Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

BENARKAH IMAM AN-NAWAWI DAN AL-HAFIDZ IBNU HAJAR ADALAH AHLI BIDAH?

BENARKAH AL IMAM AN NAWAWI DAN AL HAFIDZ IBNU HAJAR ADALAH AHLI BIDAH?

Di susun oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM


بسم الله الرحمن الرحيم

PENDAHULUAN

Ada sebagian dari para ulama kontemporer di Madinah al- Munawwarah, yang menyatakan:

“Bahwa Imam Nawawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar adalah pelaku bid’ah, ia menyebutkan beberapa dalil dari “Fathul Baari” untuk menguatkan pendapatnya tersebut.

Ia juga memberikan contoh dari pendapatnya tersebut dari syarahnya Imam Ibnu Hajar, bahwa maksud dari “Wajhullah” adalah Rahmat-Nya".

BENARKAH ?:

Ahlus sunnah pendapatnya senantiasa objektif dalam menghukumi seseorang. Tidak mengangkat seseorang di atas kapasitasnya dan tidak pula mengurangi apa yang menjadi miliknya.

Dan di antara bentuk berimbang dalam menjelaskan tentang seseorang adalah menjelaskan pula beberapa kesalahan para ulama, dan orang yang menta’wil ilmunya, dan tetap mendoakan agar mereka mendapatkan rahmat Allah.

Termasuk juga di antara bentuk informasi berimbang adalah mengajak untuk berhati-hati akan kesalahannya, sehingga seseorang tidak terkesima dengan kedudukannya, dan mungkin mengikuti kesalahannya.

Ahlus sunnah tidak terburu-buru menghukumi seseorang yang menyelisihi sunnah dengan sengaja, yaitu; sebagai pelaku bid’ah dan sesat.

Ada beberapa orang di masa kita ini yang menuduh kedua Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi, dan mengatakan bahwa mereka adalah ahli bid’ah dan sesat. Dan bahkan sebagian mereka sampai pada derajat bodoh dengan mengatakan wajib hukumnya untuk membakar kedua kitab “Fathul Baari” dan “Syarah Muslim”.

Namun juga bukan berarti mereka berdua tidak memiliki kesalahan dalam masalah agama, khususnya dalam masalah asma’ wa sifat (Nama-nama dan Sifat-sifat Allah). Ulama kita sudah memberikan catatan, menjelaskannya, pada saat yang sama mereka juga mengharapkan mereka berdua mendapatkan rahmat dari Allah, memuji keduanya sesuai dengan derajatnya, mendo’akan baik bagi mereka berdua, dan berpesan untuk mengambil manfaat dari kitab-kitab mereka berdua.

Inilah bentuk berimbang yang yang dikenal dalam ahlus sunnah wal jama’ah, sangat berbeda dengan sikap orang-orang yang membid’ahkan keduanya, menyesatkannya, bahkan berkata agar kitab-kitab mereka berdua dibakar.

Juga sangat berbeda dengan sikap orang-orang yang mengambil pendapat keduanya seperti halnya wahyu (yang tidak pernah salah), dan menjadikan apa yang menjadi keyakinan keduanya adalah kebenaran yang tidak diragukan lagi.

BERIKUT INI SIKAP ULAMA KITA

Terhadap al-Imam an-Nawawi dan al-Hafidz Ibnu Hajar –rahimahumallah-:

Penulis akan menyebutkan beberapa pendapat ulama kita, agar kita sebagai seorang muslim bisa bersikap bijak dan berimbang dalam menilai, mengetahui, menghukumi dengan adil kepada kedua imam tersebut. Diantaranya adalah sbb:

PERTAMA: FATWA LAJNAH DA'IMAH:

PERTANYAAN: Ulama Lajnah Daimah pernah ditanya:

ما هو موقفنا من العلماء الذين أوَّلوا في الصفات ، مثل ابن حجر ، والنووي ، وابن الجوزي ، وغيرهم ، هل نعتبرهم من أئمة أهل السنَّة والجماعة أم ماذا ؟ وهل نقول: إنهم أخطأوا في تأويلاتهم ، أم كانوا ضالين في ذلك ؟

Bagaimanakah sikap kita terhadap beberapa ulama yang mentakwil sifat-sifat Allah, seperti: Ibnu Hajar, Imam Nawawi, Ibnul Jauzi, dan lain sebagainya. Apakah kita tetap menganggap mereka termasuk para Imam ahlus sunnah wal jama’ah atau bagaimana?, apakah kita berkata: Mereka melakukan kesalahan dengan takwil mereka, atau mereka sesat ?

JAWABAN: Mereka menjawab:

" موقفنا من أبي بكر الباقلاني ، والبيهقي ، وأبي الفرج بن الجوزي ، وأبي زكريا النووي ، وابن حجر ، وأمثالهم ممن تأول بعض صفات الله تعالى ، أو فوَّضوا في أصل معناها: أنهم في نظرنا من كبار علماء المسلمين الذين نفع الله الأمة بعلمهم ، فرحمهم الله رحمة واسعة ، وجزاهم عنا خير الجزاء ، وأنهم من أهل السنة فيما وافقوا فيه الصحابة رضي الله عنهم وأئمة السلف في القرون الثلاثة التي شهد لها النبي صلى الله عليه وسلم بالخير ، وأنهم أخطأوا فيما تأولوه من نصوص الصفات وخالفوا فيه سلف الأمة وأئمة السنة رحمهم الله ، سواء تأولوا الصفات الذاتية ، وصفات الأفعال ، أم بعض ذلك.وبالله التوفيق ، وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم " انتهى.

“Sikap kita terhadap Abu Bakar al-Baqillani, al-Baihaqi, Abu al-Farj Ibnul Jauzi, Abu Zakariya an-Nawawi, Ibnu Hajar dan yang serupa dengan mereka dari beberapa ulama yang mentakwil sebagian sifat-sifat Allah atau menyerahkan sepenuhnya kepada Allah tentang hakekat makna sifat-sifat tersebut.

Menurut hemat kami mereka semua termasuk para ulama kaum muslimin yang ilmunya bermanfaat bagi umat, semoga Allah merahmati mereka semua dengan rahmat yang luas dan jazahumullah khoiral jazaa’.

Mereka masih tergolong ahlus sunnah dalam masalah-masalah yang sesuai dengan para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- dan para ulama salaf pada tiga abad pertama yang mendapatkan persaksian bagus dan baik dari Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

Namun mereka bersalah karena mentakwil nash yang menjelaskan tentang sifat-sifat Allah, hal itu bertengan dengan ulama salaf dan para imam sunnah –rahimahumullah-. Baik mereka mentakwil sifat-sifat dzatiyah, ataupun sifat perbuatan atau sebagiannya.

Petunjuk yang benar hanya milik Allah. Semoga shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad –shallallahu ‘alaihi wa sallam-

(Syekh Abdul Aziz bin Baaz, Syekh Abdur Razzaq al ‘Afifi, Syekh Abdullah bin Qu’ud)

(Fatawa Lajnah Daimah: 3/241)

KEDUA: FATWA SYEIKH AL-'UTSAIMIN:

PERTANYAAN: Syekh Muhammad bin Shaleh al ‘Utsaimin –rahimahullah- ditanya:

بالنسبة للعلماء الذين وقعوا في بعض الأخطاء في العقيدة ، كالأسماء والصفات ، وغيرها ، تمر علينا أسماؤهم في الجامعة حال الدراسة ، فما حكم الترحُّم عليهم ؟.

الشيخ: مثل مَن ؟.

السائل: مثل: الزمخشري ، والزركشي ، وغيرهما.

الشيخ: الزركشي في ماذا ؟.

السائل: في باب الأسماء والصفات.

Berkaitan dengan ulama yang memiliki beberapa kesalahan dalam aqidah, seperti: masalah nama-nama dan sifat-sifat Allah dan lain-lain. Nama-nama mereka tidak asing lagi bagi kami, apalagi ketika kami kuliah dahulu.

Pertanyaannya adalah apa hukumnya mendoakan mereka dengan ucapan: “semoga Allah merahmati mereka semua”?

Syekh bertanya balik: “Seperti siapa ?“

Penanya : “Seperti Zamakhsyari, Zarkasyi dan lain-lain..”

Syekh : “Zarkasyi dalam masalah apa ? “

Penanya : “Dalam masalah Nama-nama dan sifat-sifat Allah”.

JAWABAN: Beliau menjawab:

"على كل حال ، هناك أناس ينتسبون لطائفة معينة شعارها البدعة ، كالمعتزلة مثلاً ، ومنهم الزمخشري ، فالزمخشري مُعتزلي ، ويصف المثْبِتِين للصفات بأنهم: حَشَوِية ، مُجَسِّمة ، ويُضَلِّلهم فهو معتزلي ، ولهذا يجب على مَن طالع كتابه "الكشاف" في تفسير القرآن أن يحترز من كلامه في باب الصفات ، لكنه من حيث البلاغة ، والدلالات البلاغية اللغوية جيد ، يُنْتَفع بكتابه كثيراً ، إلا أنه خَطَرٌ على الإنسان الذي لا يعرف في باب الأسماء والصفات شيئاً ، لكن هناك علماء مشهودٌ لهم بالخير ، لا ينتسبون إلى طائفة معينة مِن أهل البدع ، لكن في كلامهم شيءٌ من كلام أهل البدع ؛ مثل ابن حجر العسقلاني ، والنووي رحمهما الله ، فإن بعض السفهاء من الناس قدحوا فيهما قدحاً تامّاً مطلقاً من كل وجه ، حتى قيل لي: إن بعض الناس يقول: يجب أن يُحْرَقَ " فتح الباري " ؛ لأن ابن حجر أشعري ، وهذا غير صحيح ، فهذان الرجلان بالذات ما أعلم اليوم أن أحداً قدَّم للإسلام في باب أحاديث الرسول مثلما قدَّماه ، ويدلك على أن الله سبحانه وتعالى بحوله وقوته - ولا أَتَأَلَّى على الله - قد قبلها: ما كان لمؤلفاتهما من القبول لدى الناس ، لدى طلبة العلم ، بل حتى عند العامة ، فالآن كتاب " رياض الصالحين " يُقرأ في كل مجلس, ويُقرأ في كل مسجد ، وينتفع الناس به انتفاعاً عظيماً ، وأتمنى أن يجعل الله لي كتاباً مثل هذا الكتاب ، كلٌّ ينتفع به في بيته ، وفي مسجده ، فكيف يقال عن هذين: إنهما مبتِدعان ضالان ، لا يجوز الترحُّم عليهما ، ولا يجوز القراءة في كتبهما ! ويجب إحراق " فتح الباري " ، و " شرح صحيح مسلم " ؟! سبحان الله !

فإني أقول لهؤلاء بلسان الحال ، وبلسان المقال: أَقِلُّوا عليهمُ لا أبا لأبيكمُ مِن اللومِ أو سدوا المكان الذي سدوا من كان يستطيع أن يقدم للإسلام والمسلمين مثلما قدَّم هذان الرجلان ، إلا أن يشاء الله ، فأنا أقول: غفر الله للنووي ، ولابن حجر العسقلاني ، ولمن كان على شاكلتهما ممن نفع الله بهم الإسلام والمسلمين ، وأمِّنوا على ذلك " انتهى.

“Yang jelas di sana ada beberapa orang yang menisbahkan dirinya kepada kelompok tertentu dengan membawa bendera bid’ah, seperti Mu’tazilah yang termasuk di dalamnya adalah Zamakhsyari ia seorang mu’tazilah, ia menamakan orang-orang yang menetapkan sifat-sifat kepada Allah sebagai Hasyawiyah (tidak bisa dipercaya) atau Mujassimah (berbentuk), dan menyesatkan mereka.

Oleh karenanya bagi siapa saja yang membaca bukunya “al Kasysyaf” dalam mentafsiri al Qur’an agar berhati-hati dengan pendapatnya dalam masalah sifat-sifat Allah. Namun kitab tafsir tersebut dari sisi balaghah adalah baik, banyak memberikan manfaat, tentu saja bahaya bagi siapa saja yang belum mengetahui tentang masalah Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.

Akan tetapi di sana ada beberapa ulama yang terkenal baik, dan tidak termasuk dalam kelompok ahlul bid’ah, namun dalam pendapat mereka ada beberapa yang mengandung bid’ah, seperti Ibnu Hajar al Asqalani dan An Nawawi –rahimahumallah-.

Sebagian orang-orang yang tidak mengerti menuduh mereka berdua sembarangan, bahkan dikatakan kepada saya:

“Sungguh sebagian orang berkata: Diwajibkan untuk membakar kitab “Fathul Baari” ; karena Ibnu Hajar adalah termasuk ‘Asy’ariyyah".

Hal ini tidak benar; karena kedua ulama tersebut saya tidak pernah mengetahui pada masa sekarang ada seseorang yang mampu mempersembahkan sebuah karya terbaiknya kepada Islam dalam masalah hadits seperti karya mereka berdua.

Hal itu menunjukkan kepada anda bahwa Allah –subhanahu wa ta’ala- dengan daya dan kekuatan-Nya [saya tidak bermaksud mendahului kehenak Allah] bahwa Dia telah menerimanya.

Hampir semua hasil karya mereka berdua dapat diterima oleh semua pihak, baik yang terpelajar, bahkan sampai masyarakat umum.

Kitab “Riyadhus Shalihin” misalnya ia dibaca pada setiap majelis, dan pada setiap masjid, mampu memberikan manfaat kepada banyak kalangan. Saya berharap bahwa Allah akan menjadikan salah satu buku saya seperti kitab “Riyadhus Shalihin”, semua orang akan mendapatkan manfaat di rumahnya, di masjidnya.

Maka bagaimana mungkin kedua ulama tersebut dikatakan bahwa mereka ahli bid’ah dan sesat, tidak boleh berdoa agar mereka mendapatkan rahmat Allah, dan tidak boleh membaca buku-bukunya, dan wajib membakar Fathul Baari dan Syarah Muslim ?!!. Subhanallah, maka saya katakan kepada mereka baik dengan bahasa lisan maupun perbuatan:

أَقِلّوا عَلَيهِم لا أَبا لِأَبيكُمُ *** مِنَ اللَومِ أَو سُدّوا المَكانَ الَّذي سَدّوا

“Persedikitlah dalam menilai mereka –demi Allah- dari celaan, atau tutuplah tempat itu”. [Zahratul Aadab wa Tsimaarul Albaab 2/362].

Siapa yang mampu mempersembahkan karya terbaiknya untuk Islam sebagaimana yang mereka persembahkan ?!... kecuali jika Allah berkehendak.

Maka saya bertanya: -Semoga Allah mengampuni Imam Nawawi, Ibnu Hajar al Asqalani- dan siapa saja yang mirip dengan mereka berdua, yang Allah jadikan mereka bermanfaat bagi Islam dan kaum muslimin. Semuanya hendaknya mengamininya.

(Liqoo'at Bab Maftuh: 43/soal nomor: 9)

KETIGA: FATWA SYEIKH AL-FAUZAAN:

PERTANYAAN: Syekh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan di tanya:

لقد ظهر بين طلاب العلم اختلاف في تعريف المبتدع ، فقال بعضهم: هو من قال أو فعل البدعة ، ولو لم تقع عليه الحجة ، ومنهم من قال لابد من إقامة الحجة عليه ، ومنهم من فرَّق بين العالم المجتهد وغيره من الذين أصلوا أصولهم المخالفة لمنهج أهل السنة والجماعة ، وظهر من بعض هذه الأقوال تبديع ابن حجر والنووي ، وعدم الترحم عليهم ؟

Ada muncul perbedaan di antara penuntut ilmu syar’i tentang definisi pelaku bid’ah:

Sebagian mereka berkata: ia adalah orang yang berkata atau berbuat bid’ah, meskipun belum di cek kebenarannya. Sebagian yang lain berkata: harus di cek kebenarannya. Sebagian yang lain membedakan antara perkataan seorang alim dan mujtahid dan lainnya yang mencetuskan dasar-dasar yang berlawanan dengan manhaj ahlusunnah jama’ah.

Bahkan sebagian mereka membid’ahkan Ibnu Hajar dan An Nawawi dan tidak boleh (mendo’akan) mereka agar mendapatkan rahmat Allah? 

JAWABAN: Beliau menjawab: 

أولاً: لا ينبغي للطلبة المبتدئين وغيرهم من العامة أن يشتغلوا بالتبديع والتفسيق ؛ لأن ذلك أمر خطير وهم ليس عندهم علم ودراية في هذا الموضوع ، وأيضاً هذا يُحدث العداوة والبغضاء بينهم ، فالواجب عليهم الاشتغال بطلب العلم ، وكف ألسنتهم عما لا فائدة فيه ، بل فيه مضرة عليهم ، وعلى غيرهم.

ثانياً: البدعة: ما أحدث في الدين مما ليس منه ؛ لقوله صلى الله عليه وسلم: (من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد) - رواه البخاري - ، وإذا فعل الشيء المخالف جاهلاً: فإنه يعذر بجهله ، ولا يحكم عليه بأنه مبتدع ، لكن ما عمله يعتبر بدعة.
ثالثاً: من كان عنده أخطاء اجتهادية تأوَّل فيها غيره ، كابن حجر ، والنووي ، وما قد يقع منهما من تأويل بعض الصفات: لا يُحكم عليه بأنه مبتدع ، ولكن يُقال: هذا الذي حصل منهما خطأ ، ويرجى لهما المغفرة بما قدماه من خدمة عظيمة لسنَّة رسول الله صلى الله عليه وسلم ، فهما إمامان جليلان ، موثوقان عند أهل العلم " انتهى 

Pertama: “Tidak selayaknya bagi para santri pemula atau yang lainnya menyibukkan diri untuk membid’ahkan seseorang atau menganggapnya fasiq; karena masalah tersebut sangat berbahaya dan sensitif, sedang mereka belum memiliki pengetahuan yang cukup dalam masalah tersebut. Yang demikian itu juga akan melahirkan kebencian dan permusuhan. Kewajiban mereka yang sesungguhnya adalah menuntut ilmu dan menahan lisan mereka dari hal-hal yang tidak bermanfaat. 

Kedua: Bid’ah itu adalah mendatangkan suatu hal yang baru dalam agama yang bukan termasuk darinya sebelumnya, berdasarkan hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi was sallam-:

 مَن أَحْدَثَ في أَمْرِنَا هذا ما ليسَ فِيهِ، فَهو رَدٌّ

“Barang siapa yang mendatangkan sesuatu yang baru dalam urusan kami, yang sebelumnya bukan termasuk darinya, maka akan tertolak”. (HR. Bukhori no. 2697 dan Muslim no. 1718)

Apabila seseorang melakukan kesalahan atau menyimpang atas dasar ketidaktahuan, maka ia dimaafkan karena ketidaktahuannya dan tidak dihukumi sebagai pelaku bid’ah, namun apa yang dilakukannya termasuk bid’ah.

Ketiga: Barang siapa yang memiliki kesalahan dalam masalah ijtihadiyah, yang lain telah mentakwilnya, seperti Ibnu Hajar, Nawawi dan beberapa sifat Allah yang telah mereka takwil, maka ia tidak dihukumi sebagai seorang pelaku bid’ah. Namun dijelaskan bahwa inilah kesalahan mereka, dan diharapkan mereka mendapat ampunan dengan besarnya perhatian mereka terhadap sunnah Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, kedua mereka tersebut adalah imam yang mulia, dapat dipercaya oleh para ulama.

(al Mauntaqa min Fatawa Fauzan: 2/211-212).

KEEMPAT: FATWA AL-ALBAANI:

Syekh Muhammad Nashiruddin al Al Baani –rahimahullah- berkata:

" مثل النووي ، وابن حجر العسقلاني ، وأمثالهم ، من الظلم أن يقال عنهم: إنهم من أهل البدع ، أنا أعرف أنهما من " الأشاعرة " ، لكنهما ما قصدوا مخالفة الكتاب والسنَّة ، وإنما وهِموا ، وظنُّوا أنما ورثوه من العقيدة الأشعرية: ظنوا شيئين اثنين:

أولاً: أن الإمام الأشعري يقول ذلك ، وهو لا يقول ذلك إلاَّ قديماً ؛ لأنه رجع عنه.

وثانياً: توهموه صواباً ، وليس بصواب ".

Seperti Imam Nawawi, Ibnu Hajar dan lainnya yang serupa dengan beliau berdua, adalah sebuah kedzaliman jika mereka di sebut sebagai ahli bid’ah. Saya mengetahui bahwa kedua ulama tersebut dari ‘Asy’ariyyah. Namun keduanya tidak bermaksud untuk menyelisihi al Qur’an dan Sunnah, akan tetapi mereka ragu-ragu dan mengira bahwa aqidah ‘Asy’ariyyah itulah yang diwariskan.

Mereka mengira dari dua sisi:

Pertama: Bahwa Imam Asy’ari juga berpendapat demikian, namun pada masa lalu; karena beliaunya pada akhirnya kembali (ke jalan yang benar).

Kedua: Mereka mengira bahwa pendapat itulah yang benar, padahal tidak.

(Dari kaset nomor 666, dengan tema: “Man Huwa al Kafir wa Man Mubtadi’)

KELIMA: FATWA SYEIKH AL-MUNAJJID

Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Munajjid berkata:

" من الانحراف في هذا الباب اعتقاد ومعاملة من وقع في بدعة على أنه مبتدع: ولا يلزم ذلك، ممكن يقع في بدعة واحدة لكن ما يوصف أنه مبتدع، يوافق مسلكًا بدعيًا في مسألة فقط، لا يقال: إنه واحد منهم؛ لأنه وافقهم في مسألة، افرض أن مذهب هذه الطريقة البدعية مثلًا مائة مسألة فجاء واحد وافقهم في مسألة واحدة فهل يحكم عليه أنه منهم؟ ويدخل فيهم؟

لا، وقد يكون مجتهدًا مخطئًا وافق بدعة في جانب معين، فترى هؤلاء الغلاة المنحرفين عن منهج السلف في التبديع يبدعونه، ويخرجونه عن السنة، ويجعلونه من الفرق النارية، وقد وصل الأمر ببعض هؤلاء الغلاة الجفاة إلى أن يبدعوا الحافظ ابن حجر العسقلاني، والإمام النووي، وغيرهم.

ويقولون: ابن حجر مبتدع، النووي مبتدع، وبعضهم قال: هؤلاء ليسوا من الفرقة الناجية، ليسوا على ما كان عليه محمد -صلى الله عليه وسلم- وأصحابه. قل: ليسوا عليه في جميع المسائل، لكن ليسوا عليه البتة، نخرجهم عن ملة رسول الله -صلى الله عليه وسلم-، وطريقة رسول الله -صلى الله عليه وسلم- إخراجًا تامًا.

وهم الذين فقهوا سنته، وجمعوا حديثه، وخدموا السنة هذه الخدمة العظيمة الجليلة، ذبوا عنها الكذب، وشرحوها، بينوا معانيها، قربوها للناس، صنفوا الكتب فيها، كيف يقال عنهم بعد ذلك هؤلاء في النار، هؤلاء من الفرق السبعين التي في النار، جور وظلم في الحكم، والمشكلة أن الذي يتكلم بهذا الكلام ما يساوي نعال ابن حجر، ولا ظفر النووي، من هو في العلم أصلا؟ ما هو مستواه العلمي؟

ونحن عندما نسير على منهج السلف إذا أخطأ ابن حجر، وخالف منهج السلف في مسألة، نقول: أخطأ ولا نجامل، وإذا خالف النووي منهج السلف في مسألة مثلاً في الأسماء والصفات، نقول أخطأ النووي -رحمه الله-، ونبين خطأه، ولا نجامل مهما كانت الشخصية هذه علو كعبها في العلم، لكن هذا ليس معناه أن هذا من الفرق النارية، ونخرجه عن أهل السنة إخراجًا تامًا.

ثم هؤلاء الكبار الظن بهم أنهم لو وافقوا منهجًا مبتدعًا في جزئية، أو في بعض الجزئيات، في بعض المسائل، هل الظن بهم أنهم معاندون للحق متعمدون للانحراف، أو أنهم مجتهدون مخطئون، وأن الله قد يغفر لهم خطأهم؟

أليس العالم إذا اجتهد وأصاب وله أجران: وإذا اجتهد وأخطأ له أجر، ابن حجر عالم، النووي عالم أخطأ في بعض المسائل في الأسماء والصفات، نحن ما نجامل، سنقول: هذا خطأ، هذا تأويل باطل، هذا مردود لا نقبله، خلاف الحق، حتى ولو جاء من فلان وفلان، لكن كل حسناته هذه الأخرى مردودة مرفوضة باطلة، الرجل ليس من أهل السنة مبتدع، من الفرق النارية هذا ظلم، نذود عنهم، وندافع عنهم، ونبجلهم، ولكن كل هذا لا يحملنا على أن نجامل، ونقول عن خطأ أدى إليه اجتهاده، نقول: هذا صواب، نقول، هذا خطأ، هذا باطل، هذا العدل.

فانظر إلى هؤلاء المنحرفين الذين بلغت بهم السفاهة أن قالوا بوجوب إحراق فتح الباري لابن حجر، وشرح صحيح مسلم للنووي، وقال: اجعلوها حطبًا في الشتاء، شرح سنة رسول الله -صلى الله عليه وسل - تجعل حطبًا للشتاء، لأن فيها بعض الأخطاء ، عجبًا، ويجب أن نعلم أن منهج السلف منهج عدل، ومنهج إنصاف، لكنه منهج جاد ما فيه مجاملات، ومن الإنصاف بيان خطأ المخطئ من أهل العلم والفضل، والترحم عليه، ونتلمس له العذر".

ARTINYA: " Sebagian penyimpangan [kelompok Ahlul Hajer wat Tahdziir] dalam hal ini adalah keyakinan dan perlakuan terhadap orang yang terjatuh dalam bid'ah sebagai Ahli Bid'ah.

Dan yang benar bahwa itu tidak mengharuskannya [sebagai ahli bid'ah], mungkin saja ia terjerumus dalam satu bid'ah, namun dia tidak boleh di cap sebagai ahli bid'ah hanya karena sependapat dengan mereka dalam satu masalah bid'ah.

Tidak boleh dikatakan: " Dia adalah salah satu dari mereka [Ahli Bid'ah]" ; hanya karena dia sependapat dengan mereka dalam satu masalah, misalkan bahwa dalam madzhab ahli bid'ah ini, memiliki seratus masalah bid'ah, lalu seseorang datang dan setuju dengan mereka dalam satu masalah, lalu apakah dia dinilai salah satunya? dan dimasukkan dalam golongan mereka?

Tidak, karena dia mungkin saja seorang mujtahid yang keliru dalam berijtihad, yang kebetulan dia sependapat dalam konsep bid'ah pada masalah tertentu.

Namun coba anda lihat para [tukang hajer] yang ekstremis yang menyimpang dari Manhaj Salaf, mereka menghukuminya sebagai ahli bid'ah dalam masalah yang mereka anggap bid'ah dan mengeluarkan orang tersebut dari Ahlus Sunnah. Lalu memasukkannya dalam golongan ahli nereka.

Bahkan masalah ini sampai pada sebagian Ahlul Hajer yang sangat ekstremis yang menyimpang, sampai-sampai mereka mencap dan menggolongkan Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, Al-Imam Al-Nawawi, dan lainnya sebagai ahli bid'ah.

Dan mereka berkata: " Ibnu Hajar adalah seorang ahli bid'ah, Al-Nawawi adalah seorang ahli bid'ah. Bahkan sebagian dari mereka berkata: " Mereka bukan dari Firqoh Najiyah [bukan dari Golongan yang Selamat Dari Neraka], mereka tidak berjalan diatas jalan Nabi Muhammad (SAW) dan para sahabatnya. Katakanlah: Mereka tidak berada di atas jalan Nabi (SAW) dalam semua masalah, bahkan sama sekali mereka tidak berada diatasnya, sehingga kami keluarkan mereka dari agama Rosulullah (SAW) dan dari jalan Rosulullah (SAW) sepenuhnya".

Padahal mereka [An-Nawawi dan Ibnu Hajar] adalah orang-orang yang memahami sunnah Nabi (SAW), mengumpulkan hadits-haditsnya, dan melayani sunnah dengan layanan yang agung dan terhormat ini, membelanya dari tuduhan kabar dusta tentangnya, mensyarahinya, menjelaskan maknanya, mendekatkannya kepada manusia, menyusun kitab-kitab tentangnya, bagaimana bisa dikatakan tentang mereka setelah itu mereka berada di dalam api neraka, mereka berada di antara tujuh puluh golongan yang akan berada di Neraka ?

Ini adalah penindasan dan kedzaliman dalam penghakiman.

Masalahnya, orang yang mengucapkan kata-kata ini, dia tidak setara dengan sandal jepitnya Ibnu Hajar, atau kukunya Imam An-Nawawi. Dia itu siapa sebenarnya dalam keilmuan ? Tingkat keilmuan orang tersebut seberapa tinggi ?

Ketika kita berjalan di atas manhaj para salaf dahulu, maka jika Ibnu Hajar melakukan kesalahan dan menyelisihi manhaj salaf dalam satu masalah ; kita memang harus mengatakan apa adanya: Bahwa Dia melakukan kesalahan dan kami tidak ada mujaamalah [berbasa basi seakan membenarkan] dalam hal ini. Dan jika an-Nawawi menyelisihi manhaj salaf dalam satu masalah, misalnya dalam al-Asmaa wash-Shifaat [nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya] ; maka kami katakan bahwa al-Nawawi -rahimahullah- telah melakukan kesalahan, dan kami menjelaskan kesalahannya, dan kami tidak ada basa basi dalam hal ini, tidak peduli seberapa tinggi ilmunya dan kepribadiannya. Akan tetapi ini tidak berarti bahwa dia ini dari Firqoh Naariyah [golongan ahli neraka], yang kemudian kami mengeluarkan dia sepenuhnya dari golongan Ahlus Sunnah.

Kemudian berprasangka terhadap mereka para ulama senior ini: jika seandainya mereka kedapatan menyetujui satu bagian dari manhaj Ahli Bid'ah, atau sebagian dari bagian-bagian dalam beberapa masalah, maka: Apakah dibenarkan berprasangka bahwa mereka itu keras kepala terhadap kebenaran dan sengaja melakukan penyimpangan ? Atau bahwa mereka itu adalah para mujtahid yang tanpa sengaja melakukan kesalahan, dan bahwa Allah SWT akan mengampuni kesalahan mereka? Bukankah seorang ulama, jika dia berijtihad dan benar, maka dia akan mendapat dua pahala. Dan jika dia berijtihad dan salah, maka dia akan mendapat satu pahala?

Ibnu Hajar adalah seorang ulama, an-Nawawi adalah seorang ulama yang melakukan kekeliruan dalam beberapa masalah tentang nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya, maka dalam hal ini kami tidak boleh berbasa basi. Kami akan mengatakan apa adanya: Ini adalah kesalahan, ini adalah takwil yang baathil, ini ditolak dan kami tidak menerimanya, ini bertentangan dengan kebenaran, meskipun itu berasal dari syeikh Fulan dan Syeikh Fulan.

Namun sayang nya - oleh mereka golongan Ahlul Hajer- semua amal baiknya [Ibnu Hajar dan an-Nawawi] mereka tolak juga, mereka singkirkan, dan mereka anggap baathil. Mereka mengatakan: Orang ini bukanlah dari Ahlus-Sunnah, melainkan Ahli Bid'ah. Dia adalah salah satu dari Firqoh Naariyah [golongan Ahli Neraka].

Ini adalah sebuah kedzaliman. Oleh karena itu kami membela mereka berdua, mempertahankan nya, dan memuliakan nya. Namun demikian semua ini tidak membuat kita memuji kesalahannya, dan ikut-ikutan sependapat dengan kesalahan yang dihasilkan oleh ijtihadnya lalu kita mengatakan: "Ini adalah benar". Maka ini tidak boleh, melainkan kita harus mengatakan apa adanya: ini salah, ini bathil. Sikap inilah yang bijak dan adil.

Dan lihatlah orang-orang sesat yang telah mencapai puncak kebodohan ketika mereka mengatakan: "Wajib membakar kitab Fathul-Baari karya Ibnu Hajar, dan Sharh Shahih Muslim karya An-Nawawi". Dan berkata pula: " Jadikanlah [dua kitab itu] sebagai kayu bakar untuk penghangat di musim dingin".

Kitab Syarah hadits Rasulullah (SAW) oleh mereka dijadikan kayu bakar untuk penghangat di musim dingin, hanya karena di dalamnya terdapat beberapa kesalahan ijtihad.

Aneh ! Dan wajib kita ketahui bahwa manhaj salaf adalah manhaj yang adil dan bijak, namun demikian ia adalah manhaj yang lurus dan serius tidak mengandung mujaamalah [berbasa basi seakan-akan membenarkan kesalahannya].

Dan termasuk sikap bijak adalah menjelaskan kesalahan orang yang salah berijtihad dari kalangan para Ahlul Ilmi dan Ahlul Fadhel, namun kita tetap mendoakan rahmat untuknya dan berusaha mencarikan alasan dan udzur untuknya [kenapa dia bisa salah berijtihad ?]".

[Sumber: ضوابط البدعة والانحرافات في أبواب البدعة والتبديع]

KEENAM: FATWA BIN BAAZ:


Syeikh Bin Baz rahimahullah ditanya, sebagaimana disebutkan dalam Majmu' Fataawa Ibnu Baz (28/254), tentang hukum membid'ahkan sekelompok para imam Sunni dengan dalih mereka sesat dalam aqidah, seperti al-Nawawi, Ibnu Hajar, dan lainnya? 

Beliau menjawab:

"من أخطأ لا يؤخذ بخطئه، الخطأ مردود، وكل عالم يُخطئ ويُصيب، فيُؤخذ صوابه، ويُترك خطؤه".

“Barangsiapa yang melakukan kesalahan [dalam berijtihad] maka dia tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas kesalahannya, namun kesalahannya ditolak. Karena setiap ulama [dalam berijtihad] kadang salah dan kadang benar, maka diambillah kebenarannya, dan kesalahannya ditinggalkan.”

KETUJUH: FATWA SYEIKH AL-'UTSAIMIN:

Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, seperti dalam Liqa' al-Bab al-Maftuuh (15/43):

"هناك علماء مشهود لهم بالخير، لا ينتسبون إلى طائفة معينة من أهل البدع؛ لكن في كلامهم شيء من كلام أهل البدع، مثل ابن حجر العسقلاني والنووي رحمهما الله، بعض السفهاء من الناس قدحوا فيهما قدحًا تامًّا مطلقًا من كل وجه، فهذان الرجلان ما أعلم أن أحدًا قدَّم للإسلام في باب أحاديث الرسول مثلما قدماه، فكيف يُقال عنهما: إنهما مبتدعان ضالَّان، لا يجوز الترحُّم عليهما، ولا يجوز القراءة في كتبهما؟! من كان يستطيع أن يقدم للإسلام والمسلمين مثلما قدم هذان الرجلان إلا أن يشاء الله؟! فأنا أقول: غفر الله للنووي، ولابن حجر العسقلاني، ولمن كان على شاكلتهما ممن نفع الله بهم الإسلام والمسلمين".

“Ada ulama-ulama yang dikenal karena kebaikannya, dan mereka bukan milik golongan tertentu dari Ahli bid'ah, namun dalam perkataan mereka ada yang dari perkataan Ahli bid'ah, seperti Ibnu Hajar al-Asqalani dan al-Nawawi, rahimahumallah, sebagian orang tolol dan bodoh memfitnah mereka habis-habisan dan benar-benar dari segala sisi.

Untuk kedua orang ini saya tidak pernah tahu bahwa ada orang yang berjasa terhadap Islam dalam bab hadits Rasul seperti yang mereka persembahkan. Lalu bagaimana bisa dikatakan tentang mereka: bahwa mereka berdua adalah ahli bid'ah yang sesat, tidak diperbolehkan untuk mendoakan rahmat untuk mereka berdua, dan tidak boleh membaca kitab-kitab karya mereka berdua ?!

Siapa orangnya yang bisa menghadirkan kepada Islam dan Muslim seperti yang dilakukan kedua orang ini, kecuali atas kehendak Tuhan?!

Maka saya katakan: Semoga Allah mengampuni al-Nawawi, dan Ibnu Hajar al- Asqalani, dan orang-orang seperti mereka yang darinya Allah memberi manfaat bagi Islam dan kaum Muslimin.

KEDELAPAN: FATWA SYEIKH MUQBIL AL-WADI'I:

Alangkah baiknya ucapan Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i, semoga Allah merahmatinya! Ketika ditanya:

Apakah al-Nawawi dan Ibnu Hajar Ahli Bid'ah ? Karena mereka mengatakan dengan mentakwil sifat-sifat Allah sejalan dengan Asy'ari?

Beliau menjawab:

"الله يغفر لهما، ولابن حزم، ولابن الجوزي، ولعلمائنا الآخرين الذين زلت أقدامهم لا أستطيع أن أطلق عليهم بأنهم مبتدعة".

 “Semoga Allah mengampuni mereka berdua, juga mengampuni Ibnu Hazm, Ibnu al-Jawzi, dan ulama kita yang lain yang terpeleset, saya tidak bisa menyebut bahwa mereka adalah Ahli Bid'ah.”

Dan beliau juga berkata:

"نحن لا نُكفِّر مسلمًا إلا بدليل من كتاب الله، أو من سنة رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم، وقد قرأنا في كتاب السنة لعبدالله بن أحمد أنَّ كثيرًا من السلف يقولون: من قال: إنَّ القرآن مخلوق فهو كافر؛ لكن أين الدليل على هذا؟! فمسألة تكفير المسلمين لا بد فيها من الدليل؛ بل نقول: إنَّه مبتدع"

“Kami tidak menyatakan seorang Muslim menjadi kafir kecuali dengan dalil dari Kitab Allah, atau dari Sunnah Rasulullah (SAW). Dan kita membaca dalam Kitab as-Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad bahwa banyak para salaf mengatakan: Barangsiapa mengatakan: Al-Qur'an adalah makhluk maka dia kafir; tapi mana dalilnya?! Maka masalah mentakfirkan kaum muslimin harus memiliki dalil, sebaliknya kita mengatakan: Dia adalah seorang Ahli Bid'ah. 

[Lihat: Kitab ((غارة الأشرطة)) karya Moqbil Al-Wadi’i (hlm. 295, 296, 306).

Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kedua imam tersebut. Semoga Allah mengampuni kesalahan mereka berdua.

BERLAKU BIJAKLAH, JELI DAN TELITI !

Dalam mengambil ilmu dari seseorang harus disertai dengan sikap yang bijak, jeli dan teliti. Dan harus bisa membedakan antara apa yang telah disepakati para salaf yang saleh, dan apa yang mereka berbeda pendapat. Dan perlu saling nasihat dan menasihati antara umat Islam dalam apa yang mereka berbeda pendapat, dengan pengetahuan tentang fikih perbedaan pendapat, dan adab perbedaan pendapat.

Al-Imam Al-Dzahabi rahimahullah berkata:

" ‌وَلَوْ ‌أَنَّ ‌كُلَّ ‌مَنْ ‌أَخْطَأَ ‌فِي ‌اجْتِهَادِهِ - ‌مَعَ ‌صِحَّةِ ‌إِيْمَانِهِ، ‌وَتَوَخِّيْهِ ‌لاتِّبَاعِ ‌الحَقِّ - ‌أَهْدَرْنَاهُ، وَبَدَّعنَاهُ، لَقَلَّ مَنْ يَسلَمُ مِنَ الأَئِمَّةِ مَعَنَا، رَحِمَ اللهُ الجَمِيْعَ بِمَنِّهِ وَكَرَمِهِ ".

“Dan jika setiap orang yang salah dalam ijtihadnya dengan kebenaran imannya, dan keinginannya yang kuat untuk mengikuti kebenaran, lalu kami menyia-nyiakannya, dan kami menganggapnya AHLI BID'AH ; maka jika demikian, sangat sedikit orang yang selamat dari kalangan para imam yang bersama kami. Semoga Allah merahmati semua orang dengan rahmat dan kemurahan-Nya” [Baca: “سير أعلام النبلاء” 14/376].

Dan di halaman lain Al-Dzahabi rahimahullah juga berkata:

" وَلَوْ أَنَّا كلَّمَا أَخْطَأَ إِمَامٌ فِي اجْتِهَادِهِ فِي آحَادِ المَسَائِلِ خَطَأً مَغْفُوراً لَهُ، قُمْنَا عَلَيْهِ، وَبدَّعْنَاهُ، وَهَجَرْنَاهُ، ‌لَمَا ‌سَلِمَ ‌مَعَنَا ‌لَا ‌ابْنَ ‌نَصْرٍ، ‌وَلَا ‌ابْنَ ‌مَنْدَةَ -هؤلاء من الكبار- وَلَا مَنْ هُوَ أَكْبَرُ مِنْهُمَا، وَاللهُ هُوَ هَادِي الخَلْقِ إِلَى الحَقِّ، وَهُوَ أَرحمُ الرَّاحمِينَ، فَنَعُوذُ بِاللهِ مِنَ الهوَى وَالفظَاظَةِ".

" Dan jika semua kesalahan yang dilakukan seorang imam dalam ijtihadnya pada masalah-masalah tertentu, kesalahan yang dimaafkan, lalu kami bangkit menyalahkannya, membid’ahkannya, dan mengucilkannya (meng hajernya) ; maka tidak akan ada yang selamat orang – orang yang bersama kami, tidak pula ulama sekelas Ibnu Nasher dan tidak pula sekelas Ibnu Mandah – mereka berdua adalah para ulama besar – bahkan tidak akan selamat pula para ulama yang lebih besar dari keduanya.

Dan Allah adalah Pemberi Hidayah makhluk pada kebenaran, dan Dia adalah Maha Penyayang dari semua penyayang, maka Kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu dan bercerai berai [pecah belah] “. [Baca: “سير أعلام النبلاء” 14/40].

Asy-Syathibi - rahimahullah - berkata dalam kitabnya Al-I'tisham (1/252):

" أَنْ يَصِحَّ كَوْنُهُ مُجْتَهِدًا، فَالِابْتِدَاعُ مِنْهُ لَا يَقَعُ إِلَّا فَلْتَةً، وَبِالْعَرَضِ لَا بِالذَّاتِ، وَإِنَّمَا تُسَمَّى غَلْطَةً أَوْ زَلَّةً، ‌لِأَنَّ ‌صَاحِبَهَا ‌لَمْ ‌يَقْصِدْ ‌اتِّبَاعَ ‌الْمُتَشَابِهِ ‌ابْتِغَاءَ ‌الْفِتْنَةِ، وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِ الْكِتَابِ، أَيْ لَمْ يَتَّبِعْ هَوَاهُ، وَلَا جَعَلَهُ عُمْدَةً. وَالدَّلِيلُ عَلَيْهِ أَنَّهُ إِذَا ظَهَرَ لَهُ الْحَقُّ أَذْعَنَ لَهُ، وَأَقَرَّ بِهِ".

“Jika dia benar seorang mujtahid, maka bid'ah hasil dari ijtihadnya tidak membuatnya sebagai ahli bid'ah kecuali sebagai kesalahan, dan bukan karena adanya penawaran dunia, dan bukan karena objeknya.

Sebaliknya, itu dinamakan kesalahan atau keterplesetan. Karena pelakunya tidak berniat mengikuti al-mutasyaabih [yang remang-remang] dengan tujuan mencari-cari fitnah dalam agama, dan bukan karena ingin mencari-cari takwil al-Quran.

Artinya, dia tidak mengikuti keinginan hawa nafsunya, juga tidak menjadikannya 'umdah [pilar]. Dan bukti untuk itu adalah bahwa jika ada kebenaran muncul di hadapannya, maka dia menyetujuinya dan mengakuinya". [Selesai]

Dan Allah memerintahkan Nabi-Nya Muhammad (SAW) untuk memohonkan pengampunan bagi semua mukminin dan mukminat. Allah SWT berfirman:

﴿ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ﴾

{ dan mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan }. [QS. Muhammad: 19].

Ini meliputi dosa I'tiqodiyah, amaliyyah dan Qauliyah".

Ibnu Athiyyah berkata dalam Tafsir al-Muharror al-Wajiiz (5/116):

"واجبٌ على كل مؤمن أن يستغفر للمؤمنين والمؤمنات. ﴿ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ ﴾ [الحشر: 10]".

“Wajib bagi setiap mukmin untuk memohonkan ampun bagi orang mukmin laki-laki dan perempuan. Allah SWT berfirman tentang doa ampunan mereka:

“Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau tanamkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Tuhan kami, Sungguh, Engkau Maha Penyantun, Maha Penyayang.” [QS.Al-Hasyr: 10].

Wallahu a’lam.

Posting Komentar

0 Komentar