Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM ZAKAT HARTA YANG DIHUTANGKAN KE ORANG LAIN

HUKUM ZAKAT HARTA YANG DIHUTANG OLEH ORANG LAIN

Di Tulis Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM


*****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Allah SWT berfirman :

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka” (QS. At Taubah: 103).

Dalam hadits Ibnu ‘Abbas disebutkan bahwa Rasulullah berpesan kepada Mu’adz dengan mengatakan :

أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِى أَمْوَالِهِمْ

“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan zakat pada mereka yang diambil dari harta mereka” (HR. Bukhari, no. 1395; Muslim, no. 19).

Lalu bagaimanakah dengan harta yang dihutangkan pada orang lain? Apakah wajib dizakati?

Yang dimaksud dengan pembahasan zakat harta yang dihutangkan di sini adalah harta milik pemberi hutang atau pinjaman [kreditur] yang diserahkan kepada penerima hutang atau peminjam [debitur].

Debitur [penerima hutang] dan kreditur [pemberi hutang] merupakan dua pihak yang saling terkait dalam perjanjian pinjam meminjam atau hutang piutang atau transaksi keuangan lainnya

Debitur adalah pihak yang meminjam uang atau pihak yang memiliki kewajiban membayar utang, sedangkan kreditur menjadi pihak yang memberikan pinjaman atau memiliki klaim terhadap pihak lain.

Ada dua macam hutang :

Utang [ad-Dain] dapat dibagi berdasarkan waktu pembayarannya menjadi dua bagian:

Pertama : Utang spontan [ad-Dain al-Haal (الدَّيْنُ الحَال)] 

KeduaUtang tempo [ad-Dain al-Mu’ajjal (الدَّيْنُ المُؤَجَّل)].

Yang dimaksud dengan utang spontan [ad-Dain al-Haal (الدَّيْنُ الحَال)] adalah hutang yang waktu penagihannya tidak terikat oleh masa tempo . Maka pihak pemberi hutang [kreditur] berhak meminta kembali kapan saja harta yang dipinjamkan kepada penerima hutang [debitur] .  Yang berarti bahwa peminjam harus siap membayarnya kapan saja .

Sedangkan utang tempo [ad-Dain al-Mu’ajjal (الدَّيْنُ المُؤَجَّل)] adalah yang pembayarannya ditunda sesuai dengan tempo yang telah disepakati antara kreditur dan debitur .

Ini berarti bahwa pembayaran hutang jenis ini tidak wajib dilakukan secara segera melainkan ditunda hingga jatuh tempo. Utang tempo , pembayaranyya bisa terstruktur atau tidak terstruktur, yang terstruktur pembayarannya bisa dengan cara cicilan atau dengan cara sekaligus saat jatug tempo yang ditentukan. Sedangkan yang tidak terstruktur tidak terikat dengan cara pembayaran cicilan dan tidak terikat dengan jatuh tempo yang ditentukan.

إِنَّ الدَّيْنَ الحَالَ يَجُوْزُ المُطَالَبَةُ بِوَفَائِهِ فِي الحَالِ.

"Utang spontan [ad-Dain al-Haal (الدَّيْنُ الحَال)], boleh ditagih untuk dibayar saat itu juga“.

MACAM-MACAM KONDISI DEBITUR SAAT DITAGIH HUTANG DAN DAMPAK HUKUMNYA

Harta milik seorang Muslim [Kreditur Muslim] yang dihutangkan kepada orang lain [Debitur Muslim] tidak lepas dari salah satu dari dua kondisi debitur berikut:

Kondisi Debitur Yang pertama: Debitur yang mengakui hutangnya, mengakui nilainya, dan dia selalu siap untuk membayarnya kapan saja .

Kondisi Debitur Yang Kedua: Debitur yang mengakuinya, akan tetapi dia terkena pailit [bangkrut usahanya], atau menunda-nunda pembayaran, atau orang yang mengingkarinya.

Dalam kondisi debitur yang pertama:

Kreditur [pemberi hutang] wajib membayar zakat harta yang ada pada debitur [penerima hutang] dengan menambahkannya pada semua harta yang dimilikinya, maka kreditur berkewajiban bayar zakat atas seluruh hartanya, dan itu adalah pada setiap tahun, meskipun dia tidak menerimanya dari debitur [orang yang berhutang]. Karena harta yang dihutangkannya itu ibarat titipan atau amanah, namun diperbolehkan baginya untuk menunda pembayaran zakat harta yang dihutangkan tersebut sampai ia menerimanya, dan membayar semua zakatnya selama beberapa tahun yang telah lewat.

Dalam kondisi debitur yang kedua :

Tidak ada zakat yang wajib dikeluarkan. Namun, jika debitur [penerima utang] itu membayar utang tersebut, maka lebih baik bagi kreditur untuk membayar zakat atasnya selama satu tahun, meskipun harta tersebut tinggal bersama debitur yang pailit, menunda pembayaran, atau menolak untuk membayar selama beberapa tahun.

Inilah ringkasan ucapan-ucapan para ulama yang paling shahih mengenai masalah ini, dan terdapat perbedaan pendapat di antara mereka mengenai masalah yang kami sebutkan.

KUMPULAN FATWA :

Berikut ini adalah paparan singkat paerktaan para ulama mengenai masalah zakat harta yang dihutangkan:

PERTAMA : FATWA SYEKH BIN BAAZ -rahimahullaah-:

السُّؤَالُ: يَسْأَلُ سَمَاحَتَكُمْ سُؤَالًا آخَرَ فَيَقُولُ: مَا الرَّأْيُ فِي الدَّيْنِ الَّذِي يَمْضِي عَلَيْهِ الْحَوْلُ وَهُوَ عِنْدَ الْمَدِينِ وَلَمْ أَسْتَلِمْ، هَلْ أُخْرِجُ الزَّكَاةَ أَمْ كَيْفَ أَتَصَرَّفُ جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا؟

الْجَوَابُ: إِذَا كَانَ الدَّيْنُ عَلَى إِنْسَانٍ مُعْسِرٍ، فَلَا زَكَاةَ فِيهِ حَتَّى تَقْبَضَهُ، وَهَكَذَا لَوْ كَانَ الدَّيْنُ عَلَى إِنْسَانٍ مُمَاطِلٍ، تَطْلُبُهُ الْحَقُّ وَلَا يُعْطِيكَ، فَإِنَّهُ لَا زَكَاةَ عَلَيْكَ حَتَّى تَقْبَضَهُ وَتَسْتَقْبِلَ بِهِ عَامًا جَدِيدًا، أَمَّا إِذَا كَانَ الدَّيْنُ عَلَى إِنْسَانٍ مَلِيءٍ غَيْرَ مُمَاطِلٍ مَتَى طَلَبْتَهُ أَعْطَاكَ فَإِنَّ الْوَاجِبَ عَلَيْكَ الزَّكَاةَ، مَتَى تَمَّ الْحَوْلُ عَلَيْكَ أَنْ تُزَكِّيَ وَلَوْ مَا قَبَضْتَهُ؛ لِأَنَّهُ كَالَّذِي عِنْدَكَ، مَا دَامَ عِنْدَ إِنْسَانٍ مَلِيءٍ غَيْرَ مُمَاطِلٍ، فَهُوَ كَالَّذِي عِنْدَكَ فِيهِ الزَّكَاةُ مَتَى تَمَّ عَلَيْهِ الْحَوْلُ.

Pertanyaan:

Saya ingin bertanya pertanyaan lain, apa pendapat tentang utang yang telah berlalu setahun dan masih berada pada peminjam, tetapi saya belum menerimanya. Apakah saya harus membayar zakat atau bagaimana seharusnya saya bertindak? Semoga Allah memberi balasan yang baik kepada Anda.

Jawaban:

Jika utang tersebut pada seseorang yang kesulitan membayar, maka tidak ada zakat yang wajib dibayarkan atasnya sampai Anda menerimanya. Demikian pula jika utang tersebut pada seseorang yang menunda-nunda pembayaran, hak Anda untuk mengambilnya tetapi dia tidak memberikannya, maka tidak ada zakat yang harus Anda bayarkan sampai Anda menerima utang tersebut dan masuk ke tahun baru.

Namun, jika utang tersebut pada seseorang yang mampu membayar dan ketika Anda memintanya, dia memberikannya kepada Anda, maka Anda wajib membayar zakatnya. Ketika satu tahun telah berlalu, maka Anda harus membayar zakat, bahkan jika Anda belum menerima utang tersebut; karena utang tersebut seperti memiliki harta yang telah Anda miliki, selama utang tersebut pada seseorang yang mampu membayar dan tidak menunda-nunda pembayarannya, maka zakat harus dibayar ketika setahun telah berlalu atas utang tersebut.

Sumber : Nurun ‘Ala ad-Darb [حكم إخرج الدائن زكاة ماله الذي عند المدين]

Dalam kesempatan lain Syeikh Bin Baaz di tanya :

السؤال: كَيْفَ تُخْرِجُ الزَّكَاةَ مِمَّا يَأْتِي: أَمْوَالِي التِّي فِي ذِمَّةِ الْغَيْرِ كَالدُّيونِ وَلَمْ أَسْتَلِمْهَا، وَمَضَى عَلَى بَعْضِهَا أَرْبَعَ سِنِينَ فَأَكْثَرَ؟

الجَوَابُ: إذَا كَانَتْ الدُّيُوْنُ عَلَى أَمْلِيَاءَ مَتَى طَلَبْتَهَا أَخَذْتَهَا فَعَلَيْكَ أَنْ تُزَكِّيَهَا كُلَّ عَامٍ، بِهَذَا الشَّرْطِ إذَا كَانَتْ عَلَى أَمْلِيَاءَ بَاذِلِينَ مَتَى أَرَدْتَ أَخَذَهَا سَلَّمُوهَا لَكَ، فَإِنَّهَا كَالْأَمَانَةِ عِنْدَهُمْ، فَعَلَيْكَ أَنْ تُزَكِّهَا كُلَّ عَامٍ، أَمَّا إِنْ كَانَتْ الدُّيونُ عِنْدَ أَنَاسٍ مُعْسِرِينَ أَوْ مُمَاطِلِينَ لَا يَحْصُلُونَ الْمَالَ إلَّا بِتَعَبٍ كَبِيرٍ، إِذَا أَرَدْتَهُ لَا يُعْطُونَكَ إِيَّاهُ إلَّا بِتَعَبٍ وَمُتَابِعَتِهِمْ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنَّهُ لَا تَجِبُ الزَّكَاةُ، لَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي هَذِهِ الْأَمْوَالِ؛ لِأَنَّهَا لَيْسَتْ فِي قَبْضَتِكَ، وَلَيْسَتْ فِي تَصَرُّفِكَ، فَإِذَا قَبِضْتَهَا أَدَيْتَ عَنْهَا الزَّكَاةَ مُسْتَقْبَلًا، وَإِنْ زَكَّيْتَ عَنْهَا عَامًا وَاحِدًا كَمَا قَالَهُ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فَحَسَنٌ، لَكِنْ لَيْسَ بِوَاجِبٍ، وَإِنَّمَا الْوَاجِبُ أَنْ تُزَكِّيَ عَنْهَا مُسْتَقْبَلًا إذَا حَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ بَعْدَ قَبْضِكَ إيَّاهَا.

فَالْحَاصِلُ أَنَّ الْمَدِينِينَ أَقْسَامٌ ثَلَاثَةٌ:

1. مُلِءَ بَاذِلٌ، هَذَا عَلَيْكَ أَنْ تُؤَدِّيَ زَكَاةَ الْمَالِ الَّذِي عِنْدَهُ؛ لِأَنَّهُ كَالْأَمَانَةِ.

2. الثَّانِي: مَدِينٌ مُعَسِّرٌ، فَهَذَا لَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِي الْمَالِ الَّذِي عِنْدَهُ حَتَّى يُسَلِّمَهُ لَكَ، وَحَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ بَعْدَ قَبْضِهِ.

3. الثَّالِثُ: مَدِينٌ مُمَاطِلٌ، لَا يَحْصُلُ مِنْهُ الْمَالُ إلَّا بِالتَّعَبِ وَالْمُتَابَعَةِ، فَهَذَا لَا يَحْكُمُ عَلَى الْمَالِ الَّذِي عِنْدَهُ بِأَنَّهُ كَالْمَالِ الَّذِي عِنْدَكَ، لَا، لَا تَلْزَمُكَ الزَّكَاةُ حَتَّى تَقْبِضَهُ؛ لِأَنَّ بَعْضَ الْمُمَاطِلِينَ قَدْ يَكُونُ أَشَدَّ مِنَ الْمُعْسِرِينَ، وَمَا عِنْدَهُمْ أَبْعَدُ مِمَّا عِنْدَ الْمُعْسِرِينَ. نَعَمْ.

Pertanyaan:

Bagaimana cara mengeluarkan zakat dari hal-hal berikut ini: Harta saya yang berada dalam tanggungan orang lain seperti utang dan belum saya terima, dan sudah lebih dari empat tahun?

Jawaban:

Jika utang tersebut kepada orang yang mampu bayar, dan kapan pun Anda meminta, mereka memberikannya kepada Anda, maka Anda harus mengeluarkan zakat setiap tahun.

Dalam kondisi ini, jika utang kepada orang yang mampu membayar,  kapan pun Anda ingin mengambilnya, mereka siap memberikannya kepada Anda, karena itu merupakan titipan amanah bagi mereka, maka Anda harus mengeluarkan zakat setiap tahun.

Namun, jika utang itu kepada orang yang sulit bayar atau enggan membayar, dan mereka hanya mau membayar utang setelah upaya besar , yang mana jika Anda menginginkannya, mereka tidak memberikannya kepada Anda kecuali dengan upaya dan pengejaran yang besar dan sejenisnya, maka tidak wajib zakat. Zakat tidak wajib atas harta tersebut karena tidak berada dalam kendali Anda dan tidak dalam penguasaan Anda. Jika Anda menerima uang tersebut, maka Anda akan membayar zakat untuknya di masa mendatang . Jika Anda mau mengeluarkan zakat untuknya selama satu tahun, seperti yang dikatakan sebagian para ulama, maka itu baik, tetapi bukan kewajiban. Yang wajib hanyalah Anda mengeluarkan zakat untuknya di masa yang akan datang jika Anda telah menerima pembayarannya, yaitu untuk tahun berikutnya setelah memenuhi syarat pembayaran zakat.

Kesimpulannya : adalah bahwa para penerima hutang [debitur] terbagi menjadi tiga jenis:

1. Debitur yang mampu dan siap membayar. Maka Anda wajib membayar zakat atas uang yang ada pada debitur , karena itu seperti titipan amanah.

2. Debitur yang sulit membayar. Maka Anda tidak diwajibkan zakat atas harta yang ada padanya sampai dia mengembalikannya kepada Anda, dan bayar zakatnya setelah berlalu satu haul [setahun berlalu] sejak Anda menerimanya.

3. Debitur yang enggan membayar, yang pembayaran hutangnya hanya bisa diperoleh melalui usaha yang keras dan pengejaran. Maka harta yang ada pada debitur tersebut tidak dihukumi seperti harta Anda sendiri, tidak sama sekali, maka Anda tidak diwajibkan membayar zakat sampai Anda menerima pembayaran darinya, karena sebagian orang yang enggan membayar hutang kadang lebih sulit daripada orang-orang yang pailit, dan apa yang mereka miliki jauh lebih sulit dijangkau daripada orang-orang yang terkena pailit. Ya.

Sumber : Nurun ‘ala ad-Darb [كيفية زكاة الدائن عن ماله المدان]

FATWA SYEKH MUHAMMAD BIN SALEH AL-UTSAIMIN.

Syekh Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin rahimahullah berkata setelah menyampaikan pernyataan tentang masalah ini:

وَالصَّحِيحُ: أَنَّهُ تَجِبُ الزَّكَاةُ فِيهِ كُلَّ سَنَةٍ، إذَا كَانَ عَلَى غَنِيٍّ بَاذِلٍ؛ لأَنَّهُ فِي حُكْمِ الْمَوْجُودِ عِنْدَكَ؛ وَلَكِنْ يُؤَدِّيهَا إذَا قُبِضَ الدَّيْنُ، وَإِنْ شَاءَ أَدَّى زَكَاتَهُ مَعَ زَكَاةِ مَالِهِ، وَالْأَوَّلُ: رُخْصَةٌ، وَالثَّانِي: فَضِيلَةٌ، وَأَسْرَعُ فِي إبْرَاءِ الذَّمَّةِ.

أَمَّا إذَا كَانَ عَلَى مُمَاطِلٍ، أَوْ مُعْسِرٍ: فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ، وَلَوْ بَقِيَ عَشْرَ سِنِينَ؛ لأَنَّهُ عَاجِزٌ عَنْهَا، وَلَكِنْ إذَا قُبِضَهُ: يُزَكِّيهِ مَرَّةً وَاحِدَةً فِي سَنَةِ الْقَبْضِ فَقَطَّ، وَلَا يَلْزَمُهُ زَكَاةُ مَا مَضَى. وَهَذَا الْقَوْلُ قَدْ ذَكَرَهُ الشَّيْخُ الْعَنْقَرِيُّ فِي حَاشِيَّتِهِ عَنْ شَيْخِ الْإِسْلَامِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الْوَهَّابِ، وَأَحْفَادِهِ، رَحِمَهُمُ اللَّهُ، وَهُوَ مَذْهَبُ الْإِمَامِ مَالِكٍ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَهَذَا هُوَ الرَّاجِحُ؛ لِمَا يَلِي:

أولاً: أَنَّهُ يُشْبِهُ الثَّمَرَةَ التِّي يَجِبُ إخْرَاجُ زَكَاتِهَا عِنْدَ الْحُصُولِ عَلَيْهَا، وَالْأُجْرَةُ، الَّتِي اخْتَارَ شَيْخُ الْإِسْلَامِ وُجُوبَ الزَّكَاةِ فِيهَا حِينَ الْقَبْضِ، وَلَوْ لَمْ يَتَمَّ عَلَيْهَا حَوْلٌ.

ثانياً: أَنَّ مِنْ شَرْطِ وُجُوبِ الزَّكَاةِ: الْقُدْرَةُ عَلَى الْأَدَاءِ، فَمَتَى قَدِرَ عَلَى الْأَدَاءِ: زَكَّى.

ثالثاً: أَنَّهُ قَدْ يَكُونُ مَضَى عَلَى الْمَالِ أَشْهُرًا مِنَ السَّنَةِ قَبْلَ أَنْ يُخْرِجَهُ دَيْنًا.

رَابِعًا: أَنَّ إِسْقَاطَ الزَّكَاةِ عَنْهُ لِمَا مَضَى، وَوُجُوبَ إِخْرَاجِهَا لِسَنَةِ الْقَبْضِ فَقَطَّ: فِيهِ تَيْسِيرٌ عَلَى الْمَالِكِ؛ إذْ كَيْفَ نُوجِبُ عَلَيْهِ الزَّكَاةَ مَعَ وُجُوبِ إِنْظَارِ الْمُعَسِّرِ، وَفِيهِ أَيْضًا تَيْسِيرٌ عَلَى الْمُعْسِرِ؛ وَذَلِكَ بِإِنْظَارِهِ.

ومِثْلُ ذَلِكَ: الْمَالُ الْمَدْفُونُ الْمَنْسِيُّ، فَلَوْ أَنَّ شَخْصًا دَفَنَ مَالَهُ خَوْفًا مِنَ السَّرِقَةِ، ثُمَّ نَسِيَهُ: فَيُزَكِّيهِ سَنَةَ عُثُورِهِ عَلَيْهِ فَقَطَّ.

وَكَذَلِكَ الْمَالُ الْمَسْرُوقُ إذا بَقِيَ عِنْدَ السَّارِقِ عِدَّةَ سِنِينَ، ثُمَّ قُدِرَ عَلَيْهِ صَاحِبُهُ: فَيُزَكِّيهِ لِسَنَةٍ وَاحِدَةٍ، كَالدَّيْنِ عَلَى الْمُعَسِّرِ" انْتَهَى

Pendapat yang benar : adalah bahwa zakat wajib atasnya setiap tahun, jika harta itu dihutang oleh orang kaya dan siap bayar, karena sama hukumnya dengan apa yang ada digenggaman Anda, akan tetapi dia membayar zakatnya saat dia menerima pembayaran hutang tersebut, namun jika ia menghendaki, ia boleh mengeluarkan zakatnya beserta zakat hartanya setiap tahun [meski belum dibayar], adapun pembayaran zakat dengan cara yang pertama adalah rukhshoh [kelonggaran]. Dan adapun yang kedua adalah fadhilah [keutamaan], dan ini lebih cepat dalam menunaikan kewajiban.

Namun jika orang yang berhutang itu selalu menunda-nunda pembayaran atau pailit alias bangkrut, maka tidak ada zakat yang wajib dia bayar, meskipun berlangsung selama sepuluh tahun. Karena dia tidak mampu memilikinya kembali sesuai waktu yang ia inginkan, namun ketika dia telah menerima pembayaran: maka dia hanya mengeluarkan zakatnya untuk satu tahun itu saja, dan dia tidak wajib mengeluarkan zakat atas tahun-tahun yang telah berlalu.

Perkataan ini disebutkan oleh Syekh Al-Anqari dalam Hasyiyah [catatan kakinya] atas kitab Syekhul-Islam Muhammad bin Abdul-Wahhab dan anak keturunannya, rahimahumullah. Dan ini adalah madzhab Imam Malik, rahimahumullah.

Dan ini adalah pendapat yang paling benar; dengan alasan yang berikut ini:

Pertama: Ibarat buah-buahan yang wajib dikeluarkan zakatnya ketika telah panen [diperoleh], dan juga upah kerja. Ini yang dipilih oleh Syekhul Islam , yaitu zakatnya wajib dikeluarkan pada saat diterima, meskipun belum berjalan satu haul [setahun].

Kedua: Salah satu syarat wajibnya zakat adalah kemampuan untuk menunaikannya , maka ketika dia telah mampu: dia wajib mengeluarkan zakat.

Ketiga: Dia mungkin telah memiliki harta itu selama berbulan-bulan dalam setahun sebelum dia menyerahkannya kepada orang lain sebagai hutang.

Keempat: Menghapus kewajiban zakat darinya yang telah lalu, dan hanya berkewajiban zakat satu tahun saat menerima pembayaran : Hal ini memberikan kemudahan bagi pemiliknya; Karena bagaimana mungkin kita mewajibkan zakat padanya sementara dalam waktu yang sama dia diperintahkan untuk memperhatikan kondisi orang yang pailit [susah bayar hutang], dan ini juga bisa memberi kemudahan bagi orang yang pailit? Yaitu dengan memberi tangguh waktu pembayaran.

Semisal dengan itu adalah: harta yang ditimbun [dikubur] lalu terlupakan. Jika seseorang menimbun [mengubur] hartanya karena takut dicuri, lalu ia melupakannya: maka ia hanya wajib mengeluarkan zakatnya pada tahun saat ia menemukannya.

Demikian pula jika harta hasil curian itu tetap berada pada pencurinya selama beberapa tahun, kemudian pemiliknya mampu merebutnya kembali dari si pencuri , maka ia hanya wajib mengeluarkan zakatnya selama satu tahun saja , sama seperti utang pada orang yang pailit (bangkrut)”. [Kutipan Selesai . Baca : “Asy-Syarh Al-Mumti’ Ala Zad Al-Mustaqni’” (27/6, 28)].

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA MADZHAB:

Disebutkan dalam “Al-Mawsuu’ah Al-Fiqhiyyah” (23/238, 239):

الدَّيْنُ مَمْلُوكٌ لِلدَّائِنِ، وَلَكِنَّهُ لِكَونِهِ لَيْسَ تَحْتَ يَدِ صَاحِبِهِ: فَقَدْ اخْتَلَفَتْ فِيهِ أَقْوَالُ الْفُقَهَاءِ: فَذَهَبَ ابْنُ عُمَرَ، وَعَائِشَةُ، وَعَكْرَمَةُ مَوْلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ: إِلَى أَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِي الدَّيْنِ، وَوَجْهُهُ: أَنَّهُ غَيْرُ نَامٍ، فَلَمْ تَجِبْ زَكَاتُهُ، كَعُرُوضِ الْقُنِيَّةِ - وَهِيَ الْعُرُوضُ التِّي تُقْتَنَى لِأَجْلِ الْانْتِفَاعِ الشَّخْصِيِّ - .

وَذَهَبَ جُمْهُورُ الْعُلَمَاءِ: إِلَى أَنَّ الدَّيْنَ الْحَالَّ قَسَمَانِ: دَيْنٌ حَالٌ مَرْجُوٌّ الْأَدَاءِ، وَدَيْنٌ حَالٌ غَيْرُ مَرْجُوٌّ الْأَدَاءِ.

فَالدَّيْنُ الْحَالُّ الْمَرْجُوُّ الْأَدَاءُ : هُوَ مَا كَانَ عَلَى مَقَرٍّ بِهِ، بَاذِلٍ لَهُ، وَفِيهِ أَقْوَالٌ: فَمَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ، وَالْحَنَابِلَةِ، وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ: أَنَّ زَكَاتَهُ تَجِبُّ عَلَى صَاحِبِهِ كُلَّ عَامٍ؛ لِأَنَّهُ مَالٌ مَمْلُوكٌ لَهُ، إِلَّا أَنَّهُ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ إِخْرَاجُ الزَّكَاةِ مِنْهُ مَا لَمْ يَقْبَضْهُ، فَإِذَا قَبَضَهُ زَكَاهُ لِكُلِّ مَا مَضَى مِنَ السِّنِينَ.

وَوَجَّهَ هَذَا الْقَوْلَ: أَنَّهُ دَيْنٌ ثَابِتٌ فِي الذَّمَّةِ، فَلَمْ يَلْزَمْهُ الْإِخْرَاجُ قَبْلَ قُبُضِهِ؛ وَلِأَنَّهُ لَا يَنْتَفِعُ بِهِ فِي الْحَالِ، وَلَيْسَ مِنَ الْمُوَاسَاةِ أَنْ يُخْرِجَ زَكَاةَ مَالٍ لَا يَنْتَفِعُ بِهِ، عَلَى أَنَّ الْوَدِيعَةَ الَّتِي يُقَدِّرُ صَاحِبُهَا أَنْ يَأْخُذَهَا فِي أَيِّ وَقْتٍ لَيْسَتْ مِنْ هَذَا النَّوْعِ، بَلْ يَجِبُ إِخْرَاجُ زَكَاتِهَا عِنْدَ الْحَوْلِ.

وَمَذْهَبُ الشَّافِعِيِّ فِي الْأَظْهَرِ، وَحَمَّادُ بْنُ أَبِي سُلَيْمَانَ، وَإِسْحَاقُ، وَأَبِي عُبَيْدٍ: أَنَّهُ يَجِبُ إِخْرَاجُ زَكَاةِ الدَّيْنِ الْمَرْجُوِّ الْأَدَاءِ فِي نِهَايَةِ كُلِّ حَوْلٍ، كَالْمَالِ الَّذِي هُوَ بِيَدِهِ، لِأَنَّهُ قَادِرٌ عَلَى أَخْذِهِ وَالتَّصَرُّفِ فِيهِ.

وَجَعَلَ الْمَالِكِيَّةُ الدَّيْنَ أَنْوَاعًا: فَبَعْضُ الدَّيُونِ يُزَكَّى كُلَّ عَامٍ، وَهِيَ دَيْنُ التَّاجِرِ الْمُدِيرِ [أَيِ الَّذِي يَبِيعُ وَيَشْتَرِي لِلتِّجَارَةِ] عَنْ ثَمَنِ بَضَاعَةٍ تِجَارِيَّةٍ بَاعَهَا.

وَبَعْضُهَا يُزَكَّى لِحَوْلٍ مِنْ أَصْلِهِ لِسَنَةٍ وَاحِدَةٍ عِنْدَ قَبْضِهِ، وَلَوْ أَقَامَ عِنْدَ الْمَدِينِ سِنِينَ، وَهُوَ مَا أَقْرَضَهُ لِغَيْرِهِ مِنْ نَقْدٍ، وَكَذَا ثَمَنُ بِضَاعَةٍ بَاعَهَا مُحْتَكِرٌ.

وَبَعْضُ الدَّيُونِ لَا زَكَاةَ فِيهِ، وَهُوَ مَا لَمْ يَقْبَضَ، مِنْ نَحْوِ هِبَةٍ، أَوْ مَهْرٍ، أَوْ عِوَضِ جِنَايَةٍ.

وَأَمَّا الدَّيْنُ غَيْرُ المَرْجُوِّ الأَدَاءِ: فَهُوَ مَا كَانَ عَلَى مُعْسِرٍ، أَوْ جَاحِدٍ، أَوْ مُمَاطِلٍ، وَفِيهِ مَذَاهِبُ: فَمَذْهَبُ الْحَنَفِيَّةِ فِيهِ، وَهُوَ قَوْلُ قَتَادَةَ وَإِسْحَاقَ، وَأَبِي ثَوْرٍ، وَرِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ، وَقَوْلٌ لِلشَّافِعِيِّ: أَنَّهُ لَا زَكَاةَ فِيهِ؛ لِعَدَمِ تَمَامِ الْمِلْكِ؛ لِأَنَّهُ غَيْرُ مَقْدُورٍ عَلَى الِانْتِفَاعِ بِهِ.

وَالْقَوْلُ الثَّانِي: وَهُوَ قَوْلُ الثَّوْرِيِّ، وَأَبِي عُبَيْدٍ وَرِوَايَةٌ عَنْ أَحْمَدَ، وَقَوْلٌ لِلشَّافِعِيِّ هُوَ الأَظْهَرُ: أَنَّهُ يُزَكِّيهِ إِذَا قُبِضَهُ لِمَا مَضَى مِنَ السِّنِينَ؛ لِمَا رُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي الدَّيْنِ الْمَظْنُونِ: (إِنْ كَانَ صَادِقًا فَلْيُزَكِّهِ إِذَا قَبَضَهُ لِمَا مَضَى).

وَذَهَبَ مَالِكٌ إِلَى أَنَّهُ: يُزَكِّيهِ إِذَا قُبِضَهُ لِعَامٍ وَاحِدٍ وَإِنْ أَقَامَ عِنْدَ الْمَدِينِ أَعْوَامًا، وَهُوَ قَوْلُ عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ، وَالْحَسَنِ وَاللَّيْثِ، وَالأَوْزَاعِي" انتهى باختصار يسير.

Utang itu adalah harta milik pemberi hutang [kreditur], tetapi karena harta tersebut tidak berada di bawah penguasaan pemiliknya, maka para ahli fiqih berbeda pendapat mengenai hal itu:

Pertama : Ibnu Umar, Aisyah, dan Ikrimah mawla Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum, mereka berpandangan bahwa tidak ada zakat atas hutang tersebut, dan alasannya adalah bukan harta yang berkembang belum matang, sehingga tidak wajib zakat atasnya, sebagai al-Quniyyah - yaitu barang-barang yang digunakan untuk keperluan pribadi.

Kedua : Jumhur [Mayoritas] ulama berpendapat bahwa utang al-haal [yakni : utang yang sudah jatuh tempo untuk dibayar] ada dua jenis, yaitu : utang al-Haal yang ada harapan bisa bayar, dan utang al-Haal yang tidak ada harapan untuk dibayar.

Adapun hutang yang ada harapan untuk dibayar saat itu , yaitu hutang yang diakui dan akan dibayar, maka beberapa pendapat di dalamnya :

Pertama : pendapat madzhab Hanafi dan madzhab Hanbali, juga pendapat As-Tsawri: wajib bayar zakat atas pemiliknya untuk setiap tahunnya; Karena itu adalah harta miliknya.

Namun dia tidak wajib mengeluarkan zakatnya, kecuali nanti ketika ia menerima pembayaran dari si penerima hutang . Jika ia telah menerimanya, maka ia harus membayar zakatnya selama tahun-tahun yang telah berlalu.

Alasan pendapat ini adalah karena harta yang dihutangkan tersebut ada dalam tanggungan orang lain, sehingga ia tidak harus membayarnya sebelum menerimanya. Karena dia tidak bisa serta merta manfaatnya, dan tidak ada kelapangan hati jika harus mengeluarkan zakat atas harta yang tidak bisa dimanfaatkan, berbeda dengan harta wadi’ah [titipan] yang dapat diambil oleh pemiliknya sewaktu-waktu, maka hutang piutang itu bukanlah jenis wadi’ah ini,  oleh karena itu zakat wadi’ah [titipan] wajib dibayar pada setiap tahun berjalan.

Kedua : Madzhab Syafi’i yang adzhar , Hammad bin Abi Sulaiman, Ishaq, dan Abi Ubaid, mereka menyatakan : Bahwa zakat wajib dibayarkan atas hutang yang ada harapan bisa dibayar pada setiap akhir tahun, yang seakan-akan seperti uang yang ada di dalam genggaman tangannya, karena dia mampu mengambilnya dan membuangnya.

Ketiga : Madzhab Maliki menggolongkan utang menjadi beberapa jenis :

Ada utang yang wajib dizakati pada setiap tahunnya [oleh penerima hutang/ debitur], dan utang tersebut adalah utang pedagang pengelola transaksi jual beli [yaitu orang yang langsung melakukan transaksi jual dan beli untuk perdagangan]. Jumlah hutang yang harus dizakati olehnya adalah sebesar harga barang dagangan yang dijualnya oleh si pedagang tersebut  .

Sebagian dari hutang tersebut dikenakan zakat selama satu tahun dari nilai aslinya pada saat pembayaran hutang diterima, meskipun bertahun-tahun tinggal pada debitur [penerima hutang], dan itu adalah uang yang dipinjamkan kepada orang lain. Dan begitu pula harga barang yang dijual oleh perusahaan monopoli.

Tidak ada zakat atas beberapa hutang yang belum diterima pengembaliannya , seperti hutang hibah [hadiah], mahar [maskawin], atau ganti rugi kriminal [jinayah atau suatu kejahatan].

Adapun hutang yang tidak ada harapan bisa dibayar :  yaitu hutang yang ada pada orang yang terkena pailit, ingkar, atau suka menunda-nunda ; maka dalam hal ini terdapat beberapa pendapat:

Pendapat Pertama : Madzhab Hanafi mengenai hal itu, yaitu pandangan Qatadah, Ishaq, dan Abu Tsaur, serta riwayat dari Ahmad, dan pendapat Syafi’i : tidak ada zakatnya; Karena kepemilikan yang tidak sempurna ; Karena dia tidak bisa dapat mengambil manfaat darinya.

Pendapat yang kedua: Ini adalah perkataan Al-Tsawri, Abu Ubaid dan riwayat dari Ahmad, dan perkataan Syafi'i yang paling nampak : bahwa ketika dia telah menerima pembayarannya, maka dia wajib membayar zakatnya untuk tahun-tahun yang telah berlalu; Sebagaimana diriwayatkan dari riwayat Ali radhiyallahu 'anhu, dalam hutang yang diperkirakan akan dibayar :

(إِنْ كَانَ صَادِقًا فَلْيُزَكِّهِ إِذَا قَبَضَهُ لِمَا مَضَى).

(Jika dia yang berhutang itu orang yang jujur, maka dia harus membayar zakatnya ketika dia telah menerima pemabayaraan untuk tahun-tahun yang telah berlalu).

Pendapat ketiga : Imam Malik berkata bahwa dia wajib mengeluarkan zakatnya selama satu tahun ketika dia telah menerima pembayaran, meskipun dia tinggal bersama debitur selama bertahun-tahun.Ini pendapat Umar bin Abdul Aziz, Al-Hasan, Al-Layts, dan Al-Awza'i.” [Akhiri kutipan].

  

Posting Komentar

0 Komentar