STUDI KOMPREHENSIF DALIL HALAL HARAM-NYA "BERKUMPUL TAKZIYAH" DI KELUARGA MAYIT DAN "MENYIAPKAN MAKANAN".

Keluarga mayit duduk berkumpul di suatu tempat tertentu di mana pihak yang ingin berta'ziyah [menyampaikan belasungkawa] dapat datang menemuinya, baik

Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISLAM


DAFTAR ISI:

  • PENDAHULUAN
  • DALIL TENTANG HUKUM BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT DAN MENYIAPKAN MAKANAN
  • PEMBAHASAN PERTAMA: ANJURAN BAGI TETANGGA & KERABAT MENYIAPKAN MAKANAN UNTUK KELUARGA MAYIT
  • PEMBAHASAN KEDUA: DIROSAH HADITS JARIR AL-BAJALY TENTANG BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT YANG MENYEBABKAN MEREKA SIBUK MENYIAPKAN MAKANAN.
  • PEMBAHASAN KETIGA: BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT DAN DARI PIHAKNYA PULA MENYIAPKAN MAKANAN UNTUK KERABAT, TETANGGA DAN PARA TAMU
  • PARA ULAMA YANG MELARANG BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT DAN MELARANG MENYIAPKAN MAKANAN
  • RINGKASAN: PERBANDINGAN DALIL ANTARA YANG MEMBOLEHKAN DAN YANG MELARANG
  • TARJIH: HUKUM BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT UNTUK TA'ZIYAH DAN PIHAKNYA MENYIAPKAN MAKANAN .
  • KESIMPULAN & RINGKASAN HUKUM

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

PENDAHULUAN

MAKNA BERKUMPUL UNTUK TA'ZIYAH [الاجْتِمَاع لِلتَّعْزِيَّة]:

“أَنْ يَجْلِسَ أَهْلُ الْمَيِّتِ وَيَجْتَمِعُوا فِي مَكَانٍ مَّعِينٍ ، بِحَيْثُ يَقْصُدُهُمْ فِيهِ مَنْ أَرَادَ الْعَزَاءَ ، سَوَاءَ اجْتَمَعُوا فِي بَيْتِ أَهْلِ الْمَيِّتِ ، أَوْ فِي تِلْكَ السُّرَادِقَاتِ الَّتِي يُقِيمُونَهَا لِهَذَا الشَّأْنِ وَغَيْرِهِ".

Yaitu: Keluarga mayit duduk berkumpul di suatu tempat tertentu di mana pihak yang ingin berta'ziyah [menyampaikan belasungkawa] dapat datang menemuinya, baik itu di rumah keluarga almarhum, maupun di tenda-tenda yang mereka atur untuk tujuan itu, dan lainnya.

MAKNA MEMBUATKAN ATAU MENYIAPKAN MAKANAN [صَنْعَةُ الطَّعَامِ]

“انْشِغَالُ أَهْلِ الْمَيِّتِ بصَنْعَةِ الطَّعَامِ لِأَضْيَافِهِمْ المُعِزِّيْنْ وَأَقَارِبِهِمْ

“Kesibukan keluarga mayit dalam mempersiapkan makanan untuk para tamu yang bertakziah dan kerabat mereka".

MAKNA NIYAAHAH [النِّيَاحَة]: adalah:

“الصِّيَاحُ عَلَى الْمَيِّتِ وَالْمُصِيبَةِ عَلَى صُوَرَةِ الْجَزَعِ لِمُصِيبَةِ الْمَوْتِ ".

“Berteriak-teriak sambil menangis atas kematian seseorang dan musibah sambil mengekspresikan kesedihan seperti orang yang kehilangan kesabaran atas musibah kematian".

Termasuk di dalamnya adalah merobek-robek kantong baju, mencakar atau menampar-nampar wajah dan menarik-narik rambut .

MAKNA NUDBAH [النُّدْبَة]: adalah:

“ذِكْرُ مَحَاسِنِ الْمَيِّتِ بِرَفْعِ الصَّوْتِ وَكَأَنَّ الْمَيِّتَ يَسْمَعُ كَلَامًا مَنْ يُنَدِّبُهُ، كَقَوْلِ وَاجَبَلَهُ وَاكَهْفَاهُ وَاسَنَدَاهُ.. أَيْ يَا سَنَدِي وَنَحْوِ ذَلِكَ".

Menyebut-nyebut kebaikan mayit dengan mengeraskan suara, seolah-olah si mayit itu mendengar perkataan mereka yang mengadakan Nudbah, seperti mengatakan: 'Waa Jabalah [Duhai Gunung ku, yakni tulang punggung ku yang kokoh],' atau Waa Kahfaah [Duahi Goa ku, yakni Tempat berlindungku] 'Waa Sanadaah [Duhai Sandaran hidupku] dan sejenisnya.

[Sumber: Artikel النَّدْبُ وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ oleh Syeikh Bilaal al-Hallaaq].

MAKNA TI'DAAD atau TA'DAAD [التِّعْدَاد]: 

Maknanya dalah: memuji-muji atau menyebut-nyebut atau menghitung kebaikan-kebaikan dan jasa mayit satu persatu.

=====

DALIL TENTANG HUKUM BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT DAN MENYIAPKAN MAKANAN

=====

PEMBAHASAN PERTAMA : 

ANJURAN BAGI TETANGGA & KERABAT MENYIAPKAN MAKANAN UNTUK KELUARGA MAYIT

Disunnahkan menyiapkan makanan untuk keluarga mayit oleh pihak tetangga dan kerabat dekatnya, dikarenakan pada saat itu keluarga mayit sedang disibukkan mengurus pemakaman Jenazah dan hati mereka juga sedang sibuk dengan rasa sedih dan berduka . Dengan demikian diperbolehkan orang-orang berkumpul dikeluarga mayat untuk membantunya dan menghiburnya selama tidak ada niyahah dan tidak menambah kesibukan keluarga mayit dengan masak-masak menyiapkan makanan untuk para tamu takziyah.

Telah ada ketetapan Sunnah Taqririyyah yang menguatkan akan disyariatkannya adanya orang-orang berkumpul, termasuk kaum wanita, di rumah mayit dalam rangka untuk tujuan pemakaman dan menghibur keluarganya.

Juga, ada sunnah qauliyyah dan amaliyyah yang menganjurkan pentingnya memberi makanan untuk keluarga mayit sebagai bentuk tolong-menolong .

Telah ada kesepakatan para ulama bahwa itu disyariatkan . Yaitu: tetangga atau kerabat dekat mayit atau kerabat jauh atau semisalnya membuatkan makanan bagi keluarga mayit untuk menghibur mereka dan menunjukkan solidaritasnya pada mereka.

Berikut ini dalil-dalilnya:

Dalil ke 1: Dari Asma binti Umais (ra) ia berkata:

لَمَّا أُصِيبَ جَعْفَرٌ رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِلَى أَهْلِهِ فَقَالَ إِنَّ آلَ جَعْفَرٍ قَدْ شُغِلُوا بِشَأْنِ مَيِّتِهِمْ فَاصْنَعُوا لَهُمْ طَعَامًا قَالَ عَبْدُ اللَّهِ فَمَا زَالَتْ سُنَّةً حَتَّى كَانَ حَدِيثًا فَتُرِكَ

"Tatkala Ja'far gugur, Rasulullah ﷺ pulang menemui keluarganya, beliau bersabda: "Keluarga Ja'far telah disibukkan dengan urusan mayitnya, untuk itu buatkanlah makanan untuk mereka". Abdullah berkata: "Hal ini masih menjadi sunnah hingga akhirnya ditinggalkan. " [HR. Ibnu Majah no. 1611 . Dan di hasankan oleh al-Albaani].

Ini adalah Nabi kita ﷺ, beliau yang menyiapkan makanan untuk kerabat dekatnya, keluarga pamannya . Ja'far adalah putra paman Nabi ﷺ yaitu Abu Thalib . Maka mereka adalah keluarga dari Bani Abi Talib, kerabat Nabi ﷺ.

Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni 3/497 berkata:

 فَأَمَّا صُنْعُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِلنَّاسِ، فَمَكْرُوهٌ؛ لِأَنَّ فِيهِ زِيَادَةً عَلَى مُصِيبَتِهِمْ، وَشُغْلًا لَهُمْ إلَى شُغْلِهِمْ، وَتَشَبُّهًا بِصُنْعِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ. ... وَإِنْ دَعَتْ الْحَاجَةُ إلَى ذَلِكَ جَازَ؛ فَإِنَّهُ رُبَّمَا جَاءَهُمْ مَنْ يَحْضُرُ مَيِّتَهُمْ مِنْ الْقُرَى وَالْأَمَاكِنِ الْبَعِيدَةِ، وَيَبِيتُ عِنْدَهُمْ، وَلَا يُمْكِنُهُمْ إلَّا أَنْ يُضَيِّفُوهُ. اهـ.

"Adapun membuatkan makanan untuk orang-orang yang datang [bertakziah] saat ada kematian seseorang, maka itu makruh, karena itu merupakan tambahan kesedihan bagi mereka, menambahkan kesibukan diatas kesibukan yang telah ada pada mereka sendiri, dan menyerupai praktik orang-orang jahiliyyah. ...

Namun, jika ada hajat dan kebutuhan yang menuntut untuk itu, maka itu diperbolehkan, karena terkadang ada orang yang datang dari desa-desa dan tempat-tempat terpencil untuk menghadiri pemakaman dan menginap di rumah orang yang berduka, dan satu-satunya cara mereka bisa memberi makan tamu adalah dengan menyediakan makanan."

Dalil ke 2: Dari Asma binti Umais (ra) ia berkata:

لَمَّا أُصِيبَ جَعْفَرٌ وَأَصْحَابُهُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَقَدْ دَبَغْتُ أَرْبَعِينَ مَنِيئَةً، وَعَجَنْتُ عَجِينِي، وَغَسَّلْتُ بَنِيَّ وَدَهَنْتُهُمْ وَنَظَّفْتُهُمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: " ائْتِينِي بِبَنِي جَعْفَرٍ "، قَالَتْ: فَأَتَيْتُهُ بِهِمْ فَشَمَّهُمْ وَذَرَفَتْ عَيْنَاهُ، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، مَا يُبْكِيكَ؟ أَبَلَغَكَ عَنْ جَعْفَرٍ وَأَصْحَابِهِ شَيْءٌ؟ قَالَ: " نَعَمْ، أُصِيبُوا هَذَا الْيَوْمَ "، قَالَتْ: فَقُمْتُ أَصِيحُ وَاجْتَمَعَ إِلَيَّ النِّسَاءُ، وَخَرَجَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِلَى أَهْلِهِ فَقَالَ: " لَا تُغْفِلُوا آلَ جَعْفَرٍ مِنْ أَنْ تَصْنَعُوا لَهُمْ طَعَامًا فَإِنَّهُمْ قَدْ شُغِلُوا بِأَمْرِ صَاحِبِهِمْ "

Ketika Ja'far dan para sahabatnya (ra) gugur dalam pertempuran, Rasulullah ﷺ datang kepadaku. Aku baru selesai menyamak empat puluh potong kulit hewan, menggiling tepung, memandikan anak-anakku, dan mengoleskan minyak pada tubuh mereka serta membersihkannya.

Rasulullah ﷺ kemudian berkata: "Bawa anak-anak Ja'far kepadaku." 

Aku pun membawa mereka kepada beliau. Lalu Rasulullah ﷺ mencium mereka dan air mata pun bercucuran dari mata-nya.

Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang membuatmu menangis? Apakah engkau mendengar sesuatu tentang Ja'far dan sahabat-sahabatnya?"

Rasulullah ﷺ menjawab: "Ya, mereka telah gugur pada hari ini."

Aku pun berdiri dan berteriak. Wanita-wanita yang lain berkumpul di sekitarku. Rasulullah ﷺ pergi ke keluarganya dan berkata: "Jangan biarkan keluarga Ja'far terlupakan, buatlah makanan untuk mereka, karena mereka sibuk dengan urusan sahabat mereka yang telah gugur."

[HR. Ahmad 6/370 dan Thabarani 24/380. Hadits Hasan]

Dalam konteks fikih, menunjukkan diperbolehkannya kumpul-kumpul kaum wanita di rumah mayit dan menyiapkan makanan untuk keluarga mayit oleh anggota keluarganya dan kerabat dekatnya, seperti sepupu-sepupunya. Selain itu, ini juga menunjukkan bahwa larangan berteriak dan menangis hanya berlaku jika itu disertai dengan memukul-mukul pipi dan bagian badan lainnya, atau mengeluarkan perkataan yang merusak.

Dan dalam hadits diatas terdapat keterangan tentang semangat para istri sahabat yang luar biasa dalam membantu suami dalam mencari nafkah.

Dalil ke 3: Ibnu Sa'ad dalam ath-Thabaqaat 8/281 meriwayatkan dengan sanadnya dari Asmaa binti 'Umays (ra), dia berkata:

أَصْبَحْتُ فِي الْيَوْمِ الَّذِي أُصِيبَ فِيهِ جَعْفَرٌ وَأَصْحَابُهُ فَأَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَلَقَدْ هَنَّأْتُ ، يَعْنِي دَبَغْتُ أَرْبَعِينَ إِهَابًا مِنْ أُدْمٍ وَعَجَنْتُ عَجِينِي وَأَخَذْتُ بَنِيَّ فَغَسَلْتُ وجُوهَهُمْ وَدَهَنْتُهُمْ ، فَدَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ، فَقَالَ: «يَا أَسْمَاءُ أَيْنَ بَنُو جَعْفَرٍ؟» ، فَجِئْتُ بِهِمْ إِلَيْهِ فَضَمَّهُمْ وَشَمَّهُمْ ثُمَّ ذَرِفَتْ عَيْنَاهُ فَبَكَى فَقُلْتُ: أَيْ رَسُولَ اللَّهِ لَعَلَّهُ بَلَغَكَ عَنْ جَعْفَرٍ شَيْءٌ؟ قَالَ: «نَعَمْ قُتِلَ الْيَوْمَ» ، قَالَتْ: فَقُمْتُ أَصِيحُ فَاجْتَمَعَ إِلَيَّ النِّسَاءُ، قَالَتْ: فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ، يَقُولُ: «‌يَا أَسْمَاءُ لَا تَقُولِي هَجْرًا وَلَا تَضْرِبِي صَدْرًا» ، قَالَتْ: فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ حَتَّى دَخَلَ عَلَى ابْنَتِهِ فَاطِمَةَ وَهِيَ تَقُولُ وَاعَمَّاهُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «عَلَى مِثْلِ جَعْفَرٍ فَلْتَبْكِ الْبَاكِيَةُ» . ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ: «اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ شُغِلُوا عَنْ أَنْفُسِهِمُ الْيَوْمَ»

"Di hari ketika Ja'far dan para sahabatnya gugur dalam medan pertempuran Rasulullah ﷺ datang kepada saya. Saat itu aku telah melakukan pekerjaan-pekerjean yang berat. Aku telah menyamak empat puluh kulit hewan, menggiling tepung, mengadon adonan, dan mengurus anak-anak saya, memandikannya dan meminyakinya.

Kemudian Rasulullah ﷺ datang kepada saya dan bertanya: 'Wahai Asmaa, di mana anak-anak Ja'far?'

Aku membawanya kepada beliau, dan beliau memeluk dan mencium mereka. Kemudian air mata-nya berlinang. Aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, mungkin ada berita tentang Ja'far yang membuat Anda menangis?'

Beliau menjawab, 'Ya, mereka terbunuh hari ini.' Aku kemudian berdiri dan berteriak, dan perempuan-perempuan berkumpul di sekelilingku.

Rasulullah ﷺ berkata: 'Asmaa, janganlah mengucapkan kata-kata yang buruk dan jangan memukul-mukul dada.'

Lalu Rasulullah ﷺ pergi menemui putrinya, Fatimah, yang kemudian berkata: 'Wahai ayahku, alangkah sulitnya hari ini.'

Rasulullah ﷺ berkata: 'Seperti halnya Ja'far, maka biarkan orang-orang yang menangis tetap menangis.'

Kemudian Rasulullah ﷺ berkata: 'Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far, karena mereka telah sibuk dengan kesedihan mereka hari ini.'"

DERAJAT HADITS :

Ini adalah hadits HASAN . Al-Waqidi adalah salah satu perawi yang diperselisihkan tentang ketsiqotannya [kepercayaannya], akan tetapi hadits ini dianggap Hasan . 

Ringkasannya adalah bahwa al-Waaqidi adalah shoduq hujjah sumber yang dapat dipercaya dalam as-Siirah dan al-Maghaazi [sejarah biografi dan peperangan], meskipun terdapat wahm [kelemahan] dalam hal lain. Namun ada mutaba'ah [penguat] dari Ibnu Ishaq seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Dan Ummu Isa adalah seorang sahabat wanita . Ibnu Makula juga mengatakan

"أُمُّ عَيْسَى بِنْتُ الْجَزَّارِ الْعَصْرِيَّةِ، لَهَا صُحْبَةٌ وَرِوَايَةٌ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ"

Ummu Isa binti al-Jazzaar al-'Ashriyyah, dia adalah seorang sahabat wanita yang juga perawi dari Nabi ﷺ.

Ibnu Atsir dan Ibnu Hajar juga menyebutkan namanya dalam Tabshiir al-Mutanabbih dan dalam al-Ishaabah dalam kelompok sahabat. Namun, dia luput dalam at-Taqriib, karean dia mengatakan " لَا يُعْرَفُ حَالُهَا " ( tidak diketahui kondisinya ) karena dia juga dikenal sebagai binti al-Jazzaar al-Khazaiyah, sebagaimana dijelaskan dalam banyak riwayat .

Ath-Thahawi berargumentasi dengan ini dalam Syarah Musykil al-Atsaar (3/94) dan mengatakan:

“وَاحْتَجْنَا أَنْ نَعْلَمَ مَنْ أُمُّهُ الَّتِي رَوَى عَنْهَا هَذَا الْحَدِيثَ فَإِذَا هِيَ أُمُّ جَعْفَرٍ ابْنَةُ مُحَمَّدِ بْنِ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ، فَقَالَ قَائِلٌ: كَيْفَ تَقْبَلُونَ هَذَا وَأَنْتُمْ تَرْوُونَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ مَا يَدْفَعُهُ ".

"Kita berargumentasi dengan ini untuk mengetahui siapa ibu yang meriwayatkan hadits ini. Ternyata dia adalah Ummu Ja'far, putri Muhammad bin Ja'far bin Abi Thalib." Seorang penanya bertanya: "Bagaimana kalian menerima hadits ini, sedangkan kalian meriwayatkan dari Abu Hurairah yang meriwayatkan dari Nabi ﷺ yang tidak menerima hal ini?"

Seperti yang disebutkan oleh Sheikh Al-Albani dalam "Al-Irwaa" (3/162), Al-Hafiz Ibn Hajar dalam "Talkhis" (170) merujuk pada hadits yang sama dengan sanad yang sama, dan dia mengatakan:

وَإِسْنَادُهُ حَسَنٌ وَقَدْ احتَجَّ بِهِ أَحْمَدُ وَابْنُ الْمُنْذَرِ وَفِي جَزْمِهِمَا بِذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى صِحَّتِهِ عِنْدَهُمَا.

"Sanadnya HASAN, dan Ahmad dan Ibnu al-Mundzir telah menggunakannya sebagai dalil atas keotentikannya menurut mereka." Hadits ini memiliki syahid yang baik".

Dalil ke 4: Dari Abdullah bin Ja'far, ia berkata:

"لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ أَوْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ".

"Ketika datang berita kematian Ja'far, Rasulullah ﷺ bersabda: "Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja'far, sungguh yang menyibukkan telah datang kepada mereka, atau perkara yang menyibukkan mereka. "

[HR. Ibnu Majah no. 1599 dan al-Hakim 1/527 . al-Hakim berkata: Ini adalah hadits Shahih Sanadnya, namun Bukhori dan Muslim tidak meriwayatkannya "].

Ada sebagian para Ulama yang berdalil dengan hadits ini dan hadits Jarir, dan mereka menyatakan bahwa menyiapkan makanan oleh keluarga mayit sendiri adalah perbuatan yang makruh. Sebagian di antara mereka bahkan menganggapnya bid'ah, bahkan jika dilakukan oleh kerabat dekat mayit. Namun, pendapat ini tidak benar karena Nabi ﷺ sendiri pernah memerintahkan keluarganya untuk menyiapkan makanan bagi keluarga Ja'far, yang merupakan bagian dari keluarga Nabi ﷺ, kerabat dekatnya, dan dari keluarganya, seperti yang telah disebutkan.

Dalam hadits ini, tidak ada larangan bagi keluarga mayit untuk menyiapkan makanan untuk diri mereka sendiri atau orang lain.

Adapun Mengenai hadits Jarir, maka akan ada penjelasan tentang hadits tersebut.

Sebagian dari kalangan ahli fikih Hanbali menyatakan bahwa menyiapkan makanan oleh keluarga mayit sendiri adalah makruh, tetapi jika ada tamu yang datang, maka dibolehkan untuk menyiapkan makanan untuk mereka, bahkan jika mereka itu adalah anggota keluarga mayit.

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani dalam artikelnya " مَشْرُوعِيَّةُ الِاجْتِمَاعِ وَالْإِطْعَامِ عَنْ أَمْوَاتِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ" berkata:

ثُمَّ إِنَّ الْأَمْرَ بِصُنْعَةِ الطَّعَامِ لَيْسَ بِأَمْرٍ إِيجَابِيٍّ اتِّفَاقًا، بَلْ هُوَ لِلِاسْتِحَبَابِ فَقَطْ كَمَا قَالَ عَامَّةُ الْعُلَمَاءِ، وَلَذَلِكَ فَلَيْسَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ أَصْلًا مَا يُفِيدُ تَحْرِيمَ إِعْدَادِ الطَّعَامِ مِنْ أَهْلِ الْمَيِّتِ أَنْفُسِهِمْ إِنْ هُمْ أَرَادُوا ذَلِكَ، بَلْ كُلُّ مَا فِيهِ أَنَّ مُصِيبَةَ الْمَوْتِ قَدْ تُشْغِلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ، فَأُمِرَ النَّاسُ بِالتَّكَافُلِ مَعَهُمْ، وَيُفْهَمُ مِنْ هَذَا أَنَّهُمْ إِنْ وَجَدُوا الْوَقْتَ أَوِ اسْتَطَاعُوا الْجَمْعَ بَيْنَ الِانْشِغَالِ بِالْمَيِّتِ تَكْفِينًا وَتَهْيِئَةً وَنَحْوِ ذَلِكَ، مَعَ صُنْعَةِ الطَّعَامِ لِأَضْيَافِهِمْ وَأَقْرَبِهِمْ وَخَاصَّتِهِمْ جَازٌ لَهُمْ ذَلِكَ، بَلْ وَاسْتَحَبَّ أَيْضًا، وَإِنْ كَانَ الْإِعْدَادُ مِنْ أَقَارِبِهِمْ أَوْ جِيْرَانِهِمْ أَفْضَلَ، وَقَدْ جَاءَ فِي ذَلِكَ عَدَّةٌ آثَارٌ وَأَخْبَارٌ:

Selanjutnya, penting untuk dicatat bahwa perintah untuk menyiapkan atau membuatkan makanan bukanlah perintah yang wajib secara sepakat di antara ulama. Sebaliknya, itu adalah amalan yang hanya dianjurkan (mustahabb), seperti yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Oleh karena itu, dalam hadits ini tidak ada yang mengindikasikan bahwa membuatkan makanan oleh keluarga mayit untuk diri mereka sendiri dianggap haram jika mereka berkehendak melakukannya.

Intinya bahwa semua musibah kematian itu telah membuat keluarganya menjadi sibuk untuk melakukan itu, maka dari itulah Nabi ﷺ memerintahkan orang-orang untuk saling tolong menolong dan bahu membahu dalam situasi tersebut.

Dari sini dapat dipahami bahwa jika mereka memiliki waktu atau kemampuan untuk melakukan dua hal sekaligus, yaitu mengurus mayit dan menyiapkan makanan untuk tamu dan kerabat mereka, maka itu diperbolehkan bahkan dianjurkan. Idealnya, persiapan makanan oleh kerabat dekat atau tetangga mereka akan lebih baik, dan ada beberapa atsar dan hadits yang menunjukkan hal ini".

========

PEMBAHASAN KEDUA: 

DIROSAH HADITS JARIR AL-BAJALY TENTANG BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT YANG MENYEBABKAN MEREKA SIBUK MENYIAPKAN MAKANAN

=========

Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Asma binti Umais (ra) ia berkata:

“لَمَّا أُصِيبَ جَعْفَرٌ رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِلَى أَهْلِهِ ، فَقَالَ: " إِنَّ آلَ جَعْفَرٍ قَدْ شُغِلُوا بِشَأْنِ مَيِّتِهِمْ فَاصْنَعُوا لَهُمْ طَعَامًا ".

"Tatkala Ja'far gugur, Rasulullah ﷺ pulang menemui keluarganya, beliau bersabda: "Keluarga Ja'far telah disibukkan dengan urusan mayitnya, untuk itu buatkanlah makanan untuk mereka". [HR. Ibnu Majah no. 1611 . Dan di hasankan oleh al-Albaani].

Dengan jelas Nabi ﷺ menyatakan bahwa keadaan keluarga mayit itu pada umumnya disibukkan dengan pemakaman Jenazah dan disibukkan pula dengan suasana hati mereka yang penuh duka dan rasa sedih. Oleh sebab itu disunnahkan bagi para tetangga dan kerabat dekat mayit untuk menyiapkan makanan buat keluarganya.

Dengan demikian, maka tidak selayaknya bagi para tetanggga dan kerabatnya menambah-nambah beban dan kesibukan lain, seperti terbebani membeli bahan makanan dan disibukkan masak memasak untuk menyiapkan makanan bagi para tamu takziah.

ATSAR PERTAMA: MELALUI JALUR HUSYAIM DARI JARIR AL-BAJALY (RA)

KE 1: RIWAYAT MUTLAK MELARANG SEMUA ORANG BERKUMPUL DIKELUARGA MAYIT.

Ibnu Majah dalam as-Sunan no. 1612 berkata:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، قَالَ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ.

ح وحَدَّثَنَا شُجَاعُ بْنُ مَخْلَدٍ أَبُو الْفَضْلِ، قَالَ: حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ: عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ، قَالَ: «‌كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ»

Sanad ke 1: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya, telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Mansur, telah menceritakan kepada kami Husyaim .

Sanad ke 2: Telah menceritakan kepada kami Syuja' bin Makhlad Abu al-Fadhl, telah menceritakan kepada kami HUSYAIM: dari Isma'il bin Abi Khalid, dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin 'Abdullah al-Bajali, ia berkata:

'Kami biasa berpandangan bahwa orang-orang berkumpul di rumah keluarga mayit dan membuat hidangan makanan itu termasuk perbuatan Niyaahah [ratapan].'"

Dan Ibnu Majah untuk hadits ini menuliskan BAB yang berjudul:

«بَابُ مَا جَاءَ فِي النَّهْيِ عَنِ الِاجْتِمَاعِ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةِ الطَّعَامِ»

Bab: larangan berkumpul di rumah keluarga mayit dan sibuk membuat makanan."

Sanadnya lemah sekali ; karena Husyaim seorang mudallis meriwayatkannya dengan cara 'an'anah, bukan tashrih bit tahdits .

Sanad atsar Jarir bin 'Abdullah al-Bajali ini berkisar dan bersumbu pada Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Haazim dari Jarir . Dan itu diperselisihkan .

Syu'aib al-Arna'uth berkata dalam [Takhrij al-Musnad 11/505]:

“وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا عَنْ شُجَاعِ بْنِ مُخْلَدٍ، كِلَاهُمَا عَنْ هُشَيْمٍ بْنِ بَشِيرٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلِ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ ".

Hadits ini juga diriwayatkan dari Syuja' bin Makhlad, keduanya dari Husyaim bin Basyir, yang semuanya berdasarkan riwayat Ismail bin Abu Khalid, dengan sanad ini".

Ad-Daruqutni ditanya tentang hadits Qais dari Jarir, dia berkata: Mereka biasa menganggap bahwa berkumpul pada keluarga mayit dan menyiapkan hidangan makanan adalah termasuk perbuatan meratap "?.

Maka dia menjawab:

يَرْوِيهِ هُشَيمُ بْنُ بَشِيرٍ، وَاخْتُلِفَ عَنْهُ؛ فَرَوَاهُ سُرَيجُ بْنُ يُونُسَ، وَالْحَسَنُ بْنُ عَرَفَةَ، عَنْ هُشَيْمٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ قَيْسٍ، عَنْ جَرِيرٍ .

وَرَوَاهُ خَالِدُ بْنُ الْقَاسِمِ الْمَدَائِنِيُّ، قِيلَ: ثِقَةٌ؟ قَالَ: لَا أُضْمَنُ لَكَ هَذَا، جَرَّحُوهُ، عَنْ هُشَيمٍ، عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ وَرَوَاهُ أَيْضًا، عُبَادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ كَذَلِكَ."

Hadits ini diriwayatkan oleh Husyaim bin Bashir, tetapi ada perbedaan pendapat tentang riwayat ini darinya . Suraij bin Yunus dan al-Hasan bin 'Arfah meriwayatkannya dari Husyaim, dari Isma'il, dari Qais, dari Jarir.

Khaled bin al-Qasim al-Mada'ini juga meriwayatkannya. Dikatakan : apakah dia dipercayai? Dia berkata: Saya tidak yakin tentang ini, mereka menganggapnya sebagai perawi cacat (penilaian buruk), meriwayatkan dari Husyaim, dari SYARIK, dari Isma'il. Dan dia juga diriwayatkan oleh 'Ubaad bin al-'Awam dari Isma'il sama seperti itu." (Al-‘Ilal, al-Daraqutni,13/462 no. 3353).

Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid berkata dalam ما حُكْمُ اجْتِمَاعِ النَّاسِ فِي الْعَزَاءِ؟"" Islamqa fatwa no. 215016:

فإِن كَانَ المدلَّس هُوَ شَرِيكُ بِنْ عَبْدِ الله النَّخْعِيّ الكُوْفي القاضِي فهِي روَايَة ضَعِيفة، فإنَّهُ ضَعِيفُ الحَدِيثِ عِنْدَ عامَّةِ المُحَدِّثِينَ، وَمِثْلُهُ لا يَقْبَلُ تَفْرِدهُ بِحَدِيثٍ يَنْبُنِي عَلَيْهِ حُكْمٌ شَرْعِيٌّ بِالتَّحْلِيلِ أَوِ التَّحْرِيمِ ...

“Jika yang dimaksud dengan al-Mudallas [perawi yang disembunyikan] adalah Syarik bin Abdullah an-Nakha'i, yang merupakan qadhi Kufah, maka ini adalah riwayat yang lemah. Syarik dianggap lemah dalam hadits oleh kebanyakan ahli hadits. Seseorang seperti dia tidak dapat diterima secara sendirian meriwayatkan suatu hadits yang membentuk dasar hukum syariah untuk menghalalkan atau mengharamkan sesuatu".

SEKILAS TENTANG PERAWI YANG BERNAMA HUSYAIM:

Husyaim, dia adalah Abu Muawiyah Husyaim bin Basyir bin Abu Khazim al-Qasim bin Dinar. Wafat tahun 181 H atau 183 H .

Husyaim adalah seorang perawi hadits yang tsiqoh [dipercaya[, namun dia masyhur dengan Tadlisnya, maka dia terkenal sebagai mudallis .

Ibnu Hibban menyebutkannya dalam 'Ats-Tsiqaat,' dan dia berkata: Dia adalah orang yang melakukan tadlis [pengelabuan dengan cara menyembunyikan perawi lemah]. (Lihat Tahdzib al-Tahdzib,4/280).

Ibnu Hibban juga mengatakan ketika menyebutkannya dalam kitabnya 'Al-Tsiqaat':

هُشَيْمُ بِنُ بَشِيرِ بِنِ الْقَاسِمِ بِنِ هَانِئِ الْمُعَلِّمِ، مَوْلَى بَنِي سُلَيْمٍ، كَانَ مُدَلِّسًا، مَاتَ بِبَغْدَادَ سَنَةً ثَلَاثٍ وَثَمَانِينَ وَمِائَةٍ.

Husyaim bin Basyir bin al-Qasim bin Haani' al-Mu'allim, Mawla dari Bani Sulaim, adalah seseorang MUDALLIS. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 183 hijriah." (lihat Ikmaal al-Tahdzib 12/156)."

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

وَمِنْ عَجَائِبِهِ فِي التَّدْلِيسِ: أَنْ أَصْحَابَهُ قَالُوا لَهُ: نُرِيدُ أَنْ لَا تَدْلِسَ لَنَا شَيْئًا، فَوَاعَدَهُمْ، فَلَمَّا أَصْبَحَ، أَمْلَى عَلَيْهِمْ مَجْلِسًا يَقُولُ فِي أَوَّلِ كُلِّ حَدِيثٍ مِنْهُ: ثَنَا فُلَانٌ وَفُلَانٌ عَنْ فُلَانٍ، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَ لَهُمْ: هَلْ دَلَسْتُ لَكُمْ الْيَوْمَ شَيْئًا؟ قَالُوا: لَا، قَالَ: فَكُلُّ شَيْءٍ حَدَّثْتُكُمْ عَنِ الْأَوَّلِ سَمِعْتُهُ، وَكُلُّ شَيْءٍ حَدَّثْتُكُمْ عَنِ الثَّانِيِ فَلَمْ أَسْمَعْهُ مِنْهُ. قُلْتُ: فَهَذَا يَنْبَغِي أَنْ يُسَمَّى تَدْلِيسَ الْعَطْفِ.

"Salah satu keajaiban dalam hal tadlis Husyaim adalah bahwa teman-temannya pernah berkata padanya: 'Kami ingin agar Anda tidak melakukan tadlis terhadap kami sama sekali.' Maka dia pun berjanji kepada mereka.

Namun, ketika pagi tiba, dia membacakan kepada mereka di majlis (pertemuan) dan di awal setiap haditsnya dia berkata: 'Diceritakan kepada kami oleh Fulan dan Fulan dari Fulan.'

Ketika dia selesai, dia bertanya kepada mereka: 'Apakah saya melakukan tadlis terhadap Anda hari ini?' Mereka menjawab, 'Tidak.'

Dia kemudian berkata, 'Semua yang saya ceritakan kepada Anda dari yang pertama, saya dengar dari nya. Dan semua yang saya ceritakan kepada Anda dari yang kedua, saya tidak pernah mendengarnya dari nya.'"

Saya katakan: Ini menunjukkan bahwa ini seharusnya disebut sebagai "tadlis al-'atf" (tadlis dengan kata-kata seperti 'an, diceritakan kepada kami) [Lihat Tahdzib al-Tahdzib, 1/158].

Dan al-Hafidz juga berkata: " Dia adalah seorang yang tsiqot tsabat, tapi dia banyak melakukan tadlis dan mursal tersembunyi ".[Lihat Taqrib al-Tahdzib, 1/1023].

Dan al-Hafidz juga berkata: " Dia adalah seorang Tabi'ut Tabi'in, yang terkenal dengan praktik tadlisnya, meskipun dia itu tsiqot (dipercayai) [Lihat Tahdzib al-Tahdzib, 1/158].

Adz-Dzahabi berkata:

إمَامٌ ثِقَةٌ مُدَلِّسٌ

"Imam yang tsiqot yang melakukan tadlis." [Al-Kashf fi Ma'rifat Man Lahu Riwayah fil Kutub as-Sittah (4/429)]

Dan al-'Ijli berkata:

هُشَيْمٌ وَاسْطِيٌّ ثِقَةٌ، وَكَانَ يَدْلِسُ

"Husyaim adalah orang yang terpercaya dari Wasith dan dia biasa melakukan tadlis." [Tahdzib al-Tahdzib (4/280)]

FIQIH ATSAR:

Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni 3/497 berkata:

 فَأَمَّا صُنْعُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِلنَّاسِ، فَمَكْرُوهٌ؛ لِأَنَّ فِيهِ زِيَادَةً عَلَى مُصِيبَتِهِمْ، وَشُغْلًا لَهُمْ إلَى شُغْلِهِمْ، وَتَشَبُّهًا بِصُنْعِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ. ... وَإِنْ دَعَتْ الْحَاجَةُ إلَى ذَلِكَ جَازَ؛ فَإِنَّهُ رُبَّمَا جَاءَهُمْ مَنْ يَحْضُرُ مَيِّتَهُمْ مِنْ الْقُرَى وَالْأَمَاكِنِ الْبَعِيدَةِ، وَيَبِيتُ عِنْدَهُمْ، وَلَا يُمْكِنُهُمْ إلَّا أَنْ يُضَيِّفُوهُ. اهـ.

"Adapun membuatkan makanan untuk orang-orang yang datang saat ada kematian seseorang, maka itu makruh, karena itu merupakan tambahan kesedihan bagi mereka, menambahkan kesibukan diatas kesibukan mereka sendiri, dan menyerupai praktik orang-orang jahiliyyah. ...

Namun, jika adanya hajat dan kebutuhan menuntut untuk itu, maka itu diperbolehkan, karena terkadang ada orang yang datang dari desa-desa dan tempat-tempat terpencil untuk menghadiri pemakaman dan menginap di rumah orang yang berduka, dan satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah menerima mereka sebagai tamu."

KAIDAH TENTANG TADLIS ATAU PERAWI MUDALLIS:

Yang dimaksud Tadlis di sini artinya pengelabuan dengan cara memberi kesan bahwa ia mendengarnya dari perawi tertentu yang dipercaya padahal ia tidak mendengarnya langsung darinya, melainkan dari orang yang dhaif atau majhul .

Seorang Mudallis meski dia seorang yang hafidz dan tsiqoh ( dipercaya ) namun jika dia meriwayatkannya dengan kata-kata " Dari ( عَنْ )" atau " Ia telah berkata ( قَالَ )" maka riwayatnya di tolak, karena kemungkinan besar ia mengambil hadits itu dari perawi dhaif sehingga dapat menjadikan hadits itu menjadi lemah oleh sebab itu dia mentadlis sanad .

Lain halnya dengan kata-kata yang menunjukkan bahwa dirinya benar-benar mendengar langsung dari syeikhnya seperti: " telah berbicara pada kami atau telah mengkhabari kami ( أخبرنا أو حدثَّنا ) ", maka riwayatnya di terima, karena kata-kata ini menutup kemungkinan untuk melakukan tadlis, sebagaimana telah maklum dalam Mustholahul Hadits.

KE 1: RIWAYAT YANG LAFADZNYA MEMBATASI HANYA KELUARGA MAYIT:

Ibnu Manii' menyatakannya dalam kata-kata " كَانُوْا yakni: Dulu mereka". Dan hanya menyebutkan "keluarga mayit".

Al-Tabrani berkata dalam al-Mu'jam al-Kabiir (2/307 no. 2279 ):

حَدَّثَنَا عَبْدَانُ بْنُ أَحْمَدَ، ثنا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ ثنا هُشَيْمٌ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ قَيْسٍ، عَنْ جَرِيرٍ، قَالَ: «‌كَانُوا يَرَوْنَ أَنَّ اجْتِمَاعَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ»

Abdan bin Ahmad menceritakan kepada kami, dia berkata Ahmad bin Manii' menceritakan kepada kami, dia berkata Husyaim menceritakan kepada kami dari Ismail, dari Qais, dari Jarir, dia berkata:

Mereka melihat bahwa berkumpulnya keluarga mayit dan membuat makanan itu termasuk perbuatan Niyaahah [ratapan]."

RIJAAL SANAD AL-HADITS:

Syu'aib al-Arna'uth berkata [Takhrij Sunan Ibnu Majah 2/538]:

"رِجَالُهُ ثِقَاتٌ، إِلَّا أَنَّ هَشِيمًا -وَهُوَ ابْنُ بَشِيرٍ- مُدَلَّسٌ وَرَوَاهُ بِالْعَنْعَنَةِ.

وَأَخْرَجَهُ الطَّبْرَانِيُّ فِي "الْكَبِيرِ" (2279) مِنْ طَرِيقِ أَحْمَدَ بْنِ مُنَيِّعٍ، عَنْ هَشِيمٍ، بِهَذَا الْإِسْنَادِ.

وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ (6905) عَنْ نَصْرِ بْنِ بَابٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، بِهِ. وَنَصْرُ بْنِ بَابٍ ضَعِيفٌ جِدًّا."

"Para perawinya adalah orang-orang yang dapat dipercaya, kecuali Hushaim – Ibnu Basyir – dia seorang mudallis [penyembunyi perawi yang cacat], dan dia meriwayatkannya dengan shighot 'an'anah [عَنْ = dari].

Ath-Thabrani meriwayatkannya dalam "Al-Kabir" (2279) melalui jalur Ahmad bin Munai' dari Husyaim dengan sanad seperti ini.

Ahmad juga meriwayatkannya (6905) dari Nasher bin Bab melalui Ismail bin Abu Khalid dengan sanad serupa. Namun, Nasr bin Bab adalah sangat lemah."[Selesai kutipan]

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani dalam artikelnya " مَشْرُوعِيَّةُ الِاجْتِمَاعِ وَالْإِطْعَامِ عَنْ أَمْوَاتِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ" berkata:

فَقَدْ تَفَرَّدَ بِهَذَا اللَّفْظِ هَشِيمٌ عَنْ إِسْمَاعِيلَ، وَهَشِيمٌ يُدَلِّسُ عَنْ الْمُجَاهِيلِ وَالْمُتَّهَمِينَ، وَلَمْ يُصَرِّحْ بِالتَّحْدِيثِ هُنَا، وَلَا أَرَاهُ إِلَّا أَخَذَهُ عَنِ الْكَذَّابِينَ، وَلَا أَصْلَ لَهُ مِنْ سُنَنِ الْأَصْحَابِ أَبَدًا، بَلْ هُوَ مَوْضُوعٌ عَنْهُمْ، وَالدَّلِيلُ عَلَى تَّدْلِيسِ هَشِيمٍ وَعَدَمِ سَمَاعِهِ مِنْ إِسْمَاعِيلَ:

مَا رَوَاهُ خَالِدُ بْنُ الْقَاسِمِ الْمَدَائِنِيُّ وَفِيهِ كَلَامٌ عَنْ هَشِيمٍ [عَنْ شَرِيكِ] عَنْ إِسْمَاعِيلَ كَمَا قَالَ الدَّارِقُطْنِيُّ، وَلِذَلِكَ أَنْكَرَ الْعُلَمَاءُ سَمَاعَهُ لَهُ مِنْ إِسْمَاعِيلَ، وَقَالَ أَحْمَدُ وَأَبُو دَاوُدَ: زَعَمُوا أَنَّهُ سَمِعَهُ مِنْ شَرِيكِ.

وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ أَخَذَهُ عَنْ شَرِيكِ، وَشَرِيكِ سَيِّءَ الْحِفْظِ فَقَطْ لَا مُتَّهِمًا؟ لَكِنَّهُ مُدَلِّسٌ أَيْضًا، وَلَمْ يَسْمَعْهُ مِنْ إِسْمَاعِيلَ بَلْ بَيْنَهُمَا وَاسِطَةٌ مُتَّهَمَةٌ، فَدَلَّسَهُ عَنْ وَضَاعٍ، وَالْحَدِيثُ لَا أَصْلَ لَهُ.

Lafal ini, yaitu "dulu mereka", hanya dikemukakan oleh Husyaim sendirian melalui Ismail. Husyaim adalah seorang mudallis (menyembunyikan sumber sebagai pengelabuan) dalam meriwayatkan hadits dari para majahil (orang-orang yang tidak dikenal) dan para muttahamiin [orang-orang yang dicurigai]. Dan disini dia tidak menjelaskan riwayatnya dengan cara tahdits (bicar langsung) . Dan saya melihatnya bahwa dia mengambil haditsnya itu dari para pendusta. Haditsnya sama sekali tidak bersumber dari sunnah-sunnah para sahabat, bahkan itu sengaj dipalsukan atas nama mereka .

Dalil akan pentadlisan Husyaim dan ketidak mungkinannya mendengarnya dari Ismail adalah sbb:

Apa yang diriwayatkan oleh Khalid bin al-Qasim al-Madaini, dan di dalam terdapat pembicaraan tentang riwayat Husyaim dari Ismail, seperti yang disebutkan oleh ad-Daraquthni. Oleh karena itu, para ulama menolak pengakuannya bahwa dia mendengarnya dari Ismail. Ahmad dan Abu Dawud mengatakan: "Mereka hanya menduga bahwa dia mendengarnya dari Syarik."

Ini menunjukkan bahwa Husyaim mendengarnya dari Syarik. Sementara Syarik ini buruk hafalannya, tapi bukan orang yang dicurigai. Namun demikian, dia juga seorang mudallis (penyembunyian sumber) juga, dan dia tidak mendengarnya langsung dari Ismail. Antara keduanya ada perantara yang dicurigai, lalu dia mentadlis (menyembunyikan) riwayat dari seorang pemalsu hadits. Maka yang benar hadits ini tidak ada asalnya.

Abu Dawud juga mengatakan dalam kitab "Masail al-Imam Ahmad" hal. 388 no. (1867):

“ذَكَرْتُ لِأَحْمَدَ حَدِيثَ هُشَيْمٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ قَيْسٍ، عَنْ جَرِيرٍ «كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ لَهُمْ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ» ، قَالَ: زَعَمُوا أَنَّهُ سَمِعَهُ مِنْ شَرِيكٍ. قَالَ أَحْمَدُ: وَمَا أُرَى لِهَذَا الْحَدِيثِ أَصْلٌ".

"Saya telah menyebutkan kepada Ahmad hadits Husyaim dari Ismail...," Ahmad berkata, "Mereka mengklaim bahwa dia mendengarnya dari Syarik." Ahmad berkata, "Saya tidak melihat dasar untuk hadits ini."

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani dalam artikelnya " مَشْرُوعِيَّةُ الِاجْتِمَاعِ وَالْإِطْعَامِ عَنْ أَمْوَاتِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ" berkata:

فتأمل قوله: "..لَيْسَ لِهَذَا الْحَدِيثِ أَصْلٌ"، أَيْ لَا أَصْلَ لِذَاتِهِ بِكُلِّ طُرُقِهِ لِوَهَائهَا، وَلَمْ يَقُلْ "هَذَا طَرِيقٌ لَا أَصْلٌ لَهُ "، وَلَا يُقَالُ عَنْ حَدِيثٍ: " لَا أَصْلٌ لَهُ "، إِلَّا إِذَا كَانَ مَرْجِعُهُ إِلَى رِوَايَةِ الْمُتَّهَمِينِ، وَهَذَا الْمُتَّهَمُ الَّذِي أُخِذَ عَنْهُ هَذَا الْحَدِيثُ هُوَ نَصْرُ بْنُ بَابٍ، وَالْحَدِيثُ يُرَجَّعُ إِلَيْهِ.

Maka perhatikanlah perkataannya: “… hadits ini tidak ada dasarnya,” yang berarti hadits ini pada dzatnya tidak mempunyai dasar pada semua jalurnya disebabkan oleh penyelewengannya. Beliau tidak mengatakan, “Ini adalah jalur yang tidak mempunyai dasar,” .

Dan tidaklah sekali-kali dikatakan tentang hadits: “Tidak ada dasarnya,” kecuali jika rujukannya adalah pada riwayat orang-orang yang dicurigai sebagai pendusta . Dan orang yang curigai yang darinya hadits ini diambil adalah Nasr bin Bab, dan hadits tersebut diatribusikan kepadanya".

Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid berkata dalam ما حُكْمُ اجْتِمَاعِ النَّاسِ فِي الْعَزَاءِ؟"" Islamqa fatwa no. 215016:

أَنَّ الرَّاجِحَ فِيهِ أَنَّهُ ضَعِيفٌ ، فَقَدْ أَعْلَهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ ، وَالدَّرَاقُطِيُّ. فَهَذَا الْآثَرُ رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ مُنِيعٍ فِي "مُسْنَدِهِ" ، وَابْنُ مَاجَهِ فِي "السُّنَنِ" (1612) ، وَالطَّبَرَانِيُّ فِي "الْمُعْجَمِ الْكَبِيرِ" (2/307) مِنْ طَرِيقِ هُشَيْمٍ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ ، عَنْ قَيْسٍ ، عَنْ جَرِيرِ بِهِ. وَهَذَا سَنَدُ ظَاهِرُهُ الصِّحَّةِ ، فَإِنَّ رُوَّاتِهِ أَئِمَّةُ حُفَّاظِ ثِقَاتٍ ، لِذَلِكَ صَحَّحَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ كَالنَّوَوِيِّ فِي "الْمُجْمَعِ" (5/320) ، وَابْنُ كَثِيرٍ فِي "إِرْشَادِ الْفَقِيهِ" (1/241) ، وَالْبُصَيِّرِيُّ فِي "مِصْبَاحِ الزُّجَاجَةِ" (1/289) ، وَالشَّوْكَانِيُّ فِي "نِيلِ الْأَوْطَارِ" (4/148) ، وَالشَّيْخُ أَحْمَدُ شَاكِرٌ فِي تَحْقِيقِ "الْمُسْنَدِ" (11/126) ، وَالْأَلْبَانِيُّ فِي "أَحْكَامِ الْجَنَائِزِ" (ص/210) ، وَكَذَا مُحَقِّقُو مُسْنَدِ أَحْمَدَ (11/505) وَغَيْرُهُمْ. غَيْرَ أَنَّ فِي الْحَدِيثِ عِلَّةً خَفِيَّةً بَيْنَهَا الْحُفَّاظُ وَالنُّقَّادُ ، هِيَ تَدْلِيسُ هُشَيْمِ بْنِ بَشِيرٍ ، فَإِنَّهُ عَلَى ثِقَتِهِ كَانَ كَثِيرَ التَّدْلِيسِ وَالْإِرْسَالِ ، وَأَحِيَانًا عَنِ الضُّعَفَاءِ وَالْمَجَاهِلِ.

“Bahwa pendapat yang paling benar mengenai atsar ini adalah dhaif (lemah). Atsar ini dianggap cacat sanadnya oleh Imam Ahmad dan ad-Daaraqutni. Riwayat ini diriwayatkan oleh Ahmad bin Munayyi’ dalam Musnadnya, Ibnu Maajah dalam as-Sunan (1612), dan at-Tabaraani dalam al-Mu’jam al-Kabeer (2/307) via Hushaym dari Ismaa’ belut ibn Abi Khaalid, dari Qays, dari Jareer.

Sanad atsar ini nampak seakan-akan shahih, karena perawinya dikenal baik ingatannya [hafidz] dan dapat dipercaya [tsiqot]. Oleh karena itu dianggap shahih oleh sejumlah ulama, seperti an-Nawawi dalam al-Majmu' (5/320), Ibnu Katsir dalam Irsyaad al-Faqiih (1/241), al-Bushairi dalam Misbaah az-Zujaajah, 1/289, asy-Syawkaani dalam Nayl al-Awthaar (4/148), Syaikh Ahmad Syaakir dalam Tahqiiq al-Musnad (11/126), al-Albaani dalam Ahkaam al-Janaa'iz (hal. 210), para ahli tafsir tentang Musnad Ahmad (11/505), dan lain-lain.

Namun dalam hadits tersebut terdapat cacat halus dan terselubung, seperti yang dikemukakan oleh para ulama dan kritikus, yaitu tadlis Husyaim ibn Basyiir, meskipun dia seorang yang dapat dipercaya, akan tetapi dia sering melakukan tadlis [tadlis artinya memberi kesan bahwa ia mendengarnya dari orang tertentu padahal ia tidak mendengarnya langsung darinya] dan irsaal [irsaal artinya menghubungkan suatu hadits langsung dengan Nabi Muhammad ﷺ tanpa menyebutkan nama para Sahabat dalam sanad atau tanpa sanadnya atau tanpa perawinya] dan kadang-kadang Husyaim ini meriwayatkan dari perawi yang da'iif (lemah) dan majhuul (tidak diketahui)".

KESIMPULAN DERAJAT ATSAR JARIR DIATAS : 

Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid berkata:

والخُلاصة: أن قَوْلُ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ لَمْ يَثْبُتْ مِنْ طَرِيقِ صَحِيحٍ، وَالرِّوَايَةُ الْمَشْهُورَةُ مَعَلَّةٌ بِالتَّدْلِيسِ، وَلِلِاسْتِزَادَةِ يُنْظَرُ كِتَابُ: "التَّجْلِيَةُ لِحُكْمِ الْجُلُوسِ لِلتَّعَزِّيَةِ" لِلشَّيْخِ ظَافِرِ آلِ جُبْعَانَ ص ـ 27.

“Ringkasnya: Ucapan Jariir ibn 'Abdullah al-Bajali belum terbukti melalui isnaad shahih apa pun, dan riwayat yang terkenal itu adalah cacat karena tadlis. Untuk lebih jelasnya lihat kitab: at-Tajliyah li Hukm al-Juloos li't-Ta'ziyah karya Syekh Zaafir Aal Jab'aan, hal. 27 ".

Akan tetapi Al-Bushairi dalam "Mishbahuz Zujaajah Fii Zawaid Ibni Majah" 2/275 no. 1612 berkata:

“رِجَالُ الطَّرِيقِ الْأَوَّلِ عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيِّ وَالثَّانِي عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ".

"Para perawi jalur pertama sesuai syarat al-Bukhari, dan jalur kedua sesuai syarat Muslim".

ATSAR KEDUA: MELALUI JALUR NASHR BIN BAB DARI JARIR AL-BAJALY YANG LAFADZ LARANGANNYA TERBATAS SETELAH PEMAKAMAN:

Lafadz ini diriwayatkan oleh Nasr dari Isma'il, yaitu ada tambahan mengenai larangan berkumpulnya dan larangan menyiapkan makannya itu setelah pemakaman saja, tidak sebelumnya.

Imam Ahmad dalam Musnad-nya (11/505 no. 6905 ) berkata:

حَدَّثَنَا نَصْرُ بْنُ بَابٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ قَيْسٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ، قَالَ: " كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ "

Telah bercerita pada kamu Nasr bin Bab dari Isma'il dari Qais dari Jarir bin Abdullah al-Bajali, dia berkata:

"Kami menganggap bahwa berkumpul di keluarga mayit dan memasak-masak makanan setelah pemakaman itu adalah bagian dari Niyahah".

Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid berkata dalam ما حُكْمُ اجْتِمَاعِ النَّاسِ فِي الْعَزَاءِ؟"" Islamqa fatwa no. 215016:

نَعَمْ، تَابَعَهُ نَصْرُ بِنْ بَابٍ كَمَا فِي مُسْنَدِ أَحْمَدَ (6905)، غَيْرَ أَنَّ نَصْرًا هَذَا جَاءَ فِي تَرْجَمَتِهِ فِي "تَعْجِيلِ الْمَنْفَعَةِ" (ص/420): "قَالَ الْبُخَارِيُّ: يَرْمُونَهُ بِالْكَذِبِ، وَقَالَ ابْنُ مَعِينٍ: لَيْسَ حَدِيثُهُ بِشَيْءٍ، وَقَالَ عَلِيُّ بْنُ الْمَدِينِيِّ: رُمِيتُ حَدِيثَهُ، وَقَالَ أَبُو حَاتِمِ الرَّازِيُّ: مَتْرُوكُ الْحَدِيثِ، وَقَالَ أَبُو خَيْثَمَةَ زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ: كَذَّابٌ". انتَهَى.

فَلَا تُقَوِّى مُتَابَعَتُهُ عَلَى تَحْسِينِ رَوَايَةِ شَرِيكٍ، بَلْ هُنَاكَ احْتِمَالٌ قَوِيٌّ بِأَنَّ الْمُدَلَّسَ فِي رَوَايَةِ هُشَيمٍ هُوَ نَصْرُ بِنْ بَابٍ نَفْسَهُ وَلَيْسَ شَرِيكًا.

“Iya, Nashr bin Bab telah memperkuat nya dengan mutaba'ah sebagaimana dalam Musnad Ahmad (6905). Namun, Nasr ini disebutkan tentang deskripsi dirinya dalam kitab "Ta'jil al-Manfa'ah" (hal 420):

"Al-Bukhari berkata: Mereka mencapnya sebagai pembohong, Ibnu Ma'in berkata: Haditsnya tidak ada nilainya. Ali bin al-Madini berkata: Aku menolak haditsnya. Abu Hatim al-Razi berkata: Haditsnya matruk (ditolak), dan Abu Khaytsamah Zuhair bin Harb berkata: Dia pendusta." (Selesai) .

Jadi, tidak mungkin mutaaba'ahnya bisa untuk meningkatkan riwayat Syarik menjadi HASAN melalui Nasher ini, bahkan ada kemungkinan kuat bahwa "المدلَّس" (al-mudallas) dalam riwayat Husyaim adalah Nasher bin Bab sendiri, bukan Syarik".

Izzuddin Aykaal dalam artikelnya ( أقْوَالُ الصَّحَابَة والتَّابِعِيْن ) berkata:

إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ جِدًّا، نَصْرٌ مَتْرُوكٌ.

“Sanadnya lemah sekali ; karena Nashr adalah perawi yang ditinggalkan".

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani dalam artikelnya " مَشْرُوعِيَّةُ الِاجْتِمَاعِ وَالْإِطْعَامِ عَنْ أَمْوَاتِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ" berkata:

وَنَصْرٌ هَذَا مُتَّهَمًا بِالْكَذِبِ عِنْدَ الْجَمْهُورِ، إِلَّا عِنْدَ الْإِمَامِ أَحْمَدَ وَحْدَهُ وَمَنْ قَلَّدَهُ، فَإِنَّهُ قَدْ رَضِيَ بِهِ، وَمَعَ ذَلِكَ، وَعَلَى الرَّغْمِ مِنْ رِوَايَةِ أَحْمَدَ لِهَذِهِ الْمُتَابَعَةِ عَنْ نَصْرٍ فَهُوَ لَمْ يُعْتَدْ بِهَا، بَلْ قَالَ بِأَنَّ الْحَدِيثَ " لَا أَصْلَ لَهُ "، وَلِذَلِكَ لَمْ يَذْكُرْهُ فِي مُسْنَدِ جَرِيرٍ أَصْلًا، بَلْ ذَكَرَهُ فِي مُسْنَدِ عَبْدِ اللَّهِ تَبَعًا، وَقَدْ خَالَفَ مَنْ هُوَ أَوْثَقُ مِنْهُ.

“Namun, Nasr ini tertuduh sebagai pendusta oleh mayoritas ulama, kecuali Imam Ahmad dan beberapa yang mengikuti pendiriannya yang menerima riwayat Nasr. Meskipun demikian, meskipun riwayat ini disertakan dalam Musnad Imam Ahmad, namun ia tidak menganggapnya sahih, bahkan ia berkata bahwa hadits ini "tidak memiliki dasar." Oleh karena itu, hadits ini tidak disebutkan dalam Musnad Jarir tetapi dalam Musnad Abdullah, dan ini berlawanan dengan yang lebih dapat dipercaya ".

Namun Imam an-Nawawi dalam al-Majmu 5/320 berkata:

رَوَاهُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ وَابْنُ مَاجَهْ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ وَلَيْسَ فِي رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَهْ بَعْدَ دَفْنِهِ

"Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah dengan Isnad yang shahih, namun tidak ada dalam riwayat Ibnu Majah kata ( Setelah pemakamannya ) ".

Dan Syu'aib al-Arnaut dalam Takhrij al-Musnad (11/505 no. 6905 ), dia berkata:

“حديثٌ صَحِيح. نَصرُ بنُ بابٍ -وإن كانَ ضَعِيفَ الحديثِ- مُتابِع، وبَقِيَةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ رِجَالُ الشَّيْخَيْنِ. إِسْمَاعِيلُ: هُوَ ابْنُ أَبِي خَالِدٍ، وَقَيْسُ: هُوَ ابْنُ أَبِي حَازِمٍ".

"Hadits ini sahih. Nasr bin Bab - meskipun lemah dalam hadits – namun ada mutaba'at (diikuti oleh riwayat lain ), dan sisa perawinya adalah tsiqat (terpercaya), mereka adalah para perawi dalam dua kitab hadits Shahih (al-Bukhari dan Muslim). Ismail adalah putra dari Abu Khalid, dan Qais adalah putra Abu Hazim."

Dalam catatan kaki (س) Musnad Ahmad dinyatakan:

هَذَا الْحَدِيثُ لَمْ يُذْكَرْ الْحَافِظُ فِي "أَطْرَافِ الْمَسْنَدِ" أَنَّهُ فِي مَسْنَدِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو، بَلْ لَمْ يُذْكَرْهُ أَصْلًا فِي مَسْنَدِ جَرِيرٍ.

"Imam al-Hafiz [Ibnu Hajar] dalam "Athraaf al-Musnad" tidak menyebutkan bahwa hadits ini terdapat dalam musnad Abdullah bin Amr, bahkan ia tidak menyebutkannya sama sekali dalam musnad Jarir."

Adz-Dhiya' Al-A'dzomi mengatakan dalam Al-Jami' Al-Kamil, (4/122):

“صَحِيحٌ: رَوَاهُ ابْنُ مَاجَةَ (1612) وَالْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي مُسْنَدِهِ (6905) كِلَاهُمَا مِنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ: فَذَكَرَ الْحَدِيثَ. وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ."

"Shahih: diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1612) dan Imam Ahmad dalam Musnad-nya (6905), keduanya dari Isma'il bin Abi Khalid, dari Qais bin Abi Hazim, dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali, dia berkata: Kemudian dia menyebutkan hadits tersebut. Sanad-nya adalah shahiih."

Al-Albani berkata dalam Al-Jana'iz (hal. 167, no. 114):

“أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ (رَقْمُ 6905) وَابْنُ مَاجَةَ (1 / 490) وَالرِّوَايَةُ الْأُخْرَى لَهُ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ عَلَى شَرْطِ الشَّيْخَيْنِ، وَصَحَّحَهُ النَّوَوِيُّ (5 / 320) وَالْبُوصِيِّرِيُّ فِي (الزَّوَائِدِ) 115."

"Diriwayatkan oleh Ahmad (no. 6905) dan Ibnu Majah (1/490), dan riwayat lainnya baginya dengan sanad yang sahih sesuai syarat kedua syekh (yaitu Imam Bukhari dan Imam Muslim), dan di-shahihkan oleh An-Nawawi (5/320) dan Al-Bushairi dalam kitab Al-Zawa'id (115)."

Izzuddin Aykaal dalam artikelnya ( أقْوَالُ الصَّحَابَة والتَّابِعِيْن ) berkata:

إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ لِأَنَّ هُشَيْمَ مُدَلِّسٍ مَشْهُورٌ وَقَدْ عَنْعَنَ وَكُلُّ مَنْ صَحَّحَهُ مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ فَلَا عِبْرَةَ بِتَصْحِيحِهِ حَتَّى وَإِنْ صَحَّحَهُ الْمُتَأَخِّرُونَ جَمِيعًا فَلَا عِبْرَةَ لِأَنَّ الْأَمْرَ بِالدَّلِيلِ وَلَيْسَ بِقَوْلِ فُلَانٍ وَفُلَانٍ.

Isnadnya lemah karena Husyaim adalah seorang Mudallis yang terkenal, dan dia telah meriwayatkannya dengan shighat 'an'anah. Semua yang menshahihkannya di antara para ulama mutaakhiriin [yang datang setelahnya] tidak memiliki keberlakuan dalam menshahihkannya, bahkan jika mereka semua setuju dalam menshahihkannya . Hal ini karena hukum itu berdasarkan bukti (dalil) dan bukan hanya perkataan si Fulan dan si Fulan ".

ATSAR KE KETIGA: MELALUI ABAD BIN AL-'AWAAM DARI JARIR AL-BAJALY YANG HANYA MELARANG MEMUJI-MUJI MAYIT SECARA BERLEBIHAN

"Ath-Thabarani berkata (2/207) dalam hadits nomor 2278:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ يَحْيَى الْحُلْوَانِيُّ، ثنا سَعِيدُ بْنُ سُلَيْمَانَ، عَنْ عَبَّادِ بْنِ الْعَوَّامِ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي خَالِدٍ، عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِي حَازِمٍ، قَالَ: قَالَ جَرِيرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ: " يُعَدِّدُونَ الْمَيِّتَ أَوْ قَالَ: أَهْلَ الْمَيِّتِ بَعْدَمَا يُدْفَنُ؟ " - شَكَّ إِسْمَاعِيلُ - قُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: «كُنَّا نَعُدُّهَا النِّيَاحَةَ»

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yahya al-Halwani, menceritakan kepada kami Sa'id bin Sulaiman, dari 'Abaad bin Al-Awwam, dari Isma'il bin Abi Khalid, dari Qais bin Abi Hazim, dia berkata: Jarir bin Abdullah berkata:

'Apakah mereka memuji-muji (menyebut-nyebut) kebaikan dan jasa mayit satu persatu atau keluarga mayit setelah pemakaman?' Isma'il ragu, lalu saya katakan, 'Ya.' Dia berkata: 'Kami biasa menganggapnya termasuk dari perbuatan niyahah [ratapan] .'

Di shahihkan sanadnya oleh Izzuddin Aykaal dalam artikelnya ( أقْوَالُ الصَّحَابَة والتَّابِعِيْن ).

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani dalam artikelnya " مَشْرُوعِيَّةُ الِاجْتِمَاعِ وَالْإِطْعَامِ عَنْ أَمْوَاتِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ" berkata:

"فَقَدْ رَوَاهُ عَبَّادُ بِنُ الْعَوَّامِ وَهُوَ ثِقَةٌ عَنْ إِسْمَاعِيلَ بِلَفْظِ السُّؤَالِ وَالنَّهْيِ عَنِ التَّعْدَادِ فَقَطْ، وَلَمْ يُذْكَرْ فِيهِ النَّهْيُ عَنِ الْإِطْعَامِ، وَهُوَ الْأَصْحُ لِثِقَةِ كُلِّ رِجَالِهِ مَعَ اتِّصَالِهِ."

"Ubaid bin Al-Awwam, seorang yang tsiqot [dapat dipercaya], telah meriwayatkan dari Isma'il dengan lafadz larangan menyiapkan makanan saja, dan tidak menyebutkan larangan memberi makan. Ini adalah yang lebih shahih dari sisi ketsiqohan [kepercayaan semua] perawinya beserta ketersambungan sanadnya ."

Lalu Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

وَهَٰذَا أَصْحَ حَدِيثٍ فِي الْبَابِ عَنْ جَرِيرٍ، وَلَا ذِكْرَ فِيهِ لِلطَّعَامِ وَلَا لِلِاجْتِمَاعِ أَصْلًا وَهُوَ الصَّحِيحُ.

وَالْمَقْصُودُ بِالتَّعْدَادِ الْمَنْهِيّ عَنْهُ هُوَ الْمُبَالَغَةُ فِي تِعْدَادِ مَآثِرِ الْمَيِّتِ، رُبَّمَا حَتَّى بِمَا لَيْسَ فِيهِ، وَقَدْ يَدْخُلُ فِيهِ عَدُّ الْأَيَّامِ أَيْضًا مِنْ مُنْذُ لَحْظَةِ الْوَفَاةِ، ثُمَّ لَهُمْ فِي كُلِّ يَوْمٍ عَادَةٌ مُعَيِّنَةٌ يَفْعَلُونَهَا حَتَّى تَنْقَضِيَ الْأَرْبَعُونَ يَوْمًا... وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Ini adalah hadits yang paling sahih dalam masalah ini dari Jarir, dan tidak disebutkan di dalamnya tentang makanan atau kumpul-kumpul sama sekali, dan ini adalah yang shahih.'"

Yang dimaksud dengan "Ti'daad" yang dilarang adalah berlebihan memuji-muji (menyebut-nyebut) kebaikan dan jasa mayit satu persatu, bahkan mungkin mencakup hal-hal yang tidak benar. Ini juga dapat mencakup hitungan hari-hari sejak saat kematian, dan mereka memiliki kebiasaan tertentu yang mereka lakukan setiap hari sampai periode berkabung 40 hari berakhir. Wallahu A'lam".

ATSAR KE EMPAT: MELALUI ABU AL-HAKAM DARI UMAR (RA) : YANG HANYA MELARANG BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT SETELAH PEMAKAMAN: 

Imam Aslam dalam kitab "Tarikh" nya (halaman 126) mengatakan: Abd al-Hamid mengabarkan kepada kami, bahwa Yazid bin Harun mengabarkan kepada kami, dari Umar Abu Hafs al-Shayrafi, yang adalah seseorang yang tepercaya. Dia mengatakan: Saya telah mendengar Sayyaar Abu al-Hakam berkata: Umar bin al-Khattab (ra) berkata:

"كَنَّا نُعِدُّ الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ بَعْدَ مَا يُدْفَنُ مِنَ النِّيَاحَةِ"

"Kami biasa menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit setelah mayit itu dikuburkan, termasuk ratapan ."

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja Sayyaar tidak pernah bertemu dengan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.

Izzuddin Aykaal dalam artikelnya ( أقْوَالُ الصَّحَابَة والتَّابِعِيْن ). berkata: "Sanadnya lemah ; karena mursal ".

Dan Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata pula:

"وَلَمْ يُذْكَر الإِطْعَامُ، وَقَيَّدَ النَّهْيُ بِمَا بَعْدَ الدَّفْنِ، إِلاَّ أَنَّهُ أَكْثَر إِعْضَالًا مِنْ سَابِقِهِ، مَعَ مُخَالِفَتِهِ لِلأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الْكَثِيرَةِ الْمُبِيِّحَةِ لِمُطْلَقِ الإِطْعَامِ وَالِاجْتِمَاعِ، النَّاهِيَةِ عَنِ النِّيَاحَةِ وَالصِّيَاحِ فَقَطْ.

"Dalam hadits tidak disebut kata " memberi makan" . Dan dia membatasi larangan tersebut untuk setelah pemakaman, akan tetapi larangan ini lebih banyak sisi mu'dholnya daripada yang sebelumnya, ditambah lagi isinya berlawanan dengan banyak hadits sahih yang mengizinkan secara muthlak penyiapan makanan dan berkumpul, yang hanya melarang meratap dan berteriak-teriak".

[*** Hadits Muʽdhal adalah hadits yang perawinya hilang dua atau lebih secara berturut-turut].

ATSAR KE LIMA: MELALUI AL-HASAN BIN AL-HASAN AL-BASHRI DARI PARA SAHABAT 

Yang isi matannya melarang semuanya dan juga melarang orang lain menyiapkan makanan untuk keluarga mayit.

Abu Thahir as-Salafi al-Ashbahani dalam al-Masyikhah al-Baghdaadiyah [Manuscift 19/23 dan yang telah dicetak Juz 20 (Jilid 25/hal. 23)]:

حَدَّثَنَا أَبُو الْحَسَنِ أَحْمَدُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ الْمَعْرُوفُ بِابْنِ السُّكَّرِيِّ الْمُقْرِئِ صَاحِبُ قِرَاءَةِ حَمْزَةَ وَعَلَيْهِ قَرَأْتُ الْقُرْآنَ ، نا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ بْنُ ثَابِتٍ الطَّرَائِفِيُّ ، نا أَبُو يُوسُفُ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ الصَّيْدَلَانِيُّ ، نا عُثْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يُوسُفَ الرَّقِّيُّ ، نا عَبَّادُ بْنُ كَثِيرٍ الْمَصْرِيُّ ، عَنْ شَيْبَانَ الْأَعْرَجِ ، عَنِ الْحَسَنِ بْنِ أَبِي الْحَسَنِ الْمِصْرِيِّ ، حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ ، وَجَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ ، وَعِمْرَانُ بْنُ حُصَيْنٍ ، وعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ ، وَمَعْقِلُ بْنُ يَسَارٍ الْمُزَنِيُّ. كُلُّهُمْ يُحَدِّثُ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ

«‌نَهَى أَنْ يَقْعُدَ الرَّجُلُ فِي بَيْتِهِ لِلْمُصِيبَةِ ثُمَّ يُؤْتَى فَيُعَزَّا ، وَنَهَى عَنِ الْوَلْوَلَةِ عَلَى الْمَيِّتِ ، وَنَهَى عَنْ إِطْعَامِ النَّاسِ عَلَى الْمَيِّتِ ، وَنَهَى عَنْ إِصَابَةِ الطَّعَامِ عَلَى الْمَيِّتِ ، وَنَهَى عَنْ إِيْصَالِ الطَّعَامِ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ»

"Telah mengkabarkan kepada kami Abu al-Hasan Ahmad bin Muhammad bin Ali yang dikenal sebagai Ibnu al-Sukkari al-Muqri' sahabat Qira'at Hamzah dan saya pernah membaca Al-Quran kepadanya: Telah mengkabarkan kepada kami Abu Ja'far Muhammad bin Ali bin Thabit al-Tarayfi: Telah mengkabarkan kepada kami Abu Yusuf Muhammad bin Ahmad asy-Syaidlani. Telah mengkabarkan kepada kami Utsman bin Abdurrahman bin Yusuf ar-Raqqi. Telah mengkabarkan kepada kami Abbad bin Kathir al-Misri. Dari Syaiban al-A'raj, dari Al-Hasan bin Abi al-Hasan al-Mishri.

Telah menceritakankan kepada saya: Abu Hurairah, Jabir bin Abdullah, Imran bin Hushain, Abdullah bin Umar bin Khattab, Abdullah bin Amr bin al-Ash dan Maqil bin Yasar al-Muzani. Semuanya menceritakan dari Rasulullah ﷺ:

“Bahwa beliau melarang seorang lelaki duduk di rumahnya karena musibah kemudian diberi ucapan takziyah [belasungkawa], juga melarang wail (ratapan) atas mayit, serta melarang memberi makan kepada orang-orang di rumah mayit, dan melarang menyalurkan makanan kepada keluarga mayit."

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

"عُثْمَانَ لَمْ أَعْرِفْهُ، وَعَبَّادُ هُوَ الْمُتَّهَمُ بِوَضْعِ حَدِيثِ الْمُنْهِيَاتِ هَذَا وَلَا عِبْرَةَ بِهِ، وَإِيصَالِ الطَّعَامِ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ مُتَّفَقٌ عَلَى اسْتِحَبَابِهِ."

"Utsman ini, saya tidak mengenalnya, dan Abbaad adalah yang dituduh sebagai pemalsu haditst-hadits larangan ini, dan dia itu tidak dapat dijadikan rujukan. Sedangkan mengirimkan makanan kepada keluarga mayit adalah kesepakatan umat Islam bahwa itu mustahabb [dianjurkan]."

ATSAR KE ENAM: ATSAR JARIR (RA) BIASA BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT DAN MEMBUAT MAKANAN. BERBEDA DENGAN UMAR (RA) YANG MENGINGKARINYA:

"Riwayat Atasr ini juga datang dari Jarir dan Umar -radhiyallahu 'anhuma-, yaitu: bahwa Jarir biasa memberi makan dan berkumpul saat ada kematian, sementara hanya Umar sendirian yang melarangnya . Riwayat ini semakin menambah kelabilan riwayat yang melarangnya .

Sa'id bin Mansur meriwayatkan dalam kitab Sunannya - namun penulis tidak menemukan sanadnya -:

“أَنَّ جَرِيرًا وَفَدَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ عَلَى مَيِّتِكُمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَهَلْ تَتَجَمَّعُونَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَتَجْعَلُونَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ذَاكَ النَّوْحُ"

"Bahwa Jarir datang kepada Umar bin Khattab (ra) dan Umar bertanya: "Apakah kalian meratapi mayat kalian?" Jarir menjawab, "Tidak." Umar bertanya lagi, "Apakah kalian berkumpul di rumah keluarga mayit dan menyiapkan makanan?" Jarir menjawab: "Ya." Umar berkata, "Itu adalah ratapan."

[Dikutip dari kitab تَسْلِيَّة المَصَائِبِ hal. 112 karya Muhammad Syamsuddin al-Manbaji].

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani dalam artikelnya " مَشْرُوعِيَّةُ الِاجْتِمَاعِ وَالْإِطْعَامِ عَنْ أَمْوَاتِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ" berkata:

"فَدَلَّ هذَا الخبَر على اجْتِمَاعِ القَوْم وصُنَيْعَتِهِم لِلطَّعَام، وَأَنَّ عُمَر وَحْده هُوَ مِنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ، وَلَيْسَ فِي هَذَا الخَبَر أَبَدًا - مَعَ الجَهْلِ بِإِسْنَادِهِ - أَنَّ الصَّحَابَةَ قَدْ تَرَاجَعُوا عَمَّا كَانَ يَفْعَلُونَهُ لِقَوْلِ عُمَر وَحْدهُ، لِأَنَّهُ أَمْرٌ مَسْكُوتٌ عَنْهُ فِي هَذَا الخَبَرِ، مَعَ عَدَمِ صِحَّتِهِ وَنَكَارِتِهِ، لِأَنَّ الوَارِدَ عَنْ عُمَر الفَارُوق أَنَّهُ قَدْ أَوْصَى حَتَّى عِنْدَ مَوْتِهِ بِصَنِيعَةِ الطَّعَامِ عَنْهُ، وَفُعِلَ ذَلِكَ بِهِ بِحَضْرَةِ جَمِيعِ الصَّحَابَةِ بِلَا إِنْكَارٍ كَمَا سَيَأْتِي.

ثُمَّ طَلَبْنَا الْمَنْطُوقَ لِهَذَا الخَبَرِ فَوَجَدْنَا أَنَّ الْأَرْجَحَ فِيهِ إِنْ صَحَّ أَنَّ جَرِيرًا إِنَّمَا أَخْبَرَ عُمَر رَضِيَ اللَّه عَنْهُ بِأَنَّ اجْتِمَاع النِّسَاءِ لِلنِّيَاحَةِ مَعَ صَنِيعَةِ الطَّعَامِ هُوَ النِّيَاحَةِ، لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى النِّسَاءِ إِذَا اجْتَمَعْنَ نِحْنَ وَصِحْن كَمَا هُوَ مَعْرُوفٌ عَنْهُنَّ، فَمَنَّعَهُنَّ عُمَر مِنْ ذَلِكَ سَدًّا لِبَابِ الذَّرَيِعَةِ الْمَعْرُوفِ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ،"

Atsar ini menunjukkan: bahwa orang-orang berkumpul dan menyiapkan makanan, dan bahwa hanya Umar bin Khattab sendiri yang menolak hal tersebut. Namun, dalam atsar ini tidak ada sama sekali indikasi bahwa para Sahabat mengubah amalan mereka berdasarkan perkataan Umar yang sendirian. Karena itu, karena ini adalah perkara yang didiamkan tentangnya dalam atsar ini, ditambah lagi bahwa atsar ini tidak shahih dan munkar ; karena terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Umar al-Faruq berwasiat agar disiapkan makanan untuk orang-orang setelah kematiannya, dan ini dilakukan di hadapan semua Sahabat tanpa penolakan, seperti yang akan dijelaskan.

Kemudian, kami mencari teks yang sesuai dengan atsar ini maka kami menemukan bahwa yang lebih rajih dalam konteks ini, jika shahih bahwa Jarir hanya memberi tahu Umar tentang berkumpulnya para wanita untuk berkabung bersama dengan menyiapkan makanan adalah bentuk ratapan, maka itu karena pada umumnya para wanita ketika berkumpul, mereka akan meratap, menangis dan berteriak-teriak, seperti yang sudah dimaklumi tentang mereka. Maka Umar melarang mereka dari hal tersebut sebagai tindakan pencegahan [سَدُّ الذَّرَيِعَةِ] yang dikenal di kalangan para ulama.

Abu Bakr berkata dalam kitab "al-Mushannaf" pada bab: tentang apa yang mereka katakan tentang memberikan makanan kepada keluarga mayit dan meratap, no. 11349:

Telah menceritakan kepada kami Waki 'dari Malik bin Mighwal dari Thalhah, dia berkata:

قَدِمَ جَرِيرٌ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ قِبَلَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ؟ قَالَ: «لَا». قَالَ: فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عِنْدَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ وَيُطْعَمُ الطَّعَامُ؟ قَالَ: «نَعَمْ»، فَقَالَ: «تِلْكَ النِّيَاحَةُ»

"Jarir datang kepada Umar dan Umar bertanya: 'Apakah kalian melakukan ratapan pada mayit?' Jarir menjawab: 'Tidak.' Lalu Umar bertanya: 'Apakah para wanita berkumpul di rumah kalian pada mayit dan memberikan makanan?' Jarir menjawab: 'Ya.' Umar kemudian berkata: 'Itu adalah ratapan ".

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja sanadnya terputus antara Thalhah bin Mashraf dengan Jariir.

Syeikh Hamuud at-Tuwaijiri dalam ar-Radd 'Alaa al-Kaatib al-Maftuun hal. 81 berkata:

وَفِي هَذَا الْأَثَرِ دَلِيلٌ عَلَى الْمَنْعِ مِنْ إِقَامَةِ الْوَلَائِمِ فِي الْمَآتِمِ لِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدْ عَدَّ ذَلِكَ مِنَ النِّيَاحَةِ.

“Dalam riwayat ini terdapat dalil larangan mengadakan perjamuan di tempat-tempat ada kematian karena Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu telah menganggapnya sebagai bagian dari perbuatan meratap".

BANTAHAN: dari Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani

Dia berkomentar:

وَهَذَا خَبَرٌ مُنْقَطِعٌ بَلْ مُعْضَلٌ وَمَنْكُرٌ، وَلَوْ صَحَّ فَإِنَّمَا هُوَ مَحْمُولٌ عَلَى مَا ذَكَرْنَا، وَأَنَّ اجْتِمَاعَ الرِّجَالِ أَوِ النِّسَاءِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ نِيَاحَةٌ فَلَا بَأْسَ بِهِ كَمَا سَيَأْتِي ذِكْرُ ذَلِكَ بِأَدْلَتِهِ فِي بَابِهِ.

Ini adalah atsar yang terputus sanadnya, bahkan mu'dhal dan munkar. Dan jika benar, maka ini hanya berlaku untuk konteks yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu jika berkumpulnya pria atau wanita tanpa ada ratapan, maka tidak ada masalah dengan itu, seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut dengan dalilnya pada bab nya".

[*** Hadits Muʽdhal adalah hadits yang perawinya hilang dua atau lebih secara berturut-turut].

Imam Aslam dalam kitab "Tarikh" nya (hal. 126) mengatakan: Abd al-Hamid mengabarkan kepada kami, bahwa Yazid bin Harun mengabarkan kepada kami, dari Umar Abu Hafs al-Shayrafi, yang adalah seseorang yang tepercaya. Dia mengatakan: Saya telah mendengar Suyyaar Abu al-Hakam berkata: Umar bin al-Khattab (ra) berkata:

"كَنَّا نُعِدُّ الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ بَعْدَ مَا يُدْفَنُ مِنَ النِّيَاحَةِ"

"Kami biasa menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit setelah mayit itu dikuburkan, termasuk ratapan ."

Dengan atsar diatas Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berdalil dengan mengatakan:

"وَلَمْ يُذْكَر الإِطْعَامُ، وَقَيَّدَ النَّهْيُ بِمَا بَعْدَ الدَّفْنِ، إِلاَّ أَنَّهُ أَكْثَر إِعْضَالًا مِنْ سَابِقِهِ، مَعَ مُخَالِفَتِهِ لِلأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الْكَثِيرَةِ الْمُبِيِّحَةِ لِمُطْلَقِ الإِطْعَامِ وَالِاجْتِمَاعِ، النَّاهِيَةِ عَنِ النِّيَاحَةِ وَالصِّيَاحِ فَقَطْ.

وَبِمَا أَنَّ الْقَوْمَ سَيَسْتَدْلُونَ بِقِصَّةِ جَرِيرٍ وَحَادِثَةِ عُمَرَ مَعَ ضَعْفِهَا وَاضِطْرَابِهَا، فَلْيَعْلَمُوا أَنَّ لَيْسَ فِي هَذَا الْخَبَرِ ذِكْرٌ لِتَرَاجُعِ جَرِيرٍ وَغَيْرِهِ إِلَى قَوْلِ عُمَرَ أَبَدًا، بَلْ كُلُّ مَا فِيهِ هُوَ أَنَّ الإِطْعَامَ كَانَ أَمْرًا مُشْهَرًا بَيْنَ الصَّحَابَةِ فِي زَمَنِ الْفَارُوقِ عُمَرَ، وَأَنَّ عُمَرَ وَحْدَهُ هُوَ مِنْ أَنْكَرَهُ، وَلَيْسَ فِيهِ أَنَّ جَرِيرًا وَغَيْرَهُ قَدْ رَجَعُوا إِلَى قَوْلِهِ أَوْ صَوَّبُوهُ، كَيْفَ وَالْخَبَرُ مُنْقَطِعٌ، ثُمَّ هُوَ مُنْكَرٌ مُخَالِفٌ لِمَا وَرَدَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَسَائِرِ الصَّحَابَةِ مَعَهُ كُلُّهُمْ عَلَى اسْتِحْبَابِ الإِطْعَامِ."

"Dalam hadits diatas tidak disebut " memberi makan" . Dan dia membatasi larangan tersebut untuk setelah pemakaman, walaupun larangan ini lebih kuat daripada yang sebelumnya, meskipun berlawanan dengan banyak hadits sahih yang mengizinkan secara muthlak penyiapan makanan dan berkumpul, yang hanya melarang meratap dan berteriak-teriak.

"Karena orang-orang akan merujuk dalilnya kepada kisah Jariir dan insiden Umar, meski itu lemah dan labil, maka mereka harus tahu bahwa dalam atsar ini tidak ada penyebutan sama sekali tentang Jariir atau yang lainnya bahwa mereka beralih dengan merujuk kepada perkataan Umar. Bahkan semua yang terkandung dalam atsar ini adalah bahwa memberi makanan adalah sesuatu yang umum dilakukan oleh para Sahabat pada masa Khalifah Umar, dan hanya Umar sendirian yang mengingkari praktik ini.

Tidak ada bukti bahwa Jariir atau yang lainnya beralih dan merujuk kepada perkataan atau membenarkan perkataan Umar, terlebih lagi, berita ini sendiri terputus sanadnya dan munkar, juga bertentangan dengan apa yang telah disampaikan oleh Umar dan para Sahabat, yang mana semuanya sepakat pada mustahabnya memberi makanan".

Lalu Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata pula:

وَلَيْسَ فِيهِ مَا يَدْعُي الْمُخَالِفُونَ مِنْ أَنَّ جَرِيرًا وَأَصْحَابَهُ قَدْ رَجَعُوا عَنْ قَوْلِهِمْ، أَوْ قَالُوا لِعُمَرَ: أَصَبْتَ، إِذْ لَا يُوجَدُ ذَلِكَ فِي الْخَبَرِ أَصْلًا، كَمَا أَنَّ الْوَارِدَ عَنْ عُمَرَ الْفَارُوقِ أَنَّهُ قَدْ أَوْصَى حَتَّى عِنْدَ مَوْتِهِ بِصُنْعَةِ الطَّعَامِ عَنْهُ، وَفُعِلَ ذَلِكَ بِهِ بِحَضْرَةِ جَمِيعِ الصَّحَابَةِ بِلَا إِنْكَارٍ كَمَا مَضَى مِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ خَبَرٌ مُنْكَرٌ، ثُمَّ مُنْقَطِعٌ بَلْ هُوَ مُعَضَّلٌ، إِذْ بَيْنَ طَلْحَةَ وَعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَمَدٌ بَعِيدٌ - ثُمَّ هُوَ مُضْطَرِبُ الْمَتْنِ لِمَا بَيْنَاهُ، وَلَيْسَ لَهُ مَرَدٌّ إِلَّا أَنَّهُ مَأْخُوذٌ عَنِ الْكَذَّابِينَ الْمُضْطَرَّبِينَ وَلِذَلِكَ قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: لَا أَصْلَ لَهُ

Tidak ada alasan bagi mereka yang menyelisihi pendapat ini untuk mengklaim bahwa Jarir dan para sahabatnya telah mengubah pendapat mereka atau mereka berkata kepada Umar, "Kamu benar." Karena itu sama sekali tidak terdapat dalam atsar.

Selain itu, ada riwayat dari Umar al-Faruq bahwa dia bahkan memberi wasiat untuk menyediakan makanan setelah kematiannya, dan hal tersebut dilakukan di hadapan seluruh para sahabat tanpa adanya penolakan, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa atsar Jarir yang melarang itu adalah munkar, terputus dan mu'dhal ; karena antara Thalhah dan Umar bin Al-Khattab radhiyallahu 'anhu, terpisah jauh oleh masa yang lama - dan kemudian teksnya labil [mudhtarib] dengan apa yang telah kami jelaskan, dan tidak bisa dibantah karena itu diambil dari pendusta yang labil . Oleh karena itu, Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Ini tidak memiliki landasan (asal yang benar)."

[*** Hadits Muʽdhal adalah hadits yang perawinya hilang dua atau lebih secara berturut-turut].

ATSAR KE TUJUH: ATSAR SA'ID BIN JUBAIR

Abdul Razzaq dalam al-Mushonnaf (3/550 no. 6664) meriwayatkan dari Ma'mar, dari Laits, dari Sa'id bin Jubair, dia berkata:

“ثَلَاثٌ مِنْ عَمَلِ الْجَاهِلِيَّةِ: النِّيَاحَةُ، وَالطَّعَامُ عَلَى الْمَيِّتِ، وَبَيْتُوتَةُ الْمَرْأَةِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ لَيْسَتْ مِنْهُمْ ".

"Ada tiga perbuatan zaman Jahiliyah: peratapan mayat, memberikan makanan saat ada kematian, dan bermalamnya seorang wanita di rumah keluarga mayit, yang mana dia bukan dari mereka."

Abdul Razzaq juga mengatakan:

ذَكَرَهُ الثَّوْرِيُّ، عَنْ هِلَالِ بْنِ خَبَّابٍ، عَنْ أَبِي الْبَخْتَرِيِّ

"Ats-Tsawri meriwayatkannya dari Hilal bin Khobaab, dari Abu al-Bakhtari." [al-Mushonnaf 3/550].

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani dalam artikelnya " مَشْرُوعِيَّةُ الِاجْتِمَاعِ وَالْإِطْعَامِ عَنْ أَمْوَاتِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ" berkata:

لَيْثٌ لَيِّنٌ، وَقَدْ تَابَعَهُ فُضَالَةُ وَهُوَ ضَعِيفٌ، عَنْ عَبْدِ الْكَرِيمِ وَهُوَ مِثْلُهُ، عَنْ ابْنِ جُبَيْرٍ بِهِ.

"Laits lemah, dan diikuti oleh Fudhail yang dia juga lemah, dari Abdul Karim yang juga lemah, dari Ibnu Jubair .... ."

Abdurrazzaq dalam al-Musannaf (3/417 Cet. at-Ta'shiil) dari riwayat Muammar, dari Laits, dari Said bin Jubair, dia berkata:

“ثَلاثٌ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ: النِّيَاحَةُ، وَالطَّعَامُ عَلَى الْمَيِّتِ، وَبَيْتُوتَةُ الْمَرْأَةِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ لَيْسَتْ مِنْهُمْ".

Tiga perkara dari zaman Jahiliyah: Niyah (ratapan keras), memberikan makanan untuk mayit, dan bermalamnya seorang wanita saat berduka di rumah keluarga mayit, padahal dia bukanlah dari mereka.

Izzuddin Aykaal dalam ( أقْوَالُ الصَّحَابَة والتَّابِعِيْن ) berkata: "Sanad ini lemah karena ada Laits, dia adalah putra dari Abu Salim".

Namun diperkuat oleh riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf (2/487 Cet. al-Kamal), telah menceritakan kepada kami Fudhalah bin Hisyam, dari Abdul Karim, dari Said bin Jubair, dia berkata:

“ثَلَاثٌ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ: بَيْتُوتَةُ الْمَرْأَةِ عِنْدَ أَهْلِ الْمُصِيبَةِ لَيْسَتْ مِنْهُمْ، وَالنِّيَاحَةُ، وَنَحْرُ الْجَزُورِ عِنْدَ الْمُصِيبَةِ".

Tiga perkara dari zaman Jahiliyah: bermalamnya seorang wanita saat berduka di rumah keluarga mayit, dan dia bukanlah dari mereka, niyahah, dan menyembelih binatang korban saat berduka.

Izzuddin Aykaal dalam ( أقْوَالُ الصَّحَابَة والتَّابِعِيْن ) berkata:

إسْنَادُهُ ضَعِيفٌ مِنْ أَجْلِ فُضَالَةٍ وَأَظُنُّهُ غَيْرَ مَحْفُوظٍ إنَّمَا الْمَحْفُوظُ هُوَ لَيْثٌ عَنْ سَعِيدٍ وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Sanadnya lemah karena Fudhalah dan saya kira tidak mahfudz [terjaga], yang mahfudz [terjaga] hanyalah Laits dari Said, dan Allah lebih mengetahui."

Dan yang semisalnya Ibnu Abi Syaibah dalam kitab "al-Musannaf" (2/487 Tahqiq Kamal ), dan Abdul Razzaq dalam kitab "al-Musannaf" (3/417 Cet. Ta'shiil ), keduanya meriwayatkan dari jalur Sufyan ats-Tsawri, dari Hilal bin Khabbab, dari Abu al-Bakhtari, yang mengatakan:

الطَّعَامُ عَلَى الْمَيِّتِ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ، [زَادَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: وَبَيْتُوتَةُ الْمَرْأَةِ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ]،وَالنَّوْحُ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ.

 "Memberikan makanan untuk [keluarga] mayit adalah bagian dari kebiasaan jahiliyyah." [Abdul Razzaq menambahkan: "Dan bermalamnya seoarang wanita di keluarga mayit adalah bagian dari kebiasaan jahiliyyah"] dan ratapan itu bagian dari kebiasaan jahiliyyah."

Sanad hadits ini dianggap hasan sahih oleh Izzuddin Aykaal dalam ( أقْوَالُ الصَّحَابَة والتَّابِعِيْن ) .

Dan diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf, (2/487 Tahqiq Kamaal): Telah menceritakan kepada kami Ma'n bin 'Isa, dari Tsabit bin Qais, dia berkata:

أَدْرَكْتُ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ يَمْنَعُ أَهْلَ الْمَيِّتِ الْجَمَاعَاتِ يَقُولُ: تَرْزُونَ، وَتَغْرِمُونَ.

Aku menyaksikan Umar bin Abdul Aziz melarang jemaah-jemaah yang berduka berkumpul, sambil berkata: "Kalian mengadakan perkumpulan dan kalian akan menanggung kerugian ."

Dishahihkan sanadnya oleh Izzuddin Aykaal dalam ( أقْوَالُ الصَّحَابَة والتَّابِعِيْن )

=========

PEMBAHASAN KETIGA: 
BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT DAN DARI PIHAKNYA PULA MENYIAPKAN MAKANAN UNTUK KERABAT, TETANGGA DAN PARA TAMU .

===========

Pembahasan yang ketiga ini berlawanan dengan pembahasan sebelum nya. Jika pembahasan sebelumnya adalah yang menyiapkan makanan adalah orang lain yang bukan keluarga mayit , maka dalam pembahasan yang ketiga ini sebaliknya , yaitu yang menyiapkan makanannya adalah keluarga mayit sendiri. 

Lalu kapan disyariatkannya bagi keluarga mayit sendiri menyiapkan makanan untuk kerabat dan anggota keluarga mereka, termasuk ketika orang-orang atau para wanita berkumpul di rumah keluarga mayit ?. 

Jawabannya adalah : Ketika keluarga mayit tersebut tidak merasa terbebani oleh biaya dan tidak merasa disibukkan oleh persiapan makanan . Umpamanya jika keluarga mayit tersebut orang kaya, memiliki banyak pembantu dan prosesi pemakaman jenazahnya sudah ada yang mengurusinya .

Berbeda dengan keluarga Ja'far bin Abu Thalib sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang telah lalu. Yang mana dalam hadits tersebut diceritakan bahwa IAsma istri Ja'far betul-betul sangat disibukkan dengan berbagai macam pekerjaan, seperti kerja penyamakan 40 kulit hewan, menggiling tepung, mengurus anak-anaknya dan lain-lain . Maka Nabi ﷺ menyuruh kerabatnya menyiapkan makanan untuk keluarga Ja'far (ra). Sebagaimana yang disebutkan diatas dalam hadits Dari Asma binti Umais (ra), di mana ia berkata:

لَمَّا أُصِيبَ جَعْفَرٌ وَأَصْحَابُهُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَقَدْ دَبَغْتُ أَرْبَعِينَ مَنِيئَةً، وَعَجَنْتُ عَجِينِي، وَغَسَّلْتُ بَنِيَّ وَدَهَنْتُهُمْ وَنَظَّفْتُهُمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: " ائْتِينِي بِبَنِي جَعْفَرٍ "، قَالَتْ: فَأَتَيْتُهُ بِهِمْ فَشَمَّهُمْ وَذَرَفَتْ عَيْنَاهُ، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، مَا يُبْكِيكَ؟ أَبَلَغَكَ عَنْ جَعْفَرٍ وَأَصْحَابِهِ شَيْءٌ؟ قَالَ: " نَعَمْ، أُصِيبُوا هَذَا الْيَوْمَ "، قَالَتْ: فَقُمْتُ أَصِيحُ وَاجْتَمَعَ إِلَيَّ النِّسَاءُ، وَخَرَجَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِلَى أَهْلِهِ فَقَالَ: " لَا تُغْفِلُوا آلَ جَعْفَرٍ مِنْ أَنْ تَصْنَعُوا لَهُمْ طَعَامًا فَإِنَّهُمْ قَدْ شُغِلُوا بِأَمْرِ صَاحِبِهِمْ "

Ketika Ja'far dan para sahabatnya (ra) gugur dalam pertempuran, Rasulullah ﷺ datang kepadaku. Aku baru selesai menyamak empat puluh potong kulit hewan, menggiling tepung, memandikan anak-anakku, dan mengoleskan minyak pada tubuh mereka serta membersihkannya.

Rasulullah ﷺ kemudian berkata: "Bawa anak-anak Ja'far kepadaku." Aku pun membawa mereka kepada beliau. Lalu Rasulullah mencium mereka dan air mata pun bercucuran dari mata-Nya.

Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang membuatmu menangis? Apakah kamu mendengar sesuatu tentang Ja'far dan sahabat-sahabatnya?"

Rasulullah ﷺ menjawab: "Ya, mereka telah gugur pada hari ini."

Aku pun berdiri dan berteriak. Wanita-wanita yang lain berkumpul di sekitarku. Rasulullah ﷺ pergi ke keluarganya dan berkata: "Jangan biarkan keluarga Ja'far terlupakan, buatlah makanan untuk mereka, karena mereka sibuk dengan urusan sahabat mereka yang telah gugur."[HR. Ahmad 6/370 dan Thabarani 24/380. Hadits Hasan]

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani dalam artikelnya " مَشْرُوعِيَّةُ الِاجْتِمَاعِ وَالْإِطْعَامِ عَنْ أَمْوَاتِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ" berkata:

“بَلْ كُلُّ مَا فِيهِ أَنَّ مُصِيبَةَ الْمَوْتِ قَدْ تُشْغِلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ، فَأُمِرَ النَّاسُ بِالتَّكَافُلِ مَعَهُمْ، وَيُفْهَمُ مِنْ هَذَا أَنَّهُمْ إِنْ وَجَدُوا الْوَقْتَ أَوِ اسْتَطَاعُوا الْجَمْعَ بَيْنَ الِانْشِغَالِ بِالْمَيِّتِ تَكْفِينًا وَتَهْيِئَةً وَنَحْوِ ذَلِكَ، مَعَ صُنْعَةِ الطَّعَامِ لِأَضْيَافِهِمْ وَأَقْرَبِهِمْ وَخَاصَّتِهِمْ جَازٌ لَهُمْ ذَلِكَ، بَلْ وَاسْتَحَبَّ أَيْضًا، وَإِنْ كَانَ الْإِعْدَادُ مِنْ أَقَارِبِهِمْ أَوْ جِيْرَانِهِمْ أَفْضَلَ، وَقَدْ جَاءَ فِي ذَلِكَ عَدَّةٌ آثَارٌ وَأَخْبَارٌ:

“Intinya bahwa semua musibah kematian itu telah membuat keluarganya menjadi sibuk untuk melakukan itu, maka dari itulah Nabi ﷺ memerintahakan orang-orang untuk saling tolong menolong dan bahu membahu dalam situasi tersebut.

Dari sini dapat dipahami bahwa jika mereka memiliki waktu atau kemampuan untuk melakukan dua hal sekaligus, yaitu mengurus mayit dan menyiapkan makanan untuk tamu dan kerabat mereka, maka itu diperbolehkan bahkan dianjurkan. Idealnya, persiapan makanan oleh kerabat dekat atau tetangga mereka akan lebih baik, dan ada beberapa atsar dan hadits yang menunjukkan hal ini".

Dalil-dalil untuk pembahasan ketiga ini, akan penulis sebutkan sesuai dengan masalah-masalah berikut ini .

---------

MASALAH PERTAMA: KELUARGA MAYIT MENYIAPKAN MAKANAN UNTUK KERABAT, TETANGGA DAN TAMU . NAMUN MEREKA TIDAK MERASA DISIBUKKAN DAN TERBEBANI

----------

DALIL-DALILNYA:

Berikut ini dalil-dalil yang menunjukkan dibolehkannya berkumpul di keluarga mayit dan menyiapkan makanan, selama tidak membuat mereka sibuk dan terbebani:

DALIL PERTAMA:

Hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ المَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا، فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ، ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا، أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ، ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَتْ: كُلْنَ مِنْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: " التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ المَرِيضِ، تَذْهَبُ بِبَعْضِ الحُزْنِ ".

bahwasanya: Bila salah seorang dari keluarganya meninggal, dan kaum wanita pun berkumpul lalu bubar kecuali pihak keluarganya, beliau menyuruh untuk menyediakan periuk berisikan bubur yang dimasak dari gandum lembut.

Kemudian ia membuat campuran daging dan roti dan menuangkan gandum lembut (yang direbus tadi). Setelah itu, Aisyah berkata:

Makanlah darinya, karena aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Talbinah (bubur gandum lembut) bisa menghimpun hati (menenangkan hati) yang sakit, menghilangkan sebagian kesedihan.” ( HR. Bukhori no. 5417 dan Muslim no. 2216).

Dan Al-Imam Al-Bukhari juga meriwayatkan kembali dalam shahihnya dengan no. 5689:

أَنَّهَا كَانَتْ تَأْمُرُ بِالتَّلْبِينِ لِلْمَرِيضِ وَلِلْمَحْزُونِ عَلَى الهَالِكِ، وَكَانَتْ تَقُولُ: إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: إِنَّ التَّلْبِينَةَ تُجِمُّ فُؤَادَ المَرِيضِ، وَتَذْهَبُ بِبَعْضِ الحُزْنِ

“Sesungguhnya saya mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya talbinah itu dapat menenangkan hati orang sakit dan menghilangkan kesedihan.”

Dan dalam lafadz Imam Ahmad, Aisyah berkata;

كَانَتْ إِذَا أُصِيبَ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِهَا فَتَفَرَّقَ نِسَاءُ الْجَمَاعَةِ عَنْهَا وَبَقِيَ نِسَاءُ أَهْلِ خَاصَّتِهَا أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ ثُمَّ أَمَرَتْ بِثَرِيدٍ فَيُثْرَدُ وَصَبَّتْ التَّلْبِينَةَ عَلَى الثَّرِيدِ ثُمَّ قَالَتْ كُلُوا مِنْهَا فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ إِنَّ التَّلْبِينَةَ مَجَمَّةٌ لِفُؤَادِ الْمَرِيضِ تُذْهِبُ بَعْضَ الْحُزْنِ

"Apabila salah seorang dari keluarganya terkena mushibah ( kematian ), maka sekelompok wanita pergi menyebar, sementara para wanita yang khusus mengurusinya tetap tinggal ditempat ".

Lalu (Aisyah ra ) memerintahkan untuk memeras susu dan memasaknya. Kemudian (Aisyah ra) memerintahkan untuk membuat bubur, dan susunya dituangkan di atas bubur tersebut.

Lalu (Aisyah RAH) Berkata;

'Makanlah ia (bubur dan susu tersebut), karena sungguh saya telah mendengar Rasulullah ﷺ. bersabda:

“Sesungguhnya talbinah itu dapat menenangkan hati orang sakit dan menghilangkan sebagian kesedihan.” ( HR. Ahmad no. 23371 ).

Dalam hadits ini: ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, sebagai salah satu keluarga si mayit, Beliau membuatkan makanan untuk keluarga dan untuk sebagian tamu-tamu khususnya.

Talbiinah: adalah kaldu yang terbuat dari tepung (barley) dan dedak, yang dapat ditambahkan madu. Disebut demikian karena menyerupai susu (laban) dalam warna putih dan konsistensinya.

Hadits ini jelas menunjukkan bahwa mereka tidak memandang sesuatu yang salah dalam berkumpul dan menyiapkan hidangan makanan, baik itu keluarga mayit yang berkumpul, maupun orang lain yang berkumpul bersama mereka.

DALIL KE DUA:

Dari 'Ashim bin Kulaib, dari ayahnya dari seorang laki-laki anshar, ia berkata;

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى

Kami pernah keluar bersama Rasulullah ﷺ mengantarkan jenazah, kemudian aku melihat Rasulullah ﷺ berada di atas kubur berwasiat kepada orang yang menggali:

"Perluaslah dari sisi kedua kakinya, perluaslah dari sisi kepalanya."

Kemudian tatkala kembali, beliau disambut utusan seorang wanita yang mengundang Rasulullah ﷺ untuk makan, kemudian beliau datang dan makanan pun dihidangkan.

Lalu beliau meletakkan tangannya pada makan kemudian orang-orang meletakkan tangan mereka pada makanan, lalu mereka makan.

Kemudian orang-orang melihat Rasulullah ﷺ mengunyah makanan di mulutnya, kemudian beliau ﷺ berkata:

"Saya dapatkan daging kambing yang diambil tanpa seizin pemiliknya."

Kemudian wanita tersebut mengirim utusan, ia berkata ;

wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah mengirim utusan ke Baqi' untuk membelikan kambing, lalu aku tidak mendapatinya. Lalu aku mengirim utusan kepada tetanggaku yang telah membeli kambing agar ia mengirimnya kepadaku dan diganti dengan harganya, namun aku tidak mendapatkanya. Lalu aku mengirim utusan kepada isterinya, kemudian wanita tersebut mengirimkan kambing tersebut kepadaku.

Lalu Rasulullah ﷺ berkata: "Berikanlah makanan ini kepada para tawanan perang !"

( HR. Abu Daud no. 2894 . Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Abdi Daud no. 3332 ).

Dalam hadits ini Rasulullah ﷺ bersabda kepada wanita itu: "Berikan makanan ini untuk para tawanan," yaitu, berikanlah masakan daging domba ini untuk para tawanan. Karena saat itu pria pemilik kambing itu tidak ada di tempat sehingga mereka tidak bisa meminta izin darinya untuk memakan daging kambing itu, sementara masakan daging kambing tersebut akan membusuk jika tidak segera di makan . Maka memberikannya untuk para tawanan itu lebih baik daripada disia-siakan.

Dan dalam hadits tersebut: terdapat mukjizat yang nyata bagi Nabi ﷺ . Dan di dalamnya: teguran dan larangan mengambil sesuatu tanpa izin pemiliknya, dan bahwa seoranga istri harus amanah dalam menjaga harta suaminya, dan dia tidak boleh mengambil apa pun darinya tanpa izinnya.

Riwayat tersebut adalah shahih.

FIQIH HADITS:

Ada sebagian para ulama yang berdalil dengan hadits diatas akan SUNNAHNYA berkumpul dan makan makanan yang disiapkan oleh keluarga mayit di rumahnya .

Disebutkan oleh At-Tabrīzī dalam Al-Mishkāt (3/292) hadits ini dengan sanad dan matannya dengan kata-kata:

"فلما رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَتِهِ فَأَجَابَ وَنَحْنُ مَعَهُ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ"، وَقَالَ المَلاُّ فِي مَرْقَاةِ الْمَفَاتِيحِ: "فَلَمَّا رَجَعَ - أَيْ مِنَ الْمَقْبِرَةِ - اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَتِهِ - أَيْ زَوْجَةِ الْمَتُوفَّى -...".

"Ketika dia kembali, dia disambut oleh seorang wanita yang memanggilnya, dan kami bersamanya, lalu dibawakan makanan." Dan Al-Mallā dalam Marqāt al-Mafātīh berkata: "Ketika dia kembali - yaitu dari pemakaman - dia disambut oleh seorang wanita - yaitu istri yang telah meninggal -..."

Ath-Thahthawi dalam Haasyiahnya terhadap Maraaqi al-Falah hal. 167 setelah menyebutkan hadits Ashim bin Kulaib diatas, dia berkata:

"فَهَذَا يَدُلُّ عَلَى إبَاحَةِ صِنَاعَةِ أَهْلِ الْمَيِّتِ الطَّعَامِ وَالدَّعْوَةِ إلَيْهِ بَلْ ذُكِرَ فِي الْبَزَازِيَّةِ أَيْضًا مِنْ كِتَابِ الْاِسْتِحْسَانِ وَإِنْ اتَّخَذَ طَعَامًا لِلْفُقَرَاءِ كَانَ حَسَنًا. اهـ."

“Hal ini menunjukkan bahwa dibolehkan bagi keluarga mayit untuk menyiapkan makanan dan mengundang orang lain untuk bersama-sama makan, bahkan ini disebutkan dalam Al-Bazaziyyah juga, yaitu dalam kitab Al-Istihṣān, bahwa jika seseorang menyediakan makanan untuk orang miskin, itu adalah perbuatan baik".

BANTAHAN:

Jika kita amati dan kita teliti kata-kata dalam hadits tersebut dan kita kumpulkan riwayat-riwayatnya ; maka kita akan menemukan bahwa pendalilan tersebut salah sasaran dan tidak tepat .

Alasannya adalah sbb:

1]. Tidak ada keterangan bahwa yang mengundang Rasulullah ﷺ dan para shahabat makan itu keluarga si mayit.

2]. Undangan makan itu adalah undangan makan biasa yang sering dilakukan oleh para shahabat.

3]. Undangan makan itu dilakukan setelah Rasulullah ﷺ dan para shahabatnya pulang dari kubur.

Undangan makan-makan dalam hadits ini tidak ada kaitannya dengan kematian seseorang ; karena undangan tersebut telah diniatkan oleh wanita tersebut jauh-jauh hari sebelum adanya kematian dan pemakaman, namun baru terlaksana bertepatan dengan waktu setelah pemakaman .

Ini bisa difahami dari matan hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al--Musnad (no 22509) dengan sanadnya:

Pertama: Dari 'Ashim bin Kulaib dari ayahnya bahwa [seseorang dari Anshor] memberi khabar padanya, ia berkata;

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي جِنَازَةٍ فَلَمَّا رَجَعْنَا لَقِيَنَا دَاعِي امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ فُلَانَةَ تَدْعُوكَ وَمَنْ مَعَكَ إِلَى طَعَامٍ فَانْصَرَفَ فَانْصَرَفْنَا مَعَهُ فَجَلَسْنَا مَجَالِسَ الْغِلْمَانِ مِنْ آبَائِهِمْ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ ثُمَّ جِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَدَهُ وَوَضَعَ الْقَوْمُ أَيْدِيَهُمْ فَفَطِنَ لَهُ الْقَوْمُ وَهُوَ يَلُوكُ لُقْمَتَهُ لَا يُجِيزُهَا فَرَفَعُوا أَيْدِيَهُمْ وَغَفَلُوا عَنَّا ثُمَّ ذَكَرُوا فَأَخَذُوا بِأَيْدِينَا فَجَعَلَ الرَّجُلُ يَضْرِبُ اللُّقْمَةَ بِيَدِهِ حَتَّى تَسْقُطَ ثُمَّ أَمْسَكُوا بِأَيْدِينَا يَنْظُرُونَ مَا يَصْنَعُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَلَفَظَهَا فَأَلْقَاهَا فَقَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَقَامَتْ الْمَرْأَةُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ كَانَ فِي نَفْسِي أَنْ أَجْمَعَكَ وَمَنْ مَعَكَ عَلَى طَعَامٍ فَأَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ فَلَمْ أَجِدْ شَاةً تُبَاعُ وَكَانَ عَامِرُ بْنُ أَبِي وَقَّاصٍ ابْتَاعَ شَاةً أَمْسِ مِنْ الْبَقِيعِ فَأَرْسَلْتُ إِلَيْهِ أَنْ ابْتُغِيَ لِي شَاةٌ فِي الْبَقِيعِ فَلَمْ تُوجَدْ فَذُكِرَ لِي أَنَّكَ اشْتَرَيْتَ شَاةً فَأَرْسِلْ بِهَا إِلَيَّ فَلَمْ يَجِدْهُ الرَّسُولُ وَوَجَدَ أَهْلَهُ فَدَفَعُوهَا إِلَى رَسُولِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَطْعِمُوهَا الْأُسَارَى

Kami pergi bersama Rasulullah ﷺ mengikuti jenazah. Saat kembali, kami bertemu seorang utusan wanita Quraisy.

Utusan itu mengatakan; 'Hai Rasulullah ﷺ, si Fulanah mengundangmu dan orang-orang yang bersamamu untuk makan."

Nabi ﷺ pun berangkat dan kami berangkat bersamanya. Lalu kami duduk seperti duduknya anak-anak di depan ayah-ayah mereka. Kemudian makanan dihidangkan, Rasulullah ﷺ meletakkan tangan kemudian orang-orang meletakkan tangan.

Orang-orang memahami saat beliau mengunyah makanan, itu pertanda beliau tidak membolehkannya.

Lalu orang-orang mengangkat tangan dan melalaikan kami. Lalu mereka ingat, dan meraih tangan kami. Kemudian seseorang memukul makanan yang ada ditangannya hingga jatuh, lalu mereka menahan tangan kami, mereka melihat apa yang dilakukan Rasulullah ﷺ.

Beliau membuang dan melemparnya, beliau bersabda ; "Aku menemukan daging kambing yang diambil tanpa izin dari pemiliknya."

Wanita itu berdiri lalu berkata ; 'Wahai Rasulullah! Niatku semula, aku ingin mengumpulkan engkau dan orang-orang yang bersama engkau untuk hidangan makanan, kemudian aku pergi ke Baqi' tapi aku tidak menemukan adanya kambing yang dijual, kebetulan 'Amir bin Abu Waqqash (saudaranya) membeli kambing dari Baqi' kemarin, maka aku mengutus seorang utusan kepadanya ( kepada Amir ) agar ia mencarikan untukku seekor kambing di Baqi' tapi tidak ada.

Maka aku suruh kembali utusanku kepada Amir untuk menyampaikan: “ bukankah kamu telah membeli seekor kambing ? maka kirimkanlah kepadaku ! tapi utusanku tidak menemukannya, namun dia menemukan keluarganya lalu mereka menyerahkan kambing itu kepada utusanku .

Rasulullah ﷺ bersabda dan beliau bersabda: "Berikan makanan ini kepada para tawanan."

Kedua: Dalam lafazh lain yang diriwayatkan oleh Imam At Thahawy dlm Musykilul Aatsaar (no 3006) disebutkan:

فقال: إنَّ هذه الشَّاةُ تُخبِرُني أنَّها أُخِذتْ بغَيْرِ حِلِّها، فقامتِ المرأةُ، فقالت: يا رسولَ اللهِ، لمْ يزَلْ يُعجِبُني أنْ تأكُلَ في بَيْتي، وإني أرسلْتُ إلى النَّقيعِ، فلمْ توجَدْ فيه شاةٌ، وكان أخي اشتَرى شاةً بالأمسِ، فأرسلْتُ بها إلى أهلِهِ بالثَّمنِ، فقال: أطعِموها الأُسارى.


Maka beliau ﷺ berkata: “ Kambing ini memberi tahu saya bahwa ia diambil tanpa kehalalannya “ .

Lalu wanita itu berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah, akan senantiasa membuat ku senang jika engkau senantiasa makan di rumahku. Dan aku telah mengutus seseorang ke Naqie’, ternyata tidak ada kambing di sana, dan kebetulan kemarin saudara laki-laki ku telah membeli seekor kambing, maka aku mengutus seseorang kepada keluarganya untuk membelinya sesuai dengan harganya “.

Maka Beliau ﷺ berkata: “ Berikan makanan ini kepada para tawanan “.

Dari penjelasan wanita ini menunjukkan bahwa undangan makan tersebut sudah diniatkan sebelumnya, namun pelaksanaannya yang bertepatan dan berbarengan dengan selesainya acara pemakaman, jadi terjadinya hanya kebetulan saja .

Dan wanita itu sengaja mengambil moment undangan makan setelah pemakaman ; karena agar lebih mudah mendapati Nabi ﷺ berkumpul dengan para sahabat sehingga tidak harus mengundang mereka satu persatu .

Kemudian, wanita ini mengutus pesuruhnya kesana kemari untuk mencarikan kambing yang akan dimasak dan dihidangkan kepada Nabi ﷺ . Ini menunjukkan bahwa undangan makan-makan tersebut dilaksanakan secara mendadak .

Dengan demikian undangan makan-makan tersebut tidak ada kaitannya dengan pemakaman.

Undangan makan-makan tersebut tidak dilakukan di rumah keluarga mayit . Dalam lafazh lain yang diriwayatkan oleh Abu Daud no. 3332 dan Abu Nu’aim dalam “معرفة الصحابة” (6/3088 . no. 6507) yang sanadnya di shahihkan oleh al-Albaani dalam “الصحيحة” 2/383 dengan sanadnya:

Ketiga: Dari 'Ashim bin Kulaib, dari bapaknya, dari seorang lelaki Anshar, berkata:

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي جَنَازَةِ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ ، فَلَمَّا انْصَرَفْنَا ، لَقِينَا دَاعِيَ امْرَأَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ ، فَقَالَ: إِنَّ فُلَانَةَ تَدْعُوكَ ، وَمَنْ مَعَكَ عَلَى طَعَامٍ ، فَانْصَرَفَ ، فَجَلَسَ وَجَلَسَنَا مَعَهُ ، وَجِيءَ بِالطَّعَامِ ، فَوَضَعَ النَّبِيُّ ﷺ يَدَهُ ، وَوَضَعَ الْقَوْمُ أَيْدِيهِمْ ......

“Kami pernah keluar bersama Rasulullah ﷺ mengantarkan JENAZAH SEORANG PRIA DARI ANSHAR, lalu setelah kami selesai pemakaman dan beranjak pulang, tiba-tiba kami ditemui oleh seorang utusan WANITA QURAISY, yg mengatakan: “ sesungguhnya si Fulanah mengundang engkau dan orang-orang yang bersama engkau untuk makan-makan .

Maka beliau ﷺ pun berangkat, lalu duduk dan kami pun duduk bersamanya, dan makanan pun dihidangkan, maka Nabi ﷺ meletakkan tangannya pada makanan itu, dan orang-orang pun ikut meletakkan tangannya padanya .... ( di sebutkan pula dengan sanadnya oleh Ibnu al-Atsiir dalam “أسد الغابة” no. 2092 .

Lalu Ibnu al-Atsiir berkata: “ Di keluarkan oleh Ibnu Mandah dan Abu Nu’aim” ).

Dalam riwayat ini di jelaskan bahwa yg meninggal adalah orang Anshar sedangkan yg mengundang adalah wanita Quraisy, maka tidak ada hubungan diantara keduanya .

DALIL KETIGA: Riwayat Sa'id bin Mansur dalam Sunannya, namun penulis tidak menemukan sanadnya, yaitu:

“أَنَّ جَرِيرًا وَفَدَ عَلَى عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ عَلَى مَيِّتِكُمْ؟ قَالَ: لَا، قَالَ: فَهَلْ تَتَجَمَّعُونَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ وَتَجْعَلُونَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: ذَاكَ النَّوْحُ"

"Bahwa Jarir datang kepada Umar bin Khattab (ra) dan Umar bertanya: "Apakah kalian meratapi mayat kalian?" Jarir menjawab, "Tidak." Umar bertanya lagi, "Apakah kalian berkumpul di rumah keluarga mayit dan menyiapkan makanan?" Jarir menjawab: "Ya." Umar berkata, "Itu adalah ratapan." [Dikutip dari kitab تَسْلِيَّة المَصَائِبِ hal. 112 karya Muhammad Syamsuddin al-Manbaji].

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani dalam artikelnya " مَشْرُوعِيَّةُ الِاجْتِمَاعِ وَالْإِطْعَامِ عَنْ أَمْوَاتِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ" berkata:

"فَدَلَّ هذَا الخبَر على اجْتِمَاعِ القَوْم وصُنَيْعَتِهِم لِلطَّعَام، وَأَنَّ عُمَر وَحْده هُوَ مِنْ أَنْكَرَ ذَلِكَ، وَلَيْسَ فِي هَذَا الخَبَر أَبَدًا - مَعَ الجَهْلِ بِإِسْنَادِهِ - أَنَّ الصَّحَابَةَ قَدْ تَرَاجَعُوا عَمَّا كَانَ يَفْعَلُونَهُ لِقَوْلِ عُمَر وَحْدهُ، لِأَنَّهُ أَمْرٌ مَسْكُوتٌ عَنْهُ فِي هَذَا الخَبَرِ، مَعَ عَدَمِ صِحَّتِهِ وَنَكَارِتِهِ، لِأَنَّ الوَارِدَ عَنْ عُمَر الفَارُوق أَنَّهُ قَدْ أَوْصَى حَتَّى عِنْدَ مَوْتِهِ بِصَنِيعَةِ الطَّعَامِ عَنْهُ، وَفُعِلَ ذَلِكَ بِهِ بِحَضْرَةِ جَمِيعِ الصَّحَابَةِ بِلَا إِنْكَارٍ كَمَا سَيَأْتِي.

ثُمَّ طَلَبْنَا الْمَنْطُوقَ لِهَذَا الخَبَرِ فَوَجَدْنَا أَنَّ الْأَرْجَحَ فِيهِ إِنْ صَحَّ أَنَّ جَرِيرًا إِنَّمَا أَخْبَرَ عُمَر رَضِيَ اللَّه عَنْهُ بِأَنَّ اجْتِمَاع النِّسَاءِ لِلنِّيَاحَةِ مَعَ صَنِيعَةِ الطَّعَامِ هُوَ النِّيَاحَةِ، لِأَنَّ الْغَالِبَ عَلَى النِّسَاءِ إِذَا اجْتَمَعْنَ نِحْنَ وَصِحْن كَمَا هُوَ مَعْرُوفٌ عَنْهُنَّ، فَمَنَّعَهُنَّ عُمَر مِنْ ذَلِكَ سَدًّا لِبَابِ الذَّرَيِعَةِ الْمَعْرُوفِ عِنْدَ الْعُلَمَاءِ،"

Atsar ini menunjukkan: bahwa orang-orang berkumpul dan menyiapkan makanan, dan bahwa hanya Umar bin Khattab sendiri yang menolak hal tersebut. Namun, dalam atsar ini tidak ada sama sekali indikasi bahwa para Sahabat mengubah amalan mereka berdasarkan perkataan Umar yang sendirian. Karena itu, karena ini adalah perkara yang didiamkan tentangnya dalam atsar ini, ditambah lagi bahwa atsar ini tidak shahih dan munkar ; karena terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Umar al-Faruq berwasiat agar disiapkan makanan untuk orang-orang setelah kematiannya, dan ini dilakukan di hadapan semua Sahabat tanpa penolakan, seperti yang akan dijelaskan.

Kemudian, kami mencari teks yang sesuai dengan atsar ini maka kami menemukan bahwa yang lebih rajih dalam konteks ini, jika shahih bahwa Jarir hanya memberi tahu Umar tentang berkumpulnya para wanita untuk berkabung bersama dengan menyiapkan makanan adalah bentuk ratapan, maka itu karena pada umumnya para wanita ketika berkumpul, mereka akan meratap, menangis dan berteriak-teriak, seperti yang sudah dimaklumi tentang mereka. Maka Umar melarang mereka dari hal tersebut sebagai tindakan pencegahan [سَدُّ الذَّرَيِعَةِ] yang dikenal di kalangan para ulama.

Abu Bakr berkata dalam kitab "al-Mushannaf" pada bab: tentang apa yang mereka katakan tentang memberikan makanan kepada keluarga mayit dan meratap, no. 11349:

Telah menceritakan kepada kami Waki 'dari Malik bin Mighwal dari Thalhah, dia berkata:

قَدِمَ جَرِيرٌ عَلَى عُمَرَ فَقَالَ: هَلْ يُنَاحُ قِبَلَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ؟ قَالَ: «لَا». قَالَ: فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عِنْدَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ وَيُطْعَمُ الطَّعَامُ؟ قَالَ: «نَعَمْ»، فَقَالَ: «تِلْكَ النِّيَاحَةُ»

"Jarir datang kepada Umar dan Umar bertanya: 'Apakah kalian melakukan ratapan pada mayit?' Jarir menjawab: 'Tidak.' Lalu Umar bertanya: 'Apakah para wanita berkumpul di rumah kalian pada mayit dan memberikan makanan?' Jarir menjawab: 'Ya.' Umar kemudian berkata: 'Itu adalah ratapan ".

Syeikh Hamuud at-Tuwaijiri dalam ar-Radd 'Alaa al-Kaatib al-Maftuun hal. 81 berkata:

وَفِي هَذَا الْأَثَرِ دَلِيلٌ عَلَى الْمَنْعِ مِنْ إِقَامَةِ الْوَلَائِمِ فِي الْمَآتِمِ لِأَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَدْ عَدَّ ذَلِكَ مِنَ النِّيَاحَةِ.

“Dalam riwayat ini terdapat dalil larangan mengadakan perjamuan di tempat-tempat ada kematian karena Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu telah menganggapnya sebagai bagian dari perbuatan meratap".

BANTAHAN:

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkomentar:

وَهَذَا خَبَرٌ مُنْقَطِعٌ بَلْ مُعَضَّلٌ وَمَنْكُرٌ، وَلَوْ صَحَّ فَإِنَّمَا هُوَ مَحْمُولٌ عَلَى مَا ذَكَرْنَا، وَأَنَّ اجْتِمَاعَ الرِّجَالِ أَوِ النِّسَاءِ إِذَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ نِيَاحَةٌ فَلَا بَأْسَ بِهِ كَمَا سَيَأْتِي ذِكْرُ ذَلِكَ بِأَدْلَتِهِ فِي بَابِهِ.

Ini adalah atsar yang terputus sanadnya, bahkan mu'dhal dan munkar. Dan jika benar, maka ini hanya berlaku untuk konteks yang telah kami sebutkan sebelumnya, yaitu bahwa jika berkumpulnya pria atau wanita saat tidak ada ratapan, maka tidak ada masalah dengan itu, seperti yang akan dijelaskan lebih lanjut dengan dalilnya pada bab nya".[Selesai]

[*** Hadits Muʽdhal adalah hadits yang perawinya hilang dua atau lebih secara berturut-turut].

Imam Aslam dalam kitab "Tarikh" nya (halaman 126) mengatakan: Abd al-Hamid mengabarkan kepada kami, bahwa Yazid bin Harun mengabarkan kepada kami, dari Umar Abu Hafs al-Shayrafi, yang adalah seseorang yang tepercaya. Dia mengatakan: Saya telah mendengar Suyyaar Abu al-Hakam berkata: Umar bin al-Khattab (ra) berkata:

"كَنَّا نُعِدُّ الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ بَعْدَ مَا يُدْفَنُ مِنَ النِّيَاحَةِ"

"Kami biasa menganggap berkumpul di rumah keluarga mayit setelah mayit itu dikuburkan, termasuk ratapan ."

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

"وَلَمْ يُذْكَر الإِطْعَامُ، وَقَيَّدَ النَّهْيُ بِمَا بَعْدَ الدَّفْنِ، إِلاَّ أَنَّهُ أَكْثَر إِعْضَالًا مِنْ سَابِقِهِ، مَعَ مُخَالِفَتِهِ لِلأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الْكَثِيرَةِ الْمُبِيِّحَةِ لِمُطْلَقِ الإِطْعَامِ وَالِاجْتِمَاعِ، النَّاهِيَةِ عَنِ النِّيَاحَةِ وَالصِّيَاحِ فَقَطْ.

وَبِمَا أَنَّ الْقَوْمَ سَيَسْتَدْلُونَ بِقِصَّةِ جَرِيرٍ وَحَادِثَةِ عُمَرَ مَعَ ضَعْفِهَا وَاضِطْرَابِهَا، فَلْيَعْلَمُوا أَنَّ لَيْسَ فِي هَذَا الْخَبَرِ ذِكْرٌ لِتَرَاجُعِ جَرِيرٍ وَغَيْرِهِ إِلَى قَوْلِ عُمَرَ أَبَدًا، بَلْ كُلُّ مَا فِيهِ هُوَ أَنَّ الإِطْعَامَ كَانَ أَمْرًا مُشْهَرًا بَيْنَ الصَّحَابَةِ فِي زَمَنِ الْفَارُوقِ عُمَرَ، وَأَنَّ عُمَرَ وَحْدَهُ هُوَ مِنْ أَنْكَرَهُ، وَلَيْسَ فِيهِ أَنَّ جَرِيرًا وَغَيْرَهُ قَدْ رَجَعُوا إِلَى قَوْلِهِ أَوْ صَوَّبُوهُ، كَيْفَ وَالْخَبَرُ مُنْقَطِعٌ، ثُمَّ هُوَ مُنْكَرٌ مُخَالِفٌ لِمَا وَرَدَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَسَائِرِ الصَّحَابَةِ مَعَهُ كُلُّهُمْ عَلَى اسْتِحْبَابِ الإِطْعَامِ."

"Dia tidak menyebut memberi makanan . Dan dia membatasi larangan tersebut untuk setelah pemakaman, walaupun larangan ini lebih kuat daripada yang sebelumnya, meskipun berlawanan dengan banyak hadits sahih yang mengizinkan secara muthlak penyiapan makanan dan berkumpul, yang hanya melarang meratap dan berteriak-teriak.

"Karena orang-orang akan merujuk dalilnya kepada kisah Jariir dan insiden Umar, meski itu lemah dan labil, maka mereka harus tahu bahwa dalam atsar ini tidak ada penyebutan sama sekali tentang Jariir atau yang lainnya bahwa mereka beralih dengan merujuk kepada perkataan Umar. Bahkan semua yang terkandung dalam atsar ini adalah bahwa memberi makanan adalah sesuatu yang umum dilakukan oleh para Sahabat pada masa Khalifah Umar, dan hanya Umar sendirian yang mengingkari praktik ini. Tidak ada bukti bahwa Jariir atau yang lainnya beralih dan merujuk kepada perkataan atau membenarkan perkataan Umar, terlebih lagi, berita ini sendiri terputus sanadnya dan munkar, juga bertentangan dengan apa yang telah disampaikan oleh Umar dan para Sahabat, yang mana semuanya sepakat pada mustahabnya memberi makanan".

Ibnu Qudamah dalam kitab Al-Mughni 3/497 berkata:

 فَأَمَّا صُنْعُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِلنَّاسِ، فَمَكْرُوهٌ؛ لِأَنَّ فِيهِ زِيَادَةً عَلَى مُصِيبَتِهِمْ، وَشُغْلًا لَهُمْ إلَى شُغْلِهِمْ، وَتَشَبُّهًا بِصُنْعِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ. ... وَإِنْ دَعَتْ الْحَاجَةُ إلَى ذَلِكَ جَازَ؛ فَإِنَّهُ رُبَّمَا جَاءَهُمْ مَنْ يَحْضُرُ مَيِّتَهُمْ مِنْ الْقُرَى وَالْأَمَاكِنِ الْبَعِيدَةِ، وَيَبِيتُ عِنْدَهُمْ، وَلَا يُمْكِنُهُمْ إلَّا أَنْ يُضَيِّفُوهُ. اهـ.

"Adapun membuatkan makanan untuk orang-orang yang datang saat ada kematian seseorang, maka itu makruh, karena itu merupakan tambahan kesedihan bagi mereka, menambahkan kesibukan diatas kesibukan mereka sendiri, dan menyerupai praktik orang-orang jahiliyyah. ...

Namun, jika adanya hajat dan kebutuhan menuntut untuk itu, maka itu diperbolehkan, karena terkadang ada orang yang datang dari desa-desa dan tempat-tempat terpencil untuk menghadiri pemakaman dan menginap di rumah orang yang berduka, dan satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah menerima mereka sebagai tamu."

DALIL KE EMPAT:

Dalam dalil ini, ada izin untuk mempersiapkan makanan dengan harta yang telah diwasiatkan oleh orang yang meninggal dunia pada zaman Umar bin Khattab, semoga Allah meridhainya, dan atas wasiat dari beliau.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam "Al-Mathalib Al-'Aliyah" (5/328) mengatakan:

"بَابُ صَنْعَةِ الطَّعَامِ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ: قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مُنَيْعٍ نَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ ثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ الْحَسَنِ عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ:

"كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: لَا يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِي بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ، فَلَا أَدْرِي مَا تَأْوِيلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَأَمَرَ صَهِيبًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلَاثًا، وَأَمَرَ أَنْ يَجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَامًا، فَلَمَّا رَجَعُوا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوا وَقَدْ وُضِعَتْ الْمَوَائِدُ، فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِي هُمْ فِيهِ، فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: [يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَأَكَلْنَا وَشَرِبْنَا بَعْدَهُ، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ فَأَكَلْنَا وَشَرِبْنَا، أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ . فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيهِمْ فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأْوِيلَ قَوْلِهِ"

Bab Memasak Makanan untuk Keluarga Mayit. Ahmad bin Minyah, Yazid bin Harun, Hammad bin Salamah, Ali bin Zaid, dan Al-Hasan dari Al-Ahnaf bin Qais mengatakan:

"Aku pernah mendengar Umar radhiyallahu 'anhu berkata: 'Tidak ada seorang pun dari Quraisy yang masuk ke pintu (rumah Umar) kecuali ada orang-orang yang ikut bersamanya.'

Aku tidak tahu: apa penafsiran ucapan beliau ? sampai Umar radhiyallahu 'anhu ditikam. Kemudian beliau memerintahkan Suhaib radhiyallahu 'anhu untuk shalat dengan orang-orang sebanyak tiga kali, dan beliau juga memerintahkan [jika dia meninggal dunia] agar disiapkan makanan untuk orang-orang.

Ketika mereka kembali dari pemakaman, mereka tiba-tiba menemukan meja hidangan telah disiapkan. Namun, orang-orang menahan diri untuk makan karena mereka masih dalam suasana duka.

Kemudian, Al-Abbas bin Abd al-Muttalib radhiyallahu 'anhu datang dan berkata:

'Wahai manusia, Rasulullah ﷺ telah meninggal dunia, dan kami makan-makan dan minum setelah itu. Dan ketika juga Abu Bakar radhiyallahu 'anhu meninggal dunia, dan kami juga makan-makan dan minum. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.'

Lalu beliau mengulurkan tangannya dan orang-orang pun mengulurkan tangan mereka dan mulai makan. Dengan itu, saya mengerti penafsiran ucapan Umar radhiyallahu 'anhu."

Ibnu Sa'ad menyebut mutaba'ah [penguat] terhadap riwayat atsar diatas dan berkata dalam Ath-Ṭhabaqāt (4/29):

"Kami diberitahu oleh Yazīd bin Hārūn, 'Afān bin Muslim, dan Sulaimān bin Ḥarb, mereka berkata: Kami diberitahu oleh Ḥammād bin Salamah dari 'Alī bin Zaid, dari Al-Ḥasan, dari Al-Ahnaf bin Qais, ia berkata:

“إِنَّ قُرَيْشًا رُؤُوسُ النَّاسِ لَا يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْهُمْ فِي بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ فِيهِ [طَائِفَةٌ مِنَ النَّاسِ]، فَلَمْ أَدْرِ مَا تَأْوِيلُ قَوْلِهِ فِي ذَا حَتَّى طَعِنَ، فَلَمَّا احْتَضَرَ أَمَرَ صُهَيْبًا أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَجْعَلُوا لِلنَّاسِ طَعَامًا فَيَطْعَمُوا، قَالَ عَفَّانٌ وَسُلَيْمَانُ: حَتَّى يَسْتَخْلِفُوا إِنْسَانًا. فَلَمَّا رَجَعُوا مِنَ الْجَنَازَةِ جِيْءَ بِالطَّعَامِ وَوُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِي هُمْ فِيهِ، فَقَالَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، قَدْ مَاتَ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا. قَالَ عَفَّانٌ وَسُلَيْمَانُ: وَإِنَّهُ لَا بُدَّ مِنَ الْأَجَلِ فَكُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ. ثُمَّ مَدَّ الْعَبَّاسُ يَدَهُ فَأَكَلَ، وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيهِمْ فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ قَوْلَ عُمَرَ إِنَّهُمْ رُؤُوسُ النَّاسِ.

Saya mendengar 'Umar bin al-Khaṭṭāb berkata: "Sesungguhnya Quraisy, pemimpin-pemimpin manusia, ketika salah satu dari mereka masuk ke pintu [rumah], selalu diikuti oleh sekelompok orang".

Aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan perkataannya ini hingga Umar ditikam .' Ketika 'Umar mendekati ajalnya, maka ia memerintahkan Suhaib untuk menshalati jenazahnya selama tiga hari dan memerintahkannya untuk menyiapkan makanan untuk orang-orang agar mereka mekan-makan.

'Afān dan Sulaimān berkata: 'Hingga mereka menetapkan seseorang sebagai pengantinya.' Setelah mereka kembali dari pemakaman, makanan disiapkan, tetapi orang-orang menahan diri untuk makan karena sedang berduka.

Al-'Abbās bin 'Abdul Muṭhṭhalib kemudian berbicara:

'Wahai manusia! Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah meninggal, dan kita makan-makan dan minum setelah kematian beliau. Kemudian Abu Bakr pun meninggal, dan kita juga makan-makan dan minum setelah kematiannya.

'Afān dan Sulaimān berkata: 'Kematian adalah sesuatu yang pasti, maka makanlah dari hidangan ini.'

Kemudian Al-'Abbās mengulurkan tangannya dan mulai makan, dan orang-orang pun mengikuti dan makan bersamanya.

Setelah saya menjadi tahu arti perkataan 'Umar: " Sesungguhnya mereka adalah pemimpin-pemimpin manusia."

Ini adalah HADITS HASAN, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma':

"رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ وَفِيهِ عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ وَحَدِيثُهُ حَسَنٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيحِ"

"Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan di dalamnya terdapat Ali bin Zaid, dan haditsnya hasan, dan sisa perawinya adalah perawi hadits yang sahih." [al-Majma' 5/196 no. 8995].

Keadaan hadits ini dianggap hasan karena riwayat Hammad dari Ali bin Zaid adalah hasan. Abd al-Haqq Al-Isybili dalam Ahkam al-Wustha berkata tentang Ali bin Zaid:

"مَن ضَعَّفَهُ أَكْثَرُ مِمَّنْ وَثَّقَهُ"

"Orang yang melemahkan dia lebih banyak dari pada yang mentautsiq nya."

Adz-Dzahabi dalam as-Siyar 5/207 berkata:

“قَالَ أَبُو زُرْعَة وَأَبُو حَاتِم: لَيْسَ بِقَوِيٍّ، وَقَالَ الْبُخَارِيُّ وَغَيْرُهُ: لَا يُحْتَجُّ بِهِ، وَقَالَ ابْنُ خَزِيمَة: لَا أُحْتَجُّ بِهِ لِسُوءِ حِفْظِهِ، وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: صَدُوقٌ، وَكَانَ ابْنُ عَيِّينَةَ يَلِينُهُ، وَقَالَ شُعْبَة: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ -وَكَانَ رِفَاعًا- وَقَالَ مَرَّةً: حَدَّثَنَا قَبْلَ أَنْ يَخْتَلِطَ".

“Abu Zur'ah dan Abu Hatim berkata: Dia tidak kuat. Al-Bukhari dan yang lainnya berkata: Dia tidak boleh dijadikan hujjah . Ibnu Khuzaymah berkata: Aku tidak menjadikan dia sebagai hujjah karena ingatannya yang buruk. Al-Tirmidzi berkata: Jujur. Dan Ibnu Uyaynah menganggapnya: Layyin [lemah]. Syu'bah berkata: Ali bin Zaid - yang merupakan Rifa' - menceritakan kepada kami dan berkata sekali.: Dia telah mengkabarkan pada kami sebelum tercampur aduk hafalannya ".

Karena ulama telah berselisih pendapat tentang status Ali bin Zaid, maka penting bagi kita untuk meninggalkan taklid (ikut-ikutan) dan mempertimbangkan alasannya yang membuatnya beranggapan dhaif. Setelah kami melakukannya, kami menemukan bahwa orang yang mendhaifkannya itu karena alasan ikhtilah (campur aduk hafalannya ) . Diantara yang menujukkan ikhtilathnya adalah sbb:

Ibnu Al-Qaththan Al-Fasi berkata dalam kitab "Bayaan Al-Wahm" (3/334):

“وَعلي بْنُ زَيْد تَرَكَه قَوْمٌ وَضَعَّفَه آخَرُون وَوَثَّقَهُ جمَاعَة ومَدَحُوه، وَجُمْلَة أمْرِه أَنَّهُ كَانَ يرفع الْكثير مِمَّا يقفه غَيره، وَاخْتَلَطَ أخيرا، وَلَا يتهم بكذب، وَكَانَ من الْأَشْرَاف الْعلية"، وقال الفَسَوي:" اختَلَط في كبْره"

"Dan Ali bin Zaid, sebagian orang-orang meninggalkannya dan sebagian yang lain mendhaifkannya, sementara kelompok lain mempercayainya dan memujinya. Kesimpulan permasalahannya adalah bahwa dia sering meriwayatkan dengan sanad marfu dari hadits yang riwayatkan oleh orang lain dengan sanad mauquf . Dia juga mengalami ikhtilath di akhir hayatnya, namun tidak dituduh berdusta. Dia adalah salah satu dari kalangan bangﷺan yang tinggi". Sedangkan Al-Fasi mengatakan: "Dia juga menjadi ikhtalath [campur aduk hafalannya] saat dia semakin tua." [Lihat pula "Bayaan Al-Wahm" (2/490)

Salah satu bukti bahwa dia telah ikhtalath adalah apa yang dijelaskan oleh Ubaidullah bin Mu'adz bin Mu'adz dari ayahnya dari Syu'bah dari Ali bin Zaid, sebelum dia ikhtalath. Namun, ketika dia sudah ikhtalath, sebagian orang-orang meninggalkannya karena itu. Maka, kita harus memeriksa apakah ada yang meriwayatkan darinya sebelum dia ikhtalath?"

Kami memeriksa dan menemukan bahwa Syu'bah dan Hammad bin Salamah telah meriwayatkan darinya sebelum dia ikhtalath. Hammad adalah salah satu yang sangat mutqin dalam haditsnya dan dapat membedakan kesalahan orang lain darinya.

Dan kami juga menemukan bahwa Ibnu Abi Hatim juga menyebutkan dari ayahnya dalam kitab al-'Ilal 4/11 no. 1211:

“قَالَ أَبِي: أَضْبَطُ الناسِ لِحَدِيثِ ثابتٍ وعليِّ بْنِ زَيْدٍ حمَّادُ بنُ سَلَمة بيَّن خطَأَ الناس".

Ayahku berkata: "Orang yang paling akurat dalam meriwayatkan hadits adalah Tsabit dan Ali bin Zaid adalah Hammad bin Salamah, dia bisa membedakan kesalahan orang-orang."

Hal yang sama diungkapkan oleh Ahmad . Dan Yahya bin Ma'in berkata:

حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ أَرْوَى عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ.

"Hammad bin Salamah lebih akurat dalam meriwayatkan dari Ali bin Zaid." [Lihat Tahdzib al-Kamaal 20/440].

Berdasarkan inilah orang-orang yang mentautsiqnya [mempercayainya] mengatakan atau menganggapnya sebagai yang jujur, seperti Hammad bin Salamah, Al-Tirmidzi, Al-Ajli, Ya'qub bin Syaibah dan adz-Dzahabi .

Dan Adz-Dzahabi telah menyebutkannya dalam kitab "مَن تَكَلَّمَ فِيهُ وَهُوَ مَوْثُوقٌ" hal. 140 No. 253 dan dia (Al-Dzahabi) berkata:

“صُوَيْلِحُ الْحَدِيثِ، قَالَ أَحْمَدُ وَيَحْيَى: ’ لَيْسَ بِشَيْءٍ’ وَقَوَاهُ غَيْرُهُمَا ".

"Dia adalah sumber dari hadits yang baik." Ahmad dan Yahya berkata: " Dia tidak ada pa-apanya" namun selain mereka berdua menganggapnya kuat ".

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

“فَصَارَ الْحَدِيثُ حَسَنًا، يُقَوِّي ذَلِكَ أَنَّ رِوَايَتَهُ هَذِهِ قَدْ رَوَاهَا عَنْهُ أَجْلُ أَصْحَابِهِ وَهُوَ حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، وَرَوَاهَا عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ عَنِ الْحَسَنِ وَهُوَ أَيْضًا مِنْ أَجْلِّ تَلَامِيذِ الْحَسَنِ، كَمَا قَالَ الْأَصْمَعِيُّ عَنْ حَمَّادِ بْنِ سَلَمَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جَدْعَانَ وَكَانَ أَعْلَمَ النَّاسِ بِالْحَسَنِ"، فَصَارَ الْحَدِيثُ حَسَنًا وَهُوَ صَرِيحٌ فِي اسْتِحَبَابِ صُنْعَةِ الطَّعَامِ عَنْ الْمَيِّتِ وَلَوْ مِنْ طَرَفِ أَهْلِ بَيْتِهِ".

“Oleh karena itu, hadits ini menjadi HASAN. Selain itu, ini diperkuat oleh kenyataan bahwa riwayat ini juga diriwayatkan oleh salah satu sahabat-sahabatnya yang lebih utama, yaitu Hammad bin Salamah, yang mendapatkan riwayat ini dari Ali bin Zaid melalui al-Hasan, yang juga merupakan salah satu murid terbaik Hasan. Seperti yang diungkapkan oleh Ashma'i dari Hammad bin Salamah dari Ali bin Zaid bin Jad'aan, yang mana dia adalah salah satu yang paling tahu tentang Hasan. Oleh karena itu, hadits ini dianggap HASAN dan sangat jelas dalam kemustahaban membuatkan hidangan makanan atas nama mayit, bahkan jika itu datang dari pihak keluarganya sendiri".

AMALAN UMAR BERSUMBER DARI SUNNAH NABI ﷺ:

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

وَأَنَّ هَذَا الْعَمَلُ كَانَ مُنْذُ زَمَنِ النَّبِيِّ ﷺ فَأَبِي بَكْرٍ ثُمَّ فِي زَمَنِ الْفَارُوقِ عُمَرَ، وَقَدْ صَنَعَ أَهْلُهُ بَعْدَ وَفَاتِهِ طَعَامًا لِلنَّاسِ بَعْدَ دَفْنِهِ، وَأَكَلَ مِنْهُ جَمِيعُ الصَّحَابَةِ بِلَا إِنْكَارٍ، وَذَكَرُوا أَنَّهُمْ فَعَلُوا ذَلِكَ أَيْضًا بَعْدَ مَوْتِ النَّبِيِّ عَلَيْهِ السَّلَامُ وَبَعْدَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ، كَمَا قَالَ الصَّحَابِيُّ: "أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَدْ مَاتَ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَإِنَّهُ لَا بُدَّ مِنَ الْأَجَلِ فَكُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ".

وَلِهَذَا الْحَدِيثِ فِي الْإِطْعَامِ عَنِ الْمَيِّتِ مِنْ مَالِهِ، أَوْ مِنْ مَالِ أَهْلِهِ، وَالِاجْتِمَاعِ فِي بَيْتِهِ، شَوَاهِدُ أُخْرَى عَنْ عُمَرَ نَفْسِهِ وَغَيْرِهِ مِنْ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِينَ:

Dan amalan ini telah ada sejak zaman Nabi ﷺ, kemudian pada masa Abu Bakar, dan juga pada masa Umar Al-Faruq. Setelah wafatnya Nabi, keluarganya membuat makanan untuk orang-orang setelah pemakamannya, dan semua sahabat makan dari makanan itu tanpa penolakan. Mereka juga melakukannya setelah kematian Nabi ﷺ, Abu Bakar, dan Umar. Sebagaimana salah seorang sahabat [al-'Abbaas] berkata:

أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَدْ مَاتَ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، قَالَ عَفَّانُ وَسُلَيْمَانُ: وَإِنَّهُ لَا بُدَّ مِنَ الْأَجَلِ، فَكُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ

"Hai orang-orang, sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah wafat, lalu kami makan-makan dan minum setelah pemakamannya. Kemudian Abu Bakar wafat, dan kami makan dan minum setelahnya. Sesungguhnya, kematian adalah suatu yang pasti, maka makanlah dari makanan ini." [Riwayat Ibnu Saad dalam ath-Thabaqaat 4/30 dan Alaauddin al-Mutqi al-Hindi dalam Kanzul Umaal 13/509 no. 37305].

Oleh karena itu, hadits ini menunjukkan tentang memberi makan atas nama mayit dari hartanya atau dari harta keluarganya, dengan berkumpul-kumpul di rumahnya. Hadits ini diperkuat dengan dalil-dalil lain dari Umar sendiri dan sahabat-sahabat lainnya, semoga Allah meridhai mereka semua".

MASALAH KE DUA: DALIL BERKUMPUL DIKELUARGA MAYIT DAN MENYEDIAKAN MAKANAN SELAMA 7 HARI

Dalil yang menunjukkan disyariatkannya berkumpul di rumah keluarga mayit dan menyediakan makanan selama masa berkabung selama tujuh hari:

DALIL PERTAMA:

Muhammad bin Sa'ad berkata: Telah mengatakan kepada kami Muhammad bin 'Umar, dari Abu Bakr bin 'Abdullah bin Abi Sabrah, dari 'Abdullah bin 'Ikrimah, ia berkata:

“عَجَبًا لِقَوْلِ النَّاسِ إِنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ نَهَى عَنِ النَّوْحِ لَقَدْ بَكَى عَلَى خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ بِالْمَدِينَةِ وَمَعَهُ نِسَاءُ بَنِي الْمُغِيرَةِ سَبْعًا يَشْقِقْنَ الْجُيُوبَ وَيَضْرِبْنَ الْوُجُوهَ وَأَطْعَمُوا الطَّعَامَ تِلْكَ الْأَيَّامَ حَتَّى مَضَتْ مَا يُنْهَاهُنَّ عُمَرُ ".

"Sungguh aneh terhadap perkatakan orang-orang bahwa Umar bin Khattab melarang ratapan [berkabung]. Padahal sesungguhnya dia [Umar] pernah menangis atas kewafatan Khalid bin Walid di Madinah bersama-sama dengan wanita-wanita dari Bani Mughirah, tujuh hari lamanya, mereka merobek-robek kantong pakaian dan memukul-mukul wajah mereka, dan mereka menyediakan makanan selama tujuh hari sampai selesai, dan Umar tidak melarang mereka."

[Diriwayatkan oleh Ibnu Asaakir dalam Tarikh Damsykus 16/277 dengan sanadnya melalui jalur Muhammad bin Saad dalam ath-Tahabaqqat 7/397-398]. Dan disebutkan pula oleh adz-Dzahabi dalam as-Siyaar 1/383 dan Ibnu al-'Adiim dalam Bughyatuth Thalib 7/3169-3170.

Dalam sanadnya, Ibnu Abi Sabrah dipertanyakan dan ada tuduhan terhadapnya, namun Abu Dawud dan yang lainnya mengatakan tentangnya:

"مُفْتِي المَدِينَةِ وَعَالِمِهَا"

"Mufti Kota Madinah dan seorang ulama di sana." [Lihat Ath-Thabaqat al-Kubro 5/476 (Cet. Darul Kutub al-Ilmiyah ), Taarikh Baghdad 16/536, Tarikh Damaskus 66/23 dan al-Ansaab 7/60].

Adz-Dhobbi juga mengatakan tentangnya dalam Akhbar al-Qudhaat 1/201:

"هُوَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسِّيرَةِ وَأَيَّامِ النَّاسِ، وَاسِعِ الْعِلْمِ كَثِيرِ الْحَدِيثِ، حَدَّثَ عَنْهُ النَّاسُ، فِي حَدِيثِهِ ضَعْفٌ"

"Dia adalah seorang yang berilmu tentang sejarah dan kehidupan manusia, berpengetahuan luas tentang hadits, banyak orang meriwayatkan darinya, meskipun haditsnya lemah."

Ini berarti bahwa dia tidak dengan sengaja berbohong, maka haditsnya dapat diterima sebagai syahid [saksi], dan saksi-saksi lainnya juga ada:

Adapun dalil pemerkuat tentang berkumpulnya para wanita pada Jenazah Abu Sulaiman Khalid bin Al-Walid radhiyallahu 'anhu. Maka adalah sbb:

Imam al-Bukhari sendiri dalam kitab Sahihnya menuliskan sebuah bab yang berjudul:

بَاب: مَا يُكْرَهُ مِنْ النِّيَاحَةِ عَلَى الْمَيِّتِ

- BAB tentang apa yang dimakruhkan dalam ratapan untuk orang yang meninggal –

Lalu menuliskan atsar dari ‘Umar ibn al-Khaththab terkait kewafatan Khalid ibn al-Walid yang saat itu ditangisi oleh kerabat perempuannya. Seseorang mengusulkan kepada ‘Umar agar melarang kerabat perempuannya menangisi kewafatan Khalid. Tetapi ‘Umar menolaknya .

Imam Bukhori berkata:

وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «دَعْهُنَّ يَبْكِينَ عَلَى أَبِي سُلَيْمَانَ مَا لَمْ يَكُنْ نَقْعٌ أَوْ لَقْلَقَةٌ» وَالنَّقْعُ: التُّرَابُ عَلَى الرَّأْسِ، وَاللَّقْلَقَةُ: الصَّوْتُ"

Umar (ra) berkata: " Biarkan mereka menangisi Abu Sulaiman (Khalid) selama tidak ada yang menaburkan tanah ke kepala mereka (sebagiamana dalam tradisi Jahiliyyah - pen) atau menangis dengan berteriak-teriak ".

Makna an-Naqa' adalah menaburkan debu ke kepala . Dan makna "laqlaqah" adalah suara keras. [Shahih Bukhori 2/80 . Cet. as-Sulthaniyah].

Ini menunjukkan bahwa wanita-wanita dari Bani al-Mughirah berkumpul untuk menangis atas kematian Abu Sulaiman Khalid bin Al-Walid radhiyallahu 'anhu. Ketika seseorang mengatakan kepada Umar radhiyallahu 'anhu untuk mengirim seseorang untuk menghentikan mereka, namun Umar menolaknya:

Adapun sanad atsar ini yang muttashil, maka telah diriwayatkan melalui jalur al-A'masy dari Abu Wa'il Syaqiiq bin Salamah:

“لَمَّا مَاتَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ اجْتَمَعَنْ نِسْوَةُ بَنِي الْمُغِيرَةِ يَبْكِينَ عَلَيْهِ ، فَقِيلَ لِعُمَرَ: أَرْسِلْ إلَيْهِنَّ فَانْهَهُنَّ ، لاَ يَبْلُغُك عَنْهُنَّ شَيْءٌ تَكْرَهُهُ .فَقَالَ عُمَرُ: " وَمَا عَلَيْهِنَّ أَنْ يُهْرِقْنَ مِنْ دُمُوعِهِنَّ عَلَى أَبِي سُلَيْمَانَ ، مَا لَمْ يَكُنْ نَقْعٌ ، أَوْ لَقْلَقَةٌ ".

Ketika Khalid bin Walid meninggal, wanita-wanita dari Bani Al-Mughirah berkumpul di rumah Khalid dan menangisinya. Kemudian dikatakan kepada Umar: Utuslah seseorang pada mereka untuk melarang mereka. Jangan sampai ada yang sampai dari mereka sesuatu yang engkau membencinya.

Maka Umar berkata: "Mereka tidak dilarang mengeluarkan air mata atas Abu Sulaiman, selama itu bukan jeritan atau keributan." Akan ada beberapa jalur sanad (rantai perawi) untuk riwayat ini.

[Ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Shaybah dalam kitab "Al-Musannaf" (3/290), Abdul Razzaq As-San'ani (3/558) dan Ibnu Asaakir dalam Taarikh Damskus 16/278 dengan sanad yang shahih (Islamqa Fatwa no. 215016)].

DALIL ATAU SYAHID PENGUAT ATSAR DIATAS:

PENGUAT KE 1:

Adapun dalil pemerkuat ke 1 terhadap kemustahaban memberi makan atas nama mayit orang Muslim selama tujuh hari, maka adalah sbb:

Abu Nu’aim rahimahullah ( Wafat 430 H ) dalam kitab “حلية الأولياء” 4/11 meriwayatkan dengan SANAD:

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ مَالِكٍ، ثنا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ، ثنا أَبِي، ثنا هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ، ثنا الأَشْجَعِيُّ، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: قَالَ طَاوُسٌ:

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Maalik (w. 368 H):

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (w. 290 H):

Telah menceritakan kepada kami ayahku ( Imam Ahmad bin Hanbal w. 241 ):

Telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim ( w. 205 H):

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Ubaidirrahmaan Al-Asyja’iy ( w. 182 H).

Dari Sufyaan Ats-Tsauriy (w. 161), ia berkata: Telah berkata Thaawus al-Yamani (w. 106 H):

“إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ "

“Sesungguhnya orang mati diuji di kuburnya selama tujuh hari. Maka mereka senantiasa memustahabkan ( mensunnahkan ) agar memberi makanan atas nama orang-orang mati selama pada hari-hari tersebut.” [“حلية الأولياء” 4/11].

Sebagaimana dikutip pula oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam المطالب العالية (5/330 no. 834) juga oleh As-Suyuthi dalam “الحاوي للفتاوي” (2/216) dari Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “الزهد”.

Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkannya dalam bab “صنعة الطعام لأهل الميت” (5/328). Jadi jelas maksudnya: membuatkan makanan untuk keluarga mayit, bukan dari mereka.

Imam as-Suyuthy rahimahullah berkata:

رِجَالُ الْإِسْنَادِ رِجَالُ الصَّحِيحِ، وَطَاوُسُ مِنْ كِبَارِ التَّابِعِينَ، قَالَ أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ: هُوَ أَوَّلُ الطَّبَقَةِ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ، وَرَوَى أَبُو نُعَيْمٍ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ خَمْسِينَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ. وَسُفْيَانُ هُوَ الثَّوْرِيُّ، وَقَدْ أَدْرَكَ طَاوُسَ، فَإِنَّ وَفَاةَ طَاوُسَ سَنَةَ بَضْعِ عَشَرَةَ وَمِائَةٍ فِي أَحَدِ الْأَقْوَالِ، وَمَوْلِدَ سُفْيَانَ سَنَةَ سَبْعٍ وَتِسْعِينَ، إِلَّا أَنَّ أَكْثَرَ رِوَايَتِهِ عَنْهُ بِوَاسِطَةٍ."

“Para perawi dalam sanad ini adalah shahih, Thawus termasuk tokoh tabiin.

Abu Nu’aim berkata dalam kitab Al-Hilyah, ‘Dia termasuk thobaqot / tingkatan pertama dari penduduk Yaman “.

Abu Nu’aim meriwayatkan darinya bahwa dia berkata: ‘Aku menemui limapuluh orang shahabat Rasulullah ﷺ.”

Sedang Sufyan adalah Ats-Tsaury, dia bertemu dengan Thawus, karena Thawus wafat pada seratus sebelasan menurut salah satu pendapat, sedang Sufyan lahir pada tahun 97, akan tetapi riwayat beliau darinya kebanyakan melalui perantara. (“الحاوي للفتاوي” 2/216)

Dan As-Suyuti mengatakan dalam kitab Ad-Diibaj (2/490):

“إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ وَلَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ ".

"Isnad (rantai sanad) hadits ini sahih, dan memiliki hukum marfu' (kepada Nabi ﷺ )."

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

وَهَذَا أثرٌ صَحِيحٌ كَمَا قَالَ ابْنُ حَجَرٍ وَالسُّيُوطِيُّ وَذَكَرَ أَنَّ لَهُ حُكْمَ الرَّفْعِ، وَإِنَّمَا يُحَدِّثُ طَاوُسٌ وَهُوَ التَّابِعِيُّ الْكَبِيرُ عَمَنْ كَانَ قَبْلَهُ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ ﷺ، وَهُمْ أَفْضَلُ الْقُرُونِ، بِنَصِّ النَّبِيِّ الْكَرِيمِ، وَحَاشَاهُمْ مِنَ الِابْتِدَاعِ وَأَلَّف، كَلَا !!!. وَمَنْ رَمَى أَفْعَالَهُم بِالْبِدْعَةِ فَالْبِدْعَةُ بِهِ أَلْصَقُ، وَهُوَ بِهَا أَوْلَى مِنْ خَيْرِ الْقُرُونِ.

“Ini adalah hadits yang sahih, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar [al-Haitami] dan As-Suyuthi, dan disebutkan bahwa hadits ini memiliki tingkat kekuatan hadits marfu' (berkaitan dengan Nabi ﷺ) dan tidaklah diceritkan oleh Thawus - sementara dia seorang Tabi'i besar, kecuali dari generasi sebelumnya, yaitu dari para Sahabat Nabi ﷺ, yang merupakan generasi terbaik yang menerima ajaran langsung dari Nabi ﷺ. Tidak lah mungkin mereka ini mengada-adakan amalan bid'ah, dan mengarang-ngarangnya, tidak !! . Barang siapa menuduh amalan-amalan mereka adal bid'ah ; maka bid'ah tersebut lebih pantas melekat pada dirinya . Dan dia lebih pantas dengannya dari generasi abad-abad terbaik ".

BANTAHAN DAN KRITIKAN:

Yang benar atsar ini dhaif dan sanad nya terputus:

DR. Baasim ‘Inayah Pentahqiq Juz ini dari kitab “المطالب العالية” (5/330/no. 834):

الإِسْنَادُ رِجَالُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٍ إِلَّا أَنَّهُ مُنْقَطِعٌ بَيْنَ سُفْيَانَ وَطَاوُوسَ، فَهُوَ ضَعِيفٌ.

“Sanadnya, para perawi semuanya dapat dipercaya / tsiqoot, akan tetapi sanadnya terputus antara Sufyan dan Thaawus, maka hadits ini lemah “..

[Pentahqiqkan kitab ini telah diselesaikan dalam beberapa desertasi ilmiah yang dipresentasikan kepada Universitas Imam Muhammad bin Saud].

Disamping sanadnya terputus, juga mursal, dan ini tidak digunakan sebagai argumen oleh Jumhur .

Memang benar semua perawainya tsiqoot, seperti Al-Asyja’i adalah Ubaidullah bin Ubaidurrahman, dikenal tsiqah dan terpercaya, sebagaimana tercantum dalam “تهذيب التهذيب” (7/35), dan Sufyan Ats-Tsauri, seorang Imam Al-Hafiz yang terkenal .. dst, namun yang diperdebatkan adalah antara Sufyan ats-Tsauri dengan Thaawus, apakah mereka pernah bertemu dan apakah Sufyan pernah menimba ilmu dari Thaawus ?

Memang kita lihat bahwa para perawi riwayat Atsar yang pertama, yaitu atsar dari Thaawus adalah tsiqaat / di percaya semuanya . Namun, meski semua para perawinya tsiqoot tidaklah langsung menjadikan satu riwayat shahih karena ternyata riwayat tersebut terdapat illat yang tersembunyi dan juga kelemahan .

Secara logika apakah bisa meyakinkan bahwa Sufyaan Ats-Tsauriy pernah berjumpa dan berguru kepada Thaawus bin Kaisaan ????

Sufyaan Ats-Tsauriy lahir pada tahun 97 H di Kuufah dan wafat di Bashrah tahun 161 H, sedangkan Thaawus bin Kaisaan, berasal dari Yaman, beliau wafat ketika sedang berhaji di Muzdalifah atau Mina pada tanggal 7 Dzulhijjah, tahun 106 H.

Hingga tahun wafatnya Thaawuus, Sufyaan belum melakukan RIHLAH ke Makkah. Bahkan ia (Sufyaan) belum keluar dari negerinya (Kuufah).

Al-Khathiib al-Baghdaadi berkata:

Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Rizq, ia berkata: Telah mengkhabarkan kepada kami 'Utsmaan bin Ahmad, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Hanbal bin Ishaaq, ia berkata: Telah berkata Abu Nu'aim (Al-Fadhl bin Dukain):

خَرَجَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ مِنَ الْكُوفَةِ سَنَةَ خَمْسٍ وَخَمْسِينَ وَمِائَةٍ وَلَمْ يَرْجِعْ، وَمَاتَ سَنَةَ إِحْدَى وَسِتِّينَ وَمِائَةٍ، وَهُوَ ابْنُ سِتٍّ وَسِتِّينَ فِيمَا أَظُنُّ.

"Sufyaan Ats-Tsauriy keluar dari Kuufah pada tahun 155 H, dan kemudian ia tidak kembali lagi. Ia meninggal tahun 161 H dalam usia 66 tahun sebagaimana yang aku kira" [Lihat “تاريخ بغداد” 10/242 - biografi Sufyaan Ats-Tsauriy].

Sanad riwayat ini shahih, semua perawinya tsiqaat.

Riwayat tsb menunjukkan penafi'an yang jelas adanya kemungkinan pertemuan antara Sufyaan Ats-Tsauriy dengan Thaawuus bin Kaisaan rahimahumullah.

Selain itu, tidak masyhur pernyataan bahwa Thoowus itu termasuk syeikh-syeiknya at-Tsaury.

Memang benar ada sebuah pernyataan dari Imam As-Suyuuthiy yang mengatakan:

وَسُفْيَانُ ـ هُوَ الثَّوْرِيُّ ـ وَقَدْ أَدْرَكَ طَاوُوسًا، فَإِنَّ وَفَاةَ طَاوُوسَ سَنَةَ بَضْعٍ عَشَرَةَ وَمِائَةٍ فِي أَحَدِ الْأَقْوَالِ، وَمَوْلِدُ سُفْيَانَ سَنَةَ سَبْعٍ وَتِسْعِينَ.

“Dan Sufyaan - dia adalah Ats Tsauriy - telah berjumpa dengan Thaawus, jika wafatnya Thaawus antara tahun 113 H sampai dengan tahun 119 H dalam salah satu perkataan, dan lahirnya Sufyaan tahun 97 H “. (S).

Apakah Mungkin ini sebabnya dan alibinya ?

Namun ada pula yang mengatakan bahwa Thaawus wafat tahun 101 H dan ada pula yang mengatakan wafat pada tahun 106 H.

Ibnu Syaudzab menyaksikan jenazah Thaawus pada tahun 100 H di Makkah.

'Amru bin 'Aliy dan yang lainnya mengatakan pada tahun 106 H.

Al Haitsam bin 'Adiy mengatakan antara tahun 113 sampai dengan 119 H.

Sementara Ibnu Hajar, Ibnu Hibbaan dan yang lainnya memilih pendapat yang mengatakan tahun 106 H.

Kalau kita coba mentarjih pendapat yang paling kuat, yakni Thaawus bin Kaisaan wafat pada tahun 106 H yang pada saat itu Sufyaan Ats Tsauriy berumur sekitar 9 tahun.

Apakah dengan umur segitu sudah dapat dikatakan memasuki usia mumayyiz ?

Memang tidak ditemukan seorangpun dari para Imam pakar Al-Jarh Wat-Ta'dil yang jelas-jelas menafikan kemungkinan adanya pertemuan antara Sufyaan Ats Tsauriy dengan Thaawus. Namun di dalam kitab “المنتخب من علل الخلال ” No. 224 terdapat kutipan perkataan Al Imaam Ahmad:

أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ: خَرَجَ سُفْيَانُ مِنَ الْكُوفَةِ سَنَةَ أَرْبَعٍ وَخَمْسِينَ."

Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullaah, berkata: aku mendengar ayahku telah berkata: Sufyaan keluar dari Kuufah pada tahun 54 (yakni 154 H) .[“المنتخب” No. 224]

Dan di terangkan juga dalam “العلل ومعرفة الرجال” 3/133 No. 4580.

Berarti dalam riwayat ini Usia Sufyan 10 tahun ketika Thaawus wafat . Namun tetap saja, apakah pada usia 10 tahun bisa dikatakan usia mumayyiz, terutama dalam meriwayatkan hadits dan atsar ?.

Di tambah lagi jarak lokasi antar keduanya, Sufyan ats-Tsauri di Kuufah, sementara Thaawus di Yaman?

Dalam kitab “العلل ومعرفة الرجال” no. 4579 disebutkan oleh 'Abdurrahmaan bin Mahdiy bahwa Sufyaan (Ats-Tsauriy) melakukan ibadah haji pada tahun 151 H, - berarti saat itu dia berusia 6 tahun - . Kemudian dia melakukan ibadah haji pada tahun-tahun setelahnya.

FIQIH ATSAR:

Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan dalam al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra 2/30 ketika dia ditanya tentang berikut ini:

مَا قِيلَ إنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ أَيْ يُسْأَلُونَ كَمَا أَطْبَقَ عَلَيْهِ الْعُلَمَاءُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ هَلْ لَهُ أَصْلٌ؟ فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ:" نَعَمْ لَهُ أَصْلٌ أَصِيل، فَقَدْ أَخْرَجَه جمَاعَةٌ عَنْ طَاوُسِ بِالسَّنَدِ الصَّحِيحِ، وَعُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ بِسَنَدٍ احْتَجَّ بِهِ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ، وَهُوَ أَكْبَرُ مِنْ طَاوُسِ فِي التَّابِعِينَ، بَلْ قِيلَ إنَّهُ صَحَابِيٌّ لِأَنَّهُ وُلِدَ فِي زَمَنِهِ ﷺ وَكَانَ بَعْضُ زَمَنِ عُمَرَ بِمَكَّةَ"؟،

قال: "وَحُكْمُ هَذِهِ الرِّوَايَاتِ الثَّلَاثِ حُكْمُ الْمَرَاسِيلِ الْمَرْفُوعَةِ لِأَنَّ مَا لَا يُقَالُ مِنْ جِهَةِ الرَّأْيِ إذَا جَاءَ عَنْ تَابِعِيٍّ يَكُونُ فِي حُكْمِ الْمُرْسَلِ الْمَرْفُوعِ إلَى النَّبِيِّ ﷺ كَمَا بَيَّنَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيثِ، وَالْمُرْسَلُ حُجَّةٌ عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَة وَكَذَا عِنْدَنَا إذَا اعْتَضَدَ، وَقَدْ اعْتَضَدَ مُرْسَلُ طَاوُسِ بِالْمُرْسَلَيْنِ الْآخَرَيْنِ، بَلْ إذَا قُلْنَا بِثُبُوتِ صُحْبَةِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ كَانَ مُتَّصِلًا لِلنَّبِيِّ ﷺ".

"Dikatakan bahwa orang mati diuji dalam kuburnya selama tujuh hari seperti yang diakui oleh para ulama. Apakah ini memiliki dasar?"

Dia menjawab: "Ya, ini memiliki dasar yang sahih. Hal ini telah diriwayatkan oleh sekelompok ulama dari Thawus (w. 106 H) dengan sanad yang sahih. Dan Ubaid bin Umayr (w. 73 H) meriwayatkannya dengan sanad yang dijadikan hujjah oleh Ibnu Abd al-Barr. Dia adalah seorang yang lebih tua daripada Thawus dalam peringkat tabi'in, bahkan dikatakan bahwa dia adalah sahabat Rasulullah ﷺ karena dia lahir pada masa hidup beliau di Makkah."

Dia melanjutkan: "Hukum dari tiga riwayat ini adalah hukum mursal marfu' (kepada Nabi ﷺ) karena apa yang tidak dapat dinyatakan berdasarkan pendapat, jika datang dari seorang tabi'in, akan dianggap seolah-olah datang dari Nabi ﷺ seperti yang dijelaskan oleh para imam ahli hadits.

Hadits Mursal adalah hujjah dalam pandangan tiga imam besar (Ibnu Hanbal, Malik, dan Asy-Syafi'i), dan demikian juga menurut pandangan kami (yaitu, ahlul hadits) jika ada yang memperkuat ." [Sls]

Lalu al-Haitami berkata:

وَبِقَوْلِهِ الْآتِي: " عَنْ الصَّحَابَةِ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ إلَخْ لِمَا يَأْتِي أَنَّ حُكْمَهُ حُكْمُ الْمَرْفُوعِ عَلَى الْخِلَافِ فِيهِ، وَفِي بَعْضِ تِلْكَ الرِّوَايَاتِ زِيَادَةُ" إنَّ الْمُنَافِقَ يُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا" وَمِنْ ثَمَّ صَحَّ عَنْ طَاوُسِ أَيْضًا:" أَنَّهُمْ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ الْمَيِّتِ تِلْكَ الْأَيَّامَ"، وَهَذَا مِنْ بَابِ قَوْلِ التَّابِعِيِّ كَانُوا يَفْعَلُونَ، وَفِيهِ قَوْلَانِ لِأَهْلِ الْحَدِيثِ وَالْأُصُولِ: أَحَدُهُمَا أَنَّهُ أَيْضًا مِنْ بَابِ الْمَرْفُوعِ وَأَنَّ مَعْنَاهُ كَانَ النَّاسُ يَفْعَلُونَ ذَلِكَ فِي عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ وَيَعْلَمُ بِهِ وَيُقِرُّ عَلَيْهِ، وَالثَّانِي أَنَّهُ مِنْ بَابِ الْعَزْوِ إلَى الصَّحَابَةِ دُونَ انْتِهَائِهِ إلَى النَّبِيِّ ﷺ، وَعَلَى هَذَا قِيلَ إنَّهُ إخْبَارٌ عَنْ جَمِيعِ الصَّحَابَةِ فَيَكُونُ نَقْلًا لِلْإِجْمَاعِ، وَقِيلَ عَنْ بَعْضِهِمْ وَرَجَّحَهُ النَّوَوِيُّ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ، وَقَالَ الرَّافِعِيُّ: مِثْلُ هَذَا اللَّفْظِ يُرَادُ بِهِ أَنَّهُ كَانَ مَشْهُورًا فِي ذَلِكَ الْعَهْدِ مِنْ غَيْرِ نَكِيرٍ.."،اهـ،

"Dan dengan ucapan berikutnya: 'Dari para sahabat, mereka dulu biasa menganggap mustahab' -dan seterusnya- ; karena hukumnya sebagaimana yang akan datang penjelasannya bahwa hukum mursal hukum marfu' (dari Nabi ﷺ) itu ada perbedaan pendapat di dalamnya.

Dan dalam beberapa riwayat ada tambahan: 'Orang Munafiq diuji selama empat puluh pagi.' Dan disana dinyatakan shahih pula dari Thawus: 'Mereka biasa menganggap mustahab untuk memberikan makanan atas nama orang yang meninggal selama hari-hari tersebut'.

Ini termasuk dalam katagori pendapat seorang Tabi'i yang mengatakan bahwa ini adalah praktik yang dilakukan oleh para sahabat. Dan dalam hal ini terdapat dua pendapat bagi Ahli Hadits dan Ushul:

Pendapat pertama adalah bahwa amalan ini adalah bagian dari katagori Marfu' (dari Nabi ﷺ) . Dan bahwa para sahabat melakukan praktik ini selama masa Nabi Muhammad ﷺ dan Nabi ﷺ mengetahuinya dan menyetujuinya.

Pendapat kedua adalah bahwa amalan ini termasuk dalam katagori penisbatan pada amalan para sahabat, bukan kepada Nabi Muhammad ﷺ. Oleh karena itu, bisa dikatakan: ini adalah informasi dari semua para sahabat, dan dengan demikian, ini adalah kutipan Ijma'. Dan bisa dikatakan pula ini adalah kutipan dari sebagian para sahabat, dan ini yang ditarjih oleh an-Nawawi dalam Syarah Muslim. Imam ar-Rafi'i berkata: 'Kata-kata semacam ini biasanya dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa ini adalah amalan yang masyhur pada masa itu tanpa ada penolakan...'"

PENGUAT KE 2:

Adapun dalil pemerkuat ke 2 terhadap kemustahaban memberi makan atas nama mayit orang Muslim selama tujuh hari, maka adalah sbb:

Imam As-Suyuti dalam kitab "Ad-Diibaj" (2/490) menyebutkan:

"وَذَكَرَ ابْنُ جُرَيْجٍ فِي مُصَنَّفِهِ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ: أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُفْتَنُ سَبْعًا وَالْمُنَافِقُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا وَسَنَدُهُ صَحِيحٌ أَيْضًا".

وَقد رَوَاه اِبْن جُرَيْجٍ فِي مُصَنَّفه عَنْ الْحَارث بْن أَبِي الْحَرث عَنْ عُبَيْد بْن عُمَيْر قَالَ: يُفْتَن رَجُلَانِ مُؤْمِن وَمُنَافِق فَأَمَّا الْمُؤْمِن فَيُفْتَن سَبْعًا وَأَمَّا الْمُنَافِق فَيُفْتَن أَرْبَعِينَ صَبَاحًا".

"Ibnu Juraij juga meriwayatkan dalam Mushannaf-nya dari Ubaid bin Umair:

"Bahwa seorang mukmin diuji selama tujuh hari, sedangkan seorang munafik diuji selama empat puluh pagi". Dan sanad (rantai perawi)nya juga sahih."

Ibnu Juraij meriwayatkan dalam al-Mushannf-nya dari Al-Harits bin Abi Al-Harts, dari Ubaid bin Umair yang berkata: "Dua orang akan diuji, seorang mukmin dan seorang munafik. Mukmin diuji selama tujuh hari, sedangkan munafik diuji selama empat puluh pagi."

Atsar ini juga disebutkan oleh Ibnu Abdul Barr dalam "At-Tamhiid" (22/252) dan oleh perawi lain dengan sanad yang serupa. Ibnu Hajar Al-Haitami seperti yang telah disebutkan sebelumnya mengatakan: "... dengan sanad yang dijadikan hujjah oleh Ibnu Abdil Barr."

Imam As-Suyuti juga mengatakan: "Sanadnya juga sahih." Ubaid bin Umair adalah seorang sahabat yang hidup pada zaman Nabi Muhammad ﷺ, meskipun ada perbedaan pendapat tentang status sahabatnya di kalangan ulama hadits.

PENGUAT KE 3:

Adapun dalil pemerkuat ke 3 terhadap kemustahaban memberi makan atas nama mayit orang Muslim selama tujuh hari, maka adalah sbb:

Ibnu Abdil-Barr menyebutkannya dalam "At-Tamhid" (22/252), dan Abd al-Razzaq dalam "Musannaf" (3/590) no. 6757 dari Ibnu Jarir, ia berkata:

قال عَبْدُ الله بنُ عُمَر: إِنَّمَا يُفْتَنُ رَجُلَانِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ، "أَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا، وَأَمَّا الْمُنَافِقُ فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَلَا يُسْأَلُ عَنْ مُحَمَّدٍ وَلَا يَعْرِفُهُ".

قَالَ ابْنُ جَرِيجٍ: وَأَنَا أَقُولُ: قَدْ قِيلَ فِي ذَلِكَ، فَمَا رَأَيْنَا مِثْلَ إِنْسَانٍ أَغْفَلَ هَالِكَهُ سَبْعًا أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْهُ.

Abdallah bin Umar berkata: "Sesungguhnya hanyalah dua orang yang diuji, seorang mukmin dan seorang munafik. Adapun seorang mukmin, dia diuji selama tujuh hari, sedangkan seorang munafik diuji selama empat puluh pagi. Adapun orang kafir, dia tidak ditanya tentang Muhammad dan tidak mengenalnya."

Ibnu Jarir berkata, "Saya berkata: Ini pernah dijelaskan, namun kami belum pernah melihat semisal orang yang telah dilalaikan kebinasaannya selama tujuh hari, dengan bersedekah untuknya."

Riwayat ini lemah karena munqathi’ / terputus .

Ibnu Juraij tidak pernah bertemu dengan Ibnu ‘Umar (ra).

Ibnu Juraij adalah ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid atau Abu Khaalid Al-Makkiy - terkenal dengan nama Ibnu Juraij; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil, akan tetapi banyak melakukan tadlis dan irsal.

Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 150 H, atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [تقريب التهذيب hal. 624 no. 4221].

Ia tidak pernah berjumpa seorang pun dari kalangan shahabat [جامع التحصيل hal. 229-230 no. 472]

Kemudian ada kesalahan nama pada riwayat Abdurrozzaaq ini, di mana di sini nama Ubaid bin Umair menjadi Abdullah bin Umar. Dan telah disebutkan oleh kebanyakan para ulama (nama) yang benar, diantaranya Ibnu Abdul Bar Al-Maliki dalam ucapannya:

وَكَانَ عُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ فِيمَا ذُكِرَ ابْنُ جَرِيجٍ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي الْحَارِثِ عَنْهُ يَقُولُ: يُفْتَنُ رَجُلَانِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا وَأَمَّا الْمُنَافِقُ فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا."

“Dahulu Ubaid bin Umair sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Juraij dari Harits bin Abi Harits darinya mengatakan, “Dua orang, (dari kalangan) mukmin dan munafik terkena fitnah. Sementara orang mukmin difitnah selama tujuh (hari), dan orang munafik difitnah selama empat puluh (hari).” (At-Tamjid Lima Fil Muwatto’ Min Ma’ani Wal Asanid, 22/252)

Tapi di dalamnya tidak ada (anjuran untuk memberi) makanan sebagai sadaqah atas nama mayat. Anjuran memberi shodaqah untuk mayat hanya bersumber dari perkataan Ibnu Juraij rahimahullah ketika mengomentari atsar beliau, dia mengatakan:

وَأَنَا أَقُولُ: قَدْ قِيلَ فِي ذَلِكَ، فَمَا رَأَيْنَا مِثْلَ إِنْسَانٍ أَغْفَلَ هَالِكَهُ سَبْعًا أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْهُ

“Saya katakan bahwa ada yang mengatakan, 'Kami tidak lihat orang yang lebih lengah dibanding mereka yang kehilangan seseorang selama tujuh hari tanpa memberikan shadaqoh kepadanya.”

Penentuan waktu, masih perlu ditinjau ulang. Karena shadaqoh untuk mayat, mayoritas ulama membolehkannya.

PENGUAT KE 4:

Adapun dalil pemerkuat ke 4 terhadap kemustahaban memberi makan atas nama mayit orang Muslim selama tujuh hari, maka adalah sbb:

Dari Mujahid bin Jabr rahimahullah (wafat tahun104 H ) dia berkata:

“إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ "

“Sesungguhnya orang yang wafat diuji di kuburnya selama tujuh hari. Mereka menganjurkan untuk memberi makan atas nama mayit-mayit selama pada hari-hari itu .”

Ibnu Rajab dalam kitabnya “أهوال القبور” (hal. 16) mengaitkan riwayat ini kepada Mujahid tanpa menyebut sumbernya dan tidak saya temukan sanadnya.

Demikian pula As-Suyuthi rahimallah berkata demikian:

“لم أَقف على سَنَده "

“Tidak saya tidak menemukan sanadnya”. [Lihat: “الديباج شرح صحيح مسلم” 2/491]

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

وَكَذَلِكَ ذَكَرَهُ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ وَغَيْرُهُ، وَذُكِرَ ابْنُ رَجَبٍ أَنَّ هَذَا نُقِلَ عَنِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ.

Hal ini juga disebutkan oleh Ibnu Abd al-Barr dan yang lainnya. Ibnu Rajab juga mengatakan bahwa ini dinukil dari para Sahabat Radhiyallahu 'anhum.

PENGUAT KE 5:

Adapun dalil pemerkuat ke 5 terhadap kemustahaban memberi makan atas nama mayit orang Muslim selama tujuh hari, maka adalah sbb:

Dari Ubaid bin Umair bin Qatadah Al-Laitsy rahimahullah (wafat tahun 73 H) dia berkata,

“يُفْتَنُ رَجُلانِ مُؤْمِنٌ، وَمُنَافِقٌ، فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ: فَيُفْتَنُ سَبْعًا، وَأَمَّا الْمُنَافِقُ: فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا".

“Dua orang akan diuji, mukmin dan munafik, adapun orang mukmin akan diuji selama tujuh hari, sedangkan munafik akan diuji selama empat puluh hari.”

Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata:

رواهُ ابْنُ جَرِيجٍ فِي "المُصْنَفِ" عَنِ الحَارِثِ بْنِ أَبِي الحَارِثِ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ."

“Diriwayakan oleh Ibnu Juraij dalam Al-Mushannaf dari Harits bin Abil Harits, dari Ubaid bin Umair “. [“الحاوي للفتاوي” 2/2160].

Al-Harits bin Abil Harits tidak kami kenal siapakah dia dalam sanad ini ???

Jika yang dimaksud adalah Al-Harits bin Abdurrahman bin Abi Dziyab Ad-Dausy - seperti yang di katakan as-Sayuthi dalam [“الحاوي للفتاوي” (2/216)] - ; Maka dengan demikian dalam hal ini patut dikritisi, karena Abu Hatim berkata tentang dia: ‘Dia tidak kuat’, tapi Ibnu Hibban menganggapnya tsiqah, sedangkan Abu Zur’ah berkata, ‘Tidak ada apa-apa padanya (ليس به بأس).”

Adapun Ubaid bin Umair kebanyakan para ulama hadits menganggap bahwa beliau adalah tabi’in, bukan shahabat, karena tidak ada bukti bahwa dia melihat Rasulullah ﷺ.

[Lihat biografinya dalam “تهذيب التهذيب” (7/71)].

Al-‘Ijly rahimahullah berkata: “Tokoh tabi’in.” (Kitab “الثقات”, 321)

Berbeda dengan Ibnu Abdul-Bar rahimahullah, maka dia berkata:

ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ ﷺ، ذَكَرَهُ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ فِي مَنْ وُلِدَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، وَهُوَ مُعَدُوْدٌ فِي كِبَارِ التَّابِعِينَ".

Al-Bukhori menyebutkan bahwa dia (Ubaid) melihat Nabi ﷺ. Sedangakan Muslim bin Hajjaj menyebutkan bahwa dia terlahir pada masa Rasulullah ﷺ dan dia terhitung sebagai para senior kalangan tabi’in.”

[Lihat: “الاستيعاب” Al-Isti’ab, 3/1018 karya Ibnu Abdil Barr . Dan lihat pula “الإصابة في تمييز الصحابة” 5/47 karya al-Hafidz Ibnu Hajar]

Kesimpulannya: Bahwa atsar ini termasuk marasil (kumpulan hadits mursal ) Ubaid bin Umair ( wafat 73 H ), dan dalam sanadnya ada masalah dan terdapat kritikan.

PENGUAT KE 6:

Al-Imam as-Suyuthi dalam Al-Hawi lil Fatawi 2/198 meriwayatkan tanpa sanad dari Umar – radhiyallaahu 'anhu – bahwa dia berkata:

“اَلصَّدَقَةُ بَعْدَ الدَّفْنَى ثَوَابُهَا اِلَى ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ ، وَالصَّدَقَةُ فِى ثَلاَثَةِ اَيَّامٍ يَبْقَى ثَوَابُهَا اِلَى سَبْعَةِ اَيَّامٍ ، وَالصَّدَقَةُ يَوْمَ السَّابِعِ يَبْقَى ثَوَابُهَا اِلَى خَمْسٍ وَعِشْرِيْنَ يَوْمًا ، وَمِنَ اْلخَمْسِ وَعِشْرِيْنَ اِلَى اَرْبَعِيْنَ يَوْمًا ، وَمِنَ اْلاَرْبَعِيْنَ اِلَى مِائَةٍ ، وَمِنَ اْلمِائَةِ اِلَى سَنَةٍ ، وَمِنَ السَّنَةِ اِلَى اَلْفِ يَوْمٍ ".

“Sedekah (yang pahalanya dihadiahkan untuk orang yang sudah meninggal) sesudah pemakamannya, maka pahalanya (mengalir terus-menerus) sampai hari ketiga.

Dan sedekah pada hari ketiga maka pahalanya sampai hari ketujuh.

Sedekah pada hari ketujuh maka pahalanya mengalir terus-menerus sampai hari kedua puluh lima.

Dan dari hari kedua puluh lima sampai hari keempat puluh.

Dan dari hari keempat puluh sampai hari keseratus.

Dan dari hari keseratus sampai setahun, dan dari setahun sampai hari keseribu”.

Jadi jumlah-jumlah harinya (3, 7, 25, 40, 100, setahun & 1000 hari).

Namun penulis tidak menemukan sanad atsar Umar ini . Berarti atsar ini tidak shahih dan tidak ada asalnya .

PENGUAT KE 7:

Ath-Thabarani dalam al-Mu'jam al-Kabiir 10/234 no. 10573 berkata:

حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الدَّبَرِيُّ، عَنْ عَبْدِ الرَّزَّاقِ، عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ أَبِي عَطَاءٍ قَالَ: «‌شَهِدْتُ مُحَمَّدَ ابْنَ الْحَنَفِيَّةِ حِينَ مَاتَ ابْنُ عَبَّاسٍ بِالطَّائِفِ، فَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعًا، وَأَخَذَهُ مِنْ قِبَلِ الْقِبْلَةِ حِينَ أَدْخَلَهُ الْقَبْرَ، وَضَرَبَ عَلَيْهِ فُسْطَاطًا ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ»

"Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim al-Dabari, dari Abdul Razzaq, dari al-Tsawri, dari Imran bin Abi Atha', dia berkata:

'Aku menyaksikan Muhammad bin al-Hanafiyyah ketika Ibnu Abbas meninggal dunia di Tha'if. Dia (Muhammad bin al-Hanafiyyah) bertakbir (shalat mayit) empat kali, dan dia mengangkatnya dari sisi kiblat ketika memasukkannya ke dalam kubur, dan dia memasang tenda diatasnya selama tiga hari.'"

MASALAH KE TIGA:WASIAT MAYIT BERSEDEKAH MAKANAN ATAS NAMANYA, BERKURBAN & LAINNYA

Disyariatkan bagi seseorang sebelum meninggal berwasiat untuk memberi makan atas nama dirinya, menyembelih hewan, dan bersedekah.

Ada beberapa dalil yang menunjukkan mustahabnya menyembelih hewan ternak dan memberi makan atas nama mayit Muslim jika ia telah mewasiatkannya:

DALIL PERTAMA:

Kejadian ketika Umar diberi makan atas namanya setelah dimakamkan, hal ini disepakati oleh para Sahabat.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam "Al-Mathalib Al-'Aliyah" (5/328) mengatakan:

"بَابُ صَنْعَةِ الطَّعَامِ لِأَهْلِ الْمَيِّتِ: قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مُنَيْعٍ نَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ ثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ عَنْ الْحَسَنِ عَنِ الْأَحْنَفِ بْنِ قَيْسٍ قَالَ:

"كُنْتُ أَسْمَعُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ: لَا يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْ قُرَيْشٍ فِي بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ نَاسٌ، فَلَا أَدْرِي مَا تَأْوِيلُ قَوْلِهِ حَتَّى طُعِنَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَأَمَرَ صَهِيبًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلَاثًا، وَأَمَرَ أَنْ يَجْعَلَ لِلنَّاسِ طَعَامًا، فَلَمَّا رَجَعُوا مِنَ الْجَنَازَةِ جَاؤُوا وَقَدْ وُضِعَتْ الْمَوَائِدُ، فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِي هُمْ فِيهِ، فَجَاءَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: [يَا أَيُّهَا النَّاسُ قَدْ مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَأَكَلْنَا وَشَرِبْنَا بَعْدَهُ، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ رَضِي اللَّهُ عَنْهُ فَأَكَلْنَا وَشَرِبْنَا، أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ . فَمَدَّ يَدَهُ وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيهِمْ فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ تَأْوِيلَ قَوْلِهِ"

Bab Memasak Makanan untuk Keluarga Mayit. Ahmad bin Minyah, Yazid bin Harun, Hammad bin Salamah, Ali bin Zaid, dan Al-Hasan dari Al-Ahnaf bin Qais mengatakan:

"Aku pernah mendengar Umar radhiyallahu 'anhu berkata: 'Tidak ada seorang pun dari Quraisy yang masuk ke pintu (rumah Umar) kecuali ada orang-orang yang ikut bersamanya.'

Aku tidak tahu: apa penafsiran ucapan beliau ? sampai Umar radhiyallahu 'anhu ditikam. Kemudian beliau memerintahkan Suhaib radhiyallahu 'anhu untuk shalat dengan orang-orang sebanyak tiga kali, dan beliau juga memerintahkan [jika dia meninggal dunia] agar disiapkan makanan untuk orang-orang.

Ketika mereka kembali dari pemakaman, mereka tiba-tiba menemukan meja hidangan telah disiapkan. Namun, orang-orang menahan diri untuk makan karena mereka masih dalam suasana duka.

Kemudian, Al-Abbas bin Abd al-Muttalib radhiyallahu 'anhu datang dan berkata:

'Wahai manusia, Rasulullah ﷺ telah meninggal dunia, dan kami makan-makan dan minum setelah itu. Dan ketika juga Abu Bakar radhiyallahu 'anhu meninggal dunia, dan kami juga makan-makan dan minum. Wahai manusia, makanlah dari makanan ini.'

Lalu beliau mengulurkan tangannya dan orang-orang pun mengulurkan tangan mereka dan mulai makan. Dengan itu, saya mengerti penafsiran ucapan Umar radhiyallahu 'anhu." [Di riwayatkan pula oleh al-Bushairi dalam al-Ittihaaf no. 1999].

Al-Haitsami dalam al-Majma' 5/196 no. 8995 berkata:

رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَفِيهِ عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ، وَحَدِيثُهُ حَسَنٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيحِ

"Diriwayatkan oleh At-Tabarani, dan di dalamnya terdapat Ali bin Zaid. Hadits ini dianggap baik (hasan), dan sisa riwayatnya adalah orang-orang yang terpercaya (rijal as-shahih)."

DALIL KEDUA:

Abu Bakr An-Najjar meriwayatkan dalam kitab As-Sunan 3/386 – Bab: apa yang mengikuti mayit setealah matinya - dari hadits Amr bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya:

(أَنه سَأَلَ النَّبِي ﷺ، فَقَالَ: يَا رَسُول الله، إِن الْعَاصِ بن وَائِل كَانَ نذر فِي الْجَاهِلِيَّة أَن ينْحَر مائَة بَدَنَة، وَإِن هِشَام بن الْعَاصِ نحر حِصَّته خمسين بَدَنَة، أفيجزىء عَنهُ؟ فَقَالَ النَّبِي ﷺ: إِن أَبَاك لَو كَانَ أقرّ بِالتَّوْحِيدِ فَصمت عَنهُ أَو تَصَدَّقت عَنهُ أَو أعتقت عَنهُ بلغه ذَلِك)

"Bahwa dia bertanya kepada Nabi ﷺ: "Wahai Rasulullah, pada zaman jahiliyah, Al-'As bin Wa'il telah berjanji untuk menyembelih seratus unta sebagai nazar. Apakah aku boleh membebaskannya untuknya setengahnya?" Nabi ﷺ menjawab, "Jika ayahmu menerima Islam, maka puasalah atasnya, sedekahkan untuknya, atau bebaskan budak atasnya. Semua amal itu akan sampai kepadanya."

[Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 3/58 no. 12078 . Dan di sebutkan pula oleh Al-Aini dalam 'Umdatul Qoori Syarah Shahih Bukhori 3/118 & 119].

Al-Bushairi dalam al-Ittihaaf 1/133 no.119 berkata:

“هَذَا إِسْنَادٌ فِيهِ الْحَجَّاجُ بْنُ أَرْطَاةَ الْكُوفِيُّ، وَهُوَ ضَعِيفٌ مُدَلِّسٌ ".

"Ini adalah sanad yang melibatkan Al-Hajjaj bin Artha'a Al-Kufi, dan dia adalah seorang perawi yang lemah dan dia seorang mudallis."

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

"في إِسْنَادِهِ الْحُجَّاجِ بْنِ أَرْطَاةَ وَهُوَ مُدْلِسٌ، لَكِنَّ قَدْ صَرَّحَ بِالتَّحْدِيثِ عِنْدَ أَحْمَدَ (2/ 181) فَصَارَ الْحَدِيثُ مُقَارِبًا وَلَهُ شَوَاهِدُ أُخْرَىٰ"

“Dalam sanadnya terdapat Al-Hajjaj bin Artha'ah, dia seorang mudallis, tetapi dia telah berterus terang ber tahdits dalam riwayat Imam Ahmad (2/181). Dengan demikian, hadits ini menjadi lebih mendekati kriteria keabsahan. Selain itu, hadits ini juga memiliki syahid-syahid lain yang mendukungnya".

DALIL KE TIGA:

Imam Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (6/21) dan al-Ausath no. 7490 mengatakan: "Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Syu'ayb Al-Asbahani, telah menceritakan kepada kami Abdul Rahman bin Salamah Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Abu Zuhair Abdul Rahman bin Maghraa, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Kuraib dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, dari Sa'ad bin Abi Waqqas, dia berkata:

جِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقُلْتُ: تَوَفِّيَتْ أُمِّي وَلَمْ تُوصِ وَلَمْ تَصَدَّقْ، فَهَلْ تَقْبَلُ إِن تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: نَعَمْ. قُلْتُ: فَهَلْ يَنْفَعُهَا ذَلِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، وَلَوْ بِكُرَاعِ شَاةٍ مُحْتَرِقٍ.

Saya datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, 'Ibu saya telah meninggal dunia tanpa meninggalkan wasiat atau sedekah. Apakah bermanfaat jika saya bersedekah atas namanya?' Rasulullah ﷺ menjawab, 'Ya.' Kemudian saya bertanya lagi, 'Apakah itu akan bermanfaat baginya?' Beliau menjawab, 'Ya, "Meskipun dengan sepotong betis kambing yang telah terbakar".

Ath-Thabarani dalam al-Awsath 7/277 berkata:

“لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ كُرَيْبٍ إِلَّا أَبُو زُهَيْرٍ ".

"Hadits ini tidak diriwayatkan melalui Muhammad bin Kurayb kecuali oleh Abu Zuhair."

Al-Haitsami dalam al-Majma' 3/138 no. 4768 berkata:

“رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ، وَفِيهِ مُحَمَّدُ بْنُ كُرَيْبٍ، وَهُوَ ضَعِيفٌ ".

"Diriwayatkan oleh At-Tabarani dalam al-Awsath, dan di dalamnya terdapat Muhammad bin Kurayb, yang tergolong dalam perawi yang lemah."

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

"في إسْنَادِهِ مُحَمَّدُ بْنُ كُرَيْبٍ وَهُوَ ضَعِيفٌ يُكْتَبُ حَدِيثُهُ فِي الشَّوَاهِدِ وَهِيَ مَوْجُودَةٌ."

Dalam sanad (rantai perawi) riwayat ini terdapat Muhammad bin Kuraib yang lemah, namun haditsnya ditulis dalam kategori hadits-hadits syawahid (pendukung) yang ada."

Ini adalah hadits yang menggambarkan bahwa memberikan sedekah atas nama orang yang telah meninggal, bahkan dalam jumlah yang kecil sekalipun, dapat memberikan manfaat dan pahala bagi orang yang telah meninggal.

DALIL KE EMPAT:

Abu Bakar mengatakan dalam as-Sunan (3/783):

حدَّثَنَا وَكِيع عَنْ حَمَّادِ بْنِ زَيْد عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَعْقُوب عَن أَبِيه قَال: مَاتَ رَجُلٌ مِنَ الْحَيِّ وَأَوْصَى أَنْ يُنْحَرَ عَنْهُ بَدَنَةٌ، فَسَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ عَنِ الْبَقَرَةِ؟ فَقَال: تُجْزِئ"، قَال: مِنْ أَيّ قَوْمٍ أَنْتَ؟ قلت: مِنْ بَنِي رَبَاحٍ، قَالَ: وَأَنَّى لِبَنِي رَبَاحٍ الْبَقَرُ؟ إِنَّمَا الْبَقَرُ لِلأَزْد وَعَبْدِ الْقِيسِ".

Telah bercerita kepada kami Waki' dari Hammad bin Zaid, dari Sulaiman bin Ya'qub, dari ayahnya, yang berkata:

"Ada seorang pria dari penduduk desa mati dan ia mewasiatkan agar seekor sapi disembelih atas namanya. Aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang sapi itu. Dia berkata, 'Itu mencukupinya.'

Dia bertanya: 'Dari suku mana Anda berasal?' Aku menjawab: 'Dari Bani Rabaah.'

Dia bertanya: 'Bagaimana Bani Rabbah memiliki sapi? Sapi itu milik Azd dan Abdul-Qais.'" [Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 3/327 no. 14657].

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

سُلَيْمَانُ بْنُ يَعْقُوبَ ذُكِرَهُ مُسْلِمٌ فِي الْمُنْفَرِدَاتِ مِمَّنْ تَفَرَّدَ عَنْهُ حَمَّادٌ، لَكِنَّ قَدْ رَوَى هَذَا الْخَبَرَ كُلٌّ مِنْ أَيُّوبَ وَحَمَّادٌ وَبَعْضُ أَصْحَابِهِمْ عَنْ سُلَيْمَانَ بِهِ، وَهُوَ وَإِنْ كَانَ مَجْهُولَ الْحَالِ، فَقَدْ احْتَجَّ بِهِ تِلْمِيذُهُ حَمَّادٌ وَهُوَ أَعْرَفُ النَّاسِ بِهِ

Sulaiman bin Ya'qub telah disebutkan oleh Muslim dalam al-munfaridaat (riwayat-riwayat tunggal) dari orang yang Hammad meriwayatkannya secara tunggal . Akan tetapi hadits ini diriwayatkan pula oleh Ayub, Hammad dan sebagian sahabat-sahabat mereka dari Sulaiman sama dengan ini.

Meskipun dia tidak dikenal kondisinya [Majhul haal], namun muridnya Hammad berhujjah dengan, dan dia adalah orang yang paling mengenal Sulaiman".

Al-Fasawi berkata dalam Tarikh-nya (3/7):

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ ثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَعْقُوبَ الرَّيَّاحِيِّ قَالَ: فَلَقِيتُ سُلَيْمَانَ فَحَدَّثَنِي عَنْ أَبِيهِ قَالَ: أَوْصَى إِلَيَّ رَجُلٌ وَأَوْصَى بِبَدَنَةٍ، قَالَ: فَأَتَيْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ رَجُلًا أَوْصَى إِلَيَّ وَأَوْصَى بِبَدَنَةٍ فَهَلْ تُجْزِيءُ عَنِّي بَقَرَةً؟ قَالَ: نَعَمْ...، فَذَكَرَ نَحْوَهُ.

وَقَالَ حَمَّادٌ: كَانَ أَيُّوبُ وَأَصْحَابُنَا يَعْجَبُهُمْ هَذَا الْحَدِيثُ".

Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb: telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub dari Sulaiman bin Ya'qub al-Rayyaahi, dia berkata: "Saya bertemu dengan Sulaiman lalu dia menceritakan kepada saya dari ayahnya. Dia berkata:

'Seseorang memerintahkan kepada saya untuk menyembelih badan hewan kurban dan dia juga memerintahkan (demikian) untuk dirinya sendiri.' Lalu saya datang kepada Ibnu Abbas dan saya berkata kepadanya: 'Seseorang telah berwasiat kepadaku dan berwasiat untuk menyembelih unta yang gemuk. Apakah saya boleh menggantikannya dengan seekor sapi?'

Ibnu Abbas berkata, 'Ya...' dan dia menyebutkan perkataan serupa dengan riwayat diatas .

Hammad berkata: 'Ayyub dan teman-teman kami merasa takjub dengan hadits ini.'

DALIL KE LIMA:

Diriwayatkan dari Imran bahwa dia berwasiat jika dia wafat agar memberi makan atas namanya setelah di makamkan:

Ibnu Zabr al-Rib'i dalam "Washooyaa al-Ulama" (67) mengatakan:

“حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ الصَّايِغِ نَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ نَا حَفْصُ بْنُ النَّضْرِ السُّلَمِيِّ قَالَ حَدَّثَتْنِي أُمُّ رُمْلَةَ بِنْتُ مُحَمَّدِ بْنِ عِمْرَانَ بْنِ حَصِينٍ عَنْ أُمِّهَا مَرْيَمَ بِنْتِ صَيْفِيِّ بْنِ فُرْوَةَ أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حَصِينٍ لَمَّا احْتَضِرَ قَالَ: "إِذَا أَنَا مِتُّ فَشُدُّونِي عَلَى سَرِيرِي بِعِمَامَتِي فَإِذَا رَجَعْتُمْ فَانْحُرُوا وَأَطْعِمُوا ".

"Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ali bin Zaid ash-Sho'igh, dari Sa'id bin Mansur, dari Hafs bin al-Nadher al-Sulami, dia berkata, 'Umm Ramlah binti Muhammad bin Imran bin Hishoin menceritakan kepada saya dari ibunya, yaitu Maryam binti Saifi bin Furuwah:

Bahwa Imran bin Hushain -radhiyallahu 'anhu- saat menderita sakit berpesan: 'Jika saya meninggal, kafanilah saya diatas ranjangku dengan kain sorban saya, dan ketika kalian kembali (dari pemakaman), sembelihlah hewan sembelihan dan berilah makanan'".

Riwayat Sa'id ini memiliki mutaaba'ah [penguat], yaitu sbb:

Ke 1: Dalam "Ath-Thabaqaat" (4/290), Ibnu Sa'ad menyebutkan:

أَخْبَرَنَا مُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ حَفْصِ الْقُرَشِيِّ التَّيْمِيِّ قَالا ثَنَا حَفْصُ بْنُ النَّضْرِ السُّلَمِيُّ حَدَّثَتْنِي أُمِّي عَنْ أُمِّهَا وَهِيَ بِنْتُ عِمْرَانَ بْنِ حَصِينٍ أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حَصِينٍ لَمَّا احْتَضِرَ قَالَ: "إِذَا أَنَا مِتُّ فَشُدُّوا عَلَيَّ سَرِيرِي بِعِمَامَتِي فَإِذَا رَجَعْتُمْ فَانْحُرُوا وَأَطْعِمُوا".

"Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim dan 'Ubaydullah bin Muhammad bin Hafs al-Qurasyi al-Taymi, mereka berdua berkata, 'Telah menceritakan kepada kami Hafs bin al-Nadher al-Sulami, dia berkata, 'Ibuku menceritakan kepada saya dari ibunya, yaitu putri Imran bin Hushain:

"Bahwa Imran bin Hushain saat sakit berpesan, 'Jika saya meninggal, balutkan saya diatas temapat tidurku dengan kain sorban saya, dan ketika kalian kembali, sembelihkanlah hewan sembelihan dan berikan makanan.'"

Ke 2: Riwayat ath-Ṭhabarānī (18/106), dia berkata:

“حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ شُعَيْبٍ ثَنَا خَالِدُ بْنُ خُدَاشٍ ثَنَا حَفْصُ بْنُ النَّصْرِ السُّلَمِيُّ عَنْ أُمِّهِ بِنْتِ مُحَمَّدِ بْنِ عُمْرَانَ عَنْ أُمِّهَا مَرْيَمَ بِنْتِ فُرُوَةَ أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حَصِينٍ فَذُكِرَ .... ".

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ali bin Syu'aib, Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Khadāsy, Telah menceritakan kepada kami Ḥafṣh bin an-Naḍher as-Sulamī, dari ibunya, binti Muhammad bin 'Imrān, dari ibunya, Maryam bintu Furuwah: Bahwa Imran bin Hushain ........ dst.

Ke 3: Dan diriwayatkan pula oleh Ibnu al-A'raabi dalam Mu'jam Ibnu al-A'raabi 3/1003 no. 2145, dia berkata:

نا عَبْدُ الْعَزِيزِ، نا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ الْجَبَّارِ السُّلَمِيُّ قَالَ: سَمِعْتُ حَفْصَ بْنَ النَّضْرِ، عَمَّ أَبِي قَالَ: حَدَّثَتْنِي أُمِّي، رَمْلَةُ بِنْتُ مُحَمَّدِ بْنِ عِمْرَانَ، عَنْ أُمِّهَا، مَرْيَمَ بِنْتِ صَيْفِيٍّ. . .، أَنَّ عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ، لَمَّا حَضَرَتْهُ الْوَفَاةُ أَمَرَ أَهْلَهُ: .....

"Telah mengkabarkan kepada kami Abdul Aziz: Telah mengkabarkan kepada kami Muhammad bin Abdul Jabbar As-Sulami, dia berkata: Saya mendengar dari Hafash bin Nadhr, paman ayahku, dia berkata: Ibuku memberi tahu saya, Ramlah binti Muhammad bin Imran, dari ibunya, Maryam binti Saifiyyin... bahwa ketika kematian mendekati Amran bin Husain, dia memerintahkan keluarganya: .... dst.

Dikomentari oleh al-Haitsami (3/5) dalam bab " فِي الطَّعَامِ يُصْنَعُ":

"رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيرِ وَمَرْيَمُ لَمْ أَجِدْ مَنْ ذَكَرَهَا"

"Hadits ini diriwayatkan oleh al-Ṭabarānī dalam al-Kabīr dan Maryam (bintu Muhammad bin 'Imrān) adalah seorang yang tidak ditemukan orang yang menyebutnya."

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

لَكِنَّهَا مِنْ بَنَاتِ عِمْرَانَ بْنِ حَصِينٍ وَقَدْ حَدَّثَتْ بِمَا جَرَى فِي مَنْزِلِهَا وَفِي بَيْتِ أَهْلِهَا، وَهَذَا مِمَّا قَدْ يُقْوِي رِوَايَتَهَا وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

“Namun, Maryam adalah salah satu dari putri-putri 'Imrān bin Ḥushaīn . Dan dia menceritakan apa yang terjadi di rumahnya dan di rumah keluarganya. Ini adalah hal yang dapat memperkuat riwayatnya. Wallaahu A'lam".

Dan dari biografi at-Ṭābi'ī al-Mughīrah bin 'Abd al-Rahmān bin al-Ḥārits bin Hisyām bin al-Mughīrah al-Makhzūmī, Ibnu Hajar mengatakan dalam at-Tahdzīb 10/266:

وَقَالَ الْبَلاَذُرِيُّ: أَوْصَى الْمُغِيْرَةُ أَنْ يُدْفَنَ بِأَحَدٍ مَعَ الشُّهَدَاءِ وَأَنْ يُطْعِمَ عَلَى قَبْرِهِ بِأَلْفِ دِيْنَارٍ".

"Al-Balādzarī berkata, 'Al-Mughīrah meninggalkan wasiat agar dia dikubur bersama para syuhadā' dan agar memberi makanan sebanyak seribu dinar.'"

MASALAH KE EMPAT: MENUNAIKAN NADZAR SEDEKAH MAKANAN ATAS NAMA MAYIT

Anjuran menunaikan nazar sedekah makanan atas nama mayit. Juga, dianjurkan untuk menyembelih unta gemuk dan hewan ternak atas orang yang telah meninggal jika dia bernadzar untuk melakukannya.

DALIL. Yaitu sbb:

Abu Nu'aim dalam kitab "Ma'rifat ash-Shohabah" 5/2633 no. 6325 meriwayatkan dalam biografi Marwan bin Qais – radhiyallahu 'anhu - .

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ أَحْمَد ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدُوسِ بْنِ كَامِل وَمُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ بْنِ مُكْرَم قَالَا: ثنا سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى الْأُمَوِي حَدَّثَنِي أَبِي ثنا عِمْرَانُ بْنُ يَحْيَى الْأَسَدِي سَمِعْتُ عَمِّيَ مَرْوَانَ بْنَ قَيْسٍ وَقَدْ أَجْزَأَ الرَّعِيَّةَ عَنْ أَهْلِهِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللهِ ﷺ قَالَ: " جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أَبِي تُوُفي وَقَدْ جَعَلَ عَلَيْهِ أَنْ يَمْشِيَ إِلَى مَكَّةَ وَأَنْ يَنْحَرَ بَدَنَةً، وَلَمْ يَتْرُكْ مَالًا، فَهَلْ يَقْضِي عَنْهُ أَنْ نَمْشِيَ عَنْهُ، وَأَنْ نَنْحَرَ عَنْهُ بَدَنَةً مِنْ مَالِي؟ فَقَالَ ﷺ: "نَعَمْ إقْضِ عَنْهُ، وَانْحَرْ عَنْهُ وَامْشِ، أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ عَلَى أَبِيكَ دَيْنٌ لِرَجُلٍ، فَقَضَيْتَ عَنْهُ مِنْ مَالِكَ، أَلَيْسَ يَرْجِعُ الرَّجُلُ رَاضِيًا، فَاللهُ أَحَقُّ أَنْ يرْضَى".

"Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Ahmad, Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abduus bin Kamil dan Muhammad bin Al-Husain bin Mukram, keduanya berkata: Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin Yahya Al-Umawi, dia menceritakan kepada saya ayah saya, telah menceritakan kepada kami Imran bin Yahya Al-Asadi, saya mendengar pamanku, Marwan bin Qais:

Saat itu penggembalaan telah dicukupkan dari keluarganya pada zaman Rasulullah ﷺ. Dia berkata:

'Seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata: 'Wahai Rasulullah, ayahku telah meninggal dunia, dan dia mewajibkan dirinya untuk berjalan ke Makkah dan menyembelih unta. Namun, dia tidak meninggalkan harta. Apakah saya boleh menggantikan kewajiban tersebut untuknya dengan berjalan ke Makkah dan menyembelih hewan qurban dari hartaku sendiri?'

Rasulullah ﷺ menjawab: 'Ya, gantikanlah kewajiban tersebut untuknya, sembelihlah hewan qurban untuknya, dan berjalanlah ke Makkah. Apakah kamu tidak berpikir bahwa jika ayahmu memiliki hutang kepada seseorang, lalu kamu melunasinya, maka orang tersebut akan kembali dengan ridho ? Allah lebih berhak untuk kamu dapatkan ridho-Nya.'"

Ibnu Hajar al-Haitsami dalam al-Majma' 4/192 no. 6981 berkata:

"رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْكَبِيرِ وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ".

"Hadits ini diriwayatkan oleh at-Ṭabarānī dalam al-Kabīr dan para perawi dalam sanadnya adalah orang-orang yang dipercayai (tsiqat)."

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ ... وَفِيهِ عُمْرَانُ بْنُ يَحْيَى: وَثَقَهُ ابْنُ حَبَّانَ وَالْهَيْثَمِيُّ، وَقَدْ رَوَى عَنْهُ كُلٌّ مِنْ يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ وَمُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ وَعِيسَى بْنُ يُونُسَ..

Hadits ini memiliki status hasan (baik)... dan di dalam sanadnya terdapat perawi yang bernama 'Imran bin Yahya, yang dianggap tsiqah (dipercayai) oleh Ibnu Hibban dan al-Haitsami. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Yahya bin Sa'id, Muhammad bin 'Ubayd, dan 'Isa bin Yunus dari 'Imran bin Yahya".

MASALAH KE LIMA: SEDEKAH MAKANAN, AIR MINUM DAN MENYEMBELIH DOMBA ATAS NAMA MAYIT.

Adanya dalil umum anjuran bersedekah atas nama mayit yang baru meninggal dengan memberi makanan atau mengorbankan domba atau memberikan air minum, baik mayit itu telah mewasiatkannya atau tidak, apakah dia bernadzar untuk melakukan itu atau tidak, atau jika dia menyatakan itu dalam bentuk sedekah umum dan lain sebagainya.

Semua ini disunahkan berdasarkan dalil-dalil sebelumnya dan setelahnya, serta berdasarkan apa yang dilakukan oleh para salaf.

DALIL: yaitu sbb:

DALIL PERTAMA:

Abdul Razzaq dalam al-Mushonnaf 9/61 no. 16344 meriwayatkan dari ats-Tsauri dari Salim al-Afthos dari Sa'id bin Jubair yang berkata:

"لَوْ أَنَّ رَجُلاً تَصَدَّقَ عَنْ مَيِّتٍ بِكَرْعٍ تَقْبَلَهُ اللَّهُ مِنْهُ." يُعْنَى بِهِ: كَرْعَ شَاةٍ وَنَحْوِهَا.

"Jika seseorang bersedekah atas nama orang yang telah meninggal dengan satu kiraa' (sepotong betis daging), Allah akan menerimanya darinya."

Yang dimaksud dengan satu kiraa' adalah sepotong betis kambing atau yang serupa. Ini juga telah diriwayatkan dengan sanad yang marfu' sebagaimana disebutkan dalam hadits berikut:

DALIL KEDUA:

Ath-Thabarani dalam al-Kabir (6/21 no. 5138) berkata: Telah bercerita pada kami Muhammad bin Syu'ayb al-Asbahani, Telah bercerita pada kami Abdul Rahman bin Salamah al-Razi, Telah bercerita pada kami Abu Zuhair Abdul Rahman bin Mugirah, Telah bercerita pada kami Muhammad bin Kuraib, dari ayahnya, dari Ibnu Abbas, dari Sa'ad bin 'Ubaadah, yang berkata:

“جِئْتُ إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ، فَقُلْتُ: تُوُفِّيَتْ أُمِّي وَلَمْ تُوصِ، وَلَمْ تَصَدَّقْ، فَهَلْ تُقْبَلُ إِنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا؟ قَالَ: «نَعَمْ» ، قَالَ: فَهَلْ يَنْفَعُهَا ذَلِكَ، قَالَ: «نَعَمْ، وَلَوْ بِكُرَاعِ شَاةٍ مُحْتَرِقٍ»".

"Aku datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, 'Ibuku telah meninggal dunia, dia tidak mewasiatkan apa-apa, dan dia tidak pernah bersedekah. Apakah akan diterima jika aku bersedekah atas namanya?' Beliau menjawab: 'Ya.' Aku bertanya lagi: 'Apakah akan memberi manfaat baginya?' Beliau menjawab, 'Ya, bahkan dengan sepotong betis kambing yang telah hangus'." Sebagaimana yang telah lalu .

Al-Haitsami dalam al-Majma' 3/138 no. 4768 berkata:

‌رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ، وَفِيهِ مُحَمَّدُ بْنُ كُرَيْبٍ، وَهُوَ ضَعِيفٌ

"Diriwayatkan oleh At-Tabarani dalam al-Awsat, dan di dalamnya terdapat Muhammad bin Kurayb, yang tergolong dalam perawi yang lemah."

DALIL KE TIGA:

Dari Sa'd bin 'Ubadah (ra):

"أَنَّ أُمَّهُ مَاتَتْ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَيُّ الصَّدَقَةِ أَفْضَلُ قَالَ سَقْيُ الْمَاءِ فَتِلْكَ سِقَايَةُ سَعْدٍ بِالْمَدِينَةِ".

Bahwa ibunya meninggal kemudian berkata, "Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama?" Beliau menjawab: "Memberi minum air." Itulah pemberian minum Sa'd di Madinah.

[HR. An-Nasa'i no. 3664, Ahmad 5/284 dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya 4/123].

Di shahihkan Ibnu Khuzaimah dan al-Albaani dalam Shahih at-Targhib no. 961], akan tetapi dihasankan al-Albaani dalam Shahih an-Nasaa'i no. 3664.

Dan dari Anas (ra), dia berkata:

«أَنَّ سَعْدًا أَتَى النَّبِيَّ ﷺ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أُمِّي تُوُفِّيَتْ وَلَمْ تُوصِ أَفَيَنْفَعُهَا أَنْ أَتَصَدَّقَ عَلَيْهَا؟ قَالَ: " نَعَمْ، وَعَلَيْكَ بِالْمَاءِ».

'Bahwa Sa'ad datang kepada Nabi ﷺ dan berkata, 'Wahai Rasulullah, ibu saya telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan wasiat. Apakah akan bermanfaat jika saya bersedekah atas namanya?' Nabi ﷺ menjawab, 'Ya, dan kamu harus bersedekah air minum".

Al-Haitsami dalam al-Majma' 3/138 no. 4767 berkata:

“رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ فِي الْأَوْسَطِ، وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ ".

“Hadits ini diriwayatkan oleh At-Tabarani dalam al-Awsat, dan perawinya adalah perawi yang terpercaya".

MASALAH KE ENAM: ANJURAN BERSEDEKAH SEGALA BENTUK SEDEKAH ATAS NAMA MAYIT:

Tentang dalil umum anjuran bersedekah atas nama mayit setelah kematiannya, dengan segala bentuk sedekah, termasuk di dalamnya bersedakah makanan atas namanya."

Diantara hadits-hadits tersebut adalah yang disebutkan oleh Imam Muslim dan Imam al-Bukhari (2760):

“بَابُ: مَا يُسْتَحَبُّ لِمَنْ يُتَوَفَّى فَجْأةً أنْ يَتَصَدَّقُوا عَنْهُ، وَقضَاءِ النُّذُورِ عَن الْمَيْتِ "


"BAB: apa yang dimustahabkan untuk orang yang mati mendadak agar bersedekah atas nama mayit dan menunaikan nadzar-nadzar atas namanya."

Lalu Imam Bukhori menyebutkan: hadits Aisyah radhiyallahu 'anha:

“أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ ﷺ إِنَّ أُمِّي افْتُلِتَتْ نَفْسُهَا وَأُرَاهَا لَوْ تَكَلَّمَتْ تَصَدَّقَتْ أَفَأَتَصَدَّقُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ تَصَدَّقْ عَنْهَا".

Bahwasannya ada seorang pria berkata kepada Nabi ﷺ, "Ibuku telah meninggal secara tiba-tiba dan aku percaya bahwa jika ia dapat berbicara, ia akan bersedekah. Apakah aku boleh bersedekah atas namanya?" Nabi ﷺ menjawab, "Ya, bersedekah atas namanya."

Ibnu Hibban dalam Shahihnya 8/140 no. 3353 menamakan babnya:

ذِكْرُ الْإِبَاحَةِ لِلْمَرْءِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ حَمِيمِهِ وَقَرَابَتِهِ إِذَا مَاتَ

"Penyebutan diperbolehkannya bagi seseorang untuk bersedekah atas nama sahabat dekatnya dan kerabatnya jika dia meninggal."

Bahkan, secara umum, bersedekah atas nama orang yang telah meninggal setelah kematiannya adalah salah satu cara untuk menghapuskan dosa-dosa mereka.

Dalil akan hal ini adalah apa yang disebutkan oleh Imam Muslim dalam sebuah hadits (1630) dalam bab:

"بَابُ وُصُوْلِ ثَوَابِ الصَّدَقَاتِ إِلَى الْمَيِّتِ".

"Bab: sampainya pahala sedekah kepada mayit ".

Hadits tersebut adalah hadits dari Abu Hurairah:

أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ ﷺ إِنَّ أَبِي مَاتَ وَتَرَكَ مَالًا وَلَمْ يُوْصِ فَهَلْ يُكَفَّرُ عَنْهُ إِنْ أَتَصَدَّقَ عَنْهُ؟ قَالَ: "نَعَمْ"."

Bahwa seseorang bertanya kepada Nabi ﷺ: "Ayahku telah wafat dan meninggalkan harta tanpa memberikan wasiat. Apakah jika saya bersedakah atas namanya bisa menghapus dosa-dosanya?" Nabi ﷺ menjawab: "Ya."

Dan terdapat banyak dalil lain yang mendukung hal ini.

MASALAH KETUJUH: BERKUMPULNYA PRIA DAN WANITA DI KELUARGA MAYIT, TANPA ADA RATAPAN

Diperbolehkan berkumpulnya antara pria atau wanita di rumah keluarga mayit, selama tidak ada ratapan.

Banyak dalil yang telah penulis sebutkan diatas yang menunjukkan diperbolehkannya berkumpulnya pria atau wanita di rumah keluarga mayit selama tidak ada ratapan, tidak menyibukkan keluarga mayit menyiapkan makanan untuk para tamu takziyah dan tidak juga yang lainnya yang terlarang seperti ikhtilath dan ghibah.

Karena setiap jenazah memerlukan berkumpulnya orang-orang di rumah keluarganya, agar mereka dapat menghadiri pemakaman, menghibur keluarga yang ditinggalkan, dan mengurus urusan jenazah tersebut.

Dalam hal ini terdapat dalil yang mendukung hal tersebut. Diantaranya adalah sbb:

DALIL PERTAMA:

Dari Asma binti Umais (ra) ia berkata:

لَمَّا أُصِيبَ جَعْفَرٌ وَأَصْحَابُهُ دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَقَدْ دَبَغْتُ أَرْبَعِينَ مَنِيئَةً، وَعَجَنْتُ عَجِينِي، وَغَسَّلْتُ بَنِيَّ وَدَهَنْتُهُمْ وَنَظَّفْتُهُمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: " ائْتِينِي بِبَنِي جَعْفَرٍ "، قَالَتْ: فَأَتَيْتُهُ بِهِمْ فَشَمَّهُمْ وَذَرَفَتْ عَيْنَاهُ، فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللهِ، بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي، مَا يُبْكِيكَ؟ أَبَلَغَكَ عَنْ جَعْفَرٍ وَأَصْحَابِهِ شَيْءٌ؟ قَالَ: " نَعَمْ، أُصِيبُوا هَذَا الْيَوْمَ "، قَالَتْ: فَقُمْتُ أَصِيحُ وَاجْتَمَعَ إِلَيَّ النِّسَاءُ، وَخَرَجَ رَسُولُ اللهِ ﷺ إِلَى أَهْلِهِ فَقَالَ: " لَا تُغْفِلُوا آلَ جَعْفَرٍ مِنْ أَنْ تَصْنَعُوا لَهُمْ طَعَامًا فَإِنَّهُمْ قَدْ شُغِلُوا بِأَمْرِ صَاحِبِهِمْ "

Ketika Ja'far dan para sahabatnya (ra) gugur dalam pertempuran, Rasulullah ﷺ datang kepadaku. Aku baru selesai menyamak empat puluh potong kulit hewan, menggiling tepung, memandikan anak-anakku, dan mengoleskan minyak pada tubuh mereka serta membersihkannya.

Rasulullah ﷺ kemudian berkata: "Bawa anak-anak Ja'far kepadaku." Aku pun membawa mereka kepada beliau. Lalu Rasulullah mencium mereka dan air mata pun bercucuran dari mata-Nya.

Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, demi ayah dan ibuku, apa yang membuatmu menangis? Apakah kamu mendengar sesuatu tentang Ja'far dan sahabat-sahabatnya?"

Rasulullah ﷺ menjawab: "Ya, mereka telah gugur pada hari ini."

Aku pun berdiri dan berteriak. Wanita-wanita yang lain berkumpul di sekitarku. Rasulullah ﷺ pergi ke keluarganya dan berkata: "Jangan biarkan keluarga Ja'far terlupakan, buatlah makanan untuk mereka, karena mereka sibuk dengan urusan sahabat mereka yang telah gugur."

[HR. Ahmad 6/370 dan Thabarani 24/380. Hadits Hasan]

DALIL KEDUA:

Dalil yang menunjukkan disyariatkannya duduk-duduk untuk bertakziyah. Imam Bukhari menyebutkan dalam shahihnya sebuah bab:

“بَاب: مَنْ صَفَّ صَفَّيْنِ أَوْ ثَلاثَةً عَلَى الْجِنَازَة"

"Orang yang menyusun dua atau tiga barisan di belakang jenazah" .

Kemudian Imam Bukhori mengutip dari Jabir bin Abdullah (ra):

"أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ ﷺ صَلَّى عَلَى النَّجَاشِيِّ، فَصَفَّنَا وَرَاءَهُ، فَكُنْتُ فِي الصَّفِّ الثَّانِي أَوِ الثَّالِثِ."

"Bahwa Rasulullah ﷺ menshalati Al-Najashi, maka kami bershaff dibelakangnya dan saya berada di shaff kedua atau ketiga.

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

"ذَكَرَ ابْنُ بَطَالٍ وَابْنُ الْمُلَقِّنِ وَابْنُ حَجَرٍ وَغَيْرُهُمْ فِي شُرُوحِهِمْ لَهُ، عَنِ الطَّبَرِيِّ قَالَ: يَنْبَغِي لِأَهْلِ الْمَيِّتِ إِذَا لَمْ يُخْشَ عَلَيْهِ التَّغْيِيرُ أَنْ يَنْتَظِرُوا اجْتِمَاعَ قَوْمٍ تَقُومُ مِنْهُمْ ثَلَاثُ صُفُوفٍ لِلْخَبَرِ". وَفِي الظَّهِيرِيَّةِ: لاَ بَأْسَ بِهِ لأِهْل الْمَيِّتِ فِي الْبَيْتِ أَوِ الْمَسْجِدِ وَالنَّاسُ يَأْتُونَهُمْ وَيُعَزُّونَهُمْ".

Ibnu Batal, Ibnu al-Mulqin, Ibnu Hajar, dan yang lainnya menyebutkan dalam syarah mereka bahwa ath-Thabari berkata: "Sebaiknya keluarga mayit, jika tidak ada kekhawatiran akan pembusukan jenazahnya, menunggu berkumpulnya orang-orang yang akan membentuk tiga shaff shalat Jenazah, berdasarkan hadits."

Dan dalam adz-Dzahiriyyah: "Tidak ada masalah bagi keluarga mayit untuk menerima para pentakziyah di rumah atau di masjid, hingga orang-orang berdatangan dan menyampaikan takziyahnya kepada mereka".

Sebagian para ulama dari mazhab Hanafi dan Maliki berdalil untuk ini dengan apa yang disebutkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Shahih-nya:

بَابُ مَنْ جَلَسَ عِنْدَ الْمُصِيبَةِ يُعْرَفُ فِيهَا الْحُزْنِ

"Bab Bagi Mereka yang Duduk Bersama Saat Musibah, Terlihat Kesedihan Di dalamnya ."

Lalu dia menyebutkan hadits dari Aisyah radliallahu 'anha, yang mengatakan:

لَمَّا جَاءَ قَتْلُ ابْنِ حَارِثَةَ وَجَعْفَرِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَوَاحَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ جَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُعْرَفُ فِيهِ الْحُزْنُ قَالَتْ عَائِشَةُ وَأَنَا أَطَّلِعُ مِنْ صَائِرِ الْبَابِ تَعْنِي مِنْ شَقِّ الْبَابِ فَأَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ أَيْ رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ نِسَاءَ جَعْفَرٍ قَالَ وَذَكَرَ بُكَاءَهُنَّ فَأَمَرَهُ أَنْ يَنْهَاهُنَّ قَالَ فَذَهَبَ الرَّجُلُ ثُمَّ أَتَى فَقَالَ قَدْ نَهَيْتُهُنَّ وَذَكَرَ أَنَّهُ لَمْ يُطِعْنَهُ قَالَ فَأَمَرَ أَيْضًا فَذَهَبَ ثُمَّ أَتَى فَقَالَ وَاللَّهِ لَقَدْ غَلَبْنَنَا فَزَعَمَتْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ فَاحْثُ فِي أَفْوَاهِهِنَّ مِنْ التُّرَابِ قَالَتْ عَائِشَةُ فَقُلْتُ أَرْغَمَ اللَّهُ أَنْفَكَ فَوَاللَّهِ مَا أَنْتَ تَفْعَلُ وَمَا تَرَكْتَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ مِنْ الْعَنَاءِ

Ketika datang berita kematian Zaid bin Haritsah, Ja'far bin Abu Thalib dan Abdullah bin Rawahah radliallahu 'anhum, Rasulullah ﷺ duduk dan nampak tanda kesedihan.

Aisyah berkata: dan aku mengintip dari lubang pintu, kemudian ada seseorang datang dan berujar: "Wahai Rasulullah, isteri-isteri Ja'far, -laki-laki tadi lantas menceritakan tangis mereka-, maka beliau suruh orang tadi untuk melarang mereka.

Ibnu Said berkata: si laki-laki lantas pergi, kemudian datang lagi dengan mengatakan: "Telah kularang mereka", lalu ia ceritakan kepada beliau bahwa isteri-isterinya tidak menaatinya dan berkata: "Demi Allah, wanita-wanita itu telah membuat saya kewalahan.

Aisyah berkata: sepertinya Rasulullah ﷺ berkata: "Kalau begitu, taburkan tanah di mulut mereka."

Aisyah berkata pada si laki-laki itu: saya katakan: "Kiranya Allah yang justru menaburimu tanah - kalimat ini untuk penghinaan atau sindirian atas ketidakbecusan si laki-laki tadi-, demi Allah, kamu belum melakukannya dengan baik, dan kamu belum mengentaskan Rasulullah ﷺ dari tugasnya yang berat. [HR. Bukhori no. 4263 dan Muslim no. 935]

DALIL KE TIGA:

Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:

أَنَّهَا كَانَتْ إِذَا مَاتَ المَيِّتُ مِنْ أَهْلِهَا، فَاجْتَمَعَ لِذَلِكَ النِّسَاءُ، ثُمَّ تَفَرَّقْنَ إِلَّا أَهْلَهَا وَخَاصَّتَهَا، أَمَرَتْ بِبُرْمَةٍ مِنْ تَلْبِينَةٍ فَطُبِخَتْ، ثُمَّ صُنِعَ ثَرِيدٌ فَصُبَّتِ التَّلْبِينَةُ عَلَيْهَا، ثُمَّ قَالَتْ: كُلْنَ مِنْهَا، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: " التَّلْبِينَةُ مُجِمَّةٌ لِفُؤَادِ المَرِيضِ، تَذْهَبُ بِبَعْضِ الحُزْنِ ".

bahwasanya: Bila salah seorang dari keluarganya meninggal, dan kaum wanita pun berkumpul lalu bubar kecuali pihak keluarganya, beliau menyuruh untuk menyediakan periuk berisikan bubur yang dimasak dari gandum lembut.

Kemudian ia membuat campuran daging dan roti dan menuangkan gandum lembut (yang direbus tadi). Setelah itu, Aisyah berkata:

Makanlah darinya, karena aku telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Talbinah (bubur gandum lembut) bisa menghimpun hati (menenangkan hati) yang sakit, menghilangkan sebagian kesedihan.” ( HR. Bukhori no. 5417 dan Muslim no. 2216).

DALIL KE EMPAT:

Dari 'Ashim bin Kulaib, dari ayahnya dari seorang laki-laki anshar, ia berkata;

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى

Kami pernah keluar bersama Rasulullah ﷺ mengantarkan jenazah, kemudian aku melihat Rasulullah ﷺ berada di atas kubur berwasiat kepada orang yang menggali:

"Perluaslah dari sisi kedua kakinya, perluaslah dari sisi kepalanya."

Kemudian tatkala kembali, beliau disambut utusan seorang wanita yang mengundang Rasulullah ﷺ untuk makan, kemudian beliau datang dan makanan pun dihidangkan.

Lalu beliau meletakkan tangannya pada makan kemudian orang-orang meletakkan tangan mereka pada makanan, lalu mereka makan.

Kemudian orang-orang melihat Rasulullah ﷺ mengunyah makanan di mulutnya, kemudian beliau ﷺ berkata:

"Saya dapatkan daging kambing yang diambil tanpa seizin pemiliknya."

Kemudian wanita tersebut mengirim utusan, ia berkata ;

wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah mengirim utusan ke Baqi' untuk membelikan kambing, lalu aku tidak mendapatinya. Lalu aku mengirim utusan kepada tetanggaku yang telah membeli kambing agar ia mengirimnya kepadaku dan diganti dengan harganya, namun aku tidak mendapatkanya. Lalu aku mengirim utusan kepada isterinya, kemudian wanita tersebut mengirimkan kambing tersebut kepadaku.

Lalu Rasulullah ﷺ berkata: "Berikanlah makanan ini kepada para tawanan perang !"

( HR. Abu Daud no. 2894 . Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Abdi Daud no. 3332)

DALIL KE LIMA:

Dari Al-Ahnaf bin Qais, ia berkata:

“إِنَّ قُرَيْشًا رُؤُوسُ النَّاسِ لَا يَدْخُلُ أَحَدٌ مِنْهُمْ فِي بَابٍ إِلَّا دَخَلَ مَعَهُ فِيهِ [طَائِفَةٌ مِنَ النَّاسِ]، فَلَمْ أَدْرِ مَا تَأْوِيلُ قَوْلِهِ فِي ذَا حَتَّى طَعِنَ، فَلَمَّا احْتَضَرَ أَمَرَ صُهَيْبًا أَنْ يُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ، وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَجْعَلُوا لِلنَّاسِ طَعَامًا فَيَطْعَمُوا، قَالَ عَفَّانٌ وَسُلَيْمَانُ: حَتَّى يَسْتَخْلِفُوا إِنْسَانًا. فَلَمَّا رَجَعُوا مِنَ الْجَنَازَةِ جِيْءَ بِالطَّعَامِ وَوُضِعَتِ الْمَوَائِدُ فَأَمْسَكَ النَّاسُ عَنْهَا لِلْحُزْنِ الَّذِي هُمْ فِيهِ، فَقَالَ الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ: أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، قَدْ مَاتَ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا، وَمَاتَ أَبُو بَكْرٍ فَأَكَلْنَا بَعْدَهُ وَشَرِبْنَا. قَالَ عَفَّانٌ وَسُلَيْمَانُ: وَإِنَّهُ لَا بُدَّ مِنَ الْأَجَلِ فَكُلُوا مِنْ هَذَا الطَّعَامِ. ثُمَّ مَدَّ الْعَبَّاسُ يَدَهُ فَأَكَلَ، وَمَدَّ النَّاسُ أَيْدِيهِمْ فَأَكَلُوا، فَعَرَفْتُ قَوْلَ عُمَرَ إِنَّهُمْ رُؤُوسُ النَّاسِ.

Saya mendengar 'Umar bin al-Khaṭṭāb berkata: "Sesungguhnya Quraisy, pemimpin-pemimpin manusia, ketika salah satu dari mereka masuk ke pintu [rumah], selalu diikuti oleh sekelompok orang".

Aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan perkataannya ini hingga Umar ditikam .' Ketika 'Umar mendekati ajalnya, maka ia memerintahkan Suhaib untuk menshalati jenazahnya selama tiga hari dan memerintahkannya untuk menyiapkan makanan untuk orang-orang agar mereka mekan-makan.

'Afān dan Sulaimān berkata: 'Hingga mereka menetapkan seseorang sebagai pengantinya.' Setelah mereka kembali dari pemakaman, makanan disiapkan, tetapi orang-orang menahan diri untuk makan karena sedang berduka.

Al-'Abbās bin 'Abd al-Muṭṭalib kemudian berbicara:

'Wahai manusia! Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah meninggal, dan kita makan-makan dan minum setelah kematian beliau. Kemudian Abu Bakr pun meninggal, dan kita juga makan-makan dan minum setelah kematiannya.

'Afān dan Sulaimān berkata: 'Kematian adalah sesuatu yang pasti, maka makanlah dari hidangan ini.'

Kemudian Al-'Abbās mengulurkan tangannya dan mulai makan, dan orang-orang pun mengikuti dan makan bersamanya.

Setelah saya menjadi tahu arti perkataan 'Umar: " Sesungguhnya mereka adalah pemimpin-pemimpin manusia."

Ini adalah hadits hasan, sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haitsami dalam Al-Majma':

"رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ وَفِيهِ عَلِيُّ بْنُ زَيْدٍ وَحَدِيثُهُ حَسَنٌ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيحِ"

"Diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan di dalamnya terdapat Ali bin Zaid, dan haditsnya hasan, dan sisa perawinya adalah perawi hadits yang sahih."

DALIL KE ENAM:

Imam At-Tahawi dalam kitab "Ma'ani al-Athar" (4/292) meriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaykah, dia berkata:

لَمَّا مَاتَتْ أُمُّ أَبَانَ بِنْتُ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ حَضَرْتُ مَعَ النَّاسِ، فَجَلَسْتُ بَيْنَ يَدَيْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ وَعَبْدِ اللهِ بْنِ عَبَّاس فَبَكَى النِّسَاء فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: أَلَا تَنْهَى هَؤُلَاءِ عَنِ الْبُكَاءِ؟ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ ﷺ يَقُولُ: " إِنَّ الْمَيِّتَ لَيُعَذَّبُ بِبَعْضِ بُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ... ".

"Ketika Ummu Aban bintu Utsman bin Affan meninggal dunia, saya hadir bersama orang-orang. Saya duduk di antara Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas. Para wanita mulai menangis. Lalu Abdullah bin Umar berkata: 'Tidakkah kalian melarang mereka menangis? Saya pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: "Sesungguhnya mayit itu akan diadzab karena sebagian tangisan keluarganya atas dirinya..."'

Dua imam (Al-Bukhari dan Muslim) telah meriwayatkannya dalam kitab Sahih masing-masing. Sebagaimana yang penulis telah sebutkan diatas .

DALIL KE TUJUH:

Imam At-Tabarani dalam kitab "Al-Mu'jam al-Kabir" (24/306 no. 775) meriwayatkan dari Abdul Rahman bin Hasan bin Tsabit, dari ibunya, Siiriin. Dia berkata:

حَضَرْتُ مَوْتَ إِبْرَاهِيمَ ابْنِ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَكُنْتُ كُلَّمَا صِحْتُ وَأُخْتِي، وَصَاحَ النِّسَاءُ لَا يَنْهَانَا، فَلَمَّا مَاتَ نَهَانَا عَنِ الصَّيَّاحِ، وَحَمَلَهُ إِلَى شَفِيرِ الْقَبْرِ، وَالْعَبَّاسُ إِلَى جَنْبِهِ، وَنَزَلَ فِي قَبْرِهِ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ وَأَنَا أَبْكِي عِنْدَ قَبْرِهِ، وكَسَفَتِ الشَّمْسُ فَقَالَ النَّاسُ: هَذَا لِمَوْتِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ: «إِنَّهَا لَا تُكْسَفُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ»

"Saya hadir saat kematian Ibrahim, anak Rasulullah ﷺ. Setiap kali saya, saudara saya dan wanita-wanita teriak menangis, tidak ada yang melarang kami. Tetapi ketika beliau ﷺ wafat, mereka melarang kami berteriak-teriak menangis . Mereka mengangkat jenazahnya ke tepi kubur dan Abbas berada di sampingnya. Di dalam kubur, Fadhel bin Abbas dan Usamah bin Zaid turun, dan saya menangis di samping kuburnya.

Matahari terjadi gerhana, dan orang-orang berkata: 'Ini karena kematiannya.'

Rasulullah ﷺ kemudian bersabda, 'Matahari tidak terjadi gerhana karena kematian atau kehidupan seseorang...'".

Dianggap dha'if sanadnya oleh Syu'aib al-Arnauth dan para pentahqiq Musnad Ahmad lainnya [Musnad Imam Ahmad 39/161].

Ini adalah dalil-dalil yang jelas tentang bolehnya orang-orang berkumpul, termasuk wanita, ketika tidak ada kematian selama tidak ratapan, teriakan, merobek-robek baju dan menaburkan pasir ke kepala . Hal ini ditegaskan oleh dalil-dalil berikut:

DALIL KE DELAPAN:

Imam al-Bukhari sendiri dalam kitab Sahihnya sebuah BAB:

بَاب مَا يُكْرَهُ مِنْ النِّيَاحَةِ عَلَى الْمَيِّتِ

BAB: apa yang dimakruhkan dalam ratapan untuk orang yang meninggal

Lalu Imam Bukhori menuliskan atsar dari ‘Umar ibn al-Khaththab terkait kewafatan Khalid ibn al-Walid yang saat itu ditangisi oleh kerabat perempuannya. Seseorang mengusulkan kepada ‘Umar agar melarang kerabat perempuannya menangisi kewafatan Khalid. Tetapi ‘Umar menolaknya .

Imam Bukhori berkata:

وَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: «دَعْهُنَّ يَبْكِينَ عَلَى أَبِي سُلَيْمَانَ مَا لَمْ يَكُنْ نَقْعٌ أَوْ لَقْلَقَةٌ» وَالنَّقْعُ: التُّرَابُ عَلَى الرَّأْسِ، وَاللَّقْلَقَةُ: الصَّوْتُ"

Umar (ra) berkata: " Biarkan mereka menangisi Abu Sulaiman (Khalid) selama tidak ada yang menaburkan tanah ke kepala mereka (sebagiamana dalam tradisi Jahiliyyah - pen) atau menangis dengan berteriak-teriak ".

Makna an-Naqa' adalah menaburkan debu ke kepala . Dan makna "laqlaqah" adalah suara keras. [Shahih Bukhori 2/80 . Cet. as-Sulthaniyah].

Ini menunjukkan bahwa wanita-wanita dari Bani al-Mughirah berkumpul untuk menangis atas kematian Abu Sulaiman Khalid bin Al-Walid radhiyallahu 'anhu. Ketika seseorang mengatakan kepada Umar radhiyallahu 'anhu untuk mengirim seseorang untuk menghentikan mereka, namun Umar menolaknya:

Adapun sanad atsar ini, diriwayatkan melalui jalur al-A'masy dari Abu Wa'il Syaqiiq bin Salamah:

“لَمَّا مَاتَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ اجْتَمَعَنْ نِسْوَةُ بَنِي الْمُغِيرَةِ يَبْكِينَ عَلَيْهِ ، فَقِيلَ لِعُمَرَ: أَرْسِلْ إلَيْهِنَّ فَانْهَهُنَّ ، لاَ يَبْلُغُك عَنْهُنَّ شَيْءٌ تَكْرَهُهُ .فَقَالَ عُمَرُ: " وَمَا عَلَيْهِنَّ أَنْ يُهْرِقْنَ مِنْ دُمُوعِهِنَّ عَلَى أَبِي سُلَيْمَانَ ، مَا لَمْ يَكُنْ نَقْعٌ ، أَوْ لَقْلَقَةٌ ".

Ketika Khalid bin Walid meninggal, wanita-wanita dari Bani Al-Mughirah berkumpul di rumah Khalid dan menangisinya. Kemudian dikatakan kepada Umar: Utuslah seseorang pada mereka untuk melarang mereka. Jangan sampai ada yang sampai dari mereka sesuatu yang engkau membencinya.

Maka Umar berkata: "Mereka tidak dilarang mengeluarkan air mata atas Abu Sulaiman, selama itu bukan jeritan atau keributan."

[Ini diriwayatkan oleh Ibn Abi Shaybah dalam kitab "Al-Musannaf" (3/290), Abdul Razzaq As-San'ani (3/558), al-Baihaqi dalam al-Kubro 4/118 dan Ibnu Asaakir dalam Taarikh Damskus 16/278 dengan sanad yang sahih (Islamqa Fatwa no. 215016)].

Ada beberapa jalur sanad (rantai perawi) untuk riwayat ini.

Dan ini diriwayatkan pula oleh Muhammad bin Sa'ad, Waki', Abu Mu'awiyah, dan Abdullah bin Numair, mereka berkata:

حدثنا الأعمش عن شَقِيقِ بْنِ سَلَمَةَ قَالَ: لَمَّا مَاتَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ اجْتَمَعَتْ نِسَوَةُ بَنِي الْمُغِيرَةِ فِي دَارِ خَالِدٍ يَبْكِينَ عَلَيْهِ فَقِيلَ لِعُمَرَ: إِنَّهُنَّ قَدْ اجْتَمَعْنَ فِي دَارِ خَالِدٍ يَبْكِينَ عَلَيْهِ، وَهُنَّ خُلَقَاءُ أَنْ يَسْمَعْنَكَ بَعْضَ مَا تَكْرَهُ، فَأَرْسَلَ إِلَيْهِنَّ فَنَهَاهُنَّ، فَقَالَ عُمَرُ: وَمَا عَلَيْهِنَّ أَنْ يَنْزِفْنَ مِنْ دُمُوعِهِنَّ عَلَى أَبِي سُلَيْمَانَ، مَا لَمْ يَكُن نَقَعًا أَوْ لِقَلَقَةِ ".

Kami diberi tahu oleh Al-A'mash dari Syaqiiq bin Salamah, dia berkata: Ketika Khalid bin Walid meninggal, wanita-wanita dari Bani Al-Mughirah berkumpul di rumah Khalid dan menangisinya. Seseorang berkata kepada Umar: "Mereka telah berkumpul di rumah Khalid dan menangisinya, mereka adalah wanita-wanita yang mungkin akan mengatakan sesuatu yang tidak Anda sukai, maka tolong kirim utusan kepada mereka untuk menghentikan tangisannya!".

Maka Umar berkata: "Tidak ada yang melarang mereka untuk menangis atas Abu Sulaiman (Khalid) selama itu bukan tangisan yang berlebihan atau teriakan."

DALIL KE SEMBILAN:

Abdul Razzaq meriwayatkan dalam al-Mushonnaf 3/558 no. 6685:

عَنْ مَعْمَرٍ عَنِ الْأَعْمَشِ عَنْ أَبِي وَائِلٍ قَالَ لِعُمَرَ: إِنَّ نِسْوَةً مِنْ بَنِي الْمُغِيرَةِ، قَدْ اجْتَمَعْنَ فِي دَارِ خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ يَبْكِينَ عَلَيْهِ، وَإِنَّا نَكْرَهُ أَنْ نُؤْذِيكَ فَلَوْ نُهِيتَهُنَّ، فَقَالَ: «مَا عَلَيْهِنَّ أَنْ يَهْرِقْنَ مِنْ دُمُوعِهِنَّ عَلَى أَبِي سُلَيْمَانَ سَجْلًا أَوْ سَجْلَيْنِ مَا لَمْ يَكُنْ نَقْعًا، أَوْ لَقْلَقَةً»، يَعْنِي الصُّرَاخَ.

Dari Ma'mar, dari Al-A'mash, dari Abu Wa'il, ia berkata kepada Umar:

"Sesungguhnya beberapa wanita dari Bani Al-Mughirah telah berkumpul di rumah Khalid bin Al-Walid menangisinya. Kami tidak suka menyakitimu. Maka alangkah baiknya jika engkau melarang mereka."

Umar berkata: "Tidaklah mengapa bagi mereka menumpahkan air mata menangisi Abu Sulaiman, satu lembar air mata atau dua lembar selama itu bukan tangisan berlebihan atau teriakan." Yakni: Nangis berteriak-teriak.

Az-Zaila'i dalam Takhrij Ahaadits al-Kasyaaf 4/265 berkata:

وَمن طَرِيق عبد الرَّزَّاق رَوَاهُ الْحَاكِم فِي الْمُسْتَدْرك فِي فَضَائِل خَالِد بن الْوَلِيد وَزَاد فِيهِ النَّقْع اللَّطْم وَاللَّقْلَقَة الصُّرَاخ انْتَهَى وَسكت عَنهُ . وَرَوَاهُ الْبَيْهَقِيّ فِي سنَنه قَالَ النَّوَوِيّ فِي الْخُلَاصَة بِسَنَد صَحِيح

"Melalui jalan Abdurrazzaq, Al-Hakim meriwayatkannya dalam *Al-Mustadrak* tentang keutamaan Khalid bin Walid dan menambahkan bahwa Khalid menangis dengan sangat, memukul dirinya sendiri, dan berteriak. Al-Baihaqi juga meriwayatkannya dalam *Sunnan*-nya. Al-Nawawi dalam *Al-Khulashah* menyatakan bahwa riwayat ini memiliki sanad yang sahih".

DALIL KE SEPULUH:

Ibnu Syabbah dalam Tarikh al-Madinah 3/796 berkata:

حَدَّثَنَا أَبُو دَاوُدَ، قَالَ: حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنِ الْأَعْمَشِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا وَائِلٍ، يَقُولُ: لَمَّا تُوُفِّيَ خَالِدُ بْنُ الْوَلِيدِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَكَاهُ نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءِ بَنِي الْمُغِيرَةِ، فَبَلَغَ ذَلِكَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ: «وَمَا عَلَيْهِنَّ أَنْ يَبْكِينَ أَبَا سُلَيْمَانَ وَهُنَّ جُلُوسٌ فِي غَيْرِ نَقْعٍ، وَلَا لَقْلَقَةٍ»

Telah menceritakan kepada kami Abu Dawud, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari Al-A'masy, dia berkata: Aku mendengar Abu Wa'il berkata:

"Ketika Khalid bin Walid (ra) wafat, beberapa wanita dari Bani Al-Mughirah menangisinya. Berita ini sampai pada Umar (ra), dan dia berkata: 'Tidak ada mereka mereka menangis untuk Abu Sulaiman (Khalid bin Walid), dan mereka duduk-duduk, selama mereka melakukannya tanpa teriakan dan tanpa jeritan '".

DALIL KE SEBELAS:

Abu Ubaid al-Qosim bin Salam dalam Gharib al-Hadits (3/273-274) berkata:

"Telah menceritakan kepada kami Jarir dari Mansur dari Abu Wa'il dari Umar .

أنه قِيلَ لَهُ: إِنَّ النِّسَاءَ قَدِ اجْتَمَعْنَ يَبْكِينَ عَلَى خَالِدِ بْنِ الْوَلِيدِ فَقَالَ: وَمَا عَلَى نِسَاءِ بَنِي الْمُغِيرَةِ أَنْ يَسْفِكْنَ مِنْ دُمُوعِهِنَّ عَلَى أَبِي سُلَيْمَانَ مَالَمْ يَكُن نَقْعًا وَلَا لَقْلَقَةً".

Bahwa dikatakan pada Umar: "Wanita-wanita telah berkumpul dan menangis untuk Khalid bin Walid"

Maka dia menjawab: "Tidaklah mengapa bagi wanita-wanita dari Bani Al-Mughirah menangisi Khalid bin Walid selama mereka tidak Naqa' dan tidak pula laqlaqah."

[Diriwayatkan pula oleh Ibnu Katsir dalam Musnad al-Faruq 1/234 melalui Abu Ubaid]

Lalu Abu 'Ubaid berkata:

قَالَ الْكَسَائِيُّ: النَّقْعُ صَنَعَهُ الطَّعَامُ لِلْمَأْتَمِّ، وَأَنْكَرَ ذَلِكَ أَبُو عُبَيْدٍ وَقَالَ: إِنَّمَا النَّقْيِعَةُ صَنَعَةُ الطَّعَامِ عِنْدَ قُدُومِ الْقَادِمِ، وَانْمَا الْمُرَادُ مِنْهُ هُنَا رَفْعُ الْعِلْمِ، وَمِنْهُ قَوْلُ لَبَيْدٍ: فَمَتَى يَنْقَعُ صَرِيخٌ صَادِقٌ. يَجْلِبُوهَا ذَاتَ جَرْسٍ وَزَجَلٍ.

Al-Kisa'i berkata: "Naqa' adalah makanan yang disediakan untuk majelis berkabung. Abu Ubaid mengingkarinya dan berkata: "Naqa' adalah makanan yang disediakan saat kedatangan tamu. Di sini, maksudnya adalah tiada lain mengangkat bendera atau tanda pengenalan, seperti kata Labid: Kapan saja tangisan naqa' maka itu teriakan yang jujur, mereka membawakannya dengan lonceng dan lirih."

Lalu Abu 'Ubaid berkata:

وَقَالَ بَعْضُهُمْ: المَرَادُ بِهِ هُهُنَا وَضْعُ التُّرَابِ عَلَى الرَّأْسِ، وَضَعَّفَهُ، وَقِيلَ: شَقُّ الجُيُوبِ وَأَنْكَرَهُ، قَالَ: وَأَمَّا اللَّقْلَقَةُ فَشِدَّةُ الصَّوْتِ لَمْ أَسْمَعْ فِيهِ اخْتِلَافًا، وَقَالَ يُونُسُ النَّحْوِيُّ: النَّقْعُ مِدُّ الصَّوْتِ بِالنَّحِيبِ وَاللَّقْلَقَةُ حَرَكَةُ اللِّسَانِ نَحْوَ الوَلْوَلَةِ.

"Dan sebagian dari mereka mengatakan: Yang dimaksud di sini adalah menaburkan debu di atas kepala, dan makna ini dianggap lemah.

Dan dikatakan pula: Merobek baju dan makna ini diingkari.

Dia berkata: Adapun 'al-laqlaqah' (اللقلقة), itu adalah kerasnya suara, dan saya tidak mendengar perbedaan dalam hal ini. Yunus, seorang ahli tata bahasa, mengatakan: 'Al-naq' (النقع) adalah memperpanjang suara dengan tangisan, dan 'al-laqlaqah' adalah gerakan lidah menuju mengoceh".

[Baca: Gharib al-Hadits (3/273-274) karya Abu 'Ubaid . Diriwayatkan pula oleh Ibnu Katsir dalam Musnad al-Faruq 1/234 melalui Abu Ubaid]

HADITS BAHWA AMALAN UMAR (RA) DALAM HAL INI BERDASARKAN SUNNAH NABI ﷺ:

Umar mendapatkan petunjuk dari Sunnah Nabi ﷺ, sebagaimana terdapat dalam hadit-hadits berikut:"

Dari Ibnu Abbas (ra) ia berkata:

لَمَّا مَاتَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ قَالَتْ امْرَأَتُهُ هَنِيئًا لَكَ يَا ابْنَ مَظْعُونٍ بِالْجَنَّةِ قَالَ فَنَظَرَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ نَظْرَةَ غَضَبٍ فَقَالَ لَهَا مَا يُدْرِيكِ فَوَاللَّهِ إِنِّي لَرَسُولُ اللَّهِ وَمَا أَدْرِي مَا يُفْعَلُ بِي قَالَ عَفَّانُ وَلَا بِهِ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ فَارِسُكَ وَصَاحِبُكَ فَاشْتَدَّ ذَلِكَ عَلَى أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ حِينَ قَالَ ذَلِكَ لِعُثْمَانَ وَكَانَ مِنْ خِيَارِهِمْ حَتَّى مَاتَتْ رُقَيَّةُ ابْنَةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ الْحَقِي بِسَلَفِنَا الْخَيْرِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ قَالَ وَبَكَتْ النِّسَاءُ فَجَعَلَ عُمَرُ يَضْرِبُهُنَّ بِسَوْطِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِعُمَرَ دَعْهُنَّ يَبْكِينَ وَإِيَّاكُنَّ وَنَعِيقَ الشَّيْطَانِ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مَهْمَا يَكُنْ مِنْ الْقَلْبِ وَالْعَيْنِ فَمِنْ اللَّهِ وَالرَّحْمَةِ وَمَهْمَا كَانَ مِنْ الْيَدِ وَاللِّسَانِ فَمِنْ الشَّيْطَانِ وَقَعَدَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى شَفِيرِ الْقَبْرِ وَفَاطِمَةُ إِلَى جَنْبِهِ تَبْكِي فَجَعَلَ النَّبِيُّ ﷺ يَمْسَحُ عَيْنَ فَاطِمَةَ بِثَوْبِهِ رَحْمَةً لَهَا

Ketika Utsman bin Mazh'un meninggal dunia, istrinya berkata; Selamat bagimu wahai Ibnu Mazh'un di surga. Maka Rasulullah ﷺ melihatnya dengan pandangan marah, lalu beliau bersabda; "Apa yang membuatmu tahu? Demi Allah, sesungguhnya aku adalah utusan Allah, namun aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku." ['Affan] berkata; "Dan tidak pula dengannya." Ia berkata; Ya Rasulullah dia adalah pasukan kudamu dan sahabatmu."

Lalu hal itu membuat terasa berat bagi para sahabat Rasulullah ﷺ ketika beliau mengatakan itu kepada Utsman, karena Utsman adalah orang terbaik mereka.

Sehingga ketika Ruqayyah, putri Rasulullah ﷺ meninggal . Beliau ﷺ bersabda: "Susul-lah pendahulu kami yang shalih, Utsman bin Mazh'un."

Maka para wanita pun menangis, lalu Umar memukuli mereka dengan cambuknya.

Kemudian Nabi ﷺ bersabda kepada Umar: "Biarkan mereka menangis, tapi jangan sampai mereka menjerit seperti jeritan setan." Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: "Apa yang terlahir dari hati dan mata, maka itu dari Allah dan kasih sayang, adapun yang terlahir dari tangan dan lisan, maka itu dari setan."

Rasulullah ﷺ duduk di tepi kuburan, sementara Fathimah menangis di sebelahnya, maka Nabi ﷺ mengusap air mata Fathimah dengan bajunya karena sayang kepadanya.

Dalam lafadz lain ujungnya:

 حَتَّى تُوُفِّيَتْ رُقَيَّةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «الْحَقِي بِسَلَفِنَا الْخَيِّرِ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ» قَالَ: وَبَكَتِ النِّسَاءُ عَلَى رُقَيَّةَ، فَجَعَلَ عُمَرُ يَنْهَاهُنَّ أَوْ يَضْرِبُهُنَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «مَهْ يَا عُمَرُ» قَالَ: ثُمَّ قَالَ: «إِيَّاكُنَّ وَنَعِيقَ الشَّيْطَانِ؛ فَإِنَّهُ مَهْمَا يَكُونُ مِنَ الْعَيْنِ وَالْقَلْبِ فَمِنَ الرَّحْمَةِ، وَمَا يَكُونُ مِنَ اللِّسَانِ وَالْيَدِ فَمِنَ الشَّيْطَانِ» قَالَ: وَجَعَلَتْ فَاطِمَةُ رَحِمَهَا اللَّهُ تَبْكِي عَلَى شَفِيرِ قَبْرِ رُقَيَّةَ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَمْسَحُ الدُّمُوعَ عَنْ وَجْهِهَا بِالْيَدِ، أَوْ قَالَ: بِالثَّوْبِ "

Hingga Ruqayyah, putri Rasulullah ﷺ, wafat. Rasulullah ﷺ berkata: "Sesungguhnya, Utsman bin Mazh'un memiliki tempat yang baik di antara leluhur kami."

Wanita-wanita pun menangis atas kematian Ruqayyah. Umar mencoba untuk menghentikan atau bahkan memukul mereka, namun Rasulullah ﷺ berkata, "Tunggu sebentar, wahai Umar."

Lalu beliau bersabda: "Biarkan mereka menangis, dan hati-hatilah terhadap jeritan gangguan setan. Apa pun yang ada dalam mata dan hati, itu adalah rahmat dari Allah, sedangkan apa pun yang ada dalam tangan dan lidah, itu adalah bisikan setan."

Kemudian, Fatimah, semoga Allah merahmatinya, menangis di dekat makam Ruqayyah. Rasulullah ﷺ pun menghapus air mata dari wajahnya dengan tangannya atau dengan bajunya."

[HR. Ibnu Sa'ad dalam "Ath-Thabaqat al-Kubra" (3/398-399), Ahmad dalam "Musnad" (1/237-238 dan 1/335), Al-Siraaj [dalam "Al-Istii'ab" (8/65-66)], Ath-Thabarani dalam "Al-Kabir" (8317), Al-Hakim dalam "Al-Mustadrak" (3/190), dan Abu Nu'aim dalam "Ash-Shohabah" (4922). melalui berbagai jalur, termasuk jalur yang melibatkan Hammad.

Al-Hakim tidak memberikan komentar apa pun terkait hadits ini, sementara Adz-Dzahabi berkomentar: " سَنَدُه صَالِح (Sanadnya Baik) ".

Al-Bushairi mengomentari:

“مَدَارُ طُرُقِ هَذَا الْحَدِيثِ عَلَى عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جَدْعَانَ وَهُوَ ضَعِيفٌ".

"Sebagian jalur riwayat hadits ini berakhir pada Ali bin Zaid bin Jud'an, dan dia adalah seorang perawi yang lemah." (Mukhtashar al-Ithaaf, 3/152).

Di Dhaifkan oleh Syu'aib al-Arnauth dalam Takhrij al-Musnad no. 2127.

DALIL KE SEBELAS:

Al-Tabrani meriwayatkan dalam kitab al-Mu'jam Al-Awsat (7/28) No. 6753:

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي زُرْعَةَ، ثَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، نَا خَالِدُ بْنُ يَزِيدَ الْقَسْرِيُّ، ثَنَا أَبُو حَمْزَةَ الثُّمَالِيُّ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ، عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ، زَوْجِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهَا قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ نِسَاءَ بَنِي الْمُغِيرَةِ قَدْ أَقَمْنَ مَأْتَمَهُنَّ عَلَى الْوَلِيدِ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ الْمُغِيرَةِ، «فَأَذِنَ لَهَا» ، فَقَامَتْ وَهِيَ تَقُولُ:

أَبْكِي الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ بْنِ الْمُغِيرَةْ … أَبْكِي الْوَلِيدَ بْنَ الْوَلِيدِ أَخَا الْعَشِيرَةْ ".

Muhammad bin Abu Zur'ah menceritakan kepada kami, dia berkata: Hisham bin 'Ammar mengatakan kepada kami, dia berkata: Khalid bin Yazid Al-Qasri mengabarkan kepada kami, dia berkata: Abu Hamzah Ath-Thamali meriwayatkan kepada kami, dari Abu Ja'far Muhammad bin Ali, dari Ummu Salamah, istri Nabi ﷺ, dia berkata:

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya wanita-wanita dari Bani Mughirah telah mengadakan acara berkabung untuk al-Walid bin al-Walid bin Mughirah." Maka dia diberi izin untuk pergi, dan dia berdiri sambil berkata,

"Aku menangis untuk al-Walid bin al-Walid bin Mughirah *** aku menangis untuk al-Walid bin al-Walid, saudara sebangsa."

Susudahnya ath-Thabarani berkata:

لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِيٍّ إِلَّا أَبُو حَمْزَةَ، وَلَا عَنْ أَبِي حَمْزَةَ إِلَّا خَالِدُ بْنُ يَزِيدَ الْقَسْرِيُّ، تَفَرَّدَ بِهِ: هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ»

Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Muhammad bin Ali selain Abu Hamzah, dan tidak ada yang meriwayatkan dari Abu Hamzah selain Khalid bin Yazid Al-Qasri. Ini adalah riwayat tunggal Hisham bin 'Ammar."

Diriwayatkan pula oleh ath-Thabarani dalam Al-Mu'jam As-Saghir (2/181). Al-Hafizh Al-Haytsami dalam Majma' Az-Zawa'id dan Manba' Al-Fawa'id (3/15) menyatakan:

رواه الطَّبَرَانِيُّ فِي الصَّغِيرِ وَالأُوسَطِ، وَفِيهِ ثَابِتُ أَبِي حَمْزَةَ الثَّمَالِيِّ، وَهُوَ ضَعِيفٌ.

"At-Tabrani meriwayatkan ini dalam As-Saghir dan Al-Awsath, di dalam sanadnya terdapat Tsabit Abu Hamzah Ats-Tsamali, dan dia adalah lemah."

Dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Tahdzib At-Tahdzib (8/410) menyatakan: "Ini adalah riwayat yang batil."

Makna "مَأْتَم":

المَأْتَمُ: هو اجْتِماعُ النَّاسِ في المَوتِ لِلتَّعْزِيَةِ، وهو في الأصل: مُجْتَمَعُ الرِّجال والنِّساءِ في الغَمِّ والفَرَحِ، ثمَّ خُصَّ به اجْتِماعُ النِّساءِ لِلْمَوْتِ، وقِيل: هو لِلشَّوابِّ مِن النِّساءِ لا غَيْرَ، والعامَّةُ تَخُصُّهُ بِالمُصِيبَةِ.

Ma`tam (acara kematian) adalah berkumpulnya orang dalam kematian untuk berkabung. Makna asalnya ialah berkumpulnya laki-laki dan perempuan dalam kesedihan dan kegembiraan. Selanjutnya dipakai khusus untuk berkumpulnya para wanita dalam kematian. Ada yang berpendapat, khusus untuk wanita-wanita yang muda tanpa yang lain. Sedangkan masyarakat umum menggunakannya khusus dalam musibah.

DALIL KEDUABELAS:

Dalam kisah wafatnya Ubay bin Ka'ab, semoga Allah meridhainya, yang sahih masyhur, di mana banyak orang berkumpul karena banyak nya orang datang bertakziyah .

Abu Imran al-Jawni berkata:

"فلمَّا كانَ يَوْمُ الخَميسِ خَرَجْتُ لبعضِ حاجاتي، فإذا السِّكَكُ غاصَّةٌ مِن النَّاسِ، لا آخَذُ في سِكَّةٍ إلَّا تَلَقَّاني النَّاسُ، قُلْتُ: ما شَأنُ النَّاسِ؟ قالوا: نَحسَبُك غَريبًا، قُلْتُ: أجَلْ، قالوا: ماتَ سَيِّدُ المُسلِمينِ أُبَيُّ بنُ كَعْبٍ. قالَ: فلَقيْتُ أبا موسى بالعِراقِ فحَدَّثْتُه بالحَديثِ، فقالَ: والَهْفاه، أَلَا كانَ بَقِيَ حتَّى تَبلُغَنا مَقالةُ رَسولِ اللهِ ﷺ".

"Ketika itu, pada hari Kamis, saya pergi keluar untuk urusan pribadi saya. Tiba-tiba, jalan-jalan gang dipenuhi orang-orang, dan setiap kali saya memasuki jalan, orang-orang berkumpul di sekeliling saya.

Saya bertanya: 'Apa yang terjadi dengan orang-orang?' Mereka menjawab: 'Kami mengira Anda adalah seorang asing.'

Saya bertanya lagi: 'Betul ?'. Mereka menjawab: 'Sayid al-Muslimin, Ubay bin Ka'ab telah meninggal dunia.'"

Dia berkata, "Saya kemudian bertemu dengan Abu Musa di Irak dan menceritakan hadits itu padanya. Dia berkata: 'Demi Allah, kita masih tetap hidup hingga sampai kepada kita perkataan Rasulullah ﷺ'".

[Disebutkan oleh Adh-Dhiya al-Maqdisi dalam al-Ahaadits al-Mukhtaarah no. 1140. Dan dia berkata:

هَذِهِ أَحَادِيثُ اخْتَرْتُهَا مِمَّا لَيْسَ فِي الْبُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ.

"Ini adalah hadits-hadits yang saya pilih yang tidak terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim."

DALIL KE TIGA BELAS:

Ibnu Saad dalam kitab "Ath-Thabaqat" (3/12) berkata:

"أَخْبَرَنَا عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ وَعُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى وَرَوْحُ بْنُ عُبَادَةَ قَالُوا: أَخْبَرَنَا أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: لَمَّا رَجَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنْ أُحُدٍ سَمِعَ نِسَاءَ بَنِي عَبْدِ الأَشْهَلِ يَبْكِينَ عَلَى هَلْكَاهُنَّ. فَقَالَ: لَكِنَّ حَمْزَةَ لا بَوَاكِيَ لَهُ. قَالَ فَاجْتَمَعَ نِسَاءُ الأَنْصَارِ عِنْدَهُ فَبَكَيْنَ عَلَى حَمْزَةَ وَرَقَدَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَاسْتَيْقَظَ وَهُنَّ يَبْكِينَ فَقَالَ: يَا وَيْحَهُنَّ إِنَّهُنَّ هَاهُنَا حَتَّى الآنَ. مُرُوهُنَّ فَلْيَرْجِعْنَ وَلا يَبْكِينَ عَلَى هَالِكٍ بَعْدَ الْيَوْمِ".

Telah mengkabarkan kepada kami Utsman bin Umar, Ubaidullah bin Musa, dan Ruh bin Ubadah, mereka berkata: Kami diberi tahu oleh Usamah bin Zaid dari Nafi' dari Ibnu Umar, dia berkata:

Ketika Rasulullah ﷺ kembali pulang usai perang Uhaud, beliau mendengar wanita-wanita Bani 'Abdil Ashhal sedang menangisi para korban perang yang terbunuh. Maka Rasulullah ﷺ berkata: "Akan tetapi Hamzah tidak ada yang menangisinya."

Dia (Ibnu Umar) berkata: "Kemudian wanita-wanita dari kalangan Anshar berkumpul di sekitarnya dan menangis untuk Hamzah."

Kemudian Rasulullah ﷺ tidur, lalu bangun dalam keadaan mereka masih menangis. Beliau berkata: "Aduhai mereka! Mereka masih di sini hingga saat ini, suruhlah mereka untuk pulang dan jangan menangisi yang telah mati setelah hari ini."

[Diriwayatkan pula oleh Ibnu Majah (1591) dan Ahmad (5563) dengan sedikit perbedaan].

Syu'aib al-Arna'uth dalam Takhrij Siyar A'laam an-Nubala 1/174 berkata: "SANADNYA KUAT".

Alasan larangan berduka dalam haditst ini adalah agar tidak mengganggu orang-orang yang sedang tidur.

Ibnu Sa'ad dalam ath-Thabaqaat 3/13 berkata:

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ الْأَنْصَارِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو، قَالَ: أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، قَالَ: " مَرَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ، حِينَ انْصَرَفَ مِنْ أُحُدٍ، وَبَنُو عَبْدِ الْأَشْهَلِ نِسَاؤُهُمْ يَبْكِينَ عَلَى قَتْلَاهُمْ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «لَكِنَّ حَمْزَةَ لَا بَوَاكِيَ لَهُ» ، فَبَلَغَ ذَلِكَ سَعْدَ بْنَ مُعَاذٍ فَسَاقَ نِسَاءَهُ حَتَّى جَاءَ بِهِنَّ إِلَى بَابِ الْمَسْجِدِ يَبْكِينَ عَلَى حَمْزَةَ، قَالَتْ عَائِشَةُ فَخَرَجْنَا إِلَيْهِنَّ نَبْكِي مَعَهُنَّ، فَنَامَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَنَحْنُ نَبْكِي، ثُمَّ اسْتَيْقَظَ فَصَلَّى صَلَاةَ الْعِشَاءِ الْآخِرَةِ، ثُمَّ نَامَ وَنَحْنُ نَبْكِي، ثُمَّ اسْتَيْقَظَ فَسَمِعَ الصَّوْتَ، فَقَالَ: «أَلَا أَرَاهُنَّ هَاهُنَا إِلَى الْآنَ، قُولُوا لَهُنَّ فَلْيَرْجِعْنَ» ، ثُمَّ دَعَا لَهُنَّ وَلِأَزْوَاجِهِنَّ وَلِأَوْلَادِهِنَّ، ثُمَّ أَصْبَحَ فَنَهَى عَنِ الْبُكَاءِ كَأَشَدِّ مَا نَهَى عَنْ شَيْءٍ "

"Kami diberitahu oleh Muhammad bin Abdullah al-Anshari, dia berkata: Kami diberitahu oleh Muhammad bin Amr, dia berkata: Muhammad bin Ibrahim memberi tahu kami, dia berkata:

Rasulullah ﷺ kembali pulang usai Uhud, lalu beliau melewati wanita-wanita Bani Abdil Asyhal, yang sedang menangisi orang-orang yang gugur. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: 'Tapi untuk Hamzah, tidak ada yang menangis untuknya.'

Sa'd bin Mu'adh mendengar berita tersebut, lalu ia membawa istri-istrinya ke pintu masjid sambil menangis karena Hamzah.

'Aisyah berkata: "Kami keluar menemui mereka dan turut menangis bersama mereka. Kemudian Rasulullah ﷺ tidur, sedangkan kami masih menangis. Lalu dia terbangun dan melaksanakan shalat Isya di waktu terakhir. Setelah itu, dia tidur lagi sementara kami masih menangis. Kemudian dia terbangun kembali dan mendengar tangisan kami.

Rasulullah ﷺ berkata: 'Kenapa aku masih melihat mereka di sini sampai sekarang? Katakan kepada mereka agar mereka pulang.' Kemudian dia berdoa untuk mereka, suami-suami mereka, dan anak-anak mereka. Setelah itu, pada pagi hari, dia melarang kami menangis, sebagaimana kerasnya larangan-nya terhadap sesuatu yang dilarang."

DALIL KE EMPAT BELAS:

Ibnu Sa'ad berkata dalam ath-Thabaqaat (3/209. Cet. Dar Shodir):

“أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ قَالَ: أَخْبَرَنَا مَالِكُ بْنُ أَبِي الرِّجَالِ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ: «‌تُوُفِّيَ أَبُو بَكْرٍ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، فَأَصْبَحْنَا فَاجْتَمَعَ نِسَاءُ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَأَقَامُوا النَّوْحَ وَأَبُو بَكْرٍ يُغْسَلُ، وَيُكَفَّنُ فَأَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ بِالنَّوْحِ فَفُرِّقْنَ، فَوَاللَّهِ عَلَى ذَلِكَ إِنْ كُنَّ لَيُفَرَّقْنَ وَيَجْتَمِعْنَ".

"Kami diberitahu oleh Muhammad bin 'Umar, dia berkata: Kami diberitahu oleh Malik bin Abi al-Rijal dari ayahnya, dari 'Aisyah, dia berkata:

“Abu Bakar -radhiyallahu 'anhu-wafat antara waktu Maghrib dan Isya. Pagi harinya, para wanita dari kaum Muhajirin dan Anshar berkumpul dan mereka melakukan ratapan (nauh). Abu Bakr dimandikan dan dikafankan. Kemudian Umar bin al-Khattab memerintahkan ratapan, lalu mereka (para wanita) dibubarkan. Demi Allah, terus seperti itu, meskipun mereka (para wanita) dibubarkan, namun mereka segara berkumpul lagi [meratap]."

Perawi yang bernama Malik bin Abi al-Rijal, maka Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

قَالَ فِيْه أبُو حَاتِم الرَّازي: "هُوَ أَحْسَنُ حَالًا مِنْ أَخَوَيْهِ حَارِثَةَ، وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ وَقَدْ قِيلَ فِي أَخِيهِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ: صَالِحٌ، وَهَذَا أَصْلَحُ مِنْهُ، وَوَثَّقَهُ أَيْضًا ابْنُ حِبَّانَ، وَأَبُوهُ ثِقَةٌ.

فَإِذَا كَانَ اجْتِمَاعُ بَعْدَ اجْتِمَاعٍ بِلَا نِيَاحَةٍ فَهُوَ أَمْرٌ مَشْرُوعٌ اتِّفَاقًا."

Abu Hatim al-Razi berkata tentangnya: "Dia (Malik) statusnya lebih baik daripada kedua saudaranya, yaitu Haritsah dan Abdurrahman. Tentang saudaranya Abdurrahman, dia adalah orang yang saleh. Adapun tentang suadaranya Abdurrahaman, maka dia berkata: dia layak [Shaleh], dan ini lebih baik darinya . Dia juga dianggap tsiqot oleh Ibnu Hibban. Dan ayahnya juga tsiqot .

Jadi, jika berkumpul dan berkumpul lagi dengan tanpa adanya ratapan maka itu perkara yang disyariatkan secara kesepakatan."

MASALAH KE DELAPAN: ANJURAN PENGANTAR JENAZAH AGAR KEMBALI KE KELUARGA MAYIT

Dianjurkan bagi para pengantar pemakaman jenazah agar kembali ke rumah keluarga mayit jika mereka sudah selesai menguburkannya .

Berikut ini dalil-dalil yang menunjukkan hal ini:

DALIL KE SATU: Dari 'Ashim bin Kulaib, dari ayahnya dari seorang laki-laki anshar, ia berkata;

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فِي جَنَازَةٍ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ عَلَى الْقَبْرِ يُوصِي الْحَافِرَ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رِجْلَيْهِ أَوْسِعْ مِنْ قِبَلِ رَأْسِهِ فَلَمَّا رَجَعَ اسْتَقْبَلَهُ دَاعِي امْرَأَةٍ فَجَاءَ وَجِيءَ بِالطَّعَامِ فَوَضَعَ يَدَهُ ثُمَّ وَضَعَ الْقَوْمُ فَأَكَلُوا فَنَظَرَ آبَاؤُنَا رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَلُوكُ لُقْمَةً فِي فَمِهِ ثُمَّ قَالَ أَجِدُ لَحْمَ شَاةٍ أُخِذَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ أَهْلِهَا فَأَرْسَلَتْ الْمَرْأَةُ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَرْسَلْتُ إِلَى الْبَقِيعِ يَشْتَرِي لِي شَاةً فَلَمْ أَجِدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى جَارٍ لِي قَدْ اشْتَرَى شَاةً أَنْ أَرْسِلْ إِلَيَّ بِهَا بِثَمَنِهَا فَلَمْ يُوجَدْ فَأَرْسَلْتُ إِلَى امْرَأَتِهِ فَأَرْسَلَتْ إِلَيَّ بِهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَطْعِمِيهِ الْأُسَارَى

Kami pernah keluar bersama Rasulullah ﷺ mengantarkan jenazah, kemudian aku melihat Rasulullah ﷺ berada di atas kubur berwasiat kepada orang yang menggali:

"Perluaslah dari sisi kedua kakinya, perluaslah dari sisi kepalanya."

Kemudian tatkala kembali, beliau disambut utusan seorang wanita yang mengundang Rasulullah ﷺ untuk makan, kemudian beliau datang dan makanan pun dihidangkan.

Lalu beliau meletakkan tangannya pada makan kemudian orang-orang meletakkan tangan mereka pada makanan, lalu mereka makan.

Kemudian orang-orang melihat Rasulullah ﷺ mengunyah makanan di mulutnya, kemudian beliau ﷺ berkata:

"Saya dapatkan daging kambing yang diambil tanpa seizin pemiliknya."

Kemudian wanita tersebut mengirim utusan, ia berkata ;

wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah mengirim utusan ke Baqi' untuk membelikan kambing, lalu aku tidak mendapatinya. Lalu aku mengirim utusan kepada tetanggaku yang telah membeli kambing agar ia mengirimnya kepadaku dan diganti dengan harganya, namun aku tidak mendapatkanya. Lalu aku mengirim utusan kepada isterinya, kemudian wanita tersebut mengirimkan kambing tersebut kepadaku.

Lalu Rasulullah ﷺ berkata: "Berikanlah makanan ini kepada para tawanan perang !"

( HR. Abu Daud no. 2894 . Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Abdi Daud no. 3332 ).

DALIL KEDUA: Dari Abdullah bin 'Amr Al 'Ash (ra), ia berkata:

قَبَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَعْنِي مَيِّتًا فَلَمَّا فَرَغْنَا انْصَرَفَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَانْصَرَفْنَا مَعَهُ فَلَمَّا حَاذَى بَابَهُ وَقَفَ فَإِذَا نَحْنُ بِامْرَأَةٍ مُقْبِلَةٍ قَالَ أَظُنُّهُ عَرَفَهَا فَلَمَّا ذَهَبَتْ إِذَا هِيَ فَاطِمَةُ عَلَيْهَا السَّلَام فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مَا أَخْرَجَكِ يَا فَاطِمَةُ مِنْ بَيْتِكِ فَقَالَتْ أَتَيْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَهْلَ هَذَا الْبَيْتِ فَرَحَّمْتُ إِلَيْهِمْ مَيِّتَهُمْ أَوْ عَزَّيْتُهُمْ بِهِ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَلَعَلَّكِ بَلَغْتِ مَعَهُمْ الْكُدَى قَالَتْ مَعَاذَ اللَّهِ وَقَدْ سَمِعْتُكَ تَذْكُرُ فِيهَا مَا تَذْكُرُ . قَالَ: "لَوْ بَلَغْتِ مَعَهُمْ الْكُدَى" فَذَكَرَ تَشْدِيدًا فِي ذَلِكَ .

فَسَأَلْتُ رَبِيعَةَ عَنْ الْكُدَى فَقَالَ الْقُبُورُ فِيمَا أَحْسَبُ

Kami menguburkan jenazah bersama Rasulullah ﷺ, kemudian tatkala kami telah selesai Rasulullah ﷺ pergi dan kami pergi bersamanya. Kemudian tatkala beliau telah menghadap pintu, beliau berdiri. Ternyata kami di hadapan seorang wanita yang datang menghadap.

Abdullah bin 'Amr bin Al 'Ash berkata: aku mengira beliau mengenalnya, kemudian tatkala wanita tersebut pergi ternyata ia adalah Fathimah 'alaihassalam. Kemudian Rasulullah ﷺ berkata kepadanya: "Apa yang menyebabkanmu keluar dari rumahmu wahai Fathimah?"

Ia berkata; wahai Rasulullah, aku mendatangi penghuni rumah ini, dan menghibur mereka karena salah seorang diantara mereka meninggal.

Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: "Kemungkinan engkau telah sampai ke Al-Kudaa (kuburan) bersama mereka."

Ia [Fathimah] berkata; aku berlindung kepada Allah, sungguh aku telah mendengar engkau mengatakan apa yang telah engkau katakan.

Beliau berkata: "Jika akau sudah sampai dengan mereka di al-Kudaa [tempat pemakaman]". Beliau menyebutakan nya itu sebagai bentuk ketegasan akan hal itu .

Lalu aku bertanya pada Rabi'ah tentang penyebutan al-Kudaa itu . Dia berkata: 'Kuburan, menurut perkiraanku.'"

[HR. Abu Daud no. 3123, ath-Thabraani 14/40 no. 13629, al-Hakim 1/373 dan Baihaqi dalam al-Kubra 7/457 no. 7171].

Dalam lafadz Ath-Thabrani dan al-Baihaqi terdapat lafadz:

«لَوْ بَلَغْتِ مَعَهُمُ الكُدَى، مَا رَأَيْتِ الجَنَّةَ حَتَّى يَرَاهَا جَدُّ أَبِيكِ»

“Seandainya kamu bersama mereka sampai ke kuburan, niscaya kamu tidak akan melihat surga hingga kakek ayahmu melihatnya.”

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

قَدْ رَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ هَذَا الْحَدِيثَ عَنْ رَبِيعَةَ بْنِ سَيِّفٍ عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيِّ، وَاسْمُهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ ثِقَةٌ، وَأَمَّا رَبِيعَةُ فَهُوَ صَدُوقٌ لَهُ مَنَاكِيرُ، وَمَنْزِلَةُ حَدِيثِهِ فِي مَرْتَبَةِ الْحَسَنِ مَا لَمْ يَكُنْ حَدِيثُهُ مُنْكَرًا أَوْ مُسْتَغْرَبًا، وَقَدْ صَحَّحَهُ الْحَاكِمُ وَابْنُ حِبَّانَ، وَحَسَّنَهُ ابْنُ الْقَطَّانِ وَالْمُنْذَرِيُّ وَالْبُوصِيرِيُّ فِي الْإِتْحَافِ، وَضَعَّفَهُ آخَرُونَ بِرَبِيعَةَ، لَكِنَّهُ قَدْ تُوبِعَ:

فَقَدْ قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْهَادِيِّ فِي الْمُحَرَّرِ:" وَقَدْ تَابَعَ رَبِيعَةَ عَلَيْهِ شُرَحْبِيلُ بْنُ شَرِيكٍ وَهُوَ مِنْ رِجَالِ مُسْلِمٍ".

Lebih dari seorang yang telah meriwayatkan hadits ini dari Rabi'ah bin Saif dari Abu Abdurrahman al-Hubuli, yang namanya adalah Abdullah bin Yazid, yang dianggap sebagai seorang yang tepercaya. Adapun Rabi'ah, dia adalah seorang yang jujur meskipun memiliki beberapa cacat dalam riwayatnya. Kedudukan haditsnya dianggap HASAN asalkan tidak terdapat kelemahan atau keanehan dalam riwayatnya.

Al-Hakim dan Ibnu Hibban telah menganggap hadits ini SHAHIH, sedangkan Ibnu al-Qaththan, al-Mundziri, dan al-Bushairi menyebutnya HASAN dalam "al-Ithaaf." Namun, ada yang mendhaifkannya dengan mengaitkannya kepada Rabi'ah, akan tetapi ada penguat (tawabi') yang menunjukkan kekuatan riwayat Rabi'ah.

Ibnu Abdil Hadi dalam "al-Muharrar" mengatakan: "Riwayat Rabi'ah telah diperkuat oleh Syurahbil bin Syarik, dan dia adalah salah seorang dari para perawi Imam Muslim." [Slsai]

Namun hadits ini di dhaifkan oleh Syu'aib al-Arna'uth dalam Takhrij Sunan Abu Daud 5/41 dan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud 3/192 no. 3123].

Syu'aib al-Arna'uth berkata:

إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ. رَبِيعَةُ بْنُ سَيِّفِ الْمَعَافِرِيُّ -وَهُوَ ابْنُ مَاتِعٍ- قَالَ الْبُخَارِيُّ وَابْنُ يُونُسَ: عِنْدَهُ مَنَاكِيرُ، وَقَالَ الْبُخَارِيُّ أَيْضًا فِي "الْأَوْسَطِ": رَوَى أَحَادِيثَ لَا يُتَابَعُ عَلَيْهَا. وَضَعَفَهُ الْأَزْدِيُّ عِنْدَمَا رَوَى لَهُ هَذَا الْحَدِيثَ فِيمَا ذَكَرَهُ الذَّهَبِيُّ فِي "الْمِيزَانِ"، وَضَعَفَهُ النَّسَائِيُّ فِي "السُّنَنِ" 4/ 27، وَفِي قَوْلٍ آخَرَ لَهُ؟ لَا بَأْسَ بِهِ، وَقَالَ الدَّارُقُطَّنِيُّ صَالِحٌ، وَذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي "الثِّقَاتِ"، وَقَالَ: كَانَ يُخْطِئُ كَثِيرًا. الْمُفَضَّل: هُوَ ابْنُ فُضَالَةَ، وَأَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِيُّ: هُوَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يَزِيدَ الْمَعَافِرِيُّ.

وَأَخْرَجَهُ النَّسَائِيُّ (1880) مِنْ طَرِيقِ سَعِيدِ بْنِ أَبِي أَيُّوبَ، عَنْ رَبِيعَةِ بْنِ سَيِّفٍ، بِهِ. وَهُوَ فِي "مُسْنَدِ أَحْمَدَ" (6574)، وَ"صَحِيحِ ابْنِ حِبَّانَ" (3177).

Sanadnya lemah. Rabi'ah bin Saif al-Ma'afiri, yang juga dikenal sebagai Ibn Maati', menurut al-Bukhari dan Ibn Yunus, memiliki cacat dalam haditsnya. Al-Bukhari juga mengatakan dalam "al-Ausath" bahwa dia meriwayatkan hadits-hadits yang tidak bisa diikuti.

Al-Azdi mendhaifkannya ketika meriwayatkan hadits ini, seperti yang disebutkan oleh adz-Dzahabi dalam "al-Mizan." An-Nasa'i juga mendhaifkannya dalam "as-Sunan" (4/27), namun baginya ada perkataan lain, yaitu: Laa Ba'sa bihi [Tidak ada yang salah] .

Ad-Daraquthni menyatakan dia adalah seorang yang baik, dan ini juga dicatat oleh Ibn Hibban dalam "ats-Tsiqat [Kitab kumpulan para perawi yang dipercaya] " sementara dia mengatakan bahwa dia sering melakukan kesalahan.

Orang yang bernama al-Mufadhal adalah Ibnu Fadalah, sedangkan Abu Abdurrahman al-Hubuli adalah Abdullah bin Yazid al-Ma'afiri.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh an-Nasa'i (1880) melalui jalur Sa'id bin Abi Ayub dari Rabi'ah bin Saif. Hadits ini tercatat dalam "Musnad Ahmad" (6574) dan "Sahih Ibn Hibban" (3177)". [SELESAI]

PARA ULAMA YANG MELARANG BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT DAN MELARANG MENYIAPKAN MAKANAN

Para ulama yang melarang berkumpul di keluarga mayit dengan tujuan untuk ta'ziyah, sebagian dari mereka ada yang mengatakah MAKRUH . Ini adalah pandangan dari Syafa'i dan Hanbali, dan banyak dari Maaliki

Dan ada juga yang mengatakan HARAM dan BID'AH YANG SESAT .

Dalil yang paling kuat yang dikutip oleh mereka yang mengatakan bahwa makruh terdiri dari dua dalil:

Dalil pertama: Hadits Jarir bin 'Abdullah yang mengatakan: Kami dulu menganggap berkumpul dengan keluarga almarhum dan membuat makanan setelah penguburan termasuk dalam kategori meratap (yang haram). Diriwayatkan oleh Ahmad, 6866; dan Ibnu Majah, 1612.

Dalil kedua: Bahwa ini adalah amalan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi (ﷺ) atau para sahabatnya, maka ini merupakan bid'ah, perkara yang baru diada-adakan . Dan ini juga bertentangan dengan amalan Salafush-shaleh [generasi awal yang saleh], yang mana mereka tidak pernah berkumpul untuk menerima orang-orang yang datang untuk berta'ziyah [belasungkawa].

Imam Asy-Syafi'i berkata:

“وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ ، وَهِيَ الْجَمَاعَةُ ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ ، وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مَعَ مَا مَضَى فِيهِ مِنْ الْأَثَرِ".

“Saya membenci al-Ma'tam [ratapan], meskipun tidak ada tangisan, karena hal itu akan memperbaharui kesedihan dan membebani keluarga orang yang meninggal". [Baca: al-Umm, 1/318]

An-Nawawi berkata:

“أَمَّا الْجُلُوسُ لِلتَّعْزِيَةِ ، فَنَصَّ الشَّافِعِيُّ وَالْمُصَنِّفُ وَسَائِرُ الْأَصْحَابِ عَلَى كَرَاهَتِهِ ... قَالُوا: بَلْ يَنْبَغِي أَنْ يَنْصَرِفُوا فِي حَوَائِجِهِمْ ، فَمَنْ صَادَفَهُمْ عَزَّاهُمْ ، وَلَا فَرْقَ بَيْنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ فِي كَرَاهَةِ الجلوس لها".

“Mengenai duduk-duduk untuk menerima orang yang datang untuk berta'ziyah, maka Asy-Syafi'i, al-Mushannif dan lainnya menyatakan bahwa itu makruh. …

Mereka berkata: sebaiknya orang-orang menyibukkan diri dengan urusannya masing-masing, namun siapa pun yang kebetulan bertemu dengan mereka (anggota keluarga almarhum) boleh menyampaikan ta'ziyah [belasungkawa] kepada mereka. Tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal makruh duduk-duduk untuk menerima ucapan bela sungkawa". [Akhir kutipan. Al-Majmu' Syarh al-Muhadadzab, 5/306].

Al-Mardaawai berkata:

"وَيُكْرَهُ الْجُلُوسُ لَهَا ، هَذَا الْمَذْهَبُ ، وَعَلَيْهِ أَكْثَرُ الْأَصْحَابِ ، وَنَصَّ عَلَيْهِ "

"Makruhnya duduk-duduk untuk menerima ucapan bela sungkawa. Demikian pendapat kami dan pendapat sebagian besar sahabat kami, sebagaimana telah dinyatakan dengan jelas". [Akhir kutipan. Al-Insaaf, 2/565].

Abu Bakar ath-Thurtooshi berkata:

قَالَ عُلَمَاؤُنَا الْمَالِكِيُّونَ: "التَّصَدِّي لِلْعَزَاءِ بِدْعَةٌ وَمَكْرُوهٌ، فَأَمَّا إِنْ قَعَدَ فِي بَيْتِهِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ مَحْزُونًا مِنْ غَيْرِ أَنْ يَتَصَدَّى لِلْعَزَاءِ؛ فَلَا بَأْسَ بِهِ، فَإِنَّهُ لَمَّا جَاءَ النَّبِيُّ ﷺ نَعِيُّ جَعْفَرٍ؛ جَلَسَ فِي الْمَسْجِدِ مَحْزُونًا، وَعَزَاهُ النَّاسُ".

“Para ulama Maaliki kami berkata: Duduk-duduk menerima ucapan bela sungkawa adalah bid'ah dan makruh. Namun jika seseorang duduk di rumahnya atau di masjid sambil berduka, tanpa duduk untuk menerima bela sungkawa, maka hal itu tidaklah mengapa. Karena ketika Nabi ﷺ mendengar kabar meninggalnya Ja'far, beliau duduk di masjid berduka, dan orang-orang menyampaikan belasungkawa kepadanya. [Akhir kutipan dari Al-Hawaadits wa'l-Bida', hal. 170].

Pendapat ini disebutkan dalam fatwa Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah, beliau bersabda:

"بالنِّسْبَةِ لأهل المَيِّتِ لا يُشْرَعُ لَهُمُ الاجْتِمَاعُ في البَيْتِ وَتَلْقِي المُعَزِّينَ؛ لأنَّ هذا عَدَّهُ بَعْضُ السَّلَفِ مِنَ النِّياحَةِ، وَإِنَّمَا يَغْلِقُونَ البَيْتَ، وَمَن صَادَفَهُمْ فِي السُّوقِ أَوْ فِي الْمَسْجِدِ عَزَّاهُم."

“Terhadap keluarga mayit, tidak disyariatkan bagi mereka untuk berkumpul di rumah dan menerima orang-orang yang datang berta'ziyah [bela sungkawa], karena sebagian salaf (generasi awal) menganggap ini sebagai jenis ratapan (yang haram).

Sebaliknya mereka harus tinggal di rumah dan menutup pintu, dan siapa pun yang kebetulan bertemu mereka di pasar atau di masjid boleh menyampaikan belasungkawa. [Kutipan akhir dari Majmuu al-Fataawa, 17/103]

===========

RINGKASAN: 

PERBANDINGAN DALIL ANTARA YANG MEMBOLEHKAN DAN YANG MELARANG

========

Perbandingannya: hadits dan atsar yang membolehkan berkumpul di keluarga mayit yang sahih itu lebih banyak dibanding dengan hadits-hadits yang melarang . Ditambah lagi dengan riwayat Tawus yang menyarankan memberi makan dan berkumpul .

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani dalam artikelnya " مَشْرُوعِيَّةُ الِاجْتِمَاعِ وَالْإِطْعَامِ عَنْ أَمْوَاتِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ" berkata:

أَنَّهَا أَصْحُ سَنْدًا وَأَوْضَحُ دَلَالَةً، وَأَكْثَرُ عَدَدًا وَأَوْثَقُ رِجَالًا، مَعَ وُجُوْدِ الِاتِّصَالِ، وَعَدَمِ الِاخْتِلَافِ فِيْهَا، لِأَنَّ كُلَّ الْأَحَادِيْثِ الْكَثِيْرَةِ تُؤَيِّدُ أَثَرَ طَاوُسَ فِيْ اسْتِحْبَابِ الْإِطْعَامِ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا مَضَى، بِالْإِضَافَةِ إِلَى الشُّوَاهِدِ الْكَثِيْرَةِ جِدًّا فِيْ هَذَا الْبَابِ، الْعَامَّةِ وَالْخَاصَّةِ، كُلُّهَا تُؤَيِّدُ ذٰلِكَ، بِخِلَافِ حَدِيْثِ جَرِيْرٍ، فَإِنَّهُ وَاحِدٌ، مُنْكَرٌ وَمُضْطَرَبٌ، مَعَ الِاخْتِلَافِ فِيْهِ.

Hadits-hadits yang membolehkan berkumpul dan penyiapan makanan, lebih shahih sanadnya, lebih jelas maknanya, lebih banyak jumlahnya, dan lebih dipercaya para perawinya, dengan adanya iitishaal [ketersambungan sanad], dan tidak ada perselisihan di dalamnya, karena banyak hadits yang mendukung atsar Thawus dalam anjuran memberi makan atas nama mayit, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, di samping banyaknya dalil-dalil dalam hal ini, baik umum maupun khusus, semuanya mendukung hal itu. Berbeda dengan hadits Jarir, haditsnya satu, munkar dan labil, dengan adanya perbedaan di dalamnya:

Lalu Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani berkata:

فَأَمَّا الطَّرِيقُ الْأُوْلَى فَفِيْهَا هُشَيْمٌ وَهُوَ مُدَّلِّسٌ وَلَمْ يَسْمَعْهُ مِنْ إِسْمَاعِيْلَ، بَلْ رِوَايَتُهُ تَرْجِعُ إِلَى رِوَايَةِ شَرِيْكٍ وَفِيْهَا لَيْنٌ وَتَدْلِيْسٌ، أَوْ تَرْجِعُ إِلَى نَصْرِ بِنِّ بَابٍ وَهُوَ مُتَّهَمٌ، وَقَدْ زَادَ التَّقْيِيْدُ بِمَا بَعْدَ الدَّفْنِ فَقَطْ، وَأَمَّا الطَّرِيْقُ الثَّالِثَةُ وَمَا بَعْدَهَا فَهِيَ مُعْضِلَةٌ ضَعِيْفَةٌ، وَلَا يُبْعَدُ أَنْ تَرْجِعَ بِرَمَّتِهَا إِلَى طَرِيْقِ نَصْرِ هَذَا، وَمَعَ ذٰلِكَ فَقَدْ اخْتَلَفُوْا فِي الْأَلْفَاظِ، وَمَنْ هُوَ الشَّخْصُ الْمَانِعُ مِنْ الِاجْتِمَاعِ، فَرَوَى بَعْضُهُمُ الْمَنْعَ مِنْ فَتْوَى جَرِيْرٍ وَحْدَهُ، وَقَالَ آخَرُوْنَ هُوَ عُمَرُ، وَجَعَلُوْهُ آخَرُوْنَ عَنِ الصَّحَابَةِ أَوْ بَعْضِهِمْ، وَجَعَلَ بَعْضُهُمُ الْحَوَارَ مَعَ قَيْسٍ، وَجَعَلُوْهُ آخَرُوْنَ مَعَ عُمَرَ بِنِّ الْخَطَّابِ وَأَنَّهُ هُوَ النَّاهِي وَجَرِيْرٌ وَأَصْحَابُهُ هُمُ الْفَاعِلُوْنَ وَالْمُبِيْحُوْنَ، وَغَيْرُ ذٰلِكَ مِنَ الْعِلَلِ الَّتِي تَوْجِبُ رَدَّ هٰذَا الْحَدِيْثِ، كَيْفَ وَقَدْ خَالَفَ الْأَحَادِيْثَ الْكَثِيْرَةَ فِي اسْتِحَبَّابِ الْاِجْتِمَاعِ وَالِاطْعَامِ كَمَا مَضَى.

وَلَمْ يَسْلُمْ مِنَ الْعِلَّةِ إِلَّا طَرِيْقُ عَبَادِ بِنِ الْعَوَّامِ عَنْ إِسْمَاعِيْلَ، وَهِيَ الرِّوَايَةُ الصَّحِيْحَةُ وَالْمُتَّصِلَةُ، لَكِنْ لَيْسَ فِيْهَا ذِكْرٌ لِلنَّهْيِ عَنِ الْإِطْعَامِ وَلَا الِاجْتِمَاعِ أَصْلًا، وَإِنَّمَا أَفْتَى فِيْهَا جَرِيْرُ بِكَرَاهَةِ تَعْدَادِ مَآثِرِ الْمَيِّتِ فَقَطْ، وَلَا يَحِلُّ تَرْكُ رِوَايَةِ الثِّقَاتِ الْمُتَوَافِقَةِ مَعَ رِوَايَاتِ الثِّقَاتِ الْآخَرِيْنَ، وَالتَّمْسَكِ بِرِوَايَةِ عَنْ مُتَّهَمٍ أَوْ مَجْهُوْلٍ وَبِاللَّهِ التَّوْفِيْقِ.

"Adapun jalur pertama, di dalamnya terdapat Husyaim yang merupakan mudallis, dan dia tidak mendengarnya dari Isma'il. Bahkan, riwayatnya itu merujuk pada riwayat Syarik, dan dalam riwayat ini terdapat Layyin [kelemahan] dan Tadlis, atau merujuk pada Nashr bin Bab, yang tertuduh sebagai pemalsu. Dan ada tambahan berupa pembatasan larangannya setelah penguburan.

Adapun jalur ketiga dan yang seterusnya, maka itu adalah sanadnya mu'dhol yang lemah, dan tidaklah jauh kemungkinan bahwa semuanya dapat dikembalikan sepenuhnya ke jalur Nasr ini. Namun demikian, mereka berbeda dalam lafadz-lafadz nya, serta dalam hal siapa yang melarang berkumpul tersebut. Sebagian dari mereka meriwayatkan larangan tsb dari fatwa Jarir sendiri, sementara yang lain mengatakan itu adalah Umar. Yang lain mengaitkannya dengan para Sahabat atau beberapa di antara mereka. Beberapa dari mereka mengaitkannya dengan dialog bersama Qais, dan yang lain mengaitkannya dengan Umar bin Khattab, yang merupakan pelarangnya, sementara Jarir dan para sahabatnya adalah para pelaku ijtima' dan membolehkannya . Selain itu ada juga ilat-ilat lain yang menimbulkan keraguan terhadap hadits ini. Bagaimana bisa, padahal banyak hadits lain yang menyokong keutamaan berkumpul dan memberi makan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya."

"Hanya jalur yang memaparkan riwayat Abad bin Al-Awam dari Isma'il yang terbebas dari cacat. Ini adalah riwayat yang shahih dan terhubung [muttashil]. Namun, dalam riwayat ini, tidak ada rujukan tentang larangan memberi makan atau berkumpul sama sekali. Yang dijelaskan dalam riwayat ini adalah bahwa Jarir hanya memberi fatwa Makruh hukumnya menyebut-menyebut dan menghitung kebaikan-kabaikan mayit satu persatu.

Maka tidak boleh meninggalkan riwayat para perawi tepercaya yang sejalan dengan riwayat para perawi tepercaya lainnya, lalu berpegang teguh pada riwayat perawi yang dicurigai sebagai pendusta atau tidak dikenal. Semoga Allah memberikan petunjuk."

[*** Hadits Muʽdhal adalah hadits yang perawinya hilang dua atau lebih secara berturut-turut].

TARJIH : HUKUM BERKUMPUL DI KELUARGA MAYIT UNTUK TA'ZIYAH DAN PIHAKNYA MENYIAPKAN MAKANAN:

Setelah Penulis paparkan hadits-hadits yang berkaitan dengan berkumpulnya orang-orang yang berta'ziyah dikeluarga mayit dan menyiapkan makanan, maka penulis berpandangan sebagai berikut:

  1. Pertama: berkumpul dikeluarga mayit itu dianjurkan, jika dalam rangka untuk membantu pemakaman jenazah dan menghibur mereka . Selama dalam kumpul-kumpul tersebut tidak ada Niyahah Jahiliyah dan tidak ada Nudbah atau Ti'daad . Dan juga tidak membuat keluarga mayit menjadi tambah sibuk karenanya, apalagi menambah beban biaya pengeluaran atas mereka dan menambah kesibukan dengan menyiapkan hidangan makanan untuk orang-orang yang datang berkumpul di rumahnya .
  1. Kedua: Adapun yang berkaitan dengan penyiapan makanan dari pihak keluarga mayit untuk para tamu takziyah, tetangga dan kerabat ; maka jika keluarga mayit tersebut merasa terbebani, baik secara finacial, waktu dan tenaga serta menambah kesibukan mereka, maka itu dilarang. Namun jika itu dilakukan berdasarkan keinginan dan kemauan keras dari pihak keluarga mayit, bahkan mereka merasa senang hati dengan semua ini, dan juga bukan karena dorongan tradisi dan budaya ; maka menurut pendapat penulis tidaklah mengapa . Wallahu a'lam.

[*** PERHATIAN: Pendapat saya ini hasil dari pengamatan pribadi yang penuh keterbatasan, bukan untuk ditaklidi dan bukan untuk diajadikan standar kebenaran. Dan saya bukan seorang mufti dan bukan pula seorang mujtahid, melainkan saya ini hanya seorang Tholibul Ilmi ".]

Ibnu Quddamah dalam kitab Al-Mughni 3/497 berkata:

 فَأَمَّا صُنْعُ أَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِلنَّاسِ، فَمَكْرُوهٌ؛ لِأَنَّ فِيهِ زِيَادَةً عَلَى مُصِيبَتِهِمْ، وَشُغْلًا لَهُمْ إلَى شُغْلِهِمْ، وَتَشَبُّهًا بِصُنْعِ أَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ. ... وَإِنْ دَعَتْ الْحَاجَةُ إلَى ذَلِكَ جَازَ؛ فَإِنَّهُ رُبَّمَا جَاءَهُمْ مَنْ يَحْضُرُ مَيِّتَهُمْ مِنْ الْقُرَى وَالْأَمَاكِنِ الْبَعِيدَةِ، وَيَبِيتُ عِنْدَهُمْ، وَلَا يُمْكِنُهُمْ إلَّا أَنْ يُضَيِّفُوهُ. اهـ.

"Adapun membuatkan makanan untuk orang-orang yang datang saat ada kematian seseorang, maka itu makruh, karena itu merupakan tambahan kesedihan bagi mereka, menambahkan kesibukan diatas kesibukan mereka sendiri, dan menyerupai praktik orang-orang jahiliyyah. ...

Namun, jika adanya hajat dan kebutuhan menuntut untuk itu, maka itu diperbolehkan, karena terkadang ada orang yang datang dari desa-desa dan tempat-tempat terpencil untuk menghadiri pemakaman dan menginap di rumah orang yang berduka, dan satu-satunya yang bisa mereka lakukan adalah menerima mereka sebagai tamu."

Syeikh ath-Thahir az-Zayyaani dalam artikelnya " مَشْرُوعِيَّةُ الِاجْتِمَاعِ وَالْإِطْعَامِ عَنْ أَمْوَاتِ أَهْلِ الْإِسْلَامِ" berkata:

ثُمَّ إِنَّ الْأَمْرَ بِصُنْعَةِ الطَّعَامِ لَيْسَ بِأَمْرٍ إِيجَابِيٍّ اتِّفَاقًا، بَلْ هُوَ لِلِاسْتِحَبَابِ فَقَطْ كَمَا قَالَ عَامَّةُ الْعُلَمَاءِ، وَلَذَلِكَ فَلَيْسَ فِي هَذَا الْحَدِيثِ أَصْلًا مَا يُفِيدُ تَحْرِيمَ إِعْدَادِ الطَّعَامِ مِنْ أَهْلِ الْمَيِّتِ أَنْفُسِهِمْ إِنْ هُمْ أَرَادُوا ذَلِكَ، بَلْ كُلُّ مَا فِيهِ أَنَّ مُصِيبَةَ الْمَوْتِ قَدْ تُشْغِلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ، فَأُمِرَ النَّاسُ بِالتَّكَافُلِ مَعَهُمْ، وَيُفْهَمُ مِنْ هَذَا أَنَّهُمْ إِنْ وَجَدُوا الْوَقْتَ أَوِ اسْتَطَاعُوا الْجَمْعَ بَيْنَ الِانْشِغَالِ بِالْمَيِّتِ تَكْفِينًا وَتَهْيِئَةً وَنَحْوِ ذَلِكَ، مَعَ صُنْعَةِ الطَّعَامِ لِأَضْيَافِهِمْ وَأَقْرَبِهِمْ وَخَاصَّتِهِمْ جَازٌ لَهُمْ ذَلِكَ، بَلْ وَاسْتَحَبَّ أَيْضًا، وَإِنْ كَانَ الْإِعْدَادُ مِنْ أَقَارِبِهِمْ أَوْ جِيْرَانِهِمْ أَفْضَلَ، وَقَدْ جَاءَ فِي ذَلِكَ عَدَّةٌ آثَارٌ وَأَخْبَارٌ:

Selanjutnya, penting untuk dicatat bahwa perintah untuk menyiapkan atau membuatkan makanan bukanlah perintah yang wajib secara sepakat di antara ulama. Sebaliknya, itu adalah amalan yang hanya dianjurkan (mustahabb), seperti yang dikatakan oleh mayoritas ulama. Oleh karena itu, dalam hadits ini tidak ada yang mengindikasikan bahwa membuatkan makanan oleh keluarga mayit untuk diri mereka sendiri dianggap haram jika mereka berkehendak melakukannya.

Intinya bahwa semua musibah kematian itu telah membuat keluarganya menjadi sibuk untuk melakukan itu, maka dari itulah Nabi ﷺ memerintahakan orang-orang untuk saling tolong menolong dan bahu membahu dalam situasi tersebut.

Dari sini dapat dipahami bahwa jika mereka memiliki waktu atau kemampuan untuk melakukan dua hal sekaligus, yaitu mengurus mayit dan menyiapkan makanan untuk tamu dan kerabat mereka, maka itu diperbolehkan bahkan dianjurkan. Idealnya, persiapan makanan oleh kerabat dekat atau tetangga mereka akan lebih baik, dan ada beberapa atsar dan hadits yang menunjukkan hal ini". [Kutipan Selesai]

Berkumpul dan menyiapkan makanan yang dilarang adalah apa yang dibarengi dengan Niyahah, teriak-teriak menangisi mayit serta perbuatan menggunjing (ghibah), atau apa yang melebihi masa berduka. Adapun yang diperbolehkan adalah jika di sana tidak ada Niyahah, seperti yang telah disebutkan dari pendapat Imam al-Bukhari, serta berdasarkan hadits-hadits yang jelas mengenai hal ini.

Ini juga adalah pendapat Madzab al-Malikiyah, sebagaimana yang dinyatakan oleh Asyhab:

"وَسُئِلَ مَالِكٌ عَنْ أَهْلِ الْمَيِّتِ هَلْ يُبْعَثُ إِلَيْهِمْ بِالطَّعَامِ؟ فَقَالَ إِنِّي أَكْرَهُ الْمِنَاحَةَ، فَإِن كَانَ هَذَا لَيْسَ مِنْهَا فَلْيُبْعَثُ.

قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ رَشْدٍ: وَهَذَا كَمَا قَالَ؛ لِأَنَّ إِرْسَالَ الطَّعَامِ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ لِاشْتِغَالَهُمْ بِمَيِّتِهِمْ إِذَا لَمْ يَكُونُوا اجْتَمَعُوا لِلْمِنَاحَةِ، مِنَ الْفِعْلِ الْحَسَنِ الْمُرَغَّبِ فِيهِ الْمَنْدُوْبِ إِلَيْهِ."

 Imam Malik pernah ditanya tentang keluarga mayit, apakah boleh dikirim makanan kepada mereka ?

Beliau berkata: 'Saya tidak menyukai Niyahah (ratapan), tetapi jika ini bukan bagian dari niyahah, maka mereka boleh dikirim makanan.'

Ini adalah pendapat yang sama yang diungkapkan oleh Ibnu Rusyd: dan ini sesuai dengan apa yang dia katakan ; karena mengirimkan makanan kepada keluarga mayit dapat mengurangi kesibukan mereka dari pengurusan mayit, asalkan mereka tidak berkumpul untuk Niyahah [ratapan]. Ini adalah tindakan yang baik dan dianjurkan (mandub) untuk dilakukan." [Baca: al-Bayaan Wa al-Tahshiil 2/228].

Dalam kitab "Al-Fawakih al-Dawani" (1/332), disebutkan:

"وَأَمَّا مَا يَصْنَعُهُ أَقَارِبُ الْمَيِّتِ مِنَ الطَّعَامِ وَجَمْعِ النَّاسِ عَلَيْهِ فَإِن كَانَ لِقِرَاءَةِ الْقُرْآنِ وَنَحْوِهَا مِمَّا يُرْجَى خَيْرُهُ لِلْمَيِّتِ فَلَا بَأْسَ بِهِ، وَأَمَّا لِغَيْرِ ذَلِكَ فَيُكْرَهُ، وَلَا يَنْبَغِي لِأَحَدٍ الْأَكْلُ مِنْهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ الَّذِي صَنَعَهُ مِنَ الْوَرَثَةِ بَالِغًا رَشِيدًا فَلَا حَرَجَ فِي الْأَكْلِ مِنْهُ، وَأَمَّا لَوْ كَانَ الْمَيِّتُ أَوْصَى بِفِعْلِهِ عِنْدَ مَوْتِهِ فَإِنَّهُ يَكُونُ فِي ثُلُثِهِ وَيَجِبُ تَنْفِيذُهُ عَمْلًا بِفَرْضِهِ."

"Adapun apa yang dibuatkan oleh kerabat mayit dari makanan dan mengumpulkan orang untuk itu, jika itu untuk membaca Al-Quran atau tindakan serupa yang diharapkan akan memberikan manfaat bagi mayit, maka tidak masalah. Namun, jika itu untuk tujuan lain, maka itu makruh . Tidak selayaknya seseorang makan dari makanan tersebut kecuali jika yang membuatnya adalah ahli waris yang sudah dewasa dan berakal, maka tidak ada masalah dalam memakannya. Tetapi jika mayit telah mewasiatkan perbuatan ini sebelum kematiannya, maka ini menjadi bagian dari sepertiga harta waris dan harus dilaksanakan sesuai dengan wasiatnya."

Hindari tindakkan takziyah yang mengarah pada pengagungan pada mayit seperti membawa mayit ke masjid agar orang-orang berdatangan untuk bertakziyah serta mengagungkannya .

Abu Dawud berkata dalam kitab Masaail Imam Ahmad hal. 189:

قُلْتُ لِأَحْمَدَ " أَوْلِيَاءُ الْمَيِّتِ يَقْعُدُونَ فِي الْمَسْجِدِ يُعَزُّونَ؟ قَالَ: أَمَّا أَنَا فَلَا يُعْجِبُنِي، أَخْشَى أَنْ يَكُونَ تَعْظِيمًا لِلْمَيِّتِ أَوْ لِلْمَوْتِ "

Aku berkata kepada Ahmad: 'Para keluarga mayit duduk-duduk di masjid agar mereka ditakzyahi?'

Dia berkata: 'Bagi saya, ini tidak membuatku tertarik. Aku khawatir hal ini akan menjadi bentuk pengagungan terhadap mayit atau terhadap kematian.'"

Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid berkata dalam ما حُكْمُ اجْتِمَاعِ النَّاسِ فِي الْعَزَاءِ؟"" Islamqa fatwa no. 215016:

وَأَمَّا الْقَوْلُ بِأَنَّ الِاجْتِمَاعَ لِلْعَزَاءِ لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ ﷺ وَأَصْحَابُهُ، فَهُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْمُحْدَثَةِ ؟

فَيُجَابُ عَنْهُ: بِأَنَّ الِاجْتِمَاعَ لِلْعَزَاءِ مِنَ الْعَادَاتِ، وَلَيْسَ مِنَ الْعِبَادَاتِ، وَالْبِدَعُ لَا تَكُونُ فِي الْعَادَاتِ، بَلِ الْأَصْلُ فِي الْعَادَاتِ: الْإِبَاحَةُ. ثُمَّ إِنَّ التَّعَزِّيَةَ أَمْرٌ مَقْصُودٌ شَرْعًا، وَلَا وَسِيلَةَ لِتَحْصِيلِهَا فِي مِثْلِ هَذِهِ الْأَزْمَنَةِ إِلَّا بِاِسْتِقْبَالِ الْمُعَزِّينَ، وَالْجُلُوسِ لِذَلِكَ، فَإِنَّ ذَلِكَ مِمَّا يُعِينُهُمْ عَلَى أَدَاءِ السُّنَّةِ.

Adapun berkenaan dengan pendapat yang mengatakan bahwa berkumpul untuk ta'ziyah [menyampaikan belasungkawa] itu termasuk bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya, maka jawabannya adalah sbb:

Bahwa berkumpul untuk ta'ziyah termasuk dalam kategori tradisi atau adat istiadat, bukan dalam katagori ibadah. Dan hukum bid'ah itu tidak berlaku pada tradisi atau adat istiadat.

Prinsip dasar yang berkaitan dengan tradisi atau adat istiadat adalah diperbolehkan. Terlebih lagi, berta'ziyah itu adalah sesuatu yang disyariatkan dalam syariat.

Dan pada masa kini tidak ada cara untuk mewujudkannya kecuali dengan menerima orang-orang yang datang untuk berta'ziyaj [menyampaikan belasungkawa], serta duduk-duduk untuk menerima ucapan ta'ziyah [belasungkawa], karena sesungguhnya hal tersebut bisa membantu untuk menunaikan sunnah ". [Selesai]

Pendapat yang yang mengatakan boleh dan tidak mengapa berkumpul dan duduk-duduk untuk ta'ziah, selama di dalamnya tidak ada kemunkaran dan bid’ah, dan selama itu tidak memperbaharui kesedihan keluarga mayit atau tidak melanggengkannya, atau tidak membebani keluarga almarhum secara finansial dan lainnya . Ini adalah pendapat sebagian madzhab Hanafi, sebagian madzhab Maaliki, dan sebagian madzhab Hanbali. [Lihat: al-Bahr ar-Raa'iq, 2/207; Mawaahib al-Jaliil, 2/230, al-Kaafi (1/283) oleh Ibnu 'Abd al-Barr dan Al-Insaaf oleh al-Madawai 2/565]

Dari kalangan ulama kontemporer masa kini, pendapat ini didukung oleh Syekh 'Abd al-'Aziz ibn Baaz rahimahullah sebagaimana disebutkan dalam Majmu' al-Fataawa (13/373) . Dan ini adalah pendapat yang disukai oleh Syekh Muhammad al-Mukhtaar asy-Syanqiiti dalam Silsilah Durus Syarh az-Zaad.

Ibnu Nujaym al-Hanafi berkata:

“وَلَا بَأْسَ بِالْجُلُوسِ إلَيْهَا ثَلَاثًا مِنْ غَيْرِ ارْتِكَابِ مَحْظُورٍ مِنْ فَرْشِ الْبُسُطِ وَالْأَطْعِمَةِ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ ".

Tidak ada salahnya duduk-duduk untuk ta'ziyah selama tiga hari, tanpa melakukan perbuatan yang dilarang seperti membebani keluarga almarhum dengan menggelar karpet-karpet dan makanan dari pihak keluarga mayit . [Akhir kutipan dari Al-Bahr ar-Raa'iq, 2/207

FATWA SYEIKH BIN BAAZ:

Syeikh Bin Baaz ditanya tentang menerima orang-orang yang datang berta'ziyah, dan duduk-duduk untuk berta'ziyah.

Beliau menjawab:

“لَا أَعْلَمُ بَأْسًا فِيمَن نُزِلَتْ بِهِ مُصِيبَةٌ بِمَوْتِ قَرِيبٍ، أَوْ زَوْجَةٍ، وَنَحْوِ ذَلِكَ، أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْمُعَزِّينَ فِي بَيْتِهِ فِي الْوَقْتِ الْمُنَاسِبِ؛ لِأَنَّ التَّعْزِيَةَ سُنَّةٌ، وَاِسْتِقْبَالَ الْمُعَزِّينَ مِمَّا يُعِينُهُمْ عَلَى أَدَاءِ السُّنَّةِ؛ وَإِذَا أَكْرَمَهُمْ بِالْقَهْوَةِ، أَوِ الشَّايِ، أَوِ الطِّيبِ، فَكُلُّ ذَلِكَ حَسَنٌ".

Saya melihat tidak ada yang salah bagi orang yang terkena musibah meninggalnya sanak saudara atau istri dan sejenisnya untuk menerima orang-orang yang datang berta'ziyah ke rumahnya pada waktu yang munasib [bertepatan], karena berta'ziyah itu sunnah. Dan menerima orang yang datang untuk bertakziyah adalah sesuatu yang membantu mereka untuk menunaikan Sunnah. Dan jika mereka menghormatinya dengan menghidangkan qahwah [kopi] atau teh atau parfum, maka semua itu adalah baik dan bagus" . [Dikutip dari: Majmu' Fataawa wa Maqaalaat Mutanawwi'ah, 13/373].

FATWA SYEIKH SHALIH AAL ASY-SYAIKH:

Syekh Shaalih Aal ash-Syaikh berkata:

“وَالَّذِي رَأَيْنَاهُ مِنْ عُلَمَائِنَا فِي هَذَا الْبَلَدِ وَفِي غَيْرِهِ حَتَّى عُلَمَاءِ الدَّعْوَةِ مِنْ قَبْلِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَجْلِسُونَ؛ لِأَنَّهُ لَا تَكُونُ الْمُصْلِحَةُ إِلَّا بِذَلِكَ، إِذَا فَاتَ ذَلِكَ فَاتَتْ سُنَّةُ التَّعَزِّيَةِ".

Apa yang kami lihat dari para ulama kami di negeri ini dan negeri-negeri lain, bahkan para ulama dakwah sebelumnya, mereka biasa duduk-duduk (untuk berta'ziyah). Karena kemaslahatan tersebut tidak bisa tercapai kecuali dengan itu, dan jika itu tidak dilakukan, maka sunnah berta'ziyah tidak dapat dilakukan.

[Dari website Aal asy-Syekh: http://saleh.af.org.sa/node/42].

Bahkan menurut para ulama yang berpendapat bahwa berkumpul ta'ziyah itu makruh, tidak lagi makruh jika diperlukan, seperti yang diketahui para ulama. Maka tentu saja duduk untuk ta'ziyah semakin dibutuhkan saat itu ; karena bisa memudahkan orang yang ingin berta'ziyah [menyampaikan belasungkawa] dan menghilangkan kesulitan.

Bisa jadi anak-anak almarhum dan kerabatnya tinggal di kota yang berbeda atau di lokasi yang berjauhan satu sama lain dalam kota yang sama, sehingga menyulitkan bagi mereka yang ingin berta'ziyah [menyampaikan belasungkawa] untuk melakukan perjalanan pulang pergi antar rumah mereka dan rumah almarhum ..

Alasan ini telah disebutkan pula oleh Syeikh 'Abdul Aziz Bin Baaz ketika ditanya tentang hukum duduk-duduk untuk ta'ziyah .

Beliau menjawab:

"إِذَا جَلَسُوا حَتَّى يُعَزِّيْهِمْ النَّاسُ فَلَا حَرَجَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ حَتَّى لَا يَتَعَبُوا النَّاسُ، لَكِنْ مِنْ دُونِ أَنْ يَصْنَعُوا لِلنَّاسِ وَلِيمَةً".

Jika mereka duduk-duduk hingga orang-orang bisa menyampaikan ta'ziyah [belasungkawa], maka itu tidak mengapa, insya Allah, agar mereka tidak melelahkan orang-orang berta'ziyah, tetapi tanpa membuatkan untuk orang-orang tersebut acara walimahan ". [Akhir kutipan. Majmu' al-Fataawa, 13/382]

FATWA SYEIKH MUH. AL-MUKHTAR ASY-SYINQITHY:

Syekh Muhammad al-Mukhtaar asy-Syanqiithi berkata:

"كَانَ السَّلَفُ يَمْنَعُونَ ذَلِكَ، وَكَانَ الإِمَامُ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ يُشَدِّدُ فِي ذَلِكَ كَثِيرًا وَيَمْنَعُ مِنْهُ، وَعَلَى ذَلِكَ دَرَجَ فِعْلُ السَّلَفِ، لَكِنْ أَفْتَى المُتَأَخِّرُونَ مِنَ العُلَمَاءِ وَالفُقَهَاءِ أَنَّهُ لَا حَرَجَ فِي هَذِهِ العُصُورِ المُتَأَخِّرَةِ.

وَالسَّبَبُ فِي ذَلِكَ: أَنَّ العُصُورَ الْمَتَقَدِّمَةَ كَانَ النَّاسُ قَلِيلِينَ، وَيُمْكِنُكَ أَنْ تَرَى آلَ الْمَيِّتِ فِي الْمَسْجِدِ، وَأَنْ تَرَاهُمْ فِي الطَّرِيقِ، وَأَنْ تَرَاهُمْ فِي السَّابِلَةِ وَتُعَزِّي، وَكَانَ الْأَمْرُ رِفَقًا، بَلْ قَلَّ أَنْ يَمُوتَ مَيِّتٌ إِلَّا وَعَلِمَ أَهْلُ الْقَرْيَةِ كُلَّهُمْ وَشَهِدُوا دَفْنَهُ، فَكَانَ الْعَزَاءُ يَسِيرًا.

لَكِنَّ فِي هَذِهِ الأَزْمَنَةِ اتَّسَعَ الْعُمْرَانُ، وَصُعِبَ عَلَيْكَ أَنْ تَذْهَبَ لِكُلِّ قَرِيبٍ فِي بَيْتِهِ، وَيَحْصُلُ بِذَلِكَ مِنَ الْمَشَقَّةِ مَا اللَّهُ بِهِ عَلِيمٌ، وَفِيهِ عُنَاءٌ، لِذَلِكَ لَوِ اجْتَمَعُوا فِي بَيْتِ قَرِيبٍ مِنْهُمْ كَانَ أَرْفَقَ بِالنَّاسِ وَأَرْفَقَ بِهِمْ، وَأَدْعَى لِحُصُولِ الْمَقْصُودِ مِنْ تَعَزِّيَةِ الْجَمِيعِ وَالْجَبْرِ بِخَوَاطِرِ الْجَمِيعِ، وَلِذَلِكَ أَفْتَوْا بِأَنَّهُ لَا حَرَجَ -فِي هَذِهِ الْحَالَةِ- مِنْ جُلُوسِهِمْ، وَلَا يُعْتَبَرُ هَذَا مِنَ النِّيَاحَةِ، بَلْ إِنَّهُ مَشْرُوعٌ لِوُجُودِ الْحَاجَةِ لَهُ."

“Para salaf (generasi awal) melarang hal itu, dan Imam Maalik rahimahullah sangat tegas dalam hal ini dan melarangnya. Begitulah cara salaf, namun kemudian para ulama dan fuqaha mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa tidak ada salahnya di abad-abad akhir ini.

Sebabnya, dahulu kala orang hanya sedikit dan orang bisa melihat keluarga almarhum di masjid, di jalan, atau saabilah [jalan berlalu lalang orang], dan menyampaikan ta'ziyah [belasungkawa] kepada mereka, dan perkaranya pada masa itu mudah. Bahkan bisa dibilang jika seseorang meninggal, maka seluruh penduduk desa akan mengetahui dan akan menghadiri pemakamannya, dan menyampaikan belasungkawa itu mudah.

Namun pada masa sekarang-sekarag ini banyak orang yang tinggal di kota besar dan sulit bagi nada untuk mengunjungi setiap kerabat di rumahnya ; Hal ini menyebabkan kesulitan yang hanya diketahui oleh Allah, dan hal ini memberatkan.

Oleh karena itu jika mereka berkumpul di rumah salah satu kerabat, maka hal itu lebih mudah bagi orang-orang dan lebih mudah bagi mereka, dan lebih efektif dalam mencapai tujuan menyampaikan ta'ziyah [belasungkawa] kepada semua dan menghibur mereka semua.

Oleh karena itu mereka mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa dalam hal ini tidak ada salahnya mereka duduk (untuk menerima ta'ziyah) . Dan itu tidak termasuk dalam kategori meratap (yang haram); bahkan itu disyariatkan karena ada kebutuhan.

[Akhir kutipan dari Silsilah Duruus Syarah az-Zaad ( asy-Syamilah 86/16)] .

Banyak para ulama yang mengingkari dan mencela Ijtima' [berkumpul untuk ta'ziyah] ; karena pada umumnya akan muncul hal-hal yang bid'ah dan munkar. Namun jika berkumpul untuk ta'ziyah tersebut yang bebas dari hal-hal tersebut, maka tidaklah mengapa.

FATWA SYAMSUDDIN AL-MANBAJI:

Syamsuddin al-Manbaji al-Hanbali berkata:

"إِن كَانَ الِاجْتِمَاعُ فِيهِ مَوْعِظَةٌ لِلْمُعَزَّى بِالصَّبْرِ وَالرِّضَا وَحَصَلَ لَهُ مِنَ الْهَيْئَةِ الِاجْتِمَاعِيَّةِ تَسْلِيَةٌ بِتَذَاكِرِهِمْ آيَاتِ الصَّبْرِ ، وَأَحَادِيثِ الصَّبْرِ وَالرِّضَا ، فَلَا بَأْسَ بِالِاجْتِمَاعِ عَلَى هَذِهِ الصِّفَةِ ، فَإِنَّ التَّعَزِّيَةَ سُنَّةٌ سَنَّهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ"

Jika di dalam berkumpul untuk ta'ziyah itu terdapat nasehat dan maw'idzoh kepada yang berduka agar bersabar dan menerima ketetapan Ilahi, dan dari lembaga masyarakat mendapatkan penghiburan dengan cara saling mengingatkan dengan ayat al-Quran dan hadits yang berbicara tentang kesabaran dan keridhoan, maka tidak ada salahnya berkumpul dengan cara ini. Karena sesungguhnya berta'ziyah itu merupakan sunnah Rasulullah ﷺ. [Akhir kutipan dari Tasliyah Ahlil-Mashaa'ib, hal. 121]

========

KESIMPULAN & RINGKASAN HUKUM:

========

Syeikh Muhammad Shalih al-Munajjid berkata dalam ما حُكْمُ اجْتِمَاعِ النَّاسِ فِي الْعَزَاءِ؟"" Islamqa fatwa no. 215016:

وَالْخُلَاصَةُ: أَنَّ مَسْأَلَةَ الْجُلُوسِ الْخَالِيَ مِنَ الْمُنكَرِ وَتَهَيِيْجِ الْأَحْزَانِ مَسْأَلَةٌ دَارَ فِيهَا الْخِلَافُ، وَهِيَ مَحَلُّ نَظَرٍ، وَالْأَمْرُ فِيهَا وَاسِعٌ، وَأَمَّا مَعَ وُجُودِ الْمُنكَرَاتِ وَالْبِدَعِ فَمَمْنُوعَةٌ.

وَأَمَّا مَعَ الْخَلْوِ مِنْهَا، فَأَدِلَّةُ الْقَوْلِ الثَّانِي – وَهُوَ الْقَوْلُ بِالْجَوَازِ – أَصَحُّ إِسْنَادًا، وَأَظْهَرُ دَلَالَةً، وَأَمَّا أَدِلَّةُ الْمَنْعِ فَهِيَ آثَارٌ ضَعِيفَةٌ، لَيْسَ مِنْهَا شَيْءٌ صَرِيحُ الرَّفْعِ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ، كَمَا أَنَّ دَلَالَتَهَا مُحْتَمَلَةٌ، إِذْ يَبْدُو أَنَّ الْمَنْعَ فِيهَا لَيْسَ عَنِ الْجُلُوسِ لِلتَّعْزِيَةِ الْمُجَرَّدَةِ، بَلْ عَنْ تَكَلُّفِ أَهْلِ الْمَيِّتِ لِلنَّاسِ بِصَنْعِ الطَّعَامِ وَقَدْ جَاءَهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ بِالْمُصِيبَةِ.

ثُمَّ لَا يَخْفَى أَنَّ الْقَوْلَ بِالْجَوَازِ هُوَ الْأَقْرَبُ إِلَى الْيُسْرِ وَرَفْعِ الْحَرَجِ، وَخَاصَةً مَعَ اخْتِلَافِ الزَّمَانِ وَتَنَوُّعِ مَشَاغِلِ النَّاسِ، مِمَّا اضْطُرَّهُمْ إِلَى اتِّخَاذِ بَعْضِ الْأَعْرَافِ الَّتِي تَسَاعُدُهُمْ عَلَى تَنْظِيمِ أُمُورِ حَيَاتِهِمْ، وَمِنْهَا اجْتِمَاعُ أَهْلِ الْمَيِّتِ لِتَلْقِي مُوَاسَاةِ النَّاسِ وَتَعْزِيتِهِمْ فِي بِدَايَةِ هَذِهِ الْمُصِيبَةِ، فَلَا يَضْطُرُّ الْمُعِزُّونَ إِلَى التَّفْتِيشِ عَنْ أَهْلِ الْمَتُوفَى وَاحِدًا وَاحِدًا فِي أَمَاكِنِ عَمَلِهِمْ أَوْ مَسَاجِدِهِمْ أَوْ حَتَّى بُيُوتِهِمْ، وَلَا يَلْجَؤُونَ إِلَى تَرْكِ أَعْمَالِهِمْ أَيَّامًا كَثِيرَةً لِإِدْرَاكِ ذَلِكَ مَعَ بُعْدِ الْمَسَافَاتِ وَاخْتِلَافِ الظُّرُوفِ وَالْأَوْقَاتِ.

فَلَوْ لَمْ يَكُنْ فِي الْقَوْلِ بِالْجَوَازِ إِلَّا رَفْعُ الْمَشَقَّةِ وَالْحَرَجِ عَنِ النَّاسِ لَكَانَ كَافِيًا فِي تَرْجِيحِهِ، فَكَيْفَ وَقَدْ عَضَدَتْهُ الْأَدِلَّةُ الصَّرِيحَةُ الصَّحِيحَةُ! وَاللَّهُ أَعْلَمُ.

Kesimpulan: Masalah duduk-duduk (untuk ta'ziyah) yang bebas dari kemungkaran dan bebas dari hal yang menambah gejolak rasa sedih, maka ini adalah masalah yang terdapat perbedaan pendapat dan cakupannya luas ; akan tetapi jika di dalamnya terdapat kemungkaran dan bid'ah ; maka itu tidak diperbolehkan.

Namun jika bebas dari hal-hal tersebut, maka dalil-dalil yang mendukung pendapat kedua, yaitu pendapat boleh, lebih shahih dari segi sanadnya, dan lebih jelas dari segi dalilnya.

Adapun dalil-dalil pendapat yang melarangnya maka riwayat-riwayatnya adalah dhaif (lemah), tidak ada satupun yang jelas-jelas marfu' kepada Nabi ﷺ. Selain itu, dalil-dalil tersebut masih bisa ditafsirkan karena larangan tersebut tampaknya bukan pada kumpul-kumpul untuk ta'ziyah, melainkan karena membebani keluarga almarhum serta membuat mereka sibuk membuatkan makanan untuk orang-orang bertakziyah, padahal mereka sendiri sedang disibukkan dengan musibah kematian yang menimpa mereka.

Selain itu, jelas sekali bahwa pendapat yang membolehkan lebih mendekati kemudahan bagi manusia, apalagi seiring dengan perubahan zaman dan kesibukan manusia, sehingga membuat orang-orang terpaksa untuk menerapkan adat-istiadat yang dapat membantu mengatur urusannya, diantaranya adalah berkumpul untuk ta'ziyah yang di dalamnya keluarga almarhum dapat menerima ucapan ta'ziyah [belasungkawa] dari orang-orang ketika musibah masih baru terjadi, sehingga yang ingin menyampaikan belasungkawa tidak perlu mencari satu persatu keluarga almarhum di tempat kerja mereka masing-masing, atau di masjid atau bahkan di rumah mereka. Dan mereka tidak harus meninggalkan pekerjaan mereka selama beberapa hari demi untuk mencapai hal tersebut, meskipun jarak tempuh antara mereka saling berjauhan serta keadaan dan waktu mereka berbeda-beda.

Jika seandainya pendapat yang mengatkan bahwa hal itu diperbolehkan hanya karena alasan tidak lebih dari sekadar meringankan beban orang, maka hal itu sudah cukup untuk menganggap pendapat ini adalah lebih benar. Lalu bagaimana jika didukung oleh dalil-dalil yang jelas dan Shahih ?

Wallaahu a'lam .

Posting Komentar