Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM PUASA DI HARI HARI 10 AWAL DZUL HIJJAH DAN TAKHRIJ HADITS PUASA HARI TARWIYAH


Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

DAFTAR ISI:

  • HADITS-HADITS YANG BERKAITAN DENGAN PUASA 10 HARI AWAL DZUL-HIJJAH
  • AMALAN DAN PERKATAAN TABI'IN:
  • FATWA SYEIKH BIN BAAZ:
  • FATWA SYEIKH AL-'UTSAIMIN:
  • BAGAIMANA MENYIKAPI HADITS AISYAH (RA) YANG MELARANGNYA???:
  • TAKHRIJ HADITS PUASA HARI TARWIYAH

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

HADITS-HADITS YANG BERKAITAN DENGAN PUASA DI HARI-HARI 10 AWAL DZUL-HIJJAH

Hadits ke 1: Dari Jabir bin Abdullah (ra) bahwa Nabi (SAW) bersabda:

أفضلُ أيامِ الدنيا أيامُ العشْرِ

“Hari-hari terbaik di dunia adalah hari-hari 10 awal Dzul-Hijjah".

[HR. Al-Bazzar seperti dalam “Majma’ Al-Zawa’id” oleh Al-Haytsami (4/20), dan Al-Syajari dalam “Al-Amali” (1687)'. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jaami' no. 1133.

Hadits ke 2: Dari 'Abdullah bin 'Abbas (ra) bahwa Nabi (SAW) bersabda:


مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: وَلَا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ

"Tidaklah disana terdapat hari-hari yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih, lebih dicintai di sisi Allah ta'ala, melainkan sepuluh hari ini. Maka para sahabat bertanya: "Wahai Rasulullah, tidak pula jika seorang berjihad di jalan Allah?", maka beliau menjawab: "Walaupun dia berjihad di jalan Allah, kecuali jika seorang yang pergi untuk berjihad dengan membawa jiwa dan hartanya kemudian ia tidak kembali lagi dengan sesuatu apapun darinya."

[HR. Tirmidzi no. 757 dan Daud no. 2438. Abu Isa Tirmidzi berkata: "Hadits Hasan shahih". Di shahihkan al-Baghowi dalam Syarhus Sunnah 4/345 no. 1125 dan al-Albaani dalam Shahih Tirmidzi no. 757.

Lafadz Riwayat Imam Bukhori:

 ما العَمَلُ في أيَّامٍ أفْضَلَ منها في هذه، قالوا: ولا الجِهادُ؟ قالَ: ولا الجِهادُ، إلَّا رَجُلٌ خَرَجَ يُخاطِرُ بنَفْسِه ومالِه، فلَمْ يَرْجِعْ بشَيءٍ

“Tidaklah beramal pada hari-hari yang lebih utama daripada beramal pada hari-hari ini –(yaitu sepuluh hari awal Dzulhijjah)-”.

Mereka (para sahabat) bertanya; Apakah jihad -di waktu lain- juga kalah keutamaannya dengan beramal pada hari-hari itu?

Beliau pun menjawab: “Tidak pula jihad, kecuali bagi orang yang berangkat perang dengan mempertaruhkan jiwanya dan hartanya lalu tidak kembali dengan membawa apa-apa (yakni: meninggal dalam keadaan syahid dan hartanya habis).” [HR. Bukhori no. 969]

Haidts ke 3: Dari Hunaid bin Khilid dari istrinya dari sebagian istri-istri Nabi (SAW) berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ تِسْعَ ذِي الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلِ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَخَمْيسَيْنِ 

“Biasanya Rasulullah (SAW) puasa Sembilan (hari) di bulan Dzulhijjah, puasa Asyura’ (tanggal 10 Muharom) dan tiga hari pada setiap bulan. Permulaan dua senin dan dua kamis pada (setiap) bulan.” ["HR. Imam Ahmad 21829, an-Nasaai no. 2345 dan Abu Dawud 2437, dan dinyatakan dha'if oleh az-Zaila'i dalam kitab Nashb al-Rayah 2/180 dan al-Arna'uth dalam Takhrij al-Musnad no. 26468, namun dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih an-Nasaa'i no. 2345."

Hadits ke 4: Dari Abu Qotaadah al-Harits bin Rib'i (ra): bahwa Rasulullah '(SAW) bersabda:


صِيامُ يومِ عَرَفَةَ، إِنِّي أحْتَسِبُ على اللهِ أنْ يُكَفِّرَ السنَةَ التي قَبلَهُ، والسنَةَ التي بَعدَهُ

"Berpuasa pada hari arafah, aku harapkan balasan dari Allah ta'ala berupa pengampunan dosa yang telah dilakukan setahun yang lalu, dan setahun yang akan datang." (HR.Muslim no. 1162)

Hadits ke 5: Dari Sahal bin Saad, dia berkata: Rasulullah (SAW) bersabda:

من صام يومَ عرفةَ غُفِر له ذنبُ سنتَينِ مُتتابِعَتَين

'Barangsiapa berpuasa pada hari Arafah, diampuni dosanya selama dua tahun berturut-turut.'

["HR. Abd bin Hamid dalam kitab "Muntakhab" (464), Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya (3/97), Abu Ya'la dalam "Musnad" (7510), dan Thabarani dalam "Al-Kabir" (6/220)]

Al-Mundziri dalam "At-Targhib" (2/68) dan Al-Haitsami dalam "Majma' Az-Zawaid" (3/189) mengatakan: 'Dan para perawi dari Abu Ya'la termasuk perawi yang memiliki kualitas yang baik.'"

Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih at-Targhiib no. 1012.

Hadits ke 6: Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu- dari Nabi –(SAW)- bersabda:

“مَا مِنْ أَيَّامٍ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ أَنْ يُتَعَبَّدَ لَهُ فِيهَا مِنْ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ ، يَعْدِلُ صِيَامُ كُلِّ يَوْمٍ مِنْهَا بِصِيَامِ سَنَةٍ وَقِيَامُ كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْهَا بِقِيَامِ لَيْلَةِ الْقَدْرِ ".

“Tidak ada hari-hari yang lebih dicintai oleh Allah untuk beribadah kepada-Nya dari pada 10 hari awal dari bulan Dzul Hijjah, ibadah puasa yang dilakukan tiap harinya pada hari-hari tersebut sama dengan berpuasa satu tahun, dan shalat malam pada setiap malamnya sama dengan shalat malam pada lailatul qadr”.

[HR. Tirmidzi: 758, Al Bazzar: 7816, dan Ibnu Majah: 1728]

Sanadnya dhoif. Di dhaifkan oleh Tirmidzi, al-Baghowi dalam Syarah as-Sunnah 2/264, Al Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 2/534, Ibnu Taimiyah dalam Syarah al-Umdah 2/555 dan al-Albaani dalam As Silsilah Ad Dha’ifah: 5142.

Hadits ke 7: Dari Hafshah –radhiyallahu ‘anha- berkata:


(أَرْبَعٌ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهُنَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صِيَامَ عَاشُورَاءَ ، وَالْعَشْرَ ، وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَالرَّكْعَتَيْنِ قَبْلَ الْغَدَاةِ)

“Ada empat hal yang belum pernah ditinggal oleh Nabi –(SAW) -: Puasa ‘Asyura (10 Muharram), 10 awal Dzul Hijjah, 3 hari tiap bulan dan 2 raka’at sebelum Subuh”.

[HR. Nasa’i dalam As Sunan no. 2416, Ahmad dalam Al Musnad: 44/59, Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabiir: 23/205, Ibnu Hibban dalam Shahihnya: 14/332, Abu Ya’la dalam Al Musnad: 12/469]

Hadits ini di shahihkan Ibnu Hibban.

Namun di dalam sanadnya terdapat Perawi dari ‘Amr bin Qais, yiatu Abu Ishak Al Asyja’i: dia adalah majhul (tidak dikenal); oleh karenanya para pentahqiq (peneliti) Al Musnad melemahkannya dan juga syeikh Albani dalam Irwa’ul Ghaliil: 4/111.

Diantara mereka yang melemahkan hadits tersebut adalah Az-Zaila’i dalam Nashbur Raayah: 2/157, para pentahqiq Musnad Imam Ahmad, Syeikh Ibnu Baaz dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Baaz: 15/417, hal itu disebabkan ketidakstabilan matan dan sanadnya.

Ibn Rajab berkata dalam "Al-Lata'if" (hal. 277-278):

فِي الْمُسْنَدِ وَالسُّنَنِ عَنْ حَفْصَةَ أَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - كَانَ لَا يَدَعُ صَيَامَ عَاشُورَاءَ وَالْعَشْرِ وَثَلَاثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ، وَفِي إِسْنَادِهِ اخْتِلَافٌ.

وَرُوِيَ عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ لَا يَدَعُ صَيَامَ تِسْعِ ذِي الْحِجَّةِ، وَمِمَّنْ كَانَ يَصُومُ الْعَشْرَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا.

"Dalam Musnad dan Sunan, diriwayatkan dari Hafshah bahwa Nabi – (SAW) - tidak pernah meninggalkan puasa pada hari Asyura, sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, dan tiga hari dari setiap bulan. Namun terdapat perbedaan dalam sanad hadis tersebut."

Juga diriwayatkan dari beberapa istri Nabi – (SAW) - bahwa Nabi tidak pernah meninggalkan puasa pada sembilan hari Dzulhijjah. Abdullah bin Umar (ra) adalah salah satu orang yang senantiasa berpuasa selama sepuluh hari tersebut.

AMALAN DAN PERKATAAN TABI'IN:

Dari Al-Qosim bin Abu Ayyub, dia berkata:

وَكَانَ سَعِيْدُ بْنُ جُبَيْرٍ إِذَا دَخَلَ أَيَّامَ الْعَشْرِ اجْتَهَدَ اجْتِهَادًا شَدِيْدًا حَتَّى مَا يَكَادُ يَقْدِرُ عَلَيْهِ

Dulu Said bin Jubair ketika memasuki hari-hari 10 (Dzulhijjah), beliau sangat bersemangat (untuk beribadah), sampai (batas) yang hampir saja beliau tidak mampu lagi untuk mengerjakannya

[Riwayat ad-Daarimiy dalam Sunannya 2/1113 no. 1815 dan al-Baihaqi dalam Syu'ab al-Iman no. 3476]

Husen Asad pentahqiq kitab ad-Daarimi berkata: " Sanadnya Shahih". Dan al-Albaani berkata dalam al-Irwaa 3/398: "Sanadnya Hasan ".

Dan dari Mu'adz bin Mu'adz dari Ibnu 'Aun:

"كَانَ مُحَمَّدٌ يَصُومُ الْعَشْرَ ، عَشْرَ ذِي الْحِجَّةِ كُلِّهِ ، فَإِذَا مَضَى الْعَشْرُ وَمَضَتْ أَيَّامُ التَّشْرِيقِ ، أَفْطَرَ تِسْعَةَ أَيَّامٍ مِثْلَ مَا صَامَ".

"bahwasanya Muhammad (bin Sirin rahimahullah) biasa melaksanakan puasa pada sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah semuanya. Jika telah berlalu tanggal 10 dan hari-hari tasyriq, ia berbuka (tidak berpuasa) selama 9 hari seperti jumlah puasa yang telah dilakukan ". (Mushannaf Ibn Abi Syaibah: 2/300 no. 9221).

Dan dari Al Imam Hasan Al Bashri rahimahullah, bahwasanya beliau berkata:

صِيَامُ يَوْمٍ مِنَ الْعَشْرِ يَعْدِلُ شَهْرَيْنِ


"Berpuasa satu hari pada sepuluh hari pertama di bulan dzul hijjah setara dengan berpuasa selama dua bulan." (Mushannaf Abdir Razzaq: 4/378 no. 8216). Dan sanadnya hasan insya Allah ta'ala.

Al-Imam An-Nawawi berkata:

فَلَيْسَ فِي صَوْمِ هَذِهِ التِّسْعَةِ كَرَاهَةٌ، بَلْ هِيَ مُسْتَحَبَّةٌ اسْتِحْبَابًا شَدِيدًا، لَا سِيمَا التَّاسِعُ مِنْهَا وَهُوَ يَوْمُ عَرَفَةَ، وَقَدْ سَبَقَتْ الْأَحَادِيثُ فِي فَضْلِهِ، وَثُبِتَ فِي "صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ" أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَا مِنْ أَيَّامِ الْعَمَلِ الصَّالِحِ فِيهَا أَفْضَلُ مِنْهُ فِي هَذِهِ" يَعْنِي: الْعَشَرِ الْأَوَّائِلِ مِنْ ذِي الْحِجَّةِ. ا.هـ.

"Maka berpuasa sembilan hari (dzul hijjah) ini bukan perkara yang dibenci, bahkan sangat disunnahkan, terlebih lagi pada tanggal sembilan (dzul hijjah), yang merupakan hari arafah, dan telah dijelaskan apa-apa yang berkaitan dengan keutamaan hari tersebut. Dan telah diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: "Tidak ada hari-hari yang lebih utama ketika seorang beramal shalih didalamnya dibandingkan dengan hari-hari ini." Yaitu, sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah." (Syarh Shahih Muslim: 8/320/1176).

Adapun puasa di hari raya itu diharamkan ; itu berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu sampai kepada Nabi (SAW) (marfu):

نَهَى عَنْ صَوْمِ يَوْمِ الْفِطْرِ وَيَوْمِ النَّحْرِ.

“(Nabi (SAW)) melarang puasa hari raya idul fitri dan hari nahr.” (HR. Bukhari, no. 1992 dan Muslim, no. 827)

Para ulama bersepakat (ijma) bahwa puasa pada dua hari raya tersebut diharamkan.

Lalu bagaimana memahami hadits yang menyebutkan 10 hari, bukan 9 hari? Yaitu hadits Ibnu Abbaas di atas. Ada Sebagian Para 'Ulama mensunnahkan puasa hari ke 10 Dzulhijjah, yaitu diantaranya adalah Ibnu Quddaamah Al Maqdisi, dia berkata:

وَيُسْتَحَبُّ صِيَامُ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ، لِمَا رَوَى ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((مَا مِنْ أَيَّامٍ العَمَلُ الصَّالِحُ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ...)).اهـ

"Disunnahkan bagi seseorang untuk melakukan puasa pada sepuluh hari pertama dari bulan bulan dzul hijjah, karena disana telah datang satu riwayat dari Abdullah bin Abbas, bahwasanya Rasulullah (SAW) bersabda (yang artinya): "Tidaklah disana terdapat hari-hari yang didalamnya dikerjakan amalan-amalan shalih, lebih dicintai di sisi Allah ta'ala melainkan sepuluh hari ini." (Al Kafi Fi Fiqhil Imam Al Mubajjal Ahmad bin Hanbal: 1/362).

Jawabnya adalah sbb:

Al Imam An Nawawi dalam "Syarh Shahih Muslim" (8/71 no.1176) berkata:

وَالْمُرَادُ بِالْعَشْرِ هُنَا الْأَيَّامُ التِّسْعَةُ مِنْ أَوَّلِ ذِي الْحِجَّةِ


" Yang dimaksudkan dengan sepuluh hari di sini adalah puasa yang dikerjakan mulai tanggal satu hingga tanggal sembilan dari awal bulan Dzul-Hijjah".


Al Imam Ibnu Rajab Al Hanbali berkata:

"وَكَانَ ابْنُ سِيرِينَ يَكْرَهُ أَنْ يُقَالَ: صَامَ الْعَشْرِ لِأَنَّهُ يُوهِمُ دُخُولَ يَوْمِ النَّحْرِ فِيهِ، وَإِنَّمَا يُقَالُ: صَامَ التِّسْعَ وَلَكِنَّ الصِّيَامَ إِذَا أُضِيفَ إِلَى الْعَشْرِ فَالْمَرَادُ صِيَامُ مَا يَجُوزُ صَوْمُهُ مِنْهُ".

"Ibnu Sirin tidak suka disebutkan: "berpuasa sepuluh hari" karena itu menimbulkan kesalahpahaman bahwa Hari an-Nahr [Hari Raya Idul Adha] termasuk di dalamnya. Dan yang seharusnya dikatakan adalah "berpuasa sembilan hari".

Akan tetapi hak yang sudah maklum adalah jika puasa disandarkan pada sepuluh hari, maka yang dimaksud adalah puasa yang diizinkan pada periode tersebut". [(Latha"if Ma'arif/262)]

FATWA SYEIKH BIN BAAZ:

Syeikh Bin Baaz rahimahullah pernah di tanya:

السؤال: مَا رَأْيُ سَمَاحَتِكُمْ فِي رَأْيِ مَنْ يَقُولُ؟: صِيَامُ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ بِدْعَةٌ؟

Pertanyaan: "Apa pendapat anda dengan mereka yang menyatakan bahwa berpuasa pada sepuluh hari pertama dari bulan dzul hijjah merupakan perkara bid'ah?".

JAWABANNYA:

Beliau menjawab:

هَذَا جَاهِلٌ يُعَلَّمُ، فَالرَّسُولُ ﷺ حَضَّ عَلَى الْعَمَلِ الصَّالِحِ فِيهَا، وَالصِّيَامُ مِنَ الْعَمَلِ الصَّالِحِ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ.: "ما مِن أيامٍ العَمَلُ الصالِحُ فيهنَ أَحَبُّ إِلى اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ" قالوا: يا رَسُوْلَ الله: وَلا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قال: "وَلا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلا رَجُلٌ خَرَجَ بنفسِهِ وَمَالِهِ وَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بشَيْءٍ". رواه البخاري في الصحيح.

وَلَوْ كَانَ النبي ﷺ ما صامَ هَذِهِ الأَيَّامَ، فَقَدْ رُوِيَ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ صَامَهَا، وَرُوِيَ عَنْهُ أَنَّهُ لَمْ يَصُمْهَا؛ لَكِنَّ الْعُمْدَةَ عَلَى الْقَوْلِ، الْقَوْلُ أَعْظَمُ مِنَ الْفِعْلِ، وَإِذَا اجْتَمَعَ الْقَوْلُ وَالْفِعْلُ كَانَ أَكْدَ لِلسُّنَّةِ؛ فَالْقَوْلُ يُعْتَبَرُ لَوْحَدهُ، وَالْفِعْلُ لَوْحَدهُ، وَالتَّقْرِيرُ وَحْدَهُ، فَإِذَا قَالَ النبي ﷺ قَوْلًا أَوْ فَعَلًا أَوْ أَقَرَّ فِعْلًا كُلُّهُ سُنَّةٌ، لَكِنَّ الْقَوْلَ هُوَ أَعْظَمُهَا وَأَقْوَاهَا، ثُمَّ الْفِعْلَ، ثُمَّ التَّقْرِيرَ، وَالنبي ﷺ قَالَ: "مَا مِنْ أَيَّامِ الْعَمَلِ الصَّالِحِ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلى اللهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ" يَعْنِي الْعَشْرَ.

فَإِذَا صَامَهَا أَوْ تَصَدَّقَ فِيهَا فَهُوَ عَلَى خَيْرٍ عَظِيمٍ، وَهَكَذَا يُشَرِّعُ فِيهَا التَّكْبِيرُ وَالتَّحْمِيدُ وَالتَّهْلِيلُ؛ لِقَوْلِهِ ﷺ: "مَا مِنْ أَيَّامٍ أَعْظَمُ عِنْدَ اللهِ وَلَا أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنَ الْعَمَلِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشْرِ فَأَكْثِرُوا فِيهِنَّ مِنَ التَّهْلِيلِ وَالتَّكْبِيرِ وَالتَّحْمِيدِ". وَفَقَ اللهُ الْجَمِيعَ.

مِنْ ضِمْنِ الْأَسْئِلَةِ الْمُقَدَّمَةِ لِسَمَاحَتِهِ فِي يَوْمِ عَرَفَةَ، حَجَّ عَامَ 1418هـ، (مَجْمُوعُ فَتَاوَى وَمَقَالَاتِ الشَّيْخِ ابْنِ بازِ 15/ 418)

"Ini orang bodoh yang harus dididik (di Ta’lim). Rasulullah SAW bersabda:

"ما مِن أيامٍ العَمَلُ الصالِحُ فيهنَ أَحَبُّ إِلى اللهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ العَشْرِ" قالوا: يا رَسُوْلَ الله: وَلا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ؟ قال: "وَلا الجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللهِ إِلا رَجُلٌ خَرَجَ بنفسِهِ وَمَالِهِ وَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بشَيْءٍ".

“Tidak ada hari dimana amal saleh didalamnya lebih dicintai Allah dibandingkan sepuluh hari ini maksudnya sepuluh Dzulhijjah.”

Mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, meskipun Jihad di jalan Allah?”

Beliau menjawab: “Meskipun berjihad di jalan Allah, kecuali seseorang yang keluar dengan jiwa dan hartanya dan tidak kembali sedikitpun.” (HR. Bukhari, 969 dan Turmudzi no. 575)

Jika Nabi SAW tidak berpuasa pada hari-hari ini, namun ada riwayat darinya bahwa beliau berpuasa pada hari-hari itu, dan diriwayatkan pula darinya bahwa beliau juga pernah tidak berpuasa. Tapi perkataan lebih agung dari perbuatan.

Jika perkataan dan perbuatan tergabungkan, maka hal itu lebih memperkokoh bagi sunnah. Ucapan dianggap sunnah tersendiri, amalan juga dianggap sunnah tersendiri, dan taqrir / penetapan juga sunnah tersendiri.

Jika Nabi SAW mengucapkan suatu perkataan atau perbuatan atau menetapkan suatu perbuatan, maka semuanya itu adalah sunnah, tetapi perkataan itu sunnah yang paling agung dan paling kuat di antara keduanya, kemudian amalan itu, dan kemudian taqrirnya / penetapannya. Dan Nabi SAW telah bersabda:

ما من أيَّامٍ العملُ الصَّالحُ فيهنَّ أحبُّ إلى اللهِ من هذه الأيَّامِ العشرِ

“Tidak ada hari dimana amal saleh didalamnya lebih dicintai Allah dibandingkan sepuluh hari ini maksudnya sepuluh Dzulhijjah”.

Jika dia berpuasa atau bersedekah di dalam hari-hari tsb, maka dia dalam kebaikan yang besar, dan begitu juga disyariatkan di dalamnya untuk mengucapkan tahlil, takbir dan tahmiid ; karena Rosulullah SAW bersabda:

ما من أيَّامٍ أعظمُ عندَ اللهِ ولا أحبُّ إليهِ العملُ فيهنَّ من هذِه الأيَّامِ العشرِ فأكثروا فيهنَّ منَ التَّهليلِ والتَّحميدِ والتسبيح والتَّكبيرِ

Tidaklah ada suatu hari yang lebih agung dan lebih dicintai oleh Allah dibandingkan beramal (sholih) di hari-hari ini yang sepuluh (di awal Dzulhijjah). Maka perbanyaklah di dalamnya tahlil, tasbih, takbir, dan tahmid

(HR. Ibnu Abi Syaibah, Abd bin Humaid, Abu Ya’la, al-Baihaqy, Ahmad, dinyatakan sanadnya shahih oleh al-Bushiry dan Syaikh Ahmad Syakir)

(Lihat (Majmu' Fatawa syeikh bin Baaz: 15/418-419).

Dan Syeikh bin Baaz rahimahullah berkata pula:


وَقَدْ دَلَّ عَلَى فَضْلِ الْعَمَلِ الصَّالِحِ فِي أَيَّامِ الْعَشْرِ حَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ الْمُخْرَجُ فِي "صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ"، وَصَوْمُهَا مِنَ الْعَمَلِ الصَّالِحِ، فَيَتَضَحَّ مِنْ ذَلِكَ اسْتِحْبَابُ صَوْمِهَا.


"Hadits Ibnu Abbas yang dikeluarkan oleh Al Imam Al Bukhari telah menunjukkan tentang keutamaan beramal shalih pada sepuluh hari ini,dan berpuasa didalamnya termasuk dari amalan shalih yang disebutkan oleh beliau SAW. Maka jelas,berpuasa pada hari-hari ini merupakan perkara yang disunnahkan." (Majmu' Fatawa:15/418)


Dan beliau berkata pula:

وَهَذَا الحَدِيثُ يَشْمَلُ الصِّيَامَ وَالْقِرَاءَةَ وَالتَّكْبِيرَ.

"Dan hadits ini umum mencakup berpuasa, membaca (Al Quran), dan bertakbir."

(Ad Durarul Bahiyyah minal Fawaid Al Baziah: 1/91/2438).

FATWA SYEIKH AL-'UTSAIMIN:

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya:

Apakah ada riwayat dari Rasulullah (SAW) tentang puasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah?

Dia menjawab: 

“وَرُدَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا هُوَ أَبْلَغُ مِنْ أَنْ يَصُومَهَا، فَقَدْ حَثَّ عَلَى صِيَامِهَا بِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: (مَا مِنْ أَيَّامِ الْعَمَلِ الصَّالِحِ فِيهِنَّ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الْأَيَّامِ الْعَشَرِ، قَالُوا: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؟ قَالَ: وَلَا الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ؛ إِلَّا رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَيْءٍ)، وَمِنَ الْمَعْلُومِ أَنَّ الصِّيَامَ مِنْ أَفْضَلِ الْأَعْمَالِ الصَّالِحَةِ.

أَمَّا فَعْلُهُ هُوَ بِنَفْسِهِ فَقَدْ جَاءَ فِيهِ حَدِيثَانِ: حَدِيثُ عَائِشَةَ، وَحَدِيثُ حَفْصَةَ، أَمَّا حَدِيثُ عَائِشَةَ فَقَالَتْ: "مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَ الْعَشَرَ قَطُّ"، وَأَمَّا حَدِيثُ حَفْصَةَ فَإِنَّهَا تَقُولُ: "إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَكُنْ يَدَعُ صَيَامَهَا"، وَإِذَا تَعَارَضَ حَدِيثَانِ أَحَدُهُمَا يُثَبِّتُ وَالثَّانِي يُنَفِّي، فَالْمُثَبِّتُ مُقَدَّمٌ عَلَى النَّافِي، وَلِهَذَا قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدِيثُ حَفْصَةَ مُثَبَّتٌ، وَحَدِيثُ عَائِشَةَ نَافِيٌّ، وَالْمُثَبِّتُ مُقَدَّمٌ عَلَى النَّافِي.

وَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أُعَطِّيَكَ قَاعِدَةً: " إِذَا جَاءَتِ السُّنَّةُ فِي اللَّفْظِ فَخُذْ بِمَا دَلَّ عَلَيْهِ اللَّفْظُ، أَمَّا الْعَمَلُ فَلَيْسَ فِي الشَّرْطِ أَنْ نَعْلَمَ أَنَّ الرَّسُولَ فَعَلَهُ أَوْ فَعَلَهُ الصَّحَابَةُ، وَلَوْ أَنَّنَا قُلْنَا: لَا نَعْمَلُ بِالدَّلِيلِ إِلَّا إِذَا عَلِمْنَا أَنَّ الصَّحَابَةَ عَمَلُوا بِهِ، لَفَاتَ عَلَيْنَا كَثِيرًا مِنَ الْعِبَادَاتِ، وَلَكِنَّ أَمَامَنَا لَفْظٌ وَهُوَ حُجَّةٌ بَالِغَةٌ وَاصِلَةٌ إِلَيْنَا، يَجِبُ عَلَيْنَا أَنْ نَعْمَلَ بِمَدْلُولِهِ، سَوَاءٌ عَلِمْنَا أَنَّ النَّاسَ عَمَلُوا بِهِ فِيمَا سَبَقَ، أَمْ لَمْ يَعْمَلُوا بِهِ."

“Ada riwayat dari Nabi (SAW) yang berbicara secara lebih umum daripada puasa pada hari-hari ini. Dia mendorong orang untuk berpuasa pada hari-hari ini ketika beliau SAW berkata: "Tidak ada hari di mana melakukan perbuatan baik lebih dicintai Allah daripada sepuluh hari ini." 

Mereka berkata: Wahai Rasulullah, bahkan bukan jihad demi Allah? 

Beliau SAW berkata: "Bahkan tidak jihad fii Sabilillah, kecuali seseorang keluar, mempertaruhkan nyawanya dan hartanya, dan dia tidak kembali dengan semua itu". 

Dan yang telah diketahui bahwa puasa adalah salah satu amal saleh yang paling baik.

Adapun apakah beliau SAW sendiri yang melakukannya, maka ada dua hadits yang membicarakannya: hadits 'Aa'ishah dan hadits Hafsah. 

Adapun hadits 'Aa'ishah, dia berkata: Saya tidak pernah melihat Nabi (SAW) berpuasa sepuluh hari. 

Adapun hadits Hafsah, dia berkata: Nabi ((SAW)) tidak pernah meninggalkan puasa pada hari-hari tersebut. 

Ketika ada kontradiksi antara dua hadits, salah satunya menegaskan suatu hal dan yang kedua mengingkarinya, maka yang mengiyakan lebih diutamakan daripada yang mengingkarinya. Oleh karena itu Imam Ahmad berkata: Hadits Hafsah menegaskannya dan hadits 'Aisyah menyangkalnya, tetapi yang menegaskannya lebih diutamakan daripada yang menyangkalnya. 

Saya ingin memberi Anda prinsip dasar:

“Jika Sunnah memberikan sebuah sabda, maka ambillah apa yang ditunjukkan oleh sabda itu. Adapun perbuatan Nabi SAW, maka tidak penting bagi kita untuk mengetahui apakah Rasulullah atau para Sahabat melakukan hal itu. Jika kami mengatakan: kami tidak akan menerima riwayat kecuali kami tahu bahwa para Sahabat melakukannya, maka kami akan kehilangan banyak ibadah. Tapi di sini kita memiliki sabda yang merupakan bukti nyata dan telah sampai kepada kita, jadi kita harus melakukan apa yang tersirat, terlepas dari apakah kita tahu bahwa orang-orang melakukannya di masa lalu atau mereka tidak melakukannya.” (Liqa' al-Baab al-Maftuuh, 92/12)

BAGAIMANA MENYIKAPI HADITS AISYAH (RA) YANG MELARANGNYA???:

Aisyah Radiyallahu 'anha berkata:


" مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ"


"Sungguh aku tidak pernah melihat Rasulullah (SAW) berpuasa satu hari pun pada sepuluh (hari pertama bulan dzul hijjah)." [HR. Muslim. no. 2847]

JAWABANNYA:


Telah dijelaskan maksud dari perkataan Aisyah ini oleh para ulama. Dan sebagian mereka menyebutkan bahwasanya perkataan tersebut memiliki beberapa kemungkinan, diantaranya adalah sbb:


Pertama: Bahwa Rasul (SAW) meninggalkan ibadah puasa tersebut disebabkan karena sebab-sebab syar'i yang beliau miliki, seperti sakit, ataukah Safar atau sebab lain yang menjadikan beliau tidak berpuasa. Dan diantara mereka yang menjelaskan hal ini adalah Al Imam Muslim dalam "Syarh Shahih Muslim: 8/320/1176", dan Asy Syaikh Abdul Aziz bin Baz dalam "Majmu' Fatawa: 15/418".


Kedua: Bahwa Aisyah radiyallahu 'anha tidak mengetahui puasa yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, karena beliau memiliki waktu pembagian untuk bermalam di rumah-rumah istri beliau. Oleh karena itu, boleh jadi ketika bermalam di sisi Aisyah radiyallahu 'anha, beliau (SAW) tidak berpuasa pada hari tersebut.

A'isyah (ra) berbicara tentang apa yang dia ketahui, dan yang lain mengatakan sesuatu yang berbeda dari apa yang dia katakan. Perkataan orang yang mengetahui sesuatu harus diambil sebagai bukti daripada perkataan orang yang tidak tahu, dan yang ditegaskan lebih diutamakan daripada yang ditiadakan. 

Dan kemungkinan ini telah disebutkan oleh beberapa Ahlul Ilm, diantaranya adalah Al Imam Abu Bakr Al Atsram dalam (Nasikhul Hadits Wa Mansukhih: 1176), dan Al Imam Ath Thabari dalam (Ghayatul Ihkam Fi Ahadits Al Ahkam: 4/472/8406).

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: 

قَالَ الإِمَامُ أَحْمَدَ رَحِمَهُ اللَّهُ فِي التَّعَارُضِ بَيْنَ هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ: إِنَّ الْمُثْبَتَ مُقَدَّمٌ عَلَى النَّافِي.

Imam Ahmad (semoga Allah merahmatinya) mengatakan tentang kontradiksi antara dua hadits ini: yang ditegaskan lebih diutamakan daripada yang ditiadakan. Akhir kutipan dari Ash-Sharh al-Mumti' (6/154) 


Ketiga: Bahwa yang dimaksud oleh Aisyah radiyallahu 'anha adalah Rasulullah (SAW) tidak berpuasa pada sepuluh hari tersebut secara keseluruhan. Akan tetapi beliau hanya mengerjakannya pada hari-hari tertentu saja. Dan yang menjelaskan hal ini adalah Al Imam Ahmad bin Hanbal dalam (Lathaiful Ma'arif: 368).

Keempat: Kata-kata lebih diutamakan daripada tindakan; hadits Ibn 'Abbaas melaporkan kata-kata yang dia dengar, sedangkan hadits 'Aisyah melaporkan tindakan (atau ketiadaan). Oleh karena itu kata-kata diutamakan karena kemungkinan tindakan (atau ketiadaan) itu khusus untuk situasi tertentu, atau karena alasan yang sah, dan sejenisnya. 

Syeikh al-Albaani (semoga Allah merahmatinya) berkata: 

"القَوْلُ الصَّادِرُ مِنَ الرَّسُولِ عَلَيْهِ السَّلَامُ الْمُوَجَّهُ إِلَى الْأُمَّةِ هُوَ شَرِيعَةٌ عَامَّةٌ، أَمَّا الْفِعْلُ الَّذِي يَفْعَلُهُ هُوَ، فَيَمْكُنُ أَنْ يَكُونَ شَرِيعَةً عَامَّةً حِينَمَا لَا يُوجَدُ مُعَارِضٌ لَهُ، وَيَمْكُنُ أَنْ يَكُونَ أَمْرًا خَاصًّا بِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ".

“Perkataan Rasulullah (SAW) kepada umat ini merupakan petunjuk bagi setiap orang. Adapun amalan-amalan yang dia lakukan, boleh jadi itu merupakan petunjuk bagi semua orang, jika tidak ada indikasi sebaliknya, atau boleh jadi itu adalah sesuatu yang hanya berlaku untuknya saja (shalawat dan salam Allah besertanya).

An-Nawawi (semoga Allah merahmatinya) berkata: 

“وَأَمَّا حَدِيثُ عَائِشَةَ قَالَتْ: "مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ"، وَفِي رِوَايَةٍ "لَمْ يَصُمْ الْعَشْرَ " رَوَاهُمَا مُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ، فَقَالَ الْعُلَمَاءُ: وَهُوَ مُتَأَوِّلٌ عَلَى أَنَّهَا لَمْ تَرَهُ، وَلَمْ يَلْزَمْ مِنْهُ تَرْكُهُ فِي نَفْسِ الْأَمْرِ؛ لِأَنَّهُ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَكُونُ عِنْدَهَا فِي يَوْمٍ مِنْ تِسْعَةِ أَيَّامٍ؛ وَالْبَاقِي عِنْدَ بَاقِي أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ رضي الله عنهن، أَوْ لَعَلَّهُ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَصُومُ بَعْضَهُ فِي بَعْضِ الْأَوْقَاتِ، وَكُلَّهُ فِي بَعْضِهَا, وَيَتْرُكُهُ فِي بَعْضِهَا لِعَارِضِ سَفَرٍ أَوْ مَرَضٍ أَوْ غَيْرِهِمَا، وَبِهَذَا يُجْمَعُ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ"

Adapun hadits 'Aisyah, yang mengatakan: Saya tidak pernah melihat Rasulullah (SAW) berpuasa selama sepuluh hari - dan menurut riwayat lain: Beliau (SAW) tidak berpuasa sepuluh hari – keduanya diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya, maka para ulama berkata:

“Ini harus dipahami sebagai makna bahwa dia tidak melihat beliau (SAW) melakukan itu; maka itu tidak berarti bahwa belia (SAW) tidak melakukan hal khusus itu, karena beliau (SAW) biasa menghabiskan satu dari sembilan hari bersama Aisyah, dan hari lainnya dengan para Ummul Mukminiin lainnya (ra). 

Atau mungkin beliau (SAW) terkadang berpuasa di beberapa hari dari 9 hari itu, dan terkadang semuanya di lain waktu, dan terkadang beliau tidak berpuasa sama sekali karena ada udzur seperti bepergian safar atau sakit dan sebagainya. Dengan cara ini kita dapat memadukan antara hadits-hadits.” (Al-Majmu', 6/441). 

Ash-Shawkaani (semoga Allah mengasihani dia) berkata: 

"تَقَدَّمَت أَحَادِيثُ تَدُلُّ عَلَى فَضِيلَةِ الْعَمَلِ فِي عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ عَلَى الْعُمُومِ, وَالصَّوْمُ مُنْدَرِجٌ تَحْتِهَا. وَأَمَّا مَا أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ: "مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم صَائِمًا فِي الْعَشْرِ قَطُّ" فَقَالَ الْعُلَمَاءُ: الْمُرَادُ أَنَّهُ لَمْ يَصُمْهَا لِعَارِضِ مَرَضٍ أَوْ سَفَرٍ أَوْ غَيْرِهِمَا، أَوْ أَنَّ عَدَمَ رُؤْيَتِهَا لَهُ صَائِمًا لَا يَسْتَلْزِمُ الْعَدَمَ، عَلَى أَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ مِنْ قَوْلِهِ مَا يَدُلُّ عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ صَوْمِهَا كَمَا فِي حَدِيثِ الْبَابِ فَلَا يَقْدَحُ فِي ذَلِكَ عَدَمُ الْفِعْلُ."

“Kami telah mengutip hadits di atas yang menunjukkan keutamaan beramal pada sepuluh hari pertama Dzulhijjah secara umum, dan ibadah puasa termasuk di dalamnya. Berkenaan dengan riwayat yang diriwayatkan oleh Muslim dari 'Aisyah, yang menurutnya dia berkata:

"Saya tidak pernah melihat Rasulullah (SAW) berpuasa selama sepuluh hari", para ulama mengatakan:

Apa yang dimaksud adalah bahwa beliau (SAW) tidak berpuasa pada hari-hari itu karena alasan seperti sakit, perjalanan dan sejenisnya. Atau dengan adanya Aisyah melihat beliau (SAW) tidak berpuasa, belum tentu beliau (SAW) tidak pernah berpuasa pada hari-hari tersebut. Selain itu, telah terbukti dari sabdanya terdapat sesuatu yang menunjukkan disayariatkan berpuasa pada hari-hari itu sebagaimna yang terdapat dalam hadits, sehingga adanya beliau SAW pernah tidak melakukannya maka itu tidak merusak hadits.” (Nayl al-Awtaar, 4/283)

Kelima: Bisa jadi Nabi (SAW) tidak berpuasa pada har-hari itu, karena kadang-kadang dia suka melakukan sesuatu dan kadang-kadang meninggalkannya karena takut akan diwajibkan bagi umatnya, sebagaimana dalam hal berhenti shalat tarawih berjamaah di bulan Ramadhan. Bisa jadi dengan meninggalkannya itu untuk mempermudah dan menunjukkan kasih sayang kepada umatnya. 

Al-Bukhaari (1128) dan Muslim (718) meriwayatkan dari Aisyah (ra) bahwa dia berkata:

"مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي سُبْحَةَ الضُّحَى قَطُّ، وَإِنِّي لَأُسَبِّحُهَا، وَإِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَدَعُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ؛ خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ ".

"Aku belum pernah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan shalat sunnat Dhuha. Adapun aku mengerjakannya. Jika Rasulullah (SAW) meninggalkan suatu amalan yang disukainya, maka itu karena takut orang-orang akan melakukannya dan diwajibkan atas mereka". 

Al-Haafizh (semoga Allah merahmatinya) berkata: 

"وَاسْتُدِلَّ بِهِ – أي بحديث ابن عباس - عَلَى فَضْلِ صِيَامِ عَشْرِ ذِي الْحِجَّةِ لِانْدِرَاجِ الصَّوْمِ فِي الْعَمَلِ، وَلَا يَرد عَلَى ذَلِكَ مَا رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَغَيْرُهُ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَائِمًا الْعَشْرَ قَطُّ؛ لِاحْتِمَالِ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ لِكَوْنِهِ كَانَ يَتْرُكُ الْعَمَلَ وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَهُ خَشْيَةَ أَنْ يُفْرَضَ عَلَى أُمَّتِهِ "

“Itu – yaitu hadits Ibnu ‘Abbaas – dikutip sebagai dalil keutamaan puasa sepuluh hari pertama Dzulhijjah, karena puasa termasuk dalam kategori amal saleh. Hal itu tidak bertentangan dengan riwayat yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya dari 'A'isyah, yang mengatakan: Aku tidak pernah melihat Rasulullah (SAW) berpuasa sepuluh hari. Bisa jadi karena dia biasa meninggalkan suatu amalan yang disukainya karena khawatir akan diwajibkan atas ummatnya.” (Fath al-Baari, 2/460)

TAKHRIJ HADITS PUASA HARI TARWIYAH

« صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ »

“Puasa hari tarwiyah adlh penghapusan dosa setahun ".

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

بسم الله الرحمن الرحيم

Dari Ibnu 'Abbas (ra): bahwa Nabi SAW bersabda:

« صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ »

“Puasa hari tarwiyah adlh penghapusan dosa setahun ".

Syeikh al-Albaani berkata dlm “إرواء الغليل” 4/113 no. 956 berkata:

روَاهُ أَبُو الشَّيْخِ فِي الثَّوَابِ (ص 229) وَابْنُ النَّجَّارِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ مَرْفُوعًا، وَهُوَ ضَعِيفٌ.

Itu diriwayatkan oleh Abu Al-Sheikh dalam “Al-Tsawaab” dan Ibn Al-Najjar dari Ibnu Abbas, dari Nabi SAW (hal. 229). Itu Dhoif”.

عَلَى أَحْسَنِ الْأَحْوَالِ فَإِنِّي لَمْ أَقِفْ عَلَى سَنَدِهِ لِنَتَمَكَّنَ مِنْ دِرَاسَتِهِ وَإِعْطَائِهِ مَا يَسْتَحِقُّهُ مِنَ النَّقْدِ بِدَقَّةٍ.

وَالْمُصَنَّفُ قَدْ نَقَلَهُ عَنِ السُّيُوطِيِّ، وَهَذَا أَوْرَدَهُ فِي جَامِعَيْهِ (الصَّغِيرِ) وَ (الْكَبِيرِ) وَقَدْ نَصَّ فِي مُقَدِّمَةِ هَذَا أَنَّ كُلَّ مَا عَزَّاهُ مِنَ الْأَحَادِيثِ لِلْعَقِيلِيِّ فِي (الضُّعَفَاءِ) أَوْ لِابْنِ عَدِيٍّ فِي (الْكَامِلِ) أَوْ لِلْخَطِيبِ، أَوْ لِابْنِ عَسَاكِرَ فِي تَارِيخِهِ أَوْ لِلْحَكِيمِ التِّرْمِذِيِّ فِي (نَوَادِرِ الْأَصُولِ)، أَوْ لِلْحَاكِمِ فِي (تَارِيخِهِ)، أَوْ لِابْنِ النَّجَّارِ فِي (تَارِيخِهِ) أَوْ الدَّيْلَمِيِّ فِي (مُسْنَدِ الْفِرْدَوْسِ) قَالَ: (فَهُوَ ضَعِيفٌ، فَيَسْتَغْنِي بِالْعَزْوِ إِلَيْهَا أَوْ إِلَى بَعْضِهَا عَنْ بَيَانِ ضَعْفِهِ).

Mentok-mentoknya kondisi yang terbaik adalah bahwa saya tidak menemukan sanadnya yang memungkinkan kami dapat mempelajarinya dan memberikannya apa yang layak dari kritikan secara akurat.

Dan Pengarang kitab itu sendiri mengutipnya dari As-Suyuti, dan ini disebutkan dalam dua kitabnya “الجامع الصغير” dan “الجامع الكبير”, dan dia menyatakan dalam Muqoddimahnya:

“Bahwa semua hadits yang dia kutip dari Al-‘Uqaili dalam " الضعفاء" atau dari Ibn Adiy dalam "الكامل" atau dari Al-Khootib atau dari Ibn Asaakir dalam Tarikh-nya, atau dari al-Hakim al-Tirmidzi dalam “نوادر الأصول” atau dari al-Hakim dalam “التاريخ”-nya, atau dari Ibn al-Najjaar dalam “Tarikh” atau oleh al-Daylami dalam “مسند الفردوس”, dia (as-Sayuthi) berkata:

“Ia (hadits tsb) dho’iif, maka dicukupkan dengan kutipan saja darinya tanpa penjelasan kelemahannya (kedhaifannya)”.

Bahkan Ibnu al-Jawzi berkata, seperti dalam kitab (تدريب الراوي):

مَا أَحْسَنَ قَوْلَ الْقَائِلِ: إِذَا رَأَيْتَ الْحَدِيثَ يُبَايِنُ الْمَعْقُولَ، أَوْ يُخَالِفُ الْمَنْقُولَ، أَوْ يُنَاقِضُ الْأُصُولَ، فَاعْلَمْ أَنَّهُ مَوْضُوعٌ. قَالَ: وَمَعْنَى مُنَاقَضَتِهِ لِلْأُصُولِ، أَنْ يَكُونَ خَارِجًا عَنْ دَوَاوِينِ الْإِسْلَامِ مِنَ الْمَسَانِيدِ وَالْكُتُبِ الْمَشْهُورَةِ.

Alangkah baiknya ucapan orang yang berkata: Jika kamu melihat sebuah hadits yang bertentangan dengan akal, atau bertentangan dengan al-manquul (yakni hadist shahih), atau bertentangan dengan al-Ushul (qa’idah), maka ketahuilah bahwa itu PALSU.

Lalu Dia (Ibnu al-Jauzy) berkata: “Yang dimaksud dengan kontradiksinya dengan al-Ushuul adalah bahwa ia berada di luar kitab-kitab Islam dari kitab-kitab hadits al-Musnada dan kitab-kitab yang masyhur”.

Kemudian syeikh al-AlBaani berkata:

"فَالْحَدِيثُ بِهَذَا الْمَعْنَى مَوْضُوعٌ لِكُونِهِ خَارِجًا عَنْ الْمَسَانِيدِ وَالْكُتُبِ الْمَشْهُورَةِ، وَلِذَلِكَ قُلْتُ فِيهِ أَنَّهُ ضَعِيفٌ عَلَى أَحْسَنِ الْأَحْوَالِ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ."

Maka Hadits dalam kondisi seperti ini adalah adalah PALSU karena berada di kitab-kitab hadits musnad dan kitab-kitab yang terkenal. Jadi saya katakan bahwa hadits ini palinga tidak dihukumi lemah alias dha’if. Wallaahu alam.

Hadits tersebut di riwayatkan pula oleh ad-Dailami dengan sanadnya dalam “مسند الفردوس” 2/248 dari riwayat Abu asy-Syeikh dari Ali bin Ali al-Humeiry dari al-Kalby dari Abi Shalih dari Ibnu Abbaas dari Nabi SAW.... dst:

Syeikh al-Albaany berkata:

قُلْتُ: وَهَذَا مَوْضُوعٌ، آفَتَهُ الكَلْبِيُّ، وَاسْمُهُ مُحَمَّدُ بْنُ السَّائِبِ، قَالَ الْحَافِظُ: (مُتَّهَمٌ بِالْكَذِبِ)

قُلْتُ: قَدْ قَالَ هُوَ نَفْسُهُ لِسُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ: (كُلُّ مَا حَدَّثْتُكَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ فَهُوَ كَذِبٌ)

وَعَلِيُّ بْنُ عَلِيِّ الْحَمِيرِيُّ تَرْجُمَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ (3/1/197) وَلَمْ يَذْكُرْ فِيهِ جَرْحًا وَلَا تَعْدِيلًا.

Aku katakan: Ini adalah PALSU. Penyakitnya adalah Al-Kalbi, namanya adalah Muhammad bin Al-Sa'ib. Al-Hafiz ibnu Hajar berkata: (dia dituduh dengan suka berdusta).

Aku berkata: Dia sendiri berkata kepada Sufyan al-Thawri:

(كُلُّ مَا حَدَّثْتُكَ عَنْ أَبِي صَالِحٍ فَهُوَ كَذِبٌ)

(Semua yang aku katakan kepadamu dari Abu Shalih adalah dusta).

Dan Ali bin Ali Al-Humairi, biografinya disebutkan oleh Ibnu Abi Haatim dlm “الجرح والتعديل”(3/1/197), dan dia tidak menyebutkan apa pun tentangnya, baik Jarh (celaan) ataupun Ta’dil (pujian).

SELESAI

Posting Komentar

0 Komentar