NYANYIAN DAN PERMAINAN ALAT MUSIK PADA
ZAMAN NABI ﷺ
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN
- SENI BERNYANYI DAN MUSIK SEBELUM ISLAM.
- SENI BERNYANYI DAN MUSIK SEJAK ISLAM DATANG .
- NYANYIAN DAN PERMAINAN MUSIK PADA ZAMAN NABI ﷺ
- PERTAMA : NYANYIAN DAN PERMAINAN MUSIK DI HARI RAYA :
- KEDUA : NYANYIAN DAN PERMAINAN MUSIK DALAM ACARA PERNIKAHAN :
- KETIGA : NYANYI DAN PERMAINAN MUSIK DI SELAIN HARI RAYA DAN DI SELAIN PESTA PERNIKAHAN :
- NYANYIAN DAN MUSIK HIJRAH
- NYANYIAN AL-HUDAA DAN AN-NASHEB :
- HUKUM NYANYIAN AL-HUDA , AN-NASHEB DAN YANG SEMISALNYA
- PERNYATAAAN SEBAGIAN PARA ULAMA TENTANG NYANYIAN AL-HUDA
- HADITS-HADITS YANG MENGISYARATKAN HARAMNYA ALAT MUSIK DAN NYANYIAN
- BERIKUT INI SEBAGIAN HADITS-HADITS YANG MENUNJUKKAN HARAMNYA MUSIK DAN NYANYIAN
- PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM MENYANYI DAN BERMAIN MUSIK
- LALU BAGAIMANA HUKUM PRIA MENABUH REBANA DAN BERNYANYI ?
- YANG DISEPAKATI OLEH DUA KELOMPOK YANG BERBEDA PENDAPAT :
- PERNYATAAN IBNU QUDDAAMAH :
- PERNYATAAN AL-HAFIDZ IBNU RAJAB :
بسم الله
الرحمن الرحيم
PENDAHULUAN
Definisi Nyanyian :
Ibnu Mandzur dalam Lisan al-Arab (15/135) berkata :
الغناء يطلق في اللغة على " كلُّ مَنْ رَفَع صوتَه
ووَالاهُ فصَوْتُه عند العرب غِناءٌ ".
Nyanyian ( الغناء ) dalam bahasa disebutkan pada “ setiap orang yang meninggikan
suaranya serta mengatur nadanya, Maka suara tsb menurut orang Arab adalah
nyanyian.”
Ibnu Hajar
rahimahullah dalam Fathul Bari berkata:
“Al Ghina
(nyanyian) adalah sya’ir-sya’ir yang disenandungkan dengan suara yang indah
serta nada yang teratur.”
Definisi alat Musik :
Alat musik dalam bahasa Arab disebut ma’aazif (مَعَازِف) , yang berasal dari kata ‘azafa
yang berarti berpaling.
Adz Dzahabi
rahimahullah dalam Siyar A’lamin Nubala’ berkata:
“Al Ma’aazif
adalah setiap nama dari alat musik atau permainan (al-malahi) yang digunakan
untuk mengiringi nyanyian atau sya’ir.”
Perbedaan antara GENDANG dan REBANA [DUFF] : adalah kalau gendang itu tertutup dari dua sisi, berbeda dengan rebana yang terbuka hanya salah satu sisinya saja.
Bernyanyi dan bermain musik sebelum Islam hadir telah dikenal oleh orang-orang yang tinggal perkotaan, terutama oleh masyarakat yang tinggal di negeri-negeri yang berkembang dan maju , seperti di Persia, Romawi dan India.
Pada masa itu konser musik dan nyanyi biasa dijadikan sarana hiburan bagi orang-orang yang hidup dalam kemewahan, yang tenggelam dalam kenikmatan, dan terlibat dalam hawa nafsu setelah mereka memiliki semua sarana kehidupan yang bahagia serta pondasi-pondasi kehidupan telah terpenuhi . Dan diantara mereka juga ada banyak yang memiliki hobi bermain musik. Bahkan dalam sehari-harinya untuk mengisi waktu luang, mereka habiskan sebagian besar waktunya untuk itu .
Seperti biasanya dalam jiwa manusia, ketika kekosongan waktu melimpah dan mereka tidak disibukkan dengan ketaatan atau dengan hal-hal yang
bermanfaat dalam kehidupan agamanya atau aktivitas dunianya, maka pada saat itu hasil alamiahnya adalah mereka akan terlibat dalam hal-hal lain yang bisa menghibur dirinya dan memuaskan hawa nafsunya , yang mungkin hal-hal tersebut memiliki dampak negatif pada agama mereka atau dunia mereka.
Oleh karena itu, bernyanyi dan mengembangkannya dengan alat musik dan instrumennya menjadi tradisi yang meluas di kalangan bangsa Persia dan Romawi.
Pada masa itu, orang Arab belum begitu memperhatikan nyanyian dan alat musik hiburan, kecuali yang bersifat
primitif [badui] seperti Rebana [Duff] dan seruling [Mizmaar], karena mereka disibukkan dengan kerja mencari nafkah
dan disibukkan dengan memenuhi pondasi-pondasi kehidupan, serta terlibat dalam perang sengit yang berkelanjutan di antara sesama mereka di Jazirah Arab.
Jadi, jenis seni bernyanyi dan bermain musik yang ada di kalangan orang Arab sebelum Islam datang adalah sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian para sejarawan :
هُوَ الْغِنَاءُ الْبَدَائِيُّ
مِنَ الْحُدَاءِ وَالنَّصْبِ مِنْ غَيْرِ آلَاتِ طَرَبٍ وَمَعَازِفِ، أَوْ مَعَ الْبَدَائِيِّ
مِنْهَا كَالدَّفِّ وَالْمِزْمَارِ. فَالْغِنَاءُ عِنْدَهُمْ يَشْمَلُ النَّوْعَيْنِ
السَّابِقَيْنِ
Itu adalah jenis al-Hudaa [nyanyian arab badui sambil menggiring atau mengendarai untanya] dan an-Nasheb [nyanyian yang menyerupai al-Hudaa’ , hanya saja yang lebih halus], atau yang bersifat primitif [badui] seperti rebana [drum] dan seruling. Jadi nyanyian itu bagi mereka, hanya mencakup dua jenis nyanyian tersebut [al-Hudaa dan an-Nasheb].
Nyanyian Arab al-Hidaa atau al-Hudaa
=====
Adapun seni musik dan bernyanyi saat Islam datang pertam kali , maka penjelasannya cukup diwakili
oleh al-Hafidz al-Muhaddits , Ibnu Rajab - semoga Allah merahmatinya - yang
menyatakan:
" وَلَا رَيْبَ
أَنَّ الْعَرَبَ كَانَ لَهُمْ غِنَاءٌ يَتَغَنَّوْنَ بِهِ، وَكَانَ لَهُمْ دُفُوفٌ
يَضْرِبُونَ بِهَا، وَكَانَ غِنَاؤُهُمْ بِأَشْعَارِ الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ ذِكْرِ الْحَرُوبِ
وَنَدْبِ مَنْ قُتِلَ فِيهَا، وَكَانَتْ دُفُوفُهُمْ مِثْلَ الْغُرَابِيلِ، لَيْسَ
فِيهَا جَلَاجِلُ، كَمَا فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ - ﷺ -: "أَعْلِنُوا
النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ
".
"Tidak
diragukan lagi bahwa orang Arab memiliki seni bernyanyi yang mereka nikmati,
dan mereka memiliki alat musik Rebana [perkusi] yang mereka mainkan. Nyanyian
mereka biasanya merujuk pada syair-syair zaman Jahiliyah yang isinya menyebutkan tentang peperangan
dan ratapan terhadap orang-orang yang tewas dalam pertempuran. Alat musik Rebana [perkusi]
mereka itu seperti alat Ayakan Tepung, tanpa ada
jingling [kecrek] di dalamnya, seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah dari Nabi -
shallallahu ‘alaihi wa sallam -:
"أَعْلِنُوا النِّكَاحَ
وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ"
"Umumkanlah pernikahan ini, dan tabuhlah rebana".
Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata :
"فَكَانَ النَّبِيُّ يُرْخِصُ لَهُمْ فِي أَوْقَاتِ الْأَفْرَاحِ، كَالْأَعْيَادِ
وَالنِّكَاحِ وَقُدُوْمِ الْغَيْبِ فِي الضَّرْبِ لِلْجَوَارِيِّ بِالدُّفُوفِ، وَالتَّغْنِي
مَعَ ذَلِكَ بِهَذِهِ الْأَشْعَارِ، وَمَا كَانَ فِي مَعْنَاهَا .
فَلَمَّا فُتِحَتْ بِلَادُ
فَارِسٍ وَالرُّومِ ظَهَرَ لِلصَّحَابَةِ مَا كَانَ أَهْلُ فَارِسٍ وَالرُّومِ قَدِ
اعْتَادُوهُ مِنَ الْغِنَاءِ الْمُلَحَّنِ بِالْإِيقَاعَاتِ الْمَوْزُونَةِ، عَلَى
طَرِيقَةِ الْمُوسِيقَى بِالْأَشْعَارِ الَّتِي تُوصَفُ فِيهَا الْمُحَرَّمَاتُ مِنَ
الْخُمُورِ وَالصُّوَرِ الْجَمِيلَةِ الْمُثِيرَةِ لِلْهَوَى الْكَامِنِ فِي النُّفُوسِ،
الْمَجْبُولِ مَحَبَّتُهُ فِيهَا، بِآلَاتِ اللَّهْوِ الْمُطْرِبَةِ، الْمُخْرِجِ سَمَاعُهَا
عَنِ الْاِعْتِدَالِ، فَحِينَئِذٍ أَنْكَرَ الصَّحَابَةُ الْغِنَاءَ وَاسْتِمَاعَهُ،
وَنَهَوْا عَنْهُ وَغَلَّظُوا فِيهِ."
“Dulu
pada zaman Nabi ﷺ, beliau
mengizinkan mereka pada acar-acara bersuka ria, seperti hari raya , pernikahan
dan datangnya orang-orang yang lama pergi dan lama tidak berjumpa , untuk menabuh rebana oleh para budak perempuan ,
sambil bernyanyi dengan syair-syair ini, dan apa saja yang semakna dengannya.
Namun
setelah terjadinya penaklukan terhadap negri Persia dan Romawi , dari situ
nampak lah di mata para sahabat apa yang orang-orang Persia dan Romawi telah
terbiasa lakukan, yaitu mereka terbiasa bernyanyi dengan komposer musik yang
diiringi oleh irama [ritme] yang teratur, sebagaimana dalam gaya musik dengan
syair-syair yang menggambarkan tentang minuman-minuman keras yang diharamkan dan
tentang kecantikan wanita yang membangkitkan hawa nafsu yang tersembunyi di dalam
jiwa, yang bawaannya membuat seseorang menyukainya , diiringi dengan alat-alat
musik yang berdendang dan menghibur , yang menghasilkan irama suara yang
berimbang . Maka sejak itu para Sahabat mulai mengingkari akan bolehnya bernyanyi dan
mendengarkannya, dan melarangnya. Bahkan mereka semakin memperkeras larangannya
". [Selesai].
NYANYIAN DAN ALAT MUSIK PADA ZAMAN NABI ﷺ
=====PERTAMA : NYANYIAN DAN PERMAINAN MUSIK DI HARI RAYA :
HADITS KE 1:
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:
دَخَلَ أَبُو
بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا
تَقَاوَلَتِ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ. قَالَتْ: وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ.
فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ في بَيْتِ رَسُولِ اللهِ ﷺ؟ وَذَلِكَ فِي
يَوْمِ عِيدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ
عِيدًا، وَهَذَا عِيدُنَا
“Abu Bakar masuk
(ke tempatku) dan di dekatku ada dua anak perempuan dari wanita Anshar sedang
bernyanyi tentang apa yang dikatakan orang-orang Anshar pada masa Bu’ats
(perang di masa jahiliah antara suku Aus dan Khazraj).”
Aisyah berkata: “Keduanya bukanlah
penyanyi.” Abu Bakar lalu berkata: “Apakah seruling-seruling setan di
rumah Rasulullah ﷺ!?”
Saat itu sedang hari raya, maka
Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai
Abu Bakar, biarkan mereka karena sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya,
dan ini adalah hari raya kita.”
(HR. Bukhari, no. 909 dan Muslim no.
1479 )
Dan dalam hadits riwayat Muslim no. 1479 terdapat
tambahan :
جَارِيَتَانِ
تَلْعَبَانِ بِدُفٍّ
“Dua
budak perempuan yang bermain musik REBANA”.
HADITS KE 2 :
Dalam hadits riwayat Bukhari no.944 disebutkan bahwa :
“Dua anak perempuan tersebut memainkan musik REBANA di hari Mina (hari
Tasyrik).
Dari
['Aisyah radliallahu 'anha]
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِي أَيَّامِ
مِنًى تُغَنِّيَانِ وَتُدَفِّفَانِ وَتَضْرِبَانِ وَالنَّبِيُّ ﷺ مُتَغَشٍّ
بِثَوْبِهِ فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ وَجْهِهِ
فَقَالَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ وَتِلْكَ
الْأَيَّامُ أَيَّامُ مِنًى وَقَالَتْ عَائِشَةُ رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ
يَسْتُرُنِي وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي
الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُمْ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ دَعْهُمْ أَمْنًا بَنِي أَرْفِدَةَ
يَعْنِي مِنْ الْأَمْنِ
bahwa
Abu Bakr radliallahu 'anhu datang kepada ('Aisyah radliallahu 'anha) saat di
sisinya ada dua orang budak perempuan yang sedang bernyanyi, bermain REBANA dan
menabuhnya pada hari-hari Mina.
Sementara
Nabi ﷺ menutup
wajahnya dengan kainnya. Kemudian Abu Bakar radliallahu 'anhu melarang dan
menghardik kedua sahaya itu. Maka Nabi ﷺ melepas kain yang menutupi wajahnya dan berkata:
"Biarkanlah wahai Abu Bakar. Karena ini adalah Hari Raya 'Ied".
Hari-hari
saat itu adalah hari-hari Mina (Tasyriq).
Dan
berkata 'Aisyah radliallahu 'anha; "Aku melihat Nabi ﷺ menutupi
aku dengan (badannya) sedangkan aku menyaksikan budak-budak dari Habasyah itu
bermain di dalam masjid. Tiba-tiba dia ('Umar radliallahu 'anhu) menghentikan
mereka. Maka Nabi ﷺ berkata:
"Biarkanlah mereka dengan jaminan Bani Arfidah, yaitu keamanan".
HADITS KE TIGA :
Dari
'Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :
دَخَلَ عَلَيَّ
رَسولُ اللَّهِ ﷺ وعِندِي جارِيَتانِ تُغَنِّيانِ بغِناءِ بُعاثَ، فاضْطَجَعَ علَى
الفِراشِ، وحَوَّلَ وجْهَهُ، ودَخَلَ أبو بَكْرٍ، فانْتَهَرَنِي وقالَ: مِزْمارَةُ
الشَّيْطانِ عِنْدَ النبيِّ ﷺ، فأقْبَلَ عليه رَسولُ اللَّهِ عليه السَّلامُ
فقالَ: دَعْهُما، فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُما فَخَرَجَتا، وكانَ يَومَ عِيدٍ،
يَلْعَبُ السُّودانُ بالدَّرَقِ والحِرابِ، فَإِمَّا سَأَلْتُ النبيَّ ﷺ، وإمَّا
قالَ: تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ؟ فَقُلتُ: نَعَمْ، فأقامَنِي وراءَهُ، خَدِّي علَى
خَدِّهِ، وهو يقولُ: دُونَكُمْ يا بَنِي أرْفِدَةَ. حتَّى إذا مَلِلْتُ، قالَ:
حَسْبُكِ؟ قُلتُ: نَعَمْ، قالَ: فاذْهَبِي.
"Rasulullah
ﷺ masuk
menemuiku saat ketika di sisiku ada dua budak wanita yang sedang bersenandung
dengan lagu-lagu (tentang perang) Bu'ats. Maka beliau berbaring di atas tikar
lalu memalingkan wajahnya.
Kemudian
masuklah Abu Bakar mencelaku, ia mengatakan, "Seruling-seruling setan
(kalian perdengarkan) di hadapan Nabi ﷺ!"
Rasulullah
ﷺ lantas
memandang kepada Abu Bakar seraya berkata: "Biarkanlah keduanya."
Setelah
beliau sudah tidak menghiraukan lagi, maka akupun memberi isyarat kepada kedua
sahaya tersebut agar lekas pergi, lalu keduanya pun pergi.
Saat
Hari Raya 'Ied, biasanya ada dua budak Sudan yang memperlihatkan kebolehannya
mempermainkan tombak dan perisai. Maka adakalanya aku sendiri yang meminta
kepada Nabi ﷺ, atau
beliau yang menawarkan kepadaku: "Apakah kamu mau melihatnya?" Maka
aku jawab, "Ya, mau." Maka beliau menempatkan aku berdiri di
belakangnya, sementara pipiku bertemu dengan pipinya sambil beliau berkata:
"Teruskan hai Bani Arfadah!"
Demikianlah
seterusnya sampai aku merasa bosan lalu beliau berkata: "Apakah kamu
merasa sudah cukup?" Aku jawab, "Ya, sudah." Beliau lalu
berkata: "Kalau begitu pergilah."
[HR.
Bukhori no. 2906 dan Muslim no. 892].
KEDUA : NYANYIAN DAN PERMAINAN MUSIK DALAM
ACARA PERNIKAHAN :
HADITS KE 1 .
Nabi ﷺ bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ
الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ
“Pembeda antara
[pernikahan] yang halal dan yang haram adalah Rebana (tabuhan) dan lantunan
(syair-syair) saat (pesta) pernikahan.”
(HR. Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah
dan Tirmidzi . Hadits ini dinyatakan hasan oleh al-Albany dalam kitab ‘Adabuz
Zafaf, hal. 96 dan al-Arna’uuth ).
Maksudnya adalah pernikahan yang
sembunyi-sembunyi tanpa diumumkan kepada manusia itu adalah haram [sama dengan
zina] . Maka agar menjadi jelas dan halal [sah nikahnya] adakanlah acara nyanyi
dan menabuh rebana supaya pernikahannya diketahui orang-orang disekitarnya dan
tidak menimbulkan kesalah fahaman.
Al-Qori berkata dalam al-Mirqaat
5/2073 no. 3153 :
"أَي:
فَرْقٌ بَيْنَهُمَا (الصَّوْتُ) أَي: الذِّكْرِ، وَالتَّشْهِيرِ بَيْنَ النَّاسِ (وَالدَّفُّ)
أَي: ضَرْبُهُ (فِي النِّكَاحِ) فَإِنَّهُ يُتَمُّ بِهِ الْإِعْلَانُ، قَالَ ابْنُ
الْمَلِكِ: "لَيْسَ الْمُرَادُ أَن لَّا فَرَقَ بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ
فِي النِّكَاحِ إِلَّا هَذَا الْأَمْرَ؛ فَإِنَّ الْفَرَقَ يَحْصُلُ بِحُضُورِ الشُّهُودِ
عِندَ الضِّدِّ، بَلِ الْمُرَادُ التَّرْغِيبُ إِلَى إِعْلَانِ أَمْرِ النِّكَاحِ بِحَيْثُ
لَا يَخْفَى عَلَى الْأَبَاعِدِ، فَالسُّنَّةُ إِعْلَانُ النِّكَاحِ بِضَرْبِ الدُّفِّ،
وَأَصْوَاتُ الْحَاضِرِينَ بِالتَّهْنِئَةِ، أَوِ النُّغُمَةِ فِي إِنشَادِ الشِّعْرِ
الْمُبَاحِ".
Ada perbedaan antara keduanya
(suara), yaitu menyebutkannya, dan memasyhurkan di antara manusia (dan menabuh
Rebana ) yaitu memukulnya (dalam perkawinan) karena dengannya menjadi
sempurnalah pernikahan itu diumumkan.
Ibnu al-Malik berkata:
"Maksudnya bukanlah agar tidak ada perbedaan antara yang halal dan haram
dalam perkawinan kecuali hal ini; karena perbedaan terjadi dengan kehadiran
para saksi dalam hal yang menentangnya . Akan tetapi yang dimaksud adalah untuk
memotivasi agar dalam pernikahan itu diadakan pengumuman perkawinan agar tidak
tersembunyi bagi orang-orang yang tinggal jauh, karena yang sunnah adalah
mengumumkan perkawinan dengan memukul rebana, dan suara para hadirin dengan
ucapan selamat atau melalui nyanyian syair-syair yang berisi penyampaian yang
mubah dan diperbolehkan.
Dalam kitab Syarah as-Sunnah
[dikutip dari al-Mirqaat 5/2073 no. 3153] , Imam al-Baghawi berkata :
مَعْنَاهُ إِعْلَانُ النِّكَاحِ، وَاضْطِرَابُ الصَّوْتِ
بِهِ، وَالذِّكْرُ فِي النَّاسِ كَمَا يُقَالُ فُلَانٌ قَدْ ذَهَبَ صَوْتُهُ فِي النَّاسِ.
انتهى.
Maknanya adalah mengumumkan
perkawinan, hirik pikuk suara berkaitan dengannya, dan disebut-sebut di
tengah-tengan manusia seperti yang dikatakan: "Seseorang telah kehilangan
suaranya tenggelam di tengah hiruk pikuk manusia. [Selesai].
HADITS KE 2 :
Dari
[Aisyah radliallahu 'anha] berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
" أَعْلِنُوا
هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ
بِالدُّفُوفِ "
"Umumkanlah
pernikahan, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk
mengumumkannya." [HR. Tirmidzy no. 1089 dan Baihaqi no. 15095 . Dan ini
adalah lafadz Baihaqi].
Abu
Isa berkata : "Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini. Isa bin
Maimun Al Anshari dilemahkan dalam riwayat ini. Isa bin Maimun yang
meriwayatkan dari Ibnu Abu Najih At Tafsir itu adalah tsiqah."
Di
hasankan sanadnya oleh al-hafidz Ibnu Hajar dalam Hiayatur Ruwaah 3/266 .
HADITS KE 3 :
Dari
'Aisyah (ra) dari Nabi ﷺ, beliau
bersabda:
"أَعْلِنُوا
هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ".
"Umumkanlah
pernikahan ini, dan tabuhlah rebana".
[HR. Ibnu Majah no. 1895 dan
Baihaqi no. 15094. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah ].
HADITS KE 4.
Dari
Aisyah radhiallahu anha :
أنَّها زَفَّتِ امْرَأَةً إلى رَجُلٍ مِنَ الأنْصارِ، فقالَ
نَبِيُّ اللَّهِ ﷺ: يا عائِشَةُ، ما كانَ معكُمْ لَهْوٌ؟ فإنَّ الأنْصارَ
يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ
Dia
ikut menghadiri pernikahan seorang wanita dengan laki-laki dari kalangan
Anshar. Maka Nabiyullah ﷺ bersabda:
" يَا
عَائِشَة مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ ؟ فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ
اللَّهْوُ ".
“Wahai Aisyah, apakah kalian tidak memiliki hiburan [ menabuh
rebana dan nyayi-nyayi] ? Sesungguhnya orang-orang Anshar menyenangi hiburan .”
(HR. Bukhari, no. 4765).
Dalam
al-Mausu'ah al-haditsiyah di jelaskan sebagai berikut :
والمرادُ باللَّهْوِ: ضَربُ الدُّفِّ والتَّغنِّي بشِعرٍ ليس
فيه إثمٌ، وليس بالأغانِي المُهيِّجةِ للشُّرورِ المُشتملةِ على وَصْفِ الجَمالِ
والفُجورِ، والمُصاحبةِ لأنواع المعازِفِ المُختلِفةِ؛ فإنَّ ذلك مَنْهيٌّ عنه في
النِّكاحِ كما في غيرِه، وقوله: «فإنَّ الأنصارَ يُعجبُهمُ اللَّهوُ» أي: يُحبُّون
مِثلَ هذا النَّوعَ مِن اللَّهْوِ؛ لِمَا فيهم مِن الرِّقَّةِ وحُبِّ الفَرَحِ.
وفي الحَديثِ: مُراعاةُ أعرافِ المُجتمَعِ بما لا يُخالِفُ
شَرْعَ اللهِ عزَّ وجلَّ.
وفيه: مَشروعيَّةُ خُروجِ المرأةِ مِن بَيْتِها لأمرٍ مُباحٍ.
وفيه: مشاركةُ المرأةِ غَيْرَها من النِّساءِ في الأفراحِ
والمناسَباتِ.
Yang dimaksud dengan
al-Lahwu dalam hadits adalah :
Memukul rebana dan
menyanyikan lagu-lagu dengan puisi yang tidak ada kata-kata mengandung dosa di
dalamnya , dan bukan dengan lagu-lagu yang membangkitkan keburukan, seperti
yang mengandung deskripsi tentang kecantikan dan kekejian serta diiringi dengan
berbagai macam jenis alat musik , yang mana hal ini adalah diharamkan dalam
pernikahan dan yang lainnya.
Dan perkataan beliau ﷺ : “Orang Anshar menyukai hiburan” artinya: mereka menyukai
hiburan semacam ini; Karena kelembutan dan cinta mereka akan kegembiraan .
Dan dalam hadits terdapat
faidah-faidah sbb :
1. Melestarikan adat
istiadat masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum Allah SWT.
2. Di syariatkannya seorang
wanita meninggalkan rumahnya untuk hal yang diperbolehkan.
3. Partisipasi wanita dengan
wanita lain dalam acara-acara bersuka ria dan acara-acara lainnya yang
berhubungan dengan sesuatu ".
HADITS KE 5.
Rabi’ binti
Mu’awwadz bin ‘Afra’ radhiyallahu ‘anha menceritakan,
دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ ﷺ
غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي،
وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ
يَوْمَ بَدْرٍ، حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي
غَدٍ. فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ : لاَ تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ
تَقُولِينَ
”Nabi ﷺ datang menemuiku
pada pagi hari ketika aku menikah, lalu beliau duduk di atas tempat tidurku
seperti kamu duduk di dekatku. Lalu gadis-gadis kecil kami memukul rebana dan
mengenang kebaikan bapak-bapak kami yang gugur dalam perang Badar. Ketika salah
seorang dari mereka mengatakan,
’Dan di tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang
akan terjadi besok’,
maka beliau bersabda, ’Tinggalkan (perkataan) itu, dan
katakanlah apa yang telah engkau ucapkan sebelumnya.’”
(HR. Bukhari no. 4001, Abu Dawud no. 4922, dan Tirmidzi no.
1090)
Ibnu Baththal dalam syarah Shahih al-Bukhori 7/263 berkata :
"قَالَ الْمُهَلَّبُ: السُّنَّةُ إِعْلَانُ النِّكَاحِ بِالدُّفِّ
وَالْغِنَاءِ الْمُبَاحِ؛ لِيَكُونَ ذَلِكَ فَرْقًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّفَّاحِ
الَّذِي يَسْتَسْرِ بِهِ. وَفِيهِ: إِقْبَالُ الْعَالِمِ وَالْإِمَامِ إِلَى الْعُرْسِ
وَإِنْ كَانَ فِيهِ لَعِبٌ وَلَهْوٌ مَا لَمْ يَخْرُجْ اللَّهْوُ عَنِ الْمُبَاحَاتِ
فِيهِ. وَفِيهِ: جَوَازُ مَدْحِ الرَّجُلِ فِي وَجْهِهِ بِمَا فِيهِ، وَإِنَّمَا الْمَكْرُوهُ
مِنْ ذَلِكَ مَدْحُهُ بِمَا لَيْسَ فِيهِ".
Al-Muhallab berkata: "Yang
Sunnah adalah mengumumkan pernikahan dengan Rebanaan dan nyanyian yang mubah ;
agar ada perbedaan yang jelas antara nikah dan perbuatan cabul yang
sembunyi-sembunyi [zina]. Dalam hal ini, seorang ulama dan imam dianjurkan
untuk menghadiri acara pernikahan, meskipun di sana terdapat permainan dan
hiburan, asalkan hiburan tersebut tidak melampaui batas yang diizinkan. Dalam
hal ini, juga diizinkan untuk memuji seseorang dengan sifat yang ada pada dirinya,
asalkan pujian tersebut sesuai dengan kenyataan. Namun, yang dimakrukan adalah
memuji seseorang dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya."
Dan hadits ini menunjukkan bahwa nyanyian (sebagai perbuatan
tersendiri) menjadi haram jika mengandung perkataan yang bertentangan dengan
agama.
Asy Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar berkata:
“Hadits tersebut mengandung dalil bolehnya ditabuh rebana
dalam pesta pernikahan. Boleh juga didendangkan beberapa kalimat semisal
(syair), seperti: kami datang kami datang dst. Asalkan bukan lagu yang
membangkitkan kekejian dan kejahatan.”
HADITS KE 6 :
Dari
Ibnu ‘Abbas, ia berkata :
أَنْكَحَتْ عَائِشَةُ
ذَاتَ قَرَابَةٍ لَهَا مِنْ الْأَنْصَارِ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ - ﷺ - فَقَالَ:
"أَهْدَيْتُمْ الْفَتَاةَ؟ " قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ: "أَرْسَلْتُمْ
مَعَهَا مَنْ يُغَنِّي؟ " قَالَتْ: لَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - ﷺ -:
"إِنَّ الْأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيهِمْ غَزَلٌ، فَلَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يَقُولُ:
أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ … فَحَيَّانَا وَحَيَّاكُمْ"
Dahulu ‘Aisyah
pernah menikahkan kerabatnya dari kaum Anshar, lalu Rasulullah ﷺ datang dan
bertanya : “Apakah kalian mengantarkan wanita (pengantin perempuan) ?”.
Mereka menjawab, “Ya”.
Beliau
ﷺ
bertanya, “Apakah kalian mengantarkannya disertai dengan seseorang yang
akan bernyanyi?”. ‘Aisyah menjawab, “Tidak”.
Maka
Rasulullah ﷺ berkata
: “Sesungguhnya kaum Anshar itu adalah kaum yang suka hiburan. Alangkah
baiknya kalau kalian mengantarnya dengan disertai orang yang menyanyikan lagu
:
أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ
*** فَحَيَّانَا وَحَيَّاكُمْ"
“Kami datang kepada kalian,
kami datang kepada kalian, penghormatan kepada kami dan penghormatan kepada
kalian”.
[HR.
Ibnu Majah juz 1, hal. 612, no. 1898]
Syu'aib
al-Arna'uth berkata:
"حَسَنٌ
لِغَيْرِهِ، وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ لِضَعْفِ الأَجْلَحِ - وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ حُجِيَّةَ الْكِنْدِيِّ -، وَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ عَلَى الأَجْلَحِ كَمَا
سَيَأْتِي. فَأَخْرَجَهُ الطَّحَاوِيُّ فِي "شَرْحِ مُشْكِلِ الآثَارِ"
(3321) مِنْ طَرِيقِ جَعْفَرِ بْنِ عَوْنٍ، بِهَذَا الإِسْنَادِ.
وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ (15209)، وَالْبَزَّارُ (1432 - كِشَفِ الأَسْتَارِ)
وَالنَّسَائِيُّ فِي "الْكُبْرَى" (5540) مِنْ طَرِيقِ الأَجْلَحِ، عَنْ
أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، بَدَلَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَبَّاسٍ."
"Derajat
hadits Hasan Lighoirihi . Dan sanad ini lemah karena kelemahan al-Ajlah - yang
mana dia adalah Ibnu Abdullah bin Hujayyah al-Kindi -, dan telah terjadi
perbedaan pendapat tentang al-Ajlah seperti yang akan dijelaskan. Ath-Thahawi
meriwayatkannya dalam "Syarh Mushkil al-Atsar" (3321) dari jalur
Ja'far bin 'Aun dengan sanad ini.
Ahmad
meriwayatkannya (15209), dan al-Bazzar (1432 - Kasyf al-Astar) dan al-Nasa'i
dalam "Al-Kubra" (5540) dari jalur al-Ajlah, dari Abu al-Zubair, dari
Jabir bin Abdullah, menggantikan Abdullah bin Abbas."
HADITS KE 7 :
Dari
Abul Husain (nama aslinya Khalid Al-Madaniy), ia berkata :
كُنَّا
بِالْمَدِيْنَةِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَاْلجَوَارِى يَضْرِبْنَ بِالدُّفّ وَ
يَتَغَنَّيْنَ، فَدَخَلْنَا عَلَى الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ، فَذَكَرْنَا ذلِكَ
لَهَا، فَقَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ : صَبِيْحَةَ عُرْسِي وَ
عِنْدِى جَارِيَتَانِ يَتَغَنَّيَانِ وَ تَنْدُبَانِ آبَائِى الَّذِيْنَ قُتِلُوْا
يَوْمَ بَدْرٍ، وَتَقُوْلاَنِ فِيْمَا تَقُوْلاَنِ. وَفِيْنَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ
مَا فِى غَدٍ. فَقَالَ: اَمَّا هذَا، فَلاَ تَقُوْلُوْهُ، مَا يَعْلَمُ مَا فِى
غَدٍ اِلاَّ اللهُ.
Dahulu
ketika kami di Madinah pada hari ‘Aasyuuraa’, pada waktu itu ada
wanita-wanita sedang memukul rebana dan bernyanyi, lalu kami masuk pada
Rubayyi’ binti Mu’awwidz, lalu kami ceritakan kepadanya yang demikian itu.
Maka
dia berkata : “Dahulu Rasulullah ﷺ datang kepada saya pada pagi hari pernikahan saya, sedangkan di
dekat saya ada dua wanita yang bernyanyi yang dalam liriknya (isinya)
menyebutkan tentang kebaikan orang-orang tuaku yang gugur di perang Badr, dan
diantara yang mereka nyanyikan adalah :
“Dan
diantara kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok
pagi”.
Maka
(Rasulullah ﷺ)
menegur, “Adapun kata-kata yang ini jangan kalian ucapkan, karena tidak
ada yang mengetahui apa yang terjadi besok pagi, kecuali Allah”.
[HR.
Ibnu Majah 1/611, no. 1897. Di Shahihkan oleh al-Albaani dan al-Arna’uth dalam
Takhrij Ibnu Majah].
Dan
diriwayatkan pula oleh al-Bukhari (4001), Abu Dawood (4922), at-Tirmidzi
(1115), dan an-Nasa'i dalam "al-Kubra" (5538) dari jalur Khalid bin
Zakwan, dengan sanad ini.
Dan
juga terdapat dalam "Musnad Ahmad" (27021) dan "Sahih Ibn
Hibban" (5878).
HADITS
KE 8 / ATSAR SAHABAT :
Al-Bayhaqi
dalam kitabnya “السنن
الكبرى” di no. (14469)
meriwayatkan dengan sanad yang bagus / Hasan : Dari ‘Aamir bin
Saad Al-Bajali mengatakan:
"شَهِدْتُ ثَابِتَ بْنَ وَدِيعَةَ
وَقُرَظَةَ بْنُ كَعْبِ الْأَنْصَارِيُّ فِي عُرْسٍ، وَإِذَا غِنَاءٌ فَقُلْتُ لَهُمَا
فِي ذَلِكَ، فَقَالَا : " إِنَّهُ قَدْ رُخِّصَ فِي الْغِنَاءِ فِي الْعُرْسِ
وَالْبُكَاءِ عَلَى الْمَيِّتِ فِي غَيْرِ نِياحَةٍ."
Saya
menyaksikan Thabit bin Wadii’ah dan Qurodzoh bin Ka'b al-Anshaary di sebuah
acara pernikahan, dan kebetulan ada nyanyi-nyanyi, maka saya bertanya tentang
itu kepada mereka berdua , lalu mereka berdua mengjawab : Sesungguhnya menyanyi
itu telah di bolehkan pada acara pernikahan dan begitu juga di bolehkan
menangisi orang mati selain ratapan “. ( Sanadnya Hasan )
HADITS
KE 9 / ATSAR SAHABAT :
Dan
al-Nasa'i (3383) meriwayatkan dengan sanad SHAHIH : Dari Amir bin Saad
yang berkata:
دَخَلْتُ عَلَى قَرَظَةَ بْنِ كَعْبٍ، وَأَبِي مَسْعُودٍ
الْأَنْصَارِيِّ فِي عُرْسٍ، وَإِذَا جَوَارٍ يَتغَنَّيْنَ قُلْتُ: أَنْتُمَ أَصَحَابُ
رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَأَهْلُ بَدْرٍ يَفْعَلُ هَذَا عِنْدَكُمْ قَالَا: اجْلِسْ إِنْ
شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا، وَإِنْ شِئْتَ فَاذْهَبْ فَإِنَّهُ قَدْ «رُخِّصَ لَنَا
فِي اللهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ»
Saya
pergi ke Qaradzoh ibnu Ka'b dan Abu Mas’ud al-Anshari dalam sebuah acara
pernikahan, dan ternyata di sana ada para budak perempuan sedang bernyanyi ,
Lalu saya berkata : Anda berdua adalah sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ , dan dari
anggota pasukan perang Badar, Apakah yang demikian ini dilakukan dikalangan kalian
? .
Maka
salah satu dari keduanya menjawab : “ Duduklah bersama kami jika anda mau ,
tapi jika anda ingin pergi, silahkan !
Sesungguhnya telah di bolehkan bagi kami hiburan pada acara pernikahan “.
[ Di SHAHIHKAN al-Albaani dalam Takhrij Misykaat
al-Mashaabih no. 3159 dan dihasankan sanadnya oleh abdul Qodir al-Arna’uth
dalam Takhrij Jami’ al-Ushul Li Ibnil Atsiir 11/440 no. 8978].
Yang
dimaksud dengan الغناء / bernyanyi
dalam riwayat ini, juga termasuk sambil
menabuh Rebana berdasar dalil riwayat Ibnu Abi Syaibah no. 12250 dan al-Bayhaqi
dalam As-Sunan al-Kubra (7/472 no. 14693) :
وَجَوَارِي يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ وَيُغَنِّينَ
“ Dan para budak perempuan menabuh Rebana dan sambil
bernyanyi “.
KETIGA : NYANYI DAN MAIN
MUSIK REBANA
DI SELAIN HARI RAYA
DAN DI SELAIN PESTA PERNIKAHAN :
Dari Abdullah bin Bardah
dari bapaknya
Buraidah::
أَنَّ أُمَّةَ سَوْدَاءَ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ - وَرَجَعَ مِنْ بَعْضِ مَغَازِيهِ - فَقَالَتْ إِنِّي كُنتُ
نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ صَالِحًا (وَفِي رِوَايَةٍ سَالِمًا) أَنْ أُضْرَبَ
عِنْدَكَ بِالدِّفِّ [وَأَتَغَنَّى]؟
قَالَ: "إِنْ كُنْتِ فَعَلْتِ (وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى:
نَذَرْتِ)، فَافْعَلِي، وَإِنْ كُنْتِ لَمْ تَفْعَلِي فَلَا تَفْعَلِي".
فَضَرَبَتْ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، وَدَخَلَ غَيْرُهُ
وَهِيَ تَضْرِبُ.
ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ، قَالَ: فَجَعَلَتْ دُفَّهَا خَلْفَهَا، (وَفِي
الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى: تَحْتَ اسْتِهَّا ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ)، وَهِيَ مُقَنَّعَةٌ.
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَفْرُقُ
(وَفِي رِوَايَةٍ: لَيَخَافُ) مِنْكِ يَا عُمَرُ! أَنَا جَالِسٌ هَهُنَا [وَهِيَ تَضْرِبُ]،
وَدَخَلَ هَؤُلَاءِ [وَهِيَ تَضْرِبُ]، فَلَمَّا أَنْ دَخَلْتَ [أَنْتَ يَا عُمَرُ]
فَعَلَتْ مَا فَعَلَتْ، (وَفِي الرِّوَايَةِ: أَلْقَتْ الدَّفَّ) .
“Sesungguhnya
budak perempuan hitam menghampiri Rasulullah ﷺ sepulang beliau dari suatu peperangan, lalu ia berkata :
“ Sesungguhnya aku telah
bernadzar jika Allah memulangkan engkau dalam keadaan selamat, maka aku akan menabuh
rebana di sisi engkau dan bernyanyi”.
Rasulullah ﷺ menjawab : “Jika kamu telah bernadzar, maka lakukan lah !. Tapi
jika kamu tidak bernadzar, maka jangan kamu lakukan itu “!.
Lalu ia pun menabuh
rebana. Tidak lama kemudian masuklah Abu Bakar, namun ia tetap berdendang
menabuh rebana dan bernyanyi . Lalu yang lain juga masuk, dan ia pun tetap
berdendang.
Kemudian Umar datang dan
masuk , maka ketika ia melihat Umar , ia pun segera menaruh rebana itu di
belakangnya
Sebagian riwayat
menyebutkan : “ Ditaruh di bawah bokongnya dan mendudukinya. Lalu ia pun diam”.
Rasulullah ﷺ bersabda : “ Sesungguhnya syeithan benar-benar takut padamu
wahai Umar. Karena kaetika aku duduk di sini, dan orang-orang ini masuk , ia
tetap berdendang. Akan tetapi begitu kamu masuk, wahai Umar, dia langsung
berhenti , ia melakukan sebagaimana yang ia lakukan”.
Sebagian riwayat
mengatakan : “Ia melempar rebananya”.
( HR.
Turmudzi 2/293-294 , Ibnu Hibbaan no. 1193 dan 2186 , Baihaqi 10/77 dan Imam
Ahmad 5/353 dan 356 ].
Lafadz Tirmidzi :
خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ فَلَمَّا
انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي
كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ
بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ
فَاضْرِبِي وَإِلَّا فَلَا فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ
تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ
تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتْ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا ثُمَّ قَعَدَتْ
عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا
عُمَرُ إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ
تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ
تَضْرِبُ فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتْ الدُّفَّ
Rasulullah ﷺ berangkat menuju salah satu peperangan, ketika beliau ﷺ telah pulang, seorang budak wanita berkulit hitam mendatangi
beliau sambil berkata;
"Wahai Rasulullah!
Sesungguhnya aku bernadzar bila Allah mengembalikan baginda dalam keadaan baik,
aku akan menabuh rebana dan bernyanyi didekat baginda."
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Jika kamu telah bernadzar demikian, silahkan
lakukan namun jika tidak, maka jangan kamu lakukan."
Budak wanita itu pun menabuh
rebana, kemudian Abu Bakar masuk dan budak itu masih menabuh rebana, Ali masuk,
dia pun masih menabuh rebana, kemudian Utsman masuk dan dia tetap menabuh
rebananya, dan ketika Umar masuk, budak itu menyembunyikan rebananya di balik
pangkalnya dan duduk di atasnya."
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda; "sesungguhnya setan benar-benar takut darimu
wahai Umar, karena ketika aku sedang duduk dia (budak wanita) menabuh rebananya
lalu Abu Bakar masuk dan ia masih menabuh, lalu Ali masuk dan ia masih menabuh,
lalu Utsman masuk dan ia masih menabuh, namun tatkala kamu yang masuk wahai
Umar ia segera membuang rebananya."
Turmudzi berkata : Hadits
Hasan Shahih Ghoriib “.
Hadits ini di shahihkan
oleh Ibnu Hibbaan dan Ibnu al-Qath-than sebagaimana yang disebutkan oleh
al-Albaani dlm ash-Shahihah no. 1609 dan 2261 .
Dan Syeikh al-Albaani
dalam (إرواء الغليل) (8/214) berkata : “Sanadnya SHAHIH sesuai syarat Muslim
“.
Ucapan Sheikh Al-Albani -
semoga Allah merahmatinya - sebagai berikut:
"
ويَجُوزُ لَه – أي للعَرِيْسِ – أن يَسْمَحَ
للنِّسَاءِ بِإِعْلَانِ النِّكَاحِ بِالضِّرْبِ عَلَى الدُّفِّ فَقَطْ، وَبِالْغِنَاءِ
الْمُبَاحِ الَّذِي لَيْسَ فِيهِ وَصْفُ الجَمَالِ وَذِكْرُ الْفُجُورِ."
"Dan diperbolehkan
baginya - yaitu pengantin pria – untuk mempersilahkan para wanita mengumumkan
pernikahan dengan memukul Rebana saja, dan dengan menyanyikan nyanyian yang
dibolehkan yang tidak mengandung deskripsi kecantikan dan penyebutan
kemaksiatan...”.
Kemudian Sheikh
menyebutkan dalil-dalilnya tentang hal tersebut."
[ Dari Kitab "Aadab Al-Zafaaf"
(halaman 93)].
HADITS KE 2 :
Diriwayatkan dari Amru bin
Syuaib dari ayahnya dari kakeknya :
أنَّ امرأةً ، أتتِ النَّبيَّ ﷺ فقالَت : يا رسولَ اللَّهِ ،
إنِّي نذَرتُ أن أضربَ على رأسِكَ بالدُّفِّ ، قالَ : أوفي بنذرِكِ قالت : إنِّي
نذرتُ أن أذبحَ بمَكانِ كذا وَكَذا ، مَكانٌ كانَ يذبحُ فيهِ أَهْلُ الجاهليَّةِ ،
قالَ لصَنمٍ : قالت : لا ، قالَ : لوثَنٍ ، قالت : لا ، قالَ : أوفي بنذرِكِ
“ Bahwa seorang wanita telah
datang kepada Nabi ﷺ dan berkata : “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah
bernadzar untuk menabuh rebana di hadapan anda “.
Beliau ﷺ berkata: "Penuhi nadzarmu!"
Lalu Ia berkata :
“Sesungguhnya saya bernadzar untuk menyembelih hewan di tempat ini dan ini.
Yaitu tempat yang dahulu orang-orang Jahiliyah menyembelih di sana .
Beliau ﷺ bertanya : "Untuk patung?" Ia berkata ; tidak. Beliau
ﷺ bertanya
lagi : "Untuk berhala?" Ia berkata; tidak. Beliau ﷺ berkata: "Penuhi
nadzarmu!".
HR. Abu Dawud (3312) dan Al-Bayhaqi (20596).
Syeikh al-Albaani berkata dalam Shahih Abi Daud : “Hasan Shahih”. Dan
lihat pula : (إرواء الغليل) (2/213-214 )
HADITS KE 3.
Diriwayatkan
oleh Ahmad dlm Musnadnya (15720), dan al-Nasa'i di kitab as-Sunan al-Kubra
(8960) dengan sanad yang shahih : Dari al-Sa'ib bin Yazid :
أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ
إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقَالَ: " يَا عَائِشَةُ أَتَعْرِفِينَ هَذِهِ؟
" قَالَتْ: لَا، يَا نَبِيَّ اللهِ، فَقَالَ: " هَذِهِ قَيْنَةُ بَنِي
فُلَانٍ تُحِبِّينَ أَنْ تُغَنِّيَكِ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَعْطَاهَا
طَبَقًا فَغَنَّتْهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " قَدْ نَفَخَ الشَّيْطَانُ فِي
مَنْخِرَيْهَا "
“Bahwa
seorang wanita datang kepada Rasulullah ﷺ , dan beliau bertanya :
“Wahai Aisyah, apakah kamu mengenal wanita ini?
Dia
menjawab : “ Tidak, wahai Nabi Allah”. Beliau ﷺ berkata : Dia ini qoynah ( budak perempuan pandai nyanyi ) dari
bani Fulan , Apakah kamu ingin dia menyanyi untukmu ?”.
Aisyah
menjawab : Iya .
Dia
berkata : Lalu beliau memberikan kepadanya nampan (piring besar, yang mungkin untuk ditabuh) , maka dia
bernyanyi untuknya .
Lalu
Rosulullah ﷺ bersabda :
“ Sungguh Setan telah menghembuskan napas ke dalam dua lubang hidungnya”.
Dan
al-Haitsami mencatatnya dalam "Al-Majma'" (8/130) dan berkata:
"روَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ فِي "الكَبِيرِ" وَرِجَالُ
أَحْمَدَ رِجَالُ الصَّحِيحِ".
"Diriwayatkan
oleh Ahmad dan al-Ṭabarani dalam
'Al-Kabir,' dan perawi-perawi Ahmad termasuk dalam perawi yang shahih."
Syeikh
al-Albaani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 3281 berkata :
إسناده صحيح على
شرط الشيخين
“Sanadnya Shahih sesuai standar Shahih Bukhori dan Muslim”.
Dan
di Shahihkan pula oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad 24/497.
Namun
dalam hadits ini tidak dijelaskan bahwa nyanyian budak perempuan ini dilakukan
dengan iringan alat musik duff. Akan tetapi terkadang dalam ungkapan kata “menyanyi”
itu termasuk sambil menabuh Rebana , sebagaimana dalam Atsar sahabat riwayat
Amir bin Saad yang tersebut diatas.
Al-Sindi
mengatakan dalam kitabnya “الحاشية
على المسند“ :
"أَن تُغَنِّيك" بالتشديد، وَفيهِ جَوَازُ ذَلِكَ عَلَى قَلَّةٍ
مِنْ غَيْرِ عُرْسٍ وَعِيدٍ، كَمَا يَجُوزُ فِيهِمَا وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا كَانَتْ
أَيَّامَ عِيدٍ.
"قَدْ نَفَخَ": أَيْ فَلِذَلِكَ اتَّخَذَتْ ذَلِكَ عَادَةً،
وَأَمَّا التَّغْنِي أَحِيَانًا، فَجَائِزٌ، فَلَا مُنَافَاةَ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ
الْإِذْنِ السَّابِقِ الدَّالِ عَلَى الْجَوَازِ، وَفِيهِ حُسْنُ الْمُعَاشَرَةِ مَعَ
الْأَهْلِ".
“
Kata : " أن تُغَنِّيك /Agar dia Menyanyi untukmu" dibaca dengan tasydiid , dalam
kata tsb menunjukkan bolehnya bernyanyi dalam jumlah yang sedikit di selain
acara pernikahan dan hari raya , sama seperti halnya diperbolehkan pada
keduanya , dan bisa jadi dlm hadits tsb terjadi di hari-hari raya Idul Fitri.
"Dia
telah menghembuskan napas ": Artinya, dia telah menjadikannya sebagai
kebiasaan. Adapun untuk menyanyi yang kadang-kadang maka itu diperbolehkan.
Tidak ada kontradiksi antara ijin ini dan ijin sebelumnya yang mengindikasikan
bahwa ijin tersebut diperbolehkan, dan termasuk membanguan hubungan intim yang
baik dengan keluarga. [Dikutip dari Hamisy al-Musnad 24/497 oleh Syu’aib al-Arna’uth].
Dari Anas bin Malik :
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِيْنَةِ فَاِذَا هُوَ
بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفّهِنَّ وَ يَتَغَنَّيْنَ وَ يَقُلْنَ:
نَحْنُ جَوَارٍ مِنْ بَنِي النَّجَّارِ … يَا حَبَّذَا مُحَمَّدٌ
مِنْ جَارِ
فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «اللَّهُ يَعْلَمُ إِنِّي لَأُحِبُّكُنَّ»
bahwasanya Nabi ﷺ pernah melewati bagian dari kota Madinah, tiba-tiba beliau
melewati para wanita yang memukul rebana dan bernyanyi, mereka mengucapkan
:
“Kami tetangga dari Bani
Najjar *** Alangkah baiknya Muhammad sebagai tetanggaku”.
Maka Nabi ﷺ bersabda, “Allah mengetahui bahwa aku mencintai kalian”.
[HR. Ibnu Majah 1/612, no.
1899, ath-Thabarani dalam ash-Shaghiir no. 78 , Ibnu as-Sunni dalam Amalul Yaum
wal Lailah no. 229 dan al-Khollaal dalam al-Jami’ hal. 60]
Dishahihkan
oleh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah, juga oleh al-Arna’uth dalam Takhrij
Ibnu Majah dan juga oleh Fuad Abdul Baaqi dalam Ta’liiq Ibnu Majah 1/612 no.
1899.
HADITS KE 5 : hadits
palsu:
Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas (r.a) :
أَنَّ
رَسُولَ اللهِ ﷺ خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ
فِنَاءَ أَطِمِهِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ سِمَاطَينِ
وَبَيْنَهُمْ جَارِيةٌ لِحسَّانَ يُقَالُ لَـهَا سِيرِينُ، وَمَعَهَا مِزْهَرٌ
لَهَا تُغَنِّيهِمْ وَهِيَ تَقُولُ فِي غِنَائِهَا:
هَلْ
عَلَيَّ وَيْحَكُمْ ***
إنْ لَهَوْتُ مِنْ حَرَجٍ.
فَتَبَسَّمَ
رَسُولُ اللهِ ﷺ ، وَقَالَ : لَا
حَرَجَ
Bahwasanya Rasulullah ﷺ keluar ketika Hassan (r.a) telah menyirami halaman tempat
tinggalnya, sementara para sahabat (r.a) duduk dua shaf.
Dan di tengah-tengah mereka terdapat budak
perempuan milik Hassan (r.a) bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat
musik berdawai seperti kecapi) lalu ia berdendang untuk para sahabat. Dalam
nyanyiannya dia mengatakan:
“Celaka! Apakah ada dosa atas diriku jika aku
berdendang?”
Maka Rasulullah ﷺ tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atas
dirimu).”
[HR. Ibnu Asaakir dalam Tarikh Damasqus 12/415 ]
Tinjauan Sanad Hadits
Ibnu ‘Asaakir menyebutkan hadits Abdullah bin
‘Abbas (r.a) di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyqi (12/415) dari jalan Abu
Uwais, dari Al-Husain bin Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Abdullah bin ‘Abbas bin
‘Abdul Muththalib (r.a) .
Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah ﷺ, bahkan tergolong hadits yang maudhu’ (palsu).
Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab
beliau Al-Maudhu’aat (3/115-116) pada bab Fi Ibahatil Ghina (Bab Tentang
Bolehnya Nyanyian).
Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani رحمه
الله dalam takhrij beliau terhadap risalah
Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab (hal. 150) mengatakan
bahwa hadits ini bathil.
HADITS KE 6 :
Al-Imam al-Baihaqi dalam
Dalaa’il an-Nubuwwah 5/266 meriwayatkan dari Ubaidullah bin Muhammad bin Aisyah
rahimahullah (228 H) beliau berkata :
"لَمَّا قَدِمَ رسول الله ﷺ الْمَدِينَةَ جَعَلَ النِّسَاءُ
وَالصِّبْيَانُ وَالْوَلَائِدُ يَقُلْنَ:
طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا = مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعْ
وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا = مَا دَعَا لِلَّهِ دَاعْ"
“Ketika Nabi Muhammad ﷺ datang ke Madinah, maka para wanita, anak-anak kecil , dan bayi
yang baru lahir mengucapkan:
“Bulan purnama telah terbit atas kita *** dari Tsaniyyatul
Wadaa’ “
“Maka wajiblah kita mengucapkan syukur *** atas apa
yang da’i serukan kepada Allah ”
Diriwayatkan oleh Abu
Al-Hasan Al-Khula'i dalam “Al-Fawa'id” (2/59), dan Al-Bayhaqi dalam “Dala'il
Al-Nubuwwah” (No. 752, 2019), dan Al -Hafiz Ibnu Hajar mengaitkannya dalam
“Fath Al-Bari” (7/261) dengan Abu Sa’id dalam “Syaraf Al-Mustafa”: Semuanya
berasal dari ulama terpercaya Abu Khalifah Al-Fadhel bin Al-Habbab (w. 305 AH)
- lihat biografinya dalam “Siyar Alam Al-Nubala'” (14/7) - dari Ibnu Aisyah
....
Sanad hadits ini lemah, karena
adanya keterputusan yang besar. Ibnu Aisyah meninggal terlambat, dan dia
adalah salah satu syekh Imam Ahmad dan Abu Dawud, lalu bagaimana dia bisa
meriwayatkan suatu peristiwa yang terjadi pada masa Nabi ﷺ tanpa sanad?
Itulah sebabnya Al-Hafidz
Al-Iraqi, rahimahullah, berkata: “Mu’dhol.” [Dari “Takhradj Al-Ihya”
(1/571)].
Al-Hafiz Ibnu Hajar, rahimahullah,
berkata: “Ini adalah sanad yang Mu’dhol.” [“Fath al-Bari” (7/262)].
Syekh Al-Albani, rahimahullah,
berkata:
"وَهَذَا إِسْنَادٌ
ضَعِيفٌ، رِجَالُهُ ثِقَاتٌ، لَكِنَّهُ مُعْضَلٌ، سَقَطَ مِنْ إِسْنَادِهِ ثَلَاثَةُ
رُوَاةٍ أَوْ أَكْثَرَ، فَإِنَّ ابْنَ عَائِشَةَ هَذَا مِنْ شُيُوخِ أَحْمَدَ وَقَدْ
أَرْسَلَهُ... فَالْقِصَّةُ بِرِمَّتِهَا غَيْرُ ثَابِتَةٍ."
"Ini adalah sanad yang
lemah. Para perawinya dapat dipercaya, tetapi Mu’dhol. Tiga atau lebih
perawi dihilangkan dari sanadnya. Ibnu Aisyah ini adalah salah satu dari Syeikh
Ahmad dan beliau yang memursalkannya ... jadi kisah keseluruhannya tidak
terbukti.” [Baca :“adh-Dha’iifah” (2/63)].
Al-‘Allaamah Ibnu al-Qayyim
menjelaskan asal muasal cerita yang menceritakan kepada kita saat beliau ﷺ tiba dari Mekkah
menuju Madinah, dan dia berkata:
"هُوَ وَهْمٌ ظَاهِرٌ؛ لِأَنَّ "ثَنِيَّاتِ الْوَادِعِ"
إِنَّمَا هِيَ مِنْ نَاحِيَةِ الشَّامِ، لَا يَرَاهَا الْقَادِمُ مِنْ مَكَّةَ إِلَى
الْمَدِينَةِ، وَلَا يَمُرُّ بِهَا إِلَّا إِذَا تَوَجَّهَ إِلَى الشَّامِ."
“Itu adalah khayalan belaka,
karena “Tsaniyyat al-Wadaa' hanya dari arah Syaam , maka orang yang datang dari
Mekkah ke Madinah tidak akan melihatnya, dan dia tidak akan melewatinya kecuali
jika dia menuju arah ke Syam. [Akhir kutipan. “Zad al-Ma’ad” (3/551)].
Itulah sebabnya Al-Hafiz
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
"ولعَلَّ ذَلكَ كَان في قُدُوْمه مِنْ غَزْوَة تَبُوك".
“Mungkin ini terjadi pada
saat kedatangannya dari Perang Tabuk.” [ “Fath al-Bari” (7/262)].
Namun, alasan ini tidak bisa
diterima begitu saja, karena di antara para perawi kisah ini diketahui bahwa
hal itu terjadi ketika Nabi Muhammad ﷺ datang dari Mekah ke Madinah, sebagaimana yang Imam Al-Bayhaqi
katakan :
"هَذَا يَذْكُرُهُ عُلَمَاؤُنَا
عِنْدَ مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةِ مِنْ مَكَّةَ، لَا أَنَّهُ لِمَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ
مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ عِنْدَ مَقْدَمِهِ مِنْ تَبُوكَ."
“Hal ini disebutkan oleh para ulama kami :
Yaitu ketika beliau ﷺ datang ke Madinah dari Mekah, bukan ketika Beliau datang ke
Madinah dari arah Tsaniyat al-Wada’ saat beliau datang dari Tabuk. [“Dalaa’il
an-Nubuwwah”].
Banyak sejarawan menyebutkan
bahwa Tsaniyat al-Wada' adalah dari arah Mekah, dan mungkin ada Tsaniyat lain
dari arah Syaam dengan nama yang sama.
Yang lain juga menyebutkan
bahwa ketika Nabi Muhammad ﷺ memasuki Madinah, beliau melewati rumah-rumah kaum Ansar,
hingga beliau melewati Bani Saa'idah, dan rumah mereka berada di sebelah utara
Madinah dekat Tsaniyat al-Wada' . Beliau tidak memasuki pedalaman Madinah
kecuali dari arah itu hingga beliau tiba di rumahnya di sana.
Lihat: “Mu'jam al-Buldan”
oleh Yaqut al-Hamawi (2/86), “Thorh al-Tatsriib” oleh al-Iraqi (7/239-240),
“Subul al-Hudaa wa al-Rasyaad” oleh ash-Shoolihi al-Shami (3/277), dan “
al-Atsar al-Muqtafaa li Qishotil Hijrotil Mushtofaa” karya Abu Turab Adz-Dzoohiri
(hal. 155-162).
Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid
berkata :
"ضَعْفُ سَنَدِ هَذِهِ الأبياتِ لَا يَعْنِي عَدَمَ جَوَازِ
ذِكْرِهَا أَوْ حِكَايَتِهَا أَوْ إِنشَادِهَا، فَمَعَانِيهَا صَحِيحَةٌ حَسِنَةٌ،
وَشُهْرَتُهَا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ شُهْرَةٌ ذَائِعَةٌ وَاسِعَةٌ، وَلَيْسَ فِيهَا
شَيْءٌ مَنْسُوبٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى يُتَشَدَّدَ
فِي إِسْنَادِهَا، إِنَّمَا هِيَ مِنْ كَلَامِ الصَّحَابَةِ رَضِوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ.
وَقَدْ ذَهَبَ عَامَّةُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى التَّسَاهُلِ وَالتَّخْفِيفِ
فِي مَرْوِيَّاتِ السِّيرَةِ، وَالْقِصَصِ، وَأَقْوَالِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ
الَّتِي لَا يَنْبَنِي عَلَيْهَا عَقِيدَةٌ أَوْ شَرِيعَةٌ."
"Kelemahan sanad
(rantai perawi) pada syair [طَلَعَ البَدْرُ] ini tidak berarti bahwa menyebutkan, menceritakan, atau menyanyikannya
itu tidak dibolehkan. Maknanya sahih dan baik, dan popularitasnya di kalangan
umat Islam sangat luas. Apalagi Syair tersebut bukan sabda Nabi Muhammad ﷺ , maka tidak perlu memperkeras
dalam sanadnya. Sebaliknya, syair ini berasal dari perkataan para Sahabat,
semoga Allah meridhai mereka."
Lagi pula mayoritas
para ulama berpendapat
adanya kelonggaran dan keringanan dalam riwayat yang berkaitan dengan biografi,
kisah, dan ucapan para sahabat dan para tabi’iin yang tidak berkaitan dengan
pondasi aqidah atau syariat” . [Islamqa no. 119722]
Al-Hafidz Ibnu Rajab
rahimahullah dalam “Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi” (1/372) berkata :
"يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ رحمه الله : لَا تَأْخُذُوا هَذَا الْعِلْمَ فِي الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ إلَّا
مِنَ الرُّؤُسَاءِ الْمَشْهُورِينَ بِالْعِلْمِ الَّذِينَ يَعْرِفُونَ الزِّيَادَةَ
وَالنُّقْصَانَ، وَلَا بَأْسَ بِمَا سَوَى ذَلِكَ مِنَ الْمَشَايِخِ".
“Sufyan al-Thawri rahimahullah berkata:
Janganlah kamu mengambil ilmu tentang apa yang halal dan apa yang haram kecuali
dari para pemimpin yang terkenal ilmunya dan mengetahui apa yang ditambahkan
dan apa yang dikurangi. Dan adapun ilmu selain itu semua ; maka tidak mengapa mengambil
dari para syeikh”.
Ibnu Abi Hatim berkata :
"ثَنَا أَبِي نَا عَبْدَة قَالَ: قِيلَ لِابْنِ الْمُبَارَكِ - وَرَوَى عَنْ رَجُلٍ حَدِيثًا
- فَقِيلَ: هَذَا رَجُلٌ ضَعِيفٌ! فَقَالَ: يَحْتَمَلُ أَنْ يُرَوِّيَ عَنْهُ هَذَا
الْقَدَرُ أَوْ مِثْلُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ. قُلْتُ لِعُبَيْدَةَ: مِثْلُ أَيِّ شَيْءٍ
كَانَ؟ قَالَ: فِي أَدَبٍ فِي مَوْعِظَةٍ فِي زُهْدٍ."
Telah bercerita pada kami
ayahku : telah mengkabarkan pada ku Abdah :
Dikatakan kepada Ibnu
al-Mubarak : Telah diriwayatkan sebuah hadits dari seorang laki-laki . Lalu ada
yang mengatakan . Ini adalah lelaki yang lemah!
Dia berkata: Mungkin boleh saja
sekadar ini atau hal serupa diriwayatkan darinya. Saya berkata kepada Abdah:
Seperti apa itu ? Dia bersabda: Dalam hal yang berkaitan dengan adab nasihat
tentang kezuhudan”. [“Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi” (1/372)]
Lalu Ibnu Rajab berkata :
"وَقَالَ ابْنُ مُعِينٍ فِي مُوسَى بْنِ عَيِّينَةَ: يُكْتَبُ
مِنْ حَدِيثِهِ الرَّقَاقِ.
وَقَالَ ابْنُ عَيِّينَةَ: لَا تَسْمَعُوا مِنْ بَقِيَّةِ – اسم
واحد من الرُوَاةِ - مَا كَانَ فِي سُنَّةٍ، وَاسْمَعُوا مِنْهُ مَا كَانَ فِي ثَوَابٍ
وَغَيْرِهِ.
وَقَالَ أَحْمَدُ فِي ابْنِ إِسْحَاقَ: يُكْتَبُ عَنْهُ الْمَغَازِي
وَشُبَهِهَا.
وَقَالَ ابْنُ مُعِينٍ فِي زِيَادِ الْبَكَائِيِّ: لَا بَأْسَ فِي
الْمَغَازِي، وَأَمَّا فِي غَيْرِهَا فَلَا."
Dan Ibnu Ma'in berkata
tentang Musa bin Uyaynah: “Hadits darinya tentang ar-Raqaaiq boleh ditulis”.
Dan Ibnu Uyaynah berkata:
Jangan kalian dengar dari Baqiyyah - nama salah satu perawi - apa saja yang berkaitan
dengan sunnah, akan tetapi silahkan dengar apa yang berkaitan dengan pahala dan
hal-hal lain darinya”.
Ahmad berkata tentang Ibnu
Ishaq : Silahkan ditulis darinya tentang peperangan dan sejenisnya.
Ibnu Ma'in berkata tentang Ziyad Al-Bakai: Tidak ada salahnya meriwayatkan
darinya tentang peperangan, tapi dalam hal lain, tidak. [Akhiri kutipan
dari Ibnu Rajab / “Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi” (1/372)].
Tidak ada keraguan bahwa bait-bait
Sya’ir “ Thola’al Badru ‘Alaina ....” ini adalah salah satu riwayat yang lebih layak
ditoleransi dalam kisah dan narasinya.
Prof. DR. Akram Dhiya Al-‘Umari
mengatakan:
"أمَّا اشتراطُ الصِّحَّةِ الحَدِيثِيَّةِ في قَبُولِ الأخْبَارِ
التَّارِيخِيَّةِ التي لا تَمسُّ العَقِيدَةَ وَالشَّرِيعَةَ فَفِيهِ تَعْسُفٌ كَثِيرٌ،
وَالخَطَرُ النَّاجِمُ عَنْهُ كَبِيرٌ؛ لأنَّ الرِّوَايَاتِ التَّارِيخِيَّةِ التي
دُونَهَا أسْلافُنَا المُؤَرِّخُونَ لَمْ تُعَامَلْ مُعَامَلَةَ الأحَادِيثِ، بَلْ
تَمَّ التَّسَاهُلُ فِيهَا، وَإِذَا رَفَضْنَا مِنْهُجَهُمْ فَإِنَّ الحَلَقَاتِ الفَارِغَةِ
في تَارِيخِنَا سَتَمْثُلُ هَوَّةً سَحِيقَةً بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَاضِينَا مِمَّا
يُولِدُ الحِيرَةَ وَالضِّيَاعَ وَالتَّمَزُّقَ وَالانْقِطَاعِ.. وَلَكِنْ ذَلِكَ لَا
يَعْنِي التَّخْلِي عَنْ مِنْهَجِ المُحَدِّثِينَ فِي نَقْدِ أَسَانِيدِ الرِّوَايَاتِ
التَّارِيخِيَّةِ، فَهِي وَسِيلَتُنَا إلَى التَّرْجِيحِ بَيْنَ الرِّوَايَاتِ الَّتِي
تَتَعَارَضُ، كَمَا أَنَّهَا خَيْرٌ مَعِينٌ فِي قَبُولِ أَوْ رَفْضِ بَعْضِ النَّصُوصِ
الْمُضْطَرَبَةِ أَوِ الشَّاذَّةِ عَنِ الإِطَارِ الْعَامِّ لِتَارِيخِ أُمَّتِنَا،
وَلَكِنَّ الإِفَادَةَ مِنْهَا يَنْبَغِي أَنْ تَتَمَّ بِمُرَوِّنَةٍ، آخِذِينَ بِعَيْنِ
الِاعْتِبَارِ أَنَّ الأَحَادِيثَ غَيْرَ الرِّوَايَاتِ التَّارِيخِيَّةِ، وَأَنَّ
الأُولَى نَالَتْ مِنَ الْعِنَايَةِ مَا يُمْكِنُهَا مِنَ الصُّمُودِ أَمَامَ قَوَاعِدِ
النَّقْدِ الصَّارِمَةِ."
“Adapun persyaratan keshahihan hadits dalam
menerima berita sejarah yang tidak mempengaruhi aqidah dan syariah, terdapat banyak
kesewenang-wenangan [mestinya jangan terlalu dipersulit], dan bahaya yang
diakibatkannya sangat besar, karena riwayat-riwayat sejarah yang dicatat oleh
sejarawan pendahulu kita tidak pernah diperlakukan seperti terhadap hadits-hadits
Nabawi , melainkan diperlakukan dengan toleransi.
Dan jika kita menolak manhaj
mereka [para sejarawan], maka episode-episode kosong dalam sejarah kita akan
mewakili kesenjangan besar antara kita dan masa lalu pendahulu kita, yang akan
menimbulkan kebingungan, kehilangan, perpecahan dan diskontinuitas.
Namun hal ini tidak berarti
meninggalkan metode dan manhaj para ulama ahli hadits dalam mengkritisi sanad-sanad
riwayat sejarah, karena ini adalah cara kita untuk mempertimbangkan riwayat-riwayat
yang saling bertentangan. Dan juga merupakan alat yang bagus dan berguna dalam
menerima atau menolak beberapa teks yang bermasalah atau menyimpang dari
kerangka umum sejarah umat kita, namun pemanfaatannya harus dilakukan secara
fleksibel, dengan mempertimbangkan bahwa hadits bukanlah riwayat sejarah. Dan hadits
itu harus mendapat perhatian yang lebih cukup agar hadits tersebut dapat
bertahan dalam menghadapi kaidah-kaidah kritik yang ketat”. [Akhiri
kutipan dari kitab “Diraasat Taarikhiyyah hal. 27].
Syeikh al-Munajjid berkata :
"فَالْخُلَاصَةُ أَنَّهُ لَا حُرُجَ فِي إِنْشَادِ هَذِهِ الْأَبْيَاتِ،
وَالِاسْتِئْنَاسِ بِهَا، وَحِفْظِهَا، وَتَعْلِيمِهَا الْأَوْلَادِ الصَّغَارِ، وَإِنْ
لَمْ تُثْبَتْ بِالْأَسَانِيدِ الصَّحِيحَةِ، فَإِنَّ مِثْلَ هَذِهِ الْأَحْدَاثِ تَكْفِي
رِوَايَتِهَا وَشَهْرَتِهَا بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ، ثُمَّ إِنَّ الْقِصَّةَ لَمْ
تَتَضَمَّنْ نِسْبَةَ هَذِهِ الْأَبْيَاتِ إِلَى مُعَيِّنٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَإِنَّمَا
تَنْسِبُهَا لِلنِّسَاءِ وَالصُّبَيَّانِ وَالْوَلَائِدِ [يَعْنِي: الْجَوَارِي الصُّغَارِ]؛
فَهَذَا أَسْهَلُ لِشَأْنِهَا. وَاللَّهُ
أَعْلَمُ"
Intinya, tidak ada salahnya
melantunkan bait-bait sya’ir tersebut, menghibur diri dengannya, menghafalnya,
dan mengajarkannya kepada anak kecil, meskipun sanadnya tidak shahih.
"Sebab peristiwa
semacam ini sudah cukup diakui riwayatnya dan sudah terkenal di kalangan para ulama.
Selain itu, kisah tersebut tidak mencakup penunjukan bahwa bait-bait ini
berasal dari seseorang yang spesifik di antara para sahabat, melainkan
disebutkan sebagai karya para wanita, anak-anak, dan para budak perempuan
kecil. Ini adalah hal yang lebih mudah untuk dipahami. Wallaahu a’lam.
HADITS KE 7 : NYANYIAN PENYEMANGAT JIHAD :
Dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu, dia
berkata,
جَعَلَ
المُهَاجِرُونَ والأنْصَارُ يَحْفِرُونَ الخَنْدَقَ حَوْلَ المَدِينَةِ،
ويَنْقُلُونَ التُّرَابَ علَى مُتُونِهِمْ، وهُمْ يقولونَ:
نَحْنُ
الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدَا ... علَى الإسْلَامِ ما بَقِينَا أبَدَا
قالَ:
يقولُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، وهو يُجِيبُهُمْ:
اللَّهُمَّ
إنَّه لا خَيْرَ إلَّا خَيْرُ الآخِرَهْ... فَبَارِكْ في الأنْصَارِ
والمُهَاجِرَهْ .....
"Ketika kaum Muhajirin dan Anshar tengah menggali parit di
sekeliling Madinah [saat perang Ahzaab], dan memikul tanah di atas pundak-pundak,
mereka bersenandung :
"Kami adalah orang-orang yang telah
berbai'at kepada Muhamamd atas Islam, dan kami masih tetap seperti itu
selama-lamanya."
Anas melanjutkan, "Ketika Nabi ﷺ
mendengar itu, maka beliau membalasnya:
"Ya Allah, sesungguhnya tidak ada
kebaikan (yang hakiki) kecuali kebaikan akhirat, maka berkahilah kaum Anshar
dan Muhajirin."
[HR. Bukhori no. 4099 dan
Muslim no. 1805].
Syarah Hadits :
وَفِي
الحَدِيْثِ: إنْشَادُ الشِّعْرِ، والارْتِجَازُ في حَالِ العَمَلِ والجِهَادِ،
والاسْتِعَانَةُ بِذَلِكَ لتَنْشِيْطِ النُّفُوْسِ، وتَسْهِيْلِ الأعْمَالِ.
"Di dalam hadits terdapat
menyanyikan syair, merangkai kata-kata indah dalam keadaan beraktivitas dan
berjihad, serta dengan hal tersebut bisa membantu untuk menghidupkan semangat
dan memudahkan pekerjaan." [ad-Duror as-Saniyyah].
KE DELAPAN : NYANYIAN AL-HUDAA DAN AN-NASHEB :
Nyanyian al-Hudaa dan an-Nasheb
adalah nyanyian Arab Badui yang diperbolehkan untuk dinyanyikan dan didengarkan
. Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama akan diperbolehkannya .
Makna Al-Hudaa’ atau Al-Hidaa’ [الْحِدَاءُ] dan makna An-Nasheb ( النَصْب )
Nyanyian al-Hidaa atau al-Hudaa
AL-HUDAA :
Al-Jauhary dalam
kitabnya As-Shihaah (7/159) berkata :
"الْحِدَاءُ: الْحِدْوُ سُوقُ الْإِبِلِ وَالْغِنَاءُ لَهَا."
Dan Hadaa’ (
الحداء ) : penggiringan unta disertai nyanyian untuknya.
Ada yang mengatakan :
"الْحِدَاءُ:
حَيْثُ كَانَ يُنْشَدُهُ الْحَادِّي مُمْتَطِيًا نَاقَتَهُ، مُتَقَدِّمًا قَافِلَتَهُ
لِيُحَثِّ إِبِلَهُ عَلَى الْمَسِيرِ وَفِي مُحَاوَلَةٍ لِتَخْفِيفِ عُنَاءِ السَّفَرِ
عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ تِلْكَ الْإِبِلِ، وَيُعْرَفُ كَذَلِكَ كَغِنَاءِ إِنْشَادِيٍّ
يُؤَدِّيهِ الْحَادِّي لِعِيسَهُ (جِمَالِهِ) إِذَا مَا تَفَرَّقَتْ أَوِ ابْتَعَدَتْ
عَنْهُ."
Al-Hudaa’
: Di mana seseorang yang menyanyikan nyanyian al-hudaa’ , dia menyanyikannya
sambil mengendarai untanya, serta ia berjalan paling depan kafilahnya , dengan
nyanyian tsb agar bisa mengarahkan untanya berjalan diatas jalur , dan bisa
juga digunakan dalam upaya untuk meringankan rasa lelah dan letih dalam
perjalanan , baik pada dirinya sendiri dan pada unta itu.
Dan
itu dikenal juga dengan nyanyian vokal ( غِنَاءٌ إِنْشَادِيٌّ ) yang
dilakukan oleh penyanyi al-Hudaa’ kepada unta-untanya di saat unta-unta tsb
terpencar atau menjauh darinya .
AL-HUDAA
: Nyanyian dan dendangan kegembiraan untuk gembala dan unta.
"al-Hidā'" atau "al-Hudā'" - dengan dibaca kasrah pada
huruf ḥāʾ atau dhommah - atau "Hadwu"
dikenal dalam kamus bahasa Arab sebagai penggiringan unta dan nyanyian
untuknya. Dalam bentuk jamaknya: "Aḥdīyah" atau "Aḥdūah".
Dikatakan
tentang seseorang:
رَجُلٌ حَادٌ وحِدَاءٌ وَهُو الذي يحْدُو
الابلَ أي يُغَنَّي لها لتَتبُّعِه
"Rajulun
ḥādun wa-hidā'", yang berarti seseorang yang
menyanyi untuk unta-untanya agar mengikutinya.
Orang Arab
mengatakan:
فُلَانٌ حِدَاءُ قَرَاقِرِيًّا، أَيْ
جَهْوَرِيُّ الصَّوْتِ الشَّدِيدِ النَّبرَاتِ يُقَدِّمُ أَبْلَهُ وَيَحْدُوهَا.
"Fulan ḥādāʾ qarāqiryā", yang berarti seseorang dengan suara yang keras dan penuh nada,
yang memimpin unta-untanya dan menyanyikan lagu untuknya.
Orang Arab
menyebut "al-Hidā'" sebagai bagian dari jenis
puisi yang disebut "Bahr Rajaz" atau "Bahr Rijāz", yang berarti penyairnya disebut "Rājiz" atau
"Rājāz", yang berarti penyair yang menulis
puisi dengan irama yang teratur.
Jenis puisi
ini dinamai "Rajaz" karena sedikitnya bagian dan huruf serta
kemudahan pembuatannya, sehingga bait puisinya berkisar antara satu hingga tiga
bait, bisa lebih atau kurang sedikit.
Nama
"al-Hidā'" digunakan oleh orang Arab di pasar
unta dan dalam nyanyian untuknya. Unta-unta tersebut terpesona oleh suara
penyanyinya, dan mereka dikelilingi oleh gelombang kegembiraan dan sukacita.
Mereka menari dengan gerakan indah dan lincah, hanya dapat dipahami oleh mereka
yang hidup bersama unta dan menggembalakannya dari padang rumput ke padang
rumput atau ke mata air."
Abu al-Fadl
Ahmad Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) mengatakan dalam kitabnya (Fath al-Bari
Syarah Sahih al-Bukhari):
"حِداءُ سُوقِ الْإِبِلِ
يَكُونُ بِضَرْبٍ مُخَصَّصٍ مِنَ الشِّعْرِ وَالْغِنَاءِ، وَهُوَ مَا يُسَمِّيهِ الْأَعْرَابُ
الْأَوَائِلُ (الرَّكْبَانِيّ) وَيُسَمِّيهِ الْعَرَبُ الْآخِرُونَ (الْهِجَيْنِيّ)،
وَهُوَ قَصِيدُ أَصْحَابِ السَّفَرِ وَالْقَوَافِلِ."
Hudaa’
adalah menggiring unta yang diiringi dengan lantunan khusus dari Syair dan
nyanyian, yang oleh orang-orang Arab awal namakan (Rukbaanii ) dan orang-orang
Arab akhir menyebutnya (Al-Hujaini), dan itu adalah qosiidah orang-orang dalam
safar dan kafilah-kafilah.
Para
sejarawan dan para perawi Arab, termasuk Abu al-Hasan Ali bin al-Husayn
al-Mas'udi (wafat 346 H/957 M) dalam karyanya "Muruj al-Dhahab wa Ma'adin
al-Jawhar" menyebutkan:
"إنَّ "الحِدَاءَ" كَانَ عِندَ
العَرَبِ قَبْلَ "الغِنَاءِ"، انحَدَرَ إِلَيْهِمْ وَتَوَارَثُوهُ مِنْ جَدِّهِمُ
الْأَكْبَرِ مُضَرَ بْنِ نَزَارِ بْنِ مَعْدِ بْنِ عَدْنَانَ بْنِ أَدٍ، وَأَصْلُهُ
كَمَا يَرَوْنُ أَنَّ مَضَرَ قَدْ سَقَطَ عَنْ بَعِيرِهِ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَانْكَسَرَتْ
يَدُهُ، فَجَعَلَ يَقُولُ: يَا يَايَدَاهُ يَايَدَاهُ أَوْ وَايَدَاهُ وَايَدَاهُ،
وَكَانَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ صَوْتًا فَتَجَمَّعَتْ حَوْلَهُ الْإِبِلُ وَطَابَتْ
لَهَا السَّيْرُ مَعَهُ، فَاتَّخَذَهُ العَرَبُ حِدَاءً بِرَجْزِ الشِّعْرِ، وَجَعَلُوا
كَلَامَهُ أَوَّلَ الْحِدَاءِ، فَقَالَ حَادِيهِمْ: يَايَدَاهُ يَايَدَاهُ، يَا هَادِياً
يَا هَادِياً، أَوْ قَالَ: وَايَدَاهُ وَايَدَاهُ، هَبِيْبًا هَبِيْبًا."
Sesungguhnya
"al-Hida" (الحداء) telah ada di kalangan Arab
sebelum "Nyanyian" (الغِنَاءُ). Tradisi ini turun temurun kepada mereka dan diwariskan dari
kakek mereka yang paling tua, Mudhor bin Nizar bin Ma'd bin 'Adnan bin Ad.
Menurut mereka, asal usulnya adalah ketika Mudhor jatuh dari unta-nya dalam
salah satu perjalanannya sehingga tangannya patah. Dia mulai berdendang :
يَا يَايَدَاهُ يَايَدَاهُ أَوْ وَايَدَاهُ
وَايَدَاهُ
'Ya tangan,
ya tangan,' atau 'Wa yadah, wa yadah.'
Karena dia
memiliki suara yang bagus, maka unta-unta pun berkumpul di sekitarnya dan
perjalanan mereka menjadi lancar bersamanya. Kemudian, orang Arab menjadikan
Mudhor sebagai pencetus nyanyian (الحُدَاء) dengan syair yang terjalin.
Mereka membuat perkataan Mudhor sebagai awal dari nyanyian al-Hida, dan seorang
penyanyi di antara mereka berkata :
"يا يَدَاهُ يا يَدَاهُ، يا هادِياً يا هادِياً،
أو قال: وايَدَاه
وايَدَاه، هَبِيْيًا هَبِيْيًا"
'Wa yadah,
wa yadah,' atau 'Ya hadi, ya hadi,' atau 'Wa yadah, wa yadah,''Habiban, habiban.'"
AN-NASHEB
( النَصْب ):
Al-Johary
mengatakan dalam kitabnya Al-Shihaah (2/146) :
"وَالنَّصْبُ: غِنَاءٌ
يُشَبِّهُ الْحِدَاءَ إِلَّا أَنَّهُ أَرَقُّ مِنْهُ."
“An-Nasheb (
النَصْب ) : nyanyian yang menyerupai al-Hudaa’ , hanya saja yang lebih
halus” . [Dan lihat pula Lisan Al-Arab (1/758)].
HUKUM NYANYIAN AL-HUDA , AN-NASHEB DAN YANG SEMISALNYA
Ibn Abd al-Barr berkata dalam kitabnya التمهيد (22/296):
"وَهَذَا الْبَابُ مِنَ
الْغِنَاءِ قَدْ أَجَازَهُ الْعُلَمَاءُ وَوَرَدَتْ الْآثَارُ عَنْ السَّلَفِ بِإِجَازَتِهِ.
وَهُوَ يُسَمَّى غِنَاءُ الرُّكْبَانِ وَغِنَاءُ النَّصْبِ وَالْحِدَاءِ. هَذِهِ الْأَوْجُهُ
مِنَ الْغِنَاءِ لَا خِلَافَ فِي جَوَازِهَا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ."
“Dan dalam Bab ini , yakni
nyanyian yang seperti ini telah dibolehkan oleh para ulama, dan terdapat
atsar-atsar dari para ulama salaf yang membolehkannya , dan itu disebut
nyanyian pengendara ( غِنَاءُ الرُّكْبَانِ ) , nyanyian النَّصْبِ, dan الحُداء. Tidak ada perbedaan pendapat
antar para ulama tentang diperbolehkannya “. [Selesai]
Kesimpulan :
1. Tidak ada khilaf antar ulama akan di
bolehkannya nyanyian al-Huda dan an-Nasheb .
2. Al-Huda dan an-Nasheb sama-sama nyanyian
budaya arab sejak zaman dahulu .
3. Antara Al-Huda dan an-Nasheb terdpt
kesamaan . Sama-sama nyanyian pengendara dan penggembala Unta . Cuma bedanya
kalo Nasheb itu lebih lembut رقيق
dan terdapat تمطيط / suara yg tinggi dan panjang .
DALIL-DALILNYA :
PERTAMA
: Dari Khawat Ibnu Jubayr, dia mengatakan:
"خَرَجْنَا مَعَ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: فَسَرَنَا فِي رَكْبٍ فِيهِمْ
أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَاحِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا، قَالَ: فَقَالَ الْقَوْمُ: غَنِّنَا يَا خَوَاتِ، فَغَنَّاهُمْ. قَالُوا:
غَنِّنَا مِنْ شِعْرِ ضُرَارٍ، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: دَعُوا أَبَا
عَبْدِ اللَّهِ يَتَغَنَّى مِنْ بَنِيَّاتِ فُؤَادِهِ يَعْنِي مِنْ شِعْرِهِ. قَالَ:
فَمَا زِلْتُ أُغَنِّيهِمْ حَتَّى إِذَا كَانَ السِّحْرُ، فَقَالَ عُمَرُ: ارْفَعْ
لِسَانَكَ يَا خَوَاتِ فَقَدْ أَسْحَرْنَا."
Kami
pergi dengan Umar ibn al-Khattab, (r.a) ,
dia berkata: Kami berangkat bersama rombongan , di dalamnya terdapat Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah dan Abdul Rahman bin Auf, رضي الله عنهم . Dia
berkata : Lalu orang-orang berkata: Nyanyikan untuk kami wahai Khowaat , maka
dia nyanyikan utk mereka. Mereka berkata: Nyanyikan utk kami dari syair Dlirar.
Lalu Umar berkata : Biarlah wahai Abu Abdullah , dia bernyanyi dari syair-syair
buah hatinya, yakni dari syairnya. Dia berkata: Aku pun terus menerus menyanyi
untuk mereka , sehingga ketika datang waktu Sahur maka Umar berkata : Angkat lisanmu,
wahai Khowaat, karena kita telah tiba di waktu sahur “.
Atsar
itu disebutkan oleh Al-Bayhaqi (5/69), dan Abu Na`im Al-Asbahani dalam kitab
nya الأربعين على مذهب المتحققين من الصوفية hal. (100).
Itu
dituturkan oleh Ibn Hajar dengan menukilnya dari Ibn al-Siraaj dalam kitabnya التاريخ , seperti
yang disebutkan di dlm kitab الإصابة (2/347) :
Al-Kalbani mengatakan dalam artikelnya :
"وَقَدْ صَحَّ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: الْغِنَاءُ مِنْ زَادِ الرَّاكِبِ. وَكَانَ لَهُ مُغَنٍّ اسْمُهُ
خَوَاتٌ رُبَّمَا غَنَّى لَهُ فِي سَفَرِهِ حَتَّى يَطْلُعَ السِّحْرُ."
"dan terdapat atsar Shahih dari Umar RA
, bahwa dia berkata: Bernyanyi adalah bagian dari pada bekal pengendara. Dan
beliau memiliki seorang penyanyi laki-laki bernama Khowat yang terkadang dia
bernyanyi untuknya ketika dalam safar hingga waktu sahur tiba.
Ibnu
al-Atsiir berkata dalam kitabnya (النهاية في غريب
الأثر) (3/739) :
"وَقَدْ رَخَّصَ
عُمَرُ فِي غِنَاءِ الْأَعْرَابِ وَهُوَ صَوْتٌ كَالْحُدَاءِ وَبِدَلِيلِ أَنَّ الْبَيْهَقِيَّ
خَرَجَ فِي سُنَنِهِ الْكُبْرَى (10 / 224) مِنْ طَرِيقِ أَخَرَ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ قَالَ
السَّائِبُ بْنُ يَزِيدِ:
"بِيَنَا نَحْنُ مَعَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فِي طَرِيقِ
الْحَجِّ وَنَحْنُ نُؤَمُّ مَكَّةَ اعْتَزَلَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
الطَّرِيقَ ثُمَّ قَالَ لِرَبَّاحِ بْنِ الْمُغْتَرِفِ: "غَنِّنَا يَا أَبَا حُسَنٍ"
وَكَانَ يَحْسِنُ النَّصْبَ فَبَيْنَا رَبَّاحُ يُغَنِّيهِ أَدْرَكَهُمْ عُمَرُ بْنُ
الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي خِلَافَتِهِ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟"
فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: "مَا بَأْسَ بِهَذَا نَلْهَوُ وَنَقْصُرُ عَنَّا."
Dan
Umar sungguh telah membolehkan nyanyian orang Badui, yang bunyinya seperti
al-Huda. Dan dengan bukti bahwa al-Bayhaqi menyebutkannya dalam kitabnya السنن الكبرى (10/224) dari jalan lain dengan isnaad
shahih, al-Saib ibn Yazid berkata:
Kami
bersama Abd al-Rahman ibn Auf dalam perjalanan menuju haji dan kami sedang
memimpin ziarah ke Mekah. Abd al-Rahman, (r.a) memisahkan diri dalam
perjalanan, lalu berkata kepada Rabah bin al-Mughtarraf: "Nyanyikan utk
kami, wahai Abu Hassan."
Dan
dia menguasi nyanyian Nasheb “النصب “ dengan
bagus . Maka ketika Robaah menyanyikannya , tiba-tiba Umar bin Khothob
menyusulnya , saat itu beliau adalah Khalifah . Maka Umar bertanya : Apa ini?
"
Abd
al-Rahman berkata:" Tidak mengapa dengan ini. Kami hanya bersenang-senang
dan agar kami terasa mempersingkat perjalanan kami “.
Umar,
(r.a) berkata:
"فَإِنْ كُنْتَ
آخِذًا فَعَلَيْكَ بِشِعْرِ ضِرَارِ بْنِ الْخَطَّابِ وَضِرَارٍ رَجُلٍ مِنْ بَنِي
مُحَارِبِ بْنِ فَهْرٍ"
"Jika Anda melakukannya, maka Anda nyanyikanlah Syair
Dliraar bin Al-Khattab dan Dliraar seorang pria dari Bani Muhaareb Bin
Fihr."
Dan
Ibnu al-Atsir berkata :
"وَالنَّصْبُ ضَرْبٌ
مِنْ أَغَانِي الْأَعْرَابِ وَهُوَ يُشْبِهُ الْحِدَاءَ قَالَهُ أَبُو عُبَيْدِ الْهِرَوِيُّ
.
وَرَوَيْنَا فِيهِ قِصَّةً
أُخْرَى عَنْ خَوَاتِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ عُمَرَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ
وَأَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَاحِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فِي كِتَابِ الْحَجِّ
قَالَ فِيهَا خَوَاتٌ فَمَا زِلْتُ أُغْنِيهِمْ حَتَّى إِذَا كَانَ السِّحْرُ. فَدَلَّ
عَلَى مَا ذُكِرَتْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ."
Nyanyian “النَّصْب” itu adalah
salah satu nyanyian orang Badui, dan itu menyerupai “الحُداء” : Dan itu lah yang dikatakan oleh Abu Ubaid Al-Hirawiy.
Dan
kami riwayatkan pula yang di dalamnya kisah lain : Dari Khawat Bin Jubayr ,
dari Umar, juga Abd Al-Rahman Bin Auf dan Abu Ubaidah Bin Al-Jarrah رضي الله عنهم dalam kitabnya “الحج”. Yang di dalam nya terdapat kata-kata Khowwaat :
فَمَا زِلْتُ أُغْنِيهِمْ
حَتَّى إِذَا كَانَ السِّحْرُ
“Maka aku terus menerus bernyanyi untuk
mereka hingga tiba waktu Sahur”.
Ini menunjukkan sesuai dengan apa
yang anda telah sebutkan. Wallaahu a’lam.
KEDUA : Ibnu Abi Shaybah meriwayatkan dalam Musannaf-nya 3/253
no. (13951) dari Abdullah bin Idris dari Ibn Jurayj dan dari ‘Athoo , mereka
berdua berkata:
«لَا بَأْسَ بِالْغِنَاءِ
وَالْحُدَاءِ، وَالشِّعْرِ لِلْمُحْرِمِ، مَا لَمْ يَكُنْ فُحْشًا»
“Tidak mengapa dengan nyanyian atau al-Hudaa’ atau
syair bagi oarang yang sedang ber ihram selama isinya tidak ada hal-hal yang
cabul dan dosa .”
Itu adalah riwayat yg shahih.
Ibn Abi Shaybah menuliskan pada kitabnya al-Mushonnaf
3/253:
بَابٌ فِي الْحُدَاءِ لِلْمُحْرِمِ
“BAB : nyanyian al-Hudaa’
bagi orang yang berihram” .
Atsar ini menunujukkan bolehnya
bagi rombongan haji menyanyikan al-Hudaa dan an-Nasheb.
KETIGA :
Diriwayatkan dari Abdullah bin Abbas – radhiyallahu
‘anhuma - :
"يَحْدُو إِبِلَهُ وَهُوَ فِي طَرِيقِهِ
مِنَ الْبَصْرَةِ إِلَى الْكُوفَةِ، مُخَاطِبًا نَاقَتَهُ الْحَبِيبَةَ إِلَى قَلْبِهِ
الْمُسَمَّاةِ رُبَابَ':
"أوِّبِي إِلَى أَهْلِكِ يَا رُبَابُ
*** أوِّبِي فَقَدْ حَانَ لَكِ الْإِيَابُ "
“ Bahwa dia
[Ibnu Abbas] menggiring unta-untanya sambil menyanyikan al-Hudaa dalam
perjalanan dari Basrah ke Kufah, sambil berbicara kepada unta kesayangannya
yang bernama "Rabab":
"Kembali
pulang lah ke keluarga mu, wahai Rubab
*** Kembali pulanglah, saatnya bagimu untuk
pulang."
KEEMPAT
: Ini adalah Abdullah Dzi An-Nijadain, penggembala unta milik Rasulullah ﷺ,
يَحْدُو 'يُغَنِّي الْأَبَلَ'
مُخَاطِبًا نَاقَةَ سَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ ﷺ:
تَعَرَّضِي مُدَارِجَا وَسُومِي
تَعَرَّضِ الْجَوْزَاءِ لِلنُّجُومِ
هَذَا أَبُو الْقَاسِمِ فَاسْتَقِيمِي
Dia menyanyikan
al-Hudaa sambil bicara pada unta Rasulullah ﷺ:
"Hadapilah
jalan terjal tebing gunung ini dan lintasilah dengan cepat
Seperti
al-Jauzaa menghadapi bintang-bintang
Inilah
Abu al-Qasim, maka tetaplah lurus
Mufrodaat :
الْمُدَارِجُ: الثَّنَايَا
الْغَلَاظُ بَيْنَ الْجِبَالِ، وَمِفْرَدُهَا مُدَرَّجَةٌ. السُّومُ: سُرْعَةُ الْمُرُورِ."
(Al-Madaarij
adalah medan perjalanan yang bergelombang di antara gunung-gunung). Dan al-Madaarij
adalah tempat di antara dua gunung, dan bentuk tunggalnya adalah
Mudrajah."
Adapun
as-Saaum adalah kecepatan melintas “.
Referensi :
Baca
artikel karya Ahmad bin Muharib adz-Dzofiiri yang berjudul :
"انْكَسَرَتْ يَدُ مُضَرِّ بْنِ نَزَارٍ
بْنِ مَعْدٍ، فَعَرَفَتِ الْعَرَبُ الْحُدَاءَ. كَانَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يُحَدِّي
إِبِلَهُ بِقَوْلِهِ: 'يَا حَبَّذَا السِّيرُ بِأَرْضِ الْكُوفَةِ.'"
Artinya
: "Tangan Mudhor bin Nadzar bin Ma'ad patah, dan dari sini Arab mengenal
nyanyian 'al-Hudaa'. Dulu Ali bin Abi Thalib menyanyikan al-Hudaa untuk untanya
dengan mengucapkan : 'Alangkah baiknya berjalan di tanah Kufah.'"
=======
PERNYATAAAN SEBAGIAN PARA ULAMA TENTANG AL-HUDAA :
Ibnu Abdil
Bar rahimahullah dalam At-Tamhid berkata:
“Di antara
nyanyian (Al Ghina) yang dibolehkan adalah ar-rukban, an-nasbu dan al-hudaa,
selama syairnya tidak mengandung kata-kata tercela.”
Rukban
adalah nyanyian orang safar untuk menghilangkan kejenuhan dalam perjalanan atau
saat berkendara. Dinamakan juga an-nasbu karena nada suaranya ditinggikan.
Sedangkan a[-hida adalah nyanyian penggembala ketika menggembala unta.
Ibnu Hajar
rahimahullah dalam Fathul Bari berkata:
“Al-Hida
adalah menuntun unta dengan memukul secara khusus dalam nyanyian. Al-Hida
seringkali dilakukan dengan syair rajaz (salah satu gaya puisi), terkadang
dengan syair lainnya. Kebiasaannya, unta akan berjalan cepat kalau
disenandungkan dengannya.”
Termasuk
dalam hal ini adalah nyanyian untuk menyampaikan pesan pendidikan kepada anak,
karena anak kecil biasanya lebih semangat belajar saat disampaikan dalam bentuk
nyanyian.
Nyanyian Untuk
menenangkan anak kecil
Ibnu Hajar
rahimahullah dalam Fathul Bari berkata:
“Termasuk
hida adalah nyanyian jamaah haji yang mencakup kerinduan untuk berhaji dengan
menyebut Ka’bah dan pemandangan lainnya. Yang sepadan dengan itu juga nyanyian
para mujahid untuk berperang. Di antaranya juga nyanyian seorang ibu untuk
menenangkan anaknya dalam gendongan.”
Nyanyian
antara suami istri
Al Albani
rahimahullah dalam Silsilah Al Huda Wan Nur berkata:
“Jika
seorang wanita ingin menyanyi di depan suaminya dengan perkataan yang mubah,
maka silakan ia menyanyi dan bersenandung dengan apa saja yang ia kehendaki.”
HADITS-HADITS YANG MENGISYARATKAN
HARAMNYA ALAT MUSIK DAN NYANYIAN
Para ulama
sepakat bahwa musik-musik yang dibarengi dengan kegiatan yang haram, seperti minum
minuman keras , atau tarian wanita di depan laki-laki non mahram, atau
untuk mengiringi syair-syair cabul, adalah haram. Begitu pula dengan lagu
dan nyanyian yang terdapat didalamnya kata-kata yang membangkitkan syahwat dan
yang semisalnya . Dan inilah mayoritas musik dan lagu yang ada saat ini.
Al-Hafidz
Ibnu Rajab al-Hanbali memiliki kitab ( نٌزْهَةُ الأسْمَاع
في مَسْألَةِ السِّمَاع ) di mana dia berkata (1/460) di dalamnya :
وَالْغِنَاءُ الَّذِي
يَشْتَمِلُ عَلَى وَصْفِ مَا جَبَلَتِ النُّفُوسُ عَلَى حُبِّهِ، وَالشَّغَفِ بِهِ
مِنَ الصُّورِ الْجَمِيلَةِ يُثِيرُ مَا كَمَنَ فِي النُّفُوسِ مِنْ تِلْكَ الْمَحَبَّةِ،
وَيَشُوقُ إِلَيْهَا، وَيُحَرِّكُ الطَّبْعَ وَيُزَعِّجُهُ عَنِ الِاعْتِدَالِ، وَيُؤَزِّهِ
إِلَى الْمَعَاصِي أَزًا، وَلِهَذَا قِيلَ: إِنَّهُ رُقِيَّةُ الزِّنَا، وَقَدْ افْتَتَنَ
بِسَمَاعِ الْغِنَاءِ خَلْقٌ كَثِيرٌ فَأَخْرَجَهُمْ اسْتِمَاعُهُ إِلَى الْعِشْقِ
وَفَتَنُوا فِي دِينِهِمْ، فَلَوْ لَمْ يُرِدْ نَصٌّ صَرِيحٌ فِي تَحْرِيمِ الْغِنَاءِ
بِالشِّعْرِ، الَّذِي تُوَصَّفُ فِيهِ الصُّورُ الْجَمِيلَةُ لَكَانَ مُحَرَّمًا بِالْقِيَاسِ
عَلَى النَّظَرِ إِلَى الصُّورِ الْجَمِيلَةِ، الَّتِي حُرِّمَ النَّظَرُ إِلَيْهَا
بِالشَّهْوَةِ، بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ مَنْ يَعْتَدُّ بِهِ مِنْ عُلَمَاءِ
الْأُمَّةِ.
“Nyanyian yang mengandung ungkapan-ungkapan yang membuat
jiwa-jiwa jatuh cinta padanya, dan dengannya menimbulkan hasrat , seperti
kandungannya menggambarkan kecantikan-kecantikan dan keindahan-keindahan yang
bisa membangkitkan jiwa-jiwa dari perasaan-perasaan cinta tsb dan merindukannya,
dan menggerakkan tabiat dan menggoyahkan kesetabilan dan keseimbangan hati ,
dan membuatnya mendidih dan bergejolak untuk melakukan kemaksiatan-kemaksiatan
. Dan oleh karenanya dikatakan: Nyanyian tsb adalah ruqiyyah [tangga] Zina .
Dan
sungguh banyak orang yang jiwanya terfitnah ketika mendengar nyanyian, maka
nyanyian ini telah mengantarkan pendengaran mereka pada kerinduan cinta dan
membuat agama mereka terfitnah alias menjadi rusak agamanya .
Maka
kalau seandainya tidak ada nash/dalil yang jelas dalam larangan menyanyi dengan
puisi yang di dalamnya digambarkan gambaran yang cantik , maka nyanyian spti
ini bisa diharamkan dengan menggunakan dalil Qiyas / analogi kepada hukum
memandang gambar-gambar yang cantik , yang jelas-jelas dilarang memandangnya
dengan syahwat menurut Al-Qur'an dan Sunnah dan Ijma’/konsensus seluruh ulama
yang dianggap dan terhitung sebagai para ulama Ummat ".
BERIKUT INI SEBAGIAN
HADITS-HADITS
YANG MENUNJUKKAN
HARAMNYA MUSIK DAN NYANYIAN :
====
HADITS PERTAMA :
Al-Bukhari meriwayatkan dalam Sahihnya,
secara MUALLAQ [tanpa sanad] dengan SHIGAT JAZEM no. (5286) : Dari Abd al-Rahman bin Ghanam
al-Ash'ari berkata: Abu Amer - atau Abu Malik - al-Ash'ari mengatakan: Demi
Allah , dia tidak berdusta padaku , dia mendengar Nabi ﷺ bersabda :
لَيَكُونَنَّ مِنْ
أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ
وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ
عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ
فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ
الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ
"Sungguh,
benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan
zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah
di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Tiba-tiba ada Seorang yang
fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah
kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan
menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi
kera dan babi hingga hari kiamat. [HR. Bukhari no.
(5286)]
Hadits ini di dhaifkan oleh
Abu
Muhammad ibn Hazm, رحمه
الله ; karena terputus sanadnya , dan di dalam sanadnya terdapat
Abu Malik Al-Ash'ari , yang mana dia itu MAJHUL
Penulis katakan : Hadits
tersebut riwayatkan secara maushul oleh Ibn Hibban dalam Sahihnya (6574),
al-Tabarani di al-Mujam al-Kabeer (3339), Musnad al-Shamiyyin (588), al-Bayhaqi
di Sunan al-Sughra (4320), dan al-Sunan al-Kubra (6317) , dan hadits tsb
Shahih .
Ibnu
Sholah berkata dalam kitabnya علوم الحديث hal. (67):
"وَلَا الْتِفَاتَ إِلَى أَبِي مُحَمَّدِ بْنِ حَزْمٍ
الظَّاهِرِيِّ الْحَافِظِ فِي رَدِّهِ مَا أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ ، مِنْ
حَدِيثِ أَبِي عَامِرٍ ، أَوْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ : " لَيَكُونَنَّ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحَرِيرَ
وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ . . " الْحَدِيثَ .
مِنْ جِهَةِ أَنَّ الْبُخَارِيَّ أَوْرَدَهُ قَائِلًا فِيهِ :
قَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ وَسَاقَهُ بِإِسْنَادِهِ ، فَزَعَمَ ابْنُ حَزْمٍ
أَنَّهُ مُنْقَطِعٌ فِيمَا بَيْنَ الْبُخَارِيِّ وَهِشَامٍ ، وَجَعَلَهُ جَوَابًا
عَنِ الِاحْتِجَاجِ بِهِ عَلَى تَحْرِيمِ الْمَعَازِفِ . وَأَخْطَأَ فِي ذَلِكَ
مِنْ وُجُوهٍ ، وَالْحَدِيثُ صَحِيحٌ مَعْرُوفُ الِاتِّصَالِ بِشَرْطِ
الصَّحِيحِ" .
"Tidak
usah mengindahkan kritikan Abu Muhammad bin Hazem adz-Dzoohiry dalam
bantahannya terhadap apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu ‘Aamir, atau
Abu Malik al-Ash'ari dari Rasulullah ﷺ :
" لَيَكُونَنَّ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ
الْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ . . " الْحَدِيثَ
"Akan ada di antara umatku , kaum-kaum yang menghalalkan
sutra , anggur, dan alat-alat musik. ...." ( SA al-Hadits ) .
Di
satu sisi, Al-Bukhari menyebutkannya dengan mengatakan : bahwa Hisham bin Ammar
berkata : lalu beliau imam Bukhory menyebutkan sanadnya .... . Di sini Ibnu Hazem mengira ada sanad yang
terputus antara Bukhory dan Hisyam , lalu dia menjadikannya sebagai bantahan
atas haramnya musik-musik. Dan ternyata dalam hal ini dia salah dari beberapa
arah , dan yang benar hadits ini adalah shahih dan dikenal sanadnya nyambung
sesuai standar syarat hadits shahih “.
Imam
Ibnu al-Qayyim berkata dalam Rawdhat al-Muhibbiin (130):
“وَأَمَّا أَبُو مُحَمَّدٍ فَإِنَّهُ عَلَى قَدْرِ يُبْسِهِ وَقَسُوتِهِ
فِي التَّمَسُّكِ بِالظَّاهِرِ وَإِلْغَائِهِ لِلْمَعَانِي وَالْمُنَاسِبَاتِ وَالْحُكْمِ
وَالْعِلَلِ الشَّرْعِيَّةِ انماع في بَابِ الْعِشْقِ وَالنَّظَرِ وَسَمَاعِ الْمَلَاهِي
الْمُحَرَّمَةِ فَوُسِعَ هَذَا الْبَابُ جِدًّا وَضُيِقَ بَابُ الْمُنَاسِبَاتِ وَالْمَعَانِي
وَالْحُكْمِ الشَّرْعِيَّةِ جِدًّا.
وَهُوَ مَعَ انْحِرَافِهِ
فِي الطَّرَفَيْنِ حِينَ رَدَّ الْحَدِيثَ الَّذِي رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ
فِي تَحْرِيمِ آلَاتِ اللَّهْوِ بِأَنَّهُ مُعَلَّقٌ غَيْرُ مُسْنَدٍ وَخُفِيَ عَلَيْهِ
أَنَّ الْبُخَارِيَّ لَقِيَ مَنْ عَلَّقَهُ عَنْهُ وَسَمِعَ مِنْهُ وَهُوَ هِشَامُ
بْنُ عَمَّارٍ وَخُفِيَ عَلَيْهِ أَنَّ الْحَدِيثَ قَدْ أَسْنَدَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ
مِنْ أُئِمَّةِ الْحَدِيثِ غَيْرَ هِشَامِ بْنِ عَمَّارٍ فَأَبْطَلَ سُنَّةَ صَحِيحَةٍ
ثَابِتَةً عَنْ رَسُولِ اللَّهِ لَا مَطْعَنَ فِيهَا بِوَجْهٍ".
“Adapun
Abu Muhammad, maka sesungguhnya dia itu diatas kering dan kerasnya dalam
berpegang teguh terhadap faham DZOHIRI ( yang tampak dari nash-nash ) dan menghapus makna-makna ,
munasabah-munasabah , hikmah-hikmah dan illat-illat hukum syar’i , maka faham
ini telah membuat Abu Muhammad menjadi leleh dalam bab tentang kerinduan ,
pandangan , penyimakan suara hiburan yang diharamkan , maka dia sangat
memperluas dalam bermudah-maudahan dalam membolehkan bab tsb , dan sangat
mempersempit bab munasabat-munasabat hukum yang menunjukkan keharamannya ,
begitu juga makna-mkananya dan illat-illat hukum syar’inya .
Dan
dia dengan penyimpangannya di kedua sisi ketika membantah hadits yang
Al-Bukhari diriwayatkan dalam Sahihnya tentang pengharaman alat-alat hiburan
dengan alasan MU’ALLAQ alias sanadnya tidak nyambung , rupanya ada yang
tersembunyi darinya bahwa Al-Bukhari bertemu dengan seseorang yang diTA’LIQnya
dan dia mendengar langsung darinya, yaitu Hisham bin Ammar, dan juga ada yang
tersembunyi dari Abu Muhammad Ibnu Hazem bahwa hadits tersebut sanadnya telah
disambungkan oleh lebih dari satu imam hadits selain Hisham bin Ammar, oleh
karena itu dia membatalkan hadits yang shahih nan kokoh dari Rosulullah ﷺ , tidak ada
sisi yang bisa menikam keshahihan nya dari arah manapun”. ( Baca pula : تهذيب سنن أبي داود 2/228 ).
Dalam
kitab إغاثة اللهفان 1/259 , تغليق التعليق 5/22 dan فتح الباري 10/52 di katakan :
"وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ
مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ عَلَى تَحْرِيمِ الْمَعَازِفِ أَنَّهُ لَوْ كَانَتْ حَلَالًا
لَمَا ذَمَّهُمْ عَلَى اسْتِحَالَتِهَا وَلَمَّا قُرِّنَ اسْتِحَالَتُهَا بِاسْتِحَالَةِ
الزِّنَا وَالْخَمْرِ وَالْحَرِيرِ!".
“Indikasi
dari hadits ini tentang pengharaman alat-alat musik adalah bahwa jika memang
dibolehkan, maka tentunya dia tidak akan
mencela orang-orang yang menghalalkannya , dan kalo seandainya di bolehkan ,
maka tentunya tidak akan sandingkan
dengan penghalalan perzinahan, minuman keras, dan sutra!”.
HADITS KE 2
:
Dari Abu
Malik Al-Asy’ariy, ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda :
"لَيَشْرَبَنَّ
نَاسٌ مِنْ اُمَّتِى اْلخَمْرَ يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى
رُءُوْسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَ الْمُغَنّيَاتِ، يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ اْلاَرْضَ
وَ يَجْعَلُ مِنْهُمُ اْلقِرَدَةَ وَ اْلخَنَازِيْرَ".
“Sungguh ada
segolongan dari umatku yang minum khamr yang mereka menamakannya bukan nama
(asli)nya, kepala mereka disibukkan dengan musik dan biduanita. Allah akan
menenggelamkan mereka ke dalam tanah dan merubah mereka menjadi kera dan
babi”.
(HR. Ahmad
no. 22900, Abu Daud no. 3688 dan Ibnu Majah 2/1333, no. 4020) Di Shahihkan
al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah no. 3263 dan ar-Ribaa’i dalam Fathul
Ghoffaar 4/1967.
Dalam
riwayat lain Abu Malik berkata : aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
"يَكُونُ فِي أُمَّتِي الْخَسْفُ
وَالْمَسْخُ وَالْقَذْفُ ” ، قُلْنَا : فِيمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ”
بِاتِّخاذِهِمُ الْقَيْنَاتِ ، وَشُرْبِهِمُ الْخُمُورَ".
“Di umat ini
kelak nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam
bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya”.
Beliau
ditanya, “Karena apa hal itu terjadi wahai Rasulullah!”
Beliau
menjawab, “Karena mereka telah menjadikan para biduwanita sebagai hiburan
mereka dan mereka suka minum minuman keras [khamr]”.
[HR. Ath
Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir (3333)]
Di dalam
sanadnya terdapat al-Ghaz . Al Ghaz tidak ditemukan jarh wa ta’dil-nya
namun Hisyam (perawi tsiqah) meriwayatkan darinya, sehingga
statusnya majhul hal [Tidak dikenal kondisinya] . Sedangkan ayahnya, Abu
Al Ghaz Rabi’ah bin ‘Amr, statusnya mukhtalif fii shahbatihi
[diperdepatkan apakah dia seoarang sahabat ? ] namun Ad Daruquthni
men-tsiqah-kannya. Sedangkan para perawi lainnya adalah tsiqah. Karena
adanya perawi yang majhul sanad ini tidak bisa menjadi syahid.
HADITS KETIGA
:
Dari ‘Imran
bin Husain bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
" فِيْ
هذِهِ اْلاُمَّةِ خَسْفٌ وَ مَسْخٌ وَ قَذْفٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ
الْمُسْلِمِيْنَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَتَى ذلِكَ؟ قَالَ: اِذَا ظَهَرَتِ
اْلقِيَانُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ اْلخُمُوْرُ".
“Pada ummat
ini akan ada (siksaan berupa) ditenggelamkan ke bumi, diganti rupa dan dilempar
batu dari langit”. Lalu ada seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin
bertanya, “Ya Rasulullah, kapan peristiwa itu terjadi ?”.
Beliau
menjawab, “Apabila telah merajalela penyanyi-penyanyi dan musik, dan khamr
diminum (dimana-mana)”.
(HR.
Tirmidzi 3/336, no. 2212 & 2309.
Hadits ini dha’if karena
dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Abbaad bin Ya’quub Al-Kuufiy dan ‘Abdullah
bin ‘Abdul Qudduus, Ia orang syiah. Keduanya dla’if.
Namun
dinyatakan oleh asy-Syaukani dalam Neil al-Awthar 8/262 : bahwa hadits ini
Hasan lighorihi
HADITS KEEMPAT
:
Dari Abu
Sa’id al-Khudri bahwa Nabi ﷺ bersabda:
سيكونُ في آخرِ الزمانِ خَسْفُ وقذفٌ
ومَسْخٌ ، إذا ظَهَرَتِ المعازِفُ والقَيْناتُ ، واسْتُحِلَّتِ الخمْرُ
“Di umat ini
kelak nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam
bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya. Itu terjadi pada para penyanyi,
para lelaki yang memakai sutra dan para peminum khamr”.
Muhammad bin
Shadaqah Al Jublani statusnya shaduq, Ziyad bin Abi Ziyad Al Jashash
dikatakan oleh Ibnu Hajar: “ia dhaif”. Sedangkan perawi lainnya tsiqah.
Sehingga sanad ini lemah namun bisa menjadi syahid.
Namun di
shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jami’ no. 3665.
HADITS KE
LIMA :
Diriwayatkan
dengan jalan lain, dicatat Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (117) dari
jalan Shalih bin Abdillah dengan sanadnya Dari Ali bin Abi
Thalib (ra) bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
” إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ
خِصْلَةً حَلَّ بِهَا الْبَلاءُ فَذَكَرَ مِنْهَا إِذَا اتُّخِذَتِ الْقِيَانُ
وَالْمَعَازِفُ
“
“Jika umatku
melakukan 15 perbuatan, maka mereka layak mendapatkan bala bencana”.
Beliau
menyebutkan diantaranya berprofesi menjadi penyanyi dan bermain alat musik.
Al Faraj bin
Fadhalah statusnya dhaif. Adapun yang lainnya
perawi tsiqah. Sehingga sanad ini juga lemah namun bisa
menjadi syahid.
HADITS KE ENAM
:
Diriwayatkan
dengan jalan lain, dicatat oleh Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi (4)
dengan sanadnya dari ‘Aisyah (ra), Rasulullah ﷺ bersabda :
«يَكُونُ فِي أُمَّتِي خَسْفٌ وَمَسْخٌ
وَقَذْفٌ» قَالَتْ عَائِشَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَهُمْ يَقُولُونَ: لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَ: «إِذَا ظَهَرَتِ الْقِيَانُ، وَظَهَرَ الرِّبَا،
وَشُرِبَتِ الْخَمْرُ، وَلُبِسَ الْحَرِيرُ، كَانَ ذَا عِنْدَ ذَا»
“Di umat ini
kelak nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam
bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya”.
Aisyah
bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu bersyahadat laailaaha
illallah?“.
Beliau
menjawab, “Ya, itu terjadi ketika banyak penyanyi, riba merajalela, khamr
banyak diminum, sutra banyak dipakai lelaki, lalu begini dan begitu”.
Abu Ma’syar
di sini adalah Nazif bin Abdirrahman As Sindi, statusnya dhaif. Al Husain bin
Mahbub tidak ditemukan jarh wa ta’dil-nya namun Ibnu Abid Dunya
meriwayatkan darinya, sehingga ia statusnya majhul haal.
Selainnya, tsiqah. Sehingga sanad ini sangat lemah dan tidak bisa
menjadi syahid.
Dan masih
ada beberapa jalur lagi yang tidak lepas dari kelemahan.
Hadits ini
memiliki beberapa banyak jalur yang saling menguatkan dan mengangkat derajatnya
minimal menjadi hasan li ghairihi. Akan terdapat masalah lain, yaitu
terdapat jalur lain secara mursal, disebutkan dalam al-Mushannaf karya
Ibnu Abi Syaibah (36843) dengan sandanya dari Ibnu Saabith , ia
berkata, Rasulullah ﷺ bersabda:
” إِنَّ فِي أُمَّتِي خَسْفًا وَمَسْخًا
وَقَذْفًا ” ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَهُمْ يَشْهَدُونَ أَنْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ؟ فَقَالَ : ” نَعَمْ ، إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَازِفُ
وَالْخُمُورُ وَلُبِسَ الْحَرِيرُ".
“Di umat ini
kelak nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam
bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya”.
Beliau
ditanya, “wahai Rasulullah, apakah mereka orang-orang yang
bersyahadat laailaaha illallah?”
Beliau
menjawab, “Iya, itu terjadi ketika alat-alat musik merajalela, banyak
muncul para penyanyi dan banyak orang minum khamr, serta banyak orang memakai
sutra”.
Semua
perawinya tsiqah kecuali Abdullah bin ‘Amr bin Murrah, ia
berstatus shaduq.
Para ulama
hadits berbeda pendapat mengenai masalah تعليل الموصول بالإرسال [ ilat sanad maushul dengan sanad mursal yaitu apakah hadits
yang maushul menjadi cacat jika ternyata ada jalan lain yang mursal
?.
Syaikh
Jamaluddin Al Qasimi menjelaskan:
فَقَدْ كَثُرَ إِعْلَالُ الْمَوْصُوْلِ
بِالْإِرْسَالِ، وَالْمَرْفُوعِ بِالْوَقْفِ إِذَا قُوِّيَ الْإِرْسَالُ أَوْ الْوَقْفِ
بِكُونِ رَاوِيهِمَا أَضْبَطَ أَوْ أَكْثَرَ عَدَدًا عَلَى الِاتِّصَالِ أَوْ الرَّفْعِ
وَقَدْ يُعَلُّونَ الْحَدِيثِ.
“Banyak
terjadi ta’lil (pencacatan) terhadap hadits maushul karena
terdapat jalan lain yang mursal. Juga terhadap hadits mar’fu karena
terdapat jalan lain yang mauquf. Jika jalan yang mursal atau mauquf itu
perawinya lebih kuat dari sisi dhabt-nya atau lebih banyak jalan-jalannya
dibanding dengan yang muttashil atau marfu, maka ketika itu
haditsnya menjadi tercatati” (Qawa’id At Tahdits, 131)
Jika kita
gabungkan jalan-jalan yang maushul, hadits ini tidak bisa tercacati
oleh mursal-nya sebab jalan-jalannya lebih banyak dan kualitas perawinya
lebih bagus karena saling menguatkan.
Kesimpulannya
:
Karena
banyaknya syahid mala status derajat hadits ini bisa menjadi hasan, seperti
yang katakan Asy-Syaukani dalam kitabnya Neilul Author, 8/262), bahkan Syeikh Al-Albani
dalam Shahih Al Jami’no. 3665 menetapkan bahwa derajat hadits ini bisa menjadi shahih. Wallahu’alam.
HADITS KE TUJUH
:
Dari Abu
Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda :
" اِذَا اتُّخِذَ اْلفَيْءُ دُوَلاً وَ
اْلاَمَانَةُ مَغْنَمًا وَ الزَّكَاةُ مَغْرَمًا وَ تُعُلّمَ لِغَيْرِ الدّيْنِ وَ
اَطَاعَ الرَّجُلُ امْرَاَتَهُ وَ عَقَّ اُمَّهُ وَ اَدْنَى صَدِيْقَهُ وَ اَقْصَى
اَبَاهُ وَ ظَهَرَتِ اْلاَصْوَاتُ فِي الْمَسَاجِدِ وَ سَادَ اْلقَبِيْلَةَ فَاسِقُهُمْ
وَ كَانَ زَعِيْمُ اْلقَوْمِ اَرْذَلَهُمْ و اُكْرِمَ الرَّجُلُ مَخَافَةَ شَرّهِ
وَ ظَهَرَتِ اْلقَيْنَاتُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ اْلخُمُوْرُ وَ لَعَنَ
آخِرُ هذِهِ اْلاُمَّةِ اَوَّلَهَا فَلْيَرْتَقِبُوْا عِنْدَ ذلِكَ رِيْحًا
حَمْرَاءَ وَ زَلْزَلَةً وَ خَسْفًا وَ مَسْخًا وَ قَذْفًا وَآيَاتٍ تَتَابَعُ
كَنِظَامِ بَالٍ قُطِعَ سِلْكُهُ فَتَتَابَعَ".
“Apabila
harta fai’ (rampasan perang) sudah dijadikan barang rebutan, amanat
(kepemimpinan) dijadikan sebagai barang ghanimah (rampasan
perang ), zakat dihutang (tidak dibayar),
dipelajari hal-hal yang bukan untuk agama, suami tunduk kepada istrinya, ibunya
didurhakai, orang lebih dekat kepada kawannya, sementara ayahnya sendiri
dijauhi, suara-suara gaduh di masjid-masjid, yang menjadi kepala qabilah (kampung)
adalah orang yang fasiq, yang menjadi pemimpin bagi suatu kaum adalah orang
yang sangat rendah akhlaqnya, seseorang disanjung-sanjung karena takut
kejahatannya, merajalelanya penyanyi-penyanyi dan musik, khamr
diminum (dimana-mana), generasi yang di belakang mengutuk generasi
pendahulunya, maka di saat yang demikian itu hendaklah mereka waspada
datangnya angin merah, gempa bumi, tenggelam ke dalam tanah, perubahan (menjadi
kera dan babi) dan pelemparan batu dari langit serta beberapa tanda
(kekuasaan Allah) yang akan terjadi berturut-turut seperti untaian (benda) yang
talinya putus, maka akan (berjatuhan benda tersebut) berturut-turut”.
(HR.
Tirmidzi 3/335, no. 2308]
Hadits ini dha’if karena
di dalam sanadnya ada perawi bernama Rumaih Al-Judzamiy, ia majhul). Di
dhaifkan oleh al-Albaani dalam Dha’if al-Jaami’ no. 287 .
Dan semakna
hadits ini diriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib (ra). Namun di Dhaifkan
pula oleh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shogir no. 769, al-Albaani dalam
adh-Dha’ifah no. 1170 dan Syeikh bin Baaz dalam at-Tuhfatul kariimah no. 77 .
HADITS KE DELAPAN
:
Dari Abu
Umamah, dari Rasulullah ﷺ, beliau bersabda :
" لاَ تَبِيْعُوا اْلقَيْنَاتِ وَ لاَ
تَشْتَرُوْهُنُّ وَ لاَ تُعَلّمُوْهُنَّ وَ لاَ خَيْرَ فِيْ تِجَارَةٍ فِيْهِنَّ
وَ ثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ وَ فِيْ مِثْلِ هذَا اُنْزِلَتْ هذِهِ اْلآيَةُ وَ مِنَ
النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ اْلحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ
(اِلى آخِرِ اْلآيَةِ)".
“Janganlah
kalian menjual para budak penyanyi wanita, jangan kalian membeli mereka
dan jangan pula kalian ajari mereka itu, karena sama sekali tidak ada
kebaikannya memperdagangkan mereka itu, dan hasilnya pun haram, dan seperti
ini, diturunkan ayat (yang artinya) :
‘Diantara
manusia ada yang membeli perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (orang)
lain dari jalan Allah, (QS Luqman : 6) sampai akhir ayat’”.
(HR.
Tirmidzi 5/25 no. 1282, 3247, Ibnu Majah no. 2168, Ahmad 22280 dan Thabrani no
7749 ] .
Hadits ini dha’if
sekali karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilaal.
Syu’aib
al-Arnauth berkata : Dho’if Jiddan [ lemah sekali] . (Lihat Takhrij al-Musnad
no. 22280]. Begitu pula yang dinyatakan al-Albaani dalam Tahriim Aalaatit Tharb
no. 68.
HADITS KE SEMBILAN
:
Dari Nafi'
Maula Ibnu Umar ia berkata :
سمِعَ ابنُ عمرَ مِزْمارًا ، قال :
فوَضَعَ أُصْبُعَيْه على أُذُنَيْه ، ونأَى عن الطريقِ ، وقال لي : يا نافعُ هل
تَسْمَعُ شيئًا ؟ قال : فقلتُ : لا . قال : فرَفَعَ أُصْبُعَيْه مِن أُذُنَيْه ،
وقال : كنتُ مع النبيِّ صلى الله عليه وسلم ، فسَمِعَ مثلَ هذا ! فصَنَعَ مثلَ هذا.
" [Ibnu
Umar] mendengar suara seruling, lalu ia meletakkan jarinya pada dua telinganya
seraya menjauh dari jalan. Lalu ia berkata kepadaku, "Wahai Nafi', apakah
kamu mendengar sesuatu?" Aku menjawab, "Tidak." Nafi'
melanjutkan; "Ibnu Umar lalu mengangkat kembali jarinya dari keduanya
telinganya", lantas ia berkata, "Aku pernah bersama Nabi ﷺ, lalu beliau mendengar suara seperti ini dan beliau juga
melakukan seperti ini."
[HR. Abu Daud no. 4924 ]
Abu Daud, perawi hadits, berkata : Abu Ali Al Lu`lu`I berkata : "Aku mendengar Abu Dawud berkata : "Hadits ini derajatnya
munkar”.
Lalu Abu Daud menyebutkan jalur lain dari Muth'im Ibnul Miqdam dari Nafi’, ia berkata :
كُنَّا مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَمِعَ
صَوْتَ زَامِرٍ فَذَكَرَ نَحْوَهُ
"Aku
bersama [Ibnu Umar], lalu ia mendengar suara orang berseruling…lalu ia
menyebutkan seperti hadits tersebut."
Abu Dawud
berkata : "Dan inilah yang paling
mungkar."
Namun hadits ini di shahihkan al-Albaani dalam Shahih
Abu Daud no. 4924.
LAFADZ LAIN : Dalam riwayat Ahmad dari Nafi’ , dia berkata :
سَمِعَ ابْنُ
عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ
رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ
نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ
الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا
Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling
dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua
jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain.
Beliau berkata : “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?”
Aku (Nafi’) berkata : “Iya, aku masih
mendengarnya”
Kemudian beliau terus berjalan, sampai aku
berkata : “Aku tidak mendengarnya lagi”
Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan
tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata :
“Beginilah aku melihat Rosululloh sholallohu
‘alaihi wasallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala.
Beliau melakukannya seperti tadi”
[HR Ahmad 4725. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa hadits ini hasan]
NOTE : Namun Ibnu Umar (ra) saat mendengar suara seruling
tersebut, beliau tidak menyuruh si penggembala untuk menghentikan tiupan
serulingnya. Ibnu ‘Umar juga tidak menyuruh Nafi’ untuk ikut menutup
telinganya.
Sehingga mendengarkan nyanyian dan musik tanpa kebutuhan adalah perbuatan yang makruh (makruh diambil dari kata karahah, artinya dibenci.
Dan dari Mujahid, ia berkata:
"كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَمِعَ
صَوْتَ طَبْلٍ فَاَدْخَلَ اِصْبَعَيْهِ فِى اُذُنَيْهِ، ثُمَّ تَنَحَّى حَتَّى
فَعَلَ ذلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قَالَ: هكَذَا فَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ ".
Dahulu
ketika saya bersama Ibnu ‘Umar, tiba-tiba mendengar suara tambur, lalu (Ibnu
‘Umar) memasukkan kedua jarinya ke kedua telinganya, kemudian ia mundur,
sehingga berbuat demikian tiga kali. Kemudian ia berkata, “Demikianlah
dahulu Rasulullah ﷺ berbuat”.
(HR. Ibnu
Majah 1/611, no. 1901.
Hadits ini dha’if karena
dalam sanadnya ada perawi bernama Laits bin Abi Sulaim. Akan tetapi dishahihkan
oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah no. 1555 , namun dengan lafadz "زمارة راع" [ seruling penggembala] , adapun yang dengan lafadz طَبْلٌ [
gendang] maka itu riwayat munkar.
HADITS KE SEPULUH
: HADITS LARANGAN AL-KUUBAH :
Dari Qais
bin Habtar yang berkata :
سَألْتُ ابنَ عبَّاسٍ عن الجَرِّ
الأبيضِ، والجرِّ الأخضرِ، والجرِّ الأحمرِ، فقال: إنَّ أوَّلَ مَن سأَلَ
النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وفْدُ عبدِ القيسِ، فقالوا: إنَّا نُصِيبُ مِنَ
الثُّفْلِ، فأيُّ الأسقيةِ؟ فقال: لا تَشرَبوا في الدُّبَّاءِ، والمُزَفَّتِ،
والنَّقِيرِ، والحَنْتَمِ، واشْرَبوا في الأسقيةِ، ثمَّ قال: إنَّ اللهَ حرَّمَ
علَيَّ -أو حرَّمَ- الخمرَ، والمَيْسِرَ، والكُوبةَ، وكلُّ مُسكِرٍ حرامٌ. قال
سفيانُ: قلْتُ لعلِيِّ بنِ بَذِيمَةَ: ما الكُوبةُ؟ قال: الطَّبْلُ.
Aku bertanya
kepada Ibnu ‘Abbaas tentang Al Jarr [wadah air minum dari tembikar] putih, Al
Jarr hijau dan Al Jarr merah.
Maka Beliau
berkata “sesungguhnya yang pertama kali bertanya kepada Nabi ﷺ tentang hal itu adalah delegasi [utusan]
‘Abdul Qais, mereka berkata “sesungguhnya kami memperoleh peralatan, maka
tempat-tempat air mana [yang boleh digunakan]?.
Beliau
berkata “Janganlah kalian minum dari Ad-Dubaa’, Al-Muzaffat, An-Naqiir dan Al-Hantam,
tetapi minumlah dari tempat-tempat air !”.
Kemudian
Beliau berkata : “sesungguhnya Allah telah mengharamkan atasku atau telah
mengharamkan khamr, judi, Al-Kuubah
dan setiap yang memabukkan adalah haram”.
Sufyaan
berkata : aku bertanya kepada Aliy bin Badziimah, apakah Al-Kuubah itu?. Ia
berkata “gendang”.
[HR. Ahmad no 2476 dan Abu Dawud 3/331 no.
3696 Di shahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Ahmad Syakir dalam Takhrij
al-Musnad 4/158]
Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkannya dalam kitabnya “Al-Asyribah”
hal 79 no 193, Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/356 no 3696, Abu Ya’la dalam
Musnad-nya 5/114 no 2729, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 12/187 no 5365, Al
Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20780, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya
41/273-274 semuanya dengan jalan sanad Abu Ahmad Az Zubairiy dari Sufyaan dari
Aliy bin Badziimah dari Qais bin Habtar : dari Ibnu ‘Abbas dengan matan
yang menyebutkan lafaz haram Al-Kuubah.
Adapun Ath Thahawiy juga menyebutkan hadits ini dalam
kitabnya Syarh Ma’aaniy Al Atsaar 4/223 no 6487 dengan sanad yang sama tetapi tanpa
menyebutkan lafaz haram Al-Kuubah.
RIWAYAT LAIN :
Abu Ahmad Az Zubairiy dalam periwayatan dari Sufyaan
memiliki mutaba’ah dari Qabiishah bin ‘Uqbah, sebagaimana yang disebutkan
Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy dalam Al Arba’iin hal 99 no 39 dan Ibnu Muqriy
dalam Mu’jam-nya hal 375 no 1257 :
Telah
menceritakan kepada kami Qabiishah yang berkata telah menceritakan kepada kami
Sufyaan Ats Tsawriy dari Aliy bin Badziimah dari Qais bin Habtar dari ‘Ibnu
‘Abbaas dari Rasulullah ﷺ yang berkata :
إِنَّ
اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ يَعْنِي
الطَّبْلَ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ
“Sesungguhnya
Allah ‘azza wajalla telah mengharamkan khamar, judi, Al-Kuubah yaitu gendang
dan semua yang memabukkan adalah haram”.
Perhatian :
Mengenai hadits Qabiishah di atas yaitu lafaz “ya’niy
Ath Thabl” setelah lafaz Al-Kuubah bukanlah bagian dari lafaz hadits
Rasulullah ﷺ tetapi ia
adalah perkataan Ali bin Badziimah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat
Abu Ahmad Az Zubairiy dari Sufyaan. Jadi telah terjadi idraaj [penyusupan kata]
dalam matan haditsnya.
PEMBAHASAN MAKNA AL-KUUBAH :
Terdapat
perselisihan soal makna Al-Kuubah di sisi para ulama. Sebagian mengatakan bahwa
Al-Kuubah adalah gendang dan dikatakan juga bahwa Al-Kuubah adalah dadu yang
dipakai pada permainan judi.
Ibnu Atsir berkata :
إِنَّ اللّه حَرَّم الخَمْرَ والكُوبةَ هي
النَّرْدُ وقيل الطَّبْل وقيل البَرْبَطُ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan khamar dan Al-Kuubah”
itu maksudnya adalah dadu, dikatakan itu gendang dan dikatakan itu gitar [Baca
: An Nihaayah Fii Ghariib Al Hadiits Wal Atsar karya Ibnu Atsir hal 815]
Abu Ubaid Al Haraawiy berkata :
وأما الكُوبة فإنّ محمد بن كثير أخبرني أن الكُوبة
النرد في كلام أهل اليمن وقال غيره الطبل
“Adapun Al-Kuubah maka sesungguhnya Muhammad bin
Katsiir mengabarkan kepadaku bahwasanya Al-Kuubah adalah dadu dalam perkataan
penduduk Yaman, dan berkata selainnya bahwa itu adalah gendang [Lihat : Ghariib
Al Hadiits karya Abu Ubaid Al Haraawiy 5/304]
Dan Abu Ubaid berkata :
وفي الحديث إِنَّ اللّه حَرَّم الخَمْرَ والكُوبةَ
قَالَ ابْنُ الأَعْرَابِيِّ الْكُوبَةُ النَّرْدُ وَيُقَالُ
الطَّبْلُ وَقِيلَ الْبَرْبَطُ
Dan dalam hadits “sesungguhnya Allah mengharamkan
khamar dan Al-Kuubah”. Ibnu Arabiy berkata Al-Kuubah adalah dadu, dan ada yang
mengatakan itu adalah gendang, dan dikatakan itu adalah gitar [Baca : Al Gharibain
Fii Al Qur’an Wal Hadiits Abu Ubaid 5/1654]
Pendapat yang mengatakan Al-Kuubah adalah gendang memiliki
hujjah dari perkataan para perawi hadits yang mengharamkan Al-Kuubah. [nampak
dalam sebagian riwayat bahwa perawi-perawi tersebut menyisipkan penafsiran
mereka ke dalam hadits]. Mereka adalah sbb :
1] Aliy bin Badziimah sebagaimana
disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal 1/274 no 2476
2] Yahya bin Yuusuf Az Zammiy
sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20779
3] Muhammad bin ‘Abdullah bin
Abdul Hakam sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/222 no
20783
4] Yahya bin Ishaaq sebagaimana
disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Al Asyribah hal 40 no 27
Terdapat kaidah
bahwa tafsir perawi hadits terhadap hadits yang ia riwayatkan lebih didahulukan
dibanding tafsir selainnya. Sehingga dengan kaidah ini sebagian ulama
merajihkan bahwa makna Al-Kuubah adalah gendang.
Kaidah ini
benar hanya saja ia tidak bersifat mutlak. Apalagi terdapat bukti kuat yang
menunjukkan bahwa makna Al-Kuubah pada masa sahabat Nabi ﷺ bukan gendang
atau tambur, melainkan adalah nardu atau dadu. Sebagaimana yang
diriwayatkan Imam Bukhori dalam Adabul Mufrad 1/433 no 1267 , dia berkata
:
Telah menceritakan kepada kami ‘Ishaam yang berkata
telah menceritakan kepada kami Hariiz dari Salman Al ‘Alhaaniy dari Fadhalah
bin ‘Ubaid dan pada saat itu ia berkumpul pada suatu perkumpulan, maka telah
sampai kepadanya kabar :
أَنَّ
أَقْوَامًا يَلْعَبُونَ بِالْكُوبَةِ فَقَامَ غَضْبَانًا يَنْهَى عَنْهَا أَشَدَّ النَّهْيِ
ثُمَّ قَالَ أَلَا إِنَّ اللَّاعِبَ بِهَا لِيَأْكُلَ قَمَرَهَا كَآكِلِ لَحْمِ الْخِنْزِيرِ
وَمُتَوَضِّئٌ بِالدَّمِ يَعْنِي بِالْكُوبَةِ النَّرِدُ.
“Bahwa sekelompok orang bermain dengan
Kuubah maka ia berdiri marah dan melarangnya dengan larangan yang keras
kemudian berkata ketahuilah bahwa bermain dengan itu untuk memakan
hasilnya maka seperti memakan daging babi dan berwudhu’ dengan darah. Yang
dimaksud Kuubah adalah An-Nardu [dadu]”. (Selesai).
Riwayat ini
sanadnya shahih sampai Fadhalah bin ‘Ubaid (ra) dan ia adalah seorang sahabat
Nabi ﷺ . [Baca : Al
Jarh Wat Ta’dil 7/77 no 433].
Berikut ini
penjelasan jarh wa ta’diil para perawinya :
1] ‘Ishaam bin Khalid Al
Hadhramiy termasuk salah satu guru Bukhariy dalam kitab Shahih-nya.
Nasa’iy berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam
Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 7 no 372]
2] Hariiz bin ‘Utsman Al Himshiy.
Abu Dawud berkata “guru-guru Hariiz semuanya tsiqat”. Ahmad bin Hanbal berkata
“tsiqat tsiqat”. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat”. Duhaim menyatakan ia baik
sanadnya shahih haditsnya dan tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 2 no 436]
3] Salman bin Sumair Asy Syammiy.
Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ia termasuk guru Hariiz dan Abu
Dawud mengatakan bahwa semua guru Hariiz tsiqat. [Tahdzib At Tahdzib juz 4 no
230]. Ibnu Hajar berkata “maqbul” [Taqrib At Tahdzib 1/374]. Pendapat yang
rajih ia seorang yang tsiqat berdasarkan apa yang disebutkan Abu Dawud dan Al
Ijliy berkata “tabiin syam yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 651].
Lafaz “يَعْنِي
بِالْكُوبَةِ النَّرِدُ” [Kuubah
yang dimaksud adalah dadu] bisa jadi berasal dari para perawi sanad tersebut
termasuk Al Bukhariy. Hanya saja kami tidak menemukan qarinah kuat yang
menunjukkan milik siapa lafaz tersebut. Tetapi riwayat tersebut sangat
bersesuaian dengan hadits Nabi ﷺ dalam
Shahih Muslim berikut ini :
Dari Sulaiman bin Buraidah dari Ayahnya bahwasanya
Nabi ﷺ bersabda
" مَنْ
لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ خِنْزِيرٍ
وَدَمِهِ ".
“Barang siapa yang bermain dadu maka ia seperti
mencelupkan tangannya dalam daging babi dan darahnya” [Lihat : Shahih
Muslim 4/1770 no 2260]
Maka nampak bahwa
makna Al-Kuubah dalam riwayat Fadhalah bin ‘Ubaid tersebut adalah An-Nardu
yaitu dadu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tafsir Al-Kuubah sebagai dadu
sudah dikenal di masa sahabat Nabi ﷺ.
Berdasarkan hal
ini maka kami menilai pendapat yang lebih rajih adalah yang menyatakan bahwa
makna Al-Kuubah adalah dadu [yang dipakai dalam perjudian]. Terbukti bahwa
penafsiran tersebut sudah dikenal di masa sahabat sedangkan penafsiran Al-Kuubah
adalah bermakna gendang , maka itu berasal dari para perawi hadits yang hidup
jauh setelah masa sahabat Nabi ﷺ.
Kesimpulan : Hadits pengharaman Al-Kuubah adalah hadits yang shahih
hanya saja tidak tepat jika hadits tersebut dijadikan hujjah untuk mengharamkan
musik atau alat musik [yaitu gendang]. Pendapat yang rajih adalah makna Al-Kuubah
tersebut adalah An-Nardu yaitu dadu yang sering dipakai dalam perjudian.
PERBEDAAN PENDAPAT
TENTANG HUKUM MENYANYI DAN
BERMAIN MUSIK
Dalam menanggapi dua klasifikasi hadits-hadits
diatas , yaitu klasifikasi hadits yang mengisyaratkan kebolehan musik dan
nyanyian , dan klasifikasi hadits yang mengisyaratkan haramnya bermain musik
dan bernyayi , termasuk melihat dan mendengarkannya, maka dalam hal ini para
ulama berbeda pendapat.
Ada dua pendapat :
PENDAPAT PERTAMA : yang membolehkan musik Rebana dan Nyanyian.
Mereka berkesimpulan sebagai berikut :
Kesimpulan pertama :
Bahwa hadits-hadits tersebut dengan
terang menjadi dalil dibolehkannya musik dan nyanyian dalam berbagai
kondisi kegembiraan. Dengan merujuk kepada hadits yang sama , yaitu hadits
Buraidah tentang nadzarnya wanita hitam dengan menabuh rebana menjadi
dalil kuat bahwa menabuh rebana (bermain alat musik) tidaklah haram; jika benar
haram, bagaimana mungkin Rasulullah ﷺ
membolehkan seseorang bernadzar dengan
sesuatu yang haram ?.
Rosulullah ﷺ
melarang nadzar yang haram . Berikut ini contoh hadits yang melarang nadzar
yang haram :
Contoh ke 1 : Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari 'Imran
bin Hushain (RA) , dia berkata :
وَأُسِرَتِ امْرَأَةٌ مِنَ
الأَنْصَارِ وَأُصِيبَتِ الْعَضْبَاءُ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ فِي الْوَثَاقِ
وَكَانَ الْقَوْمُ يُرِيحُونَ نَعَمَهُمْ بَيْنَ يَدَىْ بُيُوتِهِمْ فَانْفَلَتَتْ
ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنَ الْوَثَاقِ فَأَتَتِ الإِبِلَ فَجَعَلَتْ إِذَا دَنَتْ مِنَ
الْبَعِيرِ رَغَا فَتَتْرُكُهُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْعَضْبَاءِ فَلَمْ
تَرْغُ قَالَ وَنَاقَةٌ مُنَوَّقَةٌ فَقَعَدَتْ فِي عَجُزِهَا ثُمَّ زَجَرَتْهَا
فَانْطَلَقَتْ وَنَذِرُوا بِهَا فَطَلَبُوهَا فَأَعْجَزَتْهُمْ –
قَالَ - وَنَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ
نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَلَمَّا قَدِمَتِ الْمَدِينَةَ
رَآهَا النَّاسُ . فَقَالُوا الْعَضْبَاءُ نَاقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله
عليه وسلم . فَقَالَتْ إِنَّهَا نَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا
لَتَنْحَرَنَّهَا . فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرُوا
ذَلِكَ لَهُ .
فَقَالَ " سُبْحَانَ اللَّهِ
بِئْسَمَا جَزَتْهَا نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا
لَتَنْحَرَنَّهَا لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ وَلاَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ
الْعَبْدُ " .
"
Ada seorang wanita Anshar tertawan (para perampok) bersama dengan unta Nabi ﷺ yang biasa disebut dengan Adhba`, wanita Anshar tersebut dalam
keadaan terikat, sedangkan waktu itu orang-orang (para perampok) tengah
beristirahat, sementara unta-unta (hasil curian) mereka kandangkan di depan
persinggahan-persinggahan mereka.
Kemudian
wanita Anshar tersebut dapat melepaskan dari ikatannya, dan segera mendatangi
kandang unta, namun setiap kali ia datangi unta untuk dikendarai, unta itu
mendengus-dengus, ia pun meninggalkannya hingga ia temui unta 'adlba'. Jadilah
ia mengendarai unta penurut yang sudah terlatih itu di bagian belakangnya. Lalu
ia menghardiknya hingga berlari kencang.
Orang-orang
yang ketiduran pun kaget dengan kaburnya wanita Anshar tersebut, lalu mereka
mengejarnya, namun mereka tidak dapat menagkapnya.
Wanita itu sempat
bernadzar, bahwa jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan sembelih unta 'adhba'
itu. Sesampainya di Madinah, orang-orang melihat unta tersebut, lalu mereka
berkata, Ini adalah Al Adhba', unta Rasulullah ﷺ!.
Wanita
itu berkata (dengan redaksi), Apabila Allah menyelamatkannya, sungguh unta
tersebut akan disembelihnya. Lalu orang-orang menemui Rasulullah ﷺ dan memberitahukan kepada beliau tentang nadzarnya.
Maka
Rasulullah ﷺ berkomentar: " Subhanallah, alangkah jahatnya
pembalasan ia kepadanya, ia bernadzar kepada Allah apabila Allah
menyelamatkannya, maka ia akan menyembelihnya, tidak ada kewajiban melaksanakan
nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah dan tidak pula terhadap sesuatu yang
tidak dimiliki oleh seorang hamba". [ HR. Muslim no. 3099 ]
Contoh ke 2 : Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya :
أنَّ امرأةً ، أتتِ
النَّبيَّ ﷺ فقالَت : يا رسولَ اللَّهِ ، إنِّي نذَرتُ أن أضربَ على رأسِكَ
بالدُّفِّ ، قالَ : أوفي بنذرِكِ قالت : إنِّي نذرتُ أن أذبحَ بمَكانِ كذا وَكَذا
، مَكانٌ كانَ يذبحُ فيهِ أَهْلُ الجاهليَّةِ ، قالَ لصَنمٍ : قالت : لا ، قالَ :
لوثَنٍ ، قالت : لا ، قالَ : أوفي بنذرِكِ
“
Bahwa seorang wanita telah datang kepada Nabi ﷺ dan berkata : “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah
bernadzar untuk menabuh rebana di hadapan anda “.
Beliau
ﷺ berkata:
"Penuhi nadzarmu!"
Lalu
Ia berkata : “Sesungguhnya saya bernadzar untuk menyembelih hewan di tempat ini
dan ini. Yaitu tempat yang dahulu orang-orang Jahiliyah menyembelih di sana .
Beliau
ﷺ bertanya :
"Untuk patung?" Ia menjawab ; tidak. Beliau ﷺ bertanya lagi : "Untuk berhala?" Ia menjawab ; tidak.
Beliau ﷺ berkata: "Penuhi nadzarmu!".
HR. Abu Dawud (3312) dan Al-Bayhaqi (20596). Syeikh
al-Albaani berkata dalam Shahih Abi Daud : “Hasan Shahih”. Dan lihat
pula : (إرواء
الغليل) (2/213-214 )
Kesimpulan kedua :
Menanggapi hadits-hadits yang
mengisyaratkan keharaman musik dan nyayian di atas, maka pihak yang membolehkan
memahami bahwa maksud hadits tersebut adalah pemberitahuan nabi akan terjadinya
zaman kerusakan umat, dimana orang-orang sudah tidak mempedulikan lagi
halal-haram, dan merajalelanya pergaulan bebas dan perzinaan, yang biasanya
dibarengi dengan minuman keras, penyanyi atau penari dan musik.
Kesimpulan ketiga :
Al-Kalbaani dalam makalahnya mengatakan
:
"وَمِنْ أَكْبَرِ دَلَائِلِ إِبَاحَتِهِ أَنَّهُ مِمَّا كَانَ
يَفْعَلُ إِبَّانَ نُزُولِ الْقُرْآنِ، وَتَحْتَ سَمْعِ وَبَصَرِ الْحَبِيبِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَقَرَّهُ، وَأَمَرَ بِهِ، وَسَمِعَهُ، وَحَثَّ عَلَيْهِ،
فِي الْأَعْرَاسِ، وَفِي الْأَعْيَادِ."
“Salah satu dalil terbesar dari dibolehkannya adalah bahwa
itu adalah apa yang dia lakukan selama turunnya wahyu Al-Qur'an, dan di bawah
pendengaran dan penglihatan Nabi ﷺ yang tercinta, jadi dia menyetujuinya,
memerintahkannya, mendengarnya, dan menganjurkannya, di pesta pernikahan dan
pada hari raya” .
BANTAHAN :
Perkataan al-Kalbaani di atas dibantah oleh syeikh Sa’ad
as-Subai’iy dengan mengatakan :
الجواب: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ
بِالْغِنَاءِ بِغَيْرِ الْمَعَازِفِ، بِضَرْبِ الدُّفِّ لِلنِّسَاءِ خَاصَّةً فِي الْعِيدِ،
وَعِنْدَ قُدُومِ الْغَائِبِ، وَشَرَّعَهُ فِي الْأَعْرَاسِ كَمَا هُوَ مُبْسُوطٌ فِي
مَظَانِّهِ مِنْ كُتُبِ أَهْلِ الْعِلْمِ. فَهُوَ مُسْتَثْنَى مِنْ تَحْرِيمِ الْغِنَاءِ
بِالْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ. وَهَذَا لَيْسَ مَحَلاً لِلنِّزَاعِ!
Jawabannya: Nabi ﷺ, memberikan rukhshoh nyanyian tanpa alat
musik, dengan memukul rebana khusus untuk para wanita, terutama pada hari raya
Idul Fitri, dan pada saat kedatangan seseorang yg lama tidak berjumpa , dan
mensyariatkannya dalam pesta pernikahan, seperti yang dijelaskan dalam
referensi-referensi dari kitab-kitab para ulama. Maka yang ini dikecualikan
dari larangan bernyanyi dengan alat-alat musik dan seruling. Kalau yang ini
bukan masalah yang diperselisihkan !
JAWABAN :
Justru, Suara wanita dan penampilan fisiknya
jauh lebih menimbulkan fitnah dan jauh lebih menggoda dari pada suara dan fisik
lelaki . Maka diperbolehkannya bagi lelaki itu masuk dalam katagori Qiyas Awlaa
[ analogi yang lebih utama diperbolehkannya].
Kemudian dianalogikan kepada hukum haramnya minuman keras . Sedikit dan banyak nya sama saja haram hukumnya . Dan hukumnya berlaku bagi pria dan wanita . Dengan demikian jika musik dan nyanyian itu diharamkan , maka diharamkan pula dalam pernikahan dan yang semisalnya . Begitu juga dengan haramnya zina dan mendekati perbuatan zina .
PENDAPAT KEDUA : yang mengharamkan musik dan nyanyian .
Mereka berkesimpulan bahwa hadits-hadits
tersebut menjadi dalil dibolehkannya musik dan nyanyian hanya
dalam momen-momen tertentu, yakni: menyambut tamu, pernikahan [walimahan], hari
raya, dan kondisi tertentu [kejadian khusus (waqi’) yang terbatas ] dengan merujuk
pada hadits Buraidah tentang pelaksanaan nadzar seorang wanita hitam dengan
menabuh rebana .
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah
mengatakan, “Yang tertutup dari dua sisi dinamakan gendang, itu yang tidak
dibolehkan. Karena ia termasuk alat nyanyian. Sementara semua bentuk nyanyian
musik itu haram, kecuali ada dalil yang membolehkannya, yaitu rebana dalam
acara resepsi pernikahan.” (Fatawa Islamiyah, 3/186).
Syeikh Abdul Aziz bin Baz
rahimahullah mengatakan, “Kalau gendang tidak dibolehkan memukulnya dalam
pernikahan, cukup dengan rebana saja.” (Fatawa Islamiyah, 3/185).
Fatwa para mufti Lajnah Daimah di
Arab Saudi , berkata, “Adapun gendang dan semisalnya dari peralatan musik yang
dipukul, tidak dibolehkan mempergunakannya sebagai pengiring nasyid ini. Karena
Nabi ﷺ dan para shahabatnya (r.a) tidak pernah melakukan hal itu.”
(Fatawa no. 3259. Tanggal 13/10/1400 H)
LALU BAGAIMANA HUKUM BAGI PRIA MENABUH REBANA DAN BERNYANYI ?
Adapun hukum laki-laki menabuh Rebana pada saat hari raya
atau pernikahan, maka ada perselisihan di kalangan para ulama tentang
dibolehkannya itu:
Imam Al-Awza'i dan Ahmad berpandangan bahwa hal itu tidak
boleh dilakukan untuk laki-laki, dan oleh karena itu Al-Hafiz Ibn Rajab berpendapat
tidak boleh, bahkan dia menisbatkannya kepada pendapat mayoritas ulama. Dalam
kitabnya “ فتح الباري “ 6/81 Ibnu Rajab
berkata :
(جَمْهُورُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الضَّرْبَ بِالدُّفِّ لِلْغَنَاءِ
لَا يُبَاحُ لِلرِّجَالِ)
“ Jumhur Ulama berpendapat bahwa menabuh Rebana / Rebana
tidak boleh bagi kaum pria “.
Al-Hafiz Ibn Hajar juga mengatakannya demikian , dan itu
adalah pilihan ulama kami, Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan al-‘Allaamah
Al-Albani, رحمهم الله.
Ibnu Qudamah
berkata dalam Al-Mughni (12/40):
(وَأَمَّا الضَّرْبُ بِهِ لِلرِّجَالِ فَمَكْرُوهٌ
وَعَلَى كُلِّ حَالٍ لِأَنَّهُ إِنَّمَا كَانَ يُضْرَبُ بِهِ النِّسَاءُ وَالْمُخَنَّثُونَ
الْمُتَشَبِّهُونَ بِهِنَّ فَفِي ضَرْبِ الرِّجَالِ تَشَبُّهٌ بِالنِّسَاءِ وَقَدْ
لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ
بِالنِّسَاءِ)
“Adapun
laki-laki menabuh Rebana, itu makruh , dan bagaimanapun juga, karena biasanya
yang menabuh Rebana itu adalah kaum wanita dan kaum waria yang menyerupai
mereka. Maka jika yang menabuhnya itu kaum pria berarti mereka bertasyabbuh
dengan kaum wanita. Sementara Rosulullah ﷺ telah mengutuk para kaum
pria yang bertasyabbuh dengan kaum wanita .
Dan Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya al-Fataawa (13/198) berkata:
"وَأَمَّا الرِّجَالُ عَلَى عَهْدِهِ فَلَمْ
يَكُنْ أَحَدٌ مِنْهُمْ يَضْرِبُ بِدُفٍّ وَلَا يُصَفِّقُ بِكَفِّ"
“Adapun kaum
pria pada masanya, tidak ada seorangpun dari mereka yang memukul rebana ataupun
bertepuk tangan:
Al-Hadidz
Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya Fath al-Bari (9/226):
" وَالْأَحَادِيثُ
الْقَوِيَّةُ فِيهَا الْإِذْنُ فِي ذَلِكَ لِلنِّسَاءِ فَلَا يَلْتَحِقُ بِهِنَّ الرِّجَالُ
لِعُمُومِ النَّهْيِ عَنِ التَّشَبُّه بِهن".
“Hadits-hadits
yang kuat hanya memberikan ijin kepada kaum wanita untuk melakukannya, jadi
kaum pria hukumnya tidak boleh diikut sertakan dengan hukum mereka karena
adanya larangan umum untuk menyerupai mereka”.
YANG DISEPAKATI OLEH DUA KELOMPOK YANG BERBEDA PENDAPAT :
Kesepakatan antara Pihak yang Membolehkan
dan Mengharamkan Musik dan Nyanyian
Kedua belah pihak sepakat bahwa
musik-musik yang dibarengi dengan kegiatan yang haram, seperti mabuk, atau
tarian wanita di depan laki-laki non mahram, atau untuk mengiringi
syair-syair cabul, adalah haram, dan inilah mayoritas musik dan lagu yang ada
saat ini.
PERNYATAAN IBNU QUDDAAMAH :
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
وَعَلَى كُلِّ حَالٍ مَنِ
اتَّخَذَ الْغِنَاءَ صِنَاعَةً يُؤْتَى لَهُ وَيَأْتِي لَهُ أَوِ اتَّخَذَ غُلَامًا
أَوْ جَارِيَةً مُغَنِّيَيْنَ يَجْمَعُ عَلَيْهِمَا النَّاسُ: فَلَا شَهَادَةَ لَهُ؛
لِأَنَّ هَذَا عِنْدَ مَنْ لَمْ يُحَرِّمْهُ سُفَهٌ وَدُنَاءَةٌ وَسُقُوطُ مُرُوءَةٍ،
وَمَنْ حَرَّمَهُ فَهُوَ مَعَ سُفَهِهِ عَاصٌ مُصِرٌّ مُتَظَاهِرٌ بِفُسُوقِهِ، وَبِهَذَا
قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ".
"Kesimpulannya
, bagi siapa yang menjadikan nyanyian sebagai profesi dan orang datang
kepadanya atau dia diundang, atau ia memiliki budak laki-laki atau budak
perempuan yang menyanyi dan orang-orang berkumpul untuk keduanya, maka dia tidak
bisa dijadikan saksi dalam segala perkara . Karena perbuatan ini, di mata orang
yang tidak mengharamkannya, adalah kedunguan, kehinaan, dan kehilangan
kehormatan. Dan dimata orang yang mengharamkannya, maka dia dengan
kebodohannya, dia juga adalah orang yang berdosa, menjalankan maksiatnya secara
terang-terangan. Inilah pendapat yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi'i dan para ahli
logika ( Ash-haabur ro’yi) ." [Al-Mughni, 12/42].
PERNYATAAN AL-HAFIDZ IBNU RAJAB :
Tentang
tahapan seni bernyanyi saat kedatangan Islam , penjelasannya cukup diwakili
oleh al-Hafidz al-Muhaddits , Ibnu Rajab - semoga Allah merahmatinya - yang
menyatakan:
" وَلَا رَيْبَ
أَنَّ الْعَرَبَ كَانَ لَهُمْ غِنَاءٌ يَتَغَنَّوْنَ بِهِ، وَكَانَ لَهُمْ دُفُوفٌ
يَضْرِبُونَ بِهَا، وَكَانَ غِنَاؤُهُمْ بِأَشْعَارِ الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ ذِكْرِ الْحَرُوبِ
وَنَدْبِ مَنْ قُتِلَ فِيهَا، وَكَانَتْ دُفُوفُهُمْ مِثْلَ الْغُرَابِيلِ، لَيْسَ
فِيهَا جَلَاجِلُ، كَمَا فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ - ﷺ -: "أَعْلِنُوا
النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ"
خَرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ، بِإِسْنَادٍ فِيهِ ضَعْفٌ".
"Tidak
diragukan lagi bahwa orang Arab memiliki seni bernyanyi yang mereka nikmati,
dan mereka memiliki alat musik Rebana [perkusi] yang mereka mainkan. Nyanyian
mereka biasanya berdasarkan syair zaman Jahiliyah yang menyebutkan tentang
peperangan dan meratapi mereka yang tewas dalam pertempuran. Alat musik Rebana
[perkusi] mereka seperti tanah liat yang digunakan untuk menghaluskan tepung,
tanpa ada jingling di dalamnya, seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah
dari Nabi - shallallahu ‘alaihi wa sallam -:
"أَعْلِنُوا النِّكَاحَ
وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ"
"Umumkanlah
pernikahan ini, dan tabuhlah rebana".
Hadits
ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad yang lemah."
Lalu Al-Hafidz Ibn Rajab berkata dalam Fath al-Bari (6/78):
"فَكَانَ النَّبِيُّ يُرْخِصُ لَهُمْ فِي أَوْقَاتِ الْأَفْرَاحِ، كَالْأَعْيَادِ
وَالنِّكَاحِ وَقُدُوْمِ الْغَيْبِ فِي الضَّرْبِ لِلْجَوَارِيِّ بِالدُّفُوفِ، وَالتَّغْنِي
مَعَ ذَلِكَ بِهَذِهِ الْأَشْعَارِ، وَمَا كَانَ فِي مَعْنَاهَا .
فَلَمَّا فُتِحَتْ بِلَادُ
فَارِسٍ وَالرُّومِ ظَهَرَ لِلصَّحَابَةِ مَا كَانَ أَهْلُ فَارِسٍ وَالرُّومِ قَدِ
اعْتَادُوهُ مِنَ الْغِنَاءِ الْمُلَحَّنِ بِالْإِيقَاعَاتِ الْمَوْزُونَةِ، عَلَى
طَرِيقَةِ الْمُوسِيقَى بِالْأَشْعَارِ الَّتِي تُوصَفُ فِيهَا الْمُحَرَّمَاتُ مِنَ
الْخُمُورِ وَالصُّوَرِ الْجَمِيلَةِ الْمُثِيرَةِ لِلْهَوَى الْكَامِنِ فِي النُّفُوسِ،
الْمَجْبُولِ مَحَبَّتُهُ فِيهَا، بِآلَاتِ اللَّهْوِ الْمُطْرِبَةِ، الْمُخْرِجِ سَمَاعُهَا
عَنِ الْاِعْتِدَالِ، فَحِينَئِذٍ أَنْكَرَ الصَّحَابَةُ الْغِنَاءَ وَاسْتِمَاعَهُ،
وَنَهَوْا عَنْهُ وَغَلَّظُوا فِيهِ."
“Dulu
pada zaman Nabi ﷺ, beliau
mengizinkan mereka pada acar-acara bersuka ria, seperti hari raya , pernikahan
dan datangnya orang-orang yang lama pergi dan lama tidak berjumpa , untuk menabuh rebana oleh para budak perempuan ,
sambil bernyanyi dengan syair-syair ini, dan apa saja yang semakna dengannya.
Namun
setelah terjadinya penaklukan terhadap negri Persia dan Romawi , dari situ nampak
lah di mata para sahabat apa yang orang-orang Persia dan Romawi telah terbiasa
lakukan, yaitu mereka terbiasa bernyanyi dengan komposer musik yang diiringi
oleh irama [ritme] yang teratur, sebagaimana dalam gaya musik dengan
syair-syair yang menggambarkan minuman-minuman keras yang diharamkan dan
lukisan-lukisan cantik yang membangkitkan hawa nafsu yang tersembunyi di dalam
jiwa, yang bawaannya membuat seseorang menyukainya , diiringi dengan alat-alat
musik yang berdendang dan menghibur , yang menghasilkan irama suara yang
berimbang . Maka sejak itu para Sahabat mengingkari akan bolehnya bernyanyi dan
mendengarkannya, dan melarangnya. Bahkan mereka semakin memperkeras larangannya
". [Selesai].
PENULIS
KATAKAN : Sehingga Ibnu Mas'ud (ra) berkata :
إِنَّ الْغِنَاءَ
يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ وَإِنَّ
الذِّكْرَ يُنْبِتُ الْإِيْمَانَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ
Sesungguhnya
nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan
tanaman. Sesungguhnya dzikir menumbuhkan keimanan dalam hati sebagaimana air
menumbuhkan tanaman. [Abu Daud no. 4927].
Dalam
Faydh al-Qadir: Sebagai komentar terhadap atsar Ibnu Mas’ud ini:
وَهُوَ ضَعِيفٌ، وَقَالَ
النَّوَوِيُّ: لَا يَصِحُّ، وَأَقَرَّهُ الزَّرْكُشِيُّ، وَقَالَ الْعَرَاقِيُّ: رَفْعُهُ
غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ فِي إِسْنَادِهِ مَنْ لَمْ يُسَمِّ. أهـ.
Ini
adalah lemah, dan Imam Nawawi berkata: Tidak sahih. Al-Zarkasyi mengakui
kedha’ifannya, dan al-'Iraqi mengatakan: Dinilai tidak sahih karena dalam
sanadnya ada orang yang tidak disebutkan namanya. [Selesai]
Al-Albaani
dalam Mausuu’ahnya tentang Aqidah menyatakan : bahwa atsar Ibnu Mas’ud ini
shahih , lalu ia berkata:
" وَقَدْ رُوِيَ
مَرْفُوعًا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله وسلم، لَكِنَّ فِي إِسْنَادِهِ كَذَّابٌ؛
وَلِذَلِكَ خَرَجْتُهُ فِي الضَّعِيفَةِ رَقْمَ: 6515". أهـ.
"Atsar
ini telah diriwayatkan sebagai marfu' (diriwayatkan langsung) kepada Nabi ﷺ, namun
dalam sanadnya terdapat seorang pendusta. Oleh karena itu, saya mentakhrijnya
dalam adh-Dho’ifah dengan nomor: 6515. [Selesai]."
Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata dalam Fath al-Bari (6/78):
وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى
أَنَّهُمْ فَهِمُوا أَنَّ الْغِنَاءَ الَّذِي رُخِّصَ فِيهِ النَّبِيُّ - ﷺ - لِأَصْحَابِهِ
لَمْ يَكُنْ هَذَا الْغِنَاءَ، وَلَا آلَاتُهُ هِيَ هَذِهِ الْآلَاتِ، وَأَنَّهُ إِنَّمَا
رُخِّصَ فِيمَا كَانَ فِي عَهْدهُ، مِمَّا يَتَعَارَفُهُ الْعَرَبُ بِآلَاتِهِمْ.
فَأَمَّا غِنَاءُ الْأَعَاجِمِ
بِآلَاتِهِمْ فَلَمْ تَتَنَاوَلْهُ الرُّخْصَةُ، وَإِنْ سُمِّيَ غِنَاءً، وَسُمِّيَتْهُ
آلَاتُهُ دُفُوفًا فَإِنَّ غِنَاءَ الْأَعَاجِمِ بِآلَاتِهَا يُثِيرُ الْهَوَى، وَيُغَيِّرُ
الطَّبَاعَ، وَيَدْعُو إِلَى الْمَعَاصِي، فَهُوَ رُقِيَّةُ الزِّنَا.
Ini
menunjukkan bahwa mereka memahami bahwa jenis nyanyian yang diperbolehkan oleh
Nabi - ﷺ - kepada
para sahabatnya bukanlah jenis nyanyian ini, dan alat musiknya bukanlah jenis
alat musik ini. Yang diperbolehkannya hanyalah untuk alat musik yang ada pada
zamannya, yang dikenal oleh orang-orang Arab dengan alat musik mereka.
Adapun
nyanyian bangsa asing non-Arab dengan alat musik mereka, tidak ada izin yang
mencakupnya, meskipun disebut sebagai nyanyian, dan alat musiknya disebut
sebagai alat musik Rebana . Sebab, nyanyian bangsa asing yang non-Arab dengan
alat musik mereka bisa membangkitkan hawa nafsu, mengubah karakter, dan
mengajak kepada kemaksiatan. Oleh karena itu, maka hal tersebut dianggap
sebagai pengantar pada perzinahan [sex bebas].
Lalu Al-Hafidz Ibn Rajab berkata dalam Fath al-Bari (6/78):
وَغِنَاءُ الْأَعْرَابِ
الْمُرَخَّصِ فِيهِ، لَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْمَفَاسِدِ بِالْكُلِّيَّةِ
الْبَتَّةِ، فَلَا يَدْخُلُ غِنَاءُ الْأَعَاجِمِ فِي الرُّخْصَةِ لَفْظًا وَلَا مَعْنًى؛
فَإِنَّهُ لَيْسَ هُنَالِكَ نَصٌّ عَنْ الشَّارِعِ بِإِبَاحَةِ مَا يُسَمَّى غِنَاءً
وَلَا دُفًّا، وَإِنَّمَا هِيَ قَضَايَا أَعْيَانٍ، وَقَعَ الِاقْرَارُ عَلَيْهَا،
وَلَيْسَ لَهَا مِنْ عَمُومِ.
وَلَيْسَ الْغِنَاءُ
وَالدُّفُّ الْمُرَخَّصَ فِيهِمَا فِي مَعْنًى مَا فِي غِنَاءِ الْأَعَاجِمِ وَدُفُوفِهَا
الْمُصْلَصَّةِ؛ لِأَنَّ غِنَاؤُهُمْ وَدُفُوفُهُمْ تُحَرِّكُ الطَّبَاعَ وَتُهِيجُهَا
إِلَى الْمُحَرَّمَاتِ، بِخِلَافِ غِنَاءِ الْأَعْرَابِ، فَمَنْ قَاسَ أَحَدَهُمَا
عَلَى الْآخَرِ فَقَدْ أَخْطَأَ أَقْبَحَ الْخَطَأِ، وَقَاسَ مَعَ ظُهُورِ الْفَارِقِ
بَيْنَ الْفَرْعِ وَالْأَصْلِ، فَقِيَاسُهُ مِنْ أَفْسَدَ الْقِيَاسِ وَأَبَعَدَهُ
عَنِ الصَّوَابِ. أ. هـ
Nyanyian
Arab Badui yang diperbolehkan, tidak ada sedikit pun dari keburukan-keburukan
yang merusak seperti ini sama sekali. Oleh karena itu, nyanyian bangsa asing
non-Arab tidak termasuk dalam rukhshoh [izin] ini, baik secara lafal maupun
makna. Tidak ada nash dari hukum Syar’i yang mengizinkan apa yang disebut
sebagai nyanyian dan tidak ada izin untuk alat musik Rebana [perkusi]. Ini
adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan kebiasaan masyarakat tertentu ,
yang telah diakui keberadaannya, dan tidak ada ketentuan hukum syar’i yang
menunjukkan izin secara umum.
Nyanyian
dan alat musik Rebana yang diizinkan di kalangan orang Arab tidak memiliki
makna yang sama dengan nyanyian bangsa asing non-Arab dan Rebana mereka yang
penuh variasi musik. Sebab, nyanyian dan alat musik Rebana mereka itu
merangsang tabiat dan mendorong kepada hal-hal yang diharamkan, berbeda dengan
nyanyian orang Arab Badui .
Barang
siapa yang menyamakan salah satu di antaranya dengan yang lainnya, maka dia
telah melakukan kesalahan yang sangat besar ; karena dia membuat perbandingan
antara cabang dan pokok yang salah dan berbeda . Dan perbandingan semacam itu
adalah perbandingan yang paling buruk, keliru dan jauh dari kebenaran. [Selesai].
Lalu Al-Hafidz Ibn Rajab berkata dalam Fath al-Bari (6/78):
وَأَمَّا اسْتِمَاعُ آلَاتِ
الْمَلَاهِي الْمُطْرِبَةِ الْمُتَلَّقَاةِ مِنْ وَضْعِ الْأَعَاجِمِ، فَمُحَرَّمٌ
مُجْمَعٌ عَلَى تَحْرِيمِهِ، وَلَا يَعْلَمُ عَنْ أَحَدٍ مِنْهُ الرُّخْصَةَ فِي شَيْءٍ
مِنْ ذَلِكَ، وَمَنْ نَقَلَ الرُّخْصَةَ فِيهِ عَنْ إِمَامٍ يُعْتَدُّ بِهِ فَقَدْ
كَذَبَ وَافْتَرَى.
""Adapun
mendengarkan alat-alat musik hiburan yang berdendang dimainkan oleh para
pemusik yang berasal dari budaya asing non arab , maka itu diharamkan dan telah
berlaku Ijma’ atas keharamannya. Dan tidak diketahui jika ada satu orang ulama
pun yang membolehkan dari semua itu. Dan
siapa pun yang menukil pendapat yang membolehkannya dari seorang imam yang
dapat dipercaya , maka dia dianggapnya telah berdusta dan mengada-ada ".
0 Komentar