Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

MUSIK DAN NYANYIAN PADA ZAMAN NABI ﷺ

NYANYIAN DAN PERMAINAN ALAT MUSIK PADA ZAMAN NABI

Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM


DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN
  • SENI BERNYANYI DAN MUSIK SEBELUM ISLAM.
  • SENI BERNYANYI DAN MUSIK SEJAK ISLAM DATANG .
  • NYANYIAN DAN PERMAINAN MUSIK PADA ZAMAN NABI
  • PERTAMA : NYANYIAN DAN PERMAINAN MUSIK DI HARI RAYA :
  • KEDUA : NYANYIAN DAN PERMAINAN MUSIK DALAM ACARA PERNIKAHAN :
  • KETIGA : NYANYI DAN PERMAINAN MUSIK DI SELAIN HARI RAYA DAN DI SELAIN PESTA PERNIKAHAN :
  • NYANYIAN DAN MUSIK HIJRAH
  • NYANYIAN AL-HUDAA DAN AN-NASHEB :
  • HUKUM NYANYIAN AL-HUDA , AN-NASHEB DAN YANG SEMISALNYA
  • PERNYATAAAN SEBAGIAN PARA ULAMA TENTANG NYANYIAN AL-HUDA
  • HADITS-HADITS YANG MENGISYARATKAN HARAMNYA ALAT MUSIK DAN NYANYIAN
  • BERIKUT INI SEBAGIAN HADITS-HADITS YANG MENUNJUKKAN HARAMNYA MUSIK DAN NYANYIAN
  • PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM MENYANYI DAN BERMAIN MUSIK
  • LALU BAGAIMANA HUKUM PRIA MENABUH REBANA DAN BERNYANYI ?
  • YANG DISEPAKATI OLEH DUA KELOMPOK YANG BERBEDA PENDAPAT :
  • PERNYATAAN IBNU QUDDAAMAH :
  • PERNYATAAN AL-HAFIDZ IBNU RAJAB :


*****

بسم الله الرحمن الرحيم

PENDAHULUAN

Definisi Nyanyian :

Ibnu Mandzur dalam Lisan al-Arab (15/135) berkata :

الغناء يطلق في اللغة على " كلُّ مَنْ رَفَع صوتَه ووَالاهُ فصَوْتُه عند العرب غِناءٌ ".

Nyanyian ( الغناء ) dalam bahasa disebutkan pada “ setiap orang yang meninggikan suaranya serta mengatur nadanya, Maka suara tsb menurut orang Arab adalah nyanyian.”

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari berkata:

“Al Ghina (nyanyian) adalah sya’ir-sya’ir yang disenandungkan dengan suara yang indah serta nada yang teratur.”

Definisi alat Musik :

Alat musik dalam bahasa Arab disebut ma’aazif (مَعَازِف) , yang berasal dari kata ‘azafa yang berarti berpaling.

Adz Dzahabi rahimahullah dalam Siyar A’lamin Nubala’ berkata:

Al Ma’aazif adalah setiap nama dari alat musik atau permainan (al-malahi) yang digunakan untuk mengiringi nyanyian atau sya’ir.”

Definisi lainnya : Alat Musik atau ma’aazif adalah semua alat yang menimbulkan bunyi-bunyian, baik dengan cara dipukul, digesek, dipetik, ditiup, ditekan dan lain sebagainya.

Alat Musik DUFF [Rebana]

Perbedaan antara GENDANG dan REBANA [DUFF] : adalah kalau gendang itu tertutup dari dua sisi, berbeda dengan rebana yang terbuka hanya salah satu sisinya saja.

======
SENI BERNYANYI DAN BERMAIN MUSIK SEBELUM ISLAM DATANG .

Bernyanyi dan bermain musik sebelum Islam hadir telah dikenal oleh orang-orang yang tinggal perkotaan, terutama oleh masyarakat yang tinggal di negeri-negeri yang berkembang dan maju , seperti di Persia, Romawi dan India.

Pada masa itu konser musik dan nyanyi biasa dijadikan sarana hiburan bagi orang-orang yang hidup dalam kemewahan, yang tenggelam dalam kenikmatan, dan terlibat dalam hawa nafsu setelah mereka memiliki semua sarana kehidupan yang bahagia serta pondasi-pondasi kehidupan telah terpenuhi . Dan  diantara mereka juga ada banyak yang memiliki hobi bermain musik. Bahkan dalam sehari-harinya untuk mengisi waktu luang, mereka habiskan sebagian besar waktunya untuk itu . 

Seperti biasanya dalam jiwa manusia, ketika kekosongan waktu melimpah dan mereka tidak disibukkan dengan ketaatan atau dengan hal-hal yang bermanfaat dalam kehidupan agamanya atau aktivitas dunianya, maka pada saat itu hasil alamiahnya adalah mereka akan terlibat dalam hal-hal lain yang bisa menghibur dirinya dan memuaskan hawa nafsunya , yang mungkin hal-hal tersebut memiliki dampak negatif pada agama mereka atau dunia mereka.

Oleh karena itu, bernyanyi dan mengembangkannya dengan alat musik dan instrumennya menjadi tradisi yang meluas di kalangan bangsa Persia dan Romawi. 

Pada masa itu, orang Arab belum begitu memperhatikan nyanyian dan alat musik hiburan, kecuali yang bersifat primitif [badui] seperti Rebana [Duff] dan seruling [Mizmaar], karena mereka disibukkan dengan kerja mencari nafkah dan disibukkan dengan memenuhi pondasi-pondasi kehidupan, serta terlibat dalam perang sengit yang berkelanjutan di antara sesama mereka di Jazirah Arab.

Jadi, jenis seni bernyanyi dan bermain musik yang ada di kalangan orang Arab sebelum Islam datang adalah sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian para sejarawan :

هُوَ الْغِنَاءُ الْبَدَائِيُّ مِنَ الْحُدَاءِ وَالنَّصْبِ مِنْ غَيْرِ آلَاتِ طَرَبٍ وَمَعَازِفِ، أَوْ مَعَ الْبَدَائِيِّ مِنْهَا كَالدَّفِّ وَالْمِزْمَارِ. فَالْغِنَاءُ عِنْدَهُمْ يَشْمَلُ النَّوْعَيْنِ السَّابِقَيْنِ

Itu adalah jenis al-Hudaa [nyanyian arab badui sambil menggiring atau mengendarai untanya] dan an-Nasheb [nyanyian yang menyerupai al-Hudaa’ , hanya saja yang lebih halus], atau yang bersifat primitif [badui] seperti rebana [drum] dan seruling. Jadi nyanyian itu bagi mereka, hanya mencakup dua jenis nyanyian tersebut [al-Hudaa dan an-Nasheb].

Nyanyian Arab al-Hidaa atau al-Hudaa

=====

SENI BERNYANYI DAN BERMAIN MUSIK SETELAH ISLAM DATANG

Adapun seni musik dan bernyanyi saat Islam datang pertam kali , maka penjelasannya cukup diwakili oleh al-Hafidz al-Muhaddits , Ibnu Rajab - semoga Allah merahmatinya - yang menyatakan:

" وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعَرَبَ كَانَ لَهُمْ غِنَاءٌ يَتَغَنَّوْنَ بِهِ، وَكَانَ لَهُمْ دُفُوفٌ يَضْرِبُونَ بِهَا، وَكَانَ غِنَاؤُهُمْ بِأَشْعَارِ الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ ذِكْرِ الْحَرُوبِ وَنَدْبِ مَنْ قُتِلَ فِيهَا، وَكَانَتْ دُفُوفُهُمْ مِثْلَ الْغُرَابِيلِ، لَيْسَ فِيهَا جَلَاجِلُ، كَمَا فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ - ﷺ -: "أَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ ".

"Tidak diragukan lagi bahwa orang Arab memiliki seni bernyanyi yang mereka nikmati, dan mereka memiliki alat musik Rebana [perkusi] yang mereka mainkan. Nyanyian mereka biasanya merujuk pada syair-syair zaman Jahiliyah yang isinya menyebutkan tentang peperangan dan ratapan terhadap orang-orang yang tewas dalam pertempuran. Alat musik Rebana [perkusi] mereka itu seperti alat Ayakan Tepung, tanpa ada jingling [kecrek] di dalamnya, seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah dari Nabi - shallallahu ‘alaihi wa sallam -:

"أَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ"

"Umumkanlah pernikahan ini, dan tabuhlah rebana".

Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata :

"فَكَانَ النَّبِيُّ يُرْخِصُ لَهُمْ فِي أَوْقَاتِ الْأَفْرَاحِ، كَالْأَعْيَادِ وَالنِّكَاحِ وَقُدُوْمِ الْغَيْبِ فِي الضَّرْبِ لِلْجَوَارِيِّ بِالدُّفُوفِ، وَالتَّغْنِي مَعَ ذَلِكَ بِهَذِهِ الْأَشْعَارِ، وَمَا كَانَ فِي مَعْنَاهَا .

فَلَمَّا فُتِحَتْ بِلَادُ فَارِسٍ وَالرُّومِ ظَهَرَ لِلصَّحَابَةِ مَا كَانَ أَهْلُ فَارِسٍ وَالرُّومِ قَدِ اعْتَادُوهُ مِنَ الْغِنَاءِ الْمُلَحَّنِ بِالْإِيقَاعَاتِ الْمَوْزُونَةِ، عَلَى طَرِيقَةِ الْمُوسِيقَى بِالْأَشْعَارِ الَّتِي تُوصَفُ فِيهَا الْمُحَرَّمَاتُ مِنَ الْخُمُورِ وَالصُّوَرِ الْجَمِيلَةِ الْمُثِيرَةِ لِلْهَوَى الْكَامِنِ فِي النُّفُوسِ، الْمَجْبُولِ مَحَبَّتُهُ فِيهَا، بِآلَاتِ اللَّهْوِ الْمُطْرِبَةِ، الْمُخْرِجِ سَمَاعُهَا عَنِ الْاِعْتِدَالِ، فَحِينَئِذٍ أَنْكَرَ الصَّحَابَةُ الْغِنَاءَ وَاسْتِمَاعَهُ، وَنَهَوْا عَنْهُ وَغَلَّظُوا فِيهِ."

“Dulu pada zaman Nabi , beliau mengizinkan mereka pada acar-acara bersuka ria, seperti hari raya , pernikahan dan datangnya orang-orang yang lama pergi dan lama tidak berjumpa , untuk  menabuh rebana oleh para budak perempuan , sambil bernyanyi dengan syair-syair ini, dan apa saja yang semakna dengannya.

Namun setelah terjadinya penaklukan terhadap negri Persia dan Romawi , dari situ nampak lah di mata para sahabat apa yang orang-orang Persia dan Romawi telah terbiasa lakukan, yaitu mereka terbiasa bernyanyi dengan komposer musik yang diiringi oleh irama [ritme] yang teratur, sebagaimana dalam gaya musik dengan syair-syair yang menggambarkan tentang minuman-minuman keras yang diharamkan dan tentang kecantikan wanita yang membangkitkan hawa nafsu yang tersembunyi di dalam jiwa, yang bawaannya membuat seseorang menyukainya , diiringi dengan alat-alat musik yang berdendang dan menghibur , yang menghasilkan irama suara yang berimbang . Maka sejak itu para Sahabat mulai mengingkari akan bolehnya bernyanyi dan mendengarkannya, dan melarangnya. Bahkan mereka semakin memperkeras larangannya ". [Selesai].

NYANYIAN DAN ALAT MUSIK PADA ZAMAN NABI

=====
PERTAMA : NYANYIAN DAN PERMAINAN MUSIK DI HARI RAYA :

HADITS KE 1:

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتِ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ. قَالَتْ: وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ. فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ في بَيْتِ رَسُولِ اللهِ  ﷺ؟ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : يَا أَبَا بَكْرٍ، إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا، وَهَذَا عِيدُنَا

“Abu Bakar masuk (ke tempatku) dan di dekatku ada dua anak perempuan dari wanita Anshar sedang bernyanyi tentang apa yang dikatakan orang-orang Anshar pada masa Bu’ats (perang di masa jahiliah antara suku Aus dan Khazraj).”

Aisyah berkata: “Keduanya bukanlah penyanyi.” Abu Bakar lalu berkata: “Apakah seruling-seruling setan di rumah Rasulullah !?”

Saat itu sedang hari raya, maka Rasulullah bersabda: “Wahai Abu Bakar, biarkan mereka karena sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.”

(HR. Bukhari, no. 909 dan Muslim no. 1479 )

Dan dalam hadits riwayat Muslim no. 1479 terdapat tambahan :

جَارِيَتَانِ تَلْعَبَانِ بِدُفٍّ

“Dua budak perempuan yang bermain musik REBANA”.

HADITS KE 2 :

Dalam hadits riwayat Bukhari no.944 disebutkan bahwa : “Dua anak perempuan tersebut memainkan musik REBANA di hari Mina (hari Tasyrik).

Dari ['Aisyah radliallahu 'anha]

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ دَخَلَ عَلَيْهَا وَعِنْدَهَا جَارِيَتَانِ فِي أَيَّامِ مِنًى تُغَنِّيَانِ وَتُدَفِّفَانِ وَتَضْرِبَانِ وَالنَّبِيُّ ﷺ مُتَغَشٍّ بِثَوْبِهِ فَانْتَهَرَهُمَا أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ وَجْهِهِ فَقَالَ دَعْهُمَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَإِنَّهَا أَيَّامُ عِيدٍ وَتِلْكَ الْأَيَّامُ أَيَّامُ مِنًى وَقَالَتْ عَائِشَةُ رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَسْتُرُنِي وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ وَهُمْ يَلْعَبُونَ فِي الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُمْ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ دَعْهُمْ أَمْنًا بَنِي أَرْفِدَةَ يَعْنِي مِنْ الْأَمْنِ

bahwa Abu Bakr radliallahu 'anhu datang kepada ('Aisyah radliallahu 'anha) saat di sisinya ada dua orang budak perempuan yang sedang bernyanyi, bermain REBANA dan menabuhnya pada hari-hari Mina.

Sementara Nabi menutup wajahnya dengan kainnya. Kemudian Abu Bakar radliallahu 'anhu melarang dan menghardik kedua sahaya itu. Maka Nabi melepas kain yang menutupi wajahnya dan berkata: "Biarkanlah wahai Abu Bakar. Karena ini adalah Hari Raya 'Ied".

Hari-hari saat itu adalah hari-hari Mina (Tasyriq).

Dan berkata 'Aisyah radliallahu 'anha; "Aku melihat Nabi menutupi aku dengan (badannya) sedangkan aku menyaksikan budak-budak dari Habasyah itu bermain di dalam masjid. Tiba-tiba dia ('Umar radliallahu 'anhu) menghentikan mereka. Maka Nabi berkata: "Biarkanlah mereka dengan jaminan Bani Arfidah, yaitu keamanan".

HADITS KE TIGA :

Dari 'Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata :

دَخَلَ عَلَيَّ رَسولُ اللَّهِ ﷺ وعِندِي جارِيَتانِ تُغَنِّيانِ بغِناءِ بُعاثَ، فاضْطَجَعَ علَى الفِراشِ، وحَوَّلَ وجْهَهُ، ودَخَلَ أبو بَكْرٍ، فانْتَهَرَنِي وقالَ: مِزْمارَةُ الشَّيْطانِ عِنْدَ النبيِّ ﷺ، فأقْبَلَ عليه رَسولُ اللَّهِ عليه السَّلامُ فقالَ: دَعْهُما، فَلَمَّا غَفَلَ غَمَزْتُهُما فَخَرَجَتا، وكانَ يَومَ عِيدٍ، يَلْعَبُ السُّودانُ بالدَّرَقِ والحِرابِ، فَإِمَّا سَأَلْتُ النبيَّ ﷺ، وإمَّا قالَ: تَشْتَهِينَ تَنْظُرِينَ؟ فَقُلتُ: نَعَمْ، فأقامَنِي وراءَهُ، خَدِّي علَى خَدِّهِ، وهو يقولُ: دُونَكُمْ يا بَنِي أرْفِدَةَ. حتَّى إذا مَلِلْتُ، قالَ: حَسْبُكِ؟ قُلتُ: نَعَمْ، قالَ: فاذْهَبِي.

"Rasulullah masuk menemuiku saat ketika di sisiku ada dua budak wanita yang sedang bersenandung dengan lagu-lagu (tentang perang) Bu'ats. Maka beliau berbaring di atas tikar lalu memalingkan wajahnya.

Kemudian masuklah Abu Bakar mencelaku, ia mengatakan, "Seruling-seruling setan (kalian perdengarkan) di hadapan Nabi !"

Rasulullah lantas memandang kepada Abu Bakar seraya berkata: "Biarkanlah keduanya."

Setelah beliau sudah tidak menghiraukan lagi, maka akupun memberi isyarat kepada kedua sahaya tersebut agar lekas pergi, lalu keduanya pun pergi.

Saat Hari Raya 'Ied, biasanya ada dua budak Sudan yang memperlihatkan kebolehannya mempermainkan tombak dan perisai. Maka adakalanya aku sendiri yang meminta kepada Nabi , atau beliau yang menawarkan kepadaku: "Apakah kamu mau melihatnya?" Maka aku jawab, "Ya, mau." Maka beliau menempatkan aku berdiri di belakangnya, sementara pipiku bertemu dengan pipinya sambil beliau berkata: "Teruskan hai Bani Arfadah!"

Demikianlah seterusnya sampai aku merasa bosan lalu beliau berkata: "Apakah kamu merasa sudah cukup?" Aku jawab, "Ya, sudah." Beliau lalu berkata: "Kalau begitu pergilah."

[HR. Bukhori no. 2906 dan Muslim no. 892].

KEDUA : NYANYIAN DAN PERMAINAN MUSIK DALAM ACARA PERNIKAHAN :

HADITS KE 1 .

Nabi bersabda :

فَصْلُ مَا بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ الدُّفُّ وَالصَّوْتُ فِي النِّكَاحِ

“Pembeda antara [pernikahan] yang halal dan yang haram adalah Rebana (tabuhan) dan lantunan (syair-syair) saat (pesta) pernikahan.”

(HR. Ahmad, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Tirmidzi . Hadits ini dinyatakan hasan oleh al-Albany dalam kitab ‘Adabuz Zafaf, hal. 96 dan al-Arna’uuth ).

Maksudnya adalah pernikahan yang sembunyi-sembunyi tanpa diumumkan kepada manusia itu adalah haram [sama dengan zina] . Maka agar menjadi jelas dan halal [sah nikahnya] adakanlah acara nyanyi dan menabuh rebana supaya pernikahannya diketahui orang-orang disekitarnya dan tidak menimbulkan kesalah fahaman.

Al-Qori berkata dalam al-Mirqaat 5/2073 no. 3153 :

"أَي: فَرْقٌ بَيْنَهُمَا (الصَّوْتُ) أَي: الذِّكْرِ، وَالتَّشْهِيرِ بَيْنَ النَّاسِ (وَالدَّفُّ) أَي: ضَرْبُهُ (فِي النِّكَاحِ) فَإِنَّهُ يُتَمُّ بِهِ الْإِعْلَانُ، قَالَ ابْنُ الْمَلِكِ: "لَيْسَ الْمُرَادُ أَن لَّا فَرَقَ بَيْنَ الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ فِي النِّكَاحِ إِلَّا هَذَا الْأَمْرَ؛ فَإِنَّ الْفَرَقَ يَحْصُلُ بِحُضُورِ الشُّهُودِ عِندَ الضِّدِّ، بَلِ الْمُرَادُ التَّرْغِيبُ إِلَى إِعْلَانِ أَمْرِ النِّكَاحِ بِحَيْثُ لَا يَخْفَى عَلَى الْأَبَاعِدِ، فَالسُّنَّةُ إِعْلَانُ النِّكَاحِ بِضَرْبِ الدُّفِّ، وَأَصْوَاتُ الْحَاضِرِينَ بِالتَّهْنِئَةِ، أَوِ النُّغُمَةِ فِي إِنشَادِ الشِّعْرِ الْمُبَاحِ".

Ada perbedaan antara keduanya (suara), yaitu menyebutkannya, dan memasyhurkan di antara manusia (dan menabuh Rebana ) yaitu memukulnya (dalam perkawinan) karena dengannya menjadi sempurnalah pernikahan itu diumumkan.

Ibnu al-Malik berkata: "Maksudnya bukanlah agar tidak ada perbedaan antara yang halal dan haram dalam perkawinan kecuali hal ini; karena perbedaan terjadi dengan kehadiran para saksi dalam hal yang menentangnya . Akan tetapi yang dimaksud adalah untuk memotivasi agar dalam pernikahan itu diadakan pengumuman perkawinan agar tidak tersembunyi bagi orang-orang yang tinggal jauh, karena yang sunnah adalah mengumumkan perkawinan dengan memukul rebana, dan suara para hadirin dengan ucapan selamat atau melalui nyanyian syair-syair yang berisi penyampaian yang mubah dan diperbolehkan.

Dalam kitab Syarah as-Sunnah [dikutip dari al-Mirqaat 5/2073 no. 3153] , Imam al-Baghawi berkata :

مَعْنَاهُ إِعْلَانُ النِّكَاحِ، وَاضْطِرَابُ الصَّوْتِ بِهِ، وَالذِّكْرُ فِي النَّاسِ كَمَا يُقَالُ فُلَانٌ قَدْ ذَهَبَ صَوْتُهُ فِي النَّاسِ. انتهى.

Maknanya adalah mengumumkan perkawinan, hirik pikuk suara berkaitan dengannya, dan disebut-sebut di tengah-tengan manusia seperti yang dikatakan: "Seseorang telah kehilangan suaranya tenggelam di tengah hiruk pikuk manusia. [Selesai].

HADITS KE 2 :

Dari [Aisyah radliallahu 'anha] berkata; Rasulullah bersabda:

" أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ "

"Umumkanlah pernikahan, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya." [HR. Tirmidzy no. 1089 dan Baihaqi no. 15095 . Dan ini adalah lafadz Baihaqi].

Abu Isa berkata : "Ini merupakan hadits gharib hasan pada bab ini. Isa bin Maimun Al Anshari dilemahkan dalam riwayat ini. Isa bin Maimun yang meriwayatkan dari Ibnu Abu Najih At Tafsir itu adalah tsiqah."

Di hasankan sanadnya oleh al-hafidz Ibnu Hajar dalam Hiayatur Ruwaah 3/266 .

HADITS KE 3 :

Dari 'Aisyah (ra) dari Nabi , beliau bersabda:

"أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ".

"Umumkanlah pernikahan ini, dan tabuhlah rebana".

[HR. Ibnu Majah no. 1895 dan Baihaqi no. 15094. Di shahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah ].

HADITS KE 4.

Dari Aisyah radhiallahu anha :

أنَّها زَفَّتِ امْرَأَةً إلى رَجُلٍ مِنَ الأنْصارِ، فقالَ نَبِيُّ اللَّهِ ﷺ: يا عائِشَةُ، ما كانَ معكُمْ لَهْوٌ؟ فإنَّ الأنْصارَ يُعْجِبُهُمُ اللَّهْوُ

Dia ikut menghadiri pernikahan seorang wanita dengan laki-laki  dari kalangan Anshar. Maka Nabiyullah bersabda:

" يَا عَائِشَة مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ ؟ فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ اللَّهْوُ ".

“Wahai Aisyah, apakah kalian tidak memiliki hiburan [ menabuh rebana dan nyayi-nyayi] ? Sesungguhnya orang-orang Anshar menyenangi hiburan .” (HR. Bukhari, no. 4765).

Dalam al-Mausu'ah al-haditsiyah di jelaskan sebagai berikut :

والمرادُ باللَّهْوِ: ضَربُ الدُّفِّ والتَّغنِّي بشِعرٍ ليس فيه إثمٌ، وليس بالأغانِي المُهيِّجةِ للشُّرورِ المُشتملةِ على وَصْفِ الجَمالِ والفُجورِ، والمُصاحبةِ لأنواع المعازِفِ المُختلِفةِ؛ فإنَّ ذلك مَنْهيٌّ عنه في النِّكاحِ كما في غيرِه، وقوله: «فإنَّ الأنصارَ يُعجبُهمُ اللَّهوُ» أي: يُحبُّون مِثلَ هذا النَّوعَ مِن اللَّهْوِ؛ لِمَا فيهم مِن الرِّقَّةِ وحُبِّ الفَرَحِ.

وفي الحَديثِ: مُراعاةُ أعرافِ المُجتمَعِ بما لا يُخالِفُ شَرْعَ اللهِ عزَّ وجلَّ.

وفيه: مَشروعيَّةُ خُروجِ المرأةِ مِن بَيْتِها لأمرٍ مُباحٍ.

وفيه: مشاركةُ المرأةِ غَيْرَها من النِّساءِ في الأفراحِ والمناسَباتِ.

Yang dimaksud dengan al-Lahwu dalam hadits adalah :

Memukul rebana dan menyanyikan lagu-lagu dengan puisi yang tidak ada kata-kata mengandung dosa di dalamnya , dan bukan dengan lagu-lagu yang membangkitkan keburukan, seperti yang mengandung deskripsi tentang kecantikan dan kekejian serta diiringi dengan berbagai macam jenis alat musik , yang mana hal ini adalah diharamkan dalam pernikahan dan yang lainnya.

Dan perkataan beliau : “Orang Anshar menyukai hiburan” artinya: mereka menyukai hiburan semacam ini; Karena kelembutan dan cinta mereka akan kegembiraan .

Dan dalam hadits terdapat faidah-faidah sbb :

1. Melestarikan adat istiadat masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum Allah SWT.

2. Di syariatkannya seorang wanita meninggalkan rumahnya untuk hal yang diperbolehkan.

3. Partisipasi wanita dengan wanita lain dalam acara-acara bersuka ria dan acara-acara lainnya yang berhubungan dengan sesuatu ".

HADITS KE 5.

Rabi’ binti Mu’awwadz bin ‘Afra’ radhiyallahu ‘anha menceritakan,

دَخَلَ عَلَيَّ النَّبِيُّ ﷺ غَدَاةَ بُنِيَ عَلَيَّ، فَجَلَسَ عَلَى فِرَاشِي كَمَجْلِسِكَ مِنِّي، وَجُوَيْرِيَاتٌ يَضْرِبْنَ بِالدُّفِّ، يَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مِنْ آبَائِهِنَّ يَوْمَ بَدْرٍ، حَتَّى قَالَتْ جَارِيَةٌ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ : لاَ تَقُولِي هَكَذَا وَقُولِي مَا كُنْتِ تَقُولِينَ

”Nabi datang menemuiku pada pagi hari ketika aku menikah, lalu beliau duduk di atas tempat tidurku seperti kamu duduk di dekatku. Lalu gadis-gadis kecil kami memukul rebana dan mengenang kebaikan bapak-bapak kami yang gugur dalam perang Badar. Ketika salah seorang dari mereka mengatakan,

’Dan di tengah kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok’,

maka beliau bersabda, ’Tinggalkan (perkataan) itu, dan katakanlah apa yang telah engkau ucapkan sebelumnya.’”

(HR. Bukhari no. 4001, Abu Dawud no. 4922, dan Tirmidzi no. 1090)

Ibnu Baththal dalam syarah Shahih al-Bukhori 7/263 berkata :

"قَالَ الْمُهَلَّبُ: السُّنَّةُ إِعْلَانُ النِّكَاحِ بِالدُّفِّ وَالْغِنَاءِ الْمُبَاحِ؛ لِيَكُونَ ذَلِكَ فَرْقًا بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّفَّاحِ الَّذِي يَسْتَسْرِ بِهِ. وَفِيهِ: إِقْبَالُ الْعَالِمِ وَالْإِمَامِ إِلَى الْعُرْسِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ لَعِبٌ وَلَهْوٌ مَا لَمْ يَخْرُجْ اللَّهْوُ عَنِ الْمُبَاحَاتِ فِيهِ. وَفِيهِ: جَوَازُ مَدْحِ الرَّجُلِ فِي وَجْهِهِ بِمَا فِيهِ، وَإِنَّمَا الْمَكْرُوهُ مِنْ ذَلِكَ مَدْحُهُ بِمَا لَيْسَ فِيهِ".

Al-Muhallab berkata: "Yang Sunnah adalah mengumumkan pernikahan dengan Rebanaan dan nyanyian yang mubah ; agar ada perbedaan yang jelas antara nikah dan perbuatan cabul yang sembunyi-sembunyi [zina]. Dalam hal ini, seorang ulama dan imam dianjurkan untuk menghadiri acara pernikahan, meskipun di sana terdapat permainan dan hiburan, asalkan hiburan tersebut tidak melampaui batas yang diizinkan. Dalam hal ini, juga diizinkan untuk memuji seseorang dengan sifat yang ada pada dirinya, asalkan pujian tersebut sesuai dengan kenyataan. Namun, yang dimakrukan adalah memuji seseorang dengan sesuatu yang tidak ada pada dirinya."

Dan hadits ini menunjukkan bahwa nyanyian (sebagai perbuatan tersendiri) menjadi haram jika mengandung perkataan yang bertentangan dengan agama.

Asy Syaukani rahimahullah dalam Nailul Authar berkata:

“Hadits tersebut mengandung dalil bolehnya ditabuh rebana dalam pesta pernikahan. Boleh juga didendangkan beberapa kalimat semisal (syair), seperti: kami datang kami datang dst. Asalkan bukan lagu yang membangkitkan kekejian dan kejahatan.”

HADITS KE 6 :

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata :

أَنْكَحَتْ عَائِشَةُ ذَاتَ قَرَابَةٍ لَهَا مِنْ الْأَنْصَارِ، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ - ﷺ - فَقَالَ: "أَهْدَيْتُمْ الْفَتَاةَ؟ " قَالُوا: نَعَمْ. قَالَ: "أَرْسَلْتُمْ مَعَهَا مَنْ يُغَنِّي؟ " قَالَتْ: لَا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - ﷺ -: "إِنَّ الْأَنْصَارَ قَوْمٌ فِيهِمْ غَزَلٌ، فَلَوْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا مَنْ يَقُولُ: أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ … فَحَيَّانَا وَحَيَّاكُمْ"

Dahulu ‘Aisyah pernah menikahkan kerabatnya dari kaum Anshar, lalu Rasulullah datang dan bertanya : “Apakah kalian mengantarkan wanita (pengantin perempuan) ?”. Mereka menjawab, “Ya”.

Beliau bertanya, “Apakah kalian mengantarkannya disertai dengan seseorang yang akan bernyanyi?”. ‘Aisyah menjawab, “Tidak”.

Maka Rasulullah berkata : “Sesungguhnya kaum Anshar itu adalah kaum yang suka hiburan. Alangkah baiknya kalau kalian mengantarnya dengan disertai orang yang menyanyikan lagu : 

أَتَيْنَاكُمْ أَتَيْنَاكُمْ *** فَحَيَّانَا وَحَيَّاكُمْ"

“Kami datang kepada kalian, kami datang kepada kalian, penghormatan kepada kami dan penghormatan kepada kalian”.

[HR. Ibnu Majah juz 1, hal. 612, no. 1898]

Syu'aib al-Arna'uth berkata:

"حَسَنٌ لِغَيْرِهِ، وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ لِضَعْفِ الأَجْلَحِ - وَهُوَ ابْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ حُجِيَّةَ الْكِنْدِيِّ -، وَقَدِ اخْتَلَفَ فِيهِ عَلَى الأَجْلَحِ كَمَا سَيَأْتِي. فَأَخْرَجَهُ الطَّحَاوِيُّ فِي "شَرْحِ مُشْكِلِ الآثَارِ" (3321) مِنْ طَرِيقِ جَعْفَرِ بْنِ عَوْنٍ، بِهَذَا الإِسْنَادِ.

وَأَخْرَجَهُ أَحْمَدُ (15209)، وَالْبَزَّارُ (1432 - كِشَفِ الأَسْتَارِ) وَالنَّسَائِيُّ فِي "الْكُبْرَى" (5540) مِنْ طَرِيقِ الأَجْلَحِ، عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، بَدَلَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ."

"Derajat hadits Hasan Lighoirihi . Dan sanad ini lemah karena kelemahan al-Ajlah - yang mana dia adalah Ibnu Abdullah bin Hujayyah al-Kindi -, dan telah terjadi perbedaan pendapat tentang al-Ajlah seperti yang akan dijelaskan. Ath-Thahawi meriwayatkannya dalam "Syarh Mushkil al-Atsar" (3321) dari jalur Ja'far bin 'Aun dengan sanad ini.

Ahmad meriwayatkannya (15209), dan al-Bazzar (1432 - Kasyf al-Astar) dan al-Nasa'i dalam "Al-Kubra" (5540) dari jalur al-Ajlah, dari Abu al-Zubair, dari Jabir bin Abdullah, menggantikan Abdullah bin Abbas."

HADITS KE 7 :

Dari Abul Husain (nama aslinya Khalid Al-Madaniy), ia berkata :

كُنَّا بِالْمَدِيْنَةِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَاْلجَوَارِى يَضْرِبْنَ بِالدُّفّ وَ يَتَغَنَّيْنَ، فَدَخَلْنَا عَلَى الرُّبَيّعِ بِنْتِ مُعَوّذٍ، فَذَكَرْنَا ذلِكَ لَهَا، فَقَالَتْ: دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ : صَبِيْحَةَ عُرْسِي وَ عِنْدِى جَارِيَتَانِ يَتَغَنَّيَانِ وَ تَنْدُبَانِ آبَائِى الَّذِيْنَ قُتِلُوْا يَوْمَ بَدْرٍ، وَتَقُوْلاَنِ فِيْمَا تَقُوْلاَنِ. وَفِيْنَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ. فَقَالَ: اَمَّا هذَا، فَلاَ تَقُوْلُوْهُ، مَا يَعْلَمُ مَا فِى غَدٍ اِلاَّ اللهُ.

Dahulu ketika kami di Madinah pada hari ‘Aasyuuraa’, pada waktu itu ada wanita-wanita sedang memukul rebana dan bernyanyi, lalu kami masuk pada Rubayyi’ binti Mu’awwidz, lalu kami ceritakan kepadanya yang demikian itu.

Maka dia berkata : “Dahulu Rasulullah datang kepada saya pada pagi hari pernikahan saya, sedangkan di dekat saya ada dua wanita yang bernyanyi yang dalam liriknya (isinya) menyebutkan tentang kebaikan orang-orang tuaku yang gugur di perang Badr, dan diantara yang mereka nyanyikan adalah : 

“Dan diantara kita ada seorang Nabi yang mengetahui apa yang akan terjadi besok pagi”.

Maka (Rasulullah ) menegur, “Adapun kata-kata yang ini jangan kalian ucapkan, karena tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi besok pagi, kecuali Allah”.

[HR. Ibnu Majah 1/611, no. 1897. Di Shahihkan oleh al-Albaani dan al-Arna’uth dalam Takhrij Ibnu Majah].

Dan diriwayatkan pula oleh al-Bukhari (4001), Abu Dawood (4922), at-Tirmidzi (1115), dan an-Nasa'i dalam "al-Kubra" (5538) dari jalur Khalid bin Zakwan, dengan sanad ini.

Dan juga terdapat dalam "Musnad Ahmad" (27021) dan "Sahih Ibn Hibban" (5878).

HADITS KE 8 / ATSAR SAHABAT :

Al-Bayhaqi dalam kitabnya “السنن الكبرى” di no. (14469)  meriwayatkan dengan sanad yang bagus / Hasan : Dari ‘Aamir bin Saad Al-Bajali mengatakan:

"شَهِدْتُ ثَابِتَ بْنَ وَدِيعَةَ وَقُرَظَةَ بْنُ كَعْبِ الْأَنْصَارِيُّ فِي عُرْسٍ، وَإِذَا غِنَاءٌ فَقُلْتُ لَهُمَا فِي ذَلِكَ، فَقَالَا : " إِنَّهُ قَدْ رُخِّصَ فِي الْغِنَاءِ فِي الْعُرْسِ وَالْبُكَاءِ عَلَى الْمَيِّتِ فِي غَيْرِ نِياحَةٍ."

Saya menyaksikan Thabit bin Wadii’ah dan Qurodzoh bin Ka'b al-Anshaary di sebuah acara pernikahan, dan kebetulan ada nyanyi-nyanyi, maka saya bertanya tentang itu kepada mereka berdua , lalu mereka berdua mengjawab : Sesungguhnya menyanyi itu telah di bolehkan pada acara pernikahan dan begitu juga di bolehkan menangisi orang mati selain ratapan “. ( Sanadnya Hasan )

HADITS KE 9 / ATSAR SAHABAT :

Dan al-Nasa'i (3383) meriwayatkan dengan sanad SHAHIH : Dari Amir bin Saad yang berkata:

‌دَخَلْتُ ‌عَلَى ‌قَرَظَةَ ‌بْنِ ‌كَعْبٍ، ‌وَأَبِي ‌مَسْعُودٍ ‌الْأَنْصَارِيِّ ‌فِي ‌عُرْسٍ، وَإِذَا جَوَارٍ يَتغَنَّيْنَ قُلْتُ: أَنْتُمَ أَصَحَابُ رَسُولِ اللهِ ﷺ، وَأَهْلُ بَدْرٍ يَفْعَلُ هَذَا عِنْدَكُمْ قَالَا: اجْلِسْ إِنْ شِئْتَ فَاسْمَعْ مَعَنَا، وَإِنْ شِئْتَ فَاذْهَبْ فَإِنَّهُ قَدْ «رُخِّصَ لَنَا فِي اللهْوِ عِنْدَ الْعُرْسِ»

Saya pergi ke Qaradzoh ibnu Ka'b dan Abu Mas’ud al-Anshari dalam sebuah acara pernikahan, dan ternyata di sana ada para budak perempuan sedang bernyanyi , Lalu saya berkata : Anda berdua adalah sahabat-sahabat Rasulullah , dan dari anggota pasukan perang Badar, Apakah yang demikian ini dilakukan dikalangan kalian ? .

Maka salah satu dari keduanya menjawab : “ Duduklah bersama kami jika anda mau , tapi jika anda ingin pergi,  silahkan ! Sesungguhnya telah di bolehkan bagi kami hiburan pada acara pernikahan “.

[ Di SHAHIHKAN al-Albaani dalam Takhrij Misykaat al-Mashaabih no. 3159 dan dihasankan sanadnya oleh abdul Qodir al-Arna’uth dalam Takhrij Jami’ al-Ushul Li Ibnil Atsiir 11/440 no. 8978].

Yang dimaksud dengan الغناء / bernyanyi dalam riwayat ini,  juga termasuk sambil menabuh Rebana berdasar dalil riwayat Ibnu Abi Syaibah no. 12250 dan al-Bayhaqi dalam As-Sunan al-Kubra (7/472 no. 14693) :

وَجَوَارِي ‌يَضْرِبْنَ ‌بِالدُّفِّ ‌وَيُغَنِّينَ

“ Dan para budak perempuan menabuh Rebana dan sambil bernyanyi “.

KETIGA : NYANYI DAN MAIN MUSIK REBANA
DI SELAIN HARI RAYA DAN DI SELAIN PESTA PERNIKAHAN :

HADITS KE 1.

Dari Abdullah bin Bardah dari bapaknya Buraidah::

أَنَّ أُمَّةَ سَوْدَاءَ أَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ - وَرَجَعَ مِنْ بَعْضِ مَغَازِيهِ - فَقَالَتْ إِنِّي كُنتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ صَالِحًا (وَفِي رِوَايَةٍ سَالِمًا) أَنْ أُضْرَبَ عِنْدَكَ بِالدِّفِّ [وَأَتَغَنَّى]؟

قَالَ: "إِنْ كُنْتِ فَعَلْتِ (وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى: نَذَرْتِ)، فَافْعَلِي، وَإِنْ كُنْتِ لَمْ تَفْعَلِي فَلَا تَفْعَلِي".

فَضَرَبَتْ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ، وَدَخَلَ غَيْرُهُ وَهِيَ تَضْرِبُ.

ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ، قَالَ: فَجَعَلَتْ دُفَّهَا خَلْفَهَا، (وَفِي الرِّوَايَةِ الْأُخْرَى: تَحْتَ اسْتِهَّا ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ)، وَهِيَ مُقَنَّعَةٌ.

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: "إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَفْرُقُ (وَفِي رِوَايَةٍ: لَيَخَافُ) مِنْكِ يَا عُمَرُ! أَنَا جَالِسٌ هَهُنَا [وَهِيَ تَضْرِبُ]، وَدَخَلَ هَؤُلَاءِ [وَهِيَ تَضْرِبُ]، فَلَمَّا أَنْ دَخَلْتَ [أَنْتَ يَا عُمَرُ] فَعَلَتْ مَا فَعَلَتْ، (وَفِي الرِّوَايَةِ: أَلْقَتْ الدَّفَّ) .

“Sesungguhnya budak perempuan hitam menghampiri Rasulullah sepulang beliau dari suatu peperangan, lalu ia berkata :

“ Sesungguhnya aku telah bernadzar jika Allah memulangkan engkau dalam keadaan selamat, maka aku akan menabuh rebana di sisi engkau dan bernyanyi”.

Rasulullah menjawab : “Jika kamu telah bernadzar, maka lakukan lah !. Tapi jika kamu tidak bernadzar, maka jangan kamu lakukan itu “!.

Lalu ia pun menabuh rebana. Tidak lama kemudian masuklah Abu Bakar, namun ia tetap berdendang menabuh rebana dan bernyanyi . Lalu yang lain juga masuk, dan ia pun tetap berdendang.

Kemudian Umar datang dan masuk , maka ketika ia melihat Umar , ia pun segera menaruh rebana itu di belakangnya

Sebagian riwayat menyebutkan : “ Ditaruh di bawah bokongnya dan mendudukinya. Lalu ia pun diam”.

Rasulullah bersabda : “ Sesungguhnya syeithan benar-benar takut padamu wahai Umar. Karena kaetika aku duduk di sini, dan orang-orang ini masuk , ia tetap berdendang. Akan tetapi begitu kamu masuk, wahai Umar, dia langsung berhenti , ia melakukan sebagaimana yang ia lakukan”.

Sebagian riwayat mengatakan : “Ia melempar rebananya”.

( HR. Turmudzi 2/293-294 , Ibnu Hibbaan no. 1193 dan 2186 , Baihaqi 10/77 dan Imam Ahmad 5/353 dan 356 ].

Lafadz Tirmidzi :

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي بَعْضِ مَغَازِيهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ جَاءَتْ جَارِيَةٌ سَوْدَاءُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ نَذَرْتُ إِنْ رَدَّكَ اللَّهُ سَالِمًا أَنْ أَضْرِبَ بَيْنَ يَدَيْكَ بِالدُّفِّ وَأَتَغَنَّى فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنْ كُنْتِ نَذَرْتِ فَاضْرِبِي وَإِلَّا فَلَا فَجَعَلَتْ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُمَرُ فَأَلْقَتْ الدُّفَّ تَحْتَ اسْتِهَا ثُمَّ قَعَدَتْ عَلَيْهِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَخَافُ مِنْكَ يَا عُمَرُ إِنِّي كُنْتُ جَالِسًا وَهِيَ تَضْرِبُ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عَلِيٌّ وَهِيَ تَضْرِبُ ثُمَّ دَخَلَ عُثْمَانُ وَهِيَ تَضْرِبُ فَلَمَّا دَخَلْتَ أَنْتَ يَا عُمَرُ أَلْقَتْ الدُّفَّ

Rasulullah berangkat menuju salah satu peperangan, ketika beliau telah pulang, seorang budak wanita berkulit hitam mendatangi beliau sambil berkata;

"Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bernadzar bila Allah mengembalikan baginda dalam keadaan baik, aku akan menabuh rebana dan bernyanyi didekat baginda."

Maka Rasulullah bersabda: "Jika kamu telah bernadzar demikian, silahkan lakukan namun jika tidak, maka jangan kamu lakukan."

Budak wanita itu pun menabuh rebana, kemudian Abu Bakar masuk dan budak itu masih menabuh rebana, Ali masuk, dia pun masih menabuh rebana, kemudian Utsman masuk dan dia tetap menabuh rebananya, dan ketika Umar masuk, budak itu menyembunyikan rebananya di balik pangkalnya dan duduk di atasnya."

Lalu Rasulullah bersabda; "sesungguhnya setan benar-benar takut darimu wahai Umar, karena ketika aku sedang duduk dia (budak wanita) menabuh rebananya lalu Abu Bakar masuk dan ia masih menabuh, lalu Ali masuk dan ia masih menabuh, lalu Utsman masuk dan ia masih menabuh, namun tatkala kamu yang masuk wahai Umar ia segera membuang rebananya."

Turmudzi berkata : Hadits Hasan Shahih Ghoriib “.

Hadits ini di shahihkan oleh Ibnu Hibbaan dan Ibnu al-Qath-than sebagaimana yang disebutkan oleh al-Albaani dlm ash-Shahihah no. 1609 dan 2261 .

Dan Syeikh al-Albaani dalam (إرواء الغليل) (8/214) berkata : “Sanadnya SHAHIH sesuai syarat Muslim “.

Ucapan Sheikh Al-Albani - semoga Allah merahmatinya - sebagai berikut:

" ويَجُوزُ لَه – أي للعَرِيْسِ – أن يَسْمَحَ للنِّسَاءِ بِإِعْلَانِ النِّكَاحِ بِالضِّرْبِ عَلَى الدُّفِّ فَقَطْ، وَبِالْغِنَاءِ الْمُبَاحِ الَّذِي لَيْسَ فِيهِ وَصْفُ الجَمَالِ وَذِكْرُ الْفُجُورِ."

"Dan diperbolehkan baginya - yaitu pengantin pria – untuk mempersilahkan para wanita mengumumkan pernikahan dengan memukul Rebana saja, dan dengan menyanyikan nyanyian yang dibolehkan yang tidak mengandung deskripsi kecantikan dan penyebutan kemaksiatan...”.

Kemudian Sheikh menyebutkan dalil-dalilnya tentang hal tersebut." [ Dari Kitab "Aadab Al-Zafaaf" (halaman 93)].

HADITS KE 2 :

Diriwayatkan dari Amru bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya :

أنَّ امرأةً ، أتتِ النَّبيَّ ﷺ فقالَت : يا رسولَ اللَّهِ ، إنِّي نذَرتُ أن أضربَ على رأسِكَ بالدُّفِّ ، قالَ : أوفي بنذرِكِ قالت : إنِّي نذرتُ أن أذبحَ بمَكانِ كذا وَكَذا ، مَكانٌ كانَ يذبحُ فيهِ أَهْلُ الجاهليَّةِ ، قالَ لصَنمٍ : قالت : لا ، قالَ : لوثَنٍ ، قالت : لا ، قالَ : أوفي بنذرِكِ

“ Bahwa seorang wanita telah datang kepada Nabi dan berkata : “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah bernadzar untuk menabuh rebana di hadapan anda “.

Beliau berkata: "Penuhi nadzarmu!"

Lalu Ia berkata : “Sesungguhnya saya bernadzar untuk menyembelih hewan di tempat ini dan ini. Yaitu tempat yang dahulu orang-orang Jahiliyah menyembelih di sana .

Beliau bertanya : "Untuk patung?" Ia berkata ; tidak. Beliau bertanya lagi : "Untuk berhala?" Ia berkata; tidak. Beliau   berkata: "Penuhi nadzarmu!".

HR. Abu Dawud (3312) dan Al-Bayhaqi (20596). Syeikh al-Albaani berkata dalam Shahih Abi Daud : “Hasan Shahih”. Dan lihat pula : (إرواء الغليل) (2/213-214 )

HADITS KE 3.

Diriwayatkan oleh Ahmad dlm Musnadnya (15720), dan al-Nasa'i di kitab as-Sunan al-Kubra (8960) dengan sanad yang shahih : Dari al-Sa'ib bin Yazid :

أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ فَقَالَ: " يَا عَائِشَةُ أَتَعْرِفِينَ هَذِهِ؟ " قَالَتْ: لَا، يَا نَبِيَّ اللهِ، فَقَالَ: " ‌هَذِهِ ‌قَيْنَةُ ‌بَنِي ‌فُلَانٍ ‌تُحِبِّينَ ‌أَنْ ‌تُغَنِّيَكِ؟ " قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: فَأَعْطَاهَا طَبَقًا فَغَنَّتْهَا، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " قَدْ نَفَخَ الشَّيْطَانُ فِي مَنْخِرَيْهَا "

“Bahwa seorang wanita datang kepada Rasulullah , dan beliau bertanya :

“Wahai Aisyah, apakah kamu mengenal wanita ini?

Dia menjawab : “ Tidak, wahai Nabi Allah”. Beliau berkata : Dia ini qoynah ( budak perempuan pandai nyanyi ) dari bani Fulan , Apakah kamu ingin dia menyanyi untukmu ?”.

Aisyah menjawab : Iya .

Dia berkata : Lalu beliau memberikan kepadanya nampan (piring besar, yang mungkin untuk ditabuh) , maka dia bernyanyi untuknya  .

Lalu Rosulullah bersabda : “ Sungguh Setan telah menghembuskan napas ke dalam dua lubang hidungnya”.

Dan al-Haitsami mencatatnya dalam "Al-Majma'" (8/130) dan berkata:

"روَاهُ أَحْمَدُ وَالطَّبَرَانِيُّ فِي "الكَبِيرِ" وَرِجَالُ أَحْمَدَ رِجَالُ الصَّحِيحِ".

"Diriwayatkan oleh Ahmad dan al-abarani dalam 'Al-Kabir,' dan perawi-perawi Ahmad termasuk dalam perawi yang shahih."

Syeikh al-Albaani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 3281 berkata :

إسناده صحيح على شرط الشيخين

“Sanadnya Shahih sesuai standar Shahih Bukhori dan Muslim”.

Dan di Shahihkan pula oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad 24/497.

Namun dalam hadits ini tidak dijelaskan bahwa nyanyian budak perempuan ini dilakukan dengan iringan alat musik duff. Akan tetapi terkadang dalam ungkapan kata “menyanyi” itu termasuk sambil menabuh Rebana , sebagaimana dalam Atsar sahabat riwayat Amir bin Saad yang tersebut diatas. 

Al-Sindi mengatakan dalam kitabnya “الحاشية على المسند“ :

"أَن تُغَنِّيك" بالتشديد، وَفيهِ جَوَازُ ذَلِكَ عَلَى قَلَّةٍ مِنْ غَيْرِ عُرْسٍ وَعِيدٍ، كَمَا يَجُوزُ فِيهِمَا وَيُحْتَمَلُ أَنَّهَا كَانَتْ أَيَّامَ عِيدٍ.

"قَدْ نَفَخَ": أَيْ فَلِذَلِكَ اتَّخَذَتْ ذَلِكَ عَادَةً، وَأَمَّا التَّغْنِي أَحِيَانًا، فَجَائِزٌ، فَلَا مُنَافَاةَ بَيْنَ هَذَا وَبَيْنَ الْإِذْنِ السَّابِقِ الدَّالِ عَلَى الْجَوَازِ، وَفِيهِ حُسْنُ الْمُعَاشَرَةِ مَعَ الْأَهْلِ".

“ Kata : " أن تُغَنِّيك /Agar dia Menyanyi untukmu" dibaca dengan tasydiid , dalam kata tsb menunjukkan bolehnya bernyanyi dalam jumlah yang sedikit di selain acara pernikahan dan hari raya , sama seperti halnya diperbolehkan pada keduanya , dan bisa jadi dlm hadits tsb terjadi di hari-hari raya Idul Fitri.

"Dia telah menghembuskan napas ": Artinya, dia telah menjadikannya sebagai kebiasaan. Adapun untuk menyanyi yang kadang-kadang maka itu diperbolehkan. Tidak ada kontradiksi antara ijin ini dan ijin sebelumnya yang mengindikasikan bahwa ijin tersebut diperbolehkan, dan termasuk membanguan hubungan intim yang baik dengan keluarga. [Dikutip dari Hamisy al-Musnad 24/497 oleh Syu’aib al-Arna’uth].

HADITS KE 4 :

Dari Anas bin Malik :

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ مَرَّ بِبَعْضِ الْمَدِيْنَةِ فَاِذَا هُوَ بِجَوَارٍ يَضْرِبْنَ بِدُفّهِنَّ وَ يَتَغَنَّيْنَ وَ يَقُلْنَ:

نَحْنُ ‌جَوَارٍ ‌مِنْ ‌بَنِي ‌النَّجَّارِ … ‌يَا ‌حَبَّذَا ‌مُحَمَّدٌ ‌مِنْ ‌جَارِ

فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «اللَّهُ يَعْلَمُ إِنِّي لَأُحِبُّكُنَّ»

bahwasanya Nabi pernah melewati bagian dari kota Madinah, tiba-tiba beliau melewati para wanita yang memukul rebana dan bernyanyi, mereka mengucapkan : 

“Kami tetangga dari Bani Najjar *** Alangkah baiknya Muhammad sebagai tetanggaku”.

Maka Nabi bersabda, “Allah mengetahui bahwa aku mencintai kalian”.

[HR. Ibnu Majah 1/612, no. 1899, ath-Thabarani dalam ash-Shaghiir no. 78 , Ibnu as-Sunni dalam Amalul Yaum wal Lailah no. 229 dan al-Khollaal dalam al-Jami’ hal. 60]

Dishahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah, juga oleh al-Arna’uth dalam Takhrij Ibnu Majah dan juga oleh Fuad Abdul Baaqi dalam Ta’liiq Ibnu Majah 1/612 no. 1899.

HADITS KE 5 : hadits palsu:

Dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas (r.a) :

أَنَّ رَسُولَ اللهِ خَرَجَ وقَدْ رَشَّ حَسَّانُ فِنَاءَ أَطِمِهِ وَأَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ سِمَاطَينِ وَبَيْنَهُمْ جَارِيةٌ لِحسَّانَ يُقَالُ لَـهَا سِيرِينُ، وَمَعَهَا مِزْهَرٌ لَهَا تُغَنِّيهِمْ وَهِيَ تَقُولُ فِي غِنَائِهَا:

هَلْ عَلَيَّ وَيْحَكُمْ *** إنْ لَهَوْتُ مِنْ حَرَجٍ.

فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللهِ ، وَقَالَ : لَا حَرَجَ

Bahwasanya Rasulullah keluar ketika Hassan (r.a) telah menyirami halaman tempat tinggalnya, sementara para sahabat (r.a) duduk dua shaf.

Dan di tengah-tengah mereka terdapat budak perempuan milik Hassan (r.a) bernama Sirin membawa mizhar-nya (sejenis alat musik berdawai seperti kecapi) lalu ia berdendang untuk para sahabat. Dalam nyanyiannya dia mengatakan:

“Celaka! Apakah ada dosa atas diriku jika aku berdendang?”

Maka Rasulullah tersenyum seraya bersabda: “Tidak mengapa (tidak ada dosa atas dirimu).”

[HR. Ibnu Asaakir dalam Tarikh Damasqus 12/415 ]

Tinjauan Sanad Hadits

Ibnu ‘Asaakir menyebutkan hadits Abdullah bin ‘Abbas (r.a) di atas dalam kitab beliau Tarikh Dimasyqi (12/415) dari jalan Abu Uwais, dari Al-Husain bin Abdillah, dari ‘Ikrimah, dari Abdullah bin ‘Abbas bin ‘Abdul Muththalib (r.a) .

Hadits ini tidak shahih dari Rasulullah , bahkan tergolong hadits yang maudhu’ (palsu).

Abul Faraj Ibnul Jauzi memasukkannya dalam kitab beliau Al-Maudhu’aat (3/115-116) pada bab Fi Ibahatil Ghina (Bab Tentang Bolehnya Nyanyian).

Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani رحمه الله dalam takhrij beliau terhadap risalah Ada`u Ma Wajaba Min Bayani Wadh’il Wadhdha’ina Fi Rajab (hal. 150) mengatakan bahwa hadits ini bathil.

HADITS KE 6 :

Al-Imam al-Baihaqi dalam Dalaa’il an-Nubuwwah 5/266 meriwayatkan dari Ubaidullah bin Muhammad bin Aisyah rahimahullah (228 H) beliau berkata :

"لَمَّا ‌قَدِمَ ‌رسول ‌الله ‌ﷺ ‌الْمَدِينَةَ ‌جَعَلَ ‌النِّسَاءُ ‌وَالصِّبْيَانُ ‌وَالْوَلَائِدُ ‌يَقُلْنَ:

طَلَعَ الْبَدْرُ عَلَيْنَا = مِنْ ثَنِيَّاتِ الْوَدَاعْ

وَجَبَ الشُّكْرُ عَلَيْنَا = مَا دَعَا لِلَّهِ دَاعْ"

“Ketika Nabi Muhammad datang ke Madinah, maka para wanita, anak-anak kecil , dan bayi yang baru lahir mengucapkan:

“Bulan purnama telah terbit atas kita *** dari Tsaniyyatul Wadaa’ “

“Maka wajiblah kita mengucapkan syukur *** atas apa yang da’i serukan kepada Allah ”

Diriwayatkan oleh Abu Al-Hasan Al-Khula'i dalam “Al-Fawa'id” (2/59), dan Al-Bayhaqi dalam “Dala'il Al-Nubuwwah” (No. 752, 2019), dan Al -Hafiz Ibnu Hajar mengaitkannya dalam “Fath Al-Bari” (7/261) dengan Abu Sa’id dalam “Syaraf Al-Mustafa”: Semuanya berasal dari ulama terpercaya Abu Khalifah Al-Fadhel bin Al-Habbab (w. 305 AH) - lihat biografinya dalam “Siyar Alam Al-Nubala'” (14/7) - dari Ibnu Aisyah ....

Sanad hadits ini lemah, karena adanya keterputusan yang besar. Ibnu Aisyah meninggal terlambat, dan dia adalah salah satu syekh Imam Ahmad dan Abu Dawud, lalu bagaimana dia bisa meriwayatkan suatu peristiwa yang terjadi pada masa Nabi tanpa sanad?

Itulah sebabnya Al-Hafidz Al-Iraqi, rahimahullah, berkata: “Mu’dhol.” [Dari “Takhradj Al-Ihya” (1/571)].

Al-Hafiz Ibnu Hajar, rahimahullah, berkata: “Ini adalah sanad yang Mu’dhol.” [“Fath al-Bari” (7/262)].

Syekh Al-Albani, rahimahullah, berkata:

"وَهَذَا إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ، رِجَالُهُ ثِقَاتٌ، لَكِنَّهُ مُعْضَلٌ، سَقَطَ مِنْ إِسْنَادِهِ ثَلَاثَةُ رُوَاةٍ أَوْ أَكْثَرَ، فَإِنَّ ابْنَ عَائِشَةَ هَذَا مِنْ شُيُوخِ أَحْمَدَ وَقَدْ أَرْسَلَهُ... فَالْقِصَّةُ بِرِمَّتِهَا غَيْرُ ثَابِتَةٍ."

"Ini adalah sanad yang lemah. Para perawinya dapat dipercaya, tetapi Mu’dhol. Tiga atau lebih perawi dihilangkan dari sanadnya. Ibnu Aisyah ini adalah salah satu dari Syeikh Ahmad dan beliau yang memursalkannya ... jadi kisah keseluruhannya tidak terbukti.” [Baca :“adh-Dha’iifah” (2/63)].

Al-‘Allaamah Ibnu al-Qayyim menjelaskan asal muasal cerita yang menceritakan kepada kita saat beliau tiba dari Mekkah menuju Madinah, dan dia berkata:

"هُوَ وَهْمٌ ظَاهِرٌ؛ لِأَنَّ "ثَنِيَّاتِ الْوَادِعِ" إِنَّمَا هِيَ مِنْ نَاحِيَةِ الشَّامِ، لَا يَرَاهَا الْقَادِمُ مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ، وَلَا يَمُرُّ بِهَا إِلَّا إِذَا تَوَجَّهَ إِلَى الشَّامِ."

“Itu adalah khayalan belaka, karena “Tsaniyyat al-Wadaa' hanya dari arah Syaam , maka orang yang datang dari Mekkah ke Madinah tidak akan melihatnya, dan dia tidak akan melewatinya kecuali jika dia menuju arah ke Syam. [Akhir kutipan. “Zad al-Ma’ad” (3/551)].

Itulah sebabnya Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

"ولعَلَّ ذَلكَ كَان في قُدُوْمه مِنْ غَزْوَة تَبُوك".

“Mungkin ini terjadi pada saat kedatangannya dari Perang Tabuk.” [ “Fath al-Bari” (7/262)].

Namun, alasan ini tidak bisa diterima begitu saja, karena di antara para perawi kisah ini diketahui bahwa hal itu terjadi ketika Nabi Muhammad datang dari Mekah ke Madinah, sebagaimana yang Imam Al-Bayhaqi katakan :

"هَذَا يَذْكُرُهُ عُلَمَاؤُنَا عِنْدَ مَقْدَمِهِ الْمَدِينَةِ مِنْ مَكَّةَ، لَا أَنَّهُ لِمَا قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ ثَنِيَّةِ الْوَدَاعِ عِنْدَ مَقْدَمِهِ مِنْ تَبُوكَ."

“Hal ini disebutkan oleh para ulama kami : Yaitu ketika beliau datang ke Madinah dari Mekah, bukan ketika Beliau datang ke Madinah dari arah Tsaniyat al-Wada’ saat beliau datang dari Tabuk. [“Dalaa’il an-Nubuwwah”].

Banyak sejarawan menyebutkan bahwa Tsaniyat al-Wada' adalah dari arah Mekah, dan mungkin ada Tsaniyat lain dari arah Syaam dengan nama yang sama.

Yang lain juga menyebutkan bahwa ketika Nabi Muhammad memasuki Madinah, beliau melewati rumah-rumah kaum Ansar, hingga beliau melewati Bani Saa'idah, dan rumah mereka berada di sebelah utara Madinah dekat Tsaniyat al-Wada' . Beliau tidak memasuki pedalaman Madinah kecuali dari arah itu hingga beliau tiba di rumahnya di sana.

Lihat: “Mu'jam al-Buldan” oleh Yaqut al-Hamawi (2/86), “Thorh al-Tatsriib” oleh al-Iraqi (7/239-240), “Subul al-Hudaa wa al-Rasyaad” oleh ash-Shoolihi al-Shami (3/277), dan “ al-Atsar al-Muqtafaa li Qishotil Hijrotil Mushtofaa” karya Abu Turab Adz-Dzoohiri (hal. 155-162).

Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata :

"ضَعْفُ سَنَدِ هَذِهِ الأبياتِ لَا يَعْنِي عَدَمَ جَوَازِ ذِكْرِهَا أَوْ حِكَايَتِهَا أَوْ إِنشَادِهَا، فَمَعَانِيهَا صَحِيحَةٌ حَسِنَةٌ، وَشُهْرَتُهَا بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ شُهْرَةٌ ذَائِعَةٌ وَاسِعَةٌ، وَلَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ مَنْسُوبٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى يُتَشَدَّدَ فِي إِسْنَادِهَا، إِنَّمَا هِيَ مِنْ كَلَامِ الصَّحَابَةِ رَضِوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمْ.

وَقَدْ ذَهَبَ عَامَّةُ أَهْلِ الْعِلْمِ إِلَى التَّسَاهُلِ وَالتَّخْفِيفِ فِي مَرْوِيَّاتِ السِّيرَةِ، وَالْقِصَصِ، وَأَقْوَالِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ الَّتِي لَا يَنْبَنِي عَلَيْهَا عَقِيدَةٌ أَوْ شَرِيعَةٌ."

"Kelemahan sanad (rantai perawi) pada syair [طَلَعَ البَدْرُ] ini tidak berarti bahwa menyebutkan, menceritakan, atau menyanyikannya itu tidak dibolehkan. Maknanya sahih dan baik, dan popularitasnya di kalangan umat Islam sangat luas. Apalagi Syair tersebut bukan sabda Nabi Muhammad , maka tidak perlu memperkeras dalam sanadnya. Sebaliknya, syair ini berasal dari perkataan para Sahabat, semoga Allah meridhai mereka."

Lagi pula mayoritas para ulama berpendapat adanya kelonggaran dan keringanan dalam riwayat yang berkaitan dengan biografi, kisah, dan ucapan para sahabat dan para tabi’iin yang tidak berkaitan dengan pondasi aqidah atau syariat” . [Islamqa no. 119722]

Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah dalam “Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi” (1/372) berkata :

"يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ رحمه الله : لَا تَأْخُذُوا هَذَا الْعِلْمَ فِي الْحَلَالِ وَالْحَرَامِ إلَّا مِنَ الرُّؤُسَاءِ الْمَشْهُورِينَ بِالْعِلْمِ الَّذِينَ يَعْرِفُونَ الزِّيَادَةَ وَالنُّقْصَانَ، وَلَا بَأْسَ بِمَا سَوَى ذَلِكَ مِنَ الْمَشَايِخِ".

“Sufyan al-Thawri rahimahullah berkata: Janganlah kamu mengambil ilmu tentang apa yang halal dan apa yang haram kecuali dari para pemimpin yang terkenal ilmunya dan mengetahui apa yang ditambahkan dan apa yang dikurangi. Dan adapun ilmu selain itu semua ; maka tidak mengapa mengambil dari para syeikh”.

Ibnu Abi Hatim berkata :

"ثَنَا أَبِي نَا عَبْدَة قَالَ: قِيلَ لِابْنِ الْمُبَارَكِ - وَرَوَى عَنْ رَجُلٍ حَدِيثًا - فَقِيلَ: هَذَا رَجُلٌ ضَعِيفٌ! فَقَالَ: يَحْتَمَلُ أَنْ يُرَوِّيَ عَنْهُ هَذَا الْقَدَرُ أَوْ مِثْلُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ. قُلْتُ لِعُبَيْدَةَ: مِثْلُ أَيِّ شَيْءٍ كَانَ؟ قَالَ: فِي أَدَبٍ فِي مَوْعِظَةٍ فِي زُهْدٍ."

Telah bercerita pada kami ayahku : telah mengkabarkan pada ku Abdah :

Dikatakan kepada Ibnu al-Mubarak : Telah diriwayatkan sebuah hadits dari seorang laki-laki . Lalu ada yang mengatakan . Ini adalah lelaki yang lemah!

Dia berkata: Mungkin boleh saja sekadar ini atau hal serupa diriwayatkan darinya. Saya berkata kepada Abdah: Seperti apa itu ? Dia bersabda: Dalam hal yang berkaitan dengan adab nasihat tentang kezuhudan”. [“Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi” (1/372)]

Lalu Ibnu Rajab berkata :

"وَقَالَ ابْنُ مُعِينٍ فِي مُوسَى بْنِ عَيِّينَةَ: يُكْتَبُ مِنْ حَدِيثِهِ الرَّقَاقِ.

وَقَالَ ابْنُ عَيِّينَةَ: لَا تَسْمَعُوا مِنْ بَقِيَّةِ – اسم واحد من الرُوَاةِ - مَا كَانَ فِي سُنَّةٍ، وَاسْمَعُوا مِنْهُ مَا كَانَ فِي ثَوَابٍ وَغَيْرِهِ.

وَقَالَ أَحْمَدُ فِي ابْنِ إِسْحَاقَ: يُكْتَبُ عَنْهُ الْمَغَازِي وَشُبَهِهَا.

وَقَالَ ابْنُ مُعِينٍ فِي زِيَادِ الْبَكَائِيِّ: لَا بَأْسَ فِي الْمَغَازِي، وَأَمَّا فِي غَيْرِهَا فَلَا."

Dan Ibnu Ma'in berkata tentang Musa bin Uyaynah: “Hadits darinya tentang ar-Raqaaiq boleh ditulis”.

Dan Ibnu Uyaynah berkata: Jangan kalian dengar dari Baqiyyah - nama salah satu perawi - apa saja yang berkaitan dengan sunnah, akan tetapi silahkan dengar apa yang berkaitan dengan pahala dan hal-hal lain darinya”.

Ahmad berkata tentang Ibnu Ishaq : Silahkan ditulis darinya tentang peperangan dan sejenisnya.
Ibnu Ma'in berkata tentang Ziyad Al-Bakai: Tidak ada salahnya meriwayatkan darinya tentang peperangan, tapi dalam hal lain, tidak. [Akhiri kutipan dari Ibnu Rajab / “Syarh ‘Ilal al-Tirmidzi” (1/372)].

Tidak ada keraguan bahwa bait-bait Sya’ir “ Thola’al Badru ‘Alaina ....” ini adalah salah satu riwayat yang lebih layak ditoleransi dalam kisah dan narasinya.

Prof. DR. Akram Dhiya Al-‘Umari mengatakan:

"أمَّا اشتراطُ الصِّحَّةِ الحَدِيثِيَّةِ في قَبُولِ الأخْبَارِ التَّارِيخِيَّةِ التي لا تَمسُّ العَقِيدَةَ وَالشَّرِيعَةَ فَفِيهِ تَعْسُفٌ كَثِيرٌ، وَالخَطَرُ النَّاجِمُ عَنْهُ كَبِيرٌ؛ لأنَّ الرِّوَايَاتِ التَّارِيخِيَّةِ التي دُونَهَا أسْلافُنَا المُؤَرِّخُونَ لَمْ تُعَامَلْ مُعَامَلَةَ الأحَادِيثِ، بَلْ تَمَّ التَّسَاهُلُ فِيهَا، وَإِذَا رَفَضْنَا مِنْهُجَهُمْ فَإِنَّ الحَلَقَاتِ الفَارِغَةِ في تَارِيخِنَا سَتَمْثُلُ هَوَّةً سَحِيقَةً بَيْنَنَا وَبَيْنَ مَاضِينَا مِمَّا يُولِدُ الحِيرَةَ وَالضِّيَاعَ وَالتَّمَزُّقَ وَالانْقِطَاعِ.. وَلَكِنْ ذَلِكَ لَا يَعْنِي التَّخْلِي عَنْ مِنْهَجِ المُحَدِّثِينَ فِي نَقْدِ أَسَانِيدِ الرِّوَايَاتِ التَّارِيخِيَّةِ، فَهِي وَسِيلَتُنَا إلَى التَّرْجِيحِ بَيْنَ الرِّوَايَاتِ الَّتِي تَتَعَارَضُ، كَمَا أَنَّهَا خَيْرٌ مَعِينٌ فِي قَبُولِ أَوْ رَفْضِ بَعْضِ النَّصُوصِ الْمُضْطَرَبَةِ أَوِ الشَّاذَّةِ عَنِ الإِطَارِ الْعَامِّ لِتَارِيخِ أُمَّتِنَا، وَلَكِنَّ الإِفَادَةَ مِنْهَا يَنْبَغِي أَنْ تَتَمَّ بِمُرَوِّنَةٍ، آخِذِينَ بِعَيْنِ الِاعْتِبَارِ أَنَّ الأَحَادِيثَ غَيْرَ الرِّوَايَاتِ التَّارِيخِيَّةِ، وَأَنَّ الأُولَى نَالَتْ مِنَ الْعِنَايَةِ مَا يُمْكِنُهَا مِنَ الصُّمُودِ أَمَامَ قَوَاعِدِ النَّقْدِ الصَّارِمَةِ."

“Adapun persyaratan keshahihan hadits dalam menerima berita sejarah yang tidak mempengaruhi aqidah dan syariah, terdapat banyak kesewenang-wenangan [mestinya jangan terlalu dipersulit], dan bahaya yang diakibatkannya sangat besar, karena riwayat-riwayat sejarah yang dicatat oleh sejarawan pendahulu kita tidak pernah diperlakukan seperti terhadap hadits-hadits Nabawi , melainkan diperlakukan dengan toleransi.

Dan jika kita menolak manhaj mereka [para sejarawan], maka episode-episode kosong dalam sejarah kita akan mewakili kesenjangan besar antara kita dan masa lalu pendahulu kita, yang akan menimbulkan kebingungan, kehilangan, perpecahan dan diskontinuitas.

Namun hal ini tidak berarti meninggalkan metode dan manhaj para ulama ahli hadits dalam mengkritisi sanad-sanad riwayat sejarah, karena ini adalah cara kita untuk mempertimbangkan riwayat-riwayat yang saling bertentangan. Dan juga merupakan alat yang bagus dan berguna dalam menerima atau menolak beberapa teks yang bermasalah atau menyimpang dari kerangka umum sejarah umat kita, namun pemanfaatannya harus dilakukan secara fleksibel, dengan mempertimbangkan bahwa hadits bukanlah riwayat sejarah. Dan hadits itu harus mendapat perhatian yang lebih cukup agar hadits tersebut dapat bertahan dalam menghadapi kaidah-kaidah kritik yang ketat”. [Akhiri kutipan dari kitab “Diraasat Taarikhiyyah hal. 27].

Syeikh al-Munajjid berkata :

"فَالْخُلَاصَةُ أَنَّهُ لَا حُرُجَ فِي إِنْشَادِ هَذِهِ الْأَبْيَاتِ، وَالِاسْتِئْنَاسِ بِهَا، وَحِفْظِهَا، وَتَعْلِيمِهَا الْأَوْلَادِ الصَّغَارِ، وَإِنْ لَمْ تُثْبَتْ بِالْأَسَانِيدِ الصَّحِيحَةِ، فَإِنَّ مِثْلَ هَذِهِ الْأَحْدَاثِ تَكْفِي رِوَايَتِهَا وَشَهْرَتِهَا بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ، ثُمَّ إِنَّ الْقِصَّةَ لَمْ تَتَضَمَّنْ نِسْبَةَ هَذِهِ الْأَبْيَاتِ إِلَى مُعَيِّنٍ مِنَ الصَّحَابَةِ، وَإِنَّمَا تَنْسِبُهَا لِلنِّسَاءِ وَالصُّبَيَّانِ وَالْوَلَائِدِ [يَعْنِي: الْجَوَارِي الصُّغَارِ]؛ فَهَذَا أَسْهَلُ لِشَأْنِهَا. وَاللَّهُ أَعْلَمُ"

Intinya, tidak ada salahnya melantunkan bait-bait sya’ir tersebut, menghibur diri dengannya, menghafalnya, dan mengajarkannya kepada anak kecil, meskipun sanadnya tidak shahih.

"Sebab peristiwa semacam ini sudah cukup diakui riwayatnya dan sudah terkenal di kalangan para ulama. Selain itu, kisah tersebut tidak mencakup penunjukan bahwa bait-bait ini berasal dari seseorang yang spesifik di antara para sahabat, melainkan disebutkan sebagai karya para wanita, anak-anak, dan para budak perempuan kecil. Ini adalah hal yang lebih mudah untuk dipahami. Wallaahu a’lam.

HADITS KE 7 : NYANYIAN PENYEMANGAT JIHAD :

Dari Anas bin Malik radliallahu 'anhu, dia berkata,

جَعَلَ المُهَاجِرُونَ والأنْصَارُ يَحْفِرُونَ الخَنْدَقَ حَوْلَ المَدِينَةِ، ويَنْقُلُونَ التُّرَابَ علَى مُتُونِهِمْ، وهُمْ يقولونَ:

نَحْنُ الَّذِينَ بَايَعُوا مُحَمَّدَا ... علَى الإسْلَامِ ما بَقِينَا أبَدَا

قالَ: يقولُ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ، وهو يُجِيبُهُمْ:

اللَّهُمَّ إنَّه لا خَيْرَ إلَّا خَيْرُ الآخِرَهْ... فَبَارِكْ في الأنْصَارِ والمُهَاجِرَهْ .....

"Ketika kaum Muhajirin dan Anshar tengah menggali parit di sekeliling Madinah [saat perang Ahzaab], dan memikul tanah di atas pundak-pundak, mereka bersenandung :

"Kami adalah orang-orang yang telah berbai'at kepada Muhamamd atas Islam, dan kami masih tetap seperti itu selama-lamanya."

Anas melanjutkan, "Ketika Nabi mendengar itu, maka beliau membalasnya:

"Ya Allah, sesungguhnya tidak ada kebaikan (yang hakiki) kecuali kebaikan akhirat, maka berkahilah kaum Anshar dan Muhajirin."

[HR. Bukhori no. 4099 dan Muslim no. 1805].

Syarah Hadits :

وَفِي الحَدِيْثِ: إنْشَادُ الشِّعْرِ، والارْتِجَازُ في حَالِ العَمَلِ والجِهَادِ، والاسْتِعَانَةُ بِذَلِكَ لتَنْشِيْطِ النُّفُوْسِ، وتَسْهِيْلِ الأعْمَالِ.

"Di dalam hadits terdapat menyanyikan syair, merangkai kata-kata indah dalam keadaan beraktivitas dan berjihad, serta dengan hal tersebut bisa membantu untuk menghidupkan semangat dan memudahkan pekerjaan." [ad-Duror as-Saniyyah].

KE DELAPAN : NYANYIAN AL-HUDAA DAN AN-NASHEB :

Nyanyian al-Hudaa dan an-Nasheb adalah nyanyian Arab Badui yang diperbolehkan untuk dinyanyikan dan didengarkan . Tidak ada perbedaan pendapat antara para ulama akan diperbolehkannya .

Makna Al-Hudaa’ atau Al-Hidaa’ [الْحِدَاءُ] dan makna An-Nasheb ( النَصْب

Nyanyian al-Hidaa atau al-Hudaa

AL-HUDAA :

Al-Jauhary dalam kitabnya As-Shihaah (7/159) berkata :

"الْحِدَاءُ: الْحِدْوُ سُوقُ الْإِبِلِ وَالْغِنَاءُ لَهَا."

Dan Hadaa’ ( الحداء ) : penggiringan unta disertai nyanyian untuknya.

Ada yang mengatakan :

"الْحِدَاءُ: حَيْثُ كَانَ يُنْشَدُهُ الْحَادِّي مُمْتَطِيًا نَاقَتَهُ، مُتَقَدِّمًا قَافِلَتَهُ لِيُحَثِّ إِبِلَهُ عَلَى الْمَسِيرِ وَفِي مُحَاوَلَةٍ لِتَخْفِيفِ عُنَاءِ السَّفَرِ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ تِلْكَ الْإِبِلِ، وَيُعْرَفُ كَذَلِكَ كَغِنَاءِ إِنْشَادِيٍّ يُؤَدِّيهِ الْحَادِّي لِعِيسَهُ (جِمَالِهِ) إِذَا مَا تَفَرَّقَتْ أَوِ ابْتَعَدَتْ عَنْهُ."

Al-Hudaa’ : Di mana seseorang yang menyanyikan nyanyian al-hudaa’ , dia menyanyikannya sambil mengendarai untanya, serta ia berjalan paling depan kafilahnya , dengan nyanyian tsb agar bisa mengarahkan untanya berjalan diatas jalur , dan bisa juga digunakan dalam upaya untuk meringankan rasa lelah dan letih dalam perjalanan , baik pada dirinya sendiri dan pada unta itu.

Dan itu dikenal juga dengan nyanyian vokal ( غِنَاءٌ إِنْشَادِيٌّ ) yang dilakukan oleh penyanyi al-Hudaa’ kepada unta-untanya di saat unta-unta tsb terpencar atau menjauh darinya .

AL-HUDAA : Nyanyian dan dendangan kegembiraan untuk gembala dan unta.

"al-Hidā'" atau "al-Hudā'" - dengan dibaca kasrah pada huruf ḥāʾ atau dhommah - atau "Hadwu" dikenal dalam kamus bahasa Arab sebagai penggiringan unta dan nyanyian untuknya. Dalam bentuk jamaknya: "Adīyah" atau "Adūah".

Dikatakan tentang seseorang:

رَجُلٌ حَادٌ وحِدَاءٌ وَهُو الذي يحْدُو الابلَ أي يُغَنَّي لها لتَتبُّعِه

"Rajulun ḥādun wa-hidā'", yang berarti seseorang yang menyanyi untuk unta-untanya agar mengikutinya.

Orang Arab mengatakan:

فُلَانٌ حِدَاءُ قَرَاقِرِيًّا، أَيْ جَهْوَرِيُّ الصَّوْتِ الشَّدِيدِ النَّبرَاتِ يُقَدِّمُ أَبْلَهُ وَيَحْدُوهَا.

"Fulan ḥādāʾ qarāqiryā", yang berarti seseorang dengan suara yang keras dan penuh nada, yang memimpin unta-untanya dan menyanyikan lagu untuknya.

Orang Arab menyebut "al-Hidā'" sebagai bagian dari jenis puisi yang disebut "Bahr Rajaz" atau "Bahr Rijāz", yang berarti penyairnya disebut "Rājiz" atau "Rājāz", yang berarti penyair yang menulis puisi dengan irama yang teratur.

Jenis puisi ini dinamai "Rajaz" karena sedikitnya bagian dan huruf serta kemudahan pembuatannya, sehingga bait puisinya berkisar antara satu hingga tiga bait, bisa lebih atau kurang sedikit.

Nama "al-Hidā'" digunakan oleh orang Arab di pasar unta dan dalam nyanyian untuknya. Unta-unta tersebut terpesona oleh suara penyanyinya, dan mereka dikelilingi oleh gelombang kegembiraan dan sukacita. Mereka menari dengan gerakan indah dan lincah, hanya dapat dipahami oleh mereka yang hidup bersama unta dan menggembalakannya dari padang rumput ke padang rumput atau ke mata air."

Abu al-Fadl Ahmad Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H) mengatakan dalam kitabnya (Fath al-Bari Syarah Sahih al-Bukhari):

ِداءُ سُوقِ الْإِبِلِ يَكُونُ بِضَرْبٍ مُخَصَّصٍ مِنَ الشِّعْرِ وَالْغِنَاءِ، وَهُوَ مَا يُسَمِّيهِ الْأَعْرَابُ الْأَوَائِلُ (الرَّكْبَانِيّ) وَيُسَمِّيهِ الْعَرَبُ الْآخِرُونَ (الْهِجَيْنِيّ)، وَهُوَ قَصِيدُ أَصْحَابِ السَّفَرِ وَالْقَوَافِلِ."

Hudaa’ adalah menggiring unta yang diiringi dengan lantunan khusus dari Syair dan nyanyian, yang oleh orang-orang Arab awal namakan (Rukbaanii ) dan orang-orang Arab akhir menyebutnya (Al-Hujaini), dan itu adalah qosiidah orang-orang dalam safar dan kafilah-kafilah.

Para sejarawan dan para perawi Arab, termasuk Abu al-Hasan Ali bin al-Husayn al-Mas'udi (wafat 346 H/957 M) dalam karyanya "Muruj al-Dhahab wa Ma'adin al-Jawhar" menyebutkan:

"إنَّ "الحِدَاءَ" كَانَ عِندَ العَرَبِ قَبْلَ "الغِنَاءِ"، انحَدَرَ إِلَيْهِمْ وَتَوَارَثُوهُ مِنْ جَدِّهِمُ الْأَكْبَرِ مُضَرَ بْنِ نَزَارِ بْنِ مَعْدِ بْنِ عَدْنَانَ بْنِ أَدٍ، وَأَصْلُهُ كَمَا يَرَوْنُ أَنَّ مَضَرَ قَدْ سَقَطَ عَنْ بَعِيرِهِ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ فَانْكَسَرَتْ يَدُهُ، فَجَعَلَ يَقُولُ: يَا يَايَدَاهُ يَايَدَاهُ أَوْ وَايَدَاهُ وَايَدَاهُ، وَكَانَ مِنْ أَحْسَنِ النَّاسِ صَوْتًا فَتَجَمَّعَتْ حَوْلَهُ الْإِبِلُ وَطَابَتْ لَهَا السَّيْرُ مَعَهُ، فَاتَّخَذَهُ العَرَبُ حِدَاءً بِرَجْزِ الشِّعْرِ، وَجَعَلُوا كَلَامَهُ أَوَّلَ الْحِدَاءِ، فَقَالَ حَادِيهِمْ: يَايَدَاهُ يَايَدَاهُ، يَا هَادِياً يَا هَادِياً، أَوْ قَالَ: وَايَدَاهُ وَايَدَاهُ، هَبِيْبًا هَبِيْبًا."

Sesungguhnya "al-Hida" (الحداء) telah ada di kalangan Arab sebelum "Nyanyian" (الغِنَاءُ). Tradisi ini turun temurun kepada mereka dan diwariskan dari kakek mereka yang paling tua, Mudhor bin Nizar bin Ma'd bin 'Adnan bin Ad. Menurut mereka, asal usulnya adalah ketika Mudhor jatuh dari unta-nya dalam salah satu perjalanannya sehingga tangannya patah. Dia mulai berdendang :

يَا يَايَدَاهُ يَايَدَاهُ أَوْ وَايَدَاهُ وَايَدَاهُ

'Ya tangan, ya tangan,' atau 'Wa yadah, wa yadah.'

Karena dia memiliki suara yang bagus, maka unta-unta pun berkumpul di sekitarnya dan perjalanan mereka menjadi lancar bersamanya. Kemudian, orang Arab menjadikan Mudhor sebagai pencetus nyanyian (الحُدَاء) dengan syair yang terjalin. Mereka membuat perkataan Mudhor sebagai awal dari nyanyian al-Hida, dan seorang penyanyi di antara mereka berkata :

"يا يَدَاهُ يا يَدَاهُ، يا هادِياً يا هادِياً، أو قال: وايَدَاه وايَدَاه، هَبِيْيًا هَبِيْيًا"

'Wa yadah, wa yadah,' atau 'Ya hadi, ya hadi,' atau 'Wa yadah, wa yadah,''Habiban, habiban.'"

AN-NASHEB ( النَصْب ):

Al-Johary mengatakan dalam kitabnya Al-Shihaah (2/146) :

"وَالنَّصْبُ: غِنَاءٌ يُشَبِّهُ الْحِدَاءَ إِلَّا أَنَّهُ أَرَقُّ مِنْهُ."

“An-Nasheb ( النَصْب ) : nyanyian yang menyerupai al-Hudaa’ , hanya saja yang lebih halus” . [Dan lihat pula Lisan Al-Arab (1/758)].

HUKUM NYANYIAN AL-HUDA , AN-NASHEB DAN YANG SEMISALNYA

Ibn Abd al-Barr berkata dalam kitabnya التمهيد (22/296):

"وَهَذَا الْبَابُ مِنَ الْغِنَاءِ قَدْ أَجَازَهُ الْعُلَمَاءُ وَوَرَدَتْ الْآثَارُ عَنْ السَّلَفِ بِإِجَازَتِهِ. وَهُوَ يُسَمَّى غِنَاءُ الرُّكْبَانِ وَغِنَاءُ النَّصْبِ وَالْحِدَاءِ. هَذِهِ الْأَوْجُهُ مِنَ الْغِنَاءِ لَا خِلَافَ فِي جَوَازِهَا بَيْنَ الْعُلَمَاءِ."

“Dan dalam Bab ini , yakni nyanyian yang seperti ini telah dibolehkan oleh para ulama, dan terdapat atsar-atsar dari para ulama salaf yang membolehkannya , dan itu disebut nyanyian pengendara ( غِنَاءُ الرُّكْبَانِ ) , nyanyian النَّصْبِ, dan الحُداء. Tidak ada perbedaan pendapat antar para ulama tentang diperbolehkannya “. [Selesai] 

Kesimpulan :

1. Tidak ada khilaf antar ulama akan di bolehkannya nyanyian al-Huda dan an-Nasheb .

2. Al-Huda dan an-Nasheb sama-sama nyanyian budaya arab sejak zaman dahulu .

3. Antara Al-Huda dan an-Nasheb terdpt kesamaan . Sama-sama nyanyian pengendara dan penggembala Unta . Cuma bedanya kalo Nasheb itu lebih lembut رقيق dan terdapat  تمطيط / suara yg tinggi dan panjang . 

DALIL-DALILNYA :

PERTAMA : Dari Khawat Ibnu Jubayr, dia mengatakan:

"خَرَجْنَا مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: فَسَرَنَا فِي رَكْبٍ فِيهِمْ أَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَاحِ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: فَقَالَ الْقَوْمُ: غَنِّنَا يَا خَوَاتِ، فَغَنَّاهُمْ. قَالُوا: غَنِّنَا مِنْ شِعْرِ ضُرَارٍ، فَقَالَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: دَعُوا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ يَتَغَنَّى مِنْ بَنِيَّاتِ فُؤَادِهِ يَعْنِي مِنْ شِعْرِهِ. قَالَ: فَمَا زِلْتُ أُغَنِّيهِمْ حَتَّى إِذَا كَانَ السِّحْرُ، فَقَالَ عُمَرُ: ارْفَعْ لِسَانَكَ يَا خَوَاتِ فَقَدْ أَسْحَرْنَا."

Kami pergi dengan Umar ibn al-Khattab, (r.a) ,  dia berkata: Kami berangkat bersama rombongan , di dalamnya terdapat Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dan Abdul Rahman bin Auf, رضي الله عنهم . Dia berkata : Lalu orang-orang berkata: Nyanyikan untuk kami wahai Khowaat , maka dia nyanyikan utk mereka. Mereka berkata: Nyanyikan utk kami dari syair Dlirar. Lalu Umar berkata : Biarlah wahai Abu Abdullah , dia bernyanyi dari syair-syair buah hatinya, yakni dari syairnya. Dia berkata: Aku pun terus menerus menyanyi untuk mereka , sehingga ketika datang waktu Sahur maka Umar berkata : Angkat lisanmu, wahai Khowaat, karena kita telah tiba di waktu sahur “.

Atsar itu disebutkan oleh Al-Bayhaqi (5/69), dan Abu Na`im Al-Asbahani dalam kitab nya الأربعين على مذهب المتحققين من الصوفية hal. (100).

Itu dituturkan oleh Ibn Hajar dengan menukilnya dari Ibn al-Siraaj dalam kitabnya التاريخ , seperti yang disebutkan di dlm kitab الإصابة (2/347) :

Al-Kalbani mengatakan dalam artikelnya :

"وَقَدْ صَحَّ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّهُ قَالَ: الْغِنَاءُ مِنْ زَادِ الرَّاكِبِ. وَكَانَ لَهُ مُغَنٍّ اسْمُهُ خَوَاتٌ رُبَّمَا غَنَّى لَهُ فِي سَفَرِهِ حَتَّى يَطْلُعَ السِّحْرُ."

"dan terdapat atsar Shahih dari Umar RA , bahwa dia berkata: Bernyanyi adalah bagian dari pada bekal pengendara. Dan beliau memiliki seorang penyanyi laki-laki bernama Khowat yang terkadang dia bernyanyi untuknya ketika dalam safar hingga waktu sahur tiba.

Ibnu al-Atsiir berkata dalam kitabnya (النهاية في غريب الأثر) (3/739) :

"وَقَدْ رَخَّصَ عُمَرُ فِي غِنَاءِ الْأَعْرَابِ وَهُوَ صَوْتٌ كَالْحُدَاءِ وَبِدَلِيلِ أَنَّ الْبَيْهَقِيَّ خَرَجَ فِي سُنَنِهِ الْكُبْرَى (10 / 224) مِنْ طَرِيقِ أَخَرَ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ قَالَ السَّائِبُ بْنُ يَزِيدِ:

"بِيَنَا نَحْنُ مَعَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ فِي طَرِيقِ الْحَجِّ وَنَحْنُ نُؤَمُّ مَكَّةَ اعْتَزَلَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ الطَّرِيقَ ثُمَّ قَالَ لِرَبَّاحِ بْنِ الْمُغْتَرِفِ: "غَنِّنَا يَا أَبَا حُسَنٍ" وَكَانَ يَحْسِنُ النَّصْبَ فَبَيْنَا رَبَّاحُ يُغَنِّيهِ أَدْرَكَهُمْ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي خِلَافَتِهِ، فَقَالَ: "مَا هَذَا؟" فَقَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ: "مَا بَأْسَ بِهَذَا نَلْهَوُ وَنَقْصُرُ عَنَّا."

Dan Umar sungguh telah membolehkan nyanyian orang Badui, yang bunyinya seperti al-Huda. Dan dengan bukti bahwa al-Bayhaqi menyebutkannya dalam kitabnya السنن الكبرى  (10/224) dari jalan lain dengan isnaad shahih, al-Saib ibn Yazid berkata:

Kami bersama Abd al-Rahman ibn Auf dalam perjalanan menuju haji dan kami sedang memimpin ziarah ke Mekah. Abd al-Rahman, (r.a) memisahkan diri dalam perjalanan, lalu berkata kepada Rabah bin al-Mughtarraf: "Nyanyikan utk kami, wahai Abu Hassan."

Dan dia menguasi nyanyian Nasheb “النصب “ dengan bagus . Maka ketika Robaah menyanyikannya , tiba-tiba Umar bin Khothob menyusulnya , saat itu beliau adalah Khalifah . Maka Umar bertanya : Apa ini? "

Abd al-Rahman berkata:" Tidak mengapa dengan ini. Kami hanya bersenang-senang dan agar kami terasa mempersingkat perjalanan kami “.

Umar, (r.a) berkata:

"فَإِنْ كُنْتَ آخِذًا فَعَلَيْكَ بِشِعْرِ ضِرَارِ بْنِ الْخَطَّابِ وَضِرَارٍ رَجُلٍ مِنْ بَنِي مُحَارِبِ بْنِ فَهْرٍ"

"Jika Anda melakukannya, maka Anda nyanyikanlah Syair Dliraar bin Al-Khattab dan Dliraar seorang pria dari Bani Muhaareb Bin Fihr."

Dan Ibnu al-Atsir berkata :

"وَالنَّصْبُ ضَرْبٌ مِنْ أَغَانِي الْأَعْرَابِ وَهُوَ يُشْبِهُ الْحِدَاءَ قَالَهُ أَبُو عُبَيْدِ الْهِرَوِيُّ .

وَرَوَيْنَا فِيهِ قِصَّةً أُخْرَى عَنْ خَوَاتِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ عُمَرَ وَعَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ وَأَبِي عُبَيْدَةَ بْنِ الْجَرَاحِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ فِي كِتَابِ الْحَجِّ قَالَ فِيهَا خَوَاتٌ فَمَا زِلْتُ أُغْنِيهِمْ حَتَّى إِذَا كَانَ السِّحْرُ. فَدَلَّ عَلَى مَا ذُكِرَتْ وَاللَّهُ أَعْلَمُ."

Nyanyian “النَّصْب” itu adalah salah satu nyanyian orang Badui, dan itu menyerupai “الحُداء” : Dan itu lah yang dikatakan oleh Abu Ubaid Al-Hirawiy.

Dan kami riwayatkan pula yang di dalamnya kisah lain : Dari Khawat Bin Jubayr , dari Umar, juga Abd Al-Rahman Bin Auf dan Abu Ubaidah Bin Al-Jarrah رضي الله عنهم dalam kitabnya “الحج”. Yang di dalam nya terdapat kata-kata Khowwaat :

فَمَا زِلْتُ أُغْنِيهِمْ حَتَّى إِذَا كَانَ السِّحْرُ

“Maka aku terus menerus bernyanyi untuk mereka hingga tiba waktu Sahur”.

Ini menunjukkan sesuai dengan apa yang anda telah sebutkan. Wallaahu a’lam.

KEDUA : Ibnu Abi Shaybah meriwayatkan dalam Musannaf-nya 3/253 no. (13951) dari Abdullah bin Idris dari Ibn Jurayj dan dari ‘Athoo , mereka berdua berkata:

«‌لَا ‌بَأْسَ ‌بِالْغِنَاءِ ‌وَالْحُدَاءِ، ‌وَالشِّعْرِ ‌لِلْمُحْرِمِ، ‌مَا ‌لَمْ ‌يَكُنْ فُحْشًا»

“Tidak mengapa dengan nyanyian atau al-Hudaa’ atau syair bagi oarang yang sedang ber ihram selama isinya tidak ada hal-hal yang cabul dan dosa .”

Itu adalah riwayat yg  shahih.

Ibn Abi Shaybah menuliskan pada kitabnya al-Mushonnaf 3/253:

‌‌ بَابٌ فِي الْحُدَاءِ لِلْمُحْرِمِ

“BAB : nyanyian al-Hudaa’ bagi orang yang berihram” .

Atsar ini menunujukkan bolehnya bagi rombongan haji menyanyikan al-Hudaa dan an-Nasheb.

KETIGA : Diriwayatkan dari  Abdullah bin Abbas – radhiyallahu ‘anhuma - :

"يَحْدُو إِبِلَهُ وَهُوَ فِي طَرِيقِهِ مِنَ الْبَصْرَةِ إِلَى الْكُوفَةِ، مُخَاطِبًا نَاقَتَهُ الْحَبِيبَةَ إِلَى قَلْبِهِ الْمُسَمَّاةِ رُبَابَ':

"أوِّبِي إِلَى أَهْلِكِ يَا رُبَابُ *** أوِّبِي فَقَدْ حَانَ لَكِ الْإِيَابُ "

“ Bahwa dia [Ibnu Abbas] menggiring unta-untanya sambil menyanyikan al-Hudaa dalam perjalanan dari Basrah ke Kufah, sambil berbicara kepada unta kesayangannya yang bernama "Rabab":

"Kembali pulang lah ke keluarga mu, wahai Rubab ***  Kembali pulanglah, saatnya bagimu untuk pulang."

KEEMPAT : Ini adalah Abdullah Dzi An-Nijadain, penggembala unta milik Rasulullah ,

يَحْدُو 'يُغَنِّي الْأَبَلَ' مُخَاطِبًا نَاقَةَ سَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ ﷺ:

تَعَرَّضِي مُدَارِجَا وَسُومِي

تَعَرَّضِ الْجَوْزَاءِ لِلنُّجُومِ

هَذَا أَبُو الْقَاسِمِ فَاسْتَقِيمِي

Dia menyanyikan al-Hudaa sambil bicara pada unta Rasulullah :

"Hadapilah jalan terjal tebing gunung ini dan lintasilah dengan cepat

Seperti al-Jauzaa menghadapi bintang-bintang

Inilah Abu al-Qasim, maka tetaplah lurus

Mufrodaat :

الْمُدَارِجُ: الثَّنَايَا الْغَلَاظُ بَيْنَ الْجِبَالِ، وَمِفْرَدُهَا مُدَرَّجَةٌ. السُّومُ: سُرْعَةُ الْمُرُورِ."

(Al-Madaarij adalah medan perjalanan yang bergelombang di antara gunung-gunung). Dan al-Madaarij adalah tempat di antara dua gunung, dan bentuk tunggalnya adalah Mudrajah."

Adapun as-Saaum adalah kecepatan melintas “.

Referensi :

Baca artikel karya Ahmad bin Muharib adz-Dzofiiri yang berjudul :

"انْكَسَرَتْ يَدُ مُضَرِّ بْنِ نَزَارٍ بْنِ مَعْدٍ، فَعَرَفَتِ الْعَرَبُ الْحُدَاءَ. كَانَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يُحَدِّي إِبِلَهُ بِقَوْلِهِ: 'يَا حَبَّذَا السِّيرُ بِأَرْضِ الْكُوفَةِ.'"

Artinya : "Tangan Mudhor bin Nadzar bin Ma'ad patah, dan dari sini Arab mengenal nyanyian 'al-Hudaa'. Dulu Ali bin Abi Thalib menyanyikan al-Hudaa untuk untanya dengan mengucapkan : 'Alangkah baiknya berjalan di tanah Kufah.'"




=======

PERNYATAAAN SEBAGIAN PARA ULAMA TENTANG AL-HUDAA :

Ibnu Abdil Bar rahimahullah dalam At-Tamhid berkata:

“Di antara nyanyian (Al Ghina) yang dibolehkan adalah ar-rukban, an-nasbu dan al-hudaa, selama syairnya tidak mengandung kata-kata tercela.”

Rukban adalah nyanyian orang safar untuk menghilangkan kejenuhan dalam perjalanan atau saat berkendara. Dinamakan juga an-nasbu karena nada suaranya ditinggikan. Sedangkan a[-hida adalah nyanyian penggembala ketika menggembala unta.

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari berkata:

“Al-Hida adalah menuntun unta dengan memukul secara khusus dalam nyanyian. Al-Hida seringkali dilakukan dengan syair rajaz (salah satu gaya puisi), terkadang dengan syair lainnya. Kebiasaannya, unta akan berjalan cepat kalau disenandungkan dengannya.”

Termasuk dalam hal ini adalah nyanyian untuk menyampaikan pesan pendidikan kepada anak, karena anak kecil biasanya lebih semangat belajar saat disampaikan dalam bentuk nyanyian.

Nyanyian Untuk menenangkan anak kecil

Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari berkata:

“Termasuk hida adalah nyanyian jamaah haji yang mencakup kerinduan untuk berhaji dengan menyebut Ka’bah dan pemandangan lainnya. Yang sepadan dengan itu juga nyanyian para mujahid untuk berperang. Di antaranya juga nyanyian seorang ibu untuk menenangkan anaknya dalam gendongan.”

Nyanyian antara suami istri

Al Albani rahimahullah dalam Silsilah Al Huda Wan Nur berkata:

“Jika seorang wanita ingin menyanyi di depan suaminya dengan perkataan yang mubah, maka silakan ia menyanyi dan bersenandung dengan apa saja yang ia kehendaki.”

HADITS-HADITS YANG MENGISYARATKAN 
HARAMNYA ALAT MUSIK DAN NYANYIAN

Para ulama sepakat bahwa musik-musik yang dibarengi dengan kegiatan yang haram, seperti minum minuman keras , atau tarian wanita di depan laki-laki non mahram,  atau untuk mengiringi  syair-syair cabul, adalah haram. Begitu pula dengan lagu dan nyanyian yang terdapat didalamnya kata-kata yang membangkitkan syahwat dan yang semisalnya . Dan inilah mayoritas musik dan lagu yang ada saat ini.

Al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hanbali memiliki kitab ( نٌزْهَةُ الأسْمَاع في مَسْألَةِ السِّمَاع ) di mana dia berkata (1/460) di dalamnya :

وَالْغِنَاءُ الَّذِي يَشْتَمِلُ عَلَى وَصْفِ مَا جَبَلَتِ النُّفُوسُ عَلَى حُبِّهِ، وَالشَّغَفِ بِهِ مِنَ الصُّورِ الْجَمِيلَةِ يُثِيرُ مَا كَمَنَ فِي النُّفُوسِ مِنْ تِلْكَ الْمَحَبَّةِ، وَيَشُوقُ إِلَيْهَا، وَيُحَرِّكُ الطَّبْعَ وَيُزَعِّجُهُ عَنِ الِاعْتِدَالِ، وَيُؤَزِّهِ إِلَى الْمَعَاصِي أَزًا، وَلِهَذَا قِيلَ: إِنَّهُ رُقِيَّةُ الزِّنَا، وَقَدْ افْتَتَنَ بِسَمَاعِ الْغِنَاءِ خَلْقٌ كَثِيرٌ فَأَخْرَجَهُمْ اسْتِمَاعُهُ إِلَى الْعِشْقِ وَفَتَنُوا فِي دِينِهِمْ، فَلَوْ لَمْ يُرِدْ نَصٌّ صَرِيحٌ فِي تَحْرِيمِ الْغِنَاءِ بِالشِّعْرِ، الَّذِي تُوَصَّفُ فِيهِ الصُّورُ الْجَمِيلَةُ لَكَانَ مُحَرَّمًا بِالْقِيَاسِ عَلَى النَّظَرِ إِلَى الصُّورِ الْجَمِيلَةِ، الَّتِي حُرِّمَ النَّظَرُ إِلَيْهَا بِالشَّهْوَةِ، بِالْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَإِجْمَاعِ مَنْ يَعْتَدُّ بِهِ مِنْ عُلَمَاءِ الْأُمَّةِ.

“Nyanyian yang mengandung ungkapan-ungkapan yang membuat jiwa-jiwa jatuh cinta padanya, dan dengannya menimbulkan hasrat , seperti kandungannya menggambarkan kecantikan-kecantikan dan keindahan-keindahan yang bisa membangkitkan jiwa-jiwa dari perasaan-perasaan cinta tsb dan merindukannya, dan menggerakkan tabiat dan menggoyahkan kesetabilan dan keseimbangan hati , dan membuatnya mendidih dan bergejolak untuk melakukan kemaksiatan-kemaksiatan . Dan oleh karenanya dikatakan: Nyanyian tsb adalah ruqiyyah [tangga] Zina .

Dan sungguh banyak orang yang jiwanya terfitnah ketika mendengar nyanyian, maka nyanyian ini telah mengantarkan pendengaran mereka pada kerinduan cinta dan membuat agama mereka terfitnah alias menjadi rusak agamanya .

Maka kalau seandainya tidak ada nash/dalil yang jelas dalam larangan menyanyi dengan puisi yang di dalamnya digambarkan gambaran yang cantik , maka nyanyian spti ini bisa diharamkan dengan menggunakan dalil Qiyas / analogi kepada hukum memandang gambar-gambar yang cantik , yang jelas-jelas dilarang memandangnya dengan syahwat menurut Al-Qur'an dan Sunnah dan Ijma’/konsensus seluruh ulama yang dianggap dan terhitung sebagai para ulama Ummat ".

BERIKUT INI SEBAGIAN HADITS-HADITS
YANG MENUNJUKKAN HARAMNYA MUSIK DAN NYANYIAN :

====

HADITS PERTAMA :

Al-Bukhari meriwayatkan dalam Sahihnya, secara MUALLAQ [tanpa sanad] dengan SHIGAT JAZEM no.  (5286) : Dari Abd al-Rahman bin Ghanam al-Ash'ari berkata: Abu Amer - atau Abu Malik - al-Ash'ari mengatakan: Demi Allah , dia tidak berdusta padaku , dia mendengar Nabi bersabda :

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ ، وَلَيَنْزِلَنَّ أَقْوَامٌ إِلَى جَنْبِ عَلَمٍ يَرُوحُ عَلَيْهِمْ بِسَارِحَةٍ لَهُمْ ، يَأْتِيهِمْ – يَعْنِى الْفَقِيرَ – لِحَاجَةٍ فَيَقُولُوا ارْجِعْ إِلَيْنَا غَدًا . فَيُبَيِّتُهُمُ اللَّهُ وَيَضَعُ الْعَلَمَ ، وَيَمْسَخُ آخَرِينَ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ

"Sungguh, benar-benar akan ada di kalangan umatku sekelompok orang yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik. Dan beberapa kelompok orang akan singgah di lereng gunung dengan binatang ternak mereka. Tiba-tiba ada Seorang yang fakir mendatangi mereka untuk suatu keperluan, lalu mereka berkata, ‘Kembalilah kepada kami esok hari.’ Kemudian Allah mendatangkan siksaan kepada mereka dan menimpakan gunung kepada mereka serta Allah mengubah sebagian mereka menjadi kera dan babi hingga hari kiamat. [HR. Bukhari no.  (5286)]

Hadits ini di dhaifkan oleh Abu Muhammad ibn Hazm, رحمه الله ; karena terputus sanadnya , dan di dalam sanadnya terdapat Abu Malik Al-Ash'ari , yang mana dia itu MAJHUL

Penulis katakan :  Hadits tersebut riwayatkan secara maushul oleh Ibn Hibban dalam Sahihnya (6574), al-Tabarani di al-Mujam al-Kabeer (3339), Musnad al-Shamiyyin (588), al-Bayhaqi di Sunan al-Sughra (4320), dan al-Sunan al-Kubra (6317) , dan hadits tsb Shahih .

Ibnu Sholah berkata dalam kitabnya علوم الحديث hal. (67):

"وَلَا الْتِفَاتَ إِلَى أَبِي مُحَمَّدِ بْنِ حَزْمٍ الظَّاهِرِيِّ الْحَافِظِ فِي رَدِّهِ مَا أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ ، مِنْ حَدِيثِ أَبِي عَامِرٍ ، أَوْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ : " لَيَكُونَنَّ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ . . " الْحَدِيثَ .

مِنْ جِهَةِ أَنَّ الْبُخَارِيَّ أَوْرَدَهُ قَائِلًا فِيهِ : قَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ وَسَاقَهُ بِإِسْنَادِهِ ، فَزَعَمَ ابْنُ حَزْمٍ أَنَّهُ مُنْقَطِعٌ فِيمَا بَيْنَ الْبُخَارِيِّ وَهِشَامٍ ، وَجَعَلَهُ جَوَابًا عَنِ الِاحْتِجَاجِ بِهِ عَلَى تَحْرِيمِ الْمَعَازِفِ . وَأَخْطَأَ فِي ذَلِكَ مِنْ وُجُوهٍ ، وَالْحَدِيثُ صَحِيحٌ مَعْرُوفُ الِاتِّصَالِ بِشَرْطِ الصَّحِيحِ" .

"Tidak usah mengindahkan kritikan Abu Muhammad bin Hazem adz-Dzoohiry dalam bantahannya terhadap apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dari Abu ‘Aamir, atau Abu Malik al-Ash'ari dari Rasulullah :

" لَيَكُونَنَّ فِي أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ . . " الْحَدِيثَ

"Akan ada di antara umatku , kaum-kaum yang menghalalkan sutra , anggur, dan alat-alat musik. ...." ( SA al-Hadits ) .

Di satu sisi, Al-Bukhari menyebutkannya dengan mengatakan : bahwa Hisham bin Ammar berkata : lalu beliau imam Bukhory menyebutkan sanadnya .... .  Di sini Ibnu Hazem mengira ada sanad yang terputus antara Bukhory dan Hisyam , lalu dia menjadikannya sebagai bantahan atas haramnya musik-musik. Dan ternyata dalam hal ini dia salah dari beberapa arah , dan yang benar hadits ini adalah shahih dan dikenal sanadnya nyambung sesuai standar syarat hadits shahih “.

Imam Ibnu al-Qayyim berkata dalam Rawdhat al-Muhibbiin (130):

وَأَمَّا أَبُو مُحَمَّدٍ فَإِنَّهُ عَلَى قَدْرِ يُبْسِهِ وَقَسُوتِهِ فِي التَّمَسُّكِ بِالظَّاهِرِ وَإِلْغَائِهِ لِلْمَعَانِي وَالْمُنَاسِبَاتِ وَالْحُكْمِ وَالْعِلَلِ الشَّرْعِيَّةِ انماع في بَابِ الْعِشْقِ وَالنَّظَرِ وَسَمَاعِ الْمَلَاهِي الْمُحَرَّمَةِ فَوُسِعَ هَذَا الْبَابُ جِدًّا وَضُيِقَ بَابُ الْمُنَاسِبَاتِ وَالْمَعَانِي وَالْحُكْمِ الشَّرْعِيَّةِ جِدًّا.

وَهُوَ مَعَ انْحِرَافِهِ فِي الطَّرَفَيْنِ حِينَ رَدَّ الْحَدِيثَ الَّذِي رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ فِي تَحْرِيمِ آلَاتِ اللَّهْوِ بِأَنَّهُ مُعَلَّقٌ غَيْرُ مُسْنَدٍ وَخُفِيَ عَلَيْهِ أَنَّ الْبُخَارِيَّ لَقِيَ مَنْ عَلَّقَهُ عَنْهُ وَسَمِعَ مِنْهُ وَهُوَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ وَخُفِيَ عَلَيْهِ أَنَّ الْحَدِيثَ قَدْ أَسْنَدَهُ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أُئِمَّةِ الْحَدِيثِ غَيْرَ هِشَامِ بْنِ عَمَّارٍ فَأَبْطَلَ سُنَّةَ صَحِيحَةٍ ثَابِتَةً عَنْ رَسُولِ اللَّهِ لَا مَطْعَنَ فِيهَا بِوَجْهٍ".

“Adapun Abu Muhammad, maka sesungguhnya dia itu diatas kering dan kerasnya dalam berpegang teguh terhadap faham DZOHIRI ( yang tampak dari nash-nash  ) dan menghapus makna-makna , munasabah-munasabah , hikmah-hikmah dan illat-illat hukum syar’i , maka faham ini telah membuat Abu Muhammad menjadi leleh dalam bab tentang kerinduan , pandangan , penyimakan suara hiburan yang diharamkan , maka dia sangat memperluas dalam bermudah-maudahan dalam membolehkan bab tsb , dan sangat mempersempit bab munasabat-munasabat hukum yang menunjukkan keharamannya , begitu juga makna-mkananya dan illat-illat hukum syar’inya .    

Dan dia dengan penyimpangannya di kedua sisi ketika membantah hadits yang Al-Bukhari diriwayatkan dalam Sahihnya tentang pengharaman alat-alat hiburan dengan alasan MU’ALLAQ alias sanadnya tidak nyambung , rupanya ada yang tersembunyi darinya bahwa Al-Bukhari bertemu dengan seseorang yang diTA’LIQnya dan dia mendengar langsung darinya, yaitu Hisham bin Ammar, dan juga ada yang tersembunyi dari Abu Muhammad Ibnu Hazem bahwa hadits tersebut sanadnya telah disambungkan oleh lebih dari satu imam hadits selain Hisham bin Ammar, oleh karena itu dia membatalkan hadits yang shahih nan kokoh dari Rosulullah , tidak ada sisi yang bisa menikam keshahihan nya dari arah manapun”. ( Baca pula : تهذيب سنن أبي داود 2/228  ).

Dalam kitab إغاثة اللهفان 1/259 , تغليق التعليق 5/22 dan فتح الباري 10/52 di katakan :

"وَوَجْهُ الدَّلَالَةِ مِنْ هَذَا الْحَدِيثِ عَلَى تَحْرِيمِ الْمَعَازِفِ أَنَّهُ لَوْ كَانَتْ حَلَالًا لَمَا ذَمَّهُمْ عَلَى اسْتِحَالَتِهَا وَلَمَّا قُرِّنَ اسْتِحَالَتُهَا بِاسْتِحَالَةِ الزِّنَا وَالْخَمْرِ وَالْحَرِيرِ!".

“Indikasi dari hadits ini tentang pengharaman alat-alat musik adalah bahwa jika memang dibolehkan,  maka tentunya dia tidak akan mencela orang-orang yang menghalalkannya , dan kalo seandainya di bolehkan , maka tentunya  tidak akan sandingkan dengan penghalalan  perzinahan,  minuman keras, dan sutra!”.

HADITS KE 2 :

Dari Abu Malik Al-Asy’ariy, ia berkata : Rasulullah bersabda : 

"لَيَشْرَبَنَّ نَاسٌ مِنْ اُمَّتِى اْلخَمْرَ يُسَمُّوْنَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا يُعْزَفُ عَلَى رُءُوْسِهِمْ بِالْمَعَازِفِ وَ الْمُغَنّيَاتِ، يَخْسِفُ اللهُ بِهِمُ اْلاَرْضَ وَ يَجْعَلُ مِنْهُمُ اْلقِرَدَةَ وَ اْلخَنَازِيْرَ".

“Sungguh ada segolongan dari umatku yang minum khamr yang mereka menamakannya bukan nama (asli)nya, kepala mereka disibukkan dengan musik dan biduanita. Allah akan menenggelamkan mereka ke dalam tanah dan merubah mereka menjadi kera dan babi”. 

(HR. Ahmad no. 22900, Abu Daud no. 3688 dan Ibnu Majah 2/1333, no. 4020) Di Shahihkan al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah no. 3263 dan ar-Ribaa’i dalam Fathul Ghoffaar 4/1967.

Dalam riwayat lain Abu Malik berkata : aku mendengar Rasulullah  bersabda: 

"يَكُونُ فِي أُمَّتِي الْخَسْفُ وَالْمَسْخُ وَالْقَذْفُ ” ، قُلْنَا : فِيمَ يَا رَسُولَ اللَّهِ ؟ قَالَ : ” بِاتِّخاذِهِمُ الْقَيْنَاتِ ، وَشُرْبِهِمُ الْخُمُورَ".

“Di umat ini kelak nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya”. 

Beliau ditanya, “Karena apa hal itu terjadi wahai Rasulullah!” 

Beliau menjawab, “Karena mereka telah menjadikan para biduwanita sebagai hiburan mereka dan mereka suka minum minuman keras [khamr]”.

[HR. Ath Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir (3333)]

Di dalam sanadnya terdapat al-Ghaz . Al Ghaz tidak ditemukan jarh wa ta’dil-nya namun Hisyam (perawi tsiqah) meriwayatkan darinya, sehingga statusnya majhul hal [Tidak dikenal kondisinya] . Sedangkan ayahnya, Abu Al Ghaz Rabi’ah bin ‘Amr, statusnya mukhtalif fii shahbatihi [diperdepatkan apakah dia seoarang sahabat ? ] namun Ad Daruquthni men-tsiqah-kannya. Sedangkan para perawi lainnya adalah tsiqah. Karena adanya perawi yang majhul sanad ini tidak bisa menjadi syahid.

HADITS KETIGA :

Dari ‘Imran bin Husain bahwa Rasulullah bersabda : 

" فِيْ هذِهِ اْلاُمَّةِ خَسْفٌ وَ مَسْخٌ وَ قَذْفٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَ مَتَى ذلِكَ؟ قَالَ: اِذَا ظَهَرَتِ اْلقِيَانُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ اْلخُمُوْرُ".

“Pada ummat ini akan ada (siksaan berupa) ditenggelamkan ke bumi, diganti rupa dan dilempar batu dari langit”. Lalu ada seorang laki-laki dari kalangan kaum muslimin bertanya, “Ya Rasulullah, kapan peristiwa itu terjadi ?”.

Beliau menjawab, “Apabila telah merajalela penyanyi-penyanyi dan musik, dan khamr diminum (dimana-mana)”. 

(HR. Tirmidzi 3/336, no. 2212 & 2309. 

Hadits ini dha’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Abbaad bin Ya’quub Al-Kuufiy dan ‘Abdullah bin ‘Abdul Qudduus, Ia orang syiah. Keduanya dla’if.

Namun dinyatakan oleh asy-Syaukani dalam Neil al-Awthar 8/262 : bahwa hadits ini Hasan lighorihi

HADITS KEEMPAT :

Dari Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi  bersabda: 

سيكونُ في آخرِ الزمانِ خَسْفُ وقذفٌ ومَسْخٌ ، إذا ظَهَرَتِ المعازِفُ والقَيْناتُ ، واسْتُحِلَّتِ الخمْرُ

“Di umat ini kelak nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya. Itu terjadi pada para penyanyi, para lelaki yang memakai sutra dan para peminum khamr”.

Muhammad bin Shadaqah Al Jublani statusnya shaduq, Ziyad bin Abi Ziyad Al Jashash dikatakan oleh Ibnu Hajar: “ia dhaif”. Sedangkan perawi lainnya tsiqah. Sehingga sanad ini lemah namun bisa menjadi syahid.

Namun di shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jami’ no. 3665.

HADITS KE LIMA :

Diriwayatkan dengan jalan lain, dicatat Ibnul Jauzi dalam Talbis Iblis (117) dari jalan Shalih bin Abdillah dengan sanadnya Dari  Ali bin Abi Thalib (ra) bahwa Rasulullah  bersabda: 

” إِذَا فَعَلَتْ أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خِصْلَةً حَلَّ بِهَا الْبَلاءُ فَذَكَرَ مِنْهَا إِذَا اتُّخِذَتِ الْقِيَانُ وَالْمَعَازِفُ

“Jika umatku melakukan 15 perbuatan, maka mereka layak mendapatkan bala bencana”.

Beliau menyebutkan diantaranya berprofesi menjadi penyanyi dan bermain alat musik.

Al Faraj bin Fadhalah statusnya dhaif. Adapun yang lainnya perawi tsiqah. Sehingga sanad ini juga lemah namun bisa menjadi syahid.

HADITS KE ENAM :

Diriwayatkan dengan jalan lain, dicatat oleh Ibnu Abid Dunya dalam Dzammul Malahi (4) dengan sanadnya dari ‘Aisyah (ra), Rasulullah  bersabda : 

«يَكُونُ فِي أُمَّتِي خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ» قَالَتْ عَائِشَةُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَهُمْ يَقُولُونَ: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ؟ قَالَ: «إِذَا ظَهَرَتِ الْقِيَانُ، وَظَهَرَ الرِّبَا، وَشُرِبَتِ الْخَمْرُ، وَلُبِسَ الْحَرِيرُ، كَانَ ذَا عِنْدَ ذَا»

“Di umat ini kelak nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya”. 

Aisyah bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah mereka itu bersyahadat laailaaha illallah?“.

Beliau menjawab, “Ya, itu terjadi ketika banyak penyanyi, riba merajalela, khamr banyak diminum, sutra banyak dipakai lelaki, lalu begini dan begitu”.

Abu Ma’syar di sini adalah Nazif bin Abdirrahman As Sindi, statusnya dhaif. Al Husain bin Mahbub tidak ditemukan jarh wa ta’dil-nya namun Ibnu Abid Dunya meriwayatkan darinya, sehingga ia statusnya majhul haal. Selainnya, tsiqah. Sehingga sanad ini sangat lemah dan tidak bisa menjadi syahid.

Dan masih ada beberapa jalur lagi yang tidak lepas dari kelemahan.

Hadits ini memiliki beberapa banyak jalur yang saling menguatkan dan mengangkat derajatnya minimal menjadi hasan li ghairihi. Akan terdapat masalah lain, yaitu terdapat jalur lain secara mursal, disebutkan dalam al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah (36843) dengan sandanya dari Ibnu Saabith , ia berkata, Rasulullah  bersabda: 

” إِنَّ فِي أُمَّتِي خَسْفًا وَمَسْخًا وَقَذْفًا ” ، قَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، وَهُمْ يَشْهَدُونَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ؟ فَقَالَ : ” نَعَمْ ، إِذَا ظَهَرَتِ الْمَعَازِفُ وَالْخُمُورُ وَلُبِسَ الْحَرِيرُ".

“Di umat ini kelak nanti akan ada (peristiwa) di mana orang-orang ditenggelamkan (ke dalam bumi), dilempari batu dan diubah wajahnya”. 

Beliau ditanya, “wahai Rasulullah, apakah mereka orang-orang yang bersyahadat laailaaha illallah?” 

Beliau menjawab, “Iya, itu terjadi ketika alat-alat musik merajalela, banyak muncul para penyanyi dan banyak orang minum khamr, serta banyak orang memakai sutra”.

Semua perawinya tsiqah kecuali Abdullah bin ‘Amr bin Murrah, ia berstatus shaduq.

Para ulama hadits berbeda pendapat mengenai masalah تعليل الموصول بالإرسال [ ilat sanad maushul dengan sanad mursal yaitu apakah hadits yang maushul menjadi cacat jika ternyata ada jalan lain yang mursal ?.

Syaikh Jamaluddin Al Qasimi menjelaskan:

فَقَدْ كَثُرَ إِعْلَالُ الْمَوْصُوْلِ بِالْإِرْسَالِ، وَالْمَرْفُوعِ بِالْوَقْفِ إِذَا قُوِّيَ الْإِرْسَالُ أَوْ الْوَقْفِ بِكُونِ رَاوِيهِمَا أَضْبَطَ أَوْ أَكْثَرَ عَدَدًا عَلَى الِاتِّصَالِ أَوْ الرَّفْعِ وَقَدْ يُعَلُّونَ الْحَدِيثِ.

“Banyak terjadi ta’lil (pencacatan) terhadap hadits maushul karena terdapat jalan lain yang mursal. Juga terhadap hadits mar’fu karena terdapat jalan lain yang mauquf. Jika jalan yang mursal atau mauquf itu perawinya lebih kuat dari sisi dhabt-nya atau lebih banyak jalan-jalannya dibanding dengan yang muttashil atau marfu, maka ketika itu haditsnya menjadi tercatati” (Qawa’id At Tahdits, 131)

Jika kita gabungkan jalan-jalan yang maushul, hadits ini tidak bisa tercacati oleh mursal-nya sebab jalan-jalannya lebih banyak dan kualitas perawinya lebih bagus karena saling menguatkan.

Kesimpulannya :

Karena banyaknya syahid mala status derajat hadits ini bisa menjadi hasan, seperti yang katakan Asy-Syaukani dalam kitabnya Neilul Author, 8/262), bahkan Syeikh Al-Albani dalam Shahih Al Jami’no. 3665 menetapkan bahwa derajat hadits ini bisa menjadi shahih. Wallahu’alam.

HADITS KE TUJUH :

Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda : 

" اِذَا اتُّخِذَ اْلفَيْءُ دُوَلاً وَ اْلاَمَانَةُ مَغْنَمًا وَ الزَّكَاةُ مَغْرَمًا وَ تُعُلّمَ لِغَيْرِ الدّيْنِ وَ اَطَاعَ الرَّجُلُ امْرَاَتَهُ وَ عَقَّ اُمَّهُ وَ اَدْنَى صَدِيْقَهُ وَ اَقْصَى اَبَاهُ وَ ظَهَرَتِ اْلاَصْوَاتُ فِي الْمَسَاجِدِ وَ سَادَ اْلقَبِيْلَةَ فَاسِقُهُمْ وَ كَانَ زَعِيْمُ اْلقَوْمِ اَرْذَلَهُمْ و اُكْرِمَ الرَّجُلُ مَخَافَةَ شَرّهِ وَ ظَهَرَتِ اْلقَيْنَاتُ وَ الْمَعَازِفُ وَ شُرِبَتِ اْلخُمُوْرُ وَ لَعَنَ آخِرُ هذِهِ اْلاُمَّةِ اَوَّلَهَا فَلْيَرْتَقِبُوْا عِنْدَ ذلِكَ رِيْحًا حَمْرَاءَ وَ زَلْزَلَةً وَ خَسْفًا وَ مَسْخًا وَ قَذْفًا وَآيَاتٍ تَتَابَعُ كَنِظَامِ بَالٍ قُطِعَ سِلْكُهُ فَتَتَابَعَ".

Apabila harta fai’ (rampasan perang) sudah dijadikan barang rebutan, amanat (kepemimpinan) dijadikan sebagai barang ghanimah (rampasan  perang ), zakat dihutang (tidak dibayar), dipelajari hal-hal yang bukan untuk agama, suami tunduk kepada istrinya, ibunya didurhakai, orang lebih dekat kepada kawannya, sementara ayahnya sendiri dijauhi, suara-suara gaduh di masjid-masjid, yang menjadi kepala qabilah (kampung) adalah orang yang fasiq, yang menjadi pemimpin bagi suatu kaum adalah orang yang sangat rendah akhlaqnya, seseorang disanjung-sanjung karena takut kejahatannya, merajalelanya penyanyi-penyanyi dan musik, khamr diminum (dimana-mana), generasi yang di belakang mengutuk generasi pendahulunya, maka di saat yang demikian itu hendaklah mereka waspada datangnya angin merah, gempa bumi, tenggelam ke dalam tanah, perubahan (menjadi kera dan babi) dan pelemparan batu dari langit serta beberapa tanda (kekuasaan Allah) yang akan terjadi berturut-turut seperti untaian (benda) yang talinya putus, maka akan (berjatuhan benda tersebut) berturut-turut”

(HR. Tirmidzi 3/335, no. 2308] 

Hadits ini dha’if karena di dalam sanadnya ada perawi bernama Rumaih Al-Judzamiy, ia majhul). Di dhaifkan oleh al-Albaani dalam Dha’if al-Jaami’ no. 287 .

Dan semakna hadits ini diriwayatkan pula dari Ali bin Abi Thalib (ra). Namun di Dhaifkan pula oleh as-Suyuthi dalam al-Jami’ ash-Shogir no. 769, al-Albaani dalam adh-Dha’ifah no. 1170 dan Syeikh bin Baaz dalam at-Tuhfatul kariimah no. 77 .

HADITS KE DELAPAN :

Dari Abu Umamah, dari Rasulullah , beliau bersabda : 

" لاَ تَبِيْعُوا اْلقَيْنَاتِ وَ لاَ تَشْتَرُوْهُنُّ وَ لاَ تُعَلّمُوْهُنَّ وَ لاَ خَيْرَ فِيْ تِجَارَةٍ فِيْهِنَّ وَ ثَمَنُهُنَّ حَرَامٌ وَ فِيْ مِثْلِ هذَا اُنْزِلَتْ هذِهِ اْلآيَةُ وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْتَرِيْ لَهْوَ اْلحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ (اِلى آخِرِ اْلآيَةِ)".

“Janganlah kalian menjual para budak penyanyi wanita, jangan kalian membeli mereka dan jangan pula kalian ajari mereka itu, karena sama sekali tidak ada kebaikannya memperdagangkan mereka itu, dan hasilnya pun haram, dan seperti ini, diturunkan ayat (yang artinya) :

‘Diantara manusia ada yang membeli perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (orang) lain dari jalan Allah, (QS Luqman : 6) sampai akhir ayat’”. 

(HR. Tirmidzi 5/25 no. 1282, 3247, Ibnu Majah no. 2168, Ahmad 22280 dan Thabrani no 7749  ] .

Hadits ini dha’if sekali karena dalam sanadnya ada perawi bernama ‘Ali bin Yazid bin Abi Hilaal.

Syu’aib al-Arnauth berkata : Dho’if Jiddan [ lemah sekali] . (Lihat Takhrij al-Musnad no. 22280]. Begitu pula yang dinyatakan al-Albaani dalam Tahriim Aalaatit Tharb no. 68.

HADITS KE SEMBILAN :

Dari Nafi' Maula Ibnu Umar ia berkata :

سمِعَ ابنُ عمرَ مِزْمارًا ، قال : فوَضَعَ أُصْبُعَيْه على أُذُنَيْه ، ونأَى عن الطريقِ ، وقال لي : يا نافعُ هل تَسْمَعُ شيئًا ؟ قال : فقلتُ : لا . قال : فرَفَعَ أُصْبُعَيْه مِن أُذُنَيْه ، وقال : كنتُ مع النبيِّ صلى الله عليه وسلم ، فسَمِعَ مثلَ هذا ! فصَنَعَ مثلَ هذا.

" [Ibnu Umar] mendengar suara seruling, lalu ia meletakkan jarinya pada dua telinganya seraya menjauh dari jalan. Lalu ia berkata kepadaku, "Wahai Nafi', apakah kamu mendengar sesuatu?" Aku menjawab, "Tidak." Nafi' melanjutkan; "Ibnu Umar lalu mengangkat kembali jarinya dari keduanya telinganya", lantas ia berkata, "Aku pernah bersama Nabi , lalu beliau mendengar suara seperti ini dan beliau juga melakukan seperti ini."

[HR. Abu Daud no. 4924 ]

Abu Daud, perawi hadits, berkata : Abu Ali Al Lu`lu`I berkata : "Aku mendengar Abu Dawud berkata : "Hadits ini derajatnya munkar”.

Lalu Abu Daud menyebutkan jalur lain dari Muth'im Ibnul Miqdam dari Nafi’, ia berkata :

كُنَّا مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَمِعَ صَوْتَ زَامِرٍ فَذَكَرَ نَحْوَهُ

"Aku bersama [Ibnu Umar], lalu ia mendengar suara orang berseruling…lalu ia menyebutkan seperti hadits tersebut."

Abu Dawud berkata : "Dan inilah yang paling mungkar."

Namun hadits ini di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 4924.

LAFADZ LAIN : Dalam riwayat Ahmad dari Nafi’ , dia berkata :

سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَوَضَعَ إِصْبَعَيْهِ فِى أُذُنَيْهِ وَعَدَلَ رَاحِلَتَهُ عَنِ الطَّرِيقِ وَهُوَ يَقُولُ يَا نَافِعُ أَتَسْمَعُ فَأَقُولُ نَعَمْ. قَالَ فَيَمْضِى حَتَّى قُلْتُ لاَ. قَالَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ وَأَعَادَ الرَّاحِلَةَ إِلَى الطَّرِيقِ وَقَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَسَمِعَ صَوْتَ زَمَّارَةِ رَاعٍ فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا

Ibnu ‘Umar pernah mendengar suara seruling dari seorang pengembala, lalu beliau menyumbat kedua telinganya dengan kedua jarinya. Kemudian beliau pindah ke jalan yang lain.
Beliau berkata : “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suara tadi?”

Aku (Nafi’) berkata : “Iya, aku masih mendengarnya”

Kemudian beliau terus berjalan, sampai aku berkata : “Aku tidak mendengarnya lagi”

Barulah setelah itu Ibnu ‘Umar melepaskan tangannya dari telinganya dan kembali ke jalan itu lalu berkata :

“Beginilah aku melihat Rosululloh sholallohu ‘alaihi wasallam ketika mendengar suara seruling dari seorang pengembala. Beliau melakukannya seperti tadi”

[HR Ahmad 4725. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan]

NOTE : Namun Ibnu Umar (ra) saat mendengar suara seruling tersebut, beliau tidak menyuruh si penggembala untuk menghentikan tiupan serulingnya. Ibnu ‘Umar juga tidak menyuruh Nafi’ untuk ikut menutup telinganya.

Sehingga mendengarkan nyanyian dan musik tanpa kebutuhan adalah perbuatan yang makruh (makruh diambil dari kata karahah, artinya dibenci.

Dan dari Mujahid, ia berkata:

"كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ فَسَمِعَ صَوْتَ طَبْلٍ فَاَدْخَلَ اِصْبَعَيْهِ فِى اُذُنَيْهِ، ثُمَّ تَنَحَّى حَتَّى فَعَلَ ذلِكَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قَالَ: هكَذَا فَعَلَ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ ".

Dahulu ketika saya bersama Ibnu ‘Umar, tiba-tiba mendengar suara tambur, lalu (Ibnu ‘Umar) memasukkan kedua jarinya ke kedua telinganya, kemudian ia mundur, sehingga berbuat demikian tiga kali. Kemudian ia berkata, “Demikianlah dahulu Rasulullah berbuat”. 

(HR. Ibnu Majah 1/611, no. 1901. 

Hadits ini dha’if karena dalam sanadnya ada perawi bernama Laits bin Abi Sulaim. Akan tetapi dishahihkan oleh al-Albaani dalam shahih Ibnu Majah no. 1555 , namun dengan lafadz "زمارة راع" [ seruling penggembala] , adapun yang dengan lafadz طَبْلٌ [ gendang] maka itu riwayat munkar.

HADITS KE SEPULUH : HADITS LARANGAN AL-KUUBAH :

Dari Qais bin Habtar yang berkata :

 سَألْتُ ابنَ عبَّاسٍ عن الجَرِّ الأبيضِ، والجرِّ الأخضرِ، والجرِّ الأحمرِ، فقال: إنَّ أوَّلَ مَن سأَلَ النَّبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم وفْدُ عبدِ القيسِ، فقالوا: إنَّا نُصِيبُ مِنَ الثُّفْلِ، فأيُّ الأسقيةِ؟ فقال: لا تَشرَبوا في الدُّبَّاءِ، والمُزَفَّتِ، والنَّقِيرِ، والحَنْتَمِ، واشْرَبوا في الأسقيةِ، ثمَّ قال: إنَّ اللهَ حرَّمَ علَيَّ -أو حرَّمَ- الخمرَ، والمَيْسِرَ، والكُوبةَ، وكلُّ مُسكِرٍ حرامٌ. قال سفيانُ: قلْتُ لعلِيِّ بنِ بَذِيمَةَ: ما الكُوبةُ؟ قال: الطَّبْلُ.

Aku bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas tentang Al Jarr [wadah air minum dari tembikar] putih, Al Jarr hijau dan Al Jarr merah.

Maka Beliau berkata “sesungguhnya yang pertama kali bertanya kepada Nabi tentang hal itu adalah delegasi [utusan] ‘Abdul Qais, mereka berkata “sesungguhnya kami memperoleh peralatan, maka tempat-tempat air mana [yang boleh digunakan]?.

Beliau berkata “Janganlah kalian minum dari Ad-Dubaa’, Al-Muzaffat, An-Naqiir dan Al-Hantam, tetapi minumlah dari tempat-tempat air !”.

Kemudian Beliau berkata : “sesungguhnya Allah telah mengharamkan atasku atau telah mengharamkan khamr,  judi, Al-Kuubah dan setiap yang memabukkan adalah haram”. 

Sufyaan berkata : aku bertanya kepada Aliy bin Badziimah, apakah Al-Kuubah itu?. Ia berkata “gendang”.

[HR. Ahmad no 2476 dan Abu Dawud 3/331 no. 3696 Di shahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth dan Ahmad Syakir dalam Takhrij al-Musnad 4/158]

Ahmad bin Hanbal juga meriwayatkannya dalam kitabnya “Al-Asyribah” hal 79 no 193, Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/356 no 3696, Abu Ya’la dalam Musnad-nya 5/114 no 2729, Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 12/187 no 5365, Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20780, dan Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya 41/273-274 semuanya dengan jalan sanad Abu Ahmad Az Zubairiy dari Sufyaan dari Aliy bin Badziimah dari Qais bin Habtar : dari Ibnu ‘Abbas dengan matan yang menyebutkan lafaz haram Al-Kuubah.

Adapun Ath Thahawiy juga menyebutkan hadits ini dalam kitabnya Syarh Ma’aaniy Al Atsaar 4/223 no 6487 dengan sanad yang sama tetapi tanpa menyebutkan lafaz haram Al-Kuubah.

RIWAYAT LAIN :

Abu Ahmad Az Zubairiy dalam periwayatan dari Sufyaan memiliki mutaba’ah dari Qabiishah bin ‘Uqbah, sebagaimana yang disebutkan Muhammad bin Aslam Ath Thuusiy dalam Al Arba’iin hal 99 no 39 dan Ibnu Muqriy dalam Mu’jam-nya hal 375 no 1257 :

Telah menceritakan kepada kami Qabiishah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan Ats Tsawriy dari Aliy bin Badziimah dari Qais bin Habtar dari ‘Ibnu ‘Abbaas dari Rasulullah yang berkata : 

إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ الْخَمْرَ وَالْمَيْسِرَ وَالْكُوبَةَ يَعْنِي الطَّبْلَ وَكُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ

“Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla telah mengharamkan khamar, judi, Al-Kuubah yaitu gendang dan semua yang memabukkan adalah haram”.

Perhatian :

Mengenai hadits Qabiishah di atas yaitu lafaz “ya’niy Ath Thabl” setelah lafaz Al-Kuubah bukanlah bagian dari lafaz hadits Rasulullah tetapi ia adalah perkataan Ali bin Badziimah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Abu Ahmad Az Zubairiy dari Sufyaan. Jadi telah terjadi idraaj [penyusupan kata] dalam matan haditsnya.

PEMBAHASAN MAKNA AL-KUUBAH :

Terdapat perselisihan soal makna Al-Kuubah di sisi para ulama. Sebagian mengatakan bahwa Al-Kuubah adalah gendang dan dikatakan juga bahwa Al-Kuubah adalah dadu yang dipakai pada permainan judi.

Ibnu Atsir berkata :

   إِنَّ اللّه حَرَّم الخَمْرَ والكُوبةَ هي النَّرْدُ وقيل الطَّبْل وقيل البَرْبَطُ

“Sesungguhnya Allah mengharamkan khamar dan Al-Kuubah” itu maksudnya adalah dadu, dikatakan itu gendang dan dikatakan itu gitar [Baca : An Nihaayah Fii Ghariib Al Hadiits Wal Atsar karya Ibnu Atsir hal 815]

Abu Ubaid Al Haraawiy berkata :

وأما الكُوبة فإنّ محمد بن كثير أخبرني أن الكُوبة النرد في كلام أهل اليمن وقال غيره الطبل

“Adapun Al-Kuubah maka sesungguhnya Muhammad bin Katsiir mengabarkan kepadaku bahwasanya Al-Kuubah adalah dadu dalam perkataan penduduk Yaman, dan berkata selainnya bahwa itu adalah gendang [Lihat : Ghariib Al Hadiits karya Abu Ubaid Al Haraawiy 5/304]

Dan Abu Ubaid berkata :

وفي الحديث إِنَّ اللّه حَرَّم الخَمْرَ والكُوبةَ قَالَ ابْنُ الأَعْرَابِيِّ  الْكُوبَةُ النَّرْدُ  وَيُقَالُ الطَّبْلُ  وَقِيلَ الْبَرْبَطُ

Dan dalam hadits “sesungguhnya Allah mengharamkan khamar dan Al-Kuubah”. Ibnu Arabiy berkata Al-Kuubah adalah dadu, dan ada yang mengatakan itu adalah gendang, dan dikatakan itu adalah gitar [Baca : Al Gharibain Fii Al Qur’an Wal Hadiits Abu Ubaid 5/1654]

Pendapat yang mengatakan Al-Kuubah adalah gendang memiliki hujjah dari perkataan para perawi hadits yang mengharamkan Al-Kuubah. [nampak dalam sebagian riwayat bahwa perawi-perawi tersebut menyisipkan penafsiran mereka ke dalam hadits]. Mereka adalah sbb :

1] Aliy bin Badziimah sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad bin Hanbal 1/274 no 2476

2] Yahya bin Yuusuf Az Zammiy sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/221 no 20779

3] Muhammad bin ‘Abdullah bin Abdul Hakam sebagaimana disebutkan Al Baihaqiy dalam Sunan Al Kubra 10/222 no 20783

4] Yahya bin Ishaaq sebagaimana disebutkan Ahmad bin Hanbal dalam Al Asyribah hal 40 no 27

Terdapat kaidah bahwa tafsir perawi hadits terhadap hadits yang ia riwayatkan lebih didahulukan dibanding tafsir selainnya. Sehingga dengan kaidah ini sebagian ulama merajihkan bahwa makna Al-Kuubah adalah gendang.

Kaidah ini benar hanya saja ia tidak bersifat mutlak. Apalagi terdapat bukti kuat yang menunjukkan bahwa makna Al-Kuubah pada masa sahabat Nabi bukan gendang atau tambur, melainkan adalah nardu atau dadu. Sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhori dalam Adabul Mufrad 1/433 no 1267 , dia berkata :  

Telah menceritakan kepada kami ‘Ishaam yang berkata telah menceritakan kepada kami Hariiz dari Salman Al ‘Alhaaniy dari Fadhalah bin ‘Ubaid dan pada saat itu ia berkumpul pada suatu perkumpulan, maka telah sampai kepadanya kabar :

أَنَّ أَقْوَامًا يَلْعَبُونَ بِالْكُوبَةِ فَقَامَ غَضْبَانًا يَنْهَى عَنْهَا أَشَدَّ النَّهْيِ ثُمَّ قَالَ أَلَا إِنَّ اللَّاعِبَ بِهَا لِيَأْكُلَ قَمَرَهَا كَآكِلِ لَحْمِ الْخِنْزِيرِ وَمُتَوَضِّئٌ بِالدَّمِ يَعْنِي بِالْكُوبَةِ النَّرِدُ.

“Bahwa sekelompok orang bermain dengan Kuubah maka ia berdiri marah dan melarangnya dengan larangan yang keras kemudian berkata ketahuilah bahwa bermain dengan itu untuk memakan hasilnya maka seperti memakan daging babi dan berwudhu’ dengan darah. Yang dimaksud Kuubah adalah An-Nardu [dadu]”. (Selesai).

Riwayat ini sanadnya shahih sampai Fadhalah bin ‘Ubaid (ra) dan ia adalah seorang sahabat Nabi . [Baca : Al Jarh Wat Ta’dil 7/77 no 433].

Berikut ini penjelasan jarh wa ta’diil para perawinya :

1] ‘Ishaam bin Khalid Al Hadhramiy termasuk salah satu guru Bukhariy dalam kitab Shahih-nya. Nasa’iy berkata “tidak ada masalah padanya”. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 7 no 372]

2] Hariiz bin ‘Utsman Al Himshiy. Abu Dawud berkata “guru-guru Hariiz semuanya tsiqat”. Ahmad bin Hanbal berkata “tsiqat tsiqat”. Yahya bin Ma’in berkata “tsiqat”. Duhaim menyatakan ia baik sanadnya shahih haditsnya dan tsiqat [Tahdzib At Tahdzib juz 2 no 436]

3] Salman bin Sumair Asy Syammiy. Ibnu Hibban memasukkannya dalam Ats Tsiqat. Ia termasuk guru Hariiz dan Abu Dawud mengatakan bahwa semua guru Hariiz tsiqat. [Tahdzib At Tahdzib juz 4 no 230]. Ibnu Hajar berkata “maqbul” [Taqrib At Tahdzib 1/374]. Pendapat yang rajih ia seorang yang tsiqat berdasarkan apa yang disebutkan Abu Dawud dan Al Ijliy berkata “tabiin syam yang tsiqat” [Ma’rifat Ats Tsiqat no 651].

Lafaz “يَعْنِي بِالْكُوبَةِ النَّرِدُ” [Kuubah yang dimaksud adalah dadu] bisa jadi berasal dari para perawi sanad tersebut termasuk Al Bukhariy. Hanya saja kami tidak menemukan qarinah kuat yang menunjukkan milik siapa lafaz tersebut. Tetapi riwayat tersebut sangat bersesuaian dengan hadits Nabi dalam Shahih Muslim berikut ini :

Dari Sulaiman bin Buraidah dari Ayahnya bahwasanya Nabi bersabda

" مَنْ لَعِبَ بِالنَّرْدَشِيرِ فَكَأَنَّمَا صَبَغَ يَدَهُ فِي لَحْمِ خِنْزِيرٍ وَدَمِهِ ".

 “Barang siapa yang bermain dadu maka ia seperti mencelupkan tangannya dalam daging babi dan darahnya” [Lihat : Shahih Muslim 4/1770 no 2260]

Maka nampak bahwa makna Al-Kuubah dalam riwayat Fadhalah bin ‘Ubaid tersebut adalah An-Nardu yaitu dadu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tafsir Al-Kuubah sebagai dadu sudah dikenal di masa sahabat Nabi .

Berdasarkan hal ini maka kami menilai pendapat yang lebih rajih adalah yang menyatakan bahwa makna Al-Kuubah adalah dadu [yang dipakai dalam perjudian]. Terbukti bahwa penafsiran tersebut sudah dikenal di masa sahabat sedangkan penafsiran Al-Kuubah adalah bermakna gendang , maka itu berasal dari para perawi hadits yang hidup jauh setelah masa sahabat Nabi .

Kesimpulan  : Hadits pengharaman Al-Kuubah adalah hadits yang shahih hanya saja tidak tepat jika hadits tersebut dijadikan hujjah untuk mengharamkan musik atau alat musik [yaitu gendang]. Pendapat yang rajih adalah makna Al-Kuubah tersebut adalah An-Nardu yaitu dadu yang sering dipakai dalam perjudian.

PERBEDAAN PENDAPAT 
TENTANG HUKUM MENYANYI DAN BERMAIN MUSIK

Dalam menanggapi dua klasifikasi hadits-hadits diatas , yaitu klasifikasi hadits yang mengisyaratkan kebolehan musik dan nyanyian , dan klasifikasi hadits yang mengisyaratkan haramnya bermain musik dan bernyayi , termasuk melihat dan mendengarkannya, maka dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.

Ada dua pendapat :

PENDAPAT PERTAMA : yang membolehkan musik Rebana dan Nyanyian.

Mereka berkesimpulan sebagai berikut :

Kesimpulan pertama :

Bahwa hadits-hadits tersebut dengan terang menjadi dalil dibolehkannya musik dan nyanyian dalam berbagai kondisi kegembiraan. Dengan merujuk kepada hadits yang sama , yaitu hadits Buraidah  tentang nadzarnya wanita hitam dengan menabuh rebana menjadi dalil kuat bahwa menabuh rebana (bermain alat musik) tidaklah haram; jika benar haram, bagaimana mungkin Rasulullah  membolehkan seseorang bernadzar dengan sesuatu yang haram ?.

Rosulullah melarang nadzar yang haram . Berikut ini contoh hadits yang melarang nadzar yang haram :

Contoh ke 1 : Dalam Shahih Muslim diriwayatkan dari 'Imran bin Hushain (RA) , dia berkata :

وَأُسِرَتِ امْرَأَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ وَأُصِيبَتِ الْعَضْبَاءُ فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ فِي الْوَثَاقِ وَكَانَ الْقَوْمُ يُرِيحُونَ نَعَمَهُمْ بَيْنَ يَدَىْ بُيُوتِهِمْ فَانْفَلَتَتْ ذَاتَ لَيْلَةٍ مِنَ الْوَثَاقِ فَأَتَتِ الإِبِلَ فَجَعَلَتْ إِذَا دَنَتْ مِنَ الْبَعِيرِ رَغَا فَتَتْرُكُهُ حَتَّى تَنْتَهِيَ إِلَى الْعَضْبَاءِ فَلَمْ تَرْغُ قَالَ وَنَاقَةٌ مُنَوَّقَةٌ فَقَعَدَتْ فِي عَجُزِهَا ثُمَّ زَجَرَتْهَا فَانْطَلَقَتْ وَنَذِرُوا بِهَا فَطَلَبُوهَا فَأَعْجَزَتْهُمْ –

قَالَ - وَنَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا فَلَمَّا قَدِمَتِ الْمَدِينَةَ رَآهَا النَّاسُ ‏.‏ فَقَالُوا الْعَضْبَاءُ نَاقَةُ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ‏.‏ فَقَالَتْ إِنَّهَا نَذَرَتْ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا ‏.‏ فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَذَكَرُوا ذَلِكَ لَهُ ‏.‏

فَقَالَ ‏"‏ سُبْحَانَ اللَّهِ بِئْسَمَا جَزَتْهَا نَذَرَتْ لِلَّهِ إِنْ نَجَّاهَا اللَّهُ عَلَيْهَا لَتَنْحَرَنَّهَا لاَ وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةٍ وَلاَ فِيمَا لاَ يَمْلِكُ الْعَبْدُ ‏"‏ ‏.

" Ada seorang wanita Anshar tertawan (para perampok) bersama dengan unta Nabi yang biasa disebut dengan Adhba`, wanita Anshar tersebut dalam keadaan terikat, sedangkan waktu itu orang-orang (para perampok) tengah beristirahat, sementara unta-unta (hasil curian) mereka kandangkan di depan persinggahan-persinggahan mereka.

Kemudian wanita Anshar tersebut dapat melepaskan dari ikatannya, dan segera mendatangi kandang unta, namun setiap kali ia datangi unta untuk dikendarai, unta itu mendengus-dengus, ia pun meninggalkannya hingga ia temui unta 'adlba'. Jadilah ia mengendarai unta penurut yang sudah terlatih itu di bagian belakangnya. Lalu ia menghardiknya hingga berlari kencang.

Orang-orang yang ketiduran pun kaget dengan kaburnya wanita Anshar tersebut, lalu mereka mengejarnya, namun mereka tidak dapat menagkapnya.

Wanita itu sempat bernadzar, bahwa jika Allah menyelamatkannya, maka ia akan sembelih unta 'adhba' itu. Sesampainya di Madinah, orang-orang melihat unta tersebut, lalu mereka berkata, Ini adalah Al Adhba', unta Rasulullah !.

 Wanita itu berkata (dengan redaksi), Apabila Allah menyelamatkannya, sungguh unta tersebut akan disembelihnya. Lalu orang-orang menemui Rasulullah dan memberitahukan kepada beliau tentang nadzarnya.

Maka Rasulullah berkomentar: " Subhanallah, alangkah jahatnya pembalasan ia kepadanya, ia bernadzar kepada Allah apabila Allah menyelamatkannya, maka ia akan menyembelihnya, tidak ada kewajiban melaksanakan nadzar dalam kemaksiatan kepada Allah dan tidak pula terhadap sesuatu yang tidak dimiliki oleh seorang hamba".  [ HR. Muslim no. 3099 ]

Contoh ke 2 : Diriwayatkan dari ‘Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya :

أنَّ امرأةً ، أتتِ النَّبيَّ ﷺ فقالَت : يا رسولَ اللَّهِ ، إنِّي نذَرتُ أن أضربَ على رأسِكَ بالدُّفِّ ، قالَ : أوفي بنذرِكِ قالت : إنِّي نذرتُ أن أذبحَ بمَكانِ كذا وَكَذا ، مَكانٌ كانَ يذبحُ فيهِ أَهْلُ الجاهليَّةِ ، قالَ لصَنمٍ : قالت : لا ، قالَ : لوثَنٍ ، قالت : لا ، قالَ : أوفي بنذرِكِ

“ Bahwa seorang wanita telah datang kepada Nabi dan berkata : “ Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya telah bernadzar untuk menabuh rebana di hadapan anda “.

Beliau berkata: "Penuhi nadzarmu!"

Lalu Ia berkata : “Sesungguhnya saya bernadzar untuk menyembelih hewan di tempat ini dan ini. Yaitu tempat yang dahulu orang-orang Jahiliyah menyembelih di sana .

Beliau bertanya : "Untuk patung?" Ia menjawab ; tidak. Beliau bertanya lagi : "Untuk berhala?" Ia menjawab ; tidak. Beliau   berkata: "Penuhi nadzarmu!".

HR. Abu Dawud (3312) dan Al-Bayhaqi (20596). Syeikh al-Albaani berkata dalam Shahih Abi Daud : “Hasan Shahih”. Dan lihat pula : (إرواء الغليل) (2/213-214 )

Kesimpulan kedua :

Menanggapi hadits-hadits yang mengisyaratkan keharaman musik dan nyayian di atas, maka pihak yang membolehkan memahami bahwa maksud hadits tersebut adalah pemberitahuan nabi akan terjadinya zaman kerusakan umat, dimana orang-orang sudah tidak mempedulikan lagi halal-haram, dan merajalelanya pergaulan bebas dan perzinaan, yang biasanya dibarengi dengan minuman keras, penyanyi atau penari dan musik.

Kesimpulan ketiga :

Al-Kalbaani dalam makalahnya mengatakan :

"وَمِنْ أَكْبَرِ دَلَائِلِ إِبَاحَتِهِ أَنَّهُ مِمَّا كَانَ يَفْعَلُ إِبَّانَ نُزُولِ الْقُرْآنِ، وَتَحْتَ سَمْعِ وَبَصَرِ الْحَبِيبِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَقَرَّهُ، وَأَمَرَ بِهِ، وَسَمِعَهُ، وَحَثَّ عَلَيْهِ، فِي الْأَعْرَاسِ، وَفِي الْأَعْيَادِ."

“Salah satu dalil terbesar dari dibolehkannya adalah bahwa itu adalah apa yang dia lakukan selama turunnya wahyu Al-Qur'an, dan di bawah pendengaran dan penglihatan Nabi yang tercinta, jadi dia menyetujuinya, memerintahkannya, mendengarnya, dan menganjurkannya, di pesta pernikahan dan pada hari raya” .

BANTAHAN :

Perkataan al-Kalbaani di atas dibantah oleh syeikh Sa’ad as-Subai’iy dengan mengatakan :

الجواب: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَخَّصَ بِالْغِنَاءِ بِغَيْرِ الْمَعَازِفِ، بِضَرْبِ الدُّفِّ لِلنِّسَاءِ خَاصَّةً فِي الْعِيدِ، وَعِنْدَ قُدُومِ الْغَائِبِ، وَشَرَّعَهُ فِي الْأَعْرَاسِ كَمَا هُوَ مُبْسُوطٌ فِي مَظَانِّهِ مِنْ كُتُبِ أَهْلِ الْعِلْمِ. فَهُوَ مُسْتَثْنَى مِنْ تَحْرِيمِ الْغِنَاءِ بِالْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ. وَهَذَا لَيْسَ مَحَلاً لِلنِّزَاعِ!

Jawabannya: Nabi , memberikan rukhshoh nyanyian tanpa alat musik, dengan memukul rebana khusus untuk para wanita, terutama pada hari raya Idul Fitri, dan pada saat kedatangan seseorang yg lama tidak berjumpa , dan mensyariatkannya dalam pesta pernikahan, seperti yang dijelaskan dalam referensi-referensi dari kitab-kitab para ulama. Maka yang ini dikecualikan dari larangan bernyanyi dengan alat-alat musik dan seruling. Kalau yang ini bukan masalah yang diperselisihkan !

JAWABAN :

Justru, Suara wanita dan penampilan fisiknya jauh lebih menimbulkan fitnah dan jauh lebih menggoda dari pada suara dan fisik lelaki . Maka diperbolehkannya bagi lelaki itu masuk dalam katagori Qiyas Awlaa [ analogi yang lebih utama diperbolehkannya].

Kemudian dianalogikan kepada hukum haramnya minuman keras . Sedikit dan banyak nya sama saja haram hukumnya . Dan hukumnya berlaku bagi pria dan wanita . Dengan demikian jika musik dan nyanyian itu diharamkan , maka diharamkan pula dalam pernikahan dan yang semisalnya . Begitu juga dengan haramnya zina dan mendekati perbuatan zina .

PENDAPAT KEDUA : yang mengharamkan musik dan nyanyian .

Mereka berkesimpulan bahwa hadits-hadits tersebut menjadi dalil dibolehkannya musik dan nyanyian hanya dalam momen-momen tertentu, yakni: menyambut tamu, pernikahan [walimahan], hari raya, dan kondisi tertentu [kejadian khusus (waqi’) yang terbatas ] dengan merujuk pada hadits Buraidah tentang pelaksanaan nadzar seorang wanita hitam dengan menabuh rebana .

Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Yang tertutup dari dua sisi dinamakan gendang, itu yang tidak dibolehkan. Karena ia termasuk alat nyanyian. Sementara semua bentuk nyanyian musik itu haram, kecuali ada dalil yang membolehkannya, yaitu rebana dalam acara resepsi pernikahan.” (Fatawa Islamiyah, 3/186).

Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, “Kalau gendang tidak dibolehkan memukulnya dalam pernikahan, cukup dengan rebana saja.” (Fatawa Islamiyah, 3/185).

Fatwa para mufti Lajnah Daimah di Arab Saudi , berkata, “Adapun gendang dan semisalnya dari peralatan musik yang dipukul, tidak dibolehkan mempergunakannya sebagai pengiring nasyid ini. Karena Nabi dan para shahabatnya (r.a) tidak pernah melakukan hal itu.” (Fatawa no. 3259. Tanggal 13/10/1400 H)

LALU BAGAIMANA HUKUM BAGI PRIA MENABUH REBANA DAN BERNYANYI ?

Adapun hukum laki-laki menabuh Rebana pada saat hari raya atau pernikahan, maka ada perselisihan di kalangan para ulama tentang dibolehkannya itu:

Imam Al-Awza'i dan Ahmad berpandangan bahwa hal itu tidak boleh dilakukan untuk laki-laki, dan oleh karena itu Al-Hafiz Ibn Rajab berpendapat tidak boleh, bahkan dia menisbatkannya kepada pendapat mayoritas ulama. Dalam kitabnya “ فتح الباري “ 6/81 Ibnu Rajab berkata :

(جَمْهُورُ الْعُلَمَاءِ عَلَى أَنَّ الضَّرْبَ بِالدُّفِّ لِلْغَنَاءِ لَا يُبَاحُ لِلرِّجَالِ)

“ Jumhur Ulama berpendapat bahwa menabuh Rebana / Rebana tidak boleh bagi kaum pria “.

Al-Hafiz Ibn Hajar juga mengatakannya demikian , dan itu adalah pilihan ulama kami, Syekh Abdul Aziz bin Baz, dan al-‘Allaamah Al-Albani, رحمهم الله.

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni (12/40):

(وَأَمَّا الضَّرْبُ بِهِ لِلرِّجَالِ فَمَكْرُوهٌ وَعَلَى كُلِّ حَالٍ لِأَنَّهُ إِنَّمَا كَانَ يُضْرَبُ بِهِ النِّسَاءُ وَالْمُخَنَّثُونَ الْمُتَشَبِّهُونَ بِهِنَّ فَفِي ضَرْبِ الرِّجَالِ تَشَبُّهٌ بِالنِّسَاءِ وَقَدْ لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ)

“Adapun laki-laki menabuh Rebana, itu makruh , dan bagaimanapun juga, karena biasanya yang menabuh Rebana itu adalah kaum wanita dan kaum waria yang menyerupai mereka. Maka jika yang menabuhnya itu kaum pria berarti mereka bertasyabbuh dengan kaum wanita. Sementara Rosulullah telah mengutuk para kaum pria yang bertasyabbuh dengan kaum wanita .

Dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya al-Fataawa (13/198) berkata:

"وَأَمَّا الرِّجَالُ عَلَى عَهْدِهِ فَلَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنْهُمْ يَضْرِبُ بِدُفٍّ وَلَا يُصَفِّقُ بِكَفِّ"

“Adapun kaum pria pada masanya, tidak ada seorangpun dari mereka yang memukul rebana ataupun bertepuk tangan:

Al-Hadidz Ibnu Hajar berkata dalam kitabnya Fath al-Bari (9/226):

" وَالْأَحَادِيثُ الْقَوِيَّةُ فِيهَا الْإِذْنُ فِي ذَلِكَ لِلنِّسَاءِ فَلَا يَلْتَحِقُ بِهِنَّ الرِّجَالُ لِعُمُومِ النَّهْيِ عَنِ التَّشَبُّه بِهن".

“Hadits-hadits yang kuat hanya memberikan ijin kepada kaum wanita untuk melakukannya, jadi kaum pria hukumnya tidak boleh diikut sertakan dengan hukum mereka karena adanya larangan umum untuk menyerupai mereka”.

YANG DISEPAKATI OLEH DUA KELOMPOK YANG BERBEDA PENDAPAT :

Kesepakatan antara Pihak yang Membolehkan dan Mengharamkan Musik dan Nyanyian

Kedua belah pihak sepakat bahwa musik-musik yang dibarengi dengan kegiatan yang haram, seperti mabuk, atau tarian wanita di depan laki-laki non mahram,  atau untuk mengiringi  syair-syair cabul, adalah haram, dan inilah mayoritas musik dan lagu yang ada saat ini.

PERNYATAAN IBNU QUDDAAMAH :

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:

وَعَلَى كُلِّ حَالٍ مَنِ اتَّخَذَ الْغِنَاءَ صِنَاعَةً يُؤْتَى لَهُ وَيَأْتِي لَهُ أَوِ اتَّخَذَ غُلَامًا أَوْ جَارِيَةً مُغَنِّيَيْنَ يَجْمَعُ عَلَيْهِمَا النَّاسُ: فَلَا شَهَادَةَ لَهُ؛ لِأَنَّ هَذَا عِنْدَ مَنْ لَمْ يُحَرِّمْهُ سُفَهٌ وَدُنَاءَةٌ وَسُقُوطُ مُرُوءَةٍ، وَمَنْ حَرَّمَهُ فَهُوَ مَعَ سُفَهِهِ عَاصٌ مُصِرٌّ مُتَظَاهِرٌ بِفُسُوقِهِ، وَبِهَذَا قَالَ الشَّافِعِيُّ، وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ".

"Kesimpulannya , bagi siapa yang menjadikan nyanyian sebagai profesi dan orang datang kepadanya atau dia diundang, atau ia memiliki budak laki-laki atau budak perempuan yang menyanyi dan orang-orang berkumpul untuk keduanya, maka dia tidak bisa dijadikan saksi dalam segala perkara . Karena perbuatan ini, di mata orang yang tidak mengharamkannya, adalah kedunguan, kehinaan, dan kehilangan kehormatan. Dan dimata orang yang mengharamkannya, maka dia dengan kebodohannya, dia juga adalah orang yang berdosa, menjalankan maksiatnya secara terang-terangan. Inilah pendapat yang dikatakan oleh Imam Asy-Syafi'i dan para ahli logika ( Ash-haabur ro’yi) ." [Al-Mughni, 12/42].

PERNYATAAN AL-HAFIDZ IBNU RAJAB :

Tentang tahapan seni bernyanyi saat kedatangan Islam , penjelasannya cukup diwakili oleh al-Hafidz al-Muhaddits , Ibnu Rajab - semoga Allah merahmatinya - yang menyatakan:

" وَلَا رَيْبَ أَنَّ الْعَرَبَ كَانَ لَهُمْ غِنَاءٌ يَتَغَنَّوْنَ بِهِ، وَكَانَ لَهُمْ دُفُوفٌ يَضْرِبُونَ بِهَا، وَكَانَ غِنَاؤُهُمْ بِأَشْعَارِ الْجَاهِلِيَّةِ مِنْ ذِكْرِ الْحَرُوبِ وَنَدْبِ مَنْ قُتِلَ فِيهَا، وَكَانَتْ دُفُوفُهُمْ مِثْلَ الْغُرَابِيلِ، لَيْسَ فِيهَا جَلَاجِلُ، كَمَا فِي حَدِيثِ عَائِشَةَ، عَنِ النَّبِيِّ - ﷺ -: "أَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ" خَرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ، بِإِسْنَادٍ فِيهِ ضَعْفٌ".

"Tidak diragukan lagi bahwa orang Arab memiliki seni bernyanyi yang mereka nikmati, dan mereka memiliki alat musik Rebana [perkusi] yang mereka mainkan. Nyanyian mereka biasanya berdasarkan syair zaman Jahiliyah yang menyebutkan tentang peperangan dan meratapi mereka yang tewas dalam pertempuran. Alat musik Rebana [perkusi] mereka seperti tanah liat yang digunakan untuk menghaluskan tepung, tanpa ada jingling di dalamnya, seperti yang disebutkan dalam hadits Aisyah dari Nabi - shallallahu ‘alaihi wa sallam -:

"أَعْلِنُوا النِّكَاحَ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالْغِرْبَالِ"

"Umumkanlah pernikahan ini, dan tabuhlah rebana".

Hadits ini diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad yang lemah."

Lalu Al-Hafidz Ibn Rajab berkata dalam Fath al-Bari (6/78):

"فَكَانَ النَّبِيُّ يُرْخِصُ لَهُمْ فِي أَوْقَاتِ الْأَفْرَاحِ، كَالْأَعْيَادِ وَالنِّكَاحِ وَقُدُوْمِ الْغَيْبِ فِي الضَّرْبِ لِلْجَوَارِيِّ بِالدُّفُوفِ، وَالتَّغْنِي مَعَ ذَلِكَ بِهَذِهِ الْأَشْعَارِ، وَمَا كَانَ فِي مَعْنَاهَا .

فَلَمَّا فُتِحَتْ بِلَادُ فَارِسٍ وَالرُّومِ ظَهَرَ لِلصَّحَابَةِ مَا كَانَ أَهْلُ فَارِسٍ وَالرُّومِ قَدِ اعْتَادُوهُ مِنَ الْغِنَاءِ الْمُلَحَّنِ بِالْإِيقَاعَاتِ الْمَوْزُونَةِ، عَلَى طَرِيقَةِ الْمُوسِيقَى بِالْأَشْعَارِ الَّتِي تُوصَفُ فِيهَا الْمُحَرَّمَاتُ مِنَ الْخُمُورِ وَالصُّوَرِ الْجَمِيلَةِ الْمُثِيرَةِ لِلْهَوَى الْكَامِنِ فِي النُّفُوسِ، الْمَجْبُولِ مَحَبَّتُهُ فِيهَا، بِآلَاتِ اللَّهْوِ الْمُطْرِبَةِ، الْمُخْرِجِ سَمَاعُهَا عَنِ الْاِعْتِدَالِ، فَحِينَئِذٍ أَنْكَرَ الصَّحَابَةُ الْغِنَاءَ وَاسْتِمَاعَهُ، وَنَهَوْا عَنْهُ وَغَلَّظُوا فِيهِ."

“Dulu pada zaman Nabi , beliau mengizinkan mereka pada acar-acara bersuka ria, seperti hari raya , pernikahan dan datangnya orang-orang yang lama pergi dan lama tidak berjumpa , untuk  menabuh rebana oleh para budak perempuan , sambil bernyanyi dengan syair-syair ini, dan apa saja yang semakna dengannya.

Namun setelah terjadinya penaklukan terhadap negri Persia dan Romawi , dari situ nampak lah di mata para sahabat apa yang orang-orang Persia dan Romawi telah terbiasa lakukan, yaitu mereka terbiasa bernyanyi dengan komposer musik yang diiringi oleh irama [ritme] yang teratur, sebagaimana dalam gaya musik dengan syair-syair yang menggambarkan minuman-minuman keras yang diharamkan dan lukisan-lukisan cantik yang membangkitkan hawa nafsu yang tersembunyi di dalam jiwa, yang bawaannya membuat seseorang menyukainya , diiringi dengan alat-alat musik yang berdendang dan menghibur , yang menghasilkan irama suara yang berimbang . Maka sejak itu para Sahabat mengingkari akan bolehnya bernyanyi dan mendengarkannya, dan melarangnya. Bahkan mereka semakin memperkeras larangannya ". [Selesai].

PENULIS KATAKAN : Sehingga Ibnu Mas'ud (ra) berkata :

إِنَّ الْغِنَاءَ يُنْبِتُ النِّفَاقَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ وَإِنَّ الذِّكْرَ يُنْبِتُ الْإِيْمَانَ فِي الْقَلْبِ كَمَا يُنْبِتُ الْمَاءُ الزَّرْعَ

Sesungguhnya nyanyian menumbuhkan kemunafikan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman. Sesungguhnya dzikir menumbuhkan keimanan dalam hati sebagaimana air menumbuhkan tanaman. [Abu Daud no. 4927].

Dalam Faydh al-Qadir: Sebagai komentar terhadap atsar Ibnu Mas’ud ini:

وَهُوَ ضَعِيفٌ، وَقَالَ النَّوَوِيُّ: لَا يَصِحُّ، وَأَقَرَّهُ الزَّرْكُشِيُّ، وَقَالَ الْعَرَاقِيُّ: رَفْعُهُ غَيْرُ صَحِيحٍ؛ لِأَنَّ فِي إِسْنَادِهِ مَنْ لَمْ يُسَمِّ. أهـ.

Ini adalah lemah, dan Imam Nawawi berkata: Tidak sahih. Al-Zarkasyi mengakui kedha’ifannya, dan al-'Iraqi mengatakan: Dinilai tidak sahih karena dalam sanadnya ada orang yang tidak disebutkan namanya. [Selesai]

Al-Albaani dalam Mausuu’ahnya tentang Aqidah menyatakan : bahwa atsar Ibnu Mas’ud ini shahih , lalu ia berkata:

" وَقَدْ رُوِيَ مَرْفُوعًا إِلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وآله وسلم، لَكِنَّ فِي إِسْنَادِهِ كَذَّابٌ؛ وَلِذَلِكَ خَرَجْتُهُ فِي الضَّعِيفَةِ رَقْمَ: 6515". أهـ.

"Atsar ini telah diriwayatkan sebagai marfu' (diriwayatkan langsung) kepada Nabi , namun dalam sanadnya terdapat seorang pendusta. Oleh karena itu, saya mentakhrijnya dalam adh-Dho’ifah dengan nomor: 6515. [Selesai]."

Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata dalam Fath al-Bari (6/78):

وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُمْ فَهِمُوا أَنَّ الْغِنَاءَ الَّذِي رُخِّصَ فِيهِ النَّبِيُّ - ﷺ - لِأَصْحَابِهِ لَمْ يَكُنْ هَذَا الْغِنَاءَ، وَلَا آلَاتُهُ هِيَ هَذِهِ الْآلَاتِ، وَأَنَّهُ إِنَّمَا رُخِّصَ فِيمَا كَانَ فِي عَهْدهُ، مِمَّا يَتَعَارَفُهُ الْعَرَبُ بِآلَاتِهِمْ.

فَأَمَّا غِنَاءُ الْأَعَاجِمِ بِآلَاتِهِمْ فَلَمْ تَتَنَاوَلْهُ الرُّخْصَةُ، وَإِنْ سُمِّيَ غِنَاءً، وَسُمِّيَتْهُ آلَاتُهُ دُفُوفًا فَإِنَّ غِنَاءَ الْأَعَاجِمِ بِآلَاتِهَا يُثِيرُ الْهَوَى، وَيُغَيِّرُ الطَّبَاعَ، وَيَدْعُو إِلَى الْمَعَاصِي، فَهُوَ رُقِيَّةُ الزِّنَا.

Ini menunjukkan bahwa mereka memahami bahwa jenis nyanyian yang diperbolehkan oleh Nabi - - kepada para sahabatnya bukanlah jenis nyanyian ini, dan alat musiknya bukanlah jenis alat musik ini. Yang diperbolehkannya hanyalah untuk alat musik yang ada pada zamannya, yang dikenal oleh orang-orang Arab dengan alat musik mereka.

Adapun nyanyian bangsa asing non-Arab dengan alat musik mereka, tidak ada izin yang mencakupnya, meskipun disebut sebagai nyanyian, dan alat musiknya disebut sebagai alat musik Rebana . Sebab, nyanyian bangsa asing yang non-Arab dengan alat musik mereka bisa membangkitkan hawa nafsu, mengubah karakter, dan mengajak kepada kemaksiatan. Oleh karena itu, maka hal tersebut dianggap sebagai pengantar pada perzinahan [sex bebas].

Lalu Al-Hafidz Ibn Rajab berkata dalam Fath al-Bari (6/78):

وَغِنَاءُ الْأَعْرَابِ الْمُرَخَّصِ فِيهِ، لَيْسَ فِيهِ شَيْءٌ مِنْ هَذِهِ الْمَفَاسِدِ بِالْكُلِّيَّةِ الْبَتَّةِ، فَلَا يَدْخُلُ غِنَاءُ الْأَعَاجِمِ فِي الرُّخْصَةِ لَفْظًا وَلَا مَعْنًى؛ فَإِنَّهُ لَيْسَ هُنَالِكَ نَصٌّ عَنْ الشَّارِعِ بِإِبَاحَةِ مَا يُسَمَّى غِنَاءً وَلَا دُفًّا، وَإِنَّمَا هِيَ قَضَايَا أَعْيَانٍ، وَقَعَ الِاقْرَارُ عَلَيْهَا، وَلَيْسَ لَهَا مِنْ عَمُومِ.

وَلَيْسَ الْغِنَاءُ وَالدُّفُّ الْمُرَخَّصَ فِيهِمَا فِي مَعْنًى مَا فِي غِنَاءِ الْأَعَاجِمِ وَدُفُوفِهَا الْمُصْلَصَّةِ؛ لِأَنَّ غِنَاؤُهُمْ وَدُفُوفُهُمْ تُحَرِّكُ الطَّبَاعَ وَتُهِيجُهَا إِلَى الْمُحَرَّمَاتِ، بِخِلَافِ غِنَاءِ الْأَعْرَابِ، فَمَنْ قَاسَ أَحَدَهُمَا عَلَى الْآخَرِ فَقَدْ أَخْطَأَ أَقْبَحَ الْخَطَأِ، وَقَاسَ مَعَ ظُهُورِ الْفَارِقِ بَيْنَ الْفَرْعِ وَالْأَصْلِ، فَقِيَاسُهُ مِنْ أَفْسَدَ الْقِيَاسِ وَأَبَعَدَهُ عَنِ الصَّوَابِ. أ. هـ

Nyanyian Arab Badui yang diperbolehkan, tidak ada sedikit pun dari keburukan-keburukan yang merusak seperti ini sama sekali. Oleh karena itu, nyanyian bangsa asing non-Arab tidak termasuk dalam rukhshoh [izin] ini, baik secara lafal maupun makna. Tidak ada nash dari hukum Syar’i yang mengizinkan apa yang disebut sebagai nyanyian dan tidak ada izin untuk alat musik Rebana [perkusi]. Ini adalah masalah-masalah yang berhubungan dengan kebiasaan masyarakat tertentu , yang telah diakui keberadaannya, dan tidak ada ketentuan hukum syar’i yang menunjukkan izin secara umum.

Nyanyian dan alat musik Rebana yang diizinkan di kalangan orang Arab tidak memiliki makna yang sama dengan nyanyian bangsa asing non-Arab dan Rebana mereka yang penuh variasi musik. Sebab, nyanyian dan alat musik Rebana mereka itu merangsang tabiat dan mendorong kepada hal-hal yang diharamkan, berbeda dengan nyanyian orang Arab Badui .

Barang siapa yang menyamakan salah satu di antaranya dengan yang lainnya, maka dia telah melakukan kesalahan yang sangat besar ; karena dia membuat perbandingan antara cabang dan pokok yang salah dan berbeda . Dan perbandingan semacam itu adalah perbandingan yang paling buruk, keliru dan jauh dari kebenaran. [Selesai].

Lalu Al-Hafidz Ibn Rajab berkata dalam Fath al-Bari (6/78):

وَأَمَّا اسْتِمَاعُ آلَاتِ الْمَلَاهِي الْمُطْرِبَةِ الْمُتَلَّقَاةِ مِنْ وَضْعِ الْأَعَاجِمِ، فَمُحَرَّمٌ مُجْمَعٌ عَلَى تَحْرِيمِهِ، وَلَا يَعْلَمُ عَنْ أَحَدٍ مِنْهُ الرُّخْصَةَ فِي شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ، وَمَنْ نَقَلَ الرُّخْصَةَ فِيهِ عَنْ إِمَامٍ يُعْتَدُّ بِهِ فَقَدْ كَذَبَ وَافْتَرَى.

""Adapun mendengarkan alat-alat musik hiburan yang berdendang dimainkan oleh para pemusik yang berasal dari budaya asing non arab , maka itu diharamkan dan telah berlaku Ijma’ atas keharamannya. Dan tidak diketahui jika ada satu orang ulama pun yang membolehkan  dari semua itu. Dan siapa pun yang menukil pendapat yang membolehkannya dari seorang imam yang dapat dipercaya , maka dia dianggapnya telah berdusta dan mengada-ada ".


  

Posting Komentar

0 Komentar