Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

MACAM-MACAM "TAWASSUL DALAM BERDOA" & HUKUM BERTAWASSUL DENGAN "ORANG YANG TELAH WAFAT"

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM


DAFTAR ISI:

ARTI DAN DEFINISI TAWASSUL:

MACAM-MACAM TAWASSUL DALAM BERDOA DAN JENISNYA

MACAM PERTAMA: TAWASSUL DENGAN NAMA-NAMA ALLAH DAN SIFAT-SIFATNYA

MACAM KE DUA: BERTAWASSUL KEPADA ALLAH SWT DENGAN AMAL SALEH.

TAWASSUL DENGAN BACA SHOLAWAT KETIKA BERDOA

DOA-DOA NABI (SAW) YANG TANPA SHALAWAT:

MACAM KETIGA: TAWASSUL DENGAN WASILAH SESAMA MANUSIA

ADA DUA JENIS TAWASSUL DENGAN SESAMA MANUSIA

JENIS PERTAMA: DENGAN ORANG LAIN YANG MASIH HIDUP

DALIL-DALIL TAWASSUL DENGAN DOA SESAMA MUSLIM YANG MASIH HIDUP.

JENIS KEDUA: TAWASSUL DENGAN ORANG LAIN YANG SUDAH WAFAT. Ada dua klasifikasi:

KLASIFIKASI PERTAMA: TAWASSUL DENGAN ORANG MATI DISERTAI KEYAKINAN PUNYA KEMAMPUAN & KEKUASAAN

KLASIFIKASI KEDUA: BERTAWASSUL DENGAN ORANG MATI SEBAGAI SEBAB ATAU PERANTARA:

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA: Ada tiga pendapat.

PENDAPAT PERTAMA: TIDAK MEMBOLEHKAN TAWASSUL DENGAN ORANG YANG TELAH WAFAT.

PENDAPAT KEDUA: HANYA DIPERBOLEHKAN TAWASSUL DENGAN NABI (SAW) SAJA.

PENDAPAT KETIGA: MEMBOLEHKAN TAWASSUL DENGAN NABI (SAW) DAN LAINNYA SETELAH WAFAT.

PERNYATAAN BIJAK IBNU TAIMIYAH DAN SYEIKH AL-ALBANI TENTANG TAWASSUL DENGAN ORANG MATI YANG HANYA SEBATAS SEBAGAI SEBAB:

DALIL PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN TAWASSUL DENGAN ORANG MATI HANYA SEBATAS SEBAGAI SEBAB

DALIL PERTAMA:.... HINGGA..... DALIL KE TIGA BELAS:

========

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

ARTI DAN DEFINISI TAWASSUL:

Tawassul dan Wasiilah adalah kata-kata asli dari bahasa arab. Kalimat ini tersebar dalam Al-Quran, hadits, syair-syair arab dan prosanya yang maknanya secara etimologi (bahasa) adalah: “segala hal yang dapat mendekatkan diri kepada sesuatu yang disukai dan dapat menyampaikan kepadanya karena rasa cinta dan suka ".

Bentuk jamak Wasiilah adalah wasaa-il.

Ibnu Atsir dalam kitabnya an-Nihyah fii Ghoribil Hadits berkata: “Al-Wasiilah artinya perbuatan yang dapat mendekatkan diri pada sesuatu, perantara kepada sesuatu, apa saja yang dengannya sampai kepada sesuatu dan juga segala hal yang dengannya bisa mendekatkan diri kepada yang lain ".

Dan Fairuz Abadi dalam kitabnya Kamus Muhith berkata: “Orang yang bertawassul kepada Allah dengan wasilah, artinya mengamalkan sebuah amalan yang dengannya bisa mendekatkan diri kepada-Nya ".

Dan Roghib al-Ashbahani dalam kitabnya Mufrodat fi alfaadzil Qur'an berkata: “Wasilah adalah upaya sampai kepada sesuatu dengan rasa suka dan cinta, seperti dalam firman Allah SWT:

{ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ }

Artinya: “Dan carilah wasiilah (jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya ". (QS. Al-Maidah: 35).

Makna Tawassul dan Wasiilah secara terminologi (syar’i) adalah: “Segala hal yang dapat mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala yaitu berupa amal ketaatan yang disyariatkan".

Dan Waasil sendiri maknanya adalah: “orang yang berkeinginan mendekatkan diri atau cinta kepada Allah Ta'ala ". [Referensi: Mari Bertawassul karya Abu Haitsam Fakhri hal. 3-4]

MACAM-MACAM TAWASSUL DALAM BERDOA DAN JENISNYA

======

MACAM PERTAMA :
TAWASSUL DENGAN NAMA-NAMA ALLAH DAN SIFAT-SIFATNYA

=======

Bertawssul kepada Allah SWT dengan menyebut nama dari nama-nama Allah yang Maha Indah atau dengan menyebutkan sifat dari sifat-sifat Allah SWT yang Maha Sempurna adalah sangat di anjurkan dan di perintahkan, misalnya dengan mengucapkan doa seperti berikut ini:

اللَّهُمّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِأَنَّكَ أَنْتَ الرَّحْمنُ الرَّحِيْمُ ، اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ أن تُعَافِيْنِي.

Artinya: Ya Allah sungguh aku memohon pada Mu (bertawassul) dengan sebuah pengakuan bahwa engkau adalah Rohmaan (yang Maha Pengasih), Rahiim (Maha Penyayang), Lathiif (yang Maha Lemah Lembut) dan Khobiir (Maha Mengetahui) agar engkau menjadikan ku sehat wal afiat ".

Atau berdoa dengan mengucapkan:

اللّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِرَحْمَتِكَ الَّتِيْ وَسِعَتْ كُلَّ شَيْئٍ أَنْ تَرْحَمَنِيْ وَتَغْفِرَ لِيْ.

 Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku memohon pada Mu, (bertawassul) dengan sifat rahmat kasih sayang-Mu yang meliputi segala sesuatu agar engkau berkenan mengasihiku dan mengampuni ku.

DALIL DI SYARIATKANNYA TAWASSUL DENGAN MENYEBUT NAMA-NAMA ALLAH DAN SIFAT-SIFATNYA:

Banyak sekali dalil-dalil yang menunjukkan pensyariatan dan perintah berdoa dengan bertawassul dengan nama-namaNya dan sifat-sifatNya, bahkan hampir seluruh doa Rosulullah (SAW) ajarkan kepada para sahabatnya tidak lepas dari tawassul macam ini.

Dan Allah SWT memerintahkan kita semua untuk selalu bertawassul dengan menyebut nama-namaNya yang Maha Indah saat berdoa, seperti dalam firmanNya:

{ وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا وَذَرُوا الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي أَسْمَائِهِ سَيُجْزَوْنَ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ }

Artinya: “Dan hanya milik Allah nama-nama yang Maha Indah (AsmaulHusna), maka kalian berdoalah kepada Allah dengan menyebut nama-nama tersebut dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan ". (QS. Al-A'raaf: 180).

Allah Subhannahu wa Ta’ala berfirman:

{قُلِ ادْعُوا اللَّهَ أَوِ ادْعُوا الرَّحْمَنَ أَيًّا مَا تَدْعُوا فَلَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى}

“Katakanlah: ‘Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-asma’ul husna (nama-nama yang terbaik) …”. (QS. Al-Isra’[17]: 110)

Dalam firman lainnya:

{لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ}

“… Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepadaNya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (QS. Al-Hasyr[59]: 24)

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kita untuk berdo’a dan ber-tawassul kepadaNya dengan nama-namaNya. Maka hal ini menunjukkan keagungannya serta kecintaan Allah kepada do’a yang disertai nama-namaNya.

Dan bukan hal yang di ragukan lagi bahwa sifat-sifat Allah yang Maha Tinggi dan Maha Sempurna terkandung dalam nama-nama Nya, dengan demikian jika menyebut nama Nya maka termasuk di dalamnya menyebut sifatNya juga ; sebab nama-nama Allah yang Maha Indah itu adalah sebagai ungkapan akan sifat-sifat Nya yang Maha Mulia dan Maha Sempurna.

Rosulullah (SAW) telah mengajarkan sebuah doa kepada para sahabatnya yang didalamnya dengan gamblang mencontohkan salah satu bentuk bertawassul dengan nama-nama Allah SWT, beliau bersabda:

« مَا أَصَابَ أَحَدًا قَطُّ هَمٌّ وَلاَ حَزَنٌ ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنِّى عَبْدُكَ ، وَابْنُ عَبْدِكَ ، وَابْنُ أَمَتِكَ ، نَاصِيَتِى بِيَدِكَ ، مَاضٍ فِىَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِىَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِى كِتَابِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِى عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيعَ قَلْبِى، وَنُورَ صَدْرِى، وَجِلاَءَ حُزْنِى، وَذَهَابَ هَمِّى، إِلاَّ أَذْهَبَ اللَّهُ هَمَّهُ وَحُزْنَهُ، وَأَبْدَلَهُ مَكَانَهُ فَرَجًا ».

Artinya: “Tidak lah sekali-kali seseorang di rundung kesedihan dan kegundahan lantas dia berdoa dengan mengucapkan:

" Ya Allah, aku adalah hamba Mu, anak hamba Mu yang laki-laki, dan anak hamba Mu yang perempuan, ubun-ubunku di tangan Mu, telah lewat ketentuan Mu untukku, maha adil takdir Mu untukku.

Aku memohon pada Mu (bertawassul) dengan seluruh nama-nama milik Mu, baik nama Mu yang Engkau sendiri menamakannya, atau nama yang Engkau ajarkan kepada seseorang dari makhluk Mu, atau yang Engkau turunkannya dalam kitab Mu atau nama-nama yang masih tersimpan dalam pengetahuan ghaib di sisi Mu.

Semoga engkau berkenan menjadikan Al-Quran sebagai musim bunga hatiku, cahaya dadaku, penghilang rasa sedihku dan penghapus rasa dukaku ".

Kecuali Allah menghilangkan kegundahannya dan kesedihannya, serta menggantikannya dengan jalan keluar ".

(HR. Ahmad, Hakim dan lainnya, di Shahihkan oleh Syeikh Al-Albaany).

Suatu ketika Rosulullah (SAW) masuk masjid tiba-tiba beliau mendengar seseorang memanjatkan doa dalam tasyahud solatnya:

« اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ يَا أَللَّهُ بِأَنَّكَ الْوَاحِدُ الْأَحَدُ الصَّمَدُ الَّذِي لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ أَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ ». فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: “قَدْ غُفِرَ لَهُ » ثَلَاثًا.

Ya Allah, aku memohon pada Mu, wahai Al-Wahid (yang tunggal) Al-Ahad (yang Maha Esa), Ash-Shomad (yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu), yang tidak beranak, yang tidak di lahirkan, dan yang tidak ada sesuatupun yang setara denganNya, semoga engkau berkenan mengampuni ku, sesungguhnya Engkau adalah Al-Ghofur (Maha pengampun) dan al-Rohim (Maha Pengasih).

Maka Rosulullah (SAW) bersabda: “Dia telah di ampuni " tiga kali.

(HR. Ahmad, Abu daud, Nasaa'I dan lainnya. Sanad hadits diShahihkan oleh Syeikh Al-Albani).

Bertawassul dengan sifat-sifat Allah Ta’ala. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda dalam do’anya:

« يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ ، اكْفِنِي كُلَّ شَيْءٍ وَلا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ ».

Artinya:“Wahai Dzat Yag Maha Hidup lagi Maha Berdiri sendiri, hanya dengan RahmatMu lah aku ber istighatsah, luruskanlah seluruh urusanku, dan janganlah Engkau serahkan aku kepada diriku sendiri walaupun sekejap mata.” (HR. An-Nasa’i, Al-Bazzar dan Al-Hakim).

========

MACAM KEDUA :
BERTAWASSUL KEPADA ALLAH SWT DENGAN AMAL SALEH.

========

Para ulama sepakat (berijma') memperbolehkan tawassul terhadap Allah SWT dengan wasilah amal sholeh. Contohnya adalah: orang yang sholat, puasa, membaca al-Qur’an, kemudian mereka bertawassul terhadap amalannya tadi.

Bahkan para ahli tafsir telah menafsirkan kata "al-washiilah" dalam QS Al Maidah 35 dan Al Israa': 57 dengan amal shalih. Yaitu firman-Nya:

( وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ )

Artinya: “Dan carilah wasiilah (jalan yang mendekatkan diri) kepada-Nya ". (QS. Al-Maidah: 35).

Bahkan di perbolehkan pula beribadah kepada Allah SWT atau amal saleh untuk sebuah PAMRIH atau HARAPAN yang di tujukan kepada Allah semata, terutama jika pamrih tersebut sifatnya ukhrowi, contohnya tawassul dengan amal saleh untuk sebuah permohonan agar di ampuni dosa-dosanya, diselamatkan dari adzab kubur dan siksa neraka, serta agar mendapatkan nikmat kubur dan di masukkan dalam surga Nya.

Dan ada pula pamrih atau harapan yang sifatnya duniawi, misalkan mengharapkan kepada Nya agar di selamatkan dari mara bahaya, di sembuhkan dari segala penyakit, di mudahkan segala urusannya dan lain sebagainya. Pamrih yang seperti ini juga termasuk yang di syariatkan.

Banyak sekali dalil-dalil yang mensyariatkan ibadah kepada Allah dikarenakan adanya pamrih atau harapan yang di tujukan kepada Nya semata.

Misalnya firman-firman Allah SWT seperti berikut ini:

( مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُود ).

Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka, kamu lihat mereka rukuk dan sujud, mereka mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud ". (QS. Al-Fath: 29).

Firman Allah SWT:

( الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ (191) ).

Artinya: “Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka ". (QS. Ali Imran: 191).

Firman Allah SWT:

(رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلإيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الأبْرَارِ. رَبَّنَا وَآتِنَا مَا وَعَدْتَنَا عَلَى رُسُلِكَ وَلا تُخْزِنَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّكَ لا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ )

Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami mendengar (seruan) yang menyeru kepada iman (yaitu): "Berimanlah kamu kepada Tuhan-mu", maka kami pun beriman. Ya Tuhan kami, maka ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang berbakti.

Ya Tuhan kami, berilah kami apa yang telah Engkau janjikan kepada kami dengan perantaraan rasul-rasul Engkau. Dan janganlah Engkau hinakan kami di hari kiamat. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji." (QS. Ali Imran: 193-194).

Firman Allah SWT tentang doa orang-orang yang selesai melaksanakan haji:

( فَإِذَا قَضَيْتُمْ مَنَاسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آبَاءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْرًا فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ. وَمِنْهُمْ مَنْ يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ).

Artinya: “Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa:

"Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat. Dan di antara mereka ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka". (QS. Al-Baqoroh: 200 – 201).

Firman Allah SWT tentang doa nabi Ibrahim alaihis salam meminta rizki untuk keturunannya yang ditempatkan di sisi Baitul Haram karena penempatan mereka disana adalah untuk mendirikan sholat:

( رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ )

Artinya: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur ". (QS. Ibrahim: 37).

Dalam sebuah hadits Rosullulah (SAW) menganjurkan umatnya agar bangun malam pada saat sepertiga akhir, tentunya untuk shalat malam, kemudian dianjurkan berdoa, karena pada waktu itu adalah saat-saat yang mustajab:

Dari Abu Hurairah (ra), Rosulullah (SAW) bersabda:

إِذَا بَقِيَ ثُلُثُ اللَّيْلِ نَزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى سَمَاءِ الدُّنْيَا فَيَقُولُ مَنْ ذَا الَّذِي يَدْعُونِي فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ ذَا الَّذِي يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ مَنْ ذَا الَّذِي يَسْتَرْزِقُنِي فَأَرْزُقَهُ مَنْ ذَا الَّذِي يَسْتَكْشِفُ الضُّرَّ فَأَكْشِفَهُ عَنْهُ حَتَّى يَنْفَجِرَ الْفَجْرُ.

وفي رواية للإمام أحمد زاد: “فَلِذَلِكَ كَانُوا يُفَضِّلُونَ صَلَاةَ آخِرِ اللَّيْلِ عَلَى صَلَاةِ أَوَّلِهِ ".

“ Jika tersisa sepertiga malam terakhir Allah tabaraka wa ta’ala akan turun setiap malam ke langit dunia. Maka Ia berkata:

“Barangsiapa siapa yang berdo’a kepada-Ku akan Aku kabulkan doanya; dan barangsiapa yang meminta ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni dia; barangsiapa yang meminta rizki kepada-Ku, akan Aku beri dia rizki, barang siapa yang meminta dibebaskan dari bahaya, aku akan membebaskannya, hingga terbit fajar ”.

(HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad, lafadz ini adalah lafadz Imam Ahmad no 7500)

Dalam riwayat Imam Ahmad yang lain ada tambahan kata-kata: “Oleh sebab itu mereka para sahabat selalu mengutamakan sholat akhir malam dari pada di awal malam " (Lihat Musnad Imam Ahmad no 7582).

ADA DUA JENIS AMAL DALAM BERTAWASSUL DENGAN AMAL SHALEH :

Pertama : Amal saleh yang sudah lama pernah di amalkan.

Diantaranya adalah hadits yang sangat populer diriwayatkan dalam kitab-kitab Shahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam goa:

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan, masing-masing dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam bersabda:

« بَيْنَمَا ثَلاَثَةُ رَهْطٍ يَتَمَشَّوْنَ أَخَذَهُمُ الْمَطَرُ فَأَوَوْا إِلَى غَارٍ فِى جَبَلٍ فَبَيْنَا هُمْ فِيهِ حَطَّتْ صَخْرَةٌ مِنَ الْجَبَلِ فَأَطْبَقَتْ عَلَيْهِمْ ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ: انْظُرُوا أَفْضَلَ أَعْمَالٍ عَمِلْتُمُوهَا لِلَّهِ تَعَالَى فَسَلُوهُ بِهَا لَعَلَّهُ يُفَرِّجُ بِهَا عَنْكُمْ ! فَقَالَ أَحَدُهُمُ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ كَانَ لِى وَالِدَانِ كَبِيرَانِ وَكَانَتْ لِى امْرَأَةٌ وَوَلَدٌ صِغَارٌ ، وَكُنْتُ أَرْعَى عَلَيْهِمْ ، فَإِذَا رُحْتُ عَلَيْهِمْ ، بَدَأْتُ بِأَبَوَىَّ فَسَقَيْتُهُمَا ، فَنَأَى بِى يَوْمًا الشَّجَرُ فَلَمْ آتِ حَتَّى نَامَ أَبَوَاىَ ، فَطَيَّبْتُ الإِنَاءَ ثُمَّ حَلَبْتُ فِيهِ ثُمَّ قُمْتُ بِحِلاَبِى عِنْدَ رَأْسِ أَبَوَىَّ وَالصِّبْيَةُ يَتَضَاغَوْنَ عِنْدَ رِجْلَىَّ أَكْرَهُ أَنْ أَبْدَأَ بِهِمْ قَبْلَ أَبَوَىَّ وَأَكْرَهُ أَنْ أَوْقِظَهُمَا مِنْ نَوْمِهِمَا، فَلَمْ أَزَلْ كَذَلِكَ قَائِمًا حَتَّى أَضَاءَ الْفَجْرُ ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّى فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا فُرْجَةً نَرَى مِنْهَا السَّمَاءَ فَفَرَجَ لَهُمْ فُرْجَةً رَأَوْا مِنْهَا السَّمَاءَ. وَقَالَ الآخَرُ: اللَّهُمَّ إِنَّهَا كَانَتْ لِى ابْنَةُ عَمٍّ فَأَحْبَبْتُهَا حَتَّى كَانَتْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَىَّ فَسَأَلْتُهَا نَفْسَهَا ، فَقَالَتْ: لاَ حَتَّى تَأْتِينِى بِمِائَةِ دِينَارٍ، فَسَعَيْتُ حَتَّى جَمَعْتُ مِائَةَ دِينَارٍ فَأَتَيْتُهَا بِهَا فَلَمَّا كُنْتُ بَيْنَ رِجْلَيْهَا قَالَتِ: اتَّقِ اللَّهَ ، لاَ تَفْتَحِ الْخَاتَمَ إِلاَّ بِحَقِّهِ ، فَقُمْتُ عَنْهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّى فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ لَنَا مِنْهَا فُرْجَةً فَفَرَجَ لَهُمْ مِنْهَا فُرْجَةً. وَقَالَ الثَّالِثُ: اللَّهُمَّ إِنِّى كُنْتُ اسْتَأْجَرْتُ أَجِيرًا بِفَرَقِ ذُرَةٍ ، فَلَمَّا قَضَى عَمَلَهُ عَرَضْتُهُ عَلَيْهِ فَأَبَى أَنْ يَأْخُذَهُ فَرَغِبَ عَنْهُ فَلَمْ أَزَلْ أَعْتَمِلُ بِهِ حَتَّى جَمَعْتُ مِنْهُ بَقَرًا وَرِعَاءَهَا فَجَاءَنِى ، فَقَالَ: اتَّقِ اللَّهَ وَأَعْطِنِى حَقِّى وَلاَ تَظْلِمْنِى فَقُلْتُ لَهُ: اذْهَبْ إِلَى تِلْكَ الْبَقَرِ وَرِعَائِهَا فَخُذْهَا فَقَالَ: اتَّقِ اللَّهَ وَلاَ تَهْزَأْ بِى فَقُلْتُ: إِنِّى لاَ أَهْزَأُ بِكَ اذْهَبْ إِلَى تِلْكَ الْبَقَرِ وَرِعَائِهَا فَخُذْهَا فَذَهَبَ فَاسْتَاقَهَا ، اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنِّى فَعَلْتُ ذَلِكَ ابْتِغَاءَ وَجْهِكَ فَافْرُجْ عَنَّا مَا بَقِىَ مِنْهَا ، فَفَرَجَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَنْهُمْ فَخَرَجُوا يَتَمَاشَوْنَ ».

" Ketika tiga orang sedang berjalan-jalan, tiba-tiba hujan turun. Maka mereka berteduh di sebuah goa di gunung. Sebuah batu besar tiba-tiba menggelinding dari gunung menuju pintu goa dan menutupnya.

Sebagian dari mereka berkata kepada sebagian yang lain, 'Lihatlah amal shalih yang telah kamu kerjakan karena Allah, lalu berdoalah kepada Allah (bertawassul) dengannya. Semoga Allah memberi kemudahan bagi kalian.'

Salah seorang dari mereka berkata:

'Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai dua orang tua yang telah berusia lanjut, istri dan beberapa anak yang masih kecil. Aku yang menggembala untuk mereka. Jika aku pulang di sore hari, aku memerah susu, lalu memberi minum kedua orang tuaku terlebih dahulu sebelum anak-anakku. Suatu hari aku menggembala cukup jauh dari desa. Aku tidak pulang kecuali hari telah sore, dan aku mendapati mereka berdua telah tidur. Aku memerah susu seperti biasa. Aku membawa bejana susu kepada keduanya dan berdiri menunggu di atas kepala mereka berdua. Aku tidak ingin membangunkan kedunya dari tidur dan aku tidak ingin memberi minum anak-anakku sebelum keduanya minum. Sementara anak-anak menangis kelaparan di bawah kakiku. Aku tetap melakukan apa yang aku lakukan dan anak-anak juga demikian sampai terbit fajar. Jika engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu hanya demi mencari wajah-Mu, maka bukalah pintu goa ini sedikit sehingga kami bisa melihat langit.'

Lalu Allah membuka pintu goa sedikit dan mereka melihat langit.

Yang lain berkata:

"Ya Allah, sesungguhnya aku mempunyai sepupu perempuan, dan aku sangat mencintainya seperti laki-laki mencintai perempuan. Aku meminta dirinya, tetapi dia menolak sampai aku bisa memberinya seratus dinar. Aku bekerja keras hingga aku berhasil mengumpulkan seratus dinar. Aku menyerahkan kepadanya. Manakala aku telah duduk di antara kedua kakinya, dia berkata, '"Wahai hamba Allah, bertaqwalah kepada Allah, jangan membuka cincin kecuali dengan haknya.' Maka aku meninggalkannya. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan itu karena mencari Wajah-Mu, maka bukalah pintu goa sedikit.' Maka pintu goa terbuka agak lebar.

Yang ketiga berkata:

'Ya Allah, sesungguhnya aku menyewa seorang pekerja dengan imbalan satu faraq besar (tiga soo’ jagung / sekitar 9 kg jagung-pen). Selesai menunaikan pekerjaaannya, dia berkata, 'Berikan hakku.' Lalu aku menyodorkan faraq-nya, tetapi dia menolaknya (dan pergi tanpa mengambil upahnya). Seterusnya aku mengelola atau mengembangkan upah yang di tinggalkannya sehingga dari faraq besar tersebut aku bisa mengumpulkan beberapa sapi sekaligus penggembalanya darinya. Dia datang lagi dan berkata, 'Bertakwalah kepada Allah, jangan menzhalimi hakku.' Aku berkata, 'Pergilah kepada sapi-sapi itu berikut penggembalanya. Ambillah.' Dia menjawab, 'Jangan mengolok-olokku, bertakwalah kepada Allah.' Aku berkata, 'Aku tidak mengolok-olok dirimu. Ambillah sapi-sapi itu dan pengembalanya.' Lalu dia mengambil dan pergi. Jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan hal itu demi mendapakan wajah-Mu, maka bukakanlah sisanya.' Maka Allah membuka apa yang tersisa, dan mereka keluar kemudian pergi ".

(Shahih Bukhori no. 2482, 3482 dan Shahih Muslim, Al-Birr no. 7,8).

Dalam hadits Shahih ini jelas-jelas menunjukan di syariatkannya bertawassul dengan amal masing-masing yang telah lama di amalkan untuk berdoa kepada Allah SWT dan agar lebih cepat di kabulkan doa nya.

Kisah tiga orang mukmin tadi relevan dengan makna hadits Rosulullah (SAW) yang menyatakan:

« تَعرَّفْ إِلَى اللهِ في الرَّخَاءِ يَعْرِفكَ في الشِّدَّة »

" Kenalilah Allah saat kamu senang, niscaya Dia mengenalimu saat kamu susah ". (HR. Imam Ahmad dan Turmudzi, hadits hasan sohih)

Kedua : Amal saleh yang diamalkan saat menjelang berdoa atau diamalkannya sambil berdoa.

Adapun bertawassul dengan amal saleh yang sedang di lakukan misalnya seseorang yang berdoa dalam kondisi sedang sholat atau tawaf mengelilingi Ka'bah atau wuquf di Arafah atau saat berpuasa.

Dalam hadits yang telah lalu di sebutkan bahwa Rosulullah (SAW) masuk masjid tiba-tiba beliau mendengar seseorang memanjatkan sebuah doa dalam tasyahud solatnya, kemudian beliau berkata: "Sungguh dia telah di ampuni".

Dan adapun berdoa yang di awali dengan amal saleh, maka contoh dan dalilnya seperti berikut ini:

Dalam surat Al Fatihah ayat 5 dan 6 disebutkan amal shalih terlebih dahulu sebelum disebutkan doa:

  • ( إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ. اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ ).

" Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. Tunjukilah kami jalan yang lurus ".

Ayat ini memberi isyarat bahwa sebelum berdoa sebaiknya seseorang beramal shalih telebih dahulu.

Serupa dengan ayat diatas adalah ayat-ayat berikut ini:

( الَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ )

( فَلَمَّا أَحَسَّ عِيسَى مِنْهُمُ الْكُفْرَ قَالَ مَنْ أَنْصَارِي إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ نَحْنُ أَنْصَارُ اللَّهِ آمَنَّا بِاللَّهِ وَاشْهَدْ بِأَنَّا مُسْلِمُونَ رَبَّنَا آمَنَّا بِمَا أَنْزَلْتَ وَاتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فَاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدِينَ ).

Artinya: “Maka tatkala Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Israel) berkatalah dia: "Siapakah yang akan menjadi penolong-penolongku untuk (menegakkan agama) Allah?" Para hawariyyin (sahabat-sahabat setia) menjawab: "Kami lah penolong-penolong (agama) Allah. Kami beriman kepada Allah; dan saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang yang berserah diri. Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada apa yang telah Engkau turunkan dan telah kami ikuti rasul, karena itu masukkanlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang keesaan Allah)". (QS. Ali Imran: 52).

Rosulullah (SAW) menganjurkan kita setelah membaca Al-Quran Kalam Allah agar bertawassul dengannya untuk memohon kepada Allah apa yang kita inginkan, namun tidak boleh dengan bacaan al-Quran tersebut untuk meminta-minta kapada selaian Allah, termasuk kepada manusia, sebagaimana dalam hadits riwayat Imran bin Hushain (ra) ia berkata: aku mendengar Rasulullah (SAW) bersabda:

« مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلِ اللهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَأْتِيْ أَقْوَامٌ يَقْرَءُوْنَ القرآنَ وَيَسْأَلُوْنَ بِهِ النَّاسَ ».

Artinya: “Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta (upah) kepada manusia dengan Al Quran itu".

(HR. Ahmad, Turmudzi, Ibnu Abi Syaibah, Thabrani, Baihaqi dalam Syuabul Iman. Lihat: Al Jami' Al Kabir). Hadits ini di Shahihkan oleh Al-Albaany dalam kitab-kitabnya: Islahus Saajid hal. 106, silsilah Shahihan 1/461, Shahih Targhib no. 1433, dan lainnya).

Yang dikabarkan Rosulullah (SAW) dalam haditst diatas sudah terjadi pada masa sahabat-sahabat Nabi (SAW) masih hidup, seperti dalam riwayat Turmudzi:

Dari Imran bin Hushain (ra):

أَنَّهُ مَرَّ عَلَى قَارِئٍ ‏ ‏يَقْرَأُ الْقُرْآنَ ثُمَّ يَسَأَلَ النَّاسَ بِهِ فَاسْتَرْجَعَ عِمرانُ ، ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏ ‏يَقُولُ ‏ ‏مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ فَلْيَسْأَلْ اللَّهَ بِهِ فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَسْأَلُونَ بِهِ النَّاسَ

Suatu ketika ia melewati seorang qori sedang membaca Al-Qur'an, kemudian setelah membacanya meminta (upah) kepada orang-orang, maka Imran menyuruhnya untuk mengembalikan, dan berkata: Aku mendengar Rosulullah (SAW) bersabda:

" Barangsiapa membaca Al Quran maka hendaknya ia memohon kepada Allah dengan Al Quran itu, karena suatu saat akan datang sekelompok kaum yang membaca Al Quran lalu mereka meminta (upah) kepada manusia dengan (bacaan) Al Quran itu ".

(HR. Turmudzi no. 2917 dan beliau berkata: “Hadits Hasan ". Dan Syeikh Al-Albaany dalam Shahih Targhib 2/80 no. 1433 mengatakan: “Shahih karena ada yang lainnya ". Dan dalam Shahih wa Dloif al-Jami' no. 11413 serta Shahih wa Dloif Sunan Turmudzi 6/417 no. 2917 beliau mengatakan: “Hasan ".

-----***------

TAWASSUL DENGAN BACA SHOLAWAT KETIKA BERDOA

--------*****---------

Baca sholawat untuk Nabi (SAW) adalah salah satu wasiilah terkabulnya doa, akan tetapi bukan syarat mutlak terkabulnya doa dengannya.

Al-Imam an-Nawawi berkata dlm “الأذكار” hal. 176:

 (أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى اسْتِحْبَابِ ابْتِدَاءِ الدُّعَاءِ بِالْحَمْدِ لِلَّهِ تَعَالَى وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ ، ثُمَّ الصَّلَاةِ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَذَلِكَ تُخْتَمُ الدُّعَاءُ بِهِمَا ، وَالْآثَارُ فِي هَذَا الْبَابِ كَثِيرَةٌ مَرْفُوعَةٌ).

Ijma’ para ulama akan istihbab nya dlm berdoa di awali dengan bacaan Hamdalah, puji-pujian kepada Allah, kemudian baca Sholawat untuk Rosulullah (SAW). Dan begitu juga mengakhiri doa dengan keduanya. Banyak Sekali Hadits Nabawi yang berkaitan dengan Bab ini “.

Syeikh bin Baaz berkata:

فَالْمُؤْمِنُ وَالْمُؤْمِنَةُ يَجْتَهِدَانِ فِي تَعَاطِي الْأَسْبَابِ وَاللَّهُ جَلَّ وَعَلَىٰ هُوَ الْمُوَفِّقُ، وَمِنْ أَسْبَابِهَا الصَّلَاةُ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ وَلَيْسَتْ شَرْطًا، لَيْسَتْ الصَّلَاةُ شَرْطًا، وَلَكِنَّهَا مِنْ أَسْبَابِ الْإِجَابَةِ

" Seorang mukmin dan mukminah hendaklah bersungguh-sungguh dlm menjalankan berbagai macam sabab agar doanya dikabulkan oleh Allah swt. Dan salah satu sebabnya adalah bersholawat utk Nabi (SAW), namun itu BUKAN SYARAT (dlm kemustajaban). Sholawat itu bkn syarat mustajab nya doa. Akan tetapi salah satu sebab ijabah nya doa.

[Dikutip dari: Nurun Ala ad-Darb: هل الصلاة على النبي ﷺ شرط في استجابة الدعاء؟]

BACA SHOLAWAT ADALAH BAGIAN DARI ADAB DALAM BERDOA

Di antara adab yang sangat membantu terkabulnya doa adalah bershalawat kepada Rasulullah (SAW) sebelum berdoa.

Imam al-Baihaqi meriwayatkan dlm “شعب الإيمان” dari Ali (ra), berkata:

"كُلُّ دُعَاءٍ مَحْجُوْبٌ حَتَّى يُصَلَّى عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "

“ Semua Doa akan terhalang (untuk dikabulkan) sehingga bersholawat untuk Nabi (SAW)”.

Dan hadits ini di riwayatkan pula oleh Thabraniy dalam al-Mu’jam al-Ausath.

Ibnu Hajar al-Haitsamy dlm kitab “مجمع الزوائد” 10/160 No. 17278: “Para perawinya tsiqoot“

Dan Hadits ini di Shahihkan Syeikh al-Baani dlm “صحيح الجامع” no. 4523.

Lajnah ad-Daaimah (اللَّجْنَةُ الدَّائِمَةُ لِلْبَحْوَثِ الْعِلْمِيَّةِ وَالإِفْتِاءِ) pernah di tanya tentang hadits di atas, pertanyaan ke 6 dari Fatwa No. 4972.

Jawabannya:

[هَذَا الحَدِيثُ لَيْسَ بِصَحِيحٍ، وَقَدْ نَبَّهَ صَاحِبُ الجَامِعِ الصَّغِيرِ عَلَى ضَعْفِهِ. وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ وَصَلَّى اللَّهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

اللَّجْنَةُ الدَّائِمَةُ لِلبُحُوثِ العِلْمِيَّةِ وَالإِفْتَاءِ. الرَّئِيسُ: عَبْدَالعَزِيزِ بْنَ عَبْدَاللَّهِ بْنِ بازِ. نَائِبُ الرَّئِيسِ: عَبْدَالرَّزَّاقِ عَفِيفِي. عَضُوٌّ: عَبْدَاللَّهِ بْنَ غُديَانَ. عَضُوٌّ: عَبْدَاللَّهِ بْنَ قَعُودٍ]

Hadits ini tidak Shahih. Penulis kitab al-Jaami' ash-Shaghiir telah memperingatkan akan kelemahannya.

Dan semoga Allah memberikan at-taufiiq, dan semoga shalawat dan salam Allah limpahkan atas Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para sahabatnya.

Lajnah Tetap Riset Ilmiah dan fatwa. Ketua: Abdulaziz bin Abdullah bin Baaz. Wakil Ketua: Abdul Razzaq Afiifi. Anggota: Abdullah bin Ghadian. Anggota: Abdullah bin Qa'oud]

Dan Umar bin Khatthab (ra) memperjelas maksud hadits di atas,

"إِنَّ الدُّعَاءَ مَوْقُوفٌ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ، لَا يَصْعَدُ مِنْهُ شَيْءٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ عَلَى نَبِيِّكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ".

“Sesungguhnya doa itu akan tertahan di antara langit dan bumi, tidak akan diangkat; hingga engkau bershalawat kepada Nabimu (SAW).

(HR. Tirmidzi, no. 486. Ibnu Katsir berkata: “Sanadnya Jayyid / baik ”. Syaikh Al-Albani menyatakan hadits ini hasan dlm Shahih At-Turmudzy No. 403)

Dan Syeikh al-Baani dlm “السلسلة الصحيحة” No. 2035 setelah menyebutkan hadits ini dan syahid-syahid nya:

"وَخْلاَصَةُ القَوْلِ، أَنَّ الحَدِيثَ بِمَجْمُوعِ هَذِهِ الطُّرُقِ وَالشَّوَاهِدِ لا يَنْزِلُ عَنْ مَرَتِبَةِ الحَسَنِ إِن شَاءَ اللهُ تَعَالَى عَلَى أَقَلِّ الأَحْوَالِ" اهـ.

Ringkasnya: Hadits ini dengan semua jalaur-jalur nya dan saksi-saksinya maka tidak turun dari martabat Hasan, Insya Allah, itu kondisi yang paling minimal “.

Kemuadian apa yang di riwayatkan Turmudzy dari Umar ini di hukumi Marfu alias dari sabda Nabi (SAW). Al-Haafidz al-Iraaqy berkata:

"وَهُوَ وَإِن كَانَ مَوْقُوفًا عَلَيْهِ فَمِثْلُهُ لَا يُقَالُ مِن قَبْلِ الرَّأْيِ، وَإِنَّمَا هُوَ أَمْرٌ تَوْقِيفِيٌّ فَحُكْمُهُ حُكْمُ الْمَرْفُوعِ ..."

Dan itu meskipun benar mauquf kepdanya, maka yang semisal itu tidak bisa di katakan bahwa itu pendapat dia, akan tetapi itu adalah termasuk perkara tauqifi, maka hukumnya marfu “.

Begitu juga yang di katakan oleh al-Qoodli Abu Bakar Bin al-‘Araby setelah menyebutkan atsar Umar tadi:

"وَمِثْلُ هَذَا إِذَا قَالَهُ عُمَرُ لَا يَكُونُ إِلَّا تَوْقِيفًا لِأَنَّهُ لَا يُدْرَكُ بِنَظَرٍ" اهـ.

Dan masalah ini, jika Umar yang mengatakannya maka tiada lain bahwa itu adalah perkara tawqiifi, karena tidak bisa di cerna dengan nadzor “.

Berikut ini pernyataan Ibnu Qoyyim al-Jauzy tentang " Bershalawat kepada Nabi Saat Berdoa ".

Ibnul Qayyim -rahimahullah - menyatakan:

" Bahwa ada tiga tingkatan dalam bershalawat saat berdoa:

a- Bershalawat sebelum memanjatkan doa setelah memuji Allah.

b- Bershalawat di awal, pertengahan dan akhir doa.

c- Bershalawat di awal dan di akhir, lalu menjadikan hajat yang diminta di pertengahan doa.

Mengenai perintah bershalawat saat akan memanjatkan doa disebutkan dalam hadits Fudholah bin ‘Ubaid, ia berkata:

أنَّ النبيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ لَمَّا سمعَ رجلًا يَدْعُو في صلاتِهِ وَلمْ يُصَلِّ على النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ فقال النبِيُّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ عَجِلَ هذا ثُمَّ دعاهُ فقال لهُ أوْ لغيرِهِ إذا صلَّى أحدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ اللهِ والثَّناءِ عليهِ ثُمَّ لَيُصَلِّ على النبيِّ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ ثُمَّ لَيَدْعُ بَعْدُ بِما شاءَ

“Bahwa Nabi (SAW) ketika mendengar seseorang memanjatkan doa dalam shalatnya, lalu orang itu tidak membacakan shalawat untuk Nabi (SAW), maka beliau berkata:

“Orang ini terlalu tergesa-gesa dalam doanya.”

Kemudian beliau memanggilnya lalu mengatakan padanya atau mengatakan kepada yang lainnya:

“Jika salah seorang di antara kalian berdoa, maka mulailah dengan memuji Allah, menyanjung-Nya, lalu bershalawat kepada Nabi (SAW), lalu mintalah doa yang diinginkan.”

(HR. Tirmidzi, no. 3477 dan Abu Daud, no. 1481. Abu Isa At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Al-Hafizh Abu Thahir menilai sanad hadits tersebut hasan.) Dan Di shahihkan oleh Syeikh al-Albaany dlm Shahih Abu daud No. 1314)

Ibnul Qayyim menyatakan pula:

" Bahwa membaca shalawat pada saat berdoa, kedudukannya seperti membaca Al-Fatihah dalam shalat. Jadi pembuka doa adalah shalawat kepada Nabi (SAW). Untuk shalat, pembukanya adalah dengan bersuci.

Ahmad bin Abu Al Hawra’ pernah mendengar Abu Sulaiman Ad-Daraniy berkata,

“Siapa yang ingin memanjatkan hajatnya kepada Allah, maka lanjutkan dengan bershalawat kepada Nabi (SAW), lalu mintalah hajatnya. Kemudian tutuplah doa tersebut dengan shalawat kepada Nabi (SAW) Karena shalawat kepada beliau akan membuat doa tersebut maqbulah (mudah diterima).” [Baca: Jalaa’ Al-Afham, hlm. 335-336].

Dari Zirr, dari ‘Abdullah bin Mas'ud (ra), dia berkata:

كُنْتُ أُصَلِّي وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ مَعَهُ فَلَمَّا جَلَسْتُ بَدَأْتُ بِالثَّنَاءِ عَلَى اللَّهِ ثُمَّ الصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ دَعَوْتُ لِنَفْسِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَلْ تُعْطَهْ سَلْ تُعْطَهْ

“Aku pernah shalat dan kala itu Abu Bakar dan ‘Umar bersama dengan Nabi (SAW). Ketika aku duduk, aku memulai doaku dengan memuji Allah, lalu bershalawat kepada Nabi (SAW), kemudian aku berdoa untuk diriku sendiri. Nabi (SAW) pun bersabda,

“Mintalah, engkau akan diberi. Mintalah, engkau akan diberi.” (HR. Tirmidzi, no. 593. Di Hasankan oleh al-Albani dalam أصل صفة الصلاة 3/992 dan as-Silsilah ash-Shahihah 7/620 dan di hasankan pula oleh al-Waadi'ii dalam ash-Shahiih al-Musnad no. 869)

DOA-DOA NABI (SAW) YANG TANPA SHALAWAT:

Ada beberapa Doa yang senantiasa Rosulullah (SAW) panjatkan, namun beliau tdk membaca sholawat, baik di awal sebelum berdoa maupan sesudahnya.

Diantaranya adalah sbb:

1. Dari Anas bin Malik RA, ia berkata bahwa Nabi (SAW) bersabda pada Fatimah (puterinya):

“Apa yang menghalangimu untuk mendengar wasiatku atau yang kuingatkan padamu setiap pagi dan petang yaitu ucapkanlah:


يَا حَيُّ يَا قَيُّوْمُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ، وَأَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلَّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ طَرْفَةَ عَيْنٍ أَبَدًا

(artinya: Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu, dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan diserahkan kepadaku sekali pun sekejap mata tanpa mendapat pertolongan dari-Mu selamanya).”

(HR. Ibnu As Sunni dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah no. 46, An Nasai dalam Al Kubro 381: 570, Al Bazzar dalam musnadnya 4/ 25/ 3107, Al Hakim 1: 545. Sanad hadits ini hasan sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 227).

Ada juga doa yang lafazhnya hampir mirip dengan lafazh di atas dari hadits Abu Bakroh RA bahwasanya Nabi (SAW) bersabda:

دَعَوَاتُ الْمَكْرُوبِ اللَّهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُو فَلاَ تَكِلْنِى إِلَى نَفْسِى طَرْفَةَ عَيْنٍ وَأَصْلِحْ لِى شَأْنِى كُلَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ

“Doa orang yang dirundung duka: Ya Allah, dengan rahmat-Mu, aku berharap, janganlah Engkau sandarkan urusanku pada diriku walau sekejap mata, perbaikilah segala urusanku seluruhnya, tidak ada ilah yang berhak disembah selain Engkau).”

(HR. Abu Daud no. 5090, Ahmad 5: 42. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan karena mengingat adanya penguat).

Doa di atas adalah doa yang luar biasa yang di dalamnya berisi tahqiqul ‘ubudiyah yaitu perealisasian penghambaan pada Allah. Di dalamnya juga terdapat bentuk Tawassul pada Allah lewat nama dan sifat-Nya.

2. Dari [Jubair bin Sulaiman bin Jubair bin Muth'im] ia berkata; Aku mendengar [Ibnu Umar] berkata,

لَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَدَعُ هَؤُلَاءِ الدَّعَوَاتِ حِينَ يُمْسِي وَحِينَ يُصْبِحُ: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ فِي دِينِي وَدُنْيَايَ وَأَهْلِي وَمَالِي اللَّهُمَّ اسْتُرْ عَوْرَتِي ".

وَقَالَ عُثْمَانُ: “عَوْرَاتِي وَآمِنْ رَوْعَاتِي اللَّهُمَّ احْفَظْنِي مِنْ بَيْنِ يَدَيَّ وَمِنْ خَلْفِي وَعَنْ يَمِينِي وَعَنْ شِمَالِي وَمِنْ فَوْقِي وَأَعُوذُ بِعَظَمَتِكَ أَنْ أُغْتَالَ مِنْ تَحْتِي ". قَالَ أَبُو دَاوُد قَالَ وَكِيعٌ: “يَعْنِي الْخَسْفَ ".

"Belum pernah Rasulullah (SAW) meninggalkan doa-doa tersebut saat tiba waktu sore dan pagi hari:

(Ya Allah, aku memohon kepada-mu keselamatan di dunia dan di akhirat. Ya Allah, aku mohon kepada-Mu pemaafan dan keselamatan dalam agama, dunia, keluarga dan harta. Ya Allah, tutupilah auratku,

- Utsman menyebutkan dengan lafadz - "Auratku, dan amankanlah aku dari rasa takut. Ya Allah, jagalah aku dari depan, belakang, sisi kanan, sisi kiri, dan dari atas. Aku berlindung kepada-Mu dengan kebesaran-Mu agar aku tidak diserang dari arah bawah."

Abu Dawud berkata, "Waki' mengatakan, "Maksudnya adalah penenggelaman."

(HR. Bukhori dlm “الأدب المفرد” No. 1200, Abu Daud No. 4476 & 5074, Nasaai dalam “المجتبى” 8/282, Ibnu Majah No. 3871, Ibnu Hibbaan No. 961, al-Haakim 1/517&518, Ahmad 2/25, Ibnu Abi Syaibah 10/239, Ibnu Sinni “عمل اليوم والليلة” No. 40 dan at-Thabraani dlm “المعجم الكبير” 12/No. 13296.

Al-Haakim berkata: “Sanadnya Shahih “. Dan di Shahihkan pula oleh Ibnu Hibbaan. Para perawinya Tsiqoot.

3. Dari Abdullah Ar-Ruumi, dari Anas bin Malik berkata:

قِيلَ لَهُ: إِنَّ إِخْوَانَكَ أَتَوْكَ مِنَ الْبَصْرَةِ - وَهُوَ يَوْمَئِذٍ بِالزَّاوِيَةِ - لِتَدْعُوَ اللَّهَ لَهُمْ ، قَالَ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا ، وَارْحَمْنَا ، وَآتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً ، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً ، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ، فَاسْتَزَادُوهُ ، فَقَالَ مِثْلَهَا ، فَقَالَ: إِنْ أُوتِيتُمْ هَذَا ، فَقَدْ أُوتِيتُمْ خَيْرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ

"Dikatakan kepadanya: 'Sesungguhnya saudara-saudaramu telah datang kepadamu dari kota Bashrah -dia ketika itu ada di pojok (Zawiyah)- agar engkau memohonkan doa kepada Allah untuk mereka.'

Dia berdoa: 'Ya Allah, ampunilah kami, limpahkanlah rahmat kepada kami, berilah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka/ Kemudian mereka minta tambah lagi, lalu dia (Anas) mengulangi bacaannya, setelah itu ia berkata, 'Jika engkau diberikan semua ini, maka sungguh engkau telah diberikan kebaikan dunia dan akhirat.'"

(HR. Bukhrory dlm “ الأدب المفرد”. Syeikh al-Albaany dlam صحيح الأدب المفرد [494/633 Cet. Dar Shodiq. cet ke 1 thn 1421 H] berkata: “Shahih, sanadnya “]

4. Dari Anas bin Malik (ra) berkata,

أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَجُلٌ ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ ، أَيُّ الدُّعَاءِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: سَلِ اللهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ ، فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، ثُمَّ أَتَاهُ الْغَدَ ، فَقَالَ: يَا نَبِيَّ اللهِ ، أَيُّ الدُّعَاءِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: سَلِ اللهَ الْعَفْوَ وَالْعَافِيَةَ ، فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، فَإِذَا أُعْطِيتَ الْعَافِيَةَ فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ ، فَقَدْ أَفْلَحْتَ.

"Nabi (SAW) pernah didatangi oleh seorang laki-laki lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, doa apakah yang paling utama?.'

Beliau bersabda: 'Mintalah kepada Allah ampunan dan keselamatan di dunia dan hari akhir."

Setelah itu, pada keesokan hari ia datang lagi lalu berkata, "Wahai Nabi Allah!, doa apakah yang paling utama?."

Beliau bersabda, "Mintalah ampun kepada Allah dan keselamatan di dunia dan hari akhir. Apabila kamu diberikan keselamatan di dunia dan di akhirat, maka kamu benar-benar beruntung.'"

[HR. Imam Bukhori dlm “الأدب المفرد” 495/637,Tirmidzi no. 3512, Ibnu Majah no. 3848 dan Ahmad 3/127 (12316)].

Syeikh al-Albaany menshahihkannya, di dalam kitab Ash-Shahihah (1523).

5. Dari Aisyah RA berkata,

دَخَلَ عَليَّ النَّبيُّ صلى الله عليه وسلم وَأنَا أُصَلِّي وَلَهُ حَاجَةٌ فأبْطَأتُ عَلَيْهِ ، قَالَ: يا عائشةُ ، عليكِ بجُمَلِ الدعاءِ و جوامعِه قولي: "اللّٰهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ مِنَ الْخَيْرِ كُلِّهِ، عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، مَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ الشَّرِّ كُلِّهِ عَاجِلِهِ وَآجِلِهِ، وَمَا عَلِمْتُ مِنْهُ وَمَا لَمْ أَعْلَمْ، وَأَسْأَلُكَ الْجَنَّةَ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنَ النَّارِ وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ أَوْ عَمَلٍ، وَأَسْأَلُكَ مِمَّا سَأَلَكَ بِهِ مُحَمَّدٌ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِمَّا تَعَوَّذَ بِهِ مُحَمَّدٌ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ، وَمَا قَضَيْتَ لِيْ مِنْ قَضَاءٍ فَاجْعَلْ عَاقِبَتَهُ رُشْدًا".

"Nabi pernah masuk ke kamar saya ketika saya sedang melaksanakan shalat -beliau ada perlu, lalu saya menunda shalat - dia bersabda:

'Wahai Aisyah, hendaknya kamu membaca doa yang singkat, lengkap, dan padat.'

Ketika selesai shalat saya bertanya: 'Wahai Rasulullah, apakah doa yang singkat, lengkap, dan padat itu?'

Beliau bersabda, 'Katakanlah,

"Ya Allah! Saya memohon kepada-Mu segala kebaikan, baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat saya, baik yang saya ketahui maupun yang ndak saya ketahui.

Saya memohon surga kepada-Mu, dan sesuatu yang dapat mendekatkan saya kepadanya (surga) baik berupa perkataan maupun perbuatan.

Dan saya minta perlindungan kepadamu dari api neraka, serta sesuatu yang dapat mendekatkan saya kepadanya baik berupa perkataan maupun perbuatan.

Saya memohon kepada-Mu sesuatu yang diminta oleh Muhammad kepada-Mu, dan saya memohon perlindungan kepada-Mu dari sesuatu yang perlindungan yang diminta oleh Muhammad, serta apa yang telah Engkau tetapkan untuk saya, maka jadikanlah suatu kebenaran."'"

HR. Imam Bukhori dlm “الأدب المفرد” 497/639, Ibnu Majah (3846) dan Ahmad (25138) dengan sedikit perbedaan. Lafadz di atas adalah lafadz Bukhori.

Syeikh al-Albaany menshahihkannya, di dalam kitab Ash-Shahihah (1532).

===***====

MACAM KETIGA :
TAWASSUL DENGAN WASILAH SESAMA MANUSIA

===***==== 

Pada asalnya setiap muslim dan muslimah dalam berdoa diperintahkan langsung memohon sendiri kepada Allah tanpa adanya perantara antara dirinya dengan Allah SWT.

Allah SWT berfirman:

( وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ (60) )

Artinya: “Dan Tuhanmu berfirman: "Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina". (QS. Ghofir / al-Mukmin: 60).

Dalam firman-Nya yang lain:

( وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ).

Artinya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran ". (QS. Al-Baqoroh: 186).

Dan dalam firman-Nya yang lain:

( وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا ) [الجن: 18].

Artinya: “Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kalian berdoa kepada seseorang pun (di dalamnya) di samping (berdoa kepada) Allah. (QS. Al-Jinn: 18).

Ayat-ayat diatas dengan jelas menunjukkan pada asalnya dalam berdoa itu hendaknya langsung memohon sendiri kepada Allah tanpa adanya perantara orang lain. Karena hal seperti ini akan lebih memotivasi dirinya untuk berperan aktif dalam meningkatkan berbagai macam bentuk ibadah agar dirinya bisa merasa lebih dekat kepada Allah SWT dan lebih fokus dalam menciptakan rasa takut serta tawakkal kepadaNya, maka dengan demikian besar harapannya untuk dikabulkan.

Imam Bukhory dalam Shahihnya meriwayatkan dari Ibnu Abbas (ra) bahwa Rosulullah (SAW) bersabda:

« يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مِنْ أُمَّتِي سَبْعُونَ أَلْفًا بِغَيْرِ حِسَابٍ هُمْ الَّذِينَ لَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ ».

Artinya: “Tujuhpuluh ribu dari umatku masuk surga (langsung) tanpa di hisab terlebih dulu, mereka adalah orang-orang yang tidak meminta orang lain untuk membacakan ruqyah (doa kesembuhan) pada dirinya dan tidak tathoyyur (menggantungkan nasibnya pada suara burung atau arah burung terbang atau yang semakna dengannya) dan hanya kepada Rabbnya (Tuhannya) saja mereka bertawakkal". (HR. Bukhory no. 6472).

Hadits ini menyatakan bahwa orang-orang yang masuk surga langsung tanpa melalui proses pengadilan akhirat atau hisab adalah orang-orang yang memiliki tingkat ketawakkalan kepada Allah paling tertinggi. Semakin tinggi tingkat ketawakalan seseorang maka semakin tinggi pula tingkat kesabaran dan kepasrahannya kepada Allah semata setelah melalui proses usaha yang maksimal dan mandiri.

Dan tawakkal itu sendiri artinya berserah diri sepenuhnya hanya kepada Allah semata setelah berusaha maksimal

PERKATAAN SEORANG FILOSOFI :

Ada sebuah Dalil Vitagoras tentang minta bantuan doa dari orang lain (Tawassul dengan doa orang lain), dia mengatakan:

(مَن كَانَتْ الوَسَائِطُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ مَوْلاهُ أَكْثَرَ فَهُوَ فِي رَتْبَةِ العِبَادَةِ أَنْقَصَ وَإِذَا كَانَ البَدَنُ مُفْتَقِرًا فِي مَصَالِحِهِ إِلَى تَدْبِيرِ الطَّبِيعَةِ وَكَانَتِ الطَّبِيعَةُ مُفْتَقِرَةً فِي تَأْدِيَةِ أَفْعَالِهَا إِلَى تَدْبِيرِ النَّفْسِ وَكَانَتِ النَّفْسُ مُفْتَقِرَةً فِي اخْتِيَارِهَا الأَفْضَلِ إِلَى إِرْشَادِ العَقْلِ وَلَمْ يَكُنْ فَوْقَ العَقْلِ فَاتِحًا إِلَّا الهِدَايَةَ الإِلَهِيَّةَ فَبِالْحَرَيْ أَنْ يَكُونَ الْمُسْتَعِينُ بِصَرِيحِ العَقْلِ فِي كَافَّةِ الْمَصَارِفِ مَشْهُودًا لَهُ بِفِطْنَةِ الاِكْتِفَاءِ بِمَوْلاهُ)

 " Siapa saja orangnya semakin banyak menggunakan perantara-perantara antara Allah dan antara dirinya (dalam berdoa), maka semakin berkurang tingkat (kwalitas) penghambaan dirinya kepada Nya.

Karena jika fisik manusia saja membutuhkan proses pengaturan yang alami di dalam menjaga kemaslahatan-kemaslahatannya. Sementara proses yang alami itu membutuhkan pengendalian mental didalam menjalankan aktivitasnya. Dan pengendalian mental juga membutuhkan bimbingan akal di dalam menentukan pilihannya yang terbaik. Dan tidak ada pembuka di atas akal selain hidayah Ilahi ; maka hendaknyalah seseorang yang minta pertolongan kepada-Nya harus dibarengi dengan kejernihan akal pikiran dalam segala langkahnya serta di barengi dengan kesempurnaan rasa cukup langsung dengan Tuhannya saja (tanpa adanya perantara) ". (al-Milal wan Nihal karya Syahristany 2/82)

Dengan demikian semakin yakin bahwa berdoa langsung kepada Allah tanpa bertawassul dengan orang lain lebih utama (وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ).

Akan tetapi jika seorang Muslim menghadapi kesulitan atau tertimpa musibah besar, namun ia menyadari akan kekurangan-kekurangan dirinya dihadapan Allah, sedang ia ingin mendapatkan sebab yang kuat kepada Allah, lalu ia pergi kepada orang tuanya agar berkenan mendoakannnya atau pergi kepada orang yang diyakini memiliki keutamaan dan pengetahuan tentang al-Qur’an dan Sunnah, serta do’anya diharapkan terkabul karena keshalihan dan ketakwaanya, disebabkan ia selalu menjaga dirinya dengan yang halal dalam makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggalnya, dan juga dikenal sebagai orang yang ahli ibadah dan taqwa, maka tidaklah mengapa jika seseorang memintanya berdo’a untuknya dalam urusan yang ia inginkan. Dan cara demikian ini termasuk tawassul yang dibolehkan.

PENYEBAB DOA SULIT TERKABULKAN :

Syariat Islam tidak menafikan akan adanya sebagian manusia yang do'a nya sulit bahkan mustahil di kabulkan, sementara sebagian yang lain ada yang doa nya mustajab:

Dalam hadits yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah (ra), Rosulullah (SAW) bersabda:

« أيُّهَا النَّاسُ ، إنَّ اللهَ طَيِّبٌ لاَ يَقْبَلُ إلاَّ طَيِّباً ، وإنَّ اللهَ أَمَرَ المُؤمِنِينَ بِمَا أَمَرَ بِهِ المُرْسَلِينَ. فقالَ تعالى: ) يَا أَيُّهَا الرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحاً ( [المؤمنون: 51] ، وقال تعالى: ) يَا أيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ ( [البقرة: 172]. ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أشْعثَ أغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إلَى السَّمَاءِ: يَا رَبِّ يَا رَبِّ ، وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ، وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ، ومَلبسُهُ حرامٌ ، وَغُذِّيَ بالْحَرَامِ ، فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ ؟ ».

Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik saja. Allah memerintahkan kepada orang-orang beriman seperti apa yang Dia perintahkan kepada Para Rasul.

Allah berfirman: Hai Rasul-rasul! Makanlah sebagian dari yang baik-baik dan berbuatlah amal yang baik. (surat al-Mukminun: 51).

Dan Allah berfirman: "Hai orang-orang beriman. Makanlah makanan yang baik yang Kami berikan kepada kalian." (al-Baqarah: 172).

Lalu Rasulullah bercerita tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, hingga rambutnya kusut dan kotor, iapun menadahkan kedua tangannya ke langit (sambil berseru) 'Ya Robb ! Ya Robb' !, sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia kenyang dengan barang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan? "

(HR. Muslim dalam "Shahih"nya no. 1015).

Hadits ini menyatakan akan adanya sebagian manusia yang jika ia berdo'a susah dikabulnya di sebabkan faktor-faktor tersebut.

Dizaman sekarang ini jarang sekali di temukan manusia yang luput dan lolos dari semua itu. Karena sekarang ini sudah merebak dan membudaya berbagai macam bentuk bisnis dan transaksi yang non syar'i, sudah dianggap biasa yang namanya memakan uang riba (bunga), memanfaatkan barang gadaian, suap menyuap, jual beli suara pemilu, uang preman atau keamanan yang sebenarnya preman itu sendiri penjahatnya, uang pelicin yang jika tidak ngasih maka akan dipersulit dan bertele-tele urusannya dan yang paling parah adalah memperjual belikan agama serta ayat-ayat Al-Quran.

Dalam hadits Abu Hurairah (ra), Rosulullah (SAW) bersabda:

« يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ مَا يُبَالِي الرَّجُلُ مِنْ أَيْنَ أَصَابَ الْمَالَ مِنْ حَلَالٍ أَوْ حَرَامٍ ».

Artinya: “Akan datang kepada manusia suatu zaman dimana seseorang sudah tidak memperdulikan lagi dari mana dia mendapatkan harta, dari yang halal atau dari yang haram". (HR. Bukhori no. 2059, 2083 dan Nasaai 7/234).

Sementara dalam hadits yang di riwayatkan Kaab bin 'Ujroh (ra), Rosulullah (SAW) bersabda:

« لَا يدْخُلُ الْجنَّة لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ وكلُّ لحَمْ نبَتَ مِنْ سُحْتٍ فالنَّارُ أوْلى بِه »

Artinya: “Tidak masuk surga daging yang tumbuh dari yang haram. Dan setiap daging yang tumbuh dari yang haram, maka api neraka lebih berhak dengannya ".

(HR. Tabrany 19/135, Darimi 2/318, Ibnu Hibban (no. 1569 dan 1570), Hakim 4/127, Baihaqi di Sya'bul Iman 2/172/2 dan Imam Ahmad 3/321 dan 399). Di Shahihkan Al-Albaany dlm Shahih Tirmidzi no. 614. Dan beliau mengatakan di Silsilah Shahihah 6/108: Sanadnya Jayyid / bagus sesuai syarat Muslim.

Imam Bukhari telah menyebut dalam kitab Shahih-nya dalam Bab:

[بَابُ مَا جَاءَ فِي مَنْ يَسْتَحِلُّ الْخَمْرَ وَيُسَمِّيهَا بِغَيْرِ اسْمِهِ]

Bab: Apa-Apa yang Datang Seputar Orang yang Menghalalkan Khamr dan Menamainya dengan Nama Lain.

Kemudian beliau membawakan hadits sebagai berikut dengan sanad nya:

Dari ‘Abdurrahman bin Ghunm Al-Asy’ary ia berkata: Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Aamir atau Abu Malik Al-Asy’ary: – demi Allah dia ia tidak mendustaiku – bahwa ia telah mendengar Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:

"‏ لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ، يَأْتِيهِمْ ـ يَعْنِي الْفَقِيرَ ـ لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا‏.‏ فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ ‏"‏‏

“Akan ada di kalangan umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr, alat musik (al-ma’aazif).

Dan sungguh akan ada beberapa kaum akan mendatangi tempat yang terletak di dekat gunung tinggi. Lalu mereka didatangi orang yang berjalan kaki untuk suatu keperluan.

Lantas mereka berkata: “Kembalilah besok !”.

Maka pada malam harinya, Allah menimpakan gunung tersebut kepada mereka dan sebagian yang lain dikutuk menjadi kera dan babi hingga hari kiamat”

[HR. Al-Bukhari no. 5268. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Hibban no. 6754; Ath-Thabrani dalam Al-Kabir no. 3417 dan dalam Musnad Syamiyyin no. 588; Al-Baihaqi 3/272, 10/221; Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam Taghliqut-Ta’liq 5/18,19 dan yang lainnya. Hadits ini memiliki banyak penguat].

ADANYA SEBAGIAN HAMBA ALLAH YANG DOA NYA MUSTAJAB:

Jika hadits-hadits diatas menyebutkan orang-orang yang sulit di kabulkan doa serta sebab-sebabnya, maka hadits-hadits di bawah ini adalah kebalikannya yaitu orang-orang yang masuk dalam katagori mustajab do'anya.

Imam Bukhory meriwayatkan dari Abu Hurairah (ra), bahwa Rosulullah (SAW) bersabda:

« إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ: مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ بَارَزَنِى بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا ، وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بَهَا وَلَئِنْ سَأَلَنِى عَبْدِى أَعْطَيْتُهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ ».

Artinya: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah berfirman:

" Barang siapa memusuhi wali-Ku, maka ia telah menantangKu berperang. Dan apa saja yang hamba-Ku lakukan untuk mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan kepadanya.

Dan hamba-Ku tidak henti-hentinya mendekatkan dirinya kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga Aku mencintainya.

Maka jika aku telah mencintainya, Aku adalah pendengarannya di mana ia mendengar dengannya, Aku adalah penglihatannya di mana ia melihat dengannya, Aku adalah tangannya di mana ia bertindak dengannya, dan Aku adalah kakinya di mana ia berjalan dengannya.

Jika ia meminta sesuatu kepada-Ku, Aku pasti memberi nya. Jika ia meminta perlindungan kepada-Ku, Aku pasti melindunginya." [HR. Bukhori no. 6502]

Dalam hadits Anas yang di riwayatkan Imam Bukhory dan Muslim dalam Shahihnya bahwa Nabi (SAW) bersabda:

« إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأَبَرَّهُ »

" Sesungguhnya dari hamba-hamba Allah terdapat hamba yang jika ia bersumpah dengan Allah, maka Allah pasti mengabulkan apa saja yang ia sumpahi nya ". [HR. Bukhori no. 4611 dan Muslim no. 1675].

Imam Bukhori meriwayatkan dari Humaid: bahwa Anas bercerita kepada mereka:

أَنَّ الرُّبَيِّعَ وَهِيَ ابْنَةُ النَّضْرِ كَسَرَتْ ثَنِيَّةَ جَارِيَةٍ فَطَلَبُوا الْأَرْشَ وَطَلَبُوا الْعَفْوَ فَأَبَوْا فَأَتَوْا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَهُمْ بِالْقِصَاصِ فَقَالَ أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ أَتُكْسَرُ ثَنِيَّةُ الرُّبَيِّعِ يَا رَسُولَ اللَّهِ لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا تُكْسَرُ ثَنِيَّتُهَا فَقَالَ يَا أَنَسُ كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ فَرَضِيَ الْقَوْمُ وَعَفَوْا فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ زَادَ الْفَزَارِيُّ عَنْ حُمَيْدٍ عَنْ أَنَسٍ فَرَضِيَ الْقَوْمُ وَقَبِلُوا الْأَرْشَ

Bahwa Ar Rubayyi', - putri dari kabilah An-Nadhar- mematahkan gigi depan seorang anak perempuan. Lalu mereka menuntut ganti rugi, namun mereka meminta agar dimaafkan, akan tetapi mereka menolaknya hingga akhirnya mereka (kedua kaum itu) menemui Nabi (SAW).

Maka Beliau memerintahkan mereka untuk menegakkan qishosh (yaitu dengan mematahkan giginya).

Maka Anas bin an-Nadhar berkata:

"Apakah kami harus mematahkan gigi depannya ar-Rubayyi' wahai Rasulullah? Demi Dzat yang mengutus Tuan dengan benar, kami tidak akan mematahkan giginya".

Maka Beliau berkata: "Wahai Anas, di dalam Kitab Allah ada ketetapan hukum qishosh ".

Maka tiba-tiba kaum itu berubah menjadi ridho dan memaafkannya. Kemudian Nabi (SAW) bersabda:

"Sesungguhnya diantara hamba-hamba Allah ada hamba yang apabila bersumpah ; maka Allah membebaskannya".

Al Fazariy menambahkan dari Humaid dari Anas: "Maka kaum itu ridha dan menerima ganti ruginya" (HR. Bukhory no. 2054)

Dan telah di riwayatkan pula oleh Bukhory dan Muslim dari Abu Hurairah (ra), bahwa Rosulullah (SAW) besabda:

« لقَدْ كانَ فِيمَن كانَ قَبْلَكُمْ من الأمم ناس مُحَدَّثون مِن غيرِ أنْ يَكونُوا أنْبِياءَ، فإنْ يَكُنْ مِن أُمَّتي أحَدٌ فإِنَّهُ عمرُ»

Artinya: "Sungguh pada umat-umat sebelum kalian terdapat orang-orang muhaddatsuun (orang yang diberi ilham kebenaran di mulut mereka) yang bukan dari kalangan para nabi. Jika di umatku terdapat salah seorang dari mereka, maka dialah Umar bin Khaththab."

(HR. Bukhori no. 3469, 3689 dan Muslim No. 2398).

JANGAN DIBIASAKAN BERTAWASSUL DENGAN ORANG LAIN DALAM DOA:

Dengan adanya perbedaan kemustajaban doa masing-masing manusia, yaitu adanya sebagian manusia yang do'a nya sulit di kabulkan, sementara sebagian yang lain ada yang doa nya mustajab, maka salah satu hikmah Ilahiyyah yang Allah berikan kepada umat ini adalah di syariatkannya bertawassul dengan orang-orang saleh.

Meskipun demikian hendaknya bertawassul dengan doa orang saleh tersebut tidaklah dijadikan sebuah kebiasaan yang berkesinambungan, melainkan di lakukan sesekali di saat menghadapi suatu problem yang sangat serius yang mana dia sendiri telah mencobanya langsung kepada Allah SWT, namun belum ada hasilnya. Yang demikian itu seperti yang pernah di lakukan oleh sahabat-sahabat Nabi (SAW), para tabi'in, tabiit Tabiin serta para ulama salaf dahulu.

Kebiasaan terus menerus seseorang melakukan tawassul dengan perantara doa orang lain akan mengurangi rasa percaya diri dan rasa tawakkal serta menciptakan rasa malas dalam usaha meningkatkan ketakwaannya kepada Allah yang semestinya dia terus berupaya dengan memperbanyak aktivitas ibadah konkrit yang bisa mendekatkan dirinya langsung kepada-Nya.

Lagi pula kebiasaan bertawassul dengan perantara doa orang lain akan melahirkan pribadi yang labil tidak mandiri karena akan selalu bergantung kepada yang lain, dan yang paling ditakutkan akan lahir sebuah keyakinan pada dirinya bahwa doanya mustahil akan di kabulkan oleh Allah tanpa perantara orang tersebut, atau yang lebih parah lagi jika berkayakinan bahwa orang yang di tawassuli tersebut memiliki kemampuan untuk mengabulkan doa seperti Allah SWT, inilah yang di sebut syirik.

Yang jelas kebiasaan terus menerus bertawassul dengan doa orang lain itu tidak sejalan dengan ruh ketauhidan dan ketawakalan, kecuali jika orang saleh tersebut atau lainnya mendoakannya atas kemauannya sendiri tanpa diminta, maka dalam hal ini tak mengapa meski dilakukan secara terus menerus. Wallahua'lam bishowab

Jika seseorang merasa perlu sekali bertawassul dengan perantara doa orang lain, maka sebaiknya dia juga ikut terlibat aktif dalam proses doa tersebut, dia ikut berdoa kepada Allah SWT, paling tidak ikut mengamini doa orang yang mendoakannya. Tawassul seperti inilah yang di contohkan para sahabat dan generasi sesudahnya.

============

ADA DUA JENIS TAWASSUL DENGAN SESAMA MANUSIA

============

*****

JENIS PERTAMA : DENGAN ORANG LAIN YANG MASIH HIDUP

******

Adapun bertawassul dengan meminta doa kepada sesama muslim dan muslimah yang masih hidup, terutama dengan orang yang dianggap saleh ; maka hukumnya sebagaimana yang telah dijelaskan diatas bahwa itu diperbolehkan, meskipun yang lebih afdhal adalah langsung tanpa perantara dalam berdoa dan bermunajat kepada Allah SWT.

DALIL-DALIL TAWASSUL DENGAN DOA SESAMA MUSLIM YANG MASIH HIDUP.

Adapun dalil-dalil naqli yang menunjukkan di syariatkannya bertawassul dengan doa sesama muslim dan muslimah yang masih hidup, terutama dengan orang yang dianggap saleh ; maka adalah sebagai berikut. Yaitu tawassul yang pernah di lakukan oleh para sahabat dan para tabi'in:

DALIL TAWSSUL DENGAN NABI (SAW) SEMASA HIDUPNYA:

Firman Allah SWT:

( وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا )

Artinya: “Sesungguhnya jika mereka ketika menganiaya dirinya (dengan berbuat dosa, kemudian) datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang ". (QS. An-Nisaa: 64).

Firman Allah tentang kisah orang-orang munafik yang di ajak menghadap Rosulullah (SAW) agar beliau memintakan kepada Allah ampunan bagi mereka:

( وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ تَعَالَوْا يَسْتَغْفِرْ لَكُمْ رَسُولُ اللَّهِ لَوَّوْا رُءُوسَهُمْ وَرَأَيْتَهُمْ يَصُدُّونَ وَهُمْ مُسْتَكْبِرُونَ. سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَأَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ )

Artinya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka (orang-orang munafiq): Marilah, agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri.

Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka, Allah tidak akan mengampuni mereka; sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik ". (QS. Al-Munafiqun: 5-6).

Disebutkan dalam sebuah hadits yang populer tentang kisah orang buta yang bertawassul dengan Nabi (SAW) agar Allah SWT mengembalikan penglihatannya:

Dari Utsman bin Hunaif (ra):

" أَنَّ رَجُلًا ضَرِيرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ: ادْعُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَنِي ! قَالَ: “إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ لَكَ وَإِنْ شِئْتَ أَخَّرْتُ ذَاكَ فَهُوَ خَيْرٌ » وفي رواية: “وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ » ، فَقَالَ: ادْعُهُ ! فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوءَهُ فَيُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ وَيَدْعُوَ بِهَذَا الدُّعَاءِ".

bahwasannya: seorang laki-laki buta penglihatan telah datang menghadap Nabi (SAW) seraya berkata: “Berdoalah kepada Allah agar Ia menyembuhkan (penglihatan) ku !".

Beliau (SAW) menjawab: “Jika kamu menghendaki aku bedoa, aku akan berdoa untukmu, dan jika kamu menghendaki aku untuk menunda, aku akan menundanya, dan itu lebih baik " (dalam riwayat lain kata-katanya seperti ini: “Dan jika kamu mau bersabar, bersabarlah ! maka bersabar itu lebih baik untukkmu ").

Dia berkata: Berdoalah padaNya ! Maka beliau (SAW) menyuruhnya berwudlu dengan membaguskan wudlunya, dan sholat dua rokaat, kemudian berdoa dengan doa berikut ini:

« اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ فَتُقْضَى لِي اللَّهُمَّ فشَفِّعْهُ فِيَّ (وشَفِّعنِيْ فِيْه) ».

" Ya Allah, sungguh aku memohon pada Mu, dan aku hadapkan wajahku kepadaMu bersama dengan Nabi Mu Muhammad Nabi penuh rahmat. Wahai Muhammad, sungguh aku hadapkan wajahku bersama denganmu kepada Rabb ku (Tuhan ku) untuk hajatku ini agar dipenuhi (dikabulkan) untukku. Ya Allah, maka jadikanlah beliau ini sebagai syafaat dalam permohonanku ini, dan jadikanlah pula aku ini sebagai syafaat dalam permohonan beliau tersebut".

(HR. Ahmad 4/138, Turmudzi no. 3578, Ibnu Majah no. 1385, Tabrani 3/2/2 dan Hakim 1/313. Hadits ini di Shahihkan oleh Turmudzi, Abu Ishaq, Hakim, Dzahabi dan Al-Albaany).

Syafaat makna asalnya menurut bahasa arab adalah doa. Dan makna itulah yang di maksud dengan syafaat Nabi Muhammad (SAW) nanti di hari Kiamat, begitu pula makna syafaat para nabi dan rosul serta orang-orang saleh di hari kemudian. Maka dengan demikian yang di maksud dengan kata-kata dalam doa: “Ya Allah, jadikanlah beliau ini sebagai syafaat dalam permohonanku ini " artinya adalah: Ya Allah, kabulkanlah doa beliau tentang hajatku ini, yaitu agar engkau berkenan mengembalikan penglihatanku ".

Hadits lain yang berkaitan erat dengan masalah tawassul dengan orang saleh adalah sbb:

Hadits riwayat Anas bin Malik:

إِنَّ رَجُلاً دَخَلَ الْمَسْجِدَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ مِنْ بَابٍ كَانَ نَحْوَ دَارِ الْقَضَاءِ وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَائِمٌ يَخْطُبُ فَاسْتَقْبَلَ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَائِمًا ثُمَّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتِ الأَمْوَالُ وَانْقَطَعَتِ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ أَنْ يُغِيثَنَا !. قَالَ: فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ: “اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا » ثَلاَثًا. قَالَ أَنَسٌ: فَلاَ وَاللَّهِ مَا نَرَى فِى السَّمَاءِ سَحَابَةً وَلاَ قَزَعَةً ، وَمَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ سَلْعٍ مِنْ بَيْتٍ وَلاَ دَارٍ. قَالَ: فَطَلَعَتْ مِنْ وَرَائِهِ سَحَابَةٌ مِثْلُ التُّرْسِ ، فَلَمَّا تَوَسَّطَتِ السَّمَاءَ انْتَشَرَتْ ثُمَّ أَمْطَرَتْ. قَالَ أَنَسٌ: فَلاَ وَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا الشَّمْسَ سِتًّا. قَالَ: ثُمَّ دَخَلَ رَجُلٌ مِنْ ذَلِكَ الْبَابِ فِى الْجُمُعَةِ الْمُقْبِلَةِ وَرَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم قَائِمٌ يَخْطُبُ فَاسْتَقْبَلَهُ قَائِمًا ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتِ الأَمْوَالُ وَانْقَطَعَتِ السُّبُلُ فَادْعُ اللَّهَ يُمْسِكْهَا عَنَّا قَالَ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَدَيْهِ ثُمَّ قَالَ:« اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا ، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُونِ الأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ ». قَالَ: فَأَقْلَعَتْ وَخَرَجْنَا نَمْشِى فِى الشَّمْسِ.

Bahwa seorang laki-laki memasuki mesjid pada hari Jumat dari pintu searah dengan Darul-Qodho. Pada waktu itu Rasulullah (SAW) sedang berdiri berkhutbah. Sahabat tersebut menghadap Rasulullah (SAW) sambil berdiri, lalu berkata: Ya Rasulullah, harta benda telah musnah dan mata penghidupan terputus, berdoalah kepada Allah, agar Dia berkenan menurunkan hujan.

Rasulullah (SAW) mengangkat kedua tangannya dan berdoa:

" Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami. Ya Allah, turunkanlah hujan kepada kami".

Kata Anas: Tidak ! Demi Allah, kami tidak melihat di langit mendung atau gumpalan awan. Antara kami dan gunung tidak ada rumah atau perkampungan (yang dapat menghalangi pandangan kami untuk melihat tanda-tanda hujan). Tiba-tiba dari balik gunung muncul mendung bagaikan perisai. Ketika berada di tengah langit mendung itu menyebar lalu menurunkan hujan. Demi Allah, kami tidak melihat matahari selama enam hari.

Kemudian kata Anas lagi: Pada Jumat berikutnya seseorang datang dari pintu yang telah di sebut di atas ketika Rasulullah (SAW) sedang berkhutbah. Orang itu menghadap beliau sambil berdiri dan berkata: "Wahai Rasulullah, harta-harta telah musnah dan mata pencarian terputus (karena hujan terus menerus), berdoalah agar Allah berkenan menghentikannya".

Rasulullah (SAW) mengangkat kedua tangannya dan berdoa:

"Ya Allah, di sekitar kami dan jangan di atas kami. Ya Allah, di atas gunung-gunung dan bukit-bukit, di pusat-pusat lembah dan tempat tumbuh pepohonan".

Hujan pun reda dan kami dapat keluar, berjalan di bawah sinar matahari. (HR. Bukhory no. 1014 dan Muslim No.1493)

Tawassulnya Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha dengan Nabi (SAW). Dalam hadits ‘Aisyah radhiyallaahu ‘anha, beliau berkata:

" لَمَّا رَأَيْتُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طِيبَ نَفْسٍ ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ادْعُ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ لِي ، فَقَالَ: “اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِعَائِشَةَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهَا وَمَا تَأَخَّرَ ، وَمَا أَسَرَّتْ وَمَا أَعْلَنَتْ " ، فَضَحِكَتْ عَائِشَةُ حَتَّى سَقَطَ رَأْسُهَا فِي حِجْرِهَا مِنَ الضَّحِكِ ، قَالَ: فَقَالَ: لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “أَيَسُرُّكِ دُعَائِي " ؟ قَالَتْ: وَمَا بِي لا يَسُرُّنِي دُعَاؤُكَ ، قَالَ: “وَاللَّهِ إِنَّهَا لَدَعْوَتِي لأُمَّتِي فِي كُلِّ صَلاةٍ

Ketika aku melihat Nabi sedang senang hati, aku berkata ; Ya Rasulullah, berdoalah kepada Allah untukku!

Beliau pun mengucapkan: “Ya Allah, ampunilah dosa 'Aisyah baik yang telah lalu maupun yang akan datang, baik yang dilakukannya secara sembunyi-sembunyi maupun secara terang-terangan".

Mendengar doa Nabi tersebut, 'Aisyah tertawa hingga kepalanya jatuh ke pangkuan Rasulullah karena kegembiraannya itu.

Lantas beliau bertanya ; 'Apakah kamu senang dengan doa yang kuucapkan tadi?'

'Aisyah berkata: 'Bagaimana aku tidak senang dengan doa yang engkau ucapkan?'

Kemudian beliau bersabda: Demi Allah, doa itu adalah doa yang kupanjatkan untuk umatku dalam setiap shalatku.'

[Hadits Hasan: HR. Al Bazzar dalam musnadnya, Ibnu Hibban (no. 7111, 16/47) dalam Shahîhnya dan ath-Thabarani (no. 1458) dalam ad-Du'â`. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani dalam ash-Shahihah no. 2254 dan oleh Syu’eb al-Arna’uth dalam tahqiq dan takhrij Shahih ibnu Hibban 16/48 Cet. Muassasah ar-Risalah].

DALIL TAWASSUL DENGAN DOA SESAMA MUSLIM SELAIN NABI (SAW) SEMASA HIDUP

Rosululllah (SAW) pun pernah melakukannya, seperti dalam hadits yang diriwayatkan dari Umar bin Khaththab (ra), dia berkata:

اسْتأذَنْتُ النَّبيَّ صلى الله عليه وسلم في العُمْرَةِ ، فَأذِنَ ، وقال:« لاَ تَنْسَانَا يَا أُخَيَّ مِنْ دُعَائِكَ » ، فقالَ: كَلِمَةً ما يَسُرُّنِي أنَّ لِي بِهَا الدُّنْيَا. وفي رواية قَالَ: « أشْرِكْنَا يَا أُخَيَّ في دُعَائِكَ ».

" Aku pernah minta izin kepada Nabi (SAW) untuk berumrah, maka beliau mengizinkanku, dan beliau berkata: “Wahai saudara kecilku, jangan lupakan kami dari doamu ". Umar bercerita: Sebuah kalimat, kalau seandainya kalimat itu ditukar dengan dunia maka tidak akan bisa menyenangkanku ".

Dalam satu riwayat Rosulullah (SAW) berkata kepadanya: “Wahai saudara kecilku, ikut sertakanlah kami didalam doamu ". (HR. Abu Daud no. 1500 dan Turmudzi no. 3562. Abu Isa At-Turmudzi berkata: Hadits hasan Shahih ". Dan di dlaifkan oleh syeikh Al-Albani).

Dan Berikut ini adalah segenap atsar tawasssul para sahabat dengan orang yang mereka anggap sebagai orang shaleh, diantaranya adalah:

Tawassul Amiirulmukminiin Umar bin Khoththob dan para sahabat lainnya dengan Abbas (ra) paman Nabi (SAW) semasa hidupnya setelah Nabi (SAW) wafat.

Dari Anas bin Malik:

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضي الله عنه كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ: “اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا! ». قَالَ: فَيُسْقَوْنَ.

" Bahwasanya Umar bin al-Khaththab, jika manusia mengalami masa kekeringan, maka dia meminta kepada Abbas bin Abdul Muththalib untuk minta doa agar turun hujan, dia mengatakan: “Ya Allah, dulu kami bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami, dan Engkau pun menurunkan hujan kepada kami. [Dan sekarang Nabi kami telaf wafat] Maka saat ini kami bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami, turunkanlah hujan kepada kami ". Dan hujan pun turun kepada mereka." (HR. Bukhari no. 954)

Al-Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani ketika mensyarahkan hadits ini berkata:

وَقَدْ بَيَّنَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ فِي الْأَنْسَابِ صِفَةَ مَا دَعَا بِهِ الْعَبَّاسُ فِي هَذِهِ الْوَاقِعَةِ وَالْوَقْتِ الَّذِي وَقَعَ فِيهِ ذَلِكَ، فَأَخْرَجَ بِإِسْنَادٍ لَهُ أَنَّ الْعَبَّاسَ لَمَّا اسْتَسْقَى بِهِ عُمَرَ قَالَ:

Artinya: “Sesungguhnya al-Zubair bin Bakkar di dalam al-Ansab telah menjelaskan doa al-‘Abbas dalam peristiwa ini dan waktu peristiwa itu berlaku, beliau mengeluarkannya (meriwayatkannya) dengan isnadnya bahawa al-‘Abbas apabila diminta beristisqa oleh ‘Omar, beliau berdoa dengan berkata:

اللَّهُمَّ إِنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَمْ يُكْشَفْ إِلَّا بِتَوْبَةٍ ، وَقَدْ تَوَجَّهَ الْقَوْمُ بِي إِلَيْكَ لِمَكَانِي مِنْ نَبِيِّكَ، وَهَذِهِ أَيْدِينَا إِلَيْكَ بِالذُّنُوبِ وَنَوَاصِينَا إِلَيْكَ بِالتَّوْبَةِ فَاسْقِنَا الْغَيْثَ. فأرخت السماء مثل الجبال حتى أخصبت الأرض ، وعاش الناس

Artinya: “Ya Allah, sesungguhnya sesuatu bala tidak akan turun melainkan disebabkan dosa, dan bala tersebut tidak akan tersingkap melainkan dengan bertaubat. Sesungguhnya orang ramai telah bertawajjuh (minta berdoa) denganku kepadaMu, disebabkan kedudukanku (yang hampir) dengan NabiMu. Inilah tangan-tangan kami, (ditadahkan) kepadaMu, dan ubun-ubun kami (diserahkan) kepadaMu dengan kembali bertaubat (kepadaMu). Oleh itu turunkanlah bantuan (hujan) kepada kami.” Lalu awan berkumpul dengan banyak seperti membentuk bukit-bukau sehingga bumi menjadi subur, dan orang ramai dapat hidup dengan selesa.”

Tawassulnya Ummu Darda radhiyallahu ‘anhaa dengan Shafwan bin Abdillah bin Shafwan (ra) ketika beliau hendak pergi untuk berhaji, beliau berkata:

قَدِمْتُ الشَّامَ، فَأَتَيْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ رضي الله عنه فِي مَنْزِلِهِ، فَلَمْ أَجِدْهُ وَوَجَدْتُ أُمَّ الدَّرْدَاءِ رضي الله عنها، فَقَالَتْ: أَتُرِيدُ الْحَجَّ هذا الْعَامَ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ. قَالَتْ: فَادْعُ اللهَ لَنَا بِخَيْرٍ، فَإِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَقُولُ: ((دَعْوَةُ الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ لِأَخِيهِ بِظَهْرِ الْغَيْبِ مُسْتَجَابَةٌ عِنْدَ رَأْسِهِ مَلَكٌ مُوَكَّلٌ كُلَّمَا دَعَا لِأَخِيهِ بِخَيْرٍ قَالَ الْمَلَكُ الْمُوَكَّلُ بِهِ آمِينَ وَلَكَ بِمِثْلٍ)).

“Saat aku datang ke Syam, aku mendatangi Abu Darda’ di rumahnya. Namun aku tidak bertemu dengannya. Aku bertemu dengan Ummu Darda’. Ia bertanya (kepadaku), ‘Apakah kamu mau haji?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Ia berkata kepadamu, ‘doakan untuk kami kebaikan, karena Nabi (SAW) bersabda:

 “Doa seorang muslim untuk saudaranya (muslim lainnya) yang tidak berada di hadapannya akan dikabulkan oleh Allah. Di atas kepala orang muslim yang berdoa tersebut terdapat seorang malaikat yang ditugasi menjaganya. Setiap kali orang muslim itu mendoakan kebaikan bagi saudaranya, niscaya malaikat yang menjaganya berkata, “Amin (semoga Allah mengabulkan) dan bagimu hal yang serupa.” (HR. Muslim)

Mu’awiyah bin Abi Sufyan juga pernah bertawassul dengan Yazid bin al-Aswad dalam beristisqo, berdoa kepada Allah agar diturunkan hujan.

Dari Salim bin 'Amir al-Khobaairy:

أَنَّ الشَّامَ قُحِطَتْ، فَخَرَجَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ وَأَهْلُ دِمَشْقَ يَسْتَسْقُونَ ، فَلَمَّا قَعَدَ مُعَاوِيَةُ عَلَى الْمِنْبَرِ قَالَ: أَيْنَ يَزِيدُ بْنُ الأَسْوَدِ الْجُرَشِيُّ ، فَنَادَاهُ النَّاسُ ، فَأَقْبَلَ يَتَخَطَّى النَّاسَ ، فَأَمَرَهُ مُعَاوِيَةُ ، فَصَعِدَ الْمِنْبَرَ ، فَقَعَدَ عِنْدَ رِجْلَيْهِ ، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْتَشْفِعُ إِلَيْكَ الْيَوْمَ بِخَيْرِنَا وَأَفْضَلِنَا ، اللَّهُمَّ إنَّا نَسْتَشْفِعُ إِلَيْكَ الْيَوْمَ بِيَزِيدَ بْنِ الأَسْوَدِ الْجُرَشِيِّ ، يَا يَزِيدُ ، ارْفَعْ يَدَيْكَ إِلَى اللَّهِ ، فَرَفَعَ يَزِيدُ يَدَيْهِ ، وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ ، فَمَا كَانَ أَوْشَكَ أَنْ ثَارَتْ سَحَابَةٌ فِي الْغَرْبِ ، كَأَنَّهَا تُرْسٌ ، وَهَبَّتْ لَهَا رِيحٌ ، فَسُقِينَا ، حَتَّى كَادَ النَّاسُ أَنْ لا يَبْلُغُوا مَنَازِلَهُمْ

Bahwasanya saat itu negeri Syam dilanda kekeringan, maka Muawiyah dan masyarakat Damaskus keluar untuk beristisqo (sholat minta hujan), maka ketika beliau sudah duduk diatas mimbar, beliau bertanya: “Mana Yazid bin al-Aswad al-Juroshi ?", orang-orang pun turut memanggil-manggilnya.

Akhirnya Yazid pun datang menghadap sambil melangkahi (barisan-barisan sholat), kemudian Muawiyah menyuruhnya naik keatas mimbar, maka Yazid pun duduk disisi dua kakinya, lantas Muawiyah berdoa:

" Ya Allah, kami telah meminta hujan kepadaMu dengan perantara syafaat orang yang paling baik dan paling utama di antara kami. ' Ya Allah, kami meminta hujan padaMu dengan perantara syafaat Yazid bin al-Aswad'. Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu kepada Allah ! ".

Lalu ia pun mengangkat kedua tangannya diikuti oleh segenap orang (yang berada di sekitanya). Maka hampir saja mereka selesai berdoa tiba-tiba dari arah barat muncul mendung bagaikan perisai disertai tiupan angin, dan kamipun dianugerahi hujan, sehingga hampir saja orang-orang tidak bisa kembali ke rumah masing-masing (karena derasnya hujan disertai angin kencang)'.

Kisah ini diriwayatkan Ibnu Sa'ad di Thobaqotul Kubro 7/444, Ibnu Asakir di Tarikh Damaskus 65/112, adz-Dzahabi di Siyar A'lam Nubala 4/137 dan Ibnul Jauzy di Sofwatus Shofwah 4/202.

Kisah ini di Shahihkan sanadnya oleh Al-Albaany dalam kitab Tawassul hal. 41. Dan Kisah ini di nisbatkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam kitab Ishobah 3/634 kepada riwayat Abu Zur'ah ad-Dimasyqy dan Ya'qub di masing-masing kitab Tarikhnya, dan sanadnya di Shahihkan pula oleh Al-Albaany dari Salim bin 'Amir al-Khobaairy seorang Tabii yang Mulia.

Kata al-Syeikh Soleh bin ‘Abd al’Aziz bin Muhammad Aali al-Syeikh:

Dan Isnadnya berantaian (مسلسل) dengan al-Thiqaat al-Kibar, dan ia berada pada kepuncak keshahihan (غاية الصحة)”. Lihat: Hadzihi Mafahimuna, 56)

*****

JENIS KEDUA : 
TAWASSUL DENGAN SESAMA MANUSIA YANG SUDAH WAFAT

*****

Terkait dengan berdoa dengan orang yang telah wafat, contohnya dengan menyebut sosok atau dzat Nabi (SAW) setelah wafat atau dengan menyebut جَاه [pangkat, kedudukan dan kehormatannya] atau dengan menyebut orang-orang shaleh yang telah wafat.

Ada dua klasifikasi: berdoa kepada Allah SWT dengan cara bertawassul dengan orang yang telah wafat:

KLASIFIKASI PERTAMA: Bertawassul dengan orang mati disertai keyakinan bahwa orang mati yang di tawasulinya memiliki kemampuan dan kekuasaan seperti yang Allah miliki atau sebagian yang Allah miliki.

KLASIFIKASI KEDUA: Bertawassul dengan orang mati hanya sebagai sebab tanpa ada keyakinan bahwa orang mati tersebut memiliki kemampuan dan kekuasaan seperti yang Allah miliki atau sebagian yang Allah miliki.

---------
KLASIFIKASI PERTAMA: TAWASSUL DENGAN ORANG MATI DISERTAI KEYAKINAN PUNYA KEMAMPUAN & KEKUASAAN
---------

Yang di maksud tawassul dalam pembahsan ini: bertawassul dengan orang yang sudah meninggal, disertai dengan keyakinan bahwa orang mati yang di tawasulinya itu memiliki kemampuan dan kekuasaan seperti yang Allah miliki atau sebagian yang Allah miliki, misalnya: kemampuan mengabulkan doa, mampu mendatangkan manfaat dan menghilangkan segala kesulitan atau sebaliknya mampu menghilangkan segala manfaat dan mendatangkan madlorot atau musibah dan lain sebagainya.

Atau bertujuan untuk mendapatkan perlindungan, harapan, kemudahan, menggantungkan nasib atau bertawakkal pada nya dan lain-lain.

Tawassul jenis ini adalah persis tawassul nya kaum musyrikin arab dan para pemeluk agama-agama kafir lainnya, yaitu menjadikan sesembahan-sesembahan mereka sebagai perantara kepada AllahSWT dengan keyakinan ganda. Tawassul jenis ini adalah yang di berantas oleh Nabi SAW dan para nabi sebelumya. Dan tawassul jenis ini adalah perbuatan syirik yang mengeluarkan si pelakunya dari agama Islam.

Syekh al-Islam Ibnu Taymiyah rahimahullaah berkata:

"فَمَنْ جَعَلَ الْمَلَائِكَةَ وَالْأَنْبِيَاءَ وَسَائِطَ؛ يَدْعُوهُمْ، وَيَتَوَكَّلُ عَلَيْهِمْ، وَيَسْأَلُهُمْ جَلْبَ الْمَنَافِعِ وَدَفْعَ الضَّارِّ، مِثْلًا أَنْ يَسْأَلَهُمْ غُفْرَانَ الذَّنْبِ، وَهُدًى الْقُلُوبِ وَتَفْرِيجَ الْكُرُوبِ وَسَدَّ الْفَوَاقِتِ: فَهُوَ كَافِرٌ بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ"

"Barangsiapa menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai perantara; ia berdoa kepada mereka, bertawakkal kepada mereka, dan memohon kepada mereka untuk mendatangkan manfaat dan menghindarkan mudharat—seperti memohon kepada mereka untuk meminta ampunan dosa, petunjuk hati, menghilangkan kesusahan, dan menutup kesempitan—maka dia adalah kafir menurut Ijma' [kesepakatan] umat Islam." [Baca: "Majmu' al-Fatawa" (1/124)].

" Ijma' [kesepakatan] ini" telah dikutip oleh lebih dari satu ulama yang mengakui hal ini. Perhatikan hal ini dalam kitab "Al-Furuu'" oleh Ibnu Muflih (6/165), "Al-Insāf" (10/327), "Kashf al-Qināʿ" (6/169), dan "Maṭālib Ūlī al-Nuḥā" (6/279).

Mereka yang melakukan tawassul macam ini kadang mengunakan istilah-istilah syar'i untuk mengelabui orang awam agar mereka tidak sadar kalau dirinya sudah terjerumus dalam dosa syirik.

Ada beberapa istilah yang populer dan sering digunakan kaum musyrikin arab jahiliyah untuk melegalisasikan praktek ibadah syiriknya itu, yaitu dengan menggunakan istilah-istilah berikut ini:

Pertama: Istilah TAQORRUB (sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT) seperti yang Allah firmankan dalam Al-Qur'an:

( أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى )

Artinya: Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil wali-wali (pelindung / penolong / kekasih) selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (QS. Zumar: 3).

Dalam menafsiri firman Allah SWT: “Melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya " Imam Malik, Qotadah dan Suday dari Zaid bin Aslam dan Ibnu Zaid berkata:

((أي: لِيَشْفَعُوا لَنَا، وَيُقَرِّبُونَا عِنْدَهُ مَنْزِلَةً))

" Maksudnya adalah: agar wali-wali itu mensyafaati kami dan mendekatkan kedudukan kami di sisi Allah ". (Tafsir Ibnu Katsir 7/85).

Kedua: Istilah PEMBERI SYAFAAT. sebagaimana dalam firman Allah SWT berikut ini:

( أَمِ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ شُفَعَاءَ قُلْ أَوَلَوْ كَانُوا لا يَمْلِكُونَ شَيْئًا وَلا يَعْقِلُونَ. قُلْ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا لَهُ مُلْكُ السَّمَوَاتِ وَالأرْضِ ثُمَّ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ )

Artinya: “Bahkan mereka mengambil pemberi syafaat selain Allah. Katakanlah: "Dan apakah (kamu mengambilnya juga) meskipun mereka tidak memiliki sesuatupun dan tidak berakal?" Katakanlah: "Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya. Kepunyaan-Nya kerajaan langit dan bumi. Kemudian kepada-Nya lah kamu dikembalikan". (QS. Az-Zumar: 43 – 44).

Ketiga: Istilah WALI. sebagaimanan dalam firman Allah SWT berikut ini:
( وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا * يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلا غُرُورًا )

" Barang siapa yang menjadikan setan menjadi WALI (pelindung) selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata. Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.". (QS. An-Nisaa: 119-120).

Dan Firman Allah SWT:

( وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ).

"Dan orang-orang yang kafir, WALI-WALI nya ialah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya". (QS. Al-Baqoroh: 257)

Dan Firman Allah SWT:

( وَيَوْمَ يَحْشُرُهُمْ جَمِيعًا يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ قَدِ اسْتَكْثَرْتُمْ مِنَ الإنْسِ وَقَالَ أَوْلِيَاؤُهُمْ مِنَ الإنْسِ رَبَّنَا اسْتَمْتَعَ بَعْضُنَا بِبَعْضٍ وَبَلَغْنَا أَجَلَنَا الَّذِي أَجَّلْتَ لَنَا قَالَ النَّارُ مَثْوَاكُمْ خَالِدِينَ فِيهَا إِلا مَا شَاءَ اللَّهُ إِنَّ رَبَّكَ حَكِيمٌ عَلِيمٌ )

Dan (ingatlah) hari di waktu Allah menghimpunkan mereka semuanya, (dan Allah berfirman): "Hai golongan jin (setan), sesungguhnya kamu telah banyak (menyesatkan) manusia", lalu berkatalah wali-wali mereka dari golongan manusia: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya sebahagian daripada kami telah dapat kesenangan dari sebahagian (yang lain) dan kami telah sampai kepada waktu yang telah Engkau tentukan bagi kami". Allah berfirman: "Neraka itulah tempat diam kamu, sedang kamu kekal di dalamnya, kecuali kalau Allah menghendaki (yang lain)". Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-An'am: 128).

Mereka kaum musyrikin mencintai wali-wali tersebut sama seperti mencintai Allah, seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur'an:

( وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ وَلَوْ يَرَى الَّذِينَ ظَلَمُوا إِذْ يَرَوْنَ الْعَذَابَ أَنَّ الْقُوَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا وَأَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعَذَابِ ).

Artinya: “Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat cinta kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat lalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya dan bahwa Allah amat berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal) ". (QS. Al-Baqoroh: 165).

---------
KLASIFIKASI KEDUA: BERTAWASSUL DENGAN ORANG MATI SEBAGAI SEBAB ATAU PERANTARA:
----------

Tawassul macam ini bermaksud menjadikan orang mati yang di tawassulinya hanya sebatas sebagai sebab agar Allah SWT berkenan mengabulkan doanya. Jadi hakikatnya Allah lah yang memiliki kekuasaan dan kemampuan dalam mengabulkan doa.

Contohnya orang yang berdoa dengan mengucapkan:

" اللَّهُمَّ إِنِّي أَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ أَوْ بِجَاهِ نَبِيِّكَ أَوْ بِحَقِّ نَبِيِّكَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ".

"Ya Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu atau dengan جَاه [pangkat, kedudukan dan kehormatan] Nabi-Mu atau dengan hak Nabi-Mu (SAW)."

Maka tentang hal ini terdapat perbedaan pendapat, dan tidak ada nash yang secara jelas menunjukkan hal ini.

Prinsip dasar dalam ibadah adalah mengikuti tuntunan yang diberikan, sehingga yang dihalalkan dalam ibadah hanyalah apa yang didukung oleh bukti atau dalil.

Apakah tawassul jenis ini sampai pada level perbuatan syirik serta boleh menghukumi kafir terhadap pelakunya ?

Bukanlah termasuk perbuatan syirik jika seseorang bertawassul dengan orang yang sudah mati dengan anggapan hanya sebatas sebagai sebab tanpa dibarengi dengan keyakinan bahwa orang mati tersebut memiliki kemampuan mendatangkan manfaat dan menghilangkan madlorot bagi yang bertawassul dan lainnya.

Syeikh Ibnu Taimiah setelah menyebutkan perbedaan pendapat dalam masalah tawassul jenis ini beliau berkata:

" وَلَمْ يَقُلْ أَحَدٌ: إنَّ مَنْ قَالَ بِالْقَوْلِ الْأَوَّلِ فَقَدْ كَفَرَ وَلَا وَجْهَ لِتَكْفِيرِهِ فَإِنَّ هَذِهِ مَسْأَلَةٌ خَفِيَّةٌ لَيْسَتْ أَدِلَّتُهَا جَلِيَّةً ظَاهِرَةً وَالْكُفْرُ إنَّمَا يَكُونُ بِإِنْكَارِ مَا عُلِمَ مِنْ الدِّينِ ضَرُورَةً أَوْ بِإِنْكَارِ الْأَحْكَامِ الْمُتَوَاتِرَةِ وَالْمُجْمَعِ عَلَيْهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ. وَاخْتِلَافُ النَّاسِ فِيمَا يُشْرَعُ مِنْ الدُّعَاءِ وَمَا لَا يُشْرَعُ كَاخْتِلَافِهِمْ هَلْ تُشْرَعُ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ عِنْدَ الذَّبْحِ ؛ وَلَيْسَ هُوَ مِنْ مَسَائِلِ السَّبِّ عِنْدَ أَحَدٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ ".

" Tak seorang pun yang mengatakan bahwa barangsiapa mengambil pendapat pertama ia telah kafir, tak ada alasan untuk mengkafirkannya, karena masalah ini adalah masalah yang samar-samar, dalil-dalilnya tidak jelas dan terang. Kekufuran hanyalah bagi orang yang mengingkari perkara-perkara yang sudah maklum (diketahui) secara darurat merupakan bagian dari agama secara pasti atau mengingkari hukum yang sudah mutawatir dan disepakati (ijma') atau semisal itu.

Dan perbedaan manusia tentang cara berdoa yang di syariatkan dan yang tidak di syariatkan, sama seperti perbedaan mereka tentang hukum membaca sholawat kepada Nabi SAW ketika menyembelih binatang sembelihan. dan itu bukan termasuk dalam permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan mencaci maki salah seorang dari kaum muslimin. " (Majmu' Fatawa 1/106)

Dari pernyataan Syeikh Ibnu Taimiah di atas, jelaslah bahwa ucapan sebagian orang yang mengkafirkan sesama muslim karena permasalahan semacam ini tidaklah dapat dibenarkan.

Perbedaan ulama tentang hukum boleh dan tidaknya bertawassul jenis ini:

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA

Para ulama berbeda pendapat mengenai di syariatkannya tawassul jenis ini yakni dengan orang yang telah wafat, apakah di perbolehkan atau tidak ?

Jawabannya: ada tiga pendapat.

PENDAPAT PERTAMA: TIDAK MEMBOLEHKAN TAWASSUL DENGAN ORANG YANG TELAH WAFAT.

Sebagian para ulama melarang bertwassul, meskipun dengan menyebut Jaah Nabi (SAW) dan Haq Nabi (SAW) sebagai wasilah dalam berdoa (tawassul).

Al-Hashkafi dalam "Ad-Durr al-Mukhtar" (5/715) berkata:

"فِي التَّاتِرْخَانِيَّةِ ، مُعَزِّيًا لِلْمُنْتَقَى عَنْ أَبِي يُوسُفَ ، عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ: لَا يَنْبَغِي لأَحَدٍ أَنْ يَدْعُو اللَّهَ إِلَّا بِهِ، وَالدُّعَاءُ الْمَأْذُونُ فِيهِ الْمَأْمُورُ بِهِ مَا اسْتُفِيدَ مِنْ قَوْلِهِ تَعَالَى: (وَلِلَّهِ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا)" انتهى.

"Dalam kitab 'At-Tathrikhaniyyah', diriwayatkan dari Abu Yusuf yang meriwayatkan dari Abu Hanifah: Tidak semestinya seseorang berdoa kepada Allah kecuali dengan doa itu sendiri, dan doa yang dianjurkan adalah yang diperintahkan. Hal ini diperoleh dari firman-Nya yang agung: 'Dan bagi Allah asmaa-ul husnaa, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut nama-nama itu.'" Akhir dari kutipan.

Ibnu Abi al-'Izz al-Hanafi dalam Syarah ath-Thohaawiyyah hal. 237 mengatakan:

قَالَ أَبُو حَنِيفَةَ وَصَاحِبَاهُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ: يُكْرَهُ أَنْ يَقُولَ الدَّاعِي: أَسْأَلُكَ بِحَقِّ فُلَانٍ، أَوْ بِحَقِّ أَنْبِيَائِكَ وَرُسُلِكَ، وَبِحَقِّ الْبَيْتِ الْحَرَامِ، وَالْمَشْعَرِ الْحَرَامِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ حَتَّى كَرِهَ أَبُو حَنِيفَةَ وَمُحَمَّدٌ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِمَعْقِدِ الْعِزِّ مِنْ عَرْشِكَ، وَلَمْ يَكْرَهْهُ أَبُو يُوسُفَ رَحِمَهُ اللَّهُ لَمَّا بَلَغَهُ الْأَثَرُ فِيهِ. اهـ.

"Abu Hanifah dan kedua sahabatnya -semoga Allah meridhai mereka- berkata: Dibenci bagi orang yang berdoa mengatakan: 'Aku memohon kepadamu dengan hak fulan,' atau 'dengan hak nabi-nabi-Mu dan rasul-rasul-Mu,' atau 'dengan hak Baitullah yang suci dan tempat thawaf yang suci,' dan sejenisnya, hingga Abu Hanifah dan Muhammad -semoga Allah meridhai keduanya- bahkan benci bagi seseorang mengatakan: 'Ya Allah, aku memohon kepadamu dengan kemuliaan tempat duduk dari Arsy-Mu'. Sementara Abu Yusuf -semoga Allah merahmatinya- tidak membencinya ketika sampai kepadanya atsar yang membolehkannya".

Penulis katakan: namun atsar tersebut atau hadits tersebut Palsu sebagaimana yang dikatakan az-Zaila'i dalam Nashbur Raayah 4/273 dan al-Albaani dalam Takhrij Syarah ath-Thahawiyyah hal. 237.

Dan apa yang disebutkan Ibnu Abi al-Izz diatas, disebutkan pula oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu' al-Fataawaa 1/203.

Al-Kasaani, rahimahullah, dalam "Badai' al-Sanaa'i' " (5/126) berkata:

" وَيُكْرَهُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَقُولَ فِي دُعَائِهِ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ أَنْبِيَائِكَ وَرُسُلِكَ ، وَبِحَقِّ فُلَانٍ ، لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لِأَحَدٍ عَلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى جَلَّ شَأْنُهُ" انتهى.

"Dilarang bagi seseorang untuk mengucapkan dalam doanya: 'Aku memohon kepada-Mu dengan HAK para nabi dan rasul-Mu, dan dengan HAK Fulan,' karena tidak ada hak bagi makhluk atas Penciptanya, Yang Mahasuci dan Mahatinggi, yang terhormat."

Dan yang semacam ini juga terdapat dalam "Tabyiin al-Haqaa'iq Syarh Kanz ad-Daqaa'iq", karya Az-Zaila'i (6/31).

Dan pernyataan ini dinisbatkan dengan tiga ulama: yaitu Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad bin al-Hasan. Ini juga dapat ditemukan dalam "Al-'Inayah Syarh al-Hidayah" oleh al-Babarti (10/64), "Fath al-Qadir" oleh Ibn al-Humam (10/64), "Durur al-Hukkam" (1/321), dan "Majma' al-Anhar Syarh Multaqa al-Abhaar" (2554).

Said Nu'maan Khayrud-Din al-Aalusi al-Hanafi, rahimahullah, dalam "Jalaa' al-Aynain" (hal. 516) berkata:

"وَفِي جَمِيعِ مَتَوَنِّهِمْ: أَنَّ قَوْلَ الدَّاعِي الْمُتَوَسِّلِ: بِحَقِّ الْأَنْبِيَاءِ وَالْأَوْلِيَاءِ ، وَبِحَقِّ الْبَيْتِ الْحَرَامِ وَالْمَشْعَرِ الْحَرَامِ: مَكْرُوهٌ كَرَاهَةُ تَحْرِيمٍ ، وَهِيَ كَالْحَرَامِ فِي الْعُقُوبَةِ بِالنَّارِ عِنْدَ مُحَمَّدٍ ، وَعَلَّلُوا ذَلِكَ بِقَوْلِهِمْ: لِأَنَّهُ لَا حَقَّ لِلْمُخْلَوْقِ عَلَى الْخَالِقِ " انتهى.

"Dalam seluruh kitab-kitab mereka terdapat pernyataan bahwa seseorang yang berdoa dengan bertwassul dengan HAK para nabi dan wali, atau dengan HAK Baitullah dan Maqam Ibrahim, adalah makruh yang diharamkan, mirip dengan perbuatan haram yang menyebabkannya diadzab dengan api neraka, manurut Muhammad [bin Hasan asy-Syaibaani]. Mereka membela hal ini dengan mengatakan bahwa tidak ada hak bagi makhluk atas Penciptanya." [Akhir dari kutipan].

Dan al-Hafidz Ibnu Abdul Hadi al-Hanbali, semoga Allah merahmatinya berkata:

" وَأَمَّا دُعَاؤُهُ هُوَ ، وَطَلَبُ اسْتِغْفَارِهِ وَشَفَاعَتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ، فَهَذَا لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنْ أُئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ ، لَا مِنَ الْأُئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَلَا غَيْرِهِمْ؛ بَلْ الْأَدْعِيَةُ الَّتِي ذَكَرُوهَا خَالِيَةٌ مِنْ ذَلِكَ" انتهى

"Adapun doanya, serta permintaannya agar beliau (SAW) memohonkan ampunan dan syafaatnya setelah kematiannya, maka hal ini tidak diriwayatkan dari seorang pun dari para imam kaum muslimin, baik dari empat imam Madzhab atau yang lainnya; bahkan doa-doa yang mereka sebutkan bebas dari hal itu." [Ini diambil dari "ash-Shoriim al-Munki fi al-Radd 'alaa as-Subki", halaman 136].

Umar bin Khoththob (ra) dan para sahabat lainnya ketika beristisqo mereka tidak bertwassul dengan Nabi (SAW) setelah beliau wafat, melainkan mereka bertawassul dengan Abbas (ra) paman Nabi (SAW) semasa hidupnya:

Dari Anas bin Malik (ra):

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رضي الله عنه كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ: “اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا! ». قَالَ: فَيُسْقَوْنَ.

" Bahwasanya Umar bin al-Khaththab, jika manusia mengalami masa kekeringan, maka dia meminta kepada Abbas bin Abdul Muththalib untuk minta doa agar turun hujan, dia mengatakan: “Ya Allah, dulu kami bertawassul kepadaMu dengan Nabi kami, dan Engkau pun menurunkan hujan kepada kami. Maka saat ini kami bertawassul kepadaMu dengan paman Nabi kami, turunkanlah hujan kepada kami ". Dan hujan pun turun kepada mereka." (HR. Bukhari no. 954)

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani ketika mensyarahi hadits ini berkata:

وَقَدْ بَيَّنَ الزُّبَيْرُ بْنُ بَكَّارٍ فِي الْأَنْسَابِ صِفَةَ مَا دَعَا بِهِ الْعَبَّاسُ فِي هَذِهِ الْوَاقِعَةِ وَالْوَقْتِ الَّذِي وَقَعَ فِيهِ ذَلِكَ، فَأَخْرَجَ بِإِسْنَادٍ لَهُ أَنَّ الْعَبَّاسَ لَمَّا اسْتَسْقَى بِهِ عُمَرَ قَالَ: اللَّهُمَّ إِنَّهُ لَمْ يَنْزِلْ بَلَاءٌ إِلَّا بِذَنْبٍ، وَلَمْ يُكْشَفْ إِلَّا بِتَوْبَةٍ، وَقَدْ تَوَجَّهَ الْقَوْمُ بِي إِلَيْكَ لِمَكَانِي مِنْ نَبِيِّكَ، وَهَذِهِ أَيْدِينَا إِلَيْكَ بِالذُّنُوبِ وَنَوَاصِينَا إِلَيْكَ بِالتَّوْبَةِ فَاسْقِنَا الْغَيْثَ. فَأَرْخَتِ السَّمَاءُ مِثْلَ الْجِبَالِ حَتَّىٰ أَخْصَبَتِ الْأَرْضَ، وَعَاشَ النَّاسُ.

Artinya: “Sesungguhnya al-Zubair bin Bakkar di dalam al-Ansab telah menjelaskan doa al-‘Abbas dalam peristiwa ini dan waktu peristiwa itu berlaku, beliau mengeluarkannya (meriwayatkannya) dengan isnadnya bahawa al-‘Abbas apabila diminta beristisqa oleh ‘Omar, beliau berdoa dengan mengucapkan:

“Ya Allah, sesungguhnya sesuatu bala tidak akan turun melainkan disebabkan dosa, dan bala tersebut tidak akan tersingkap melainkan dengan bertaubat. Sesungguhnya orang ramai telah bertawajjuh (minta berdoa) denganku kepadaMu, disebabkan kedudukanku (yang hampir) dengan NabiMu. Inilah tangan-tangan kami, (ditadahkan) kepadaMu, dan ubun-ubun kami (diserahkan) kepadaMu dengan kembali bertaubat (kepadaMu). Oleh itu turunkanlah bantuan (hujan) kepada kami.” Lalu awan berkumpul dengan banyak seperti membentuk bukit-bukau sehingga bumi menjadi subur, dan orang ramai dapat hidup dengan selesa.” [Baca: Fathul Bari 2/497].

Syeikh Ibnu Taimiyah berkata dalam Iqtidhaush Shiratil Mustaqiim hal. 338:

وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ أَجْدَبُوا مَرَّاتٍ، وَدَهَمَتْهُمْ نَوَائِبُ غَيْرِ ذَلِكَ، فَهَلَّا جَاءُوا فَاسْتَسْقَوْا وَاسْتَغَاثُوا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟! بَلْ خَرَجَ عُمَرُ بِالْعَبَّاسِ فَاسْتَسْقَى بِهِ (أَيْ بِدَعْائِهِ)، وَلَمْ يَسْتَسْقِ عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ". انتَهَى.

“ Padahal para sahabat Nabi SAW berkali-kali ditimpa kekeringan dan ditimpa dengan berbagai macam kesusahan, akan tetapi kenapa mereka tidak beristisqo dan beritighotsah (dengan cara bertawasul) di sisi kuburan Rosulullah SAW ? Melainkan Umar keluar beristisqo bersama al-‘Abbaas paman Nabi SAW (dan bertawasul) dengan doanya, dan tidak beristisqo di sisi kuburan Nabi (SAW)“.

PENDAPAT KEDUA: HANYA DIPERBOLEHKAN TAWASSUL DENGAN NABI (SAW) SAJA.

Dalam Majmu' al-Fatawa 1/101 karya Ibnu Taimiyah disebutkan:

فَقَدْ أَفْتَى الشَّيْخُ عَزَّ الدِّينِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ فِي فَتَاوَيهِ الْمَشْهُورَةِ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ التَّوْسُلُ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى إِلَّا بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

" Telah memberikan fatwa Syaikh Az-Zainudin bin Abdul Salam dalam kitab al-Fatawa nya yang masyhur dan terkenal bahwa tidaklah dibolehkan bertwassul kepada Allah Ta'aalaa kecuali melalui Nabi Muhammad ﷺ".

Kisah Khalifah Al-Mansur dengan Imam Malik - semoga Allah merahmatinya - adalah sebagai berikut:

(أَنَّ مَالِكًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا سَأَلَهُ أَبُو جَعْفَرِ الْمَنْصُورِ الْعَبَّاسِيُّ – ثَانِي خَلَفَاءِ بِنِ الْعَبَّاسِ- يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ: أَأَسْتَقْبِلُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ سَلَّمَ أَمْ أَسْتَقْبِلُ الْقِبْلَةَ وَأَدْعُو؟ فَقَالَ الْإِمَامُ مَالِكٍ: وَلَمَّ تَصْرِفْ وَجْهَكَ عَنْهُ وَهُوَ وَسِيلَتُكَ وَوَسِيلَةُ أَبِيكَ آدَمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ إِلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ؟ بَلْ اسْتَقْبِلْهُ وَاسْتَشْفِعْ بِهِ فَيَشْفَعْ فِيكَ)

"Ketika Abu Ja'far Al-Mansur, Khalifah Abbasiyah - khalifah kedua dari keturunan Abbasiyah - bertanya kepada Imam Malik (ra) dengan berkata: 'Wahai Abu Abdullah, apakah aku harus menghadap Rasulullah (SAW) ketika berdoa ataukah menghadap kiblat?'

Imam Malik menjawab: 'Mengapa kamu tidak menghadapkan wajahmu kepada beliau (SAW), sedangkan beliau adalah wasilahmu dan wasilah ayahmu, Nabi Adam 'alaihis salam, menuju kepada Allah Azza wa Jalla pada Hari Kiamat? Bahkan, menghadapilah beliau dan berinterseksilah dengannya, maka beliau akan menjadi syafaatmu.'"

Kisah ini telah dikutip oleh Abu al-Hasan Ali bin Fuhrah dalam kitabnya "Fadha'il Malik," dan juga oleh Al-Qadi 'Iyad dalam kitab "Asy-Syifa" 2/41, dengan sanad yang sahih dari beberapa guru Imam Malik yang terpercaya.

Al-Zarkashi juga menyebutkan kisah ini dalam "Al-Mawahib" 4/580.

Al-Qastallani dalam "Al-Mawahib" (8/304) menyatakan setelah menyebutkan penolakan terhadap kisah ini:

(وَهَذَا تَهُوْرٌ عَجِيْبٌ فَإِنَّ الْحِكَايَةَ رَوَاهَا أَبُو الْحَسَنِ عَلِيُّ بْنُ فَهْرٍ فِيْ كِتَابِهِ فَضَائِلِ مَالِكٍ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ، وَأَخْرَجَهَا الْقَاضِي عِيَاضٍ فِي الشِّفَاءِ مِنْ طَرِيْقِهِ عَنْ عَدَّهُ مِنْ ثِقَاتِ مَشَائِخِهِ، فَمِنْ أَيْنَ أَنَّهَا كَذِبٌ؟ وَلَيْسَ فِيْ سَنَادِهَا وَضَاعٌ وَلَا كَذَّابٌ)

"Ini adalah tuduhan yang aneh. Karena kisah ini disampaikan oleh Abu al-Hasan Ali bin Fuhrah dalam kitabnya 'Fada'il Malik' dengan sanad yang hasan, dan juga dikeluarkan oleh Al-Qadi 'Iyad dalam kitab "Asy-Syifa" dengan sanad yang sahih dari beberapa guru terpercaya. Dari mana asal klaim bahwa ini adalah dusta? Sanadnya tidak hilang atau palsu."

As-Samhudi juga merujuk kisah ini dalam "Wafa' al-Wafa'," jilid 2: 422, dari riwayat Al-Qadi 'Iyad.

Ibn Hajar dalam "Al-Jawahir al-Mudhahhabah" juga merujuk kisah ini dengan sanad yang sahih (1/248, 252).

Demikian pula dalam "Al-Fawakih al-Dawani" (2/466), penjelasan tentang risalah Al-Qayrawani (2/478), dan "Al-Qawanin al-Fiqhiyyah" (148).

Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil dari Imam Ahmad bahwa bertawassul dengan Nabi ﷺ itu disyariatkan. Syeikhul Islam berkata:

وَقَدْ ذَكَرَ الْمَرُوذِيُّ فِي مَنسكِهِ عَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ أَنَّ الدَّاعِيَ الْمُسْلِمُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَسَّلُ بِهِ فِي دُعَائِهِ، فَهَذَا النَّقْلُ يَجْعَلُ مُعَارِضًا لِمَا نُقِلَ عَنْ أَبِي حَنِيفَةَ وَغَيْرِهِ. أَهـ.

"Al-Marwazi telah menyebutkan dalam kitab Manasik-nya dari Imam Ahmad bin Hanbal bahwa seseorang yang berdoa ketika mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ di perbolehkan bertawassul dengannya dalam doanya. Kutipan ini bertentangan dengan apa yang dikutip dari Abu Hanifah dan lainnya".

Dan tentang Imam Ahmad bin Hanbal dan tawassulnya dengan Nabi Muhammad ﷺ, dia telah berkata dalam Mansaknya yang diriwayatkan darinya oleh al-Marwadzi, yang nashnya sbb:

"وَسِلْ اللَّهَ حَاجَتَكَ مُتَوَسِّلًا إِلَيْهِ بِنَبِيِّهِ (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) تُقْضَى مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ".

"Mintalah kepada Allah keperluanmu dengan bertwassul kepada-Nya melalui Nabi-Nya ﷺ, maka akan dikabulkan oleh Allah Azza wa Jalla."

[Ini disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam ar-Radd 'alaa al-Akhna'i (hal. 168), dan maknanya disebutkan oleh Burhanud-Din ibnu Muflih dalam al-Mubdi' (2/204), serta yang mirip denganya dalam al-Iqna' karya al-Hijaawi (1/208), serta dalam kitab al-Furu' oleh Syamsud-Din ibn Muflih (wafat tahun 763 H) (2/159), dan lain-lain.]

Syeikh al-Albaani berkata dalam Silsilatul Hudaa wan Nuur no. 189:

 فَكُونَ الإمَامُ أَحْمَدُ رَحِمَهُ اللَّهُ أَجَازَ التَّوَسُّلَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ، أَذْكُرُ أَنَّنِي قَرَأْتُ ذَلِكَ قَدِيْمًا فِي رِسَالَةٍ: "التَّوَسُّلُ وَالْوَسِيْلَةُ" لِشَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ، فَهُوَ يَنْقَلُ ذَلِكَ كَقَوْلٍ عَنِ الإِمَامِ أَحْمَدَ، وَمُسْتَنَدَّهُ فِي ذَلِكَ حَدِيْثَ الأَعْمَى. وَكَمَا قُلْتُ آنَفًا: مَا دَامَ أَنَّ ابْنَ تَيْمِيَّةَ يَنْقَلُ ذَلِكَ وَهُوَ مَوْضُوْعٌ لِلثِّقَةِ، وَالاعْتِمَادِ عَلَيْهِ فِيمَا يَنْقَلُ.

Adapun adanya Imam Ahmad -semoga Allah merahmatinya- memperbolehkan tawassul dengan Nabi (SAW) ; Saya ingat bahwa saya pernah membaca itu dalam sebuah risalah: "at-Tawassul wa al-Wasiilah" karya Sheikh al-Islam Ibnu Taimiyah. Dia mengutip hal tersebut sebagai ucapan dari Imam Ahmad, dan ia merujuk pada hadis al-A'ma [orang buta]. Seperti yang saya katakan sebelumnya, selama Ibnu Taimiyah yang mengutip hal itu, maka itu memiliki kepercayaan, maka boleh berpegang padanya dalam apa yang dia sampaikan".

Syeikh al-Albaani dalam kitabnya at-Tawassul hal. 75 berkata:

عَلَى أَنَّنِيْ أَقُوْلُ: لَوْ صَحَّ أَنَّ الْأَعْمَى إِنَّمَا تَوَسَّلَ بِذَاتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَيَكُوْنُ حُكْمًا خَاصًّا بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَا يُشَارِكُهُ فِيْهِ غَيْرُهُ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ، وَإِلْحَاقُهُمْ بِهِ مِمَّا لَا يَقْبَلُهُ النَّظَرُ الصَّحِيْحُ، لِأَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَيِّدُهُمْ وَأَفْضَلُهُمْ جَمِيْعًا، فَيَمْكُنُ أَنْ يَكُوْنَ هَذَا مِمَّا خَصَّهُ اللهُ بِهِ عَلَيْهِمْ كَكَثِيْرٍ مِمَّا صَحَّ بِهِ الْخَبَرِ، وَبَابُ الْخُصُوْصِيَّاتِ لَا تَدْخُلُ فِيْهِ الْقِيَاسَاتُ، فَمَنْ رَأَى أَنَّ تَوَسُّلَ الْأَعْمَى كَانَ بِذَاتِهِ لِلَّهِ، فَعَلَيْهِ أَنْ يَقِفَ عِنْدَهُ، وَلَا يَزِيْدُ عَلَيْهِ كَمَا نُقِلَ عَنْ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَالشَّيْخِ الْعَزِّ بْنِ عَبْدِ السَّلَامِ رَحِمَهُمَا اللهُ تَعَالَى. هَذَا هُوَ الَّذِيْ يَقْتَضِيْهِ الْبَحْثُ الْعِلْمِيُّ مَعَ الْإِنصَافِ، وَاللهُ الْمُوَفِّقُ لِلصَّوَابِ " .

Pendapat saya adalah:

Kalau benar bahwa orang buta tersebut telah bertawassul dengan dzatnya Nabi (SAW) maka menjadi hukum yang khusus bagi beliau (SAW), tidak bisa untuk para Nabi maupun orang-orang sholeh lainnya. Mengikut sertakan mereka dengan beliau adalah yang tidak bisa diterima oleh akal yang sehat; karena Nabi (SAW) adalah sayyid (penghulu) mereka dan yang paling utama di antara mereka, maka kemungkinan hal ini termasuk yang dikhususkan Allah kepada beliau seperti halnya banyak hadits yang menyebutkan hal itu, bab kekhususan ini tidak berlaku qiyas (hukum analogi).

Maka barang siapa yang berpendapat bahwa tawassulnya orang buta tersebut dengan dzatnya Rasulullah kepada Allah, maka dia harus melakukan hal itu hanya kepada beliau, dan tidak menambahkan dengan orang lain, sebagaimana yang telah dinukil oleh Imam Ahmad dan Syeikh ‘Izz ibnu Abdis Salam –rahimahumallah-. Inilah yang perlu dikaji secara ilmiyah secara proporsinal, dan Allah-lah Maha Pemberi Petunjuk kepada kebenaran”. (At Tawassul: 75 dan seterusnya)

DALIL TAWASSUL DENGAN NABI (SAW) :

Mereka yang hanya membolehkan Tawasssul dengan Nabi (SAW) berdalil dengan Hadits yang menyatakan bahwa Nabi (SAW) bersabda:

« تَوَسَّلُوا بِجَاهِي فإنَّ جَاهِيْ عِنْدَ الله عَظِيْمٌ » ، وبعضهم يرويه بلفظ: “إذَا سَأَلْتُمْ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ بِجَاهِي, فَإِنَّ جَاهِي عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ »

“Bertawassullah kalian dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.”

Sebagian yang lain meriwayatkannya dengan lafadz: “Apabila kalian meminta kepada Allah, maka mintalah kepada-Nya dengan kedudukanku, sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat besar.”

BANTAHAN:

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata: “Hadits ini dusta dan tidak terdapat dalam kitab-kitab kaum muslimin yang dijadikan pegangan oleh ahlul hadits, dan tidak satu pun ulama menyebutkan hadits tersebut, padahal kedudukan beliau di sisi Allah ta’ala lebih besar dari kemuliaan seluruh nabi dan rasul.” (Qo’idah Jalilah fit Tawassul wal Wasilah hal 168. Dan lihat Iqtidlo’ Shiratil Mustaqim (2/783)).

Al Muhaddits Syekh Muhammad Nashiruddin Al-Albani berkata: “Hadits ini batil, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits. Hadits ini hanya diriwayatkan oleh sebagian orang yang bodoh terhadap As Sunnah.” (At Tawassul Anwa’uhu wa Ahkamuhu hal 127).

Dan Syekh Al-Albani Berkata dalam Silsilah al-Ahaadits adh-Dha'ifah – Hadits Nomor (22):

"تَوَسَّلُوا بِجَاهِي، فَإِنَّ جَاهِي عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ" (لَا أَصْلَ لَهُ):

"Bertawassul-lah dengan جَاه [pangkat dan kedudukanku disisi Allah], karena sesungguhnya kedudukanku di sisi Allah sangat agung" (Tidak ada sumber asal untuk hadits ini):

Lalu Syeikh al-Albaani berkata:

مِمَّا لَا شَكَّ فِيهِ أَنَّ جَاهَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَقَامَهُ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمٌ، فَقَدْ وَصَفَ اللَّهُ تَعَالَى مُوسَى بِقَوْلِهِ: "وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا" [الْأَحْزَابِ: 69]، وَمِنَ الْمَعْلُومِ أَنَّ نَبِيَّنَا مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفْضَلُ مِنْ مُوسَى، فَهُوَ بِلَا شَكٍّ أَوْجَهُ مِنْهُ عِنْدَ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى، وَلَكِنَّ هَذَا شَيْءٌ، وَالتَّوَسُّلُ بِجَاهِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْءٌ آخَرُ، فَلَا يَلِيقُ الْخَلْطُ بَيْنَهُمَا كَمَا يَفْعَلُ بَعْضُهُمْ، إِذْ إِنَّ التَّوَسُّلَ بِجَاهِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْصُدُ بِهِ مَنْ يَفْعَلُهُ أَنَّهُ أَرْجَى لِقَبُولِ دُعَائِهِ، وَهَذَا أَمْرٌ لَا يُمْكِنُ مَعْرِفَتُهُ بِالْعَقْلِ، إِذْ إِنَّهُ مِنَ الْأُمُورِ الْغَيْبِيَّةِ الَّتِي لَا مَجَالَ لِلْعَقْلِ فِي إِدْرَاكِهَا، فَلَا بُدَّ فِيهِ مِنَ النَّقْلِ الصَّحِيحِ الَّذِي تَقُومُ بِهِ الْحُجَّةُ، وَهَذَا مِمَّا لَا سَبِيلَ إِلَيْهِ الْبَتَّةُ، فَإِنَّ الْأَحَادِيثَ الْوَارِدَةَ فِي التَّوَسُّلِ بِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ: صَحِيحٍ، وَضْعِيفٍ.

Tidak diragukan bahwa kedudukan [جَاه] dan derajat Nabi kita Muhammad (SAW) di sisi Allah sangat agung. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mendeskripsikan Musa dengan firman-Nya:

"وَكَانَ عِنْدَ اللَّهِ وَجِيهًا"

"Dan dia memiliki kedudukan yang mulia [جَاه] di sisi Allah" [Al-Ahzab: 69].

Dan diketahui bahwa Nabi kita Muhammad (SAW) lebih utama dan lebih afdhol dari Musa. Sungguh, beliau tanpa keraguan memiliki kedudukan yang lebih mulia di sisi Allah Azza wa Jalla. Namun, ini adalah hal yang berbeda. Masalah tawassul melalui Jaah Nabi (SAW) adalah hal lain. Tidak layak untuk mencampuradukkan keduanya sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang-orang. Karena masalah bertwassul dengan Jaah Nabi (SAW) dimaksudkan bagi orang yang melakukannya agar doanya lebih mudah diterima. Hal ini adalah suatu perkara yang tidak mungkin diketahui dengan akal, karena ia termasuk perkara-perkara gaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Oleh karena itu, diperlukan dalil yang shahih yang menjadi landasan, dan ini adalah sesuatu yang tidak bisa diakses sama sekali. Hadits-hadits yang berbicara tentang tawassul dengan Nabi (SAW) dapat dibagi menjadi dua jenis: yang sahih dan yang lemah...... ".[Selesai].

Cara yang benar untuk mengagungkan dan menghormati Jaah (kedudukan) Rosulullah SAW adalah dengan cara mengikuti dan mengamalkan syariat yang di bawanya, sesuai dengan yang beliau sabdakan:

 ((مَا تَرَكْتُ شَيْئًا يُقَرِّبُكُمْ مِنَ اللهِ إلاَّ أَمَرْتُكُمْ بِهِ))

" Tidak ada sesuatu (amalan) yang tersisa yang bisa mendekatkan diri kalian kepada Allah kecuali aku telah menyampaikannya pada kalian ". (HR. Imam Syafii dlm Muqoddimah kitab As-Sunan secara Mursal dan Tabroni secara maushuul. dan di Shahihkan oleh Al-Albaany). Lihat Bulughul Amaani firrad 'ala Miftahit tijani 1/28.

PENDAPAT KETIGA: MEMBOLEHKAN TAWASSUL DENGAN NABI (SAW) DAN LAINNYA SETELAH WAFAT.

Dalam Fatwa Islam.web no. 11669 disebutkan:

" ذَهَبَ أَكْثَرُ الْفُقَهَاءِ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ، وَالشَّافِعِيَّةِ، وَالْحَنَابِلَةِ إِلَى جَوَازِهِ، وَاحْتَجُّوا بِأَحَادِيثَ لَا يَصْلَحُ شَيْءٌ مِنْهَا لِلِاحْتِجَاجِ".

" Kebanyakan fuqaha dari mazhab Maliki, Syafi'i, dan Hanbali berpendapat bahwa itu diperbolehkan, dan mereka menggunakan hadis-hadis yang sebagian besar tidak layak untuk dijadikan dasar argumen".

Imam al-Mardawi (wafat tahun 885 H) - semoga Allah merahmatinya - mengatakan dalam "al-Inshaf" (2/456):

" يَجُوز التوسُّل بالرَّجُل الصاَّلِح ، عَلى الصَّحِيح من المَذْهَب. وقيل يُسْتَحب قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مَنْسَكِهِ الَّذِي كَتَبَهُ لِلْمَرُّوذِيِّ: يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِهِ وَجَزَمَ بِهِ فِي الْمُسْتَوْعِبِ وَغَيْرِهِ

"Boleh melakukan tawassul dengan orang saleh, menurut pendapat yang sahih dalam mazhab. Dan dikatakan bahwa itu mustahab. Imam Ahmad dalam manasiknya yang ditulisnya untuk al-Marwazi mengatakan: Dia melakukan tawassul dengan Nabi (SAW) dalam doanya dan ia tegas mengenainya dalam al-Mustaw'ib dan lainnya."

Dalam kitab "منهاج الطالبين": disebutkan bahwa ber-tawassul dengan Nabi Muhammad ﷺ dan orang-orang shalih setelah kematian, diperbolehkan oleh ulama dari empat mazhab.

Syawkani dalam kitabnya "Ad-Durr An-Nadliid fi Ikhlash Kalimat at-Tawhid" hal. 6, mengatakan:

"... وَعِنْدِيَ أَنَّهُ لَا وَجْهَ لِتَخْصِيص جَوَاز التَّوسّل بِالنَّبِيِّ (صلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) كَمَا زَعَمَهُ الشَّيْخ عَزّ الدِّين بن عَبْد السَّلَام، لِأَمْرَيْنِ: الأَوَّلُ: مَا عرفْنَاك بِهِ مِنْ إجْمَاع الصَّحَابَة، وَالثَّانِي: أَنَّ التَّوْسُّلَ إلَى الله بِأَهْلِ الفَضْلِ وَالعِلْم هُوَ فِي التَّحْقِيق تَوْسُّلًا بِأَعْمَالهُم الصَّالِحَة وَمَزَايَاهُم الفَاضِلَة إذ لَا يَكُونُ الفَاضِل فَاضِلًا إلَّا بِأَعْمَالِهِ... ".

"... Bagi saya, tidak ada alasan untuk mengkhususkan bolehnya bertwassul itu hanya dengan Nabi (SAW) seperti yang dinyatakan oleh Syeikh Izzuddin bin Abdul Salam, karena dua hal:

Pertama: sebagaimana yang kami beri tahukan pada anda tentang Ijma' para sahabat mengenai hal itu [boleh dengan selain Nabi (SAW)].

Kedua: bahwa bertwassul kepada Allah dengan orang-orang memiliki keutamaan dan ilmu adalah dalam realitanya itu merupakan bertwassul dengan amal-amal saleh mereka dan keutamaan-keutamaan mereka. Karena seseorang yang memiliki keutamaan itu tidaklah menjadi utama kecuali karena amalan-amalan-nya..." (Lihat: "Tuhfatul-Ahwadzi" oleh Al-Mubārakfūrī, halaman 10/27).

Imam Asy-Syawkani, semoga Allah merahmatinya, berkata:

[إِنَّ التَّوْسُلَ بِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَكُونُ فِي حَيَاتِهِ وَبَعْدَ مَوْتِهِ، وَفِي حَضْرَتِهِ وَفِي مَغْيِبِهِ، وَلَا يَخْفَاكَ أَنَّهُ قَدْ ثَبَتَ التَّوْسُلُ بِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَيَاتِهِ، وَثَبَتَ التَّوْسُلُ بِغَيْرِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ بِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ إِجْمَاعًا سُكُوتِيًّا لِعَدَمِ إِنْكَارٍ أَحَدٍ مِنْهُمْ عَلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي التَّوْسُلِ بِالْعَبَّاسِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ….]

"[Sesungguhnya bertwassul dengan Nabi Muhammad ﷺ dapat dilakukan pada masa hidupnya dan setelah wafatnya, dalam kehadirannya maupun ketika beliau tidak hadir, dan janganlah engkau ragu bahwa telah ada ketetapan bolehnya bertawassul dengan Nabi Muhammad ﷺ pada masa hidupnya. Dan telah ada ketetapan pula bolehnya bertawassul selain beliau setelah wafatnya berdasarkan Ijma; [kesepakatan] para sahabat, yaitu Ijma' Sukuuti [kesepakatan diam] yang menunjukkan ketiadaan penolakan dari salah satu dari mereka, termasuk di dalamnya Umar (ra) dalam bertawassul dengan Abbas (ra)....". [Referensi: Ad-Durr An-Nadhiid, hal 6].

Di halaman 138, kitab "Tuhfatudz-Dzakirin", dalam (Bab Shalat Dloror dan Hajat), asy-Syawkani, mengatakan sebagai berikut:

(وَفِي الْحَدِيث دَلِيل عَلَى جَوَازِ التَّوَسُّل بِرَسُولِ اللَّه إِلَى اللَّه عَزَّ وَجَلَّ مَعَ إِعْتِقَادِ أَنَّ الْفَاعِل هُوَ اللَّه سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى) انتَهَى

"(Dalam hadis tersebut terdapat dalil tentang bolehnya bertawassul dengan Rasulullah kepada Allah Azza wa Jalla, dengan berkeyakinan bahwa Yang Melakukannya itu adalah Allah, subahanahu wa Ta'aalaa) [Selesai]".

ULAMA MADZHAB HANAFI:

Berikut adalah teks dengan harakat:

1] **Al-Imam Al-Ayni** dalam "Umdat al-Qaari Syarh Shahih al-Bukhari" (1/11) berkata:

((فَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِي الْمَقْصُودِ بِعَوْنِ الْمَلِكِ الْمَعْبُودِ وَنَسْأَلُهُ الْإِعَانَةَ عَلَى الْاِخْتِتَامِ مُتَوَسِّلِينَ بِالنَّبِيِّ خَيْرِ الْاَنَامِ وَاٰلِهٖ وَصَحْبِهِ الْكِرَامِ))

"Kami mulai dengan yang dimaksudkan oleh pertolongan al-Malik al-Ma'buud [Raja Yang Diibadahi], dan kami memohon pertolongan-Nya untuk menyelesaikan, dengan ber-tawassul melalui Nabi, sebaik-baik makhluk, dan keluarganya yang mulia."

2] **Al-Imam Kamalud-Din Ibn al-Humam** dalam "Fath al-Qadir" (2/332) dalam bab ziyarah Nabi (SAW):

((وَيَسْـَٔلُ اللَّهَ حَاجَتَهُ مُتَوَسِّلًا اِلَى اللَّهِ بِحَضْرَةِ نَبِيِّهٖ ثُمَّ قَالَ يَسْـَٔلُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الشَّفَاعَةَ فَيَقُوْلُ يَـا رَسُوْلَ اللّٰهِ اَسْـَٔلُكَ الشَّفَاعَةَ يَـا رَسُوْلَ اللّٰهِ اَتَوَسَّلُ بِكَ اِلَى اللَّهِ))

"Dia (orang yang berziarah) memohon kepada Allah dengan ber-tawassul kepada Allah dengan hadirnya Nabi-Nya. Kemudian dia berkata: 'Wahai Rasulullah, aku memohon syafaatmu. Aku ber-tawassul melalui engkau kepada Allah.'"

3] **Abu al-Abbas Ahmad al-Zubaydi** dalam "Al-Tajrid ash-Shorih li-Ahadits al-Jami' ash-Shahih" (halaman 9).

4] **Ali al-Qari al-Makki al-Hanafi ** dalam syarah "Asy-Syama'il":

“فَلَيْسَ لَنَا شَفِيْعٌ غَيْرُكَ نَاْمَلُهٗ، وَلَا رَجَاءٌ غَيْرُ بَابِكَ نَصِيْبُهٗ، فَاسْتَغْفِرْ لَنَا وَاشْفَعْ لَنَا اِلَى رَبِّكَ يَا شَفِيْعَ الْمُذْنِبِيْنَ، وَاسْـَٔلْهٗ اَنْ يَجْعَلَنَا مِنْ عِبَادِهٖ الصَّالِحِيْنَ”

"Kami tidak memiliki seorang syafa'at (pemberi syafaat) selain dari-Mu yang kami harapkan, dan tidak ada harapan selain dari pintu-Mu yang kami datangi. Oleh karena itu, mohonkanlah ampunan untuk kami dan ber-tawassul-lah bagi kami kepada Tuhanmu, wahai pemberi syafa'at bagi para pendosa. Dan mohonkanlah kepada-Nya agar kami termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih."

5] **Nur al-Din Mulla 'Ali al-Qari** dalam syarah "Al-Misykah" (h. 17):

قَالَ شَيْخُ مَشَايِخِنَاْ عَلَامَةِ الْعُلَمَاْءِ الْمُتَبَحَّرِيْنَ شَمْسُ الدِّيْنِ بْنُ الْجَزَرِيِّ فِي مُقَدَّمَةِ شَرْحِهٖ لِلْمَصَابِيْحِ: "اِنِّيْ زُرْتُ قَبْرَهٗ بِنِيْسَابُوْرٍ (يَعْنِيْ مُسْلِمً بْنَ الْحَجَّاجِ الْقُشَيْرِيِّ) وَقَرَاْتُ بَعْضَ صَحِيْحٍ عَلٰى سَبِيْلِ التَّيْمُنِ وَالتَّبَرُّكِ عِنْدَ قَبْرِهٖ وَرَاَيْتُ اٰثَارَ الْبَرَكَةِ وَرَجَاءَ الْاِجَابَةِ فِيْ تُرْبَتِهٖ.أ.هـ

"Syeikh para syeikh kami, 'Allamatul 'Ulama al-Mutabahhirin Syamsud-Din ibnu al-Jazari berkata dalam Muqoddimah syarah'Al-Mashoobih': 'Aku pernah mengunjungi makam Muslim ibn al-Hajjaj al-Qushayri di Nisabur dan membaca beberapa hadis shahih di dekatnya sebagai bentuk tabarruk (mencari berkah), dan aku melihat jejak berkah dan harapan akan jawaban (doa) dalam tanahnya'".

6] **Al-Jabruttiy al-Hanafi** dalam "Ajaa'ib al-Atsaar" (1/344) berkata:

“وَيَتَوَسَّلُ اِلَيْهِ فِي ذٰلِكَ بِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”

"Dan ber-tawassul-lah kepada-Nya di dalamnya melalui Muhammad (SAW)."

7] **Ibnu 'Abidin** berdoa dalam Muqodiimah " Hasyiyah Radd al-Muhtar" (4/294):

"وَاِنِّيْ اَسْـَٔلُهٗ تَعَالٰى مُتَوَسِّلًا اِلَيْهِ بِنَبِيِّهٖ الْمُكْرَمِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ". وَيَقُوْلُ: دَامَ فِيْ عِزٍّ وَّاِنْعَامٍ، وَّمَجْدٍ وَّاِحْتِرَامٍ، بِجَاهِ مَنْ هُوَ لِلْاَنْبِيَآءِ خَتَامٍ، وَّاٰلِهٖ وَّصَحْبِهِ السّٰدَةِ الْكِرَامِ، عَلَيْهِ وَعَلَيْهِمُ الصَّلٰوةُ وَالسَّلَامُ، فِيْ الْبِدَايَةِ وَالْخِتَامِ.

"Saya memohon kepada-Nya Ta'ala dengan bertawasssul dengan Nabi-Nya yang mulia, sallallaahu 'alaihi wa sallam." Dan dia berkata: "Semoga tetap dalam kemuliaan, karunia, keagungan, dan penghormatan, dengan جَاه [pangkat, kedudukan dan kehormatan] seseorang yang merupakan penutup para nabi, beserta keluarganya dan sahabat-sahabatnya yang mulia. Semoga shalawat dan salam tercurahkan atas mereka, pada awal dan akhirnya."

8] **'al-'Allaamah al-Faqiih Abd al-Ghani al-Ghunaymi** (W. 1298 H) dalam "Syarh al-'Aqidah ath-Thahawiyyah " berkata dalam doanya:

“وَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ فَاِنَّهٗ اَقْرَبُ مَنْ يُتَوَسَّلُ بِهٖ اِلَيْكَ”.

"Shalawat dan Salam atas Nabi kita Muhammad, karena beliau adalah orang yang paling dekat yang bisa di-tawassuli dengannya kepada Allah."

9] Dalam kitab **"Al-Fatawa al-Hindiyyah"** (1/266) yang telah ditulis oleh sekelompok ulama India di bawah bimbingan Syaikh Nazamuddin Al-Balkhi atas perintah Sultan India, Abu Al-Mudzaffar Muhyiddin Muhammad Auranq Zeb, dalam kitab Al-Manasik * *:

((بَاب: خَاتَمَةٍ فِيْ زِيَارَةِ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، بَعْدَ اَنْ ذَكَرَ كَيْفِيَّةَ وَاَدَابِ زِيَارَةِ قَبْرِ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ذَكَرَ الْاَدْعِيَةَ الَّتِيْ يَقُوْلُهَا الزَّائِرُ فَقَالَ: “ثُمَّ يَقُوْمُ (اَيَّ الزَّائِرُ) عِنْدَ رَاْسِهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَالْاَوَّلِ وَيَقُوْلُ: اللّٰهُمَّ اِنَّكَ قَلْتَ وَقَوْلُكَ الْحَقُّ: “وَلَوْ اَنَّهُمْ اِذْ ظَّلَمُوْا اَنْفُسَهُمْ جَآءُوْكَ.. ” الْاٰيَةُ، وَقَدْ جِئْنَاكَ سَامِعِيْنَ قَوْلَكَ طَائِعِيْنَ اَمْرَكَ، مُسْتَشْفِعِيْنَ بِنَبِيِّكَ اِلَيْكَ ”)).

((Bab: Penutupan tentang ziarah makam Nabi (SAW) setelah disebutkan tentang cara dan adab ziarah makam Rasulullah (SAW), disebutkan doa-doa yang diucapkan oleh orang yang berziarah, maka dia berkata:

"Kemudian dia berdiri (yaitu orang yang berziarah) di dekat kepala Nabi (SAW) seperti pada awalnya, dan dia berkata: 'Ya Allah, sesungguhnya Engkau berfirman dan firman-Mu adalah yang benar: "Jika mereka yang berbuat dzalim terhadap diri mereka datang kepadamu..." (ayat). Dan kami telah datang kepada-Mu sebagai pendengar firman-Mu yang patuh pada perintah-Mu, dan kami memohon syafaat dengan Nabi-Mu kepada-Mu'".))"

Itulah beberapa kutipan dari ulama mazhab Hanafi tentang tawassul melalui Nabi dan orang-orang shalih setelah kematian.

MADZHAB MALIKI:

Berikut ini teks-teks dari para imam Mazhab Maliki dan tawassul mereka:

1] Al-Qadi 'Iyad dalam kitabnya yang terkenal "Asy-Syifa" di beberapa bagian.

2] 'Abd al-Haqq Al-Ishbili dalam kitabnya "Al-'Aqibah" di halaman 219 mengatakan:

" وَيَسْتَحِبُّ لَكَ رَحْمَكَ اللَّهُ أَنْ تَقْصُدَ بِمَيْتِكَ قُبُورَ الصَّالِحِيْنَ وَمَدَافِنَ أَهْلِ الْخَيْرِ فَتُدْفَنُهُ مَعَهُمْ وَتَنْزِلُهُ بِإِزَائِهِمْ وَتُسْكِنُهُ فِي جَوَارِهِمْ تَبَرُّكًا بِهِمْ وَتَوَسُّلًا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِقُرْبِهِمْ ".

" Dan disunnahkan bagimu, semoga Allah merahmatimu, untuk mengarahkan mayat yang kamu bawa pada kuburan orang-orang saleh dan pemakaman orang-orang baik, kemudian kuburkanlah dia bersama mereka, letakkanlah dia di samping mereka, dan biarkanlah dia tinggal bersama mereka, agar berkah dengan mereka dan tawassul kepada Allah Yang Maha Tinggi dengan kedekatannya dengan mereka".

3] Abu 'Abdullah Al-Quda'i Al-Maliki yang dikenal dengan sebutan Ibnu al-Abbaar:

"تَوَسَّلُوَا بِهِ إِلَى اللَّهِ"

"Bertawassullah kelian dengannya kepada Allah" lanjutan dari kitab Ash-Shilah (2/281).

4] Al-Qarafi Al-Maliki: Menyebutkan cerita yang terkenal tentang Al-'Utaybi dan mengukuhkannya dalam kitab "Adz-Dzakhirah" (3/375-376).

5] Al-Maqari Al-Tilimsani Al-Maliki:

"اللَّهُمَّ يَسِّرْ لِيْ مَا فِيْهِ الْخَيْرَةُ لِيْ بِالْمَشَارِقِ أَوْ بِالْمَغَارِبِ وَجَدْ لِيْ مِنْ فَضْلِكَ حَيْثُ حَلَّلْتَ بِجَمِيْعِ مَا فِيْهِ رِضَاكَ مِنَ الْمَآرِبِ بِجَاهِ نَبِيِّنَا وَشَفِيْعِنَا الْمَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْأَحْمَرِ وَالْأَسْوَدِ وَالْأَعَاجَمِ وَالْأَعْرَابِ عَلَيْهِ أَفْضَلُ صَلَاةٍ وَّأَزْكَى سَلَامٍ وَّعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الْأَعْلَامِ"

"Ya Allah, mudahkanlah bagiku segala yang mendatangkan kebaikan bagiku di timur atau di barat. Dan anugerahkanlah padaku dari karunia-Mu di mana pun aku berada, dengan segala hal yang diridhai oleh-Mu dalam urusan-urusan, dengan جَاه [pangkat, kedudukan dan kehormatan] Nabi kami dan pensyafaat kami yang diutus, sumber rahmat untuk manusia berkulit merah, hitam, Arab, dan non-Arab, semoga shalawat terbaik dan salam teristimewa tercurahkan atasnya, beserta keluarganya dan para sahabatnya yang terhormat." (Nafhu ath-Thayyib min Ghusn al-Andalus ar-Rothiib, 1/32).

6] Mayyarah Al-Maliki berkata:

"نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِجَاهِ أَحَبِّ الْخَلْقِ"

"Kami tawassul kepada-Mu dengan جَاه [pangkat, kedudukan dan kehormatan] orang yang paling kami cintai dari makhluk-Mu," [Dalam kitab "Ad-Dur ats-Tsamiin" dan "Al-Mawrid al-Mu'ayyin" (2/302)].

7] Al-Khuroshi dalam Syarah "Mukhtasar Khalil," halaman 243:

" نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِجَاهِ الْحَبِيْبِ أَنْ تُبَلِّغَ الْمَقَاصِدَ عَنْ قَرِيْبٍ فَإِنَّكَ قَرِيْبٌ مُجِيْبٌ".

"Kami tawassul kepada-Mu dengan جَاه [pangkat, kedudukan dan kehormatan] orang yang kami cintai, agar Engkau mendekatkan tujuan kami dengan segera, karena sesungguhnya Engkau dekat dan Engkau Maha Mengabulkan."

8] Imam Al-Zarqani dalam penjelasan "Al-Mawahib":

"وَنَحْوُ هَذَا فِي مَنْسَكِ الْعَلَّامَةِ خَلِيْلٍ، وَزَادَ: وَلِيَتَوَسَّلْ بِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَيَسْأَلُ اللَّهَ تَعَالَى بِجَاهِهِ فِي التَّوَسُّلِ بِهِ، اِذْ هُوَ مَحْطُ جِبَالِ الْأَوْزَارِ وَاثِقَالِ الذُّنُوْبِ، لِأَنَّ بَرَكَةَ شَفَاعَتِهِ وَعَظَمَهَا عِنْدَ رَبِّهِ لَا يَتَعَاظَمُهَا ذَنْبٌ، وَمَنْ اعْتَقَدَ خِلَافَ ذَلِكَ فَهُوَ الْمَحْرُوْمُ الَّذِي طَمَسَ اللَّهُ بَصِيْرَتَهُ، أَضْلَ سِرِّيْرَتَهُ، أَلَمْ يَسْمَعْ قَوْلَهُ تَعَالَى: ('وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوْا أَنْفُسَهُمْ جَاؤُوْكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ') الْآيَةُ".

"Dan yang semacam ini ada dalam "Mansak al-'Allaamah Khalil", dan ditambahkan: Dan mari bertawassul kepada-Nya dengannya (Nabi SAW), dan memohon kepada Allah Ta'ala dengan جَاه [pangkat, kedudukan dan kehormatan] beliau dalam tawassul tersebut, karena beliau adalah sumber penghapusan beban dosa dan penebus dosa-dosa besar. Karena berkah syafa'at beliau dan keagungan syafa'atnya di hadapan Tuhan-Nya, dosa tidak akan menghalangi beliau. Dan siapa yang berpegang pada pandangan yang berbeda dari itu, maka dia adalah orang yang diharamkan [mendapat syafaatnya], di mana Allah telah mengaburkan pandangannya, membingungkan jalannya. Bukankah dia telah mendengar firman Allah Ta'ala: '(Dan kalau mereka datang kepada-Mu ketika mereka mendzalimi diri mereka sendiri, lalu mereka memohon ampun kepada Allah.....)' (Q.S. An-Nisa' [4]: 64)." (Syarah Al-Mawahib 8/317).

Terdapat banyak ulama Mazhab Maliki lainnya yang juga membolehkan tawassul kepada Nabi (SAW) setelah wafatnya, tetapi kita akan membatasi pada ini agar tidak terlalu panjang."

MADZHAB SYAFI'I:

KE:1] al-Imam asy-Syaafi'i:

Al-Faqih Ibnu Hajar al-Haytami (wafat thn 974 H) menyebutkan:

" لَمَّا بَلَغَ الشَّافِعِيُّ أَنَّ أَهْلَ الْمَغْرِبِ يَتَوَسَّلُونَ بِمَالِكٍ لَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِمْ ".

" Bahwa ketika Imam Syafi'i mengetahui bahwa penduduk Maghrib (Maroko) bertwassul kepada Allah dengan wasilah Malik, maka beliau tidak menentang mereka". [Baca: Al-Khairaat al-Hisaan fi Manaqib Abi Hanifah an-Nu'man: hal. 94].

Note: Penulis belum menemukan sanad riwayat ini. Dan penulis belum menemukan selain al-Haitami yang meriwayatkannya dari Imam Syafi'i.

Al-Khathiib al-Baghdaadi berkata: Telah mengkabari kami Al-Qadli Abu Abdillah Al-Husain bin Ali bin Muhammad Ash-Shaimari, dia berkata: telah memberi berita kepada kami Umar bin Ibrahim Al-Muqri’, dia berkata: telah memberi berita kepada kami Makrom bin Ahmad, dia berkata: telah memberi berita kepada kami Umar bin Ishaq bin Ibrahim, dia berkata: telah memberi berita kepada kami Ali bin Maimun berkata:

إِنِّي لِأَتَبَرَّكُ بِأَبِي حَنِيفَةَ وَأَجِيءُ إِلَى قَبْرِهِ فِي كُلِّ يَوْمٍ ـ زَائِرًا ـ فَإِذَا عُرِضَتْ لِيَ حَاجَةٌ صَلَّيْتُ رَكْعَتَيْنِ وَجِئْتُ إِلَى قَبْرِهِ وَسَأَلْتُ اللَّهَ تَعَالَى الْحَاجَةَ عِنْدَهُ فَمَا تَبْعُدُ حَتَّى تَقْضَى

" Saya pernah mendengar Asy-Syafii berkata: Sungguh aku benar-benar telah mengambil berkah (tabarruk) dengan Abu Hanifah. Aku telah datang ke kuburannya setiap hari, yakni sebagai peziarah. Jika aku memiliki keinginan (hajat) aku shalat dua rakaat lalu mendatangi kuburannya dan memohon kepada Allah di situ. Tak lama kemudian biasanya hajatku dipenuhi." (تاريخ بغداد 1/123)

Ini diriwayatkan disebutkan pula oleh Al-Alamah Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya al-Khayrat al-Hisan, hal. 69. Al-Khawarizmi dalam Manaqib Abu Hanifah 2/199. Al-Kardari dalam Manaqib Abu Hanifah, 2/112. Tosy Kubra Zadah dalam Miftah al-Sa'adah, 2/82.

PERHATIAN: Riwayat Tabarruknya Imam Syafi'i dengan kuburan Abu Hanifah adalah lemah [dha'if] dan batil [palsu].

Salah satu hal yang menunjukkan kebatilan kisah ini: adalah tidak mungkin ketemunya Ali bin Maimun Ar-Raqqii yang wafat pada tahun 246 H dengan Umar bin Ibrahim Al-Kattaani Al-Muqri’ yang lahir pada tahun 300 H.

Kebatilan ini dikutip dari kisah yang diambil oleh Umar bin Ibrahim Al-Kattani dari kitab «Manaqib Abu Hanifah» milik gurunya yaitu Mukarrom bin Ahmad. Sedangkan Mukarram sendiri, mendapat ijazah kitab tersebut dari Ahmad bin Al-Mughallis, seorang pendusta. (التنكيل بما في الكوثري من الأباطيل:1/63).

KE: 2] Al-Mawardi (364 H - 450 H) mengisahkan kisah tentang Al-Utbi dan mengakui kisah itu, seperti yang dikonfirmasi oleh Abu al-Tayyib dalam (al-Majmu' Syarah al-Muhadaab (8/256).

KE:3] Imam Ahmad bin al-Husain al-Bayhaqi al-Syafi'i (384 H). Ibnu al-Jawzi meriwayatkan dari al-Hafidz al-Baihaqi dalam kitab al-Muntadzam (11/211) tentang keutamaan Ahmad bin Harb:

” اسْتِجَابَةُ الدُّعَاءِ إذَا تَوَسَّلَ الدَّاعِي بِقَبْرِهِ ”

"Doa yang Dikabulkan ketika Seseorang Mendekatkan Diri Melalui Makamnya."

KE:4] Al-Hafizh Ibn 'Asakir al-Syafi'i (wafat 571 H) menulis dalam kitabnya al-Arba'in:

” يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي ”.

"Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadapkan diriku dengan dirimu kepada Tuhanku."

KE: 5] Al-Imam al-Nawawi dalam al-Majmu' (8/274) dalam bab tentang ziarah makam Nabi (saw) menyebutkan:

” ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى مَوْقِفِهِ الْأَوَّلِ قُبَالَةً وَجْهِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَتَوَسَّلُ بِهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ وَيَسْتَشْفِعُ بِهِ إِلَى رَبِّهِ “.

"Kemudian kembali ke posisinya semula menghadap wajah Rasulullah saw., berdoa dengan bertawassul dengannya untuk kepentingan dirinya sendiri, dan memohon syafaatnya kepada Tuhannya."

KE: 6] Ibnu Khalkan al-Syafi'i (wafat 681 H) menyebutkan:

“بِمُحَمَّدٍ النَّبِيِّ وَصَحَبِهِ وَذُويهِ ”

"Dengan wasilah Muhammad, Nabi, para sahabatnya, dan keluarganya" [Dalam kitab Wafayaat al-A'yaan (6/13)].

KE:7] Al-Muhibb ath-Thabari asy-Syafi'i berkata:

“بِمُحَمَّدٍ وَآلِهِ وَصَحَبِهِ”

"Dengan wasilah Muhammad dan keluarganya" [dalam kitab Dzakhair al-'Uqba fi Manaqib Dzu al-Qurba (jilid 1, halaman 261)].

KE: 8] Al-Imam as-Subki dalam kitabnya Syifa' as-Saqoom menyatakan:

” اِعْلَمْ أَنَّهُ يَجُوزُ وَيَحْسُنُ التَّوَسُّلُ وَالْاسْتِعَانَةُ وَالتَّشَفُّعُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى وَجَوَازُ ذَلِكَ وَحُسْنُهُ مِنْ الْأُمُورِ الْمَعْلُومَةِ لِكُلِّ ذِي دِينِ الْمَعْرُوفَةِ مِنْ فِعْلِ الْأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِينَ وَسِيرَ السَّلَفِ الصَّالِحِينَ وَالْعُلَمَاءِ وَالْعَوَامِّ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَلَمْ يَنْكُرْ أَحَدٌ ذَلِكَ مِنْ أَهْلِ الْأَدْيَانِ وَلَا سَمِعَ بِهِ فِي زَمَنٍ مِنَ الْأَزْمَانِ حَتَّى جَاءَ ابْنُ تَيْمِيَّةٍ فَتَكَلَّمَ فِي ذَلِكَ بِكَلَامٍ يُلْبِسُ فِيهِ عَلَى الضُّعَفَاءِ الْأَغْمَارَ وَابْتَدَعَ مَا لَمْ يُسَبَّقْ إِلَيْهِ فِي سَائِرِ الْأَعْصَارِ … ” اهـ.

"Ketahuilah bahwa bertawassul, memohon pertolongan dan meminta syafaat kepada Allah dengan [menyebut] Nabi-Nya adalah hal yang diperbolehkan dan yang bagus.

"Dan itu adalah sesuatu yang diijinkan dan merupakan kebaikan dalam perkara-perkara yang diketahui oleh setiap individu yang memiliki keyakinan yang baik dari amalan para nabi, rasul, serta perjalanan para salaf shalih, para ulama, dan kaum awam di kalangan umat Islam. Tidak ada seorang pun dari kalangan penganut agama-agama yang menolak hal ini, dan tidak ada kabar tentang hal ini dalam sejarah, hingga datang Ibnu Taymiyyah yang berbicara tentang hal ini dengan perkataan yang membingungkan kaum lemah dan mengemukakan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah ada dalam sejarah...."

KE: 9] al-'Aalim, Al-'Allamah al-Fayuumi asy-Syafi'i (wafat 770 H) berkata di akhir kitabnya "Al-Mishbah al-Munir fi Ghariib asy-Syarah al-Kabiir Fii al-Lughah:

” وَنَسْأَلُ اللَّهَ حَسَنَ الْعَاقِبَةِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأَنْ يُنْفِعَ بِهِ طَالِبَهُ وَالنَّاظِرَ فِيهِ وَأَنْ يُعَامِلَنَا بِمَا هُوَ أَهْلُهُ بِمُحَمَّدٍ وَآلِهِ الْأَطْهَارِ وَأَصْحَابِهِ الْأَبْرَارِ ”.

'Kami memohon kepada Allah kebaikan akhirat dalam dunia dan akhirat, serta agar Dia memberikan manfaat melalui ilmu ini bagi pencari dan pengamatnya. Kami berharap agar Dia memperlakukan kami dengan apa yang sesuai dengan kedudukan kami dengan [wasilah] Muhammad dan keluarganya yang suci serta sahabat-sahabatnya yang baik ".

KE: 10] Imam al-Hafizh Ibn al-Jazari asy-Syafi'i berkata dalam kitab al-Hishn al-Hashin min Kalaam Sayyid al-Mursaliin:

((وَيَتَوَسَّلُ إِلَى اللَّهِ سُبْحَانَهُ بِأَنْبِيَائِهِ وَالصَّالِحِينَ))

"Mereka bertawassul kepada Allah dengan para Nabi dan orang-orang yang saleh."

MADZHAB HANBALI:

**Hukum Bertawassul dengan Nabi (SAW) dan Orang-Orang Shalih Menurut Mazhab Hanbali**

1] Imam Ahmad bin Hanbal dan Tawassulnya Dengan Nabi (SAW).

Dia berkata dalam manuskrip yang diriwayatkan oleh Al-Marwazi darinya, isinya:

"وَسَلَّ اللَّه حَاجَتَكَ مُتَوَسِّلًا إِلَيْهِ بِنَبِيِّهِ (صلى الله عليه وسلم) تُقْضَ مِنَ اللَّه عَزَّ وَجَلَّ"

"Mintalah kebutuhanmu kepada Allah dengan bertawassul kepada-Nya dengan Nabi-Nya (SAW); maka kebutuhanmu akan dipenuhi oleh Allah Azza wa Jalla."

Dan makna ini juga disebutkan oleh Burhanud-Din bin Muflih dalam kitab al-Mubdi' (2/204), dan ada yang mirip dengan itu dalam al-Iqna' karya Al-Hajjawi (1/208), serta dalam kitab al-Furuu'" karya Syamsud-Din ibn Muflih (wafat 763 H) (2/159), dan selain mereka.

Dalam kitab al-'Ulum wa Ma'rifat al-Rijal disebutkan, yang isinya:

"سَأَلْتُهُ عَنِ الرَّجُلِ يَمَسُّ مِنْبَرَ النَّبِيِّ (صلّى الله عليه وسلم) وَيَتَبَرَّكُ بِمَسِّهِ وَيَقْبَلُهُ وَيَفْعَلُ بِالْقَبْرِ مِثْلَ ذَلِكَ أَوْ نَحْوِ هَذَا يُرِيدُ التَّقَرُّبَ إِلَى اللَّهِ جَلَّ وَعَزَّ فَقَالَ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ"

"Aku bertanya kepadanya tentang seorang lelaki yang menyentuh mimbar Nabi (SAW), kemudian dia bertabarruk dengan sentuhan itu, menciumnya, dan melakukan hal-hal serupa ini terhadap kubur sebagaimana itu atau yang serupa dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah yang Maha Mulia dan Maha Perkasa. Dia berkata: 'Tidak ada masalah dalam hal tersebut.'" (al-'Ulum li Ahmad bin Hanbal) (2/492).

2] Al-Buhuti al-Hanbali (wafat1051 H):** Dia meriwayatkan kisah al-'Utbi dan menguatkan hal tersebut - Kasyf al-Qina' (2/516). Dalam kitab Kashf al-Qina' bagian kedua: Al-Samiri dan penulis kitab at-Talkhish mengatakan:

" لَا بَأْسَ بِالتَّوْسُلِ لِلِاسْتِقَاءِ بِالشُّيُوخِ وَالْعُلَمَاءِ الْمُتَّقِينَ. وَقَالَ فِي الْمَذْهَبِ: يَجُوزُ أَنْ يَسْتَشْفِعَ إِلَى اللَّهِ بِرَجُلٍ صَالِحٍ وَقِيلَ لِلْمَرُّوذِيِّ: إِنَّهُ يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ فِي دُعَائِهِ وَجَزَّمَ بِهِ فِي الْمُسْتَوْعِبِ وَغَيْرِهِ ".

"Tidak ada masalah dalam bertawassul untuk mencari berkah dengan para ulama dan orang-orang shalih."

Dia juga mengatakan dalam hal mazhab: "Boleh bertawassul kepada Allah dengan orang shalih.

Dan dikatakan kepada Al-Marwazi: 'Dia (Al-Marwazi) tawassul dengan Nabi dalam doanya, dan hal ini tegas dinyatakan dalam al-Mustaw'ib dan selainnya".

3] Imam Ibn al-Jawzi al-Hanbali:**. Dalam kitab Manaqib Imam Ahmad karya Ibnu al-Jawzi hal. 297): Dari Abdullah bin Musa bahwa dia berkata:

"خَرَجْتُ أَنَا وَأَبِي فِي لَيْلَةٍ مُظْلِمَةٍ نَزُورُ "أَحْمَد" فَاشْتَدَّتِ الظُّلَمَةُ، فَقَالَ أَبِي: يَا بُنَيَّ تَعَالَ حَتَّى نَتَوَسَّلَ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى بِهَذَا الْعَبْدِ الصَّالِحِ حَتَّى يُضِيءَ لَنَا الطَّرِيقَ، فَمُنْذُ ثَلَاثِينَ سَنَةً مَا تَوَسَّلْتُ بِهِ إِلَّا قُضِيَتْ حَاجَتِي. فَدَعَا أَبِي وَأَمَنَّتْ عَلَى دَعْوَائِهِ، فَأَضَاءَتِ السَّمَاءُ كَأَنَّهَا لَيْلَةٌ مُقَمَّرَةٌ حَتَّى وَصَلْنَا إِلَيْهِ) اهــ

 "Aku dan ayahku keluar pada malam yang gelap untuk mengunjungi 'Ahmad'. Kegelapan semakin dahsyat, lalu ayahku berkata: 'Wahai anakku, mari kita tawassul kepada Allah Ta'ala dengan hamba shalih ini agar jalan kita diterangi oleh-Nya. Sejak tiga puluh tahun aku tidak melakukan tawassul dengan orang ini kecuali hajatku terkabulkan.' Lalu ayahku berdoa, dan aku juga ikut mengamini do'anya, maka langit menjadi terang seolah-olah bulan purnama sampai kami tiba padanya) [Selesai]."

4] Imam al-Mardawai dalam "al-Inshaf" (2/456):

"يَجُوزُ التَّوْسُلُ بِالرَّجُلِ الصَّالِحِ، عَلَى الصَّحِيحِ مِنَ الْمَذْهَبِ. وَقِيلَ يُسْتَحَبُّ، قَالَ الإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مَنْسَكِهِ الَّذِي كَتَبَهُ لِلْمَرُّوذِيِّ: يَتَوَسَّلُ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي دُعَائِهِ وَجَزَّمَ بِهِ فِي الْمُسْتَوْعِبِ وَغَيْرِهِ".

** "Boleh tawassul dengan orang shalih, menurut pendapat yang sahih dalam mazhab. Ada yang mengatakan bahwa ini adalah yang disunnahkan. Imam Ahmad berkata dalam "Mansak"nya yang dia tulis untuk Al-Marwazi: 'Boleh bertawassul melalui Nabi dalam doanya.' Dan dia tegas menyatakan dalam al-Mustaw'ib dan selainnya."

5] Ibnu 'Aqil al-Hanbali [wafat 503 H]:** Ketika dia ziarah ke makam Nabi (SAW dia berkata: "Wahai Muhammad, sesungguhnya aku mengarahkan diriku denganmu pada Tuhanku." - (al-Tadzkirah 87).

Ada banyak sekali ulama mazhab Hanbali yang telah menyatakan kebolehan bertawassul dengan Nabi setelah wafatnya beliau.

====*****====

PERNYATAAN BIJAK IBNU TAIMIYAH DAN SYEIKH AL-ALBANI 
TENTANG TAWASSUL DENGAN ORANG MATI YANG HANYA SEBATAS SEBAGAI SEBAB

=====*****=====

SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH:

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

قُلْتُ: فَهَذَا الدُّعَاءُ [يَعْنِي: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ] وَنَحْوِهِ قَدْ رُوِيَ أَنَّهُ دَعَا بِهِ السَّلَفُ. ا.هـ

"Aku berkata: Maka doa ini [yaitu: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan aku menghadapkan diri kepada-Mu dengan wasilah Nabi kami Muhammad (SAW)], dan yang serupa dengannya, telah diriwayatkan bahwa para Salaf berdoa dengan doa seperti ini. [Selesai: Sheikh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Qaidah Jaliilah, halaman 94].

Dan Ibnu Taimiyah juga berkata:

" يَجُوزُ التَّوَسُّلُ بِلَفْظِ "أَسْأَلُكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ" إِذَا كَانَ عَلَى تَقْدِيرٍ مُضَافٍ، أَيْ أَنِّي أَسْأَلُكَ بِإِيمَانِي بِهِ وَبِمَحَبَّتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ، وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْعَوَامِّ يُطْلِقُونَ هَذَا اللَّفْظَ وَلَا يَرِيدُونَ هَذَا الْمَعْنَى".

"Boleh ber-tawassul dengan kalimat 'Aku memohon kepada-Mu dengan Nabi-Mu Muhammad' jika dimaksudkan secara makna tambahan, yaitu bahwa aku memohon kepada-Mu dengan imanku kepada beliau, dengan cintaku kepada beliau, dan sejenisnya, namun banyak orang awam yang menggunakan frasa ini tanpa bermaksud makna ini".

Seperti yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah dengan jelas dalam kitabnya yang sama (Qaidah Jalilah fil Tawassul wal Wasilah), cet. Darul Afak Al Jadidah - Beirut, hal. 94."

AL-'ALLAAMAH SYEIKH AL-ALBANI

Fatwa syekh al-Albaani dalam Silsilatul Hudaa wan Nuur no. 287:

الكَلَامُ عَلَى دَعْوَةِ الشَّيْخِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِالوَهَّابِ وَاستِطْرَادٌ فِي مَسْأَلَةِ التَّوْسُلِ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِجَاهِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

كَلَامُ الشَّيْخِ الألْبَانِيِّ عَنْ حُكْمِ مَنْ يَتَوَسَّلُ بِالتَّوْسُلِ الْمُبْتَدَعِ هَلْ هَذَا كُفْرٌ أَوْ شِرْكٌ:

قَالَ الشَّيْخُ: مَا يَنْبَغِي أَنْ نَقُولَ رَأْسًا كُفْرًا أَوْ شِرْكًا، يَجِبُ أَنْ نَسْتَفْصِلَ الْقَوْلَ أَنَّ هَذَا الَّذِي يَتَوَسَّلُ مَاذَا يَعْنِي، مَاذَا يُرِيد؟ وَإِلَّا كَفَرْنَا وَشَرَّكَنَا إِمَامًا مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ أَلا وَهُوَ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ الشَّوْكَانِيُّ لِأَنَّهُ يَقُولُ بِجَوَازِ التَّوْسُلِ، هَلْ تَعْرِفُ هَذَا؟

قَالَ السَّائِلُ: يَعْنِي بِالْجَاهِ، بِجَاهِ الرَّسُولِ؟

قَالَ الشَّيْخُ: بِالرَّسُولِ بَعْدَ مَوْتِهِ.

قَالَ السَّائِلُ: بِجَاهِ الرَّسُولِ أَمْ بِذَاتِهِ؟

قَالَ الشَّيْخُ: بِذَاتِهِ، لَكِنَّ أَنَا الْآنَ لَا أَسْتَحْضِرُ...

قَالَ السَّائِلُ: الظَّاهِرُ بِجَاهِهِ، وَكَذَلِكَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ رَحِمَهُ بِجَوَازِ التَّوْسُلِ بِجَاهِ الرَّسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ...

قَالَ الشَّيْخُ: لَكِنَّ أَمَا تُشْعِرُ مَعِيَ أَنَّ الْوَقُوفَ عِنْدَ هَذِهِ الْأَلْفَاظِ جُمُودٌ؟ إِذَا تَوَسَّلَ بِالْجَاهِ يُخْتَلِفُ عَنِ التَّوَسُّلِ بِالذَّاتِ، فَالَّذِي يَتَوَسَّلُ بِالْجَاهِ لَا يُنْكِرُ عَلَيْهِ، وَالَّذِي يَتَوَسَّلُ بِالذَّاتِ يُنْكِرُ عَلَيْهِ؟

Terjemah nya:

Pernyataan tentang Dakwah Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Pendalaman dalam Masalah Tawassul dengan Nabi (SAW) dan dengan Pergantian Nabi (SAW).

Pernyataan Syekh Al-Albani tentang Hukum Orang yang Bertawassul dengan Tawassul Bid'ah, Apakah Ini Kufur dan Syirik ?:

Syekh al-Albaani berkata: "Tidak seharusnya kita mengatakan langsung kufur atau syirik. Kita harus meminta penjelasan apa yang dimaksud oleh orang yang melakukan tawassul, apa yang ingin mereka sampaikan. Jika tidak, kita akan menganggap bahwa kita telah mengkafirkan dan menganggap musyrik seorang imam dari para imam kaum muslimin, seperti Muhammad bin Ali Asy-Syawkani, karena ia berpendapat tentang diperbolehkannya tawassul. Apakah Anda tahu ini?"

Penanya berkata: "Maksudnya dengan جَاه [pangkat, kedudukan dan kehormatan], dengan جَاه Rasul?"

Syekh menjawab: "Dengan Rasul setelah kematiannya."

Penanya berkata: "Dengan Jaah Rasul atau dengan [ذَاتِ] diri-nya sendiri?"

Syekh menjawab: "Dengan wasilah [dzat] diri-nya sendiri, tetapi saat ini saya tidak mengingat..."

Penanya berkata: "Yang tampak adalah dengan Jaah-nya, begitu juga dengan Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah yang membolehkan tawassul dengan Jaah Rasul (SAW)..."

Syekh al-Albaani berkata:

لَكِنَّ أَمَا تُشْعِرُ مَعِيَ أَنَّ الْوَقُوفَ عِنْدَ هَذِهِ الْأَلْفَاظِ جُمُودٌ؟ إِذَا تَوَسَّلَ بِالْجَاهِ يُخْتَلِفُ عَنِ التَّوَسُّلِ بِالذَّاتِ، فَالَّذِي يَتَوَسَّلُ بِالْجَاهِ لَا يُنْكِرُ عَلَيْهِ، وَالَّذِي يَتَوَسَّلُ بِالذَّاتِ يُنْكِرُ عَلَيْهِ؟

"Namun, apakah Anda merasa bersamaku bahwa membicarakan lafadz-lafadz ini nampak kaku? Jika dia tawassul dengan [جَاه], itu berbeda dengan tawassul dengan [ذَاتِ] diri-nya sendiri. Orang yang tawassul dengan [جَاه] ; jangan diingkari, dan orang yang tawassul dengan [ذَاتِ] diri-Nya sendiri ; harus diingkari?"[Selesai Kutipan]

LONCAT:

الشيخ: قُل لا، فإذا قَالَ وَاحِد مِثْلَ الشوكاني أَنَا أَقُولُ مِثْلَ حَتَّى مَا تَدَنَّدَنْ حَوْلَ الشوكاني، إذَا قَالَ وَاحِد مِثْلَ الشَّوكَاني " اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِمُحَمَّدٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي " هَلْ ذَبَحَ لَهُ؟

السائل: لا لَمْ يَذْبَحْ.

الشيخ: إِلَى آخِرِهِ، هَلْ هَذَا مُشْرِكٌ؟

السائل: لا لَيْسَ بِمُشْرِكٍ.

الشيخ: هَلْ يَجُوزُ الاِسْتِدْلَالُ عَلَيْهِ بِالآيَةِ السَّابِقَةِ؟

السائل: لا.

الشيخ: هَذَا الَّذِي تَفْعَلُونَهُ، وَهُنَا يَكْمُنُ الْخَطَأُ فَيَجِبُ لِمَا تَبْحَثُونَ هَذِهِ الْبُحُوثِ الْخَطِيرَةِ الدَّقِيقَةِ تَفَرُّقُوا بَيْنَ مَنْ عَمَلَهُ كُلَّهُ شِرْكٌ فَيُقَالُ هَذَا تَوَسُّلٌ مِنْهُ مِنْ هَذَا النَّوْعِ لِأَنَّ الْإِنْسَانَ يَنْدَفِعُ حَسَبَ الْعَقِيدَةِ وَالْأَفْكَارِ يَلِي هُوَ مُتَشَبِّعٌ بِهَا، فَإِذَا كَانَ إِنْسَانٌ زَيْدٌ مِنَ النَّاسِ مُتَشَبِّعٌ بِأَنَّهُ لَا يَذْبَحُ إِلَّا لِلَّهِ وَلَا يَنْذُرُ إِلَّا اللَّهَ، وَلَا يَطُوفُ إِلَّا بِبَيْتِ اللَّهِ، وَلَا يَدْعُو عِنْدَ الشَّدَائِدِ إِلَّا اللَّهَ... كُلَّ مَا شِئْتَ مِنَ السَّلْبِيَّاتِ لَا لَا لَا إِلَى آخِرِهِ مَا هُنَالِكَ، لَكِنْ يَقُولُ أَنَّا أَعْتَقِدُ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ نَقُولَ اغْفِرْ لِي بِجَاهِ مُحَمَّدٍ، أَسْأَلُكَ بِمُحَمَّدٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي، أَيُّشَ وَجْهُ الاِسْتِدْلَالِ عَلَى هَذَا بِأَنَّهُ مُشْرِكٌ لِأَنَّ اللَّهَ يَقُولُ عَلَى لِسَانِ الْمُشْرِكِينَ ((وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى)) وَهُوَ لَا يَعْبُدُهُمْ.

السائل: الآيَةُ الثَّانِيَةُ؟

الشيخ: هَاتِهَا.

السائل: هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ...

الشيخ: هُوَ لَا يَقُولُ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ، هُوَ يَسْأَلُ وَيَتَوَسَّلُ، فَإِمَّا أَنَّهُ يَسْتَجِيبُ وَإِمَّا أَلَّا يَسْتَجِيبُ، فَهَذَا لَيْسَ كَقَوْلِ الْمُشْرِكِينَ الْجَازِمِينَ بِأَنَّ هَؤُلَاءِ الْآلِهَةِ الَّتِي لَا حَقِيقَةَ لَهَا أَنَّهُمْ شُفَعَاؤُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى.

الحلبي: دَقِيْقَةٌ جِدًّا هَذِه.

Terjemah nya:

Sheikh al-Albaani: Katakan tidak, jadi jika seseorang mengatakan seperti yang Syaukani katakan, maka saya akan mengatakan sama seperti itu sampai tidak ada lagi orang yang mempeributkan tentang Syaukani.

Jadi, jika seseorang mengucapkan seperti Syaukani, "Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan Muhammad agar Engkau mengampuni dosaku," apakah dia itu sama dengan mempersembahkan sembelihan untuknya ?

Penanya: Tidak, dia tidak seperti mempersembahkan hewan sembelihan.

Sheikh: Sampai akhir doa tersebut, apakah ini perbuatan syirik?

Penanya: Tidak, ini bukanlah perbuatan syirik.

Syeikh: Apakah boleh menggunakan ayat sebelumnya sebagai dasar untuk tindakan ini? [Yakni:

 وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ

" Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". [QS. Az-Zumar: 3].]

Penanya: Tidak.

Syeikh: Ini yang kalian lakukan [tuduhkan], dan di sinilah terletak kesalahan.

Dalam penelitian hukum yang sarat bahaya dan perlu kecermatan yang kalian lakukan, maka harus dibedakan antara mereka yang melakukan perbuatan yang keseluruhannya adalah syirik, lal diakatan bahwa ini adalah tawassul dari macam ini, karena manusia itu akan terdorong melakukan hal itu berdasarkan keyakinan dan pemikiran yang dianutnya yang telah mendarah daging.

Jika seseorang seperti Zaid di antara orang-orang memiliki keyakinan yang mendarah daging bahwa menyembelih hewan itu hanya diperbolehkan untuk Allah, bersumpah hanya boleh demi Allah, berthawaf mengelilingi Ka'bah hanya boleh karena Allah, dan berdoa dalam kesulitan hanya boleh kepada Allah... Maka semua apa yang kamu ungkapkan tentang kenegatifan-kenegatifan, saya katakan: tidak, tidak, tidak, dan seterusnya.

Namun, seseorang boleh mengatakan:

" أَنَّا أَعْتَقِدُ أَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ نَقُولَ اغْفِرْ لِي بِجَاهِ مُحَمَّدٍ، أَسْأَلُكَ بِمُحَمَّدٍ أَنْ تَغْفِرَ لِي، أَيُّشَ وَجْهُ الاِسْتِدْلَالِ عَلَى هَذَا بِأَنَّهُ مُشْرِكٌ لِأَنَّ اللَّهَ يَقُولُ عَلَى لِسَانِ الْمُشْرِكِينَ ((وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى)) وَهُوَ لَا يَعْبُدُهُمْ".

"Saya berkeyakinan bahwa sesungguhnya kami diperbolehkan mengatakan:

"Ya Allah, ampunilah kami dengan Jaah [kedudukan] Muhammad", "Saya memohon kepada-Mu dengan Muhammad agar Engkau mengampuni saya." Mana sisi pendalilan yang menunjukkan bahwa ini musyrik? Tidak ada ; Karena Allah berfirman tentang lisan orang-orang musyrik:

 وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَىٰ

" Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". [QS. Az-Zumar: 3]

 Sementara dia [yang bertwassul dengan Nabi SAW dan lainnya] sama sekali tidak menyembah mereka.

Penanya bertanya tentang ayat kedua. [Yakni:

وَيَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ وَيَقُولُونَ هَٰؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ

" Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah". [QS. Yunus: 18]]

Syeikh meminta untuk membaca ayat tersebut.

Penanya mengatakan: "Mereka adalah syafa'at kami di hadapan Allah..."

Syeikh al-Albaani berkata:

"هُوَ لَا يَقُولُ هَؤُلَاءِ شُفَعَاؤُنَا عِنْدَ اللَّهِ، هُوَ يَسْأَلُ وَيَتَوَسَّلُ، فَإِمَّا أَنَّهُ يَسْتَجِيبُ وَإِمَّا أَلَّا يَسْتَجِيبُ، فَهَذَا لَيْسَ كَقَوْلِ الْمُشْرِكِينَ الْجَازِمِينَ بِأَنَّ هَؤُلَاءِ الْآلِهَةِ الَّتِي لَا حَقِيقَةَ لَهَا أَنَّهُمْ شُفَعَاؤُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى".

Orang yang melakukan tawassul jenis ini tidak mengatakan: "Mereka adalah syafa'at kami di sia Allah." Mereka hanya memohon dengan cara bertawassul dengannya. Lalu mungkin akan dikabulkan atau mungkin tidak dikabulkan. Maka ini berbeda dengan pernyataan mutlak orang-orang musyrik yang mengatakan bahwa para tuhan ini yang tidak ada realitanya ini adalah para pemeberi syafaat bagi mereka di sisi Allah Tabaaraka wa Ta'aalaa".

Syeikh al-Halabi [salah satu jemaah yang hadir] berkata: “Ini sangat teliti sekali.

LONCAT:

الحَلْبِي: هُنَا يَقُولُ تَحْتَ عُنْوَانٍ "وَجْه التَوَسُّل بِالْأَنْبِيَاء وَالصَّالِحِيْنَ" قَوْلُهُ "وَيَتَوَسَّلُ إلَى اللَّه سُبْحَانَهُ بِأَنْبِيَائِهِ وَالصَّالِحِيْنَ" يَلِيْ يَقُوْلُ هَكَ ابْن الْجَزَرِي.

الشَيْخ: مَنْ الَّذِي يَقُوْلُ هَكَ؟

الحَلْبِي: ابْن الْجَزَرِي.

الشَيْخ: نَكْفِرُهُ بَقَاْ؟ مَا يَجُوْزُ نَكْفِرُهُ.

الحَلْبِي: "أَقُوْلُ وَمَنْ التَّوَسُّل بِالْأَنْبِيَاء مَا أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيّ بِحَدِيْثِ الْأَعْمَى، وَأَمَّا التَّوَسُّل بِالصَّالِحِيْنَ فَمِنْهُم مَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيْحِ أَنَّ الصَّحَابَة اسْتَسْقَوْا بِالْعَبَّاس رَضِيَ الله عَنْهُ عَمَّ رَسُوْلِ الله صلى الله عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ،" لَكِنَّ شَيْخُنَا يَبْدُوَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ لَهُ عِبَارَةٌ أَصْرَحُ فِي الدُّرِّ النَّضِيْدِ، هَذَا يَلِيْ قَائِمٌ فِيْ ذِهْنِي الدُّرِّ النَّضِيْدِ فِيْ إِخْلاَص كَلِمَةِ التَّوْحِيْدِ لَهُ عِبَارَةٌ أَصْرَحُ مَعَ أَنَّهُ يُشَدِّدُ النَّكِيْرَ فِيْهَا عَلَى الاسْتِغَاثَةِ لَكِنَّ تَكَلَّمَ فِيْهَا بِمِثْلِ هَذَا الكَلاَمِ بِأَبْسَط شُوَيَّة.

الشَيْخ: لَكِنْ يُنْكَرُ؟

الحَلْبِي: لاَ، لاَ يُنْكَرُ يَعْنِي قَصْدِي التَّفْرِيْقَ بَيْنَ الذَّاتِ وَالجَاهِ.

الشَيْخ: لاَ، خَلِيْنَا نَحْنُ مَعَ عَبْدِ الله يَا عَبْدَ الله، لِأَنَّهُ هُوَ عَمَّ يَقُوْلُ بِالتَّفْرِيْقِ هُنَا عَمَّ يَحْكِي بِالتَّوَسُّل بِالذَّاتِ، طَيِّبٌ فَالتَّوَسُّل بِالذَّاتِ هُوَ الَّذِي يَقُوْلُ بِجَوَازِهِ الشَّوْكَانِي هُنَا، تَبْعًا لِابْن الْجَزَرِي، يَقُوْلُ بِالتَّوَسُّل بِالذَّاتِ.

الحَلْبِي: صَحِيْحٌ.

الشَيْخ: هُمْ يُفَرِّقُوْنَ كَمَا سَمِعْتُ مِنْ صَاحِبِكُمْ آنِفًا بَيْنَ التَّوَسُّل بِالذَّاتِ وَبَيْنَ التَّوَسُّل بِالجَاهِ وَحَدِيْث الْأَعْمَى هُوَ أَقْرَبُ إِلَى دَلَالَتِهِ عَلَى التَّوَسُّل بِالذَّاتِ مِنَ التَّوَسُّل بِالجَاهِ، لِأَنَّهُ هُوَ التَّوَسُّل بِالجَاهِ مَشَّا مَذْكُوْرٌ إِطْلَاقًا فِي الْحَدِيْثِ لَا فِي السِّيَاقِ وَلَا فِي السَّبَاقِ، لِذَلِكَ قَالَ بِالتَّوَسُّل هُوَ وَابْن الْجَزَرِي وَغَيْرُهُ، فَالْآنَ يَسْتَدِلُّ هُوَ بِحَدِيْث الْأَعْمَى وَكَأَنَّهُ اسْتَدْرَكَ عَلَى نَفْسِهِ أَنَّهُ لَا لَيْسَ الاسْتِدْلَال بِحَدِيْث الْأَعْمَى وَإِنَّمَا بِحَدِيْث دُعَاء الْخُرُوْجِ إِلَى الْمَسْجِدِ يَلِيْ يَسْتَدِلُّ فِيْهِ الشَّيْخ مُحَمَّد بْن عَبْد الْوَهَّاب، وَبِهَذِهِ الْمُنَاسَبَةِ قَامَتْ زَوْبَعَةٌ ضِدَّنَا عَسَاهَا انْطَفَأَتْ حَوْلَ كَلِمَتِنَا حَوْلَ مُحَمَّد بْنِ عَبْد الْوَهَّاب، أَمْ وَلَا تَزَالُ قَائِمَةً؟

السَّائِل: لَا، انْظَفَتْ.

الشَيْخ: هَا، سُبْحَانَ اللَّه! فَحَدِيْث اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ، أَيْضًا هَذَا لَيْسَ فِيْهِ لَا الذَّاتُ وَلَا الجَاهُ، وَلِذَلِكَ أَمْكَنَ تَأْوِيْلَ هَذَا الْحَدِيْثِ لَوْ صَحَّ إِلَى مَا لَا يَتَنَافَى مَعَ التَّوَسُّلِ الْمَشْرُوْعِ لِأَنَّهُ كَمَا قِيْلَ بِأَنَّهُ حَقُّ الْمُتَوَسِّلِيْنَ أَوْ السَّائِلِيْنَ هُوَ الِاسْتِجَابَةُ مِنَ اللَّهِ، فَرَجَعَ الْأَمْرُ إِلَى إِيْش؟ إِلَى صِفَةٍ مِّنْ صِفَاتِ اللَّهِ لَكِنَّ الْجَاهَ لَهُ عَلَاقَةٌ بِالْإِنْسَانِ كَمَا قُلْنَا فَلَا يَصْحُ الِاسْتِدْلَالُ بِهَذَا الْحَدِيْثِ عَلَى جَوَازِ التَّوَسُّلِ بِجَاهِ الْإِنْسَانِ الْمَخْلُوْقِ، لَوْ صَحَّ لَكِنَّا نَحْنُ أَوَّلَ الْقَائِلِيْنَ بِهِ وَمَعَ شَرْطِ الْفَهْمِ عَلَى الْوَجْهِ الصَّحِيْحِ وَالرَّدِّ بِهِ عَلَى الْمُسْتَدِّلِيْنَ بِهِ عَلَى التَّوَسُّلِ الْمُبْتَدَعِ لِأَنَّ هَذَا لَيْسَ فِيْهِ تَوَسُّلاً مُّبْتَدَعًا وَإِنَّمَا هُوَ تَوَسُّلٌ حَقُّ السَّائِلِيْنَ وَحَقُّ مَمْشَاي، هَذَا هُوَ الْأَجْرُ وَالثَّوَابُ عِندَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، إِذَا يَا شَيْخُ عَبْد اللَّهُ التَّفْرِيْقُ بَيْنَ هَذَا وَهَذَا لَا مَحَلَّ لَهُ مِنَ الْإِعْرَابِ، صَارُوْا خَمْسِيْنَ دَقِيْقَةً ضَرْبَ عَشْرَةٍ أَمْ مَا صَارَ؟

السَّائِل: لَا، صَارَ.

Al-Halabi: Di sini, dia berkata dengan judul "Cara Bertawassul dengan Para Nabi dan Orang Shaleh", perkataannya, "Dia bertawassul kepada Allah Yang Maha Suci dengan para Nabi-Nya dan orang-orang shaleh." Orang yang mengatakan seperti ini adalah Ibnu al-Jazari.

Asy-Syaikh al-Albaani: Siapa yang mengatakan seperti ini?

Al-Halabi: Ibnu al-Jazari.

Asy-Syaikh: Apakah kita mengkafirkannya sekarang? Tidak boleh mengkafirkannya.

Al-Halabi: "Saya katakan, dan salah satu bentuk tawassul dengan para Nabi adalah apa yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam hadis Al-A'ma [orang buta]. Adapun tawassul dengan orang-orang shalih, maka dari di antara mereka ada yang tercatat dalam hadis shahih bahwa para Sahabat memohon hujan kepada Allah dengan wasilah doa al-Abbas, paman Rasulullah ﷺ." Namun Syaikh kami, tampaknya -wallaahu a'lam- ada pernyataan yang lebih jelas dalam kitab "Ad-Durrun Nadliid". Ini yang ada dalam pikiran saya, "Ad-Durrun Nadliid", tentang pemurnian kalimat tauhid, memiliki pernyataan yang lebih jelas meskipun dia dengan tegas menolak istighotsah, namun dia berbicara tentang hal ini dengan kata-kata yang lebih sederhana sedikit.

Asy-Syaikh: Tetapi, apakah ini harus diingkari?

Al-Halabi: Tidak, tidak diingkari. Maksud saya, perbedaan antara tawassul dengan Jaah [kedudukan]nya dan dzaat [diri] nya.

Asy-Syaikh:

لاَ، خَلِيْنَا نَحْنُ مَعَ عَبْدِ الله يَا عَبْدَ الله، لِأَنَّهُ هُوَ عَمَّ يَقُوْلُ بِالتَّفْرِيْقِ هُنَا عَمَّ يَحْكِي بِالتَّوَسُّل بِالذَّاتِ، طَيِّبٌ فَالتَّوَسُّل بِالذَّاتِ هُوَ الَّذِي يَقُوْلُ بِجَوَازِهِ الشَّوْكَانِي هُنَا، تَبْعًا لِابْن الْجَزَرِي، يَقُوْلُ بِالتَّوَسُّل بِالذَّاتِ.

Tidak, biarkan kita bersama Abdullah, hai Abdullah. Karena dia adalah paman, yang mengatakan adanya perbedaan di sini, paman, dia menghikayatkan tentang tawassul dengan dzat-nya sendiri.

Baiklah, tawassul dengan zat-nya sendiri adalah apa yang perbolehkan oleh Asy-Syawkani di sini, mengikuti Ibnu al-Jazari, dia mengatakan tentang tawassul dengan zat-nya sendiri.

Al-Halabi: Benar.

Asy-Syaikh:

هُمْ يُفَرِّقُوْنَ كَمَا سَمِعْتُ مِنْ صَاحِبِكُمْ آنِفًا بَيْنَ التَّوَسُّل بِالذَّاتِ وَبَيْنَ التَّوَسُّل بِالجَاهِ وَحَدِيْث الْأَعْمَى هُوَ أَقْرَبُ إِلَى دَلَالَتِهِ عَلَى التَّوَسُّل بِالذَّاتِ مِنَ التَّوَسُّل بِالجَاهِ، لِأَنَّهُ هُوَ التَّوَسُّل بِالجَاهِ مَشَّا مَذْكُوْرٌ إِطْلَاقًا فِي الْحَدِيْثِ لَا فِي السِّيَاقِ وَلَا فِي السَّبَاقِ، لِذَلِكَ قَالَ بِالتَّوَسُّل هُوَ وَابْن الْجَزَرِي وَغَيْرُهُ، فَالْآنَ يَسْتَدِلُّ هُوَ بِحَدِيْث الْأَعْمَى وَكَأَنَّهُ اسْتَدْرَكَ عَلَى نَفْسِهِ أَنَّهُ لَا لَيْسَ الاسْتِدْلَال بِحَدِيْث الْأَعْمَى وَإِنَّمَا بِحَدِيْث دُعَاء الْخُرُوْجِ إِلَى الْمَسْجِدِ يَلِيْ يَسْتَدِلُّ فِيْهِ الشَّيْخ مُحَمَّد بْن عَبْد الْوَهَّاب، وَبِهَذِهِ الْمُنَاسَبَةِ قَامَتْ زَوْبَعَةٌ ضِدَّنَا عَسَاهَا انْطَفَأَتْ حَوْلَ كَلِمَتِنَا حَوْلَ مُحَمَّد بْنِ عَبْد الْوَهَّاب، أَمْ وَلَا تَزَالُ قَائِمَةً؟

Mereka membedakan - seperti yang saya dengar dari teman kalian sebelumnya - antara tawassul dengan zat-Nya sendiri dan tawassul dengan jaah-nya [status/kedudukan], dan hadits Al-A'ma [orang buta] lebih dekat dalam implikasinya terhadap tawassul dengan zat-Nya sendiri daripada tawassul dengan jaahnya [status/kedudukan].

Karena tawassul dengan jaah [status/kedudukan] tidak disebutkan sama sekali dalam hadis, baik dalam konteks maupun urutan, karena itu dia dan Ibnu al-Jazari serta yang lainnya mengatakan dengan bertwassul. Sekarang, dia menggunakan hadis Al-A'ma sebagai dalil, seolah-olah dia menyadari pada dirinya sendiri bahwa itu bukan, yakni bukan hadis Al-A'ma yang dijadikan dalil, tetapi hadis doa keluar menuju masjid yang dijadikan dalil oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.

Dan dalam konteks ini, ada keributan menentang kami, mungkin ini akan mereda seputar perkataan kami tentang Muhammad bin Abdul Wahhab, atau apakah masih berlanjut?

Penanya: Tidak, sudah mereda.

Asy-Syaikh:

هَا، سُبْحَانَ اللَّه! فَحَدِيْث اللَّهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِيْنَ، أَيْضًا هَذَا لَيْسَ فِيْهِ لَا الذَّاتُ وَلَا الجَاهُ، وَلِذَلِكَ أَمْكَنَ تَأْوِيْلَ هَذَا الْحَدِيْثِ لَوْ صَحَّ إِلَى مَا لَا يَتَنَافَى مَعَ التَّوَسُّلِ الْمَشْرُوْعِ لِأَنَّهُ كَمَا قِيْلَ بِأَنَّهُ حَقُّ الْمُتَوَسِّلِيْنَ أَوْ السَّائِلِيْنَ هُوَ الِاسْتِجَابَةُ مِنَ اللَّهِ، فَرَجَعَ الْأَمْرُ إِلَى إِيْش؟ إِلَى صِفَةٍ مِّنْ صِفَاتِ اللَّهِ لَكِنَّ الْجَاهَ لَهُ عَلَاقَةٌ بِالْإِنْسَانِ كَمَا قُلْنَا فَلَا يَصْحُ الِاسْتِدْلَالُ بِهَذَا الْحَدِيْثِ عَلَى جَوَازِ التَّوَسُّلِ بِجَاهِ الْإِنْسَانِ الْمَخْلُوْقِ، لَوْ صَحَّ لَكُنَّا نَحْنُ أَوَّلَ الْقَائِلِيْنَ بِهِ وَمَعَ شَرْطِ الْفَهْمِ عَلَى الْوَجْهِ الصَّحِيْحِ وَالرَّدِّ بِهِ عَلَى الْمُسْتَدِّلِيْنَ بِهِ عَلَى التَّوَسُّلِ الْمُبْتَدَعِ لِأَنَّ هَذَا لَيْسَ فِيْهِ تَوَسُّلاً مُّبْتَدَعًا وَإِنَّمَا هُوَ تَوَسُّلٌ حَقُّ السَّائِلِيْنَ وَحَقُّ مَمْشَاي، هَذَا هُوَ الْأَجْرُ وَالثَّوَابُ عِندَ اللَّهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى، إِذَا يَا شَيْخُ عَبْد اللَّهُ التَّفْرِيْقُ بَيْنَ هَذَا وَهَذَا لَا مَحَلَّ لَهُ مِنَ الْإِعْرَابِ، صَارُوْا خَمْسِيْنَ دَقِيْقَةً ضَرْبَ عَشْرَةٍ أَمْ مَا صَارَ؟

Ternyata demikian, subhanallah! Bahkan doa: "Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang [yang memohon pada-Mu]" ini juga tidak mengandung Dzat atau Jaah. Dan karena itu hadits ini jika shahih bisa diartikan dengan apa yang tidak bertentangan dengan tawassul yang disyari'atkan, seperti yang dinyatakan bahwa Hak bagi mereka yang bertawassul atau memohon adalah istijabah [pengabulan] dari Allah.

Oleh karena itu, masalah ini kembali kepada apa? Kepada salah satu dari sifat-sifat Allah. Tetapi al-Jaah [kedudukan/status] memiliki kaitan dengan manusia seperti yang telah kita katakan, sehingga tidak sah berdalil dengan hadis ini untuk membenarkan tawassul dengan al-Jaah [kedudukan/status] manusia yang diciptakan.

Jika itu memang shahih ; maka sungguh kami adalah yang pertama kali mengatakan hal ini, dan dengan syarat pemahaman sesuai dengan cara yang shahih.

Dan dengannya kami membantah argumen yang digunakan oleh mereka untuk membenarkan tawassul bid'ah. Karena dalam hadits ini bukanlah tawassul bid'ah, melainkan yang benar adalah "tawassul dengan hak orang-orang yang berdo'a kepada-Mu, dan aku meminta kepada-Mu dengan hak jalan kaki ku ini". Ini adalah pahala dan balasan di sisi Allah Tabaaroka wa Ta'aala.

Jadi, Abdullah, apakah perbedaan antara ini dan itu tidak memiliki tempat untuk diberikan penjelasan? Apakah sudah berlangsung selama lima puluh menit, atau tidak?

Penanya: Tidak, sudah selesai.

----------

DALIL PENDAPAT :
YANG MEMBOLEHKAN TAWASSUL DENGAN ORANG MATI HANYA SEBATAS SEBAGAI SEBAB

-----------

DALIL KE SATU:

Firman Allah SWT:


لَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللهَ تَوَّابًا رَحِيمًا

“Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”. (QS. al-Nisa’: 64).

Mereka berdalil dengan ayat ini akan bolehnya bertawassul dengan Nabi (SAW) secara mutlak, baik saat masih hidup, maupun setelah wafat.

BANTAHAN:

Berikut ini penafsiran para ahli tafsir tentang ayat ini:

A] - Ibnu Katsir berkata:

"يَرْشُدُ تَعَالَى الْعَصَاةَ وَالْمُذْنِبِينَ إِذَا وَقَعَ مِنْهُمُ الْخَطَأُ وَالْعِصْيَانُ أَن يَأْتُوا إِلَى الرَّسُولِ فَيَسْتَغْفِرُوا اللَّهَ عِنْدَهُ وَيَسْأَلُوهُ أَن يَسْتَغْفِرَ لَهُمْ فَإِنَّهُمْ إِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ تَابَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ وَرَحِمَهُمْ وَغَفَرَ لَهُم" اهـ

"Allah Yang Maha Tinggi memberi petunjuk kepada orang-orang yang berbuat maksiat dan berdosa ketika mereka melakukan kesalahan dan maksiat, agar mereka datang kepada Rasulullah lalu mereka memohon ampunan kepada Allah di hadapannya, serta meminta Rasulullah untuk memohonkan ampunan bagi mereka. Jika mereka melakukan hal tersebut, Allah akan menerima taubat mereka, merahmati mereka, dan mengampuni dosa-dosa mereka." [Selesai].

B] - Asy-Syawkani berkata:

"وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُم بِتَرْكِ طَاعَتِكَ وَالتَّحَاكُمِ إِلَى غَيْرِكَ جَاءُوكَ مُتَوَسِّلِينَ إِلَيْكَ مُتَنَصِّلِينَ مِن جُنُوبِهِمْ وَمُخَالِفَتِهِمْ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ لِذُنُوبِهِمْ وَتَضَرَّعُوا إِلَيْكَ حَتَّى قُمْتَ شَفِيعًا لَهُمْ وَاسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ وَلِهَذَا قَالَ لَوْ جَدُّوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا" اهـ

"Jika ketika mereka berbuat zalim kepada diri mereka sendiri dengan meninggalkan ketaatan kepada-mu dan berhukum kepada selain-mu, lalu mereka datang kepada-mu untuk bertawassul denganmu, menyatakan penyesalan atas dosa-dosa mereka, kemudian mereka memohon ampunan kepada Allah atas segala dosanya, dan mereka merengek padamu agar kamu menjadi syafaat untuk mereka dan memohonkan ampunan bagi mereka. Oleh karena itu Allah berfirman: 'Seandainya mereka tatkala berbuat zalim kepada diri mereka datang kepadamu, lalu mereka memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang.'"

C] - Ar-Razi berkata:

"يَعْنِي لَوْ أَنَّهُمْ عِنْدَمَا ظَلَمُوا أَنفُسَهُم بِالتَّحَاكُمِ إِلَى الطَّاغُوتِ وَالْفِرَارِ مِنَ التَّحَاكُمِ إِلَى الرَّسُولِ جَاءُوا الرَّسُولَ فَأَظْهَرُوا النَّدَمَ عَلَى مَا فَعَلُوهُ وَتَابُوا عَنْهُ وَاسْتَغْفَرُوا مِنْهُ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمْ الرَّسُولُ بِأَن يَسْأَلَ اللَّهَ أَن يَغْفِرَ لَهُمْ عِنْدَ تَوْبَتِهِمْ لَوْ جَدُّوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا". اهـ

"Maksudnya, jika mereka, ketika mereka berbuat zalim kepada diri mereka sendiri dengan berhukum kepada thagut dan melarikan diri dari berhukum kepada Rasul, lalu mereka datang kepada Rasul dan menyatakan penyesalan atas apa yang mereka lakukan, bertaubat dari itu, memohon ampunan dari itu, dan Rasul memohonkan ampunan bagi mereka dengan memohonkan kepada Allah agar mengampuni mereka ketika mereka bertobat, maka tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang."

D] - Abu as-Su'uud berkata:

"جَاءُوكَ مِنْ غَيْرِ تَأْخِيرٍ كَمَا يُفْصَحُ عَنْهُ تَقْدِيمُ الظَّرْفِ مُتَوَسِّلِينَ بِكَ فِي التَّنَصُّلِ عَنْ جُنُوبِهِمْ الْقَدِيمَةِ وَالْحَادِثَةِ وَلَمْ يَزِدُوا جُنْيَةً عَلَى جُنْيَةٍ بِالْقَصْدِ إِلَى سِتْرِهَا بِالْإِعْتِذَارِ الْبَاطِلِ وَالْأَيْمَانِ الْفَاجِرَةِ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ بِالتَّوْبَةِ وَالْإِخْلَاصِ وَبَالْغُوا فِي التَّضَرُّعِ إِلَيْكَ حَتَّى انْتَصَبْتَ شَفِيعًا لَهُمْ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَاسْتَغْفَرْتَ لَهُم" اهـ

"Mereka datang kepada-Mu tanpa penundaan, sebagaimana dijelaskan oleh adanya kata keterangan waktu (dzorfu zaman) di depannya, dengan bertawassul dengan-mu, memohonkan pertolongan untuk melepaskan diri dari dosa-dosa lama dan yang baru, dan mereka tidak menambah dosa atas dosa dengan sengaja untuk menutupinya dengan alasan permintaan maaf yang tidak benar dan sumpah-sumpah palsu.

Lalu mereka memohonkan ampunan kepada Allah dengan taubat dan ikhlas, dan mereka berusaha keras dalam merendahkan diri kepadamu, agar engkau berkenan menjadi perantara bagi mereka menuju Allah Yang Maha Tinggi, lalu engkau memohonkan ampunan bagi mereka."

Ringkasan dari apa yang telah disebutkan adalah bahwa argumen mereka terhadap penggunaan ayat ini memiliki beberapa masalah:

1. Ayat ini adalah khitob [pembicaraan] kepada sekelompok orang tertentu dan tidak ada ungkapan umum di dalamnya. Oleh karena itu, tidak bisa diambil makna umum dari ungkapan tersebut, karena ayat ini menggunakan kata ganti orang dan kata ganti tidak memiliki makna umum.

2. Mendatangi [جَاء - يَجِيءُ] kubur tidak mencakup ungkapan "mendatangi seseorang" secara syariat, linguistik, atau tradisional. Mendatangi seseorang hanya bisa terjadi saat seseorang masih hidup.

3. Istighfar (memohon ampun) adalah amalan. Dan dalam hadis dijelaskan bahwa amal perbuatan seseorang terputus setelah kematian kecuali tiga hal: sedekah jaariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang mendoakan orang tua.

4. Jika argumen mereka didasarkan pada ayat ini, maka akan lebih tepat bagi Allah untuk mengatakan:

﴿وَلَوْ أَنَّهُمْ صَبَرُوا حَتَّىٰ تَخْرُجَ إِلَيْهِمْ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُمْ ۚ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ﴾

" Dan kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang". [Al-Hujurat: 5]. Oleh karena itu, tanggapan terhadap argumen mereka dengan ayat ini juga relevan.

5. Bertwassul dengan Nabi (SAW) setelah kematiannya, maka harus ada panggilan kepada beliau dari balik dinding atau kamar. Namun Allah berfirman:

﴿ اِنَّ الَّذِيْنَ يُنَادُوْنَكَ مِنْ وَّرَاۤءِ الْحُجُرٰتِ اَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُوْنَ ﴾

"Sesungguhnya orang-orang yang memanggil engkau (Muhammad) dari luar kamar(mu) kebanyakan mereka tidak mengerti". (QS. Al-Hujurat: 4)

6. Jika diperbolehkan penggunaan ayat ini setelah kematian seseorang, maka juga seharusnya diperbolehkan pula untuk menggunakan ayat berikut ini sebagai dasar untuk berbai'at kepada Nabi (SAW) setelah kematiannya, sebagaimana dalam ayat:

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا جَاءَكَ الْمُؤْمِنَاتُ يُبَايِعْنَكَ

 "Hai Nabi, apabila perempuan-perempuan yang beriman datang untuk memberikan bai'at kepadamu..." [Al-Mumtahanah: 10].

7. Tindakan ini tidak pernah dilakukan oleh para sahabat terdahulu atau oleh generasi awal yang berada di bawah bimbingan imam-imam Islam dan pemimpin-pemimpin manusia yang terbaik. Mereka secara bersama-sama meninggalkan tindakan ini.

8. Jika kita asumsikan bahwa beliau (SAW) masih bisa mendengar dan memohonkan ampunan untuk seseorang, itu akan menjadi bentuk tawassul dengan doa orang-orang shaleh.

9. Jika beliau (SAW) masih bisa mendengar dan berbicara, mengapa beliau tinggal diam atas tindakan sahabat dalam kondisi fitnah besar, atau tidak kembali lagi dalam dakwah dan jihad di jalan Allah?

10. Ayat ini mengacu pada para munafik yang menolak hukum Allah dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, mereka harus memohon ampunan Allah dan juga memohonkan ampunan dari Rasul yang mereka tentang dengan menolak hukumnya. Hal ini sesuai dengan konteks ayat dan situasi mereka.

DALIL KE DUA: KISAH AL-'UTBI

Berkenaan dengan ayat diatas, ada sejumlah ulama' meriwayatkan kisah yang terkenal dari Al-'Utbi. Ibnu Katsir dalam tafsirnya (1/520-521) ketika menafsirkan ayat tersebut berkata:

وَقَدْ ذَكَرَ جَمَاعَةٌ مِنْهُمْ الشَّيْخُ أَبُوْ نَصْرٍ بْنِ الصَّبَّاغِ فِيْ كِتَابِهِ الشَّامِلِ الْحِكَايَةَ الْمَشْهُوْرَةَ عَنِ الْعُتْبِيِّ قَالَ: كُنتُ جَالِسًا عِندَ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ سَمِعْتُ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {وَلَوْ إِنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ جَاؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوْجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا] وَقَدْ جِئْتُكَ مُسْتَعِفًّا مِنْ ذُنُوبِي مُسْتَغْفِرًا إِلَى رَبِّي ثُمَّ أَنشَأَ يَقُولُ:

يَا خَيْرَ مَن دُفِنْتَ بِالْقَاعِ أَعْظَمَهُ … فَطَابَ مِن طِيبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكْمَمُ

نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرِ أَنْتَ سَاكِنُهُ … فِيهِ الْعِفَّافُ وَفِيهِ الْجُودُ وَالْكَرَمُ

قَالَ ثُمَّ انْصَرَفَ فَحَمَلَتْنِي عَيْنَايَ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ فَقَالَ لِي يَا عَتَبِيُّ الْحَقَّ الْأَعْرَابِيُّ فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ غَفَرَ لَهُ انتَهَى

Artinya: Banyak ulama menyebutkan seperti al-Imam Abu Manshur al-Shabbagh dalam al-Syamil, cerita yang populer dari al-‘Utbi. Beliau berkata:

" Ketika Ia sedang duduk di dekat kubur Nabi ﷺ, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan; Assalamualaika, wahai Rasulullah (semoga ke sejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai rasulullah ﷺ) aku telah mendengar ALLAH ﷻ berfirman:

{وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوك فَاسْتَغْفَرُوا الله وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُوْل لَوَجَدُوا الله تَوَّابًا رَحِيْمًا]

" Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul-pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS: An-Nisaa`: 64)

Dan Aku datang kepadamu untuk memohonkan ampunan atas dosaku (kepada Allah ﷻ) dan memohon syafa'at kepadamu(agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada tuhanku.

Selanjutnya lelaki Badui tersebut mengumandangkan syair berikut:

يَا خَيْرَ مَن دُفِنْتَ بِالْقَاعِ أَعْظَمَهُ … فَطَابَ مِن طِيبِهِنَّ الْقَاعُ وَالْأَكْمَمُ

نَفْسِي الْفِدَاءُ لِقَبْرِ أَنْتَ سَاكِنُهُ … فِيهِ الْعِفَّافُ وَفِيهِ الْجُودُ وَالْكَرَمُ

Wahai sebaik baik orang yang di kebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pengunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan dan kemuliaan...

Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta merta mataku (Al ‘Utbi) terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Di dalam tidurku itu aku bermimpi berjumpa dengan Rasulullah ﷺ lalu beliau bersabda: Hai 'Utbi susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah ﷻ telah memberikan ampunan kepadanya". [Selesai]

Kisah ini disebutkan oleh banyak ulama dalam berbagai sumber tentang keutamaan manusia terbaik, Nabi Muhammad SAW. Diantaranya sbb:

1. Imam An-Nawawi dalam kitab "Al-Izah" (Bab Ke. 6, hal. 498) dan "Al-Majmu'" (8/202).

2. Ibnu Katsir dalam kitab "Al-Bidayah wal-Nihayah" (12/150-151).

3. Al-Qurtubi dalam tafsirnya (5/265-266).

4. Ath-Tha'labi (1/386).

5. An-Nasafi (1/230-231).

6. As-Suyuti dalam kitab "Ad-Durr Al-Manthur" (1/570-573).

7. Al-Kamal bin Al-Humam dalam "Fath Al-Qadir" (3/179-181).

8. Asy-Syarnubalali dalam "Nur Al-Izah" (1/155).

9. Abdul Qadir Al-Jilani dalam kitab "Al-Ghuniyah".

10. Ibnu Al-Jauzi dalam "Al-Muntazam" (9/93).

11. Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam "Al-Mughni" (3/297-299).

12. Abu Abdullah Muhammad bin Abdullah As-Samri dalam "Al-Mustaw'ab".

13. Ibnu Muflih dalam "Al-Mubdi'" (3/259).

14. Al-Bayhaqi dalam "Kashf Al-Qina'" (2/516).

15. Syaikh Asy-Syafi'i pada zamannya, Abu Mansur As-Sabbagh dalam kitabnya "Al-Syamil".

16. Al-Baihaqi dalam "Syu'ab Al-Iman" (3/375-376).

17. Az-Zarkasyi dan Al-Qasthalani dalam "Al-Mawahib Al-Ladunniyah".

18. Ibnu Atsir dalam "Al-Kamil" (8/506).

19. Ibnu Khallikan dalam "Wafayat Al-A'yan" (5/136).

20. Abu Muhammad Ibnu Qudamah dalam "Al-Mughni" (3/556).

21. Abu Al-Faraj Ibnu Qudamah dalam kitab "Al-Sharh Al-Kabir" (3/495).

22. Al-Adawi Al-Hamzawi dalam "Kanz Al-Matalib" (hal. 216).

Dari kitab tafsir ini disimpulkan kebolehannya seseorang bertawassul melalui perantara orang shaleh baik yang masih hidup ataupun yang sudah meninggal.

BANTAHAN ATAS KEBENARAN KISAH AL-'UTBI:

Kisah tentang al-'Utbi ini adalah kisah yang tidak berdasar, sanadnya tidak shahih dan tidak dapat dijadikan dasar argumen.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

"وَلِهَذَا اسْتَحَبَّ طَائِفَةٌ مِنْ مُتَأَخِّرِي الْفُقَهَاءِ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَأَحْمَدَ مِثْلَ ذَلِكَ، وَاحْتَجُّوا بِهَذِهِ الْحَكَايَةِ الَّتِي لَا يَثْبُتُ بِهَا حُكْمٌ شَرْعِيٌّ، لَا سِيمَا فِي مِثْلِ هَذَا الْأَمْرِ الَّذِي لَوْ كَانَ مَشْرُوعًا مَنْدُوبًا: لَكَانَ الصَّحَابَةُ وَالتَّابِعُونَ أَعْلَمَ بِهِ، وَأَعْمَلَ بِهِ مِنْ غَيْرِهِمْ، بَلْ قَضَاءُ حَاجَةٍ مِثْلَ هَذَا الْأَعْرَابِيِّ وَأَمْثَالِهَا لَهَا أَسْبَابٌ قَدْ بَسَطَتْ فِي غَيْرِ هَذَا الْمَوْضِعِ؛ وَلَيْسَ كُلَّ مَنْ قُضِيَتْ حَاجَتُهُ بِسَبَبٍ يَقْتَضِي أَنْ يَكُونَ السَّبَبُ مَشْرُوعًا مَأْمُورًا بِهِ، فَقَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ فِي حَيَاتِهِ الْمَسْأَلَةَ فَيُعْطِيهَا، لَا يُرَدُّ سَائِلًا، وَتَكُونُ الْمَسْأَلَةُ مَحْرَمَةً فِي حَقِّ السَّائِلِ"

"Oleh karena itu, sebagian dari ulama fiqih yang datang kemudian dari kalangan madzhab Imam Syafi'i dan Imam Ahmad, mereka menganggap mustahab hal seperti ini. Mereka menggunakan kisah ini sebagai dasar, padahal kisah ini tidak dapat dijadikan dasar hukum syari'at, terutama dalam hal seperti ini, yang jika seandainya ini amalan sunnah yang disyariatkan, maka pasti para Sahabat dan tabi'in akan lebih dulu mengetahuinya dan lebih dulu mengamalkannya daripada orang lain. Bahkan terkabulnya doa hajat kebutuhan semacam yang dialami oleh orang Arab Badui atau sejenisnya memiliki sebab-sebab lain yang telah ditegaskan di luar konteks ini.

Tidak semua orang yang terkabulkan hajatnya karena suatu sebab berarti bahwa sebab tersebut disyariatkan dan diperintahkan. Nabi Allah (SAW) pada masa hidupnya biasa ada orang yang meminta padanya suatu permintaan dan beliaupun memberikan-nya tanpa menolak si peminta-minta. Sementara minta-minta itu diharamkan bagi si peminta-minta." (diambil) dari "Iqtida' al-Sirat al-Mustaqim" (1/289).

Sedangkan imam besar Hafizh Abu Muhammad Ibnu 'Abdul-Hadi rahimahullah berkata:

وَهَذِهِ الْحِكَايَةُ الَّتِي ذَكَرَهَا بَعْضُهُمْ يَرْوِيهَا عَنِ الْعَتْبِيِّ ، بِلَا إِسْنَادٍ ، وَبَعْضُهُمْ يَرْوِيهَا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَرْبِ الْهِلَالِيِّ ، وَبَعْضُهُمْ يَرْوِيهَا عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ حَرْبٍ عَنْ أَبِي الْحَسَنِ الزَّعْفَرَانِيِّ ، عَنْ الْأَعْرَابِيِّ ، وَقَدْ ذَكَرَهَا الْبَيْهَقِيُّ فِي كِتَابِ شُعَبِ الْإِيمَانِ بِإِسْنَادٍ مُظْلِمٍ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ رُوحِ بْنِ يَزِيدَ بْنِ الْبَصْرِيِّ ، حَدَّثَنِي أَبُو حَرْبِ الْهِلَالِيُّ قَالَ: حَجَّ أَعْرَابِيٌّ فَلَمَّا جَاءَ إِلَى بَابِ مَسْجِدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَاخَ رَاحِلَتَهُ فَعَقَلَهَا ، ثُمَّ دَخَلَ الْمَسْجِدَ حَتَّى أَتَى الْقَبْرَ ، ثُمَّ ذَكَرَ نَحْوَ مَا تَقَدَّمَ ، وَقَدْ وَضَعَ لَهَا بَعْضُ الْكَذَّابِينَ إِسْنَادًا إِلَى عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَمَا سَيَأْتِي ذِكْرُهُ.

وَفِي الْجُمْلَةِ: لَيْسَتْ هَذِهِ الْحِكَايَةُ الْمَنْكُورَةُ عَنْ الْأَعْرَابِيِّ مِمَّا يَقُومُ بِهِ حُجَّةٌ، وَإِسْنَادُهَا مُظْلِمٌ مُخْتَلَقٌ، وَلَفْظُهَا مُخْتَلَقٌ أَيْضًا، وَلَوْ كَانَتْ ثَابِتَةً لَمْ يَكُنْ فِيهَا حُجَّةٌ عَلَى مَطْلُوبِ الْمُعْتَرِضِ، وَلَا يَصْلَحُ الِاسْتِنْبَاطُ بِمِثْلِ هَذِهِ الْحِكَايَةِ، وَلَا الِاعْتِمَادُ عَلَى مِثْلِهَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيقُ" انتهى

"Kisah yang diceritakan oleh sebagian mereka, meriwayatkannya tanpa sanad (rantai perawi), beberapa orang lainnya meriwayatkannya dari Muhammad bin Harb al-Hilali, dan beberapa lainnya meriwayatkannya dari Muhammad bin Harb al-Hilali melalui jalur Abu al-Hasan al-Zafarani, dari orang Badui tersebut.

Kisah ini telah disebutkan oleh al-Bayhaqi dalam kitabnya "Syu'ab al-Iman" dengan sanad yang gelap. (Disebutkan bahwa) Muhammad bin Ruha bin Yazid bin al-Bashri berkata, menceritakan kepada saya Abu Harb al-Hilali, dia berkata:

" Seorang Badui berhaji, ketika dia sampai di pintu masjid Rasulullah (SAW), dia mengikat untanya dan mengikat matanya, lalu dia masuk ke dalam masjid hingga sampai ke kubur, kemudian dia mengucapkan (sebagian dari apa yang telah disebutkan).

Sebagian para pendusta telah memalsukan sanad kepada Ali bin Abi Thalib (ra) sebagaimana yang akan disebutkan."

"Kesimpulannya: Kisah munkar dari al-A'rabi [badui] ini bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan hujjah (dasar argumen), rantai sanadnya gelap dan dibuat-buat, demikian juga matannya (kisahnya) dibuat-buat.

Jika kisah ini benar-benar terbukti, maka tidak ada hujjah (dalil) yang dapat diambil dari situ bagi lawan pembantah. Tidaklah dibenarkan istinbaath hukum dengan hikayat yang semisal ini. Dan tidak bisa dijadikan pegangan oleh para ulama. Dan kepada Allah tempat meminta pertolongan." ["Ash-Shaarim al-Munki fi al-Radd 'ala as-Subki" (338) Cet. al-Anṣārī]

Diambil dari "al-Silsilah al-Sahihah" (6/427) karya Syaikh al-Albani.

"Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:

" وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ مُظْلِمٌ ، لَمْ أَعْرِفْ أَيُّوبَ الْهِلَالِيَّ وَلَا مِنْ دُونِهِ. وَأَبُو يَزِيدَ الرَّقَاشِيُّ ، أَوْرَدَهُ الذَّهَبِيُّ فِي " الْمُقْتَنَى فِي سِرْدِ الْكُنَّى " (2 / 155) وَلَمْ يُسَمِّهِ ، وَأَشَارَ إِلَى أَنَّهُ لَا يَعْرِفُ بِقَوْلِهِ: “حَكَّى شَيْئًا ". وَأَرَى أَنَّهُ يُشِيرُ إِلَى هَذِهِ الْحِكَايَةِ.

وَهِيَ مُنْكَرَةٌ ظَاهِرَةُ النَّكَارَةِ ، وَحَسْبُكَ أَنَّهَا تَعُودُ إِلَى أَعْرَابِيٍّ مَجْهُولِ الْهُوِّيَّةِ ! وَ قَدْ ذُكِرَتْ - مَعَ الْأَسَفِ - الْحَافِظُ ابْنُ كَثِيرٍ عِنْدَ تَفْسِيرِهِ لِهَذِهِ الْآيَةِ: (وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ..) وَتَلَقَّفَهَا مِنْهُ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ وَالْمُبْتَدِعَةِ ، مِثْلَ الشَّيْخِ الصَّابُونِيِّ ، فَذَكَرَهَا بِرَمْتِهَا فِي " مُخْتَصَرِهِ " ! (1 / 410) وَفِيهَا زِيَادَةٌ فِي آخِرِهَا: “ثُمَّ انْصَرَفَ الْأَعْرَابِيُّ ، فَغَلَبَتْنِي عَيْنِي ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ ، فَقَالَ: يَا عَتْبِي ! الْحَقَّ الْأَعْرَابِي فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ ". وَهِيَ فِي " ابْنِ كَثِيرٍ " غَيْرُ مَعْزُوَّةٍ لأَحَدٍ مِنَ الْمَعْرُوفِينَ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ ، بَلْ عَلَّقَهَا عَلَى " الْعُتْبِيِّ " ، وَهُوَ غَيْرُ مَعْرُوفٍ إِلَّا فِي هَذِهِ الْحِكَايَةِ ، وَيُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ هُوَ أَيُّوبُ الْهِلَالِيُّ فِي إِسْنَادِ الْبَيْهَقِيِّ. وَهِيَ حِكَايَةٌ مُسْتَنْكِرَةٌ ، بَلْ بَاطِلَةٌ ، لِمُخَالَفَتِهَا الْكِتَابَ وَالسُّنَّةِ ، وَلِذَلِكَ يَلْهَجُ بِهَا الْمُبْتَدِعَةُ ، لِأَنَّهَا تَجِيزُ الِاسْتِغَاثَةَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَطَلَبَ الشَّفَاعَةِ مِنْهُ بَعْدَ وَفَاتِهِ ، وَهَذَا مِنْ أَبْطَلِ الْبَاطِلِ ، كَمَا هُوَ مَعْلُومٌ ، وَقَدْ تَوَلَّى بَيَانَ ذَلِكَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ فِي كُتُبِهِ وَبِخَاصَّةٍ فِي " التَّوَسُّلِ وَالْوَسِيلَةِ " ، وَقَدْ تَعَرَّضَ لِحِكَايَةِ الْعَتْبِيِّ هَذِهِ بِالْإِنْكَارِ."

'Dan ini adalah sanad yang lemah dan gelap, saya tidak mengenal Ayyub Al-Hilali dan tidak pula perawinya ke bawahnya. Dan Abu Yazid Ar-Raqashi, adanya dalam 'Al-Muqtanā fī Sird al-Kunnā' (2/155) oleh Adz-Dzahabi, namun ia tidak menyebutkan namanya, dan mengisyaratkan bahwa ia tidak mengenalnya, berdasarkan perkataannya: 'Telah mengisahkan sesuatu.' Dan saya melihat bahwa ia mengisyaratkan pada cerita ini.

Cerita ini adalah munkar dan jelas kemunkaranya, dan cukup bagi Anda untuk tahu bahwa ia berasal dari seorang Arab yang identitasnya tidak diketahui! Dan sayangnya, Al-Hafiz Ibnu Katsir juga menyebutkannya dalam tafsirnya atas ayat ini: ('Dan sekiranya mereka ketika menganiaya diri mereka sendiri...') dan banyak dari pengikut hawa nafsu dan ahli bid'ah yang menerima itu, seperti Asy-Syaikh Ash-Shobuni, sehingga ia mencatatnya secara utuh dalam 'Mukhtasharnya'! (1/410), dan di dalamnya ada penambahan di akhirnya:

" ثُمَّ انْصَرَفَ الْأَعْرَابِيُّ ، فَغَلَبَتْنِي عَيْنِي ، فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي النَّوْمِ ، فَقَالَ: يَا عُتْبِي ! الْحَقَّ الْأَعْرَابِي فَبَشِّرْهُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لَهُ "

'Kemudian orang Arab itu pergi, lalu rasa kantuk mengusai diriku, dan aku bermimpi melihat Nabi dalam tidur, dan beliau berkata: 'Wahai 'Utbī! Kejarlah, orang Arab badui itu, lalu kabarkanlah kepadanya bahwa Allah telah mengampuninya.'

Dan cerita ini dalam 'Ibn Kathir' tidak merujuk kepada siapa pun yang dikenal dari Ahli Hadits, malah ia menghubungkannya dengan 'Utbī', dan Utbi ini tidak dikenal kecuali dalam cerita ini, dan mungkin bisa jadi ia adalah Ayyub Al-Hilali dalam sanad Al-Bayhaqi.

Dan cerita ini adalah cerita yang diketahui salah, munkarah bahkan batil, karena ia bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dan itulah sebabnya ahli bid'ah menyebutkannya, karena ia membolehkan Istighotsad dengan Nabi (SAW) dan meminta syafaat darinya setelah kematian beliau. Dan itu adalah salah satu kesalahan yang paling besar. Sebagaimana yang telah diketahui, Sheikh Al-Islam Ibnu Taimiyah telah menguraikan hal ini dalam karyanya, terutama dalam 'At-Tawassul wal Wasilah', dan ia telah menolak cerita 'Utbī ini." [Silsilah Ash-Shahihah" (6/427).']

====

DALIL TAWASSUL KETIGA: HADITS NABI ADAM (AS) BERTAWASSUL DENGAN NABI (SAW)

Hadits Tawassul nabi Adam alaihis salam dengan nabi Muhammad (SAW) sebelum beliau lahir ke dunia.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari bapaknya dari kakeknya dari Umar bin Khaththab (ra) beliau berkata, bahwa Nabi (SAW) bersabda:

« لَمَّا اقْتَرَفَ آدَمُ الْخَطِيئَةَ ، قَالَ: يَا رَبِّ ، أَسْأَلُكَ بِحَقِّ مُحَمَّدٍ لَمَا غَفَرْتَ لِي ، فَقَالَ اللَّهُ: يَا آدَمُ ، وَكَيْفَ عَرَفْتَ مُحَمَّدًا وَلَمْ أَخْلُقْهُ ؟ قَالَ: يَا رَبِّ ، لأَنَّكَ لَمَّا خَلَقْتَنِي بِيَدِكَ وَنَفَخْتَ فِيَّ مِنْ رُوحِكَ رَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ عَلَىَ قَوَائِمِ الْعَرْشِ مَكْتُوبًا لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ ، فَعَلِمْتُ أَنَّكَ لَمْ تُضِفْ إِلَى اسْمِكَ إِلا أَحَبَّ الْخَلْقِ إِلَيْكَ ، فَقَالَ اللَّهُ: صَدَقْتَ يَا آدَمُ ، إِنَّهُ لأُحِبُّ الْخَلْقِ إِلَيَّ ادْعُنِي بِحَقِّهِ ، فَقَدْ غَفَرْتُ لَكَ وَلَوْلا مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُكَ ».

" Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu dengan haq Muhammad agar Kau ampuni diriku".

Lalu Allah berfirman:"Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum aku jadikan?"

Adam menjawab: "Ya Tuhanku ketika Engkau ciptakan diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruhMu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis "Laailaaha illallaah Muhamadun rasulullah" maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu kepada namaMu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai".

Allah menjawab: "Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, berdoalah dengan haqnya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan bukan karena Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu".

(HR. Hakim di Mustadrok 2/615, Ibnu Asakir di Tarikh Damaskus 2/323/2 dan Baihaqi di Dalail Nubuwah 5/488).

Imam Hakim berkata: "Hadits ini adalah shohih dari segi sanadnya".

Demikian juga Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail Annubuwwah, Imam Qostholany dalam kitabnya Almawahib 2/392, Imam Zarqoni dalam kitabnya Syarhu Almawahib Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’ Assaqom dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khoshoish Annubuwah, mereka semua mengatakan bahwa hadits ini adalah shohih.

Dan dalam riwayat lain, Imam Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan redaksi:

 « فَلَوْلَا مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ وَلَا الْجَنَّةَ وَلَا النَّارَ ».

" Kalau bukan karena Muhammad, aku tidak menciptakan Adam, tidak juga surga dan neraka ". (HR. Hakim di Mustadrok 2/216).

Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini adalah: shohih dari segi sanad, demikian juga Syekh Islam Albulqini dalam fatawanya mengatakan bahwa ini adalah shohih, dan Syekh Ibnu Jauzi memaparkan dalam permulaan kitabnya Alwafa’, dan dinukil oleh Ibnu Kastir dalam kitabnya Bidayah Wannihayah 1/180.

SISI PENDALILAN:

Mereka yang bependapat boleh bertwassul dengan orang mati berkata:

" Walaupun dalam menghukumi hadits ini tidak ada kesamaan dalam pandangan ulama’, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam jarh wattta’dil (penilaian kuat dan tidak) terhadap seorang rowi, akan tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa tawassul terhadap Nabi Muhammad (SAW) adalah boleh".

BANTAHAN ATAS KANDUNGAN HADITS DAN KESHAHIHAN SANADNYA:

BANTAHAN PERTAMA: Yang benar, bahwa bertaubat nya Nabi alaihis salam itu seperti yang Allah SWT ceritakan dalam al-Quran, yaitu dalam firman-Nya:


فَأَزَلَّهُمَا الشَّيْطَانُ عَنْهَا فَأَخْرَجَهُمَا مِمَّا كَانَا فِيهِ وَقُلْنَا اهْبِطُوا بَعْضُكُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ وَلَكُمْ فِي الْأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ

Artinya: “Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surga itu dan dikeluarkan dari keadaan semula dan Kami berfirman: “Turunlah kamu! sebagian kamu menjadi musuh bagi yang lain, dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi, dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan”. [QS Al Baqarah:36]


فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. [QS Al Baqarah:37]

Berikut ini adalah beberapa kalimat (kata) taubat yang dimaksud:

رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi”. [QS Al A’raaf:23].

Jadi Adam dan Hawa dua-duanya bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dengan mengucapkan kalimat-kalimat di atas.

Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 9/247 meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas (ra) ketika menjelaskan ayat:

[ فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ ].

قَالَ: أَيُّ رَبِّ أَلَمْ تَخْلُقَّنِي بِيَدِكَ؟. قَالَ: «بَلَى».

قَالَ: أَيُّ رَبِّ، أَلَمْ تَنفُخْ فِي مَنْ رُوحِكَ؟. قَالَ: «بَلَى».

قَالَ: أَيُّ رَبِّ، أَلَمْ تُسْكِنِي جَنَّتَكَ؟. قَالَ: «بَلَى».

قَالَ: أَيُّ رَبِّ أَلَمْ تَسْبِقْ رَحْمَتُكَ غَضَبَكَ؟. قَالَ: «بَلَى».

قَالَ: أَرَأَيْتَ إِن تَبْتُ وَأَصْلَحْتُ أَرَاجِعِي أَنتَ إِلَى الْجَنَّةِ؟. قَالَ: «بَلَى».

قَالَ: فَهُوَ قَوْلُهُ: [ فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ... ] ".

Artinya: “Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya “. [QS Al Baqarah (2):37]

Dia (Adam) berkata: Ya Rabbi, bukankah Engkau menciptakan aku dengan tangan-Mu? Dia (Allah) menjawab: Ya.

Adam berkata: Ya Rabbi, bukankah Engkau meniupkan ke dalam diriku sebagian roh-Mu?

Allah menjawab: Ya. Adam berkata: Ya Rabbi, bukankah Engkau menempatkan aku tempat kediaman di surga?

Allah menjawab: Ya. Adam berkata: Ya Rabbi, bukankah Engkau mendahulukan rahmat-Mu atas kemarahan-Mu?

Allah menjawab: Ya. Adam berkata: Ya Rabbi, bukankah Engkau akan mengembalikan aku ke surga apabila aku bertaubat dan memperbaiki diri?

Allah menjawab: Ya.

Demikianlah penjelasan Ibnu ‘Abbas tentang Firman Allah ta’aala (فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ)

(Hadits ini dishahihkan Sanadnya oleh al-Hakim dan di setujui oleh Adz-Dzahabi)

BANTAHAN KEDUA: Adapun mengenai hadits taubatnya Nabi Adam alaihis salam dengan cara bertawassul dengan Nabi Muhammad (SAW) serta penshahihan Imam al-Hakim dan para ahli hadits lainnya terhadap hadits tersebut, maka bantahannya adalah sbb:

Imam Dhahabi dalam kitabnya Talkhis al-Mutasdrok 2/615 mengkiritik Hakim yang telah mengklaim bahwa hadits itu sahih dengan kata-kata bantahan berikut ini:

" Akan tetapi yang benar adalah hadits itu palsu (موضوع), dan (perawi yang bernama) Abdurrahman (bin Zaid bin Aslam) sangat lemah, kemudian (bapaknya) Zaid bin Aslam adalah orang yang tidak saya kenal, siapa dia itu ? ". (Talkhis Mustadrok karya Adz-Dzahabi 2/615)

Salah satu kontradiksi Hakim sendiri dalam kitabnya Mustadrok yaitu dia telah menyebutkan hadits lain masih dalam satu kitab dari orang yang sama yaitu Abdurrahman tadi, akan tetapi dia tidak mensahihkannya bahkan dia berkata:


" Bukhory dan Muslim tidak mau berhujjah dengan Abdurrahman bin Zaid ".

Dan Hakim juga telah lupa jika dirinya telah memasukkan Abdurrahman bin Zaid dalam kitabnya Adh-Dhu'afa (kumpulan orang-orang dhoif / lemah).

Dan beliau sendiri telah berkata dalam kitab Al Madkhal ilaa Ma'rifatish Shahih Minas Saqiim 1/154:

"وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ رَوَى عَنْ أَبِيهِ أَحَادِيثَ مَوْضُوعَةٍ لَا يَخْفَى عَلَى مَنْ تَأَمَّلَهَا مِنْ أَهْلِ الصَّنَعَةِ أَنَّ الْحُمْلَ فِيهَا عَلَيْهِ".

"Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya beberapa hadits palsu yang dapat diketahui secara jelas oleh pakar hadits yang menelitinya bahwa dialah yang membuat hadits-hadits tersebut."

Kedhaifan Abdurrahman ini telah di sepekati para ulama hadits, seperti yang dinyatakan Ibnu Taimiah dalam kata-katanya: “Abdurrahman bin Zaid itu dhoif sesuai dengan kesepakatan para ulama, dia banyak melakukan kekeliruan ". (Qo'idah Jalilah fit Tawassul hal 69).

Ibnu Abdil Haadii dalam kitab Ash-Shoorimul Mungki hal. 32 berkata: “Sungguh benar-benar aneh dan ajaib dari nya (maksudnya As-Subki pen.) bagaimana mungkin dia mau bertaklid kepada Al-Hakim dalam mensahihkannya, padahal jelas-jelas itu adalah hadist yang tidak sahih dan tidak otentik, bahkan sanadnya sangat lemah sekali, dan sebagian para Imam ahli hadist telah mengklaimnya palsu, lagi pula sanadnya dari Al-Hakim hingga Abdurrahman tidaklah sahih, bahkan kesannya di buat-buat atas nama Abdurrahman ".

Diantara para ulama yang mendhaifkan Abdurrahman ini adalah Imam Ahmad, Abu Zur'ah, Abu Hatim, An-Nasai, Daruquthni, Ibnu Hajar Al-Asqalany dan lainnya. (Lihat: Mizanul I'tidal 2/5640).

Imam Bukhory berkata: “Abdurrahman dianggap sangat lemah sekali oleh Ali
(Al-Madiny) ". (Lihat: Mizanul I'tidal 2/5640).

Ibnu Hibban dalam kitab Al-Majruhin 1/57 berkata: “Dia telah memutar balikkan hadits, dia sendiri awalnya orang yang tidak dikenal, dan mulai dikenal ketika dia banyak meriwayatkan hadits dengan cara merubah-rubah hadits mursal menjadi marfu' dan hadits mauquf menjadi musnad, maka sebagai hukumannya harus meninggalkan riwayatnya ".

Imam al-Baihaqi dalam (دلائل النبوة 5/489) setelah menyebutkan hadits diatas berkata:

" تَفَرَّدَ بِهِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ وَهُوَ ضَعِيفٌ ".

“ Abdurrrahman bin Zaid bin Aslam, dia sendirian meriwayatkannya, dan dia itu dhoif “.

Robi' bin Sulaiman Al-Murody seorang murid dan juga penulis Kitab Al-Umm Imam Syafi'i, dia berkata:

" Aku mendengar Imam Syafii berkata: Pernah di tanyakan kepada Abdurrahman bin Zaid bin Aslam: apakah bapakmu telah berbicara padamu dari kakeknya bahwa perahu nabi Nuh telah berthawaf mengelilingi Ka'bah dan (setelah itu) perahu tersebut sholat dua rokaat di belakangnya ?

Dia menjawab: Iya ".

(Lihat: Ash-Shorimul Mungky karya Ibnu Abdil Haadii 1/42, Bulughul Amani fir Radd 'Ala Miftahit Tiijaani 1/36)

Maksud Imam Syafii menyebutkan kisah tersebut untuk membuktikan kebohongannya.

Al-'Uqaily dalam kitab Adl-Dluafa menyebutkan: bahwa ada seorang laki-laki di hadapan Imam Malik menyebutkan sebuah hadist, maka beliu bertanya: “Siapa yang mengatakan hadist itu pada mu ?, maka orang itu menyebutkan sanadnya yang putus, maka beliau berkata: Pergilah ke Abdurrahman bin Zaid, dia akan menyampaikan sebuah hadist padamu dari bapaknya tentang Nabi Nuh ".

Ibnul Jauzi berkata: “Para Ulama telah ber ijma' (konsensus / sepakat) akan kedlaifannya ".

(Lihat: Al-Mizan 2/534, Tarikh Kabir karya Imam Bukhori 5/285, Tarikh Shogir Karya Bukhori hal. 74, At-Tahdzib 5/90 dan Tahdzibul Kamal 17/118).

Kemudian perawi yang meriwayatkan dari Abdurrahman yang bernama Abul Haris Abdullah bin Muslim al-Fihry, di sebutkan oleh Dzahabi dalam kitabnya Mizan I'tidal ketika mengupas hadits ini, beliau berkata: “Khabar (hadits) ini batil, Baihaqi telah meriwayatkannya dalam kitabnya Dalail Nuabuwah, dan Baihaqi berkata: “Yang meriwayatkan hadits ini Abdurrahman bin Zaid bin Aslam sendirian, dan dia Dhoif (lemah). (Lihat: Silsilah Ahadits Addha'ifah 1/89).

Dan yang demikian itu di akui atau di tetapkan Ibnu Kastir dalam kitab Tarikhnya Al-Bidayah wan Nihayah 2/323, dan di setujui oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Kitab Al-Lisan bahwa: Khabar (hadits) tersebut adalah Bathil, bahkan beliau menambahinya dengan kata-kata:

" Perawi Al-Fihry tidak jauh berbeda dengan perawi sebelumnya, karena setaraf ".

" Perawi sebelum Al-Fihry atau perawi yang meriwayatkan dari dia bernama Abdullah bin Muslim bin Rashid telah di sebut-sebut oleh Ibnu Hibban dengan mengatakan: dia tertuduh melakukan pemalsuan hadits, dia menciptakan hadits palsu dengan mengatas namakan Laits, Imam Malik, dan Ibnu Lahi'ah. Tidak halal hukumnya menulis hadits darinya. Dialah yang meriwayatkan dari Ibnu Hudbah sebuah nuskhoh (lembaran tulisan), dan nampaknya telah direkayasa ".

(Lihat: Al-Mizan 2/387, Lisanul Mizan karya Al-Hafidz Ibnu Hajar 3/441 dan Silsilah Ahadits Addha'ifah karya Al-Bany 1/89).

Hadits diatas telah diriwayatkan pula oleh Tabrony dalam kitabnya al-Mu'jam ash-Shagir no. 207 lewat jalur lain dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, kemudian Tabrani berkata: “Dia tidak meriwayatkan dari Umar kecuali dengan sanad seperti ini ".

Dan Ibnu Hajar al-Haitsami mengomentari hadits ini dalam kitabnya Majma' Zawaid 8/253 dengan mengatakan:

" Hadits ini di riwayatkan Tabrani di Mu'jam Awsath dan Mu'jam Shagir, dan di dalam sanadnya terdapat orang-orang yang aku tidak mengenalinya ".

Aku katakan: Komentar Al-Haitsami dalam menghukumi kelemahan hadits ini terlalu sederhana dan singkat sekali, maka bagi orang yang pengetahuannya minim mengira tidak ada perawi yang benar-benar di kenal cacat, akan tetapi yang benar tidak seperti itu, karena hadits tersebut kisarannya pada Abdur Rahman bin Zaid bin Aslam, dalam hal ini Baihaqi menyatakan: “Dia sendirian meriwayatkan nya ". Dan dia adalah orang yang tertuduh melakukan pemalsuan hadits seperti yang di tuduhkan Hakim sendiri padanya, oleh karena itu wajar lah jika para ulama mengingkari Hakim atas pentashihan hadits tersebut, dan mereka telah menganggap Hakim telah melakukan kekeliruan dan kontradiksi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: "Periwayatan Al Hakim terhadap hadits ini termasuk yang diingkari oleh para ulama, karena sesungguhnya diri beliau sendiri telah berkata dalam kitab Al-Madkhol ilaa Ma'rifatish Shahih Minas Saqim, "Abdurrahman bin Zaid bin Aslam meriwayatkan dari ayahnya beberapa hadits palsu yang dapat diketahui secara jelas oleh pakar hadits yang menelitinya bahwa dialah yang membuat hadits-hadits tersebut."

Aku (Ibnu Taimiyah) katakan: "Dan Abdurrahman bin Zaid bin Aslam adalah perawi dha'if (lemah) dan banyak melakukan kesalahan sebagaimana kesepakatan mereka (ahli hadits)." (Qo'idah Jalilah fit Tawassul hal 69).

Syeikh az-Zarqoony dalam (شرح المواهب) 1/76: “غَرِيبٌ مَعَ ضَعْفِ رَاوِيهِ. / Aneeh, padahal perawinya dhoif “.

Syeikh Al Albani berkata: "Kesimpulannya sesungguhnya hadits ini Laa Ashla Lahu (tidak berasal) dari Nabi (SAW), dan tidak salah jika menghukuminya dengan batil sebagaimana penilaian dua orang Al Hafizh, Adz Dzahabi dan (Ibnu Hajar) Al Asqalani sebagaimana telah dinukil dari keduanya." (Silsilah Ahadits Addha'ifah 1/90).

Para ulama hadits yang mendha'ifkan sanad hadits ini banyak sekali, diantaranya:

  1. Imam al-Baihaqi dlm kitabnya (دلائل النبوة) 5/486
  2. Adz-Dzahabi dalam kitabnya (تلخيص المستدرك) 2/615. Dia berkata: “Palsu”. Kemudian dlm kitabnya (الميزان): “Batil”, artinya palsu sanadnya dan batil matannya.
  3. Syeikh Ibnu Taimiyah dlm kitabnya (الرد على البكري) hal. 6, beliau mengatakannya palsu.
  1. Al-Haafidz Ibnu ‘Abdul Hadi dlm kitabnya (الصارم المنكي) menghukuminya palsu.
  2. Al-Haafidz Ibnu Kaatsiir dalam kitab (البداية والنهاية) 2/323, beliau berkata: “Perawinya, orang yang diperbincangkan, dan mengutip perkataan al-Baihaqi bahwa perawinya lemah.
  1. Ibnu Hajar al-Haitsami dalam (مجمع الزوائد) 8/253.
  2. Al-Imam as-Sayuuthiy dalam kitab تخريج أحاديث الشفاء hal. 30.
  3. Al-Haafiidz az-Zarqooniy dalam kitab شرح المواهب 1/76.
  4. Asy-Syihaab al-Khofaajiy dalam kitabnya شرح الشفاء 2/242
  5. Mala ‘Ali al-Qooriy dalam kitab شرح الشفاء 1/215.
  6. Ibnu ‘Iraaq dalam kitab تنزيه الشريعة 1/76, menyebutkan perkataan akan kebatilan hadits tersebut.
JAWABAN TERHADAP BANTAHAN:

Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail Annubuwwah telah menshahihkannya (hadits tawassul Nabi Adam alaihis salam dengan Nabi Muhammad (SAW)), begitu juga Imam Qostholany dalam kitabnya Almawahib 2/392, Imam Zarqoni dalam kitabnya Syarhu Al-Mawahib Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’ Assaqom dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khoshoish Annubuwah, mereka semua mengatakan bahwa hadits ini adalah shohih.

BANTAHAN TERHADAP JAWABAN:

Benarkah ?

Yang benar seperti yang diuraikan oleh Syeikh Sholeh bin Abdul ‘Aziz ‘Aali asy-Syeikh adalah justru sebaliknya. Silahkan baca kitab beliau هذه مفاهيمنا hal. 20-28.

Adapun Hadits riwayat lain, yaitu Imam Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan redaksi:

 « فَلَوْلَا مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ وَلَا الْجَنَّةَ وَلَا النَّارَ ».

" Kalau bukan karena Muhammad, aku tidak menciptakan Adam, tidak juga surga dan neraka ". (HR. Hakim di Mustadrok 2/216).

Kemudian Al-Hakim mengatakan bahwa hadits ini adalah shohih dari segi sanad, demikian juga Syekh Islam Albulqini dalam fatawanya mengatakan bahwa ini adalah shohih, dan Syekh Ibnu Jauzi memaparkan dalam permulaan kitabnya Alwafa’, dan dinukil oleh Ibnu Kastir dalam kitabnya Bidayah Wannihayah 1/180.

BANTAHANNYA:

PERTAMA:

Hadits qudsy tersebut ada kemiripan dengan sebuah ungkapan Dalam Injil Yohana (1:13,4): Rasul Yohana berkata:

" (Yesus) Pada awalnya adalah sebuah kalimat (firman), dan kalimat itu telah ada di sisi Allah, dan kalimat itu adalah Allah... segala sesuatu tercipta dengan-Nya, dan tanpa dengan-Nya tidak akan pernah tercipta, dan kalimat itu menjadi jasad dan menyatu diantara kita, dan kami melihat keagungan-Nya benar-benar agung... ".

COBA PERHATIKAN !!!! ungkapan Rasul Yohana berkata:

"... segala sesuatu tercipta dengan-Nya (Yesus), dan tanpa dengan-Nya tidak akan pernah tercipta... ".

Bukan hal yang diragukan lagi akan kepalsuan ayat Injil ini, apalagi bersumber dari Injil riwayat Yohanes, Injil yang sangat berbahaya, satu-satu nya Injil yang mengandung banyak paragraf-paragraf yang dengan jelas menyatakan ketuhanan nabi Isa u. Para uskup abad kedua banyak yang mengingkari penisbatan Injil ini kepada Yohanes Al-Hawaary, termasuk diantaranya Arinius murid Bulikarib murid Yohanes Al-Hawaary. Bulikarib tidak pernah mendengar bahwa Injil itu dari gurunya Yohanes, kalau seandainya itu benar pasti dia mengakuinya, dan muridnya juga Arinius pasti akan mendengarnya dan menyampaikannya.

KEDUA:

Redaksi lengkap hadits Qudsy: “فَلَوْلَا مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ وَلَا الْجَنَّةَ وَلَا النَّارَ » dan derajat keshahinnya sbb:

((أَوْحَى اللهُ إلَى عِيْسَى u: يَا عِيْسَى آمِنْ بِمُحَمَّدٍ ، وَأْمُرْ مَنْ أَدْرَكَهُ مِنْ أُمَّتِكَ أَنْ يُؤْمِنُوْا بِهِ ، فَلَوْلاَ مُحَمَّدٌ مَا خَلَقْتُ آدَمَ ، ولولا محمدٌ ما خَلقتُ الجنةَ والنارَ ، وَلَقَدْ خَلقتُ العَرْشَ علَى الماءِ فاضْطَرَبَ فكَتَبْتُ عَلَيْهِ: لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهً مُحَمَّدٌ رسولُ اللهِ ، فَسَكَنَ)).

“ Allah mewahyukan kepada 'Isa u: Wahai 'Isa berimanlah kepada Muhammad, dan suruhlah orang-orang dari umatmu yang menjumpai nya (Muhammad) agar semuanya beriman dengannya. Maka Kalau bukanlah karena Muhammad, aku tidak menciptakan Adam, dan kalaulah bukan karena Muhammad aku tidak ciptakan Syurga dan Neraka, dan sungguh telah aku ciptakan 'Arasy itu di atas air, maka ia bergetar, lalu Aku tuliskan di atasnya: Laa ilaha illalLaah Muhammadur rasululLah. maka ia diam tenang ”.

Berkata al-Hakim: Soheh Isnadnya !! namun dikritik oleh adz-Dzahabi dengan mengatakan: “Aku percaya hadist ini Palsu kerana adanya Sa'id “.

Yang di maksud Said di sini adalah: Sa'id bin 'Aroobah (beliau bersendirian meriwayatkan hadith ini), dan telah diriwayatkannya dari 'Amru bin Aus al-Ansori dan dia didapati telah memalsukan hadith ini. Az-Zahabi telah menyebut tentangnya di dlm "al-Mizan", katanya: Dia mendatangkan khabar yg mungkar, dan katanya: Aku percaya khabar itu palsu dan disetujui oleh al-Hafidz Ibn Hajar di dlm "al-Lisan"

Berkata syeikh al-Albani (tentang hadith di atas) di dlm "as-Silsilah ad-Dhoiefah" (280): “Tidak ada asalnya “.

Muhammad bin Kholil al-Qoowiqji dalam kitabnya “اللؤلؤ المرصوع فيما لا أصل له ، أو بأصله موضوع” hal. 452-454 berkata: bahwa hadits ini dusta dan palsu.

Dan hadits tersebut terdapat riwayat lain dengan redaksi sbb:

Allah Azza wa Jalla berfirman:

{لَوْلاَكَ لَمَا خَلَقْتُ الأَفْلاَكَ]

Artinya: “Kalau bukan kerana engkau (Muhammad) Aku tidak menciptakan tata surya”.

Tentang kedustaan hadits qudsi ini, al-Imam As-Syaukani menyebutkan di dlm "al-Fawa'id al-Majmu'ah fi al-Ahadith al-Maudhu'ah" (hal. 326), beliau mengatakan: Telah berkata as-Son'aani: Maudhu' (hadith ini palsu). Dan al-Albani Berkata di dlm "al-Silsilah ad-Dhoiefah" (282): “Maudhu' (hadith ini palsu)”.

Dan dalam riwayat lain redaksinya:

" لولاك ما خلقت الدنيا "

“artinya: Kalau bukan engkau, aku tidak menciptakan Dunia “.

Hadits ini di sebutkan oleh al-Imam Ibnul Jauzi dalam kitab kumpulan hadits-hadits palsu (الموضوعات) dan dibenarkan akan kepalsuannya oleh al-Imam as-Sayuuthi dalam kitabnya “اللآلئ المصنوعة” 1/272.

Dan hadits ini oleh Syeikh al-Baani dianggap lemah dan bathil.

(Baca: سلسلة الأحاديث الضعيفة والموضوعة 1/450, Dan baca pula kitab: “المشتهر من الحديث الموضوع والضعيف” karya Abdul Muta’aal al-Jabry hal 13)

Dan Syeikh Taqiyuddin Ibn Taimiyyah pernah ditanyakan kepadanya:

Apakah hadith yg di sebutkan oleh sebahagian manusia: Kalaulah bukan kerana engkau (Muhammad), tidak Allah ciptakan 'Arasy, Kursi, bumi, langit, matahari, bulan dan selainnya, apakah hadits ini soheh atau tidak ?

Maka jawab beliau (Ibn Taimiyyah):

“ Nabi Muhammad (SAW), beliau adalah Sayyid (tuan) anak2 Adam, dan ciptaan Allah yang paling utama dan yg paling mulia, dan dikarenakan ini lalu sebagian orang berkata: sesungguhnya Allah menciptakan alam karenanya, atau (mereka berkata) Kalau bukan karenanya (muhammad) Allah tidak menciptakan 'Arays, Kursi, langit, bumi, matahari dan bulan. Akan tetapi ungkapan ini bukan hadith dari Nabi (SAW), bukan hadist yang soheh, bukan juga yg dhoief. dan tidak seorgpun di kalangan ahli Ilmu yg menyebutnya sebagai hadith dari Nabi (SAW), bahkan tidak juga diketahui dari sahabat bahkan itu adalah perkataan yg tidak diketahui siapakah yang mengatakannya ?. (majmu' al-Fatawa 11/86-96)

Dan telah ditanyakan pula kepada al-Lajnah ad-Daa'imah di Saudi Arabia (اللجنة الدائمة):

Apakah perkataan: Sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi karena diciptakan Muhammad (SAW) dan apakah pula makna (hadith) "kalau bukan karena engkau (Muhammad) tidak diciptakan bintang-bintang." apakah hadith ini ada asalnya?

Maka jawabannya: “Langit dan bumi di ciptakan bukan karena Muhammad (SAW), yang benar diciptakannya sebagaimana yg disebut oleh Allah U dlm firmannya:

{اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا].

"Allah lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasannya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu." (QS. At-Thalaq 12).

Adapun hadith yg disebut-sebut itu adalah dusta dan kebohongan terhadap Nabi(SAW). tidak didasarkan pada yg soheh. (fatwa al-Lajnah ad-Daa'imah 1/312).

Dan ditanyakan kepada as-Syeikh Ibn Baz tentang hadith ini, maka beliau berkata: Ini adalah ucapan dari sebahagian org awam yang tidak mengetahui (tidak faham), sebahagian mereka mengatakan bahwasanya:

“ dunia diciptakan disebabkan Muhammad, kalaulah bukan karena Muhammad, maka tidak diciptakan dunia, tidak diciptakan manusia “,

(perkataan ini) adalah batil dan tidak asal nya, dan perkataan ini adalah perkataan yg jahat. Allah menciptakan dunia ini utk diketahui kesucian dan ketiggiannya dan utk beribadah kepadanya. diciptakan dunia dan ciptaan2 utk diketahui nama2nya dan sifat2nya, kudrahnya dan ilmuNya dan utk beribadah kepadanya, tiada sekutu baginya. Bukan disebabkan Muhammad, Nuh, bukan juga Musa, 'Isa dan bukan disebabkan para Nabi yg lain. Bahkan diciptakannya utk menghambakan diri kepadanya saja tanpa menyekutukannya “. (fatawa Nur 'ala ad-darb, 46).

====

DALIL TAWASSUL KE EMPAT: HADITS YAHUDI KHAIBAR

Dalil PENDAPAT disyariatkan nya tawassul dengan orang yang sudah wafat.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Hakim dalam Mustadrak Al Hakim 2/298 no. 3042 dan Imam al-Baihaqi dalam Dalail Nubuwah 2/76 dengan sanadnya hingga sampai kepada Abdul Malik bin Harun bin 'Antarah dari bapaknya dari kakeknya dari Sa’iid bin Jubeir dari Ibnu ‘Abbaas (ra), beliau berkata:

كَانَتْ يَهُوْدُ خَيْبَرَ تُقَاتِلُ غَطَفَانَ فَكُلَّمَا الْتَقَوْا هَزَمَتْ يَهُوْدُ خَيْبَرَ فَعَاذَتِ الْيَهُوْدُ بِهٰذَا الدُّعَاءِ: إِنَّا نَسْأَلُكَ بِحَقِّ النَّبِيِّ الْأُمِّيِّ الَّذِي وَعَدْتَنَا أَنْ تُخْرِجَهُ لَنَا فِي آخِرِ الزَّمَانِ إِلَّا تَنْصُرُنَا عَلَيْهِمْ. قَالَ: فَكَانُوا إِذَا الْتَقَوْا دَعَوْا بِهَذَا الدُّعَاءِ فَهَزَمُوا غَطَفَانَ، فَلَمَّا بُعِثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَرُوا، فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى: ( وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا ) أَيْ وقد كَانُوا يَسْتَفْتِحُونَ بِكَ يَا مُحَمَّدُ، إِلَى قَوْلِهِ : ( فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ ).

Dulu Yahudi Khaibar berperang melawan kabilah Ghathfan. Dan setiap terjadi pertempuran antara mereka, Yahudi Khaibar selalu menderita kekalahan, maka orang-orang yahudi tersebut berdoa dengan doa berikut ini:

"Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan-Mu dengan haq Muhammad Nabi yang Ummi (buta huruf) yang telah Engkau janjikan pada kami bahwa Engkau benar-benar akan mengutus nya untuk kami di akhir zaman, maka tidak kah Kau menangkanlah kami terhadap mereka ?." Lalu mereka pun menang terhadap Ghathfan.

Namun ketika tiba saatnya Nabi SAW diutus tiba-tiba mereka mengingkarinya, maka Allah menurunkan ayat yang artinya:

« padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir » ".

Yakni memohon untuk mendapat kemenangan dengan mu wahai Muhammad !, hingga pada firmanNya: “Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu ».

(Lihat juga Tafsir Al-Jaami’ Li Ahkaamil Qur’an, Karya Imam al-Qurthuby 2/27)

Imam al-Haakim berkata: “hadits ini asing “

Kedua: ada Riwayat lain Dalam kitab Ad-Durrul Mantsuur 1/216, Imam Suyuthi menukil hadits dari Abu Nuaim Al Asbahani dalam kitabnya, Dalailun Nubuwwah 2/76, melalui jalur 'Atho dan Adh-Dhohak dari Ibnu Abbas (ra), beliau berkata:

" كَانَتْ يَهُوْدُ بَنِيْ قُرَيْظَةَ والنَّضِيْرِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُبْعَثَ مُحَمَّدٌ يَسْتَفْتِحُوْنَ اللهَ، وَيَدْعُوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ كَفَرُوْا، وَيَقُوْلُوْنَ: إِناَّ نَسْتَنْصُرُكَ بِحَقِّ النَّبِيِّ الأُمِّيْ، ألاَ نَصَرْتَنَا عَلَيْهِمْ فَيُنْصَرُوْنَ ( فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ) يَعْنِيْ مُحَمَّد، (كَفَرُوا بِهِ )".

Dahulu Yahudi Bani Quraizhah dan Nadhir sebelum diutusnya Muhammad SAW, mereka berdoa kepada Allah memohon kemenangan terhadap orang-orang kafir sambil mengatakan, "Ya Allah, sesungguhnya kami memohon pertolongan-Mu dengan haq kemuliaan Nabi yang Ummi, menangkanlah kami terhadap mereka." Lalu mereka pun menang. Namun ketika orang yang mereka ketahui itu, yakni Muhammad, telah datang, mereka mengingkarinya".

(Lihat pula: Siroh Halabiyah 2/321 dan Al-Qoul Mubin 1/162)

SISI PENDALILAN:

Dengan Hadits diatas mereka berargumentasi dengan mengatakan: “Dari hadits di atas, kita mengetahui bahwa tawassul sudah ada sejak sebelum diutusnya Rasulullah SAW. Hadits di atas juga menjadi dalil diperbolehkannya bertawassul dengan para nabi.

Kendatipun al-Hakim menyebutkan bahwa riwayat ini adalah ghorib (asing) yang tergolong hadits perorangan (الأحَد), namun banyak ahli tafsir yang menjadikannya sebagai asbab al-nuzul (sebab turun) dari ayat di atas seperti Fakhrur Roozi dalam tafsir kabir Mafatih al-Ghaib, al-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf dan sebagainya.

Bahkan Abu Abdurrahman Muqbil, setelah mengutip riwayat ini dari Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam, berkata:

" وَهُوَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ فَإِنَّ ابْنَ إِسْحَاقَ إِذَا صَرَّحَ بِالتَّحْدِيْثِ فَحَدِيْثُهُ حَسَنٌ كَمَا ذَكَرَهُ الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ فِي الْمِيْزَانِ ".

“Hadits ini adalah hadits Hasan. Sebab apabila Ibnu Ishaq menjelaskan tentang hadits, maka haditsnya berstatus Hasan, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz al-Dzahabi dalam kitab al-Mizan”. (Al-Shahih al-Musnad min Asbab al-Nuzul, I/22)

Berikut ini adalah pernyataan Fakhrur Rozi dan Zamakhsyari tentang ayat di atas:

Imam Fakhrur Rozi berkata:

" أَمَّا قَوْلُهُ تَعَالٰى: {وَكَانُواْ مِن قَبْلُ يَسْتَفْتِحُوْنَ عَلَى الَّذِيْنَ كَفَرُوْا] فَفِي سَبَبِ النُّزُوْلِ وُجُوْهٌ أَحَدُهَا أَنَّ الْيَهُوْدَ مِنْ قَبْلِ مَبْعَثِ مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم وَنُزُوْلِ الْقُرْآنِ كَانُوْا يَسْتَفْتِحُوْنَ أَيْ يَسْأَلُوْنَ الْفَتْحَ وَالنُّصْرَةَ وَكَانُوْا يَقُوْلُوْنَ اللّٰهُمَّ افْتَحْ عَلَيْنَا وَانْصُرْنَا بِالنَّبِيِّ الْأُمِّيِّ".

“Sebab turunnya ayat ini (al-Baqarah 89) ada banyak versi, salah satunya bahwa Yahudi sebelum diutusnya Nabi Muhammad dan turunnya Al Quran, senantiasa meminta kemenangan dan pertolongan. Mereka berkata: “Ya Allah. Berilah kami kemenangan dan pertolongan dengan wasilah Nabi yang Ummi (Muhammad)”. (Tafsir Mafaatihul Ghaib karya Fakhrur-Razi, 3/164)

Dan Imam Zamakhsari berkata:

" {يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوْا] يَسْتَنْصِرُوْنَ عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ إِذَا قَاتَلُوْهُمْ قَالُوْا اللّٰهُمَّ انْصُرْنَا بِالنَّبِيِّ الْمَبْعُوْثِ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ الَّذِيْ نَجِدُ نَعْتَهُ وَصِفَتَهُ فِي التَّوْرَاةِ. ".

(“Orang-orang Yahudi meminta pertolongan dalam menghadapi kaum musyrikin. Saat berperang Yahudi berdoa: “Ya Allah. Tolonglah kami dengan wasilah seorang Nabi yang akan diutus di akhir zaman yang telah kami temukan ciri-ciri dan sifatnya dalam Taurat”. (Tafsir al-Kasyaf, karya Zamakhsary I/164)

BANTAHAN TERHADAP KLAIM DERAJAT HASAN PADA HADITS:

Pada HADITS PERTAMA : mereka mengatakan: “Abu Abdurrahman Muqbil, setelah mengutip riwayat ini dari Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam, berkata:

وَهُوَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ فَإِنَّ ابْنَ إِسْحَاقَ إِذَا صَرَّحَ بِالتَّحْدِيْثِ فَحَدِيْثُهُ حَسَنٌ كَمَا ذَكَرَهُ الْحَافِظُ الذَّهَبِيُّ فِي الْمِيْزَانِ.

“Hadits ini adalah hadits Hasan. Sebab apabila Ibnu Ishaq menjelaskan tentang hadits, maka haditsnya berstatus Hasan, sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz al-Dzahabi dalam kitab al-Mizan”. (Al-Shahih al-Musnad min Asbab al-Nuzul, I/22)

BENARKAH ?

Sungguh aneh bin ajaib, ketika ada orang yang menukil penghasanan Asy-Syaikh Muqbil ini untuk meyakinkan orang-orang agar berhujjah dengan riwayat Al-Haakim tersebut di atas:

Padahal, setting latar belakang kedua riwayat tersebut berbeda.

Yang satu: bercerita tentang Yahudi Khaibar,

Yang lain: bercerita tentang Yahudi Madiinah.

Selain itu – dan ini yang pokok -, riwayat Ibnu Ishaaq yang dihasankan Asy-Syaikh Muqbil tidak menyebutkan doa orang Yahudi: ‘Ya Allah, sesungguhnya kami meminta kepada-Mu dengan haq (kedudukan) Muhammad…….’. Padahal, ini yang mau mereka pakai sebagai dalil. Allaahul-musta’aan.

Yang benar hadits yang diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam sanadnya terdapat Perawi yang bernama ABDUL BIN HARUN BIN ‘’ANTARAH.

Al-Imam adz-Dzahabi berkata dalam Talkhish al-Mustadrok 2/263: “Dia itu orang yang haditsnya ditinggalkan. Dan dia adalah orang yang binasa “.

Dan al-Hakim sendiri menyebutkan Abdul malik ini dalam kitabnya al-Madkhol 1/170 dan berkata: Dia itu meriwayatkan dari bapaknya hadits-hadits Palsu “.

Dan dia berkata juga: “ذَاهِبُ الحَدِيثِ جِدًّا (lemah sekali)”.

Abu Nu’aim berkata: “Ia meriwayatkan dari ayahnya hadits-hadits munkar”.

Ad-Daaraquthniy berkata: “Dha’iif”. Di lain tempat ia berkata: “Matruuk, sering berdusta”.

Ahmad bin Hanbal berkata: “ضعيف الحديث ”. Yahyaa bin Ma’iin: “Kadzdzaab/pendusta ”. Abu Haatim: “متروك ، ذاهب الحديث ”. Ibnu Hibbaan: “Ia memalsukan hadits”. As-Sa’diy: “Dajjaal, pendusta”. Shaalih bin Muhammad berkata: “Keumuman haditsnya dusta”.

[Selengkapnya lihat: Mausuu’ah Aqwaal Ad-Daaraquthniy hal. 426 no. 2242, Mausuu’ah Aqwaal Al-Imaam Ahmad fii Rijaail-Hadiits wa ‘Ilalih 2/391 no. 1643, dan Lisaanul-Miizaan5/276-278 no. 4933].

ADAPUN HADITS KEDUA yang disebutkan oleh Imam Sayuti dalam tafsir Durrul Mantsur 1/466 dengan sanadnya melalui jalur 'Atho dan Adh-Dhohak dari Ibnu Abbas (ra), maka beliau mengomentari hadits ini dengan mengatakan:

" Hadits ini diriwayatkan Hakim dan Baihaqi dalam kitabnya Dalailun Nubuwwah dengan sanad yang lemah (dhaif) ".

Syeikh Hammad Al-Anshary berkata: “Di dalam sanadnya terdapat orang yang bernama Abdul Malik bin Harun bin 'Antarah, dia adalah seorang pendusta ". (lihat Muallafat Hammad Al-Anshary 2/14).

Kemudian Benarkah Adh-Dhohak meriwayatkannya dari Ibnu Abbas ?

Kita simak pernyataan Al-'Ala'i (العلائي) dalam kitabnya Al-Maraasil:

" Adh-Dhohak bin Muzahim, pemilik kitab tafsir, dia adalah penganut syiah, tidak dibenarkan jika dia mengaku bertemu dengan Ibnu Abbas.

Seperti yang di riwayatkan dari Yunus bin Ubeid, dia berkata: “Dia sama sekali tidak pernah bertemu Ibnu Abbas ".

Di riwayatkan pula dari Abdul Malik bin Maysaroh, dia juga menyatakan bahwa Adh-Dhohak tidak pernah bertemu Ibnu Abbas, akan tetapi dia bertemu dengan Said bin Jubair di daerah Roy, maka dia belajar tafsir dari dia.

Kemudian Syu'bah juga meriwayatkan dari Mashash bahwa dia mengatakan: “Aku bertanya langsung kepada Adh-Dhohak, apakah kamu pernah bertemu Ibnu Abbas ? " dia menjawab: Tidak pernah.

Dan Al-Atsraam berkata: “Aku mendengar Imam Ahmad bin Hanbal tentang Adh-Dhohak apakah dia pernah bertemu Ibnu Abbas ? beliau menjawab: Aku tidak tahu. Dan di tanyakan padanya: Dari siapa dia mendapatkan tafsir-tafsir tersebut ? beliau menjawab: Orang-orang mengatakan bahwa dia mendengarnya dari Said bin Jubeir ". (lihat Muallafat Hammad Al-Anshary 2/14).

HADITS SERUPA : juga diriwayatkan Abu Nuaim dalam Dalail Nubuwah (Ad Durrul Mantsur karya Sayuti 1/216) lewat jalur Al-Kalby dari Abu Saleh dari Ibnu Abbas (ra):

" كَانَ يَهُودُ أَهْلُ الْمَدِينَةِ قَبْلَ قُدُومِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَاتَلُوا مَنْ يَلِيهِم مِنْ مُشْرِكِي الْعَرَبِ مِنْ أَسَدٍ وَغَطْفَانَ وَجَهِينَةٍ وَعُذْرَةٍ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَيْهِمْ وَيَسْتَنْصِرُونَ يَدْعُونَ عَلَيْهِمْ بِاسْمِ نَبِيِّ اللَّهِ فَيَقُولُونَ: "اللَّهُمَّ رَبَّنَا انْصُرْنَا عَلَيْهِمْ بِاسْمِ نَبِيِّكَ وَبِكِتَابِكَ الَّذِي تُنْزِلُ عَلَيْهِ الَّذِي وَعَدْتَنَا إِنَّكَ بَاعِثُهُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ".

Dahulu Yahudi Madinah sebelum diutusnya Muhammad SAW, ketika mereka berperang melawan kaum musyrikin arab dari kabilah Asad, Ghathfan, Juhainah dan Adzaroh, mereka memohon kemenangan dan pertolongan (kepada Allah) atas musuh-musuhnya, mereka berdoa atas mereka dengan menyebut nama Nabiyullah, lalu mereka mengucapkan doa:

" Ya Allah, berilah kami kemenangan atas mereka dengan menyebut nama Nabi Mu dan Kitab Mu yang akan engkau turunkan padanya, yang engkau telah janjikan pada kami bahwa engkau akan mengutusnya di akhir zaman ". (Lihat juga: Tafsir Bahrul Ulum karya Abu Laits as-Samarqandy 1/99).

DERAJAT HADITS:

Atsar ini adalah palsu, penyakitnya adalah AL-KALBY si pendusta, dia bernama Muhammad bin As-Saib.

Telah berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar tentang dia dalam kitab At-Taqrib: “Dia tertuduh sebagai pembohong ".

Adz-Dzahaby berkata pula dalam kitabnya Adh-Dhu'afa: “Dia dianggap pembohong oleh Zaidah, Ibnu Main dan para jemaah ".

Ibnu Katsir berkata: “Al-Kalby haditstnya di tinggalkan (tidak di pakai). Bahkan Al-Kalby sendiri telah mengakuinya di hadapan seorang ahli haditst Sufyan Ats-Taury dengan mengatakan: “Segala sesuatu yang saya riawayatkan dari Abu Soleh, maka itu adalah bohong semuanya ".

Dan kebetulan haditst ini ia riwayatkan dari Abu Saleh juga, maka semakin yakin akan kepalsuannya.

Ibnu Hibban berkata: “Dia ini pembikin haditst palsu dengan mengatas namakan Hisham dan lainnya. Tidak boleh hukumnya menulis haditst darinya kecuali bermaksud untuk membongkar kebohongannya yang serba ajaib ".

(Lihat: Irwa ul Gholil 4/113, 5/78, 6/152 dan Ats-Tsamar al-Mustathob 1/828, As-Silsilah adh-Dhoifah 24/330 no. 6143).

BANTAHAN TERHADAP ASBABUN NUZUUL AYAT:

Mereka yang membolehkan tawassul dengan Nabi (SAW) setelah wafat berargumentasi dengan hadits riwayat al-Hakim di atas yang disebutkan di dalamnya bahwa Yahudi Khaibar ketika berperang melawan kabilah Ghathfan, mereka memohon kepada Allah SWT pertolongan kemenangan atas Ghathfan dengan cara bertwassul dengan Nabi (SAW).

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dlm At-Tawassul wal-wasiilah (1/299-300 Majmu’ul fataawaa) mengomentarinya:

إِنَّ قَوْلَهُ تَعَالَى وَكَانُوا مِن قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا إِنَّمَا نَزَلَتْ بِاتِّفَاقِ أَهْلِ التَّفْسِيرِ وَالسِّيرِ فِي الْيَهُودِ الْمُجَاوِرِينَ لِلْمَدِينَةِ أَوَّلاً كَبَنِي قَيْنِقَاعٍ وَقُرَيْظَةٍ وَالنَّضِيرِ، وَهُمُ الَّذِينَ كَانُوا يُحَالِفُونَ الْأَوْسَ وَالْخَزْرَجَ، وَهُوَ الَّذِينَ عَاهَدَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ ثُمَّ لَمَّا نَقَضُوا الْعَهْدَ حَارَبَهُمْ... فَكَيْفَ يُقَالُ: نُزِلَتْ فِي يَهُودَ خَيْبَرٍ وَغَطْفَانَ؟ فَإِنَّ هَذَا مِن كَذَّابٍ جَاهِلٍ، لَمْ يُحْسِنْ كَيْفَ يَكْذِبُ. وَمِمَّا يُبِينُ ذَلِكَ أَنَّهُ ذُكِرَ فِيهِ انتِصَارُ الْيَهُودِ عَلَى غَطْفَانَ لَمَّا دَعَوْا بِهَذَا الدُّعَاءِ، وَهَذَا مِمَّا لَمْ يُنَقِّلْهُ أَحَدٌ غَيْرَ هَذَا الْكَذَّابِ".

“Bahwasanya firman-Nya SWT: ‘Padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir’ (QS. Al-Baqarah: 89);

Menurut para ahli tafsir dan pakar sirah hanyalah turun pada orang Yahudi yang hidup di Madiinah seperti Bani Qainuqaa’, Quraidhah, dan An-Nadliir. Mereka itu adalah orang-orang yang bersekutu dengan qabilah Aus dan Khajraj. Dan mereka adalah orang-orang yang terlibat dalam perjanjian damai dengan Nabi SAW ketika beliau pertama kali tiba di Madinah, akan tetapi mereka melanggarnya, lalu Nabi SAW pun memeranginya......

Maka bagaimana mungkin bisa dikatakan bahwa ayat tersebut turun berkaitan dengan yahudi Khaibar dan Ghathfaan ?

Maka sesungguhnya ini adalah keterangan dari seorang pendusta lagi dungu, yang tidak pandai bagaimana caranya berdusta. Buktinya dia menyebutkan di dalamnya yahudi memohon kemenangan atas ghathfan ketika mereka berdoa dengan doa ini. Dan Ini adalah sesuatu yang tidak ada seorangpun yang menukil nya selain si pendusta ini.”

Diperkuat lagi bahwa riwayat hadits di atas yang sebab turunnya ayat tersebut berkenaan dengan yahudi khaibar dan Ghathfan bertentangan dengan riwayat lain yang menjelaskan ayat tersebut turun berkenaan dengan Yahudi Madiinah.

Ibnu Ishaaq berkata:

وَحَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ عَنْ رِجَالٍ مِّن قَوْمِهِ قَالُوا: إِنَّ مِمَّا دَعَانَا إِلَى الْإِسْلَامِ مَعَ رَحْمَةِ اللَّهِ تَعَالَى وَهُدَاهُ لَنَا لَمَّا كُنَّا نَسْمَعُ مِن رِّجَالٍ يَهُودَ، وَكُنَّا أَهْلَ شِرْكٍ أَصْحَابَ أَوْثَانٍ، وَكَانُوا أَهْلَ كِتَابٍ عِندَهُمْ عِلْمٌ لَيْسَ لَنَا، وَكَانَتْ لَا تَزَالُ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ شُرُورٌ فَإِذَا نَلِنَا مِنْهُم بَعْضَ مَا يَكْرَهُونَ قَالُوا إِنَّهُ قَدْ تَقَارَبَ زَمَانٌ نَّبِيٌّ يُبْعَثُ الْآنَ نَقْتُلُكُم مَّعَهُ قَتْلَ عَادٍ وَإِرْمٍ فَكُنَّا كَثِيرًا مَّا نَسْمَعُ ذَٰلِكَ مِنْهُمْ فَلَمَّا بَعَثَ اللَّهُ رَسُولَهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَعَلَىٰ آلِهِ وَسَلَّمَ أَجِبْنَاهُ حِينَ دَعَانَا إِلَى اللَّهِ تَعَالَى وَعَرَفْنَا مَا كَانُوا يَتْوَعَّدُونَنَا بِهِ فَبَادَرْنَاهُمْ إِلَيْهِ فَآمَنَّا بِهِ وَكَفَرُوا بِهِ فَفِينَا وَفِيهِمْ نَزَلَتِ الْآيَاتُ مِنَ الْبَقَرَةِ:

[وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ]

Dan telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin ‘Umar bin Qataadah, dari laki-laki dari kaumnya (dalam riwayat lain: ‘orang-orang tua dari kaum kami’), mereka berkata:

“Sesungguhnya di antara sebab yang menyeru kami memeluk agama Islam di samping rahmat Allah ta’ala dan petunjuk-Nya kepada kami, adalah ketika kami mendengar orang-orang Yahudi yang waktu itu kami masih pelaku kesyirikan dan penyembah berhala sedangkan Ahlul-Kitab mempunyai ilmu yang tidak kami punyai. Kami senantiasa terlibat permusuhan dengan mereka.

Apabila kami dapati dari mereka sesuatu yang mereka benci, mereka berkata:

“Sesungguhnya telah dekat waktu kedatangan seorang Nabi yang akan diutus sekarang. Kami akan membunuh kalian bersamanya seperti dibunuhnya kaum ‘Aad dan Iram”. Kami sering mendengar hal itu dari mereka. Namun ketika Allah mengutus Rasul-Nya (SAW) kami menjawab seruannya ketika ia mengajak kami menyembah Allah ta’ala dan kami mengetahui apa yang mereka (Yahudi) dulu ancamkan kepada kami dengannya. Kami pun mendahului mereka kepadanya (Nabi) dan beriman kepadanya, sedangkan mereka (Yahudi) malah mengkufurinya. Maka pada kami dan mereka turunlah ayat dari surat Al-Baqarah:

‘Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu’ (QS. Al-Baqarah: 89)”

[Diriwayatkan oleh Ibnu Hisyaam 1/213 dan Al-Baihaqiy dalam Dalaailun-Nubuwwah 2/75].

DERAJAT HADITS :

Sanad hadits sangat jelas bagus nya ; karena semua para syeikh perawi dalam hadits ini adalah para sahabat yang menyaksikan permasalahan dan mengetahuinya, maka betapa jelas dan bagusnya sanad hadits ini. (Baca: Hadzihi mafaahimunaa karya Syeikh Sholeh bin Abdul Aziz ‘Aali-Asyaikh hal. 35).

Asy-Syeikh Muqbil rahimahullah menghasankannya dalam Ash-Shahiihul-Musnad min Asbaabin-Nuzuul hal. 19-20.

 ‘Aashim bin ‘Umar bin Qataadah adalah orang Madinah, dan syaikh yang ia sebut pun orang Madiinah. Oleh karena itu, setting peristiwa yang ia ceritakan adalah di Madiinah bersama Yahudi Madiinah.

Dan telah ada pula hadits Shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-Thobary dlm tafsirnya 2/333 Cet. Syakir, Abu Na’im dlm ad-Dalaail 1/dari asal, al-Baihaqi dlm ad-Dalaail 2/75 semuanya melalui Ibnu Ishaq dlm As-Siyar wal-Maghoozii hal. 84, dan Siirah Ibnu Hisyam 1/211, beliau berkata:

حَدَّثَنِي عَاصِمُ بْنُ عُمَرَ بْنِ قَتَادَةَ قَالَ حَدَّثَنِي أَشِيَاخٌ مِّنَّا قَالُوا: لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِّنَ الْعَرَبِ أَعْلَمَ بِشَأْنِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَّا، كَانَ مَعَنَا يَهُودٌ، وَكَانُوا أَهْلَ كِتَابٍ، وَكُنَّا أَصْحَابَ وَثَنٍ، فَكُنَّا إِذَا بَلَغَنَا مِنْهُم مَّا يَكْرَهُونَ قَالُوا: إِنَّ نَبِيًّا مُّبْعَثًا الْآنَ قَدْ أَظْلَ زَمَانَهُ نَتَّبِعُهُ، فَنَقْتُلُكُم مَعَهُ قَتْلَ عَادٍ وَإِرْمٍ، فَلَمَّا بَعَثَ اللَّهُ رَسُولَهُ اتَّبَعْنَاهُ وَكَفَرُوا بِهِ، فَفِينَا وَاللَّهُ وَفِيهِمْ أَنزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ:

(وَلَمَّا جَاءَهُمْ كِتَابٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ وَكَانُوا مِنْ قَبْلُ يَسْتَفْتِحُونَ عَلَى الَّذِينَ كَفَرُوا فَلَمَّا جَاءَهُمْ مَا عَرَفُوا كَفَرُوا بِهِ فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ) البقرة/ 89.

Telah menceritakan kepada kami ‘Aashim bin ‘Umar bin Qataadah, dia berkata telah menceritakan kepada kami syeikh – syeikh dari kami, mereka berkata:

“ Tidak ada seorangpun dari kalangan Arab yang lebih berpengetahuan tentang Rosulullah SAW dari pada kami. Dulu telah ada bersama kami orang-orang yahudi, mereka adalah ahlul kitab, sementara kami adalah para penyembah berhala, maka ketika kami mendapatkan dari mereka sesuatu yang mereka tidak sukai, mereka berkata:

“ Sesungguhnya seorang Nabi akan diutus sekarang, sungguh telah tiba zamannya, kami akan mengikutinya, maka kami bersamanya akan membunuh kalian semua seperti pembunuhan kaum ‘Aad dan kaum Iram “.

Namun ketika Allah SWT telah mengutusnya justru kami lah yang mengikutinya, sementara mereka mengingkarinya dan mengkufurinya, maka dalam hal tentang kami dan mereka ini Allah SWT menurunkan ayat:

‘Dan setelah datang kepada mereka Al-Qur'an dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka laknat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu’ (QS. Al-Baqarah: 89)”

Dan haditst ini Isnad nya Jayyid (Bagus).

DALIL TAWASSUL KELIMA: HADITS 'AISYAH TENTANG TAWASSUL DENGAN KUBURAN NABI (SAW).

Dari Abul Jauza’ Aus bin Abdillah, dia berkata:

(قُحِطَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ قَحْطاً شَدِيداً ، فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ: انْظُرُوا قَبْرَ النَّبِىِّ صلى الله عليه وسلم فَاجْعَلُوا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لاَ يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ. قَالَ: فَفَعَلُوا ، فَمُطِرْنَا مَطَراً حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتِ الإِبِلُ ، حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنَ الشَّحْمِ ، فَسُمِّىَ عَامَ الْفَتْقِ.

“Penduduk Madinah pernah mengalami kemarau yang sangat dahsyat, kemudian mereka mengadu kepada Aisyah, maka dia berkata: “Pergilah ke kuburan Nabi SAW kemudian buatlah lubang yang menghadap ke langit sehingga antara kubur dan langit tidak terhalang oleh atap.” Mereka berkata, “Mari kita melakukannya.” Maka hujan lebat mengguyur kami, sehingga rumput tumbuh lebat dan unta-unta menjadi gemuk dan menghasilkan lemak. Maka saat itu disebut Tahun Limpahan.” (Diriwayatkan oleh Ad Darimi (1/56) nomor 92).

Atsar ini di dloifkan sanadnya oleh Syeik Al Albani dalam At Tawassul hal 139.

Hadits ini tidak dapat digunakan sebagai hujjah dikarenakan empat alasan”:

  1. Perawi yang bernama ‘Amr bin Malik an-Nakri sangat lemah sekali. Seperti yang di katakan Ibnu ‘Adiy dalam al-Kaamil 6/1796: “Haditsnya mungkar menisbatkan riwayatnya kepada orang-orang yang dipercaya / tsiqoot. Dia mencuri hadits “. Ibnu Hibban berkata: “Salah dlm meriwayatkan hadits dan asing haditsnya “. (lihat: Hadzihi Mafaahimunaa hal. 73)
  1. Perawi yang bernama Said bin Zaid ar-Raawi, dia adalah saudara Hammad bin Zaid, pada dirinya terdapat kelemahan. Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab at-Taqrib berkata: “Dia Shoduq (kurang kuat hafalannya) dan pada dirinya terdapat keragu-raguan atau was-was ". Dan Adz-Dzahabi dalam al-Mizan berkata: “Telah berkata Yahya bin Said: Dia dhaif. Dan As-Sa'di berkata: “Dia bukan hujjah, mereka (para ulama hadits) mendlaifkan haditsnya. Dan Imam An-Nasai beserta lainnya berkata: Dia tidak kuat. Dan Imam Ahmad berkata: Tidak mengapa (lumayan), dulu Yahya bin Said tidak menganggapnya ".
  1. Atsar tsb mauquf dari pendapat Aisyah, bukan dari Nabi SAW, kalau seandainya Shahih juga tidak bisa di jadikan hujjah.
  1. Perawi yang bernama Abu Nu'man ini adalah Muhammad bin Al-Fadlel, dia dikenal dengan sebutan 'Arim (yang jelek akhlaknya), dia meskipun tsiqoh (dipercaya) tapi dia hafalannya kacau balau di akhir usianya, oleh karena itu Al-Hafidz Burhanuddin Al-Halaby memasukannya dalam kitab Al-Mukhtalithiin (kumpulan orang-orang yang hafalannya kacau balau). Dan hadits ini tidak jelas apakah Ad-Darimy meriwayatkan darinya sebelum ikhtilath hafalannya atau sesudahnya, dengan demikian maka tidak di terima dan tidak bisa di jadikan hujjah. (At Tawassul hal 139 karya Syeikh al-Albaani)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dlm kitabnya Ar Radd alal Bakri hal 68-74:

“Dan riwayat dari Aisyah radhiallahu anha tentang membuka lubang kuburan Nabi SAW ke arah langit agar hujan turun tidak shahih dan tidak sah sanadnya. Di antara yang menjelaskan kedustaan atsar ini adalah bahwa selama Aisyah hidup di rumah tersebut tidak memiliki lubang, bahkan keadaannya tetap seperti pada masa Rasulullah (SAW), yakni sebagiannya diberi atap dan sebagian yang lain terbuka, sehingga sinar matahari masuk ke dalam rumah, sebagaimana riwayat yang ada dalam Shahihain dari Aisyah bahwasanya:

Nabi SAW sedang melakukan shalat Ashar dan sinar matahari masuk ke kamar beliau, sehingga tidak nampak bayangan (HR. Bukhari no. 521 dan Muslim no. 611).

Kamar tersebut tidak berubah hingga Walid bin Abdil Malik menambahkan kamar-kamar itu di masjid Rasulullah (SAW) sejak saat itu kamar Nabi masuk ke dalam masjid. Kemudian di sekitar kamar Aisyah - yang di dalamnya terletak kuburan Nabi SAW dibangun tembok yang tinggi, dan sesudah itu dibuatlah lubang sebagai jalan bagi orang yang turun apabila ingin membersihkan.”

Adapun adanya lubang saat Aisyah hidup, maka itu adalah kedustaan yang nyata. Seandainya benar, maka hal itu akan menjadi hujjah dan dalil bahwa orang-orang tersebut tidaklah berdoa kepada Allah dengan perantaraan makhluk, tidak bertawassul dengan mayat di dalam doa mereka, serta mereka tidak pula memohon kepada Allah dengan (perantaraan) orang yang sudah mati. Mereka hanyalah membukanya agar rahmat diturunkan kepadanya, dan di sana tidak terdapat doa memohon kepada Allah dengan perantaraannya (perantaraan kubur atau mayat yang ada di kubur tersebut, yakni Rasulullah SAW-pen.).

Bandingkan betapa beda dua hal tersebut ! Sesungguhnya makhluk hanya bisa memberikan manfaat kepada orang lain melalui doa dan amal shalihnya, oleh karenanya Allah senang jika seseorang bertawasul kepada-Nya dengan iman, amal shalih, shalawat dan salam kepada Nabi-Nya (SAW) serta mencintai, menaati dan setia kepada beliau. Maka inilah perkara-perkara yang dicintai Allah agar kita bertawasul kepada-Nya dengan perkara-perkara tersebut.

===

DALIL TAWASSUL KEENAM: HADITS ABU SAID AL-KHUDRY, HADITS BILAL DAN HADITS ABDULLAH AL-ASLAMI (RA):

PERTAMA: HADITS ABU SAID AL-KHUDRY (RA).

Ada dua riwayat:

Riwayat ke 1: Riwayat ‘Athiyyah bin ‘Amr.

Dari jalur ‘Athiyyah ini: Abu Sa’iid al-Khudri (ra) menyebutkan:

“ Bahwa Rasulullah SAW dulu ketika dia selesai Shalat mengucapkan:

"اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ بِحَقِّ السَّائلينَ عَلَيْكَ، فإنَّ للسَّائِلِ عَلَيْكَ حَقًّا، أيَّمَا عَبْدٍ أوْ أمَةٍ مِن أهْلِ البَرِّ والبَحْرِ تَقَبَّلتَ دعْوَتَهُمْ، واسْتَجَبْتَ دُعَاءَهُمْ، أن تُشْرِكَنَا فِي صَالِحِ مَا يَدْعُونَكَ فيهِ، وأن تُشْرِكَهُمْ في صَالحِ ما ندْعُوكَ فيهِ، وأن تُعَافِينَا وإيَّاهُمْ، وأن تَتَقَبَّلَ مِنَّا ومِنْهُم، وأن تتجَاوَزَ عَنَّا وعَنْهُمْ فإنَّنا آمَنَّا بِمَا أنزَلْتَ واتَّبَعْنَا الرَّسُولَ فاكْتُبْنَا مَعَ الشَّاهِدينَ".

وَكَانَ يَقُولُ: “لا يَتَكَلَّمُ بِهذا أَحَدٌ مِنْ خَلْقِه إلاَّ أشْرَكَه اللهُ فِي دَعْوَةِ أهْلِ بَرِّهِم وَبَحْرِهِم فعَمَّتْهُم وَهُوَ مَكَانَه".

“Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon kepada-Mu, karena sesungguhnya orang-orang yang memohon kepada-Mu ada hak pada Mu.

Siapapun dari hamba lelaki maupun perempuan, dari kalangan penghuni daratan dan lautan, yang Engkau kabulkan permohonan mereka dan Engkau perkenankan doa mereka ; Agar engkau sertakan kami dalam kebaikan doa yang mereka panjatkan kepada-Mu, dan Engkau sertakan mereka dalam kebaikan doa yang kami panjtakan kepada-Mu; Engkau berikan al-‘afiat kepada kami dan mereka; Engkau terima amalan ibadah dari kami dan mereka; Engkau hapuskan kesalahan kami dan mereka.

Karena sesungguhnya kami telah beriman dengan apa yang Engkau turunkan dan kami telah mengikuti sang Rosul, maka masukkanlah kami bersama para syaahid !!!.”

Lalu beliau SAW bersabda:

“Tidak ada seorang pun dari makhluknya yang berdoa dengan doa ini kecuali Allah menggabungkan dengannya dalam doa para penghuni di daratan dan di lautan, maka doanya menyebar kepada mereka, sementar dia yang berdoa tetap berada di tempatnya.”

(HR. Ibnu Mardawayh ((seperti dalam “الدر المنثور” 2/36), al-Daylami dalam “مسند الفردوس” (1/90/1-2 (seperti dalam “الضعيفة” no. 5986)) dan al-Syajari dalam ” الأمالي” (1/251)

Riwayat ke 2: Riwayat Fudhail bin Marzuuq.

Ada perbedaan pendapat riwayat darinya, apakah sanadnya MARFU’ atau MAUQUF ?.

Dalam riwayat Fudhail ini: Abu Said al-Khudry رضي الله عنه menyebutkan bahwa Rosulullah SAW bersabda:

« مَنْ خَرَجَ مِنْ بَيْتِهِ إِلَى الصَّلاَةِ ، فَقَالَ: “اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ ، وَأَسْأَلُكَ بِحَقِّ مَمْشَايَ هَذَا ، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْ أَشَرًا وَلاَ بَطَرًا ، وَلاَ رِيَاءً وَلاَ سُمْعَةً ، وَخَرَجْتُ اتِّقَاءَ سُخْطِكَ ، وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ ، فَأَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ ، وَأَنْ تَغْفِرَ لِي ذُنُوبِي ، إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ " ، أَقْبَلَ اللهُ عَلَيْهِ بِوَجْهِهِ ، وَاسْتَغْفَرَ لَهُ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ ».

Artinya: “Barang siapa keluar dari rumahnya untuk shalat, kemudian mengucapkan:

"Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dengan hak orang-orang yang berdo'a kepada-Mu, dan aku meminta kepada-Mu dengan hak jalan kaki ku ini.

Sesungguhnya aku tidaklah keluar dengan sombong dan angkuh, tidak pula dengan riya' dan sum'ah (yakni: tidak mencari popularitas. Pen).

Aku keluar agar terbebas dari murka-Mu dan untuk mencari ridlo-Mu, maka aku meminta kepada-Mu untuk membebaskanku dari apineraka dan mengampuni dosa-dosaku, karena sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa kecuali Engkau."

Maka Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya dan tujuh puluh ribu malaikat akan memohonkan ampun untuknya.

(HR. Ibnu Majah no. (778), Ahmad (3/21), Ibnu Khuzaimah dalam At-Tauhiid (hal. 17 cet. al-Harroos atau 1/41 cet. asy-Syahwaan atau اتحاف المهرة 5/342), al-Baghawi dalam “الجعديات” no. 2119, Ibnu al-Mudziir dlm “الأوسط” no. 1791, al-Baihaqi dlm “الدعوات الكبير” no. 65, ath-Tabraani dalam “الدعاء” no. 421 dan Ibnu as-Sinni no. 85).

HADITS KE DUA: HADITS BILAL BIN ABU ROBAAH (RA):

Dari Bilal RA muadzin Rosulullah (SAW), dia berkata:

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا خَرَجَ إِلَى الصَّلاةِ قَالَ: “بِسْمِ اللَّهِ، آمَنْتُ بِاللَّهِ، تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ، لا حَوْلَ وَلا قُوَّةَ إِلا بِاللَّهِ، اللَّهُمَّ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ، وَبِحَقِّ مَخْرِجِي هَذَا، فَإِنِّي لَمْ أَخْرُجْهُ أَشَرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلا سُمْعَةً، خَرَجْتُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِكَ، وَاتِّقَاءَ سَخَطِكَ، أَسْأَلُكَ أَنْ تُعِيذَنِي مِنَ النَّارِ، وَتُدْخِلَنِي الْجَنَّةَ “

Dulu ketika Rasulullah SAW keluar untuk sholat, beliau mengucapkan:

“Dengan nama Allah, aku beriman kepada Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah

Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon kepada-Mu, dan dengan hak keluar ku ini, sesungguhnya aku tidak mengeluarkannya dengan sombong, tidak pula riya dan sum'ah, tetapi aku keluar karena berkeinginan mendapatkan ridho-Mu karena takut akan murka-Mu ; aku memohon pada-Mua agar Engkau melindungi ku dari api Neraka, dan memasukkan ku ke dalam surga

((HR. Ibnu Al-Sunni dalam “عمل اليوم والليلة” (No. 84(85) - dan lewat jalurnya Ibnu Hajar dalam “نتائج الأفكار” (1/270) dan Al-Daraqutni dalam “الأفراد” (2 /274 No. 1355) dan Jawami’u al-Kalim v4.5))

HADITS KE TIGA: HADITS ABDULLAH AL-ASLAMI (RA):

Muhammad bin Ali bin Al-Muhtadii Billah dalam “المشيخة” (1/188/a) meriwayatkan dengan sanadnya dari Abdullah al -Aslami (ra), dia menagatakan:

Bahwa Rasulullah (SAW) di saat ia datang untuk shalat, beliau mengucapkan:

” اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ بِحَقِّ السَّائِلِينَ عَلَيْكَ وَإِقْبَالِي إِلَيْكَ لَمْ أُقْبِلُ أَشِرًا وَلا بَطَرًا وَلا رِيَاءً وَلَكِنْ أَقْبَلْتُ ابْتِغَاءَ طَاعَتِكَ، تَنْزِيهًا عَنْ سَخَطِكَ، فَاغْفِرْ لِي ذُنُوبِي، فَإِنَّهُ لا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلا أَنْتَ “.

قَالَ: “مَنْ قَالَهَا أَقْبَلَ اللَّهُ بِوَجْهِهِ إِلَيْهِ، وَحُفَّتْ حَوْلَهُ الْمَلائِكَةُ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْ صَلاتِهِ “

Ya Alloh, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon kepada-Mu, dan dengan hak aku menghadap-Mu, sesungguhnya aku tidak menghadap-Mu dengan sombong, tidak pula riya dan sum'ah, tetapi aku manghadap-Mu karena berkeinginan Taat pada-Mu agar terbebas dari murka-Mu ; maka ampuni lah dosa-dosaku, sungguh tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.

Beliau (SAW) berkata: "Siapa pun yang mengucapkannya, Allah akan menghadapkan wajah-Nya kepadanya, dan para malaikat akan mengelilinginya sampai dia menyelesaikan shalatnya."

(HR. Muhammad bin Ali bin Al-Muhtadii Billah dalam “المشيخة” (1/188/a) atau [الأول من مشايخ أبي الحسين بن المهتدي بالله No. 139] dan Jawami’u al-Kalim v4.5)

PERHATIAN:

Untuk lebih detail nya tentang kesahihan hadits dari tiga sahabat diatas dan tentang apakah hadits ini layak dijadikan sebagai dalil boleh dan tidaknya bertawassul dengan orang yang sudah wafat, silahkan buka artikel penulis di blog KAJIAN NIDA AL-ISLAM yang berjudul:

" HADITS TAWASSUL DENGAN HAK SEMUA MAKHLUK YANG BERDO’A DI DARATAN DAN LAUTAN ?"

===

DALIL TAWASSUL KETUJUH: HADITS MALIK AD-DAAR (RA):

Imam Baihaqi dalam kitab Dalailun Nubuwwah juz 8 hal. 91 hadits no. 2974 meriwayatkan dengan sanadnya:

Imam Baihaqi berkata: “Telah mengkabari kami Abu Nasher bin Qatadah dan Abu Bakar Al-Farisy, mereka berdua berkata: Telah mengkabari kami Abu Bakar bin 'Ali Adz-Dzihli dia berkata: telah mengkabari kami Yahya, dia berkata: telah mengkabari kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'mash dari Abu Soleh As-Samman dari Malik Ad-Daar, dia berkata:

أَصَابَ النَّاسَ قَحْطٌ فِي زَمَنِ عُمَرَ ، فَجَاءَ رَجُلٌ إِلَى قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ، اسْتَسْقِ لِأُمَّتِكَ فَإِنَّهُمْ قَدْ هَلَكُوا ، فَأَتَى الرَّجُلَ فِي الْمَنَامِ فَقِيلَ لَهُ: “ائْتِ عُمَرَ فَأَقْرِئْهُ السَّلَامَ، وَأَخْبِرْهُ أَنَّكُمْ مسْقِيُّونَ وَقُلْ لَهُ: عَلَيْكَ الْكَيْسُ ، عَلَيْكَ الْكَيْسُ "، فَأَتَى عُمَرَ فَأَخْبَرَهُ فَبَكَى عُمَرُ ثُمَّ قَالَ: يَا رَبِّ لَا آلُو إِلَّا مَا عَجَزْتُ عَنْهُ.

" Manusia ditimpa kekeringan pada masa Umar bin Khattab, lalu datanglah seorang lelaki ke kubur Nabi (SAW) lalu berkata:

"Wahai Rasulullah, mintalah hujan kepada Allah untuk umatmu, sesungguhnya mereka telah binasa."

Lalu lelaki itu didatangi oleh Rasulullah (SAW) dalam mimpinya. Beliau bersabda,

"Datanglah kepada Umar lalu sampaikan salamku untuknya, dan beritahukan kepadanya bahwa kalian akan diberi hujan. Katakan juga padanya: hendaknya kamu bijak bermurah hati ! hendaknya kamu bijak bermurah hati !."

lalu lelaki itu mendatangi Umar dan menceritakan apa yang dialaminya tersebut. Umar pun menangis kemudian berkata,

"Ya Rabb, aku tidak akan berpaling kecuali dari apa yang aku tidak mampu melakukannya."

  • Diriwayatkan pula oleh Imam Bukhori dalam “التاريخ الكبير” ringkasan 7/04, Ibnu Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf 6/356 dan Ibnu Asaakr dalam “تاريخ الدمشق” 44/345 dari jalur Abu Sholeh dari Malik ad-Daar]

[Ket: Makna (الكَيْسُ): yang pandai, cerdas, bijak, dermawan, murah hati, luwes, manis dan elok. Atau kecerdasan, kedermawanan, kemurahan hati dan keelokan. (Kamus al-Munawwir karya Ahmad Warson Munawwir hal. 1334].

PERHATIAN:

Untuk lebih detail nya tentang kesahihan hadits dari MALIK AD-DAAR diatas dan tentang apakah hadits ini layak dijadikan sebagai dalil boleh dan tidaknya bertawassul dengan orang yang sudah wafat, silahkan buka artikel penulis di blog KAJIAN NIDA AL-ISLAM yang berjudul:

" Riwayat MALIK AD-DAAR tentang kisah mimpinya seorang pria setelah beristisqo di Kuburan Nabi SAW ".

====

DALIL TAWASSUL KE DELAPAN: KISAH UTSMAN BIN HANIF MENGAJARKAN DOA TAWASSULNYA ORANG BUTA:

Kisah seseorang yang tidak di tanggapi oleh kholifah Utsman bin Affan (ra) ketika meminta bantuan kepadanya, kemudian orang tersebut - atas saran Utsman bin Haniif (ra) - berdoa kepada Allah dengan doa tawassul yang pernah Rosulullah (SAW) ajarkan pada orang buta (dlorir), setelah itu kholifah Utsman (ra) mengabulkannya.

Ath-Thabrany dalam kitabnya Mu'jam Kabiir 9/30 no. 8311 dan Mu'jam Shogiir 1/306 no. 508 meriwayatkan melalui jalur: Abdullah bin Wahab, dari Syabiib bin Sa'id al-Makki, dari Rauh bin Qosim, dari Abu Ja'far al-Khuthomi al-Madani, dari Abu Umamah bin Sahal bin Haniif, dari pamannya Utsman bin Hunaif:

أَنَّ رَجُلًا كَانَ يَخْتَلِفُ إِلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فِي حَاجَةٍ لَهُ فَكَانَ عُثْمَانُ لَا يَلْتَفِتُ إِلَيْهِ وَلَا يَنْظُرُ فِي حَاجَتِهِ فَلَقِيَ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَيْهِ فَقَالَ لَهُ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ: ائْتِ الْمِيضَأَةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ ائْتِ الْمَسْجِدَ فَصَلِّ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ قُلِ: اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، يَا مُحَمَّدُ إِنِّي أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّي فَيَقْضِي لِي حَاجَتِي، وَتَذْكُرُ حَاجَتَكَ، وَرُحْ إِلَيَّ حِينَ أَرُوحُ مَعَكَ فَانْطَلَقَ الرَّجُلُ فَصَنَعَ مَا قَالَ لَهُ ثُمَّ أَتَى بَابَ عُثْمَانَ فَجَاءَ الْبَوَّابُ حَتَّى أَخَذَ بِيَدِهِ فَأَدْخَلَهُ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ فَأَجْلَسَهُ مَعَهُ عَلَى الطِّنْفِسَةِ وَقَالَ: حَاجَتُكَ؟ فَذَكَرَ حَاجَتَهُ فَقَضَاهَا لَهُ ثُمَّ قَالَ لَهُ: مَا ذَكَرْتَ حَاجَتَكَ حَتَّى كَانَتْ هَذِهِ السَّاعَةُ، وَقَالَ: مَا كَانَتْ لَكَ مِنْ حَاجَةٍ فَائْتِنَا، ثُمَّ إِنَّ الرَّجُلَ خَرَجَ مِنْ عِنْدِهِ فَلَقِيَ عُثْمَانَ بْنَ حُنَيْفٍ فَقَالَ لَهُ: جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا مَا كَانَ يَنْظُرُ فِي حَاجَتِي وَلَا يَلْتَفِتُ إِلَيَّ حَتَّى كَلَّمْتَهُ فِيَّ، فَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ: وَاللَّهِ مَا كَلَّمْتُهُ وَلَكِنْ «شَهِدْتُ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - وَأَتَاهُ رَجُلٌ ضَرِيرٌ فَشَكَا إِلَيْهِ ذَهَابَ بَصَرِهِ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “أَوَ تَصْبِرُ؟ " فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ وَقَدْ شَقَّ عَلَيَّ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: “ائْتِ الْمِيضَأَةَ فَتَوَضَّأْ ثُمَّ صَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ ادْعُ بِهَذِهِ الْكَلِمَاتِ» فَقَالَ عُثْمَانُ بْنُ حُنَيْفٍ: فَوَاللَّهِ مَا تَفَرَّقْنَا وَطَالَ بِنَا الْحَدِيثُ حَتَّى دَخَلَ عَلَيْهِ الرَّجُلُ كَأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِهِ ضَرَرٌ قَطُّ.

Seseorang telah datang menghadap utsman bin Affan (ra) untuk sebuah kebutuhan, akan tetapi Utsman (ra) tidak memperdulikannya dan tidak memperhatikannya, kemudian orang tersebut bertemu Utsman bin Hunaif (ra), maka dia mengadukan hal tersebut padanya, lalu berkatalah Utsman bin Hunaif (ra):

“ Ambillah air wudlu dan berwudulah, lalu masuklah ke masjid dan shalat lah dua rakaat, lalu katakanlah (berdoalah dengan doa):

" Wahai Allah, Aku meminta kepada Mu, dan Menghadap kepada Mu, dengan Nabi Mu Nabi Muhammad, Nabi Pembawa Kasih Sayang, Wahai Muhammad, Sungguh aku menghadap dengan dirimu kepada Rabbmu (Tuhanmu) dalam hajatku ini, agar Dia mengabulkan hajatku ".

Lalu kamu sebutkan kebutuhanmu. Dan nanti selepas kau lakukan itu, datanglah kepada ku, dan kita berangkat sama-sama ".

Maka orang itupun melakukan apa yang di katakan padanya, lalu berangkat menuju rumah Utsman bin Affan (ra) dan berhenti di depan pintunya, tidak lama kemudian seorang penjaga pintu datang menghampirinya serta memegang tangannya dan membawanya masuk (menghadap Utsman bin 'Affan), lalu menyuruhnya duduk bersama dengannya di atas tikar, kemudian beliau bertanya: “apa hajatmu?”.

Maka orang itu menyebutkan hajatnya, dan beliau pun memberinya. Kemudian beliau berkata padanya: “Kamu tidak pernah menyebutkan kebutuhanmu kecuali saat ini, jika kamu ada kebutuhan lagi, datanglah pada kami ! ".

Kemudian orang itu keluar menemui Ustman bin Hunaif (ra) dan berkata:
" Semoga Allah membalas kebaikan mu, (karena) sebelumnya dia tidak pernah mau memandang kebutuhanku, dan tidak pernah memperhatikannya sampai kamu berbicara padanya ".

 Maka Utsman bin Hunaif (ra) menjawab: “Demi Allah, aku tidak bicara apa-apa padanya (pada Utsman bin Affan (ra) tentangmu, cuma aku pernah menyaksikan Rasulullah SAW (ketika itu) datang padanya seorang yang buta (dlorir), dia mengadu padanya tentang penglihatanya yang hilang.

Lalu Nabi SAW berkata padanya: “Sabar lah ! ".

Diapun berkata lagi: “Wahai Rosulullah, tidak ada yang menuntunku, dan sungguh amat susah pada diriku ".

Maka Nabi SAW berkata: “Bawalah air wudlu dan berwudlu lah, lalu sholatlah dua rakaat, kemudian berdoalah dengan doa-doa ini ! ".

Utsman bin Hunaif berkata: “Demi Allah, tidak berselang lama kami berpisah dan belum lama kami berbincang-bincang, tiba-tiba orang itu keluar kepada kami, seakan-akan dia tidak pernah buta ".

PERHATIAN:

Untuk lebih detail nya tentang kesahihan kisah Utsman bin Hanif diatas dan tentang apakah hadits ini layak dijadikan sebagai dalil boleh dan tidaknya bertawassul dengan orang yang sudah wafat, silahkan buka artikel penulis di blog KAJIAN NIDA AL-ISLAM yang berjudul:

" DIROSAH KISAH UTSMAN BIN HUNAIF AL-ANSHARY MENGAJARI SEORANG PRIA BERTAWASSSUL DENGAN NABI SAW"

===

DALIL KE SEMBILAN: HADITS MATIKU ADALAH KEBAIKAN BAGI KALIAN:

Haditst riwayat Al Bazzar bahwa Rasulullah (SAW)bersabda:

((حَيَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ وَمَمَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ، تُحْدِثُوْنَ وَيُحْدَثُ لَكُمْ، وَوَفَاتِيْ خَيْرٌ لَكُمْ تُعْرَضُ عَلَيَّ أَعْمَالُكُمْ، فَمَا رَأَيْتُ مِنْ خَيْرٍ حَمِدْتُ اللهَ عَلَيْهِ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ شَرٍّ اسْتَغْفَرْتُ لَكُمْ)).

“Hidupku adalah kebaikan bagi kalian dan matiku adalah kebaikan bagi kalian, ketika aku hidup kalian melakukan banyak hal lalu dijelaskan hukumnya bagi kalian melalui aku. Matiku juga kebaikan bagi kalian, diperlihatkan kepadaku amal perbuatan kalian, jika aku melihat amal kalian baik maka aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat ada amal kalian yang buruk maka aku memohonkan ampun untuk kalian kepada Allah”

(HR. al-Bazzar [Kasyful Astaar 1/397] dari Ibnu Mas’ud).

PERHATIAN:

Untuk lebih detail nya tentang kesahihan hadits ((Matiku adalah kebaikan bagi kalian)) dan tentang apakah hadits ini layak dijadikan sebagai dalil boleh dan tidaknya bertawassul dengan orang yang sudah wafat, silahkan buka artikel penulis di blog KAJIAN NIDA AL-ISLAM yang berjudul:

STUDI HADITS: “MATIKU ADALAH KEBAIKAN BAGI KALIAN ; KARENA AMAL AMAL KALIAN DIPERLIHATKAN KEPADAKU... ".

===

DALIL TAWASSUL KE SEPULUH: HADITS ANJURAN MENYERU MALAIKAT SAAT TERSESAT JALAN:

Hadits tersebut terdapat tiga riwayat dari tiga sahabat:

RIWAYAT PERTAMA: Hadits Ibn 'Abbas (ra) bahwa Rosulullah (SAW) bersabda:

إِنَّ لِلَّهِ مَلائِكَةً فِي الأَرْضِ سِوَى الْحَفَظَةِ ، يَكْتُبُونَ مَا سَقَطَ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ ، فَإِذَا أَصَابَ أَحَدَكُمْ عَرْجَةٌ بِأَرْضٍ فَلاةٍ فَلْيُنَادِ: أَعِينُوا عِبَادَ اللَّهِ !

" Sesungguhnya Allah memilki para malaikat di bumi selain malaikat hafadzah yang menulis daun-daun yang berguguran, maka jika kalian di timpa kesulitan di suatu padang maka hendaklah mengatakan: tolonglah aku (tunjukkan jalan), wahai para hamba Allah”.

(HR. Al-Bazzaar dalam Musnadnya no. 4922 (11/181). Dan diriwayatkan pula oleh Imam Baihaqi dalam Sya’bul Imaan dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnafnya.

Dalam riwayat lain masih dari Ibnu ‘Abbas dengan lafadz:

إِنَّ لِلَّهِ مَلَائِكَةً فِي الْأَرْضِ يَكْتُبُونَ مَا يَقَعُ فِي الْأَرْضِ مِنْ وَرَقِ الشَّجَرِ، فَإِنْ أَصَابَتْ أَحَدًا مِّنكُمْ عُرْجَةً، أَوِ احْتِاجَ إِلَىٰ عَوْنٍ بِفَلَاةٍ مِّنَ الْأَرْضِ، فَلْيَقُلْ: "أَعِينُوا عِبَادَ اللَّهِ، رَحْمَكُمُ اللَّهُ"، فَإِنَّهُ يُعَانُ إِن شَاءَ اللَّهُ".

" Sesungguhnya Allah memilki para malaikat di bumi yang menulis daun-daun yang berguguran, maka jika kalian di timpa عرجة (kaki jadi pincang) atau butuh pertolongan di suatu padang yang luas maka hendaklah mengatakan: ‘ tolonglah aku wahai para hamba Allah, semoga Allah merahmati kalian’, Maka sungguh dia akan di tolong, insya Allah “.

(HR. Al-Baihaqy dalam kitab “الآداب” hal. 269 dan “شعب الإيمان” 10/140-141).

RIWAYAT KE DUA: Hadits ‘Utban bin Ghozwaan (ra) dari Nabi (SAW) bersabda:

"إِذَا أَضَلَّ أَحَدُكُمْ شَيْئًا، أَوْ أَرَادَ أَحَدُكُمْ عُونًا، وَهُوَ بِأَرْضٍ لَيْسَ بِهَا أَنِيسٌ، فَلْيَقُلْ: يَا عِبَادَ اللَّهِ، أَغِيثُونِي، يَا عِبَادَ اللَّهِ، أَغِيثُونِي، فَإِنَّ لِلَّهِ عِبَادًا لَّا نَرَاهُمْ".

قَالَ الطَّبَرَانِيُّ: "وَقَدْ جُرِّبَ ذَلِكَ".

“ Jika salah seorang diantara kalian kehilangan sesuatu, atau salah seorang diantara kalian menginginkan pertolongan, dan dia sedang berada di atas bumi yang tidak ada keramahan (menyeramkan), maka katakanlah: wahai para hamba Allah tolongilah aku ! wahai para hamba Allah tolongilah aku ! Maka sesungguhnya Allah swt memiliki para hamba yang kita tidak bisa melihatnya “

Ath-Thabraany berkata: “Dan sungguh itu telah teruji “.

[HR. Imam Thabraany dalam (المعجم الكبير) 17/117].

RIWAYAT KE TIGA: Hadits Abdullah bin Mas’ud (ra), bahwa Rosulullah (SAW) bersabda:

"إذَا انفَلَتَتْ دَابَّةٌ أَحَدُكُم بِأَرْض فَلَاةٍ فَلْيَنَادِي: يَا عِبَادَ اللَّهِ، أَحْبِسُوا! يَا عِبَادَ اللَّهِ، أَحْبِسُوا! فَإِنَّ لِلَّهِ حَاضِرًا فِي الْأَرْضِ سَيَحْبُسُهُ".

Jika binatang tunggangan salah seorang diantara kalian lepas di padang belantara, maka seru lah: wahai para hamba Allah, tahanlah ! wahai para hamba Allah, tahanlah ! Maka sesungguhnya bagi Allah swt ada (malaikat) yang hadir di bumi yang akan menahannya “.

Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dlm Mushonnaf nya (no. 5269), Thabrany dlm (المعجم الكبير 10/217) dan Ibnus Sinny dlm (عمل اليوم والليلة 508).

Hadits ini adalah dalil akan dibolehkannya bertawassul dan beristighotsah dengan orang-orang yang sudah meninggal, serta minta bantuan kepada nya. Terutama kepada Nabi Muhammad (SAW) dan orang-orang shaleh yang telah wafat.

PERHATIAN:

Untuk lebih detail nya tentang kesahihan hadits ((Anjuran menyeru malaikat saat tersesat jalan)) dan tentang apakah hadits ini layak dijadikan sebagai dalil boleh dan tidaknya bertawassul dengan orang yang sudah wafat, silahkan buka artikel penulis di blog KAJIAN NIDA AL-ISLAM yang berjudul:

" Studi HADITS ketika tersesat jalan, berseru lah: WAHAI PARA HAMBA ALLAH TUNJUKILAH AKU JALAN“.

====

DALIL TAWASSUL KE SEBELAS: ATSAR IBNU UMAR (RA) MENYERU NABI (SAW) SAAT KENA KRAM

Atsar Ibnu Umar tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah, yaitu sebagai berikut:

“Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Abu Ishaaq, dari ‘Abdurrahmaan bin Sa’d, ia berkata:

" خَدِرَتْ رِجْلُ ابْنِ عُمَرَ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: اذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ ” يَا مُحَمَّدُ ".

“ Kaki Ibnu ‘Umar pernah mati rasa. Lalu seorang laki-laki berkata kepadanya: “Sebutlah/ingat-ingatlah orang yang paling engkau cintai”. Ia (Ibnu ‘Umar) berkata: “Wahai Muhammad” [HR. Bukhori dalam Al-Adabul-Mufrad no. 964].

(الخَدَر: mati rasa hingga tak dapat bergerak)

Dan atsar Ibnu ‘Umar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Sinny dalam kitabnya 'Amalul Yaum wal Lailah - Bab: apa yang perlu di ucapkan ketika kaki terasa letih dan kram - hal. 169:

Dari jalan Muhammad bin Mush’ab: telah berbicara kepada kami Israa’il dari Abu Ishaaq dari al-Haitsam bin Hanasy, beliau berkata:

(كُنَّا عِندَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، فَخَدِرَت رِجْلُهُ، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: اذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، قَالَ: فَقَامَ، فَكَأَنَّمَا نَشِطَ مِنْ عِقَالٍ).

"suatu saat ketika kami bersama Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhuma, tiba-tiba Abdullah bin Umar merasakan letih dan kram pada kakinya, maka seorang lelaki berkata kepadanya: ingat-ingatlah orang yang paling engkau cintai, maka Abdullah bin Umar berkata: ya Muhammad ﷺ, lalu seakan-akan ia kembali segar bugar dan sembuh dari pegal dan kram.

Imam an-Nawawi setelah menyebutkan atsar Ibnu Umar riwayat Ibnu Sinny diatas, berkata:

" وَرُوِينَا فِيهِ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ: "خَدِرَتْ رِجْلُ رَجُلٍ عِنْدَ ابْنِ عَبَّاسٍ، فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا: اذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: مُحَمَّدٌ (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) فَذَهَبَ خَدَرُهُ".

Dan juga dikisahkan kepada kami di dalam kitab yang sama dari Mujahid, ia berkata:

"seseorang merasakan letih dan kram pada kakinya ketika ia berada bersama Ibnu Abbas, maka Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma berkata kepadanya: ingatlah manusia yang paling kau cintai, maka ia menjawab: Muhammad ﷺ, maka seketika itu hilang rasa kesemutannya."

PERHATIAN:

Untuk lebih detail nya tentang kesahihan Atsar ((Ibnu Umar (ra) menyeru Nabi (SAW) saat kena kram)) dan tentang apakah hadits ini layak dijadikan sebagai dalil boleh dan tidaknya bertawassul dengan orang yang sudah wafat, silahkan buka artikel penulis di blog KAJIAN NIDA AL-ISLAM yang berjudul:

"Benarkah IBNU UMAR ber istighotsah dgn berseru “ YA MUHAMMAD “ ketika kena KRAM".

DALIL TAWASSUL KE DUA BELAS: HADITS PERINTAH MINTA TOLONG KE AHLI KUBUR

Rosulullah (SAW) bersabda:

« إذَا أعْيَتْكُمْ الأُمُوْرُ فَعَلَيْكُمْ بِأَهْلِ الْقُبُوْرِ » ، أَوْ « فَاسْتَغِيْثُوْا بِأَهْلِ الْقُبُوْرِ »

“Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan dengan berdo’a) kepada ahli kubur” Atau “Minta tolonglah (beristighotsahlah) dengan (perantaraan) ahli kubur.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Hadits ini adalah dusta dan diada-adakan atas Nabi SAW berdasarkan kesepakatan ahli hadits. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari para ulama dan tidak ditemukan sama sekali dalam kitab-kitab hadits yang terpercaya.” (Majmu’ Fatawaa (11/293)).

Ketika Ibnul Qoyyim menyebutkan beberapa faktor penyebab para penyembah kubur terjerumus ke dalam kesyirikan, beliau berkata:

“Dan di antaranya adalah hadits-hadits dusta dan bertentangan (dengan ajaran Islam), yang dipalsukan atas Nabi SAW oleh para penyembah berhala dan pengagung kubur yang bertentangan dengan agama dan ajaran Beliau (SAW), seperti hadits: “Apabila kamu terbelit suatu urusan, maka hendaknya (engkau meminta bantuan) kepada ahli kubur.”

DALIL TAWASSUL KE TIGA BELAS: Hadits yang menyebutkan bahwa Rosulullah SAW bersabda:

« لَوْ أَحْسَنَ أَحَدُكُمْ ظَنَّهُ بِحَجَرٍ لَنَفَعَهُ »

“Seandainya kalian berharap dan optimis walaupun terhadap sebuah batu, maka pasti batu itu akan mampu mendatangkan manfaat kepada kalian.” (Lihat: Ighatsatul Lahfaan (1/243)).

Hadits ini batil, sangat berlawanan dengan syariat Islam, yang memalsukannya adalah orang-orang musyrik.

Posting Komentar

0 Komentar