Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

MAKNA TONGKAT DAN HUKUM KHATHIB BERPEGANGAN TONGKAT SAAT KHUTBAH

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

DAFTAR ISI:

  • MAKNA TONGKAT [عَصَا]
  • FAIDAH TONGKAT DAN KEUTAMAANNYA .
  • APAKAH MEMEGANG TONGKAT DALAM KHUTBAH JUMAT BAGIAN DARI SUNNAH?

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

MAKNA TONGKAT:

https://rattibha.com/thread/1078281357330141185

Tongkat: adalah sepotong bambu atau rotan atau kayu, atau lainnya yang agak panjang (untuk menopang atau pegangan ketika berjalan, menyokong, dan sebagainya).

Dalam bahasa Arab, tongkat memiliki banyak nama, di antaranya al-'Ashoo, "al-'Ukazah", "al-'Anzah", "al-Miqra'ah", "al-Qoshib", atau "al-Mihjan".

Tongkat biasanya terbuat dari kayu pohon dan kadang-kadang bisa memiliki besi atau tombak di bagian bawahnya untuk tujuan menggali dan melindungi diri.

Tongkat Nabi (SAW) terbuat dari kayu pohon Syauhaṭh al-Jabali (juga disebut sebagai pohon an-Naba' atau asy-Syaryan). "Al-Mamsyuuq" adalah nama tongkat Nabi (SAW).

Terkadang, Nabi (SAW) membawa tongkat dari pelepah daun kurma. Nabi (SAW) kadang-kadang membawa tongkat sendiri atau meminta salah satu sahabatnya untuk membawanya dan berjalan di depannya.


Ibnu Mandzur dalam Lisanul 'Arob berkata:

“عَصَا: العَصَا: العُود ، أنثَى . وَفِي التَّنْزِيلِ الْعَزِيزِ: هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا . وَفُلَانٌ صَلَبَ العَصَا وَصَلِيبُ العَصَا ، إِذَا كَانَ يُعَنَّفُ بِالإِبِلِ فَيَضْرِبُهَا بِالعَصَا ".

[عَصَا] Tongkat: tongkat Kayu, (mu'annats) . Dan dalam Al-Quran yang Maha Mulia di sebutkan:

﴿ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا ﴾

“Ia adalah tongkatku yang aku bersandar padanya".

Dan dikatakan: si Fulan memukul dengan tongkat dan menyiksa dengan tongkat, ketika ia menyiksa unta dengan memukulnya menggunakan tongkat." [ Lisanul 'Arob 10/179].

Allah SWT berfirman:

﴿قَالَ هِيَ عَصَايَ أَتَوَكَّأُ عَلَيْهَا وَأَهُشُّ بِهَا عَلَىٰ غَنَمِي وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَىٰ﴾

“Berkata Musa: "Ini adalah tongkatku, aku bertelekan padanya, dan aku memukul (daun) di sana untuk kambingku, dan bagiku padanya ada lagi keperluan-keperluan yang lain". [QS. Thoha: 18].

Ibnu Katsir berkata:

أَيْ: أَعْتَمِدُ عَلَيْهَا فِي حَالِ الْمَشْيِ {وَأَهُشُّ بِهَا عَلَى غَنَمِي} أَيْ: أَهُزُّ بِهَا الشَّجَرَةَ لِيَسْقُطَ وَرَقُهَا، لِتَرْعَاهُ غَنَمِي.

قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْقَاسِمِ: عَنِ الْإِمَامِ مَالِكٍ: وَالْهَشُّ: أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ المحْجَن فِي الْغُصْنِ، ثُمَّ يُحَرِّكُهُ حَتَّى يُسْقِطَ وَرَقَهُ وثَمَره، وَلَا يَكْسِرُ الْعُودَ، فَهَذَا الْهَشُّ، وَلَا يَخْبِطُ. وَكَذَا قَالَ مَيْمُونُ بْنُ مِهْرَانَ أَيْضًا.

وَقَوْلُهُ: {وَلِيَ فِيهَا مَآرِبُ أُخْرَى} أَيْ: مَصَالِحُ وَمَنَافِعُ وَحَاجَاتٌ أُخَرُ غَيْرُ ذَلِكَ

“Yaitu tongkat ini kujadikan sebagai sandaran saat aku berjalan. Dan Firman-Nya: "Dan aku pukul (daun) dengannya untuk kambingku.” (Thaha: 18) Yakni aku goyangkan dengannya tangkai pohon agar dedaunannya rontok buat makan kambingku.

Abdur Rahman ibnul Qasim telah mengatakan dari Imam Malik: bahwa al-husy artinya bila seseorang mencangkolkan (mengaitkan) bagian yang bengkok dari tongkatnya ke dahan pohon, lalu ia menggerak-gerakkannya hingga dedaunan dan buah-buahannya rontok, tetapi dahan pohon (rantingnya) tidak patah. Itulah makna lafaz al-husy, yakni bukan memukulkan.

Hal yang sama telah dikatakan oleh Maimun ibnu Mahran.

Dan firman Allah Swt.: " Dan bagiku ada lagi keperluan yang lain padanya. (Thaha: 18)

Yakni: mashlahat , kegunaan dan keperluan lainnya". [ Tafsir Ibnu Katsir 5/279].

Ini menunjukkan bahwa tongkat tersebut berukuran panjang . Begitu pula dalam firman-Nya:

﴿ وَاِذِ اسْتَسْقٰى مُوْسٰى لِقَوْمِهٖ فَقُلْنَا اضْرِبْ بِّعَصَاكَ الْحَجَرَ ۗ فَانْفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا ۗ ﴾

"Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman, “Pukullah batu itu dengan tongkatmu!” Maka memancarlah daripadanya dua belas mata air". (QS. Al-Baqarah: 60)

Dan juga firman-Nya:

﴿ فَاَوْحَيْنَآ اِلٰى مُوْسٰٓى اَنِ اضْرِبْ بِّعَصَاكَ الْبَحْرَ ۗ فَانْفَلَقَ فَكَانَ كُلُّ فِرْقٍ كَالطَّوْدِ الْعَظِيْمِ ۚ ﴾

"Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah laut itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu, dan setiap belahan seperti gunung yang besar. (QS. Asy-Syu'ara': 63)

Nabi Sulaiman (as) wafat dalam kondisi berdiri bersandar pada tongkatnya:

{فَلَمَّا قَضَيْنَا عَلَيْهِ الْمَوْتَ مَا دَلَّهُمْ عَلَى مَوْتِهِ إِلا دَابَّةُ الأرْضِ تَأْكُلُ مِنْسَأَتَهُ }

Maka tatkala Kami telah menetapkan kematian Sulaiman, tidak ada yang menunjukkan kepada mereka kematiannya itu kecuali rayap yang memakan tongkatnya.. [QS. Saba: 14].

Al-Hafidz ibnu Katsir dalam Tafsirnya 6/501 berkata:

"فَإِنَّهُ مَكَثَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصَاهُ -وَهِيَ مِنْسَأته-كَمَا قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَمُجَاهِدٌ، وَالْحَسَنُ، وَقَتَادَةُ وَغَيْرُ وَاحِدٍ".

“Dan sesungguhnya Sulaiman saat kematiannya dalam keadaan sedang bertopang pada tongkatnya [عَصَاه], berdiri tegak. Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Abbas r.a. Mujahid, Al-Hasan dan Qatadah serta yang lain-lainnya yang bukan hanya seorang".

Al-Jawhari berkata dalam Ash-Shihaah (1/68):

"وثَبَّجَ الرّاعي بالعَصَا تَثْبيجاً ، إِذَا جَعَلَهَا عَلَى ظَهْرِهِ وَجَعَلَ يَدَيْهِ مِن وَرَائِهَا"

“Penggembala mentatsbiij dengan tongkat ; yakni jika dia meletakkan tongkat di punggungnya dan kedua tangannya di belakang tongkatnya " .


Ini juga menunjukkan bahwa tongkat tersebut panjang.

Ibnu al-Anbari berkata dalam al-Zahhir (1/417):

قَالَ أَبُو الْعَبَّاسِ رَوَى الْأَصْمَعِيُّ عَنْ بَعْضِ شُيُوخِ الْبَصْرِيِّينَ أَنَّهُ قَالَ إِنَّمَا سُمِّيَّتِ (العصا) عَصَا لِأَنَّ الْيَدَ وَالْأَصَابِعَ تَجْتَمِعُ عَلَيْهَا وَقَالَ هُوَ مَأْخُوذٌ مِّن قَوْلِ الْعَرَبِ قَدْ عَصَوْتُ الْقَوْمَ أَعْصُوهُمْ إِذَا جَمَعْتُهُمْ عَلَى خَيْرٍ أَوْ شَرٍّ.

Abu al-Abbas mengutip dari al-Asma'iy dari beberapa syekh Bashrah bahwa ia mengatakan: "Sungguh, (tongkat) disebut 'aṣhā ; karena tangan dan jari-jari berkumpul di atasnya." Dan dia berkata: " Itu diambil dari perkataan orang Arab: "Aku telah meng-ashoo orang-orang, maka akupun mengashoo-kan mereka , jika aku telah berhasil mengumpulkan mereka, baik dalam kebaikan atau keburukan".

Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma berkata:

 طَافَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ عَلَى بَعِيرٍ يَسْتَلِمُ الرُّكْنَ بِمِحْجَنٍ

"Nabi Shallallahu'alaihiwasallam melaksanakan thawaf ketika hajji wada' (perpisahan) diatas untanya dan Beliau menyentuh Ar-Rukun (Al Hajar Al Aswad) menggunakan tongkat". [HR. Bukhori no. 1607 dan Muslim no. 1272 ].

Makna al-Mihjan:

المِحْجَنُ = العَصَا ذَاتُ الطَّرَفِ المُنْحَنِي. وَمَا زَالَ فِي نَجْدٍ وَبَعْضِ مَنَاطِقِ الْمَمْلَكَةِ يُسَمَّى (مِحْجَنًا) وَ(حَاجُوْنًا).

Mihjan = tongkat yang ujungnya melengkung.

Hingga kini masih disebut (Mahajn) dan (Hajoun) di Najd dan beberapa wilayah Kerajaan Arab saudi .

Dari Jabir bin Abdullah (ra) dia berkata;

خَرَجْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزَاةٍ فَأَبْطَأَ بِي جَمَلِي فَأَتَى عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ لِي يَا جَابِرُ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ مَا شَأْنُكَ قُلْتُ أَبْطَأَ بِي جَمَلِي وَأَعْيَا فَتَخَلَّفْتُ فَنَزَلَ فَحَجَنَهُ بِمِحْجَنِهِ ثُمَّ قَالَ ارْكَبْ فَرَكِبْتُ فَلَقَدْ رَأَيْتُنِي أَكُفُّهُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَتَزَوَّجْتَ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ أَبِكْرًا أَمْ ثَيِّبًا فَقُلْتُ بَلْ ثَيِّبٌ قَالَ فَهَلَّا جَارِيَةً تُلَاعِبُهَا وَتُلَاعِبُكَ قُلْتُ إِنَّ لِي أَخَوَاتٍ فَأَحْبَبْتُ أَنْ أَتَزَوَّجَ امْرَأَةً تَجْمَعُهُنَّ وَتَمْشُطُهُنَّ وَتَقُومُ عَلَيْهِنَّ قَالَ أَمَا إِنَّكَ قَادِمٌ فَإِذَا قَدِمْتَ فَالْكَيْسَ الْكَيْسَ ثُمَّ قَالَ أَتَبِيعُ جَمَلَكَ قُلْتُ نَعَمْ فَاشْتَرَاهُ مِنِّي بِأُوقِيَّةٍ ثُمَّ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدِمْتُ بِالْغَدَاةِ فَجِئْتُ الْمَسْجِدَ فَوَجَدْتُهُ عَلَى بَابِ الْمَسْجِدِ فَقَالَ الْآنَ حِينَ قَدِمْتَ قُلْتُ نَعَمْ قَالَ فَدَعْ جَمَلَكَ وَادْخُلْ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ قَالَ فَدَخَلْتُ فَصَلَّيْتُ ثُمَّ رَجَعْتُ فَأَمَرَ بِلَالًا أَنْ يَزِنَ لِي أُوقِيَّةً فَوَزَنَ لِي بِلَالٌ فَأَرْجَحَ فِي الْمِيزَانِ قَالَ فَانْطَلَقْتُ فَلَمَّا وَلَّيْتُ قَالَ ادْعُ لِي جَابِرًا فَدُعِيتُ فَقُلْتُ الْآنَ يَرُدُّ عَلَيَّ الْجَمَلَ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ أَبْغَضَ إِلَيَّ مِنْهُ فَقَالَ خُذْ جَمَلَكَ وَلَكَ ثَمَنُهُ

Saya pernah keluar bersama Rasulullah (SAW) dalam suatu peperangan, aku menaiki untaku yang jalannya sangat lamban, lalu Rasulullah (SAW) mendatangiku, dan memanggilku: "Wahai Jabir?" Saya menjawab; "Ya."

Beliau melanjutkan: "Kenapa denganmu?"

Aku menjawab; "Untaku sangat lamban jalannya hingga saya ketinggalan."

Kemudian beliau turun dan memukul unta tersebut dengan TONGKATNYA [MIHJAN-NYA], kemudian beliau bersabda: "Naiklah."

Lalu saya menaikinya -sungguh saya ingat, seketika itu [untaku menjadi kencang jalannya] maka aku menahan unta tersebut jangan sampai ia mendahului Rasulullah (SAW)-.

Lalu beliau bertanya: "Apakah kamu sudah menikah?" Jawabku; "Ya, sudah."

Beliau bertanya: "Apakah seorang gadis ataukah janda yang kamu nikahi?" Saya menjawab; "Seorang janda."

Beliau berkata: "Kenapa tidak yang masih gadis saja yang kamu nikahi, sehingga kamu bisa bercumbu rayu dengannya dan dia bisa mencumbumu?"

Saya menjawab; "Sesungguhnya saya memiliki beberap saudara perempuan, dan saya ingin menikahi seorang wanita yang dapat memelihara mereka, menyisiri rambut mereka dan mengurus perkara mereka."

Beliau berkata: "Sesungguhnya kamu akan sampai, apabila kamu tiba maka berikanlah kesempatan istri agar berdandan!"

Kemudian beliau bersabda: "Apakah kamu akan menjual untamu?" Saya menjawab; "Ya." Lantas beliau membelinya dariku dengan satu 'uqiyah. Saya tiba di Madinah di pagi hari setelah beliau tiba lebih dulu, saya mendatangi masjid, ternyata beliau sudah berada di pintu Masjid, beliau bersabda: "Apakah kamu baru sampai."

Saya menjawab; "Ya."

Beliau bersabda: "Tinggalkanlah untamu dan masuklah ke dalam masjid untuk shalat dua raka'at." Jabir berkata; "Lalu saya masuk masjid untuk mengerjakan shalat sunnah dua raka'at. Setelah itu saya kembali kepada beliau, lalu beliau menyuruh Bilal untuk menakar uang 'Uqiyah buatku, maka Bilal menakarnya dan melibihkan dalam takarannya."

Jabir berkata; "Tatkala saya telah beranjak pergi, beliau memanggil: "Panggilkan Jabir kepadaku."

Lalu saya dipanggil, saya berkata; "Ternyata sekarang unta tersebut justru akan beliau kembali lagi kepadaku, padahal tidak ada sesuatu yang menjengkelkanku selain unta itu."

Beliau bersabda: "Ambillah untamu dan harganya juga untukmu." [ HR. Muslim no. 715].

Ini juga menunjukkan bahwa tongkat tersebut panjang.

Tongkat juga biasa digunakan untuk ibadah dan kata'atan:

Sebagaimana riwayat Malik dalam Muwatha dengan sanad yang shahīh dari Muhammad bin Yusuf dari As Sāib bin Yazid (seorang tabi’in) beliau mengatakan:

أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي بُزُوْغِ الفجرِ

”Umar bin Khaththāb ketika memerintahkan sahabat Ubay bin Ka’ab dan Tamīm Ad Dari untuk menjadi imam shalat tarawih, beliau memerintahkan keduanya untuk mengerjakan shalat tarawih sebelas raka’at.”

Kemudian As Sāib bin Yazid mengatakan:

”Dan sungguh Ubay bin Ka’ab dan Tamīm Ad Dari ini membaca Al Qur’ān ketika mengimani shalat tarawih ratusan ayat sampai-sampai kami bertelekan [bersandarkan] pada tongkat karena lamanya berdiri, dan kami tidak bubar dari shalat tarawih ini kecuali di awal fajar (menjelang sahur).”.

[Lihat: al-Muwattha hal 74 no. 311. Pentahqiqnya berkata bahwa Atsar ini adalah shahih yang diriwayatkan pula oleh al-Bayhaqi dalam "as-Sunan al-Kubra" (5/329-4678).].

Ini juga menunjukkan bahwa tongkat tersebut panjang .

Tongkat adalah penopang bagi mereka yang bersandar pada nya dalam langkah-langkah kaki mereka, dan dengan itu mereka memperpanjang langkah kaki mereka.

Lubayd al-'Amiri berkata, semoga Allah meridainya dalm syairnya:

أَلَيْسَ وَرَائِي إِن تَرَاخَتْ مُنِيَّتِي ** لِزُومُ (العَصَا) تُحَنَّى عَلَيْهَا الْأَصَابِعُ

"Bukankah di belakangku, jika kekuatanku meredup ** Dibutuhkan (tongkat) yang jari-jari melengkung padanya.

أُخَبِّرُ أَخبارَ القُرون الَّتي مَضَتْ ** أَدِبُّ كَأني كُلّما قمتُ راكعُ

Aku meriwayatkan kisah-kisah generasi yang telah berlalu ** Seolah-olah aku mendidik, setiap kali aku berdiri membungkuk."


Deskripsi tentang cara penggembala dalam menggembalakan gembalaanya dari sisi kekerasan dan kelembutan, terbentuk dengan kekerasan dan kelembutan dalam menggunakan tongkat .

Sebagian dari mereka memperluas dalam mendeskripsi pemerintahan secara umum dengan tongkat ini.

Abu al-Najm berkata:

"(صُلْبُ العصا) جافٍ على التغزُّل ** كالصَّقْرِ يَجْفُوْ عَنْ طِرَادِ الدُّخَلِ

'(Inti dari tongkat) kering saat dipegang ** Seperti elang yang menjauhi penangkapan mangsa.'

Dan Ar-Raa'ii al-Namiri berkata:

(ضَعِيْفُ العَصَا) بَادِيَ الْعُرُوْقِ تَرَى لَهُ ** عَلَيْهَا إِذَا مَا أَجْدَبَ النَّاسُ إِصْبَعًا"

'(Inti tongkat yang lemah) , urat-uratnya tampak jelas ** Di atasnya, ketika orang-orang tidak menarik jari jemarinya.'"


FAIDAH DAN KEUTAMAAN TONGKAT

Al-Imam Al-Qurthubi (W. 671 H) berkata dalam tafsirnya (11/188):

وَرُوِيَ عَنْهُ مَيْمُونُ بْنُ مِهْرَانَ قَالَ: إِمْسَاكُ الْعَصَا سُنَّةٌ لِّلْأَنْبِيَاءِ، وَعَلَامَةٌ لِّلْمُؤْمِنِ.

وَقَالَ الْحَسَنُ الْبَصْرِيُّ: فِيْهَا سِتُّ خِصَالٍ:

1- سُنَّةٌ لِّلْأَنْبِيَاءِ

2- وَزِيْنَةُ الصَّالِحِيْنَ

3- وَسِلَاحٌ عَلَى الْأَعْدَاءِ

4- وَعَوْنٌ لِّلضُّعَفَاءِ

5- وَغِمَّ الْمُنَافِقِيْنَ

6- وَزِيَادَةٌ فِي الطَّاعَاتِ

"Diceritakan darinya bahwa Maimun bin Mihran berkata: 'Memegang tongkat adalah sunnah para nabi, dan tanda bagi orang beriman.'

Dan Al-Hasan al-Bashri berkata: 'Di dalamnya terdapat enam hal:

1- Sunnah para nabi

2- Dan perhiasan orang-orang saleh

3- Dan senjata terhadap musuh-musuh

4- Dan bantuan bagi yang lemah

5- Dan kesulitan bagi orang munafik

6- Dan peningkatan dalam ketaatan". Demikianlah akhir perkataannya.

Derajat Hadits:

"حَمْلُ العصَا علامَةُ المؤمن وسُنَّةُ الأنبياء"

"Membawa tongkat adalah tanda seorang mukmin dan sunnah para nabi."

Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dalam adh-Dha'ifah (2 /20) berkata:

"مَوْضُوعٌ" . "وَأَعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ فِي الْبَابِ فِي الْحَضِّ عَلَى حَمْلِ الْعَصَا حَدِيثٌ يَصِحُّ وَأَنَّ حَمْلَ الْعَصَا مِنْ سُنَنِ الْعَادَةِ لَا الْعِبَادَةِ".

"Palsu (maudhu'). Dan ketahuilah bahwa tidak terdapat dalam bab anjuran untuk memegang tongkat hadis yang shahih, dan memegang tongkat adalah dari kebiasaan, bukan dari ibadah."

Syeikh Al-Albani dalam "Adh-Dha'ifah" no. (535) mengatakan:

“مَوْضُوعٌ ". أُخْرِجَهُ الدِّيلَمِيُّ فِي "مُسْنَدِ الْفِرْدَوْسِ" (2 / 97 - زهْرَ الْفِرْدَوْسِ) مِنْ طَرِيقِ يَحْيَى بْنِ هَاشِمِ الْغَسَّانِيِّ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوعًا. قُلْتُ: وَهَذَا مَوْضُوعٌ، وَإِنَّ ذَكَرَهُ السُّيُوطِيُّ فِي "الْفَتَاوِي" (2 / 201) وَسَكَتَ عَلَيْهِ! بَلْ أَوْرَدَهُ فِي "الْجَامِعِ الصَّغِيرِ"! فَقَدْ تَعَقَّبَهُ شَارِحُهُ الْمُنَاوِيُّ بِأَنَّ الْغَسَّانِيَّ هَذَا قَالَ الذَّهْبِيُّ فِي "الضَّعَفَاءِ": "قَالُوا: كَانَ يَضَعُّ الْحَدِيثَ".

"Palsu (maudu). Disebutkan oleh Ad-Dailami dalam "Musnad al-Firdaus" (2/97 - Zahr al-Firdaus) melalui jalur Yahya bin Hashim al-Ghassani dari Qatadah dari Anas dalam bentuk hadis marfu'. Saya berkata: "Ini palsu (maudu), meskipun as-Suyuti menyebutkannya dalam 'al-Fatawi' (2/201) dan dia diam! Bahkan dia mencantumkannya dalam 'al-Jami' as-Saghir'! Kemudian pensharahnya, al-Munawi, mengkritik dengan mengatakan bahwa al-Ghassani ini telah dikatakan oleh adz-Dzahabi dalam 'adh-Dhu'aafa': 'Mereka berkata: Dia sering memalsukan hadits'".

Dan dia juga mengatakan dalam "Adh-Dha'ifah" no. (536):

(وَاعْلَمُ أَنَّهُ لَيْسَ فِي الْبَابِ فِي الْحَضِّ عَلَى حَمْلِ الْعَصَا، حَدِيثٌ يَصِحُّ، وَأَنَّ حَمْلَ الْعَصَا مِنْ سُنَنِ الْعَادَةِ لَا الْعِبَادَةِ".

"(Dan ketahuilah bahwa) tidak ada dalam bab dorongan memegang tongkat, hadis yang sahi, dan bahwa memegang tongkat adalah dari kebiasaan, bukan ibadah."

APAKAH MEMEGANG TONGKAT DALAM KHUTBAH JUMAT BAGIAN DARI SUNNAH?

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum bagi khatib untuk bersandar pada tongkat atau perkakas serupa seperti busur atau pedang selama khutbah Jumat.

Terdapat dua pendapat:

PENDAPAT PERTAMA: SUNNAH BAGI KHATHIB BERSANDAR PADA TONGKAT

Sunnah dan mustahabb . Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari madzhab Maliki, Syafi'i, Hanbali dan sebagian madzhab Hanafi .

Referensi:

Madzhab Maliki: Lihat: "Al-Mudawwanah" oleh Sakhnun (1/151-156), dan "Al-Syarh al-Shaghir" oleh Ahmad al-Dardir (1/169), dan "Al-Fawakih al-Dawani" oleh al-Nafrawi (1/307).

Madzhab Syafi'i: Lihat: "Al-Umm" oleh asy-Syafi'i (1/200), dan "Al-Majmu'" oleh al-Nawawi (4/447), dan "Tuhfat al-Muhtaj" oleh Ibn Hajar al-Haytami (2/463), dan "Mughni al-Muhtaj" oleh al-Sharbini (1/290).

Madzhab Hanbali: Lihat: "Al-Mughni" oleh Ibn Qudamah (3/23), dan "Al-Muharrar" oleh al-Majd Ibn Taymiyyah (1/151), dan "Al-Furu'" oleh Ibn Muflih (2/119), dan "Al-Inshaf" oleh al-Mardawi (2/387), dan "Al-Rawd al-Murbi''" oleh al-Buhuti (hal. 125).

Madzhab Hanafi: Lihat: "Radd al-Muhtar" oleh Ibnu 'Abidin (2/163).

Imam Malik rahimahullah berkata:

“وَذَلِكَ مِمَّا يَسْتَحَبُّ لِلْأَئِمَّةِ أَصْحَابِ الْمِنَابِرِ، أَن يَخْطُبُوا يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَمَعَهُمُ الْعَصَيُّ يَتَوَكَّؤُونَ عَلَيْهَا فِي قِيَامِهِمْ، وَهُوَ الَّذِي رَأَيْنَا وَسَمِعْنَا ". انتهى.

"Dan ini adalah di antara hal-hal yang disunnahkan bagi para imam yang berdiri di mimbar, yaitu untuk memberikan khutbah Jumat dengan membawa tongkat dan bersandar padanya dalam posisi berdiri, dan inilah yang kami lihat dan dengar."

(Al-Mudawwanah al-Kubra 1/151). Pendapat ini juga menjadi pendapat yang mu'tamad di kalangan ulama Maliki kemudian, seperti dalam "Jawahir al-Ikliil" (1/97) dan dalam "Hashiyah al-Dusuqi" (1/382).

Al-Imam Al-Qurtubi (W. 671 H) menyampaikan kata-kata yang panjang dan indah tentang (tongkat). Ia mengatakan dalam tafsirnya (11/188):

وَالْإِجْمَاعُ مُنْعَقِدٌ عَلَى أَنَّ الْخَطِيبَ يَخْطُبُ مُتَوَكِّئًا عَلَى سَيْفٍ أَوْ عَصَا، فَالْعَصَا مَأْخُوْذَةٌ مِّنْ أَصْلٍ كَرِيْمٍ، وَمَعْدِنٍ شَرِيْفٍ، وَلَا يُنكِرُهَا إِلَّا جَاهِلٌ. أ.هـ

"Dan Ijma' [kesepakatan] telah tercapai bahwa khatib berkhutbah dengan bersandar pada pedang atau tongkat. Maka, tongkat diambil dari sumber yang mulia, dan merupakan bahan yang terhormat. Tidak ada yang menolaknya kecuali orang yang bodoh."

Penulis katakan: "Hikayat tentang Ijma ini perlu ditinjau ulang."

Imam Syafi'i rahimahullah berkata:

"أَحَبُّ لِكُلِّ مَنْ خَطَبَ - أَيَّ خُطْبَةٍ كَانَتْ - أَنْ يَعْتَمِدَ عَلَى شَيْءٍ" انتهى.

"Lebih aku sukai bagi setiap orang yang memberikan khutbah, baik itu khutbah apa pun, untuk bersandar pada sesuatu." (Al-Umm 1/272).

Ini adalah pendapat yang mu'tamad dalam madzhab Syafi'i, seperti dalam "Nihayat al-Muhtaj" (2/326) dan "Hashiyah Qalyubi wa 'Umairah" (1/272).

Al-Buhuti, ulama madzhab Hanbali, berkata:

"وَيَسُنُّ أَنْ يَعْتَمِدَ عَلَى سَيْفٍ أَوْ قَوْسٍ أَوْ عَصَا بِإِحْدَى يَدَيْهِ" انتهى.

"Sunnah bagi khatib untuk bersandar pada pedang atau busur atau tongkat dengan salah satu tangan." (Kashf al-Qina' 2/36), dan lihat juga "al-Insaf" (2/397).

DALIL-DALIL:

Untuk mendukung pendapat ini mereka berdalil dengan beberapa dalil berikut ini:

DALIL PERTAMA:

Hadits dari Al Hakam bin Hazn Al Kulafi], (ra) , dia berkata ;

وَفَدْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَابِعَ سَبْعَةٍ أَوْ تَاسِعَ تِسْعَةٍ فَدَخَلْنَا عَلَيْهِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ زُرْنَاكَ فَادْعُ اللَّهَ لَنَا بِخَيْرٍ فَأَمَرَ بِنَا أَوْ أَمَرَ لَنَا بِشَيْءٍ مِنْ التَّمْرِ وَالشَّأْنُ إِذْ ذَاكَ دُونٌ فَأَقَمْنَا بِهَا أَيَّامًا شَهِدْنَا فِيهَا الْجُمُعَةَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ مُتَوَكِّئًا عَلَى عَصًا أَوْ قَوْسٍ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ كَلِمَاتٍ خَفِيفَاتٍ طَيِّبَاتٍ مُبَارَكَاتٍ ثُمَّ قَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّكُمْ لَنْ تُطِيقُوا أَوْ لَنْ تَفْعَلُوا كُلَّ مَا أُمِرْتُمْ بِهِ وَلَكِنْ سَدِّدُوا وَأَبْشِرُوا قَالَ أَبُو عَلِيٍّ سَمِعْت أَبُو دَاوُد قَالَ ثَبَّتَنِي فِي شَيْءٍ مِنْهُ بَعْضُ أَصْحَابِنَا وَقَدْ كَانَ انْقَطَعَ مِنْ الْقِرْطَاسِ

"Aku pernah menemui Rasulullah (SAW) bersama dengan tujuh atau sembilan orang, setelah kami masuk menemui beliau, kami bertanya:

"Wahai Rasulullah, kami mengunjungi anda, oleh karena itu, do'akanlah kebaikan untuk kami."

Maka beliau memerintahkan supaya kami di suguhi kurma, pada waktu itu, kondisi dalam situasi lemah. Kami pun tinggal di Madinah beberapa hari, kami juga mengikuti pelaksanaan shalat Jum'at bersama Rasulullah (SAW), saat itu beliau berdiri BERSANDAR pada TONGKAT atau BUSUR, lalu beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya dengan beberapa patah kata ringan, baik lagi penuh berkah, beliau bersabda:

"Wahai sekalian manusia, sesungguhnya kalian tidak akan mampu mengerjakan semua yang di perintahkan pada kalian, akan tetapi bertindaklah yang benar dan berilah kabar gembira."

[HR. Abu Dawud (1096). Al-Imam al-Nawawi berkata dalam "al-Majmu'" (4/526): "Hadis ini hasan." Al-Albani juga mengatakan hadis ini shahih dalam "Sahih Abi Dawud."

Namun, ada beberapa ulama juga yang menganggap hadis ini lemah. Ibnu Katsir berkata dalam Irsyad al-Faqiih 1/196: " ليس إسناده بالقوي / Isnadnya tidak kuat ". Dan Syeikh al-Albaani mendhaifkannya dalam shahih Ibnu Khuzaimah no. 1452 .

DALIL KE DUA:

Dari Hisyam bin Urwah, dia berkata:

((رَأَيْتُ عَبْدَاللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ بِمَكَّةَ يَصْعَدُ الْمِنْبَرَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، وَفِي يَدِهِ عَصَا فَيُسَلِّمُ، ثُمَّ يَجْلِسُ عَلَى الْمِنْبَرِ، وَيُؤَذِّنُ الْمُؤَذِّنُونَ، فَإِذَا فَرَغُوا مِنْ آذَانِهِمْ؛ قَامَ فَتَوَكَّأَ عَلَى الْعَصَا، فَخَطَبَ، فَإِذَا فَرَعَ مِنْ خُطْبَتِهِ؛ جَلَسَ دُونَ أَنْ يَتَكَلَّمَ، ثُمَّ يَقُومُ فَيَخْطُبُ، فَإِذَا فَرَغَ مِنْ خُطْبَتِهِ؛ نَزَلَ)).

((Aku melihat Abdullah bin Az-Zubair di Makkah naik mimbar pada hari Jumat, dengan sebuah tongkat di tangannya, lalu dia memberi salam. Kemudian dia duduk di atas mimbar, dan para muadzin berkumandang. Setelah mereka selesai dengan adzan, dia berdiri dan bersandar pada tongkatnya, kemudian berkhutbah. Setelah ia memulai khutbahnya, dia duduk tanpa berbicara, kemudian berdiri kembali dan berkhutbah lagi. Setelah ia selesai berkhutbah, dia turun.))

Ini adalah Atsar yang sahih, diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam "Tarikh Baghdad" (14/38) melalui jalur Ali bin Musahhir, dari Hisham bin Urwah, dengan sanad yang sahih.

Dan diriwayatkan oleh Abdul Razzaq dalam "Musannaf"-nya (3/288/5659) dari At-Thawri, dari Hisham bin Urwah, dengan sanad yang disingkat.

DALIL KE TIGA:

Dari Thalhah bin Yahya, dia berkata:

((رَأَيْتُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ يَخْطُبُ وَبِيَدِهِ قَضِيبٌ)).

((Aku melihat Umar bin Abdul Aziz sedang berkhutbah dan dalam tangannya ada sebatang tongkat )).

Atsar yang sahih, diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam "Musannaf"-nya (1/482/5563), dia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Waki', dari Thalhah bin Yahya, dengannya.

DALIL KE EMPAT:

Dan juga, Imam Malik menggunakan dalil bahwa hal itu merupakan amalan penduduk Madinah. Dia berkata:

((وَهُوَ مِنْ عَمَلِ النَّاسِ الْقَدِيمِ))

"Ini adalah dari amalan orang-orang zaman dahulu." (Lihat: "Al-Mudawwanah" (1/156)).

Abu al-Mihaal al-Abyadhi berkata:

قُلْتُ: وَهَذَا الْعَمَلُ يَجْرِي مَجْرَى النَّقْلِ عَنِ النَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم –، وَهَذَا الْعَمَلُ حُجَّةٌ، وَلَا يُعْرَفُ عَمَلٌ قَدِيمٌ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ خَالَفَ سُنَّةً صَحِيحَةً. انْظُرْ: ((عَمَلُ أَهْلِ الْمَدِينَةِ)) لأَحْمَد نور سَيْفٍ (ص 113 – 132).

Saya berkata: Amalan ini mengikuti jalur riwayat dari Nabi (SAW) dan amalan ini merupakan hujjah (dalil yang kuat). Tidak dikenal adanya amalan lama dari penduduk Madinah yang menyelisihi sunnah yang sahih. Lihat: "Amalun Ahlil-Madinah" oleh Ahmad Nur Saif (hal. 113 - 132). [ Lihat pula: Arsyif Multaqoo al-Hadits 27/160].

DALIL KE LIMA:

Tiga khalifah setelah Rasulullah (SAW) (khulafa’ ar-rasyidin); yakni Abu Bakar, Umar bin Khatab dan Utsman bin Affan, membawa tongkat yang biasa Nabi bawa saat berkhutbah, dalam khutbah-khutbah mereka. Sebagaimana yang diceritakan Ibnul Qayyim:


«‌وَكَانَ إِذَا قَامَ يَخْطُبُ أَخَذَ عَصًا فَتَوَكَّأَ عَلَيْهَا وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ» ، كَذَا ذَكَرَهُ عَنْهُ أبو داود عَنِ ابْنِ شِهَابٍ. وَكَانَ الْخُلَفَاءُ الثَّلَاثَةُ بَعْدَهُ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ، وَكَانَ أَحْيَانًا يَتَوَكَّأُ عَلَى قَوْسٍ".


Nabi (SAW) apabila berdiri untuk khutbah, beliau mengambil tongkat lalu beliau bersandar pada tongkat tersebut saat beliau di atas mimbar. Demikian yang diceritakan oleh Abu Dawud dari Ibnu Syihab. Kemudian perbuatan ini dilakukan oleh 3 khulafa ar rasyidin sepeninggal Nabi. Dan terkadang beliau berpegangan pada busur panah" (Zaadul Ma’ad 1/182).

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ad-Diraayah 1/215 di bawah hadits no. 276 berkata:

وَلَهُ فِي الْمَرَاسِلِ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ بَلَغَنَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَبْدَأُ فَيَجْلِسُ عَلَى الْمِنبَرِ فَإِذَا سَكَتَ الْمُؤَذِّنُ قَامَ فَخَطَبَ ثُمَّ جَلَسَ يَسِيرًا ثُمَّ قَامَ فَخَطَبَ وَكَانَ إِذَا قَامَ أَخَذَ عَصَا فَتَوَكَّأَ عَلَيْهَا وَهُوَ قَائِمٌ عَلَى الْمِنبَرِ ثُمَّ كَانَ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ.

Dan bagi Abu Daud dalam kitabnya al-Maraasiil dari Ibnu Syihab, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah (SAW) biasanya memulai dengan duduk di atas mimbar. Setelah muadzin diam, beliau berdiri untuk memberikan khutbah, kemudian duduk sebentar, dan kemudian berdiri lagi untuk memberikan khutbah. Ketika beliau berdiri, beliau mengambil sebatang tongkat dan bersandar padanya saat berdiri di atas mimbar. Kemudian Abu Bakar, Umar, dan Utsman juga melakukan hal yang sama".

PATAHNYA TONGKAT NABI (SAW):

Tongkat Nabi (SAW) yang berada di mimbar Masjid Nabawi diwarisi oleh: Abu Bakar, lalu oleh Umar, lalu oleh Utsman.

Al-Waqidi berkata: "Telah mengabarkan kepadaku Usamah bin Zaid al-Laitsi dari Yahya bin Abdul Rahman bin Hathib dari ayahnya, dia berkata:

بَيْنَا أَنَا أَنْظُرُ إلَى عُثْمَانَ يَخْطُبُ عَلَى عَصَا النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الَّتِي كَانَ يَخْطُبُ عَلَيْهَا وَأَبُو بَكْرٍ وَعُمَرَ، فَقَالَ لَهُ جُهْجَاهُ الْغِفَارِيُّ: قُمْ يَا نَعْثَلُ فَأَنزَلَ عَنْ هَذَا الْمِنبَرِ وَأَخَذَ الْعَصَا فَكَسَرَهَا عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى فَدَخَلَتْ شَظِيَّةٌ مِنْهَا فِيهَا فَبَقِيَ الْجُرْحُ حَتَّى أَصَابَتْهُ الْأَكْلَةُ، فَرَأَيْتُهَا تَدُودُّ، فَنَزَلَ عُثْمَانُ وَحَمَلُوهُ وَأَمَرَ بِالْعَصَا فَشَدُّوهَا، فَكَانَتْ مُضْبَبَةً، فَمَا خَرَجَ بَعْدَ ذَلِكَ الْيَوْمِ إلَّا خَرَجَةً أَوْ خَرَجَتَيْنِ، حَتَّى حُصِرَ فَقُتِلَ.

Ketika aku melihat Utsman berkhutbah dengan bersandar pada tongkat yang digunakan oleh Nabi (SAW) untuk berkhutbah, dan juga Abu Bakar dan Umar melakukan hal yang sama. Kemudian Juhjah al-Ghifari berkata kepadanya: 'Bangunlah, wahai Na'tsul (sebutan sindiran yang kasar).' Maka dia turun dari mimbar ini, lalu Juhjah mengambil tongkat itu dan mematahkannya pada lutut kanan Utsman, sehingga serpihannya menancap masuk dan Luka itu semakin memburuk dan bernanah hingga akhirnya terlihat belatung keluar. Kemudian Utsman turun dan diangkat oleh orang-orang, dan dia memerintahkan agar tongkat itu diambil dan diikat kembali, maka tongkat itu menjadi kokoh lagi . Setelah itu, Utsman tidak pernah keluar, kecuali sekali, atau dua kali keluar, hingga dia dikepung dan terbunuh." [ Lihat: Taarikh ath-Thobari 3/400 dan al-Bidayah wan Nihayah karya Ibnu Katsir 7/196]

Dan dalam al-Fitnah al-Kubro di sebutkan:

كَانَ عُثْمَانُ يَخْطُبُ عَلَى مِنْبَرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَجَمَ عَلَيْهِ جُهْجَاهُ الْغَفَارِيُّ وَقَالَ لَهُ: قُمْ نَعْثِلْ فَأَنزِلْ عَنْ هَذَا الْمِنبَرِ، وَأَخَذَ مِنْهُ الْعَصَا فَكَسَرَهَا عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى فَدَخَلَتْ سَرَيْحَةٌ مِنْهَا رِجْلَهُ وَبَقِيَ جَرْحُهُ يَزِيدُ وَيَتَعَفَّنُ حَتَّى خَرَجَ مِنْهُ الدَّوَادِ وَمَاتَ بِذَلِكَ قَبْلَ أَنْ يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ. وَأَخَذَ عُثْمَانُ الْعَصَا الْمَكْسُورَةَ، وَأَمَرَ بِهَا فَشَدُّوهَا، فَكَانَتْ مَضْبُوْبَةً، وَتَمَّتْ مُحَاصَرَتُهُ وَقَتْلُهُ بَعْدَ هَذَا الْحَادِثِ بِأَسْبُوْعَيْنِ.

وَجُهْجَاهُ صَحَابِيٌّ شَهِدَ بَيْعَةَ الرِّضْوَانِ وَغَزْوَةَ الْمُرَيْسِيْعِ وَكَانَ يَعْمَلُ أَجِيْرًا لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، وَهُوَ الَّذِي قَالَ فِيهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ الْكَافِرَ يَأْكُلُ سَبْعَةَ أمْعَاءٍ وَالْمُؤْمِنَ يَأْكُلُ فِي معى وَاحِدَةٍ، لِأَنَّهُ قَبْلَ أَنْ يُسْلِمَ شَرِبَ حَلِيْبَ 7 شِيَاهٍ وَبَعْدَ إِسْلَامِهِ لَمْ يَسْتَتِمْ شُرَبُ حَلِيْبِ شَاةٍ وَاحِدَةٍ.

Pada masa fitnah besar, Utsman berkhutbah di mimbar Nabi (SAW), lalu Juhjah al-Ghafari menyerangnya dan berkata, "Berdirilah, kami akan menjatuhkanmu dari mimbar ini." Ia pun merebut tongkatnya dan mematahkannya di lutut kanannya, sehingga ujung tongkat tersebut masuk ke dalam pahanya. Luka itu semakin memburuk dan bernanah hingga akhirnya belatung keluar dan Utsman meninggal karena luka tersebut sebelum perubahan kekuasaan terjadi atasnya. Utsman kemudian mengambil tongkat yang patah itu dan memerintahkan untuk memperbaikinya, sehingga tongkat tersebut menjadi tumpul. Ia tetap dikepung dan dibunuh dua minggu setelah peristiwa tersebut.

Juhjah al-Ghifari adalah seorang sahabat yang menyaksikan Bai'at al-Ridwan dan Pertempuran Muraisi'i. Ia bekerja sebagai pekerja upahan untuk Umar bin Khattab. Ia adalah orang yang di dalam hadis Nabi (SAW) dikatakan:

الْكَافِرَ يَأْكُلُ سَبْعَةَ أمْعَاءٍ وَالْمُؤْمِنَ يَأْكُلُ فِي معى وَاحِدَةٍ

bahwa orang kafir makan dengan tujuh usus, sedangkan orang mukmin hanya makan dengan satu usus. [HR. Bukhori no. 5393 dan Muslim no. 2060]

Hal ini karena sebelum masuk Islam, Juhjah telah minum susu dari tujuh kambing, dan setelah masuk Islam, ia hanya minum susu dari satu kambing".

Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu Syaikh (Mufti Kerajaan Saudi Arabia sebelum Syaikh Ibnu Baz), menegaskan saat menerangkan hadis dari Hakam bin Hizam, yang menceritakan bahwa Nabi berkhutbah dengan bersandar pada tongkat (HR. Abu Dawud):


فِيهِ فَوَائِدَ: مِنْهَا شَرْعِيَّةُ الِاعْتِمَادِ فِي الْخُطْبَةِ عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَلَى عَصَا. وَذَلِكَ لِكُونِهِ أَرْفَقَ لِلْخَطِيبِ وَأَثْبَتَ لَهُ. لَاسِيمَا إِذَا كَانَ يَطُولُ وَقُوفُهُ أَوْ مَقْصُودًا مُّهِمًّا. فَكُونَهُ مُعْتَمَدًا عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَصَا هُوَ السُّنَّةُ.


Ada beberapa pelajaran dari hadis ini. Diantaranya, disyariatkan bersandar pada busur panah atau tongkat saat khutbah. Hal ini karena lebih meringankan khatib dan lebih menstabilkannya (saat berdiri). Terlebih apabila khutbahnya panjang atau karena suatu tujuan penting. Maka bersandar pada busur panah atau tongkat, hukumnya sunah. (Fatawa Wa Rasa-il Syaikh Muhammad bin Ibrahim 1/21).

PENDAPAT KEDUAMAKRUH (tidak disukai) BAGI KHATHIB BERSANDAR PADA TONGKAT.

Ini adalah mazhab Hanafi dan yang mu'tamad meskipun ada sebagian para ulama fiqih mereka yang menyelisihinya .

Pemilik kitab "Tatarkhaniah" - yang dikaitkan dengan pemilik "Al-Muhit al-Burhani" - menyebutkan sebagai berikut:

"وَإِذَا خَطَبَ مُتَكَئًا عَلَى الْقَوْسِ أَوْ عَلَى الْعَصَا جَازَ، إِلَّا أَنَّهُ يَكْرَهُ؛ لِأَنَّهُ خِلَافُ السُّنَّةِ" انتهى.

"Dan jika berkhutbah dengan bersandar pada busur atau tongkat, itu diperbolehkan, tetapi makruh [tidak disukai], karena itu bertentangan dengan sunnah." Selesai.

"Al-Fatawa al-Tatarkhaniah" (2/61)

Dalam "Al-Fatawa al-Hindiyyah" (1/148) mengikuti mazhab Hanafi:

"وَيَكْرَهُ أَنْ يَخْطُبَ مُتَكَئًا عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَصَا، كَذَا فِي الْخَلَصَةِ، وَهَكَذَا فِي الْمَحِيطِ، وَيَتَقَلَّدُ الْخَطِيبُ السَّيْفَ فِي كُلِّ بَلَدَةٍ فُتِحَتْ بِالسَّيْفِ، كَذَا فِي شَرْحِ الطَّحَاوِيِّ" انتهى.

"Dan dimakruhkan [tidak disukai] jika khatib berkhutbah sambil bersandar pada busur atau tongkat, seperti yang terdapat dalam kitab al-Khulashah dan juga dalam kitab "Al-Muhit." Seorang Khatib mengalungkan pedang [saat berkhutbah] di setiap wilayah yang ditaklukkan dengan pedang. Demikian pula dalam Syarah ath-Thahawi." Selesai.

Dalam perkataan dari al-'allaamah Ibnu al-Qayyim menunjukkan bahwa bersandar pada tongkat bukanlah bagian dari tuntunan Nabi (SAW) dalam berkhutbah di atas mimbar.

Beliau rahimahullah berkata:

"وَلَمْ يَكُنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ سَيْفًا وَلَا غَيْرَهُ، وَإِنَّمَا كَانَ يَعْتَمِدُ عَلَى قَوْسٍ أَوْ عَصَاٍ قَبْلَ أَنْ يَتَّخِذَ اَلْمِنْبَرَ، وَكَانَ فِي اَلْحَرْبِ يَعْتَمِدُ عَلَى قَوْسٍ، وَفِي اَلْجُمُعَةِ يَعْتَمِدُ عَلَى عَصَاٍ، وَلَمْ يُحَفَّظْ عَنْهُ أَنَّهُ اِعْتَمَدَ عَلَى سَيْفٍ، وَمَا يَظُنُّهُ بَعْضُ اَلْجُهَّالِ أَنَّهُ كَانَ يَعْتَمِدُ عَلَى اَلسَّيْفِ دَائِمًا، وَأَنَّ ذَلِكَ إِشَارَةً إِلَى أَنَّ اَلدِّينَ قَامَ بِالسَّيْفِ: فَمِنْ فَرَطِ جَهْلِهِ، فَإِنَّهُ لَا يُحَفَّظُ عَنْهُ بَعْدَ اِتِّخَاذِ اَلْمِنْبَرِ أَنَّهُ كَانَ يَرْقَاهُ بِسَيْفٍ، وَلَا قَوْسٍ، وَلَا غَيْرِهِ، وَلَا قَبْلَ اِتِّخَاذِهِ أَنَّهُ أَخَذَ بِيَدِهِ سَيْفًا اَلْبَتَّةِ، وَإِنَّمَا كَانَ يَعْتَمِدُ عَلَى عَصَاٍ أَوْ قَوْسٍ" انتهى.

"Dan beliau (SAW) tidak pernah tangannya memegang pedang atau yang lainnya saat berkhutbah. Hanya saja beliau bersandar pada busur atau tongkat sebelum ada mimbar tem[at khutbah . Di medan perang, beliau bersandar pada busur, dan di hari Jumat beliau bersandar pada tongkat. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa beliau bersandar pada pedang.

Namun, dugaan sebagain orang-orang bodoh bahwa beliau selalu bersandar pada pedang dan bahwa hal itu merupakan isyarat bahwa agama didirikan dengan pedang, maka itu adalah karena kebodohan yang over. Tidak ada riwayat yang bisa diterima yang menyatakan bahwa setelah ada mimbar beliau menaikinya sambil memegang pedang atau busur atau yang lainnya. Bahkan sebelum ada mimbar pun, beliau pun sama sekali tidak pernah memegang pedang saat berkhutbah . Beliau hanya bersandar pada tongkat atau busur." Selesai. ["Zad al-Ma'ad" (1/429)]

Dan Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berkata:

"قَوْلُهُ: (وَيَعْتَمِدُ عَلَى سَيْفٍ أَوْ قَوْسٍ أَوْ عَصَا) أَيْ: يَسُنُّ أَنْ يَعْتَمِدَ حَالَ الْخُطْبَةِ عَلَى سَيْفٍ، أَوْ قَوْسٍ، أَوْ عَصَا، وَاسْتَدْلَوْا بِحَدِيثٍ يُرْوَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صِحَّتِهِ نَظَرًا، وَعَلَى تَقْدِيرِ صِحَّتِهِ، قَالَ ابْنُ الْقَيِّمِ: إِنَّهُ لَمْ يُحَفَّظْ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ اِتِّخَاذِهِ اَلْمِنْبَرَ أَنَّهُ اِعْتَمَدَ عَلَى شَيْءٍ.

وَوَجَّهَ ذَلِكَ: أَنَّ اَلْاِعْتِمَادَ إِنَّمَا يَكُونُ عِنْدَ اَلْحَاجَةِ، فَإِنَّ احْتِيَاجَ اَلْخَطِيبِ إِلَى اِعْتِمَادٍ، مِثْلَ أَنْ يَكُونَ ضَعِيفًا يَحْتَاجُ اِلَى أَنْ يَعْتَمِدَ عَلَى عَصَا فَهَذَا سُنَّةٌ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُعِينُهُ عَلَى اَلْقِيَامِ اَلَّذِي هُوَ سُنَّةٌ، وَمَا أَعَانَ عَلَى سُنَّةٍ فَهُوَ سُنَّةٌ، أَمَّا إِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ حَاجَةٌ، فَلَا حَاجَةَ اِلَى حَمْلِ اَلْعَصَا" انتهى.

"Perkataan-nya: (Dan belaiu (SAW) bersandar pada pedang, busur, atau tongkat) yaitu: Disunnahkan bagi khatib bersandar saat khutbah pada pedang, busur, atau tongkat. Mereka berdalil dengan hadis yang diriwayatkan dari Nabi (SAW) dalam ketersahihannya ada perbedaan pandangan. Ibnu Qayyim berkata: Tidak ada yang mahfudz [tidak ada yan shahih] dari Nabi (SAW) setelah adanya mimbar bahwa beliau bersandar pada sesuatu.

Dan alasannya adalah bahwa bersandar itu hanyalah dilakukan pada saat diperlukan. Karena sesungguhnya kebutuhan khatib pada sandaran itu , seperti jika ia dalam keadaan lemah dan dia membutuhkan sandaran pada tongkat, maka ini adalah sunnah karena itu akan membantu dirinya untuk berdiri , yang juga berdiri itu merupakan sunnah. Apa pun yang membantu dalam menjalankan sunnah, maka itu adalah sunnah. Namun, jika tidak ada kebutuhan, maka tidak diperlukan untuk membawa tongkat" berakhir. ["Asy-Syarh al-Mumti'" (5/62-63)].

Syaikh Al-Albani rahimahullah telah mendukung ucapan Ibnu Qayyim, dan menolak adanya hadis-hadis yang mendukung bahwa Nabi (SAW), saat berkhutbah dari mimbar, bersandar pada busur atau tongkat. [Ini tertera dalam kitab "As-Silsilah Adh-Dha'ifah" (Hadis Nomor/964)].

Wallaahu A'lam.

Posting Komentar

0 Komentar