Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

KUMPULAN FATWA HUKUM KREDIT DENGAN ADANYA DENDA KETERLAMBATAN

Di Susun oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

DAFTAR ISI:

  • HUKUM JUAL BELI BEDA HARGA, ANTARA CASH DAN KREDIT
  • HUKUM POTONGAN JUMLAH HUTANG JIKA PEMBAYARAN DIAJUKAN [DIPERCEPAT]
  • HUKUM DENDA KETERLAMBATAN BAYAR HUTANG & KUMPULAN FATWA HUKUM KREDIT DENGAN ADANYA DENDA KETERLAMBATAN
  • FATWA KE 1 HINGGA KE 21

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

HUKUM JUAL BELI BEDA HARGA, ANTARA CASH DAN KREDIT:


Mayoritas para Ulama berpendapat: Boleh jual beli barang dengan cara beda harga. Yaitu harga kredit lebih mahal dari pada harga cash. Akan tetapi dengan syarat, saat terjadi akad jual beli harus menentukan salah satu dari dua jenis transaksi tersebut.

Diantara dalil yang menunjukkan bolehnya jual beli di bayar tempo dengan harga lebih mahal, bahkan lebihnya hingga 2 x lipat atau 3 x lipat adalah sbb:

Dari 'Amru bin Al Harisy, dia berkata;

سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ فَقُلْتُ إِنَّا بِأَرْضٍ لَيْسَ بِهَا دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ وَإِنَّمَا نُبَايِعُ بِالْإِبِلِ وَالْغَنَمِ إِلَى أَجَلٍ فَمَا تَرَى فِي ذَلِكَ قَالَ عَلَى الْخَبِيرِ سَقَطْتَ جَهَّزَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَيْشًا عَلَى إِبِلٍ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ حَتَّى نَفِدَتْ وَبَقِيَ نَاسٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرِ لَنَا إِبِلًا مِنْ قَلَائِصَ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ إِذَا جَاءَتْ حَتَّى نُؤَدِّيَهَا إِلَيْهِمْ فَاشْتَرَيْتُ الْبَعِيرَ بِالِاثْنَيْنِ وَالثَّلَاثِ قَلَائِصَ حَتَّى فَرَغْتُ فَأَدَّى ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِبِلِ الصَّدَقَةِ

"Aku bertanya kepada Abdullah bin 'Amru bin Al 'Ash ; "Kami pernah hidup dalam sebuah kawasan yang di dalamnya tidak terdapat dinar dan tidak pula dirham, dan kami berjual beli dengan unta dan kambing dengan ditangguhkan. Apa pendapatmu mengenai hal ini?"

Maka dia berkata kepada orang yang mengkhabarkan kepadanya itu:

"Kamu telah salah. Rasulullah SAW pernah mempersiapkan sebuah pasukan lalu beliau memberikan kepada setiap orang satu ekor unta dari hasil zakat hingga persediaan unta itupun habis dan masih tersisa beberapa orang (yang belum menerimanya), maka Rasulullah pun bersabda:

"Belikanlah untuk kami unta yang masih muda (dibayar nanti) dengan unta hasil zakat yang akan datang hingga kami bisa segera memberikannya kepada mereka."

Maka akupun membeli SATU EKOR UNTA (dibayar) dengan DUA EKOR atau TIGA EKOR UNTA dari hasil zakat hingga aku selesai membagikannya kepada mereka. Kemudian Rasulullah SAW membayar unta-unta itu dengan unta dari hasil zakat." (HR. Imam Ahmad no. 6305)

Di riwayatkan pula oleh oleh Abu Dawud (3357), serta Al-Thahawi (2/229), Al-Daraqutni (318), Al-Hakim (2/56-57) dan Al-Bayhaqi (5/277).

Hadits ini di shahihkan oleh Ad-Daaruquthni, al-Hakim, adz-Dzahabi, Ibnu at-Turkumani dan al-Hafidz Ibnu Hajar.

Di Dhoifkan oleh syeikh al-Albaani dalam “Dho’if Abu Daud” no. 2913, akan tetapi di Hasankan di kitab “إرواء الغليل” 5/205-207 karena adanya jalur-jalur sanad lainnya.

Syeikh al-Albaani dlm “إرواء الغليل” 5/206-207 berkata:

أَخْرَجَهُ البَيْهَقِيُّ وَالدَّارَقُطْنِيُّ وَعَنْهُ (٥ / ٢٨٧ – ٢٨٨) شَاهِدًا لِلطَّرِيقِ الْأُولَى وَذَكَرَ أَنَّهُ "شَاهِدٌ صَحِيحٌ". وَأَقَرَّهُ ابْنُ التُّرْكَمَانِيُّ فِي "الجَوْهَرِ النَّقِيِّ" بَلْ تَأْوِيلَهُ، وَلَمْ يَتَعَقَّبْهُ بِشَيْءٍ. كَمَا هِيَ عَادَتُهُ! وَأَقَرَّهُ الْحَافِظُ فِي "التَّلْخِيصِ" وَصَرَّحَ فِي "الدِّرَايَةِ" (ص ٢٨٨) بِأَنَّ إِسْنَادَهُ قَوِيٌّ. قُلْتُ: وَهُوَ حَسَنُ الْإِسْنَادِ.

Dan diriwayatkan pula oleh al-Bayhaqi dan al-Daraqutni, dan sama darinya (5/287-288) sebagai saksi jalur sanad pertama, dan dia menyatakan bahwa itu adalah “Syahid yang Shahih.” Ibn al-Turkmani menyetujuinya dalam “الجوهر النقي”, bahkan dia menafsirkannya, dan dia tidak mengkritiknya seperti kebiasaannya! Al-Hafidz Ibnu Hajar mengukuhkannya dalam “التلخيص الحبير” dan menyatakan dalam “الدراية” (hal. 288) bahwa Sanadnya kuat.

Saya (al-Albaani) berkata: Ini adalah Sanad yang Hasan “. (Selesai kutipan dari Syeikh al-Albaani).

Imam Syafi’i رحمه الله berkata:

وَلاَ بَأْسَ بِالْبَعِيرِ بِالْبَعِيرَيْنِ مِثْلِهِ وَأَكْثَرَ يَدًا بِيَدٍ وَنَسِيئَةً فَإِذَا تَنَحَّى عَنْ أَنْ يَكُونَ فِي مَعْنَى مَا لاَ يَجُوزُ الْفَضْلُ فِي بَعْضِهِ عَلَى بَعْضٍ فَالنَّقْدُ مِنْهُ وَالدَّيْنُ سَوَاءٌ " انتهى من "الأم" (4/70)

Tidaklah mengapa jual beli satu ekor unta di bayar dengan dua ekor unta, baik semisalnya maupun lebih banyak, baik di bayar tunai atau dibayar kredit “نَسِيئَةً”.

Jadi transaksi itu jika terhindar dari makna yang mengandung unsur Riba al-Fadl yang di larang, maka hukum nya baik dibayar tunai maupun ngutang itu sama saja (Yakni: Boleh)“. (Baca: al-Umm 4/70).

Imam al-Bukhari pun mencantumkan dalam Sahih-nya sebuah Bab:

"108: بَاب بَيْعِ الْعَبِيدِ وَالْحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيئَةً"

“Bab: menjual budak dan menjual hewan di bayar dengan hewan secara kredit”.

Lalu Imam Bukhori berkata:

" وَاشْتَرَى ابْنُ عُمَرَ رَاحِلَةً بِأَرْبَعَةِ أَبْعِرَةٍ مَضْمُونَةٍ عَلَيْهِ ، يُوفِيهَا صَاحِبَهَا بِالرَّبَذَة ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: قَدْ يَكُونُ الْبَعِيرُ خَيْرًا مِنَ الْبَعِيرَيْنِ ، وَاشْتَرَى رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ بَعِيرًا بِبَعِيرَيْنِ ، فَأَعْطَاهُ أَحَدَهُمَا، وَقَالَ: آتِيكَ بِالآخَرِ غَدًا رَهْوًا، إِنْ شَاءَ اللَّهُ ، وَقَالَ ابْنُ الْمُسَيَّبِ: لاَ رِبَا فِى الْحَيَوَانِ الْبَعِيرُ بِالْبَعِيرَيْنِ ، وَالشَّاةُ بِالشَّاتَيْنِ إِلَى أَجَلٍ ، وَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ: لاَ بَأْسَ بِبَعِيرٍ بِبَعِيرَيْنِ نَسِيئَة ً، وَدرهم بِدرهم نَسِيئَة " انتهى.

“Dan Ibnu Umar (ra) membeli seekor unta tunggangan di bayar dengan empat ekor unta dalam tanggungan beliau (ra), kemudian beliau menunaikan pembayarannya di daerah “ ar-Rabdzah”.

Ibn Abbas (ra) berkata: “ Terkadang ada seekor unta itu lebih baik dari dua ekor unta lainnya“.

Dan Rafi’ Bin Khadiij pernah membeli seekor unta di bayar dengan dua ekor unta (2 x bayar) beliau membayar salah satunya di tempat tsb, lalu beliau berkata: “ Sisanya akan saya bawakan kepada mu besoknya secepat mungkin Insya Allah”.

Ibnu al-Musayyib berkata: “ Tidak ada riba pada hewan, beli satu ekor unta dibayar dengan dua ekor unta, dan seekor kambing di bayar dengan dua ekor kambing di bayar pada jangka waktu tertentu “.

Ibnu Sirin berkata: Tidak ada salahnya beli seekor unta di bayar dengan dua ekor unta dibayar tempo, dan satu dirham dengan satu dirham di bayar tempo “. (Lihat Shahih Bukhori di cetak dengan Fathul Bari 4/419).

Fatwa Syaikh Abdul Azis bin Baz rahimahullahu berkata:

"Jual-beli kredit hukumnya boleh, dengan syarat bahwa lamanya masa angsuran serta jumlah angsuran diketahui dengan jelas saat aqad, sekalipun jual-beli kredit biasanya lebih mahal daripada jual-beli tunai..." (Majmu' Fatawa Ibnu Baz, 19/105)

NOTE:

Pembahasan di atas adalah berkaitan dengan transaksi jual beli. Adapun meminjamkan unta dengan syarat peminjam mengembalikannya dengan dua ekor unta, hal ini tidak diperbolehkan menurut ijma’ para ulama.

Pembedaan antara menjual unta dengan dua ekor unta secara ditangguhkan, dan meminjamkan seekor unta dan mengembalikannya dengan dua ekor unta, adalah karena adanya perbedaan niat dan tujuan.

Niat penjualan dan tujuannya berbeda dengan niat dan tujuan meminjamkan. Oleh karena itu terdapat perbedaan antara dua masalah tsb dalam putusan hukum.

Menjual tujuannya untuk pertukaran, keuntungan dan bisnis. Oleh karena itu diperbolehkan untuk menambahi harganya, dan diperbolehkan untuk menunda pembayarannya dalam kasus selain Riba.

Berbeda dengan meminjamkan, yang maksud dan tujuannya adalah untuk menolong, berbaik hati dan lembut kepada si peminjam, maka jika ditetapkan bahwa ia harus mengembalikannya dengan tambahan jumlah, maka pinjaman itu di luar yang dimaksudkan, dan kelebihannya menjadi riba.

Efek niat dalam hukum transaksi telah ditetapkan secara Ijma’, contohnya: jika orang lain diberi seratus gram emas sebagai pinjaman selama satu tahun, itu dibolehkan, bahkan itu adalah pinjaman yang baik yang akan diberi pahala.

Dan Jika dia memberikannya dengan tujuan menjualnya dengan syarat dia mengambil harga 100 gram setelah satu tahun, itu dilarang meskipun tanpa bunga ; karena menjual emas dengan emas itu disyaratkan harus sama jumlahnya dan harus serah terima alias kontan.

(Silahkan baca: al-Mughni karya Ibnu Quddaamah 4/240 dan “إعلام الموقعين” karya Ibnu al-Qoyyim 3/81 dan “الموسوعة الفقهية” 33/130).

HUKUM POTONGAN JUMLAH HUTANG JIKA PEMBAYARAN DIAJUKAN [DIPERCEPAT]

Masalah ini di kenal oleh para fuqaha dengan ungkapan:

(ضَعْ وتَعَجَّلْ: kurangi jika dibayar segera)

Yakni: ketika orang yang berhutang lebih cepat membayar hutangnya, maka si pemberi hutang boleh mengurangi pelunasan hutangnya dari jumlah yang ditangguhkan atas orang yang berhutang dan mendiscont darinya sebagai imbalan atas lebih cepatnya pembayaran kepada pemberi hutang.

Dalil Asal disyariatkannya praktik ini adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dalam Shahih mereka dari hadits Al-Zuhri dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik dari Ka’ab (ra):

أَنَّهُ تَقَاضَى ابْنَ أَبِي حَدْرَدٍ دَيْنًا كَانَ لَهُ عَلَيْهِ فِي المَسْجِدِ، فَارْتَفَعَتْ أَصْوَاتُهُمَا حَتَّى سَمِعَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي بَيْتِهِ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمَا حَتَّى كَشَفَ سِجْفَ حُجْرَتِهِ، فَنَادَى: «يَا كَعْبُ» قَالَ: لَبَّيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «ضَعْ مِنْ دَيْنِكَ هَذَا» وَأَوْمَأَ إِلَيْهِ: أَيِ الشَّطْرَ، قَالَ: لَقَدْ فَعَلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ، قَالَ: «قُمْ فَاقْضِهِ».

Bahwa ia pernah menagih hutang kepada Ibnu Abu Hadrad di dalam masjid hingga suara keduanya meninggi yang akhirnya didengar oleh Rasulullah SAW yang berada di rumah. Beliau kemudian keluar menemui keduanya sambil menyingkap kain gorden kamarnya,

Beliau bersabda: “Wahai Ka’ab!”. Ka’ab bin Malik menjawab: “Wahai Rasulullah, aku penuhi panggilanmu.”

Beliau bersabda: “Bebaskanlah hutangmu ini.” Beliau lalu memberi isyarat untuk membebaskan setengahnya.

Ka’b bin Malik menjawab: “Sudah aku lakukan wahai Rasulullah.” Beliau lalu bersabda (kepada Ibnu Abu Hadrad): “Sekarang bayarlah”.

(HR. Bukhori no. 2710 dan Muslim no. 4067).

Dan Al-Bayhaqi berkata:

وَرُوِّينَا عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، أَنَّ ابْنَ عَبَّاسٍ كَانَ: «لَا يَرَى بَأْسًا أَنْ يَقُولَ أُعَجِّلُ لَكَ وَتَضَعُ عَنِّي».

Dan diriwayatkan kepada kami dari Amr bin Dinar bahwa dulu Ibnu Abbas berpendangan tidak mengapa jika seseorang berkata: Aku siap mempercepat bayar hutang padamu, tapi kau kurangi kewajiban bayar hutang ku itu.” (Lihat “السنن الصغير” karya al-Baihaqi (2/285) (2015)

Dan dalam bab ini ada kisah pengusiran Bani al-Nadir dan Sabda Nabi SAW kepada mereka: "ضعوا وتعجّلوا" (Kalian kurangilah dan mereka segera membayar))

Yaitu Apa yang diriwayatkan oleh al-Hakim dan al-Tabarani dari Ibnu Abbas:

" أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَمَّا أُمِرَ بِإِخْرَاجِ بَنِي النَّضِيرِ جَاءَهُ نَاسٌ مِنْهُمْ فَقَالُوا: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَ بِإِخْرَاجِنَا وَلَنَا عَلَى النَّاسِ دَيْوَنٌ لَمْ تَحِلَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ضَعُوا وَتَعَجَّلُوا ".

“Bahwa Nabi SAW: Ketika beliau memerintahkan pengusiran Bani al-Nadlir, ada beberapa orang dari mereka datang kepadanya. Mereka berkata: Wahai Nabi Allah, Anda telah memerintahkan kami untuk diusir, sementara banyak orang punya hutang pada kami yang belum terselesaikan. Rasulullah SAW berkata: Letakkan dan cepatlah.

"ضَعُوا وتعجّلُوا" (Kalian kurangilah dan mereka segera membayar)

Ibnu Hajar al-Haitsami berkata dalam “مجمع الزوائد”:

فِيهِ مُسْلِمِ بْنِ خَالِدِ الزَّنْجِيِّ وَهُوَ ضَعِيفٌ وَقُدْ وُثِّقَ اهـ.

Di dalam sanadnya terdapat Muslim ibn Khalid al-Zanji, dia itu dhoif, tapi ada pula yang mentsiqohkannya “.

Dan Ibnul Qoyyim dlm “أَحْكَامُ أَهْلِ الذِّمَّةِ” 1/396 berkata:

وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ لَيْسَ فِيهِ إِلَّا مُسْلِمُ بْنُ خَالِدِ الزَّنْجِيِّ وَحَدِيثُهُ لَا يُنْحَطُ عَنْ رَتْبَةِ الْحَسَنِ اهـ.

Sanadnya hasan, dan tidak ada seorang pun di dalamnya kecuali Muslim bin Khalid al-Zanji, dan haditsnya tidak jatuh di bawah peringkat al-Hasan”,

Dalil yang bisa diambil dari hadits-hadits ini adalah jika boleh membeli waktu dengan mengurangi harga dan kewajiban utang ketika dibayar, maka diperbolehkan juga menjual waktu dengan menaikkan harga sebelum akad.

Karena Waktu itu memiliki harga dan bukan sesuatu yang dibuang-buang, apalagi dengan kebutuhan mendesak pedagang akan uang tunai dan likuiditas keuangan dalam transaksinya saat itu juga.

Gambaran ini sama sekali berbeda dengan gambaran kenaikan harga ribawi pada saat jatuh tempo, karena kenaikan ini merupakan beban yang menghimpit bagi yang berhutang. Adapun kenaikan harga dalam penjualan kredit maka itu merupakan keluasan dan pilihan bagi pembeli.

Al-Lajnah ad-Daaimah pernah di tanya masalah (ضَعْ وتَعَجَّلْ: dikurangi dan dibayar segera):

JAWABANNYA:

هذِهِ المَسْأَلَةُ فِيهَا خِلَافٌ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ ، وَالصَّحِيحُ مِنْ قَوْلِيهِمْ جَوَازُ الْوَضْعِ وَالتَّعَجُّلِ وَهُوَ رَوَايَةٌ عَنْ الإمَامِ أَحْمَدَ وَاخْتِيَارِ الشَّيْخَيْنِ ابْنِ تَيْمِيَّةِ وَابْنِ الْقَيِّمِ وَمَنْسُوبٌ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا... اهـ. [فتاوى اللجنة (13/168)]

Masalah ini menjadi perselisihan di antara para ahli ilmu, dan yang benar dari perkataan mereka adalah boleh hukum (ضَعْ وتَعَجَّلْ: dikurangi dan dipercepat) dan itu adalah riwayat dari Imam Ahmad dan pilihan dari dua syeikh Ibnu Taimiyah dan Ibnu al-Qayyim, dan itu dinisbatkan kepada Ibn Abbas (ra). [فتاوى اللجنة 13/168].

Dan itu termasuk keputusan al-Majma' al-Fiqhi:

الحَطِيطَةُ مِنَ الدَّيْنِ المُؤَجَّلِ لأَجَلِ تَعْجِيلِهِ سَوَاءً أَكَانَتْ بِطَلَبِ الدَّائِنِ أَمْ الدَّيْنِ (ضَعْ وَتَعَجَّلْ) جَائِزَةٌ شَرْعًا لَا تَدْخُلُ فِي الرِّبَا الْمُحَرَّمِ إذَا لَمْ تَكُن بِنَاءً عَلَى اتِّفَاقٍ مُسَبَّقٍ وَمَا دَامَتِ الْعَلَاقَةُ بَيْنَ الدَّائِنِ وَالدَّيْنِ ثُنَائِيَّةً فَإِذَا دَخَلَ بَيْنَهُمَا طَرَفٌ ثَالِثٌ لَمْ تَجُزْ لِأَنَّهَا تَأْخُذُ عِنْدَئِذٍ حُكْمَ حَسْمِ الْأَوْرَاقِ التِّجَارِيَّةِ يَجُوزُ اتِّفَاقُ الْمُتَدَايِنَيْنِ عَلَى حُلُولِ سَائِرِ الْأَقْسَاطِ عِنْدَ امْتِنَاعِ الدَّيْنِ عَنْ وَفَاءِ أَيِّ قِسْطٍ مِنْ الْأَقْسَاطِ الْمُسْتَحِقَّةِ عَلَيْهِ مَا لَمْ يَكُنْ مُعَسَّرًا إذَا اعْتُبِرَ الدَّيْنُ حَالًا لِمَوْتِ الدَّيْنِ أَوْ إفْلَاسِهِ أَوْ مُمَاطَلَتِهِ فَيَجُوزُ فِي جَمِيعِ هَذِهِ الْحَالَاتِ الحَطُّ مِنْهُ لِلتَّعْجِيلِ بِالتَّرَاضِي. ضَابِطُ الإِعْسَارِ الَّذِي يُوجِبُ الانتِظَارِ أَلَّا يَكُونَ لِلدَّيْنِ مَالٌ زَائِدٌ عَنْ حَوَائِجِهِ الأَصْلِيَّةِ يُفِي بِدَيْنِهِ نَقْدًا وَعِينًا.

المَصْدَرُ: فتاوى هيئة الرقابة الشرعية لِمَصْرَفِ قَطَرِ الإِسْلامِيِّ، فَتْوَى رَقَمْ (٥٢)

Mengurangi utang yang ditangguhkan untuk mempercepatnya, baik atas permintaan kreditur maupun debitur (ضَعْ وَتَعَجَّلْ / dikurangi jika dipercepat) secara syariat adalah sah dan tidak termasuk riba yang terlarang, selama tidak didasarkan pada kesepakatan sebelumnya.

Selama hubungan antara kreditur dan debitur bersifat bilateral, maka jika ada pihak ketiga yang terlibat di antara keduanya, maka tindakan ini tidak diizinkan karena akan dianggap seperti pemutusan kewajiban dalam surat-surat dagang.

Debitur dapat sepakat untuk memajukan seluruh angsuran jika debitur menolak membayar salah satu angsuran yang jatuh tempo, asalkan debitur tidak dalam keadaan kesulitan, seperti dalam keadaan kematian, pailit, atau mengalami tindakan menunda-nunda.

Dalam semua kasus ini, pemangkasan utangnya untuk percepatan pembayaran dapat dilakukan secara musyawarah.

Persyaratan kebangkrutan yang mengharuskan menunggu harus memperhatikan agar debitur tidak memiliki aset lebih dari kebutuhan riilnya, yang dapat digunakan untuk melunasi utangnya, baik dalam bentuk uang tunai maupun barang.

Sumber: Fatwa Lembaga Pengawasan Syariah Bank Islam Qatar, Fatwa Nomor (52)

HUKUM DENDA KETERLAMBATAN BAYAR HUTANG & KUMPULAN FATWA HUKUM KREDIT DENGAN ADANYA DENDA KETERLAMBATAN

Di sini penulis akan mengutip artikel dan fatwa-fatwa para ulama kontemporer yang berkaitan dengan pembahasan masalah ini. Diantaranya adalah sbb:

PERTAMA: ARTIKEL ABU MUHAMMAD MAHMUD

الْحِيلُ الشَّرْعِيَّةُ وَغَرَامَةُ التَّأْخِيرِ عَلَى الْمَدِيْنِ

Trik-Trik tipu daya Syariah dan Denda Keterlambatan Bagi Pihak yang Berutang

Penulis: Abu Muhammad Mahmud

IslamOnline.Web

Abu Muhammad Mahmud berkata:

من الحيل التي تسربت إلى المعاملات التمويلية في مؤسسات التمويل الإسلامي ما يسمى بـ”غَرَامَة التَّأخِيْرِ” التي تفرض على المدين عند تأخره في السداد وبعض المصارف الإسلامية يفرضها لكنه لا يأخذها لنفسه بل يصرفها في وجوه البر ويكون لها حساب خاص، وهذا في الحقيقية حيلة مرفوضة فيما ذهب إليه أكثر الفقهاء المعاصرين وبه صر قرار مجمع الفقه.

Dari hiilah-hiilah [trik tipu daya syar'i] yang telah muncul dalam transaksi keuangan di lembaga keuangan Islam, ada yang disebut "denda keterlambatan [غَرَامَة التَّأخِيْرِ]" yang dikenakan pada peminjam apabila ia terlambat dalam pembayaran. Beberapa lembaga keuangan Islam menerapkan hal ini, namun denda tersebut tidak diambil untuk kepentingan diri sendiri, melainkan dialokasikan untuk kegiatan amal dan memiliki rekening terpisah. Namun, sebenarnya, trik ini adalah hiilah yang tidak diterima oleh sebagian besar ulama kontemporer, dan ada fatwa dari Majma' al-Fiqh yang mengharamkannya.

فاشتراط هذه الغرامة في الديون الآجلة سواء أكانت الغرامة مبلغا محددا، أو نسبة من الدين، أو نسبة حسب أرباح ودائع البنك.. كل ذلك لا يجوز وليس للمصارف الإسلامية فعله، والبدائل التي تحفظ لها حقها وتستطيع من خلالها إلزام المدين المماطل بالسداد كثيرة، وقد كان حال البنوك الإسلامية قبل فرض مثل هذه الغرامات منضبطا، وسمعتها طيبة.

Pensyaratan denda semacam ini pada utang berjangka, baik itu berupa jumlah tetap, persentase dari utang, atau berdasarkan keuntungan dari deposit bank, semuanya itu tidak diperbolehkan dan tidak seharusnya dilakukan oleh lembaga keuangan Islam. Ada banyak alternatif yang dapat melindungi hak mereka dan banyak cara untuk memaksa peminjam yang lambat bayar untuk menunaikannya tepat waktu. Dan dulu sebelum diberlakukannya denda semacam ini, kondisi bank-bank Islam sudah rapih, profesional dan memiliki reputasi yang baik.

وتساهل البنوك الإسلامية وأخذها بمثل هذه بالحيل، والأقوال الشاذة والمرجوحة يقربها تماما من البنوك الربوية، ولذا كثر القول في أوساط الناس أن لا فرق بين عملها وعمل البنوك التجارية الربوية، ومن أسباب ذلك القول شكلية الإجراءات وصوريتها في كثير من المعاملات التي تجريها ، وكذلك الأخذ بمثل هذه الحيل التي تشبه الفوائد الربوية التي تفرضها البنوك التجارية.

Namun setelah bank-bank Islam menolerir, mengampangkan dan menerapkan hiilah-hiilah [trik-trik] semacam ini, dan menerapkan pendapat-pendapat yang syadz [aneh] dan ambigu yang membuatnya mirip dengan bank-bank ribawi (konvensional). Oleh karena itu, banyak yang berpendapat di kalangan masyarakat bahwa tidak ada perbedaan antara operasional bank-bank Islam dengan bank-bank ribawi komersial. Salah satu alasan dari pendapat tersebut adalah bentuk prosedur dan penampilannya dalam banyak transaksi yang mereka lakukan, serta penggunaan trik semacam ini yang mirip dengan bunga yang diterapkan oleh bank-bank komersial.

فلم يعد للمصارف الإسلامية في كثير من البلدان صبغة ظاهرة تميزها غير رفع شعار الأسلمة وهذا لا يكفي: (قَالَتِ الأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوا وَلَكِنْ قُولُوا أَسْلَمْنَا وَلَمَّا يَدْخُلِ الإِيمَانُ فِي قُلُوبِكُمْ) الحجرات: 14.

Sebagai hasilnya, bank-bank Islam di banyak negara kehilangan ciri khas yang membedakannya, kecuali hanya menaikkan panji-panji Islam. Namun, hal ini tidaklah cukup, karena Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 14:

"Katakanlah: "Kalian belum beriman, melainkan kalian hanya baru mengucapkan 'kami sudah Islam,' padahal iman belum masuk ke dalam hati kalian.'"

PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN:

Abu Muhammad Mahmud berkata

قد يقول قائل: إن المسألة ليست محل اتفاق وأن من أهل العلم من قال: بجواز فرض غرامة التأخير على المدين الموسر المماطل، لكن لا يجوز للدائن أخذها، بل يجب عليه صرفها في وجوه البر.

Seseorang mungkin ada yang mengatakan: "Masalah ini bukanlah masalah yang disepakati, dan di antara para ulama ada yang berpendapat: boleh hukumnya menerapkan denda keterlambatan kepada pihak yang berhutang apabila dia memiliki kemampuan tetapi sengaja menunda-nunda pembayaran. Namun, tidak dibenarkan bagi pihak pemberi hutang untuk mengambil denda tersebut, melainkan dia harus menyumbangkannya untuk tujuan amal kebaikan."

ومنهم من قال بجوز فرضها وأنه لا حرج في استفادة البنك منها إذا كانت بمقدار الضرر الفعلي، وفي المسألة أقول أخرى. فلا تحجروا واسعا.

Dan sebagian dari mereka ada juga yang berpendapat bahwa denda tersebut dapat dikenakan dan tidak ada masalah bagi bank untuk memanfaatkannya sejauh sebesar kerugian aktual yang dialami.

Dan dalam masalah ini, ada juga pendapat yang lain. Jadi, jangan membatasi pandangan ini secara sempit.

وقد ذكر المجيزون للغرامة فروقاً بينها وبين الفائدة الربوية منها أن الفوائد الربوية مثبتة في البداية وغرامة التأخير محتملة فلو لم يتأخر المدين فإنه لن يدفع شيئاً، وأن الفوائد الربوية تفرض على المدين مطلقاً بغض النظر عما إذا كان موسرا أو معسرا، وغرامة التأخير لا ينبغي أن تفرض إلاّ عند الإيسار والمماطلة ، ونحو ذلك من الفروق، لكنها فروق غير جوهرية حقيقة وغير مؤثرة كما يقول الشيخ القره داغي في بحث له حول هذه المسألة منشور بموقعه الإلكتروني. وينصح بالاطلاع عليه فقد بحث المسألة بحثا وافيا.

Para ulama yang membolehkan denda keterlambatan telah menyebutkan perbedaan antara denda keterlambatan dan bunga ribawi. Mereka menyatakan:

Bahwa bunga ribawi sudah pasti ditetapkannya sejak awal, sementara denda keterlambatan merupakan kemungkinan. Jika pihak berhutang tidak menunda pembayaran, maka dia tidak akan membayar apa pun sebagai denda. Selain itu, bunga ribawi dikenakan kepada pihak berhutang tanpa kecuali, tidak peduli apakah dia kaya atau miskin, sedangkan denda keterlambatan maka sebaiknya hanya dikenakan pada orang yang mampu dan sengaja menunda-nunda pembayaran, dan yang sejenisnya dari perbedaan-perbedaan.

Namun, perbedaan ini bukan perbedaan esensial yang berpengaruh secara nyata, seperti yang dikatakan oleh Syekh al-Qurrah Daaghi dalam penelitiannya tentang masalah ini yang dipublikasikan di situs webnya. Disarankan untuk merujuk ke penelitiannya karena dia telah menyelidiki masalah ini secara menyeluruh.

KESIMPULAN:

Abu Muhammad Mahmud berkata:

وعلى كل فالخلاف في هذه المسألة لا يكاد يعتد به، وقد قال الحطاب رحمه الله في تحرير الكلام في مسائل الإلتزام ص176: “إذا التزم المدعى عليه للمدعى أنه إذا لم يوفه في كذا فله عليه كذا وكذا، فهذا لا يختلف في بطلانه، لأنه صريح الربا، سواء كان الشيء الملتزم به من جنس الدين أو غيره، وسواء كان شيئاً معيناً أو منفعة، وحكم به بعض قضاة المالكية الفضلاء بموجب الالتزام، وما أظن ذلك إلاّ غفلة منه”.

Bagaimanapun juga, ketidaksepakatan tentang masalah ini hampir tidak signifikan. Al-Hattab rahimahullah berkata dalam "Tahrir al-Kalam fi Masail al-Iltizam" halaman 176:

"Jika seseorang berjanji kepada orang lain bahwa jika dia tidak memenuhi kewajibannya pada waktu tertentu, maka dia harus membayar sejumlah uang tertentu, ini tidak diragukan lagi merupakan bentuk riba yang jelas. Tidak ada bedanya, apakah kewajiban tersebut berupa utang atau hal lain, dan apakah itu berbentuk barang atau manfaat. Sebagian para ulama Maliki yang terkemuka memberlakukan kewajiban semacam ini berdasarkan janji, namun saya pikir itu hanyalah kelalaian dari mereka."

Dengan demikian, pendapat yang menyatakan keabsahan denda semacam itu adalah pendapat yang salah, dan penilaian semacam itu sebenarnya merupakan bentuk riba yang terlarang dalam Islam. Oleh karena itu, pendapat ini tidak dapat dianggap sah dalam pandangan kebanyakan ulama.

وأكثر المعاصرين أيضا على القول بمنع غرامة التأخير مطلقا وهذا هو ما صدر به قرار المجمع الفقهي التابع لرابطة العالم الإسلامي، وجعل هذه الغرامة كربا الجاهلية الذي نزل القرآن بتحريمه ومما تضمنه قراره: ” قرر المجمع الفقهي بالإجماع ما يلي: " إن الدائن إذا شرط على المدين أو فرض عليه أن يدفع له مبلغا من المال غرامة مالية جزائية محددة، أو بنسبة معينة إذا تأخر عن السداد في الموعد المحدد بينهما فهو شرط، أو فرض باطل، ولا يجب الوفاء به بل ولا يحل. لأن هذا بعينه هو ربا الجاهلية الذي نزل القرآن بتحريمه.”

Pendapat mayoritas ulama kontemporer juga mengatakan bahwa denda keterlambatan dilarang sepenuhnya dalam Islam, dan ini juga sejalan dengan keputusan al-Majma' al-Fiqhi [Majlis Fiqih] yang terafiliasi dengan Rabithah al-'Alam al-Islami [Liga Dunia Muslim]. Mereka menganggap denda semacam ini sebagai bentuk riba jahiliyah yang telah dilarang oleh Al-Quran. Keputusan tersebut menyatakan:

" al-Majma' al-Fiqhi [Majlis Fiqih] telah memutuskan secara bulat sebagai berikut: Jika pemberi pinjaman mengajukan syarat kepada peminjam atau menetapkan bahwa peminjam harus membayar sejumlah uang sebagai denda keterlambatan atau sebagai persentase tertentu jika dia terlambat dalam pembayaran sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, maka syarat atau ketentuan tersebut adalah bathil [tidak sah], dan tidak wajib untuk memenuhinya bahkan tidak diperbolehkan. Karena ini adalah bentuk riba jahiliyah yang dilarang oleh Al-Quran."

وكذلك صدر بتحريم هذه الغرامة قرار مجمع الفقه الإسلامي الدولي في دورة مؤتمره السادس، رقم 53(2/6).

ومما جاء فيه: “إذا تأخر المشتري المدين في دفع الأقساط عن الموعد المحدد، فلا يجوز إلزامه أي زيادة على الدين، بشرط سابق أو بدون شرط لأن ذلك ربا محرم. – يحرم على المدين المليء أن يماطل في أداء ما حل من الأقساط، ومع ذلك لا يجوز شرعاً اشتراط التعويض في حالة التأخر عن الأداء.” انتهى.

Begitu juga ada keputusan dari Majma' al-Fiqhi al-Islami ad-Duwali [Majelis Fiqih Islam Internasional] dalam sidang konferensi keenamnya, nomor 53(2/6), yang menyatakan:

"Jika pembeli yang berhutang terlambat dalam membayar cicilan pada waktu yang telah ditentukan, maka tidak diperbolehkan untuk membebankan kepadanya tambahan apa pun atas hutangnya, baik dengan persyaratan sebelumnya atau tanpa syarat, karena itu merupakan riba yang diharamkan.

Diharamkan pula bagi pihak yang berhutang yang mampu untuk menunda pembayaran dari apa yang telah menjadi kewajiban cicilan. Namun meskipun demikian, secara syariat tidak diperbolehkan untuk menetapkan ganti rugi [denda] dalam kasus keterlambatan pembayaran." Selesai.

وجاء في القرار رقم: 109(3/12) بشأن موضوع الشَّرْط الجَزَائِي: “يجوز أن يشترط الشرط الجزائي في جميع العقود المالية ما عدا العقود التي يكون الالتزام الأصلي فيها ديناً، فإن هذا من الربا الصريح.”

وإن كان القول بأخذ الغرامة وصرفها في وجه البر لإلزام المماطل بالسداد وحثه عليه أمثل من القول بأنه يجوز للبنك أخذها والاستفادة بها، لكن من الطريف هنا أن بعض البنوك احتال حتى على هذا القول الذي يرى جواز فرض غرامة التأخير وصرفها في وجوه البر إذ يقول الشيخ القره داغي في بحثه المشار إليه سابقا:

“وهذا الذي خيف منه قد تحقق فعلاً فقد استطاع أحد البنوك ـ بعد تركي مراقباً شرعياً له ـ تحصيل الموافقة من الهيئة الشرعية على اشتراط التعويض عن التأخير، وعلى غرامة التأخير، فوافقت الهيئة على أن تصرف في وجوه الخير، ولكن الإدارة كانت ذكية فأخذت موافقة أخرى من الهيئة على اقتطاع جزء من هذه الغرامة في مقابل الإجراءات الإدارية، وحينئذ كلفت الإدارة أحد موظفيها باحتساب مقدار التكلفة الإدارية حيث بلغت قريباً من الغرامة المحصلة، وبالتالي دخلت في جيب البنك.”

Dalam keputusan nomor: 109(3/12) tentang masalah syarat hukuman denda [الشَّرْط الجَزَائِي], disebutkan:

"Boleh menetapkan syarat hukuman denda dalam semua transaksi keuangan kecuali transaksi yang kewajiban utamanya adalah hutang, karena itu merupakan riba yang nyata."

Meskipun pendapat yang menyatakan bahwa boleh mengambil denda keterlambatan dan menyalurkannya ke amal kebajikan itu lebih baik daripada pendapat yang mengizinkan bank untuk mengambil dan memanfaatkannya ; namun, hal yang menarik di sini adalah bahwa ada beberapa bank yang berpegang pendapat ini, bank-bank tsb telah terpedaya sehingga menganggap mubah untuk menetapkan denda keterlambatan dan mennyumbangkannya ke amal kebajikan. Seperti yang disebutkan oleh Syekh al-Qurrah Daaghi dalam penelitiannya yang telah disebutkan sebelumnya:

"Kekhawatiran akan hal ini, kini telah menjadi kenyataan. Setelah aku meninggalkan pengawasan terhadapnya, maka sebuah bank mampu mendapatkan persetujuan dari lembaga syariah untuk menetapkan syarat kompensasi atas keterlambatan dan denda keterlambatan, dan lembaga syariah menyetujui agar dana tersebut disalurkan ke amal kebajikan. Namun, pihak manajemen bank sangat cerdik sehingga bisa mendapatkan persetujuan lain dari lembaga syariah agar pihka bank diperbolehkan mengurangi sebagian dari nilai denda ini dengan alasan sebagai ganti dari prosedur administratif. Dan kemudian manajemen menugaskan salah satu karyawannya untuk menghitung biaya administrasi yang mendekati jumlah dana yang diperoleh dari denda tersebut, sehingga akhirnya uang denda tersebut masuk semuanya ke dalam saku bank."

[SELESAI KUTIPAN DARI ARTIKEL KARYA Abu Muhammad Mahmud]

KEDUA: FATWA SYEIKH BIN BAAZ

بَيْعُ وَشْرَاءِ السَّيَّارَاتِ بِالتَّقْسِيطِ

Jual beli mobil secara kredit

السُّؤَالُ: يَسْأَلُ بَعْضُ الإخْوَانِ مَمَّنْ يَتَاجَرُونَ فِي بَيْعِ وَشْرَاءِ السَّيَّارَاتِ بِالأَقْسَاطِ، وَيَقُولُ: إِنَّهُ يَبِيعُ السَّيَّارَةَ عَلَى أَسَاسِ أَقْسَاطٍ شَهْرِيَّةٍ، حَيْثُ يَتَّفِقُ مَعَ الشَّخْصِ الَّذِي يُرِيدُ شِرَاءَ سَيَّارَةٍ بِالأَقْسَاطِ - وَذَلِكَ لِحَاجَتِهِ إِلَى ذَلِكَ - وَيَتَّفِقُ مَعَهُ عَلَى الْبَيْعِ قَبْلَ أَنْ يَشْتَرِيَ لَهُ السَّيَّارَةَ - ضَامِنًا أَرْبَاحَهُ أَوَّلًا - فَمَا حُكْمُ ذَلِكَ؟

Pertanyaan: Sebagian para ikhwan ada yang bertanya mengenai perdagangan mobil dengan sistem pembayaran angsuran (kredit). Dan dia mengatakan:

Bahwa dia menjual mobil dengan sistem angsuran bulanan, di mana dia [si penjual] telah sepakat dengan calon pembeli kredit - karena dia membutuhkannya – yaitu kesepakatan dengannya bahwa dia akan menjual mobil ke calon pembeli sebelum dia membelikannya untuk calon pembeli tersebut - dengan adanya jaminan keuntungannya terlebih dahulu -. Apa hukumnya?

الجَوَابُ: إذَا كَانَ بَيْعُ السَّيَّارَةِ وَنَحْوِهَا عَلَى رَاغِبِ الشِّرَاءِ بَعْدَمَا مَلَكَهَا الْبَائِعُ، وَقِيدَتْ بَاسِمِهِ وَحَازَهَا فَلَا بَأْسَ، أَمَّا قَبْلَ ذَلِكَ فَلَا يَجُوزُ؛ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ لِحَكِيمِ بْنِ حِزَامٍ: "لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ"، وَلِقَوْلِهِ ﷺ: "لَا يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ، وَلَا بَيْعُ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ".

وَهُمَا حَدِيثَانِ صَحِيحَانِ؛ فَوَجَبَ الْعَمَلُ بِهِمَا، وَالْحَذَرُ مِمَّا يُخَالِفُ ذَلِكَ. وَاللَّهُ وَلِيُّ التَّوْفِيقِ.

Jawabannya: Jika penjualan mobil atau barang sejenisnya dilakukan kepada orang yang berminat membeli setelah penjual memiliki barang tersebut dengan namanya dan telah dikuasainya, maka tidak masalah. Namun, jika penjualan tersebut dilakukan sebelum itu, maka tidak diizinkan, berdasarkan sabda Nabi ﷺ kepada Hakim bin Hizam:

"Janganlah engkau menjual apa yang tidak ada padamu".

[HR. Ahmad no. 14887], Tirmidzi no. 1232 dan Ibnu Majah no. 2187.

Dan sabda beliau ﷺ:

Tidaklah halal transaksi utang-piutang yang dicampur dengan transaksi jual beli, dan tidak boleh menjual barang yang bukan milikmu.” 

[HR. Ahmad no. 6633, Abu Daud no. 3506;, Tirmidzy no. 1234 dan Nasaai no. 4611]

Kedua hadis tersebut adalah hadis yang sahih, oleh karena itu wajib untuk mengamalkannya dan berhati-hati dari yang bertentangan dengan hal tersebut. Semoga Allah memberikan keberhasilan..

Catatan kaki:

Tulisan ini diterbitkan dalam buku "Fatwa-Fatwa Islam" yang dikumpulkan oleh Syekh Muhammad Al-Musnid, jilid 2, halaman 341. (Majmu' Fatwa dan Makalah Syekh Ibnu Baz, jilid 19, halaman 21).

Lihat pula: Al-Lajnah Ad-Daimah Li Al-Buhuts Al-'Ilmiyah Wa Al-Ifta. Fatwa no. 13184.

KETIGA: FATWA ISALAMWEB.NET

التوقيع على عقد فيه اشتراط دفع غرامة عند التأخر في سداد قسط من الأقساط

"Tanda tangan pada kontrak yang memuat ketentuan pembayaran denda atas keterlambatan pembayaran cicilan dari angsuran-angsuran.

Nomor Fatwa: 454339

Tanggal Publikasi: Kamis, 7 Sya'ban 1443 H - 10 Maret 2022 M"

PERTANYAAN:

اشتريت بيتًا سكنيًّا بالأقساط، ودفعت نسبة من المبلغ الكلي قبل توقيع العقد، وعند توقيع العقد فوجئنا بوجود شرط تأخيري، بحيث تقوم الشركة بأخذ غرامة تأخير 10% إذا تأخرت 30 يومًا عن تسديد الأقساط، وأنا لا أنوي التأخر، ولديّ -والحمد لله- مصدر رزق يؤمّن التسديد، فما الواجب عليّ فعله؟ علمًا أني قد وقعّت العقد؛ لأني قمت قبل توقيعه بمدة بدفع جزء كبير من المال. وجزاكم الله خيرًا، ونفعنا بعلمكم.

"Saya telah membeli sebuah rumah tinggal dengan cara mencicil, dan telah membayar sebagian dari jumlah keseluruhan sebelum menandatangani kontrak. Namun, ketika kami menandatangani kontrak, kami terkejut mengetahui bahwa terdapat ketentuan keterlambatan pembayaran, di mana perusahaan akan memberlakukan denda keterlambatan sebesar 10% jika saya terlambat membayar angsuran selama 30 hari.

Saya tidak berniat untuk menunda pembayaran, dan Alhamdulillah, saya memiliki sumber rezeki yang dapat menjamin pembayaran tersebut. Apa yang harus saya lakukan?

Perlu diketahui bahwa saya telah menandatangani kontrak ini karena sebelumnya saya telah membayar sebagian besar dari uang tersebut. Semoga Allah memberi balasan kebaikan atas bantuannya, dan semoga ilmu yang Anda miliki memberikan manfaat bagi kami."

JAWABAN:

الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله، وصحبه، أما بعد:

 فاشتراط غرامة عند التأخر في سداد قسط من الأقساط، يعتبر شرطًا محرمًا لا يجوز، جاء في قرار مجلس المجمع الفقهي لرابطة العالم الإسلامي، المنعقد بمكة المكرمة 1409هـ: قرر المجمع الفقهي بالإجماع، ما يلي:

إن الدائن إذا شرط على المدين، أو فرض عليه أن يدفع له مبلغًا من المال غرامة مالية جزائية محددة، أو بنسبة معينة إذا تأخّر عن السداد في الموعد المحدد بينهما؛ فهو شرط أو فرض باطل، ولا يجب الوفاء به، بل ولا يحلّ... لأن هذا بعينه هو ربا الجاهلية الذي نزل القرآن بتحريمه. اهـ.

لكن ما دمت قد وقّعت العقد، ولا يمكنك التراجع عنه، ودفعت مع هذا مبلغًا كبيرًا من الثمن، فلا بأس -إن شاء الله تعالى- في المضي في العقد، وسداد ما بقي من الأقساط، مع الحرص على عدم التأخير في السداد؛ لئلا تفرض عليك تلك الغرامة.

 والله أعلم.

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah, keluarganya, dan para sahabatnya. Selanjutnya:

Mengenai persyaratan denda atas keterlambatan pembayaran cicilan, persyaratan ini dianggap sebagai syarat yang diharamkan dan tidak boleh dilakukan. Majelis Fiqih dari Liga Dunia Islam yang diadakan di Makkah al-Mukarramah pada tahun 1409 H telah memutuskan dengan kesepakatan sebagai berikut:

Jika kreditor menetapkan atau memaksa peminjam untuk membayar sejumlah uang sebagai denda atau dengan persentase tertentu jika ia terlambat dalam pembayaran tepat waktu, maka syarat atau paksaan tersebut dianggap batal dan tidak harus ditepati. Bahkan, hal ini diharamkan seperti riba zaman Jahiliyyah yang dilarang dalam Al-Qur'an.

Namun, jika Anda sudah menandatangani kontrak dan tidak dapat mengundurkan diri, serta telah membayar sejumlah besar uang sebagai pembayaran awal, maka tidak masalah - insya Allah - untuk melanjutkan dengan kontrak tersebut dan membayar sisa cicilan, dengan tetap berhati-hati agar tidak ada keterlambatan pembayaran yang menyebabkan denda tersebut dikenakan pada Anda.

Dan Allah lebih mengetahui.

KEAMPAT: FATWA DALLAH AL BARAKA NO (13)

السؤال:

لوحظ أن بعض العملاء دأبوا على التأخر في سداد بعض الأقساط المستحقة عليهم أو جميع المبالغ المستحقة للمصرف عن عمليات المرابحات والمشاركات التي سبق أن أجريت بين هؤلاء العملاء والمصرف وذلك لعلمهم بأن تأخيرهم في السداد لن يقابله أي نوع من أنواع الجزاء وفي حالة اتخاذ الإجراءات القانونية فإنها تطول أمام المحاكم المدنية الابتدائية والاستئنافية لعدة سنوات وبعدها يتم تقسيط المبالغ المستحقة مما يؤدي ذلك إلى تحمل المصرف لخسائر كبيرة من جراء هذا التأخير وخاصة أن كثيرا من هؤلاء العملاء لا ينطبق عليهم نص الآية الكريمة (وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة) فهل يمكن فرض غرامات تأخير على مثل هؤلاء العملاء يتم الاتفاق على قيمتها مسبقا في عقد المرابحة حتى يمكن خلالها وضع حد للتلاعب وتطبيقا للشريعة الإسلامية السمحاء بأنه لا ضرر ولا ضرار؟

الجواب:

لا يجوز ورأت الهيئة إمكانية أن يزيد المصرف من نسبة الربح وفي حالة التزام العميل بالسداد في المواعيد يقوم المصرف بمنحه نسبة من الربح الذي سبق أخذه تشجيعا له على السداد على أن يستمر الاستعانة والعمل بشرط التحكيم في حالة تأخر العميل عن السداد ويجوز أن ينص على ذلك في الاتفاقيات المعقودة بين المصرف وعميله.

[التعويض عن تأخير السداد]

المصدر: كتاب - الفتاوى الشرعية في الاقتصاد - إدارة التطوير والبحوث - مجموعة دله البركة ندوة البركة الثانية الفتوى رقم (١٣)

"PERTANYAAN:

Diperhatikan bahwa beberapa nasabah cenderung untuk terlambat dalam membayar sebagian dari cicilan yang jatuh tempo atau semua jumlah yang harus dibayarkan kepada bank atas transaksi murabahah dan mudharabah yang pernah dilakukan antara nasabah tersebut dan bank.

Hal ini disebabkan karena mereka mengetahui bahwa keterlambatan pembayaran mereka tidak akan dihadapi dengan jenis hukuman denda apapun, dan jika proses hukum dilakukan, akan memakan waktu bertahun-tahun di pengadilan sipil tingkat pertama dan banding. Setelah itu, jumlah yang harus dibayar akan tetap diangsur, yang menyebabkan bank mengalami kerugian besar akibat keterlambatan ini, terutama karena banyak dari nasabah ini tidak memenuhi syarat dari ayat Al-Quran yang berbunyi:

{ وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ }

Dan jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan. 

Apakah boleh untuk memberlakukan denda keterlambatan atas nasabah-nasabah semacam ini yang telah disepakati sebelumnya dalam kontrak murabahah untuk dapat mengakhiri manipulasi dan menerapkan syariat Islam yang memperbolehkan tanpa bahaya dan kerugian?

JAWABAN:

Tidak boleh. Namun Lembaga Pengawas Syariah bisa memberikan solusi dengan cara sbb: pihak bank sejak dini saat transaksi meningkatkan tingkat keuntungan [untuk antisipasi keterlambatan bayar]. Lalu jika nasabah mematuhi pembayaran tepat waktu, maka bank memberikan bagian dari keuntungan yang sebelumnya diambil sebagai insentif untuk pembayaran tepat waktu, dengan tetap melanjutkan bantuan dan bekerja dengan syarat arbitrase jika nasabah terlambat dalam pembayaran. Hal ini dapat diatur dalam perjanjian yang dibuat antara bank dan nasabah.

[Sanksi Keterlambatan Pembayaran] Sumber: Buku - Fatwa Syariah dalam Ekonomi - Bagian Pengembangan dan Penelitian - Kumpulan Fatwa Dar Al Baraka - Konferensi Al Baraka II - Fatwa Nomor (13)."

KELIMA: FATWA DALLAH AL BARAKA NO (4)


السؤال:

هل يقبل شرعا مبدأ إلزام المدين المماطل بالتعويض على الدائن؟

الجواب:

أولا: يجوز شرعا إلزام المدين المماطل في الأداء وهو قادر على الوفاء بتعويض الدائن عن ضرره الناشئ عن تأخر المدين في الوفاء دون عذر مشروع لأن مثل هذا المدين ظالم قال فيه الرسول مطل الغني ظلم فيكون حاله كحالة الغصب التي قرر الفقهاء فيها تضمين الغاصب منافع الأعيان المغصوبة علاوة على رد الأصل هذا رأي الأغلبية وهناك من يرى أن يكون الإلزام بهذا المال على سبيل الغرامة الجزائية استنادا لمبدأ المصالح المرسلة على أن تصرف الحصيلة في وجوه البر المشروعة.

ثانيا: يقدر هذا التعويض بمقدار ما فات على الدائن من ربح معتاد كان يمكن أن ينتجه مبلغ دينه لو استثمره بالطرق المشروعة خلال مدة التأخير وتقدر المحكمة التعويض بمعرفة أهل الخبرة تبعا لطرق الاستثمار المقبولة في الشريعة الإسلامية وفي حالة وجود مؤسسة مالية غير ربوية في بلد الدائن (كالبنوك الإسلامية مثلا) يسترشد بمتوسط ما قد حققته فعلا تلك المؤسسات من ربح عن مثل هذا المبلغ للمستثمرين فيها خلال مدة التأخير.

ثالثا: لا يجوز الاتفاق بين الدائن والمدين مسبقا على تقرير هذا التعويض لكي لا يتخذ ذلك ذريعة بينهما إلى المراباة بسعر الفائدة.

المصدر: كتاب - الفتاوى الشرعية في الاقتصاد - إدارة التطوير والبحوث - مجموعة دله البركة ندوة البركة الخامسة الفتوى رقم (٤)

"PERTANYAAN:

Apakah secara syariah diterima prinsip mengharuskan pihak yang terlambat membayar untuk memberikan ganti rugi kepada kreditur?

JAWABAN:

Pertama: Secara syariah, adalah diperbolehkan untuk memaksa nasabah yang menunda-nuda bayar hutang - padahal dia mampu - untuk memberikan ganti rugi kepada kreditur atas kerugian yang timbul akibat keterlambatan tersebut tanpa ada alasan yang dibenarkan.

Hal ini karena nasabah yang menunda-nuda bayar hutang seperti ini merupakan nasabah yang dzalim, dan Nabi telah bersabda:


مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ

 “Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman,” (HR Bukhari).

Dalam hal ini, kondisinya serupa dengan kondisi orang yang menggasab [merampas] harta benda orang lain, dimana para fuqaha' telah memutuskan bahwa dalam hal tersebut:

" Pelaku ghasab [perampasan] harus mengembalikan barang yang dirampas dan memberikan tambahan dari manfaat yang diperoleh dari barang yang dirampas".

Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Namun, ada yang berpendapat bahwa kewajiban untuk membayar ganti rugi ini dapat dijadikan sebagai denda hukuman, dengan mengacu pada prinsip mashlahat mursalah [mashlahat umum]. Dan hasil dari denda tersebut akan disalurkan ke tujuan-tujuan yang syar'i.

Kedua: Besarnya ganti rugi ini dapat diestimasi dengan seberapa besar keuntungan yang hilang bagi kreditur yang dapat dihasilkan jika jumlah pinjaman tersebut diinvestasikan secara sah selama periode keterlambatan. Pengadilan dapat menilai ganti rugi ini berdasarkan pendapat para ahli yang mengikuti cara-cara investasi yang diterima menurut syariah Islam. Dan jika dikondisikan dalam lembaga keuangan non-riba di negara kreditur (seperti bank-bank Islam), dapat dijadikan pedoman rata-rata keuntungan yang telah dicapai oleh lembaga-lembaga tersebut untuk para investor selama periode keterlambatan.

Ketiga: Tidak boleh ada kesepakatan sebelumnya antara kreditur dan peminjam dalam menetapkan jumlah ganti rugi ini agar tidak menjadi dalih bagi keduanya untuk melakukan transaksi riba.

Sumber: Buku - Fatwa Syariah dalam Ekonomi - Bagian Pengembangan dan Penelitian - Kumpulan Fatwa Dallah Al Baraka - Konferensi Al Baraka V - Fatwa Nomor (4)."

KEENAM: FATWA DARI BADAN PENGAWAS SYARIAH - BANK ISLAM FAISAL MESIR


السؤال:

هل يجوز التعويض على الضرر الناتج عن التأخير في تسديد أقساط المرابحة؟

الجواب:

استمعت اللجنة إلى الفتوى الصادرة بالأغلبية في ندوة البركة الثالثة بتركيا حول جواز التعويض واطلعت على الأسئلة المطروحة عليها واستمعت لشرح بعض مديري البنوك حيث رأى بعض الأعضاء تأكيد هذه الفتوى ورأى البعض الآخر إعادة النظر فيها ثم تقرر تأجيل المسألة لمزيد من البحث في ندوة قادمة وإعداد بحوث فيها من جديد.

المصدر: كتاب - فتاوى هيئة الرقابة الشرعية - بنك فيصل الإسلامي المصري فتوى رقم (١٤).

PERTANYAAN:

Apakah boleh menetapkan ganti rugi atas kerugian yang timbul akibat keterlambatan dalam pembayaran cicilan al-Murobahah?

JAWABAN:

Al-Lajnah [Komite] telah mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh mayoritas dalam Konferensi Al-Barakah yang ketiga di Turki mengenai bolehnya mengambil ganti rugi. Dan telah melihat pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tentang masalah ini serta mendengarkan penjelasan sebagian para direktur dari bank-bank. Sebagian para anggota menyepakati fatwa ini, namun sebagian yang lain meminta untuk mempertimbangkannya kembali. Maka diputuskan untuk menunda masalah ini untuk penelitian lebih lanjut pada konferensi berikutnya dan menyusun penelitian ulang tentang masalah tersebut.

Sumber: Buku - Fatwa-Fatwa dari Badan Pengawas Syariah - Bank Islam Faisal Mesir - Fatwa Nomor (14).

KETUJUH: FATWA SYAR'IYYAH TENTANG MASALAH EKONOMI BAIT AT-TAMWIL KUWAIT

PERTANYAAN:

الرجاء إبداء الرأي الشرعي فيما يلي: يقوم البنك بعمليات البيع بالمرابحة وبعض العملاء يعرضون على البنك القيام بشراء بضاعة من السوق المحلي ثم يقوم البنك ببيعها لهم بسعر مناسب يتفق معهم عليه ويتناسب مع سعر السوق بما يحقق للبنك ربحا مناسبا ويقوم العميل بسداد القيمة للبنك بموجب شيكات على فترات آجلة تمتد لعدة شهور

وفي بعض الحالات يطلب العميل تأجيل السداد في مواعيد استحقاق الشيكات المذكورة لظروف تتعلق بالسوق التجارية التي تسمح من وجهة نظر العميل بارتفاع أسعار البيع السابق الارتباط عليها بما يدعوه إلى أن يقوم بعرض زيادة في القيمة البيعية لهذه البضائع السابق التعاقد عليها على أن يوافق البنك على مد آجال السداد للشيكات السابق الارتباط بمواعيد سداد قيمة البضائع بها

وأن التمسك بآجال السداد المقررة في شيكات محددة إذا ما رغب البنك يؤدي إلى الإضرار بالعميل من وجهة النظر القانونية وسمعته التجارية خاصة وأن العميل يرى أن مستقبل البيع لهذه السلع مناسب ويعطي اتجاها تصاعديا للأسعار وبذلك يرغب في إعطاء البنك ميزة بمحض اختياره في زيادة الأسعار السابق الارتباط عليها وأن الموافقة على التيسير على العملاء بهذا الإجراء يتفق مع النظام التجاري في الأسواق هذا هو مضمون كتاب البنك المطلوب إبداء الرأي فيه؟

Mohon berikan pendapat hukum syariah tentang hal berikut:

Bank melakukan transaksi jual beli dengan metode murabahah, dan sebagian nasabah menawarkan kepada bank untuk melakukan pembelian barang dari pasar lokal, kemudian bank menjualnya kepada mereka dengan harga yang sesuai dan disepakati bersama, yang sesuai dengan harga pasar sehingga bank memperoleh keuntungan yang wajar. Nasabah membayar nilai barang kepada bank melalui cek dengan jangka waktu tertentu yang dapat mencapai beberapa bulan.

Dalam beberapa kasus, nasabah meminta penundaan pembayaran dari tanggal jatuh tempo cek tersebut ; karena kondisi pasar yang memungkinkan harga penjualan akan meningkat dari yang sebelumnya, sehingga nasabah ingin menawarkan penambahan harga [keuntungan bagi pihak Bank] atas penjualan barang yang telah tentukan harganya dalam transaksi sebelumnya. Ini dengan syarat bank menyetujui penambahan waktu pembayaran untuk cek yang terkait dengan tanggal jatuh tempo nilai barang tersebut.

Dan sesungguhnya mempertahankan tenggat waktu pembayaran yang telah ditentukan dalam cek tertentu - sebagaimana yang dinginkan pihak bank - maka itu akan merugikan nasabah dari sudut pandang hukum dan reputasi bisnisnya. Sementara nasabah melihat bahwa masa depan penjualan barang tersebut cocok dan menunjukkan tren harga yang meningkat, sehingga nasabah berkeinginan memberikan keuntungan bagi bank dengan memberikan kebebasan bagi bank dalam menentukan tambahan keuntungan diatas harga yang telah diatur sebelumnya. Agar pihak bank mau menyetujui untuk memberi kemudahan bagi nasabah dengan tindakan ini sesuai dengan sistem bisnis di pasar.

Ini adalah inti yang tertera dalam surat Bank yang diminta pendapatnya?

JAWABAN:

الجواب: قد تناقشت الهيئة في هذا الموضوع وقد رأت أن توضح:

أولا: أن عملية بيع المرابحة ليست كما جاءت في كتاب البنك البيع بالسعر المناسب بل إن عملية المرابحة أن يقوم البائع ببيع السلعة بما قامت عليه من ثمن وتكاليف يضاف إلى ذلك ما يتفق عليه مع المشتري من ربح لها يقبله الطرفان فإذا كان بيع المرابحة قد تم على هذه الصفة فلا يصح أبدا أن يعود البنك إلى إعادة تقييم ثمن السلعة المباعة.

ثانيا: بسبب تأخر المشتري في سداد الثمن في المواعيد المحددة لأن في هذه الصورة ما يشير إلى أن تأجيل سداد الدين كان في مقابل فائدة وهذا حرام.

المصدر: كتاب - الفتاوى الشرعية في المسائل الاقتصادية - - بيت التمويل الكويتي فتوى رقم (١١١)

Al-Hai'ah [lembaga] telah mendiskusikan masalah ini dan menganggap perlu untuk menjelaskan:

Pertama: Proses penjualan murabahah tidak seperti yang tertera dalam buku bank, yaitu penjualan dengan harga yang sesuai. Melainkan, proses murabahah itu adalah penjual menjual barang dengan harga yang mencakup harga barang serta biaya-biaya lainnya serta ditambahkan padanya apa yang disepakati oleh pembeli berupa keuntungan darinya, yang mana kedua belah pihak menerimanya.

Jika penjualan murabahah dilakukan dengan cara ini, maka tidak benar bagi bank untuk mengkaji ulang serta merubah-rubah harga barang yang telah dijual.

Kedua: Penyebab keterlambatan pembeli dalam membayar harga pada jangka waktu yang ditentukan adalah karena dalam situasi ini terdapat indikasi bahwa penundaan pembayaran hutang dilakukan sebagai imbalan atas bunga (riba), dan ini adalah haram.

Sumber: Buku - Fatwa-fatawi Syar'iyyah tentang Masalah Ekonomi – Baitut Tamwil Kuwait, Fatwa Nomor (111)

KEDELAPAN: FATWA SYAR'IYYAH TENTANG MASALAH EKONOMI BAIT AT-TAMWIL KUWAIT

السؤال:

هناك بعض العملاء كثيرا ما يتأخرون في سداد أقساط المرابحة وقد يكون سعر المرابحة لعميل ما ٩% ونظرا لتأخره المتكرر في السداد نريد أن نزيد سعر المرابحة في الصفقات القادمة. فهل يجوز لنا ذلك؟. مع العلم بأن زيادة سعر المرابحة لم تكن لو أنه التزم بالسداد في الوقت المحدد؟

الجواب:

لا مانع من الناحية الشرعية أن يطلب ربح أزيد عند عقد مرابحة جديدة على من سبقت المرابحة معه وتأخر في السداد. دون تفصيل مقدار الزيادة ودون اتفاق ملفوظ أو ملحوظ على مثل هذا الإجراء لأن العبرة بالتراضي الحاصل على مقدار الربح الجديد (دون نظر إلى عناصر تحديده الخاصة بكل عاقد).

المصدر: فتاوى هيئة الرقابة الشرعية للبنك الإسلامي لغرب السودان فتوى رقم (١٧)

PERTANYAAN:

Di sana ada sebagian nasabah seringkali terlambat dalam membayar cicilan murabahah, dan suku bunga murabahah untuk seorang nasabah adalah 9%. Karena keterlambatannya yang berulang kali dalam pembayaran, kami ingin menaikkan suku bunga murabahah dalam transaksi berikutnya. Apakah hal ini diperbolehkan?

JAWABAN

Tidak ada masalah dari segi hukum syar'i untuk meminta keuntungan yang lebih tinggi saat mengadakan transaksi murabahah yang diperbaharui kepada seseorang yang telah melakukan transaksi murabahah sebelumnya dan terlambat dalam pembayaran. Namun, peningkatan keuntungan tersebut harus dilakukan tanpa merinci kadar tambahannya dan tanpa ada kesepakatan yang terucap atau tertulis atas tindakan semacam itu, karena yang menjadi standar pertimbangan adalah sama-sama ridho yang menghasilkan kadar jumlah keuntungan baru tersebut (tanpa mempertimbangkan elemen khusus yang terkait dengan setiap pihak yang terlibat).

Sumber: Fatwa-fatawi Syar'iyyah tentang Masalah Ekonomi - Bait at-Tamwil Kuwait, Fatwa Nomor (17).

KESEMBILAN: FATWA DEWAN PENGAWAS SYARIAH BANK ISLAMIC AL-BARAKA SUDAN

السؤال:

هل يقبل شرعا مبدأ إلزام المدين المماطل بالتعويض على الدائن؟

الجواب:

بعد اطلاع الهيئة على فتوى الأستاذ الدكتور صديق الضرير رئيس هيئة الرقابة الشرعية في بنك البركة السوداني وعلى فتوى الأستاذ الدكتور يوسف حامد العالم رئيس هيئة الرقابة الشرعية ببنك التنمية الإسلامي فهي تصدر الفتوى الآتية: أما بالنسبة للتعويض عما فات الدائن من ربح فالهيئة لا ترى مكانا للقول بجواز النص في العقد بتعويض الدائن ولكن الذي تراه الهيئة هو أنه يكون للدائن أن يلزم المدين الموسر المماطل بتعويض عن كل ما تكلفه ويمكن أن ينص في العقد على أن يتكفل المدين الموسر المماطل برد كل ما دفع الدائن بسبب استخلاص الدين من المدين وذلك يوافق ما جاء في المادة (٥) من قانون المعاملات المدنية السوداني لسنة ١٩٨٤ م التي تنص على ما يلي: ((مطل القادر يحل عقوبته وعلى القادر غرم الشكاية)).

المصدر: فتاوى هيئة الرقابة الشرعية للبنك الإسلامي لغرب السودان فتوى رقم (٢٩)

PERTANYAAN:

Apakah secara syariah diterima prinsip memaksa pihak yang berhutang yang lambat membayar untuk memberikan kompensasi kepada kreditur?

JAWABAN:

Setelah memeriksa fatwa dari Profesor Doktor Shodiq Adh-Dharrir, Ketua Dewan Pengawas Syariah di Bank Al Baraka Sudan, dan fatwa dari Profesor Doktor Yusuf Hamid Al-Alam, Ketua Dewan Pengawas Syariah di Bank Pembangunan Islam, dikeluarkan fatwa sebagai berikut:

" Tentang kompensasi atas keuntungan yang terlewat bagi kreditur, Dewan Pengawas Syariah tidak melihat adanya dasar untuk mengatakan bahwa ada ketentuan dalam transaksi yang membolehkan pemberian kompensasi kepada kreditur. Namun, yang dipandang oleh Dewan Pengawas Syariah adalah bahwa kreditur berhak memaksa pihak yang berhutang - yang mampu bayar namun dia sengaja menunda-nunda pembayaran - untuk mengganti semua biaya yang dikeluarkan oleh kreditur sebagai akibat dari pemulihan utang dari pihak yang berhutang tersebut. Hal ini dapat diatur dalam transaksi dengan ketentuan bahwa pihak yang berhutang harus bertanggung jawab atas penggantian semua biaya yang ditanggung oleh kreditur karena pemulihan utang dari pihak yang berhutang tersebut.

Hal ini sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal (5) dari Hukum Perdata Sudan tahun 1984 yang menyatakan sebagai berikut:

مَطِلُّ القَادِرِ يَحُلُّ عُقُوبَتَهُ وَعَلَى القَادِرِ غُرْمُ الشِّكَايَةِ.

" Penundaan orang yang mampu bayar hutang berhak menanggung sanksi, dan atas orang yang mampu berkewajiban menanggung ganti rugi biaya pengaduan ".

Sumber: Fatwa-Fatwa Dewan Pengawas Syariah Bank Islamic Al Baraka Sudan nomor (29)

KESEPULUH: BANK ISLAMI INTERNASIONAL (MESIR), FATWA NOMOR (3)

السؤال:

إن إجراءات تحصيل الديون المتعثرة من المقصرين تحتاج إلى جهد ووقت كما تكلف البنك نفقات إدارية.. مصروفات العربات التليفونات والموظفين إلخ هذا بالإضافة إلى مبلغ ٢% من قيمة المتحصل يتم خصمه لحساب رئيس لجنة التحري في قضايا البنوك.. فهل يجوز مطالبة أو تحميل المقصر هذه التكلفة بأن يطلب منه مثلا تحمل ٥% من الدين المتعثر كنفقات تحصيل تسبب فيها بظلمه ومماطلته؟

الجواب:

إذا كان البنك يتحمل مصاريف نتيجة مماطلة العميل وعدم سداده المطلوب منه في الميعاد المحدد في العقد فإنه لا مانع شرعا من أن يطالب البنك العميل بما تحمله من مصاريف ولكن نرى أن لا تحدد هذه المصاريف مسبقا لأنها قد تختلف من عقد لآخر فيطالب بال ٢% الذي تأخذه لجنة التحري في قضايا البنوك علاوة على المصاريف التي تحملها البنك في سبيل الحصول على الدين المطلوب ولا بأس أن يلزم العميل في العقد بتحمل هذه النفقات نتيجة مماطلته وعدم سداده المطلوب منه في وقته بشرط أن لا تزيد هذه النفقات عن المبالغ التي صرفها البنك مقابل ذلك ودون مطالبته بالتعويض أو الفائدة على المبلغ المطلوب.

المصدر: المصرف الإسلامي الدولي (مصر) فتوى رقم (٣)

PERTANYAAN:

Proses penagihan utang yang macet dari pihak yang mengalami kegagalan membutuhkan perjuangan dan waktu serta menyebabkan bank mengeluarkan biaya administratif, seperti biaya telepon, karyawan, dan sebagainya. Selain itu, ada biaya tambahan sebesar 2% dari jumlah yang berhasil diterima yang dipotong untuk kepentingan Ketua Komite Investigasi Kasus Perbankan.

Apakah diperbolehkan untuk menuntut atau membebankan biaya ini kepada pihak yang gagal melunasi utang, misalnya meminta mereka untuk membayar 5% dari utang yang tertunda sebagai biaya penagihan yang timbul karena kelalaian dan penundaan mereka?

JAWABAN:

Jika bank menanggung biaya sebagai akibat dari kelalaian nasabah dan ketidakmampuannya untuk membayar yang diwajibkan tepat waktu sesuai kontrak, maka secara syariah tidak ada masalah bagi bank untuk menuntut nasabah atas biaya yang ditanggung. Namun, kami percaya bahwa biaya ini tidak boleh ditentukan sebelumnya karena dapat bervariasi dari transaksi ke transaksi. Bank dapat menuntut 2% yang diambil oleh Komite Investigasi Kasus Perbankan, ditambah dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh bank dalam upaya untuk mendapatkan utang yang tertunda. Juga, bank dapat menuntut nasabah untuk menanggung biaya-biaya ini akibat kelalaian dan penundaan mereka, selama biaya-biaya tersebut tidak melebihi jumlah yang telah dikeluarkan oleh bank untuk itu, tanpa menuntut kompensasi atau bunga atas jumlah yang tertunda.

Sumber: Bank Islami Internasional (Mesir), Fatwa nomor (3)

KE 11: BANK ISLAMI INTERNASIONAL (MESIR), FATWA NOMOR (4)

السؤال:

ما الحكم الشرعي عن تعويض المصرف عما أصابه من ضرر ناتج عن التأخير في السداد؟

الجواب:

إذا تأخر المدين عن الوفاء بالدين عند حلول الأجل جاز للدائن أن يطالبه بتعويض عما أصابه من ضرر بسبب هذا التأخير إلا إذا ثبت المدين أن التأخير حدث بقوة قاهرة أي بسبب لا يد له فيه فعندئذ لا يستحق الدائن تعويضا عن التأخير

وأساس هذا الحكم هو الضَّمَانُ بالتَّسَبُّبِ وشرطه التعدي ولا شك أن تأخير الوفاء بالدين دون عذر شرعي مقبول يعد تعديا لأنه معصية لقوله مطل الغني ظلم يحل عرضه وعقوبته تنص المادة ١٤٣٠ من مجلة الأحكام الشرعية على أن (من تسبب في تلف مال الغير ضمنه)

وتنص المادة ١٤٣١ على (أنه يشترط في الضَّمَان بالتَّسَبُّب التعدي في الفعل الذي تسبب عنه) التلف ويقصد بالتعدي التفريط بأن يكون الفعل مخالفا للشريعة ومطل الغني: ظلم كما تقدم وانظر الحطاب (٣: ٢٢٤) فقد حكى عن المالكية الضمان على من امتنع عن الشهادة على الدين حتى ضاع أو أخفى وثيقة الدين حتى ضاع بل وعلى من قتل الشاهد على حق حتى ضاع وغير ذلك من أمثلة الضمان بالتسبب ويمكن تعويض الدائن تخريجا على قواعد الغصب

وذلك أن عدم الوفاء بالدين عند حلول الأجل وإمساكه عن الدائن دون عذر شرعي يجعل المدين في حكم الغاصب للدين لأن إبقاؤه بعد حلول الأجل يعد تعدي والغصب هو التعدي على حقوق الغير وإذا كان المدين تاجرا أي ممن يقوم باستثمار الدين نفسه أو بإعطائه للغير مضاربة وأخر الدين عن موعد استحقاقه فإن جميع أرباح الدين تكون للدائن ويمكن تقدير هذه الأرباح إما بإقراره بمتوسط أرباحه وإما بواسطة لجنة تحكيم أو بواسطة القضاء كما يمكن عند إبرام الاتفاق معه في مضاربة أو مرابحة مثلا أن يتفق على نسبة الربح من واقع دراسة الجدوى التي قدمها العميل.

المصدر: المصرف الإسلامي الدولي (مصر) فتوى رقم (٤)

PERTANYAAN:

Apakah hukum syariah tentang mengganti kerugian yang dialami oleh bank akibat keterlambatan pembayaran?

JAWABAN:

Jika seorang debitur terlambat membayar hutangnya pada saat jatuh tempo, maka sah bagi kreditur untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang dialaminya akibat keterlambatan tersebut, kecuali jika terbukti bahwa keterlambatan tersebut terjadi karena alasan yang tidak dapat dihindari (force majeure), yaitu karena suatu hal yang diluar kemampuan dan kendali debitur. Jika hal tersebut terbukti, maka kreditur tidak berhak mendapatkan ganti rugi atas keterlambatan tersebut.

Dasar dari hukum ini adalah prinsip resiko sebab akibat (الضَّمَانُ بالتَّسَبُّبِ), dan syaratnya adalah adanya kesengajaan melakukan kedzaliman (التَّعَدِّي).

Tidak diragukan bahwa keterlambatan dalam membayar hutang tanpa alasan syariah yang dapat diterima merupakan bentuk kesengajaan melakukan kedzaliman, karena merupakan maksiat, sebagaimana disebutkan dalam hadis:


مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ 

“Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman,” (HR Bukhari).

Dan sabdanya: Dan sabdanya (SAW):

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

"Penundaan pembayaran hutan yang dilakukan oleh orang yang mampu membayarnya menghalalkan kehormatan (untuk dighibah) dan hukumannya." [HR. Abu Dawud (3628), An-Nasa'i (4689), dan juga Bukhari (2401) dengan sanad mu'allaq]

Ini sebagaimana yang tertera pada pasal 1430 dalam Majalah Al-Ahkam Al-Syari'ah menyatakan bahwa:

(مَنْ تَسَبَّبَ فِي تَلَفِ مَالِ الْغَيْرِ ضَمِنَهُ)

"Siapa yang menyebabkan kerusakan pada harta orang lain, maka ia harus bertanggung jawab atas kerusakan tersebut."

Dan pasal 1431 menyatakan bahwa:

(أَنَّهُ يُشْتَرَطُ فِي الضَّمَانِ بِالتَّسَبُّبِ التَّعْدِي فِي الفِعْلِ الَّذِي تَسْبُبُ عَنْهُ) أيْ التَّلَف

"Sebagai syarat dalam hukum ganti rugi atas sebab akibat, harus ada perbuatan melampaui batas (al-ta'di) dalam perbuatan yang menyebabkan kerusakan".

Dan yang dimaksud dengan melampaui batas [التَّعَدِّي] adalah perbuatan yang bertentangan dengan syariat, dan orang kaya yang menunda-nunda bayar hutang adalah kedzaliman, seperti yang telah disebutkan diatas, dan lihat pula dalam al-Hathab (3:224).

Telah diriwayatkan dari Mazhab Malikiah tentang ganti rugi atas sebab akibat, seperti dalam kasus seseorang yang menolak memberikan kesaksian atas hutang hingga membuat hak keditur menjadi hilang, atau menyembunyikan surat hutang hingga hak kreditur hilang, bahkan hingga terhadap orang yang membunuh saksi kebenaran hingga hak kreditur hilang. Ini semua merupakan contoh ganti rugi atas sebab akibat, dan memungkinkan bagi kreditur untuk mendapatkan ganti rugi, berdasarkan prinsip-prinsip yang berlaku dalam kasus perampasan hak dan penipuan.

Demikian pula, bahwa ketidakpatuhan dalam membayar hutang pada saat jatuh tempo dan menahannya dari kreditur tanpa alasan syariah yang dapat diterima, menjadikan debitur dalam posisi seperti perampok hutang [الغَاصِب لِلدَّيْنِ]. Karena menahan hutang setelah jatuh tempo dianggap sebagai perampokan, dan perampokan adalah perbuatan melampaui batas [kedzaliman] atas hak-hak orang lain.

Jika debitur adalah seorang pedagang, yaitu seseorang yang menggunakan hutang untuk berinvestasi sendiri atau memberikannya kepada orang lain untuk keperluan bisnis atau perdagangan, maka seluruh keuntungan dari hutang tersebut menjadi milik kreditur.

Keuntungan ini dapat dihitung berdasarkan kesepakatan rata-rata keuntungan atau melalui proses arbitrase [Lajnah Tahkiim] atau melalui pengadilan, sebagaimana juga dapat diatur dalam kesepakatan perdagangan atau mudharabah dengan kreditur, misalnya dengan sepakat pada persentase keuntungan berdasarkan studi kelayakan yang diajukan oleh debitur.

Sumber: Fatwa Bank Islami Internasional (Mesir) nomor (4)

KE 12: LEMBAGA FATWA DAN PENGAWASAN SYARIAH BANK DUBAI ISLAMIC Fatwa No. (30)

السؤال:

ما الأساليب الشرعية التي يمكن تطبيقها على المتعاملين مع المصرف من المتخلفين عن سداد أقساط المرابحة في مواعيدها المقررة؟

الجواب:

فردا على سؤالكم عن الموضوع عاليه والذي يتلخص في أن المتعاملين مع المصرف بطريق المرابحة يتخلفون عن سداد ديونهم عند حلول أجلها وأن ذلك قد يكون مقصودا للأسباب التي أشرتم إليها وليس نتيجة ظروف قاهرة منعتهم من هذا الوفاء وأنكم تطلبون منا الرأي في الأساليب الشرعية التي تكفل المحافظة على حقوق المصرف نفيدكم بالآتي: -

أولا: إلحاقا لمناقشتنا السابقة فإنه يستحسن تبني سياسة من شأنها تقليل حجم التعامل بطريق المرابحة تمهيدا للتخلي عنها بصفة نهائية في الوقت المناسب

ثانيا: يمكن بدلا من شراء البضاعة وبيعها مرابحة بثمن مؤجل مما قد يترتب عليه ما ذكرتم من المخاطر أن تبقى البضاعة مملوكة للمصرف وفي مخازنه وأن يمنح المتعامل تفويضا غير قابل للإلغاء مدة معينة بالبيع بسعر محدد يتضمن هامش الربح المناسب الذي يقدره المصرف في ضوء ظروف السوق على أن يكون ما زاد على هذا العرض حق الوكيل بالبيع كعمولة أو أجرة والوكالة بالأجر مقررة شرعا وكون الأجر نسبة معينة من ثمن البيع أو الربح أو ما زاد على الثمن الذي يحدده الموكل مما أقره طائفة من فقهاء الصحابة والتابعين كما جاء في فتح الباري وعمدة القارئ شرحي صحيح البخاري وغير ذلك من كتب الفقه المقارن ولهذه الطريقة مميزات كثيرة منها: -

(أ)- أنها ليست تمويلا إذ الشراء يتم للمصرف وتباع البضاعة لحسابه بواسطة الوكيل مما يمكن معه تلافي القيود التي يفرضها البنك المركزي كالضمانات على منح الائتمان والتحديد الوارد على مقدار ما يمنح للمتعامل الواحد

(ب)- أن هذه الطريقة تضمن حقوق المصرف إذ أن الإفراج عن البضاعة لا يكون إلا بعد دفع ثمنها أو التأكد من ملاءة العميل وأمانته

(ج)- إذا تمت التوعية والشرح المناسب لهذه الطريقة كثيرا من العملاء يفضلها إذ أنها تحقق له هامش الربح المطلوب وتعفيه من مخاطر السوق وإذا قيل بأن هذا نفسه يضر بمصالح البنك لأنه ينقل إليه هذه المخاطر قلنا إن هذا بعينه موجود في المضاربة وعلى كل حال فيمكن البدء باستخدام هذه الطريقة كبديل للمرابحة في بعض الحالات وبالنسبة لبعض العملاء كما أنه يمكن أن تؤخذ ضمانات من المفوض بالبيع في هذه الحالة لما قد يتخذ في ذمته من مبالغ قد يغتصبها

وإليك ما جاء في البخاري بما يشرح هذه الطريقة جاء في فتح الباري شرح صحيح البخاري: ٣٥٧ قال ابن عباس: لا بأس أن يقول: بع هذا الثوب فما زاد على كذا وكذا فهو لك وقال ابن سيرين: إذا قال بعه بكذا فما كان من ربح فهو لك أو بيني وبينك فلا بأس به وقال النبي: (المسلمون عند شروطهم) وجاء في الشرح: وحمل بعضهم إجازة ابن عباس على أنه أجر يجري مجرى المقارض وبذلك أجاب أحمد وإسحاق وما قاله ابن سيرين أشبه بصورة المقارض من السمسار

ثالثا: يمكن في بعض السلع أن تباع مرابحة بشرط أن تكون رهنا في ثمنها أو مع شرط أنه عند عدم دفع الأقساط يفسخ البيع من تلقاء نفسه وتعود السلعة إلى المصرف

رابعا: اتخاذ الإجراءات الكفيلة بجعل شرط التعويض مؤثرا وقد بينا في مذكرة سابقة مشروعية التعويض وأساسه الفقهي وعناصر التعويض وطريقة اقتضائه

[مشاركة العميل بمقدار الأقساط المتبقية]

المصدر: فتاوى هيئة الفتاوى والرقابة الشرعية لبنك دبي الإسلامي فتوى رقم (٣٠)

PERTANYAAN:

Apa metode-metode syariah yang dapat diterapkan pada pihak-pihak yang berurusan dengan bank yang mengalami keterlambatan dalam membayar angsuran Mudharabah sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan?

JAWABAN:

Sebagai tanggapan atas pertanyaan Anda tentang topik tersebut yang dapat diringkas sebagai berikut:

Bahwa para pihak yang berurusan dengan bank melalui prinsip mudharabah mengalami keterlambatan dalam membayar utang mereka tepat waktu, dan bahwa hal tersebut mungkin disengaja karena alasan-alasan yang Anda sebutkan dan bukan karena keadaan yang memaksa yang mencegah mereka untuk memenuhi kewajiban tersebut, dan Anda meminta kami memberikan pendapat tentang metode-metode syariah yang dapat menjamin pemeliharaan hak-hak bank. Berikut adalah jawabannya:

Pertama: Sebagai tambahan dari diskusi sebelumnya, disarankan untuk mengadopsi strategi [kebijakan] yang dapat mengurangi volume transaksi melalui cara mudharabah sebagai persiapan untuk benar-benar bisa berlepas diri darinya secara total pada saat yang tepat.

Kedua: Sebagai alternatif dari membeli dan menjual barang melalui cara mudharabah dengan harga tertunda yang dapat menyebabkan risiko yang Anda sebutkan, alternatifnya yaitu barang dapat tetap dimiliki oleh bank dalam gudangnya, dan para pihak yang bekerja sama diberikan kuasa yang tidak dapat dicabut untuk jangka waktu tertentu untuk menjual dengan harga yang ditentukan yang mencakup margin keuntungan yang sesuai yang ditentukan oleh bank berdasarkan kondisi pasar.

Apabila terdapat kelebihan dari penawaran ini, maka wakil berhak atas hak menjual sebagai komisi atau upah, yang telah disepakati syariat, dan upah tersebut bisa berupa persentase tertentu dari harga penjualan atau keuntungan atau kelebihan dari harga yang telah ditentukan oleh pemberi kuasa sebagaimana diakui oleh sejumlah fuqaha dari para sahabat dan tabi'in seperti yang terdapat dalam kitab Fathul Bari, 'Umdatul Qari, Syarh Shahih Al-Bukhari, dan kitab-kitab lainnya tentang fiqih perbandingan.

Metode ini memiliki banyak keunggulan, di antaranya adalah:

(A) - Bahwa ini bukan pembiayaan, karena pembelian dilakukan oleh bank dan barang dijual untuk kepentingannya melalui wakil, sehingga memungkinkan untuk menghindari pembatasan yang dikenakan oleh bank sentral, seperti jaminan atas pemberian kredit dan pembatasan atas jumlah yang diberikan kepada satu nasabah.

(B) - Metode ini menjamin hak-hak bank karena pelepasan barang hanya terjadi setelah pembayaran harga atau setelah memastikan kelayakan dan integritas nasabah.

(C) - Jika penerangan dan penjelasan yang sesuai diberikan mengenai metode ini, banyak nasabah yang akan memilihnya karena dapat mencapai margin keuntungan yang diinginkan dan membebaskannya dari risiko pasar. Jika dikatakan bahwa hal ini juga merugikan kepentingan bank karena meneruskan risiko tersebut kepada bank, kami katakan bahwa hal ini juga ada dalam perdagangan (mudharabah). Dalam hal apapun, metode ini dapat dijadikan sebagai alternatif untuk mudharabah dalam beberapa kasus dan bagi beberapa nasabah. Selain itu, jaminan dapat diperoleh dari orang yang diwakilkan dalam penjualan dalam kasus ini untuk melindungi terhadap kemungkinan penyimpangan yang mungkin dilakukan olehnya.

Berikut adalah apa yang ada dalam kitab Bukhari yang menjelaskan metode ini, dalam kitab Fathul Bari yang merupakan syarah dari Sahih Bukhari disebutkan: Ibnu Abbas berkata:

لا بَأْسَ أَنْ يَقُولَ: بِعْ هَذَا الثَّوْبِ فَمَا زَادَ عَلَى كَذَا وَكَذَا فَهُوَ لَكَ وَقَالَ ابْنُ سِيرِينَ: وَقَالَ النَّبِيُّ وَجَاءَ فِي الشَّرْحِ:

"Tidak masalah jika seseorang mengatakan, 'Jualkan baju ini untukku dengan harga ini, dan apa pun yang melebihi dari itu adalah milikmu.' "

Ibnu Sirin berkata:

إِذَا قَالَ بِعْهُ بِكَذَا فَمَا كَانَ مِنْ رِبْحٍ فَهُوَ لَكَ أَوْ بَيْنِي وَبَيْنَكَ فَلَا بَأْسَ بِهِ

"Jika seseorang mengatakan, 'Jualkan ini untukku dengan harga ini, dan apa pun yang menjadi keuntungan dari penjualan itu adalah milikmu,' atau 'Antara aku dan kamu tidak masalah,' maka tidak masalah.

Nabi (SAW) bersabda:

(الْمُسْلِمُونَ عِنْدَ شُرُوطِهِمْ)

'Seorang Muslim itu harus mematuhi syarat-syarat antar mereka.'"

Dalam asy-Syarh [Fathul Bari] juga dijelaskan:

وَحَمَلَ بَعْضُهُمْ إِجَازَةَ ابْنِ عَبَّاسٍ عَلَى أَنَّهُ أَجْرٌ يَجْرِي مَجْرَى الْمُقَارِضِ وَبِذَلِكَ أَجَابَ أَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَمَا قَالَهُ ابْنُ سِيرِينَ أَشْبَهُ بِصُورَةِ الْمُقَارِضِ مِنَ السَّمْسَارِ.

"Sebagian orang-orang telah mengutip pembolehan dari Ibnu Abbas bahwa itu adalah disejajarkan dengan kerjasama qirodh [Mudharabah], dan dengan itu Ahmad dan Ishaq menyetujui. Apa yang dikatakan Ibnu Sirin lebih mirip dengan gambaran kerjasama qiradh [mudhorabah] dari pada makelar."

Ketiga: Dalam beberapa jenis barang, barang dapat dijual melalui akad murabahah dengan syarat bahwa barang tersebut menjadi jaminan dan jika pembeli tidak membayar angsuran, maka akad jual beli tersebut berakhir dengan sendirinya dan barang dikembalikan ke bank.

Keempat: Mengambil langkah-langkah yang memastikan bahwa syarat kompensasi efektif, dan kami telah menjelaskan dalam memo sebelumnya tentang legalitas kompensasi, dasar hukumnya, elemen-elemennya, dan cara mengakui klaimnya.

[Keterlibatan pelanggan dalam sisa angsuran]

Sumber: Fatwa dan Pengawasan Syariah Bank Dubai Islamic, Fatwa Nomor (30).

KE 13: FATWA ORGANISASI KONFERENSI ISLAM – MAJMA' AL-FIQHI AL-ISLAMI

السؤال:

هل تصح مشاركة البنك للمدين بمقدار الأقساط المتأخرة كحل لعملية المماطلة؟

الجواب:

بحثت الهيئة موضوع تأخر المدينين عن سداد ديونهم المستحقة للبنك في مواعيدها كما بحثت النص المدرج بعقود البنك والذي يقضي بمشاركة البنك للمدينين في العقارات بمقدار الأقساط المتأخرة بعد دراسة مستفيضة واطلاع الهيئة على ما صدر من فتاوى وما دار من مناقشات في الندوات وغيرها في هذا الشأن انتهي الرأي إلى ما يلي:

أولا: موضوع تأخر المدينين عن سداد ديونهم ترى الهيئة حفاظا على حقوق البنك اتباع الوسائل الآتية:

أ - يجب على البنك أن يبذل قصارى جهده للتأكد من سمعة العميل وماضيه في التعامل مع الآخرين ومدى صدقه وأمانته وأن يوثق الدين بكفالة أو رهن وبكل ما يضمن الوفاء بحقوق البنك.

ب - يجوز أن يلجأ البنك إلى عقد المشاركة المتناقصة كلما كان ذلك في مصلحة البنك.

ج - وينص في العقد على ما يلي:

أ - حق البنك في التعويض عن الأضرار التي تلحق به نتيجة التأخير في السداد إلى جانب مصاريف التحصيل والمطالبة القضائية بما فيها الأتعاب الكاملة للخبراء والمحامين وغير ذلك من المصاريف التي يتكبدها البنك ويتم تقدير الضرر والتعويض عنه بمعرفة لجنة من ذوى الخبرة بالبنك وفق الضوابط الشرعية التي تصدر عن هيئة الفتوى والرقابة الشرعية بالبنك والتي تعتبر جزءا من العقد ومكملة له وملزمة للطرفين.

ب - حق البنك في اعتبار العقد مفسوخا من تلقاء نفسه عند التأخير في سداد ثلاثة أقساط مع إنذاره بالدفع عند حلول القسطين الأول والثاني وذلك دون حاجة لأى إجراء آخر أو لحكم قضائي مع استرداد العين محل العقد ويجوز للبنك الاحتفاظ بالأقساط المسددة وخصم قيمتها من مقدار التعويض المستحق ورد ما يزيد حسب ما تقرره اللجنة الخاصة بذلك.

ج - حق البنك في الإعلان في الصحف وكافة وسائل النشر المناسبة عن مماطلة المدين وسوء تعامله والتحذير منه لقول الرسول مطل الغنى ظلم وقوله لي الواجد يحل عرضه وعقوبته.

د - يقوم بتقدير الضرر والتعويض لجنة من ذوى الخبرة بالبنك مع مراعاة أن يكون المدين موسرا ومماطلا وأن يقدر التعويض مرة واحدة بمقدار الضرر الفعلى اللاحق بالبنك في ضوء ظروف كل حالة على حدة وبعد سماع أقوال المدين وإذا نازع هذا الأخير في مقدار التعويض تعين عرض الأمر على هيئة الفتوى والرقابة الشرعية بالبنك ويكون رأيها نهائيا غير قابل للطعن أمام القضاء أو أية جهة أخرى ويجوز للجنة قبول السداد من المدين بأية طريقة شرعية يتفق عليها إذا تبين للجنة حسن نيته وجديته في الوفاء ولا مانع شرعا أن يكون ذلك بشراء جزء من الأعيان محل العقد بمقدار الدين.

ثانيا: شرط مشاركة البنك للمدين بمقدار الأقساط المتأخرة ترى الهيئة عدم جواز هذا الشرط لأن الفقهاء قد نصوا على عدم جواز الشركة بمال غائب أو دين لأن المقصود من الشركة التصرف في المال بهدف تحقيق الربح ويلزم لذلك أن يكون المال حاضرا.

[ضابط الإعسار]

المصدر: منظمة المؤتمر الإسلامي - مجمع الفقه الإسلامي قرارات وتوصيات مجلس مجمع الفقه الإسلامي - الدورة الأولى حتى الدورة الثامنة بعد الاطلاع على البحوث الواردة إلى المجمع بخصوص موضوع: (البيع بالتقسيط) وبعد الاستماع إلى المناقشات التي دارت حوله.

PERTANYAAN:

Apakah sah bagi bank untuk berpartisipasi (musyarokah) dengan debitur dengan jumlah cicilan yang tertunda sebagai solusi atas tindakan menunda-nunda?

JAWABAN

Badan Pengawas syari'ah telah meneliti masalah keterlambatan debitur dalam membayar pinjaman mereka yang jatuh tempo kepada bank, serta mempertimbangkan ketentuan yang tercantum dalam transaksi bank yang mengatur partisipasi (musyarokah) bank dengan debitur dalam properti dengan jumlah cicilan yang tertunda. Setelah melakukan studi mendalam dan memeriksa fatwa-fatwa serta diskusi yang telah terjadi dalam seminar dan lain-lain mengenai masalah ini, Badan Pengawas telah mencapai kesimpulan sebagai berikut:

Pertama:

Terkait dengan keterlambatan debitur dalam membayar pinjaman, Badan Pengawas memandang perlu untuk melindungi hak-hak bank dengan mengikuti langkah-langkah berikut:

A. Bank harus berupaya semaksimal mungkin untuk memastikan reputasi nasabah dan sejarahnya dalam bertransaksi dengan orang lain, sejauh mana kejujuran dan integritasnya, serta mengamankan hutang dengan jaminan atau gadai yang menjamin pemenuhan hak-hak bank.

B. Bank diizinkan untuk menggunakan transaksi partisipasi berkurang (musharakah mutanaqisah) setiap kali itu dianggap menguntungkan bagi bank.

C- Dalam kontrak tersebut disebutkan hal-hal berikut:

[a] Hak bank untuk mendapatkan kompensasi atas kerugian yang ditimbulkan akibat keterlambatan pembayaran, selain biaya penagihan dan tuntutan hukum, termasuk biaya penuh untuk tenaga ahli dan pengacara, serta biaya lain yang ditanggung bank. Penilaian kerugian dan kompensasinya dilakukan oleh sebuah komite yang terdiri dari para ahli yang berada di dalam bank, dengan mengikuti ketentuan-ketentuan syariah yang dikeluarkan oleh Lembaga Fatwa dan Pengawasan Syariah di bank tersebut, yang dianggap sebagai bagian dari transaksi dan mengikat bagi kedua belah pihak.

[b] Hak bank untuk menganggap kontrak batal dengan sendirinya jika terjadi keterlambatan pembayaran selama tiga cicilan, dengan memberikan peringatan pembayaran ketika jatuh tempo untuk dua cicilan pertama, tanpa perlu tindakan lain atau putusan pengadilan, dengan mengembalikan barang yang menjadi objek transaksi. Bank berhak untuk menyimpan cicilan yang telah dibayarkan dan mengurangkan nilai cicilan tersebut dari jumlah kompensasi yang seharusnya dibayarkan, atau melakukan penyesuaian jika diperlukan sesuai dengan keputusan komite khusus.

[c] Hak bank untuk melakukan pengumuman di surat kabar dan media lain yang tepat tentang tindakan menunda-nunda debitur dan perilakunya yang buruk serta memberikan peringatan mengenai hal tersebut, dengan merujuk pada sabda Nabi (SAW)

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ 

“Menunda-nunda membayar utang bagi orang yang mampu (membayar) adalah kezaliman,” (HR Bukhari).

Dan sabdanya (SAW):

لَيُّ الْوَاجِدِ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

"Penundaan pembayaran hutan yang dilakukan oleh orang yang mampu membayarnya menghalalkan kehormatan (untuk dighibah) dan hukumannya." [HR. Abu Dawud (3628), An-Nasa'i (4689), dan juga Bukhari (2401) dengan sanad mu'allaq]

[d] Penilaian kerugian dan kompensasi dilakukan oleh komite yang terdiri dari para ahli di dalam bank, dengan mempertimbangkan bahwa debitur tersebut mampu membayar namun menunda-nunda pembayaran, dan nilai kompensasi ditentukan sekali saja berdasarkan kerugian aktual yang dialami bank, sesuai dengan kondisi masing-masing kasus dan setelah mendengar pernyataan debitur.

Jika debitur berselisih mengenai jumlah kompensasi yang harus dibayar, maka masalah ini harus diajukan kepada Lembaga Fatwa dan Pengawasan Syariah di bank tersebut dan keputusan mereka bersifat final dan tidak dapat diajukan banding di pengadilan atau pihak lainnya.

Komite juga dapat menerima pembayaran dari debitur dengan cara syariah yang disepakati jika komite yakin akan niat baik dan kesungguhannya untuk membayar hutang, dan tidak ada masalah syariah jika hal tersebut dilakukan dengan membeli sebagian dari objek transaksi dengan nilai sesuai dengan jumlah kadar utang.

Kedua:

Mengenai syarat partisipasi (syirkah) bank dalam jumlah angsuran yang tertunggak, Badan Fatwa dan Pengawasan Syariah berpendapat bahwa syarat ini tidak dibenarkan karena para fuqaha' (ahli fikih) telah menetapkan bahwa partisipasi (syirkah) dengan harta yang ghaib (tidak hadir) atau hutang itu tidak diperbolehkan. Karena tujuan dari syirkah adalah mengelola harta dengan tujuan mencapai keuntungan, maka diperlukan bahwa harta tersebut hadir (tangible).

[Batas Ketentuan Kepailitan]. Sumber: Organisasi Konferensi Islam – Majma' al-Fiqhi al-Islami Resolusi dan Rekomendasi Majma' al-Fiqhi al-Islami - Pertemuan ke 1 hingga Pertemuan Ke 8 setelah memeriksa penelitian yang diterima oleh majelis terkait topik: (Penjualan dengan Cicilan) dan setelah mendengarkan diskusi yang berlangsung tentang hal tersebut.

KE 14: FATWA ISLAMQA: No. 388.394

Tanggal publikasi: 12-11-2022

حُكْمُ شِرَاءِ سَيَّارَةٍ بِالتَّقْسِيطِ مِنْ بَنْكٍ إِسْلَامِيٍّ مَعَ وُجُودِ غُرِامَةٍ تَأْخِيرٍ وَتَعْلِيقِ انتِقَالِ الْمِلْكِيَّةِ عَلَى السَّدَادِ

"Hukum membeli mobil secara kredit dari bank Islam dengan adanya denda keterlambatan pembayaran dan penangguhan peralihan kepemilikan sampai lunas."

PERTANYAAN:

أريد أن أشترى سيارة بالتقسيط من بنك فيصل الإسلامي، وأريد أنا أعرف هل هذه المعاملة حلال أم حرام؟ والعقد يحتوى على شروط نصها كالآتي: 1-"كل تأخير فى سداد قيمة القسط أو جزء منه عند استحقاقه يحسب عليه التعويض الناتج عن الضرر الذى قد يلحق بالبنك حسب النظام المعمول به منذ تاريخ الاستحقاق وحتى السداد، وذلك بدون تنبيه، أو إنذار، أو اتخاذ أى إجراء قانوني، أو صدور حكم قضائي بذلك". 2- " يتعهد المشترى وحتى سداد كامل الثمن بإعتبار أن السيارة أمانة طرفه كما يلى: • يحتفظ الطرف الثانى بالسيارة فى حيازته شخصيا، ويحافظ على سلامتها، ولا يقوم بتغيير معالمها، أو محو أرقامها، أو التصرف فيها، أو إخفائها، وإلا أعتبر مبددا لها. • لايجوز توقيع الحجز عليها إداريا أو قضائيا بناء على طلب الغير إلا بعد أن يقوم الطرف الثانى بتقديم صورة هذا العقد للقائم بالحجز لإثبات ملكيتها، كما يلتزم الطرف الثانى (المشترى) بإخطار الطرف الأول (البنك) كتابة خلال 24 ساعه من تاريخ وقوع الحجز". 3- فى حالة مخالفة الطرف الثانى تنفيذ أى التزام من الإلتزامات المبينة بهذا العقد يحق للطرف الأول طبقا لهذا العقد وبقوة القانون وبدون حاجة إلى إنذار أن يختار بين أحد أمرين: • سحب السيارة فورا، وفسخ العقد، والإحتفاظ بجميع الأقساط المدفوعة كحق للبائع مقابل استعمال السيارة والانتفاع بها. • المطالبة بسدادا باقى الثمن فورا بإعتبار ان الطرف الثانى سقط حقه فى التقسيط". هل أتم عملية الشراء هذه بتلك الشروط أم أمتنع عنها؟

Saya ingin membeli mobil dengan metode pembiayaan dari Bank Faisal Islamic, dan Saya ingin tahu apakah transaksi ini halal atau haram? Kontrak tersebut berisi syarat-syarat yang seperti berikut:

  1. "Setiap keterlambatan dalam pembayaran angsuran atau sebagian darinya pada saat jatuh tempo akan dikenakan kompensasi atas kerugian yang mungkin diderita oleh bank sesuai dengan sistem yang berlaku sejak tanggal jatuh tempo hingga pelunasan, tanpa pemberitahuan, peringatan, atau tindakan hukum, atau keputusan pengadilan yang dikeluarkan."
  2. "Pembeli berkomitmen hingga lunasnya harga mobil dengan mempertimbangkan mobil sebagai amanah, dengan ketentuan sebagai berikut:
    1. Pihak kedua (pembeli) harus menyimpan mobil tersebut di bawah kepemilikannya, menjaga keselamatannya, tidak mengubah penampilannya, menghapus nomor-nomor di dalamnya, atau melakukan tindakan lain terhadap mobil tersebut yang menyebabkan kerusakan.
    2. Tidak diizinkan untuk menandatangani jaminan atas mobil secara administratif atau pengadilan berdasarkan permintaan pihak ketiga kecuali setelah pihak kedua (pembeli) menyediakan salinan kontrak ini sebagai bukti kepemilikannya. Pihak kedua juga harus memberitahukan pihak pertama (bank) secara tertulis dalam waktu 24 jam setelah jaminan tersebut diberlakukan."
  3. "Jika pihak kedua melanggar salah satu kewajiban yang diuraikan dalam kontrak ini, maka pihak pertama berhak, sesuai dengan kontrak ini dan berdasarkan hukum, tanpa perlu pemberitahuan, untuk memilih salah satu dari dua tindakan berikut: • Menarik mobil secara segera, mengakhiri kontrak, dan menyimpan semua cicilan yang sudah dibayar sebagai hak penjual sebagai imbalan atas penggunaan dan manfaat mobil. • Menuntut pembayaran sisa harga mobil secara segera, menganggap bahwa pihak kedua telah kehilangan haknya atas pembiayaan."

Menurut prinsip syariah Islam, beberapa ketentuan dalam kontrak tersebut, seperti penerapan kompensasi atas keterlambatan pembayaran dan perjanjian jaminan atas mobil, dapat dianggap sebagai transaksi yang mengandung unsur riba. Oleh karena itu, sebaiknya Anda berdiskusi dengan seorang ahli hukum Islam yang kompeten sebelum memutuskan untuk melanjutkan proses pembelian mobil dengan metode ini.

JAWABAN:

الحمد لله.

لا يجوز شراء سيارة بالتقسيط وفق هذا العقد لاشتماله على أمرين محرمين:

الأول: اشتراط غرامة على التأخر في السداد، وغرامة التأخير هي عين ربا الجاهلية، فلا يجوز الدخول في عقد مشتمل على اشتراط هذه الغرامة، ولو كان المشتري متيقنا من قدرته على السداد؛ لما فيه من إقرار الربا، والتزامه، وذلك محرم، ولأنه لا يدري ما يعرض له؛ فقد يطرأ طارئ يمنعه من سداد شيء في وقته، فيقع في الربا، عقدا، وفعلا.

وقد صدر عن مجمع الفقه الإسلامي قرار بتحريم غرامة التأخير التي يفرضها المصرف عند تأخير العميل في السداد.

جاء في "قرار المجمع الفقهي" رقم: 133(7/14) في دورته الرابعة عشرة بالدوحة ما نصه: " ثالثا ً: إذا تأخر المشتري المدين في دفع الأقساط عن الموعد المحدد، فلا يجوز إلزامه أي زيادة على الدين بشرط سابق ، أو بدون شرط ، لأن ذلك ربا محرم " انتهى.

وجاء في "قرار مجمع الفقه الإسلامي" رقم: 108(2/12) بشأن بطاقة الائتمان غير المغطاة:

" أولاً: لا يجوز إصدار بطاقة الائتمان غير المغطاة ولا التعامل بها، إذا كانت مشروطة بزيادة فائدة ربوية، حتى و

كان طالب البطاقة عازماً على السداد ضمن فترة السماح المجاني" انتهى.

الثاني: تعليق الملكية على سداد الأقساط، وجعل السيارة أمانة بيد المشتري خلال هذه المدة، وهذا شرط مناف لمقتضى العقد؛ إذ مقتضى عقد البيع انتقال ملكية المبيع إلى المشتري بمجرد العقد وللبنك أن يحظر عليه البيع.

وقد وقفنا على عقد للبنك المذكور فيه التصريح بأن الملكية لا تنتقل للمشتري إلا بعد سداد الأقساط، ونصه:

"ولا يتم نقل ملكية المبيع للمشتري إلا بعد سداد كامل الثمن، وتعتبر حيازة الطرف الثاني للبضاعة قبل وفاء كامل الثمن حيازة ناقصة لحين انتقال الملكية بعد الوفاء بكامل الثمن" انتهى.

وقد جاء في قرار مجمع الفقه الإسلامي بشأن البيع بالتقسيط: " لا حق للبائع في الاحتفاظ بملكية المبيع بعد البيع، ولكن يجوز للبائع أن يشترط على المشتري رهن المبيع عنده لضمان حقه في استيفاء الأقساط المؤجلة " انتهى من "مجلة المجمع" (ع 6 ج 1 ص 193).

وبناء عليه فلا يجوز شراء سيارة بالتقسيط من البنك المذكور.

والله أعلم.

Alhamdulillah.

Tidak diperbolehkan untuk membeli mobil secara kredit berdasarkan kontrak ini karena mengandung dua hal yang diharamkan:

Pertama: Mensyaratkan denda atas keterlambatan pembayaran, dan denda keterlambatan ini adalah bentuk riba zaman jahiliyah. Oleh karena itu, tidak boleh masuk dalam kontrak yang mengandung persyaratan denda ini, bahkan jika pembeli yakin mampu melakukan pembayaran tepat waktu. Hal ini karena mengakui riba dan berkewajiban padanya, yang mana perbuatan tersebut diharamkan. Selain itu, karena dia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya, mungkin terjadi sesuatu yang menghalanginya untuk membayar pada waktunya, sehingga terjerumus dalam riba, baik dalam bentuk kontrak maupun perbuatan.

Fatwa telah dikeluarkan oleh Majelis Fiqh Islam yang melarang denda keterlambatan yang diberlakukan oleh bank ketika nasabah terlambat membayar.

Dalam "Keputusan Majelis Fiqh Islam" nomor: 133(7/14) dalam pertemuan keempat belas di Doha, dinyatakan sebagai berikut: "Ketiga: Jika pembeli yang berhutang terlambat membayar angsuran tepat pada waktunya, tidak boleh memaksa pembeli membayar tambahan atas hutangnya dengan syarat sebelumnya atau tanpa syarat, karena itu adalah riba yang diharamkan." Selesai.

Dan dalam "Keputusan Majelis Fiqh Islam" nomor: 108(2/12) tentang kartu kredit yang tidak terjamin, disebutkan: "Pertama: Tidak diperbolehkan menerbitkan kartu kredit yang tidak terjamin dan tidak diperbolehkan berurusan dengannya jika dikondisikan dengan tambahan bunga ribawi, bahkan jika pemohon kartu berkomitmen untuk membayar dalam periode toleransi gratis." Selesai.

Kedua: Menyebabkan kepemilikan mobil ditangguhkan hingga pembayaran angsuran selesai dan membuat mobil menjadi amanah di tangan pembeli selama periode tersebut. Hal ini bertentangan dengan esensi kontrak; karena esensi kontrak jual beli adalah kepemilikan barang teralihkan kepada pembeli sejak akad terjadi, dan bank berhak menghentikan penjualan kepadanya.

Kami menemukan kontrak dari bank yang disebutkan di mana dinyatakan bahwa kepemilikan tidak akan berpindah kepada pembeli kecuali setelah seluruh pembayaran angsuran dilunasi, dan isinya adalah sebagai berikut:

"Kepemilikan barang yang dibeli tidak akan berpindah kepada pembeli kecuali setelah seluruh harga lunas dibayar, dan kepemilikan yang ada pada pihak kedua sebelum seluruh harga dibayar dianggap sebagai kepemilikan yang tidak sempurna sampai kepemilikan dipindahkan setelah seluruh harga dibayar lunas." Selesai.

Dan dalam keputusan Majelis Fiqh Islam mengenai pembelian dengan cara mencicil, disebutkan: "Tidak ada hak bagi penjual untuk menyimpan kepemilikan barang yang telah dijual setelah penjualan, namun penjual berhak menetapkan jaminan barang yang dijual oleh pembeli sebagai jaminan untuk menjamin pembayaran angsuran yang ditangguhkan." Selesai dari "Majalah Al-Majma'" (Volume 6, Jilid 1, halaman 193).

Berdasarkan hal ini, tidak diperbolehkan membeli mobil secara mencicil dari bank yang disebutkan. Wallaahu A'lam.

KE 15: FATWA ISLAMQA: No. 210423 Tanggal publikasi: 29-12-2013

اشْتَرَى سِيَارَة مِنَ الْبَنْك بِالتَّقْسِيطِ وَعَجَزَ عَنْ تَكْمِلَةِ الْأَقْسَاطِ وَيُرِيدُ بَيْعَهَا لِشَخْصٍ آخَرَ لِيَكْمُلَ هُوَ الْأَقْسَاطِ.

Seseorang telah membeli mobil dari bank dengan sistem pembayaran secara cicilan, namun dia tidak mampu melanjutkan pembayaran cicilan tersebut. Dia ingin menjual mobil tersebut kepada orang lain agar orang tersebut yang melanjutkan pembayaran cicilan.

PERTANYAAN:

شخص اشترى سيارة عن طريق احد البنوك بالتقسيط ودفع تقريبا نصف عدد الأقساط وهو لا يستطيع التكملة ، وجاء شخص آخر ودفع مبلغا بالتراضي لصاحب السيارة وليكمل الشخص الجديد باقي الأقساط للبنك ويأخذ هو السيارة بيعاً وشراء ، ما حكم الشرع في ذلك ؟

Seseorang telah membeli mobil dari salah satu bank dengan sistem pembayaran secara cicilan, dia telah membayar sekitar setengah dari total cicilan yang harus dibayarkan, namun dia tidak mampu melanjutkan pembayaran sisanya. Kemudian, ada orang lain yang datang dan membayar sejumlah uang secara kesepakatan kepada pemilik mobil, dan orang ini akan melanjutkan pembayaran sisanya kepada bank serta mengambil mobil tersebut dengan transaksi jual-beli. Pertanyaannya adalah, apa hukum syariah mengenai hal ini?

JAWABAN:

الْحَمْدُ للهِ.

أُولاً: شِرَاءُ السَّيَّارَةِ عَنْ طَرِيقِ البَنْكِ لَهُ صُورَتَانِ:

الْأُولَى:

أَنْ يَشْتَرِيَ البَنْكُ السَّيَّارَةَ وَيَمْلِكُهَا مِلْكًا تَامًّا بِحَيْثُ يَقْبِضُهَا وَيَحُوزُهَا إِلَى مِلْكِهِ ثُمَّ يَبِيعُهَا لِلرَّاغِبِ فِي شِرَائِهَا بِالتَّقْسِيطِ فَهَذِهِ الصُّورَةُ جَائِزَةٌ وَلَا حَرَجَ فِيهَا، بِشُرُوطِ ثَلَاثَةٍ:

1. أَلَّا يَشْتَرِطَ البَنْكُ غُرَامَةً فِي حَالِ التَّأَخُّرِ عَنْ سَدَادِ الْأَقْسَاطِ؛ لِأَنَّ اشْتِرَاطَ هَذِهِ الْغُرَامَةِ مِنَ الرِّبَا الْمُحَرَّمِ.

2. أَلَّا يُوقِعَ الْعَمِيلُ عَلَى عَقْدِ شِرَاءٍ أَوْ وَعْدٍ مُلْزِمٍ بِالشِّرَاءِ، قَبْلَ تَمْلُكِ البَنْكِ لِلسَّيَّارَةِ.

3. أَلَّا يَشْتَرِطَ البَنْكُ دَفْعَ مُبَلَّغٍ مُقَدَّمٍ قَبْلَ تَمْلُكِهِ لِلسَّيَّارَةِ؛ لِأَنَّ الْعُرْبُونَ – عِنْدَ مَنْ يَقُولُ بِجَوَازِهِ وَهُمْ الْحَنَابِلَةُ – لَا يَصِحُّ قَبْلَ الْعَقْدِ. جَاءَ فِي "غَايَةِ الْمُنْتَهَى" (3/79): " وَهُوَ [أَيْ بَيْعُ الْعُرْبُونِ] دَفْعُ بَعْضِ ثَمَنٍ أَوْ أَجْرَةٍ بَعْدَ عَقْدٍ ، لَا قَبْلَهُ. وَيَقُولُ: إنْ أَخَذْتَهُ أَوْ جِئْتَ بِالْبَاقِي ، وَإِلَّا فَهُوَ لَكَ " انتهى.

الثانية:

ألا يشتري البنك السيارة بصورة فعليه ، وإنما يدفع ثمنها عاجلا نيابة عن العميل ، ثم يقبضه منه بالتقسيط بزيادة ؛ وهذا لا يجوز لأنه قرض بزيادة وهو ربا مجمع على تحريمه, قال ابن قدامة رحمه الله: " وكل قرضٍ شرَط فيه أن يزيده: فهو حرام, بغير خلاف ، قال ابن المنذر: أجمعوا على أن المسلِّف إذا شرَط على المستسلف زيادة أو هدية, فأسلف على ذلك: أن أخذ الزيادة على ذلك ربا.وقد روي عن أبي بن كعب وابن عباس وابن مسعود أنهم نهوا عن قرض جر منفعة " انتهى من "المغني" (211/4).

ثانيا: من اشترى سيارة عن طريق البنك بطريق شرعي مباح: جاز له بيعها بثمن حال ، أو مقسط, وكذا من اشتراها بطريق غير شرعي مشتمل على معاملة ربوية: يجوز له بيعها بثمن عاجل أو مقسط, ولكن إذا باعها بثمن مقسط لا يجوز للمشتري أن يحل محله في سداد الأقساط الربوية ؛ لما يترتب على ذلك من محاذير ، كفتح حساب في البنك ، والتزام غرامة التأخير الربوية عند التأخر في سداد الأقساط. وهذا الالتزام محرم ولو كان المشتري عازما على عدم التأخر.

فإذا تولى صاحب السيارة سداد أقساطه بنفسه ، وكان هو المتعامل مع البنك ، والمشتري الجديد يدفع له الأقساط ، على ما تراضيا عليه: فلا حرج حينئذ في الشراء منه. والله أعلم.

Alhamdulillah.

Pertama: Pembelian mobil melalui bank memiliki dua bentuk:

Bentuk pertama:

Bank membeli mobil dan memiliki kepemilikan penuh atas mobil tersebut, sehingga bank memiliki mobil secara fisik dan kepemilikan. Kemudian, bank menjual mobil tersebut kepada calon pembeli yang ingin membeli mobil secara cicilan. Bentuk pembelian ini adalah sah dan tidak ada masalah dalam hal ini, dengan tiga syarat:

1. Bank tidak menetapkan denda atas keterlambatan pembayaran cicilan, karena menetapkan denda tersebut termasuk riba yang diharamkan.

2. Calon pembeli tidak menandatangani perjanjian pembelian atau kesepakatan pembelian sebelum bank benar-benar memiliki mobil.

3. Bank tidak menetapkan pembayaran uang muka sebelum benar-benar memiliki mobil, karena menurut pandangan beberapa ahli, uang muka dalam transaksi jual-beli tidak sah sebelum kontrak dibuat. Dikatakan dalam "Ghayatul Muntaha" (3/79): "Dan itu (yaitu uang muka) adalah memberikan sebagian harga atau upah setelah kontrak, bukan sebelumnya. Jika Anda mengambilnya atau membawa sisanya, maka itu adalah milik Anda. Jika tidak, maka uang muka tersebut menjadi hak Anda." Selesai.

Bentuk kedua:

Bank tidak membeli mobil secara fisik, tetapi membayar harga mobil secara tunai atas nama nasabah, kemudian menagihnya dari nasabah dengan cara mencicilkannya dengan penambahan. Hal ini tidak diperbolehkan karena itu merupakan pemberian pinjaman dengan tambahan (riba), yang telah disepakati haramnya.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

"Setiap pinjaman yang diberikan dengan syarat ada penambahan (bunga), maka hal itu haram tanpa perbedaan pendapat. Ibnu Mundzir berkata: "Telah disepakati secara Ijma' bahwa pemberi pinjaman yang menetapkan penambahan atau pemberian hadiah kepada penerima pinjaman, maka penerima pinjaman menerima penambahan itu adalah riba." Telah diriwayatkan dari Abu bin Ka'ab, Ibnu Abbas, dan Ibnu Mas'ud bahwa mereka melarang pemberian pinjaman yang ada manfaat tambahannya." Selesai. (Al-Mughni, 211/4).

Kedua: Jika seseorang membeli mobil melalui bank dengan cara yang syar'i dan sah, maka dia diizinkan untuk menjual mobil tersebut dengan harga tunai atau dicicil. Demikian juga, jika seseorang membeli mobil tersebut dengan cara yang tidak sah yang melibatkan transaksi ribawi (mengandung unsur riba), dia juga diizinkan untuk menjual mobil tersebut dengan harga tunai atau dicicil. Namun, jika dia menjual mobil dengan harga dicicil, pembeli tidak diizinkan untuk menggantikan pembayaran atas pembayaran ribawi, karena itu akan menimbulkan masalah, seperti membuka rekening bank dan berkewajiban membayar denda keterlambatan ribawi ketika pembayaran angsuran terlambat. Kewajiban ini adalah haram, bahkan jika pembeli bertekad untuk tidak terlambat.

Jika pemilik mobil bertanggung jawab untuk membayar angsuran secara pribadi dan berurusan langsung dengan bank, dan pembeli yang baru membayarkan angsuran kepada pemilik mobil dengan kesepakatan mereka berdua, maka tidak ada masalah dalam melakukan pembelian dari pemilik mobil tersebut.

Wallaahu A'lam.

KE 16: FATWA BAIT AT-TAMWIIL KUWAIT

السؤال:

هل يجوز إضافة نسبة إلى السعر المعتاد لمواجهة أي تأخير في التسديد.. بحيث تستوفي مع السعر إن حصل التأخير وفى حالة التسديد في الموعد المحدد يتم خصم هذه النسبة للعميل؟

الجواب:

لا يجوز الاتفاق مع العميل بشرط ملحوظ أو ملفوظ على حط جزء من الثمن المؤجل عند تعجيله بل في حالة تعجيل السداد يحق إجراء الخصم المناسب بما تراه الإدارة على ألا يكون هناك سعران محددان أحدهما للأجل والثاني للتأخير (المماطلة في الدفع) احتياطيا لتأخير السداد ينظر إليه على أنه من الثمن ويطبق عليه بالنسبة للحط ما سبق.

المصدر: كتاب - الفتاوى الشرعية في المسائل الاقتصادية - - بيت التمويل الكويتي فتوى رقم (٥٢٧)

Pertanyaan:

Apakah diperbolehkan menambahkan persentase ke harga standar demi untuk jaga-jaga mengatasi keterlambatan pembayaran? Sehingga jika terjadi keterlambatan, harga akan ditambah dengan persentase ini pada nasabah, dan jika pembayaran dilakukan tepat waktu, persentase ini akan dikurangkan dari harga untuk nasabah?

Jawaban:

Tidak diperbolehkan untuk membuat kesepakatan dengan nasabah, baik secara tertulis maupun terucap untuk mengurangi bagian dari harga yang ditangguhkan ketika dibayarkan dengan cepat.

Namun jika tanpa adanya kesepakatan tersebut, maka ketika nasabah membayar dengan cepat, perusahaan boleh dan berhak memberikan diskon yang sesuai, berdasarkan kebijakan yang ditetapkan oleh manajemen, dengan syarat tidak ada dua harga yang ditetapkan saat transaksi, salah satunya untuk pembayaran tepat waktu dan yang lainnya untuk keterlambatan pembayaran (penundaan pembayaran) sebagai cadangan untuk keterlambatan pembayaran, dilihat sebagai bagian dari harga dan dikenakan persentase yang disesuaikan dengan pengurangan yang telah disebutkan di atas.

Sumber: Buku - Fatwa Syariah dalam Masalah Ekonomi - Kuwait Finance House, Fatwa Nomor (527)

KE 17: FATWA DARI BADAN PENGAWAS SYARIAH BANK ISLAM QATAR.

السؤال:

حول إمكانية فرض عقوبات مالية على العميل المقتدر والمماطل بالسداد.

الجواب:

إذا وقعت المماطلة من المدين فإن المستحق هو الدين فقط دون أي زيادة لأنه يعامل معاملة الغاصب للمال المثلى وجزاؤه رد المثل دون زيادة مع الإثم على عمله هذا ولم يعهد من قضاة الشرع إيجاب زيادة للدائن يأخذها من المدين المماطل لالتباس ذلك بالربا ولكن لتحقيق استرجاع أموال البنك واعادة استثمارها يمكن الضغط على المدين المماطل بفرض عقوبة مالية عليه من باب التعزير بأخذ المال ويتأكد هذا إن كان المدين من أعضاء مجلس الإدارة لوجود المماطلة وخيانة الأمانة الموكولة إليهم والإخلال بواجبهم في حفظ أموال البنك وتنميتها ما أمكن وفي جميع الأحوال فإن البنك لا يتمول هذه الغرامات بل يصرفها في وجوه الخير العامة وينبغي لسهولة تحصيلها بدون القضاء وضع شرط في العقد يبت فيه من محكمين يتضمن تعهد المدين المماطل بأن يدفع نسبة كذا إلى البنك ليصرفها في وجوه الخير بمعرفة الهيئة الشرعية لديه.

المصدر: فتاوى هيئة الرقابة الشرعية لمصرف قطر الإسلامي فتوى رقم)١٨)

"PERTANYAAN:

Tentang kemungkinan memberlakukan sanksi finansial pada nasabah yang mampu tetapi lamban dalam pembayaran.

JAWABAN:

Jika ada kelambanan dari pihak yang berhutang, maka yang menjadi kewajiban adalah pembayaran hutang saja tanpa ada tambahan apapun, karena itu dianggap sebagai perlakuan penguasa yang memaksakan uang secara maksimal, dan balasannya adalah mengembalikan yang semestinya tanpa tambahan apapun, dengan dosa atas perbuatannya ini.

Tidak ada catatan dari para hakim syariah yang menyatakan bahwa pihak yang berhutang berhak menerima tambahan dari pihak yang berpiutang yang diambil dari yang berhutang karena hal ini menimbulkan kesalahpahaman dengan riba. Namun, untuk mencapai pengembalian dana bank dan kembali menginvestasikannya, maka tekanan dapat diberlakukan pada pihak yang berhutang lambat melalui penerapan sanksi finansial sebagai bentuk peringatan atas pengambilan dana. Hal ini dapat dilakukan apabila pihak yang berhutang adalah anggota dewan direksi, karena hal ini menunjukkan kelambanan dan pelanggaran amanah yang dipercayakan kepada mereka, serta ketidakpatuhan mereka dalam menjaga dan mengembangkan dana bank sejauh yang mungkin. Dalam semua kondisi, bank tidak akan menggunakan dana ini untuk membiayai denda, melainkan akan diberikan untuk kegiatan amal. Agar pengambilan dana ini dapat dilakukan dengan mudah tanpa perlu melalui proses hukum, maka dapat ditentukan dalam kontrak dengan persetujuan dari pengadilan bahwa pihak yang berhutang lambat akan membayar sejumlah tertentu kepada bank untuk digunakan pada kegiatan amal, yang akan ditentukan oleh lembaga syariah yang ada pada bank.

Sumber: Fatwa dari Badan Pengawas Syariah Bank Islam Qatar, Fatwa Nomor (18)."

KE 18: FATWA ISLAM DALAM EKONOMI - AL-AHRAM AL-IQTISADI, FATWA NOMOR (69)

السؤال:

يرجى إيضاح معنى المدين المعسر في الشريعة الإسلامية وهل مدين المصرف الذي لا تتوافر لديه السيولة النقدية وإن كان يملك أموالا عقارية ضخمة بعضها مرهون للمصرف تأمينا لدينه ينطبق عليه هذا المعنى أم أن من حق المصرف استيفاء أمواله وحقوقه من العقارات المرهونة لصالحه والمقدم كتأمين للدين؟

الجواب:

ترى الهيئة أن المدين في الحالة المعروضة لا يعتبر معسرا طالما أن العقارات المرهونة للمصرف تأمينا لدينه ليست للسكن الخاص به.

المصدر: كتاب - الفتاوى الإسلامية في الاقتصاد - الأهرام الاقتصادي فتوى رقم (٦٩)

PERTANYAAN:

Mohon jelaskan makna "madin al-mu'sir [debitur yang tidak mampu bayar]" dalam syariah Islam, apakah debitur dalam hal ini mencakup nasabah bank yang tidak memiliki likuiditas tunai tetapi memiliki properti yang besar, sebagian diantaranya dijaminkan kepada bank sebagai jaminan atas utangnya? Apakah bank berhak untuk mengambil dana dan hak-haknya dari properti yang dijaminkan tersebut sebagai jaminan atas utang?

JAWABAN:

Menurut Badan Pengawas Syariah, debitur dalam kondisi yang dijelaskan tidak dianggap sebagai debitur yang mu'sir selama properti yang dijaminkan kepada bank digunakan sebagai jaminan atas utang, bukan sebagai hunian pribadi debitur tersebut.

Sumber: Buku - Fatwa-Fatwa Islam dalam Ekonomi - Al-Ahram Al-Iqtisadi, Fatwa Nomor (69)

KE 19: FATWA SYEIKH ALI JUM'AH MESIR

ما حكم الفائدة على التأخير في سداد الأقساط.. علي جمعة يجيب

Fatwa tentang bunga pada penundaan pembayaran cicilan, dijawab oleh Dr. Ali Jum'ah:

"Sada Al-Balad", Selasa 2 Juni 2020

 الدكتور علي جمعة، مفتي الجمهورية السابق، إن جمهور الفقهاء أباح أن يكون الثمن المؤجل أعلى من الثمن المدفوع فورًا -البيع بالتقسيط-؛ وذلك لأن الثمن المدفوع فورًا يمكن الانتفاع به في معاملاتٍ تجاريةٍ أخرى، فتكون الزيادة في السعر المؤَجَّل في مقابلة الزمن، فيصح البيع بالثمن المؤَجَّل إلى أجَلٍ معلومٍ والزيادة في الثمن نظير الأجَلِ المعلوم؛ لأنَّ هذا من قبيل المرابحة.


وأضاف «جمعة» في إجابته عن سؤال: «ما حكم البيع التقسيط والفوائد عند التأخر في السداد؟»، أن بيع المرابحة نوعٌ من أنواع البيوع الجائزة شرعًا التي يجوز فيها اشتراط الزيادة في الثمن في مقابل الأجل؛ لأن الأجل وإن لم يكن مالًا حقيقةً إلَّا أنه في باب المرابحة يُزاد في الثمن لأجله، لكن لا بد من الاتفاق الواضح عند البيع على عدد الأقساط وقيمتها وزمنها؛ منعًا للغرر ورفعًا للنزاع.

وشدد على أن الفائدة التي تكون على التأخير سواء كانت باتفاقٍ أو عدمه حرامٌ شرعًا؛ لأن فائدة التأخير هي من ربا النسيئة المنهي عنه شرعًا، فالأقساط التي على المشتري هي في حكم الدَّيْن، والدَّيْن لا يجوز الزيادة فيه في مقابلة زيادة المدة.

Dr. Ali Jum'ah, mantan Mufti Republik Mesir, menyatakan bahwa mayoritas fuqaha (ahli fiqih) memperbolehkan harga yang ditangguhkan lebih tinggi daripada harga yang dibayarkan segera - yaitu jual beli dengan sistem pembayaran cicilan. Hal ini dikarenakan harga yang dibayarkan segera dapat dimanfaatkan dalam transaksi bisnis lain, sehingga kenaikan harga yang ditangguhkan sebanding dengan lamanya waktu yang diperlukan. Oleh karena itu, penjualan dengan harga yang ditangguhkan sampai batas waktu tertentu dan adanya penambahan harga untuk jangka waktu tersebut termasuk dalam bentuk muqaradhah (jenis akad dalam muamalah).

Dr. Ali Jum'ah menambahkan dalam jawabannya terkait pertanyaan "Apakah hukum jual beli dengan sistem pembayaran cicilan dan bunga pada penundaan pembayaran?" bahwa jual beli dengan sistem muqaradhah merupakan salah satu bentuk jual beli yang diperbolehkan dalam syariat. Dalam transaksi ini, penambahan harga (bunga) dapat dikenakan dalam pertukaran waktu penundaan pembayaran. Namun, penting untuk mencapai kesepakatan yang jelas dalam penjualan terkait jumlah dan nilai cicilan serta waktu pelunasannya, untuk menghindari riba dan mencegah perselisihan.

Ia menegaskan bahwa bunga yang dikenakan pada penundaan pembayaran, baik dengan kesepakatan atau tanpa kesepakatan, diharamkan dalam syariat. Bunga pada penundaan pembayaran termasuk dalam riba najis yang dilarang oleh syariat. Sehingga cicilan yang dibebankan kepada pembeli masuk dalam kategori hutang, dan dalam hutang tidak diperbolehkan adanya penambahan atas tambahan waktu yang diberikan.

KE 20: LEMBAGA PENGAWAS SYARIAH BANK ISLAM UNTUK SUDAN BARAT

السؤال:

من شخص في رجل عليه دين لجهة وقف وهو معسر ولا يملك إلا المنزل مسكنه الضروري بحيث لا يزيد هذا المنزل عن سكناه وسكنى عائلته فطلب الدائن بيع هذا المنزل لسداد الدين فقال المديون هذا المنزل سكنى وسكن عائلتي وليس فيه زيادة عن ذلك ولا مانع من أن يقسط على هذا الدين على أقساط تناسبني فهل يجاب لذلك أم لا؟

الجواب:

إذا كان الأمر كما ذكر في هذا السؤال وكان المديون معسرا حقيقة ومنزله المذكور لا يزيد عن سكناه وسكنى عائلته فلا مانع من قبول تقسيط هذا الدين عليه بأقساط تناسب حاله هذا وفي تنقيح الحامدية ما نصه سئل في مديون معسر ثبت إفلاسه واعتباره بالوجه الشرعي بموجب حجة وليس له مال سوى مسكن واحد بقدر كفايته ولا يمكنه الاجتزاء بما دون ذلك المسكن ويكفيه دائنه إلى بيعه وأداء دينه من ثمنه فهل ليس له ذلك (الجواب) نعم انتهى.

المصدر: فتاوى هيئة الرقابة الشرعية للبنك الإسلامي لغرب السودان فتوى رقم (٢٣)

PERTANYAAN:

Seseorang memiliki utang untuk wakaf, dan dia berada dalam kondisi kesulitan finansial dan hanya memiliki rumah tempat tinggal yang merupakan kebutuhan pokoknya dan keluarganya. Rumah ini tidak lebih besar dari kebutuhan tempat tinggalnya dan keluarganya.

Ketika pihak pemberi hutang meminta dia untuk menjual rumah tersebut untuk melunasi utangnya, orang tersebut menjawab bahwa rumah ini adalah tempat tinggalnya dan keluarganya, dan tidak ada kelebihan di dalamnya. Dia juga tidak keberatan jika utang ini dibayar dengan cicilan yang sesuai dengan kondisinya. Apakah permintaannya ini boleh dikabulkan atau tidak?

JAWABAN:

Jika keadaannya sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan ini, dan dia benar-benar berada dalam kondisi kesulitan finansial, serta rumah yang disebutkan tidak melebihi kebutuhannya dan keluarganya sebagai tempat tinggal, maka tidak ada masalah dalam menerima pembayaran utang ini dengan cara cicilan yang sesuai dengan kondisinya.

Dalam kitab Tanqiih Al-Hamidiyyah disebutkan:

"Ditanya tentang orang yang berutang dan kondisinya sudah jelas kebangkrutannya, dan dianggap secara syar'i telah mengalami kebangkrutan berdasarkan hujjah, dan dia tidak memiliki harta kecuali satu rumah yang mencukupi untuk tempat tinggalnya, dan dia tidak memungkin mendapat fasilitas selainnya yang mencukupinya dan tidak mencukupi bagi kreditur jika dia menjualnya untuk melunasi utangnya dari hasil penjualan. Apakah dia tidak berhak menjualnya? (Jawaban) "Ya". [Selesai]

Sumber: "Lembaga Pengawas Syariah Bank Islam untuk Sudan Barat, Fatwa Nomor (23)."

KE 21: FATWA DAN PENGAWASAN SYARIAH DARI BANK ISLAM DUBAI

السؤال:

أولا: في الآية الكريمة وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة فهل ذلك يعتبر وجوبا أي من الواجب على البنك كدائن أن ينظر المدين في حالة إعساره أو بمعنى آخر هل في عدم إمهاله حرمة أو كراهة؟

ثانيا: هل هنالك تفسير شرعي للإعسار ومتى يعتبر المدين معسرا؟ فهناك حالات نجد فيها المدين للبنك خالي الوفاض من النقد في حين أنه يمتلك عقارا أو منزلا يسكنه فهل يجوز شرعا بيع سكن أسرته وهو في حالة ضيقه هذا؟

PERTANYAAN:

Pertama: Dalam ayat yang mulia:

وَاِنْ كَانَ ذُوْ عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ اِلٰى مَيْسَرَةٍ

"Dan jika yang berhutang itu dalam kesempitan, maka beri tangguh sampai dia memperoleh kemudahan," [al-Baqarah: 280]

Apakah itu dianggap sebagai kewajiban bagi pihak bank sebagai kreditor untuk memberi tangguh kepada pihak yang berhutang dalam kondisi kesulitan atau dengan kata lain, apakah tidak memberi tangguh dianggap sebagai perbuatan haram atau makruh?

Kedua: Apakah ada penjelasan syariah mengenai "al-I`saar" (kondisi kesulitan) dan kapan seseorang dianggap "mu'sir" (miskin atau berhutang)? Ada situasi di mana seorang peminjam kepada bank tidak memiliki uang tunai, tetapi memiliki properti atau rumah tempat tinggalnya. Apakah diizinkan secara syariah untuk menjual tempat tinggal keluarganya dalam kondisi kesulitan seperti itu?

الجواب:

أولا: التفسير الشرعي للإعسار هو عجز المدين عن أن يفي بديونه لأنه لا يملك شيئا يزيد عن حاجته أما من يملك على ما يزيد عن حاجته فليس معسرا أما الآية وإن كان ذو عسرة فنظرة إلى ميسرة

فقد ذهب أكثر المفسرين إلى أنها نزلت في الربا في شأن من كان له مال من الربا فأمر أن يأخذ رأس ماله وطرح الربا فإن لم يجد رأس ماله فلينظر المعسر إلى ميسرة وذهب جمهور الفقهاء إلى أن ذلك عام في كل دين وأن انتظار المعسر واجب فإن كان مفلسا ليس لأحد مطالبته بنص الآية وهذا لا يمنع إن عرف له من مطالبته بالدين وبيع ماله بأمر الحاكم وكل ما زاد عن حاجته الضرورية من ماله يباع ويقول ابن قدامة في كتابه المغني إذا كان له داران يسكن إحداهما بيعت الأخرى وإن كان سكنه واسعا لا يسكن مثله في مثله بيع واشترى له سكن مثله وترك له ما يكفيه.

ثانيا: رأي القانون السوداني: تحدد المادة ٢٤٨ (١) من قانون الإجراءات المدنية لسنة ١٩٨٣ م أموال المدين القابلة للحجز والبيع تنفيذا للأحكام ضده ومن بينها الأراضي والمنازل أو غيرها من المباني والبضائع. إلخ والفقرة (٢) من المادة ٢٤٨ نفسها تعدد الأشياء غير القابلة للحجز والبيع وليس من بينهما المنزل الذي تسكنه عائلة المدين وعليه فالقانون السوداني لا يعرف حصانة المنزل الذي يملكه المدين ويسكنه من البيع لاستيفاء ديون حلت عليه.

[سداد دين المعسر من زكاة الدائن]

المصدر: فتاوى هيئة الفتاوى والرقابة الشرعية لبنك دبي الإسلامي فتوى رقم (٨٩)

JAWABAN:

Pertama:

Tafsir syariah tentang "al-I`saar" (kondisi kesulitan) adalah ketika seorang peminjam tidak mampu membayar hutangnya karena dia tidak memiliki sesuatu yang melebihi kebutuhannya. Namun, bagi orang yang memiliki kelebihan dari kebutuhannya, maka dia tidak dianggap sebagai orang yang berhutang.

Adapun ayat "Dan jika yang berhutang itu dalam kesempitan, maka beri tangguh sampai dia memperoleh kemudahan," sebagian besar ahli tafsir berpendapat bahwa ayat ini turun terkait dengan riba, khususnya bagi orang yang memiliki hutang riba. Dalam hal ini, diperintahkan untuk mengambil modal awalnya dan menghapus riba. Jika tidak dapat menemukan modal awalnya, maka orang yang berhutang diberi tangguh sampai ia mampu membayar.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa hal ini umum berlaku dalam setiap hutang dan menunggu dari pihak yang berhutang adalah wajib. Namun, jika pihak yang berhutang benar-benar bangkrut dan tidak mampu membayar, maka tidak ada yang dapat menuntutnya berdasarkan ayat tersebut.

Namun, hal ini tidak menghalangi pihak yang mengetahui tentang hutangnya untuk menuntutnya untuk membayar hutangnya atau menjual propertinya atas perintah hakim.

Segala sesuatu yang melebihi kebutuhan pokoknya bisa dijual, dan Ibnu Qudamah dalam kitabnya "al-Mughni" menyatakan:

" Bahwa jika dia memiliki dua rumah dan tinggal di salah satunya, maka yang lainnya bisa dijual. Jika rumah tempat tinggalnya luas dan dia tidak tinggal di rumah yang sama ukuran dan kualitasnya, maka rumah tersebut bisa dijual dan dia bisa membeli rumah yang sebanding dengannya dan tetap memiliki kecukupan hidup".

Kedua:

Pendapat hukum Sudan: Pasal 248 (1) dari Undang-Undang Prosedur Perdata tahun 1983 mengatur tentang harta debitur yang dapat disita dan dijual untuk melaksanakan putusan terhadapnya, termasuk tanah, rumah, atau bangunan lainnya, serta barang-barang lain. Namun, paragraf (2) dari Pasal 248 menyebutkan tentang benda-benda yang tidak dapat disita dan dijual, dan di antaranya adalah rumah tempat tinggal debitur. Oleh karena itu, undang-undang Sudan tidak memberikan kekebalan pada rumah tempat tinggal debitur untuk dijual guna melunasi hutang yang harus dibayar.

Sumber: Fatwa dan Pengawasan Syariah dari Bank Islam Dubai, Fatwa Nomor (89).

Posting Komentar

0 Komentar