Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

HUKUM ASURANSI TA’AWUNI (SOSIAL). APAKAH BPJS ADA KESAMAAN DENGAN-NYA?

HUKUM ASURANSI TA’AWUNI (SOSIAL). APAKAH ADA KESAMAAN DENGAN BPJS?

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

----

------

DAFTAR ISI :

  1. DEFINISI ASURANSI
  2. DEFINISI ASURANSI TA’AWUN (ASURANSI SYARI’AH) :
  3. HUKUM ASURANSI TA’AWUN (ASURANSI SYARI’AH)
  4. HUKUM DENDA KETERLAMBATAN BAYAR IURAN ASURANSI TA’AWUN
  5. KUMPULAN FATWA PARA ULAMA KONTEMPORER TENTANG ASURANSI TA’AWUN
  6. PERBEDAAN ANTARA ASURANSI TA’AWUN (SOSIAL) DAN ASURANSI KOMERSIAL
  7. HUKUM ASURANSI KOMERSIAL beserta PEBEDAAN PENDAPAT TENTANG-NYA
  8. ADAKAH KESAMAAN ANTARA ASURANSI TA’AWUN DENGAN BPJS KESEHATAN ?
  9. ASAL ASUL LAHIRNYA DENDA KETERLAMBATAN DALAM BPJS
  10. PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM DENDA KETERLAMBATAN IURAN BPJS

==== 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

 الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِينَ. أَمَّا بَعْدُ:

*****

DEFINISI ASURANSI

Asuransi berasal dari bahasa Belanda yaitu Assurantie yang berarti pertanggungan. Dalam bahasa Inggris asuransi disebut dengan Insurance yang berarti menanggung sesuatu yang mungkin terjadi (Kashmir : 1998).

Asuransi atau pertanggungan didefinisikan dalam KUHD Pasal 246  sbb :

“Asuransi adalah suatu perjanjian timbal balik dengan mana seorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu”. (Purwosutjipto : 1996)

Asuransi Dalam Islam :

Dalam Bahasa Arab asuransi disebut at-ta’min. Penanggung asuransi disebut mu’ammin, sedangkan yang tertanggung disebut mu’amman atau musta’min. At-ta,min diambil dari kata amana memiliki arti perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut. Asuransi disebut at-ta’min karena pemegang polis sedikit banyak telah merasa aman begitu mengikatkan dirinya sebagai peserta asuransi (Sula, 2004 : 28)

At-Tamiin dalam Ensiklopedi Hukum Islam disebutkan bahwa transaksi perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat (Zainudin, 2008 : 03)

Dari ragam definisi di atas, maka dalam asuransi dapat disimpulkan adanya kata sepakat beberapa hal berikut ini.

A]. Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu`ammin) dan tertanggung (al-Mu`ammin lahu).

B]. Obyek yang dituju oleh asuransi.

C]. Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (perusahaan asuransi) sejumlah uang, baik secara cash maupun dengan angsuran sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yang dinamakan premi.

D]. Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya.

Demikian asuransi yang umumnya berlaku, dan dikenal dengan asuransi konvensional atau komersial (at-Ta’min at-Tijaari) yang dilarang oleh mayoritas ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa ini. Larangan ini juga menjadi ketetapan Majlis Hai`ah Kibar ‘Ulama (Majlis Ulama Besar, Saudi Arabia) no. 55, tanggal 4/4/1397 H, dan ketetapan no. 9 Majlis Majma’ al-Fiqh dibawah Munazhamah al-Mu’tamar al-Islami (OKI). Juga diharamkan dalam keputusan al-Mu’tamar al-‘Alami al-Awal lil-Iqtishad al-Islami di Makkah tahun 1396 H. [Fiqhun-Nawâzil, Dirasah Ta’shiliyah Tathbiqiyat (3/267)

*****

DEFINISI ASURANSI TA’AWUN (ASURANSI SYARI’AH) :

Para ulama memberikan solusi dalam masalah asuranis ini. Yaitu dengan merumuskan satu jenis asuransi syariat yang didasarkan kepada akad tabarru’at, yang dinamakan at-Ta’min at-Ta’awuni (asuransi ta’awun) atau at-Ta’mien at-Tabaaduli.

DEFINISI :

Definisi Asuransi Ta’awun (Gotong Royong) atau Asuransi Syari’ah adalah sbb :

“Partisipasi dari sekelompok orang yang menghadapi risiko tertentu, di mana masing-masing membayar sejumlah uang sebagai bentuk kerjasama ke dalam dana nirlaba untuk memberikan kompensasi atas kerugian yang mungkin terjadi jika risiko tertentu terjadi, sesuai dengan kontrak yang disepakati dan peraturan yang berlaku”.

Dalam Majalah Majma' Al-Fiqh Al-Islami disebutkan :

التَّأمينُ التَّعاوُنيُّ الإسلاميُّ تعاوُنٌ بَينَ مَجموعةٍ أو عِدَّةِ مَجموعاتٍ مِن أفرادِ المُجتَمَعِ مِن خِلالِ الِاشتِراكِ في تَحَمُّلِ المَخاطِرِ، ولا يَهدِفُ إلى الرِّبحِ؛ لذلك فلا يُعَدُّ مِن عُقودِ المُعاوَضةِ.

 ويُطلَقُ على هَذا النَّوعِ مِنَ التَّأمينِ مُصطَلَحاتٌ مُتَعَدِّدةٌ؛ مِنها: التَّأمينُ التَّعاوُنيُّ، والتَّأمينُ التَّكافُليُّ، والتَّأمينُ التَّبادُليُّ، والتَّأمينُ الإسلاميُّ 

Asuransi Ta’awun Islami adalah kerjasama antara sekelompok atau beberapa kelompok individu dalam masyarakat melalui partisipasi dalam menanggung risiko, dan tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan; oleh karena itu, tidak dianggap sebagai tarnsaksi kompensasi.

Istilah-istilah yang digunakan untuk jenis asuransi ini adalah : asuransi Ta’awun, asuransi takaful, asuransi gotong royong, asuransi kooperatif, asuransi mutual, asuransi Syari’ah dan asuransi Islami.

[Keputusan Nomor: 200 (6/21) (Majalah Majma' Al-Fiqh Al-Islami) Edisi Kedua Puluh Satu (halaman: 1128)].

Fatwa MUI No. No. 21/DSN-MUI/X/2001 tentang Definisi Asuransi Syariah, adalah:

“Usaha saling tolong menolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk asset dan / atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi resiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syariah”. (Abdul, 2007:35).

Sementara definisi Akad tabarru` adalah : “Semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan semata untuk tujuan mencari keuntungan (profit).

[Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, No. 21/DSN-MUI/X/2001, tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah]

*****

HUKUM ASURANSI TA’AWUN (ASURANSI SYARI’AH)

Asuransi Ta’awun (gotong royong) atau Asuransi Syari’ah hukumnya adalah mubah alias diperbolehkan, sebagaimana yang dinyatakan dalam keputusan-keputusan fatwa berikut ini:

1]. Fatwa Majma' Al-Fiqh Al-Islami yang berafiliasi dengan Organisasi Konferensi Islam, dan Majma' Al-Fiqh Al-Islami yang berafiliasi dengan Rabithah al-‘Aalami al-Islami.

2]. Fatwa Majma' Al-Buhuts Al-Islamiyah di Al-Azhar [dari keputusan konferensi kedua tahun 1385 H. dikutip dari (Watsa'iq Al-Nawazil) karya Al-Jizani (2/1148)].

3]. Fatwa Dewan Eropa untuk Fatwa dan Penelitian [Keputusan Nomor 83 (1/19), dikutip dari (Watsa'iq Al-Nawazil) karya Al-Jizani (2/1203)].

4]. Fatwa Al-Lajnah ad-Daa’imah Dewan Fatwa Arab Saudi.

5]. Fatwa Syeikh Bin Baaz .

6]. Dan lain-lain .

Dasar pijakan mereka dalam membolehkan asuransi Ta'awun adalah sbb :

Pertama : karena asuransi Ta’awun tidak memberikan keuntungan kepada para peserta, dan peserta tidak bermaksud untuk menginvestasikan apa yang mereka bayarkan, melainkan bertujuan untuk membantu yang membutuhkan dan yang terdesak.

Kedua : Dalam asuransi ta’awun, seluruh nasabah tolong-menolong menunaikan ganti rugi yang harus dikeluarkan, dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan dana yang tersedia, dan juga dari peran para anggotanya.

Ketiga : Pemberian ganti rugi atas (pertanggungan) resiko bahaya dalam asuransi ta’awun, diambil dari jumlah premi yang ada di dalam shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak mencukupi, maka adakalanya meminta tambahan dari anggotanya, atau mencukupkan hanya dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya.

Keempat : Asuransi ta’awun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih (sisa) dari pembayaran klaim, maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung)

Kelima : Penanggung (al-Mu`ammin) dalam asuransi ta’awun adalah tertanggung (al-Mu`ammin lahu) itu sendiri.

Keenam : Dalam asuransi ta’awun, premi yang dibayarkan tertanggung digunakan untuk kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuan asuransi ta’awun bukan untuk mencari keuntungan, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya operasinol perusahaan asuransi saja.

Ketujuh : Asuransi ta’awun terbebas dari riba, spekulasi, dan perjudian serta gharar yang terlarang.

Delapan : Nasabah dalam perusahaan asuransi ta’awun dianggap sebagai anggota syarikat yang memiliki hak terhadap keuntungan dari usaha pengembangan modal mereka.

Sembilan : Perusahaan asuransi ta’awun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang diharamkan.

Kesepuluh : Dalam asuransi ta’awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi ta’awun memiliki asas-asas berikut.

A]. Pengelola perusahaan asuransi ta’awun melaksanakan managemen operasional asuransi, berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya. Dari pengelolaannya itu, ia mendapatkan gaji tertentu secara jelas. Karena, mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis secara jelas jumlah gajinya tersebut.

B]. Pengelola perusahaan diijinkan untuk membentuk perusahaan, dan juga memiliki kewenangan mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan ketentuan, mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan harta asuransi itu sebagai mudhârib (pengelola pengembangan modal dengan mudhârabah).

C]. Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama, dalam hal pengembangan modal perusahaan asuransi. Kedua, perhitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi yang murni menjadi milik nasabah (pembayar premi).

D]. Pengelola perusahaan bertanggung jawab sebagai mudhârib dalam pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal sebagai imbalan bagian keuntungan mudharabah, sebagaimana juga bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor asuransi sebagai imbalan gaji pengelolaan yang menjadi haknya.

****

DALIL SYAR’I YANG MENUNJUKKAN BOLEHNYA ASURANSI TA’AWUN :

Dalil Pertama :

Karena adanya Perintah Allah SWT untuk saling berta’awun (tolong menolong) dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana yang Allah SWT firmankan:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

"(Dan berta’awun-lah (tolong-menolonglah) kalian dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa)" (Al-Maidah: 2).

Dalil kedua :

Adanya riwayat hadits Nabi SAW yang mempersaksikan praktik ini sebagai dasar hukumnya.  Sebagaimana yang diriwayatkan dari Abu Musa Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda : 

( إِنَّ الأَشْعَرِيِّينَ إِذَا أَرْمَلُوا فِي الغَزْوِ ، أَوْ قَلَّ طَعَامُ عِيَالِهِمْ بِالْمَدِينَةِ ، جَمَعُوا مَا كَانَ عِنْدَهُمْ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ ، ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بَيْنَهُمْ فِي إِنَاءٍ وَاحِدٍ بِالسَّوِيَّةِ ، فَهُمْ مِنِّي وَأَنَا مِنْهُمْ )

‘Sesungguhnya orang-orang Asy’ari jika kehabisan bekal dalam pepeprangan atau tinggal sedikit makanan untuk keluarga mereka di Madinah, mereka mengumpulkan sisa-sisa makanan mereka di suatu kain, kemudian mereka membagikan ke sesama mereka pada satu bejana dengan takaran yang sama. Maka mereka adalah bagian dariku dan aku adalah bagian dari mereka.”’ (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, no. 2486).

Al-Bukhari mencantumkan sebuah bab dalam Shahihnya dengan ungkapan: 

"بَابُ الشَّرِكَةِ فِي الطَّعَامِ وَالنَّهْدِ وَالْعُرُوضِ، وَكَيْفَ قِسْمَةُ مَا يُكَالُ وَيُوزَنُ مُجَازَفَةً أَوْ قَبْضَةً قَبْضَةً، لِمَا لَمْ يَرَ الْمُسْلِمُونَ فِي النَّهْدِ بَأْسًا، أَنْ يَأْكُلَ هَذَا بَعْضًا وَهَذَا بَعْضًا. وَكَذَلِكَ مُجَازَفَةُ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْقِرَانُ فِي التَّمْر)"

"Bab : Syarikah (iuran bersama) dalam makanan, nâhad (iuran bersama untuk biaya perjalanan), dan barang-barang dagangan, serta bagaimana cara membagi barang yang ditakar dan ditimbang, dengan cara acak atau dengan genggaman tangan, karena kaum muslimin menganggap tidak ada masalah dalam hal nâhd, sehingga yang satu memakan sebagian dari makanan dan yang lain juga memakan sebagian darinya. Dan demikian pula tidak ada masalah dengan pembagian emas dengan perkiaraan tanpa ditimbang, begitu pula perak, dan qiran (campura) dalam buah kurma."

Maksudnya adalah partisipasi sekelompok musafir dalam semua biaya perjalanan, kemudian dibagi-bagikan kepada semua.

Makna Al-Nahd ( النَّهْدِ = biaya bersama dalam perjalanan yang di-iurkan) atau al-Munahadah (المُنَاهَدَة).

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan:

النَّهْدُ بِكَسْرِ النُّونِ وَبِفَتْحِهَا، إخْرَاجُ الْقَوْمِ نَفَقَاتِهِمْ عَلَى قَدْرِ عَدَدِ الرَّفِقَةِ، يُقَالُ تَنَاهَّدُوا وَنَاهَدَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا. وَغَالِبًا مَا تَكُونُ الْمُشَارَكَةُ بِالْعُرُوضِ وَالطَّعَامِ وَيَدْخُلُ فِيهِ الرُّبَوِيَّاتُ، وَلَكِنَّهُ اغْتُفِرَ فِي النَّهْدِ لِثُبُوتِ الدَّلِيلِ عَلَى جَوَازِهِ.

"Al-Nahd (dengan mengkasrahkan nun dan menggantikan alif dengan fathah) adalah pengeluaran biaya kelompok berdasarkan jumlah rombongan, mereka saling tolong-menolong dan saling memberi. Umumnya, partisipasi ini meliputi barang-barang dagangan dan makanan, termasuk riba, namun diperbolehkan dalam al-Nahd karena ada dalil yang menunjukkan kebolehannya." (Fath al-Bari: 128/5).

Imam Nawawi rahimahullah mengomentari hadis ini dengan mengatakan:

(وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ فَضِيلَةُ الأَشْعَرِيِّينَ، وَفَضِيلَةُ الإِيثَارِ وَالْمَوَاسَاةِ، وَفَضِيلَةُ خَلْطِ الأَزْوَادِ فِي السَّفَرِ، وَفَضِيلَةُ جَمْعِهَا فِي شَيْءٍ عِنْدَ قَلَّتِهَا فِي الْحَضَرِ، ثُمَّ تَقْسِمُ. وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِهَذِهِ الْقِسْمَةِ الْمَعْرُوفَةِ فِي كُتُبِ الْفِقْهِ بِشُرُوطِهَا، وَمَنْعِهَا فِي الرِّبَوِيَّاتِ، وَاشْتِرَاطِ الْمَوَاسَاةِ وَغَيْرِهَا، وَإِنَّمَا الْمُرَادُ هُنَا إِبَاحَةُ بَعْضِهِمْ بَعْضًا وَمَوَاسَاتُهُمْ بِالْمَوْجُودِ).

"(Dalam hadis ini terdapat keutamaan kaum Asy'ariin, keutamaan sikap mengutamakan orang lain dan saling tolong-menolong, keutamaan campur aduk bekal saat dalam perjalanan, keutamaan mengumpulkan bekal di satu tempat saat sedikitnya di perkotaan, lalu dibagi-bagikan.

Yang dimaksud dengan pembagian di sini bukanlah pembagian yang dikenal dalam kitab-kitab fiqih dengan syarat-syaratnya – yang diantaranya melarang hal ribawi, serta melarang mensyaratkan untuk saling tolong-menolong dan lainnya -, akan tetapi yang dimaksud dengan pembagian di sini adalah memperbolehkan satu sama lain dan saling tolong-menolong dengan apa yang ada)." (Syarh Nawawi 'ala Sahih Muslim: 62/16).

Dalil Ke Tiga :

Maslahat Mursalah : Yakni maslahat (maslahah) yang ditemukan dalam suatu masalah baru tidak ditunjuk oleh dalil khusus atau dalil partikular tetapi juga tidak ada dalil yang membenarkan atau menolaknya. Menurut Asy-Syatibi, untuk maslahat seperti ini, ada dua kemungkinan yakni :

Ada nash yang mengkonfirmasi kesejalanan dengan maslahat yang dikandung oleh masalah baru tersebut.

Dan kedua, maslahat yang sejalan dengan syara' secara universal, bukan dengan dalil partikular.  Model kedua ini biasa disebut dengan maslahah mursalah. Dengan kata lain, setiap maslahat dari suatu tindakan atau perbuatan yang kemaslahatannya tidak dijelaskan oleh nash tertentu, tetapi sejalan dengan tindakan syara' secara universal. Maka maslahat itu menjadi benar sehingga ia dapat dijadikan sebagai teknik penetapan hukum. (Bakar, 2016)

Dan As-Syatibi memberikan uraian dan landasan teoritis yang relative lebih komperhensif bahwa maslahah harus dipertimbangkan secara sungguh-sungguh dalam penalaranya. Menurutnya maslahah yang diperincikan menjadi maqhasid al-syar'iah harus dipertimbangkan di dalam penalarannya. Karena semua hukum (taklifi, wadh 'i) yang ditetapkan oleh Allah SWT pasti mengandung maslahah (maqasid) untuk melindung dan memenuhi semua keperluan manusia. Dengan demikian semua hasil ijtihad yang tidak mengandung maslahat dan apalagi berentangan, maka ijtihad tersebut ditolak.

*****

HUKUM DENDA KETERLAMBATAN BAYAR IURAN ASURANSI TA’AWUN

Hampir seluruh negara-negara Islam telah memberlakukan aturan denda keterlambatan setoran iuran asuransi Ta’awun, termasuk kerajaan Saudi Arabia . Bahkan denda keterlambatan tersebut bisa dicek dan dibayar melalui situs resmi milik pemerintah Saudi Arabia .

Ini adalah situs resmi asuransi sosial Saudi Arabia

Denda adalah sanksi atau hukuman yang diterapkan dalam bentuk keharusan untuk membayar sejumlah uang. Yang mana hal tersebut terjadi karena pelanggaran terhadap perundang-undangan yang berlaku atau pengingkaran terhadap sebuah perjanjian yang telah disepakati sebelumnya. Dalam penerapannya sebuah denda dapat dilakukan / dikenakan dengan cara membuat sebuah konsekuensi lanjutan apabila tidak ada sebuah penyelesaian yang terlaksana dari kedua belah pihak yang terlibat. Pada dasarnya denda merupakan kesalahan / kelalaian terhadap sebuah tagihan atau kewajiban yang melibatkan yang sudah ditetapkan di dalam sebuah kesepakatan awal.

Denda merupakan bentuk hukuman yang melibatkan uang yang harus dibayarkan dalam jumlah tertentu.

Denda dalam islam sering disebut juga dengan Ta’zir yang artinya adalah hukuman yang ditentukan (bentuk dan jumlahnya) yang wajib dilaksanakan terhadap segala bentuk pelanggaran, baik pelanggaran itu menyangkut hak Allah maupun hak manusia.

Dalam situs Islam Web Fatwa Nomor 242137 disebutkan :

فَالظَّاهِرُ أَنَّ الْمُرَادَ بِالْأَقْسَاطِ هِيَ تِلْكَ الَّتِي يَدْفَعُهَا الْمُوَظَّفُ كَاشْتِرَاكَاتٍ شَهْرِيَّةٍ فِي صُنْدُوقِ التَّقَاعُدِ بِحَيْثُ إِذَا تَأَخَّرَ عَنِ السَّدَادِ فِي الْوَقْتِ الْمُحَدَّدِ دَفَعَ أَكْثَرَ مِمَّا كَانَ مُقَرَّرًا عَلَيْهِ دَفْعُهُ، وَإِذَا كَانَ كَذَلِكَ وَكَانَ الصُّنْدُوقُ تَكَافُلِيًّا تَعَاوُنِيًّا فَيَظْهَرُ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهِ مَا دَامَ هَذَا يَحْصُلُ بِحَسَبِ الِاتِّفَاقِ بَيْنَ الْمُشْتَرِكِينَ فِي صُنْدُوقِ التَّعَاوُنِ، فَكَأَنَّ الْمُشْتَرِكَ اِلْتَزَمَ عِنْدَ التَّأَخُّرِ أَنْ يَتَبَرَّعَ بِأَكْثَرَ مِنَ الْقِسْطِ الْمَعْلُومِ، وَمَنْ أَلْزَمَ نَفْسَهُ بِمَعْرُوفٍ لَزِمَهُ، وَأَمَّا لَوْ كَانَ الصُّنْدُوقُ تِجَارِيًّا وَالْمُعَامَلَةُ مُعَاوَضَةً، فَلَا يَجُوزُ الِاشْتِرَاكُ فِيهِ وَتَكُونُ الْغَرَامَاتُ زِيَادَةً فِي الْإِثْمِ.

Yang tampak adalah bahwa yang dimaksud dengan kontribusi (setoran bulanan) adalah yang dibayarkan oleh pegawai sebagai iuran bulanan ke dana pensiun, sehingga jika terlambat membayar pada waktu yang ditentukan, dia membayar lebih dari yang seharusnya dia bayarkan. Jika demikian, dan dana tersebut bersifat solidaritas serta kerjasama, maka tampaknya tidak ada masalah selama hal ini terjadi berdasarkan kesepakatan antara para peserta dalam dana kerjasama. Seolah-olah peserta berkomitmen bahwa jika terlambat, maka dia akan menyumbangkan lebih dari iuran yang diketahui. Barang siapa yang mengikat dirinya dengan sesuatu yang baik, maka dia harus memenuhinya. Namun, jika dana tersebut bersifat komersial dan transaksinya adalah jual beli, maka tidak boleh berpartisipasi di dalamnya dan denda tersebut menjadi tambahan dosa”.

====

TUJUAN DENDA KETERLAMBATAN ASURANSI TA’AWUN:

Tujuan dari pada penerapan aturan denda keterlambatan dalam asuransi Ta’awun, bukan bertujuan Komersial, melainkan untuk menjaga kedisiplinan para peserta dalam setoran iuran bulanan dana asuransi. Jika tidak, maka berdasarkan pengalaman dari kejadian-kejadian yang pernah terjadi, akan muncul kelangkaan dana asuransi saat diabutuhkan untuk mendanai para peserta yang sangat membutuhkannya untuk pengobatan dan perawatan, yang mana itu semua terjadi karena kurang disiplinnya para peserta dalam setoran cicilan dana bulanan.

Sebagaimana Penerapan denda atas keterlambatan iuran BPJS kesehatan padang lawas utara yang ditetapkan oleh BPJS kesehatan dilatar belakangi oleh kurangnya kepatuhan peserta dalam membayar iuran, yang berimbas pada kekurangan dana dalam keuangan BPJS kesehatan. Adanya penerapan denda atas keterlambatan pembayaran iuran BPJS kesehatan ini sebagai upaya menumbuhkan rasa tanggung jawab peserta agar lebih tertib dalam pembayarannya.

====

DANA DENDA KETERLAMBATAN ADALAH MILIK BERSAMA PARA PESERTA :

Sebagaimana yang penulis sebutkan diatas bahwa penerapan aturan denda keterlambatan dalam asuransi Ta’awun, bukan bertujuan Komersial, melainkan untuk menjaga kedisiplinan para peserta dalam setoran iuran bulanan dana asuransi , maka dana dari denda keterlambatan tersebut adalah dana yang kembali lagi ke pesertanya; karena Asuransi Ta’awun (sosial) menggunakan prinsip tolong menolong.

Denda keterlambatan dalam asuransi Ta’awun (sosial) tidak dimiliki oleh pengelola dana, akan tetapi tetap menjadi donasi yang diinfakkan untuk orang dari anggota asuransi yang memenuhi syarat.

Dari sini lah terlihat bahwa denda keterlambatan dalam asuransi Ta’awun tidak menunjukkan adanya keharaman dalam denda keterlambatan pembayaran iuran.

Denda yang ditetapkan Asuransi Ta’awun (sosial) ini sudah dijelaskan secara rinci dan jujur sesuai dengan yang ada di UU tentang peraturan yang berlaku di Asuransi Ta’awun (sosial) yaitu jika peserta menunggak dalam pembayaran iuran maka peserta akan dikenakan denda pelayanan.

****

HUKUM ASAL DENDA DALAM SYARIAT ISLAM :

Kata denda sering diungkapkan ketika seseorang melakukan tunggakan cicilan.

Pengertian Denda adalah sanksi atau hukuman yang diterapkan dalam bentuk keharusan untuk membayar sejumlah uang. Dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan hukuman berupa membayar sejumlah uang apabila lalai dalam membayar kewajibannya.

Dalam bahasa Inggris juga terdapat kata fine yang berarti denda keterlambatan.

Dalam bahasa Arab istilah denda disebut dengan gharamah.

Kesimpulannya  : denda merupakan suatu bentuk hukuman atau sanksi yang diharuskan membayar sejumlah uang yang telah ditentukan oleh dijatuhkan hukuman kurungan sebulan atau...sepuluh juta rupiah; uang yang harus dibayarkan sebagai hukuman (karena melanggar aturan, undang-undang, dan sebagainya): lebih baik membayar dapat dipenjarakan. (Poerwadarminta, 2006)

Dalam penerapannya sebuah denda dapat dilakukan / dikenakan dengan cara membuat sebuah konsekuensi lanjutan apabila tidak ada sebuah penyelesaian yang terlaksana dari kedua belah pihak yang terlibat. Pada dasarnya denda merupakan kesalahan / kelalaian terhadap sebuah tagihan atau kewajiban yang melibatkan yang sudah ditetapkan di dalam sebuah kesepakatan awal.

Dalam Islam, denda termasuk dalam salah satu hukuman Ta’zir. Ta’zir menurut bahasa adalah Ta’dib atau memberi pelajaran.

Pengertian ta’zir menurut istilah yang dikemukakan oleh Al-Mawardi yaitu: “Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (maksiat) yang belum belumditentukan hukumannya oleh syara’.”

Sedangkan Wahbah Zuhaili memberikan definisi ta’zir yang hampir mirip dengan Al-Mawardi yaitu : “Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat.”

Dari definisi-definisi di atas, Hukuman Ta’zir merupakan hukuman yang belum ditetapkan oleh syara’, melainkan diserahkan kepada hakim, baik penentuannya maupun pelaksanaanya.Syara’ tidak menyebutkan macam-macamnya hukuman untuk jarimah untuk tiap-tiap jarimah ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari seringan-ringannya sampai kepada seberat-beratnya.

Dalam hal ini hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan hukuman ta’zir serta keadaan si pembuatnya juga. Jadi hukuman ta’zir tidak mempunyai batas tertentu (Hanafi, 1990: 8).

Para fuqaha memberikan contoh meninggalkan kewajiban seperti menolak membayar zakat, meninggalkan shalat fardhu, enggan membayar hutang padahal ia mampu, mengkhianati amanat, seperti menggelapkan titipan, memanipulasi harta anak yatim, hasil waqaf adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman ta’zir (Muslich, 2005).

Ta’zir (hukuman yang tidak ada aturannya dalam Syara’) adalah hukuman yang bersifat mendidik seperti memenjara dan memukul yang tidak sampai melukai, tidak boleh melakukan ta’zir dengan mencukur jenggot ataupun memungut uang (denda).

Jenis-jenis ta’zir menurut pemilahan para ulama ada 4 kelompok, yaitu:

1]. Hukuman fisik, seperti hukuman cambuk/dera.

2]. Hukuman psikologis, seperti pemenjaraan atau pengasingan.

3]. Hukuman finansial, berupa membayar denda atau penyitaan harta benda.

4]. Hukuman lain yang ditentukan oleh pemerintah demi kemaslahatan umum.

Oleh karna itu, denda atas keterlambatan dalam membayar suatu tanggungan pembayaran termasuk ta’zir kategori ketiga, yaitu hukuman bersifat finansial.

Menurut Imam Maliki kaum muslimin boleh melakukan ta’zir dengan memungut uang denda. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan pengikutnya melarang atau tidak membolehkan kaumnya muslimin memungut uang denda.

Dalil kewajiban bayar denda :

Pertama : Firman Allah dalan QS At-Taubah : 119.

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ﴾

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).”

Denda keterlambatan bermaksud untuk menimbulkan rasa kesadaran peserta untuk membayar iuran tepat waktu demi kelancaran pelayanan yang akan didapatkan. Setiap kita melakukan segala aktifitas bisnis tidak terlepas dari tanggung jawab. Tanggung jawab merupakan suatu perbuatan yang memiliki resiko dengan adanya tanggung jawab maka segala aktifitas bisnis yang dijalankan akan berjalan dengan baik.

Manusia setelah menentukan daya pilih antara yang baik dan yang buruk, harus menjalani konsekuensi logisnya.

Kedua : firman Allah SWT dalam QS Al-Mudatsir ayat 38:

﴿كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ﴾

Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”

Ayat diatas menjelaskan bahwa setiap individu berkewajiban untuk bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya serta dapat menanggung resiko-resikonya dan tidak seorangpun lari dari perbuatannya.

*****

KUMPULAN FATWA PARA ULAMA KONTEMPORER TENTANG ASURANSI TA’AWUN

====

FATWA PERTAMA :
MAJMA’ AL-FIQHI AL-ISLAMI YANG BERAFILIASI DENGAN MUNADZOMAH AL-MU’TAMAR AL-ISLAMI TAHUN 1985 M:

Disebutkan dalam keputusan Majelis Fikih Islam yang berafiliasi dengan Organisasi Konferensi Islam keputusan-keputusan sbb : 

Keputusan Nomor (2) : Tentang “Asuransi dan Reasuransi” (التَّأمِين وَإِعَادَةُ التَّأمِين) . 

Majma’ Fikih Islami yang berafiliasi dengan Organisasi Konferensi Islam dalam Sidang Konferensi Kedua di Jeddah dari tanggal 10 - 16 Rabiul Akhir 1406 H/22-28 Desember 1985 M.

Memutuskan:

1- أنَّ عَقْدَ التَّأمِينِ التِّجَارِيِّ ذَا الْقِسْطِ الثَّابِتِ الَّذِي تَتَعَامَلُ بِهِ شَرِكَاتُ التَّأمِينِ التِّجَارِيِّ عَقْدٌ فِيهِ غُرُرٌ كَبِيرٌ مُفْسِدٌ لِلْعَقْدِ، وَلِذَا فَهُوَ حَرَامٌ شَرْعًا.

1- Bahwa kontrak asuransi komersial dengan premi tetap yang digunakan oleh perusahaan asuransi komersial adalah kontrak yang mengandung banyak ketidakpastian yang merusak kontrak, sehingga haram secara syar'i.

2- أنَّ الْعَقْدَ الْبَدِيْلَ الَّذِي يَحْتَرِمُ أَصُوْلَ التَّعَامُلِ الإِسْلَامِيِّ هُوَ عَقْدُ التَّأمِينِ التَّعَاوُنِيِّ الْقَائِمِ عَلَى أَسَاسِ التَّبَرُّعِ وَالتَّعَاوُنِ. وَكَذَلِكَ الْحَالَ بِالنِّسْبَةِ لِإِعَادَةِ التَّأمِينِ الْقَائِمِ عَلَى أَسَاسِ التَّأمِينِ التَّعَاوُنِيِّ.

2- Bahwa kontrak alternatif yang menghormati prinsip-prinsip transaksi Islam adalah kontrak asuransi Ta’awun (sosial) yang didasarkan pada sumbangan dan kerjasama. Begitu pula dengan reasuransi yang didasarkan pada asuransi Ta’awun (sosial).

3- دَعْوَةُ الدُّوَلِ الإِسْلَامِيَّةِ لِلْعَمَلِ عَلَى إِقَامَةِ مُؤَسَّسَاتِ التَّأْمِينِ التَّعَاوُنِيِّ وَكَذَلِكَ مُؤَسَّسَاتِ تَعَاوُنِيَّةِ لِإِعَادَةِ الـتَّأْمِينِ، حَتَّى يَتَحَرَّرَ الْاقْتِصَادُ الإِسْلَامِيُّ مِنَ الِاسْتِغْلَالِ، وَمِنْ مُخَالَفَةِ النِّظَامِ الَّذِي يَرْضَاهُ اللَّهُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ.

3- Mengimbau negara-negara Islam untuk bekerja mendirikan lembaga-lembaga asuransi Ta’awun (sosial) serta lembaga-lembaga kooperatif untuk reasuransi, agar ekonomi Islam bebas dari eksploitasi dan dari pelanggaran sistem yang diridhoi Allah untuk umat ini.

Keputusan Nomor : 9 (9/2) tentang asuransi dan reasuransi (التَّأمِين وَإِعَادَةُ التَّأمِين):

إنَّ مَجْلِسَ مَجْمَعِ الفِقْهِ الإسلاميِّ الدَّوليِّ المُنبَثِقِ عَن مُنَظَّمةِ المُؤتَمَرِ الإسلاميِّ في دَورةِ انعِقادِ مُؤتَمَرِه الثَّاني بِجُدَّةَ مِن 10 – 16 ربيع الآخر 1406هـ، الموافِق 22 – 28 كانون الأوَّلِ (ديسَمبر) 1985م، وفيه: (وبَعدَ النَّظَرِ فيما صَدَرَ عَنِ المَجامِعِ الفِقْهيَّةِ والهَيئاتِ العِلميَّةِ بِهَذا الشَّأنِ، قَرَّرَ ما يَليأوَّلًاأنَّ عَقْدَ التَّأمينِ التِّجاريِّ ذي القِسطِ الثَّابِتِ الَّذي تَتَعامَلُ بِه شَرِكاتُ التَّأمينِ التِّجاريِّ عَقْدٌ فيه غَرَرٌ كبيرٌ مُفْسِدٌ لِلعَقْدِ؛ ولِذا فهوَ حَرامٌ شَرعًاثانيًاأنَّ العَقْدَ البَديلَ الَّذي يَحتَرِمُ أصولَ التَّعامُلِ الإسلاميِّ هوَ عَقْدُ التَّأمينِ التَّعاوُنيِّ القائِمِ على أساسِ التَّبَرُّعِ والتَّعاوُنِ، وكَذلك الحالُ بِالنِّسبةِ لِإعادةِ التَّأمينِ القائِمِ على أساسِ التَّأمينِ التَّعاوُنيِّ)

Sesungguhnya Dewan Majelis Fikih Islam Internasional yang berasal dari Organisasi Konferensi Islam dalam sidang konferensi kedua di Jeddah dari 10 – 16 Rabiul Akhir 1406 H, bertepatan dengan 22 – 28 Desember 1985 M, dan di dalamnya:

(Setelah mempertimbangkan apa yang dikeluarkan oleh majelis-majelis fikih dan lembaga-lembaga ilmiah terkait hal ini, diputuskan sebagai berikut:

Pertama: Bahwa kontrak asuransi komersial dengan premi tetap yang digunakan oleh perusahaan-perusahaan asuransi komersial adalah kontrak yang mengandung ketidakpastian (gharar) besar yang merusak kontrak; oleh karena itu, hukumnya haram secara syar'i.

Kedua: Bahwa kontrak alternatif yang menghormati prinsip-prinsip muamalah Islam adalah kontrak asuransi Ta’awun yang didasarkan pada prinsip gotong royong dan kerjasama, begitu pula dengan reasuransi yang didasarkan pada prinsip asuransi Ta’awun.

((Sumber: Situs Majalah Majelis Fikih)).

*****

FATWA KEDUA :
MAJMA’ FIQIH ISLAMI INTERNATIONAL YANG BERAFILIASI DENGAN MUNADZOMAT TA’AWUN ISLAMI TAHUN 2013 M .

Majelis Majma' al-Fiqh al-Islami International Yang berafiliasi Dengan Munadzamat al-Taa'awun al-Islami yang diselenggarakan yang diselenggarakan dalam Daurah kedua puluh satu di Kota Riyadh (Kerajaan Arab Saudi) dari tanggal 15 hingga 19 Muharram 1435 H, yang bersesuaian dengan 18-22 November 2013 M.

Setelah meninjau rekomendasi seminar ilmiah tentang hukum dan prinsip-prinsip syariah untuk asas-asas asuransi takaful yang diadakan oleh Majma' dalam periode 20-21 Jumadil Tsaniyah 1434 H, yang bersesuaian dengan 30 April - 1 Mei 2013 M, di Jeddah, yang diselenggarakan sesuai dengan Keputusan Majelis Majma' nomor: 187 (2/20) yang dikeluarkan dalam Daurah kedua puluh yang diadakan di Wahran (Jumhuriyah al-Jaza'iriyyah ad-Dimuqratiyyah ash-Sha'biyyah) pada periode 26 Syawwal hingga 2 Dzulqaidah 1433 H, yang bersesuaian dengan 13-18 September 2012 M.

Setelah mendengarkan diskusi dan perdebatan yang berlangsung tentang hal ini,

Mereka memutuskan sebagai berikut:

التأمينُ التعاونيُّ عَقْدٌ جَدِيدٌ أَسَاسُهُ مَبْدَأُ التَّعَاوُنِ المُنْظَمِ بِضُوَابِطِهِ الشَّرْعِيَّةِ المُستَمَدَّةِ مِنَ القُرْآنِ الكَرِيمِ وَالسُّنَّةِ النَّبَوِيَّةِ.

وَيُنْقَسِمُ التَّأْمِينُ مِنْ حِيثُ إِنْشَائِهِ إِلَى قِسْمَيْنِ:

الأَوَّلُ: تَأْمِينٌ تِجَارِيٌّ يَهْدَفُ إِلَى تَحْقِيقِ الرِّبْحِ فِي صَيْغَتِهِ التَّأْمِينِيَّةِ مِنْ خَلَالِ الْمُعَاوَضَةِ عَلَى الْمَخَاطِرِ، أَمَّا مِنْ حِيثُ إِدَارَتِهِ فَمِنْ شَرِكَةٍ فَإِنَّ الشَّرِكَةَ تَسْتَهْدِفُ الرِّبْحَ.

الثَّانِي: تَأْمِينٌ غَيْرُ تِجَارِيٌّ لَا يَهْدَفُ إِلَى تَحْقِيقِ الرِّبْحِ؛ وَإِنَّمَا يَهْدِفُ إِلَى تَحْقِيقِ مَصْلَحَةِ الْمُشْتَرِكِينَ فِيهِ بِاشْتِرَاكِهِمْ فِي تَحْمِلِ وَجْبِرِ الضَّرَرِ عَنْهُمْ.

وَيُطْلَقُ عَلَى النَّوْعِ الثَّانِي مِنَ التَّأْمِينِ مُصْطَلَحَاتٌ مُتَعَدِّدَةٌ، مِنْهَا: التَّأْمِينُ التَّعَاوُنِيُّ، وَالتَّأْمِينُ التَّكَافُلِيُّ، وَالتَّأْمِينُ التَّبَادُلِيُّ، وَالتَّأْمِينُ الإِسْلَامِيُّ.

Asuransi takaful adalah kontrak baru yang didasarkan pada prinsip kerja sama yang diatur dengan prinsip-prinsip syariah yang diambil dari Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.

Asuransi ini dibagi berdasarkan pendiriannya menjadi dua bagian:

Pertama: Asuransi komersial yang bertujuan untuk mencapai keuntungan dalam bentuk asuransi dengan mempertimbangkan risiko, di mana perusahaan yang mengelola berusaha untuk memperoleh keuntungan.

Kedua: Asuransi non-komersial yang tidak bertujuan untuk mencari keuntungan, melainkan untuk memenuhi kepentingan para peserta dalam menanggung dan mengatasi kerugian mereka.

Jenis kedua asuransi ini dikenal dengan beberapa istilah, di antaranya: asuransi takaful, asuransi saling, asuransi timbal balik, dan asuransi Islam.

FATWA KE TIGA :
FATWA MAJMA' AL-FIQH AL-ISLAMI YANG BERAFILIASI DENGAN RABITHAH AL-‘AALAMI AL-ISLAMI TAHUN 1397 H.

Disebutkan dalam keputusan Majelis Fikih Islam yang berafiliasi dengan Rabithah al-‘Aalami al-Islami, keputusan kelima: asuransi dalam berbagai bentuk dan jenisnya.

الحَمدُ لِلَّهِ والصَّلاةُ والسَّلامُ على رَسولِ اللهِ وعلى آلِه وصَحبِه، أمَّا بعدُ: فإنَّ مَجْمَعَ الفِقْهِ الإسلاميِّ قَد نَظَرَ في مَوضوعِ التَّأمينِ بِأنواعِه المُختَلِفةِ، بعدَ ما اطَّلَعَ على كثيرٍ مِمَّا كتَبَه العُلَماءُ في ذلك، وبَعدَ ما اطَّلَعَ أيضًا على ما قَرَّرَه مَجْلِسُ هَيئةِ كِبارِ العُلَماءِ في المَملَكةِ العَرَبيَّةِ السُّعوديَّةِ في دَورَتِه العاشِرةِ المُنعَقِدةِ بِمَدينةِ الرِّياضِ بِتاريخِ 4/4/ 1397هـ مِنَ التَّحريمِ لِلتَّأمينِ بِأنواعِه. وبَعدَ الدِّراسةِ الوافيةِ وتَداوُلِ الرَّأيِ في ذلك، قَرَّرَ المَجْلِسُ بِالأكثَريَّةِ: تَحريمَ التَّأمينِ بِجَميعِ أنواعِه، سَواءٌ كانَ على النَّفسِ، أوِ البَضائِعِ التِّجاريَّةِ، أو غَيرِ ذلك مِنَ الأموالِ. كما قَرَّرَ مَجْلِسُ المَجْمَعِ بِالإجماعِ الموافَقةَ على قَرارِ مَجْلِسِ هَيئةِ كِبارِ العُلَماءِ مِن جَوازِ التَّأمينِ التَّعاوُنيِّ بدَلًا مِنَ التَّأمينِ التِّجاريِّ المُحَرَّمِ، والمُنَوَّهِ عَنه آنِفًا، وعَهِدَ بِصياغةِ القَرارِ إلَى لَجنةٍ خاصَّةٍ) ((قرارات المجمع الفقهي الإسلامي)) (ص 35)، الدورة الأولى، القرار الخامس.

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam atas Rasulullah serta keluarganya dan sahabatnya. Amma ba'du:

Sesungguhnya Majma’ Fikih Islami telah mempertimbangkan masalah asuransi dalam berbagai jenisnya, setelah mempelajari banyak tulisan para ulama mengenai hal tersebut, dan setelah juga memperhatikan keputusan Dewan Ulama Senior di Kerajaan Arab Saudi dalam sidang kesepuluh yang diadakan di Kota Riyadh pada tanggal 4/4/1397 H tentang pengharaman asuransi dalam berbagai jenisnya. Setelah melakukan kajian yang mendalam dan diskusi, majelis memutuskan dengan suara mayoritas:

Mengharamkan asuransi dalam segala jenisnya, baik itu asuransi jiwa, asuransi barang dagangan, atau lainnya dari harta.

Majelis juga dengan suara bulat menyetujui keputusan Dewan Ulama Senior tentang kebolehan asuransi Ta’awun (kooperatif) sebagai pengganti dari asuransi komersial yang diharamkan, sebagaimana disebutkan sebelumnya, dan mempercayakan penyusunan keputusan ini kepada sebuah komite khusus.

((Keputusan Majma’ al-Fiqhi al-Islami)) (halaman 35), sidang pertama, keputusan kelima.

*****

FATWA KE EMPAT :
FATWA AL-LAJNAH AD-DAIMAH, DEWAN FATWA – SAUDI ARABIA :

Disebutkan dalam fatwa al-Lajnah ad-Daimah, Dewan Fatwa di Arab Saudi:

 (التَّأمينُ التِّجاريُّ بِجَميعِ أنواعِه حَرامٌ؛ لِما يَشتَمِلُ عليه مِنَ المَحاذيرِ، كالرِّبا والغَرَرِ وأكْلِ أموالِ النَّاسِ بِالباطِلِ، ولَيسَ هوَ مِنَ التَّأمينِ التَّعاوُنيِّ الَّذي أجازَته هَيئةُ كِبارِ العُلَماءِ؛ لِأنَّ التَّأمينَ لا يَعودُ مِنه شَيءٌ على المُشتَرِكينَ، ولا يَقصِدُ المُشتَرِكُ أن يَستَثمِرَ ما يَدفَعُه، وإنَّما يَقصِدُ إعانةَ المُحتاجينَ والمَلهوفِينَ. أمَّا التَّأمينُ التِّجاريُّ فيَقصِدُ بِه المُشتَرِكونَ الِاستِثمارَ وعَودةَ الفَوائِدِ والأرباحِ إلَيهم مِمَّا تَحصُلُ عليه الشَّرِكةُ، فالخَلطُ بينَ هَذا وهَذا مِنَ التَّلبيسِ على النَّاسِ لِأخذِ أموالِهم، ومِنَ الكَذِبِ على أهلِ العِلمِ، فالواجِبُ التَّنَبُّهُ لِهذه الحِيَلِ الباطِلةِ. وبِالله التَّوفيقُ، وصَلَّى اللهُ على نَبَيِّنا مُحَمَّدٍ وآلِه وصَحبِه وسَلَّمَ) ((فتاوى اللجنة الدائمة)) (15/266).

(Asuransi komersial dalam segala jenisnya adalah haram; karena mengandung bahaya seperti riba, gharar (ketidakpastian), dan memakan harta orang lain dengan cara yang batil.

Ini tidak termasuk asuransi Ta’awun (kooperatif) yang dibolehkan oleh Dewan Ulama Senior; karena dalam asuransi Ta’awun (kooperatif) tidak ada keuntungan yang kembali kepada para peserta, dan peserta tidak berniat untuk menginvestasikan apa yang mereka bayarkan, melainkan bertujuan untuk membantu orang yang membutuhkan dan terdesak. Adapun asuransi komersial, peserta bermaksud untuk berinvestasi dan mengharapkan keuntungan dan laba dari apa yang diperoleh perusahaan. Oleh karena itu, mencampuradukkan antara kedua jenis asuransi ini adalah penipuan terhadap orang-orang untuk mengambil harta mereka, dan kebohongan terhadap para ulama. Maka, wajib waspada terhadap tipu daya batil ini. Hanya Allah yang memberikan taufik, shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan sahabatnya).

((Fatwa al-Lajnah ad-Daimah)) (15/266).

*****

FATWA KE LIMA:
SYEIKH ABDUL AZIZ BIN BAAZ RAHIMAHULLAH:

صَدَرَ مِنْ مَجْلِسِ هَيْئَةِ كِبَارِ الْعُلَمَاءِ قَرَارٌ بِجَوَازِ التَّأْمِينِ التَّعَاوُنِيِّ: وَتَحْرِيمِ التَّأْمِينِ التِّجَارِيِّ، وَأَنَا أُشَرِّحُ لِلْمُسْتَمِعِ حَقِيقَةَ هَذَا وَهَذَا، فَالَّذِي صَدَرَ مِنْ الْمَجْلِسِ جَوَازَهُ هُوَ التَّأْمِينُ التَّعَاوُنِيُّ وَهُوَ أَنْ يَجْتَمِعَ جَمَاعَةٌ مِنَ النَّاسِ فَيَشْتَرُكُونَ فِي تَأْمِينٍ تَعَاوُنِيٍّ، كُلٌّ وَاحِدٌ يُبَذِّلُ مَالًا مُعَيَّنًا عَلَى أَنْ يَكُونَ هَذَا الْمَالُ لِمَصَالِحَ مُحَدَّدَةٍ، كَأَنْ يَشْتَرِكُوا عَلَى أَنَّ هَذَا الْمَالَ يَكُونُ لِمَا قَدْ يَقَعُ مِنْ كَوَارِثَ بَيْنَهُمْ، فَيُنْفِقُونَ مِنْ هَذَا الْمَالِ فِيهَا، وَكَأَنْ يَفْتَقِرَ أَحَدٌهُمْ فَيُنْفِقَ عَلَيْهِ مِنْ هَذَا الْمَالِ، وَنَحْوَ ذَلِكَ مِمَّا يُصَرِّفُونَهُ فِي وُجُوهِ الْبِرِّ وَالتَّعَاوُنِ بَيْنَهُمْ، وَلَيْسَ لِلتِّجَارَةِ وَتَحْصِيلِ الْأَرْبَاحِ، وَإِنَّمَا ذَلِكَ لِلإِحْسَانِ فِيمَا بَيْنَهُمْ لِفَقِيرِهِمْ وَمَنْ يُصِيبُ بِكَارِثَةٍ مِنْهُمْ، وَنَحْوَ ذَلِكَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ لِمَسَاعَدَتِهِمْ لا لِقَصْدِ الرِّبْحِ وَالنَّمَاءِ، هَذَا هُوَ التَّأْمِينُ التَّعَاوُنِيُّ.

أَنْ يَجْتَمِعَ أَهْلُ قَرْيَةٍ أَوْ قَبِيلَةٍ أَوْ جَمَاعَةٍ مِنَ الْمَوَظَّفِينَ عَلَى مَالٍ مُعَيَّنٍ مِنْهُمْ، كُلٌّ وَاحِدٌ يُبَذِّلُ كُلَّ شَهْرٍ كَذَا، أَوْ كُلَّ سَنَةٍ كَذَا، وَيَتَفَقُّونَ عَلَى أَنَّ هَذَا الْمَالَ يُنْفَقُ فِيمَا قَدْ يُصَابُونَ بِهِ مِنْ أَسْبَابٍ: صَدَامِ سِيَارَاتٍ، انْقِلَابِ سِيَارَاتٍ، كَوَارِثَ تُصِيبُ بَعْضَهُمْ، فَيُنْفَقُ عَلَى مَنْ أُصِيبَ مِنْ هَذَا الْمَالِ، وَيُؤَدَّى عَنْهُ الدِّينُ أَوْ الدِّيَةُ، وَيُوَاسَى فَقْرُهُ، وَيُشْتَرَى لَهُ حَاجَتُهُ مِنْ هَذَا الْمَالِ، لَيْسَ هَذَا مَالًا لَهُمْ، بَلْ هُوَ لِوُجُوهِ الْبِرِّ وَأَعْمَالِ الْخَيْرِ فِيمَا بَيْنَهُمْ، وَلَيْسَ الْمَقْصُودُ مِنْهُ الرِّبْحُ وَالتِّجَارَةُ حَتَّى يُؤْمِنُوا عَلَى سِيَارَةِ فُلَانٍ، أَوْ سِيَارَةِ فُلَانٍ، لَا. وَإِنَّمَا الْمَقْصُودُ أَنْ يَنْتَفِعُوا بِهِ.

وَلَا مَانِعَ مِنْ أَنْ يَجْعَلُوا فِيهِ وَكِيلًا يَتَجَرُّ فِيهِ وَالرِّبْحُ لِهَذِهِ الْمَصْلَحَةِ، وَلِهَذَا الْمَشْرُوعِ، لَيْسَ لَهُمْ، بَلْ الرِّبْحُ لِهَذَا الْمَشْرُوعِ، هَذَا هُوَ التَّأْمِينُ التَّعَاوُنِيُّ الَّذِي أَقْرَهُ مَجْلِسُ هَيْئَةِ كِبَارِ الْعُلَمَاءِ، وَصَدَرَ بِهِ قَرَارٌ رَفِيعٌ لِلْمَقَامِ السَّامِي، لِمَقَامِ خَادِمِ الْحَرْمَيْنِ الشَّرِيفَيْنِ.

Dewan Ulama Besar telah mengeluarkan keputusan yang memperbolehkan asuransi takaful dan melarang asuransi komersial. Saya jelaskan kepada pendengar mengenai kebenaran hal ini, bahwa yang dikeluarkan oleh Dewan adalah kebolehan asuransi takaful. Ini adalah ketika sekelompok orang berkumpul untuk berpartisipasi dalam asuransi takaful, di mana setiap individu menyumbangkan sejumlah uang tertentu dengan tujuan khusus, seperti untuk mengatasi bencana di antara mereka. Mereka menggunakan uang ini untuk keperluan tersebut, misalnya untuk membantu anggota yang membutuhkan atau untuk mengatasi musibah yang menimpa mereka, sebagai bentuk kebaikan dan kerjasama di antara mereka, bukan untuk tujuan perdagangan dan keuntungan. Inilah yang disebut sebagai asuransi takaful.

Contohnya, penduduk desa, kabilah, atau kelompok karyawan berkumpul untuk menyumbangkan sejumlah uang tertentu setiap bulan atau setiap tahun, dan mereka sepakat bahwa uang ini digunakan untuk menanggulangi kejadian seperti kecelakaan mobil, terbaliknya kendaraan, atau bencana yang menimpa sebagian dari mereka. Uang ini digunakan untuk membayar kewajiban atau membantu yang membutuhkan, bukan untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kebaikan bersama dan amal. Tujuan mereka bukanlah untuk memperoleh keuntungan atau melakukan perdagangan, misalnya untuk memastikan mobil si A atau si B, tetapi untuk saling membantu.

Tidak ada larangan bagi mereka untuk menunjuk wakil yang mengurus hal ini dan memperoleh keuntungan atas usaha ini atau proyek ini, bukan untuk mereka pribadi, tetapi untuk kepentingan proyek ini. Inilah yang disebut sebagai asuransi takaful yang disetujui oleh Dewan Ulama Besar, dan telah dikeluarkan keputusan untuk menaikkan statusnya, untuk mendapat dukungan dari Pemerintah Kerajaan Arab Saudi.

[Sumber : نور على الدرب / حكم التأمين التعاوني والتجاري ].

*****

FATWA KE ENAM :
HAY’AH KIBAAR AL-ULAMA – KERAJAAN SAUDI ARABIA :

هَيْئَةُ كِبَارِ العُلمَاء

Majlis memutuskan dengan suara bulat untuk menyetujui keputusan Dewan Ulama Senior di Kerajaan Arab Saudi Nomor (51) tanggal 4/4/1397 H tentang :

Kebolehan asuransi Ta’awun (kooperatif) sebagai pengganti asuransi komersial yang diharamkan sebagaimana disebutkan sebelumnya, dengan alasan-alasan berikut:

أَوَّلًا: الِالْتِزَامُ بِالْفِكْرِ الِاقْتِصَادِيِّ الْإِسْلَامِيِّ الَّذِي يَتْرُكُ لِلْأَفْرَادِ مَسْئُولِيَّةَ الْقِيَامِ بِمُخْتَلِفِ الْمَشْرُوعَاتِ الِاقْتِصَادِيَّةِ، وَلَا يَأْتِي دَوْرُ الدَّوْلَةِ إِلَّا كَعُنْصُرٍ مُكَمِّلٍ لِمَا عَجَزَ الْأَفْرَادُ عَنْ الْقِيَامِ بِهِ، وَكَدَوْرٍ مُوَجِّهٍ وَرَقِيبٍ لِضَمَانِ نَجَاحِ هَذِهِ الْمَشْرُوعَاتِ وَسَلَامَةِ عَمَلِيَّاتِهَا.

Pertama : Asuransi Ta’awun (sosial) adalah kontrak gotong royong yang bertujuan untuk saling membantu dalam menghadapi risiko, dan berbagi tanggung jawab ketika terjadi bencana, dengan cara kontribusi dari individu-individu berupa sejumlah uang yang digunakan untuk mengganti kerugian yang diderita oleh anggotanya. Jadi, kelompok asuransi Ta’awun (sosial) tidak bertujuan untuk berdagang atau memperoleh keuntungan dari harta orang lain, melainkan untuk mendistribusikan risiko di antara mereka dan bekerja sama dalam menanggung kerugian.

ثَانِيًا: الِالْتِزَامُ بِالْفِكْرِ التَّعَاوُنِيِّ التَّأْمِينِيِّ الَّذِي بِمُقْتَضَاهُ يَسْتَقِلُّ الْمُتَعَاوِنُونَ بِالْمَشْرُوعِ كُلِّهِ مِنْ حَيْثُ تَشْغِيلُهُ، وَمِنْ حَيْثُ الْجِهَازُ التَّنْفِيذِيُّ وَمَسْئُولِيَّةُ إِدَارَةِ الْمَشْرُوعِ.

Kedua : Asuransi Ta’awun (sosial) bebas dari riba dalam kedua jenisnya: riba fadhl dan riba nasi’ah. Kontrak para peserta tidak mengandung riba, dan mereka tidak menginvestasikan dana yang terkumpul dari premi dalam transaksi ribawi.

ثَالِثًا: تَدْرِيبُ الْأَهَالِي عَلَى مُبَاشَرَةِ التَّأْمِينِ التَّعَاوُنِيِّ وَإِيجَادُ الْمُبَادَرَاتِ الْفَرْدِيَّةِ وَالِاسْتِفَادَةُ مِنَ الْبَوَاعِثِ الشَّخْصِيَّةِ، فَلَا شَكَّ أَنَّ مُشَارَكَةَ الْأَهَالِي فِي الْإِدَارَةِ تَجْعَلُهُمْ أَكْثَرَ حِرْصًا وَيَقَظَةً عَلَى تَجَنُّبِ وُقُوعِ الْمَخَاطِرِ الَّتِي يَدْفَعُونَ مُجْتَمِعِينَ تَكْلِفَةَ تَعْوِيضِهَا مِمَّا يُحَقِّقُ بِالتَّالِي مَصْلَحَةً لَهُمْ فِي إِنْجَاحِ التَّأْمِينِ التَّعَاوُنِيِّ، إِذْ إِنَّ تَجَنُّبَ الْمَخَاطِرِ يَعُودُ عَلَيْهِمْ بِأَقْسَاطٍ أَقَلَّ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، كَمَا أَنَّ وُقُوعَهَا قَدْ يَحْمِلُهُمْ أَقْسَاطًا أَكْبَرَ فِي الْمُسْتَقْبَلِ.

Ketiga : Tidak masalah jika peserta asuransi Ta’awun (sosial) tidak mengetahui dengan pasti manfaat yang akan mereka terima, karena mereka adalah donatur, sehingga tidak ada risiko, ketidakpastian, atau perjudian, berbeda dengan asuransi komersial yang merupakan kontrak pertukaran finansial komersial.

رَابِعًا: صُورَةُ الشَّرِكَةِ الْمُخْتَلِطَةِ لَا يَجْعَلُ التَّأْمِينِ كَمَا لَوْ كَانَ هِبَةً، أَوْ مَنْحَةً مِنَ الدَّوْلَةِ لِلْمُسْتَفِيدِينَ مِنْهُ، بَلْ بِمُشَارَكَةٍ مِنْهَا مَعَهُمْ فَقَطْ لِحِمَايَتِهِمْ وَمُسَانَدَتِهِمْ بِاعْتِبَارِهِمْ هُمْ أَصْحَابَ الْمَصْلَحَةِ الْفِعْلِيَّةِ، وَهَذَا مَوْقِفٌ أَكْثَرُ إِيجَابِيَّةً لِيَشْعُرَ مَعَهُ الْمُتَعَاوِنُونَ بِدَوْرِ الدَّوْلَةِ، وَلَا يُعْفِيهِمْ فِي نَفْسِ الْوَقْتِ مِنَ الْمَسْئُولِيَّةِ.

Keempat : Kelompok peserta, atau perwakilan mereka, mengelola investasi dari dana yang terkumpul dari premi untuk mencapai tujuan yang dimaksudkan dalam kerja sama ini, baik secara sukarela maupun dengan imbalan tertentu.

Majlis juga berpandangan :

“Bahwa asuransi Ta’awun (sosial) sebaiknya berbentuk perusahaan asuransi ta’awun campuran karena alasan-alasan berikut:

أَوَّلًا: الِالْتِزَامُ بِالْفِكْرِ الِاقْتِصَادِيِّ الْإِسْلَامِيِّ الَّذِي يَتْرُكُ لِلْأَفْرَادِ مَسْئُولِيَّةَ الْقِيَامِ بِمُخْتَلِفِ الْمَشْرُوعَاتِ الِاقْتِصَادِيَّةِ، وَلَا يَأْتِي دَوْرُ الدَّوْلَةِ إِلَّا كَعُنْصُرٍ مُكَمِّلٍ لِمَا عَجَزَ الْأَفْرَادُ عَنْ الْقِيَامِ بِهِ، وَكَدَوْرٍ مُوَجِّهٍ وَرَقِيبٍ لِضَمَانِ نَجَاحِ هَذِهِ الْمَشْرُوعَاتِ وَسَلَامَةِ عَمَلِيَّاتِهَا.

Pertama: Mematuhi pemikiran ekonomi Islam yang menyerahkan tanggung jawab kepada individu untuk menjalankan berbagai proyek ekonomi, dan peran negara hanya sebagai pelengkap untuk apa yang tidak bisa dilakukan oleh individu, serta sebagai pengarah dan pengawas untuk memastikan keberhasilan proyek-proyek ini dan kelancaran operasinya.

ثَانِيًا: الِالْتِزَامُ بِالْفِكْرِ التَّعَاوُنِيِّ التَّأْمِينِيِّ الَّذِي بِمُقْتَضَاهُ يَسْتَقِلُّ الْمُتَعَاوِنُونَ بِالْمَشْرُوعِ كُلِّهِ مِنْ حَيْثُ تَشْغِيلُهُ، وَمِنْ حَيْثُ الْجِهَازُ التَّنْفِيذِيُّ وَمَسْئُولِيَّةُ إِدَارَةِ الْمَشْرُوعِ.

Kedua: Mematuhi pemikiran kooperatif dalam asuransi, di mana para peserta sepenuhnya mandiri dalam menjalankan proyek tersebut, baik dari segi operasional maupun dalam hal perangkat eksekutif dan tanggung jawab pengelolaan proyek.

ثَالِثًا: تَدْرِيبُ الْأَهَالِي عَلَى مُبَاشَرَةِ التَّأْمِينِ التَّعَاوُنِيِّ وَإِيجَادُ الْمُبَادَرَاتِ الْفَرْدِيَّةِ وَالِاسْتِفَادَةُ مِنَ الْبَوَاعِثِ الشَّخْصِيَّةِ، فَلَا شَكَّ أَنَّ مُشَارَكَةَ الْأَهَالِي فِي الْإِدَارَةِ تَجْعَلُهُمْ أَكْثَرَ حِرْصًا وَيَقَظَةً عَلَى تَجَنُّبِ وُقُوعِ الْمَخَاطِرِ الَّتِي يَدْفَعُونَ مُجْتَمِعِينَ تَكْلِفَةَ تَعْوِيضِهَا مِمَّا يُحَقِّقُ بِالتَّالِي مَصْلَحَةً لَهُمْ فِي إِنْجَاحِ التَّأْمِينِ التَّعَاوُنِيِّ، إِذْ إِنَّ تَجَنُّبَ الْمَخَاطِرِ يَعُودُ عَلَيْهِمْ بِأَقْسَاطٍ أَقَلَّ فِي الْمُسْتَقْبَلِ، كَمَا أَنَّ وُقُوعَهَا قَدْ يَحْمِلُهُمْ أَقْسَاطًا أَكْبَرَ فِي الْمُسْتَقْبَلِ.

Ketiga: Melatih masyarakat untuk secara langsung mengelola asuransi Ta’awun (sosial) dan menciptakan inisiatif individu serta memanfaatkan motivasi pribadi. Tidak diragukan lagi bahwa partisipasi masyarakat dalam pengelolaan membuat mereka lebih berhati-hati dan waspada untuk menghindari risiko yang mereka tanggung bersama dalam biaya kompensasinya, yang pada akhirnya menguntungkan mereka dalam keberhasilan asuransi Ta’awun (sosial). Menghindari risiko akan menghasilkan premi yang lebih rendah di masa depan, sementara terjadinya risiko dapat menyebabkan premi yang lebih tinggi di masa depan.

رَابِعًا: صُورَةُ الشَّرِكَةِ الْمُخْتَلِطَةِ لَا يَجْعَلُ التَّأْمِينِ كَمَا لَوْ كَانَ هِبَةً، أَوْ مَنْحَةً مِنَ الدَّوْلَةِ لِلْمُسْتَفِيدِينَ مِنْهُ، بَلْ بِمُشَارَكَةٍ مِنْهَا مَعَهُمْ فَقَطْ لِحِمَايَتِهِمْ وَمُسَانَدَتِهِمْ بِاعْتِبَارِهِمْ هُمْ أَصْحَابَ الْمَصْلَحَةِ الْفِعْلِيَّةِ، وَهَذَا مَوْقِفٌ أَكْثَرُ إِيجَابِيَّةً لِيَشْعُرَ مَعَهُ الْمُتَعَاوِنُونَ بِدَوْرِ الدَّوْلَةِ، وَلَا يُعْفِيهِمْ فِي نَفْسِ الْوَقْتِ مِنَ الْمَسْئُولِيَّةِ.

Keempat: Bentuk perusahaan campuran tidak membuat asuransi seolah-olah merupakan hadiah atau pemberian dari negara kepada penerimanya, melainkan dengan partisipasi negara bersama mereka hanya untuk melindungi dan mendukung mereka sebagai pemilik kepentingan sebenarnya. Ini adalah sikap yang lebih positif yang membuat para peserta merasakan peran negara, tanpa menghilangkan tanggung jawab mereka pada saat yang sama.

Dan Majlis Juga Berpandangan :

“Bahwa dalam merumuskan rincian operasional untuk asuransi Ta’awun (sosial), harus memperhatikan prinsip-prinsip berikut:

الأَوَّلُ: أَنْ يَكُونَ لِمُنَظَّمَةِ التَّأْمِينِ التَّعَاوُنِيِّ مَرْكَزٌ لَهُ فُرُوعٌ فِي كَافَّةِ الْمُدُنِ، وَأَنْ يَكُونَ بِالْمُنَظَّمَةِ أَقْسَامٌ تَتَوَزَّعُ بِحَسَبِ الأَخْطَارِ الْمُرَادِ تَغْطِيَتُهَا، وَبِحَسَبِ مُخْتَلِفِ فِئَاتِ، وَمِهَنِ الْمُتَعَاوِنِينَ، كَأَنْ يَكُونَ هُنَاكَ قِسْمٌ لِلتَّأْمِينِ الصِّحِّيِّ، وَثَانٍ لِلتَّأْمِينِ ضِدَّ الْعَجْزِ وَالشَّيْخُوخَةِ.. إِلَخ.

أَوْ يَكُونَ هُنَاكَ قِسْمٌ لِتَأْمِينِ الْبَاعَةِ الْمُتَجَوِّلِينَ، وَآخَرُ لِلتُّجَّارِ، وَثَالِثٌ لِلطَّلَبَةِ، وَرَابِعٌ لِأَصْحَابِ الْمِهَنِ الْحُرَّةِ كَالْمُهَنْدِسِينَ وَالأَطِبَّاءِ الْمُحَامِينَ..إِلَخ.

Pertama: Organisasi asuransi Ta’awun (sosial) harus memiliki pusat dengan cabang di seluruh kota, dengan departemen yang berbeda-beda sesuai dengan risiko yang ingin dicakup, dan berdasarkan berbagai kategori dan profesi peserta kerjasama. Misalnya, ada departemen untuk asuransi kesehatan, departemen untuk asuransi kecacatan dan pensiun, dll. Atau bisa ada departemen untuk pedagang keliling, dan lainnya untuk pedagang, mahasiswa, serta untuk para profesional mandiri seperti insinyur, dokter, dan pengacara.

الثَّانِي: أَنْ تَكُونَ مُنَظَّمَةُ التَّأْمِينِ التَّعَاوُنِيِّ عَلَى دَرَجَةٍ كَبِيرَةٍ مِنَ الْمُرُونَةِ، وَالْبُعْدِ عَنِ الأَسَالِيبِ الْمُعَقَّدَةِ.

Kedua: Organisasi asuransi Ta’awun (sosial) harus memiliki tingkat fleksibilitas yang tinggi dan menjauhkan diri dari metode yang rumit.

الثَّالِثُ: أَنْ يَكُونَ لِلْمُنَظَّمَةِ مَجْلِسٌ أَعْلَى يُقَرِّرُ خُطَطَ الْعَمَلِ، وَيَقْتَرِحُ مَا يَلْزَمُهَا مِنْ لَوَائِحَ وَقَرَارَاتٍ تَكُونُ نَافِذَةً إِذَا اتَّفَقَتْ مَعَ قَوَاعِدِ الشَّرِيعَةِ.

Ketiga: Organisasi ini harus memiliki dewan tertinggi yang merumuskan rencana kerja, dan mengusulkan peraturan dan keputusan yang harus berlaku jika sesuai dengan prinsip syariah.

الرَّابِعُ: يُمَثِّلُ الْحُكُومَةَ فِي هَذَا الْمَجْلِسِ مَنْ تَخْتَارُهُ مِنَ الأَعْضَاءِ، وَيُمَثِّلُ الْمُسَاهِمِينَ مَنْ يَخْتَارُونَهُ لِيَكُونُوا أَعْضَاءً فِي الْمَجْلِسِ لِيُسَاعِدَ ذَلِكَ عَلَى إِشْرَافِ الْحُكُومَةِ عَلَيْهَا، أَوِ اطْمِئْنَانِهَا عَلَى سَلَامَةِ سَيْرِهَا، وَحِفْظِهَا مِنَ التَّلَاعُبِ وَالْفَشَلِ.

Keempat: Pemerintah diwakili dalam dewan ini oleh anggota yang dipilihnya, sementara para kontributor diwakili oleh anggota yang mereka pilih untuk menjadi bagian dari dewan ini. Hal ini akan membantu pemerintah mengawasi dan memastikan keamanan organisasi ini dari penipuan dan kegagalan.

الْخَامِسُ: إِذَا تَجَاوَزَتِ الْمَخَاطِرُ مَوَارِدَ الصُّنْدُوقِ بِمَا قَدْ يَسْتَلْزِمُ زِيَادَةَ الأَقْسَاطِ، تَقُومُ الدَّوْلَةُ وَالْمُشْتَرِكُونَ بِتَحَمُّلِ هَذِهِ الزِّيَادَةِ.

Kelima: Jika risiko melebihi sumber daya dana, negara dan para peserta akan bertanggung jawab atas kenaikan tersebut.

وَيُؤَيِّدُ مَجْلِسُ الْمَجْمَعِ الْفِقْهِيِّ مَا اقْتَرَحَهُ مَجْلِسُ هَيْئَةِ كِبَارِ الْعُلَمَاءِ فِي قَرَارِهِ الْمَذْكُورِ بِأَنْ يَتَوَلَّى وَضْعَ الْمَوَادِّ التَّفْصِيلِيَّةِ لِهَذِهِ الشَّرِكَةِ التَّعَاوُنِيَّةِ جَمَاعَةٌ مِنَ الْخُبَرَاءِ الْمُخْتَصِّينَ فِي هَذَا الشَّأْنِ.

Dewan Majelis Fiqih mendukung apa yang diusulkan oleh Majelis Dewan Ulama Besar dalam keputusannya yang disebutkan sebelumnya untuk menugaskan kelompok tenaga ahli yang ahli di bidang ini untuk merumuskan rincian operasional untuk perusahaan kerjasama ini.

Dan Allah adalah Pemberi taufik. Semoga shalawat dan salam tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya.

Susunan Anggota Majlis Fatwa :

Wakil Presiden: Muhammad Ali Al-Harkan

Presiden: Abdullah bin Humaid [Sekretaris Jenderal: Ketua Dewan Kehakiman Tertinggi Rabithah al-‘Aalami al-Islami di Kerajaan Arab Saudi].

Anggota:

- Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz [  Ketua Umum Administrasi Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah, dan Bimbingan di Kerajaan Arab Saudi].

- Muhammad Mahmoud Al-Sawwaf

- Saleh bin Utsaimiin

- Muhammad bin Abdullah Al-Sabil

- Muhammad Rashid Qabbani

- Mustafa Al-Zarqa

- Muhammad Rashidi

- Abdul Quddus Al-Hashimi Al-Nadwi

- Abu Bakar Jumi

*****

FATWA KE TUJUH :

FATWA MAJLIS ULAMA INDONESIA (MUI)

MUI telah mengeluarkan fatwa MUI terkait asuransi syariah sejak 2001 yang menyatakan bahwa asuransi syariah diperbolehkan.

Fatwa DSN MUI Nomor 21/DSN-MUI/X/2001 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah menyebutkan : asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang atau pihak melalui investasi dalam bentuk aset atau tabarru yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu menggunakan akad yang sesuai dengan syariah.

Disebutkan dalam fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) NO: 21/DSN-MUI/X/2001 tentang pedoman asuransi syariah. Fatwa tersebut memuat tentang bagaimana asuransi yang sesuai dengan syariat agama islam.

Islam tidak melarang Anda memiliki asuransi. Asuransi diperbolehkan asalkan dana yang terkumpul dikelola sesuai dengan syariat-syariat Islam.

Berikut ringkasan pandangan MUI terhadap asuransi yang perlu diketahui:

1. Bentuk Perlindungan

Dalam kehidupan, kita memerlukan adanya dana perlindungan atas hal-hal buruk yang akan terjadi.

Hal ini ditegaskan oleh fatwa MUI NO: 21/DSN-MUI/X/2001 menyatakan, “Dalam menyongsong masa depan dan upaya meng-antisipasi kemungkinan terjadinya risiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu dipersiapkan sejumlah dana tertentu sejak dini.” Salah satu upaya solusi yang bisa dilakukan adalah memiliki asuransi yang dikelola dengan prinsip-prinsip syariah.

Asuransi dibutuhkan guna perlindungan terhadap harta dan nyawa secara finansial yang risikonya tidak dapat diprediksi. Hal-hal yang umumnya diasuransikan adalah rumah, kendaraan, kesehatan, pendidikan dan nyawa. Dengan memiliki asuransi, Anda tidak perlu khawatir akan risiko yang akan menimpa karena risiko tersebut dapat diminimalisir dan mendapat ganti rugi.

2. Unsur Tolong menolong

Semua ajaran agama yang ada pasti mengajarkan sikap tolong-menolong terhadap sesama.

Dalam kehidupan sosial tolong-menolong dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, baik secara finansial maupun kebaikan.

Fatwa MUI NO: 21/DSN-MUI/X/2001 menyebutkan di dalam asuransi syariah terdapat unsur tolong-menolong diantara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan/atau tabarru’ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai syariah.

3. Unsur Kebaikan

Dalam setiap produk asuransi syariah mengandung unsur kebaikan atau istilahnya memiliki akad tabbaru’. Secara harfiah, tabbaru’ dapat diartikan sebagai kebaikan. Aturannya, jumlah dana premi yang terkumpul disebut hibah yang nantinya akan digunakan untuk kebaikan, yakni klaim yang dibayarkan berdasarkan akad yang disepakati pada awal perjanjian.

Adapun besarnya premi dapat ditentukan melalui rujukan yang ada, misalnya merujuk pada tabel mortalita untuk menentukan premi pada asuransi jiwa dan tabel morbidita untuk menentukan premi pada asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan unsur riba dalam perhitungannya.

4. Berbagi Risiko dan Keuntungan

Dalam asuransi yang dikelola secara prinsip syariah, risiko dan keuntungan dibagi rata ke orang-orang yang terlibat dalam investasi. Hal ini dinilai cukup adil dan sesuai dengan syariat agama karena menurut MUI, asuransi hendaknya tidak dilakukan dalam rangka mencari keuntungan komersil.

Risiko yang dimaksud adalah risiko yang terjadi pada salah satu peserta asuransi yang terkena musibah, maka ganti rugi (klaim) yang didapat dari peserta asuransi yang lain. Dengan kata lain, saat seorang peserta mendapat musibah peserta lain juga ikut merasakannya. Begitu juga dengan keuntungan yang didapat. Dalam asuransi syariah keuntungan yang didapat dari hasil investasi premi dalam akad mudharabah dapat dibagi-bagikan kepada peserta asuransi dan tentu saja disisihkan juga untuk perusahaan investasi.

5. Bagian dari Bermuamalah

Muamalah merupakan bagian dari hukum islam yang mengatur hubungan antar manusia. Contoh hubungan yang diatur dalam islam adalah jual beli dan perdagangan. Hal tersebut juga menjadi landasan dari asuransi syariah. Menurut MUI asuransi juga termasuk bagian dari bermuamalah karena melibatkan manusia dalam hubungan finansial. Segala aturan dan tata caranya tentu saja harus sesuai dengan syariat islam. Jadi dalam berpartisipasi dalam bermuamalah, Anda dianggap ikut serta dalam menjalani perintah agama.

6. Musyawarah Asuransi

MUI menegaskan dalam ketentuan berasuransi, jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

AKAD DALAM ASURANSI SYARIAH

MUI juga menegaskan aturan akad yang digunakan dalam asuransi.

Akad yang dimaksud adalah perikatan antara peserta asuransi dengan perusahaan asuransi.

Di dalam akad tidak boleh terdapat unsur gharar (penipuan), maysir (perjudian), riba, zhulm (penganiayaan), risywah (suap), barang haram dan maksiat karena tujuan akad adalah saling tolong-menolong dengan mengharapkan ridha dan pahala dari Allah.

Terdapat 3 jenis akad dalam asuransi syariah yang perlu Anda ketahui, yaitu :

1. Akad Tijarah

Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial. Maksud tujuan komersial dalam asuransi syariah adalah mudharabah, yakni investasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi yang dananya didapati dari dana premi peserta asuransi. Hal ini dilakukan guna mendapatkan keuntungan karena dalam asuransi syariah, perusahaan asuransi diwajibkan melakukan investasi.

2. Akad Tabbaru’

Akad tabarru’ adalah semua bentuk akad yang dilakukan dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong, bukan hanya untuk tujuan komersial. Dana premi yang terkumpul menjadi dana hibah yang dikelola oleh perusahaan asuransi. Selanjutnya, dana hibah yang terkumpul digunakan untuk klaim asuransi bagi peserta yang terkena musibah.

3. Akad Wakalah bil ujrah

Akad Wakalah adalah akad di mana peserta memberikan kuasa kepada perusahaan asuransi dengan imbalan pemberian ujrah (fee). Sifat akad wakalah adalah amanah, jadi perusahaan asuransi hanya bertindak sebagai wakil (yang mengelola dana) sehingga perusahaan tidak menanggung risiko terhadap kerugian investasi. Selain itu juga tidak ada pengurangan fee yang diterimanya oleh perusahaan, kecuali karena kecerobohan atau wanprestasi

****

PERBEDAAN ANTARA ASURANSI TA’AWUN (SOSIAL) DAN ASURANSI KOMERSIAL

Ada beberapa perbedaan antara asuransi Ta’awun dan asuransi komersial. Diantarnya adalah sbb :

PERBEDAAN PERTAMA :

Perbedaan terpenting dari kedua asuransi tersebut (asuransi ta’awun dan asuransi komersial) adalah sbb :

Angsuran premi dalam asuransi Ta’awun (sosial) tidak dimiliki oleh pengelola dana, akan tetapi tetap menjadi donasi yang diinfakkan kepada orang yang memenuhi syarat.

Sedangkan pengelola dana jaminan kesehatan komersial memiliki kontribusi dan deduksi dari orang-orang yang bergabung di dalamnya serta masuk ke dalam rekening (akun) pribadi pengelola sebagai timbal balik dari pihak pengelola atas konsistensi dalam memberikan perawatan kepada orang yang memenuhi syarat.

Perbedaan yang sangat besar antara kedua bentuk asuransi tersebut.

Bentuk pertama (asuransi Ta’awun / sosial) merupakan bentuk tolong-menolong dan solidaritas.

Sedangkan bentuk kedua (asuransi komersial) adalah judi yang mana Komisi Fikih Kontemporer sepakat mengharamkannya.

PERBEDAAN KEDUA :

Ada beberapa perbedaan substansial lainnya antara asuransi sosial kesehatan yang boleh diikuti dan asuransi komersial yang haram, yang berdiri di atas konsep perjudian. Harus dipahami dengan benar perbedaan-perbedaan ini sebelum mengeluarkan fatwa halal atau haram pada kondisi tertentu. [ Lihat : Islamqa Fatwa no. 205100]

Dalam kitab Al-Ma’ayir As-Syar’iyah hal. 372-373 disebutkan :

Penyebab kehalalan asuransi takaful (solidaritas) dan keharaman asuransi komersial adalah pada perbedaan substansial berikut ini, yaitu :

A. Asuransi konvensional adalah akad pertukaran uang (harta) yang bertujuan untuk meraih keuntungan dari asuransi itu sendiri. Maka diterapkanlah hukum-hukum pertukaran uang yang sangat dipengaruhi oleh gharar (ketidakjelasan). Hukum asuransi konvensional secara syariat adalah haram. Sedangkan asuransi takaful adalah komitmen untuk berdonasi, dan tidak dipengaruhi oleh gharar.

B. Perusahaan pada asuransi syariah (atau lembaga asuransi dalam sebagian gambarannya) -sebagaimana disebutkan dalam pertanyaan- adalah wakil dari rekening asuransi dalam berakad, sedangkan dalam asuransi komersial perusahaan adalah pihak utama, ia berakad atas nama dirinya sendiri.

C. Perusahaan dalam asuransi komersial memiliki premi sebagai timbal balik dari komitmennya akan dana asuransi. Sedangkan perusahaan pada asuransi syariah tidak memiliki nilai premi, karena premi asuransi menjadi milik rekening asuransi.

D. Premi yang tersisa dan pengembaliannya setelah dikurangi beban dan kompensasi tetap menjadi milik rekening para pemegang polis. Ia adalah surplus yang dibagikan kepada para pemegang polis itu. Hal ini tidak bisa tergambarkan dalam asuransi komersial, karena premi menjadi milik perusahaan dengan adanya akad dan qabhd, bahkan dianggap sebagai pendapatan dan keuntungan dalam asuransi komersial. 

E. Pendapatan investasi pokok premi setelah dikurangi prosentasi bagi hasil untuk perusahaan kembali ke rekening para pemegang polis dalam asuransi syariah, tetapi ia kembali ke perusahaan itu sendiri dalam asuransi komersial.

F. Asuransi syariah bertujuan untuk mewujudkan sikap tolong-menolong antar anggota masyarakat dan tidak berorientasi pada keuntungan dalam proses asuransi. Sementara asuransi komersial berorientasi pada keuntungan dari asuransi itu sendiri.

G. Keuntungan perusahaan dalam asuransi syariah kembali pada investasi harta. Porsinya berasal dari keuntungan bagi hasil (Mudharabah). Perusahaan sendiri adalah pihak Mudharib. Sedangkan rekening asuransi adalah pemilik harta.

H. Musytarik dan Mu’aman dalam asuransi syariah pada hakikatnya adalah sama, meskipun keduanya berbeda dalam segi pertimbangan. Keduanya dalam asuransi komersial berbeda sama sekali.

I. Perusahaan dalam asuransi syariah komitmen terhadap hukum-hukum syariat dan fatwa-fatwa lembaga syariah. Sementara asuransi komersial tidaklah komitmen terhadap hukum-hukum syariah.”

[Baca : “Al-Ma'aayir asy-Syar'iyyah ash-Shodirah 'an Hay'at al-Muhaasabah wa al-Muraqabah li al-Mu'assasat al-Maaliyyah al-Islamiyyah”, Karya Abd al-Rahman al-Najdi].

Kami tahu bahwa banyak sekali perbedaan ini tidak memiliki tempat untuk dibahas dalam pembicaraan mengenai badan asuransi yang terdapat pada pertanyaan. Akan tetapi perlu kami kutip di sini agar pembaca mengetahui perbedaan hakiki yang sangat besar antara asuransi sosial yang mubah dan asuransi komersial yang haram. Setelah itu ia bisa menganalogikan lembaga jaminan kesehatan pemerintah dengannya.

PERBEDAAN KETIGA :

Untuk mengeluarkan fatwa yang rinci tentang hukum badan asuransi Anda semua, dan membantu Anda dalam mewujudkan batasan syariat asuransi sosial Anda, mestinya Anda mengirimkan dokumen resmi yang menjelaskan tentang lembaga asuransi tersebut, begitu pula akad-akad yang ditandatangani oleh para kontributornya, agar bisa dikaji dan dijelaskan hukumnya. Meskipun kami cenderung berpendapat bahwa lembaga asuransi Anda masih dalam bentuk yang selamat (tidak masalah), dengan izin Allah. Namun, tidak semestinya dipastikan hukumnya sebelum menelaah sistem resmi lembaga asuransinya dan model-model kontribusi di dalamnya.

Al-Ma’ayir As-Syar’iyah telah menentukan sejumlah syarat utama yang harus disebutkan dalam aturan pendirian lembaga sosial, pada halaman 364, yaitu :

Asuransi syariah adalah : kesepakatan beberapa individu yang menghadapi risiko-risiko tertentu untuk menghindari bahaya yang timbul dari risiko ini dengan membayar kontribusi dengan berdasarkan pada komitmen untuk berdonasi, kemudian terbentuklah lembaga asuransi yang memiliki badan hukum dan mempunyai jaminan dana yang independen. Lembaga tersebut memberikan kompensasi atas bahaya yang menimpa salah satu peserta asuransi disebabkan oleh risiko, sesuai dengan dokumen yang berlaku. Pengelolaan terhadap lembaga ini dilakukan oleh badan terpilih dari kalangan pemegang polis atau dipimpin oleh perusahaan pemegang saham yang diberikan gaji, ia bekerja mengelola aktifitas asuransi dan mengembangkan kas dana pada lembaga.

Sedangkan asuransi konvensional adalah : akad Mu’aawadhah terhadap harta yang berorientasi pada keuntungan dari asuransi itu sendiri, sehingga diterapkan hukum-hukum terkait akad Mu’awadhah yang sangat dipengaruhi oleh gharar (ketidakjelasan). Hukum asuransi konvensional secara syariat adalah haram.

Asuransi syariah berdiri di atas prinsip-prinsip dan dasar-dasar syariat, yang harus disebutkan dalam undang-undang utama atau pada dokumen perusahaan, sebagai berikut: 

Pertama : komitmen dalam berdonasi.

Disebutkan bahwa peserta asuransi berdonasi dengan kontribusi dana pada rekening asuransi agar mendapatkan kompensasi. Terkadang ia harus konsisten dalam menanggung biaya asuransi bila suatu saat ia tidak mampu berkontribusi, sesuai dengan dokumen yang menjadi pijakan.

Kedua : perusahaan yang mengelola asuransi membuat dua rekening terpisah. Pertama, rekening khusus untuk perusahaan itu sendiri beserta hak dan kewajibannya. Kedua, rekening khusus untuk badan pemegang polis beserta hak dan kewajibannya.

Ketiga : perusahaan adalah wakil dalam mengelola rekening asuransi, sebagai Mudharib, atau wakil dalam mengembangkan aset asuransi.

Keempat : rekening asuransi khusus untuk menyimpan aset asuransi dan keuntungan dari investasinya, sebagaimana halnya ia menanggung komitmen-komitmennya.

Kelima : dokumen-dokumen yang menjadi pijakan boleh mencakup tindakan terhadap surplus dengan segala kemaslahatan di dalamnya dengan syarat perusahaan pengelola tidak berhak terhadap surplus itu sedikit pun.

Keenam : membelanjakan manfaat asuransi yang terkait dengan asuransi dan akumulasi surplus pada bidang-bidang kebaikan ketika mengadakan likuidasi perusahaan.

Ketujuh : memprioritaskan partisipasi para pemegang polis dalam mengelola proses asuransi.

Kedelapan : komitmen perusahaan terhadap hukum-hukum dan prinsip-prinsip syariat Islam dalam semua kegiatan dan investasinya, terutama tidak melakukan kegiatan asuransi pada hal-hal yang haram.

Kesembilan : menentukan badan pengawas syariat yang fatwa-fatwanya mengikat perusahaan, dan adanya pengelolaan pengawasan dan pemeriksaan secara syariat.”

Semua masalah ini haruslah diperhatikan dalam dokumen yang mengatur aktifitas badan asuransi, terutama badan asuransi yang menginvestasikan kontribusi para mu’amman untuk rekening asuransi. Maka harus diperhatikan keberadaannya dalam materi undang-undangnya atau sistem yang mengkomando aktifitas asuransi.

Wallahu A’lam . [Baca : “Al-Ma'aayir asy-Syar'iyyah ash-Shodirah 'an Hay'at al-Muhaasabah wa al-Muraqabah li al-Mu'assasat al-Maaliyyah al-Islamiyyah”, Karya Abd al-Rahman al-Najdi]. [ Lihat pula : Islamqa Fatwa no. 205100]

=====

PENJELASAN DARI MAJMA’ FIQIH ISLAMI TENTANG PERBEDAAN ANTARA ASURANSI TA’AWUNI DAN ASURANSI KOMERSIAL :

Majelis Majma' al-Fiqh al-Islami International Yang berafiliasi Dengan Munadzamat al-Taa'awun al-Islami yang diselenggarakan yang diselenggarakan dalam Daurah kedua puluh satu di Kota Riyadh (Kerajaan Arab Saudi) dari tanggal 15 hingga 19 Muharram 1435 H, yang bersesuaian dengan 18-22 November 2013 M.

Mereka memutuskan perbedaan-perbedaanya adalah sebagai berikut :

PERBEDAAN ANTARA ASURANSI KOMERSIAL DAN NON-KOMERSIAL :

Ada perbedaan mendasar antara asuransi Ta’awun (sosial) dan asuransi komersial, di antaranya:

(1) Asuransi Ta’awun (sosial) Islam adalah kerjasama antara kelompok atau beberapa kelompok individu dalam masyarakat melalui partisipasi dalam menanggung risiko tanpa tujuan mencari keuntungan. Oleh karena itu, tidak termasuk dalam kontrak muawadhah (pertukaran manfaat timbal-balik), dan riba di dalamnya diampuni. Sedangkan asuransi komersial adalah kontrak muawadhah yang bertujuan untuk mencari keuntungan melalui pertukaran manfaat timbal-balik dalam pemindahan risiko dari tertanggung ke perusahaan asuransi, dan dikenakan aturan muamalah keuangan di mana riba dapat terjadi.

(2) Pihak yang terlibat dalam asuransi Ta’awun (sosial) adalah: semua peserta dalam dana asuransi Ta’awun (sosial) dan pihak administratif. Sedangkan dalam asuransi komersial, pihak yang terlibat adalah perusahaan dan pemegang polis.

(3) Dana asuransi, yang terdiri dari total kontribusi pemegang polis, keuntungan dari investasi, dan cadangan yang disetujui, ada dalam asuransi Ta’awun (sosial). Sedangkan dalam asuransi komersial, tidak ada dana semacam itu.

(4) Perusahaan manajer, yang mengelola asuransi dalam hal cakupan, aktivitas asuransi, dan investasi dana asuransi, ada dalam asuransi Ta’awun (sosial). Sedangkan dalam asuransi komersial, perusahaan asuransi adalah pihak yang menanggung risiko, memiliki premi asuransi, serta mendapatkan keuntungan dan surplus.

(5) Pemegang polis dan tertanggung dalam asuransi Ta’awun (sosial) sebenarnya adalah satu entitas yang berbeda dalam dua kapasitas, tetapi dalam asuransi komersial mereka adalah entitas yang berbeda secara keseluruhan, di mana peserta adalah tertanggung dan perusahaan asuransi adalah pemegang polis.

(6) Manajemen dalam asuransi Ta’awun (sosial), baik berupa badan yang dipilih dari antara peserta, perusahaan spesialis, atau lembaga umum, bertindak sebagai agen dalam melakukan kontrak atas nama dana peserta (pemegang polis), dan berhak menerima imbalan atas jasa tersebut, sementara dalam asuransi komersial, perusahaan adalah pihak utama yang berkontrak atas nama mereka sendiri.

(7) Manajemen dalam asuransi Ta’awun (sosial) tidak memiliki premi asuransi (kontribusi); karena premi tersebut dimiliki oleh dana peserta (pemegang polis). Sementara dalam asuransi komersial, perusahaan memiliki premi sebagai imbalan atas kewajibannya untuk membayar kompensasi.

(8) Sisa premi dan hasilnya - setelah dikurangi biaya dan kompensasi - tetap menjadi milik dana peserta, yang disebut surplus, yang pengelolaannya ditentukan oleh aturan dana tersebut. Hal ini tidak berlaku dalam asuransi komersial karena premi menjadi milik perusahaan berdasarkan kontrak dan penerimaan, sehingga dianggap sebagai pendapatan dan keuntungan dalam asuransi komersial.

(9) Hasil investasi dari premi setelah dikurangi biaya administrasi untuk perusahaan manajer kembali ke dana pemegang polis dalam asuransi Ta’awun (sosial), dan kembali ke perusahaan dalam asuransi komersial.

(10) Aset dana ketika dana asuransi Ta’awun (sosial) dilikuidasi dialokasikan untuk kegiatan amal atau diberikan kepada peserta pada saat itu (sebagaimana dirinci dalam pasal ketiga belas), sedangkan dalam asuransi komersial, aset kembali kepada pemegang saham.

(11) Perusahaan dalam asuransi Ta’awun (sosial) terikat oleh hukum syariah Islam dan fatwa dari badan syariahnya, sedangkan dalam asuransi komersial, hal ini tidak berlaku.

(12) Asuransi Ta’awun (sosial) memiliki kesamaan dengan asuransi komersial dalam menerapkan prinsip-prinsip dasar asuransi, yaitu:

(a) Prinsip kepentingan yang dapat diasuransikan: adalah hak hukum untuk diasuransikan yang timbul dari hubungan finansial yang diakui secara hukum antara tertanggung dan objek asuransi.

(b) Prinsip itikad baik: adalah kewajiban sukarela untuk mengungkapkan secara akurat dan lengkap semua fakta material terkait dengan risiko yang akan diasuransikan, baik diminta atau tidak diminta.

(c) Prinsip penyebab langsung: adalah penyebab efektif yang cukup untuk memulai serangkaian peristiwa yang mengakibatkan hasil tertentu tanpa intervensi faktor lain yang berasal dari sumber baru yang independen yang memutuskan rantai peristiwa tersebut.

(d) Prinsip indemnitas (kompensasi).

(e) Prinsip kontribusi.

(f) Prinsip subrogasi.

Asuransi Ta’awun (sosial) memiliki prinsip-prinsip khusus yang tidak dimiliki asuransi komersial, di antaranya:

(a) Kepatuhan terhadap hukum syariah Islam dalam semua transaksi dan kontrak.

(b) Tidak mengasuransikan hal-hal yang diharamkan.

(c) Tidak terlibat dalam transaksi riba, baik dalam bentuk menerima maupun memberi.

KEUNGGULAN ASURANSI TA’AWUN :

Berikut ini adalah gambaran mengenai prinsip-prinsip utama asuransi Ta’awun (sosial) Islam:

**Pasal Pertama: Definisi:**

Asuransi Ta’awun (sosial) adalah partisipasi dari sekelompok orang yang menghadapi risiko tertentu, di mana masing-masing membayar sejumlah uang sebagai bentuk kerjasama ke dalam dana nirlaba untuk memberikan kompensasi atas kerugian yang mungkin terjadi jika risiko tertentu terjadi, sesuai dengan kontrak yang disepakati dan peraturan yang berlaku.

**Pasal Kedua: Bentuk Pengelolaan Dana Asuransi Ta’awun (sosial):**

Asuransi Ta’awun (sosial) dikelola oleh suatu entitas independen yang memiliki lisensi dan beroperasi sesuai dengan hukum syariah Islam. Entitas ini dapat mengambil beberapa bentuk, di antaranya:

(a) Badan yang dipilih dari pemegang polis asuransi.

(b) Perusahaan yang khusus mengelola asuransi.

(c) Lembaga umum yang dibentuk oleh negara atau kelompok negara dan berada di bawah pengawasannya.

**Pasal Ketiga: Hubungan antara Dana dan Manajemen:**

Hubungan antara dana asuransi dan pihak pengelola adalah sebagai berikut:

(a) Dalam hal pengelolaan kegiatan asuransi, hubungan tersebut diatur berdasarkan kontrak agen dengan imbalan atau tanpa imbalan.

(b) Dalam hal investasi, hubungan tersebut diatur berdasarkan kontrak agen atau mudharabah. Dalam hal agen, dapat dengan imbalan atau tanpa imbalan. Dalam hal mudharabah, pihak pengelola berhak mendapatkan persentase dari keuntungan sesuai kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal, kecuali ada kelalaian, pelanggaran syarat atau peraturan.

**Pasal Keempat: Imbalan untuk Pengelola:**

Imbalan untuk pengelola ada dalam dua kondisi:

(a) Dalam hal pengelolaan kegiatan asuransi Ta’awun (sosial) sesuai dengan ketentuan kontrak agen, imbalan yang diterima oleh pihak pengelola dapat berupa jumlah tetap atau persentase tertentu dari premi.

(b) Dalam hal pengelolaan investasi aset dana peserta sesuai dengan kontrak mudharabah, pihak pengelola (mudharib) mendapatkan persentase dari keuntungan. Jika investasi dilakukan sesuai dengan ketentuan kontrak agen, maka imbalan atau kompensasi dapat berupa jumlah tetap atau persentase dari dana yang diinvestasikan.

**Pasal Kelima: Kepemilikan Premi dan Hasil Investasinya:**

Premi dan hasil bersih investasinya dianggap sebagai hak Dana Asuransi Ta’awun (sosial). Hak-hak pemegang polis di dalamnya ditentukan berdasarkan sistem asuransi, persyaratan kelayakan untuk kompensasi, atau surplus asuransi.

**Pasal Keenam: Otoritas dalam Menentukan Imbalan bagi Pengelola Kegiatan Asuransi:**

Penentuan imbalan atau upah bagi pengelola kegiatan asuransi harus berdasarkan standar yang adil yang ditetapkan oleh otoritas independen dari pengelolaan asuransi, seperti: Otoritas Pengawas Asuransi, atau melalui negosiasi antara perwakilan dana, atau badan yang mereka pilih untuk mewakili kepentingan mereka, dan pihak pengelola.

**Pasal Ketujuh: Tanggung Jawab Dana:**

Dana Asuransi Ta’awun menanggung kerugian finansial baik dalam investasi maupun kegiatan asuransi, kecuali jika kerugian tersebut disebabkan oleh kelalaian, pelanggaran syarat atau peraturan oleh pihak pengelola, maka pihak pengelola yang menanggungnya.

**Pasal Kedelapan: Surplus Asuransi Dana:**

Surplus asuransi adalah saldo keuangan yang tersisa dari total premi yang terkumpul, hasil investasinya, dan pendapatan lain setelah pembayaran kompensasi, alokasi untuk cadangan dan dana penyisihan yang diperlukan, serta pengurangan semua biaya dan kewajiban yang harus dibayar oleh dana.

Surplus asuransi dapat disimpan seluruhnya di dana, atau didistribusikan seluruhnya atau sebagian kepada pemegang polis dengan cara yang adil, sesuai dengan peraturan dana.

**Pasal Kesembilan: Kekurangan dalam Dana Asuransi Ta’awun (sosial) dan Situasinya:**

Dalam hal Dana Asuransi Ta’awun (sosial) mengalami kekurangan untuk memenuhi kewajiban yang harus dibayarkan, maka pihak pengelola boleh, tanpa kewajiban, menggunakan satu atau lebih dari tindakan berikut:

a. Meminjam dari pihak ketiga.

b. Memberikan pinjaman baik dari pihak pengelola kepada dana.

c. Menaikkan jumlah premi jika disetujui oleh para peserta.

d. Menyetujui dengan penerima kompensasi untuk mengurangi jumlah kompensasi atau mencicilnya.

Selain itu, dapat juga menggunakan opsi lain yang dianggap sesuai setelah mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas Syariah.

**Pasal Kesepuluh: Reasuransi:**

1. Perusahaan asuransi Ta’awun (sosial) diperbolehkan untuk membuat kontrak reasuransi, dengan syarat bahwa aktivitas reasuransi yang dilakukan atau diterima harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam dan prinsip-prinsip dasar asuransi Ta’awun (sosial) sebagaimana ditentukan oleh Dewan Pengawas Syariah.

2. Perusahaan asuransi wajib melakukan reasuransi dengan perusahaan reasuransi yang berbasis Islam. Namun, jika hal tersebut tidak memungkinkan dengan alasan yang dapat dibenarkan, maka perusahaan dapat melakukan reasuransi dengan perusahaan reasuransi konvensional sebatas kebutuhan, dan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh Dewan Pengawas Syariah. Pedoman lain yang dianggap sesuai juga dapat diterapkan, di antaranya:

(a) Mengurangi persentase yang diserahkan kepada perusahaan reasuransi konvensional seminimal mungkin.

(b) Pengelola asuransi Ta’awun (sosial) tidak boleh mengarahkan investasi premi reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan reasuransi kecuali dalam hal yang sesuai dengan ketentuan syariah Islam, dan tidak diperbolehkan menuntut bagian dari hasil investasi perusahaan tersebut jika melanggar syariah Islam, serta tidak bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh investasi perusahaan tersebut.

(c) Perusahaan asuransi Ta’awun (sosial) tidak boleh membayar bunga riba atas dana yang disimpan pada perusahaan reasuransi konvensional, dan tidak menerima bunga riba atas dana yang disimpan pada mereka, dengan ketentuan bahwa dana disimpan pada perusahaan asuransi Ta’awun (sosial), bukan perusahaan reasuransi.

(d) Kesepakatan dengan perusahaan reasuransi konvensional harus untuk jangka waktu sesingkat mungkin.**

**Pasal Kesebelas: Kepatuhan Terhadap Ketentuan Syariah Islam:**

Pengelola asuransi wajib mematuhi ketentuan syariah Islam dalam semua aktivitas dan investasi asuransi.

**Pasal Kedua belas: Pengawasan Syariah:**

Perusahaan asuransi Ta’awun (sosial) wajib menunjuk Dewan Pengawas Syariah dan perangkat audit syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Keputusan Majelis Fikih Islam Internasional nomor: 177(19/3) tentang (Peran Pengawasan Syariah dalam Mengontrol Operasi Bank Syariah: Pentingnya, Syaratnya, Cara Kerjanya), dan dewan ini dalam penunjukan serta pengawasan operasionalnya tunduk pada persetujuan pengawasan syariah pusat jika ada.

**Pasal Ketiga belas: Likuidasi Dana:**

Jika dana asuransi kooperatif dilikuidasi, asetnya akan didistribusikan ke badan amal atau kepada peserta sesuai dengan prinsip-prinsip yang adil setelah memenuhi kewajiban teknis dan hukum sesuai dengan peraturan dana dan di bawah pengawasan Dewan Pengawas Syariah Umum. Tidak ada bagian dari aset yang boleh dikembalikan kepada pengelola dana.

**Pasal Keempat belas: Penyelesaian Sengketa:**

Perselisihan yang timbul antara perusahaan asuransi kooperatif dan pemegang polis akan diselesaikan sesuai dengan peraturan dan undang-undang yang berlaku. Jika terjadi sengketa, akan diupayakan penyelesaian melalui mediasi, kemudian arbitrase, dan jika tidak memungkinkan, sengketa akan dirujuk ke otoritas yudisial yang berwenang.

**Pasal Kelima belas: Hubungan Antar Peserta dalam Dana Asuransi Kooperatif:**

Hubungan antar peserta dalam dana adalah hubungan kerja sama antara sekelompok orang yang masing-masing membayar sejumlah uang tertentu untuk menutupi kerugian atau mendatangkan manfaat bagi salah satu dari mereka. Kerja sama ini didasarkan pada toleransi, solidaritas, dan saling merelakan hak masing-masing, bukan pada pertukaran, perhitungan ketat, atau mencari keuntungan. Dalam hubungan semacam ini, ketidakpastian yang besar dapat ditoleransi dan riba tidak berlaku. Hal ini memiliki beberapa dalil dalam syariah, antara lain:

(1) Perintah untuk saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana Allah SWT berfirman:

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى

"(Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa)" (Al-Maidah: 2).

(2) Hadis tentang kaum Asy'ari: Diriwayatkan dari Abu Musa Al-Asy'ari radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

 إنَّ الأشْعَرِيِّينَ إذا أرْمَلُوا في الغَزْوِ، أوْ قَلَّ طَعامُ عِيالِهِمْ بالمَدِينَةِ، جَمَعُوا ما كانَ عِنْدَهُمْ في ثَوْبٍ واحِدٍ، ثُمَّ اقْتَسَمُوهُ بيْنَهُمْ في إناءٍ واحِدٍ، بالسَّوِيَّةِ، فَهُمْ مِنِّي وأنا منهمْ.

"Kaum Asy'ari, jika mereka kekurangan dalam peperangan atau makanan anak-anak mereka di Madinah berkurang, mereka mengumpulkan apa yang mereka miliki dalam satu kain, lalu membaginya di antara mereka dalam satu wadah dengan adil. Maka mereka termasuk golonganku, dan aku termasuk golongan mereka." (Muttafaqun 'alaih).

Imam Nawawi rahimahullah mengomentari hadis ini dengan mengatakan:

(وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ فَضِيلَةُ الأَشْعَرِيِّينَ، وَفَضِيلَةُ الإِيثَارِ وَالْمَوَاسَاةِ، وَفَضِيلَةُ خَلْطِ الأَزْوَادِ فِي السَّفَرِ، وَفَضِيلَةُ جَمْعِهَا فِي شَيْءٍ عِنْدَ قَلَّتِهَا فِي الْحَضَرِ، ثُمَّ تَقْسِمُ. وَلَيْسَ الْمُرَادُ بِهَذِهِ الْقِسْمَةِ الْمَعْرُوفَةِ فِي كُتُبِ الْفِقْهِ بِشُرُوطِهَا، وَمَنْعِهَا فِي الرِّبَوِيَّاتِ، وَاشْتِرَاطِ الْمَوَاسَاةِ وَغَيْرِهَا، وَإِنَّمَا الْمُرَادُ هُنَا إِبَاحَةُ بَعْضِهِمْ بَعْضًا وَمَوَاسَاتُهُمْ بِالْمَوْجُودِ).

"(Dalam hadis ini terdapat keutamaan kaum Asy'ariin, keutamaan sikap mengutamakan orang lain dan saling tolong-menolong, keutamaan campur aduk bekal saat dalam perjalanan, keutamaan mengumpulkan bekal di satu tempat saat sedikitnya di perkotaan, lalu dibagi-bagikan. Yang dimaksud dengan pembagian di sini bukanlah pembagian yang dikenal dalam kitab-kitab fiqih dengan syarat-syaratnya, dan dilarang dalam hal ribawi, serta meminta untuk saling tolong-menolong, tetapi yang dimaksud di sini adalah memperbolehkan satu sama lain dan tolong-menolong dengan apa yang ada)." (Syarh Nawawi 'ala Sahih Muslim: 62/16).

Ketiga: Al-Nahd ( النَّهْدِ = biaya bersama dalam perjalanan yang diiurkan) atau al-Munahadah (المُنَاهَدَة).

Imam Bukhari rahimahullah menamai bab ini dengan:

(باب: الشركة، فِي الطَّعَامِ وَالنَّهْدِ وَالْعُرُوضِ وَكَيْفَ قِسْمَةُ مَا يُكَالُ وَيُوزَنُ مُجَازَفَةً أَوْ قَبْضَةً قَبْضَةً لَمَّا لَمْ يَرَ الْمُسْلِمُونَ فِي النَّهْدِ بَأْسًا أَنْ يَأْكُلَ هَذَا بَعْضًا وَهَذَا بَعْضًا وَكَذَلِكَ مُجَازَفَةُ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْقِرَانُ فِي التَّمْر)

"Bab: syarikah (patungan) dalam makanan, nahd (biaya bersama), dan barang-barang dagangan, serta bagaimana pembagian barang yang ditakar dan ditimbang, baik secara acak tanpa takaran atau ditakar segenggam demi segenggam, karena tidak ada masalah bagi kaum Muslimin dalam iuran bersama, lalu diantara mereka ada yang makan sebagian, sementara yang lain makan sebagian yang berbeda , dan demikian pula tidak ada masalah dengan pembagian emas dengan perkiraan tanpa ditimbang, begitu pula perak, dan qiran (campur) dalam buah kurma."

Maksudnya adalah partisipasi sekelompok musafir dalam semua biaya perjalanan, kemudian dibagi-bagikan kepada semua.

Ibnu Hajar al-Asqalani mengatakan:

النَّهْدُ بِكَسْرِ النُّونِ وَبِفَتْحِهَا، إخْرَاجُ الْقَوْمِ نَفَقَاتِهِمْ عَلَى قَدْرِ عَدَدِ الرَّفِقَةِ، يُقَالُ تَنَاهَّدُوا وَنَاهَدَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا. وَغَالِبًا مَا تَكُونُ الْمُشَارَكَةُ بِالْعُرُوضِ وَالطَّعَامِ وَيَدْخُلُ فِيهِ الرُّبَوِيَّاتُ، وَلَكِنَّهُ اغْتُفِرَ فِي النَّهْدِ لِثُبُوتِ الدَّلِيلِ عَلَى جَوَازِهِ.

"Al-Nahd (dengan mengkasrahkan nun dan menggantikan alif dengan fathah) adalah pengeluaran biaya kelompok berdasarkan jumlah rombongan, mereka saling tolong-menolong dan saling memberi. Umumnya, partisipasi ini meliputi barang-barang dagangan dan makanan, termasuk riba, namun diperbolehkan dalam al-Nahd karena ada dalil yang menunjukkan kebolehannya." (Fath al-Bari: 128/5).

**Pasal Enam Belas: Kemandirian Dana**:

Dana Asuransi Ta’awun (sosial) harus bersifat mandiri, terdiri dari sumbangan para peserta atau pihak lain, dengan memberikannya kepribadian hukum yang ditetapkan oleh hukum, atau dengan memisahkan akunnya sepenuhnya dari akun lembaga pengelola, serta dapat membentuk wakaf uang tunai amal berdasarkan prinsip wakaf uang.

**Pasal Tujuh Belas: Penarikan dari Dana**:

Dokumen Asuransi Ta’awun (sosial) mengatur kasus-kasus penarikan sesuai dengan peraturan, syarat, dan ketentuan yang disetujui oleh otoritas syariah, dan tanpa menimbulkan kerugian bagi pihak lain.

**Pasal Delapan Belas: Berlangganan Asuransi**:

1. Berlangganan asuransi dapat ditetapkan berdasarkan prinsip-prinsip aktuaria yang didasarkan pada dasar-dasar statistik, dengan mempertimbangkan sifat tetap atau berubahnya risiko, prinsip proporsionalitas berlangganan dengan risiko itu sendiri, serta jenis, durasi, dan jumlah pertanggungan.

2. Risiko yang dijamin harus memungkinkan terjadinya, tidak terkait dengan kehendak semata dari peserta, dan tidak terkait dengan hal yang diharamkan.

**Pasal Sembilan Belas: Penyelesaian-Penyelesaian Perkara**:

Manajemen Dana menggantikan peserta yang diwakilinya atas kerugian yang dialaminya dalam semua tuntutan, dan hak untuk menuntut pihak yang bertanggung jawab atas kerugian tersebut, dan semua yang diterima akan dikembalikan kepada Kas Dana.

**Pasal Dua Puluh: Tanggungan**:

Dalam dokumen asuransi, boleh ditetapkan bahwa pihak yang diasuransikan harus menanggung sejumlah tetap atau persentase dari ganti rugi atas kerusakan yang dialami dari pihak lain atau yang terjadi darinya.

**Pasal Dua Puluh Satu: Milik Premi**:

Boleh saja kepemilikan langganan menjadi milik dana, dan pada saat itu kepemilikan pemegang dokumen berakhir segera setelah pembayaran langganan. Berdasarkan ini, setiap pemegang dokumen telah melepaskan kepemilikannya atas langganan, dan disebutkan dalam peraturan asuransi salah satu dari dua pilihan.

**Kedua: Rekomendasi**:

1. Memberitahukan pihak-pihak yang berkepentingan di dunia Islam tentang ketentuan-ketentuan, prinsip-prinsip, dan syarat-syarat ini, terutama kepada pihak yang bertanggung jawab atas penerbitan peraturan dan sistem, perusahaan asuransi Ta’awun (sosial), dan pihak-pihak yang tertarik dalam hal ini.

2. Melaksanakan keputusan Majelis Nomor: 177 (19/3) mengenai panggilan negara-negara Islam untuk mendirikan badan pengawas syariah tingkat tinggi pusat yang bertanggung jawab atas pengawasan lembaga-lembaga syariah dalam lembaga keuangan Islam dan asuransi Ta’awun (sosial).

3. Mendirikan Dewan Fatwa Internasional di bawah pengawasan Majma’ Fiqih Islami Internasional, yang berkontribusi dalam mendirikan infrastruktur untuk industri keuangan Islam, dengan salah satu yang paling penting:

- Lembaga Akuntansi dan Pemeriksaan untuk Institusi Keuangan Islam di Kerajaan Bahrain.

- Bank Pembangunan Islam di Jeddah.

- Dewan Layanan Keuangan Islam di Malaysia.

- Majelis Umum Bank dan Institusi Keuangan Islam di Kerajaan Bahrain.

Salah satu tugas utama Majelis adalah menerbitkan standar syariah yang mengatur operasi asuransi Ta’awun (sosial) dan perbankan Islam, mengadopsi standar tersebut oleh Majelis, dan mengambilnya sebagai pedoman oleh otoritas pengawas dan pengawas sehingga menjadi hukum yang mengatur operasi institusi keuangan Islam.

Majelis koordinasi antara Bank Pembangunan Islam dan Sekretariat Majelis dalam merumuskan gambaran rinci dari kerja Majelis ini.

(4) Sekretariat Jenderal Majelis melakukan studi lebih lanjut dalam beberapa isu asuransi Ta’awun (sosial), termasuk:

- Menyajikan pengalaman internasional dalam asuransi Ta’awun (sosial) dan menilai ketaatan mereka terhadap prinsip-prinsip yang diadopsi dalam keputusan ini.

- Studi tentang pemberian kompensasi kepada entitas pengelola atas manajemen operasi asuransi sebagai bagian atau persentase dari surplus asuransi, sebagai ganti dari semua operasi mereka tanpa memotong biaya dari langganan.

- Studi tentang penggabungan antara persentase dari jumlah langganan dan persentase dari surplus dalam kompensasi yang diterima oleh entitas pengelola asuransi untuk manajemen operasi mereka, yang bertujuan sebagai insentif untuk meningkatkan kinerja.

- Studi tentang dasar wakaf untuk asuransi Islam dari semua sudut pandangnya. [SELESAI]

[Lihat : Majma' al-Fiqh al-Islami International Yang berafiliasi Dengan Munadzamat al-Taa'awun al-Islami yang diselenggarakan yang diselenggarakan dalam Daurah kedua puluh satu di Kota Riyadh (Kerajaan Arab Saudi) dari tanggal 15 hingga 19 Muharram 1435 H, yang bersesuaian dengan 18-22 November 2013 M].

*****

HUKUM ASURANSI KOMERSIAL DAN PEBEDAAN PENDAPAT TENTANG-NYA

Keputusan Majma’ Fiqih mengenai Asuransi Komersial dalam semua jenisnya :

“Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam atas Rasul-Nya, keluarga, dan sahabatnya. Adapun setelah itu:

Kami belum menemukan keputusan Majelis Fiqih mengenai asuransi kesehatan, tetapi ada dua keputusan yang dikeluarkan oleh Majelis mengenai asuransi secara umum, dan dari situ dapat diketahui hukum asuransi kesehatan.

Berikut teks kedua keputusan tersebut:

Keputusan Majma’ Fiqih di Mekkah : Keputusan Kelima: Asuransi Komersial dalam berbagai bentuk dan jenisnya.

Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam atas Rasul-Nya, keluarga, dan sahabatnya. Adapun setelah itu:

Majma’ Fiqih Islam telah meneliti masalah asuransi dalam berbagai jenisnya, setelah memperhatikan banyak tulisan ulama tentang hal itu, serta setelah memperhatikan keputusan Dewan Ulama Senior di Kerajaan Arab Saudi dalam pertemuan kesepuluh yang diadakan di Riyadh pada tanggal 4/4/1397 H :

(Keputusan Pertama ) : Mengenai pelarangan asuransi (komersial) dalam semua jenisnya.

Setelah penelitian mendalam dan pertukaran pendapat tentang hal itu, majelis memutuskan dengan mayoritas:

تَحْرِيمُ التَّأْمِينِ بِجَمِيعِ أَنْوَاعِهِ سَوَاءٌ كَانَ عَلَى النَّفْسِ، أَوِ الْبَضَائِعِ التِّجَارِيَّةِ، أَوْ غَيْرِ ذَٰلِكَ مِنَ الْأَمْوَالِ.

Pelarangan asuransi (komersial) dalam semua jenisnya baik itu asuransi jiwa, barang dagangan, atau harta lainnya.

(Keputusan Kedua) : Majelis juga memutuskan secara bulat menyetujui keputusan Dewan Ulama Senior mengenai :

جَوَازُ التَّأْمِينِ التَّعَاوُنِيِّ بَدَلًا مِنَ التَّأْمِينِ التِّجَارِيِّ الْمُحَرَّمِ، وَالْمُنَوَّهِ عَنْهُ آنِفًا، وَعُهِدَ بِصِيَاغَةِ الْقَرَارِ إِلَى لَجْنَةٍ خَاصَّةٍ.

“Dibolehkannya “asuransi Ta’wuni (gotong royong)” sebagai pengganti asuransi komersial yang diharamkan, seperti yang disebutkan sebelumnya, dan menugaskan penyusunan keputusan tersebut kepada komite khusus”.

LAPORAN KOMITE YANG DITUGASKAN UNTUK MENYUSUN KEPUTUSAN MAJELIS TENTANG ASURANSI:

Berdasarkan keputusan Majelis yang diambil dalam sesi Rabu 14 Sya'ban 1398 H yang berisi penugasan kepada para tokoh mulia Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Syeikh Muhammad Mahmoud Al-Sawwaf, dan Syeikh Muhammad bin Abdullah Al-Subayl untuk menyusun keputusan Majelis mengenai asuransi dalam berbagai jenis dan bentuknya.

Oleh karena itu, komite yang disebutkan hadir dan setelah bermusyawarah memutuskan sebagai berikut:

Segala puji bagi Allah dan shalawat serta salam atas Rasul-Nya, keluarga, dan sahabatnya. Adapun setelah itu:

Majma’ Fiqih Islam dalam sidang pertamanya yang diadakan pada tanggal 10 Sya'ban 1398 H di Mekkah di kantor Liga Muslim Dunia telah meneliti masalah asuransi dalam berbagai jenisnya, setelah memperhatikan banyak tulisan ulama tentang hal itu, serta setelah memperhatikan keputusan Dewan Ulama Senior di Kerajaan Arab Saudi dalam sidang kesepuluhnya di Riyadh pada tanggal 4/4/1397 H dengan keputusan nomor (55) : “Tentang haramnya asuransi komersial dalam semua jenisnya”.

PERBEDAAN PENDAPAT DAN DALIL MASING-MASING :

Setelah penelitian yang mendalam dan pertukaran pendapat tentang hal itu, Majelis Fiqih Islam memutuskan secara bulatkecuali Syaikh Mustafa Al-Zarqa :

تَحْرِيمُ التَّأْمِينِ التِّجَارِيِّ بِجَمِيعِ أَنْوَاعِهِ سَوَاءٌ كَانَ عَلَى النَّفْسِ، أَوِ الْبَضَائِعِ التِّجَارِيَّةِ، أَوْ غَيْرِ ذَٰلِكَ

“Pengharaman asuransi komersial dalam semua jenisnya baik itu asuransi jiwa, barang dagangan, atau lainnya”.

DALIL-DALIL YANG MENGHARAMKAN :

الأَوَّلُ: عَقْدُ التَّأْمِينِ التِّجَارِيِّ مِنْ عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ الْمَالِيَّةِ الِاحْتِمَالِيَّةِ الْمُشْتَمِلَةِ عَلَى الْغَرَرِ الْفَاحِشِ، لِأَنَّ الْمُسْتَأْمِنَ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يَعْرِفَ وَقْتَ الْعَقْدِ مِقْدَارَ مَا يُعْطِي، أَوْ يَأْخُذُ، فَقَدْ يَدْفَعُ قِسْطًا، أَوْ قِسْطَيْنِ، ثُمَّ تَقَعُ الْكَارِثَةُ فَيَسْتَحِقُّ مَا الْتَزَمَ بِهِ المُؤمِّنُ، وَقَدْ لَا تَقَعُ الْكَارِثَةُ أَصْلًا، فَيَدْفَعُ جَمِيعَ الْأَقْسَاطِ، وَلَا يَأْخُذُ شَيْئًا، وَكَذَلِكَ المُؤمِّنُ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُحَدِّدَ مَا يُعْطِي وَيَأْخُذُ بِالنِّسْبَةِ لِكُلِّ عَقْدٍ بِمُفْرَدِهِ، وَقَدْ وَرَدَ فِي الْحَدِيثِ الصَّحِيحِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّهْيُ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ.

Pertama: Kontrak asuransi komersial termasuk dalam kontrak pertukaran finansial yang mengandung unsur ketidakpastian yang besar (ghoror fahisy), karena tertanggung tidak dapat mengetahui saat kontrak berapa jumlah yang harus diberikan atau diterima. Ia mungkin membayar satu atau dua premi, kemudian terjadi bencana sehingga ia berhak menerima apa yang dijanjikan oleh perusahaan asuransi, atau mungkin bencana tidak terjadi sama sekali sehingga ia membayar semua premi dan tidak mendapatkan apa-apa. Begitu juga dengan perusahaan asuransi, ia tidak dapat menentukan apa yang diberikan dan diterima untuk setiap kontrak secara individual. Dalam hadits yang sahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam terdapat larangan menjual sesuatu yang mengandung unsur ketidakpastian (gharar).

الثَّانِي: عَقْدُ التَّأْمِينِ التِّجَارِيِّ ضَرْبٌ مِنْ ضُرُوبِ الْمُقَامَرَةِ لِمَا فِيهِ مِنَ الْمُخَاطَرَةِ فِي مُعَاوَضَاتٍ مَالِيَّةٍ، وَمِنَ الْغُرْمِ بِلَا جِنَايَةٍ أَوْ تَسَبُّبٍ فِيهَا، وَمِنَ الْغُنْمِ بِلَا مُقَابِلٍ، أَوْ مُقَابِلٍ غَيْرِ مُكَافِئٍ، فَإِنَّ الْمُسْتَأْمِنَ قَدْ يَدْفَعُ قِسْطًا مِنَ التَّأْمِينِ، ثُمَّ يَقَعُ الْحَادِثُ، فَيَغْرَمُ الْمُؤمِّنُ كُلَّ مَبْلَغِ التَّأْمِينِ، وَقَدْ لَا يَقَعُ الْخَطَرُ، وَمَعَ ذَلِكَ يَغْنَمُ الْمُؤمِّنُ أَقْسَاطَ التَّأْمِينِ بِلَا مُقَابِلٍ، وَإِذَا اسْتَحْكَمَتْ فِيهِ الْجَهَالَةُ كَانَ قِمَارًا، وَدَخَلَ فِي عُمُومِ النَّهْيِ عَنِ الْمَيْسِرِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ) الْآيَةُ وَالَّتِي بَعْدَهَا.

Kedua: Kontrak asuransi komersial merupakan salah satu bentuk perjudian karena mengandung unsur risiko dalam pertukaran finansial, kerugian tanpa adanya kesalahan atau sebab, serta keuntungan tanpa imbalan atau imbalan yang tidak setara. Tertanggung mungkin membayar satu premi asuransi, kemudian terjadi kecelakaan sehingga perusahaan asuransi harus membayar seluruh jumlah asuransi, atau mungkin tidak terjadi risiko, sehingga perusahaan asuransi mengumpulkan premi tanpa imbalan. Jika ketidakpastian ini semakin besar, maka itu adalah perjudian, dan termasuk dalam larangan umum mengenai judi dalam firman Allah Ta'ala: (Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, judi, berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji dari perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung) dan ayat yang setelahnya.

الثَّالِثُ: عَقْدُ التَّأْمِينِ التِّجَارِيِّ يَشْتَمِلُ عَلَى رِبَا الْفَضْلِ وَالنَّسَاءِ، فَإِنَّ الشَّرِكَةَ إِذَا دَفَعَتْ لِلْمُسْتَأْمِنِ، أَوْ لِوَرَثَتِهِ، أَوْ لِلْمُسْتَفِيدِ أَكْثَرَ مِمَّا دَفَعَهُ مِنَ النُّقُودِ لَهَا، فَهُوَ رِبَا فَضْلٍ، وَالْمُؤمِّنُ يَدْفَعُ ذَلِكَ لِلْمُسْتَأْمِنِ بَعْدَ مُدَّةٍ، فَيَكُونُ رِبَا نَسَاءٍ، وَإِذَا دَفَعَتِ الشَّرِكَةُ لِلْمُسْتَأْمِنِ مِثْلَ مَا دَفَعَهُ لَهَا يَكُونُ رِبَا نَسَاءٍ فَقَطْ، وَكِلَاهُمَا مُحَرَّمٌ بِالنَّصِّ وَالإِجْمَاعِ.

Ketiga: Kontrak asuransi komersial mengandung unsur riba, baik riba nasi'ah maupun riba fadhl. Jika perusahaan membayar kepada tertanggung, atau ahli warisnya, atau penerima manfaat lebih dari jumlah uang yang dibayarkan kepada perusahaan, maka itu adalah riba fadhl, dan jika perusahaan membayarkan kepada tertanggung setelah jangka waktu tertentu, maka itu adalah riba nasi'ah. Jika perusahaan membayar kepada tertanggung jumlah yang sama dengan yang dibayarkan kepadanya, maka itu hanya riba nasi'ah. Keduanya diharamkan berdasarkan nash dan ijma'.

الرَّابِعُ: عَقْدُ التَّأْمِينِ التِّجَارِيِّ مِنَ الرِّهَانِ الْمُحَرَّمِ، لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا فِيهِ جَهَالَةٌ وَغَرَرٌ وَمُقَامَرَةٌ، وَلَمْ يُبِحِ الشَّرْعُ مِنَ الرِّهَانِ إِلَّا مَا فِيهِ نُصْرَةٌ لِلْإِسْلَامِ، وَظُهُورٌ لِأَعْلَامِهِ بِالْحُجَّةِ وَالسِّنَانِ، وَقَدْ حَصَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رُخْصَةَ الرِّهَانِ بِعِوَضٍ فِي ثَلَاثَةٍ بِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ حَافِرٍ أَوْ نَصْلٍ" وَلَيْسَ التَّأْمِينُ مِنْ ذَلِكَ، وَلَا شَبِيهًا بِهِ فَكَانَ مُحَرَّمًا.

Keempat: Kontrak asuransi komersial adalah taruhan yang diharamkan, karena keduanya mengandung ketidakpastian, unsur perjudian, dan spekulasi. Syariat hanya membolehkan taruhan yang mendukung kemenangan Islam dan penegakan tanda-tanda kebenaran dengan hujjah dan senjata. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam membatasi kebolehan taruhan dengan imbalan pada tiga hal dalam sabdanya: "Tidak ada taruhan kecuali pada balapan unta, balapan kuda, atau memanah." Asuransi tidak termasuk dalam hal-hal tersebut, dan tidak menyerupainya, sehingga menjadi haram.

الْخَامِسُ: عَقْدُ التَّأْمِينِ التِّجَارِيِّ فِيهِ أَخْذُ مَالِ الْغَيْرِ بِلَا مُقَابِلٍ، وَأَخْذُ الْمَالِ بِلَا مُقَابِلٍ فِي عُقُودِ الْمُعَاوَضَاتِ التِّجَارِيَّةِ مُحَرَّمٌ، لِدُخُولِهِ فِي عُمُومِ النَّهْيِ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ).

Kelima: Kontrak asuransi komersial mengandung pengambilan harta orang lain tanpa imbalan. Mengambil harta tanpa imbalan dalam kontrak pertukaran komersial diharamkan, karena termasuk dalam larangan umum dalam firman Allah Ta'ala: (Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil, kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu).

السَّادِسُ: فِي عَقْدِ التَّأْمِينِ التِّجَارِيِّ الإِلْزَامُ بِمَا لَا يَلْزَمُ شَرْعًا، فَإِنَّ الْمُؤمِّنَ لَمْ يُحْدِثِ الْخَطَرَ مِنْهُ، وَلَمْ يَتَسَبَّبْ فِي حُدُوثِهِ، وَإِنَّمَا كَانَ مِنْهُ مُجَرَّدُ التَّعَاقُدِ مَعَ الْمُسْتَأْمِنِ عَلَى ضَمَانِ الْخَطَرِ عَلَى تَقْدِيرِ وُقُوعِهِ مُقَابِلَ مَبْلَغٍ يَدْفَعُهُ الْمُسْتَأْمِنُ لَهُ، وَالْمُؤمِّنُ لَمْ يُبْذِلْ عَمَلًا لِلْمُسْتَأْمِنِ فَكَانَ حَرَامًا.

Keenam: Dalam kontrak asuransi komersial terdapat kewajiban yang tidak wajib secara syar'i, karena perusahaan asuransi tidak menyebabkan risiko tersebut terjadi, dan tidak menyebabkannya, melainkan hanya melakukan kontrak dengan tertanggung untuk menjamin risiko jika terjadi dengan imbalan premi yang dibayarkan oleh tertanggung kepada perusahaan. Perusahaan asuransi tidak melakukan pekerjaan apapun untuk tertanggung sehingga menjadi haram.

--------

DALIL PENDAPAT YANG MEMBOLEHKAN ASURANSI KOMERSIAL . BESERTA BANTAHAN DARI PIHAK YANG MENGAHARAMKAN-NYA :

Dalil yang digunakan oleh pihak yang memperbolehkan asuransi komersial secara umum, atau dalam beberapa jenisnya, serta bantahannya dari pihak yang mangharmakan asuransi komersial. Diantaranya adalah sebagai berikut:

1] Ber-istidlal dengan al-mashaalih (mashlahat-mashlahat ).

Bantahannya : bahwa itu tidak benar, karena dalam syariat Islam, mashlahat- mashlahat itu dibagi menjadi tiga jenis:

Pertama : Maslahat yang syariat bersaksi mengakui mashlahat itu, maka itu menjadi hujjah.

Kedua : Mashlahat yang syariat tidak bersaksi atas kehalalannya, namun syarait juga tidak mengaharamkannya (tidak membatalakannya), maka yang jenis ini menjadi maslahah mursalah, dan ini menjadi tempat ijtihad para mujtahid.

Ketiga : adalah mashlahat yang syariat bersaksi atas pembatalannya (untuk tidak menggunakannya).

Dan transaksi asuransi komersial itu mengandung unsur-unsur jahalah (ketidaktahuan), gharar (ketidakpastian), qimar (perjudian), dan riba. Oleh karena itu, syariat telah bersaksi atas pembatalannya karena kerugian dari aspek yang merusak lebih dominan daripada aspek manfaatnya.

2]. Kemubahan asuransi komersial berdasarkan hukum asal (الإبَاحَة الأَصْلِيَّة).

Bantahannya : bahwa dalil ini tidak cocok sebagai dalil di sini, karena kontrak asuransi komersial telah dijelaskan oleh dalil-dalil dari Al-Qur'an dan As-Sunnah bertentangan dengan al-Ibahah al-Asliyyah.

Bolehnya menerapkan al-Ibahah al-Asliyyah harus diikat dengan syarat tidak ada nash (dalil langsung) yang mengkhususkan keharamannya, dan jika ditemukan, maka dalilnya menjadi batal.

3]. Berdalil dengan kaidah "darurat itu membolehkan yang diharamkan" .

Bantahannya : Kaidah ini tidak boleh digunakan sebagai dalil di sini, karena apa pun yang Allah halalkan dari cara-cara memperoleh yang baik jauh lebih banyak dan lebih bervariasi daripada yang dilarang-Nya. Oleh karena itu, tidak ada kebutuhan mendesak secara syar'i yang memaksa menggunakan apa yang telah dilarang syariat dalam konteks asuransi.

4]. Berdalil dengan Penggunaan 'urf (adat kebiasaan atau praktik umum).

Bantahannya : Ini tidak boleh digunakan sebagai dalil, karena 'urf bukanlah dalil dalam menetapkan hukum-hukum syar'i, tetapi lebih merupakan dasar untuk menerapkan hukum dan memahami maksud dari kata-kata teks, ungkapan kepercayaan, tindakan, dan perkembangan yang memerlukan penentuan makna yang dimaksud.

Dalil-dalil telah jelas menunjukkan larangan terhadap asuransi komersial, dan oleh karena itu tidak diperkenankan mengacu pada 'urf bersama dengan dalil-dalil ini.

5]. Berdalil dengan Dalil yang mengatakan bahwa kontrak asuransi komersial adalah termasuk dari jenis mudhorobah (kerjasama usaha dengan cara bagi hasil) atau dalam maknanya.

Bantahannya : Bhawa itu tidak benar. Karena dalam mudhorobah, modal tidak keluar dari kepemilikan pemiliknya, sedangkan apa yang dibayar oleh pemegang polis dalam kontrak asuransi keluar dari kepemilikan mereka ke perusahaan sesuai dengan ketentuan sistem asuransi.

Modal dalam mudhorobah dapat diwariskan kepada pewaris pemiliknya saat meninggal, sedangkan dalam asuransi, pewaris mungkin layak menerima jumlah tertentu sesuai dengan sistem asuransi, bahkan jika pemegang polis hanya membayar satu premi, mereka mungkin tidak berhak atas apa pun jika penerima manfaat adalah pihak yang sama dengan pemegang polis dan ahli warisnya.

Keuntungan dalam mudhorobah dibagi antara mitra sebagai persentase tertentu, sementara dalam asuransi, keuntungan dan kerugian adalah milik perusahaan, sementara pemegang polis hanya berhak atas jumlah asuransi atau jumlah yang tidak pasti.

6]. Berdali dengan Qiyas (analogi) kontrak asuransi komersial terhadap loyalitas kesetiaan (وَلاء المُوَالاة) bagi yang berpendapat bolehnya loyalitas kesetiaan.

Bantahan-nya : bahwa itu tidak sahih, karena itu adalah qiyas yang berbeda. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa kontrak asuransi komersial bertujuan untuk keuntungan materi yang tercemar dengan riba, perjudian, dan ketidak jelas yang luar biasa (jahalah fahisyah), berbeda dengan kontrak loyalitas kesetiaan (وَلاء المُوَالاة) yang tujuannya adalah persaudaraan dalam Islam, saling mendukung dalam kesulitan dan kemakmuran, serta dalam semua keadaan lainnya, dan apa pun yang diperoleh secara materi, tujuannya adalah untuk mendukungnya.

7]. Berdalil dengan Qiyas (analogi) kontrak asuransi komersial terhadap janji yang mengikat bagi yang berpendapat bolehnya hal itu.

Bantahannya adalah : bahwa itu tidak sah, karena itu adalah qiyas yang berbeda. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa janji hutang (الوَعْدُ بِقَرْضٍ), pinjam-meminjam (إِعَارَةٌ), atau menanggung kerugian (تَحَمُّلُ خَسَارَةٍ) misalnya, maka itu termasuk dalam katagori kebaikan murni (المَعْرُوفُ الْمَحْضُ), sehingga memenuhi janji itu adalah kewajiban atau bagian dari kebajikan moral (مَكَارِم الْأَخْلَاقِ), berbeda dengan kontrak asuransi komersial yang merupakan pertukaran komersial yang bertujuan untuk keuntungan materi, di mana hal-hal yang dimaafkan dalam hal ini tidak dimaafkan dalam sumbangan karena adanya ketidak jelasan (jahalah) dan pengelabuan (ghoror).

8]. Berdalil dengan Qiyas (analogi) kontrak asuransi komersial terhadap jaminan yang tidak diketahui (ضَمَانُ المَجْهُولِ) dan jaminan atas apa yang tidak seharusnya (ضَمَانُ مَا لَمْ يَجِبْ).  

Bantahannya : bahwa ini adalah qiyas yang salah karena ini adalah qiyas yang berbeda juga. Perbedaan di antara mereka adalah bahwa jaminan adalah jenis sumbangan yang dimaksudkan untuk kebaikan murni (الإِحْسَانُ الْمُحْضُ), berbeda dengan asuransi komersial yang merupakan kontrak komersial pertukaran yang pertama-tama dimaksudkan untuk keuntungan materi, dan jika itu menghasilkan kebaikan, maka itu adalah sesuatu yang dikejar tanpa dimaksudkan.

الأحْكَامُ يُرَاعَى فِيهَا الأَصْلُ لَا التَّابِعُ مَا دَامَ تَابِعًا غَيْرَ مَقْصُودٍ إِلَيْهِ.

Hukum-hukum itu memperhatikan pada asal, bukan yang mengikuti asal, selama yang mengikutinya itu bukan yang dijadikan maksud tujuan .

9]. Berdalil dengan Qiyas (analogi) kontrak asuransi komersial terhadap jaminan risiko perjalanan (ضَمَانُ خَطَرِ الطَّرِيقِ).

Bantahannya : bahwa itu tidak sah karena ini adalah qiyas yang berbeda seperti yang dijelaskan dalam argumentasi sebelumnya.

10]. Berdalil dengan Qiyas (analogi) kontrak asuransi komersial terhadap sistem pensiunan (نِظَامُ التَّقَاعُدِ).

Bantahannya : bahwa itu tidak sah karena ini adalah analogi yang berbeda juga. Alasannya:

Pertama : karena apa yang diberikan sebagai dana pensiun adalah hak yang harus dipenuhi oleh wali pemerintah sebagai tanggung jawab atas rakyatnya, dan dalam mengalokasikan itu, mereka memperhatikan pelayanan yang diberikan oleh pegawai untuk negara, dan mereka menetapkan sistem yang memperhatikan kepentingan mereka yang paling dekat dengan pegawai, serta mempertimbangkan kebutuhan mereka, karena sistem pensiunan bukanlah bagian dari pertukaran keuangan antara negara dan pegawainya, dan karena itu tidak ada kesamaan antara itu dan asuransi komersial yang merupakan kontrak komersial yang dimaksudkan untuk memanfaatkan perusahaan asuransi atas mereka yang diasuransikan, dan keuntungan dari mereka melalui cara-cara yang tidak sah.

Kedua : karena apa yang diberikan dalam situasi pensiun dianggap sebagai hak yang harus dipatuhi oleh pemerintah yang bertanggung jawab atas rakyatnya, dan pengeluarannya kepada mereka yang telah melayani negara dengan layak, serta bekerja sama dengan mereka sebagai imbalan atas kerja keras mereka, pikiran mereka, dan banyak waktu luang mereka untuk kemajuan bersama dengan mereka dengan bangsa.

11]. Berdalil dengan Qiyas (analogi) sistem asuransi komersial dan kontraknya terhadap sistem tanggungan ‘Aqilah / keluarga & kerabat (نِظَامُ العَاقِلَةِ).

Bantahannya : bahwa itu tidak sahih, karena ini adalah analogi yang berbeda.

Perbedaan di antara keduanya adalah dalam hukum asal tanggungan ‘Aqilah (pihak keluarga & kerabat (نِظَامُ العَاقِلَةِ)) terhadap diyat pembunuhan tanpa sengaja atau pembunuhan yang mendekati kesengajaan , terdapat hubungan kekerabatan antara si pembunuh dengan ‘Aqilah, yaitu hubungan keluarga se-rahim dan kerabat, yang mana mereka berhak untuk dimintai pertolongan, komunikasi, kerjasama, dan pemberian kebaikan, meskipun tanpa imbalan.

Sedangkan kontrak asuransi komersial merupakan eksploitasi yang didasarkan pada pertukaran keuangan murni yang tidak terkait dengan kasih sayang, dan motif kebaikan tidak terlibat.

12]. Berdalil dengan Qiyas (analogi) kontrak asuransi komersial terhadap kontrak jasa pengamanan (عُقُودُ الحِرَاسَةِ).

Bantahannya : Bahwa itu qiyas yang tidak sah, karena ini adalah qiyas yang berbeda juga. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa jasa pengamanan bukanlah objek kontrak dalam dua masalah ini, tetapi merupakan bagian dari premi asuransi dan jumlah pertanggungan (asuransi). Sedangkan dalam jasa pengamanan, maka ini berkaitan dengan biaya jasa pengamanan dan pekerjaan penjaga. Sedangkan keamanan adalah tujuan utama dan hasil akhir, jika tidak, penjaga tidak akan berhak mendapatkan bayaran ketika yang dijaga itu hilang.

13]. Berdalil dengan Qiyas (analogi) kontrak asuransi komersial terhadap upah deposito.

Bantahannya : Qiyas ini tidak sah karena ini adalah qiyas (analogi) yang berbeda juga.

Upah deposito adalah imbalan atas pengamanan sesuatu yang dilakukan oleh pihak pengaman terhadap sesuatu yang berada dalam penjagaannya.

Dan itu berbeda dengan asuransi komersial, di mana apa yang dibayar oleh pemegang polis bukan imbalan atas tindakan pengamanan yang dilakukan oleh pemberi keamanan (pihak asuransi).

Adapun manfaat yang kembali kepada pemegang polis hanyalah janji jaminan keamanan dan ketenangan.

Sementara syarat ganti rugi atas jaminan keamanan, itu tidak sah, bahkan itu merusak kontrak. Dan jika jumlah biaya asuransi dibuat sebagai imbangan pertukaran untuk pembayaran angsuran, maka itu adalah pertukaran komersial di mana jumlah asuransi atau jangka waktunya berbeda dengan transaksi penjagaan deposito dengan upah.

14]. Berdalil dengan Qiyas (analogi) asuransi komersial kepada apa yang dikenal sebagai kasus pedagang grosir kain wol dengan penjual eceran .

Ini adalah qiyas yang tidak sah. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa yang diukur dalam asuransi kooperatif, yang merupakan kerjasama murni, sedangkan yang dianalogikan dalam asuransi komersial adalah pertukaran komersial, sehingga qiyas ini tidak valid.

*****

ADAKAH KESAMAAN ANTARA ASURANSI TA’AWUN DENGAN BPJS KESEHATAN ?

Asuransi Islam dan BPJS kesehatan memiliki beberapa persamaan, dimana keduanya memiliki dasar yang sama yaitu sikap tanggung jawab dan tolong menolong untuk melindungi diri dan sesama dalam menghadapi risiko dimasa depan.

Mekanisme pengelolaan BPJS Kesehatan dilihat dari konsep asuransi syariah, antara lain:

1) Iuran BPJS yang dibayarkan bersifat wajib dibayarkan oleh tiap-tiap peserta. Berbeda dengan asuransi syariah yang anggotanya secara sukarela bagi yang ingin melindungi diri dari risiko dimasa yang akan datang sehingga iurannya diberikan secara sukarela.

2) BPJS Kesehatan merupakan sebuah asuransi sosial yang mana konsep tersebut menjadi akad yang digunakan oleh BPJS. Peserta wajib membayar iuran tiap bulannya dan akan mendapat pelayanan apabila ia mendapati risiko, namun jika tidak terjadi risiko apapun maka uang tersebut akan dikembalikan kepada negara, atau dapat dikatakan uang tersebut hangus. Pada asuransi syariah apabila tidak terjadi risiko maka akan ada pengembalian premi peserta disebabkan adanya pemisahan dana tabarru’ dan dana peserta.

3) Pelayanan yang diterima oleh peserta BPJS Kesehatan adalah hasil dari investasi konvesional. Beda halnya pada asuransi syariah yang menginvestasikan dananya pada produk syariah.

4) Mekanisme dalam BPJS Kesehatan juga mempunyai prinsip dasar yang bersumber dari Undang-Undang SJSN salah satunya yaitu prinsip ekuitas. Prinsip ekuitas merupakan prinsip yang menerapkan sistem kesamaan pada pelayanan bukan berdasarkan iurannya, namun berdasarkan kebutuhan medisnya. Dengan prinsip ini membantu kehilangan kesenjangan akan perbedaan status sosial. Dalam menjalankan prinsip tersebut Pemerintah melakukan dengan cukup baik, dimana pemerintah melakukan pungutan wajib dari peserta yang merupakan seluruh rakyat Indonesia tanpa terkecuali untuk saling tolong menolong antara sesamanya. Namun jika dalam pembagian kelas dalam hal fasilitas yang terdapat tiga kelas yang berbeda berdasarkan iurannya membuktikan prinsip tersebut belumlah sempurna.

Pada asuransi syariah besaran iuran akan dibayarkan sesuai dengan kesepaakatan kedua pihak, yang dananya akan dimasukkan kedalam dua tabungan yaitu tabungan pribadi dan tabungan tabarru’.

Pada tahun 2015 MUI menjelaskan bahwa banyak dari program BPJS yang dilakukan dengan syariah seperti prinsip gotong royong yang berujuk pada konsep tolong menolong. Hanya saja masih terdapat unsur unsur yang belum sesuai dengan prinsip syariah.

MUI menjelaskan bahwa pada pengelolaan BPJS Kesehatan masih belum sepenuhya syariah, hal ini dilihat dari segi akad dan investasi.

Ada tiga hal yang menjadi alasan MUI menyebut BPJS Keesehatan masih belum sesuai dengan syariah :

Pertama : adanya unsur garar. Garar berasal merupakan mashdar dari kata (غرر (yang berarti kekurangan, menjerumuskan dalam hal ketidakjelasan. Garar pada BPJS Kesehatan dilihat dari segi iuran yang dibayarkan setiap bulanya namun tidak jelas berapa jumlah yang akan diterima bisa lebih kecil atau sebaliknya, apabila ia mendapat jumlah yang lebih dari iurannya maka ia akan untung, jika ia mendapat lebih kecil maka dianggap rugi. Sehingga hal ini dapat menimbulkan maisir.

Perputaran uang pada BPJS Kesehatan berskala nasional, sehingga menurut MUI hal ini perlu segera diperbaiki.

Kedua : mengenai maisir, dalam hal keuangan ada dua hal yang akan dihadapi peserta yaitu untung dan rugi, dimana kesehatan yang dipertaruhkan dalam hal ini. Apabila peserta sakit bisa jadi jumlah yang dibayarkan lebih besar, namun bisa lebih kecil.

Ketiga : adanya riba.

Riba secara etimologi berarti ziyadah (tambah) dan an nama’ (tumbuh/berkembang). Melihat klaim peserta yang lebih besar dari dari iurannya, disitu terdapat riba fal, dimana jumlah yang didapatkan lebih besar dari yang diberikan.Riba al-fal adalah kelebihan pinjaman yang dibayarkan dalam segala jenis, berbentuk pemabayaran tambahan oleh peminjam kepada kreditur dalam bentuk penukaran barang yang jenisnya sama.

[Baca : Muhammad Syakir Sula, Asuransi Syariah Life And General, (Jakarta: Gema Insani Pers, 2004), hlm.124]

MUI juga melihat pada denda keterlambatan, iuran untuk pekerja penerima upah, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu tiga bulan. Sementara keterlambatan pembayaran iuran untuk peserta bukan penerima upah dan bukan pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu enam bulan.

Denda tersebut dibayarkan bersama dengan total iuran yang tertunggak, sehingga hal ini disebut sebagai riba an-nasī’ah.

An-nasī’ah bersal dari kata nasa’a yang berarti menunda, menunggu dan merujuk kepada waktu yang diberikan kepada peminjam untuk membayar peminjamannya dengan imbalan tambahan.

BPJS Kesehatan menyimpan dana peserta pada bank-bank konvensional yang terdapat unsur ribawi, sehingga Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI kemudian menerbitkan fatwa Nomor 98/DSNMUI/XII/2015 tentang Pedoman Penyelenggaraan Jaminan Sosial Kesehatan Syariah.

Saat ini banyak perubahan yang terjadi pada BPJS Kesehatan. Setelah diterbitkan fatwa Nomor 98/DSN-MUI/XII/2015, BPJS Kesehatan berusaha secara perlahan menerapkan aturan dari MUI. Namun sebelum adanya fatwa tersebut BPJS Kesehatan sudah banyak menerapkan prinsip syariah seperti pemisahan aset BPJS Kesehatan yaitu aset DJS dan aset BPJS sebenarnya telah menerapkan sistem layaknya asuransi syariah yaitu risk of sharing dimana peserta saling membantu untuk mengahadapi risiko kedepannya.

Dana operasional BPJS Kesehatan juga berasal dari aset DJS yang berupa iuran masyarakat hal ini menerapkan pada konsep wakalah bil ujrah (upah) dikarenakan BPJS Kesehatan telah mengelola dana yang diamanatkan peserta.

Iuran peserta dapat dikategorikan sebagai hibah layaknya pada prinsip asuransi syariah. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1666 dan pasal 1667 dijelaskan bahwa hibah atau pemberian kepada orang lain secara cuma-cuma tidak dapat ditarik kembali, baik berupa harta bergerak maupun harta tidak bergerak saat pemberi masihhidup. [Pasal 1666 dan Pasal 1667 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)]

Dalam Islam hibah merupakan pemberian yang dilakukan seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pamrih atau imbalan dalam bentuk apa pun.

Keuangan negara belum mampu untuk menanggung seluruh biaya kesehatan masyarakat, sehingga apabila dana yang dikumpulkan masyarakat tidak diklaim maka akan digunakan bagi peserta lainnya.

Iuran yang dibayarkan peserta BPJS Kesehatan digunakan untuk membiayai peserta yang sedang sakit, dan membutuhkan pertolongan. Hal ini disebutkan dalam persyaratan pendaftaran yang dilakukan melalui aplikasi mobile JKN, masyarakat yang mendaftarkan diri akan diberikan persyaratan persetujuan bahwa dana yang dibayarkan tidak akan dikembalikan sekalipun belum mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan, iuran tersebut diikhlaskan untuk membantu peserta lainnya.

Dapat dikatakan bahwa BPJS Kesehatan memperjelas dana masyarakat bahwa dana tersebut sepenuhnya untuk peserta dan digunakann untuk dana hibah pada akad tabaru’ agar semua golongan mendapat jaminan kesehatan.

DENDA KETERLAMBATAN :

Mengenai denda keterlambatan, sejak tahun 2016 tidak diberlakukan lagi sistem denda keterlambatan dengan dikeluarkan Peraturan Presiden No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2013.

Pada tahun 2020 Presiden Joko Widodo menetapkan Peraturan Presiden nomor 64 Tahun 2020, pada Pasal 42 disebutkan BPJS Kesehatan tidak memberlakukan sistem denda keterlambatan pembayaran iuran. Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa jika terjadi keterlambatan maka status peserta akan di non-aktifkan sementara. Kepesertaan akan diaktifkan kembali jika peserta membayar iuran tertunggak paling banyak 24 bulan.

Denda diterapkan apabila kepesertaan mulai diaktifkan namun dalam 45 hari sejak kepesertaan diaktifkan kembali peserta menggunakan fasilitas layanan BPJS Kesehatan untuk rawat inap sebesar 5%.

Dapat dikatakan secara perlahan BPJS Kesehatan sudah mulai menerapkan prinsip yang sesuai dengan syariah. Asuransi menurut jenis perjanjian dibagi menjadi dua, asuransi komersial dan asurarnsi sosial, BPJS Kesehatan termasuk asuransi sosial.

Ulama berpendapat bahwa asuransi sosial hukumnya mubah, dikarenakan asuransi yang dibuat oleh pemerintah dengan gotongroyong, nirlaba, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta.

Hal ini memiliki kesinambungan antara asuransi sosial dan akad tabarru’ keduanya bertujuan untuk tolong menolong bukan untuk kepentingan komersial.

Hanya saja dana jaminan sosial yang diinvestasikan akan dimasukkan kedalam aset DJS, namun investasi BPJS Kesehatan masih dilakukan dalam bentuk konvensional seperti SUN, obligasi, dan lainnya. Dana masyarakat yang dikumpulkan masih bekerjasama dengan bank-bank konvensional yang masih terdapat riba. Penulis berharap mengenai hal ini BPJS Kesehatan dapat menginvestasikan dana peserta pada investasi syariah, dan bisa menggunakan bank syariah sebagai media pengumpulan dana peserta.

KESIMPULAN

PERTAMA:

Sistem pengelolaan dana masyarakat oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yaitu pada Pasal 14 disebutkan bahwa setiap warga Indonesia dan WNA yang telah bekerja di Indonesia selama 6 bulan wajib menjadi anggota BPJS. Peserta BPJS Kesehatan dibagi menjadi dua kategori; PBI-JK, dan non-PBI.

Iuran peserta PBI akan ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah, dan bagi non-PBI terbagi menjadi PPU, PBPU, dan PB, yang iurannya telah ditetapkan pemerintah dalam Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018. Dana operasional BPJS Kesehatan berasal dari dua aset yaitu aset BPJS yang digunakan untuk membeli fasilitas sarana prasarana, gaji, yang didapatkan dari modal awal pemerintah, pengalihan aset dan lainnya, dan aset DJS yang sepenuhnya digunakan untuk pelayanan peserta dan investasi.

Premi diberikan dalam bentuk pelayanan bagi masyarakat yang mengklaim apabila terjadi risiko, semua masalah kesehatan akan ditanggung peserta berdasarkan diagnosa dokter.

Peserta dapat mengajukan klaim kepada rumah sakit dan akan dibayarkan oleh BPJS sesuai dengan kelasnya. Bagi masyarakat yang tidak mengklaim atau meninggal sebelum klaim maka dananya kembali kepada pemerintah dan dianggap hangus.

KEDUA :

Pada tahun 2015 MUI menjelaskan bahwa banyak dari program BPJS yang dilakukan dengan syariah seperti prinsip gotong royong yang berujuk pada konsep tolong menolong. Hanya saja masih terdapat unsur unsur yang belum sesuai dengan prinsip syariah yang dilihat berdasarkan Fatwa No.21/DSN-MUI/X/2001 Tentang pedoman umum asuransi syariah.

MUI menilai bahwa masih terdapat unsur garar, riba, dan maisir dalam pengelolaannya dari segi akad dan investasi, sehingga dikeluarkan fatwa fatwa Nomor 98/DSN-MUI/XII/2015.

MUI menyebutkan letak garar pada BPJS Kesehatan dikarenakan iuran yang dibayarkan tidak jelas besar atau kecil yang diterima sehingga dapat menimbulkan maisir. Peserta bisa mendapatkan jumlah klaim yang lebih besar, ataupun sebaliknya, sehingga bisa saja untung ataupun rugi.

Riba pada pengelolaan BPJS dilihat dari kelebihan yang didapatkan peserta melebihi iuran yang dibayaekan dan pada denda keterlambatan sebesar 2% pada tiap bulan tertunggak, dan pada penyimpanan dana pada bank konvensional sehingga MUI berpendapat untuk segera mengatasi hal ini.

Saat ini pada pengelolaan BPJS Kesehatan sudah banyak menerapkan prinsip syariah, bahkan sebelum dikeluarkan fatwa tersebut pemisahan aset DJS dan aset BPJS merupakan aplikasi dari (risk of sharing) pada asuransi syariah, dimana dana masyarakat akan digunakan untuk menolong sesama, agar semua golongan mendapat jaminan kesehatan. Hal ini diperjelas bagi peserta bahwa dana tersebut akan digunakan untuk menolong sesama dengan memuat dalam persyaratan pendaftaran peserta BPJS Kesehatan. Pada persyaratan tersebut dijelaskan bahwa iuran tersebut adalah hibah yang tidak akan dikembalikan sekalipun peserta belum mendapatkan manfaat pada fasilitas yang disediakan, dan dana tersebut akan digunakan untuk menolong sesama.

Sejak 2016 denda keterlambatan pembayaran iuran telah dihapuskan, apabila peserta terlambat membayar iuran maka kepesertaan akan dinonaktifkan selama sebulan dan akan di aktifkan jika peserta membayar iuran tunggakannya, denda akan diberikan bagi peserta yang menjalani rawat inap sebelum 45 hari setelah kepesertaan diaktifkan kembali, maka peserta akan dikenakan denda 5%. Namun sampai saat ini. BPJS Kesehatan masih menginvestasikan dananya kepada investasi konvensional yang mengandung unsur ribawi, dan menyimpan dana peserta pada bank bank konvensional.

[Baca : PENGELOLAAN DANA MASYARAKAT OLEH BADAN PENYELENGGARAAN JAMINAN SOSIAL (BPJS) KESEHATAN (Tinjauan Konsep Asuransi Islam Terhadap Keberadaan Unsur Ribawi dan Garar). Karya Aulil Amri, Minny Iyasi. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. Banda Aceh]

****

ASAL ASUL LAHIRNYA DENDA KETERLAMBATAN DALAM BPJS

Penerapan denda atas keterlambatan iuran BPJS kesehatan padang lawas utara yang ditetapkan oleh BPJS kesehatan dilatar belakangi oleh kurangnya kepatuhan peserta dalam membayar iuran berimbas pada kekurangan dana dalam keuangan BPJS kesehatan. Adanya penerapan denda atas keterlambatan pembayaran iuran BPJS kesehatan ini sebagai upaya menumbuhkan rasa tanggung jawab peserta agar lebih tertib dalam pembayarannya.

Denda BPJS merupakan bentuk hukuman yang melibatkan uang yang di bayarkan dalam jumlah tertentu. denda pelayanan adalah sanksi yang di terima oleh peserta BPJS kesehatan karena keterlambatan pembayaran iuran dan menjalani rawat inap dalam kurun waktu 45 hari sejak status kepesertaan aktif kembali.

Besaran denda pelayanan sebesar 2,5% dari biaya di agnosa awal pelayanan kesehatan rawat inap dikalikan dengan jumlah bulan bertunggak dengan ketentuan Jumlah bulan bertunggak paling banyak 12 bulan, Besaran denda paling tinggi Rp 40 juta.

Pada tanggal Iuran BPJS Kesehatan kelas 3: Rp  35.000 perorang perbulan, iuran BPJS kesehatan kelas 3 sebenarnya rp.42.000 namun sebesar rp.7000 perorang perbulan di bayar oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah sebagai bantuan iuran bagi PBPU dan BP.

PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG HUKUM DENDA KETERLAMBATAN IURAN BPJS

Mengenai hal ini terdapat perbedaan pendapat menurut para ulama :

Penadapat Pertama menyatakan :

Bahwa hukum asalnya adalah terlarang kecuali persyaratan-persyaratan yang di bolehkan oleh syariat.

Pendapat kedua menyatakan :

Bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan mubah, kecuali terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan keharamannya.

Penjelasan :

Dana dari denda keterlambatan yang diterapkan oleh BPJS Kesehatan di kelola lagi oleh pihak BPJS sebagai dana yang kembali lagi ke pesertanya karena BPJS menggunakan prinsip tolong menolong. Dari sini lah terlihat bahwa tidak menunjukkan adanya keharaman dalam denda keterlambatan pembayaran iuran.

Denda yang ditetapkan BPJS Kesehatan ini sudah dijelaskan secara rinci dan jujur sesuai dengan yang ada di UU tentang peraturan yang berlaku di BPJS Kesehatan yaitu jika peserta menunggak dalam pembayaran iuran maka peserta akan dikenakan denda pelayanan. Sebagaimana seperti firman Allah dalan QS At-Taubah : 119.

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ﴾

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar (jujur).”

Tujuan Denda BPJS Kesehatan Denda pelayanan yang berlaku di BPJS berdasarkan Pasal 17A.1 Perpres RI No. 19 Tahun 2016 bermaksud untuk menimbulkan rasa kesadaran peserta untuk membayar iuran tepat waktu demi kelancaran pelayanan yang akan didapatkan. Setiap kita melakukan segala aktifitas bisnis tidak terlepas dari tanggung jawab. Tanggung jawab merupakan suatu perbuatan yang memiliki resiko dengan adanya tanggung jawab maka segala aktifitas bisnis yang dijalankan akan berjalan dengan baik.

Manusia setelah menentukan daya pilih antara yang baik dan yang buruk, harus menjalani konsekuensi logisnya.22 Sebagaimana dalam firman Allah dalam QS Al-Mudatsir ayat 38:

﴿كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ﴾

Artinya: “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”

Ayat diatas menjelaskan bahwa setiap individu berkewajiban untuk bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya serta dapat menanggung resiko-resikonya dan tidak seorangpun lari dari perbuatannya.

 

Posting Komentar

0 Komentar