan dari segala kesalahan dan kekhilafan itu sangat di anjurkan. Dasarnya adalah sbb:

Pertama: Allâh SWT berfirman:

خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِين

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. [QS. al-A’râf: 199]

Kedua: Allâh SWT berfirman:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ

Maka disebabkan rahmat dari Allâh-lah, kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. [QS. Ali ‘Imrân: 159]

Ketiga: Allâh SWT berfirman:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

(Orang-orang yang bertakwa adalah) mereka yang menafkahkan (hartanya) baik di waktu lapang maupun sempit dan orang-orang yang menahan amarahnya serta (mudah) memaafkan (kesalahan) orang lain. Allâh menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. [QS. Ali ‘Imrân:134]

Keempat: Allah SWT berfirman:

وَلَا يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [QS. An-Nuur: 22]

Kelima: Dari Jabir bin Abdullah bahwa Rasulullah  bersabda:

أَفْضَلُ الإيْمَانِ الصَّبْرُ والسَّمَاحَةُ

"Iman yang paling utama adalah sabar dan pemaaf [atau lapang dada]".

[HR. Al-Tabarani di ((Makaarim al-Akhlaak )) no. (31), Ibnu Abi Shaybah dalam “Al-Musannaf” (11/33), dan Ibnu 'Adiy dalam “Al-Kamil” (7/155). Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jaami' no. 2795].

Dan diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari dalam “Al-Tarikh Al-Kabiir” (6/530), dan Al-Hakim dalam “Al-Mustadrak” (3/626) dari hadits Umair bin Qatadah Al-Laitsi

Keenam: Dari Abdullah bin Abbaas bahwa Rosulullah  bersabda:

“اسْمَحْ يُسْمَحْ لكَ”.

"Maafkanlah, niscaya kamu akan dimaafkan (oleh Allah)".

[HR. Ahmad (2233), Al-Harits dalam ((Musnad)) (1081), dan Ath-Thabarani dalam ((Al-Mu’jam Al-Awsath)) (5112). Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jaami' no. 982.

Ketujuh: Dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah   bersabda:

مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلِمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا؛ فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ، فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ

“Barang siapa melakukan kezhaliman kepada saudaranya, hendaklah meminta dihalalkan (dimaafkan) darinya; karena di sana (akhirat) tidak ada lagi perhitungan dinar dan dirham, sebelum kebaikannya diberikan kepada saudaranya, dan jika ia tidak punya kebaikan lagi, maka keburukan saudaranya itu akan diambil dan diberikan kepadanya”. (HR. al-Bukhari nomor 6169)

Kedelepan: Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- dari Rasulullah  bersabda:

 تُعْرَضُ أَعْمَالُ النَّاسِ فِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّتَيْنِ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَيَوْمَ الْخَمِيسِ فَيُغْفَرُ لِكُلِّ عَبْدٍ مُؤْمِنٍ إِلا عَبْدًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ فَيُقَالُ: اتْرُكُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَفِيئَا

“Amalan manusia itu dilaporkan setiap pekan dua kali, pada hari Senin dan hari Kamis, maka akan diampuni setiap hamba yang beriman kecuali seorang hamba yang masih ada permusuhan dengan saudaranya, maka dikatakan: “Tinggalkanlah keduanya sampai berdamai”. [HR. Muslim no. 2565].

Kesembilan: Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu berkata bahwa Rasulullah  pernah bersabda:

“مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ".

“Sedekah tidaklah mengurangi harta. Tidaklah Allah menambahkan kepada seorang hamba sifat pemaaf melainkan akan semakin memuliakan dirinya. Dan juga bukanlah seseorang yang memiliki sifat tawadhu' (rendah hati) karena Allah melainkan Allah yang akan meninggikannya.” [HR. Muslim no. 2588]

Hadits ini mengandung tiga perkara, keutamaan bersedekah, keutamaan memaafkan, keutamaan tawadhu '.

Kesepuluh: Hasan Bin Ali radhiyallaahu 'anhumaa berkata:

"لَوْ أَنَّ رَجُلًا شَتَمَنِي فِي أُذُنِي هَذِهِ، وَاعْتَذَرَ فِي أُذُنِي الْأُخْرَى، لَقَبِلْتُ عُذْرَهُ".

"Jika seorang pria menghina saya di telinga saya yang ini, dan meminta maaf di telinga saya yang lain, maka saya akan menerima permintaan maafnya." [Baca: al-Aaadab asy-Syar'iyyah karya Ibnu Muflih 1/302].

*****

HUKUM SALING MAAF MEMAAFKAN DI HARI RAYA IDUL FITRI

Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid

Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid dalam ISLAMQA no. Fatwa (272580) berkata tentang Hukum Tradisi Pesan Ucapan Permintaan Maaf Sebelum Ramadhan:

"وَالْحَاصِلُ: أَنَّ مُنَاسَبَةَ طَلَبِ الْمَسَامَحَةِ وَالْخُرُوجِ مِنَ الظُّلْمَةِ فِي هَذَا الزَّمَانِ الْفَاضِلِ: ظَاهِرَةٌ. وَلَا يَظْهَرُ لَنَا حَرَجٌ، إِنْ شَاءَ اللَّهُ، فِي التَّنْوِيهِ بِهَا فِي هَذِهِ الْمَوَاسِمِ، أَوْ التَّذْكِيرِ بِهَا وَالْحَثُّ عَلَيْهَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ".

Kesimpulannya : Bahwa munasabah saling bermaaf maafan dan meninggalkan prilaku kedzoliman pada kesempatan yang mulia ini adalah hal yang nampak kebaikannya.

Bagi kami hal ini tidak nampak sebagai sebuah kesalahan –insya Allah- dan juga bermanfaat untuk mengumumkan datangnya musim kebaikan ini, atau mengingatkannya dan menyerukannya. Wallahu A’lam

Syeikh Ibnu Utsaimin –rahimahullah- berkata:

"لا شَكَّ أَنَّ النِّزَاعَ وَالْخُصُومَةَ بَيْنَ النَّاسِ سَبَبٌ لِمَنْعِ الْخَيْرِ، وَدَلِيلُ ذَلِكَ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ ذَاتَ لَيْلَةٍ إِلَى أَصْحَابِهِ فِي رَمَضَانَ لِيُخْبِرَهُمْ بِلَيْلَةِ الْقَدْرِ فَتَلاحَى رَجُلَانِ مِنَ الصَّحَابَةِ -أَيْ: تَخَاصُمَا- فَرُفِعَتْ، أَيْ: رَفَعَ الْعِلْمَ بِهَا فِي تِلْكَ السَّنَةِ... وَلِذَلِكَ يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ أَنْ يُحَاوِلَ أَلَّا يَكُونَ فِي قَلْبِهِ غِلٌّ عَلَى أَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ".

“Tidak diragukan lagi bahwa perselisihan dan permusuhan di antara manusia menjadi penyebab terhalangnya kebaikan, dalilnya adalah:

خَرَجَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ لِيُخْبِرَنَا بلَيْلَةِ القَدْرِ فَتَلَاحَى رَجُلَانِ مِنَ المُسْلِمِينَ فَقَالَ: خَرَجْتُ لِأُخْبِرَكُمْ بلَيْلَةِ القَدْرِ، فَتَلَاحَى فُلَانٌ وفُلَانٌ، فَرُفِعَتْ”.

"Bahwa Nabi  telah keluar pada suatu malam kepada para sahabatnya pada saat bulan Ramadhan untuk memberitahukan kepada mereka tentang lailatul qadar, lalu ada dua orang sahabat yang saling bermusuhan, sehingga kepastian waktunya diangkat (menjadi tidak diketahui)".

Oleh karenanya sebaiknya manusia berusaha agar di dalam hatinya tidak tersimpan ghil (kedengkian) kepada seseorang dari kaum muslimin”. (Al-Liqo’ Asy-Syahri, ke-36)

Syeikh al-Munajjid menambahinya dengan mengatakan:

"فَالَّذِي يَبُثُّ رُوحَ التَّسَامُحِ ، وَيَطْلُبُ الْعَفْوَ وَرَدَّ الظُّلْمَ ، وَيَسْعَى فِي إِبْرَاءِ ذِمَّتِهِ مِنَ الْحُقُوقِ وَيَحُثُّ النَّاسَ عَلَى ذَلِكَ ، فِي رَمَضَانَ أَوْ غَيْرِهِ: لَا شَكَّ أَنَّهُ عَلَى بِرٍّ وَخَيْرٍ".

“Maka yang menyebarkan semangat perdamaian, meminta maaf, mengembalikan hak yang terdzolimi, berusaha membebaskan dirinya dari hak (dengan menunaikannya), dan mengajak manusia untuk melakukan itu, pada bulan Ramadhan atau pada bulan lainnya, maka tidak diragukan lagi bahwa hal itu adalah kebaikan dan amal kebajikan”. [ISLAMQA no. Fatwa (272580)].

=======

KENAPA MESTI DI HARI RAYA IDUL FITRI?

Idul Fitri dianggap sebagai kesempatan terbaik dan kesempatan terbesar untuk memaafkan dan bermaaf-maafan, dan itu adalah nikmat Robbaani yang diberikan oleh Sang Pencipta, Yang Maha Kuasa, kepada para hamba-Nya.

Dari Abdullah bin Abbaas bahwa Rosulullah  bersabda:

“اسْمَحْ يُسْمَحْ لكَ”.

"Maafkanlah, niscaya kamu akan dimaafkan (oleh Allah)".

[HR. Ahmad (2233), Al-Harits dalam ((Musnad)) (1081), dan Ath-Thabarani dalam ((Al-Mu’jam Al-Awsath)) (5112). Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jaami' no. 982.

Syeikh DR. Basaaam Asy-Syathiy berkata:

"إنَّ الْعِيدَ فُرْصَةٌ يَجِبُ اغْتِنَامُهَا عَلَى الْوَجْهِ الْأَكْمَلِ فِي التَّسَامُحِ مَعَ النَّفْسِ وَمَعَ الْآخَرِينَ وَالْأَقَارِبِ خَاصَّةً وَالنَّاسِ عَامَّةً".

“Sesungguhnya hari raya Idul Fitri adalah kesempatan yang harus dimanfaatkan secara maksimal dalam hal saling memaafkan terhadap diri sendiri, orang lain, kerabat pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya.”

Syeikh DR. Umar asy-Syiyaji berkata:

"مَدْرَسَةُ الْعَفْوِ وَالتَّسَامُحِ الَّذِي لَا يَنْتَهِي بِانْقِضَاءِ أَيَّامِهِ وَلَيَالِيهِ".

"[Hari Raya Iedul Fitri] adalah Madrasah pengampunan dan saling memaafkan yang tidak berakhir dengan berlalunya siang dan malam."

Sudah menjadi karakter pada diri manusia rasa ingin bersaing, berbangga diri, fanatik dan ingin merasa paling hebat dan sukses, bahkan kadang merasa dirinya paling benar. Dampak dari semua itu kadang menimbulkan perselisihan, api kebencian dan dendam berkobar, demi kepentingan pribadi atau golongan atau disebabkan karena adanya kesalahan yang disengaja atau tidak disengaja, dan itu merupakan masalah-masalah yang sering terjadi, meskipun sebab-sebabnya berbeda, akan tetapi semuanya itu bersifat duniawi., dan pemutusan hubungan serta saling menjauh adalah cara dan perilaku yang sering terjadi pada kebanyakan manusia.

Di tambah lagi kehidupan selalu menyibukkan mereka dengan tanggung jawab dan urusan dunia yang membawa mereka pada kelalaian dan kesempitan waktu, sehingga membuat mereka lupa atau menunda untuk bisa berkumpul, bersilaturrahmi dan saling meminta maaf.

Jika saja mereka dalam keadaan saling dekat, maka tentunya salah satu dari mereka akan menunggu yang lain untuk menjadi penggagas rekonsiliasi dan pemulihan hubungan untuk mendobrak penghalang ketidaksepakatan, maka hari raya adalah pengetuk pintu itu semua, sehingga bisa menjadi kesempatan untuk mengembalikan arus air pada aliran yang normal antara keluarga, kerabat dan sahabat.

Dinamakan Ied Sa'iid [hari raya penuh bahagia], dan bahagia itu bila ada ruang untuk saling memaafkan, perdamaian, pengampunan dan rekonsiliasi di dalam jiwa.

Dan ketika hati terbebas dari rasa kedengkian, kebencian, dendam dan kesal. Dan mata bebas dari rasa hasud. Dan jiwa-jiwa mendekatkan diri kepada Allah SWT pada bulan Ramadhan dikarenakan di dalamnya terdapat penuh amal ibadah, doa dan pembacaan Al-Qur'an al-Karim. Lalu setelah semua itu, jiwa-jiwa pun berubah menjadi lebih positif dan lebih siap untuk saling memaafkan dan mengikhlaskan, dan kami tidak ingin menjadi idealis, akan tetapi kenyataannya adalah apa yang sedang kami bicarakan, terkadang seseorang tidak mampu mengambil keputusan untuk memaafkan dan mengampuni dengan mudah, dan sebagian menganggapnya sebagai masalah yang amat sangat sulit, dan pada saat yang sama itu bukan saja menimpa pada para nabi dan orang-orang saleh, bahkan pada sebagian orang biasa, tapi tidak pada sebagian yang lain.

Sebagai penutup, saya kutip sebuah ungkapan:

"إنَّ مِنْ أَجْمَلِ مَا اكْتَسَى بِهِ الْمُتَجَمِّلُ فِي يَوْمِ عِيدِهِ هُوَ صَفَاءُ الْقَلْبِ وَنَقَاؤُهُ بِالْعَفْوِ وَالتَّسَامُحِ وَنَبْذُ الْعَدَاوَةِ وَالشَّحْنَاءِ، رَاجِينَ بِذَلِكَ تَمَامَ عَفْوِ اللَّهِ تَعَالَى وَصَفْحِهِ فِي يَوْمٍ يَرْجِعُ فِيهِ أَقْوَامٌ بِعَفْوِهِ وَرَحْمَتِهِ وَمَغْفِرَتِهِ كَمَا وَلَدَتْهُمْ أُمَّهَاتُهُمْ".

“Di antara hal terindah yang dikenakan oleh orang yang memperindah suasana hari rayanya adalah kebersihan hati dan kejernihannya dengan pengampunan dan saling memaafkan serta membuang segala bentuk permusuhan dan dendam, dengan harapan agar bisa mendapatkan kesempurnaan rahmat Allah SWT dam ampunan-Nya di hari para manusia kembali dengan mendapatkan ampunan, rahmat dan maghfiroh-Nya seakan-akan mereka baru dilahirkan oleh ibu mereka.”

Minal 'Aidin Wal Faa'izin. Kullu 'Aamin wa Antum Bi Khoirin

*****

WAJIB BERSYUKUR HIDUP DITENGAH MAYORITAS KAUM MUSLIMIN

Allah SWT berfirman:

﴿ وَاذْكُرُوْٓا اِذْ اَنْتُمْ قَلِيْلٌ مُّسْتَضْعَفُوْنَ فِى الْاَرْضِ تَخَافُوْنَ اَنْ يَّتَخَطَّفَكُمُ النَّاسُ فَاٰوٰىكُمْ وَاَيَّدَكُمْ بِنَصْرِهٖ وَرَزَقَكُمْ مِّنَ الطَّيِّبٰتِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ﴾

“Dan ingatlah ketika kalian (para Muhajirin) masih (berjumlah) sedikit, lagi tertindas di bumi (Mekah), dan kalian takut orang-orang (Mekah) akan menculik kalian, maka Dia memberi kalian tempat menetap (Madinah) dan dijadikan-Nya kalian kuat dengan pertolongan-Nya dan diberi-Nya kalian rezeki yang baik agar kalian bersyukur". (QS. Al-Anfal: 26)

*****

FATWA HARAM DAN BANTAHANNYA

SEBAGAI BAHAN PERBANDINGAN:

====

ULAMA YANG MENGHARAMKAN BERMAAF-MAAFAN PADA HARI RAYA:

Apa yang penulis katakan di atas, berbeda dengan Fatwa sebagian para ulama dan para Ustaadz yang mengharamkannya.

Di antara nya adalah : Fatwa al-Ustadz Abdullah Taslim MA -hafidzohullah, alumni UIM. Dalam artikelnya yang berjudul:

“MAAF-MEMAAFKAN DALAM RANGKA HARI RAYA, DISYARIATKAN?"

Beliau dalam artikelnya ini mengatakan:

Maaf-Memaafkan di Hari Raya? Amal shaleh yang agung ini [Maaf-Memaafkan], bisa berubah menjadi perbuatan haram dan tercela jika dilakukan dengan cara-cara yang tidak ada tuntunannya dalam al-Qur’ân dan sunnah Rasûlullâh .

Misalnya, mengkhususkan perbuatan ini pada waktu dan sebab tertentu yang tidak terdapat dalil dalam syariat tentang pengkhususan tersebut. Seperti mengkhususkannya pada waktu dan dalam rangka hari raya Idul Fitri atau Idhul Adha.

Ini termasuk perbuatan bid’ah yang jelas-jelas telah diperingatkan keburukannya oleh Rasûlullâh  dalam sabda beliau :

“Sesungguhnya semua perkara yang diada-adakan adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat, dan semua yang sesat (tempatnya) dalam neraka”.

Kalau ada yang bertanya:

Mengapa ini dianggap sebagai perbuatan bid’ah yang sesat, padahal agama Islam jelas-jelas sangat menganjurkan dan memuji sifat mudah memaafkan kesalahan orang lain, sebagaimana telah disebutkan dalam keterangan di atas?

Jawabnya:

Benar, Islam sangat menganjurkan hal tersebut, dengan syarat jika tidak dikhususkan dengan waktu atau sebab tertentu, tanpa dalil (argumentasi) yang menunjukkan kekhususan tersebut. Karena, jika dikhususkan dengan misalnya waktu tertentu tanpa dalil khusus, maka berubah menjadi perbuatan bid’ah yang sangat tercela dalam Islam".

Lalu Ustadz Abdullah Taslim berdalil dengan: hadits Abu Hurairah bahwa Rasûlullâh  bersabda:

لاَ تَخْتَصُّوا لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ بِقِيَامٍ مِنْ بَيْنِ اللَّيَالِى وَلاَ تَخُصُّوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِصِيَامٍ مِنْ بَيْنِ الأَيَّامِ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ فِى صَوْمٍ يَصُومُهُ أَحَدُكُمْ

Janganlah kalian mengkhusukan malam Jum’at di antara malam-malam lainnya dengan (melaksanakan) shalat malam, dan janganlah mengkhususkan hari Jum’at di antara hari-hari lainnya dengan berpuasa, kecuali puasa yang biasa dilakukan oleh salah seorang darimu". HR. Muslim no. 1144]

Berdasarkan hadits ini, Ustadz Abdullah Taslim juga mengharamkan halal bihalal [kumpul-kumpul, silaturrahmi dan makan makan bersama] berkenaan dengan hari raya Idul Fitri. [Kutipan Selesai]

Termasuk orang yang melarang bermaaf-maafan di hari raya Idul Fitri adalah seorang ulama besar al-Allaamah Subhan Ba Waziir . Berikut ini ceramahnya yang di share lewat Youtube:

https://www.youtube.com/shorts/GSwSVrpLfGg?feature=share 

*****

BANTAHAN TERHADAP FATWA HARAM BERMAAF-MAAFAN:

Penulis katakan: Larangan dalam hadits Abu Hurairah di atas yang dijadikan dalil haram oleh al-Allaamah Abdullah Taslim MA, itu adalah larangan pengkhususan ibadah shalat dan puasa pada hari tertentu atau waktu tertentu. Maka untuk yang ini sangat jelas dilarang karena shalat dan puasa itu masuk dalam katagori ibadah murni yang maknanya tidak logis [عِبَادَة مَحْضَة غَيْر مَعْقُول المَعْنَى], yang mana jenis ibadah ini adalah hak prerogratif Allah, siapapun tidak boleh mengada-adakannya, termasuk Nabi ﷺ.

Adapun bermaaf-maafan, bersalam-salaman, saling berkunjung, bersilaturrahmi dan makan-makan bersama pada hari raya ; maka ini semua masuk dalam katagori ibadah yang tidak murni yang makna dan tujuannya sangat jelas dan logis [عِبَادَة غُيْرُ مَحْضَة مَعْقُولُ المَعْنَى].  

Bermaaf-maafan, bersalam-salaman .... itu semua lebih dekat kepada muamalah, adat kebiasaan, wasilah silaturrahmi atau sarana untuk membangun ukhuwwah, persatuan dan kasih sayang antar sesama dengan memanfaatkan moment yang sangat tepat, yaitu Hari Raya Iedul Fitri.

CONTOH LAIN : tentang (Ibadah murni yang tidak logis) dan (Ibadah tidak murni yang logis):

Misalnya tentang tata cara bersuci :

Pertama : bersuci dari hadits kecil. Ini masuk dalam katagori ibadah murni yang maknanya tidak logis [عِبَادَة مَحْضَة غَيْر مَعْقُولة المَعْنَى]. Cara mensucikannya dengan cara berwudhu . Adapun Sisi ketidak logisannya adalah kenapa yang di basuh itu bukan bagian tubuh yang menjadi penyebab batalnya wudhu ? Seperti Qubul dan Dubur . Maka, ini masuk dalam katagori Ibadah murni yang tidak masuk logika.

Kedua : Bersuci dari kotoran Najis, seperti tinja . Ini masuk dalam katagori ibadah yang tidak murni yang makna dan tujuannya sangat jelas dan logis [عِبَادَة غُيْرُ مَحْضَة مَعْقُولُة المَعْنَى]. Cara mensucikannya tidak ada rukun-rukun tertentu seperti berwudhu. Tujuan utamanya adalah menghilangkan kotoran Tinja tersebut . Adapun sisi kelogisannya adalah yang disucikan dan dibersihkannya itu adalah titik yang terkena najis.    

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :

“وَالْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ لَا يُحْظَرُ مِنْهَا إلَّا مَا حَظَرَهُ اللَّهُ”.

“Hukum asal adat kebiasaan adalah tidak dilarang kecuali yang dilarang oleh Allah.” (Majmu’ah Al-Fatawa 4/196)

Untuk memperkuat apa yang penulis katakan, penulis akan sebutkan beberapa hadist:

PERTAMA:

Hadits Rosulullah  membiarkan anak-anak perempuan bernyanyi di rumahnya di hari raya dan budak hitam bermain pedang di Masjid.

Ke1: Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: 

دَخَلَ عَلَىَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ تُغَنِّيَانِ بِغِنَاءِ بُعَاثَ، فَاضْطَجَعَ عَلَى الْفِرَاشِ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ، وَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ فَانْتَهَرَنِي وَقَالَ مِزْمَارَةُ الشَّيْطَانِ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَأَقْبَلَ عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ ـ عَلَيْهِ السَّلاَمُ ـ فَقَالَ ‏"‏ دَعْهُمَا ‏"‏ فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُمَا فَخَرَجَتَا‏.‏ وَكَانَ يَوْمَ عِيدٍ يَلْعَبُ السُّودَانُ بِالدَّرَقِ وَالْحِرَابِ، فَإِمَّا سَأَلْتُ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم وَإِمَّا قَالَ ‏"‏ تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ ‏"‏‏.‏ فَقُلْتُ نَعَمْ‏.‏ فَأَقَامَنِي وَرَاءَهُ خَدِّي عَلَى خَدِّهِ، وَهُوَ يَقُولُ ‏"‏ دُونَكُمْ يَا بَنِي أَرْفِدَةَ ‏"‏‏.‏ حَتَّى إِذَا مَلِلْتُ قَالَ ‏"‏ حَسْبُكِ ‏"‏‏.‏ قُلْتُ نَعَمْ‏.‏ قَالَ ‏"‏ فَاذْهَبِي ‏"‏‏.

“( Pada Hari Raya ) Rasulullah  masuk menemuiku, ketika itu di sisiku ada dua budak perempuan yang sedang bernyanyi, menyanyikan lagu-lagu (tentang perang) Bu'ats (Yakni peperangan terakhir antara dua suku Ansar, Khazraj dan Aus, sebelum Islam Pen.).

Lalu beliau  berbaring di atas Tikar sambil memalingkan wajahnya ke arah lain. Kemudian masuklah Abu Bakar sambil membentakku, dengan mengatakan: “Seruling-seruling syeitan (kalian perdengarkan) di hadapan Nabi !"

Rasulullah  lantas menghadapkan pandangannya kepada Abu Bakar seraya berkata: “Biarkanlah keduanya ( bernyanyi )."

Dan ketika beliau sudah tidak menghiraukan lagi, maka aku segera memberi isyarat kepada kedua budak tersebut agar lekas pergi, lalu keduanya pun pergi.

Saat itu adalah Hari Raya ('Ied ). Dan ada budak-budak hitam yang mempertontonkan kebolehannya dalam mempermainkan tombak dan perisai.

Maka terkadang aku sendiri yang meminta kepada Nabi  dan terkadang beliau  yang menawarkan kepadaku: “Apakah kamu mau melihatnya ( menonton nya )?"

Maka akupun jawab, "Ya, mau."

Lalu beliau menempatkan aku berdiri di belakangnya, sementara pipiku bertemu dengan pipinya sambil beliau berkata: “Teruskan, hai Bani Arfadah!"

Demikianlah seterusnya sampai aku merasa bosan, lalu beliau berkata: “Apakah kamu merasa sudah cukup?" Aku jawab, "Ya, sudah." Beliau lalu berkata: “Kalau begitu pergilah." ( HR. Bukhori no. 949 & 950 )

Al-Haafidz Ibnu Hajar berkata dalam Al-Fathul Baari 2/442:

"قَوْلُهُ : (وَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ): وَفِي رِوَايَةِ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ : (دَخَلَ عَلَيَّ أَبُو بَكْرٍ) وَكَأَنَّهُ جَاءَ زَائِرًا لَهَا بَعْدَ أَنْ دَخَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْتَهُ". انتهى.

Perkataan: “Dan Abu Bakar datang “ lafadz dalam riwayat Hisham bin Urwah: “Abu Bakar masuk menemuiku " seolah-olah dia datang sebagai PENGUNJUNG bersilaturrahmi kepada Aisyah setelah Nabi  datang dan masuk ke rumah ‘Aisyah. ( selesai perkataan Ibnu Hajar ).

Saya katakan: Hadits tsb mengisyaratkan bolehnya berkumpul dan bersilaturrahmi dengan keluarga dan lainnya. Bahkan bolehnya nonton hiburan bareng-bareng.

Ke 2: Hadits Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata:

وَاللَّهِ لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُومُ عَلَى بَابِ حُجْرَتِي وَالْحَبَشَةُ يَلْعَبُونَ بِحِرَابِهِمْ فِي مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتُرُنِي بِرِدَائِهِ لِكَيْ أَنْظُرَ إِلَى لَعِبِهِمْ ثُمَّ يَقُومُ مِنْ أَجْلِي حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّتِي أَنْصَرِفُ فَاقْدِرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ حَرِيصَةً عَلَى اللَّهْوِ

"Saya melihat Rasulullah  berdiri di pintu kamarku, sementara orang-orang Habasyah sedang bermain tombak di masjid Rasulullah , maka beliau menutupiku dengan kainnya agar aku dapat melihat permainan mereka. Kemudian beliau berdiri (agar aku lebih leluasa melihat), sampai saya sendiri yang berhenti (setelah bosan) melihatnya. Karena itu, berilah keleluasaan kepada anak perempuan yang masih kecil untuk bermain!." [HR. Muslim no. 1481].

KEDUA:

Dulu ada sahabat yang mengkhususkan bacaan surat tertentu dalam shalat tanpa tanya dulu kepada Nabi . Ketika berita itu sampai kepada nya, maka beliau  mentaqrirnya. Yaitu di antaranya adalah sbb:

Ke1: Hadits Aisyah radhiyallahu 'anhaa:

أنَّ النبيَّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بَعَثَ رَجُلًا علَى سَرِيَّةٍ، وكانَ يَقْرَأُ لأصْحَابِهِ في صَلَاتِهِمْ فَيَخْتِمُ بقُلْ هو اللَّهُ أحَدٌ، فَلَمَّا رَجَعُوا ذَكَرُوا ذلكَ للنبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، فَقالَ: سَلُوهُ لأيِّ شيءٍ يَصْنَعُ ذلكَ؟، فَسَأَلُوهُ، فَقالَ: لأنَّهَا صِفَةُ الرَّحْمَنِ، وأَنَا أُحِبُّ أنْ أقْرَأَ بهَا، فَقالَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: أخْبِرُوهُ أنَّ اللَّهَ يُحِبُّهُ.

"Bahwa Rasulullah  mengutus seorang lelaki dalam suatu sariyyah (pasukan khusus yang ditugaskan untuk operasi tertentu). Laki-laki tersebut ketika menjadi imam shalat bagi para sahabatnya selalu mengakhiri bacaan suratnya dengan "Qul Huwallahu Ahad."

Ketika mereka pulang, disampaikan berita tersebut kepada Rasulullah , maka beliau bersabda: “Tanyakanlah kepadanya kenapa ia melakukan hal itu?"

Lalu merekapun menanyakan kepadanya. Ia menjawab, "Karena didalamnya terdapat sifat Ar Rahman, dan aku senang untuk selalu membacanya."

Mendengar itu Rasulullah  bersabda: “Beritahukanlah kepadanya bahwa Allah Ta'ala juga mencintainya." (HR. Bukhori no. 7375 dan Muslim no. 813).

Ke2: Hadits Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu, dia berkata:

 كَانَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ، فَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ لَهُمْ فِي الصَّلَاةِ فَقَرَأَ بِهَا افْتَتَحَ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا، ثُمَّ يَقْرَأُ بِسُورَةٍ أُخْرَى مَعَهَا. وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ. فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا: إِنَّكَ تَقْرَأُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لَا تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِسُورَةٍ أُخْرَى، فَإِمَّا أَنْ تَقْرَأَ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِسُورَةٍ أُخْرَى. قَالَ: مَا أَنَا بِتَارِكِهَا، إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِهَا فَعَلْتُ وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ. وَكَانُوا يَرَوْنَهُ أَفْضَلَهُمْ وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ. فَلَمَّا أَتَاهُمْ النَّبِيُّ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ، فَقَالَ: يَا فُلَانُ، مَا يَمْنَعُكَ مِمَّا يَأْمُرُ بِهِ أَصْحَابُكَ، وَمَا يَحْمِلُكَ أَنْ تَقْرَأَ هَذِهِ السُّورَةَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ ؟ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّهَا.فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ: إِنَّ حُبَّهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ

Seorang sahabat dari kalangan Ansor menjadi imam sholat di masjid Quba, Setiap rakaat dia membaca Qul huwa Allah. 

Pada raka’at pertama dia membacanya setelah al-Fatihah, pada reka’at kedua dia akan membaca dua surat setelah al-Fatihah, satu di antaranya adalah Qul huwa Allah. 

Setelah kejadian ini terus berulang, para sahabat (jamaahnya) mempertanyakannya dan berkata: Kami melihat kamu selalu membaca surah ini, sementara kami berpendapat bahwa hal tersebut tidak diperbolehkan sampai kamu membaca surah yang lain, baik kamu membaca kedua surah itu sekaligus atau kamu meninggalkan surah itu (al-Ikhlas) untuk digantikan dengan surah yang lain. 

Sahabat ini menjawab: Saya tidak akan meninggalkannya. Jika kalian senang kalau saya yang menjadi imam, akan saya lanjutkan. Namun jika kalian tidak menyenanginya, saya tidak akan menjadi imam shalat kalian lagi. 

Kenyataannya, mereka memandangnya sebagai orang yang paling afdal di antara mereka, dan mereka tidak senang kalau diimami oleh orang lain. Ahirnya, mereka menemui Rasulullah  dan menceritakan hal ini. 

Rasulullah  pun menanyakan sahabat itu: Hai Pulan, apa yang menyebabkan kamu enggan untuk melakukan saran sahabat-sahabat kamu, dan apa yang membawa kamu untuk selalu membaca surah ini (al-Ikhlas) di setiap raka’at? 

Dia menjawab: Wahai Rasulullah, saya mencintainya.

Rasulullah  pun menjawab: “Sesungguhnya mencintainya itu akan membawa kamu ke syurga".

Hadis sahih, diriwayat al-Tirmizi (Hadis no. 2826), Ahmad (hadis no. 11982 dan 12054) dan al-Darimi (hadis no. 3300). al-Tirmizi berkata: Hadis ini Hasan Gharib Sahih.

KETIGA:

Hadits yang menunjukkan bahwa Nabi  membiarkan seorang sahabat baca doa dalam sholat, karya sendiri.

Dari Abu Shalih dari sebagian para sahabat Nabi , mereka berkata:

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِرَجُلٍ كَيْفَ تَقُولُ فِي الصَّلَاةِ قَالَ أَتَشَهَّدُ وَأَقُولُ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ النَّارِ أَمَا إِنِّي لَا أُحْسِنُ دَنْدَنَتَكَ وَلَا دَنْدَنَةَ مُعَاذٍ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَوْلَهَا نُدَنْدِنُ

Nabi  pernah bertanya kepada seorang laki-laki: “Bagaimana kamu berdo'a dalam shalat?"

Laki-laki tersebut menjawab; "Aku membaca tasyahhud dan mengucapkan;

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ النَّارِ

(Ya Allah, aku memohon kepada Engkau surga dan berlindung kepada Engkau dari api neraka).

Kami tidak bisa memperbagus senandung doa ( merangkai kata-kata yang bagus dalam berdo'a) seperti senandung Engkau dan senandung Mu’adz. Lalu Rosulullah  bersabda: "Seputar itulah kami bersenandung ( dalam berdo’a )". ( HR. Ahmad No. 15333 dan Abu Daud No. 672 dan di shahihkan oleh Syeikh al-Albaani ).

KEEMPAT:

Hadits yang menunjukkan bahwa Nabi  membiarkan seorang sahabat membaca bacaan dalam sholat, karya sendiri.

Hadits Rifa'ah bin Rafi' Az Zuraqi berkata:

“كُنَّا يَوْمًا نُصَلِّي وَرَاءَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ، قَالَ: سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ: رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، فَلَمَّا انْصَرَفَ، قَالَ: مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟ قَالَ: أَنَا، قَالَ: رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلَاثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ "

"Pada suatu hari kami shalat di belakang Nabi . Ketika mengangkat kepalanya dari rukuk beliau mengucapkan:

سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ

(Semoga Allah mendengar punjian orang yang memuji-Nya) '. Kemudian ada seorang laki-laki yang berada di belakang beliau membaca;

رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

(Wahai Tuhan kami, bagi-Mu segala pujian, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh berkah) '."

Selesai shalat beliau bertanya: “Siapa orang yang membaca kalimat tadi?"

Orang itu menjawab: “Saya."

Beliau bersabda: “Aku melihat lebih dari tiga puluh Malaikat berebut siapa di antara mereka yang lebih dahulu untuk menuliskan kalimat tersebut." ( HR. Bukhori no. 757 dan Muslim no. 617 )

KELIMA:

Hadits penetapan Nabi  terhadap amalan sahabat Bilal dalam menjaga wudhu-nya dan shalat dua rokaat setelah wudhu dan dua rokaat setelah adzan.

Dari Buraidah bin al-Hushaib al-Aslami meriwayatkan:

أَصْبَحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَدَعَا بِلَالًا فَقَالَ يَا بِلَالُ بِمَ سَبَقْتَنِي إِلَى الْجَنَّةِ مَا دَخَلْتُ الْجَنَّةَ قَطُّ إِلَّا سَمِعْتُ خَشْخَشَتَكَ أَمَامِي إِنِّي دَخَلْتُ الْبَارِحَةَ الْجَنَّةَ فَسَمِعْتُ خَشْخَشَتَكَ فَأَتَيْتُ عَلَى قَصْرٍ مِنْ ذَهَبٍ مُرْتَفِعٍ مُشْرِفٍ فَقُلْتُ لِمَنْ هَذَا الْقَصْرُ قَالُوا لِرَجُلٍ مِنْ الْعَرَبِ قُلْتُ أَنَا عَرَبِيٌّ لِمَنْ هَذَا الْقَصْرُ قَالُوا لِرَجُلٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ مِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ قُلْتُ فَأَنَا مُحَمَّدٌ لِمَنْ هَذَا الْقَصْرُ قَالُوا لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْلَا غَيْرَتُكَ يَا عُمَرُ لَدَخَلْتُ الْقَصْرَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كُنْتُ لِأَغَارَ عَلَيْكَ قَالَ وَقَالَ لِبِلَالٍ بِمَ سَبَقْتَنِي إِلَى الْجَنَّةِ قَالَ مَا أَحْدَثْتُ إِلَّا تَوَضَّأْتُ وَصَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِهَذَا

“Rasulullah  bangun di pagi hari dan beliau  memanggil Bilal dan berkata:

“Wahai Bilal! Dengan amalan apa engkau mendahuluiku ke Surga? Aku sama sekali tidak masuk Surga kecuali aku mendengar suara terompahmu di depanku. Sungguh tadi malam aku masuk ke dalam syurga, lalu aku mendengar suara terompahmu.

Lalu aku mendatangi istana Emas yang tinggi dan menjulang, dan aku bertanya: Untuk siapa ini?

Mereka menjawab: Untuk seorang dari umatmu.

Lalu aku berkata: “Aku lah Muhammad, untuk siapa Istana Ini?

Mereka menjawab: Untuk Umar Bin al-Khaththaab”.

Lalu Rosulullah  bersabda: “Jika bukan karena kecemburuanmu, Umar, aku akan memasuki istana itu”.

Dan Umar berkata: “Wahai Rasulullah, sungguh aku tidak akan cemburu pada mu”.

Bilal menjawab: “Wahai Rasulullah! saya tidak sekali-kali ditimpa hadats kecuali saya berwudhu dan shalat dua rokaat”.

Maka Rosulullah  bersabda: “Dengan ini”.

Dalam lafadz lain:

فقالَ بلالٌ: يا رسولَ اللَّهِ ، ما أذَّنتُ قطُّ إلَّا صلَّيتُ رَكْعتينِ ، وما أصابَني حدثٌ إلَّا توضَّأتُ عندَها ، ورأيتُ أنَّ للهِ عليَّ رَكْعتَينِ ، فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ بِهِما

Maka Bilal (RA) berkata: “Wahai Rasulullah! Saya tidak sekali-kali mengumandangkan adzan kecuali setelah itu saya sholat dua rokaat.

Dan saya tidak sekali-kali ditimpa hadats kecuali saya berwudhu di sisi-Nya dan saya melihat bahwa Allah memiliki hak dua rakaat atas diri saya".

Maka Nabi  bersabda: “Dengan keduanya!”-

(HR. At-Tirmizi no. 3689 dan Ahmad no. 21918, 23046 ).

Dishahihkan oleh Abdul Haq al-Isybiili dalam al-Ahkaam ash-Shugra no. 110, oleh Syeikh al-Albaani dlm Shahih Turmudzi no. 3689 dan al-Waadi’i dlam “الصحيح المسند” no. 166.

Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semisal di atas.

Wallahu A'lam bish Showaab. Hanya Allah SWT yang lebih tahu, mana yang benar!

NOTE: Namun demikian Ustadz Abdullah Taslim MA hafidzahullah, beliau adalah orang yang benar-benar sangat berilmu. Beliau lulusan Universtas Islam Madinah, Jurusan Dakwah dan Ushuluddin, dengan meraih gelar S2, maka bisa dipastikan jika beliau jauh lebih berilmu dari pada saya penulis artikel ini. Dan Beliau ini terkenal dengan keberhati-hatian dalam berijtihad.


 

 

Posting Komentar

0 Komentar