Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

MEMAHAMI HADITS : " MAYIT DISIKSA KARENA RATAP TANGIS KELUARGANYA".

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

HADITS : " MAYIT DIADZAB KARENA RATAPAN DAN TANGISAN KELUARGANYA".


Dari Ibnu 'Umar dari bapaknya radliallahu 'anhuma dari Nabi ﷺ bersabda:

الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ

"Mayit akan disiksa didalam kuburnya disebabkan ratapan kepadanya".

[HR. Bukhori no. 1291 dan Muslim no. 933]

Lalu Imam Bukhori berkata: Hadits ini dikuatkan oleh 'Abdu Al A'laa telah menceritakan kepada kami Yazid bin Zurai' telah menceritakan kepada kami [Sa'id] telah menceritakan kepada kami Qatadah dan berkata, Adam dari Syu'bah:

الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الْحَيِّ عَلَيْهِ

"Sesungguhnya Mayit akan disiksa disebabkan tangisan orang yang masih hidup kepadanya". [HR. Bukhori no. 1291 dan Muslim no. 927]

HADIST TANGGAPAN AISYAH (RA) TERHADAP HADITS MAYIT DIADZAB KARENA RATAP TANGIS KELUARGA

Dari 'Abdullah bin 'Ubaidullah bin Abu Mulaikah berkata:

تُوُفِّيَتْ ابْنَةٌ لِعُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِمَكَّةَ وَجِئْنَا لِنَشْهَدَهَا وَحَضَرَهَا ابْنُ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَإِنِّي لَجَالِسٌ بَيْنَهُمَا أَوْ قَالَ جَلَسْتُ إِلَى أَحَدِهِمَا ثُمَّ جَاءَ الْآخَرُ فَجَلَسَ إِلَى جَنْبِي فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لِعَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ أَلَا تَنْهَى عَنْ الْبُكَاءِ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ فَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَدْ كَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ بَعْضَ ذَلِكَ ثُمَّ حَدَّثَ قَالَ صَدَرْتُ مَعَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ مِنْ مَكَّةَ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالْبَيْدَاءِ إِذَا هُوَ بِرَكْبٍ تَحْتَ ظِلِّ سَمُرَةٍ فَقَالَ اذْهَبْ فَانْظُرْ مَنْ هَؤُلَاءِ الرَّكْبُ قَالَ فَنَظَرْتُ فَإِذَا صُهَيْبٌ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ ادْعُهُ لِي فَرَجَعْتُ إِلَى صُهَيْبٍ فَقُلْتُ ارْتَحِلْ فَالْحَقْ أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَمَّا أُصِيبَ عُمَرُ دَخَلَ صُهَيْبٌ يَبْكِي يَقُولُ وَا أَخَاهُ وَا صَاحِبَاهُ فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَا صُهَيْبُ أَتَبْكِي عَلَيَّ وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا مَاتَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ذَكَرْتُ ذَلِكَ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا فَقَالَتْ رَحِمَ اللَّهُ عُمَرَ وَاللَّهِ مَا حَدَّثَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ لَيُعَذِّبُ الْمُؤْمِنَ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَلَكِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ لَيَزِيدُ الْكَافِرَ عَذَابًا بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ وَقَالَتْ حَسْبُكُمْ الْقُرْآنُ { وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى } قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عِنْدَ ذَلِكَ وَاللَّهُ { هُوَ أَضْحَكَ وَأَبْكَى } قَالَ ابْنُ أَبِي مُلَيْكَةَ وَاللَّهِ مَا قَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا شَيْئًا

"Telah wafat isteri 'Utsman (ra) di Makkah lalu kami datang menyaksikan (pemakamannya). Hadir pula Ibnu 'Umar dan Ibnu 'Abbas (ra) dan saat itu aku duduk di antara keduanya". Atau dia berkata: "Aku duduk dekat salah satu dari keduanya". Kemudian datang orang lain lalu duduk di sampingku.

Ibnu 'Umar (ra) berkata kepada 'Amru bin 'Utsman: "Bukankan dilarang menangis dan sungguh Rasulullah ﷺ telah bersabda: "Sesungguhnya Mayit pasti akan disiksa disebabkan tangisan keluarganya kepadanya?".

Maka Ibnu 'Abbas (ra) berkata: "Sungguh 'Umar (ra) pernah mengatakan sebagiannya dari hal tadi". Kemudian dia menceritakan dengan mengatakan:

"Aku pernah bersama 'Umar (ra) dari kota Makkah hingga kami sampai di Al Baida, di tempat itu dia melihat ada orang yang menunggang hewan tunggangannya di bawah pohon.

Lalu dia berkata: "Pergilah dan lihatlah siapa mereka yang menunggang hewan tunggangannya itu!".

Maka aku pun datang melihatnya yang ternyata dia adalah Shuhaib. Lalu aku kabarkan kepadanya. Dia ("Umar) berkata: "Panggil-lah dia kemari!".

Aku kembali menemui Shuhaib lalu aku berkata: "Pergi dan temuilah Amirul Mu'minin". Kemudian hari 'Umar mendapat musibah dibunuh orang, Shuhaib mendatanginya sambil menangis sambil terisak berkata: Wahai saudaraku, wahai sahabat".

Maka 'Umar (ra) berkata: "Wahai Shuhaib, mengapa kamu menangis untukku padahal Nabi ﷺ telah bersabda: "Sesungguhnya Mayit pasti akan disiksa disebabkan sebagian tangisan keluarganya ".

Ibnu 'Abbas (ra) berkata:

"Ketika 'Umar sudah wafat aku tanyakan masalah ini kepada ['Aisyah] (ra), maka dia berkata,: "Semoga Allah merahmati 'Umar. Demi Allah, tidaklah Rasulullah ﷺ pernah berkata seperti itu, bahwa Allah pasti akan menyiksa orang beriman disebabkan tangisan keluarganya kepadanya, akan tetapi yang benar Rasulullah ﷺ bersabda:

"Sesungguhnya Allah pasti akan menambah siksaan buat orang kafir disebabkan tangisan keluarganya kepadanya".

Dan cukuplah buat kalian firman Allah) dalam AL-Qur'an (QS. An-Najm: 38) yang artinya: "Dan tidaklah seseorang memikul dosa orang lain".

Ibnu 'Abbas (ra) berkata seketika itu pula: Dan Allahlah yang menjadikan seseorang tertawa dan menangis" (QS. Annajm 43).

Berkata Ibnu Abu Mulaikah: "Demi Allah, setelah itu Ibnu 'Umar (ra) tidak mengucapkan sepatah kata pun". [ HR. Bukhori no. 1288 dan Muslim no. 929].

KOMENTAR PARA ULAMA TENTANG HADITS UMAR DAN KRITIKAN AISYAH [RA]

Al-Haafidz Ibnu Hajr dalam al-Fath 3/160 berkata:

"قَوْله: ( مَا قَالَ اِبْن عُمَر شَيْئًا ) قَالَ الزَّيْن بْن الْمُنِير: سُكُوته لا يَدُلّ عَلَى الإِذْعَان فَلَعَلَّهُ كَرِهَ الْمُجَادَلَة فِي ذَلِكَ الْمَقَام ".

Berkenaan dengan pernyataan tersebut, “Ibn 'Umar tidak berkata apa-apa lagi ” al-Zayn ibnu al-Muniir berkata: Diamnya Ibnu Umar tidak menunjukkan bahwa dia mengakui; mungkin dia tidak ingin berdebat tentang masalah ini". [Selesai]

Muslim (927) meriwayatkan dari 'Abdullah ibn 'Umar:

" أَنَّ حَفْصَةَ بَكَتْ عَلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُم ، فَقَالَ: مَهْلًا يَا بُنَيَّةُ! أَلَمْ تَعْلَمِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ( إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ ؟)".

"Bahwa Hafshah menangisi 'Umar (ra), dan dia berkata: “Tenanglah, hai putriku! Tahukah kamu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 'Orang yang meninggal itu disiksa karena tangisan keluarganya'?”

Syeikh al-Munajjid berkata:

"فَهذِهِ الأَحَادِيثُ رَوَاهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلاَثَةٌ مِنَ الصَّحَابَةِ وَهُمْ عُمَرُ وَابْنُ عُمَرَ وَالْمُغِيرَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، وَفِيهَا تَعْذِيبُ الْمَيِّتِ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ."

Hadits-hadits ini diriwayatkan dari Nabi ﷺ oleh tiga Sahabat, yaitu 'Umar, Ibnu 'Umar dan al-Mugheerah (ra), dan berbicara tentang orang yang meninggal akan tersiksa karena keluarganya menangisinya. [Islamqa 5/4756 no. 69931].

MASALAH-MASALAH YANG TERKAIT DENGAN MAYIT DISIKSA KARENA RATAPAN

MASALAH PERTAMA: Apa yang dimaksud dengan menangis dalam hadits-hadits ini ?

Para ulama sepakat bahwa yang dimaksud dalam hadits-hadits tersebut bukanlah menangis dalam pengertian umum, namun yang dimaksud dengan menangis disini adalah meratap dan meninggikan suara.

Al-Nawawi berkata:

" وَأَجْمَعُوا كُلّهمْ عَلَى اِخْتِلَاف مَذَاهِبهمْ عَلَى أَنَّ الْمُرَاد بِالْبُكَاءِ هُنَا الْبُكَاء بِصَوْتٍ وَنِيَاحَة لَا مُجَرَّد دَمْع الْعَيْن " انتهى .

Mereka semua sepakat, meskipun ada perbedaan madzhab, bahwa yang dimaksud dengan menangis di sini adalah menangis dengan suara nyaring dan meratap, bukan sekedar air mata yang mengalir dari mata. [ Baca: Syarah Muslim oleh an-Nawawi 6/229].

MASALAH KEDUA: Tentang tanggapan 'A'isyah (ra) terhadap hadits mayit diadzab karena ratapan

Tanggapan 'A'isyah (ra) terhadap hadits-hadits ini adalah ijtihad di pihaknya, karena ia mengira bahwa 'Umar dan putranya - radhiyallahu 'anhuma- telah melakukan kesalahan dan hadits-hadits tersebut bertentangan dengan ayat:

( وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى )

“Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” [al-An'aam:164].

Al-Qurtubi berkata:

" إِنْكَار عَائِشَة رضي الله عنها ذَلِكَ وَحُكْمهَا عَلَى الرَّاوِي بِالتَّخْطِئَةِ أَوْ النِّسْيَان أَوْ عَلَى أَنَّهُ سَمِعَ بَعْضًا وَلَمْ يَسْمَع بَعْضًا بَعِيد ، لأَنَّ الرُّوَاة لِهَذَا الْمَعْنَى مِنْ الصَّحَابَة كَثِيرُونَ وَهُمْ جَازِمُونَ فَلا وَجْه لِلنَّفْيِ مَعَ إِمْكَان حَمْلِهِ عَلَى مَحْمَل صَحِيح " انتهى

'Aisyah (ra) mengingkari hal itu dan memutuskan bahwa perawi telah melakukan kesalahan atau lupa, atau bahwa dia hanya mendengar sebagian dari hadits tersebut dan bukan yang lain. Hal ini tidak mungkin terjadi karena para sahabat yang meriwayatkan hadits-hadits ini jumlahnya banyak dan yakin, sehingga tidak ada ruang untuk menolaknya jika dapat ditafsirkan secara benar. Akhiri kutipan. [Dikutip oleh al-Hafidz dalam Fathul Bari 3/154].

Jika ditanya: Bagaimana mungkin 'Aisyah bersumpah bahwa Rasulullah (damai dan berkah Allah besertanya) tidak mengatakan hal tersebut padahal terbukti dia melakukannya?

Jawabannya: adalah dia bersumpah atas dasar apa yang dia kira paling mungkin terjadi, bahwa 'Umar dan putranya 'Abdullah (ra) telah salah paham, dan bersumpah atas dasar apa yang dianggap paling mungkin adalah diperbolehkan, seperti yang dikatakan al-Nawawi rahimahullah. [ Lihat: Islamqa 5/4756 no. 69931]

MASALAH KETIGA: Perbedaan Pendapat dalam Pengggabungan antara makna ayat dan hadits

Pengggabungan dan Rekonsiliasi antara hadits dan ayat yang dikutip oleh 'Aisyah (ra) sebagai dalil { “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain } [al-An'aam164} dan penjelasannya bahwa itu tidak ada pertentangan di antara keduanya.

PERBEDAAN PENDAPAT:

Para ulama berbeda-beda dalam menafsirkan hadits dan mereka berusah membuktikan bahwa hadits tersebut tidak bertentangan dengan ayat tersebut. Mereka melakukannya dengan beberapa cara , yaitu:

PENDAPAT PERTAMA: Metode Imam al-Bukhari

"أَنَّهُ يُعَذَّبُ بِذَلِكَ إِذَا كَانَ مِنْ سُنَّتِهِ وَطَرِيقَتِهِ وَقَدْ أَقَرَّ عَلَيْهِ أَهْلُهُ فِي حَيَاتِهِ فَيُعَذَّبُ لِذَلِكَ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ مِنْ طَرِيقَتِهِ فَإِنَّهُ لَا يُعَذَّبُ. فَإِنَّهُ قَالَ: 'بَابُ قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعَذَّبُ الْمَيِّتُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ إِذَا كَانَ النَّوْحُ مِنْ سُنَّتِهِ (أي مِنْ طَرِيقَتِهِ وَعَادَتِهِ)'"

Dia tersiksa karenanya, jika itu adalah sudah menjadi kebiasaannya dan jalan hidupnya dan keluarganya menyetujui melakukan hal itu semasa hidupnya, maka dia akan tersiksa karenanya. Jika itu bukan kebiasannya dan jalannya maka dia tidak akan disiksa. Al-Bukhari menyebutkan dalam kitab Shahihnya: “Bab: Sabda Nabi SAW: 'Orang yang akan meninggal tersiksa karena keluarganya menangisinya' jika meratap adalah kebiasaannya.” [ Yakni kebiasaannya dan jalan hidupnya]. [ Lihat: Shahih al-Bukhori 2/79]

Al-Haafidz Ibnu Hajar berkata:

" فَالْمَعْنَى عَلَى هَذَا أَنَّ الَّذِي يُعَذَّب بِبَعْضِ بُكَاء أَهْله مَنْ كَانَ رَاضِيًا بِذَلِكَ بِأَنْ تَكُون تِلْكَ طَرِيقَته إِلَخْ , وَلِذَلِكَ قَالَ الْمُصَنِّف ( فَإِذَا لَمْ يَكُنْ مِنْ سُنَّته ) أَيْ كَمَنْ كَانَ لا شُعُور عِنْده بِأَنَّهُمْ يَفْعَلُونَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ , أَوْ أَدَّى مَا عَلَيْهِ بِأَنْ نَهَاهُمْ فَهَذَا لا مُؤَاخَذَة عَلَيْهِ بِفِعْلِ غَيْره , وَمِنْ ثَمَّ قَالَ اِبْن الْمُبَارَك: إِذَا كَانَ يَنْهَاهُمْ فِي حَيَاته فَفَعَلُوا شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ بَعْد وَفَاته لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ شَيْء " انتهى .

Berdasarkan hal tersebut, maka maksudnya adalah bahwa orang yang tersiksa oleh sebagian keluarganya menangisinya itu adalah orang yang menyetujui hal itu . Dan itu adalah kebiasaannya, dsb.

Oleh karena itu al-Mushonnif [Penulis Kitab] berkata: “Seandainya itu bukan kebiasaannya” yaitu, seperti orang yang tidak mengetahui bahwa mereka akan melakukan hal itu, atau dia melakukan apa yang diminta darinya dengan menyuruh mereka untuk tidak melakukan hal itu. Maka orang seperti ini tidak patut disalahkan karena perbuatan orang lain. Oleh karena itu Ibnu Mubaarak berkata: Jika dia pernah menyuruh mereka untuk tidak melakukan hal itu selama hidupnya, kemudian mereka melakukan hal-hal tersebut setelah dia meninggal, maka dia tidak bersalah". Akhiri kutipan. [Fathul Baari 3/153].

PENDAPAT KEDUA:

Al-Nawawi menisbatkannya pendapat Jumhur dan menganggapnya sebagai penafsiran yang benar. Mereka menafsirkan hadits tersebut merujuk pada seseorang yang meminta agar orang-orang menangis dan meratapinya setelah kematiannya, lalu permintaannya dikabulkan. Maka orang tersebut akan tersiksa karena tangisan dan ratapan keluarganya, karena dialah penyebabnya dan hal itu disebabkan olehnya.

Namun jika keluarga seseorang menangis dan meratap untuknya tanpa dia memintanya, maka dia tidak akan disiksa, karena Allah SWT berfirman (tafsir maknanya): “dan tidak seorang pun yang memikul beban akan memikul beban orang lain” [al. -An'aam 6:164].

Mereka berkata:

وَكَانَ مِنْ عَادَة الْعَرَب الْوَصِيَّة بِذَلِكَ ، وَمِنْهُ قَوْل طَرَفَةَ بْن الْعَبْد:

" إِذَا مِتُّ فَانْعِينِي بِمَا أَنَا أَهْله *** وَشُقِّي عَلَيَّ الْجَيْب يَا اِبْنَة مَعْبَدِ ".

"Sudah menjadi kebiasaan orang Arab untuk meminta hal itu dilakukan, seperti dalam baris-baris puisi yang disusun oleh Thorofah ibn al-'Abd:

“Saat aku mati, ratapilah aku sebagaimana layaknya aku dan robeklah pakaianmu untukku, hai putri Ma'bad.”

Mereka berkata:

فَخَرَجَ الْحَدِيث مُطْلَقًا حَمْلا عَلَى مَا كَانَ مُعْتَادًا لَهُمْ .

"Maka keluarlah hadits itu secara mutlak karena dipahami menurut adat istiadat mereka". [Syarah Shahih Muslim oleh an-Nawawi 6/229].

PENDAPAT KETIGA:

Hal ini dapat dipahami merujuk pada seseorang yang berwasiat agar orang lain menangis dan meratap untuknya, atau yang tidak meninggalkan petunjuk bahwa hal-hal tersebut tidak boleh dilakukan.

Barangsiapa yang berwasiat atau memberi petunjuk bahwa hal itu tidak boleh dilakukan, maka dia tidak akan disiksa karenanya, karena dia tidak ada sangkut pautnya dan dia tidak lalai.

Maksudnya di sini: adalah wajib berwasiat agar hal-hal tersebut tidak dilakukan, dan siapa yang mengabaikannya, maka dia akan tersiksa karenanya. Ini adalah pandangan Dawud adz-Dzohiri dan lainnya.

PENDAPAT KEEMPAT:

Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan hadits adalah mereka biasa Niyaha [meratapi orang yang meninggal] dan Nudbah [meratapinya dengan menyebutkan keutamaan-keutamaan dan kebaikan-kebaikanya], yang sebenarnya merupakan sifat-sifat buruk menurut syariat, yang karenanya dia disiksa.

Maka yang dimaksud dengan “dia disiksa karena tangisan keluarganya” adalah siksanya itu sepadan dengan ratapan keluarganya. Pandangan ini dianut oleh Ibnu Hazm dan lain-lain.

[ Baca: Syarah Shahih Muslim karya al-Imam Al-Nawawi 6/229 dan Al-Majmu’ 5/309]

Mereka biasa meratapi orang mati karena kepemimpinannya yang menindas orang lain, karena keberaniannya yang ia gunakan ke selain ketaatan kepada Allah, kemurahan hatinya yang tidak mendukung kebenaran; maka keluarganya menangisi dia atas hal-hal yang membanggakannya ini , sementara dia disiksa karenanya.

PENDAPAT KELIMA:

Yang dimaksud dengan siksa adalah teguran para malaikat atas hal-hal yang disanjung oleh keluarganya, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. (1594) dari Asiid ibn Abi Asiid dari Musa ibn Abi Musa al-'Asy'ari dari ayahnya, bahwa Nabi SAW mengatakan:

" الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ الْحَيِّ ، إِذَا قَالُوا: وَا عَضُدَاهُ ، وَا كَاسِيَاهُ ، وَا نَاصِرَاهُ ، وَا جَبَلَاهُ ، وَنَحْوَ هَذَا ، يُتَعْتَعُ –أي يقلق ويزعج ويجر بشدة- وَيُقَالُ: أَنْتَ كَذَلِكَ ؟ أَنْتَ كَذَلِكَ ؟ ".

قَالَ أَسِيدٌ: فَقُلْتُ: سُبْحَانَ اللَّهِ! إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ: ( وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ) .

قَالَ: وَيْحَكَ! أُحَدِّثُكَ أَنَّ أَبَا مُوسَى حَدَّثَنِي عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَتَرَى أَنَّ أَبَا مُوسَى كَذَبَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؟! أَوْ تَرَى أَنِّي كَذَبْتُ عَلَى أَبِي مُوسَى ؟!

“Orang yang meninggal disiksa karena tangisan orang yang masih hidup. Jika mereka berkata, 'Wa "adhdaah [Wahai kekuatanku], Waa Kasiyaah [wahai yang memberi pakaian kepada kami], Waa Nashiraah [wahai penolongku], waa Jablaah [wahai batu karangku'] dan seterusnya. Maka dia ditegur dan dikatakan, 'Benarkah kamu seperti itu? Apakah kamu benar-benar seperti itu?'”.

Asiid berkata: Aku berkata, Subhaan-Allah, Allah berfirman: “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”. [Faatir 18].

Dia berkata, Celakalah kamu, aku beritahu kamu bahwa Abu Musa meriwayatkan kepadaku dari Rasulullah (S), dan kamu mengira bahwa Abu Musa sedang berbohong tentang Nabi (S)? Atau apakah menurut Anda saya berbohong tentang Abu Musa?

Digolongkan sebagai hadits hasan oleh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Maajah.

Versi lain diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (1003):

" مَا مِنْ مَيِّتٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ بَاكِيهِ فَيَقُولُ: وَا جَبَلاهْ وَا سَيِّدَاهْ أَوْ نَحْوَ ذَلِكَ إِلا وُكِّلَ بِهِ مَلَكَانِ يَلْهَزَانِهِ -أَيْ: يَضْرِبَانِهِ وَيَدْفَعَانِهِ- أَهَكَذَا كُنْتَ ؟".

“Tidak ada seorang pun yang meninggal dunia dan orang yang berdukacita meratapinya sambil berkata: 'Waa jabalaah [Wahai batu karangku], Wa Sayyidaah ]wahai tuanku'] dan seterusnya, melainkan dua malaikat ditunjuk untuk mendorongnya sambil berkata: 'Apakah kamu benar-benar seperti itu?'”

DERAJAT HADITS: Digolongkan sebagai HADITS HASAN oleh al-Albaani dalam Shahih al-Tirmidzi.

Hal ini didukung oleh riwayat yang diriwayatkan oleh al-Bukhaari (4268) dari an-Nu'maan ibn Basyir (ra) yang mengatakan:

" أُغْمِيَ عَلَى عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ ، فَجَعَلَتْ أُخْتُهُ عَمْرَةُ تَبْكِي: وَا جَبَلاهْ وَا كَذَا وَا كَذَا تُعَدِّدُ عَلَيْهِ ، فَقَالَ حِينَ أَفَاقَ: مَا قُلْتِ شَيْئًا إِلا قِيلَ لِي: آنْتَ كَذَلِكَ ؟ فَلَمَّا مَاتَ لَمْ تَبْكِ عَلَيْهِ".

'Abdullaah ibnu Rawaahah jatuh pingsan, dan saudara perempuannya 'Amrah mulai menangis. , sambil berkata: “ Waa Jabalah [Wahai batu karang kami]” dan seterusnya, sambil menyebutkan sifat-sifat baiknya. Ketika dia sadar kembali, dia berkata: “Tidaklah kamu mengatakan sesautu kecuali akan ditanyakan kepadaku: 'Apakah kamu benar-benar seperti itu?'” Ketika dia meninggal, maka dia tidak menangis untuknya".

PENDAPAT KE ENAM:

Bahwa yang dimaksud dengan siksa adalah penderitaan atau rasa sakit yang dirasakan oleh orang yang meninggal karena ratapan dan sebagainya yang dilakukan keluarganya.

Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Abu Ja'far ath-Thabari di kalangan ulama mutaqaddimin [terdahulu]. Dan ini juga ditarjih oleh al-Qaadhi 'Iyaadh, dan didukung oleh Syekhul-Islam Ibnu Taimiyah dan sejumlah ulama Mutaakhiriin.

Mereka mengutip hadits Qaylah binti Makhramah sebagai dalil yang mengatakan:

 أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نهاها عن البكاء على ابنها وقال: ( أَيُغْلَبُ أَحَدكُمْ أَنْ يُصَاحِب صُوَيْحِبه فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا ، وَإِذَا مَاتَ اِسْتَرْجَعَ ، فَوَاَلَّذِي نَفْس مُحَمَّد بِيَدِهِ إِنَّ أَحَدكُمْ لَيَبْكِي فَيَسْتَعْبِر إِلَيْهِ صُوَيْحِبه ، فَيَا عِبَاد اللَّه ، لا تَعَذِّبُوا مَوْتَاكُمْ )

" Bahwa Nabi ﷺ melarangnya menangisi putranya dan bersabda: “Jika kamu baik terhadap teman kecilmu di dunia ini , kenapa kamu tidak bisa mengucapkan Inna Lillaahi wa inna ilayhi raaji'un [Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali] ketika dia meninggal? Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, jika salah seorang di antara kalian menangis, maka teman kecilnya pun ikut menitikkan air mata. Maka wahai hamba Allah, jangan kalian siksa orang-orang mati kalian [dengan tangisan]!.”

Al-Haafidz Ibnu Hajar berkata: isnaadnya adalah hasan. Al-Haytsami berkata: orang-orangnya adalah thiqaat (dapat dipercaya).

[Referensi: Syarah Shahih Muslim karya al-Imam Al-Nawawi 6/229 , Al-Majmu’ 5/309, Futuuhaat ar-Rabbaaniyyah oleh Ibnu 'Allaan 4/135, Islamqa 5/4756 no. 69931 dan al-Bukaa Fi al-Kitab wa as-Sunnah karya Ruqoyyah binti Muhammad al-Muhaarib hal. 77].

TARJIIH:

Pendapat yang terakhir ini adalah yang paling rajih dan benar dari apa yang telah dikemukakan mengenai makna hadits.

FATWA IBNU TAIMIYAH:

Syekhul-Islam Ibnu Taimiyah ditanya dalam Majmu' al-Fataawa (34/364):

 هَلْ يَتَأَذَّى الْمَيِّتُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ ؟

Apakah orang yang meninggal merasa menderita karena tangisan keluarganya?

Beliau membalas:

هَذِهِ مَسْأَلَةٌ فِيهَا نِزَاعٌ بَيْنَ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ وَالْعُلَمَاءِ .

وَالصَّوَابُ: أَنَّهُ يَتَأَذَّى بِالْبُكَاءِ عَلَيْهِ كَمَا نَطَقَتْ بِهِ الْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم: ....

Mengenai masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan generasi terdahulu dan generasi selanjutnya serta para ulama.

Pendapat yang benar adalah: dia menderita akibat tangisan mereka, sebagaimana tercantum dalam hadits-hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ…..:

Lalu beliau mengutip beberapa hadits ini, lalu dia berkata:

وَقَدْ أَنْكَرَ ذَلِكَ طَوَائِفُ مِنْ السَّلَفِ وَالْخَلَفِ ، وَاعْتَقَدُوا أَنَّ ذَلِكَ مِنْ بَابِ تَعْذِيبِ الإِنْسَانِ بِذَنْبِ غَيْرِهِ فَهُوَ مُخَالِفٌ لقوله تعالى: ( وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ) ثُمَّ تَنَوَّعَتْ طُرُقُهُمْ فِي تِلْكَ الأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ . فَمِنْهُمْ مَنْ غَلَّطَ الرُّوَاةَ لَهَا كَعُمَرِ بْنِ الْخَطَّابِ وَغَيْرِهِ , وَهَذِهِ طَرِيقَةُ عَائِشَةَ وَالشَّافِعِيِّ وَغَيْرِهِمَا .

وَمِنْهُمْ مَنْ حَمَلَ ذَلِكَ عَلَى مَا إذَا أَوْصَى بِهِ فَيُعَذَّبُ عَلَى إيصَائِهِ وَهُوَ قَوْلُ طَائِفَةٍ , كالمزني وَغَيْرِهِ .

وَمِنْهُمْ مَنْ حَمَلَ ذَلِكَ عَلَى مَا إذَا كَانَتْ عَادَتُهُمْ ، فَيُعَذَّبُ عَلَى تَرْكِ النَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ , وَهُوَ اخْتِيَارُ طَائِفَةٍ , مِنْهُمْ جَدِّي أَبُو الْبَرَكَاتِ .

وَكُلُّ هَذِهِ الأَقْوَالِ ضَعِيفَةٌ جِدًّا , وَالأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ الصَّرِيحَةُ الَّتِي يَرْوِيهَا مِثْلُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَابْنِهِ عَبْدِ اللَّهِ وَأَبِي مُوسَى الأَشْعَرِيِّ وَغَيْرِهِمْ لا تُرَدُّ بِمِثْلِ هَذَا .

وَاَلَّذِينَ أَقَرُّوا هَذَا الْحَدِيثَ عَلَى مُقْتَضَاهُ ظَنَّ بَعْضُهُمْ أَنَّ هَذَا مِنْ بَابِ عُقُوبَةِ الإِنْسَانِ بِذَنْبِ غَيْرِهِ وَأَنَّ اللَّهَ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ وَيَحْكُمُ مَا يُرِيدُ , وَاعْتَقَدَ هَؤُلاءِ أَنَّ اللَّهَ يُعَاقِبُ الإِنْسَانَ بِذَنْبِ غَيْرِهِ . . . .

واللَّه تعالى لا يُعَذِّبُ أَحَدًا فِي الآخِرَةِ إلا بِذَنْبِهِ ، ( ولا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ) .

وَأَمَّا تَعْذِيبُ الْمَيِّتِ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ ، فَهُوَ لَمْ يَقُلْ: إنَّ الْمَيِّتَ يُعَاقَبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ , بَلْ قَالَ: ( يُعَذَّبُ ) وَالْعَذَابُ أَعَمُّ مِنْ الْعِقَابِ ، فَإِنَّ الْعَذَابَ هُوَ الأَلَمُ ، وَلَيْسَ كُلُّ مَنْ تَأَلَّمَ بِسَبَبٍ كَانَ ذَلِكَ عِقَابًا لَهُ عَلَى ذَلِكَ السَّبَبِ ، فَإِنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: ( السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ , يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ ) فَسَمَّى السَّفَرَ عَذَابًا ، وَلَيْسَ هُوَ عِقَابًا عَلَى ذَنْبٍ , وَالإِنْسَانُ يُعَذَّبُ بِالأُمُورِ الْمَكْرُوهَةِ الَّتِي يَشْعُرُ بِهَا مِثْلَ الأَصْوَاتِ الْهَائِلَةِ وَالأَرْوَاحِ الْخَبِيثَةِ وَالصُّوَرِ الْقَبِيحَةِ فَهُوَ يَتَعَذَّبُ بِسَمَاعِ هَذَا وَشَمِّ هَذَا وَرُؤْيَةِ هَذَا وَلَمْ يَكُنْ ذَلِكَ عَمَلا لَهُ عُوقِبَ عَلَيْهِ , فَكَيْفَ يُنْكَرُ أَنْ يُعَذَّبَ الْمَيِّتُ بِالنِّيَاحَةِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ النِّيَاحَةُ عَمَلا لَهُ يُعَاقَبُ عَلَيْهِ ؟

وَلَا نَحْكُمُ عَلَى كُلِّ مَن نَاحَ عَلَيْهِ أَهْلُهُ أَنَّهُ يُعَذَّبُ بِذَلِكَ.

Hal ini diingkari oleh sebagian kelompok SALAF dan KHALAF, karena mereka berkeyakinan bahwa ini berarti seseorang diadzab karena dosa orang lain, yang bertentangan dengan ayat yang difirmankan Allah: “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” [al-An'aam:164].

Kemudian mereka berbeda-beda dalam mengomentari hadits-hadits shahih tersebut.

Ada yang mengatakan bahwa perawi seperti 'Umar ibn al-Khattaab dan lain-lain, telah melakukan kesalahan; ini adalah metode 'Aisyah, asy-Syaafa'i dan lain-lain.

Ada pula yang mengarahkan maknanya pada kasus dimana almarhum telah memerintahkan agar hal itu dilakukan, sehingga dia dihukum atas instruksinya. Demikian pandangan sejumlah orang seperti al-Muzani dan lain-lain.

Ada pula yang mengarahkan maknanya pada perkara yang menjadi adat kebiasaannya, sehingga ia dihukum karena dia tidak melarang suatu perbuatan munkar. Ini adalah pandangan sejumlah orang seperti kakek saya [yaitu, Ibnu Taimiyah], Abu'l-Barakaat.

Semua pendapat ini sangat lemah.

Hadits-hadits yang jelas dan shahih yang diriwayatkan oleh orang-orang seperti 'Umar ibn al-Khattaab, putranya 'Abd-Allaah, Abu Musa al-Asy'ari dan lain-lain tidak dapat bisa disangkal dengan argumen seperti itu.

Orang-orang yang menerima hadits ini apa adanya berpendapat , maka sebagian mereka mengatakan bahwa hadits ini termasuk dalam BAB mengadzab seseorang karena dosa orang lain, dan bahwa Allah melakukan apa yang Dia kehendaki dan mengatur apa yang Dia kehendaki, sehingga mereka berkeyakinan: bahwa Allah mengadzab seseorang karena dosaorang lain.

Sementara Allah telah menyatakan bahwa Dia tidak akan mengadzab siapa pun di akhirat kecuali karena dosanya sendiri , sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”. [al-An'aam:164].

Adapun orang yang meninggal disiksa karena tangisan keluarganya, maka kata yang digunakan dalam bahasa Arab adalah "yu'adzdzab", bukan yu'aqqab [dihukum atau dibalas dengan siksaan]. Sementra makna 'Adzaab lebih umum dibandingkan 'iqaab [hukuman atau siksaan].

Makna Adzaab mengacu pada rasa sakit . Dan tidak semua orang yang menderita sakit itu adalah 'iqoob [balasan] baginya karena sebab tersebut . Nabi ﷺ bersabda:

" السَّفَرُ قِطْعَةٌ مِنْ الْعَذَابِ ، يَمْنَعُ أَحَدَكُمْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ ".

“Pergi Safar [Perjalanan Jauh] adalah 'Adzaab (sejenis siksaan); dikarenakan safar itu menghalangi salah seorang dari kalian dari makanan dan minumannya.” [HR. Bukhori no. 1804 dan Muslim no. 1927]

Maka beliau menyebut perjalanan itu sebagai siksaan ('adzaab), namun itu bukanlah 'oqoob [hukuman atau balasan] atas dosa apa pun. Seseorang mungkin ter'adzaab [tersiksa] oleh hal-hal yang tidak menyenangkan yang dirasakannya, seperti suara-suara yang mengkhawatirkan, bau-bauan yang tidak sedap, dan gambaran-gambaran yang tidak menyenangkan, sehingga ia ter'adzaab [tersiksa] dengan mendengarnya, menciumnya, atau melihatnya, tetapi ini tidak berarti bahwa ia di 'iqoob [dihukum] karena suatu perbuatan. Bagaimana kita bisa mengingkari bahwa mayit mungkin ter'adzaab [tersiksa] oleh ratapan keluarganya ?

Kita tidak bisa memutuskan bahwa setiap orang yang diratapi keluarganya sedang tersiksa karenanya".

Kemudian Syekhul-Islam [Ibnu Taimiyah] berkata:

"ثُمَّ النِّيَاحَةُ سَبَبُ الْعَذَابِ، وَقَدْ يَنْدَفِعُ حُكْمُ السَّبَبِ بِمَا يُعَارِضُهُ فَقَدْ يَكُونُ فِي الْمَيِّتِ مِنْ قُوَّةِ الْكَرَامَةِ مَا يَدْفَعُ عَنْهُ مِنْ الْعَذَابِ. وهذا العذاب الذي يَحْصُلُ للْمُؤْمِنِ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ، مِنْ جُمْلَةِ الشَّدَائِدِ وَالْأَذَى الَّتِي يُكَفِّرُ اللَّهُ بِهَا عَنِ الْمُؤْمِنِ مِنْ ذُنُوبِهِ. وأَمَّا الْكَافِرُ فَإِنَّهُ يَزْدَادُ بِذَلِكَ عَذَابُهُ، فَيَجْمَعُ لَهُ بَيْنَ أَلَمِ الْعِقَابِ، وَالتَّأْلِمِ الَّذِي يَحْصُلُ لَهُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ."

Niyahah [ratapan] merupakan penyebab siksaan. Dan hukum sebab akibat bisa dihindarkan dengan sesuatu yang bertentangan dengannya. Dalam mayit mungkin ada kekuatan kemuliaan yang dapat mencegahnya dari adzab [siksaan]."

Siksaan yang menimpa seorang mukmin karena ratapan keluarganya terhadapnya, termasuk dalam katagori kesulitan dan penderitaan yang dengannya Allah akan menghapuskan dosa-dosa orang mukmin.

Adapun orang kafir, maka siksaannya akan bertambah, sehingga rasa sakit dari hukuman itu akan diperparah oleh rasa sakit yang diakibatkan oleh tangisan keluarganya".

Kemudian Syekhul-Islam Ibnu Taimiyah berkata:

" وَمَا يَحْصُلُ لِلْمُؤْمِنِ فِي الدُّنْيَا وَالْبَرْزَخِ وَالْقِيَامَةِ مِنْ الأَلَمِ الَّتِي هِيَ عَذَابٌ فَإِنَّ ذَلِكَ يُكَفِّرُ اللَّهُ بِهِ خَطَايَاهُ كَمَا ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم أَنَّهُ قَالَ: ( مَا يُصِيبُ الْمُؤْمِنَ مِنْ وَصَبٍ وَلا نَصَبٍ وَلا هَمٍّ وَلا حَزَنٍ وَلا أَذًى حَتَّى الشَّوْكَةَ يَشَاكُهَا إلا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ )" انتهى.

Sakit atau siksa yang menimpa seorang muslim di dunia, di al-barzakh, dan di hari kiamat merupakan sarana yang dengannya Allah akan menghapus dosa-dosanya, sebagaimana diriwayatkan dalam ash-Shahihaon bahwa Nabi ﷺ bersabda:

“Tidaklah seorang muslim itu ditimpa musibah baik berupa rasa lelah, rasa sakit, rasa khawatir, rasa sedih, gangguan atau rasa gelisah sampaipun duri yang melukainya melainkan dengannya Allah akan mengampuni dosa-dosanya” (HR. Al-Bukhari, no. 5641 dan Muslim, no. 2573)” . Akhiri kutipan.

FATWA SYEIKH IBNU UTSAIMIN:

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah ditanya:

مَا مَعْنَى قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ)؟

Apa maksud sabda Nabi ﷺ: “Orang mukmin tersiksa karena tangisan keluarganya”?

BELIAU MENJAWAB:

"مَعْنَاهُ أَنَّ الْمَيِّتَ إِذَا بَكَى أَهْلُهُ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ بِذَلِكَ وَيَتَأَلَّمُ، وَلَيْسَ الْمَعْنَى أَنَّ اللَّهَ يُعَاقِبُهُ بِذَلِكَ لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: (وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ) وَالْعَذَابُ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ عُقُوبَةَ أَلَمٍ تَرَ إِلَى قَوْلِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (إِنَّ السَّفَرَ قِطْعَةٌ مِنَ الْعَذَابِ) وَالسَّفَرُ لَيْسَ بِعُقُوبَةٍ، لَكِنَّ يَتَأَذَّى بِهِ الْإِنْسَانُ وَيَتَعَبُ، وَهَكَذَا الْمَيِّتُ إِذَا بَكَى أَهْلُهُ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ يَتَأَلَّمُ وَيَتَعَبُ مِنْ ذَلِكَ، وَإِنْ كَانَ هَذَا لَيْسَ بِعُقُوبَةٍ مِنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ لَهُ، وَهَذَا التَّفْسِيرُ لِلْحَدِيثِ تَفْسِيرٌ وَاضِحٌ صَرِيحٌ، وَلَا يُرَدُّ عَلَيْهِ إِشْكَالٌ، وَلَا يَحْتَاجُ أَنْ يُقَالَ: هَذَا فِي مَنْ أَوْصَى بِالنِّيَاحَةِ، أَوْ فِي مَنْ كَانَ عَادَةُ أَهْلِهِ النِّيَاحَةَ وَلَمْ يُنْهَهُمْ عِنْدَ مَوْتِهِ، بَلْ نَقُولُ: إِنَّ الْإِنْسَانَ يُعَذَّبُ بِالشَّيْءِ وَلَا يَتَضَرَّرُ بِهِ.

Artinya jika keluarganya menangisinya, dia akan mengetahuinya dan akan merasakan penderitaan . Bukan berarti Allah akan meng'iqobnya [menghukumnya] karena hal itu ; karena Allah berfirman: “Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”. [al-An'aam 6:164].

Merasa tersiksa belum tentu merupakan hukuman. Pernahkah Anda mendengar sabda Nabi ﷺ, “Safar [Perjalanan jauh] adalah 'adzab [sejenis siksaan]”?

Perjalanan bukanlah semacam hukuman, tetapi seseorang merasa menderita dan kelelahan selama perjalanan itu. Demikian pula bila keluarga orang yang meninggal menangisinya, ia menderita kesakitan dan sedih karenanya, padahal itu bukan hukuman dari Allah.

Penafsiran hadits ini cukup jelas dan tidak menimbulkan kerancuan. Tidak perlu dikatakan: Bahwa ini ada hubungannya dengan orang yang berwasiat untuk meratapinya , atau seseorang yang keluarganya memilik kebiasaan meratap namuan dia tidak menyuruh mereka untuk tidak melakukan hal itu.

Sebaliknya kami mengatakan bahwa seseorang mungkin tersiksa oleh sesuatu tetapi hal itu tidak membahayakannya". Akhiri kutipan. [ Lihat: Majmu' Fataawa Ibnu 'Utsaimin, 17/408

Dan Lihat pula: Fathul-Baari, 3/180-185.

ARTIKEL BERJUDUL


"دراسة: المَيِّتُ يَسْمَعُ وَيَفْهَمُ كُلَّ شَيْءٍ يَحِيطُ بِهِ"

Studi: Orang yang Baru Meninggal Masih Bisa Mendengar dan Memahami Semua yang Terjadi di Sekitarnya

Di Terjemahkan oleh Abu Haisam Fakhri

وقالت إينغا كاردوشينا -في تقرير لها نشره موقع "آف بي.ري" الروسي في سبتمبر/ايلول 2019- إن العلماء قضوا الكثير من الوقت في محاولة العثور على إجابة عن مدى صحة المعتقد القائل إن هناك حياة بعد الموت. ويؤكد العلماء أن الميت يسمع ويفهم كل شيء يحيط به.

وأفادت بأن باحثين أميركيين بمركز لانجون الطبي بجامعة نيويورك NYU Langone Medical Center -التي تعد واحدة من أكبر المؤسسات البحثية والطبية بالولايات المتحدة، بقيادة البروفيسور سام بارنيا- حاولوا لعدة سنوات دراسة ما يحدث لجسم الإنسان ووعيه بعد وفاته لتفسير مدى صحة خوف الإنسان من الموت. ...

وتجدر الإشارة إلى أن أعضاء فريق البحث أجروا مقابلات مع عدد كبير من الأشخاص الذين عادوا من "العالم الآخر" بعد وفاة سريرية أو غيبوبة، واكتشفوا أن الموت ليس النهاية ....

في الساعات الأخيرة من موت الدماغ، يشعر الإنسان خلال هذه المدة الوجيزة أنه سجين داخل جسده ويسمع ويشعر بكل شيء من حوله (بيكسابي)

وفي الحقيقة، يبدأ نشاط الدماغ في التقلص ويحدث الانفصال تدريجيا. وتبدأ الأقسام المختلفة بالدماغ في التوقف عن العمل بشكل فردي ومتتال. لذلك، قد يبقى دماغ الإنسان على قيد الحياة على مدى عدة ساعات.

وأوردت الكاتبة أن الوعي يستمر بعد توقف قلب الإنسان على العمل، إذ يستمر في إدراك كل ما يجري حوله، وإن لم يعد باستطاعته القيام بأية إشارة تعبر عن حياته. وفي الوقت نفسه، يؤكد العلماء أن الميت يسمع ويفهم كل ما يحيط به.

Mrs. Inga Kardoshina - dalam sebuah laporan yang diterbitkan oleh situs "AFP.RI" Rusia pada September 2019 - mengatakan bahwa para ilmuwan telah menghabiskan banyak waktu mencoba menemukan jawaban tentang sejauh mana kebenaran keyakinan bahwa ada kehidupan setelah kematian. Para ilmuwan mengkonfirmasi bahwa orang yang meninggal mendengar dan memahami segala sesuatu di sekitarnya.

Dia melaporkan bahwa peneliti Amerika di Pusat Medis NYU Langone - salah satu lembaga penelitian dan medis terbesar di Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Profesor Sam Barnia - telah berusaha selama beberapa tahun untuk mempelajari apa yang terjadi pada tubuh dan kesadaran manusia setelah kematiannya untuk menjelaskan sejauh mana ketakutan manusia terhadap kematian tersebut .....

Perlu dicatat bahwa anggota tim penelitian melakukan wawancara dengan sejumlah besar individu yang kembali dari "dunia lain" setelah kematian klinis atau koma, dan mereka menemukan bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya .....

Penulis juga menyebutkan bahwa setelah jantung berhenti berdetak, otak manusia terus berfungsi selama periode hingga sepuluh menit. Namun, ketika mencapai menit ke-15, jumlah sel yang mati meningkat, sehingga membuatnya menjadi tidak mungkin untuk menghidupkan kembali pikiran tersebut. Namun, para ilmuwan di Pusat Medis Langone telah membantah pandangan-pandangan ini.

Bukankah itu suatu perubahan? Penulis mencatat bahwa menurut ilmu fungsi organ, kita bisa mendapatkan pemahaman tentang apa yang terjadi pada seseorang setelah kematian. Secara umum, otak manusia bertahan lebih lama daripada yang banyak orang duga.

Dalam jam-jam terakhir sebelum kematian otak, seseorang merasa selama periode singkat ini bahwa mereka terperangkap dalam tubuh mereka dan mendengar serta merasakan segala sesuatu di sekitarnya.

Sebenarnya, aktivitas otak mulai menyusut dan terjadi pemisahan secara bertahap. Berbagai bagian otak mulai berhenti bekerja secara individual dan berurutan. Oleh karena itu, otak manusia dapat tetap hidup selama beberapa jam.

Penulis mencatat bahwa kesadaran tetap ada setelah berhentinya kerja jantung, yang berarti seseorang tetap menyadari segala sesuatu yang terjadi di sekitarnya, meskipun tidak lagi mampu memberikan tanda-tanda kehidupan. Para ilmuwan juga mengkonfirmasi bahwa orang yang baru meninggal masih dapat mendengar dan memahami apa yang terjadi di sekitarnya.

[Sumber: Al Jazeera . https://www.aljazeera.net › ]

Posting Komentar

0 Komentar