TATA CARA DUDUK YANG MAKRUH & YANG MUSTAHAB SAAT MAKAN
Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
بسم
الله الرحمن الرحيم
=====
PERTAMA : HUKUM DUDUK "AL-ITTIKAA" SAAT MAKAN
[YAITU : MAKAN SAMBIL DUDUK BERSANDARAN MIRING SETENGAH BERBARING SEPERTI MAKANNYA SEORANG RAJA]
( لَا
آكُلُ مُتَّكِئًا )
"Aku tidak makan sambil duduk al-ittikaa [bersandaran miring]".
FIQIH HADITS :
Tidak disukainya atau dimakruhkannya cara makan sambil al-ittikaa [bersandaran setengah berbaring] dalam hadits ini karena dikahwatirkan ada indikasi kesombongan , takabbur dan khuyalaa .
Al-Qaari berkata dalam al-Mirqaah:
نُقِلَ
فِي الشِّفَاءِ عَنِ الْمُحَقِّقِينَ أَنَّهُمْ فَسَّرُوهُ بِالتَّمْكِينِ
لِلْأَكْلِ وَالْقُعُودِ فِي الْجُلُوسِ كَالْمُتَرَبِّعِ الْمُعْتَمَدِ عَلَى
وَطَاءٍ تَحْتَهُ؛ لِأَنَّ هَذِهِ الْهَيِئَةِ تَسْتَدْعِي كَثْرَةَ الْأَكْلِ وَتَقْتَضِي
الْكِبَرَ"
"Diriwayatkan dalam asy-Syifa' dari
sebagian mufasir bahwa mereka mengartikan duduk dengan nyaman dan santai untuk
makan adalah seperti duduk bersila di atas bantalan yang ada dibawahnya ,
karena hal ini menyebabkan makan banyak dan menjadikan seseorang menjadi sombong".
[Kutipan akhir dari 'Awn al-Ma'buud Sharh Sunan Abi Dawud, 10/244]
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam al-Fath 9/41
berkata :
ذَكَرَ
فِي الطَّرِيقِ الَّتِي بَعْدَهَا لَهُ سَبَبًا مُخْتَصَرًا وَلَفْظُهُ فَقَالَ لِرَجُلٍ
عِنْدَهُ لَا آكُلُ وَأَنَا مُتَّكِئٌ قَالَ الْكِرْمَانِيُّ اللَّفْظُ الثَّانِي أَبْلَغُ
مِنَ الْأَوَّلِ فِي الْإِثْبَاتِ وَأَمَّا فِي النَّفْيِ فَالْأَوَّلُ أَبْلَغُ .
اهـ .
وَكَانَ
سَبَبُ هَذَا الْحَدِيثِ قِصَّةَ الْأَعْرَابِيِّ الْمَذْكُورِ فِي حَدِيثِ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ بُسْرٍ عِنْدَ بن مَاجَهْ وَالطَّبَرَانِيِّ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ قَالَ
أَهْدَيْتُ لِلنَّبِيِّ ﷺ شَاةٌ فَجَثَا عَلَى رُكْبَتَيْهِ يَأْكُلُ فَقَالَ لَهُ
أَعْرَابِيٌّ مَا هَذِهِ الْجِلْسَةُ فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ جَعَلَنِي عَبْدًا كَرِيمًا
وَلم يَجْعَلنِي جَبَّارا عَنِيْدًا قَالَ بن بَطَّالٍ إِنَّمَا فَعَلَ النَّبِيُّ
ﷺ ذَلِكَ تَوَاضُعًا لِلَّهِ
"Disebutkan dalam jalur sanad yang
setelahnya , beliau (Nabi Muhammad ﷺ)
memiliki sebab dan alasan yang ringkas, yang lafadznya adalah:
Maka beliau ﷺ berkata
kepada seorang pria disisinya : 'Saya tidak akan makan, sementara saya duduk
sambil al-ittikaa [bersandaran setengah berbaring].'
Al-Kirmaani mengatakan : bahwa lafaz kedua
lebih jelas daripada yang pertama dalam penetapan, tetapi dalam peniadaan, yang
pertama lebih jelas [Slsai].
Adapun sebab wurudnya hadits ini adalah kisah
seorang Arab Badui yang disebutkan dalam hadits Abdullah bin Busr dalam Sunan
Ibnu Majah dan Mu'jam Aht-Thabarani dengan sanad yang HASAN . Arab Badui itu
berkata:
"Saya menghadiahkan kambing (bakar)
kepada Nabi ﷺ, kemudian beliau makan sambil duduk berlutut di atas kedua
tumitnya. Maka berkatalah seorang Arab badui : "Duduk apakah ini?". Beliau
(ﷺ) menjawab: "Sesungguhnya Allah menjadikanku sebagai
seorang hamba yang lemah lembut (mulia), dan tidak menjadikanku hamba yang keras
kepala dan sombong." [ Ibnu Majah no. 3254. Dishahihkan al-Albaani
dalam al-Irwa 7/27].
Ibnu Baththal berkata, 'Nabi (ﷺ) melakukan ini sebagai bentuk ketawadhu'an (kerendahan hati)
kepada Allah.'"
Lalu al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :
"
ثُمَّ ذَكَرَ مِنْ طَرِيقِ أَيُّوبَ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ أُتِيَ النَّبِيُّ ﷺ مَلَكٌ
لَمْ يَأْتِهِ قَبْلَهَا فَقَالَ إِنَّ رَبَّكَ يُخَيِّرُكُ بَيْنَ أَنْ تَكُونَ عَبْدًا
نَبِيًّا أَوْ مَلِكًا نَبِيًّا قَالَ فَنَظَرَ إِلَى جِبْرِيلَ كَالْمُسْتَشِيرِ لَهُ
فَأَوْمَأَ إِلَيْهِ أَنْ تَوَاضَعْ فَقَالَ بَلْ عَبْدًا نَبِيًّا قَالَ فَمَا أَكَلَ
مُتَّكِئًا اه وَهَذَا مُرْسَلٌ أَوْ مُعْضَلٌ وَقَدْ وَصَلَهُ النَّسَائِيُّ مِنْ
طَرِيقِ الزُّبَيْدِيِّ عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بن عَبَّاس
قَالَ كَانَ بن عَبَّاسٍ يُحَدِّثُ فَذَكَرَ نَحْوَهُ".
"Kemudian Ibnu Baththal menyebutkan
dari jalur Ayyub, dari Az-Zuhri, dia berkata:
'Nabi (ﷺ)
dikunjungi oleh seorang malaikat yang belum pernah datang kepadanya
sebelumnya.' Malaikat itu berkata : 'Sesungguhnya Tuhanmu memberikan pilihan
kepadamu, apakah kamu ingin menjadi seorang hamba dan nabi atau
menjadi raja dan nabi ? '
Nabi (ﷺ)
melihat kepada Jibril seakan-akan meminta pendapatnya, dan Jibril
mengisyaratkan kepadanya untuk bertawadhu' [merendahkan diri]. Nabi (ﷺ) kemudian menjawab : "Saya lebih memilih menjadi seorang
hamba dan nabi" .
Lalu beliau tidak makan dalam posisi duduk sambil al-ittikaa [bersandaran setengah berbaring].'
Ini adalah riwayat yang diriwayatkan oleh
An-Nasa'i melalui jalur Az-Zubaydi dari Az-Zuhri, dari Muhammad bin Abdullah
bin Abbas, dia berkata, 'Ibnu Abbas menceritakan cerita serupa".
Lalu al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :
وَأَخْرَجَ
أَبُو دَاوُدَ مِنْ حَدِيثِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ مَا رُؤِيَ
النَّبِيُّ ﷺ يَأْكُلُ مُتَّكِئًا قطّ وَأخرج بن أَبِي شَيْبَةَ عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ
مَا أَكَلَ النَّبِيُّ ﷺ مُتَّكِئًا إِلَّا مَرَّةً ثُمَّ نَزَعَ فَقَالَ اللَّهُمَّ
إِنِّي عَبْدُكَ وَرَسُولُكَ وَهَذَا مُرْسَلٌ وَيُمْكِنُ الْجَمْعُ بِأَنَّ تِلْكَ
الْمَرَّةَ الَّتِي فِي أَثَرَ مُجَاهِدٌ مَا اطَّلَعَ عَلَيْهَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
عَمْرٍو فَقَدْ أَخْرَجَ بن شَاهِينَ فِي نَاسِخِهِ مِنْ مُرْسَلِ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ
أَنَّ جِبْرِيلَ رَأَى النَّبِيُّ ﷺ يَأْكُلُ مُتَّكِئًا فَنَهَاهُ وَمِنْ حَدِيثِ
أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ لَمَّا نَهَاهُ جِبْرِيلُ عَنِ الْأَكْلِ مُتَّكِئًا لَمْ
يَأْكُلْ مُتَّكِئًا بَعْدَ ذَلِكَ".
"Dan Abu Dawud meriwayatkan dari hadits
Abdullah bin Amr bin Al-Ash, dia berkata, ' Nabi ﷺ tidak
pernah nampak terlihat makan sambil al-ittikaa [bersandaran setengah berbaring].'
Ibnu Abi Shaybah juga meriwayatkan dari Mujahid, dia berkata : 'Nabi ﷺ tidak pernah makan sambil ber-ittikaa [bersandaran miring] kecuali hanya sekali, kemudian beliau tidak pernah melakukannya lagi. Beliau kemudian bersabda : 'Ya Allah, aku adalah hamba-Mu dan Rasul-Mu". Dan sanad ini adalah mursal .'
Mungkin bisa diagbungkan bahwa yang dimaksud
dengan kejadian yang tersebut dalam Atsar Mujaahid tidak pernah dilihat oleh
Abdullah bin Amr. Ibnu Shahin juga meriwayatkan dalam kitab Nasikh-nya : dari
mursal Atha' bin Yasar : bahwa Jibril melihat Nabi ﷺ makan
sambil al-ittikaa [bersandaran setengah berbaring], kemudian Jibril melarangnya.
Dalam riwayat dari Anas, ketika Jibril
melarangnya makan sambil bert ittikaa [bersandaran miring], maka Nabi ﷺ tidak
melakukannya lagi setelah itu.'"
PENJELASAN MAKNA AL-ITTIKAA :
Yang dimaksud dengan bersandaran miring adalah
cara duduk yang membuat seseorang terlalu nyaman dan santai, karena dapat
menyebabkan dia tergoda untuk makan banyak, yang mana hal ini tercela menurut
syariat.
Oleh karena itu an-Nawawi dalam Sharh Muslim berkata:
"وَمَعْنَاهُ : لَا آكُلُ أَكْلَ مَنْ
يُرِيدُ الِاسْتِكْثَارَ مِنَ الطَّعَامِ، وَيَقْعُدُ لَهُ مُتَمَكِّنًا، بَلْ
أَقْعُدُ مُسْتَوْفِزًا وَآكُلُ قَلِيلً".
Artinya: Saya tidak makan seperti orang yang
ingin makan banyak dan duduk dengan nyaman; sebaliknya aku duduk seperti
orang yang akan segera bangun dan aku makan sedikit.
[Kutipan dari Mirqootul Mafaatiih 7/2703 dan
Fathul Mun'im Syarah Shahih Muslim 8/256]
Ali al-Qoori berkata dalam Mirqootul Mafaatiih
7/2703 :
قُلْتُ:
وَيُؤَيِّدُهُ مَا رَوَاهُ ابْنُ سَعْدٍ وَغَيْرُهُ عَنْ عَائِشَةَ: " «آكُلُ
كَمَا يَأْكُلُ الْعَبْدُ، وَأَجْلِسُ كَمَا يَجْلِسُ الْعَبْدُ» ".
(وَفِي
رِوَايَةٍ) : أَيْ: لِمُسْلِمٍ (يَأْكُلُ مِنْهُ) : أَيْ مِنَ التَّمْرِ (أَكْلًا ذَرِيعًا)
: أَيْ مُسْتَعْجِلًا سَرِيعًا، قَالَ النَّوَوِيُّ: وَكَانَ اسْتِعْجَالُهُ لِاسْتِيفَازِهِ
لِأَمْرٍ أَهَمَّ مِنْ ذَلِكَ، فَأَسْرَعَ فِي الْأَكْلِ لِيَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ
وَيَرُدَّ الْجَوْعَةَ، ثُمَّ يَذْهَبَ فِي ذَلِكَ الشُّغْلِ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)".
"Saya berkata: Dan itu diperkuat
dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dan yang lainnya dari Aisyah :
'Aku makan seperti budak makan dan aku duduk
seperti budak duduk.'"
(Dalam riwayat lain): Yakni riwayat Muslim
" beliau makan dari nya ", yaitu dari kurma, "dengan cara yang
singkat], artinya dengan cepat dan buru-buru . Imam Nawawi mengatakan: Karena
dia terburu-buru untuk menyelesaikan sesuatu yang lebih penting, maka dia makan
dengan cepat untuk memenuhi kebutuhan darinya dan meredakan rasa laparnya, lalu
dia kembali ke pekerjaannya. (Diriwayatkan oleh Muslim)
Al-Haafiz rahimahullah berkata:
"وَاخْتُلِفَ
فِي صِفَةِ الِاتِّكَاءِ فَقِيلَ أَنْ يَتَمَكَّنَ فِي الْجُلُوسِ لِلْأَكْلِ
عَلَى أَيِّ صِفَةٍ كَانَ وَقِيلَ أَنْ يَمِيلَ عَلَى أَحَدِ شِقَّيْهِ وَقِيلَ أَنْ
يَعْتَمِدَ عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى مِنَ الْأَرْضِ قَالَ الْخَطَّابِيُّ تَحْسَبُ
الْعَامَّةُ أَنَّ الْمُتَّكِئَ هُوَ الْآكِلُ عَلَى أَحَدِ شِقَّيْهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ
بَلْ هُوَ الْمُعْتَمِدُ عَلَى الْوِطَاءِ الَّذِي تَحْتَهُ قَالَ وَمَعْنَى الْحَدِيثِ
إِنَى لَا أَقْعُدُ مُتَّكِئًا عَلَى الْوِطَاءِ عِنْدَ الْأَكْلِ فِعْلَ مَنْ يَسْتَكْثِرُ
مِنَ الطَّعَامِ فَإِنِّي لَا آكُلُ إِلَّا الْبُلْغَةَ مِنَ الزَّادِ فَلِذَلِكَ أَقْعُدُ
مُسْتَوْفِزًا".
Ada perbedaan pendapat mengenai tata cara
al-ittikaa :
Maka ada yang berpendapat : bahwa ini mengacu pada duduk dengan cara yang
nyaman dan santai, apa pun bentuknya.
Dan ada yang berpendapat : Mengacu pada cara
duduk sambil berbaring miring pada salah satu bagian tubuhnya.
Dan ada yang berpendapat : Bersandar pada
tangan kirinya yang ke tanah.
Al-Khattaabi berkata: Masyarakat awam mengira
bahwa makan sambil bersandaran berarti makan dengan posisi berbaring miring,
padahal tidak demikian. Melainkan mengacu pada duduk di atas
bantal. Maksud dari hadits tersebut adalah : aku tidak makan sambil duduk
di atas bantal , karena itu adalah seperti orang yang suka makan
banyak. Saya hanya mau makan asal cukup untuk membuat saya tetap berjalan,
oleh karena itu aku duduk seperti orang yang akan segera bangun".
[Akhiri kutipan dari Fath al-Baari
(9/541). Lihat: Ma'aalim as-Sunan karya al-Khattaabi (2/242); Zaad
al-Ma'aad karya Ibnu al-Qayyim, 4/202]
Al-Hafidz Ibnu Hajar 9/541 berkata :
وَأخرج
بن عَدِيٍّ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ زَجَرَ النَّبِيُّ ﷺ أَنْ يَعْتَمِدَ الرَّجُلُ عَلَى
يَدِهِ الْيُسْرَى عِنْدَ الْأَكْلِ قَالَ مَالِكٌ هُوَ نَوْعٌ مِنَ الِاتِّكَاءِ قُلْتُ
وَفِي هَذَا إِشَارَةٌ مِنْ مَالِكٍ إِلَى كَرَاهَةِ كُلِّ مَا يُعَدُّ الْآكِلُ فِيهِ
مُتَّكِئًا وَلَا يَخْتَصُّ بِصِفَةٍ بِعَيْنِهَا وَجَزَمَ بن الْجَوْزِيّ فِي تَفْسِير
الاتكاء بِأَنَّهُ الْميل عَلَى أَحَدِ الشِّقَّيْنِ وَلَمْ يَلْتَفِتْ لِإِنْكَارِ
الْخَطَّابِيُّ ذَلِك وَحكى بن الْأَثِيرِ فِي النِّهَايَةِ إِنَّ مَنْ فَسَّرَ الِاتِّكَاءَ
بِالْمِيلِ عَلَى أَحَدِ الشِّقَّيْنِ تَأَوَّلَهُ عَلَى مَذْهَبِ الطِّبِّ بِأَنَّهُ
لَا يَنْحَدِرُ فِي مَجَارِي الطَّعَامِ سَهْلًا وَلَا يُسِيغُهُ هَنِيئًا وَرُبَّمَا
تَأَذَّى بِهِ وَاخْتَلَفَ السَّلَفُ فِي حُكْمِ الْأَكْلِ مُتَّكِئًا فَزَعَمَ بن
الْقَاصِّ أَنَّ ذَلِكَ مِنَ الْخَصَائِصِ النَّبَوِيَّةِ وَتَعَقَّبَهُ الْبَيْهَقِيُّ
فَقَالَ قَدْ يُكْرَهُ لِغَيْرِهِ
"Ibnu 'Adiy meriwayatkan dengan sanad
yang lemah bahwa Nabi ﷺ melarang seseorang untuk bersandar pada tangan kirinya saat
makan. Malik berkata, itu adalah jenis al-Ittikaa [bersandaran saat makan].
Saya berkata : Dalam hal ini, isyarat dari Malik
akan makruhnya hukum segala sesuatu yang membuat seseorang makan dalam posisi al-ittikaa
[bersandaran], tanpa merinci jenisnya. Sementara Al-Jawzi berkeyakinan dalam
tafsir kata al-ittikaa adalah duduk miring ke salah satu sisinya. Dan dia tidak
menghiraukan pengingkaran dari Al-Khaththabi.
MENURUT ILMU KEDOKTERAN :
Ibnu Al-Atsir menyatakan : bahwa orang yang menafsiri makna duduk al-ittikaa itu adalah miring ke salah satu sisi , maka dia menginterpretasikannya sesuai dengan pandangan ilmu kedokteran, yaitu bahwa dengan posisi tersebut akan membuat makanan tidak mudah turun melandai ke dalam saluran makanan dan membuat makanan mudah tersendat, dan itu mungkin pula bisa menjadi penyakit .
APAKAH INI HANYA BERLAKU BAGI NABI ﷺ ?
Para
salaf berbeda pendapat tentang hukum makan sambil ittikaa [miring bersandaran].
Ibnu Al-Qaash berpendapat bahwa itu adalah bagian dari kekhususan kenabian [hanya
berlaku pada nabi]. Namun Al-Bayhaqi mengkritiknya dengan mengatakan : bahwa
itu mungkin dimakruhkan bagi yang lain." [Kutipan Selesai dari Fathul Bari]
========
KEDUA : CARA DUDUK YANG PERNAH NABI (ﷺ) LAKUKAN SAAT MAKAN
Mengenai tata cara duduk ketika ingin makan, Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya no. (3807) bahwa Anas bin Malik berkata:
"رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ مُقْعِيًا
يَأْكُلُ تَمْرًا" .
" Aku melihat Nabi (ﷺ) berlutut sambil makan kurma".
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
"وَالإِقْعَاءُ
أَن يُنْصَبَ قَدَمَيْهِ وَيَجْلِسَ عَلَى عَقَبَيْهِ، هَذَا هُوَ الإِقْعَاءُ وَإِنَّمَا
أَكَلَ النَّبِيُّ ﷺ كَذَلِكَ لِئَلَّا يَسْتَقِرَّ فِي الْجُلْسَةِ، فَيَأْكُلُ أَكْلاً
كَثِيرًا؛ لأَنَّ الْغَالِبَ أَنَّ الإِنسَانَ إِذَا كَانَ مُقْعِيًّا لَا يَكُونُ
مُطْمَئِنًا فِي الْجُلُوسِ فَلَا يَأْكُلُ كَثِيرًا وَإِذَا كَانَ غَيْرَ مُطْمَئِنٍ
فَلَنْ يَأْكُلَ كَثِيرًا وَإِذَا كَانَ مُطْمَئِنًا، فَإِنَّهُ يَأْكُلُ كَثِيرًا
هَذَا هُوَ الْغَالِب..."
Artinya : al-Iq'aa adalah duduk dengan cara menegakkan
kedua telapak kakinya, lalu duduk diatas kedua tumitnya , inilah yang
dimaksud dengan al-Iq'aa . Adapun Rasulullah ﷺ makan dengan cara seperti itu , tujuannya agar beliau ﷺ tidak terlalu nyaman dan tidak makan
terlalu banyak, karena biasanya jika seseorang duduk dengan posisi al-iq'aa , maka
ia merasa tidak terlalu nyaman sehingga ia tidak makan banyak.
Maka jika seseorang merasa tidak nyaman , maka
dia tidak akan pernah makan banyak, tapi jika dia merasa nyaman, maka dia akan
makan banyak. Hal inilah yang biasanya terjadi…
[Akhiri kutipan dari Sharh Riyaadh ash-Shaalihiin]
Al-Haafiz rahimahullah dalam al-Fath 9/542 berkata:
"
فَالْمُسْتَحَبُّ فِي صِفَةِ الْجُلُوسِ لِلْآكِلِ أَنْ يَكُونَ جَاثِيًا عَلَى
رُكْبَتَيْهِ وَظُهُورُ قَدَمَيْهِ أَوْ يَنْصِبُ الرِّجْلَ الْيُمْنَى وَيَجْلِسُ
عَلَى الْيُسْرَى".
"Yang mustahabb dalam cara duduk saat makan adalah duduk dengan lutut di atas lantai dan dengan telapak kaki terlihat, atau bisa juga dengan menegakkan kaki kanan dan duduk di atas kaki kiri." [Akhiri kutipan dari Fath al-Baari].
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
"وَلَـكِـنْ
أَحْسِـنْ مَـا يَـكُـونُ أَلَّا تَجْلِـسَ جَلْسَـةَ الإِنْـسَـانِ الـمُـطْمَئِــنِ
الـمُسْـتَـقِـرِ لِئَـلاَّ يَكُـونَ ذَلِكَ سَـبَبًا لِإِكْـثَـارِ الـطَّعَـامِ وَإِكْـثَـارِ
الـطَّعَامِ لَا يَـنْبَغِـي"
Tetapi sebaiknya jangan duduk dengan nyaman,
karena hal itu akan menyebabkan makan banyak, dan makan banyak itu tidak
pantas.
[Kutipan akhir dari Sharh Riyadh as-Saaliheen
4/226]
INILAH TIGA CARA DAN GAYA DUDUK SAAT MAKAN :
Pertama : Duduk bertumpu pada kedua lutut dan kedua punggung telapak kaki
Kedua : Berlutut dengan bagian kedua lutut bertumpu pada lantai [al-Iq'aa]:
Ketiga : Duduk dengan lutut kanan menghadap ke atas, bertumpu pada kaki kiri.
0 Komentar