Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

APAKAH DISYARI’ATKAN SHALAT SUNNAH DUA RAKAAT SETELAH SA’I?

Ditulis Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

----


----

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

 ===****===

PERTANYAAN :
APAKAH DISYARI’ATKAN MENUNAIKAN SHALAT SUNNAH DUA RAKAAT SETELAH SAI?

****

JAWABAN-NYA :

Tidak disyari’atkan shalat sunnah dua rakaaat setelah sa’i. Namun ada seorang ulama dari madzhab Hanafi yang menganjurkan shalat sunnah dua raka'at setelah sa’i. Yaitu Ibnu al-Humam al-Hanafi rahimahullah, dia mengatakan :

"إِذَا فَرَغَ مِنَ السَّعْيِ: يُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يَدْخُلَ فَيُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ، لِيَكُونَ خَتْمَ السَّعْيِ، كَخَتْمِ الطَّوَافِ، كَمَا ثَبَتَ أَنَّ مَبْدَأَهُ بِالِاسْتِلَامِ كَمَبْدَئِهِ، عَنْهُ - عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ -.

وَلَا حَاجَةَ إِلَى هَذَا الْقِيَاسِ، إِذْ فِيهِ نَصٌّ، وَهُوَ مَا رَوَى الْمُطَّلِبُ بْنُ أَبِي وَدَاعَةَ قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ - ﷺ - حِينَ فَرَغَ مِنْ سَعْيِهِ، جَاءَ، حَتَّى إِذَا حَاذَى الرُّكْنَ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فِي حَاشِيَةِ الْمَطَافِ، وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطَّائِفِينَ أَحَدٌ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَابْنُ حِبَّانَ"

“Ketika selesai dari sa’i, dianjurkan untuk masuk dan shalat dua rakaat, agar selesainya sa’i seperti selesainya thawaf. Sebagaimana terdapat ketetapan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam memulai sai dengan menyentuh (Hajar Aswad) seperti halnya memulai thawaf.

Tidak perlu dalil qiyas  tentang hal ini, karena di dalamnya terdapat nash. Yaitu apa yang diriwayatkan oleh Al-Muthallib bin Abi wada’ah, dia berkata, ‘Aku melihat Rasulullah sallallahu alaihi wa salaam, ketika selesai dari sa’inya, berjalan hingga sejajar dengan rukun (hajar aswad), lalu beliau menunaikan shalat dua rakaat di sisi tempat thawaf. Tidak ada seorang pun antara beliau dengan orang-orang thawaf.” (HR. Ahmad, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Selesai dari Fathul Qodir, karya Ibnu Humam 2/460).

=====

KOREKSI TERHADAP KEKELIRUAN IBNU AL-HUMAM:

Dalam Istidlal (penyimpulan hukum) dari hadits yang dia sebutkan itu terdapat kekeliruan dari dua aspek:  

Aspek Pertama:

Riwayat yang benar adalah “حِينَ فَرَغَ مِنْ سُبُعِهِ” (ketika selesai dari tujuh putarannya) bukan “مِنْ سَعْيِهِ” (dari sa’inya), maksudnya setelah tujuh putaran thawaf bukan stelah Sa’i.

Karena telah diriwayatkan oleh Nasa’i no. (2959) dan Ibnu Majah no. (2985), Ibnu Hibban, (2363) dari Al-Muthallib bin Abi Wada’ah, dia berkata,

رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ، حِينَ فَرَغَ مِنْ سُبُعِهِ، جَاءَ حَاشِيَةَ الْمَطَافِ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطَّوَّافِينَ أَحَدٌ  .

“Aku melihat Nabi  ketika selesai dari tujuh (putaran thawaf)nya, beliau mendatangi tepi tempat thawaf, lalu shalat dua rakaat. Saat itu tidak ada seorang pun antara beliau dengan orang-orang yang thawaf.”

Dalam lafadz an-Nasaa’i yang lain dalam as-Sunan no. 758 :

"رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ طَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ بِحِذَائِهِ فِي حَاشِيَةِ الْمَقَامِ وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطُّوَّافِ أَحَدٌ"

"Aku melihat Rasulullah  thawaf di Baitullah sebanyak tujuh kali, kemudian beliau shalat dua rakaat di sampingnya di pinggiran Maqam Ibrahim, dan tidak ada seorang pun antara beliau dan orang-orang yang thawaf." [Didha’ifkan oleh al-Albaani].

Dan lafadz An-Nasaa’i dalam as-Sunan al-Kubra 4/136 no. 3939 :

رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ ‌حِينَ «‌فَرَغَ ‌مِنْ ‌سَبْعَةٍ ‌جَاءَ ‌حَاشِيَةَ ‌الْمَطَافِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطَّوَافَيْنِ أَحَدٌ»

"Aku melihat Nabi  ketika selesai dari tujuh putaran thawaf, beliau datang ke pinggiran area thawaf dan shalat dua rakaat, dan tidak ada seorang pun antara beliau dan orang-orang yang thawaf."

Lafadz Ibnu Majah no. 2958 :

"إِذَا فَرَغَ مِنْ سَبْعِهِ جَاءَ حَتَّى يُحَاذِيَ بِالرُّكْنِ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ فِي حَاشِيَةِ الْمَطَافِ، وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطُّوَّافِ أَحَدٌ" .

قَالَ ابْنُ مَاجَةَ: "هَذَا بِمَكَّةَ خَاصَّةً".

"Ketika selesai dari tujuh putaran thawafnya, beliau datang hingga sejajar dengan Rukun, lalu shalat dua rakaat di pinggiran area thawaf, dan tidak ada seorang pun antara beliau dan orang-orang yang thawaf."

Ibnu Majah berkata: "Ini khusus di Mekah." [Didha’ifkan oleh al-Albaani].

Lafadz Musnad Imam Ahmad no. 27244:

«رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ حِينَ فَرَغَ مِنْ أُسْبُوعِهِ أَتَى حَاشِيَةَ الطَّوَافِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطَّوَافِ أَحَدٌ»

"Aku melihat Nabi  ketika selesai dari thawaf tujuh kali, beliau mendatangi pinggiran area thawaf dan shalat dua rakaat, dan tidak ada seorang pun antara beliau dan orang-orang yang thawaf." (HR. Ahmad no. 27244, Syaikh Syu'aib al-Arna'uth berkata: Sanadnya lemah.

Dan juga telah ada riwayat yang secara jelas dengan lafadz "thawaf" di kitab Musnad Imam Ahmad no. 27244, Shahih Ibnu Khuzaimah (815), dan Shahih Ibnu Hibban (2363) dari Al-Mutthalib bin Abi Wada'ah berkata:

" رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ حِينَ فَرَغَ مِنْ طَوَافِهِ، أَتَى حَاشِيَةَ الْمَطَافِ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ، وَلَيْسَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الطَّوَّافِينَ أَحَدٌ ".

"Aku melihat Nabi  ketika beliau selesai dari thawafnya, beliau mendatangi pinggiran area thawaf dan shalat dua rakaat, dan tidak ada seorang pun antara beliau dan orang-orang yang thawaf."

-----

Aspek Kedua:

Haditsnya lemah

Syeikh Al-Albani dalam kitab ‘Tamamul Minnah’, hal. 303 mengatakan :

"الْحَدِيثُ الْمَذْكُورُ ضَعِيفٌ، لِأَنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ كَثِيرِ بْنِ كَثِيرِ بْنِ الْمُطَّلِبِ، وَقَدِ اخْتُلِفَ عَلَيْهِ فِي إِسْنَادِهِ، فَقَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: عَنْهُ، عَنْ بَعْضِ أَهْلِهِ، أَنَّهُ سَمِعَ جَدَّهُ الْمُطَّلِبَ. وَقَالَ ابْنُ جُرَيْجٍ: أَخْبَرَنِي كَثِيرُ بْنُ كَثِيرٍ، عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ" انْتَهَى

“Hadist yang disebutkan itu lemah. Karena berasal dari riwayat Katsir bin Katsir bin Al-Muthalib, sanadnya diperselisihkan.

Karena Ibnu Uyainah berkata : “dari-nya, dari sebagian keluarganya, bahwa dia mendengar dari kakeknya Al-Muthalib”.

Sementara Ibnu Juraij berkata : Katsir bin Katsir telah mengkabarkan kepadaku dari ayahnya dari kakeknya”. [Selesia]

Al-A’dzomi dalam Tahqiiq Shahih Ibnu Huzaimah mengatakan :

"إِسْنَادُهُ ضَعِيفٌ، ابْنُ جُرَيْجٍ مُدَلِّسٌ وَقَدْ عَنْعَنَهُ، وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي إِسْنَادِهِ اخْتِلَافًا لَا مَجَالَ الْآنَ لِبَيَانِهِ" انْتَهَى

“Sanadnya lemah. Karena Ibnu Jurair itu mudallas (sering menipu) dan dia meriwayatkan dengan cara mu‘an’an, dalam sanadnya banyak perselisihan dimana tidak kesempatan sekarang untuk menjelaskannya. [Ta’liaq Shahih Ibnu Khuzaimah no. 815 2/15].

Di dho’ifkan pula oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij Musnad Imam Ahmad no. 27244. Namun dia menshahihkan-nya dalam Tahqiiq al-Ihsan fii Taqriibi Ibni Hibban 6/127 no. 2363].

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

وَقَدْ أَنْكَرَ ذَلِكَ سَائِرُ الْعُلَمَاءِ، مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ وَسَائِرِ الطَّوَائِفِ، وَرَأَوْا أَنَّ هَـٰذِهِ بِدْعَةٌ ظَاهِرَةُ الْقُبْحِ، فَإِنَّ السُّنَّةَ مَضَتْ بِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَخُلَفَاءَهُ طَافُوا وَصَلَّوْا، كَمَا ذَكَرَ اللَّهُ الطَّوَافَ وَالصَّلَاةَ، ثُمَّ سَعَوْا، وَلَمْ يُصَلُّوا عَقِبَ السَّعْيِ؛ فَاسْتِحْبَابُ الصَّلَاةِ عَقِبَ السَّعْيِ، كَاسْتِحْبَابِهَا عِندَ الْجَمَرَاتِ أَوْ بِالْمَوْقِفِ بِعَرَفَاتٍ، أَوْ جَعْلُ الْفَجْرِ أَرْبَعًا قِيَاسًا عَلَى الظُّهْرِ. وَالتَّرْكُ الرَّاتِبُ: سُنَّةٌ كَمَا أَنَّ الْفِعْلَ الرَّاتِبَ: سُنَّةٌ.

'Para ulama lainnya [selain Ibnu al-Humaam] , dari kalangan pengikut Syafi’i dan kelompok-kelompok lainnya, telah membantah hal itu dan menganggapnya sebagai bid’ah yang jelas tercela. Karena as-Sunnah menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya melakukan tawaf lalu mereka shalat, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an tentang tawaf lalu shalat, kemudian setelah itu melakukan sa’i. Dan mereka tidak melakukan shalat setelah sa’i.

Oleh karena itu, hukum anjuran shalat setelah sa’i sama dengan hukum anjuran shalat di dekat tempat lempar jumrah atau di tempat wukuf di Arafat. Atau sama saja dengan anjuran menjadikan shalat Subuh empat rakaat berdalil dengan qiyas kepada shalat Dhuhur.

Dan hukum meninggalkan sesuatu yang rutin dilakukan adalah sunnah, sebagaimana melakukan sesuatu yang rutin dilakukan adalah sunnah.'"

[Dikutip dari *Majmu’ al-Fatawa* (26/171)].

====

KESIMPULANNYA :

Tidak disunahkan shalat dua rakaat setelah sa’i, sedangkan ibadah sa’i tidak dapat diqiyaskan dengan ibadah thawaf dalam hal ini. Wallahu a’lam

===

TEGURAN KERAS DARI AL-ALBANI :

"(تَنْبِيهٌ عَلَى وَهْمِ نَبِيهِ):

اِعْلَمْ أَنَّ لَفْظَ رِوَايَةِ ابْنِ مَاجَهْ لِهَذَا الْحَدِيثِ: "رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ إِذَا فَرَغَ مِنْ سُبْعِهِ جَاءَ حَتَّى يُحَاذِيَ بِالرُّكْنِ، فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ...."

وَقَدْ ذَكَرَ الْعَلَّامَةُ ابْنُ الْهُمَامِ فِي "فَتْحِ الْقَدِيرِ" هَذِهِ الرِّوَايَةَ لَكِنْ تَحَرَّفَ عَلَيْهِ قَوْلُهُ "سُبْعِهِ" إِلَى "سَعْيِهِ"! فَاسْتَدَلَّ بِهِ عَلَى اسْتِحْبَابِ صَلَاةِ رَكْعَتَيْنِ بَعْدَ السَّعْيِ وَهِيَ بِدْعَةٌ مُحْدَثَةٌ لَا أَصْلَ لَهَا فِي السُّنَّةِ كَمَا نَبَّهَ عَلَى ذَلِكَ غَيْرُ وَاحِدٍ مِنَ الْأَئِمَّةِ كَأَبِي شَامَةَ وَغَيْرِهِ كَمَا ذَكَرْتُهُ فِي ذَيْلِ "حُجَّةِ النَّبِيِّ ﷺ" الطَّبْعَةِ الثَّانِيَةِ وَكَذَلِكَ فِي رِسَالَتِي الْجَدِيدَةِ "مَنَاسِكُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فِي الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَآثَارِ السَّلَفِ" فَقْرَة (69)".

انظر : "سِلْسِلَةُ الْأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ وَالْمَوْضُوعَةِ وَأَثَرُهَا السَّيِّئُ فِي الْأُمَّةِ" 328/2

**(Peringatan terhadap kekeliruan Nabiih):**

Ketahuilah bahwa lafaz riwayat Ibnu Majah untuk hadis ini: "Aku melihat Rasulullah  ketika selesai dari thawaf tujuh kali, beliau datang hingga sejajar dengan Rukun, lalu shalat dua rakaat...."

Dan telah disebutkan oleh al-Allamah Ibnu al-Humam dalam "Fath al-Qadir" riwayat ini, tetapi kata "subu’ihi" terdistorsi menjadi "sa'yihi" padanya! Lalu dijadikannya sebagai dalil olehnya untuk anjuran shalat dua rakaat setelah sa'i, yang merupakan bid'ah yang diada-adakan dan tidak memiliki dasar dalam sunnah, sebagaimana telah diingatkan oleh lebih dari satu imam seperti Abu Syamaah dan lainnya sebagaimana yang telah aku sebutkan dalam "Dzail Hajjati an-Nabi " cetakan kedua, serta dalam risalahku yang baru "Manasik Haji dan Umrah dalam Kitab dan Sunnah dan Atsar Salaf" paragraf (69).

[Lihat : "Silsilah al-Ahadits ad-Dha'ifah wa al-Mawdhu'ah wa Atsaruha as-Sayyi' fil Ummah" 328/2].

Posting Komentar

0 Komentar