Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

BERJUMPA NABI ﷺ SETELAH WAFAT DALAM KEADAAN JAGA, ADALAH HAL MUSTAHIL MENURUT SYARI’AH DAN LOGIKA

  

MELIHAT DAN BERJUMPA NABI  SETELAH WAFAT DALAM KEADAAN JAGA, ADALAH HAL MUSTAHIL MENURUT SYARI’AH DAN LOGIKA

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

====

====

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN
  • MAKNA DAN DEFINISI KATA RU’YAH (MELIHAT) :
  • TIPU DAYA IBLIS DALAM MENYESATKAN UMAT DANGAN KEYAKINAN BISA BERJUMPA NABI  SETELAH WAFAT DALAM KEADAAN JAGA.
  • PEMBAHASAN PERTAMA : **Iblis Telah Menjerumuskan Sekelompok Sufi Extrem Dengan Cara Istidraj ke Dalam Ekstremisme yang Tercela Terhadap Rasulullah **
  • **PEMBAHASAN KEDUA** : Klaiman Sekelompok Sufi Mampu Melihat Nabi Muhammad  dalam Keadaan Terjaga.
  • **PEMBAHASAN KETIGA** : Dalil-dalil Kaum Sufi tentang Melihat Nabi Muhammad  dalam Keadaan Terjaga dan Tanggapan terhadapnya.
  • **PEMBAHASAN KELIMA**: Konsekuensi batil dari pendapat yang membenarkan bisa melihat Nabi  secara langsung saat terjaga:
  • BANTAHAN SINGKAT ATAS ANGGAPAN BAHWA RASULULLAH  MENGUNJUNGI KITA DALAM KEADAAN JAGA:
  • ORANG YANG TELAH MATI TIDAK AKAN KEMBALI LAGI KE DUNIA :
  • MEREKA DI ALAM BARZAKH :
  • TINGKATAN TEMPAT KEDIAMAN RUH MANUSIA DI ALAM BARZAKH
  • BUKAN DARI AJARAN ISLAM: KEYAKINAN ROH ORANG MATI BISA DI PANGGIL DAN BISA GENTAYANGAN:
  • PARA SAHABAT NABI TIDAK PERNAH MENGHADIRKAN NABI  SETELAH WAFAT, WALAU SAAT DARURAT UNTUK UMAT
  • AJARAN KRISTEN MENOLAK KEPERCAYAAN ROH ORANG MATI BISA HADIR KE DUNIA, MESKI ROH SEORANG NABI:
  • KEBERADAAN ROH ORANG MATI DALAM AGAMA HINDU :
  • SUMBER KEYAKINAN ROH BISA HADIR DAN GENTAYANGAN :
  • KEYAKINAN TENTANG KEDUDUKAN ORANG SUCI SETELAH MATI SEMAKIN TINGGI DI SISI TUHANNYA
  • PARA TOKOH SUPRANATURAL YANG DIYAKINI ROHNYA BISA HADIR GENTAYANGAN DAN DIRAYAKAN HARI KELAHIRAN-NYA
  • ORANG BALI DIKENAL GEMAR DAN SUKA SEKALI MEMANGGIL ROH:

===*****===

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

*****

PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, dan tidak ada permusuhan kecuali terhadap orang-orang yang zalim. Shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada sebaik-baik ciptaan Allah, Nabi kita Muhammad, beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya.

Amma ba’du:

Mencintai Nabi  adalah kewajiban bagi setiap Muslim, dan kecintaan tersebut harus diwujudkan dengan mengikuti sunnah beliau, bukan dengan mengada-adakan hal baru (bid'ah). Sebagian ahli bid'ah dari kelompok sufi ekstrem pada zaman kita ini, serta di masa-masa sebelumnya, mengklaim bahwa mereka mampu melihat Nabi  dalam keadaan terjaga serta berkomunikasi dengan beliau di perayaan ulang tahun mereka dan di tempat-tempat lainnya!

Orang yang mau meneliti, mengamati dan memeriksa secara mendalam pemikiran sufi akan menemukan bahwa salah satu aspek paling berbahaya dari akidah sekelompok sufi adalah pengabaian terhadap sumber-sumber dalil dan penerimaan. Mereka mengambil dari berbagai agama dan aliran, tanpa berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah. Bahkan, Syeikh Abdur Rahman al-Wakiil, yang merupakan ahli dalam hal ini, mengatakan:

"إِنَّ التَّصَوُّفَ ... قِنَاعٌ مَجُوسِيٌّ يَتَرَاءَى أَنَّهُ رَبَّانِيٌّ، بَلْ قِنَاعُ كُلِّ عَدُوٍّ صُوفِيٍّ لِلدِّينِ الْحَقِّ، فَتِّشْ فِيهِ تَجِدْ بَرْهَمِيَّةً، وَبُوذِيَّةً، وَزَرَادَشْتِيَّةً، وَمَانَوِيَّةً، وَدَيْصَانِيَّةً، تَجِدْ أَفْلُوطِينِيَّةً، وَغُنُوصِيَّةً، تَجِدْ يَهُودِيَّةً، وَنَصْرَانِيَّةً، وَوَثَنِيَّةً جَاهِلِيَّةً"

“Sufisme ... adalah topeng Majusi yang tampak seolah-olah bersifat rabbaani (ahli ibadah), bahkan sufisme adalah topeng dari setiap musuh berkedok tasawuf terhadap agama yang hak dan benar.

Jika Anda meneliti, maka Anda akan menemukan di dalamnya ajaran Brahmanisme, Buddhisme, Zoroastrianisme (Majusi), Manikisme, dan Deysaniyah, serta ajaran Platonisme, Gnostisisme (ahli hikmah Yunani), Yudaisme, Kristen, dan Paganisme Jahiliyah”.

([Baca : *Hadzihi Hiya ash-Shufiyyah*, edisi: Anshar as-Sunnah al-Muhammadiyyah (hlm. 19)]).

Ini adalah sebagian dari sumber-sumber penerimaan dalam sebagian kelompok sufisme extreme, selain dari pendapat para guru, latihan spiritual, mimpi, wahyu, ilham, dan suara gaib.

Sekelompok Sufisme membenarkan dan menetapkan akidah dengan ilham dan wahyu yang diduga dari para wali, komunikasi dengan jin yang mereka sebut sebagai roh-roh, serta perjalanan ruh ke langit, dan fana menyatu dalam Allah, serta terbukanya cermin hati hingga seluruh ghaib nampak muncul kepada wali sufi menurut klaim mereka, dengan al-kasyaf (tersingkapnya ghaib), menghubungkan hati dengan Nabi  di mana mereka mengklaim mendapatkan ilmu darinya, dan bisa bertemu Nabi  baik dalam keadaan sadar maupun dalam keadaan mimpi menurut klaim mereka, serta melalui penglihatan mata kepala .

Secara umum, sumber-sumber ghaib dalam sufisme sangatlah banyak. ([Lihat: *Al-Fikr ash-Shufi fi Dhau' al-Kitab wa as-Sunnah*, Dr. Abdul Rahman Abdul Khaliq (hlm. 37)]).

Al-Hafiz Ibnu Hajar al-Asqalani menyebutkan:

«أَنَّ ابْنَ أَبِي جَمْرَةَ نَقَلَ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنَ المُتَصَوِّفَةِ أَنَّهُمْ رَأَوُا النَّبِيَّ فِي المَنَامِ ثُمَّ رَأَوْهُ بَعْدَ ذَلِكَ فِي اليَقَظَةِ وَسَأَلُوهُ عَنْ أَشْيَاءَ كَانُوا مِنْهَا مُتَخَوِّفِينَ فَأَرْشَدَهُمْ إِلَى طَرِيقِ تَفْرِيجِهَا فَجَاءَ الأَمْرُ كَذَلِكَ»

“Bahwa Ibnu Abi Jumrah menukil dari sekelompok sufi bahwa mereka melihat Nabi  dalam mimpi, lalu kemudian mereka melihat beliau  dalam keadaan terjaga, dan mereka menanyakan kepada beliau tentang hal-hal yang mereka khawatirkan. Lalu Nabi  memberikan bimbingan kepada mereka tentang cara mengatasi masalah tersebut, dan ternyata menurut mereka perkara tersebut bisa teratasi sesuai dengan bimbingan Nabi .”

Kemudian Al-Hafiz Ibnu Hajar mengomentari hal ini dengan mengatakan:

«وَهَذَا مُشْكِلٌ جِدًّا، وَلَوْ حُمِلَ عَلَى ظَاهِرِهِ لَكَانَ هَؤُلَاءِ صَحَابَةً، وَلَأَمْكَنَ بَقَاءُ الصُّحْبَةِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، وَيُعَكِّرُ عَلَيْهِ أَنَّ جَمْعًا جَمًّا رَأَوْهُ فِي المَنَامِ، ثُمَّ لَمْ يَذْكُرْ وَاحِدٌ مِنْهُمْ أَنَّهُ رَآهُ فِي اليَقَظَةِ، وَخَبَرُ الصَّادِقِ لَا يَتَخَلَّفُ»

"Ini sangat bermasalah. Jika dipahami secara harfiah, maka mereka adalah sahabat, dan dengan demikian, seseorang bisa menjadi sahabat (Nabi ) dapat berlanjut hingga Hari Kiamat.

Hal ini sangat bermasalah sekali, karena banyak orang (dari kalangan salaf) yang pernah mimpi melihat Nabi , namun tidak ada satu pun dari mereka yang menyebutkan bahwa mereka kemudian melihatnya dalam keadaan terjaga.

Dan berita yang disampaikan oleh orang yang jujur tidak akan keliru." (*Fathul Bari*, 12/385).

Abu Said al-Khadimi al-Hanafi (w. 1156 H) dalam kitab *Bariqah Mahmudiyah* 1/103 mengatakan:

"رُؤْيَةُ شَخْصِهِ ﷺ بِعَيْنِ الرَّأْسِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَرُؤْيَتُهُ تَعَالَى فِي الدُّنْيَا بِعَيْنِ الرَّأْسِ غَيْرُ مُمْكِنٍ، وَالأَوَّلُ: عَقْلِيٌّ، إِذْ الْمَوْتَى مَا دَامُوا كَذَلِكَ لَا يُتَصَوَّرُ مِنْهُمْ ذَلِكَ..".

“Melihat sosok fisik Nabi  dengan mata kepala setelah wafatnya, sebagaimana melihat Allah dengan mata kepala di dunia, adalah hal yang tidak mungkin terjadi. Hal pertama (melihat Nabi ) tidak mungkin secara akal, karena orang mati, selama mereka dalam keadaan mati, tidak bisa dilihat dengan mata kepala…” (Selesai)

Namun, yang paling merusak otoritas syariat adalah klaim bahwa orang-orang yang tingkat khowash (khusus) dapat melihat Rasulullah  dalam keadaan sadar, mereka menerima hukum-hukum syariah yang mengikat langsung dari beliau , yang bisa membuka pintu lebar-lebar untuk berdusta atas nama Rasulullah .

PERTANYAAN-NYA : Mengapa Nabi  tidak menampakkan diri kepada para sahabatnya dan keluarganya dalam keadaan terjaga pada momen-momen sangat penting serta darurat yang menentukan nasib umat?

Mengapa beliau  tidak menampakkan diri dalam keadaan terjaga kepada kaum Muhajirin dan Anshar di Saqifah Bani Sa’idah ketika terjadi perselisihan tentang khilafah?

Mengapa beliau tidak menampakkan diri kepada Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dalam perselisihannya dengan Fatimah az-Zahra radhiyallahu ‘anha dalam kasus warisan tanah Fadak?

Mengapa beliau tidak menampakkan diri di perang Shiffin atau di Harura untuk menghentikan kaum Khawarij dari memerangi Ali radhiyallahu ‘anhu?

Mengapa beliau tidak menampakkan diri kepada Mu’awiyah untuk melarangnya memerangi Ali dan penduduk Irak?

Saya kira pertanyaan-pertanyaan ini sangat "logis," dan kami mengharapkan jawaban yang meyakinkan dari Mufti dan pendukung pendapat ini. Sebab, situasi-situasi tersebut lebih layak dan lebih mendesak untuk kemunculan Nabi  dalam keadaan terjaga dibandingkan dengan perayaan maulid, acara umum, atau momen menyendiri.

Al-Hafiz al-Sakhawi berkata tentang melihat Nabi  dalam keadaan terjaga setelah wafatnya:

«لَمْ يَصِلْ إِلَيْنَا ذَلِكَ ـ أَيْ ادِّعَاءُ وُقُوعِهَا ـ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَلَا عَمَّنْ بَعْدَهُمْ، وَقَدِ اشْتَدَّ حُزْنُ فَاطِمَةَ عَلَيْهِ‏ ﷺ حَتَّى مَاتَتْ كَمَدًا بَعْدَهُ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ عَلَى الصَّحِيحِ، وَبَيْتُهَا مُجَاوِرٌ لِضَرِيحِهِ الشَّرِيفِ وَلَمْ تُنْقَلْ عَنْهَا رُؤْيَتُهُ فِي المُدَّةِ الَّتِي تَأَخَّرَتْهَا عَنْهُ»

"Kami tidak menerima laporan tentang hal tersebut—yakni klaim terjadinya—dari seorang pun sahabat, atau dari orang-orang setelah mereka. Fatimah radhiyallahu ‘anha sangat bersedih atas wafatnya Nabi  hingga ia meninggal dunia dalam keadaan berduka enam bulan kemudian, sebagaimana diriwayatkan dengan shahih. Rumahnya bersebelahan dengan makam Nabi yang mulia, namun tidak diriwayatkan bahwa ia melihat Nabi dalam periode waktu tersebut." [Pernyataan ini dinukil oleh al-Qasthalani dalam *al-Mawahib al-Ladunniyah* (5/295) dari al-Sakhawi].

===****===

MAKNA DAN DEFINISI KATA RU’YAH (MELIHAT) :

Arti dan Definisi Ru’yah (Penglihatan)** 

Ibnu Faris menjelaskan :

الرَّاءُ وَالْهَمْزَةُ وَالْيَاءُ أَصْلٌ يَدُلُّ عَلَى نَظَرٍ وَإِبْصَارٍ بِعَيْنٍ أَوْ بَصِيرَةٍ

“Bahwa “رأي” menunjukkan makna melihat dengan mata atau hati . [Baca: *Maqayis al-Lughah* (hlm. 415), kata : رأي]

Ibnu Al-Fayyumi berkata :

"رَأَيْتُ الشَّيْءَ رُؤْيَةً: أَبْصَرْتُهُ بِحَاسَّةِ البَصَرِ، وَمِنْهُ الرِّيَاءُ وَهُوَ إِظْهَارُ العَمَلِ لِلنَّاسِ لِيَرَوْهُ وَيَظُنُّوا بِهِ خَيْرًا، فَالعَمَلُ لِغَيْرِ اللهِ -نَعُوذُ بِاللهِ مِنْهُ- وَرُؤْيَةُ العَيْنِ: مُعَايَنَتُهَا لِلشَّيْءِ. وَيُقَالُ: رُؤْيَةُ العَيْنِ، وَرَأْيُ العَيْنِ، وَجَمْعُ الرُّؤْيَةِ: رُؤًى."

"Aku melihat sesuatu (ru’yah): Aku melihatnya dengan indra penglihatan, dan dari kata ini juga berasal kata 'riya' (riya'), yaitu menampakkan amal kepada manusia agar mereka melihatnya dan menganggapnya baik, yaitu melakukan amal bukan karena Allah, kita berlindung kepada Allah dari hal tersebut.

Ru’yah mata berarti melihat sesuatu secara langsung. Ada ungkapan 'ru’yat al-‘ayn' (penglihatan mata) dan bentuk jamaknya adalah 'ru’a' (ru’ya)" . [Baca : *Al-Misbah al-Munir* (hlm. 129), kata : روي]. 

**Penglihatan terbagi menjadi tiga jenis:** 

Pertama : رُؤْيَةُ البَصَرِ (**Ru’yat al-bashar (Penglihatan Mata)) :

"طَلَبُ الرُّؤْيَةِ بِتَقْلِيبِ البَصَرِ، وَهُوَ الطَّرِيقُ الحِسِّيُّ لِلعِلْمِ"

"Penglihatan dengan cara membalik-balikkan pandangan mata untuk mencari penglihatan, ini adalah metode fisik dalam memperoleh ilmu" . 

[Lihat: *Nadzm ad-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-Suwar*, karya al-Biqa'i, edisi: Dar al-Kitab al-Islami, Kairo (9/130)].

Kedua : رُؤْيَةُ القَلْبِ (Ru’yat al-qalb (Penglihatan Hati))

"طَلَبُ العِلْمِ بِالفِكْرِ، وَهُوَ الطَّرِيقُ المَعْنَوِيُّ لِلعِلْمِ"

"Mencari ilmu dengan menggunakan pikiran, ini adalah metode non-fisik dalam memperoleh ilmu" .  [Lihat: *Nadzm ad-Durar* (1/328)]

Ketiga رُؤْيَةُ المَنَامِ (Ru’yat dalam Mimpi) .  ([Lihat: *Lisan al-Arab*, karya  Ibnu Manzur (6/657), bahan: رأي.])

Dari penjelasan ini, ru’yah (رُؤْيَةُ) bisa terjadi melalui mata dan hati, sedangkan ru’ya (رُؤْيَا) adalah mimpi yang terjadi tanpa penglihatan mata atau hati, melainkan melalui pengalaman visual dan pendengaran yang ditampilkan kepada orang yang bermimpi dalam tidurnya .

([*Ru'yat an-Nabi  Yaqdzotan Ba'da Mawtihi Dirasah Aqadiyyah*, Dr. Sa'ad bin Abdullah Al-Majid ad-Dausari (hlm. 12) ]). 

===****===

TIPU DAYA IBLIS DALAM MENYESATKAN UMAT DANGAN KEYAKINAN BISA BERJUMPA NABI  SETELAH WAFAT DALAM KEADAAN JAGA

Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata dalam *Hukum Merayakan Maulid Nabi*:

«بَعْضُهُمْ يَظُنُّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَحْضُرُ المَوْلِدَ؛ وَلِهَذَا يَقُومُونَ لَهُ مُحَيِّينَ وَمُرَحِّبِينَ، وَهَذَا مِنْ أَعْظَمِ البَاطِلِ وَأَقْبَحِ الجَهْلِ، فَإِنَّ الرَّسُولَ ﷺ لَا يَخْرُجُ مِنْ قَبْرِهِ قَبْلَ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَلَا يَتَّصِلُ بِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ، وَلَا يَحْضُرُ اجْتِمَاعَاتِهِمْ، بَلْ هُوَ مُقِيمٌ فِي قَبْرِهِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، وَرُوحُهُ فِي أَعْلَى عِلِّيِّينَ عِنْدَ رَبِّهِ فِي دَارِ الكَرَامَةِ، كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي سُورَةِ المُؤْمِنُونَ: ﴿ثُمَّ إِنَّكُمْ بَعْدَ ذَلِكَ لَمَيِّتُونَ * ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ القِيَامَةِ تُبْعَثُونَ﴾ (المؤمنون: 15-16)، وَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: «أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ، وَأَوَّلُ مَنْ يَنْشَقُّ عَنْهُ القَبْرُ، وَأَوَّلُ شَافِعٍ وَأَوَّلُ مُشَفَّعٍ» عَلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ. فَهَذِهِ الآيَةُ الكَرِيمَةُ وَالحَدِيثُ الشَّرِيفُ وَمَا جَاءَ فِي مَعْنَاهُمَا مِنَ الآيَاتِ وَالأَحَادِيثِ، كُلُّهَا تَدُلُّ عَلَى أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ وَغَيْرَهُ مِنَ الأَمْوَاتِ إِنَّمَا يَخْرُجُونَ مِنْ قُبُورِهِمْ يَوْمَ القِيَامَةِ».

"Sebagian orang mengira bahwa Rasulullah  hadir dalam perayaan maulid; oleh karena itu, mereka berdiri untuk menghormatinya dan menyambutnya. Ini adalah salah satu kebatilan terbesar dan kebodohan yang paling buruk.

Rasulullah  tidak akan keluar dari kuburnya sebelum Hari Kiamat, tidak berhubungan dengan siapa pun, dan tidak hadir dalam pertemuan mereka. Beliau tetap berada di kuburnya sampai Hari Kiamat, sedangkan rohnya berada di tempat yang tertinggi di sisi Tuhannya, di tempat kemuliaan.

Sebagaimana firman Allah dalam Surah al-Mu'minun: *'Kemudian sesungguhnya kamu sesudah itu benar-benar akan mati. Kemudian sesungguhnya kamu pada Hari Kiamat akan dibangkitkan.'* (Al-Mu'minun: 15-16).

Dan Nabi  bersabda: *'Aku adalah pemimpin anak cucu Adam pada Hari Kiamat, orang pertama yang dibangkitkan dari kuburnya, dan orang pertama yang memberi syafaat serta yang pertama diberi izin untuk memberikan syafaat.'*

Semoga shalawat dan salam terbaik dari Tuhannya tercurah kepada beliau. Ayat yang mulia ini, hadits yang mulia, serta ayat-ayat dan hadits-hadits lain yang serupa menunjukkan bahwa Nabi  dan orang-orang yang telah meninggal lainnya hanya akan keluar dari kubur mereka pada Hari Kiamat." Demikianlah (dan hadits ini diriwayatkan oleh Muslim).

Adapun hadits : (مَنْ رَآني فِي الْمَنَامِ فَسَوْفَ يَرَانِي) maka ia termasuk hadits yang "mubtari" (terputus).

Para perawi tidak menyebutkan (فَسَوْفَ يَرَانِي) dan hanya berhenti di situ. Mereka hanya mengatakan dalam riwayat hadits nabi:

(مَنْ رَآني فِي الْمَنَامِ فَسَوْفَ يَرَانِي أَوْ لَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ)

Artinya : "Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka dia akan melihatku atau seakan-akan dia melihatku dalam keadaan terjaga."

Tambahan tersebut menunjukkan adanya keraguan dalam riwayat perawi tersebut, karena dalam riwayat al-Bukhari tidak ada lafadz (فَسَوْفَ يَرَانِي), melainkan lafadz yang ada hanya (فَقَدْ رَآنِي) saja, tanpa tambahan atau pengurangan.

Syeikh Syahhaatah Shoqr mengatakan  :

وَالرِّوَايَةُ أَخْرَجَهَا مُسْلِمٌ (حَدِيثٌ رَقَمُهُ 2266)، وَأَبُو دَاوُدَ (حَدِيثٌ رَقَمُهُ 5023)، وَأَحْمَدُ (5/306) الَّذِي فِيهِ اللَّفْظُ ذَكَرَهُ بِلَفْظِ «فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ. أَوْ لَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ» وَهَـٰذَا الشَّكُّ مِنَ الرَّاوِي يُدِلُّ عَلَىٰ أَنَّ الْمَحْفُوظَ إِنَّمَا هُوَ لَفْظُ «فَكَأَنَّمَا رَآنِي» أَوْ «فَقَدْ رَآنِي»؛ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهُمَا وَرَدَ فِي رِوَايَاتٍ كَثِيرَةٍ بِالْجَزْمِ وَلَيْسَ فِيهَا شَيْءٌ شَكٍّ فِيهِ الرَّاوِي.

“Bahwa riwayat ini diriwayatkan oleh Muslim (hadits nomor 2266), Abu Dawud (hadits nomor 5023), dan Ahmad (5/306) dengan lafadz yang disebutkan, yaitu :

«فَسَيَرَانِي فِي الْيَقَظَةِ. أَوْ لَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ»

Artinya : “maka dia akan melihatku atau seakan-akan dia melihatku dalam keadaan terjaga."

Keraguan dari perawi menunjukkan bahwa lafadz yang benar adalah «فَكَأَنَّمَا رَآنِي» atau «فَقَدْ رَآنِي»; karena keduanya terdapat dalam banyak riwayat dengan kepastian tanpa ada keraguan dari perawi.

Jadi, jelas bahwa riwayat hadits yang digunakan sebagai dalil oleh mufti tersebut (semoga Allah mengampuninya) didasarkan pada dugaan karena perkataan perawi (أَوْ لَكَأَنَّمَا رَآنِي). Oleh karena itu, kita harus mengikuti yang jelas (مُحكَم) dan tidak mengikuti yang meragukan (مُتَشَابِه).

Dan riwayat yang jelas dalam hadits adalah (فَقَدْ رَآنِي), yaitu bahwa melihat nabi dalam mimpi adalah benar, karena setan tidak dapat menampakkan diri sebagai nabi Muhammad . Jadi, melihat beliau dalam keadaan sadar adalah mustahil dari segala sisi.

[www.whyislamsa.com . Sumber: Shoyd al-Fawa'id]

===****====

PEMBAHASAN PERTAMA :
**Iblis Telah Menjerumuskan Sekelompok Sufi Extrem Dengan Cara Istidraj ke Dalam Ekstremisme yang Tercela Terhadap Rasulullah **

Iblis telah menjerumuskan sebagian golongan kaum Sufi Dengan Istidraj ke dalam ekstremisme yang tercela terhadap Rasulullah  melalui tahapan-tahapan dan langkah-langkah yang saling terhubung.

**Di antara langkah-langkah tersebut adalah**:

Langkah ke 1 : **Klaim Tangan Mulia Rasulullah  Keluar dari Makamnya:**

Mereka mengklaim bahwa tangan mulia Rasulullah  keluar dari makamnya untuk dicium oleh Syeikh Ahmad ar-Rifa’i (w. 570 H).

Abu al-Huda al-Sayyadi al-Rifa'i (Dalam kiatab-nya: *Qiladat al-Jawahir fi Dzikr al-Ghawts ar-Rifa'i wa Atba'ihi al-Akabir* (hlm. 67-68) ), dia mendakwakan :

إِنَّ الشَّيْخَ أَحْمَدَ الرِّفَاعِيَّ لَمَّا حَجَّ وَقَفَ تِجَاهَ الحُجْرَةِ الشَّرِيفَةِ، وَأَنْشَدَ: 

فِي حَالَةِ البُعْدِ رُوحِي كُنْتُ أُرْسِلُهَا … تُقَبِّلُ الأَرْضَ عَنِّي وَهْيَ نَائِبَتِي

وَهَذِهِ دَوْلَةُ الأَشْبَاحِ قَدْ حَضَرَتْ … فَامْدُدْ يَمِينَكَ كَيْ تَحْظَى بِهَا شَفَتِي

قَالَ: "فَخَرَجَتْ إِلَيْهِ يَدُهُ الشَّرِيفَةُ مِنَ القَبْرِ حَتَّى قَبَّلَهَا وَالنَّاسُ يَنْظُرُونَ."

“Sungguh ketika Syeikh Ahmad ar-Rifa’i melakukan haji, ia berdiri menghadap kamar (makam Nabi) yang mulia, lalu bersenandung puisi:

"Di tengah jarak yang jauh, ruhku aku kirim … mencium bumi untukku sementara ia sebagai wakilku

Dan inilah negeri bayangan yang telah hadir … maka ulurkan tangan kananmu agar bibirku mendapatkannya."

Dia mengatakan: “Maka tangan mulia Rasulullah  keluar dari makamnya hingga dia (Ahmad ar-Rifa’i) mencium-nya sementara orang-orang melihat-nya” ([Baca : *Tanwir al-Halak fi Ru'yat an-Nabi wa al-Malak* (hlm. 51)]).

Langkah kedua : **Klaim Serupa Lainnya:**

Kemudian, sekelompok kaum Sufi terus-menerus terjebak dalam kekacaubalauan dan mengikuti jalur yang sama dengan menciptakan cerita-cerita khurafat dan takhayyul yang serupa. Mereka menyebutkan :

أَنَّ إِبْرَاهِيمَ الأَعْزَبَ أَنْشَدَ شِعْرًا عِنْدَ قَبْرِ النَّبِيِّ ﷺ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ: "بَارَكَ اللَّهُ بِكَ، أَنْتَ مَنْظُورٌ بِعَيْنِ الرِّضَا."

“Bahwa Ibrahim al-A'zab menyenandungkan puisi di makam Nabi , lalu Nabi  berkata kepadanya: “Semoga Allah memberkatimu, engkau dipandang dengan mata penuh keridhoan” ([Baca : *Tiryaq al-Muhibbin*, karya Taqiyud-Din al-Wasithi (hlm. 69)]).

Langkah Ke Tiga : **Klaim Lebih Jauh:**

Kemudian, mereka melangkah lebih jauh lagi, yaitu dengan mengklaim bahwa Nabi  keluar dari makamnya, lalu gentayangan mendatangi para syaikh mereka. Dan merekapun bertemu langsung dengan Nabi , serta mereka bisa melihatnya dalam keadaan sadar, bukan mimpi, di dunia ini, lalu mereka menerima ilmu langsung dari beliau .

([Lihat: *Usul Bila Usul*, Dr. Muhammad Isma'il al-Muqaddam (hlm. 129-132), dengan penyesuaian.]).

====*****====

PEMBAHASAN KEDUA :
**Klaiman Sekelompok Sufi Mampu Melihat Nabi Muhammad  dalam Keadaan Terjaga**

Sebagian besar kaum sufi berpendapat bahwa melihat Nabi Muhammad  dalam keadaan sadar dan terjaga setelah wafatnya adalah hal yang mungkin terjadi dan nyata. Beberapa dari mereka bahkan menyatakan bahwa Nabi  tidak benar-benar mati. Abu Al-Abbas Al-Qassab berkata :

"لَمْ يَمُتْ مُحَمَّدٌ، وَإِنَّمَا الَّذِي مَاتَ هُوَ اِسْتِعْدَادُكَ لِأَنْ تَرَاهُ بِعَيْنِ قَلْبِكَ"

"Muhammad tidak mati, yang mati hanyalah kemampuanmu untuk melihatnya dengan mata hatimu" . [Lihat: *Fi at-Tasawwuf al-Islami wa Tarikhihi*, Reynold A. Nicholson (hlm. 208)]. 

Banyak dari kalangan mereka yang merumuskan berbagai metode yang bisa dilakukan oleh sufi agar dapat melihat Nabi  dalam keadaan terjaga. Umar bin Sa’id Al-Futi mengutip perkataan Muhammad bin Abdul Karim As-Saman :

"وَأُوصِيكَ بِدَوَامِ مُلَاحَظَةِ صُورَتِهِ وَمَعْنَاهُ وَلَوْ كُنْتَ فِي أَوَّلِ الْأَمْرِ مُتَكَلِّفًا فِي الِاسْتِحْضَارِ؛ فَعَنْ قَرِيبٍ تَأْلَفُ رُوحُكَ، فَيَحْضُرُكَ ﷺ عِيَانًا، وَتُحَدِّثُهُ وَتُخَاطِبُهُ، فَيُجِيبُكَ وَيُحَدِّثُكَ وَيُخَاطِبُكَ، فَتَفُوزُ بِدَرَجَةِ الصَّحَابَةِ وَتَلْحَقُ بِهِمْ"

"Aku wasiatkan padamu agar selalu memperhatikan gambaran dan maknanya (Nabi ), bahkan jika pada awalnya kamu merasa dipaksa untuk mengingat-ingat kehadirannya; tidak lama kemudian jiwamu akan terbiasa, sehingga Nabi  akan hadir di hadapanmu secara nyata. Engkau akan berbicara dengannya, dan ia akan menjawabmu dan berbicara padamu, sehingga engkau akan mencapai derajat sahabat dan bergabung dengan mereka" . [Baca : *Rimah Hizb ar-Rohim 'ala Nuhur Hizb ar-Rojim* (1/226)].

Artinya, Nabi  bisa dilihat melalui latihan spiritual dengan memusatkan pikiran pada gambaran beliau sampai ruh terbiasa dengan gambaran itu, sehingga Nabi  hadir. 

Asy-Sya’rani dalam biografi Abdullah bin Abi Jamrah Al-Andalusi menyebutkan :

"اِبْتُلِيَ بِالْإِنْكَارِ عَلَيْهِ حِينَ قَالَ: إِنَّهُ يَرَى النَّبِيَّ ﷺ يَقَظَةً وَيُشَافِهُهُ، وَقَامَ عَلَيْهِ بَعْضُ النَّاسِ فَانْقَطَعَ فِي بَيْتِهِ إِلَى أَنْ مَاتَ"

“Bahwa ia pernah diuji dengan celaan ketika ia mengatakan bahwa ia bisa melihat Nabi  dalam keadaan terjaga dan berbicara langsung dengannya. Beberapa orang menentangnya hingga ia menyendiri di rumahnya sampai wafat “. [Baca : *Ath-Thabaqat al-Kubra* (1/172) dan *Syajarat al-Anwar* (hlm. 199)]

**Catatan Akademis** 

Dalam Islam, secara akidah dan berdasarkan konsensus ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah, Nabi Muhammad  telah wafat secara jasad, dan tidak ada yang mampu melihat beliau dalam keadaan terjaga setelah wafatnya. Klaim-klaim seperti yang disampaikan oleh sebagian kelompok sufi di atas tidak memiliki dasar yang kuat dari Al-Qur'an maupun hadits sahih, dan lebih mengarah kepada pengalaman spiritual individu yang tidak bisa dijadikan pegangan syariat.

**Dalam Biografi Ibrahim Al-Mutbuli Disebutkan Bahwa Dirinya Sering Melihat Nabi ** 

Dia adalah Seorang Tokoh Sufi, Ibrahim bin Ali bin Umar Burhanuddin Al-Anshari Al-Mutbuli kemudian Al-Qahiri Al-Ahmadi, wafat pada tahun 877 H / 1472 M.

Asy-Sya'rani berkata:

"وَكَانَ يَرَى النَّبِيَّ ﷺ كَثِيرًا فِي الْمَنَامِ، فَيُخْبِرُ بِذَلِكَ أُمَّهُ، فَتَقُولُ: يَا وَلَدِي، إِنَّمَا الرَّجُلُ مَنْ يَجْتَمِعُ بِهِ فِي الْيَقَظَةِ، فَلَمَّا صَارَ يَجْتَمِعُ بِهِ فِي الْيَقَظَةِ وَيُشَاوِرُهُ عَلَى أُمُورِهِ قَالَتْ لَهُ: الْآنَ شَرَعْتَ فِي مَقَامِ الرُّجُولِيَّةِ"

"Dulu Ibrahim sering melihat Nabi Muhammad  dalam mimpi dan menceritakan hal itu kepada ibunya. Ibunya berkata, 'Wahai anakku, sesungguhnya orang yang sejati adalah mereka yang dapat bertemu langsung dengan beliau  dalam keadaan terjaga.'

Ketika akhirnya ia bisa bertemu Nabi  dalam keadaan terjaga dan berkonsultasi dengan beliau  tentang semua urusannya, ibunya berkata, 'Sekarang engkau telah memasuki maqam (tingkatan) kedewasaan sejati.'" 

[Baca : *Ath-Thabaqat al-Kubra* (2/75)]

**Dalam Biografi Muhammad Ash-Shufi, Penduduk Kota Fayoum, Disebutkan Bahwa Dirinya Bisa Berkumpul Dengan Nabi  Kapan Saja Jika Dia Mau** 

Asy-Sya'rani juga berkata:

"وَكَانَ يُخْبِرُ أَنَّهُ يَجْتَمِعُ بِالنَّبِيِّ ﷺ يَقَظَةً أَيَّ وَقْتٍ أَرَادَ".

"Muhammad As-Sufi mengklaim bahwa ia bisa bertemu dengan Nabi Muhammad  dalam keadaan terjaga kapan pun ia mau."

Lalu Asy-Sya'rani menanggapi klaim ini dengan mengatakan :

"وَهُوَ صَادِقٌ؛ لِأَنَّهُ ﷺ سَائِرٌ فِي كُلِّ مَكَانٍ وُجِدَتْ فِيهِ شَرِيعَتُهُ، وَمَا مَنَعَ النَّاسَ مِنْ رُؤْيَتِهِ إِلَّا غِلَظُ حِجَابِهِمْ"

"Dan dia benar dan jujur; karena Nabi  berada di setiap tempat yang ada syariatnya, dan yang menghalangi orang-orang dari melihat beliau hanyalah tebalnya tirai hati mereka."  [*Ath-Thabaqat al-Kubra* (2/160)]

**Menurut Al-Fuutii : Tidak Sempurna Maqom Makrifat Seseorang Hingga Dia Bertemu Dengan Nabi  ** 

Dia adalah Umar bin Said Al-Futi (1796-1864 M) adalah salah satu ulama sufi terkemuka di Senegal dan Afrika Barat. Ia lahir di kota Halwar di Futa Toro (sekarang Senegal). Ia menghilang pada 12 Februari 1864 M dalam keadaan misterius di lereng Banjangara di Mali.

Al-Fuutii mengatakan:

"لَا يَكْمُلُ الرَّجُلُ عِنْدَنَا فِي مَقَامِ الْعِرْفَانِ حَتَّى يَصِيرَ يَجْتَمِعُ بِرَسُولِ اللَّهِ يَقَظَةً وَمُشَافَهَةً"

"Seseorang tidak akan sempurna di maqam makrifat (pengetahuan spiritual) hingga dia bisa bertemu dengan Rasulullah  dalam keadaan terjaga dan berbicara langsung dengannya."

Kemudian ia melanjutkan:

"وَمِمَّنْ رَآهُ يَقَظَةً مِنَ السَّلَفِ الشَّيْخُ أَبُو مَدْيَنِ الْمَغْرِبِيُّ، وَالشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحِيمِ الْقِنَاوِيُّ، وَالشَّيْخُ مُوسَى الزَّوَاوِيُّ، وَالشَّيْخُ أَبُو الْحَسَنِ الشَّاذِلِيُّ، وَالشَّيْخُ أَبُو الْعَبَّاسِ الْمُرْسِيُّ، وَالشَّيْخُ أَبُو السُّعُودِ بْنُ أَبِي الْعَشَائِرِ، وَسَيِّدِي إِبْرَاهِيمُ الْمُتَبُولِيُّ، وَالشَّيْخُ جَلَالُ الدِّينِ السُّيُوطِيُّ، وَكَانَ يَقُولُ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ وَاجْتَمَعْتُ بِهِ نَيِّفًا وَسَبْعِينَ مَرَّةً، وَأَمَّا سَيِّدِي إِبْرَاهِيمُ الْمُتَبُولِيُّ فَلَا يُحْصِي اجْتِمَاعَهُ بِهِ"

"Di antara para salaf (pendahulu) yang melihat Nabi  dalam keadaan terjaga adalah Syaikh Abu Madyan Al-Maghribi, Syaikh Abdul Rahim Al-Qanawi, Syaikh Musa Az-Zawawi, Syaikh Abu Al-Hasan Asy-Syadzili, Syaikh Abu Al-Abbas Al-Mursi, Syaikh Abu As-Su’ud bin Abi Al-'Asya'ir, Sayyid Ibrahim Al-Mutbuli, dan Syaikh Jalaluddin As-Suyuthi. As-Suyuthi berkata: 'Aku melihat Nabi  dan bertemu dengannya lebih dari tujuh puluh kali.' Adapun Sayyid Ibrahim Al-Mutbuli, pertemuannya dengan Nabi  tidak terhitung."  [Baca : *Rimah Hizb ar-Rahim 'ala Nuhur Hizb ar-Rajim* (1/199)].

**Kisah Imam Suyuthi tentang Khalifah bin Musa An-Nahrumalaki (النَّهْرُمَلَكِيّ) yang sering bertemu Nabi  ** 

Al-Imam Suyuthi mengutip dari Sirojuddin Ibnu al-Mulaqqin dalam Hilyatul Awliyaa tentang kisah Khalifah bin Musa An-Nahrumalaki :

أَنَّهُ كَانَ كَثِيرَ الرُّؤْيَةِ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ يَقَظَةً وَمَنَامًا، فَكَانَ يُقَالُ: أَكْثَرُ أَفْعَالِهِ مُتَلَقَّاةٌ مِنْهُ بِأَمْرٍ مِنْهُ؛ إِمَّا يَقَظَةً وَإِمَّا مَنَامًا، وَرَآهُ فِي لَيْلَةٍ وَاحِدَةٍ سَبْعَ عَشْرَةَ مَرَّةً، وَقَالَ لَهُ -أَيْ: النَّبِيُّ ﷺ-: يَا خَلِيفَةُ، لَا تَضْجَرْ مِنِّي، كَثِيرٌ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ مَاتَ بِحَسْرَةِ رُؤْيَتِي"

“Bahwa dia sering melihat Nabi Muhammad , baik dalam keadaan terjaga maupun mimpi. Dikatakan bahwa sebagian besar tindakannya adalah mendapat petunjuk langsung dari Nabi , baik dalam keadaan terjaga maupun dalam mimpi. Dalam suatu malam, ia melihat Nabi  sebanyak tujuh belas kali.

Nabi  berkata kepadanya: "Wahai Khalifah, janganlah engkau merasa bosan denganku, banyak wali yang meninggal dengan rasa rindu yang mendalam untuk bisa melihatku."

[Baca : *Tanwir al-Halak fi Ru'yat an-Nabi wa al-Malak*, edisi: Dar al-Amin, 1993 (hlm. 39) dan Tafsir al-Alusy 11/214].

**Klaim Ulama Kontemporer Tentang Melihat Nabi  dalam Keadaan Terjaga** 

Di antara mereka yang mengklaim telah melihat Nabi Muhammad  dalam keadaan terjaga di masa kontemporer adalah sebagai berikut :

Pertama : Syaikh Ali Jum’ah, Mufti Republik Arab Mesir :

Rekaman suara dari Mufti Republik Arab Mesir, Fadhilatusy Syaikh Ali Jum’ah, ia menyatakan bahwa ia melihat Nabi  dalam keadaan terjaga. Ia bahkan mencela orang-orang yang tidak setuju dengan pendapatnya, dan dengan nada mengejek, serta menyindir mereka yang berpendapat bahwa hal tersebut mustahil terjadi.

DR. Ali Jum’ah berkata :

"كُنتُ مُنْهَمِكًا فِي قِرَاءَةِ كُتُبِ السِّيرَةِ... قَرَأْتُ قُرَابَةَ أَرْبَعِينَ كِتَابًا... ثُمَّ تَجَلَّى لِي النَّبِيُّ ﷺ فَرَأَيْتُهُ يَقَظَةً"، وَسُئِلَ: هَلْ يُمْكِنُ رُؤْيَةُ النَّبِيِّ ﷺ فِي اليَقَظَةِ؟ قَالَ: "أَنَا رَأَيْتُهُ فِي اليَقَظَةِ".

"Saat itu aku disibukkan membaca buku-buku sirah (sejarah Nabi ) ... Aku membaca sekitar empat puluh buku... Kemudian Nabi  tampak jelas di hadapanku, maka aku dalam keadaan terjaga melihat beliau ."

Ketika ditanya, "Apakah mungkin melihat Nabi  dalam keadaan terjaga?"

Ia menjawab, "Aku telah melihatnya dalam keadaan terjaga."

[Baca : *Tanwir al-Halak fi Ru'yat an-Nabi wa al-Malak*, edisi: Dar al-Amin, 1993 (hlm. 39)]

Sekilas tentang **Ali Jum’ah** :

Dia adalah **Ali Jum'ah Muhammad Abdul Wahhab**, yang dikenal sebagai **Ali Jum'ah** - anggota Dewan Ulama Senior Al-Azhar - adalah seorang ulama sufi Mesir, lahir pada 3 Maret 1952 di Provinsi Bani Suwaif.

Ia menjabat sebagai **Syekh Tarekat Shiddiqiyyah Syadziliyyah**. Ali Jum'ah pernah menjabat sebagai **Mufti Mesir** dari tahun 2003 hingga 2013. Ia terkenal dengan berbagai fatwa keagamaan serta pandangan yang inovatif dan modern.   

Kedua : **Syaikh Yusri Jabr** juga ditanya :

هَلْ يُمْكِنُ رُؤْيَةُ النَّبِيِّ ﷺ يَقَظَةً؟

Apakah mungkin bisa melihat Nabi Muhammad  dalam keadaan terjaga?.

Ia menjawab :

"رُؤْيَةُ النَّبِيِّ ﷺ يَقَظَةً وَاقِعَةٌ، وَقَعَتْ لِلْكَثِيرِ مِنَ الأَوْلِيَاءِ، بَلْ نَعْرِفُ مَعَنَا مَنْ رَأَى النَّبِيَّ ﷺ يَقَظَةً، وَرُوحَانِيَّاتُ النَّبِيِّ قَادِرَةٌ عَلَى التَّمَثُّلِ فِي كُلِّ مَكَانٍ لِمَنْ شَاءَ، فَالرُّوحُ قَادِرَةٌ عَلَى التَّمَثُّلِ بِالأَشْكَالِ الشَّرِيفَةِ، وَرُوحُ النَّبِيِّ مَوْجُودَةٌ فِي سَائِرِ الأَكْوَانِ؛ لأَنَّهُ رَحْمَةٌ لِلْعَالَمِينَ.. وَلا يَخْلُو مِنْهُ زَمَانٌ وَلا مَكَانٌ.."

"Melihat Nabi  dalam keadaan terjaga adalah sesuatu yang nyata dan terjadi pada banyak wali. Bahkan, kami mengenal seseorang di antara kami yang melihat Nabi  dalam keadaan terjaga. Ruh Nabi memiliki kemampuan untuk menampakkan diri di mana saja bagi siapa pun yang Dia kehendaki. Ruh memiliki kemampuan untuk menampakkan dirinya dalam bentuk-bentuk yang mulia, dan ruh Nabi hadir di seluruh alam semesta, karena beliau adalah rahmat bagi seluruh alam. Beliau tidak pernah terpisah dari waktu dan tempat mana pun." 

Kemudian **Syaikh Yusri Jabr** melanjutkan perkataannya:

"وَلَقَدْ عُرِضَتْ عَلَيَّ وَأَنَا فِي عُمْرَةٍ -أَي: رُؤْيَةُ النَّبِيِّ فِي اليَقَظَةِ- قُلْتُ: يَا رَبِّ، لا أَتَحَمَّلُهَا لأَنَّهَا نِعْمَةٌ فِي بَاطِنِهَا اخْتِبَارٌ شَدِيدٌ قَدْ لا أَتَحَمَّلُهُ... فَدَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يَصْرِفَهَا عَنِّي فَصَرَفَهَا".

"Ketika aku sedang menunaikan umrah, aku diberi kesempatan untuk melihat Nabi  dalam keadaan terjaga, namun aku berkata: 'Ya Allah, aku tidak sanggup menerimanya karena nikmat ini mengandung ujian yang sangat besar yang mungkin aku tidak bisa menanggungnya.' Maka aku berdoa kepada Allah agar Dia mengalihkan nikmat ini dariku, dan Allah pun mengabulkan doaku."

[Baca : *Tanwir al-Halak fi Ru'yat an-Nabi wa al-Malak*, edisi: Dar al-Amin, 1993 (hlm. 39)]

**Siapakah Syeikh Dr. Yusri Jabr** ?

Ia adalah Yusri Rusydi As-Sayyid Jabr.  Lahir pada tahun 1954 M. 

**Kedudukan ilmiahnya**: Ia adalah seorang dokter, namun juga seorang ulama lulusan Al-Azhar. Ia menimba ilmu syar'i dari para ulama besar pada masanya dalam berbagai disiplin ilmu, sehingga menjadi seorang ahli fikih bermazhab Syafi'i dan pakar hadits, serta memperoleh gelar "Penjelas Shahih Al-Bukhari di Al-Azhar". 

**Guru-gurunya**: Di antara gurunya adalah Ali Jum'ah Muhammad, Muhammad Najib Al-Muthi'i, dan Ismail Shadiq Al-‘Adawi. 

**Karya-karyanya**: Ia memiliki penjelasan audio serta ceramah video dalam bidang fikih, hadits, dan tasawuf.

PEMBAHASAN KETIGA :
**Dalil-dalil Kaum Sufi tentang Melihat Nabi Muhammad  dalam Keadaan Terjaga dan Tanggapan terhadapnya**

Kelompok kaum sufi yang berkeyakinan bisa bertemu dan melihat Nabi  dalam keadaan terjaga, mereka menggunakan sejumlah dalil logika dan nash sebagai dasar argumen mereka: 

*****

**DALIL PERTAMA: KEUMUMAN KEMAMPUAN ALLAH**

Salah satu dalil yang mereka gunakan adalah kemampuan Allah yang Maha Kuasa. Mereka berpendapat bahwa siapa pun yang menolak kemungkinan melihat Nabi Muhammad  dalam keadaan terjaga berarti menolak kemampuan Allah, dan penolakan terhadap kemampuan Allah adalah kekufuran.

As-Suyuthi telah menukil dari Abu Muhammad bin Abi Jamrah, yang membantah mereka yang menganggap mustahil kembalinya Nabi Muhammad  ke dunia dan adanya sebagian orang dapat melihat beliau. Ia menyebutkan dua sisi peringatan atas orang yang tidak mempercayai kemungkinan melihat Nabi  setelah wafatnya. Pada sisi peringatakan kedua, ia berkata:

"الْجَهْلُ بِقُدْرَةِ الْقَادِرِ وَتَعْجِيزِهَا كَأَنَّهُ لَمْ يَسْمَعْ فِي سُورَةِ الْبَقَرَةِ قِصَّةَ الْبَقَرَةِ وَكَيْفَ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: {فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا كَذَٰلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَىٰ} [الْبَقَرَة: 73]، وَقِصَّةَ إِبْرَاهِيمَ عَلَيْهِ السَّلَامُ مَعَ الطَّيْرِ وَقِصَّةَ عُزَيْرٍ."

"Kebodohan dan ketidak tahuan tentang kemampuan Yang Mahakuasa dan menganggap-Nya tidak mampu, seakan-akan ia tidak mendengar kisah sapi dalam Surah Al-Baqarah dan bagaimana Allah Ta'ala berfirman: {Maka Kami berfirman, 'Pukullah mayat itu dengan sebagiannya.' Demikianlah Allah menghidupkan yang mati} [Al-Baqarah: 73], serta kisah Ibrahim 'alaihis-salam dengan burung, dan kisah Uzair." [Lihat: *Tanwir al-Halak* (hlm. 16)].

Dalam kitab *Rimah Hizb Ar-Rahim*, dikatakan:

"إِنَّ رُؤْيَةَ النَّبِيِّ ﷺ دَاخِلَةٌ تَحْتَ قُدْرَةِ اللَّهِ تَعَالَى، فَالْمُنْكِرُ لَهَا مُنْكِرٌ لِقُدْرَةِ اللَّهِ عَلَى ذَلِكَ، وَمَنْ أَنْكَرَ قُدْرَةَ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ، وَاللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَحْيَا الْمَيِّتَ بِبَعْضِ الْبَقَرَةِ: {فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا كَذَٰلِكَ يُحْيِي اللَّهُ الْمَوْتَىٰ} [الْبَقَرَة: 73]، وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ دُعَاءَ إِبْرَاهِيمَ سَبَبًا لِإِحْيَاءِ الطَّيْرِ: {ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا} [الْبَقَرَة: 260]، وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ تَعَجُّبَ عُزَيْرٍ سَبَبًا لِمَوْتِهِ وَمَوْتِ حِمَارِهِ، ثُمَّ لِإِحْيَائِهِمْ بَعْدَ مِئَةِ سَنَةٍ، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى أَنْ يَجْعَلَ رُؤْيَتَهُ ﷺ فِي النَّوْمِ سَبَبًا لِرُؤْيَتِهِ فِي الْيَقَظَةِ."

"Sesungguhnya Melihat Nabi Muhammad  dalam keadaan terjaga termasuk dalam kekuasaan Allah. Siapa pun yang menyangkal hal ini berarti menyangkal kekuasaan Allah, dan siapa yang menyangkal kekuasaan Allah maka ia adalah kafir.

Allah Ta’ala mampu menghidupkan orang mati dengan bagian dari sapi betina:

{فَقُلْنَا اضْرِبُوهُ بِبَعْضِهَا كَذَلِكَ يُحْيِي اللّهُ الْمَوْتَى}

(Artinya: Kami berkata, 'Pukullah mayat itu dengan bagian dari sapi betina itu!' Demikianlah Allah menghidupkan orang mati) [QS. Al-Baqarah: 73],

Dan Dia yang membuat doa Ibrahim menjadi sebab hidupnya burung, sebagaimana dalam firman-Nya :

{ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا}

(Artinya: Kemudian panggillah mereka, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan segera) [Al-Baqarah: 260],

Serta Dia yang membuat keheranan Uzair akan kematian dirinya dan kematian keledainya, lalu Allah menghidupkan keduanya kembali setelah seratus tahun wafat.

Dia Maha Kuasa untuk menjadikan mimpi melihat Nabi , sebagai sebab melihat beliau  dalam keadaan terjaga."  [Lihat: *Rimah Hizb ar-Rahim 'ala Nuhur Hizb al-Rajim* (1/205)].

====

**TANGGAPAN DAN BANTAHAN TERHADAP DALIL INI**: 

Persoalan-nya bukan pada keumuman kekuasaan allah, tetapi pada terjadinya peristiwa tersebut.

Yakni : Permasalahan sebenarnya bukanlah pada keumuman kekuasaan Allah, atau pada kemungkinan bertemu dengan Nabi Muhammad  dalam keadaan terjaga, yang mana hal tersebut berada dalam cakupan kekuasaan Allah. Sebaliknya, perdebatan ini adalah tentang apakah hal tersebut benar-benar terjadi, yaitu seseorang meninggal dunia lalu kembali lagi ke dunia.

Kemudian, dalil dan argumen ini hanya relevan jika kita berpendapat bahwa tidak mungkin melihat Nabi  dalam keadaan terjaga karena menganggap kekuasaan Allah tidak mampu melakukannya, na’udzu billah (kami berlindung kepada Allah dari hal tersebut)!

Namun, orang-orang yang menolak kemungkinan melihat Nabi  dalam keadaan terjaga setelah wafatnya di dunia adalah mereka yang paling memahami kekuasaan Allah Ta'ala. Karena Allah SWT berfirman :

{وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُعْجِزَهُ مِنْ شَيْءٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ إِنَّهُ كَانَ عَلِيمًا قَدِيرًا}

(Artinya: Dan Allah sekali-kali tidak merasa berat dalam menciptakan sesuatu pun yang ada di langit dan di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa) [Faathir: 44]. 

Mereka yang meyakini bahwa Nabi  tidak dapat dilihat dalam keadaan terjaga setelah wafatnya di dunia, mendasarkan keyakinan tersebut pada prinsip bahwa ini adalah masalah akidah. Mereka tidak menolak kekuasaan Allah, tetapi dalam masalah akidah, kita harus merujuk pada dalil, dan tidak ada dalil syar'i yang sahih yang menetapkan hal ini. Sebaliknya, akal dan syariat menunjukkan hal yang bertentangan. 

Kekuasaan Allah memang mencakup segala sesuatu, karena Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Namun, tidak ada hubungan langsung antara kekuasaan Allah dan melihat Nabi Muhammad  dalam keadaan terjaga setelah wafatnya di dunia. Jika kita berpendapat demikian, maka konsekuensinya adalah membolehkan segala yang haram dan mengharamkan yang halal, serta membatalkan semua syariat.

Hal ini dapat merusak seluruh tatanan masyarakat, karena Allah mampu melakukan semuanya. Misalnya, kita dapat membolehkan perbuatan keji karena hal itu berada dalam cakupan kekuasaan Allah, atau kita dapat melarang salat karena melarangnya juga berada dalam cakupan kekuasaan Allah. Jika konsekuensi ini batal, maka argumen dasarnya juga batal. [Lihat: *Al-Tijaniyyah*, Dr. Ali bin Muhammad Al-Dakhil Allah, edisi: Dar al-'Asimah (hlm. 126)].

*****

**DALIL KEDUA :** 

Mereka berdalil dengan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: "Aku mendengar Nabi  bersabda:

"مَنْ رَآنِي فِي المَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ، وَلاَ يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي"

'Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga, dan setan tidak bisa menyerupaiku.'" [HR. al-Bukhari No. (6993), dan Muslim no.(2266)] 

Sekelompok Kaum Sufi berkata : bahwa Hadits ini secara eksplisit menunjukkan kemungkinan melihat Nabi Muhammad  dalam keadaan terjaga setelah wafatnya di dunia.  Ibnu Abi Jumrah mengatakan:

"وَدَعْوَى الْخُصُوصِ بِغَيْرِ مُخَصِّصٍ مِنْهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ تَعَسُّفٌ."

"Mengklaim bahwa hal ini khusus bagi sebagian orang tanpa adanya penegasan dari Nabi  adalah sebuah upaya yang dipaksakan." [Lihat: *Rimah Hizb ar-Rahim* (1/205), *Tanwir al-Halak* (hlm. 16).]

Hadits ini adalah landasan bagi al-Imam As-Suyuthi dan lainnya dalam pandangannya bahwa Nabi  bisa dilihat dalam keadaan terjaga, dapat diajak bicara, dan berbagai hukum bisa diambil langsung darinya.

As-Suyuthi berkata:

"وَتَمَسَّكْتُ بِالْحَدِيثِ الصَّحِيحِ الْوَارِدِ فِي ذَلِكَ"

"Aku berpegang teguh pada Hadits sahih yang telah disebutkan tentang hal ini."

[Lihat: *Tanwir al-Halak fi Ru'yat an-Nabi wa al-Malak*, karya Jalaluddin As-Suyuthi, edisi: Dar al-Amin, 1993 (hlm. 14).]

====

** TANGGAPAN DAN BANTAHAN TERHADAP DALIL KE-DUA INI:** 

Tanggapan Pertama:

Hadits ini diriwayatkan oleh dua belas (12) sahabat Nabi , yaitu: Abu Hurairah, Abu Qatadah, Anas, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudri, Abu Juhaifah, Abdullah bin Abbas, Thariq bin Asyim, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakrah, dan Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhum.

[Baca : *Taqdis al-Asykhas fi al-Fikr al-Shufi*, Dr. Muhammad Ahmad Luh, edisi: Dar  Ibnu 'Affan, dan Dar  Ibnu al-Qayyim, (2/40).] 

Hadits ini juga dikeluarkan oleh delapan imam hadits, yaitu: Al-Bukhari, Muslim, Ahmad (dalam sepuluh tempat), Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ath-Thabrani, Ibnu Adi, dan yang lainnya.

[Baca : *Shahih al-Bukhari* (110, 6197, 6993, 6996, 6994, 6997), *Shahih Muslim* (2266), *Musnad Ahmad* (1/400, 2/232, 261, 342, 411, 425, 463, 469, 472, 5/306), *Sunan Abu Dawud* (5023), *Sunan at-Tirmidzi* (2280), *Sunan  Ibnu Majah* (3901), *Al-Kamil fi Du'afa' al-Rijal* (3/339), *Majma' az-Zawa'id* (7/181).] 

Namun, tak seorang pun dari mereka yang membuat judul bab (dalam kitab Hadits mereka) dengan judul:

"(بَابٌ فِي إِمْكَانِ رُؤْيَةِ النَّبِيِّ ﷺ فِي اليَقَظَةِ)"

"Bab tentang kemungkinan melihat Nabi  dalam keadaan terjaga."

Seandainya mereka memahami Hadits ini menunjukkan hal tersebut, pastilah mereka akan memberikan judul seperti itu, atau setidaknya sebagian dari mereka melakukannya. Karena hal ini lebih agung daripada apa yang mereka terjemahkan dalam bab-bab lainnya.

** Tanggapan Kedua:** 

Hadits ini diriwayatkan dalam **44 tempat** berbeda, dan meskipun ada banyak riwayat, tidak ada satu pun yang menggunakan redaksi : **”فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ” (maka dia akan melihatku dalam keadaan terjaga)** secara tegas, kecuali dalam satu riwayat Al-Bukhari dari Abu Hurairah.

Sementara dalam riwayat-riwayat lainnya, redaksi yang digunakan adalah :

[*] **"فَقَدْ رَآنِي" (maka dia telah melihatku)** .

[*] Atau **"فَقَدْ رَأَى الحَقَّ" (maka dia telah melihat kebenaran)**

[*] Atau **"لَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ" (seolah-olah dia melihatku dalam keadaan terjaga)**

[*] Atau **" فَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ" (seolah-olah dia melihatku dalam keadaan terjaga)**.

Oleh karena itu, perlu dijelaskan bahwa Al-Bukhari meriwayatkan Hadits ini dalam **enam tempat** di kitab sahihnya [*Shahih al-Bukhari* No. (110, 6197, 6993, 6996, 6994, 6997).].

Dan hanya dalam satu tempat yang menggunakan redaksi **"فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ"**.

Imam Muslim, Abu Dawud, dan Ahmad [*Shahih Muslim* (2266), *Sunan Abu Dawud* (5023), *Musnad Ahmad* (7398, 7553, 9316, 22606)] juga meriwayatkan hadits ini dengan sanad dari Al-Bukhari dengan menggunakan redaksi :

"«فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ» أَوْ «لَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي الْيَقَظَةِ»"

Artinya : "«Maka ia akan melihatku dalam keadaan terjaga» atau «Seakan-akan ia telah melihatku dalam keadaan terjaga»."

Dan keraguan dari perawi ini menunjukkan bahwa redaksi yang lebih tepat adalah :

«فَكَأَنَّمَا رَآنِي» أَوْ «فَقَدْ رَآنِي»

Artinya : "Seakan-akan ia telah melihatku" atau "Maka sungguh ia telah melihatku."

Karena kedua redaksi ini banyak disebutkan secara tegas dalam riwayat-riwayat lainnya tanpa ada keraguan dari perawi.

Saat memilih riwayat yang lebih kuat, kita harus mengutamakan riwayat yang tegas dibandingkan riwayat yang memiliki keraguan.

** Tanggapan Ketiga:** 

Jika kita mengetahui bahwa dalam riwayat Imam Muslim dan Abu Dawud hanya disebutkan riwayat yang memiliki keraguan, kita akan menyadari kesalahan As-Suyuthi dalam pernyataannya:

"وَتَمَسَّكْتُ بِالْحَدِيثِ الصَّحِيحِ الْوَارِدِ فِي ذَلِكَ: أَخْرَجَ الْبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ وَأَبُو دَاوُدَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: «مَنْ رَآنِي فِي المَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ، وَلَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي»"

"Aku berpegang teguh pada Hadits sahih yang diriwayatkan dalam hal ini. Al-Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata: Aku mendengar Nabi  bersabda:

«مَنْ رَآنِي فِي المَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ، وَلَا يَتَمَثَّلُ الشَّيْطَانُ بِي»

**'Barangsiapa yang melihatku dalam mimpi, maka dia akan melihatku dalam keadaan terjaga, dan setan tidak bisa menyerupaiku.'**" [Baca : *Tanwir al-Halak fi Ru'yat an-Nabi wa al-Malak*, edisi: Dar al-Amin, 1993 (hlm. 14)].

Pernyataan ini memberikan kesan bahwa Imam Muslim dan Abu Dawud hanya meriwayatkan hadits ini dengan redaksi tersebut secara pasti tanpa ada riwayat redaksi selainnya, padahal yang benar adalah bahwa As-Suyuthi telah mengabaikan semua riwayat lainnya dari Al-Bukhari yang tidak menggunakan redaksi tersebut.

** Tanggapan Keempat:**

Pendapat para ulama mengenai kebatilan dan penyimpangan klaim ini telah dijelaskan. Diantaranya, al-Hafidz Ibnu Hajar mengutip dari Al-Qurthubi yang berkata:

"اِخْتُلِفَ فِي مَعْنَى الْحَدِيثِ، فَقَالَ قَوْمٌ: هُوَ عَلَى ظَاهِرِهِ، فَمَنْ رَآهُ فِي النَّوْمِ رَأَى حَقِيقَتَهُ كَمَنْ رَآهُ فِي الْيَقَظَةِ سَوَاءً. قَالَ: وَهَذَا قَوْلٌ يُدْرَكُ فَسَادُهُ بِأَوَائِلِ الْعُقُولِ، وَيَلْزَمُ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَرَاهُ أَحَدٌ إِلَّا عَلَى صُورَتِهِ الَّتِي مَاتَ عَلَيْهَا، وَأَنْ لَا يَرَاهُ رَائِيَانِ فِي آنٍ وَاحِدٍ فِي مَكَانَيْنِ، وَأَنْ يَحْيَا الْآنَ وَيَخْرُجَ مِنْ قَبْرِهِ وَيَمْشِيَ فِي الْأَسْوَاقِ وَيُخَاطِبَ النَّاسَ وَيُخَاطِبُوهُ، وَيَلْزَمُ مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَخْلُوَ قَبْرُهُ مِنْ جَسَدِهِ فَلَا يَبْقَى مِنْ قَبْرِهِ فِيهِ شَيْءٌ، فَيُزَارَ مُجَرَّدَ الْقَبْرِ، وَيُسَلِّمَ عَلَى غَائِبٍ؛ لِأَنَّهُ جَائِزٌ أَنْ يُرَى فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَعَ اتِّصَالِ الْأَوْقَاتِ عَلَى حَقِيقَتِهِ فِي غَيْرِ قَبْرِهِ. وَهَذِهِ جَهَالَاتٌ لَا يَلْتَزِمُ بِهَا مَنْ لَهُ أَدْنَى مِسْكَةٍ مِنْ عَقْلٍ"

“Terdapat perbedaan pendapat tentang makna Hadits ini. Sebagian ulama berkata bahwa Hadits tersebut dipahami sesuai dengan lahiriahnya, yaitu barangsiapa yang melihat Nabi  dalam mimpi, berarti dia benar-benar melihat beliau dalam kenyataan seperti melihat beliau dalam keadaan terjaga.

Namun, pendapat ini rusak dan terbantahkan oleh akal sejak awal. Jika demikian, maka setiap orang yang melihat Nabi  harus melihat beliau dalam bentuk fisik yang sama saat beliau wafat, tidak mungkin dua orang melihat beliau di dua tempat yang berbeda pada waktu yang sama, serta bahwa beliau harus hidup kembali sekarang, keluar dari kuburnya, berjalan di pasar-pasar, dan berbicara dengan orang-orang serta mereka berbicara dengannya.

Hal ini juga mengharuskan bahwa kuburnya kosong dari jasadnya, sehingga orang hanya mengunjungi kubur yang kosong dan mengucapkan salam kepada orang yang tidak ada, karena bisa saja beliau terlihat di malam atau siang hari pada waktu yang terus bersambung di luar kuburnya. Ini adalah khayalan yang tidak mungkin diyakini oleh orang yang memiliki sedikit saja akal” . [Baca : *Fathul-Bari*, edisi: Dar al-Ma'arifah, Beirut (12/384)].

Ibnu Baththal berkata:

"«فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ»: يُرِيدُ تَصْدِيقَ تِلْكَ الرُّؤْيَا فِي اليَقَظَةِ، وَصِحَّتَهَا وَخُرُوجَهَا عَلَى الوَجْهِ الحَقِّ"

“Makna dari 'fasayaraani fil yaqozah' (dia akan melihatku dalam keadaan terjaga) adalah pembenaran mimpi tersebut di dunia nyata, bahwa mimpi itu benar dan sesuai dengan kenyataan” . [Lihat: *Fathul Bari* (12/385)]

Al-Maziri berkata:

"إِنْ كَانَ الْمَحْفُوظُ «فَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي اليَقَظَةِ» فَمَعْنَاهُ ظَاهِرٌ، وَإِنْ كَانَ الْمَحْفُوظُ «فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ» احْتَمَلَ أَنْ يَكُونَ أَرَادَ أَهْلَ عَصْرِهِ مِمَّنْ يُهَاجِرُ إِلَيْهِ؛ فَإِنَّهُ إِذَا رَآهُ فِي الْمَنَامِ جَعَلَ ذَلِكَ عَلَامَةً عَلَى أَنَّهُ يَرَاهُ بَعْدَ ذَلِكَ فِي اليَقَظَةِ"

“Jika redaksi yang sahih adalah 'faka’annama ro’aani fil yaqodzoh' (seolah-olah dia melihatku dalam keadaan terjaga), maka maknanya jelas.

Namun jika redaksi yang sahih adalah 'fasayarooni fil yaqodzoh' (dia akan melihatku dalam keadaan terjaga), maka hal ini mungkin berarti orang-orang pada zaman beliau yang berhijrah kepadanya; jika mereka melihat beliau dalam mimpi, maka itu menjadi tanda bahwa mereka akan melihat beliau setelah itu dalam keadaan terjaga” . [Lihat: *Fathul Bari* (12/385)]

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

"وَقَالَ الْقَاضِي: وَقِيلَ: مَعْنَاهُ سَيَرَى تَأْوِيلَ تِلْكَ الرُّؤْيَا فِي اليَقَظَةِ وَصِحَّتَهَا، وَقِيلَ: مَعْنَى الرُّؤْيَا فِي اليَقَظَةِ أَنَّهُ سَيَرَاهُ فِي الْآخِرَةِ، وَتَعَقَّبَ بِأَنَّهُ فِي الْآخِرَةِ يَرَاهُ جَمِيعُ أُمَّتِهِ، مَنْ رَآهُ فِي الْمَنَامِ وَمَنْ لَمْ يَرَهُ، يَعْنِي فَلَا يُبْقِي لِخُصُوصِ رُؤْيَتِهِ فِي الْمَنَامِ مِزِيَّةً. وَأَجَابَ الْقَاضِي عِيَاضٌ بِاحْتِمَالٍ أَنْ تَكُونَ رُؤْيَاهُ لَهُ فِي النَّوْمِ عَلَى الصِّفَةِ الَّتِي عُرِفَ بِهَا وَصُفَ عَلَيْهَا مُوجِبَةً لِتَكْرِمَتِهِ فِي الْآخِرَةِ، وَأَنْ يَرَاهُ رُؤْيَةً خَاصَّةً مِنَ الْقُرْبِ مِنْهُ، وَالشَّفَاعَةَ لَهُ بِعُلُوِّ الدَّرَجَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الخُصُوصِيَّاتِ، قَالَ: وَلَا يَبْعُدُ أَنْ يُعَاقِبَ اللَّهُ بَعْضَ المُذْنِبِينَ فِي الْقِيَامَةِ بِمَنْعِ رُؤْيَةِ نَبِيِّهِ ﷺ مُدَّةً".

“Qadhi berkata: Dikatakan bahwa maknanya adalah dia akan melihat penafsiran mimpi tersebut di dunia nyata dan kebenarannya. Dikatakan juga bahwa makna dari melihat beliau dalam keadaan terjaga adalah dia akan melihat beliau di akhirat. Namun, pendapat ini dibantah dengan argumen bahwa di akhirat seluruh umat beliau akan melihatnya, baik yang melihat beliau dalam mimpi maupun yang tidak. Jadi, tidak ada keistimewaan khusus bagi yang melihat beliau dalam mimpi.”

Qadhi Iyadh menjawab dengan kemungkinan bahwa seseorang yang melihat beliau dalam mimpi dengan bentuk yang dikenal dan digambarkan tentangnya, maka itu menjadi tanda penghormatan khusus di akhirat. Dia akan melihat Nabi  dengan cara yang istimewa, seperti mendapatkan syafaat, kedekatan, dan derajat yang tinggi, atau keistimewaan-keistimewaan lainnya. Dia juga menyebutkan kemungkinan bahwa Allah mungkin menghukum sebagian orang berdosa di hari kiamat dengan mencegah mereka melihat Nabi  selama beberapa waktu”. [*Fathul Bari* (12/385)]

Imam Nawawi berkata:

"فِيهِ أَقْوَالٌ: 

أَحَدُهَا: أَنْ يُرَادَ بِهِ أَهْلُ عَصْرِهِ، وَمَعْنَاهُ أَنْ مَنْ رَآهُ فِي النَّوْمِ وَلَمْ يَكُنْ هَاجَرَ يُوَفِّقُهُ اللَّهُ لِلْهِجْرَةِ وَرُؤْيَتُهُ ﷺ فِي اليَقَظَةِ عِيَانًا. 

ثَانِيَهَا: أَنَّهُ يَرَى تَصْدِيقَ تِلْكَ الرُّؤْيَا فِي اليَقَظَةِ فِي الدَّارِ الآخِرَةِ؛ لِأَنَّهُ يَرَاهُ فِي الآخِرَةِ جَمِيعُ أُمَّتِهِ. 

ثَالِثُهَا: أَنَّهُ يَرَاهُ فِي الآخِرَةِ رُؤْيَةً خَاصَّةً بِالْقُرْبِ مِنْهُ وَحُصُولِ شَفَاعَتِهِ وَنَحْوِ ذَلِكَ"

“Terdapat beberapa pendapat terkait hal ini:

Yang pertama: Maksudnya adalah ditujukan kepada orang-orang pada zamannya, yang maknanya bahwa siapa pun yang melihatnya (Rasulullah) dalam mimpi, dan belum berhijrah, maka Allah akan memberinya taufik untuk berhijrah, dan dia akan melihat Rasulullah  secara nyata di saat terjaga.

Yang kedua: Dia akan melihat pengakuan (pembenaran) atas mimpi itu saat terjaga di akhirat, karena semua umatnya akan melihatnya di akhirat.

Yang ketiga: Dia akan melihatnya di akhirat dengan penglihatan khusus, dekat dengan beliau, dan memperoleh syafa'atnya serta hal-hal lain yang serupa”

([*Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin al-Hajjaj*, edisi: Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi – Beirut, (15/26)]).

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:

"وَالحَاصِلُ مِنَ الأَجْوِبَةِ سِتَّةٌ: 

أَحَدُهَا: أَنَّهُ عَلَى التَّشْبِيهِ وَالتَّمْثِيلِ، وَدَلَّ عَلَيْهِ قَوْلُهُ فِي الرِّوَايَةِ الأُخْرَى: «فَكَأَنَّمَا رَآنِي فِي اليَقَظَةِ». 

ثَانِيَهَا: أَنَّ مَعْنَاهَا سَيَرَى فِي اليَقَظَةِ تَأْوِيلَهَا بِطَرِيقِ الحَقِيقَةِ أَوِ التَّعْبِيرِ. 

ثَالِثُهَا: أَنَّهُ خَاصٌّ بِأَهْلِ عَصْرِهِ مِمَّنْ آمَنَ بِهِ قَبْلَ أَنْ يَرَاهُ. 

رَابِعُهَا: أَنَّهُ يَرَاهُ فِي المِرْآةِ الَّتِي كَانَتْ لَهُ إِنْ أَمْكَنَهُ ذَلِكَ، وَهَـٰذَا مِنْ أَبْعَدِ المحَامِلِ. 

خَامِسُهَا: أَنَّهُ يَرَاهُ يَوْمَ القِيَامَةِ بِمَزِيدٍ خُصُوصِيَّةٍ، لَا مُطْلَقًا مَنْ يَرَاهُ حِينَئِذٍ مَنْ لَمْ يَرَهُ فِي النَّوْمِ. 

سَادِسُهَا: أَنَّهُ يَرَاهُ فِي الدُّنْيَا حَقِيقَةً وَيُخَاطِبُهُ، وَفِيهِ مَا تَقَدَّمَ مِنَ الإِشْكَالِ"

“Kesimpulan dari jawaban ini ada enam:

Yang pertama: Ini adalah sebagai perumpamaan dan tamsil (kiasan), dan ini ditunjukkan oleh perkataan beliau dalam riwayat lain: ‘Seolah-olah dia melihatku saat terjaga.’

Yang kedua: Artinya dia akan melihat tafsiran mimpinya tersebut dalam keadaan terjaga, baik secara hakikat atau melalui tafsir (ta’bir).

Yang ketiga: Ini khusus bagi orang-orang pada zamannya yang beriman kepadanya sebelum melihatnya.

Yang keempat: Dia akan melihatnya melalui cermin yang dimiliki beliau, jika memungkinkan hal itu terjadi. Ini adalah salah satu interpretasi yang paling jauh.

Yang kelima: Dia akan melihatnya pada hari kiamat dengan keistimewaan yang lebih khusus, bukan seperti orang yang hanya melihatnya secara umum saat itu, yang belum pernah melihatnya dalam mimpi.

Yang keenam: Dia akan melihatnya secara nyata di dunia dan berbicara dengannya, meskipun hal ini menghadapi berbagai permasalahan yang telah dijelaskan sebelumnya”.

([*Fathul Bari* (12/385)]).

*****

**DALIL KE TIGA**:

Dalil sufi yang ke tiga adalah apa yang dijadikan dalil oleh As-Suyuthi tentang pertemuan Nabi  dengan para nabi pada malam Isra di Baitul Maqdis ([Lihat: *Tanwir al-Halak fi Ru'yat an-Nabi wa al-Malak* (hlm. 65)]).

Tujuannya adalah : as-Suyuthi ingin membuktikan bahwa kehidupan para nabi di kuburnya itu sebagai bukti bahwa bertemu dan melihat mereka yang sudah wafat itu adalah hal yang memungkinkan .

Jika saja Nabi  bisa melihat para nabi saat terjaga, maka hal itu mungkin dan bisa terjadi pula pada para wali umatnya setelah beliau , sehingga mereka bisa melihat beliau  dalam keadaan terjaga.

**Muhammad Al-Hafidz Al-Tijani Al-Mishri**

Dia adalah seorang tokoh Sufi asal Mesir yang memperkenalkan tarekat Tijaniyah ke Mesir. Dia wafat 1978 H. Dia pernah berkata:

"وَأَصْلُ الاجْتِمَاعِ الرُّوحِيِّ اجْتِمَاعُ النَّبِيِّ ﷺ لَيْلَةَ الإِسْرَاءِ بِالْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ وَهُمْ فِي الدَّارِ الآخِرَةِ، وَكَانَ الكَلِيمُ سَيِّدُنَا مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَامُ سَبَبًا فِي تَخْفِيفِ الصَّلَوَاتِ عَنْ هَـٰذِهِ الأُمَّةِ وَهُوَ فِي الدَّارِ الآخِرَةِ، وَصَحَّ أَنْ سَيِّدَنَا أَبَا بَكْرٍ t أَنْفَذَ وَصِيَّةَ ثَابِتٍ بْنِ قَيْسٍ بْنِ شَمَّاسٍ قَدْ أَوْصَى بِهَا بَعْدَ استِشْهَادِهِ، وَكَذَلِكَ مَا ثَبَتَ عَنْ مُسْلِمِ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ أَنَّهُ التَقَى بِالنَّبِيِّ ﷺ فِي المَنَامِ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ، فَقَالُوا لَهُ: اصْبِرْ فَإِنَّكَ تَفْطُرُ عِندَنَا الْقَابِلَةَ، ثُمَّ دَعَا بِمُصْحَفٍ فَنَشَرَهُ بَيْنَ يَدَيْهِ فَقُتِلَ وَهُوَ بَيْنَ يَدَيْهِ"

"Asal mula pertemuan spiritual adalah pertemuan Nabi  dengan para nabi pada malam Isra, dan mereka berada di akhirat. Nabi Musa ‘alaihis salam menjadi sebab pengurangan jumlah shalat untuk umat ini saat beliau berada di akhirat. Juga telah shahih bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu melaksanakan wasiat Tsabit bin Qais bin Syamas, yang telah berwasiat setelah syahidnya. Juga telah diriwayatkan dalam hadits Muslim tentang Abu Said, mantan budak Utsman bin Affan, yang bertemu dengan Nabi , Abu Bakar, dan Umar dalam mimpi, dan mereka berkata kepadanya: ‘Bersabarlah, karena besok kamu akan berbuka bersama kami,’ kemudian ia meminta mushaf dan membukanya di depannya, lalu ia dibunuh di hadapan mushaf itu”([ *Rimah Hizb ar-Rahim* (1/199)]).

====

BANTAHAN TERHADAP HAL TERSEBUT ADALAH SBB:

Bantahan Pertama:

Adapun kehidupan para nabi di kubur mereka merupakan kehidupan barzakh, dan pertemuan Nabi  dengan mereka pada malam Isra, hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara ulama. Semuanya telah ditetapkan berdasarkan hadits dari Nabi . Dalam hadits dari Anas bin Malik, Rasulullah  bersabda:

«أَتَيْتُ –وَفِي رِوَايَةٍ: مَرَرْتُ- عَلَى مُوسَى لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِي عِنْدَ الْكَثِيبِ الْأَحْمَرِ وَهُوَ قَائِمٌ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ»

"Aku mendatangi – dan dalam riwayat lain: Aku melewati – Musa pada malam Isra di dekat bukit pasir merah, dan dia sedang berdiri melaksanakan shalat di kuburnya."([ HR. Muslim No. (2375)])

Abu Al-Abbas Al-Qurthubi berkata:

"هَـٰذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ بِظَاهِرِهِ عَلَى أَنَّهُ ﷺ رَآى مُوسَى رُؤْيَةً حَقِيقِيَّةً فِي اليَقَظَةِ، وَأَنَّ مُوسَى كَانَ فِي قَبْرِهِ حَيًّا، يُصَلِّي فِيهِ الصَّلَاةَ الَّتِي كَانَ يُصَلِّيها فِي الْحَيَاةِ، وَهَـٰذَا كُلُّهُ مُمْكِنٌ لَا إِحَالَةَ فِي شَيْءٍ مِنْهُ، وَقَدْ صَحَّ أَنَّ الشُّهَدَاءَ أَحْيَاءٌ يُرْزَقُونَ، وَوُجِدَ مِنْهُمْ مَنْ لَمْ يَتَغَيَّرْ فِي قَبْرِهِ مِنَ السَّنِينَ كَمَا ذَكَرْنَاهُ. وَإِذَا كَانَ هَـٰذَا فِي الشُّهَدَاءِ كَانَ فِي الأَنْبِيَاءِ أَحْرَى وَأَوْلَى"

"Hadits ini secara zahir menunjukkan bahwa Rasulullah  melihat Musa dalam keadaan nyata saat terjaga, dan bahwa Musa hidup di kuburnya, melaksanakan shalat yang biasa ia lakukan selama hidupnya. Semua ini mungkin terjadi, tidak ada hal yang mustahil di dalamnya. Telah sahih bahwa para syuhada hidup dan diberi rezeki, dan telah ditemukan di antara mereka yang tidak berubah tubuhnya di dalam kubur setelah bertahun-tahun, seperti yang telah kami sebutkan. Jika hal ini berlaku untuk para syuhada, maka hal itu lebih layak berlaku bagi para nabi."([ *Al-Mufhim lima Asykala min Talkhis Kitab Muslim*, edisi: Dar  Ibnu Kathir (6/192)])

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

"الْأَنْبِيَاءُ أَحْيَاءٌ فِي قُبُورِهِمْ، وَقَدْ يُصَلُّونَ كَمَا رَأَى مُحَمَّدٌ مُوسَى -صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمَا وَعَلَى سَائِرِ الأَنْبِيَاءِ- فِي قَبْرِهِ لَيْلَةَ الإِسْرَاءِ"

"Para nabi hidup di kubur mereka, dan mereka juga melaksanakan shalat, sebagaimana Muhammad  melihat Musa - shalawat dan salam Allah atas keduanya dan para nabi lainnya - di kuburnya pada malam Isra."([ *Al-Mustadrak 'ala Majmu' al-Fatawa* (1/101).])

Maka, kami menetapkan kehidupan barzakh ini bagi mereka, karena dalil menunjukkan hal tersebut. Namun, ini bukanlah titik perdebatan. Yang menjadi titik perdebatan adalah apakah seorang wali atau selainnya dari umat ini bisa melihat Nabi  saat terjaga dan menerima ilmu darinya.

** Bantahan Kedua:**

Kehidupan barzakh para nabi di kubur mereka merupakan perkara ghaib yang tidak diketahui oleh siapa pun kecuali Allah. Tidak boleh seorang pun berbicara tentangnya tanpa dalil dari Al-Qur'an atau hadits yang sahih. Hukumnya sama dengan perkara ghaib lainnya: kita beriman kepadanya tanpa memikirkan bagaimana bentuk atau sifatnya.

** Bantahan Ketiga:**

Ibnu Qayyim Al-Jawziyyah menjelaskan secara terperinci masalah ini dalam kitabnya *Ar-Ruh*, dan ia menjelaskan perbedaan pendapat mengenai bagaimana cara para nabi dilihat pada malam Isra. Ia berkata:

"وَأَمَّا إِخْبَارُ النَّبِيِّ عَنْ رُؤْيَةِ الأَنْبِيَاءِ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ فَقَدْ زَعَمَ بَعْضُ أَهْلِ الحَدِيثِ أَنَّ الَّذِي رَآهُ أَشْبَاحُهُمْ وَأَرْوَاحُهُمْ… وَقَدْ رَأَى إِبْرَاهِيمَ مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إِلَى الْبَيْتِ الْمَعْمُورِ، وَرَأَى مُوسَى قَائِمًا فِي قَبْرِهِ يُصَلِّي، وَقَدْ نَعَتْ الأَنْبِيَاءَ لَمَّا رَآهُمْ نَعْتَ الأَشْبَاحِ… 

وَنازَعَهُمْ فِي ذَلِكَ آخَرُونَ وَقَالُوا: هَذِهِ الرُّؤْيَةُ إِنَّمَا هِيَ لأَرْوَاحِهِمْ دُونَ أَجْسَادِهِمْ، وَالأَجْسَادُ فِي الأَرْضِ قَطْعًا إِنَّمَا تُبْعَثُ يَوْمَ بَعْثِ الأَجْسَادِ، وَلَمْ تُبْعَثْ قَبْلَ ذَلِكَ؛ إِذْ لَوْ بُعِثَتْ قَبْلَ ذَلِكَ لَكَانَتِ الأَرْضُ قَدِ انْشَقَّتْ عَنْهَا قَبْلَ يَوْمِ القِيَامَةِ، وَكَانَتْ تَذُوقُ الْمَوْتَ عِنْدَ نَفْخَةِ الصُّورِ، وَهَذِهِ مُوتَةٌ ثَالِثَةٌ وَهَذَا بَاطِلٌ قَطْعًا، وَلَوْ كَانَتْ قَدْ بُعِثَتِ الأَجْسَادُ مِنَ القُبُورِ لَمْ يَعُدْهُمْ اللَّهُ إِلَيْهَا، بَلْ كَانَتْ فِي الجَنَّةِ. 

وَقَدْ صَحَّ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّ اللَّهَ حَرَّمَ الجَنَّةَ عَلَى الأَنْبِيَاءِ حَتَّى يَدْخُلَهَا هُوَ، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ يَسْتَفْتِحُ بَابَ الجَنَّةِ، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ تَنْشَقُّ عَنْهُ الأَرْضُ عَلَى الإِطْلَاقِ".

“Adapun berita Nabi  tentang melihat para nabi pada malam Isra, sebagian ahli hadits berpendapat bahwa yang dilihat adalah rupa dan roh mereka... Nabi  melihat Ibrahim bersandar pada Baitul Ma'mur, dan melihat Musa berdiri di kuburnya sedang melaksanakan shalat. Nabi  mendeskripsikan para nabi yang dilihatnya sebagai sosok nyata...

Sebagian ulama lain berpendapat bahwa penglihatan tersebut hanya pada roh mereka, bukan jasad mereka, karena jasad mereka jelas berada di bumi, dan akan dibangkitkan pada hari kebangkitan jasad. Jasad mereka tidak dibangkitkan sebelum itu. Jika jasad mereka dibangkitkan sebelum hari kiamat, maka tanah sudah pasti akan terbelah untuk mengeluarkan mereka sebelum hari kebangkitan, dan mereka akan merasakan kematian saat tiupan sangkakala. Ini akan menjadi kematian ketiga, dan ini jelas salah. Jika jasad mereka dibangkitkan dari kubur, maka mereka tidak akan dikembalikan ke dalamnya lagi, melainkan akan berada di surga.

Telah shahih dari Nabi  bahwa Allah mengharamkan surga bagi para nabi hingga Nabi  memasukinya terlebih dahulu. Beliau adalah orang pertama yang akan mengetuk pintu surga dan orang pertama yang tanahnya akan terbelah pada hari kebangkitan secara mutlak”([ HR. al-Bukhari no. (2412)])”. ([*Ar-Ruh*, edisi: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah (hlm. 41)]).

**Ruh** memiliki keterikatan dengan tubuh di alam barzakh. Meskipun ruh telah berpisah dari tubuh dan terlepas darinya, namun perpisahannya bukanlah perpisahan total sehingga tidak ada lagi keterkaitan sama sekali dengan tubuh. Ruh akan kembali ke tubuh saat ada yang memberikan salam, dan kembalinya ruh ini adalah pengembalian khusus yang tidak menyebabkan kehidupan jasad sebelum hari kiamat. ([ *Al-Ruh* karya  Ibnu al-Qayyim (hlm. 44)])

Berdasarkan hal ini, kita memahami bahwa kehidupan para nabi setelah kematian adalah kehidupan khusus yang berbeda total dengan kehidupan dunia. Jasad mereka berada di kubur, sementara ruh mereka berada di langit, dan hubungan antara keduanya tetap ada dengan cara yang hanya Allah yang mengetahuinya.

([ Lihat: *Taqdis al-Asykhas fi al-Fikr al-Shufi*, karya Muhammad Ahmad Luh, edisi: Dar  Ibnu al-Qayyim, Dar  Ibnu 'Affan (2/51)])

Ibnu Qayyim berkata:

"وَقَدْ صَحَّ عَنْهُ أَنَّهُ رَآى مُوسَى قَائِمًا يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ لَيْلَةَ الإِسْرَاءِ، وَرَآهُ فِي السَّمَاءِ السَّادِسَةِ أَوِ السَّابِعَةِ، فَالرُّوحُ كَانَتْ هُنَاكَ وَلَهَا اتِّصَالٌ بِالْبَدَنِ فِي الْقَبْرِ وَإِشْرَافٌ عَلَيْهِ وَتَعَلُّقٌ بِهِ، بِحَيْثُ يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ وَيَرُدُّ سَلاَمَ مَنْ سَلَّمَ عَلَيْهِ، وَهِيَ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى، وَلَا تُنَافِي بَيْنَ الأَمْرَيْنِ؛ فَإِنَّ شَأْنَ الأَرْوَاحِ غَيْرُ شَأْنِ الأَجْسَادِ".

“Telah sahih bahwa Rasulullah  melihat Musa berdiri melaksanakan shalat di kuburnya pada malam Isra, dan beliau juga melihatnya di langit keenam atau ketujuh. Ruh Musa berada di sana, namun ruh tersebut tetap memiliki keterikatan dengan jasadnya di kubur, memberikan pengawasan atasnya dan keterkaitan dengannya, sehingga ia bisa melaksanakan shalat di kuburnya dan menjawab salam dari orang yang memberi salam kepadanya, meskipun ruhnya berada di tingkat tertinggi. Tidak ada pertentangan antara kedua hal ini, karena urusan ruh berbeda dengan urusan jasad.”([ *Al-Ruh* (hlm. 45)])

Dengan demikian, melihat para nabi oleh Nabi  pada malam Isra adalah benar adanya. Itu adalah penglihatan terhadap ruh mereka dalam bentuk jasad mereka; itu adalah penglihatan nyata secara langsung, bukan penglihatan hati, bukan kiasan, dan bukan pula mimpi.

Dari Ibnu Abbas mengenai firman Allah: {وَمَا جَعَلْنَا الرُّؤْيَا الَّتِي أَرَيْنَاكَ إِلَّا فِتْنَةً لِلنَّاسِ}, ia berkata:

«هِيَ رُؤْيَا عَيْنٍ، أُرِيَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لَيْلَةَ أُسْرِيَ بِهِ إِلَى بَيْتِ الْمَقْدِسِ»

"Itu adalah penglihatan nyata dengan mata, yang diperlihatkan kepada Rasulullah  pada malam beliau diisra’kan ke Baitul Maqdis." ([ HR. al-Bukhari no. (3888)])

Maka, melihat para nabi oleh Nabi  adalah benar, dan ini khusus bagi beliau, sebagaimana Isra dan Mi’raj juga khusus bagi beliau dan tidak ada seorang pun dari makhluk yang ikut dalam peristiwa tersebut. Barang siapa yang mengklaim sebaliknya, maka beban pembuktian ada padanya.

[**Lihat:** "Ru'yat an-Nabi  Ba'da Mawtih.. Dirasah 'Aqidiyyah," Dr. Saad bin Abdullah al-Dosari, Artikel diterbitkan di Majalah al-'Ulum asy-Syar'iyyah, edisi ke-67, Rabi' al-Akhir 1444 H (hal. 3/159)].

** Bantahan Keempat:**

Kaum sufi sendiri mengalami kebingungan yang sangat besar dalam masalah melihat Nabi  setelah wafat, dengan berbagai pandangan dan pernyataan yang berbeda, di antaranya:

Pertama : **Melihat dengan mata hati**.

Al-Alusi dalam tafsirnya berkata:

"وَالَّذِي يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ أَنْ رُؤْيَتَهُ ﷺ بَعْدَ وَفَاتِهِ بِالْبَصَرِ لَيْسَتْ كَرُؤْيَةِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ، وَإِنَّمَا هِيَ جَمْعِيَّةٌ حَالِيَّةٌ وَحَالَةٌ بَرْزَخِيَّةٌ وَأَمْرٌ وِجْدَانِيٌّ لَا يُدْرَكُ حَقِيقَتُهُ إِلَّا مَنْ بَاشَرَهُ، وَلِشِدَّةِ شَبَهِ تِلْكَ الرُّؤْيَةِ بِالرُّؤْيَةِ البَصَرِيَّةِ المُتَعَارَفَةِ يُشْتَبِهُ الأَمْرُ عَلَى كَثِيرٍ مِنَ الرَّاءِينَ، فَيَظُنُّ أَنَّهُ رَآهُ ﷺ بِبَصَرِهِ الرُّؤْيَةَ المُتَعَارَفَةَ وَلَيْسَ كَذَلِكَ، وَرُبَّمَا يُقَالُ: إِنَّهَا قَلْبِيَّةٌ وَلِقُوَّتِهَا تُشْتَبِهُ بِالبَصَرِيَّةِ"

"Yang lebih mendekati kebenaran adalah bahwa melihat Nabi  setelah wafat dengan penglihatan mata tidaklah sama dengan melihat sebagaimana yang biasa dilakukan manusia satu sama lain. Itu adalah keadaan yang bersifat spiritual dan barzakhiah serta merupakan pengalaman batin yang hanya bisa dirasakan oleh orang yang mengalaminya langsung. Karena kemiripan yang kuat antara penglihatan ini dengan penglihatan mata biasa, banyak orang yang salah sangka dan mengira bahwa mereka telah melihat Nabi  dengan mata mereka secara nyata, padahal sebenarnya tidak demikian. Barangkali juga bisa dikatakan bahwa penglihatan ini bersifat hati, namun karena kuatnya pengalaman ini, ia menyerupai penglihatan mata.” ([ Lihat : **Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-’Adzim wa as-Sab’ah al-Matsaani**, Cetakan: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah (hal. 11/215)])

Kedua : **Melihat dengan mata kepala**.

Mereka juga labil dan berbeda pendapat tentang hal ini karena perbedaan dalam menentukan sifat dari yang dilihat. Yaitu sebagai berikut:

Pendapat ke 1: **Melihat bentuk perumpamaan atau semisal Nabi  (reperentasi)**.

Yaitu melihat tubuh representatif (جَسَدٌ مِثَالِيٌّ) yang dihubungkan dengan ruh suci Nabi  yang telah terpisah. Tidak ada halangan bagi tubuh representatif (جَسَدٌ مِثَالِيٌّ) ini untuk berlipat ganda menjadi sejumlah tubuh yang tak terhitung, dengan ruh suci Nabi  yang tetap terhubung dengan setiap tubuh tersebut.

([ **Lihat:** Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-’Adzim wa as-Sab’ah al-Matsaani, Cetakan: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah (hal. 11/215)])

Al-Imam Al-Ghazali berkata:

"وَلَيْسَ الْمُرَادُ أَنَّهُ يُرَى بَدَنُهُ، بَلْ مِثَالًا لَهُ صَارَ آلَةً يُتَأَدَّى بِهَا الْمَعْنَى، وَالْآلَةُ تَكُونُ حَقِيقِيَّةً وَخَيَالِيَّةً، وَالنَّفْسُ غَيْرُ الْمِثَالِ المُتَخَيَّلِ، فَمَا رَآهُ مِنَ التَّشْكِيلِ لَيْسَ رُوحَ النَّبِيِّ ﷺ وَلَا شَخْصَهُ بَلْ مِثَالُهُ"

"Yang dimaksud bukanlah melihat tubuh beliau, melainkan bentuk ideal yang menjadi alat untuk menyampaikan makna. Alat ini bisa berupa nyata atau khayalan, namun jiwa berbeda dengan bentuk ideal yang dibayangkan. Jadi, apa yang dilihat dari bentuk tersebut bukanlah ruh Nabi  ataupun sosok beliau, melainkan hanya bentuknya."

([ **Lihat:** Fayd al-Qadir Syarh al-Jami' al-Saghir, Zainud Din Muhammad yang dikenal sebagai Abdur Ra’uf bin Taj al-'Arifin bin Ali bin Zain al-Abidin al-Haddadi kemudian al-Manawi al-Qahiri, Perpustakaan Komersial Besar – Mesir (hal. 6/132)])

Sebagian sufi modern membandingkan hal ini dengan stasiun pemancar televisi, di mana Nabi  telah wafat di kuburnya secara nyata, namun ruhnya selalu memancarkan dan mengirimkan (energi spiritual). Oleh karena itu, yang dilihat adalah gambaran beliau yang mengambang di alam semesta, seolah-olah seperti gambar yang direkam dalam sebuah film dari Allah, mirip dengan gambar yang direkam dalam film manusia tentang orang mati yang ditampilkan sebagai sosok hidup, bergerak, dan berbicara kepada kita.

([**Lihat:** Al-Muqizah fi Ru'yat al-Rasul  fi al-Yaqzah, oleh Hisham Abdul Karim al-Alusi, Ditelaah oleh: Prof. Dr. Ahmad Ubaid Abdullah al-Kubaisi, Profesor Syariah dan Hukum di Universitas Baghdad sebelumnya, dan Syeikh Abdul Karim Muhammad Bayara, Ketua Asosiasi Ulama Irak, serta pengajar di Hadrah Qadiriyah di Baghdad, Disunting oleh: Ahmad Faiq Jawad al-Ani, Asisten Direktur SMA Hadrah Muhammadiah di Fallujah (hal. 4, 37, 42), dan lihat: [tautan YouTube](https://www.youtube.com/watch?v=ruOT_pUF4wY)])

Pendapat ke 2 : **Melihat ruh Nabi  **.

Yaitu ruh Nabi  telah berkembang dan muncul dalam bentuk yang dapat dilihat, sementara keterkaitannya dengan jasad suci beliau yang hidup di dalam kubur tetap ada.

([**Lihat:** Ruhul Ma’ani fi Tafsir al-Qur’an al-’Adzim wa as-Sab’ah al-Matsaani (hal. 11/215)])

Pendapat ke 3 : **Melihat tubuh Nabi  **.

Dan ini pun terbagi menjadi dua jenis:

Jenis pertama : **Tersingkapnya tabir bagi seorang wali sehingga bisa melihat Nabi  di dalam kubur-nya**.

Menurut Mulla Ali al-Qari al-Hanafi:

"إِنَّ رُؤْيَتَهُ ﷺ يَقَظَةً لَا تَسْتَلْزِمُ خُرُوجَهُ مِنْ قَبْرِهِ؛ لِأَنَّ مِنْ كَرَامَاتِ الْأَوْلِيَاءِ كَمَا مَرَّ أَنَّ اللهَ تَعَالَى يَخْرِقُ لَهُمُ الْحُجُبَ، فَلَا مَانِعَ عَقْلًا وَلَا شَرْعًا وَلَا عَادَةً أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ -وَهُوَ بِأَقْصَى الْمَشْرِقِ أَوِ الْمَغْرِبِ- يُكْرِمُهُ اللهُ تَعَالَى بِأَنْ لَا يَجْعَلَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الذَّاتِ الشَّرِيفَةِ -وَهِيَ فِي مَحَلِّهَا مِنَ الْقَبْرِ الشَّرِيفِ- سَاتِرًا وَلَا حَاجِبًا، بِأَنْ يَجْعَلَ تِلْكَ الْحُجُبَ كَالزُّجَاجِ الَّذِي يُحْكِي مَا وَرَاءَهُ، وَحِينَئِذٍ فَيُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ يَقَعُ نَظَرُهُ عَلَيْهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّهُ ﷺ حَيٌّ فِي قَبْرِهِ يُصَلِّي، وَإِذَا أُكْرِمَ إِنْسَانٌ بِوُقُوعِ بَصَرِهِ عَلَيْهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فَلَا مَانِعَ مِنْ أَنْ يُكْرَمَ بِمُحَادَثَتِهِ وَمُكَالَمَتِهِ وَسُؤَالِهِ عَنِ الْأَشْيَاءِ، وَأَنَّهُ يُجِيبُهَا عَنْهَا."

“Melihat Nabi  secara nyata tidak memerlukan beliau keluar dari kuburnya. Sebab, di antara karomah para wali, sebagaimana telah disebutkan, Allah Ta'ala dapat membukakan hijab bagi mereka.

Tidak ada halangan baik dari segi akal, syariat, atau kebiasaan bahwa seorang wali - meskipun berada di ujung timur atau barat - bisa dihormati oleh Allah Ta'ala dengan cara tidak ada penghalang antara dirinya dengan sosok yang mulia - yang berada di tempatnya di dalam kubur yang mulia.

Hijab-hijab tersebut bisa menjadi seperti kaca yang memantulkan apa yang ada di baliknya. Dengan demikian, mungkin saja seorang wali dapat melihat Nabi .

Kita tahu bahwa Nabi  hidup di kuburnya dan sedang melaksanakan shalat. Jika seseorang dihormati dengan dapat melihat Nabi , tidak ada halangan untuk juga diberi kehormatan dalam berkomunikasi dengan beliau dan bertanya tentang berbagai hal, dan Nabi  akan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.”([ **Jami' al-Wasa'il 'ala Syarh al-Syama'il** (hal. 2/237)])

Jenis kedua : **Melihat Nabi  di tempat-tempat dan majelis-majlis mereka**.

Yakni : "Bahwa Nabi  hadir di tempat-tempat dan majelis-majelis tertentu, sehingga beliau terlihat oleh sebagian orang namun tidak oleh yang lain."

Menurut As-Suyuthi:

"وَلَا يَمْتَنِعُ رُؤْيَةُ ذَاتِهِ الشَّرِيفَةِ بِجَسَدِهِ وَرُوحِهِ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّهُ ﷺ وَسَائِرُ الْأَنْبِيَاءِ أَحْيَاءٌ رُدَّتْ إِلَيْهِمْ أَرْوَاحُهُمْ بَعْدَمَا قُبِضُوا وَأُذِنَ لَهُمْ بِالْخُرُوجِ مِنْ قُبُورِهِمْ وَالتَّصَرُّفِ فِي الْمَلَكُوتِ الْعُلْوِيِّ وَالسُّفْلِيِّ."

“Tidak ada halangan untuk melihat sosok mulia beliau baik dalam bentuk tubuh maupun ruhnya. Hal ini karena Nabi  dan semua nabi lainnya hidup kembali setelah ruh mereka dikembalikan setelah kematian mereka, dan mereka diberi izin untuk keluar dari kubur mereka serta beraktivitas di alam atas dan bawah.”

([ **Tanwir al-Halak fi Ru'yat an-Nabi wa al-Malak** (hal. 14), dan lihat: Al-Hawi fi al-Fatawi untuk al-Suyuti (hal. 2/484)])

Al-Qurthubi dalam penjelasan tentang hadits “الصَّعْقَة” (guncangan dahsyat hari kiamat yang membuat manusia mati tersungkur) mengatakan:

"الْمَوْتُ لَيْسَ عَدَمًا مَحْضًا، وَإِنَّمَا هُوَ انْتِقَالٌ مِنْ حَالٍ إِلَى حَالٍ، وَيَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ أَنَّ الشُّهَدَاءَ بَعْدَ قَتْلِهِمْ وَمَوْتِهِمْ أَحْيَاءٌ يُرْزَقُونَ فَرِحِينَ مُسْتَبْشِرِينَ، وَهَذِهِ صِفَةُ الْأَحْيَاءِ فِي الدُّنْيَا، وَإِذَا كَانَ هَذَا فِي الشُّهَدَاءِ فَالْأَنْبِيَاءُ أَحَقُّ بِذَلِكَ وَأَوْلَى. وَقَدْ صَحَّ أَنَّ الْأَرْضَ لَا تَأْكُلُ أَجْسَادَ الْأَنْبِيَاءِ، وَأَنَّهُ ﷺ اجْتَمَعَ بِالْأَنْبِيَاءِ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ فِي بَيْتِ الْمَقْدِسِ وَفِي السَّمَاءِ، وَرَأَى مُوسَى قَائِمًا يُصَلِّي فِي قَبْرِهِ، وَأَخْبَرَ ﷺ أَنَّهُ يَرُدُّ السَّلَامَ عَلَى كُلِّ مَنْ يُسَلِّمُ عَلَيْهِ، إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا يَحْصُلُ مِنْ جُمْلَتِهِ الْقَطْعُ بِأَنَّ مَوْتَ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّمَا هُوَ رَاجِعٌ إِلَى أَنَّ غُيِّبُوا عَنَّا بِحَيْثُ لَا نُدْرِكُهُمْ، وَإِنْ كَانُوا مَوْجُودِينَ أَحْيَاءً، وَذَلِكَ كَالْحَالِ فِي الْمَلَائِكَةِ فَإِنَّهُمْ مَوْجُودُونَ أَحْيَاءً وَلَا يَرَاهُمْ أَحَدٌ مِنْ نَوْعِنَا إِلَّا مَنْ خَصَّهُ اللَّهُ تَعَالَى بِكَرَامَتِهِ."

“Kematian bukanlah ketiadaan mutlak, melainkan perpindahan dari satu keadaan ke keadaan lain. Ini dapat dilihat dari fakta bahwa para syuhada setelah kematian mereka tetap hidup dan diberi rezeki serta dalam keadaan gembira dan bahagia, yang merupakan ciri-ciri kehidupan di dunia. Jika ini berlaku bagi para syuhada, maka para nabi lebih layak dan berhak atas hal tersebut.

Telah sahih bahwa bumi tidak memakan jasad para nabi, dan Nabi  berkumpul dengan para nabi pada malam Isra di Baitul Maqdis dan di langit, serta melihat Musa berdiri melaksanakan shalat di kuburnya. Nabi  juga memberitahukan bahwa beliau membalas salam dari siapa saja yang memberi salam kepada beliau.

Hal ini menguatkan bahwa kematian para nabi hanya berarti bahwa mereka tersembunyi dari kita sehingga kita tidak bisa melihat mereka, meskipun mereka ada dan hidup. Ini mirip dengan keadaan malaikat yang ada dan hidup tetapi tidak terlihat oleh manusia kecuali oleh orang yang diberi karomah oleh Allah Ta'ala.”

([ **At-Tadzkirah bi-Ahwal al-Mawtaa wa Umur al-Aakhirah**, Cetakan: Dar al-Minhaj - Riyadh (hal. 460)])

NOTE : Penulis jelaskan dulu maksud dari Hadits “الصَّعْقَة”, yaitu sbb :

Dari Abu Hurairah radhiyalahu ‘anhu bahwa Nabi  bersabad :

 يَصْعَقُ النَّاسُ حِينَ يَصْعَقُونَ، فأكُونُ أوَّلَ مَن قامَ، فإذا مُوسَى آخِذٌ بالعَرْشِ، فَما أدْرِي أكانَ فِيمَن صَعِقَ.

"Manusia akan tersungkur pingsan ketika mereka tersungkur, dan aku akan menjadi orang pertama yang bangkit (dari pingsan). Namun, ternyata Musa sudah memegang Arsy. Aku tidak tahu apakah ia termasuk di antara mereka yang tersungkur (pingsan)." [HR. Bukhori no. 6518 dan Muslim no. 2373].

Lafadz lain :

فإنَّ النَّاسَ يَصْعَقُونَ يَومَ القِيَامَةِ، فأَصْعَقُ معهُمْ، فأكُونُ أوَّلَ مَن يُفِيقُ، فَإِذَا مُوسَى بَاطِشٌ جَانِبَ العَرْشِ، فلا أدْرِي أكانَ فِيمَن صَعِقَ فأفَاقَ قَبْلِي، أوْ كانَ مِمَّنِ اسْتَثْنَى اللَّهُ.

"Sesungguhnya manusia akan tersungkur pingsan pada Hari Kiamat, dan aku pun akan pingsan bersama mereka. Aku akan menjadi yang pertama sadar, namun ternyata Musa sudah berpegangan di sisi Arsy. Aku tidak tahu apakah ia termasuk di antara mereka yang tersungkur lalu sadar sebelumku, ataukah ia termasuk di antara yang Allah kecualikan." [HR. Bukhori no. 2411 dan Muslim no. 2373]

Fiqih hadits :

Pengutamaan sebagian para nabi atas sebagian para nabi yang lainnya adalah hak khusus bagi Allah Subhanahu wa Ta'ala saja. Hanya Dia yang memiliki wewenang untuk menentukan hal ini, dan tidak ada seorang pun manusia yang boleh mengutamakan di antara para nabi tanpa ilmu atau berdasarkan hawa nafsu. Hendaknya pengutamaan itu didasarkan pada apa yang Allah Azza wa Jalla nyatakan dan apa yang dijelaskan oleh sabda Nabi , sebagaimana firman-Nya:

{تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ}

'Itulah para rasul; Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berbicara langsung dengannya, dan Dia meninggikan sebagian mereka beberapa derajat' [QS. Al-Baqarah: 253]."

====

**DALIL KEEMPAT :**

Disebutkan dari Ibnu Abbas atau yang lainnya :

"أَنَّهُ رَآى النَّبِيَّ ﷺ فِي النَّوْمِ، فَبَقِيَ بَعْدَ أَنْ اسْتَيْقَظَ مُتَفَكِّرًا فِي هَـٰذَا الْحَدِيثِ، فَدَخَلَ عَلَىٰ بَعْضِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ وَلَعَلَّهَا خَالَتُهُ مَيْمُونَةُ، فَأَخْرَجَتْ لَهُ الْمِرْآةَ الَّتِي كَانَتْ لِلنَّبِيِّ ﷺ، فَنَظَرَ فِيهَا فَرَأَى صُورَةَ النَّبِيِّ وَلَمْ يَرَ صُورَةَ نَفْسِهِ"

“Bahwa ia melihat Nabi  dalam mimpi, lalu setelah bangun ia terus merenungkan peristiwa tersebut. Ia kemudian menemui salah satu istri Nabi, yang kemungkinan adalah bibinya, Maimunah. Ia mengeluarkan cermin yang dulu milik Nabi , dan Ibnu Abbas melihat ke dalam cermin itu, lalu ia melihat bayangan Nabi  dan bukan bayangannya sendiri”.

([ **Lihat:** Tanwir al-Halak fi Ru'yat an-Nabi wa al-Malak (hal. 17), dan Al-Mawāhib al-Ladunniyyah bil-Manh al-Muhammadiyyah, oleh al-Qastalani (hal. 2/368)])

====

**BANTAHAN ATAS KISAH INI:**

Kisah ini tidak memiliki sanad yang diketahui yang bisa diandalkan, dan tidak ada yang meriwayatkannya dengan sanad yang bisa dipercaya. Kisah ini disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar ketika ia membahas pandangan Ibnu Abi Jamrah tentang melihat Nabi  secara langsung dalam keadaan sadar, yang ia pahami sebagaimana ia melihat beliau dalam cermin.

([**Fathul Bari** (hal. 12/385). Dan lihat: Bahjat an-Nufus wa Tahalliihaa bi-Ma'rifati Ma Laha wa Ma 'Alaiha (hal. 1/778)])

Ibnu Hajar memberikan jawaban atas pandangan ini dengan mengatakan:

رابعُها: أنَّهُ يَراهُ في المِرْآةِ التي كانَتْ لهُ إنْ أَمْكَنَهُ ذلكَ، وهذا من أَبْعَدِ المُحالِ."

“Pendapat keempat: Bahwa ia melihat Nabi  dalam cermin yang pernah digunakan oleh Nabi, jika memungkinkan, dan ini adalah sesuatu yang sangat mustahil (sangat jauh dari kenyataan).”([ **Fathul Bari** (hal. 12/385)])

Namun, Ibnu Hajar tidak memberikan penilaian langsung terhadap keabsahan kisah ini, atau sanadnya, tetapi cukup dengan menyatakan: “Ini adalah sesuatu yang sangat mustahil (sangat jauh dari kenyataan).” 

Muhammad Shodiq Salim berkata:

"مَن أَوْرَدَهُ لَمْ يَذْكُرْ لَهُ إِسْنَادًا يُعْرَفُ، وَلَمْ يُعْزِهِ إِلَى كِتَابٍ، حَتَّى السُّيُوطِي - مَعَ سَعَةِ اطِّلَاعِهِ - اقْتَصَرَ عَلَى عَزْوِهِ إِلَى ابْنِ أَبِي جَمْرَةَ، وَكَذَلِكَ الحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ العَسْقَلَانِي؛ فَهَذَا الأَثَرُ - وَاللهُ أَعْلَمُ - قَدْ يَكُونُ مِمَّا لَا أَصْلَ لَهُ."

“Mereka yang menyebutkan kisah ini tidak memberikan sanad yang diketahui, dan tidak menyebutkan sumbernya dalam kitab yang dapat diandalkan. Bahkan, As-Suyuthi - yang terkenal dengan luasnya pengetahuan – dia hanya mengutip kisah ini dari Ibnu Abi Jamrah. Begitu pula Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani. Oleh karena itu, kisah ini, sejauh yang kami ketahui, mungkin tidak memiliki dasar sama sekali.”

([ Lihat: "Al-Mashodir al-'Aammah li al-Talaqqi 'inda ash-Shufiyyah 'Ardhan wa Naqdan, Cetakan: Maktabat al-Rushd (hal. 425)])

*****

**DALIL KE-ENAM:**

Mereka meng-klaim dan mendakwa’an bahwa melihat Nabi  secara langsung dalam keadaan sadar adalah hal yang mungkin dan tidak mustahil.

Syeikh Dr. Yusri Jabr pernah ditanya:

"هَلْ يُمْكِنُ رُؤْيَةُ النَّبِيِّ ﷺ يَقَظَةً؟

"Apakah mungkin melihat Nabi  dalam keadaan sadar?" 

Ia menjawab:

"نَعَمْ؛ لِأَنَّهُ وَقَعَ أَمْ لَمْ يَقَعْ؟! وَهَلْ هُوَ مُمْكِنٌ عَقْلًا أَمْ مُسْتَحِيلٌ عَقْلًا؟! 

ثُمَّ قَالَ: 'وَالنَّبِيُّ رَأَى الأَنْبِيَاءَ يَقَظَةً، إِذًا وَقَعَ، وَقَالَ ﷺ: «مَنْ رَآنِي فِي المَنَامِ فَسَيَرَانِي فِي اليَقَظَةِ»، وَيَعِيشُ مَعَنَا مَنْ يَرَى النَّبِيَّ يَقَظَةً، وَمَا المَصْلَحَةُ فِي نَفْيِ ذَلِكَ؟! وَرُوحُ النَّبِيِّ مَوْجُودَةٌ فِي سَائِرِ الأَكْوَانِ؛ لِأَنَّهُ رَحْمَةٌ لِلْعَالَمِينَ… وَلَوْ غَابَتْ رُوحُهُ عَنْ عَالَمٍ مِنَ العَوَالِمِ لَعَادَ عَدَمًا… فَلَا يَخْلُو مِنْهُ زَمَانٌ وَلَا مَكَانٌ، فَالنَّبِيُّ حَاضِرٌ وَشَاهِدٌ…'".

"Ya, apakah itu pernah terjadi atau tidak? Apakah ini mungkin secara akal atau mustahil? Nabi  sendiri pernah melihat para nabi lainnya secara sadar, jadi ini pernah terjadi. Nabi  bersabda: ‘Barangsiapa melihatku dalam mimpi, maka ia akan melihatku dalam keadaan sadar.’

Jadi di antara kita, ada yang bisa melihat Nabi  dalam keadaan sadar. Maka apa manfaatnya menolak hal tersebut?

Ruh Nabi  ada di seluruh alam, karena beliau adalah rahmat bagi semesta alam…

Jika ruhnya hilang dari suatu alam, maka alam tersebut akan kembali menjadi ketiadaan…

Oleh karena itu, tidak ada waktu atau tempat yang kosong dari kehadiran Nabi , karena beliau selalu hadir dan senantiasa menyaksikan…"

([Lihat: "Al-Mashodir al-'Aammah li al-Talaqqi 'inda ash-Shufiyyah 'Ardhan wa Naqdan, Cetakan: Maktabat al-Rushd (hal. 425)]).

=====

**BANTAHAN ATAS HAL INI :**

**Bantahan Pertama:**

Berargumen dengan kemungkinan akal tidaklah sahih; karena tidak setiap yang mungkin secara akal pasti terjadi. Ada banyak hal yang mungkin secara akal tetapi mustahil secara syariat, bahkan ada banyak hal yang mungkin secara akal dan syariat, tetapi tidak terjadi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

"فَإِنَّ الإِمْكَانَ يُسْتَعْمَلُ عَلَى وُجْهَيْنِ: إِمْكَانٌ ذِهْنِيٌّ، وَإِمْكَانٌ خَارِجِيٌّ :

الإِمْكَانُ الذِّهْنِيُّ: أَنْ يُعْرَضَ الشَّيْءُ عَلَى الذِّهْنِ فَلَا يُعْلَمُ امْتِنَاعُهُ، بَلْ يَقُولُ: يُمْكِنُ هَـٰذَا، لَا لِعِلْمِهِ بِإِمْكَانِهِ، بَلْ لِعَدَمِ عِلْمِهِ بِامْتِنَاعِهِ مَعَ أَنَّ ذَاكَ الشَّيْءَ قَدْ يَكُونُ مُبْتَنِعًا فِي الخَارِجِ.

وَأَمَّا الإِمْكَانُ الخَارِجِيُّ: فَأَنْ يُعْلَمَ إِمْكَانُ الشَّيْءِ فِي الخَارِجِ، وَهَـٰذَا يَكُونُ بِأَنْ يُعْلَمَ وُجُودُهُ فِي الخَارِجِ أَوْ وُجُودُ نَظِيرِهِ أَوْ وُجُودُ مَا هُوَ أَبْعَدُ عَنْ الوُجُودِ مِنْهُ، فَإِذَا كَانَ الأَبْعَدُ عَنْ قَبُولِ الوُجُودِ مَوْجُودًا مُمْكِنَ الوُجُودِ فَالأَقْرَبُ إِلَى الوُجُودِ مِنْهُ أَوْلَى".

“Istilah kemungkinan digunakan dalam dua pengertian: kemungkinan secara akal (imkan dzihni) dan kemungkinan secara eksternal (imkan khariji).

- *Kemungkinan secara akal (imkan dzihni)*: adalah ketika sesuatu dipertimbangkan dalam pikiran, dan tidak diketahui apakah itu mustahil, sehingga dikatakan, ‘Ini mungkin terjadi,’ bukan karena diketahui kemungkinannya, tetapi karena tidak diketahui kemustahilannya, meskipun sesuatu itu mungkin mustahil dalam kenyataannya.

- *Kemungkinan secara eksternal (imkan khariji)*: adalah ketika diketahui bahwa sesuatu mungkin terjadi di luar akal. Hal ini bisa diketahui dengan adanya sesuatu tersebut di alam nyata, adanya hal serupa, atau adanya sesuatu yang lebih jauh dari eksistensi. Jika sesuatu yang lebih jauh dari kemungkinan keberadaan dapat ada, maka sesuatu yang lebih dekat dengan keberadaan seharusnya lebih mungkin untuk ada.”

([ **Al-Radd 'ala al-Mantiqiyyin**, Cetakan: Dar al-Ma'rifah, Beirut, Lebanon (hal. 318)])

** Bantahan Kedua:**

Melihat Nabi  setelah wafatnya adalah hal yang mustahil, baik dari segi dalil naqli (tekstual) maupun dalil akal.

Di antara dalil naqli adalah firman Allah Ta'ala:

﴿إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُم مَّيِّتُونَ﴾

(Sesungguhnya engkau [Nabi Muhammad] akan mati dan mereka juga akan mati). [QS. Az-Zumar : 30].

Al-Qurthubi berkata:

“هُوَ خِطَابٌ لِلنَّبِيِّ ﷺ أَخْبَرَهُ بِمَوْتِهِ وَمَوْتِهِمْ، فَاحْتَمَلَ خَمْسَةَ أَوْجُهٍ… ".

“Ini adalah pernyataan kepada Nabi , memberitahukan kepadanya tentang kematiannya dan kematian mereka. Ayat ini memiliki lima penafsiran... –

Kemudian ia berkata:

"الرَّابِعُلِئَلَّا يَخْتَلِفُوا فِي مَوْتِهِ كَمَا اخْتَلَفَتِ الْأُمَمُ فِي غَيْرِهِ، حَتَّى إِنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا أَنْكَرَ مَوْتَهُ احْتَجَّ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَذِهِ الْآيَةِ فَأَمْسَكَ".

- Yang keempat: Supaya mereka tidak berselisih tentang kematiannya, sebagaimana umat-umat lain berselisih tentang nabi-nabi mereka. Bahkan ketika Umar radhiyallahu ‘anhu mengingkari kematiannya, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu berhujjah dengan ayat ini, lalu Umar pun berhenti dari pengingkarannya.”

([ **Al-Jami' li-Ahkam al-Qur'an**, Cetakan: Dar al-Kutub al-Misriyyah (hal. 15/254)])

**Al-Alusi berkata:**

"وَيَكْفِي فِي إِبْطَالِ هَذَا الْقَوْلِ قَوْلُهُ تَعَالَى: ﴿اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَىٰ عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَىٰ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى ۚ ﴾ [الزمر: 42]، فَإِذَا أَمْسَكَ الَّتِي قَضَى عَلَيْهَا الْمَوْتَ فَمِنْ أَيْنَ لَهَا التَّمَكُّنُ مِنَ التَّصَرُّفِ؟! وَمِنْ أَيْنَ لِأَحَدٍ أَنْ يَرَاهَا؟!"

"Cukup untuk membatalkan pendapat ini adalah firman Allah Ta'ala:

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan”. [QS. Az-Zumar: 42].

Jadi, jika Allah menahan jiwa yang sudah diputuskan untuk mati, dari mana jiwa tersebut bisa melakukan tindakan? Dan bagaimana mungkin seseorang bisa melihatnya?" ([ **Ghayat al-Amani fi ar-Radd 'ala an-Nabhani**, Cetakan: Maktabah al-Risalah (hal. 1/52)]).

**Ash-Shan'ani berkata:**

"وَالْآيَاتُ الْقُرْآنِيَّةُ وَالْأَحَادِيثُ النَّبَوِيَّةُ وَالْمَعْلُومُ مِنَ الضَّرُورَةِ الدِّينِيَّةِ أَنَّ مَنْ وَارَاهُ الْقَبْرُ لَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا يَوْمَ الْمَحْشَرِ، قَالَ تَعَالَى: {مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى} [طه: 55]، وَلَمْ يَقُلْ: (تَارَاتٍ أُخْرَى)، وَقَالَ تَعَالَى: {ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ * ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنْشَرَهُ} [عَبَس: 22، 21]، وَقَالَ تَعَالَى: {أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُونَ} [يس: 31].

وَأَمَّا الْأَحَادِيثُ النَّبَوِيَّةُ فَإِنَّهَا مُتَوَاتِرَةٌ أَنَّ مَنْ أُدْخِلَ قَبْرَهُ لَا يَخْرُجُ مِنْهُ إِلَّا عِنْدَ النَّفْخَةِ الثَّانِيَةِ فِي الصُّورِ… وَبِالْجُمْلَةِ فَالْقَوْلُ بِخُرُوجِ الْمَيِّتِ مِنْ قَبْرِهِ وَبُرُوزِهِ بِشَخْصِهِ لِقَضَاءِ أَغْرَاضِ الْأَحْيَاءِ قَوْلٌ مُخَالِفٌ لِلْعَقْلِ وَالنَّقْلِ."

"Ayat-ayat Al-Qur'an, hadis-Hadits Nabi, dan hal-hal yang diketahui secara pasti dalam agama menunjukkan bahwa siapa pun yang sudah dimakamkan di kubur tidak akan keluar darinya kecuali pada hari kebangkitan. Allah Ta'ala berfirman:

﴿۞ مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَىٰ﴾

“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain”. [QS. Thaha: 55].

Dan Allah tidak mengatakan:

"(تَارَاتٍ أُخْرَى)"

‘Beberapa kali’.

Allah juga berfirman:

﴿ثُمَّ أَمَاتَهُ فَأَقْبَرَهُ . ثُمَّ إِذَا شَاءَ أَنشَرَهُ﴾

“Kemudian Dia mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. kemudian bila Dia menghendaki, Dia membangkitkannya kembali”. [QS. Abasa: 21-22],

Dan Allah Ta'ala berfirman:**

﴿أَلَمْ يَرَوْا كَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِنَ الْقُرُونِ أَنَّهُمْ إِلَيْهِمْ لَا يَرْجِعُونَ.

“Tidakkah mereka melihat berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, bahwa mereka itu tidak kembali lagi kepada mereka?" [QS. (Yasin: 31)]

Sedangkan hadis-Hadits Nabi diriwayatkan secara mutawatir bahwa siapa pun yang telah dimasukkan ke dalam kuburnya tidak akan keluar darinya kecuali pada tiupan sangkakala kedua. Singkatnya, keyakinan bahwa orang yang mati bisa keluar dari kuburnya dan muncul dalam wujud fisiknya untuk memenuhi keperluan orang yang masih hidup adalah bertentangan dengan akal dan nash-nash syariat."([ **Al-Inshaaf fi Haqiqat al-Awliya wa Karamatihim wa At-Talafi** (hal. 51)])

**Dari sisi akal**.

Ibnu Hajar menyebutkan dari Al-Qurthubi yang berkata:

“اِخْتُلِفَ فِي مَعْنَى الحَدِيثِ فَقَالَ قَوْمٌ: هُوَ عَلَى ظَاهِرِهِ، فَمَنْ رَآهُ فِي النَّوْمِ رَأَى حَقِيقَتَهُ كَمَنْ رَآهُ فِي اليَقَظَةِ سَوَاءً، قَالَ: وَهَذَا قَوْلٌ يُدْرَكُ فَسَادُهُ بِأَوَائِلِ العُقُولِ، وَيَلْزَمُ عَلَيْهِ أَنْ لاَ يَرَاهُ أَحَدٌ إِلَّا عَلَى صُورَتِهِ الَّتِي مَاتَ عَلَيْهَا، وَأَنْ لاَ يَرَاهُ رَائِيَانِ فِي آنٍ وَاحِدٍ فِي مَكَانَيْنِ، وَأَنْ يَحْيَا الآنَ وَيَخْرُجَ مِنْ قَبْرِهِ وَيَمْشِيَ فِي الأَسْوَاقِ وَيُخَاطِبَ النَّاسَ وَيُخَاطِبُوهُ، وَيَلْزَمُ مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَخْلُوَ قَبْرُهُ مِنْ جَسَدِهِ، فَلاَ يَبْقَى مِنْ قَبْرِهِ فِيهِ شَيْءٌ، فَيُزَارَ مُجَرَّدَ القَبْرِ، وَيُسَلَّمَ عَلَى غَائِبٍ؛ لأَنَّهُ جَائِزٌ أَنْ يُرَى فِي اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ مَعَ اتِّصَالِ الأَوْقَاتِ عَلَى حَقِيقَتِهِ فِي غَيْرِ قَبْرِهِ، وَهَذِهِ جَهَالاَتٌ لاَ يَلْتَزِمُ بِهَا مَنْ لَهُ أَدْنَى مَسْكَةٍ مِنْ عَقْلٍ.”

“Tentang Makna Hadits ini diperselisihkan. Sebagian orang berkata bahwa Hadits ini harus diambil secara dzohir (literal), sehingga siapa yang melihat Nabi  dalam mimpi berarti melihat wujud beliau yang asli, sama seperti melihat beliau dalam keadaan terjaga.

Ia berkata:

Pendapat ini dapat diketahui kesalahannya dengan akal yang sederhana. Karena hal ini mengharuskan bahwa seseorang tidak akan melihat beliau kecuali dalam wujud fisik yang sama saat beliau  wafat, dan tidak mungkin dua orang melihat beliau pada waktu yang bersamaan di dua tempat berbeda.

Hal ini juga mengharuskan bahwa beliau  masih hidup hingga sekarang, keluar dari kuburnya, berjalan di pasar, berbicara dengan orang-orang, dan mereka berbicara dengannya.

Ini juga berarti bahwa kubur beliau  kosong dari jasadnya, sehingga tidak ada apa-apa di kubur beliau, dan ziarah ke makam beliau hanya seperti ziarah ke makam kosong serta salam yang disampaikan hanya kepada yang tidak hadir. Karena bisa saja beliau terlihat di malam atau siang hari dengan wujud fisik aslinya di luar kuburnya.

Ini adalah kebodohan-kebodohan yang tidak bisa diterima oleh siapa pun yang memiliki akal yang sehat.”([ **Fathul-Bari**, Cetakan: Dar al-Ma'rifah, Beirut (hal. 12/384)])

*****

**DALIL KETUJUH:

Klaim bahwa melihat Nabi  setelah wafatnya adalah karomah yang diberikan Allah kepada siapa saja yang Dia kehendaki dari hamba-hamba-Nya. Maka, orang yang mengingkari hal ini dianggap mengingkari karomah para wali yang telah dibuktikan melalui Al-Qur'an, sunnah, dan atsar yang bersambung sanadnya, bahkan juga melalui akal.**

As-Suyuthi menukil dari  Ibnu Abi Jamrah yang berkata:

"وَالْمُنْكِرُ لِهَذَا لَا يَخْلُو إِمَّا أَنْ يُصَدِّقَ بِكَرَامَاتِ الأَوْلِيَاءِ أَوْ يُكَذِّبَ بِهَا، فَإِنْ كَانَ مِمَّنْ يُكَذِّبُ بِهَا فَقَدْ سَقَطَ الْبَحْثُ مَعَهُ، فَإِنَّهُ يُكَذِّبُ مَا أَثْبَتَتْهُ السُّنَّةُ بِالدَّلَائِلِ الْوَاضِحَةِ، وَإِنْ كَانَ مُصَدِّقًا بِهَا فَهَذِهِ مِنْ ذَلِكَ الْقَبِيلِ؛ لِأَنَّ الأَوْلِيَاءَ يُكْشَفُ لَهُمْ بِخَرْقِ الْعَادَةِ عَنْ أَشْيَاءَ فِي الْعَالَمَيْنِ الْعُلْوِيِّ وَالسُّفْلِيِّ عَدِيدَةٍ، فَلَا يُنْكِرُ هَذَا مَعَ التَّصْدِيقِ بِذَلِكَ‏."

“Orang yang mengingkari hal ini (melihat Nabi  setelah wafat) tidak lepas dari dua kemungkinan, yaitu dia mempercayai karomah para wali atau dia mendustakannya.

Jika dia termasuk orang yang mendustakan karomah, maka perbincangan dengannya sudah selesai, karena dia mendustakan apa yang telah ditetapkan oleh sunnah dengan dalil-dalil yang jelas.

Jika dia termasuk orang yang mempercayai karomah, maka hal ini termasuk di dalamnya, karena para wali diberi kelebihan berupa menyingkap hal-hal luar biasa dalam alam atas dan bawah. Maka, tidaklah pantas mengingkari hal ini jika dia mempercayai karomah-karomah lainnya.” ([**Tanwiir al-Halak fi Ru'yat an-Nabi wa al-Malak** (hal. 17-18)])

=====

**BANTAHAN TERHADAP KLAIM INI:**

**Bantahan Pertama**:

Dalil ini tidak tepat mengenai pokok permasalahan, karena tidak ada kaitan antara mengingkari kemungkinan melihat Nabi  dalam keadaan terjaga setelah wafat di dunia dengan mengingkari karomah. Banyak ulama yang mengakui adanya karomah para wali, tetapi mengingkari kemungkinan melihat Nabi  dalam keadaan terjaga setelah wafat, seperti  Ibnu al-'Arabi, al-Qurtubi,  Ibnu Taimiyyah,  Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ahdal, dan lainnya ([**Al-Tijaniyyah**, Dr. Ali bin Muhammad Al-Dukhail (hal. 128)]).

**Bantahan Kedua**:

Tidak setiap peristiwa luar biasa (khariq lil ‘adah) bisa dianggap sebagai karomah.

Asy-Syatibi rahimahullah berkata:

“وَمِنَ الْفَوَائِدِ فِي هَذَا الْأَصْلِ أَنْ يُنْظَرَ إِلَى كُلِّ خَارِقَةٍ صَدَرَتْ عَلَى يَدَيْ أَحَدٍ، فَإِنْ كَانَ لَهَا أَصْلٌ فِي كَرَامَاتِ الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ وَمُعْجِزَاتِهِ فَهِيَ صَحِيحَةٌ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهَا أَصْلٌ فَغَيْرُ صَحِيحَةٍ وَإِنْ ظَهَرَ بِبَادِئِ الرَّأْيِ أَنَّهَا كَرَامَةٌ؛ إِذْ لَيْسَ كُلُّ مَا يَظْهَرُ عَلَى يَدَيِ الْإِنْسَانِ مِنَ الْخَوَارِقِ بِكَرَامَةٍ، بَلْ مِنْهَا مَا يَكُونُ كَذَلِكَ، وَمِنْهَا مَا لَا يَكُونُ كَذَلِكَ.

“Salah satu faidah dari prinsip ini adalah bahwa setiap kejadian luar biasa yang terjadi pada seseorang harus dilihat, apakah ia memiliki dasar dari karomah Rasulullah  dan mukjizatnya? Jika iya, maka kejadian tersebut benar. Jika tidak memiliki dasar, maka tidaklah benar, meskipun pada pandangan awal terlihat sebagai karomah. Sebab, tidak setiap hal luar biasa yang terjadi di tangan seseorang bisa disebut karomah, meskipun ada yang merupakan karomah dan ada pula yang bukan.” ([**Al-Muwafaqaat**, Cetakan: Dar  Ibnu Affan (hal. 2/444)])

**Bantahan Ketiga:**

Salah satu prinsip dalam bab ini adalah tidak boleh mengira-ngira bahwa setiap orang yang memiliki sesuatu yang luar biasa (khariqul 'adat) adalah wali Allah. Wali Allah dikenal melalui sifat-sifat, tindakan, dan keadaan mereka yang telah dijelaskan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah. Mereka dikenal dengan cahaya iman dan Al-Qur'an.

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :

"خَرْقُ العَادَاتِ قَدْ يَقَعُ لِلزِّنْدِيقِ بِطَرِيقِ الإِمْلَاءِ وَالإِغْوَاءِ، كَمَا يَقَعُ لِلصِّدِّيقِ بِطَرِيقِ الكَرَامَةِ وَالإِكْرَامِ، وَإِنَّمَا تَحْصُلُ التَّفْرِقَةُ بَيْنَهُمَا بِاتِّبَاعِ الكِتَابِ وَالسُّنَّةِ."

"Hal-hal yang luar biasa bisa terjadi pada seorang zindiq (orang munafik) melalui bisikan dan penyesatan, sebagaimana hal tersebut juga bisa terjadi pada seorang shiddiq melalui karomah dan pemuliaan. Perbedaannya dapat diketahui dengan mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah" ([**Fathul Bari** (hal. 12/385).]).

Imam Asy-Syaukani mengatakan :

"وَلَا يَجُوزُ لِلْوَلِيِّ أَنْ يَعْتَقِدَ فِي كُلِّ مَا يَقَعُ لَهُ مِنَ الْوَاقِعَاتِ وَالْمُكَاشَفَاتِ أَنَّ ذَلِكَ كَرَامَةٌ مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ، فَقَدْ يَكُونُ مِنْ تَلْبِيسِ الشَّيْطَانِ وَمَكْرِهِ، بَلِ الْوَاجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُعْرِضَ أَفْكَارَهُ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ؛ فَإِنْ كَانَتْ مُوَافِقَةً لَهَا فَهِيَ حَقٌّ وَصِدْقٌ وَكَرَامَةٌ مِنَ اللَّهِ سُبْحَانَهُ، وَإِنْ كَانَتْ مُخَالِفَةً لِشَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فَلْيَعْلَمْ أَنَّهُ مَخْدُوعٌ مَمْكُورٌ بِهِ، قَدْ طَمِعَ مِنَ الشَّيْطَانِ فَلَبَّسَ عَلَيْهِ."

"Seorang wali tidak boleh meyakini bahwa setiap hal yang terjadi padanya berupa peristiwa-peristiwa luar biasa atau penyingkapan hal-hal gaib adalah karomah dari Allah. Bisa jadi itu adalah tipu daya dan rekayasa setan. Kewajiban bagi wali adalah menyelaraskan pikirannya dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika sesuai dengan keduanya, maka hal itu adalah hak, benar, dan merupakan karomah dari Allah. Namun, jika bertentangan dengan salah satu dari keduanya, maka ia harus menyadari bahwa dirinya sedang tertipu dan diperdaya oleh setan yang telah menipunya" ([**Bughyat al-Mustafid** (hal. 79-80)]).

*****

**DALIL KE-DELAPAN:**

Mereka sekelompok sufi menyatakan :

"إِنَّ رُؤْيَةَ الرَّسُولِ ﷺ وَقَعَتْ لِجَمْعٍ غَفِيرٍ مِنْ سَلَفِ هَذِهِ الْأُمَّةِ؛ مِنْهُمُ الشَّيْخُ أَبُو الْمَدْيَنِ الْمَغْرِبِيُّ شَيْخُ الْجَمَاعَةِ، وَالشَّيْخُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ الْقَنَاوِيُّ، وَالشَّيْخُ أَبُو الْعَبَّاسِ الْمُرْسِيُّ، وَالشَّيْخُ أَبُو السُّعُودِ بْنُ أَبِي الْعَشَائِرِ، وَإِبْرَاهِيمُ الْمُتَبُولِيُّ، وَالشَّيْخُ جَلَالُ الدِّينِ السُّيُوطِيُّ وَغَيْرُهُمْ."

"Sesungguhnya Rasulullah  telah dilihat oleh banyak orang dari kalangan salaf umat ini, di antaranya adalah Syeikh Abu Madin Al-Maghribi, Syeikh Abdul Rahman Al-Qanawi, Syeikh Abu Abbas Al-Mursi, Syeikh Abu Saud bin Abi Al-Asyair, Ibrahim Al-Mutbuli, Syeikh Jalaluddin As-Suyuthi, dan lain-lain" ([**Rimah Hizb ar-Rahim** (hal. 1/199)]).

**Keyakinan para pengikut Rifa'iyah:**

Mereka berkeyakinan bahwa ketika Sayyid Ahmad Ar-Rifa'i menunaikan haji, lalu dia datang ke Madinah, kemudian dia berdiri di hadapan makam Nabi , lalu melantunkan syair berikut ini :

فِي حَالَةِ الْبُعْدِ رُوحِي كُنْتُ أُرْسِلُهَا … تُقَبِّلُ الْأَرْضَ عَنِّي وَهِيَ نَائِبَتِي

وَهَذِهِ نَوْبَةُ الْأَشْبَاحِ قَدْ ظَهَرَتْ … فَامْدُدْ يَمِينَكَ كَيْ تَحْظَى بِهَا شَفَتِي

*“Di saat berjauhan, ruhku kukirimkan sebagai penggantiku...*

*untuk mencium tanah sebagai wakilku.*

*Kini jasadku telah hadir di sini...*

*ulurkan tanganmu agar bibirku bisa mendapat berkahnya.”*

Lalu, menurut mereka, tangan mulia Nabi  keluar dari makam, hingga Sayyid Ahmad Ar-Rifa'i menciumnya sementara orang-orang menyaksikan kejadian itu ([**Qilaadat al-Jawahir** (hal. 67-68)]).

=====

**BANTAHAN TERHADAP KLAIM TERSEBUT:**

**Bantahan Pertama:**

Ucapan orang-orang saleh hanya boleh dijadikan bahan istidlal (rujukan) bukan istinad (sumber utama). Jika terdapat ucapan mereka yang bertentangan dengan syariat atau akal, atau terdapat ungkapan yang bersifat metaforis (berlebihan dan melampaui batas), maka tindakan terbaik adalah memahaminya dengan makna terbaik sambil memberi udzur kepada mereka. Setiap orang bisa diambil dan ditinggalkan ucapannya kecuali Nabi .

Contohnya, seperti ucapan Abu Abbas Al-Mursi:

“لِي أَرْبَعُونَ سَنَةً مَا حُجِبْتُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ، وَلَوْ حُجِبْتُ عَنْهُ طَرْفَةَ عَيْنٍ مَا أَعْدَدْتُ نَفْسِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ”. 

*“Selama empat puluh tahun, aku tidak pernah terhijab dari Rasulullah. Jika aku terhijab darinya sekejap saja, aku tidak akan menghitung diriku sebagai bagian dari kaum Muslimin.”*

Syeikh Al-Ahdal memberikan komentar:

"فَهَذَا كَلَامٌ فِيهِ تَجَوُّزٌ يَقَعُ مِثْلُهُ فِي كَلَامِ الشُّيُوخِ وَالصَّالِحِينَ، وَالْمُرَادُ بِهِ أَنَّهُ لَمْ يُحْجَبْ حِجَابَ غَفْلَةٍ وَنِسْيَانٍ عَنْ دَوَامِ الْمُرَاقَبَةِ وَاسْتِحْضَارِهَا فِي الْأَعْمَالِ وَالْأَقْوَالِ، وَلَمْ يُرِدْ أَنَّهُ يُحْجَبُ عَنِ الرُّوحِ الشَّخْصِيَّةِ، فَذَلِكَ مُسْتَحِيلٌ".

*“Ini adalah ucapan yang bersifat metaforis (berlebihan dan melampaui batas), sebagaimana yang sering dijumpai dalam ucapan para Syeikh dan orang-orang saleh. Yang dimaksud adalah bahwa dia tidak pernah terhijab oleh hijab kelalaian dan lupa dari pengawasan terus-menerus dan kehadiran hati dalam setiap amal dan perkataannya. Tidak ada maksud bahwa dia tidak terhijab dari ruh pribadi Nabi, karena hal itu mustahil”* ([**Lihat:** Syarh al-Mawāhib al-Ladunniyyah oleh az-Zurqani (hal. 5/300)]).

Adapun orang yang belum mencapai derajat kesalehan seperti mereka, maka perkataannya tidak perlu diperhatikan. Bisa jadi, yang menampakkan diri kepadanya adalah setan yang berwujud menyerupai seseorang dan menyampaikan kabar bohong melalui teman setan yang bersamanya.

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“وَالضُّلَّالُ مَنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ يَرَوْنَ مَنْ يُعَظِّمُونَهُ: إمَّا النَّبِيُّ ﷺ، وَإِمَّا غَيْرُهُ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ يَقَظَةً، وَيُخَاطِبُهُمْ وَيُخَاطِبُونَهُ. وَقَدْ يَسْتَفْتُونَهُ وَيَسْأَلُونَهُ عَنْ أَحَادِيثَ فَيُجِيبُهُمْ. وَمِنْهُمْ مَنْ يُخَيَّلُ إلَيْهِ أَنَّ الْحُجْرَةَ قَدْ انْشَقَّتْ وَخَرَجَ مِنْهَا النَّبِيُّ ﷺ وَعَانَقَهُ هُوَ وَصَاحِبَاهُ. وَمِنْهُمْ مَنْ يُخَيَّلُ إلَيْهِ أَنَّهُ رَفَعَ صَوْتَهُ بِالسَّلَامِ حَتَّى وَصَلَ مَسِيرَةَ أَيَّامٍ وَإِلَى مَكَانٍ بَعِيدٍ… وَهَذَا مَوْجُودٌ عِنْدَ خَلْقٍ كَثِيرٍ كَمَا هُوَ مَوْجُودٌ عِنْدَ النَّصَارَى وَالْمُشْرِكِينَ، لَكِنْ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ يُكَذِّبُ بِهَذَا، وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ إذَا صَدَّقَ بِهِ يَظُنُّ أَنَّهُ مِنْ الْآيَاتِ الْإِلَهِيَّةِ، وَأَنَّ الَّذِي رَأَى ذَلِكَ رَآهُ لِصَلَاحِهِ وَدِينِهِ. وَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ مِنْ الشَّيْطَانِ وَأَنَّهُ بِحَسَبِ قِلَّةِ عِلْمِ الرَّجُلِ يُضِلُّهُ الشَّيْطَانُ

*“Orang-orang sesat dari kalangan ahli kiblat (umat Islam) sering melihat orang yang mereka agungkan, baik Nabi  maupun selainnya dari kalangan para nabi, dalam keadaan sadar. Mereka berbicara dengannya, dan terkadang mereka bertanya dan meminta fatwa kepadanya tentang hadits-hadits tertentu, lalu dijawab.

Ada pula di antara mereka yang berkhayal bahwa kamar makam Nabi  terbelah, lalu Nabi  keluar darinya dan memeluknya serta kedua sahabatnya.

Ada pula yang berkhayal bahwa suaranya saat mengucapkan salam terdengar hingga beberapa hari perjalanan ke tempat yang jauh…

Hal seperti ini sering terjadi di kalangan banyak orang, sebagaimana hal ini juga terjadi di kalangan orang-orang Nasrani dan musyrik.

Banyak orang yang mendustakannya, dan banyak pula yang mempercayainya dengan mengira bahwa hal itu adalah tanda-tanda ilahiyah. Mereka berpikir bahwa orang yang mengalami kejadian tersebut adalah karena kesalehannya dan kebaikan agamanya. Padahal, mereka tidak mengetahui bahwa itu berasal dari setan, dan sesuai dengan sedikitnya ilmu orang tersebut, setan menyesatkannya”* ([**Majmu' al-Fatawa** (hal. 27/392)]).

**Bantahan Kedua:**

Apakah orang yang mengaku melihat Nabi  dalam keadaan sadar lebih utama dari generasi terdahulu, yaitu kaum Muhajirin dan Anshar?

Apakah ada di antara mereka yang pernah bertanya kepada Nabi  setelah wafatnya, lalu mendapatkan jawaban?

Hal ini, dengan kesepakatan para ulama, tidak pernah diakui oleh satu pun dari para sahabat atau tabi'in. Jika hal tersebut tidak terbukti pada mereka, maka tidak mungkin terbukti bagi orang selain mereka; karena bagaimana mungkin Nabi  akan menampakkan diri kepada orang yang lebih rendah derajatnya, tetapi tidak menampakkan diri kepada orang yang lebih utama?

Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

“وَالشَّيَاطِينُ كَثِيرًا مَا يَتَصَوَّرُونَ بِصُورَةِ الْإِنْسِ فِي الْيَقَظَةِ وَالْمَنَامِ، وَقَدْ تَأْتِي لِمَنْ لَا يَعْرِفُ فَتَقُولُ: أَنَا الشَّيْخُ فُلَانٌ أَوْ الْعَالِمُ فُلَانٌ، وَرُبَّمَا قَالَتْ: أَنَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ، وَرُبَّمَا أَتَى فِي الْيَقَظَةِ دُونَ الْمَنَامِ وَقَالَ: أَنَا الْمَسِيحُ أَنَا مُوسَى أَنَا مُحَمَّدٌ، وَثَمَّ مَنْ يُصَدِّقُ بِأَنَّ الْأَنْبِيَاءَ يَأْتُونَ فِي الْيَقَظَةِ فِي صُوَرِهِمْ، وَثَمَّ شُيُوخٌ لَهُمْ زُهْدٌ وَعِلْمٌ وَوَرَعٌ وَدِينٌ يُصَدِّقُونَ بِمِثْلِ هَذَا. وَمِنْ هَؤُلَاءِ مَنْ يَظُنُّ أَنَّهُ حِينَ يَأْتِي إلَى قَبْرِ نَبِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ يَخْرُجُ مِنْ قَبْرِهِ فِي صُورَتِهِ فَيُكَلِّمُهُ. وَمِنْ هَؤُلَاءِ مَنْ رَأَى فِي دَائِرَةِ ذُرَى الْكَعْبَةِ صُورَةَ شَيْخٍ قَالَ: إنَّهُ إبْرَاهِيمُ الْخَلِيلُ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَظُنُّ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَرَجَ مِنْ الْحُجْرَةِ وَكَلَّمَهُ. وَجَعَلُوا هَذَا مِنْ كَرَامَاتِهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ إذَا سَأَلَ الْمَقْبُورَ أَجَابَهُ. وَبَعْضُهُمْ كَانَ يَحْكِي أَنَّ ابْنَ منده كَانَ إذَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ حَدِيثٌ جَاءَ إلَى الْحُجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ وَدَخَلَ فَسَأَلَ النَّبِيَّ ﷺ عَنْ ذَلِكَ فَأَجَابَهُ. وَآخَرُ مِنْ أَهْلِ الْمَغْرِبِ حَصَلَ لَهُ مِثْلُ ذَلِكَ وَجَعَلَ ذَلِكَ مِنْ كَرَامَاتِهِ حَتَّى قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ لِمَنْ ظَنَّ ذَلِكَ: وَيْحَك! أَتَرَى هَذَا أَفْضَلَ مِنْ السَّابِقِينَ الْأَوَّلِينَ مِنْ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ؟! فَهَلْ فِي هَؤُلَاءِ مَنْ سَأَلَ النَّبِيَّ ﷺ بَعْدَ الْمَوْتِ وَأَجَابَهُ؟! وَقَدْ تَنَازَعَ الصَّحَابَةُ فِي أَشْيَاءَ، فَهَلَّا سَأَلُوا النَّبِيَّ ﷺ فَأَجَابَهُمْ؟! وَهَذِهِ ابْنَتُهُ فَاطِمَةُ تُنَازِعُ فِي مِيرَاثِهِ فَهَلَّا سَأَلَتْهُ فَأَجَابَهَا؟!”

*“Sering kali setan menampakkan diri dalam wujud manusia, baik dalam keadaan sadar maupun dalam mimpi. Kadang ia datang kepada seseorang yang tidak mengenalnya, lalu berkata: ‘Aku adalah Syeikh Fulan atau Alim Fulan.’

Bahkan kadang setan berkata: ‘Aku adalah Abu Bakar dan Umar,’ atau dalam keadaan sadar berkata: ‘Aku adalah Al-Masih, aku adalah Musa, atau aku adalah Muhammad.’

Sebagian orang ada yang percaya bahwa para nabi datang dalam wujud mereka yang asli dalam keadaan sadar.

Ada juga para Syeikh yang memiliki kezuhudan, ilmu, kewara’an, dan ketakwaan yang mempercayai hal semacam ini. Di antara mereka ada yang mengira bahwa ketika dia datang ke makam seorang nabi, nabi tersebut keluar dari makamnya dalam wujud jasadnya, lalu berbicara kepadanya.

Ada juga yang mengira bahwa dia melihat sosok seorang Syeikh di sekitar Ka'bah dan berkata bahwa itu adalah Ibrahim Al-Khalil (Nabi Ibrahim alaihis salam).

Ada yang beranggapan bahwa Nabi  keluar dari makamnya dan berbicara kepadanya.

Mereka menganggap hal ini sebagai bagian dari karomahnya. Sebagian dari mereka bahkan meyakini bahwa jika mereka bertanya kepada orang yang dimakamkan, maka dia akan menjawab. Sebagian dari mereka juga menceritakan bahwa Ibnu Mandah, ketika mengalami kesulitan memahami suatu hadits, datang ke makam Nabi  dan masuk, lalu bertanya kepada Nabi , dan beliau menjawabnya.

Ada juga seorang dari Maghrib yang mengalami hal serupa, dan dia menganggapnya sebagai karomah. Hingga Ibnu Abdul Barr berkata kepada orang yang meyakini hal tersebut:

*‘Celakalah engkau! Apakah engkau mengira bahwa orang ini lebih utama daripada generasi terdahulu dari kalangan Muhajirin dan Anshar? Apakah ada di antara mereka yang pernah bertanya kepada Nabi  setelah wafatnya dan mendapatkan jawaban? Para sahabat banyak berselisih dalam berbagai perkara, mengapa mereka tidak bertanya kepada Nabi  dan beliau menjawabnya? Ini putrinya, Fatimah, yang berselisih tentang warisan, mengapa dia tidak bertanya kepada beliau, lalu mendapatkan jawaban?’”* ([**Majmu' al-Fatawa** (hal. 10/407)]).

**Bantahan Ketiga:**

Klaim Rifa'iyah bahwa Nabi  mengeluarkan tangannya dari kubur lalu Ahmad al-Rifa'i menciumnya adalah kisah yang juga batil dari beberapa sudut pandang:

**Kebatilan Pertama:** Jika kisah ini benar, pasti akan diriwayatkan secara luas, dan tidak hanya oleh sebagian kaum sufi saja, mengingat keanehannya.

Al-Allamah al-Alusi menjelaskan bantahan terhadap kisah ini:

“فَالشَّيْءُ الَّذِي تَتَوَفَّرُ الدَّوَاعِي عَلَى نَقْلِهِ وَلَمْ يَذْكُرْهُ أَحَدٌ مِنَ الثِّقَاتِ، بَلْ ذَكَرَهُ الدَّجَّالُونَ الضَّالُّونَ الْمُضِلُّونَ، فَهُوَ وَلَا شَكَّ تَزْوِيرٌ وَبُهْتَانٌ وَكَذِبٌ مِنْ إِفْكِ الشَّيْطَانِ”.

*“Sesuatu yang seharusnya banyak diriwayatkan, namun tidak disebutkan oleh seorang pun dari para perawi terpercaya, melainkan hanya disebutkan oleh para pendusta yang sesat dan menyesatkan, maka tidak diragukan lagi bahwa itu adalah kebohongan dan fitnah, serta dusta yang berasal dari tipu daya setan”*

([**Ghoyat al-Amani fi ar-Radd 'ala an-Nabhani**, Cetakan: Maktabah al-Risalah (hal. 1/224)]).

** Kebatilan Kedua:** Beberapa ahli sejarah telah menulis biografi Ahmad al-Rifa'i, namun tidak ada satu pun dari mereka yang menyebutkan kisah ini. Jika kisah ini benar, pasti akan menjadi salah satu kehormatan terbesar yang dimilikinya. Misalnya, al-Subki dalam kitab *"Thabaqatnya"* menulis biografi Ahmad al-Rifa'i dan mencatat semua kehormatannya, bahkan termasuk kucing dan nyamuk yang terkait dengannya, namun ia tidak menyebutkan atau mengisyaratkan kisah ini sama sekali. ([**Lihat:** Thabaqat asy-Syafi'iyyah (hal. 6/24)]).

** Kebatilan Ketiga:** Mengenai dua bait syair yang diklaim terkait dengan kisah ini, al-Alusi menyebutkan bahwa banyak ulama yang menisbatkannya kepada Ibnu al-Farid, termasuk Shalahuddin al-Shafadi dalam *Tadzkiratnya*, yang berkata:

"إِنَّ ابْنَ الفَارِضِ لَمَّا اجْتَمَعَ بِالشِّهَابِ السُّهْرَوَرْدِي قَالَ: فِي حَالَةِ البُعْدِ... البَيْتَيْنِ".

*“Ibnu al-Farid ketika bertemu dengan al-Syihab al-Suhrawardi, ia berkata: ‘Dalam keadaan jauh...’”*, kemudian menyebutkan dua bait tersebut.

Al-Alusi kemudian menambahkan:

"وَكَفَى بِمَا قَالَهُ الشَّيْخُ صَلَاحُ الدِّينِ هَذَا شَاهِدًا عَلَى بُطْلَانِ مَا ادَّعَاهُ الرِّفَاعِيَّةُ وَمُبْتَدِعَتُهُمْ، فَإِنَّ هَذَا الشَّيْخَ كَانَ إِمَامًا أَدِيبًا نَاظِمًا نَاثِرًا".

*“Apa yang dikatakan oleh Syeikh Shalahuddin ini sudah cukup menjadi bukti akan kebatilan klaim Rifa'iyah dan para pengikut bid'ah mereka, karena Syeikh ini adalah seorang imam yang fasih dalam bersyair dan berprosa”* ([**Ghoyat al-Amani fi ar-Radd 'ala an-Nabhani** (hal. 1/225)]).

Di antara yang menolak kisah ini adalah Abdullah bin Muhammad bin al-Shiddiq al-Ghumari al-Maghribi al-Syadzili, yang berkata:

"لَكِنَّنَا نَجْزِمُ بِأَنَّ هَذِهِ القِصَّةَ مَكْذُوبَةٌ، لَا نَصِيبَ لَهَا مِنَ الصِّحَّةِ."

*“Namun, kami meyakini bahwa kisah ini adalah kisah palsu, tidak memiliki sedikit pun kebenaran”*. ([**an-Naqdhul Mubram li-Risalat asy-Syarf al-Muhtam**, Cetakan: Perpustakaan Kairo (hal. 9-40)]).

**PEMBAHASAN KELIMA:**
**Konsekuensi batil dari pendapat yang membenarkan bisa melihat Nabi  secara langsung saat terjaga**:

Keyakinan ini menghasilkan beberapa konsekuensi yang batil, di antaranya:

Ke 1 : **Berkelanjutan turunnya syariat terbaru dan wahyu:**

Orang-orang yang mengaku bisa bertemu dengan Nabi  saat terjaga juga mengklaim bahwa mereka senantiasa mendapatkan beberapa hukum syariat terbaru dari beliau  secara langsung (مِنْ لَدُنْهُ = Ilmu Laduni).

Ke 2 : **Menganggap orang yang melihat Nabi  saat terjaga sebagai sahabat:**

Ibnu Hajar mengatakan:

"وَنُقِلَ عَن جَمَاعَةٍ مِنَ الصَّالِحِينَ أَنَّهُم رَأَوا النَّبِيَّ ﷺ فِي المَنَامِ، ثُمَّ رَأَوهُ بَعدَ ذَلِكَ فِي اليَقَظَةِ، وَسَأَلُوهُ عَن أَشيَاءَ... وَهَذَا مُشكِلٌ جِدًّا، وَلَو حُمِلَ عَلَى ظَاهِرِهِ لَكَانَ هَؤُلَاءِ صَحَابَةً، وَلَأَمكنَ بَقَاءُ الصُّحبَةِ إِلَى يَومِ القِيَامَةِ، وَيُعَكِّرُ عَلَيهِ أَنَّ جَمعًا جَمًّا رَأَوهُ فِي المَنَامِ، ثُمَّ لَم يَذكُر وَاحِدٌ مِنهُم أَنَّهُ رَآهُ فِي اليَقَظَةِ، وَخَبَرُ الصَّادِقِ لَا يَتَخَلَّفُ."

*"Diriwayatkan dari sekelompok orang saleh bahwa mereka melihat Nabi  dalam mimpi, lalu melihatnya kembali saat terjaga, dan mereka menanyakan beberapa hal kepadanya... Ini sangat bermasalah, jika dipahami secara zahir, maka orang-orang ini akan dianggap sebagai sahabat.

Dan ini memungkinkan kelanggengan status sahabat hingga hari kiamat. Namun, hal ini dibantah oleh kenyataan bahwa banyak sekali orang yang melihat Nabi  dalam mimpi, tetapi tidak satu pun dari mereka yang melaporkan telah melihatnya dalam keadaan terjaga. Dan berita dari ash-Shodiq (orang yang jujur, yakni Nabi ) tidak pernah putus"** ([**Fathul Bari** (hal. 12/385)]).

Ke 3 : **Menganggap bahwa orang mati bisa keluar dari kubur mereka dan berjalan di antara manusia, serta mengklaim adanya kebangkitan sebelum hari kiamat tiba :**

Syeikh Bin Baz rahimahullah berkata:

"وَمَن زَعَمَ مِن جُهَلَةِ الصُّوفِيَّةِ أَنَّهُ يَرَى النَّبِيَّ ﷺ فِي اليَقَظَةِ، أَو أَنَّهُ يَحضُرُ المَولِدَ، أَو مَا شَابَهَ ذَلِكَ، فَقَد غَلِطَ أَقبَحَ الغَلَطِ، وَلُبِّسَ عَلَيهِ غَايَةَ التَّلبِيسِ، وَوَقَعَ فِي خَطَأٍ عَظِيمٍ، وَخَالَفَ الكِتَابَ وَالسُّنَّةَ وَإِجمَاعَ أَهلِ العِلمِ؛ لِأَنَّ المَوتَى إِنَّمَا يَخرُجُونَ مِن قُبُورِهِم يَومَ القِيَامَةِ لَا فِي الدُّنيَا، كَمَا قَالَ سُبحَانَهُ وَتَعَالَى: {ثُمَّ إِنَّكُمْ بَعْدَ ذَلِكَ لَمَيِّتُونَ * ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُبعَثُونَ}، فَأَخبَرَ سُبحَانَهُ أَنَّ بَعثَ الأَموَاتِ يَكُونُ يَومَ القِيَامَةِ لَا فِي الدُّنيَا، وَمَن قَالَ خِلَافَ ذَلِكَ فَهُوَ كَذَّابٌ كَذبًا بَيِّنًا، أَو مُغَالِطٌ مُلَبَّسٌ عَلَيهِ لَم يَعرِفِ الحَقَّ الَّذِي عَرَفَهُ السَّلَفُ."

*"Barangsiapa yang mengklaim, seperti kebanyakan kaum sufi yang bodoh, bahwa ia melihat Nabi  dalam keadaan terjaga, atau bahwa Nabi  hadir dalam perayaan maulid atau yang semisal, maka ia telah melakukan kesalahan besar, dan telah terjebak dalam kesesatan yang sangat besar pula.

Klaim tersebut bertentangan dengan Al-Qur'an, Sunnah, dan ijma' para ulama. Karena orang-orang yang mati hanya akan keluar dari kubur mereka pada hari kiamat, bukan di dunia, sebagaimana Allah SWT berfirman:

﴿ثُمَّ إِنَّكُمْ بَعْدَ ذَلِكَ لَمَيِّتُونَ * ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُبْعَثُونَ

(artinya: Kemudian, setelah itu kalian pasti akan mati. Kemudian, pada hari kiamat kalian akan dibangkitkan). [QS. Al-Mukminun : 15-16].

Maka Allah SWT memberitahukan bahwa kebangkitan orang-orang yang mati hanya akan terjadi pada hari kiamat, bukan di dunia. Barangsiapa yang berkata sebaliknya, maka dia adalah pembohong yang jelas, atau orang yang tertipu dan tidak mengetahui kebenaran yang diketahui oleh para salaf"** ([**At-Tahdzir min al-Bida'** (hal. 18)]).

**KESIMPULAN:**

**Dari kajian yang telah Penulis lakukan, dapat disimpulkan hal-hal berikut :**

[1]. **Melalui istidraj, Setan telah menjerumuskan kaum sufi ke dalam pengagungan yang berlebihan terhadap Rasulullah .** Hal ini terjadi melalui tahapan-tahapan yang saling berkaitan, salah satunya adalah klaim mereka mengenai melihat Nabi  saat terjaga dan menerima ajaran langsung darinya.

[2]. **Banyak dari kalangan sufi yang mengklaim bahwa melihat Nabi  secara langsung adalah mungkin,** melalui latihan spiritual dengan cara memusatkan pikiran pada gambaran Nabi  hingga jiwa terbiasa dengan gambaran tersebut, dan akhirnya Nabi  hadir.

[3]. **Kaum sufi mendasarkan klaim mereka tentang kebolehan melihat Nabi  pada sejumlah dalil,** yang sebagian adalah sahih tetapi tidak tegas, dan sebagian lagi tegas tetapi tidak sahih.

[4]. **Kaum sufi sering kali mengandalkan cerita-cerita dan kisah-kisah yang diriwayatkan dari para guru mereka,** meskipun kisah tersebut bersumber dari rantai perawi yang semuanya tidak diketahui identitasnya.

[5]. **Keyakinan ini menghasilkan beberapa konsekuensi batil,** di antaranya: memperbolehkan kelanjutan syariat setelah wafatnya Nabi , memperbolehkan status sahabat Nabi  tetap ada setelah wafatnya, dan memperbolehkan keyakinan adanya kebangkitan setelah kematian di dunia ini.

Demikian, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, beserta keluarganya dan para sahabatnya.

===****===

BANTAHAN SINGKAT ATAS ANGGAPAN BAHWA RASULULLAH  MENGUNJUNGI KITA DALAM KEADAAN JAGA

Cara paling ampuh membantah bid'ah atau meluruskan kekeliruan adalah mempertanyakan dalilnya. Siapa yang ditanya tentang dalil sebuah  pandangan yang dia pegang atau yang dia ajarkan, maka hal itu berarti menyampaikan permasalah langsung kepada sumber pemikiran dan akalnya tentang keharusan memiliki landasan ilmiah yang benar dengan dalil dan cara pengambilan dalil yang benar untuk menghadapi penentangnya. Bukan berdasarkan bualan atau cerita yang didapat sana sini. Semuanya sepakat bahwa perkara ini adalah bagian agama, maka semuanya pun harus sepakat tentang bagaimana agama ini dilandasi dan bagaimana seseorang berargumen dalam perkara syariat.

Mereka yang mengaku dapat melihat Nabi  dalam keadaan terjaga;

Berarti dia mengatakan bahwa Nabi  adalah hidup dengan ruh dan jasadnya. Dia keluar dan datang serta bergerak di alam ini sekehendaknya. Dalam hal ini dia seperti halnya semasa hidupnya dahulu.

Atau dia berpendapat bahwa Nabi  telah wafat dan berpindah ke alam barzakh yang khusus. Siapa yang melihatnya berarti tersingkap baginya wujudnya dalam kehidupan alam barzakh.

Pada kedua pengakuan tersebut, mereka dituntut memberikan dalil berdasarkan Al-Quran, Sunnah dan ijmak.

Kami telah cari dalil yang sering dipakai mereka, akan tetapi tidak ada yang kami dapatkan kecuali kejadian yang dialami sebagian wali yang saleh dan sering dikutip dari beberapa buku yang menyebutkan nama-nama orang yang pernah mengalaminya.

Tidak diragukan lagi bahwa berargumen seperti ini tidak memiliki kekuatan. Yang namnya dalil harus berupa ayat, hadits atau ijmak, atau paling tidak ucapan seorang shahabat Rasulullah . Bukan hikayat atau kisah, khususnya dalam masalah yang terkait kepribadian Nabi Muhammad  dan hubungannya dengan alam ghaib.

Ditambah lagi bahwa kisah-kisah yang diriwayatkan mengandung beberapa kemungkinan; Kemungkinan tidak kuat kebenarannya, kemungkinan pelakunya mengalami kekeliruan, kemungkinan hal tersebut terjadi dalam mimpi, bukan saat terjaga, kemungkinan setan yang tampil dalam bentuk yang dipandang oleh orang melihatnya seakan-akan sebagai Rasulullah . Boleh jadi juga bahwa itu semata khayalan yang muncul di benak pelakuanya dan seakan-akan dia merupakan kenyataan.

Bagaimana jika kita ketengahkan sebagian dalil yang menafikan terjadinya perjumpaan dengan Nabi  dalam keadaan terjaga secara nyata, bukan khayalan.

Abu Bakar Ash-Shiddiq radiallahu anhu berkata saat dia berdiri di hadapan orang untuk menyampaikan khutbah pasca wafatnya Nabi  :

"أَلاَ مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا ﷺ فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ، وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لاَ يَمُوتُ. وَقَالَ: {إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ}، وَقَالَ: {وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ}". انتهى.

"Ketahuilah, siapa yang menyembah Muhammad , sungguh Muhammad telah mati, dan siapa yang menyembah Allah, maka Allah Maha Hidup tidak mati.

Lalu beliau mengutip firman Allah, 'Sesungguhnya kamu akan mati dan Sesungguhnya mereka akan mati (pula)." (QS. Az-Zumar: 30).

Juga firman-Nya, "Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-orang yang bersyukur." (QS. Ali Imran: 144) (HR. Bukhari, no. 3667)

Jika para shahabat radhiallahu anhum yang merupakan orang paling dekat terhadap Rasulullah  dan paling mencintainya serta bersungguh-sungguh dalam mentaatinya, telah mengetahui makna kematian beliau  yaitu bahwa tidak ada lagi kesempatan bertemu beliau di dunia ini setelah itu, lalu bagaimana mereka dapat bertemu dan duduk bersama Nabi ?!

Syaikhul Islam Ibnu Taimiah berkata,

يَحْصُلُ لَهُمْ فِي هَذِهِ الْمَوَاضِعِ أَحْوَالٌ شَيْطَانِيَّةٌ يَظُنُّونَ أَنَّهَا كَرَامَاتٌ رَحْمَانِيَّةٌ. 

فَمِنْهُمْ مَنْ يَرَى أَنَّ صَاحِبَ الْقَبْرِ قَدْ جَاءَ إِلَيْهِ - وَقَدْ مَاتَ مِنْ سِنِينَ كَثِيرَةٍ - وَيَقُولُ: أَنَا فُلَانٌ، وَرُبَّمَا قَالَ لَهُ: نَحْنُ إِذَا وُضِعْنَا فِي الْقَبْرِ خَرَجْنَا، كَمَا جَرَى لِلتُّونِسِيِّ مَعَ نُعْمَانَ السَّلَامِيِّ. وَالشَّيَاطِينُ كَثِيرًا مَا يَتَصَوَّرُونَ بِصُورَةِ الْإِنْسِ فِي الْيَقَظَةِ وَالْمَنَامِ. 

وَقَدْ تَأْتِي لِمَنْ لَا يَعْرِفُ فَتَقُولُ: أَنَا الشَّيْخُ فُلَانٌ أَوِ الْعَالِمُ فُلَانٌ. وَرُبَّمَا قَالَتْ: أَنَا أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ. وَرُبَّمَا أَتَى فِي الْيَقَظَةِ دُونَ الْمَنَامِ وَقَالَ: أَنَا الْمَسِيحُ، أَنَا مُوسَى، أَنَا مُحَمَّدٌ. 

وَقَدْ جَرَى مِثْلُ ذَلِكَ أَنْوَاعٌ أَعْرِفُهَا، وَثَمَّ مَنْ يُصَدِّقُ بِأَنَّ الْأَنْبِيَاءَ يَأْتُونَ فِي الْيَقَظَةِ فِي صُوَرِهِمْ. 

وَثَمَّ شُيُوخٌ لَهُمْ زُهْدٌ وَعِلْمٌ وَوَرَعٌ وَدِينٌ يُصَدِّقُونَ بِمِثْلِ هَذَا. 

وَمِنْ هَؤُلَاءِ مَنْ يَظُنُّ أَنَّهُ حِينَ يَأْتِي إِلَى قَبْرِ نَبِيٍّ أَنَّ النَّبِيَّ يَخْرُجُ مِنْ قَبْرِهِ فِي صُورَتِهِ فَيُكَلِّمُهُ. وَمِنْ هَؤُلَاءِ مَنْ رَأَى فِي دَائِرَةِ ذُرَى الْكَعْبَةِ صُورَةَ شَيْخٍ قَالَ: إِنَّهُ إِبْرَاهِيمُ الْخَلِيلُ. 

وَمِنْهُمْ مَنْ يَظُنُّ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ خَرَجَ مِنَ الْحُجْرَةِ وَكَلَّمَهُ. وَجَعَلُوا هَذَا مِنْ كَرَامَاتِهِ. وَمِنْهُمْ مَنْ يَعْتَقِدُ أَنَّهُ إِذَا سَأَلَ الْمَقْبُورَ أَجَابَهُ. 

وَبَعْضُهُمْ كَانَ يَحْكِي: أَنَّ ابْنَ مَنْدَةَ كَانَ إِذَا أَشْكَلَ عَلَيْهِ حَدِيثٌ جَاءَ إِلَى الْحُجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ وَدَخَلَ فَسَأَلَ النَّبِيَّ ﷺ عَنْ ذَلِكَ فَأَجَابَهُ. 

وَآخَرُ مِنْ أَهْلِ الْمَغْرِبِ حَصَلَ لَهُ مِثْلَ ذَلِكَ وَجَعَلَ ذَلِكَ مِنْ كَرَامَاتِهِ. 

حَتَّى قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ لِمَنْ ظَنَّ ذَلِكَ: وَيْحَكَ أَتَرَى هَذَا أَفْضَلَ مِنَ السَّابِقِينَ الْأَوَّلِينَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ؟ فَهَلْ فِي هَؤُلَاءِ مَنْ سَأَلَ النَّبِيَّ ﷺ بَعْدَ الْمَوْتِ وَأَجَابَهُ؟ 

وَقَدْ تَنَازَعَ الصَّحَابَةُ فِي أَشْيَاءَ فَهَلَّا سَأَلُوا النَّبِيَّ ﷺ فَأَجَابَهُمْ؟! 

وَهَذِهِ ابْنَتُهُ فَاطِمَةُ تَنَازَعَتْ فِي مِيرَاثِهِ فَهَلَّا سَأَلَتْهُ فَأَجَابَهَا؟ انتهى.

"Terjadi pada mereka dalam masalah ini godaan setan yang mereka kira karomah Ar-Rahman. Di antara mereka ada yang melihat penghuni sebuah kuburan datang kepadanya, padahal dia telah meninggal sekian tahun lamanya, lalu berkata, 'Aku adalah fulan.' Atau dia berkata, 'Setelah diletakkan di kubur, kami keluar.' Sebagaimana terjadi pada Tunisi bersama Nu'man As-Salami. Setan sering berwujud seperti manusia baik saat seseorang terjaga maupun tidur.

Boleh jadi dia mendatangi orang yang tidak dia kenal, lalu berkata, 'Aku adalah Syeikh fulan atau kyai fulan. Atau mungkin dia berkata, 'Aku adalah Abu Bakar dan Umar. Atau dia datang saat terjaga, bukan saat tidur, lalu dia berkata, 'Aku adalah Al-Masih, Aku adalah Musa, Aku adalah Muhammad.

Yang aku ketahui, perkara semacam ini terjadi dalam berbagai bentuk. Kemudian ada yang mengakui bahwa telah datang dalam keadaan terjaga orang serupa mereka. Atau datang kepadanya Syeikh yang terkenal kezuhudan, ilmu, wara dan agamnya, kemudian mereka mempercayainya.

Di antara mereka ada yang mengira bahwa ketika dirinya mendatangi kuburan Nabi , beliau keluar dari kuburnya dalam bentuk asli-nya dan berbicara dengannya. Di antara mereka ada yang melihat bundaran di atas Ka'bah dalam bentuk Syeikh yang katanya adalah Ibrahim Al-Khalil.

Di antara mereka ada yang mengira bahwa Nabi  keluar dari kamarnya dan berbicara dengannya dan mereka menjadikan hal itu sebagai karomahnya.

Diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa dia telah bertanya kepada orang yang telah dikubur lalu orang tersebut menjawabnya.

Sebagian lagi mengisahkan bahwa Ibnu Mandah jika kesulitan memahami sebuah hadits, beliau mendatangi rumah Nabi  dan masuk, kemudian bertanya kepada Nabi  untuk menanyakannya, lalu beliau menjawabnya.

Yang lainnya dari penduduk Maroko mengalami kejadian serupa dan dia menyatakan bahwa itulah karomahnya.

Hingga akhirnya Ibnu Abdul Bar berkata kepada orang-orang yang mengaku demikian, 'Celaka kamu, apakah kamu kira orang itu lebih utama dari generasi pertama dari kalangan Muhajirin dan Anshar? Apakah ada di antara mereka yang bertanya kepada Nabi  setelah kematian beliau lalu beliau menjawabnya?"

Para shahabat telah berbeda pendapat tentang beberapa masalah, mengapa mereka tidak bertanya kepada Nabi (setelah kematiannya) lalu beliau menjawabnya?!

Lalu puterinya, Fatimah, sempat berselisih pendapat soal warisannya, mengapa dia tidak bertanya kepadanya lalu beliau menjawabnya."

(Majmu Fatawa, 10/406-407)

Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiah rahimahullah juga berkata :

وَالْمَقْصُودُ أَنَّ الصَّحَابَةَ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ لَمْ يَطْمَعِ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ كَمَا أَضَلَّ غَيْرَهُمْ مِنْ أَهْلِ الْبِدَعِ الَّذِينَ تَأَوَّلُوا الْقُرْآنَ عَلَى غَيْرِ تَأْوِيلِهِ، أَوْ جَهِلُوا السُّنَّةَ، أَوْ رَأَوْا وَسَمِعُوا أُمُورًا مِنَ الْخَوَارِقِ فَظَنُّوهَا مِنْ جِنْسِ آيَاتِ الْأَنْبِيَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَكَانَتْ مِنْ أَفْعَالِ الشَّيَاطِينِ، كَمَا أَضَلَّ النَّصَارَى وَأَهْلَ الْبِدَعِ بِمِثْلِ ذَلِكَ. فَهُمْ يَتَّبِعُونَ الْمُتَشَابِهَ وَيَدَعُونَ الْمُحْكَمَ. وَكَذَلِكَ يَتَمَسَّكُونَ بِالْمُتَشَابِهِ مِنَ الْحُجَجِ الْعَقْلِيَّةِ وَالْحِسِّيَّةِ، فَيَسْمَعُ وَيَرَى أُمُورًا فَيَظُنُّ أَنَّهُ رَحْمَانِيٌّ وَإِنَّمَا هُوَ شَيْطَانِيٌّ، وَيَدَعُونَ الْبَيِّنَ الْحَقَّ الَّذِي لَا إِجْمَالَ فِيهِ.

وَكَذَلِكَ لَمْ يَطْمَعِ الشَّيْطَانُ أَنْ يَتَمَثَّلَ فِي صُورَتِهِ وَيُغِيثَ مَنْ اسْتَغَاثَ بِهِ، أَوْ أَنْ يَحْمِلَ إِلَيْهِمْ صَوْتًا يُشْبِهُ صَوْتَهُ؛ لِأَنَّ الَّذِينَ رَأَوْهُ عَلِمُوا أَنَّ هَذَا شِرْكٌ لَا يَحِلُّ.

وَلِهَذَا أَيْضًا لَمْ يَطْمَعْ فِيهِمْ أَنْ يَقُولَ أَحَدٌ مِنْهُمْ لِأَصْحَابِهِ: إِذَا كَانَتْ لَكُمْ حَاجَةٌ فَتَعَالَوْا إِلَى قَبْرِي وَاسْتَغِيثُوا بِي لَا فِي مَحْيَاهُ وَلَا فِي مَمَاتِهِ، كَمَا جَرَى مِثْلُ هَذَا لِكَثِيرٍ مِنَ الْمُتَأَخِّرِينَ.

وَلَا طَمِعَ الشَّيْطَانُ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَهُمْ وَيَقُولَ: أَنَا مِنْ رِجَالِ الْغَيْبِ، أَوْ مِنَ الْأَوْتَادِ الْأَرْبَعَةِ، أَوِ السَّبْعَةِ، أَوِ الْأَرْبَعِينَ، أَوْ يَقُولَ لَهُ: أَنْتَ مِنْهُمْ. إِذْ كَانَ هَذَا عِنْدَهُمْ مِنَ الْبَاطِلِ الَّذِي لَا حَقِيقَةَ لَهُ. وَلَا طَمِعَ الشَّيْطَانُ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَهُمْ فَيَقُولَ: أَنَا رَسُولُ اللهِ، أَوْ يُخَاطِبَهُ عِنْدَ الْقَبْرِ كَمَا وَقَعَ لِكَثِيرٍ مِمَّنْ بَعْدَهُمْ عِنْدَ قَبْرِهِ وَقَبْرِ غَيْرِهِ وَعِنْدَ غَيْرِ الْقُبُورِ.

كَمَا يَقَعُ كَثِيرٌ مِنْ ذَلِكَ لِلْمُشْرِكِينَ وَأَهْلِ الْكِتَابِ يَرَوْنَ بَعْدَ الْمَوْتِ مَنْ يُعَظِّمُونَهُ مِنْ شُيُوخِهِمْ، فَأَهْلُ الْهِنْدِ يَرَوْنَ مَنْ يُعَظِّمُونَهُ مِنْ شُيُوخِهِمُ الْكُفَّارِ وَغَيْرِهِمْ، وَالنَّصَارَى يَرَوْنَ مَنْ يُعَظِّمُونَهُ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَالْحَوَارِيِّينَ وَغَيْرِهِمْ، وَالضُلَّالُ مِنْ أَهْلِ الْقِبْلَةِ يَرَوْنَ مَنْ يُعَظِّمُونَهُ: إِمَّا النَّبِيَّ ﷺ، وَإِمَّا غَيْرَهُ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ يَقَظَةً، وَيُخَاطِبُونَهُ وَيُخَاطِبُهُمْ، وَقَدْ يَسْتَفْتُونَهُ وَيَسْأَلُونَهُ عَنْ أَحَادِيثَ فَيُجِيبُهُمْ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّ الْحُجْرَةَ قَدِ انْشَقَّتْ وَخَرَجَ مِنْهَا النَّبِيُّ ﷺ وَعَانَقَهُ هُوَ وَصَاحِبَاهُ، وَمِنْهُمْ مَنْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ أَنَّهُ رَفَعَ صَوْتَهُ بِالسَّلَامِ حَتَّى وَصَلَ مَسِيرَةَ أَيَّامٍ وَإِلَى مَكَانٍ بَعِيدٍ. وَهَذَا وَأَمْثَالُهُ أَعْرِفُ مِمَّنْ وَقَعَ لَهُ هَذَا وَأَشْبَاهَهُ عَدَدًا كَثِيرًا. وَقَدْ حَدَّثَنِي بِمَا وَقَعَ لَهُ فِي ذَلِكَ وَبِمَا أَخْبَرَ بِهِ غَيْرُهُ مِنَ الصَّادِقِينَ مَنْ يَطُولُ هَذَا الْمَوْضِعُ بِذِكْرِهِمْ.

وَهَذَا مَوْجُودٌ عِنْدَ خَلْقٍ كَثِيرٍ كَمَا هُوَ مَوْجُودٌ عِنْدَ النَّصَارَى وَالْمُشْرِكِينَ، لَكِنْ كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ يُكَذِّبُ بِهَذَا، وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ إِذَا صَدَّقَ بِهِ يَظُنُّ أَنَّهُ مِنَ الْآيَاتِ الْإِلَهِيَّةِ، وَأَنَّ الَّذِي رَأَى ذَلِكَ رَآهُ لِصَلَاحِهِ وَدِينِهِ، وَلَمْ يَعْلَمْ أَنَّهُ مِنَ الشَّيْطَانِ .

وَأَنَّهُ بِحَسَبِ قِلَّةِ عِلْمِ الرَّجُلِ يُضِلُّهُ الشَّيْطَانُ، وَمَنْ كَانَ أَقَلَّ عِلْمًا قَالَ لَهُ مَا يَعْلَمُ أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِلشَّرِيعَةِ خِلَافًا ظَاهِرًا.

وَمَنْ عِنْدَهُ عِلْمٌ مِنْهَا لَا يَقُولُ لَهُ مَا يَعْلَمُ أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِلشَّرِيعَةِ وَلَا مُفِيدًا فَائِدَةً فِي دِينِهِ؛ بَلْ يُضِلُّهُ عَنْ بَعْضِ مَا كَانَ يَعْرِفُهُ، فَإِنَّ هَذَا فِعْلُ الشَّيَاطِينِ، وَهُوَ وَإِنْ ظَنَّ أَنَّهُ قَدِ اسْتَفَادَ شَيْئًا فَالَّذِي خَسِرَهُ مِنْ دِينِهِ أَكْثَرُ. وَلِهَذَا لَمْ يَقُلْ قَطُّ أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ: إِنَّ الْخَضِرَ أَتَاهُ، وَلَا مُوسَى، وَلَا عِيسَى، وَلَا أَنَّهُ سَمِعَ رَدَّ النَّبِيِّ ﷺ عَلَيْهِ.

وَابْنُ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ وَلَمْ يَقُلْ قَطُّ إِنَّهُ يَسْمَعُ الرَّدَّ. وَكَذَلِكَ التَّابِعُونَ وَتَابِعُوهُمْ. وَإِنَّمَا حَدَثَ هَذَا مِنْ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ.

وَكَذَلِكَ لَمْ يَكُنْ أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ يَأْتِيهِ فَيَسْأَلُهُ عِنْدَ الْقَبْرِ عَنْ بَعْضِ مَا تَنَازَعُوا فِيهِ وَأَشْكَلَ عَلَيْهِمْ مِنَ الْعِلْمِ، لَا خُلَفَاؤُهُ الْأَرْبَعَةُ وَلَا غَيْرُهُمْ، مَعَ أَنَّهُمْ أَخَصُّ النَّاسِ بِهِ ﷺ. حَتَّى ابْنَتُهُ فَاطِمَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا لَمْ يَطْمَعِ الشَّيْطَانُ أَنْ يَقُولَ لَهَا: اذْهَبِي إِلَى قَبْرِهِ فَسَلِيهِ هَلْ يُورَثُ أَمْ لَا يُورَثُ. كَمَا أَنَّهُمْ أَيْضًا لَمْ يَطْمَعِ الشَّيْطَانُ فِيهِمْ فَيَقُولَ لَهُمْ: اطْلُبُوا مِنْهُ أَنْ يَدْعُوَ لَكُمْ بِالْمَطَرِ لَمَّا أَجْدَبُوا. وَلَا قَالَ: اطْلُبُوا مِنْهُ أَنْ يَسْتَنْصِرَ لَكُمْ، وَلَا أَنْ يَسْتَغْفِرَ، كَمَا كَانُوا فِي حَيَاتِهِ يَطْلُبُونَ مِنْهُ أَنْ يَسْتَسْقِيَ لَهُمْ وَأَنْ يَسْتَنْصِرَ لَهُمْ.

فَلَمْ يَطْمَعِ الشَّيْطَانُ فِيهِمْ بَعْدَ مَوْتِهِ ﷺ أَنْ يَطْلُبُوا مِنْهُ ذَلِكَ. وَلَا طَمِعَ بِذَلِكَ فِي الْقُرُونِ الثَّلَاثَةِ.

وَإِنَّمَا ظَهَرَتْ هَذِهِ الضَّلَالَاتُ مِمَّنْ قَلَّ عِلْمُهُ بِالتَّوْحِيدِ وَالسُّنَّةِ، فَأَضَلَّهُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَضَلَّ النَّصَارَى فِي أُمُورٍ لِقِلَّةِ عِلْمِهِمْ بِمَا جَاءَ بِهِ الْمَسِيحُ وَمَنْ قَبْلَهُ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ صَلَوَاتُ اللهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِمْ". انتهى

"Yang dimaksud adalah bahwa para shahabat radhiallahu anhum tidak menjadi sasaran setan dan korban kesesatan mereka, sebagaimana setan telah menyesatkan selain mereka dari kalangan pelaku bid'ah yang menafsirkan ayat bukan pada tempatnya, atau mereka yang tidak paham terhadap sunah, atau mereka yang melihat atau mendengar perkara-perkara luar biasa, kemudian menganggapnya sebagai tanda kenabian dan kesalehan, padahal itu adalah perbuatan setan. Sebagaimana setan telah menyesatkan orang-orang Nashrani dan pelaku bid'ah seperti itu juga.

Mereka menuruti perkara yang sama dan meninggalkan perkara yang telah jelas. Begitu pula mereka berpegang teguh dengan perkara-perkara yang sama itu berlandaskan dalil logika dan indera saja. Lalu dia mendengar dan melihat perkara-perkara yang dia anggap bersumber dari Allah, padahal sesungguhnya dari setan, sementara mereka meninggalkan perkara yang jelas dan benar dan tidak ada keraguan.

Demikian pula halnya setan tidak akan dapat berwujud seperti rupanya untuk menolong orang-orang yang minta tolong kepadanya, atau bersuara mirip dengan suaranya, karena mereka yang melihatnya mengetahui bahwa perkara ini adalah syirik dan tidak halal.

Demikian pula setan tidak berani berkata kepada salah seorang di antara shahabat, 'Jika kalian memiliki kebutuhan, datanglah ke kuburanku dan mintalah bantuan kepadaku.' Tidak terjadi hal tersebut saat beliau hidup atau sesudah kematinnya. Sebagaimana hal ini terjadi pada orang-orang belakangan.

Setan juga tidak menghampiri salah seorang dari mereka dan berkata, "Aku adalah makhluk gaib, datang dari empat sudut, tujuh, atau empatpuluh’. Atau dia berkata kepadanya, 'Engkau salah satu dari mereka.'

Jika mereka memiliki kebatilan yang tidak ada hakekatnya. Setan juga tidak datang kepada mereka dan berkata : 'Aku adalah Rasulullah’. Atau beliau  berbicara dengan mereka di sisi kuburnya sebagaimana terjadi pada banyak orang setelah mereka berada di kuburnya atau kubur selainnya atau ditempat selain kuburan.

Sebagaimana terjadi pula pada banyak kaum musyrik dan ahli kitab. Mereka mengaku melihatnya setelah kematiannya dan mengagungkan guru mereka. Orang India mengaku melihat orang yang mereka agungkan dari guru-guru mereka yang kafir dan selainnya. Orang Nashrani juga mengaku melihat orang-orang yang mereka agungkan dari para nabi dan hawariyyin dan selain mereka. Orang-orang sesat dalam agama ini juga mengaku telah melihat orang-orang yang mereka agungkan, apakah Nabi , atau nabi lainnya dalam keadaan terjaga, dia berbicara kepada mereka dan mereka berbicara kepadanya. Mereka katanya meminta fatwa kepadanya dan bertanya kepadanya tentang beberapa hadits, lalu mereka menjawabnya.

Di antara mereka ada yang berkhayal bahwa kuburan beliau  terbelah, lalu beliau  dan dua orang shahabatnya (Abu Bakar dan Umar) keluar memeluknya.

Diantara mereka ada yang berkhayal bahwa dirinya mengeraskan suaranya saat salam hingga salamnya terdengar hingga beberapa hari dan sampai ke tempat yang jauh.

Kisah-kisah semacam ini sering terdengar dan saya sendiri pernah mendengar dari seseorang yang dia dengar dari orang yang sulit dipegang kebenarannya.

Sebagaimana hal ini juga sering terdengar di kalangan Nashrani dan kaum musyrikin. Akan tetapi banyak orang yang mendustakannya, namun banyak pula yang membenarkannya dan mengira bahwa itu adalah tanda-tanda yang bersumber dari Tuhan dan bahwa orang yang mengalaminya adalah karena kesalehan dan baik agamanya. Dia tidak tahu bahwa hal itu bersumber dari setan . Dan itu disebabkan karena bersumber dari sedikitnya ilmu orang tersebut hingga disesatkan oleh setan.

Barang siapa yang memiliki ilmu yang lebih sedikit, maka setan akan membisikkan kepadanya hal-hal yang diketahui bertentangan secara jelas dengan syariat.

Sedangkan orang yang memiliki ilmu syariat, setan tidak akan membisikkan sesuatu yang nyata-nyata bertentangan dengan syariat, atau sesuatu yang tidak bermanfaat dalam agamanya. Akan tetapi, setan akan menyesatkannya dari sebagian apa yang sebelumnya telah diketahuinya.

Inilah perbuatan setan. Meskipun seseorang menyangka bahwa dirinya memperoleh suatu manfaat, namun apa yang ia kehilangan dalam urusan agamanya lebih besar dari apa yang ia kira telah diperolehnya.

Karena itu, tidak ada seorang pun dari para shahabat yang mengatakan bahwa Nabi Khidir mendatanginya, tidak juga Musa, Isa dan tidak juga mereka mendengar jawaban Nabi  terhadapnya.

Ibnu Umar biasanya sehabis datang dari safar (datang ke makan Nabi ) lalu menyampaikan salam kepada-nya, namun walau sekalipun dia tidak pernah berkata bahwa beliau mendengar jawaban salamnya. Demikian pula halnya dengan tabi'in serta pengikut sesudahnya. Hal tersebut baru terjadi dikalangan orang-orang kemudian.

Demikian pula, tidak ada di kalangan shahabat yang mendatanginya kemudian bertanya di sisi kuburnya tentang perkara yang mereka pertikaikan atau perkara yang tidak mereka ketahui ilmunya. Hal itu tidak dilakukan oleh Khalifah yang empat atau selainnya, padahal mereka adalah orang yang paling dekat dengan Nabi .

Bahkan termasuk puterinya, Fatimah radhiallahu anha, tidak digoda setan dengan berkata, 'Pergilah ke kuburnya (Rasulullah ), tanyakan beliau, apakah dia mewariskan atau tidak.'

Begitu pula setan tidak bernafsu mendatangi mereka dan berkata kepada mereka, 'Mintalah kepadanya agar dia mendoakan untuk kalian agar turun hujan' ketika mereka mengalami musim kering. Atau berkata kepada mereka, 'Mintalah kepadanya agar dia memohonkan kemenangan untuk kalian, atau memintakan ampunan untuk kalian, sebagaimana mereka semasa hidup beliau mendatanginya minta didoakan agar turun hujan atau diberikan kemenangan.'

Setan tidak bernafsu menggoda mereka setelah kematian Rasulullah , tidak juga terhadap generasi tiga abad pertama.

Kesesatan seperti ini baru muncul pada mereka yang sedikit ilmunya tentang Tauhid dan Sunnah. Maka setan menyesatkannya sebagaimana dia menyesatkan kaum Nashrani dalam berbagai perkara karena sedikitnya ilmu mereka dengan ajaran yang dibawah oleh Isa Al-Masih dan ajaran para Nabi sebelumnya alaihimussalam." [Baca : Majmu Fatawa, 27/390-393].

Al-Alusy rahimahullah berkata :

**مَا نُسِبَ إِلَى بَعْضِ الْكَامِلِينَ مِنْ أَرْبَابِ الْأَحْوَالِ مِنْ رُؤْيَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ وَفَاتِهِ، وَسُؤَالِهِ، وَالْأَخْذِ عَنْهُ، لَمْ نَعْلَمْ وُقُوعَ مِثْلِهِ فِي الصَّدْرِ الْأَوَّلِ. 

وَقَدْ وَقَعَ اخْتِلَافٌ بَيْنَ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمْ مِنْ حِينِ تُوُفِّيَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ إِلَى مَا شَاءَ اللهُ تَعَالَى فِي مَسَائِلَ دِينِيَّةٍ وَأُمُورٍ دُنْيَوِيَّةٍ، وَفِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُمَا، وَإِلَيْهِمَا يَنْتَهِي أَغْلَبُ سَلَاسِلِ الصُّوفِيَّةِ الَّذِينَ تُنْسَبُ إِلَيْهِمْ تِلْكَ الرُّؤْيَةُ، وَلَمْ يَبْلُغْنَا أَنَّ أَحَدًا مِنْهُمْ ادَّعَى أَنَّهُ رَأَى فِي الْيَقَظَةِ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَخَذَ عَنْهُ مَا أَخَذَ. 

وَكَذَا لَمْ يَبْلُغْنَا أَنَّهُ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ظَهَرَ لِمُتَحَيِّرٍ فِي أَمْرٍ مِنْ أُولَئِكَ الصَّحَابَةِ الْكِرَامِ فَأَرْشَدَهُ وَأَزَالَ تَحَيُّرَهُ. 

وَقَدْ صَحَّ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ فِي بَعْضِ الْأُمُورِ: لَيْتَنِي كُنْتُ سَأَلْتُ رَسُولَ اللهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَنْهُ. 

وَلَمْ يَصِحَّ عِنْدَنَا أَنَّهُ تَوَسَّلَ إِلَى السُّؤَالِ مِنْهُ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الْوَفَاةِ نَظِيرَ مَا يُحْكَى عَنْ بَعْضِ أَرْبَابِ الْأَحْوَالِ. 

وَقَدْ وَقَفْتَ عَلَى اخْتِلَافِهِمْ فِي حُكْمِ الْجَدِّ مَعَ الْإِخْوَةِ، فَهَلْ وَقَفْتَ عَلَى أَنَّ أَحَدًا مِنْهُمْ ظَهَرَ لَهُ الرَّسُولُ فَأَرْشَدَهُ إِلَى مَا هُوَ الْحَقُّ فِيهِ؟! 

وَقَدْ بَلَغَكَ مَا عَرَا فَاطِمَةَ الْبَتُولَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَا مِنَ الْحُزْنِ الْعَظِيمِ بَعْدَ وَفَاتِهِ صَلَّى اللهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَا جَرَى لَهَا فِي أَمْرِ "فَدَكٍ"، فَهَلْ بَلَغَكَ أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ ظَهَرَ لَهَا كَمَا يَظْهَرُ لِلصُّوفِيَّةِ فَهَوَّنَ حُزْنَهَا وَبَيَّنَ الْحَالَ لَهَا؟! 

وَقَدْ سَمِعْتَ بِذَهَابِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ تَعَالَى عَنْهَا إِلَى الْبَصْرَةِ وَمَا كَانَ مِنْ وَقْعَةِ الْجَمَلِ، فَهَلْ سَمِعْتَ تَعَرُّضَهُ لَهَا قَبْلَ الذَّهَابِ وَصَدَّهُ إِيَّاهَا عَنْ ذَلِكَ لِئَلَّا يَقَعَ أَوْ تَقُومَ الْحُجَّةُ عَلَيْهَا عَلَى أَكْمَلِ وَجْهٍ؟! 

إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِمَّا لَا يَكَادُ يُحْصِي كَثْرَةً. 

وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ لَمْ يَبْلُغْنَا ظُهُورُهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ لِأَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِهِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ، وَهُمْ هُمْ مَعَ احْتِيَاجِهِمْ الشَّدِيدِ لِذَلِكَ. 

وَظُهُورُهُ عِنْدَ بَابِ مَسْجِدِ قُبَاءِ كَمَا يُحْكِيهِ بَعْضُ الشِّيعَةِ افْتِرَاءٌ مَحْضٌ وَبُهْتٌ بَحْتٌ. 

وَبِالْجُمْلَةِ: عَدَمُ ظُهُورِهِ لِأُولَئِكَ الْكِرَامِ، وَظُهُورُهُ لِمَنْ بَعْدَهُمْ: مِمَّا يَحْتَاجُ إِلَى تَوْجِيهٍ يُقْنِعُ بِهِ ذَوُو الْأَفْهَامِ". انتهى.

"Apa yang dikatakan oleh sebagian kalangan bahwa mereka melihat Rasulullah  setelah wafatnya, bertanya kepadanya dan mengambil darinya, tidak kami ketahui ada kejadian tersebut pada generasi pertama.

Pada masa shahabat radhiallahu anhum terjadi pertikaian sejak wafatnya beliau waktu yang Allah kehendaki dalam berbagai perkara agama dan dunia. Di antara mereka terdapat Abu Bakar dan Ali radhiallahu anhuma yang pada mereka berdua umumnya berujung silsilah kelompok tasawuf  yang mengaku melihatnya, namun tidak ada riwayat yang sampai kepada kami bahwa salah satu dari mereka mengaku telah melihat Rasulullah shallallahu alaihi wa salam dalam keadaan terjaga atau mendapatkan apa yang mereka dapatkan darinya.

Tidak ada riwayat yang sampai kepada kita bahwa Nabi  menampakkan diri kepada para shahabat yang kebingungan lalu beliau memberi petunjuk kepadanya untuk menghilangkan kebingungannya.

Tidak ada juga riwayat shahih pada kami bahwa shahabat bertanya kepadanya setelah wafat beliau sebagaimana yang dikisahkan oleh sebagian kalangan tasawuf.

Anda telah mengetahui adanya perbedaan pendapat dikalangan mereka tentang hukum waris seorang kakek bersama para saudara mayit (dalam bab warisan). Lalu apakah anda tahu bahwa ada salah seorang dari mereka (para shahabat) yang didatangi Rasulullah, lalu beliau  memberinya petunjuk pendapat yang benar dalam masalah tersebut?!

Telah sampai kepada anda tentang riwayat kesedihan Fatimah yang mendalam setelah wafatnya beliau dan juga peristiwa warisan tanah Fadak (tuntutannya kepada Abu Bakar agar tanah di Fadak milik Rasulullah  sebagai harta warisnya ), lalu adakah riwayat yang sampai kepada anda bahwa Rasulullah  menampakkan diri kepadanya -sebagaimana  katanya terjadi di kalangan para ahli tasawuf - untuk  meringankan penderitaan dan menjelaskan permasalahan kepadanya?".

Anda juga telah mendengar riwayat tentang berangkatnya Aisyah radhiallahu anha ke Bashrah dan peristiwa terjadinya perang Jamal, lalu apakah anda mendengar bahwa beliau (Rasulullah ) melarangnya atau mencegahnya agar jangan pergi supaya terjadi peristiwa tersebut, atau minimal sebagai bentuk pertanggungjawaban kepadanya?!

Masih banyak hal-hal lain yang tidak terhitung banyaknya.

Kesimpulannya, tidak ada riwayat yang sampai kepada kita adanya penampakan Rasulullah  kepada salah seorang shahabat dan keluarganya, padahal mereka sangat membutuhkan hal tersebut.

Penampakan beliau di Masjid Quba sebagaimana dikatakan oleh orang Syiah hanyalah kebohongan belaka.

Kesimpulannya, beliau tidak menampakkandiri di hadapan mereka yang mulia, juga tidak kepada orang-orang sesudah mereka yang membutuhkan arahannya yang membuat orang dapat puas menerimanya." [Baca : Ruhul Ma'ani, 22/38-39].

Syeikh Bin Baaz rahimahullah berkata :

"قَدْ عَلِمَ مِنَ الدِّينِ بِالضَّرُورَةِ وَبِالْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ لَا يُوجَدُ فِي كُلِّ مَكَانٍ، إِنَّمَا يُوجَدُ جِسْمُهُ فِي قَبْرِهِ فَقَطٍ فِي الْمَدِينَةِ الْمَنْوَرَةِ، أَمَّا رُوحُهُ فَفِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى فِي الْجَنَّةِ، وَقَدْ دَلَّ عَلَى ذَلِكَ مَا ثَبَتَ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ قَالَ عِنْدَ الْمَوْتِ: (اللَّهُمَّ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى ثَلَاثًا ثُمَّ تُوُفِّيَ). 

وَقَدْ أَجْمَعَ عُلَمَاءُ الْإِسْلَامِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ أَنَّهُ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ دُفِنَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا الْمُجَاوِرِ لِمَسْجِدِهِ الشَّرِيفِ، وَلَمْ يَزَلْ جِسْمُهُ فِيهِ إِلَى حِينِ التَّارِيخِ. 

أَمَّا رُوحُهُ وَأَرْوَاحُ بَقِيَّةِ الْأَنْبِيَاءِ وَالرُّسُلِ وَأَرْوَاحُ الْمُؤْمِنِينَ فَكُلُّهَا فِي الْجَنَّةِ، لَكِنَّهَا عَلَى مَنَازِلَ فِي نَعِيمِهَا وَدَرَجَاتِهَا حَسَبَ مَا خَصَّ اللهُ بِهِ الْجَمِيعَ مِنَ الْعِلْمِ وَالإِيمَانِ، وَالصَّبْرِ عَلَى حَمْلِ الشَّقَاقِ فِي سَبِيلِ الدَّعْوَةِ إِلَى الْحَقِّ. 

أَمَّا مَا يَظُنُّهُ بَعْضُ الصُّوفِيَّةِ مِنْ عِلْمِهِ بِالْغَيْبِ، وَحُضُورِهِ ﷺ لَدَيْهِمْ فِي أَوْقَاتِ احْتِفَالِهِمْ بِالْمَوْلِدِ وَغَيْرِهِ، فَهُوَ شَيْءٌ بَاطِلٌ لَا أَسَاسَ لَهُ، وَإِنَّمَا قَادَهُمْ إِلَيْهِ جَهْلُهُمْ بِالْقُرْآنِ وَالسُّنَّةِ وَمَا كَانَ عَلَيْهِ السَّلَفُ الصَّالِحُ. 

فَنَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلِجَمِيعِ الْمُسْلِمِينَ الْعَافِيَةَ مِمَّا ابْتُلُوا بِهِ، كَمَا نَسْأَلُهُ سُبْحَانَهُ أَنْ يَهْدِيَنَا وَإِيَّاهُمْ جَمِيعًا صِرَاطَهُ الْمُسْتَقِيمَ، إِنَّهُ سَمِيعٌ مُجِيبٌ".

"Merupakan perkara agama yang seharusnya sudah diketahui dan berdasarkan dalil-dalil syari, bahwa Rasulullah  tidak berada di semua tempat, akan tetapi jasadnya terdapat dalam kuburnya saja di Madinah Munawarah. Adapun ruhnya berada di tempat yang tinggi di surga. Hal tersbut telah ditunjukkan berdasarkan riwayat shahih dari beliau, bahwa menjelang wafatnya beliau berdoa,"Ya Allah semoga aku ditempatkan di tempat yang tertinggi."

Juga para ulama Islam dari kalangan shahabat dan orang sesudah mereka sepakat bahwa beliau dikuburkan di kamar Aisyah radhiallahu anha di sisi Masjid beliau yang mulia, dan jasadnya hingga kini berada di tempat tersebut.

Adapun ruhnya dan ruh para nabi serta kaum muslimin, semuanya di surga, akan tetapi di tempat dan derajat yang berbeda-beda sesuai ilmu dan keimanan yang Allah berikan kepadnya serta kesabaran dalam menanggung penderitaan di jalan dakwah kepada kebenaran.

Adapun apa yang diakui sebagian kalangan tasawuf yang mengatakan bahwa dia mengetahui perkara gaib dan Rasulullah  hadir di hadapan mereka pada saat mereka merayakan peringatan maulid atau sebagainya, hal itu adalah perkara batil yang tidak memiliki landasan. Yang membuat mereka bersikap seperti itu adalah kebodohan mereka terhadap Al-Quran dan Sunnah serta petunjuk salafushaleh.

Semoga Allah memberikan keselamatan kepada kita dan kaum muslimin dari apa yang telah menimpa mereka. Kita juga memohon semoga Allah memberi petunjuk kepada kita dan mereka seluruhnya kepada jalan yang lurus, sungguh Dia Maha Mendengar dan mengabulkan.

[Baca : Majmu Fatawa Ibnu Baz, 3/381-383]

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam *Fathul Bari* berkata:

(وَقَدْ رَوَيْنَاهُ مَوْصُولًا .. عَنْ أَيُّوبَ قَالَ: كَانَ مُحَمَّدٌ - يَعْنِي ابْنُ سِيرِينَ - إِذَا قَصَّ عَلَيْهِ رَجُلٌ أَنَّهُ رَآى النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: صِفْ لِي الَّذِي رَأَيْتَهُ، فَإِنْ وَصَفَهُ لَهُ صِفَةً لَا يَعْرِفُهَا، قَالَ: لَمْ تَرَهُ" وَسَنْدُهُ صَحِيحٌ. 

وَوَجَدتُ لَهُ مَا يُؤَيِّدُهُ فَأَخْرَجَ الْحَاكِمُ مِنْ طَرِيقِ عَاصِمِ بْنِ كُلَيْبٍ حَدَّثَنِي أَبِي قَالَ: قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: رَأَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ فِي الْمَنَامِ قَالَ: صِفْهُ لِي قَالَ: ذَكَرْتُ الْحَسَنَ بْنَ عَلِيٍّ فَشَبَّهْتُهُ بِهِ، قَالَ: قَدْ رَأَيْتَهُ". وَسَنْدُهُ جَيِّدٌ)

"Kami meriwayatkan dengan sanad yang bersambung dari Ayyub, bahwa Muhammad bin Sirin, ketika seseorang menceritakan kepadanya bahwa ia melihat Nabi  dalam mimpi, ia akan berkata: 'Ceritakan kepadaku ciri-ciri orang yang kau lihat.' Jika orang itu menggambarkan ciri-ciri yang tidak dikenali, maka ia berkata, 'Kau tidak melihatnya.'" Dan sanad riwayat ini sahih.

Saya juga menemukan riwayat yang mendukung hal ini. Al-Hakim meriwayatkan melalui jalur Asim bin Kulaib, bahwa ayahnya berkata: "Aku berkata kepada  Ibnu Abbas: 'Aku melihat Nabi  dalam mimpiku.'

Ibnu Abbas berkata: 'Gambarkan kepadaku ciri-cirinya.' Lalu aku menyebutkan Hasan bin Ali dan menyerupakannya dengannya. Ibnu Abbas berkata: 'Benar, kamu telah melihatnya.'" Dan sanad riwayat ini baik. (Selesai)

Dan siapa saja yang melihat Nabi  dalam bentuknya yang dikenal, dan mengklaim bahwa Nabi  memberinya amalan tertentu atau memerintahkannya dengan suatu perintah atau melarangnya dari sesuatu, maka hal ini perlu diperhatikan: Jika apa yang diperintahkan atau dilarang tersebut sesuai dengan syariat yang telah ditetapkan oleh al-Qur'an atau Sunnah, maka mengikuti perintah tersebut adalah mengikuti syariat dan apa yang telah ditetapkan. Mimpi tersebut bisa menjadi penghibur bagi orang yang melihatnya, serta menjadi kabar gembira dan dorongan untuk melakukan kebaikan yang sesuai dengan syariat.

Namun, jika apa yang diperintahkan atau dilarang tersebut tidak sesuai dengan syariat, maka hal itu tidak bisa dijadikan hujah atau menetapkan hukum syar'i, maupun sebagai ritual ibadah. Syariat yang telah ditetapkan Allah melalui lisan Nabi  sudah lengkap, dan agama sudah sempurna. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa melihat Rasulullah  dalam mimpi setelah kematiannya dan menerima perintah atau larangan dari beliau akan menjadi bukti atau hujah. Allah telah mengangkat beliau setelah menyempurnakan syariat untuk umat ini, memerintahkan mereka untuk berpegang teguh pada syariat tersebut, tidak mengikuti selainnya, dan melarang mereka dari melakukan hal-hal baru dan bid'ah.

Adapun mengenai salat yang sempurna, maksud dari pertanyaan tersebut belum jelas bagi kami. Jika bisa dijelaskan lebih lanjut, maka kami akan berusaha menjawabnya.

Wallahua'lam.

====*****====

ORANG YANG TELAH MATI TIDAK AKAN KEMBALI LAGI KE DUNIA :

Manusia, ketika meninggal, akan keluar dari kehidupan dunia ini dan berpindah ke alam lain. Ruhnya tidak kembali kepada keluarganya, dan mereka tidak merasakan atau mengetahui apa pun tentangnya. Apa yang disebutkan mengenai kembalinya ruh selama empat puluh hari adalah mitos yang tidak memiliki dasar. Orang yang meninggal juga tidak mengetahui apa pun tentang keadaan keluarganya, karena ia telah terpisah dari mereka, berada dalam nikmat atau azab. Namun, Allah mungkin memperlihatkan kepada beberapa orang yang meninggal sebagian dari keadaan keluarganya, tetapi hal ini tidak dapat dipastikan secara yakin.

Ada riwayat-riwayat yang tidak bisa dijadikan sandaran bahwa orang-orang yang telah meninggal mungkin mengetahui sebagian hal tentang keadaan keluarganya. Sedangkan mimpi atau penglihatan, ada yang benar dan ada pula yang merupakan permainan setan. Melalui mimpi yang benar, orang yang hidup mungkin mengetahui sebagian hal tentang keadaan orang yang meninggal, namun hal ini tergantung pada kejujuran orang yang bermimpi, kejujuran mimpinya, serta kemampuan penafsir mimpi tersebut. Namun, tidak boleh memastikan kebenaran isinya kecuali jika ada bukti yang mendukungnya.

Seseorang mungkin melihat kerabatnya yang telah meninggal dalam mimpinya, yang kemudian memberikan nasihat atau menyebutkan hal-hal yang bisa diuji kebenarannya jika sesuai dengan kenyataan. Ada beberapa kejadian terkait hal ini; ada yang sesuai dengan kenyataan, ada yang kebenarannya tidak diketahui, dan ada yang jelas-jelas salah. Maka, ada tiga kategori, dan hal ini harus diperhatikan ketika berinteraksi dengan berita, riwayat, dan kisah-kisah yang berkaitan dengan keadaan orang yang telah meninggal.

MEREKA DI ALAM BARZAKH :

Al-Barzakh adalah istilah untuk alam yang berada di antara dunia dan akhirat, yaitu sejak waktu kematian hingga kebangkitan. Allah Ta'ala berfirman:

﴿.. وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ﴾

*"Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan"* (QS. Al-Mu’minun: 100).

Teks-teks Al-Qur'an dan Hadis menetapkan adanya kehidupan di alam barzakh. Kehidupan ini berbeda dengan kehidupan yang kita kenal di dunia. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menciptakan tiga alam:

[1] - Alam dunia.

[2] - Alam barzakh.

[3] -Alam akhirat (tempat yang kekal).

Setiap alam memiliki aturan dan hukum yang khusus untuknya. Allah menciptakan manusia dari tubuh dan jiwa, dan menetapkan bahwa hukum di alam dunia berlaku untuk tubuh, sementara jiwa mengikutinya.

Di alam barzakh, hukum berlaku untuk jiwa, sementara tubuh mengikuti jiwa. Pada hari kebangkitan, ketika tubuh dikumpulkan kembali dari kuburnya, maka hukum, nikmat, dan azab akan berlaku secara nyata dan abadi baik untuk jiwa maupun tubuh.

Perlu diketahui bahwa istilah "azab kubur" dan "nikmat kubur" adalah istilah yang merujuk pada azab dan nikmat di alam barzakh, yang merupakan alam di antara dunia dan akhirat. Allah Ta'ala berfirman:

﴿حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ ٱلْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ٱرْجِعُونِ * لَعَلِّيٓ أَعْمَلُ صَـٰلِحًۭا فِيمَا تَرَكْتُ كَلَّآ ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَآئِلُهَا ۖ وَمِن وَرَآئِهِم بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ﴾

*"Hingga apabila datang kematian kepada salah seorang dari mereka, dia berkata: ‘Ya Tuhanku, kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal saleh terhadap yang telah aku tinggalkan.’

Sekali-kali tidak (akan bisa)! Sesungguhnya itu hanyalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh sampai hari mereka dibangkitkan”* (QS. Al-Mu’minun: 99-100).

*****

** TINGKATAN TEMPAT KEDIAMAN RUH MANUSIA DI ALAM BARZAKH **

Ruh manusia di alam barzakh berbeda-beda tempat tinggalnya. Berdasarkan kajian terhadap teks-teks yang ada, berikut pembagiannya:

=====

** RUH PARA NABI:**

Ruh mereka berada di tempat terbaik, yaitu di tingkatan tertinggi di ‘Illiyyin, bersama *Al-Rafiq Al-A‘la* (teman yang paling tinggi). Aisyah radhiyallahu ‘anha mendengar Rasulullah  pada saat-saat terakhir hidupnya berdoa:

«اللَّهُمَّ ٱلرَّفِيقَ ٱلْأَعْلَى»

"Ya Allah, *Al-Rafiq Al-A‘la*."

=====

** RUH PARA SYUHADA:**

Allah Ta'ala berfirman:

﴿وَلَا تَحْسَبَنَّ ٱلَّذِينَ قُتِلُوا۟ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ أَمْوَٰتًۭا بَلْ أَحْيَآءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ﴾

*"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki"* (QS. Ali Imran: 169).

Ruh-ruh mereka berada dalam perut burung-burung hijau, yang memiliki lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Mereka berkeliaran di surga sekehendak mereka, kemudian kembali ke lentera-lentera tersebut.

Dari Abdullah bin Abbas, bahwa Rasululullah  bersabda :

 لمَّا أصيبَ إخوانُكُم بأحَدٍ جعلَ اللَّهُ أرواحَهُم في جوفِ طيرٍ خُضرٍ، تردُ أنهارَ الجنَّةِ، تأكلُ من ثمارِها، وتأوي إلى قَناديلَ من ذَهَبٍ معلَّقةٍ في ظلِّ العَرشِ، فلمَّا وجدوا طيبَ مأكلِهِم، ومشربِهِم، ومقيلِهِم، قالوا: من يبلِّغُ إخوانَنا عنَّا، أنَّا أحياءٌ في الجنَّةِ نُرزقُ لئلَّا يزهَدوا في الجِهادِ، ولا ينكُلوا عندَ الحربِ، فقالَ اللَّهُ سبحانَهُ: أَنا أبلِّغُهُم عنكُم، قالَ: فأنزلَ اللَّهُ: وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ إلى آخرِ الآيةِ

Ketika saudara-saudara kalian gugur dalam Perang Uhud, Allah menempatkan ruh-ruh mereka dalam perut burung-burung hijau yang berkelana di sungai-sungai surga, memakan buah-buahannya, dan beristirahat di lentera-lentera dari emas yang tergantung di bawah naungan Arsy.

Ketika mereka merasakan kelezatan makanan, minuman, dan tempat istirahat mereka, mereka berkata: "Siapakah yang akan menyampaikan kabar kepada saudara-saudara kami bahwa kami hidup di surga dan diberi rezeki, agar mereka tidak berpaling dari jihad dan tidak mundur dalam peperangan?"

Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman: "Aku yang akan menyampaikan kabar ini kepada mereka." Lalu Allah menurunkan firman-Nya: *"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati"* hingga akhir ayat.

[HR. Abu Dawud (2520) dengan redaksi ini, dan oleh Ahmad (2388). Di hasankan oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud]

Dalam riwayat Muslim dari Abdullah bin Mas’ud :

أن مسروق بن الأجدع قال: سَأَلْنَا عَبْدَ اللهِ عن هذِه الآيَةِ: {وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ} [آل عمران: 169]، قالَ: أَمَا إنَّا قدْ سَأَلْنَا عن ذلكَ، فَقالَ: أَرْوَاحُهُمْ في جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ، لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بالعَرْشِ، تَسْرَحُ مِنَ الجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ، ثُمَّ تَأْوِي إلى تِلكَ القَنَادِيلِ، فَاطَّلَعَ إليهِم رَبُّهُمُ اطِّلَاعَةً، فَقالَ: هلْ تَشْتَهُونَ شيئًا؟ قالوا: أَيَّ شَيءٍ نَشْتَهِي وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنَ الجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا؟ فَفَعَلَ ذلكَ بهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، فَلَمَّا رَأَوْا أنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِن أَنْ يُسْأَلُوا، قالوا: يا رَبِّ، نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا في أَجْسَادِنَا حتَّى نُقْتَلَ في سَبيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى، فَلَمَّا رَأَى أَنْ ليسَ لهمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا.

Masruq bin Al-Ajda' berkata: Kami pernah bertanya kepada Abdullah (bin Mas'ud) tentang ayat ini: *"Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; sebenarnya mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka dengan mendapat rezeki"* (QS. Ali Imran: 169).

Dia menjawab: "Kami pernah bertanya tentang hal itu, dan beliau (Nabi) berkata:

'Ruh-ruh mereka berada dalam perut burung-burung hijau yang memiliki lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Mereka berkeliaran di surga ke mana pun mereka mau, kemudian kembali ke lentera-lentera tersebut.'

Lalu Tuhan mereka memandang mereka dengan penuh kasih sayang dan bertanya: 'Apakah kalian menginginkan sesuatu?'

Mereka menjawab: 'Apa lagi yang bisa kami inginkan, sedangkan kami sudah berkeliaran di surga ke mana pun kami mau?' Hal itu diulang tiga kali.

Ketika mereka menyadari bahwa mereka tidak akan berhenti ditanya, mereka berkata: 'Ya Tuhan, kami ingin agar Engkau mengembalikan ruh kami ke jasad kami sehingga kami bisa terbunuh di jalan-Mu sekali lagi.'

Ketika Tuhan mereka melihat bahwa mereka tidak membutuhkan hal lain, mereka dibiarkan." [HR. Muslim no. 1887].

====

** RUH ORANG-ORANG BERIMAN YANG SALEH:**

Ruh mereka akan menjadi burung yang bertengger di pepohonan surga. Rasulullah  bersabda:

إِنَّمَا نَسَمَةُ المُؤْمِنِ طَائِرٌ تَعَلَّقَ فِي شَجَرِ الجَنَّةِ، حَتَّى يُرْجِعَهُ اللهُ تَعَالَى إِلَى جَسَدِهِ يَوْمَ يَبْعَثُهُ

* "Sesungguhnya ruh seorang mukmin itu menjadi burung yang bertengger di pepohonan surga, hingga Allah Ta'ala mengembalikannya ke jasadnya pada hari ketika Dia membangkitkannya."* [HR. Ibnu Majah no. 3465. Di shahihkan oleh as-Suyuthi dalam Syarah ash-Shudur no. 306 dan al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah]

Perbedaan antara ruh orang-orang beriman dengan ruh para syuhada adalah bahwa para syuhada berada dalam perut burung-burung hijau yang berkeliaran di taman-taman surga dan kembali ke lentera-lentera yang tergantung di Arsy. Sementara ruh orang-orang beriman berada dalam perut burung yang bertengger di pepohonan surga dan tidak berkeliaran di seluruh sudut surga.

=====

** RUH AHLI MAKSIAT [DURHAKA]:**

Ada banyak nash yang menjelaskan siksaan yang akan dialami oleh orang-orang yang durhaka. Di antaranya adalah :

[*] - Orang yang berbohong sehingga kebohongannya menyebar ke segala penjuru, ia disiksa dengan kaitan besi yang dimasukkan ke sudut mulutnya hingga menembus tengkuknya.

[*] - Orang yang tidur hingga meninggalkan shalat wajib, kepalanya dihancurkan dengan batu besar.

[*] - Para pezina disiksa dalam lubang seperti tanur (tempat pembakaran), yang bagian atasnya sempit dan bagian bawahnya luas, dengan api yang menyala di bawahnya.

[*]- Sedangkan riba (pelaku riba) berenang di lautan darah, sementara di tepiannya ada seseorang yang melemparkan batu ke mulutnya.

[*]- siksa bagi orang yang tidak menjaga dirinya dari percikan air kencing, orang yang suka mengadu domba di antara manusia, serta orang yang mengambil harta rampasan secara curang, dan sebagainya.

====

** RUH ORANG KAFIR:**

Dalam sebuah hadis, setelah Rasulullah  menjelaskan keadaan seorang mukmin hingga ia mencapai tempat tinggalnya di surga, beliau juga menyebutkan keadaan seorang kafir dan apa yang dialaminya saat dicabut nyawanya. Ketika ruhnya dicabut, ia keluar dengan bau paling busuk, hingga para malaikat membawanya ke pintu bumi. Mereka berkata: *"Betapa busuknya bau ini!"* hingga ruhnya sampai di kumpulan ruh orang-orang kafir.

Dari Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Nabi  bersabda :

إِنَّ الْمُؤْمِنَ إِذَا احْتُضِرَ أَتَتْهُ مَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ بِحَرِيرَةٍ بَيْضَاءَ فَيَقُولُونَ: اخْرُجِي رَاضِيَةً مَرْضِيًّا عَنْكِ إِلَى رَوْحٍ وَرَيْحَانٍ وَرَبٍّ غَيْرِ غَضْبَانٍ فَتَخْرُجُ كَأَطْيَبِ رِيحِ مِسْكٍ حَتَّى إِنَّهُمْ لَيُنَاوِلُهُ بَعْضُهُمْ بَعْضًا يَشُمُّونَهُ حَتَّى يَأْتُوا بِهِ بَابَ السَّمَاءِ فَيَقُولُونَ: مَا أَطْيَبَ هَذِهِ الرِّيحَ الَّتِي جَاءَتْكُمْ مِنَ الْأَرْضِ، وَكُلَّمَا أَتَوْا سَمَاءً قَالُوا ذَٰلِكَ، حَتَّى يَأْتُوا بِهِ أَرْوَاحَ الْمُؤْمِنِينَ فَلَهُمْ أَفْرَحُ بِهِ مِنْ أَحَدِكُمْ بِغَائِبِهِ إِذَا قَدِمَ عَلَيْهِ، فَيَسْأَلُونَهُ: مَا فَعَلَ فُلَانٌ؟ قَالَ: فَيَقُولُونَ: دَعُوهُ حَتَّى يَسْتَرِيحَ فَإِنَّهُ كَانَ فِي غَمِّ الدُّنْيَا، فَإِذَا قَالَ لَهُمْ: مَا أَتَاكُمْ فَإِنَّهُ قَدْ مَاتَ، يَقُولُونَ: ذُهْبَ بِهِ إِلَى أُمِّهِ الْهَاوِيَةِ، وَأَمَّا الْكَافِرُ فَإِنَّ مَلَائِكَةَ الْعَذَابِ تَأْتِيهِ فَتَقُولُ: اخْرُجِي سَاخِطَةً مَسْخُوطًا عَلَيْكِ إِلَى عَذَابِ اللَّهِ وَسَخَطِهِ فَتَخْرُجُ كَأَنْتَنِ رِيحِ جِيفَةٍ، فَيَنْطَلِقُونَ بِهِ إِلَى بَابِ الْأَرْضِ فَيَقُولُونَ: مَا أَنْتَنَ هَذِهِ الرِّيحَ، كُلَّمَا أَتَوْا عَلَى أَرْضٍ قَالُوا ذَٰلِكَ حَتَّى يَأْتُوا بِهِ أَرْوَاحَ الْكُفَّارِ

Sesungguhnya, ketika seorang mukmin sedang menghadapi sakaratul maut, datanglah malaikat-malaikat rahmat dengan membawa kain sutra putih. Mereka berkata: "Keluarilah dengan penuh keridaan dan diridhai oleh Allah, menuju rahmat dan kenikmatan dari Tuhan yang tidak murka." Maka ruhnya pun keluar seperti bau yang paling harum, hingga mereka saling menyerahkan dan mencium ruh tersebut sampai mereka membawanya ke pintu langit. Mereka berkata: "Betapa wangi ruh ini yang datang dari bumi!" Setiap kali mereka sampai di satu langit, mereka mengucapkan hal yang sama, hingga mereka membawanya kepada arwah-arwah para mukmin. Mereka merasakan kebahagiaan yang lebih besar terhadap ruh ini daripada salah satu di antara mereka yang menantikan kedatangan orang yang jauh. Mereka bertanya: "Apa kabar si fulan?" Lalu mereka menjawab: "Biarkan dia beristirahat, karena dia telah mengalami kesedihan di dunia." Jika mereka diberitahu bahwa si fulan telah wafat, mereka berkata: "Dia telah dibawa kepada ibunya yang berada di neraka."

Adapun orang kafir, malaikat-malaikat azab datang kepadanya dan berkata: "Keluarilah dengan penuh kemurkaan, dalam keadaan Allah murka padamu, menuju azab dan kemarahan-Nya." Maka ruhnya pun keluar seperti bau busuk yang paling tidak sedap, dan mereka membawanya ke pintu bumi. Mereka berkata: "Betapa busuknya bau ini!" Setiap kali mereka melewati suatu bumi, mereka mengucapkan hal yang sama, hingga mereka membawanya kepada arwah-arwah orang-orang kafir.

["Diriwayatkan oleh Al-Hakim (1302) dan lafazhnya darinya, serta An-Nasa'i (1833) dengan perbedaan yang sedikit. Asalnya terdapat dalam Shahih Muslim (2872)."

Dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ al-Fatawa 5/449 dan al-Albaani dalam Hidayatur Ruwaah no. 1572]

**Dari Al-Barra' bin 'Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :**

خَرَجْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ فِي جَنَازَةِ رَجُلٍ مِّنَ الْأَنْصَارِ فَانْتَهَيْنَا إِلَى الْقَبْرِ وَلَمَّا يُلْحَدْ، فَجَلَسَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَجَلَسْنَا حَوْلَهُ وَكَأَنَّ عَلَى رُؤُوسِنَا الطَّيْرَ وَفِي يَدِهِ عُودٌ يُنَكِّثُ بِهِ فِي الْأَرْضِ فَجَعَلَ يَنظُرُ إِلَى السَّمَاءِ وَيَنظُرُ إِلَى الْأَرْضِ وَجَعَلَ يَرْفَعُ بَصَرَهُ وَيَخْفِضُهُ فَقَالَ: استَعِيذُوا مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ مَرَّتَيْنِ أَوْ ثَلاثًا ثُمَّ قَالَ: اللّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ ثَلاثَ مَرَّاتٍ

ثُمَّ قَالَ: إِنَّ الْعَبْدَ الْمُؤْمِنَ إِذَا كَانَ فِي انْقِطَاعٍ مِنَ الدُّنْيَا وَإِقْبَالٍ مِنَ الْآخِرَةِ نَزَلَ إِلَيْهِ مَلَائِكَةٌ مِّنَ السَّمَاءِ بِيضُ الْوُجُوهِ كَأَنَّ وُجُوهَهُمْ الشَّمْسُ مَعَهُمْ كَفَنٌ مِّنْ أَكْفَانِ الْجَنَّةِ وَحُنُوطٌ مِّنْ حُنُوطِ الْجَنَّةِ حَتَّى يَجْلِسُوا مِنْهُ مَدَّ الْبَصَرِ ثُمَّ يَجِيءُ مَلَكُ الْمَوْتِ علَيْهِ السَّلام حَتَّى يَجْلِسَ عِندَ رَأْسِهِ فَيَقُولُ: أَيَّتُهَا النَّفْسُ الطَّيِّبَةُ وَفِي رِوَايَةٍ: الْمُطْمَئِنَّةُ، اُخْرُجِي إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانٍ فَتَخْرُجُ تَسِيلُ كَمَا تَسِيلُ الْقَطْرَةُ مِنْ فِي السِّقَاءِ فَيَأْخُذُهَا حَتَّى إِذَا خَرَجَتْ رُوحُهُ صَلَّى عَلَيْهِ كُلُّ مَلَكٍ بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَكُلُّ مَلَكٍ فِي السَّمَاءِ وَفُتِحَتْ لَهُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ بَابٍ إِلَّا وَهُمْ يَدْعُونَ اللَّهَ أَنْ يُعْرَجَ بِرُوحِهِ مِنْ قِبَلِهِمْ، فَإِذَا أَخَذَهَا لَمْ يَدْعُهَا فِي يَدِهِ طَرْفَةَ عَيْنٍ حَتَّى يَأْخُذُوهَا فَيَجْعَلُوهَا فِي ذَٰلِكَ الْكَفَنِ وَفِي ذَٰلِكَ الْحُنُوطِ فَذَٰلِكَ قَوْلُ اللَّهِ تَعَالَىٰ: تَوَفَّتْهُ رُسُلُنَا وَهُمْ لَا يُفَرِّطُونَ [الأنعام: 61]، وَيَخْرُجُ مِنْهَا كَأَطْيَبِ نَفْحَةِ مِسْكٍ وُجِدَتْ عَلَى وَجْهِ الْأَرْضِ، قَالَ: فَيَصْعَدُونَ بِهَا فَلَا يَمُرُّونَ - يَعْنِي بِهَا - عَلَى مَلَأٍ مِّنَ الْمَلَائِكَةِ - إِلَّا قَالُوا: مَا هَذَا الرُّوحُ الطَّيِّبُ؟ فَيَقُولُونَ: فُلاَنٌ ابْنُ فُلاَنٍ بِأَحْسَنِ أَسْمَائِهِ الَّتِي كَانُوا يُسَمُّونَهُ بِهَا فِي الدُّنْيَا حَتَّى يَنْتَهُوا بِهَا إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا فَتُفْتَحُ لَهُ فَيُفْتَحُ لَهُمْ فَيُشَيِّعُهُ مِنْ كُلِّ سَمَاءٍ مُقَرَّبُوهَا إِلَى السَّمَاءِ الَّتِي تَلِيهَا حَتَّى يَنْتَهِيَ بِهَا إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ فَيَقُولُ اللَّهُ : أَكْتُبُوا كِتَابَ عَبْدِي فِي عَلِيِّينَ إِنَّ كِتَابَ الْأَبْرَارِ لَفِي عَلِيِّينَ ۝ وَمَا أَدْرَاكَ مَا عَلِيُّونَ ۝ كِتَابٌ مَّرْقُومٌ [المطففين: 18 - 20]، ثُمَّ يُقَالُ: أَعِيدُوهُ إِلَى الْأَرْضِ فَإِنِّي وَعَدْتُهُمْ أَنِّي مِنْهَا خَلَقْنَاكُمْ وَفِيهَا نُعِيدُكُمْ وَمِنْهَا نُخْرِجُكُمْ تَارَةً أُخْرَى [طه: 55]، قَالَ: فَيُرَدُّ إِلَى الْأَرْضِ وَتُعَادُ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ قَالَ: فَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ خَفَقَ نِعَالِ أَصْحَابِهِ إِذَا وَلَّوْا عَنْهُ مُدْبِرِينَ فَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ شَدِيدَا الانْتِهَارِ فَيَنْتَهِرَانِهِ وَيَجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟ رَبِّيَ اللَّهُ. 

فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا دِينُكَ؟ فَيَقُولُ: دِينِيَ الْإِسْلَامُ. 

فَيَقُولَانِ لَهُ: مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ؟ 

فَيَقُولُ: هُوَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَيَقُولَانِ لَهُ: وَمَا عِلْمُكَ؟ 

فَيَقُولُ: قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ. 

وَفِي رِوَايَةٍ: فَيُنْتَهِرُهُ - يَعْنِي الْمَلَكَ - مَنْ رَبُّكَ؟ مَا دِينُكَ؟ مَنْ نَبِيُّكَ؟ وَهِيَ آخِرُ فِتْنَةٍ تُعْرَضُ عَلَى الْمُؤْمِنِ وَذَٰلِكَ حِينَ يَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ : يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخ

Kami keluar bersama Nabi  untuk mengantarkan jenazah seorang laki-laki dari kaum Anshar. Kami tiba di kuburan sebelum liang lahad selesai digali. Lalu Rasulullah  duduk menghadap kiblat, dan kami duduk di sekelilingnya seolah-olah ada burung di atas kepala kami (karena kami duduk tenang dan khusyuk). Di tangan beliau ada sebuah tongkat kecil yang beliau gunakan untuk mengetuk-ngetuk tanah. Kemudian beliau mulai melihat ke langit, lalu melihat ke bumi, sambil mengangkat dan menurunkan pandangannya.

Kemudian beliau bersabda :

'Mintalah perlindungan kepada Allah dari azab kubur,' sebanyak dua atau tiga kali. Kemudian beliau berdoa, 'Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur,' sebanyak tiga kali.

Kemudian beliau bersabda :

'Sesungguhnya hamba yang beriman, ketika berada di saat perpisahan dari dunia dan mendekati akhirat, akan turun kepadanya malaikat dari langit yang wajah mereka putih, seolah-olah wajah mereka adalah matahari, membawa kain kafan dari kain-kain surga, dan minyak wangi dari wangi-wangian surga. Mereka duduk di dekatnya sejauh mata memandang. Lalu Malaikat Maut datang dan duduk di dekat kepalanya, seraya berkata, "Wahai jiwa yang baik," dan dalam riwayat lain, "Wahai jiwa yang tenang, keluarlah menuju ampunan dan keridhaan dari Allah." Maka ruhnya keluar dengan lembut, seperti tetesan air dari mulut kantong air. Kemudian malaikat itu mengambilnya, dan ketika ruhnya keluar, setiap malaikat di antara langit dan bumi, serta setiap malaikat di langit, bershalawat (mendoakannya). Pintu-pintu langit dibuka, dan tidak ada satu pun malaikat penjaga pintu kecuali mereka berdoa kepada Allah agar ruh itu diangkat melewati mereka.

Ketika malaikat mengambil ruh itu, mereka tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun hingga mereka meletakkannya di kain kafan dan minyak wangi surga tersebut. Maka itulah firman Allah Ta'ala:

*"Malaikat-malaikat Kami mewafatkannya, dan mereka tidak menyia-nyiakan tugas mereka."* (QS. Al-An'am: 61).

Keluar dari ruh itu bau harum seperti wangi minyak kesturi paling harum yang pernah ditemukan di bumi. Mereka membawa ruh itu naik, dan tidak melewati sekumpulan malaikat, kecuali mereka berkata, "Ruh siapakah yang harum ini?" Mereka menjawab, "Ini adalah ruh Fulan bin Fulan," dengan menyebut namanya yang terbaik yang biasa disebutkan di dunia, hingga mereka tiba di langit dunia. Mereka meminta agar pintu langit dibuka untuknya, dan pintu langit dibuka untuknya. Ruh itu diantarkan oleh malaikat yang dekat dengan setiap langit, sampai tiba di langit ketujuh.

Allah SWT berfirman, "Tulislah kitab hamba-Ku di 'Illiyyin," yaitu firman Allah Ta'ala:

*"Sesungguhnya kitab orang-orang yang berbakti (al-abrar) benar-benar (tersimpan) di 'Illiyyin."* (QS. Al-Muthaffifin: 18-20).

Kemudian dikatakan, "Kembalikanlah dia ke bumi, karena Aku telah menjanjikan kepada mereka bahwa dari tanah itulah Kami menciptakan mereka, dan ke dalamnya Kami akan mengembalikan mereka, serta dari dalamnya Kami akan membangkitkan mereka sekali lagi" (QS. Thaha: 55). Maka ruh itu dikembalikan ke bumi, dan ruhnya dikembalikan ke dalam jasadnya.

Ia mendengar derap langkah kaki para sahabatnya ketika mereka meninggalkannya. Kemudian datanglah dua malaikat yang keras, mereka membentaknya dan mendudukkannya, lalu bertanya kepadanya :

"Siapakah Tuhanmu?" Ia menjawab, "Tuhanku adalah Allah."

Mereka bertanya lagi, "Apa agamamu?" Ia menjawab, "Agamaku adalah Islam."

Mereka bertanya lagi, "Siapakah orang yang diutus kepada kalian?" Ia menjawab, "Dia adalah Rasulullah ."

Lalu mereka bertanya lagi, "Apa ilmumu?" Ia menjawab, "Aku membaca Kitab Allah, lalu aku beriman kepadanya dan membenarkannya."

Dalam riwayat lain, malaikat itu membentaknya, "Siapakah Tuhanmu? Apa agamamu? Siapa nabimu?"

Dan itulah fitnah terakhir yang dihadapkan kepada seorang mukmin. Ketika itu Allah Ta'ala berfirman: *"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh di kehidupan dunia dan di akhirat."* (QS. Ibrahim: 27).

Ia menjawab, "Tuhanku adalah Allah, agamaku adalah Islam, dan nabiku adalah Muhammad ." Maka terdengarlah seruan dari langit, "Hamba-Ku telah berkata benar, maka hamparkanlah baginya dari surga, pakaikanlah baginya dari surga, dan bukakanlah untuknya pintu menuju surga."

Maka datanglah padanya aroma dan keharuman dari surga, serta diluaskan baginya kubur sejauh mata memandang. Lalu datanglah seorang pria dengan wajah tampan, pakaian yang indah, dan aroma yang wangi, seraya berkata, "Berbahagialah dengan kabar yang akan menyenangkanmu, bergembiralah dengan keridhaan dari Allah dan surga yang penuh kenikmatan abadi. Inilah harimu yang telah dijanjikan kepadamu."

Orang itu bertanya, "Siapakah kamu? Semoga Allah memberimu kabar baik. Wajahmu adalah wajah yang membawa kebaikan." Pria itu menjawab, "Aku adalah amal shalehmu. Demi Allah, aku tidak mengenalmu kecuali engkau adalah orang yang cepat dalam ketaatan kepada Allah dan lambat dalam kemaksiatan kepada Allah. Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan."

Lalu dibukakan baginya pintu dari surga dan pintu dari neraka. Dikatakan kepadanya, "Ini adalah tempat tinggalmu jika kamu durhaka kepada Allah, maka Allah akan menggantikanmu dengan yang ini (tempat tinggal di surga)." Ketika ia melihat apa yang ada di surga, ia berkata, "Ya Tuhanku, segerakanlah datangnya hari kiamat, ya Tuhanku, segerakanlah datangnya hari kiamat, agar aku dapat kembali kepada keluargaku dan hartaku." Dikatakan kepadanya, "Tinggallah dengan tenang."

Sedangkan hamba yang kafir, atau dalam riwayat lain, yang fajir (durhaka), ketika ia berada di saat perpisahan dari dunia dan mendekati akhirat, turun kepadanya malaikat dari langit yang kasar, keras, dan berwajah hitam, membawa pakaian dari neraka. Mereka duduk di dekatnya sejauh mata memandang.

Lalu Malaikat Maut datang dan duduk di dekat kepalanya, seraya berkata, "Wahai jiwa yang buruk, keluarlah menuju kemurkaan Allah dan kemarahan-Nya." Maka ruhnya bercerai-berai dalam jasadnya, dan Malaikat Maut mencabutnya seperti mencabut besi berduri dari bulu domba yang basah, sehingga urat dan sarafnya terputus. Setiap malaikat di antara langit dan bumi, serta setiap malaikat di langit, melaknatnya, dan pintu-pintu langit ditutup. Tidak ada satu pun malaikat penjaga pintu kecuali mereka berdoa kepada Allah agar ruh itu tidak diangkat melewati mereka.

Ketika malaikat mengambil ruh itu, mereka tidak membiarkannya di tangannya sekejap mata pun hingga mereka meletakkannya di pakaian dari neraka tersebut. Keluar dari ruh itu bau busuk seperti bangkai yang paling busuk yang pernah ditemukan di muka bumi.

Mereka membawa ruh itu naik, dan tidak melewati sekumpulan malaikat, kecuali mereka berkata, "Ruh siapakah yang busuk ini?" Mereka menjawab, "Ini adalah ruh Fulan bin Fulan," dengan menyebut namanya yang terburuk yang biasa disebutkan di dunia, hingga mereka tiba di langit dunia. Mereka meminta agar pintu langit dibuka untuknya, namun pintu itu tidak dibuka.

Kemudian Rasulullah  membaca firman Allah: *"Tidak dibukakan untuk mereka pintu-pintu langit, dan mereka tidak akan masuk surga hingga unta masuk ke dalam lubang jarum."* (QS. Al-A'raf: 40). Maka Allah SWT berfirman, "Tulislah kitabnya di Sijjin di bumi yang paling bawah."

-----

Dalam riwayat lain disebutkan:

ثُمَّ يُقَالُ أَعِيدُوا عَبْدِي إِلَى الْأَرْضِ فَإِنِّي وَعَدْتُهُمْ أَنِّي مِنْهَا خَلَقْتُهُمْ وَفِيهَا أُعِيدُهُمْ وَمِنْهَا أُخْرِجُهُمْ تَارَةً أُخْرَىٰ فَتُطْرَحُ رُوحُهُ مِنَ السَّمَاءِ طَرْحًا حَتَّى تَقَعَ فِي جَسَدِهِ ثُمَّ قَرَأَ: وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ [الحج: 31]، فَتُعَادُ رُوحُهُ فِي جَسَدِهِ، قَالَ: فَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ خَفَقَ نِعَالِ أَصْحَابِهِ إِذَا وَلَّوْا عَنْهُ وَيَأْتِيهِ مَلَكَانِ شَدِيدَا الانْتِهَارِ فَيَنْتَهِرَانِهِ وَيَجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ؟ فَيَقُولُ: هَا هَا لَا أَدْرِي، فَيَقُولَانِ: مَا دِينُكَ؟ فَيَقُولُ: هَا هَا لَا أَدْرِي، فَيَقُولَانِ: مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ؟ فَلَا يَهْتَدِي لِاسْمِهِ فَيُقَالُ مُحَمَّدٌ فَيَقُولُ: هَا هَا لَا أَدْرِي، سَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ ذَٰلِكَ فَيُقَالُ لَهُ: لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَوْتَ فَيُنَادِي مُنَادٍ مِّنَ السَّمَاءِ أَنْ كَذَّبَ عَبْدِي، أَنْ كَذَّبَ فَافْرِشُوا لَهُ مِنَ النَّارِ وَافْتَحُوا لَهُ بَابًا إِلَى النَّارِ فَيَأْتِيهِ مِنْ حَرِّهَا وَسَمُومِهَا وَيَضِيقُ عَلَيْهِ قَبْرُهُ حَتَّى تَخْتَلِفَ فِيهِ أَضْلُعُهُ وَيَأْتِيهِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَيُمَثَّلُ لَهُ رَجُلٌ قَبِيحُ الْوَجْهِ قَبِيحُ الثِّيَابِ مُنْتِنُ الرِّيحِ فَيَقُولُ: أَبْشِرْ بِالَّذِي يُسُوِّئُكَ هَذَا يَوْمُكَ الَّذِي كُنتَ تُوعَدُ فَيَقُولُ: وَأَنْتَ بَشَّرَكَ اللَّهُ بِالشَّرِّ مَنْ أَنْتَ؟ فَوَجْهُكَ وَجْهُ الَّذِي يَجِيءُ بِالشَّرِّ فَيَقُولُ: أَنَا عَمَلُكَ الْخَبِيثُ فَوَ اللَّهِ مَا عَلِمْتُكَ إِلَّا كُنتَ بَطِيئًا عَنْ طَاعَةِ اللَّهِ سَرِيعًا إِلَى مَعْصِيَةِ اللَّهِ فَجَزَاكَ اللَّهُ شَرًّا ثُمَّ يُقَيَّضُ لَهُ أَعْمَى أَصَمَّ مَعَهُ ثُمَّ يُقَيَّضُ أَعْمَى أَصَمُّ أَبْكَمُ مَعَهُ مَرْزَبَّةً مِّنْ حَدِيدٍ لَوْ ضُرِبَ بِهَا جَبَلٌ لَصَارَ تُرَابًا قَالَ: فَيَضْرِبُهُ بِهَا ضَرْبَةً فَيَصِيرُ تُرَابًا ثُمَّ يُعِيدُهُ اللَّهُ كَمَا كَانَ فَيَضْرِبُهُ ضَرْبَةً أُخْرَى فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا كُلُّ شَيْءٍ إِلَّا الثَّقَلَيْنِ ثُمَّ يُفْتَحُ لَهُ بَابٌ مِّنَ النَّارِ وَيُمَهَّدُ لَهُ مِنْ فِرَاشِ النَّارِ فَيَقُولُ: رَبِّي لَا تَقُمْ السَّاعَةَ.

Kemudian dikatakan, "Kembalikanlah hamba-Ku ke bumi, karena Aku telah menjanjikan kepada mereka bahwa dari tanah itulah Aku menciptakan mereka, ke dalamnya Aku akan mengembalikan mereka, dan dari dalamnya Aku akan membangkitkan mereka sekali lagi."

Maka ruhnya dilemparkan dari langit dengan keras hingga jatuh ke dalam jasadnya. Kemudian Rasulullah  membaca firman Allah: *"Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka seakan-akan dia jatuh dari langit, lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang sangat jauh."* (QS. Al-Hajj: 31).

Lalu ruhnya dikembalikan ke dalam jasadnya. Dia mendengar suara langkah kaki para sahabatnya ketika mereka meninggalkannya. Kemudian datanglah dua malaikat yang keras dan membentaknya. Mereka mendudukannya dan berkata, "Siapakah Tuhanmu?" Dia menjawab, "Ah... ah... aku tidak tahu."

Lalu mereka bertanya, "Apa agamamu?" Dia menjawab, "Ah... ah... aku tidak tahu."

Mereka bertanya lagi, "Siapakah orang yang diutus kepada kalian?" Dia tidak bisa mengenali namanya, dan dikatakan kepadanya, "Muhammad." Lalu dia berkata, "Ah... ah... aku tidak tahu, aku hanya mendengar orang-orang mengatakan hal itu."

Maka dikatakan kepadanya, "Kamu tidak tahu dan tidak mengikuti."

Kemudian terdengarlah seruan dari langit, "Hamba-Ku telah berdusta, maka hamparkanlah baginya hamparan dari neraka, dan bukakanlah untuknya pintu menuju neraka." Maka datanglah kepadanya panas dan racun neraka, dan kuburnya menjadi sempit hingga tulang-tulang rusuknya bersilang.

Kemudian datang kepadanya — dalam riwayat lain : digambarkan untuknya - seorang pria dengan wajah buruk, pakaian yang buruk, dan bau yang busuk.

Pria itu berkata, "Bergembiralah dengan hal yang akan membuatmu menderita. Ini adalah hari yang telah dijanjikan kepadamu."

Dia berkata, "Semoga Allah memberimu keburukan, siapa kamu? Wajahmu adalah wajah yang membawa keburukan."

Pria itu menjawab, "Aku adalah amal burukmu. Demi Allah, aku mengenalmu sebagai orang yang lambat dalam ketaatan kepada Allah dan cepat dalam bermaksiat kepada-Nya. Semoga Allah membalasmu dengan keburukan."

Kemudian seorang malaikat buta, tuli, dan bisu diutus kepadanya dengan membawa palu dari besi. Jika palu itu dipukulkan ke gunung, maka gunung tersebut akan menjadi debu. Malaikat itu memukulnya dengan satu pukulan, maka dia menjadi debu. Lalu Allah mengembalikannya seperti semula, dan malaikat itu memukulnya lagi dengan satu pukulan, maka dia berteriak dengan teriakan yang didengar oleh semua makhluk kecuali jin dan manusia.

Kemudian dibukakan baginya pintu dari neraka dan disediakan baginya hamparan dari neraka. Dia berkata, "Ya Tuhanku, janganlah Engkau tegakkan hari kiamat."

**(Diriwayatkan oleh Ahmad [18534], dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami' As-Shaghir [1676]).**

Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dengan ringkasan. Hadis ini dinyatakan shahih oleh Al-Hakim berdasarkan syarat Al-Bukhari dan Muslim, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi serta Al-Albani. Ibnu Qayyim juga menyatakan hadis ini shahih dalam *I'lamul Muwaqqi'in* dan *Tahdzib As-Sunan*, serta menyebutkan bahwa hadis ini disahkan oleh Abu Nu'aim dan lainnya.

Kehidupan barzakh—baik dengan nikmatnya maupun dengan azabnya—adalah kenyataan yang akan dialami oleh setiap orang. Hal ini termasuk dalam bukti-bukti yang jelas dan tidak menerima keraguan atau penyelewengan.

Seorang mukmin yang sejati adalah dia yang beriman kepada apa yang tercantum dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta meninggalkan orang-orang yang mengikuti hawa nafsu mereka, yang menundukkan wahyu—baik Al-Qur'an maupun Sunnah—kepada hawa nafsu mereka, dengan analogi yang rusak dan akal yang terbatas. Harus ditegaskan bahwa tidak ada pertentangan antara nash yang sahih dan akal yang sehat, sebagaimana telah ditegaskan oleh para ulama besar (semoga Allah merahmati mereka). Akan tetapi, jika akal telah rusak dan hati telah sakit, para pengikut hawa nafsu akan datang dengan berbagai keanehan. Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan.

===****===

BUKAN DARI AJARAN ISLAM: KEYAKINAN ROH ORANG MATI BISA DI PANGGIL DAN BISA GENTAYANGAN:

========

Semua manusia jika sudah mati, maka mereka berada di alam Barzakh, dalam nikmat kubur atau dalam adzab kubur. Jangankan sekelas orang biasa, sekelas para syuhada Uhud pun tidak mampu untuk datang hadir kembali ke dunia walau sesaat.

Allah SWT berfirman:

( حَتَّى إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ كَلا إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ. فَإِذَا نُفِخَ فِي الصُّورِ فَلا أَنْسَابَ بَيْنَهُمْ يَوْمَئِذٍ وَلا يَتَسَاءَلُون ).

(Demikianlah keadaan orang-orang kafir itu), hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak.Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada barzakh (penghalang) sampai hari mereka dibangkitkan. Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya. (QS. Al-Mu'minun: 99 – 111).

Di dalam Al-Quran di sebutkan bahwa orang-orang yang mati syahid meskipun diberi keistimewaan bisa hidup di syurga dengan menggunakan jasad burung di syurga, namun mereka tidak bisa datang ke dunia. Seperti dalam surat Al-Baqarah Allah SWT berfirman:

( وَلا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لا تَشْعُرُونَ)

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah, (bahwa mereka itu) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya ". (QS. Al-Baqarah: 154).

Dan dalam firman-Nya:

( وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ. فَرِحِينَ بِمَا آتَاهُمْ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ وَيَسْتَبْشِرُونَ بِالَّذِينَ لَمْ يَلْحَقُوا بِهِمْ مِنْ خَلْفِهِمْ أَلَّا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ. يَسْتَبْشِرُونَ بِنِعْمَةٍ مِنْ اللَّهِ وَفَضْلٍ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُؤْمِنِين ).

Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.

Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka, dan mereka bergirang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang yang belum menyusul mereka, bahwa tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Mereka bergirang hati dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah, dan bahwa Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman. (Ali Imran: 169 – 171).

Melalui ayat ini Allah Swt. memberitahukan bahwa orang-orang yang mati syahid di alam barzakhnya dalam keadaan hidup, mereka diberi rezeki oleh Allah, namun Allah SWT tidak mengabulkan permohonan mereka untuk datang ke dunia meski hanya sekedar menemui keluarganya dan para sahabatnya yang masih hidup dengan tujuan untuk mendakwahinya dan memberi tahu bahwa diri mereka dalam kenikmatan syurga:

*****

PARA SYUHADA UHUD TIDAK BISA KEMBALI KE DUNIA WALAU SESAAT:

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa Rosulullah SAWbersabda:

"لَمَّا أُصِيبَ إخْوَانُكُمْ بِأُحُدٍ جَعَلَ اللهُ أَرْوَاحَهُمْ فِي أَجْوَافِ طَيْرٍ خُضْرٍ، تَرِدُ أَنْهَارَ الْجَنَّةِ، وتَأْكُلُ مِنْ ثِمَارِهَا وَتَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مِنْ ذَهَبٍ فِي ظِلِّ الْعَرْشِ، فَلَمَّا وَجَدُوا طِيبَ مَشْرَبِهِمْ ، وَمَأْكَلِهِمْ، وَحُسْنَ مُنْقَلَبِهِم ، قَالُوا: مَنْ يُبَلِّغُ إِخْوَانَنَا عَنَّا أَنَّا أَحْيَاءٌ فِى الْجَنَّةِ نُرْزَقُ ، لِئَلا يَزْهَدُوا فِي الْجِهَادِ، وَلا يَنْكُلُوا عَنْ الْحَرْبِ" فَقَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: أَنَا أُبَلِّغُهُمْ عَنْكُمْ. فَأَنزلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ هَؤُلاءِ الآيَاتِ: { وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ } وما بعدها".

« Ketika saudara-saudara kalian gugur dalam peperangan Uhud, Allah masukkan roh mereka ke dalam burung-burng hijau yang bekeliaran disungai-sungai syurga, makan buah-buahan syurga, kemudian mereka pulang ke lampu-lampu yang terbuat dari emas dan tergantungdinaungan 'Arasy, di saat mereka merasakan enaknya minuman, makanan dan tempat kembali mereka.

Lalu mereka berkata ; " siapakah yang akan menyampaikan kabar kepada saudara-saudara kami tentang kami bahwa kami hidup di syurga, kami di anugerahi rizki, agar mereka tidak merasa berat dalam berjihad dan tidak lari dari peperangan ".

Maka Allah berfirman: " Aku akan sampaikan berita tentang kamu kepada mereka, maka Allah turunkan ayat –ayat ini:

( وَلا تَحْسَبَنَّ الَّذينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ )

“Dan jangan kamu menyangka bahawa orang yang terbunuh pada jalan Allah itu mati malah mereka hiidup disisi Tuhan mereka dan mendapat rezeki daripada Nya (QS.Ali Imran 169) dan ayat sesudahnya ».

Lafadz riwayat Imam Ahmad:

mereka berkata: sayang sekali, kalau seandainya saudara-saudara kami tahu bagaimana Allah memperlakukan kami ".

(HR. Imam Ahmad 4/218, Abu Daud dan Al-Hakim 2/88. Di Shahihkan sanadnya oleh Al-Hakim. Dan di hasankan oleh Syeikh Al-Albany di Shahih Targhib 2/68 no. 1379).

Dan dalam hadis sahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud, bahwa Nabi  bersabda:

"إِنَّ أَرْوَاحَ الشُّهَدَاءِ فِي حَوَاصِلِ طَيْرٍ خُضْرٍ تَسْرَحُ فِي الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى قَنَادِيلَ مُعَلَّقة تَحْتَ الْعَرْشِ، فاطَّلع عَلَيْهِمْ رَبُّكَ اطِّلاعَة، فَقَالَ: مَاذَا تَبْغُونَ؟ فَقَالُوا: يَا رَبَّنَا، وَأَيُّ شَيْءٍ نَبْغِي، وَقَدْ أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ؟ ثُمَّ عَادَ إِلَيْهِمْ بِمِثْلِ هَذَا، فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَا يُتْرَكُون مِنْ أَنْ يَسْأَلُوا، قَالُوا: نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّنَا إِلَى الدَّارِ الدُّنْيَا، فَنُقَاتِلَ فِي سَبِيلِكَ، حَتَّى نُقْتَلَ فِيكَ مَرَّةً أُخْرَى؛ لِمَا يَرَوْنَ مِنْ ثَوَابِ الشَّهَادَةِ -فَيَقُولُ الرَّبُّ جَلَّ جَلَالُهُ: إِنِّي كتبتُ أنَّهم إِلَيْهَا لَا يَرْجِعُونَ"

Bahwa arwah para syuhada itu berada di dalam perut burung-burung hijau yang terbang di dalam surga ke mana saja yang mereka kehendaki. Kemudian burung-burung itu hinggap di lentera-lentera yang bergantung di bawah 'Arasy.

Kemudian Tuhanmu menjenguk mereka, dalam sekali jengukan-Nya Dia berfirman: "Apakah yang kalian inginkan?"

Mereka menjawab: "Wahai Tuhan kami, apa lagi yang kami inginkan, sedangkan Engkau telah memberi kami segala sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun di antara makhluk-Mu?" 

Kemudian Allah mengulangi hal itu terhadap mereka. Manakala mereka didesak terus dan tidak ada jalan lain kecuali mengemukakan permintaannya, akhirnya mereka berkata:

"Kami menginginkan agar Engkau mengembalikan kami ke dalam kehidupan di dunia, lalu kami akan berperang lagi di jalan-Mu hingga kami gugur lagi karena membela Engkau," mengingat mereka telah merasakan pahala dari mati syahid yang tak terperikan itu.

Maka Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku telah memastikan bahwa mereka tidak dapat kembali lagi ke dunia (sesudah mereka mati)." [HR. Muslim no. 3611].

Dalam sebuah hadits, Jabir bin Abdullah radhiyallahu 'anhu berkata:

نَظَرَ إليَّ رَسُوْلُ اللهِ ﷺ ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ: "يَا جَابِرُ، مَا لِي أراك مُهْتَمًّا؟" قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ الله، اسْتُشْهِدَ أَبِيْ وَتَرَكَ دَيْناً وَعِيَالاً. قال: فقال: "ألا أُخْبِرُكَ؟ مَا كَلَّمَ اللهُ أَحَدًا قَطُّ إلا مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ، وَإنَّهُ كَلَّمَ أَبَاكَ كِفَاحًا -قال علي: الكفَاح: المواجهة -فَقَالَ: سَلْني أعْطكَ. قَالَ: أَسْأَلُكَ أنْ أُرَدَّ إلَى الدُّنْيَا فَأُقْتَلَ فِيْكَ ثَانِيَةً فَقَالَ الرَّبُّ عَزَّ وَجَلَّ: إنَّهُ سَبَقَ مِنِّي القَوْلُ أنَّهُمْ إلَيْهَا لا يُرْجَعُونَ ».

Suatu hari Rosulullah  memandangiku, lalu beliau bertanya: " Wahai Jabir, ada apa dengan mu, aku lihat kamu nampak murung ?

Aku jawab: " Wahai Rosulullah, ayahku telah mati syahid, dan dia meninggalkan hutang dan keluarga.

Beliau berkata: Maukah kamu, jika aku mengkabarkannya pada mu ? Allah SWT tidak pernah bicara kepada siapun keculai di balik hijab (penghalang), akan tetapi sungguh Dia telah bicara pada ayah mu berhadap-hadapan.

Allah SWT berkata padanya: " Mintalah padaku, aku mengasihmu ! ".

Dia pun berkata: " Aku memohon pada mu supaya aku di kembalikan ke dunia, agar aku bisa dibunuh lagi di jalan Mu untuk kedua kalinya ! ".

Maka Rabb (Allah) Azza wa Jalla berkata: " (Itu tidak mungkin, karena) sesungguhnya sudah menjadi ketetapan firman dari Ku, bahwa mereka tidak akan kembali kepadanya (kehidupan dunia) ".

(HR. Turmudzi 5/230 no. 31010, Al-Hakim 2/120 dan Ibnu Hibban 15/490 no. 7022). Abu 'Isa At-Turmudzi berkata: Ini hadits Hasan. Dan di Shahihkan sanadnya oleh al-Hakim.

Hadits lain riwayat Masruq, dia berkata:

سَأَلْتُ ابْنَ مَسْعُودٍ ، عَنْ هَذِهِ الآيَةِ: ) وَلاَ تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ ( فَقَالَ: أَمَا إنَّا قَدْ سَأَلْنَا عَنْ ذَلِكَ ، فَقَالَ: « أَرْوَاحُهُمْ فِي جَوْفِ طَيْرٍ خُضْرٍ لَهَا قَنَادِيلُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شَاءَتْ ثُمَّ تَأْوِي إِلَى تِلْكَ الْقَنَادِيلِ فَاطَّلَعَ إِلَيْهِمْ رَبُّهُمْ اطِّلَاعَةً فَقَالَ: هَلْ تَشْتَهُونَ شَيْئًا؟ قَالُوا: أَيَّ شَيْءٍ نَشْتَهِي؟ وَنَحْنُ نَسْرَحُ مِنْ الْجَنَّةِ حَيْثُ شِئْنَا، فَفَعَلَ ذَلِكَ بِهِمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ فَلَمَّا رَأَوْا أَنَّهُمْ لَنْ يُتْرَكُوا مِنْ أَنْ يُسْأَلُوا قَالُوا: يَا رَبِّ نُرِيدُ أَنْ تَرُدَّ أَرْوَاحَنَا فِي أَجْسَادِنَا حَتَّى نُقْتَلَ فِي سَبِيلِكَ مَرَّةً أُخْرَى، فَلَمَّا رَأَى أَنْ لَيْسَ لَهُمْ حَاجَةٌ تُرِكُوا ».

Aku bertanya kepada Ibnu Masud radhiyallahu 'anhu tentang ayat ini: Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki.

Maka Ibnu Masud menjawab: Sungguh kami telah menanyakannya tentang itu, dan beliau bersabda:

Ruh-ruh mereka di dalam perut burung hijau, baginya di sediakan lampu-lampu yang menggantung di Arasy (sebagai sarang-sarangnya), mereka pergi bersenang-senang mencari makanan dari syurga sesuka hati mereka, kemudian kembali ke lampu-lampu tadi. Maka suatu ketika Allah SWT memandangi mereka dengan satu pandangan.

Lalu Dia berkata: " Apakah kalian menginginkan sesuatu ? "

Mereka menjawab: " Apa lagi yang kami inginkan ? kami sudah pergi bersenang-senang mencari makan di syurga sesuka hati kami.

Lalu Allah SWT mengulangi penawaran tadi hingga tiga kali, dan mereka menjawabnya sama seperti tadi.

Ketika mereka merasa terus-terusan di tawarin dan tidak di biarkan untuk tidak meminta, akhirnya mereka berkata: Ya Rabb, kami menginginkan agar Engkau berkenan mengembalikan ruh-ruh kami ke jasad-jasad kami, supaya kami bisa gugur sekali lagi di jalan Mu. Setelah Allah SWT melihat mereka tidak memerlukan hajat lain, maka mereka di tinggalkan ".

(HR. Muslim 3/1502 no. 1887 dan Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 5/308 no. 19731).

Di dalam hadits Jabir dan Ibnu Masud ini Allah SWT mengkabarkan bahwa para suhada itu hidup setelah mereka mati, akan tetapi kehidupannya ini adalah kehidupan barzakhiyah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupan duniawi, sebagai bukti adalah kata-kata para syuhada:

“Ya Rabb, kami menginginkan agar Engkau mengembalikan ruh-ruh kami ke jasad-jasad kami, supaya kami bisa gugur sekali lagi di jalan Mu ".

Artinya mereka berkeinginan agar Allah SWT berkenan mengembalikan ruh mereka ke jasadnya seperti semula ketika mereka belum mati, padahal ruh-ruh mereka tetap masih ada ikatan dan berhubungan dengan jasad-jasad mereka yang di kuburan, yaitu ikatan dan hubungan barzakhiyah. Begitu juga ruh-ruh selain para syuhada, oleh karena itu jika ruh seorang mayit mendapat kenikmatan maka jasadnya pun ikut merasakan, dan sebaliknya jika jasad seorang mayit mendapat azab kubur maka ruhnya pun ikut merasakan kepedihannya.

Rosulullah  bersabda: " Meretakkan tulang mayit, sama seperti meretakkannya ketika hidup ". (HR. Ahmad 6/58, Abu Daud 2/231, Ibnu Majah 1/516 dan Abdurrozzaq 3/444 no. 6257. Hadits Shahih).

Ini semua menunjukkan bahwa kehidupan mereka adalah barzakhiyah serta menunjukkan bahwa orang-orang yang telah mati itu tidak akan pernah kembali ke alam dunia. Kenapa ? Karena Allah SWT telah menetapkan dan konsekwen dengan janjinya bahwa mereka tidak akan dikembalikan ke dunia.

Mafhum dari hadits Ibnu Masud tentang arwah para shuhada di perut burung hijau menunjukkan bahwa selain ruh para suhada tidaklah demikian, akan tetapi Imam Syafii meriwayatkan dari Ibnu Syihaab dari Abdurrahman bin Kaab bin Malik dari bapaknya bahwa Rosulullah  bersabda:

« إِنَّمَا نَسَمَةُ الْمُؤْمِنِ طَائِرٌ يَعْلُقُ فِي شَجَرِ الْجَنَّةِ حَتَّى يُرْجِعَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِلَى جَسَدِهِ يَوْمَ يَبْعَثُهُ »

“Sesungguhnya ruh seorang mukmin adalah burung yang makan di pepohonan syurga, hingga Allah Tabaroka wa Taala mengembalikannya ke jasadnya pada hari kebangkitannya ".

(HR. Ahmad no. 15778, Ibnu Majah no. 4271, Nasai no. 2073 dan Ibnu Hibban no. 4657. Di shahihkan oleh as-Suyuthi dalam Syarah ash-Shuduur no. 306, al-Albani Shahih Ibnu Majah no. 3465 dan Syu'eib al-Arna'uth).

Berkenaan dengan hadits ini Al-Hukaim berkata:

“Dan yang demikian itu sepengetahuan kami bukanlah untuk golongan yang kacau balau, melainkan untuk orang mukmin dari golongan Ash-Shiddiqiin (yang benar-benar sempurna keimanannya).

(Lihat: At-taysiir Syarah Al-Jaamiush Shaghiir karya Al-Hafidz Al-Manawi 1/267).

Selain dari keterangan Allah dan Rasulnya tentang perkara ghaib, kita tidak berhak untuk mereka-reka apalagi mengklaimnya.

Mereka para syuhada yang mendapatkan kehormatan di sisi Allah SWT dan keni'matan di alam barzakhnya, ternyata keinginan mereka tidak di kabulkan untuk bisa hidup kembali seperti semula, walaupun hanya sebentar saja sekedar untuk menyampaikan kabar gembira kepada keluarganya.

Ternyata para syuhada yang sudah pasti memiliki kedudukan di sisi Allah tidak bisa ke dunia walau sekejap sekedar menyampaikan kabar gembira. Jangankan hidup lagi, menjelma saja rohnya seperti kuntil anak mereka tidak mampu.

Permohonan mereka yang di kabulkan oleh Allah SWT hanya permohonan yang berkaitan dengan kenikmatan syurga sebagai imbalan atas usaha mereka di dunia. Allah SWT tidak akan mengabulkan permohanan mereka yang berlawanan dengan ketetapan-ketetapan Allah SWT, apalagi yang berkaitan dengan hal-hal yang merusak pondasi syariah, seperti hal-hal yang menunjukkan bahwa mereka ikut berperan dan terlibat dalam uluhiyah dan rububiyahNya.

====****=====

PARA SAHABAT NABI TIDAK PERNAH MENGHADIRKAN NABI  SETELAH WAFAT, WALAU SAAT DARURAT UNTUK UMAT

Pada masa para sahabat -radhiyallahu 'anhum – tidak ada seorang pun yang bisa menghadirkan ruh Nabi  setelah wafat dan tidak pula menjumpainya dalam keadaan juga. Berikut ini contoh-contohnya.

CONTOH PERTAMA: SAAT NABI  BARU WAFAT

Pada saat Nabi  wafat, para sahabat berselisih apakah Nabi  bisa wafat seperti manusia lainnya ?. Kemudian mereka juga berselisih tentang siapakah yang berhak menjadi pemimpin bagi umat Islam setelah kepergian beliau ??

Namun tidak ada satupun dari mereka yang mencoba atau memiliki gagasan untuk menghadirkan Roh Nabi  untuk minta petunjuk tentang hal tersebut.

Imam Bukhori dalam Shahih-nya hadis nomor 3394 meriwayatkan:

Telah bercerita kepada kami Isma’il bin Abdullah telah bercerita kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Hisyam bin ‘Urwah berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Urwan bin Az Zubair dari ‘Aisyah radliallahu ‘anhu, istri Nabi :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ مَاتَ وَأَبُو بَكْرٍ بِالسُّنْحِ. - قَالَ إِسْمَاعِيلُ يَعْنِي بِالْعَالِيَةِ - فَقَامَ عُمَرُ يَقُولُ: وَاللَّهِ مَا مَاتَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ. قَالَتْ: وَقَالَ عُمَرُ: " وَاللَّهِ مَا كَانَ يَقَعُ فِي نَفْسِي إِلَّا ذَاكَ وَلَيَبْعَثَنَّهُ اللَّهُ فَلَيَقْطَعَنَّ أَيْدِيَ رِجَالٍ وَأَرْجُلَهُمْ".

فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ فَكَشَفَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَبَّلَهُ ، قَالَ: " بِأَبِي أَنْتَ وَأُمِّي طِبْتَ حَيًّا وَمَيِّتًا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يُذِيقُكَ اللَّهُ الْمَوْتَتَيْنِ أَبَدًا ".

ثُمَّ خَرَجَ فَقَالَ: " أَيُّهَا الْحَالِفُ عَلَى رِسْلِكَ! ". فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ جَلَسَ عُمَرُ فَحَمِدَ اللَّهَ أَبُو بَكْرٍ وَأَثْنَى عَلَيْهِ وَقَالَ: " أَلَا مَنْ كَانَ يَعْبُدُ مُحَمَّدًا ﷺ فَإِنَّ مُحَمَّدًا قَدْ مَاتَ وَمَنْ كَانَ يَعْبُدُ اللَّهَ فَإِنَّ اللَّهَ حَيٌّ لَا يَمُوتُ. وَقَالَ: {إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ } وَقَالَ: { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ أَفَإِنْ مَاتَ أَوْ قُتِلَ انْقَلَبْتُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ وَمَنْ يَنْقَلِبْ عَلَى عَقِبَيْهِ فَلَنْ يَضُرَّ اللَّهَ شَيْئًا وَسَيَجْزِي اللَّهُ الشَّاكِرِينَ }

قَالَ: فَنَشَجَ النَّاسُ يَبْكُونَ.

قَالَ: وَاجْتَمَعَتْ الْأَنْصَارُ إِلَى سَعْدِ بْنِ عُبَادَةَ فِي سَقِيفَةِ بَنِي سَاعِدَةَ فَقَالُوا: " مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ ".

فَذَهَبَ إِلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَأَبُو عُبَيْدَةَ بْنُ الْجَرَّاحِ فَذَهَبَ عُمَرُ يَتَكَلَّمُ فَأَسْكَتَهُ أَبُو بَكْرٍ وَكَانَ عُمَرُ يَقُولُ: " وَاللَّهِ مَا أَرَدْتُ بِذَلِكَ إِلَّا أَنِّي قَدْ هَيَّأْتُ كَلَامًا قَدْ أَعْجَبَنِي خَشِيتُ أَنْ لَا يَبْلُغَهُ أَبُو بَكْرٍ ثُمَّ تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ فَتَكَلَّمَ أَبْلَغَ النَّاسِ ، فَقَالَ فِي كَلَامِهِ: " نَحْنُ الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ ".

فَقَالَ حُبَابُ بْنُ الْمُنْذِرِ: " لَا وَاللَّهِ لَا نَفْعَلُ مِنَّا أَمِيرٌ وَمِنْكُمْ أَمِيرٌ ".

فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: " لَا وَلَكِنَّا الْأُمَرَاءُ وَأَنْتُمْ الْوُزَرَاءُ هُمْ أَوْسَطُ الْعَرَبِ دَارًا وَأَعْرَبُهُمْ أَحْسَابًا ، فَبَايِعُوا عُمَرَ أَوْ أَبَا عُبَيْدَةَ بْنَ الْجَرَّاحِ ".

فَقَالَ عُمَرُ: " بَلْ نُبَايِعُكَ أَنْتَ فَأَنْتَ سَيِّدُنَا وَخَيْرُنَا وَأَحَبُّنَا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ ".

فَأَخَذَ عُمَرُ بِيَدِهِ فَبَايَعَهُ وَبَايَعَهُ النَّاسُ فَقَالَ قَائِلٌ: قَتَلْتُمْ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ ".

فَقَالَ عُمَرُ قَتَلَهُ اللَّهُ.

Artinya: " Bahwa ketika Rasulullah  meninggal dunia, Abu Bakr sedang berada di Sunuh”. Isma’il berkata: “Yakni sebuah perkampungan ‘Aliyah, Madinah”.

Maka ‘Umar tampil berdiri sambil berkata: ‘Demi Allah, Rasulullah  tidaklah meninggal”.’

Aisyah radliallahu ‘anhu berkata:

Selanjutnya ‘Umar berkata: “Tidak ada perasaan pada diriku melainkan itu. Dan pasti Allah akan membangkitkan beliau dan siapa yang mengatakannya (bahwa beliau telah meninggal dunia), pasti Allah memotong tangan dan kaki mereka”.

Lalu Abu Bakr datang kemudian menyingkap penutup (yang menutupi) jasad Rasulullah  dan menutupnya kembali.

Abu Bakr berkata: “Demi bapak ibuku, sungguh baik hidupmu dan ketika matimu.
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh Allah tidak akan memberikan baginda merasakan dua kematian selamanya”.

Kemudian dia keluar dan berkata: “Wahai kaum yang sudah bersumpah setia, tenanglah”.

Ketika Abu Bakr berbicara, ‘Umar duduk. Abu Bakr memuji Allah dan mensucikan-Nya lalu berkata:

“Barang siapa yang menyembah Muhammad , sesungguhnya Muhammad sekarang sudah mati, dan siapa yanng menyembah Allah, sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Hidup selamanya tidak akan mati”.

Lalu dia membacakan firman Allah Qs az-Zumar ayat 30 yang artinya:

(“Sesungguhnya kamu akan mati dan mereka pun akan mati”)

Dan Quran Surat Ali ‘Imran, ayat: 144 yang artinya:

(“Muhammad itu tidak lain kecuali hanyalah seorang Rasul sebagaimana telah berlalu Rasul-rasul sebelum dia. Apakah bila dia mati atau terbunuh kalian akan berbalik ke belakang (murtad). Barang siapa yang berbalik ke belakang, maka sekali-kali dia tidak akan dapat mendatangkan madlarat kepada Allah sedikitpun dan kelak Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur”).

Perawi (‘Amru) berkata: “Maka orang-orang menangis tersedu-sedu.

Perawi berkata lagi:

“Kemudian kaum Anshar berkumpul menemui Sa’ad bin ‘Ubadah di tenda Bani Sa’adah lalu mereka berkata: “Dari pihak kami ada pemimpinnya begitu juga dari pihak kalian (Muhajirin) ada pemimpinnya”.

Lalu Abu Bakr dan ‘Umar bin Al Khaththab serta Abu ‘Ubaidah bin Al Jarah mendatangi mereka.

‘Umar memulai bicara namun Abu Bakr menenangkannya. Sebelumnya ‘Umar berkata:
“Sungguh aku tidak bermaksud hal seperti itu. Hanya saja aku telah mempersiapkan pembicaraan yang membuatku kagum namun aku khawatir jika tidak disampaikan oleh Abu Bakr. Kemudian Abu Bakr mulai berbicara dengan perkataan-perkataan yang menunjukkan pembicaraan manusia bijak".

Dia berkata dalam bagian pembicaraannya itu: “Kami (Muhajirin) adalah pemimpin sedangkan kalian adalah para menterinya”.

Spontan Hubab bin Al Mundzir berkata: “Tidak, demi Allah, kami tidak mau seperti itu. Tapi kami mempunyai pemimpin dan kalianpun mempunyai pemimpin tersendiri”.

Abu Bakr menjawab: “Tidak. Tapi kami adalah pemimpin sedangkan kalian para menterinya. Para Muhajirin adalah orang Arab yang tempat tinggalnya paling tengah dan keturunan Arab yang paling murni.

Untuk itu berbai’atlah (berjanji setia) kepada ‘Umar atau Abu ‘Ubaidah bin Al Jarah”.

Maka ‘Umar berkata: “Tidak begitu. Sebaliknya kami yang berbai’at kepadamu. Karena, sungguh kamu adalah penghulu kami, orang terbaik kami dan orang yang paling dicintai Rasulullah ”.

Lalu ‘Umar memegang tangan Abu Bakr lalu berbai’at kepadanya dan kemudian diikuti oleh orang banyak.

Ada seseorang yang berkata: “Kalian telah membinasakan Sa’ad bin ‘Ubadah”.”Umar segera membalas: “Semoga Allah membinasakannya”.

Imam Bukhori berkata: Abdullah bin Salam berkata, dari Az Zubaidiy telah berkata Abdurrahman bin Al Qasim telah mengabarkan kepadaku Al Qasim bahwa ‘Aisyah radliallahu ‘anhu berkata:

شَخَصَ بَصَرُ النَّبِيِّ ﷺ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى ثَلَاثًا وَقَصَّ الْحَدِيثَ قَالَتْ فَمَا كَانَتْ مِنْ خُطْبَتِهِمَا مِنْ خُطْبَةٍ إِلَّا نَفَعَ اللَّهُ بِهَا لَقَدْ خَوَّفَ عُمَرُ النَّاسَ وَإِنَّ فِيهِمْ لَنِفَاقًا فَرَدَّهُمْ اللَّهُ بِذَلِكَ ثُمَّ لَقَدْ بَصَّرَ أَبُو بَكْرٍ النَّاسَ الْهُدَى وَعَرَّفَهُمْ الْحَقَّ الَّذِي عَلَيْهِمْ وَخَرَجُوا بِهِ يَتْلُونَ { وَمَا مُحَمَّدٌ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِهِ الرُّسُلُ } إِلَى { الشَّاكِرِينَ }

“Nabi  membuka matanya ke atas sambil berkata: “ Ilaa ar-Rafiiq al-A'laa [Menuju Kekasih yang Maha Tinggi]”, sebanyak tiga kali.

Lalu dia menceritakan hadis selengkapnya lalu berkata:

“Tidak ada satupun dari khuthbah keduanya [Abu Bakr dan Umar] melainkan Allah telah memberikan manfaat dengan khuthbah itu, ‘Umar telah membuat takut orang-orang dengan kemungkinan timbulnya di tengah mereka sifat nifaq, lalu Allah mengembalikkan mereka (untuk istiqamah menjaga persatuan) lewat khuthbahnya ‘Umar tersebut.

Sedangkan Abu Bakr telah menunjukkan kematangan pandangannya untuk membawa manusia di atas petunjuk dan dia sebagai orang yang paling tahu tentang kebenaran yang ada pada mereka, dia keluar sambil membacakan ayat QS Ali ‘Imran [3]: 144 tadi:

(“Muhammad itu tidak lain kecuali hanyalah seorang Rasul sebagaimana telah berlalu Rasul-rasul sebelum dia...). hingga akhir ayat (...orang-orang yang bersyukur”).

CONTOH KE DUA: 
SAAT TERJADI PERSELISIHAN ANTARA FATIMAH DAN ABU BAKAR TENTANG HARTA WARISAN NABI .

Setelah Nabi  wafat telah terjadi perselisihan dan kesalah fahaman antara Fatimah binti Rosulullah  dengan Abu Bakar tentang harta warisan dari Rosulullah  berupa tanah Fadak.

Fatimah menginginkan warisan dari ayahnya, yaitu; Nabi , maka Abu Bakar menjelaskan bahwa para Nabi tidak mewariskan, demikianlah yang pernah beliau dengar dari Nabi , dan tidak ada bagian tertentu untuk Abu Bakar dan Aisyah radhiyallahu 'anhyma.

Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha:

أنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ، والعَبَّاسَ، أتَيَا أبَا بَكْرٍ يَلْتَمِسَانِ مِيرَاثَهُمَا، أرْضَهُ مِن فَدَكٍ، وسَهْمَهُ مِن خَيْبَرَ، فَقالَ أبو بَكْرٍ: سَمِعْتُ النبيَّ ﷺ، يقولُ: لا نُورَثُ ما تَرَكْنَا صَدَقَةٌ، إنَّما يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ في هذا المَالِ واللَّهِ لَقَرَابَةُ رَسولِ اللَّهِ ﷺ أحَبُّ إلَيَّ أنْ أصِلَ مِن قَرَابَتِي

bahwa Fatimah 'alaihis salam dan 'Abbas menemui [Abu Bakr], keduanya menuntut bagian harta warisan mereka, yaitu berupa tanah di Fadak dan saham dari perang Khaibar, maka Abu Bakar berkata:

"Aku mendengar Nabi  bersabda: "Kami tidak diwarisi, harta yang kami tinggalkan menjadi sedekah, keluarga Muhammad hanya makan dari harta ini." Maka demi Allah, kerabat Rasulullah  lebih aku cintai untuk aku jalin hubungan dengannya daripada kerabatku sendiri." [HR. Bukhori no. 4035]

Maka Abu Bakar ash-Shiddiiq Radhiyallahu anhu tidak memberikan kepada Fathimah Radhiyallahu anhuma dan ahli waris Rasûlullâh yang lain karena berpegang kepada sabda Rasûlullâh :

لاَ نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ

Kami tidak mewariskan, apa yang kami tinggalkan adalah shadaqah [HR. al-Bukhâri dan Muslim]

Dalam Lafadz lain yang lebih panjang dalam Bukhori dan Muslim di ceritakan bahwa Fatimah menghajer Abu Bakar [tidak mau bicara dengannya] hingga wafat.

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata:

أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَرْسَلَتْ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ تَسْأَلُهُ مِيرَاثَهَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مِمَّا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَيْهِ بِالْمَدِينَةِ وَفَدَكٍ وَمَا بَقِيَ مِنْ خُمْسِ خَيْبَرَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ لَا نُورَثُ مَا تَرَكْنَا صَدَقَةٌ إِنَّمَا يَأْكُلُ آلُ مُحَمَّدٍ ﷺ فِي هَذَا الْمَالِ وَإِنِّي وَاللَّهِ لَا أُغَيِّرُ شَيْئًا مِنْ صَدَقَةِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ عَنْ حَالِهَا الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهَا فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَلَأَعْمَلَنَّ فِيهَا بِمَا عَمِلَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَأَبَى أَبُو بَكْرٍ أَنْ يَدْفَعَ إِلَى فَاطِمَةَ شَيْئًا فَوَجَدَتْ فَاطِمَةُ عَلَى أَبِي بَكْرٍ فِي ذَلِكَ قَالَ فَهَجَرَتْهُ فَلَمْ تُكَلِّمْهُ حَتَّى تُوُفِّيَتْ وَعَاشَتْ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ سِتَّةَ أَشْهُرٍ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ دَفَنَهَا زَوْجُهَا عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ لَيْلًا وَلَمْ يُؤْذِنْ بِهَا أَبَا بَكْرٍ وَصَلَّى عَلَيْهَا عَلِيٌّ وَكَانَ لِعَلِيٍّ مِنْ النَّاسِ وِجْهَةٌ حَيَاةَ فَاطِمَةَ فَلَمَّا تُوُفِّيَتْ اسْتَنْكَرَ عَلِيٌّ وُجُوهَ النَّاسِ فَالْتَمَسَ مُصَالَحَةَ أَبِي بَكْرٍ وَمُبَايَعَتَهُ وَلَمْ يَكُنْ بَايَعَ تِلْكَ الْأَشْهُرَ فَأَرْسَلَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ أَنْ ائْتِنَا وَلَا يَأْتِنَا مَعَكَ أَحَدٌ كَرَاهِيَةَ مَحْضَرِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فَقَالَ عُمَرُ لِأَبِي بَكْرٍ وَاللَّهِ لَا تَدْخُلْ عَلَيْهِمْ وَحْدَكَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ وَمَا عَسَاهُمْ أَنْ يَفْعَلُوا بِي إِنِّي وَاللَّهِ لَآتِيَنَّهُمْ فَدَخَلَ عَلَيْهِمْ أَبُو بَكْرٍ فَتَشَهَّدَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ ثُمَّ قَالَ إِنَّا قَدْ عَرَفْنَا يَا أَبَا بَكْرٍ فَضِيلَتَكَ وَمَا أَعْطَاكَ اللَّهُ وَلَمْ نَنْفَسْ عَلَيْكَ خَيْرًا سَاقَهُ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَكِنَّكَ اسْتَبْدَدْتَ عَلَيْنَا بِالْأَمْرِ وَكُنَّا نَحْنُ نَرَى لَنَا حَقًّا لِقَرَابَتِنَا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَلَمْ يَزَلْ يُكَلِّمُ أَبَا بَكْرٍ حَتَّى فَاضَتْ عَيْنَا أَبِي بَكْرٍ فَلَمَّا تَكَلَّمَ أَبُو بَكْرٍ قَالَ وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَرَابَةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ قَرَابَتِي وَأَمَّا الَّذِي شَجَرَ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ مِنْ هَذِهِ الْأَمْوَالِ فَإِنِّي لَمْ آلُ فِيهَا عَنْ الْحَقِّ وَلَمْ أَتْرُكْ أَمْرًا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَصْنَعُهُ فِيهَا إِلَّا صَنَعْتُهُ فَقَالَ عَلِيٌّ لِأَبِي بَكْرٍ مَوْعِدُكَ الْعَشِيَّةُ لِلْبَيْعَةِ فَلَمَّا صَلَّى أَبُو بَكْرٍ صَلَاةَ الظُّهْرِ رَقِيَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَتَشَهَّدَ وَذَكَرَ شَأْنَ عَلِيٍّ وَتَخَلُّفَهُ عَنْ الْبَيْعَةِ وَعُذْرَهُ بِالَّذِي اعْتَذَرَ إِلَيْهِ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ وَتَشَهَّدَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ فَعَظَّمَ حَقَّ أَبِي بَكْرٍ وَأَنَّهُ لَمْ يَحْمِلْهُ عَلَى الَّذِي صَنَعَ نَفَاسَةً عَلَى أَبِي بَكْرٍ وَلَا إِنْكَارًا لِلَّذِي فَضَّلَهُ اللَّهُ بِهِ وَلَكِنَّا كُنَّا نَرَى لَنَا فِي الْأَمْرِ نَصِيبًا فَاسْتُبِدَّ عَلَيْنَا بِهِ فَوَجَدْنَا فِي أَنْفُسِنَا فَسُرَّ بِذَلِكَ الْمُسْلِمُونَ وَقَالُوا أَصَبْتَ فَكَانَ الْمُسْلِمُونَ إِلَى عَلِيٍّ قَرِيبًا حِينَ رَاجَعَ الْأَمْرَ الْمَعْرُوفَ

bahwa Fatimah binti Rasulullah  mengutus seseorang untuk menemui [Abu Bakar], dia meminta supaya diberi bagian dari harta peninggalan Rasulullah  di Kota Madinah dan Fadak dan seperlima hasil rampasan perang Khaibar yang masih tersisa.

Maka Abu Bakar menjawab: "Rasulullah  pernah bersabda: "Sesungguhnya harta peninggalan kami tidak dapat diwarisi, yang kami tinggalkan hanya berupa sedekah, dan keluarga Muhammad  hanya boleh menikmati sedekah itu." Demi Allah, aku tidak berani merubah sedikitpun sedekah yang telah Rasulullah  tetapkan, aku akan tetap membiarkan seperti pada masa Rasulullah , dan aku akan tetap melaksanakan apa yang telah dilakukan Rasulullah ."

Ternyata Abu Bakar tetap menolak permintaan Fatimah, oleh karena itu Fatimah sangat gusar dan marah atas tindakan Abu Bakar mengenai hal itu."

Urwah melanjutkan ceritanya:

"Sampai-sampai Fatimah menghajernya -tidak mengajaknya berbicara- hingga ajal menjemputnya, tepatnya enam bulan setelah wafatnya Rasulullah .

Ketika Fatimah meninggal dunia, jenazahnya dimakamkan oleh suaminya sendiri, Ali bin Abu Thalib, pada malam hari tanpa memberitahukan terlebih dahulu kepada Abu Bakar. Setelah itu Ali pulalah yang menshalatkan jenazah Fatimah.

Ketika Fatimah masih hidup, banyak orang menaruh hormat kepada Ali, tetapi hal itu mulai berubah ketika Fatimah telah meninggal dunia. Lalu dia mulai berfikir untuk segera berdamai dengan Abu Bakar sekaligus membai'atnya, karena beberapa bulan dia tidak sempat menemuinya untuk membai'atnya.

Setelah itu, Ali menulis surat kepada Abu Bakar yang isinya:

"Aku mengharapkan kamu datang menemuiku, namun jangan sampai ada seorang pun yang ikut menemuimu."

-Sepertinya Ali tidak suka jika Abu Bakar ditemani Umar bin Khattab-

Umar lalu berkata kepada Abu Bakar: "Demi Allah, janganlah kamu menemuinya seorang diri."

Abu Bakar menjawab, "Aku yakin, Ali tidak akan berbuat macam-macam kepadaku, demi Allah, aku akan tetap menemuinya."

Dengan penuh keyakinan, akhirnya Abu Bakar pergi menemui Ali, ketika bertemu, Ali bin Abu Thalib langsung bersaksi kepadanya (maksudnya membai'atnya) seraya berkata:

"Wahai Abu Bakar, sesungguhnya aku telah mengetahui segala keutamaan dan kebaikan yang Allah anugerahkan kepadamu, dan aku tidak merasa iri dan dengki pada anugerah yang Allah limpahkan kepadamu. Akan tetapi menurutku, kamu telah berbuat sewenang-wenang terhadapku, sebagai keluarga terdekat Rasulullah , semestinya aku mempunyai hak untuk memperoleh harta peninggalan beliau."

Ucapan-ucapan Ali begitu derasnya kepada Abu Bakar hingga tak terasa Abu Bakar meneteskan air matanya. Dengan perasaan haru, Abu Bakar menjelaskan kepadanya, katanya:

"Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sebenarnya keluarga dan kerabat Rasulullah  jauh lebih aku cintai daripada keluarga aku sendiri. Mengenai harta peninggalan yang tengah kita perselisihkan ini, sebenarnya aku selalu berusaha bersikap adil dan bijaksana serta berpijak kepada kebenaran. Dan aku tidak akan meninggalkan apa yang pernah dilakukan oleh Rasulullah , bahkan aku akan tetap mempertahankannya."

Maka Ali berkata kepada Abu Bakar: "Walau bagaimanapun aku akan tetap membai'atmu nanti sore."

Seusai melaksanakan shalat dhuhur, Abu Bakar langsung naik ke atas mimbar, setelah membaca syahadat, ia pun mencoba menjelaskan kepada kaum Muslimin yang hadir pada saat itu, masalah keterlambatan Ali untuk berbai'at beserta alasannya, kemudian dia membaca istighfar.

Setelah itu, tibalah giliran Ali bersaksi dan menghormati sikap Abu Bakar, Ali menyatakan bahwa dia tidak merasa iri dan dengki sama sekali terhadap keutamaan dan kelebihan yang dianugerahkan Allah kepada Abu Bakar, akan tetapi -lanjut Ali-:

"Kami keluarga terdekat Rasulullah  melihat bahwa beliau berlaku tidak adil terhadap keluarga kami, terutama dalam hal harta rampasan perang peninggalan Rasulullah , jadi sudah menjadi hak kami untuk menuntut hak tersebut."

Mayoritas kamu Muslimin yang hadir saat itu merasa gembira mendengar pernyataan Ali, mereka berkata, "Benar yang kamu ucapkan."

Akhirnya Ali menjadi lebih dekat dengan kaum Muslimin setelah dia berani mengungkapkan perkara itu." [HR. Bukhori no. 4240 dan Muslim no. 3304]

Rasûlullâh  ketika mendapatkan Fadak, beliau  hanya mengambil hasilnya untuk nafkah keluarga beliau  selama setahun, sisanya beliau  shadaqahkan untuk orang faqir miskin.

Ali bin Abi Thâlib ketika menjadi khalifah, beliau Radhiyallahu anhu tidak membagi-bagi Fadak kepada ahli warisnya atau kepada Ummahâtul Mukminin, padahal kekuasaan ada di tangan beliau Radhiyallahu anhu dan beliau Radhiyallahu anhu adalah orang yang adil dan pemberani.

Ini menunjukkan bahwa Fadak memang bukan harta warisan.

Pertanyaan penulis:

Jika seandainya benar bahwa Nabi  stelah wafatnya bisa hadir, bisa dipanggil dan bisa bertemu dengannya dalam keadaan jaga, kenapa mereka berdua Abu Bakr, Abbas paman Nabi , Fatimah dan Ali radhiyallahu 'anhum tidak menghadirkan Ruh Rosulullah  untuk memutuskan permsalahan tersebut ?. Padahal mereka semua adalah orang-orang pilihan dan istimewa di sisi Rosulullah .

CONTOH KETIGA:
Ketika terjadi Perang Jamal (Maʿrokah al-Jamal) antara 'Aisyah dan Ali radhiyallahu 'anhuma.

Perang Jamal adalah pertempuran yang terjadi antara pasukan Khalifah ke-4, Ali bin Abi Thalib melawan pasukan yang dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair radhiyallaahu 'anhum

Ali adalah sepupu kesayangan dan menantu dari Nabi Muhammad , sedangkan Aisyah adalah istri tercinta Nabi Muhammad .

Sedangkan Thalhah dan Zubair, keduanya adalah sahabat Nabi  yang terkemuka.

Mereka semuanya adalah para sahabat yang dijamin masuk surga.

Jika seandainya benar bahwa Nabi  stelah wafatnya bisa hadir, bisa dipanggil dan bisa bertemu dengannya dalam keadaan jaga, kenapa mereka tidak menghadirkan Ruh Nabi  untuk menengahi dan memutuskan permasalahan yang mengantarkan mereka berperang dan menyebabkan korban berjatuhan dari dua belah pihak ???. Thalhah dan Zubair radhiyallaahu 'anhuma keduanya mati terbunuh.

CONTOH KE EMPAT:

Umar bin al-Khoththob, dia senantiasa berkeingingan setiap ada masalah, dia bertanya langsung kepada Rosulullah , akan tetapi setelah Rosulullah  wafat, Umartidak mampu lagi untuk melakukannya dan itu sangat mustahil.

Syeikh Abdurrahman Dimasyqiyyah menyebutkan dalam kitab Ath-Thariqah Arifa'iyya hal. 47 [cet. Maktabah ar-Ridhwaan]:

وَقَدْ صَحَّ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ قَالَ فِي بَعْضِ الْأُمُورِ لَيْتَنِي سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ عَنْهُ

Dan sungguh telah ada riwayat shahih dari Umar bahwa dia mengatakan ketika mengahdapi sebagian perkara: "Seandainya saja saya bisa menanyakan kepada Rasulullah  tentang masalah ini".

CONTOH KE LIMA:

Sahabat Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anha, dia benar-benar merasa kehilangan dengan wafatnya Rosullulah  dan dia sangat merindukannya, namun dia tidak mampu menghadirkan Rosulullah  atau menemuinya dalam keadaan jaga.

Ash-Shoyaadi menyebutkan:

أَنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ وَقَفَ عِنْدَ قَبْرِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، وَبَكَى حَتَّى كَادَتْ تَزْهَقُ رُوحُهُ، وَأَنْشَدَ عِنْدَهُ أَبْيَاتًا مِنَ الشِّعْرِ، فَقَالَ:

كُنتَ السَوادَ لِناظِري *** فَبَكى عَلَيكَ الناظِرُ

مَن شاءَ بَعدَكَ فَليَمُت *** فَعَلَيكَ كُنتُ أُحاذِرُ

Bahwa Ali bin Abi Thalib berdiri di kuburan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan menangis tersedu-sedu hingga hampir saja meregang nyawanya, dan dia membacakan puisi di sisinya, dia berkata:

“Engkau adalah as-Sawaad[yang nampak gelap kehitaman] bagi yang melihatnya, maka orang yang melihatnya menangisi Engkau.

Siapa pun yang ingin mengejarmu, bersegeralah dia mati, maka untukmu aku waspada".

[Sumber : ضَوْءُ الشَّمْسِ  (1/190-191),  قِلَادَةُ الجَوَاهِرِ hal. 309 dan الطَّرِيقَةُ الرِّفَاعِيَّةُ hal. 47]

CONTOH KE ENAM:

Kesedihan Fathimah radhiyallahu 'anha putri tercinta Rosulullah  ketika ayahnya wafat serta kedriduannya padanya, namun Fatimah tidak mampu menghadirkan nya.

Dari Anas ra. Berkata:

فَلَمَّا مَاتَ قَالَتْ يَا أَبَتَاهُ أَجَابَ رَبًّا دَعَاهُ، يَا أَبَتَاهْ جَنَّةُ الْفِرْدَوْسِ مَأْوَاهْ، يَا أَبَتَاهْ إِلَى جِبْرِيلَ نَنْعَاهْ، فَلَمَّا دُفِنَ قَالَتْ فَاطِمَةُ رضي الله عنها‏: أَطَابَتْ أَنْفُسُكُمْ أَنْ تَحْثُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ التُّرَابَ؟

Ketika Rasulullah  meninggal dunia, Fatimah radhiyallahu 'anha berkata:

"Wahai ayah(ku) yang telah memenuhi panggilan Rabb-nya, ' wahai ayah(ku) yang surga firdaus adalah tempat kembalinya, wahai ayah (ku) yang kepada Jibril as kami sampaikan wafatnya"

Ketika Rasulullah  dimakamkan, Fatimah berkata: ‘Apakah kalian tidak merasa berat hati menaburkan debu kepada Rasulullah  ?’” [HR. Bukhori no. 4462]

Kesedihan Fatimah pada hari-hari berikutnya semakin bertambah dan kerinduan pada ayahnya semakin berat, namun Fatimah tidak mampu untuk menghadirkan beliau  walau hanya sesaat untuk berjumpa. Sebagaimana disebutkan Ash-Shoyaadi:

" وَأَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَكَتْ عِنْدَ قَبْرِ أَبِيهَا صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ بُكَاءً شَدِيدًا وَأَنْشَدَتْ تَقُولُ: 

مَاذَا عَلَى مَنْ شَمَّ تُرْبَةَ أَحْمَدٍ *** أَنْ لَا يَشُمَّ مَدَى الزَّمَانِ غَوَالِيَا

صَبَّتْ عَلَيَّ مَصَائِبُ لَوْ أَنَّهَا *** صُبَّتْ عَلَى الأَيَّامِ صِرْنَ لَيَالِيَا

وَأَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَقِيَتْ تَبْكِي وَحُزْنُهَا مُتَوَاصِلٌ حَتَّى لَحِقَتْ بَعْدَهُ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ".

وَأَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَكَتْ عِنْدَ قَبْرِ أَبِيهَا صَلَوَاتُ اللَّهِ وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ بُكَاءً شَدِيدًا وَأَنْشَدَتْ تَقُولُ:

مَا ذَا عَلَى مَنْ شَمَّ تُرْبَةَ أَحْمَدَ *** أَنْ لَا يُشَمَّ مَدَى الزَّمَانِ غَوَالِيَا

صَبَّتْ عَلَيَّ مَصَائِبُ لَوْ أَنَّهَا *** صُبَّتْ عَلَى الأَيَّامِ صِرْنَ لَيَالِيَا

وَأَنَّ فَاطِمَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا بَقِيَتْ تَبْكِي وَحُزْنُهَا مُتَوَاصِلٌ حَتَّى لَحِقَتْ بَعْدَهُ بِسِتَّةِ أَشْهُرٍ

Dan bahwa Fatimah radhiyaallahu 'anha, menangis di kuburan ayahnya  menangis dengan tangisan yang sangat menyayat, sambil melantunkan syair:

Apa yang kan terjadi atas orang yang mencium debu Ahmad *** yang tidak menciumnya untuk waktu yang lama?

Kemalangan-kemalangan telah menimpa aku, jika dituangkan pada hari-hari, maka hari-hari itu akan berubah menjadi malam.

Dan Fatimah radhiyallahu 'anha terus menerus menangis dan kesedihannya berlanjut sampai dia menyusul ayahnya  enam bulan kemudian.

[Sumber : ضَوْءُ الشَّمْسِ  (1/190-191),  قِلَادَةُ الجَوَاهِرِ hal. 309 dan الطَّرِيقَةُ الرِّفَاعِيَّةُ hal. 47]

====*****====

TEOLOGI KRISTEN MENOLAK KEPERCAYAAN ROH ORANG MATI BISA HADIR KE DUNIA, MESKI ROH SEORANG NABI:

Susanto Liau dalam makalahnya “Pro dan Kontra mengenai Roh Nabi Samuel dalam 1 Samuel 28:1-25”mengatakan :

“Belakangan ini, banyak ajaran sesat atau bidat yang mengatasnamakan ajaran Kristen, namun pada hakikatnya ajaran-ajaran tersebut tidak sesuai dengan kebenaran Alkitab. Salah satu contohnya, sebut saja ajaran pemanggilan arwah orang mati dengan tujuan untuk menginjil seperti cerita di atas.

Gerakan pemanggilan dan penginjilan arwah orang mati di Indonesia dipopulerkan oleh Andereas Samudera di Bandung sekitar tahun 1996 dan sudah berhasil menarik banyak pengikut.

Dengan demikian, banyak jiwa sedang disesatkan dari kebenaran dan berpaling kepada penyembahan kepada Iblis. Itu sebabnya ajaran ini perlu direspons dengan segera melalui pengajaran yang alkitabiah kepada jemaat, agar mereka dapat membedakan mana ajaran yang benar dan yang salah, sehingga mereka tidak disesatkan lagi oleh para guru palsu yang mengaku “diutus” oleh Allah padahal tidak demikian.

Ajaran dan praktik pemanggilan roh orang mati berawal dari pemahaman bahwa antara orang hidup dan roh-roh orang mati masih dapat saling berkomunikasi sehingga roh-roh orang mati yang belum percaya Yesus layak untuk diinjili demi keadilan Allah karena mereka belum sempat mendengarkan berita injil. Teks Alkitab yang dijadikan acuan dalam mengembangkan ajaran di atas adalah 1 Samuel 28:1-25 dan 1 Petrus 3:19-20”.

Pdt. Edy Siswoko, M.Pd.K. (Dosen STA Jember) dalam tulisnnya “Menangkal Ajaran Sesat Tentang “Roh” Dalam 1 Samuel 28” mengatakan :

Dampak ajaran sesat ini sudah banyak, contohnya ajaran pemanggilan arwah orang mati (ajaran Andereas Samudra) yang muncul sekitar tahun 1996 di Bandung dan memperoleh banyak pengikut, dimana Andereas Samudra ini mendasarkan ajarannya pada 1 Samuel 28 ini. Belum lagi bagaimana dampaknya pada jemaat kalau sampai hamba Tuhan GPdI mengajarkan roh itu adalah roh Nabi Samuel? Karena itu artikel ini merupakan bentuk pertahanan dari ajaran sesat dan pembelaan ajaran yang sehat (Tit. 2:1).

Pdt. Edy Siswoko juga berkata :  

Kedua, berdasarkan apa yang telah Tuhan ajarkan dan firmankan secara langsung maka roh itu bukan roh Samuel, karena praktik memanggil roh ini dilarang langsung oleh Tuhan, Tuhan menyebutnya “najis” (Im. 19:31) dan “zinah rohani” (Im. 20:6) bahkan harus dihukum mati (Im. 20:27, lihat pula Ul. 18:11; 1Sam. 28:3, 9; 2Raj. 21:6; 23:24; 2Taw. 33:6; Yes. 8:19; 19:3).

Tuhan tak bisa melanggar larangan-Nya sendiri, Firman-Nya tidak pernah berubah untuk selamanya (Mzm. 89:35). Jika Tuhan melanggar larangan-Nya sendiri, artinya Tuhan mendorong manusia untuk juga melanggar larangan Tuhan. Menerima bahwa itu roh Samuel sama saja menuduh Tuhan tidak konsisten, plin-plan. 

Ketiga, berdasarkan Firman-Nya sendiri tentang sifat-Nya yang Mahakudus (Yes. 40:25), maka jelas roh itu bukan roh Samuel sebab pemanggilan arwah itu dosa yang keji. Mengakui bahwa itu roh nabi Samuel sama dengan mengakui bahwa Tuhan tidak kudus, Tuhan bisa berdosa. Kalau Tuhan pernah berdosa, apa bedanya dengan iblis dan apa bedanya dengan manusia (Kel. 15:11)? Tidak ada yang menyamai Tuhan dalam kekudusan-Nya! 

Dan Pdt. Edy Siswoko juga berkata :  

Keenam, berdasarkan apa yang telah Tuhan ajarkan sendiri mengenai iblis yang adalah pendusta dan bapak segala dusta (Yoh. 8:44), maka roh itu adalah setan yang menyamar menjadi roh Samuel. Karena sedang menyamar, tentu ia bersikap dan berkata-kata seperti Samuel. Menyamar jadi malaikat dan berkata-kata seperti malaikat saja dia juga bisa (2Kor. 11:13-14), apalagi cuma menyamar jadi nabi Samuel?

Jangan mengira setan itu bodoh, polos, selalu bersikap dan berkata apa adanya. Ia cerdik namun pendusta dan bapak segala dusta (Yoh. 8:44). Kalau tidak cerdik dan licik maka iblis tak bisa menjatuhkan Adam & Hawa. Ia mengutip Firman Tuhan saat mencobai Yesus, jadi tak usah heran kalau ia mengutip kata-kata Samuel. Setan bisa mengutip kata-kata siapapun sebab ia punya memori ribuan tahun karena ia sudah hidup sebelum manusia ada.  

Sebagian orang berpendapat roh itu adalah roh Samuel karena tidak ada untungnya bagi setan menyamar jadi roh Samuel.

Nah, orang beriman harus memiliki penglihatan rohani, sebuah sudut pandang Tuhan (bukan kemahatahuan, tapi kepekaan), yang mampu menguji setiap roh. Memang “kelihatannya” tidak ada untungnya bila setan menyamar jadi roh Samuel dan menegur Saul. Tapi bahaya yang sesungguhnya ada di balik praktek pemanggilan arwah itu sendiri dan iblis memperoleh keuntungan sangat besar bila jemaat percaya roh tersebut adalah roh Samuel, karena akan memotivasi jemaat untuk juga menggunakan cara sesat ini.

Jemaat akan menilai bahwa, “Melalui pemanggilan arwah ini orang dapat mengetahui masa depan, dan meski dilarang oleh Tuhan ternyata Tuhan sendiri melakukannya dan ternyata Tuhan juga bisa berkompromi dengan dosa, karena itu tidak masalah kalau kita sekali-kali juga berkompromi dengan dosa!”

Nah, sadarkah kita betapa Hukum dan Ketetapan Tuhan akan jadi tidak berarti bahkan dihina serta diinjak-injak bila Tuhan memunculkan Samuel dengan cara sesat ini?

Kalau kita sendiri menyadari dan mengerti bahaya dari ajaran ini, apalagi Tuhan yang hikmat dan pengertiannya tak terbatas?

Dan Pdt. Edy Siswoko juga berkata :  

Lalu mengapa Tuhan mengizinkan nubuat nabi palsu dan nubuat iblis terpenuhi?

Yaitu untuk menguji umat-Nya (Ul. 13:1-5).  Ini peringatan bagi orang benar zaman sekarang, jangan mudah terjebak dengan iming-iming seseorang yang bisa bernubuat dan digenapi, membuat mujizat, dsb, sebab Tuhan Yesus berkata bahwa para antek iblis yaitu para nabi palsu akan menyesatkan banyak orang dengan nubuat dan mujizat yang dahsyat (Mat. 7:21-23; 24:24), sehingga kembali lagi kita harus menguji mereka berdasarkan buah ajaran dan buah tingkah laku mereka, apakah sesuai dengan Firman-Nya (Ul. 13:1-5). 

====****====

KEBERADAAN ROH ORANG MATI DALAM AGAMA HINDU :

Dijelaskan oleh Sri Vishnu pada Garuda dalam Kitab Suci Veda Garuda Purana dan Purana lainnya. Setiap orang yang akan meninggal didatangi oleh dua sosok yakni Yamaduta Utusan Dewa Yama (Sejenis malaikat Munkar dan Nakir dalam Islam), Mereka menjemput Sang Roh keluar dari badan kasarnya.

Sang Roh yang banyak dosa kadang hidungnya diikat dengan Tali Sakti dan ditarik paksa. Sedangkan yang lebih sedikit dosanya kadang Yamaduta menampakkan diri seperti keluarga Sang Roh yang telah meninggal, sehingga Sang Roh rela keluar dari badannya mengikuti Yamaduta yang menyamar itu. Setelah Roh keluar dari badan atau mati, Sang Roh yang dibungkus badan halus dengan ukuran sebesar Ibu Jari dibiarkan gentayangan dalam pengawasan Yamaduta selama 10 hari sebelum dibawa ke tempat Pengadilan Dewa Yama, dalam perjalanan selama 348 hari itulah Yamadita kerap menyiksa Sang Roh .

====*****====

SUMBER KEYAKINAN ROH BISA HADIR DAN GENTAYANGAN :

Animisme merupakan aliran kepercayaan yang berpendapat bahwa roh mendiami semua benda (pohon, batu, sungai, gunung, dan sebagainya).

Keberadaan roh dan kekuatan-kekuatan gaib dipandang sebagai Tuhan yang dapat menolong ataupun sebaliknya dapat mencelakakan.

Oleh karena itu, W. Robertson Smith menyatakan bahwa upacara religi yang biasa dilakukan masyarakat pada waktu itu berfungsi sebagai motivasi yang dimaksudkan tidak saja untuk mencari kepuasan batiniah yang bersifat individual saja, tetapi juga karena mereka menganggap melaksanakan upacara agama adalah bagian dari kewajiban sosial.

Adapun bentuk kepercayaan Animisme yang masih sangat menonjol di tengah masyarakat yaitu mempunyai anggapan bahwa suatu benda memiliki kekuatan supranatural dalam bentuk roh. Roh ini bisa dipanggil dan di ajak berdialog serta diminta pertolongan pada saat diperlukan. Mereka percaya akan hal-hal yang gaib atau kekuatan hebat.

Kepercayaan terhadap bermacam-macam roh dan makhluk halus yang menempati suatu tempat memunculkan kegiatan menghormati atau memuja roh tersebut dengan cara memotong hewan kurban sebagai tumbal dan memberi sesajen atau sersembahan setiap pergantian musim barat dengan musim timur supaya tidak ada penyakit.

Kepercayaan animisme dan dinamisme telah tumbuh dan berkembang pesat di seluruh belahan dunia. Dari kepercayaan inilah, mereka membangun sebuah masyarakat. Mereka mengangkat seorang kepala adat sebagai pemimpin. Baik pemimpin kemasyarakatan ataupun pemimpin dalam proses-proses ritual. Kepercayaan animisme dan dinamisme itu didapat dari pengaruh bangsa lain yang telah menjalin interaksi dengan mereka.

Ada yang mengatakan bahwa sumber utama paham ini berasal dari ajaran Taonisme yang lahir di kawasan Tiongkok. Ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir dari ajaran bangsa Aria.

Yang pasti, umat manusia sudah lama mengenal istilah roh jahat dan roh baik yang bisa hadir dan gentayangan, dan kesaktian atau kekuatan luar biasa.

Banyak bangsa-bangsa di dunia yang sudah lama mengenal tentang bagaimana cara menghormati orang yang sudah mati. Kepercayaan bahwa manusia yang hidup masih bisa menjalin komunikasi dengan para leluhur mereka yang sudah mati. Untuk itulah, mereka melakukan ritual-ritual tertentu dalam rangka menghormati arwah para leluhur dan menjauhkan diri dari roh jahat.

Setiap benda yang dianggap ajaib atau mengesankan, maka mereka akan menganggapnya sebagai benda yang memiliki kesaktian. Matahari dipercaya sebagai dewa, bulan diyakini sebagai dewi, langit dianggap sebagai kerajaan, bumi beserta segala isinya disebut sebagai pelindung atau pengawal manusia.

Jika ditelusuri, kepercayaan semacam ini sejak dulu telah berkembang di berbagai macam bangsa dan negara, termasuk di Indonesia. Begitu pula di Jepang atau Cina misalnya. Di sana masih banyak masyarakat setempat yang menganut paham animisme dan dinamisme. Terutama di masyarakat India. Bahkan, sebagian masyarakat Eropa dan Asia Barat pun masih percaya pada animisme dan dinamisme.

Warga Jepang masih menganut paham Shinto. Mereka sangat menghormati matahari.

Masyarakat Cina menganut Konghucu, mereka menyembah para dewa langit dan bumi. Yang dan Ying disebut-sebut sebagai Tuhan.

Di India, setiap binatang tertentu seperti sapi memiliki kekuatan. Sapi adalah binatang suci bagi masyarakat India, bahkan pemerintah setempat melarang penyembelihan sapi.

[http://kangmas.blogspot.in/animisme-dan-dinamimse.html. Diakses pada 6 April 2015 pukul 17.14 3 ]

Di kawasan Jazirah Arab, sebagian masyarakat masih percaya pada kekuatan roh Fir’aun Osiris dan Isis istrinya, sang penguasa sungai Nil atau kesaktian padang Sahara. Fir’aun masih diyakini sebagi sosok yang masih memiliki kekuatan walaupun jasadnya telah rusa. Di yakini bisa hadir ke bumi kapan saja .  

Bahkan di Eropa, kepercayaan terhadap dewa-dewa Yunani atau roh-roh jahat seperti vampir dan zhombie, masih ramai diyakini oleh mereka.

Dari semua penelusuran ini dapat disimpulkan bahwa lahirnya kepercayaan animisme dan dinamisme di Indonesia adalah berasal dari pengaruh bangsa lain.

Perjalanan waktu yang mengandaikan berbedanya tempat, latar belakang budaya serta sosial masyarakat dan melahirkan perbedaan yang cukup beragam secara tidak langsung menyebabkan keragaman agama yang sampai saat ini masih ada yang survive dan ada yang tenggelam.

Tradisi merupakan suatu kebiasaan dari nenek moyang terdahulu yang menjadi kepercayaan kemudian diwariskan secara turun temurun. Tradisi bisa berubah sesuai perubahan pola pikir masyarakat di zaman modern.

Pada zaman modern ini, masih banyak masyarakat yang tidak bisa meninggalkan sebuah kebudayaan yang terbawa dari nenek moyang. Kadang sebuah kebudayaan itu sangat erat kaitannya dengan tingkat kepercayaan seseorang tentang suatu hal yang di anggapnya keramat dan wajib untuk dilakukan.

Kepercayaan itu ada ketika seseorang yakin akan suatu hal, entah itu hal yang disakralkan atau tidak.

====*****====

KEYAKINAN TENTANG KEDUDUKAN ORANG SUCI SETELAH MATI SEMAKIN TINGGI DI SISI TUHANNYA

Kepercayaan dan keyakinan bahwa orang suci atau orang shaleh jika sudah mati akan semakin tinggi kedudukannya di sisi Allah , serta keyakinan bahwa berdoa lewatnya adalah sangat mustajab , di sebabkan orang suci tersebut memiliki kemampuan melobi kepada Allah SWT agar Dia mengabulkan doa orang tersebut .

Keyakinan ini di bangun di atas filsafat dan logika . Diantaranya dalam fisalafat berikut ini: 

1. Dalam Filsafat Majusi .

2. Dalam filsafat Babylonia .

3. Dalam filsafat Yunani .

4. Dalam filsafat Hindu dan Budha .

5. Dalam Filsafat Sabiah .

6. Dalam filsafat Mesir Kuno .

PANDANGAN MAJUSI [AGAMA PEMUJA API] TENTANG ORANG SUCI SETELAH MATI

Kepercayaan bahwa orang saleh / orang suci jika sudah mati akan naik ke martabat yang sangat tinggi atau mencapai tingkat kesempurnaan serta berkeyakinan bahwa berdoa kepadanya atau dengan perantaraannya setelah kematiannya jauh lebih mustajab dari pada semasa hidupnya adalah bagian dari kepercayaan agama Majusi agama pemuja api, dupa dan kemenyan .

Mereka berkeyakinan bahwa hakikat awal kehidupan di dunia itu adalah percampuran dua unsur terang dan gelap, cahaya dan kegelapan, baik dan buruk. Maka kematian itu pada hakikatnya adalah berlepas dirinya sang cahaya dari kegelapan, berlepas dirinya sanga kebaikan dari segala kejahatan dan keburukan. Sementara beramal kebajikan di dunia merupakan salah satu cara membebaskan diri dari pengaruh unsur negatif kegelapan.

Maka orang suci itu adalah orang yang banyak beramal saleh sehingga dia itu dianggap sebagai pribadi yang mampu mengusir pengaruh unsur negatif kegelapan, maka dengan demikian orang suci itu doanya sangat mustajab karena dia semasa hidupnya mampu memaksimalkan dalam menguasai cahaya dan mengusir kegelapan. 

Jika orang suci itu semasa hidupnya saja sudah dianggap mustajab doanya padahal masih bercampur baur jiwanya dengan keburukan atau unsur negatif , apalagi jika sudah mati dan telah lepas dari segala pengaruh keburukan, maka sudah dipastikan menurutnya : berdoa dengan perantaranya jauh lebih mustajab, dikarenakan dia sudah mencapai tingkat kesempurnaan. ( Lihat kitab al-Milal wan Nihal karya Syahristani 1/251 , 2/271-272 ) .

Berangkat dari pengagungan terhadap cahaya dan terang ; maka penggunaan segala sesuatu yang mengandung unsur cahaya dan terang - seperti api, dupa, kemenyan dan sejenisnya sebagai sarana ibadah - merupakan syarat mutlak dan utama dalam ritual ibadah penganut agama Majusi dan sekte-sekte nya.

====*****====

PARA TOKOH SUPRANATURAL YANG DIYAKINI ROHNYA BISA HADIR GENTAYANGAN DAN DIRAYAKAN HARI KELAHIRAN-NYA

******

PERTAMA : NAMRUD ATAU NIMROE:

H.W. Armstrong dalam bukunya The Plain Truth About Christmas, Worldwide Church of God, California USA, 1994, menjelaskan:

“ Namrud cucu Ham Anak nabi Nuh adalah pendiri sistem kehidupan masyarakat Babilonia kuno. Nama Nimrod dalam bahasa Hebrew (Ibrani) berasal dari kata “Marad” yang artinya: “Dia membangkang atau Murtad” antara lain dengan keberaniannya mengawini ibu kandungnya sendiri bernama “Semiramis”.

Namun usia Namrud tidak sepanjang ibunya . Ketika Nimrod mati, tubuhnya dipotong-potong, kemudian dibakar dan disebar ke berbagai daerah. Praktek serupa juga disebutkan dalam Al-kitab (Hak. 19:29; 1Sam. 11:7). Kematiannya sangat menyedihkan masyarakat Babilon. Semiramis lalu menegaskan bahwa Nimrod adalah dewa matahari.

Ahmad Nizam mengatakan : Setelah Namrud meninggal dunia, Semiramis ibu yang merangkap sebagai isteri tersebut menyebarkan ajaran bahwa Roh Namrud tetap hidup selamanya walaupun jasadnya telah mati. Dia membuktikan ajarannya dengan adanya pohon Evergreen yang tumbuh dari sebatang kayu yang mati, yang ditafsirkan oleh Semiramis sebagai bukti kehidupan baru bagi Nimrod yang sudah mati. Dan di yakini bahwa Namrud selalu hadir di pohon Evergreen ini .

Untuk mengenang hari kelahirannya, mereka merayakannya dengan mengadakan acara ulang tahun kelahirannya serta meninggalkan bingkisan yang digantungkan di ranting-ranting pohon Evergreen itu. Sedangkan kelahiran Namrud dinyatakan pada tanggal 25 Desember .

Dan inilah asal usul pohon Natal / Christmas tree yang dijadikan oleh orang-orang Kristen sebagai simbol Hari Raya Natal . Pertama kalinya ketika agama Nasrani tersebar di kawasan Eropa Barat, perayaan Natal dilengkapi dengan “pohon Natal” (Christmas tree) yang jelas-jelas dipuja oleh bangsa kafir Babylonia , kemudian diikuti oleh bangsa-bangsa lainnya seperti Jerman dan Skandinavia.

Bangsa Inggris baru mengenal pohon Natal ketika Ratu Victoria menikahi Pangeran Albert . Maka dialah yang membawa tradisi itu ke Inggris dari daerah asalnya Jerman pada tahun 1840.

Adapun orang yang pertama kali gemar membagi-bagikan hadiah kepada anak-anak pada HARI NATAL adalah Saint Nicholas yang kemudian dikenal dengan nama Santa Claus, uskup abad ke-4 di Nicaea (sekarang Iznik, masuk wilayah Turki). Tradisi ini populer di Negeri Belanda dengan sebutan San Nicolaas. Ketika orang-orang Belanda berimigrasi ke Amerika - kota New York sekarang adalah bikinan Belanda, dulu namanya New Amsterdam - mereka memperkenalkan tradisi bagi-bagi hadiah dari San Nicolaas ini, yang oleh lidah anak-anak Amerika diucapkan Santa Claus. Akhirnya pada tahun 1863, kartunis terkenal Thomas Nast menggubah lukisan Santa Claus dengan berpakaian merah dan berjanggut putih, lengkap dengan ketawa ‘ho-ho-ho’nya, yang populer sampai hari ini.

Dan dari tradisi perayaan kelahiran Namrud pula lahirnya konsep berbagai macam ritual hari peringatan yang ditujukan kepada seseorang yang dianggap suci dan di kultuskan , seperti Raja , Pahlawan , tokoh dang yang sejenisnya dengan berbagai macam dalih dan istilah .

Dan lebih lanjut lagi Semiramis ibu dan istri Namrud dianggap sebagai “Ratu Langit” oleh rakyat Babilonia, kemudian Namrud dipuja sebagai “anak suci dari surga”.

Pada akhirnya putaran zaman menyatakan bahwa penyembah berhala versi Babilonia ini berubah menjadi “Mesiah palsu”, berupa dewa “Ba-al” anak dewa matahari dengan obyek penyembahan “Ibu dan Anak” (Semiramis dan Namrud) yang diyakini lahir kembali .

Ajaran tersebut menjalar ke negara lain: Di Mesir berupa “Isis dan Osiris”, di Asia bernama “Cybele dan Deoius”, di Roma disebut“Fortuna dan Yupiter”, bahkan di Yunani. “Kwan Im” di Cina, Jepang, dan Tibet, India, Persia, Afrika, Eropa dan Meksiko juga ditemukan adat pemujaan terhadap dewa “Madonna”dan lain-lain.

Dewa-dewa berikut ini dimitoskan lahir pada tanggal 25 Desember, dilahirkan oleh gadis perawan (tanpa bapak), mengalami kematian (disalib) dan dipercaya sebagai Juru Selamat (Penebus Dosa).

Dan diyakini bahwa mereka bisa hadir ke dunia dan hari kelahiran mereka senantiasa dirayakan oleh para pemuja-nya :

  1. Dewa Mithras (Mitra) di Iran, yang juga diyakini dilahirkan dalam sebuah gua dan mempunyai 12 orang murid. Dia juga disebut sebagai Sang Penyelamat, karena ia pun mengalami kematian, dan dikuburkan, tapi bangkit kembali. Kepercayaan ini menjalar hingga Eropa. Kaisar Konstantin termasuk salah seorang pengagum sekaligus penganut kepercayaan ini.
  2. Apollo, yang terkenal memiliki 12 jasa dan menguasai 12 bintang/planet.
  3. Hercules yang terkenal sebagai pahlawan perang tak tertandingi.
  4. Ba-al yang disembah orang-orang Israel adalah dewa penduduk asli tanah Kana’an yang terkenal juga sebagai dewa kesuburan.
  5. Dewa Ra, sembahan orang-orang Mesir Kuno; kepercayaan ini menyebar hingga ke Romawi dan diperingati hari kelahiran-nya secara besar-besar dan dijadikan sebagai pesta rakyat.

Demikian juga Serapsis, Attis, Isis, Horus, Adonis, Bacchus, Krisna, Osiris, Syamas, Kybele dan lain-lain.

Selain itu ada lagi tokoh/pahlawan pada suatu bangsa yang oleh mereka diyakini dilahirkan oleh perawan, antara lain Zrates (Bangsa Persia) dan Fo Hi (Bangsa Cina). Demikian pula pahlawan-pahlawan Helenisme : Agis, Celomenes, Eunus, Solulus, Aristonicus, Tibarius, Grocesus, Yupiter, Minersa, Easter.

Jadi, konsep bahwa Tuhan itu dilahirkan seorang perawan pada tanggal 25 Desember, disalib/dibunuh kemudian dibangkitkan, sudah ada sejak zaman purba sebelum Yesus lahir.

Dalam Matius pun mengenai kemungkinan terjadinya pendustaan itu telah disinyalir oleh Yesus lewat pesannya :

**Jawab Yesus kepada mereka : Waspadalah supaya jangan ada orang yang menyesatkan kamu! Sebab banyak orang akan datang dengan memakai namaku dan berkata Akulah Mesias, dan mereka akan menyesatkan banyak orang?**. (Matius 24:4-5).

Tradisi ulang tahun Raja Namrud Dewa Matahari ini menyebar dan ditiru oleh raja-raja lainnya , termasuk raja-raja Mesir yang mengaku dirinya sebeagai Dewa Matahari pula . Sebagaimana terdapat keterangan di dalam injil Kejadian 40:20 :

**Dan terjadilah pada hari ketiga, hari kelahiran Firaun, maka Firaun mengadakan perjamuan untuk semua pegawainya. Ia meninggikan kepala juru minuman dan kepala juru roti itu di tengah-tengah para pegawainya **. [Injil ; Kejadian 40:20]

Pada masa Herodes acara ulang tahun dimeriahkan sebagaimana tertulis dalam Injil Matius 14:6;

**Tetapi pada hari ulang tahun Herodes, menarilah anak Herodes yang perempuan, Herodiaz, ditengah-tengah meraka akan menyukakan hati Herodes **. (Matius14 : 6)

Dalam Injil Markus 6:21 Akhirnya tiba juga kesempatan yang baik bagi Herodiaz, ketika Herodes pada hari ulang tahunnya mengadakan perjamuan untuk pembesar-pembesarnya, perwira-perwiranya dan orang-orang terkemuka di Galilea. (Markus 6:21)

Maka dengan demikian telah menjadi maklum bahwa tradisi perayaan ulang tahun kelahiran seseorang itu adalah tradisi para penyembah berhala .

Seiring dengan berjalannya waktu , maka berkembang pula tradisi perayaan hari kelahiran Namrud Dewa Matahari ini menjadi tradisi ulang tahun kelahiran bagi setiap insan yang pernah lahir , dengan tujuan agar dipanjangkan umurnya , di lapangkan rizkinya dsb . Oleh karena itu dalam acara ulang tahun tidak lepas dari simbol-simbol Namrud yang di laknati oleh Allah SWT , yaitu menyalakan lilin , nyanyi-nyanyi dan mentabdzirkan harta .

Ralph Woodrow dalam BABYLON MYSTERY RELIGION hal. 4 menyatakan bahwa :

**Api adalah lambang dari raja Namrud yang diyakini oleh pengikutnya sebagai dewa matahari atau baal . Jadi , lilin dan lain-lain kebiasaan yang berkenaan dengan api dimaksudkan sebenarnya sebagai penyembahan kepada Nimrod **. (Baca Roma 1:21-26).

Orang Nasrani yang pertama kali mengadakan pesta ulang tahun adalah orang Nasrani Romawi. Beberapa batang lilin dinyalakan sesuai dengan usia orang yang berulang tahun. Sebuah kue ulang tahun dibuatnya dan dalam pesta itu, kue besar dipotong dan lilinpun ditiup. (Baca buku :Parasit Aqidah. A.D. El. Marzdedeq, Penerbit Syaamil, hal. 298)

Kisah perjalanan dakwah nabi Ibrahim alaihis salam tidak bisa lepas dari kisah Namrud sang dewa matahari, Raja Babilon ( Baghdad - Irak ), Sang Penghulu Para Dewa dan Biang Kaum Pagan. Manusia pertama yang dirayakan hari kelahirannya oleh para pemuja Dewa Matahari .

Kisah keduanya itu sebagai simbol perseteruan antara dakwah tauhid dan dakwah kesyirikan, antara konsep Tauhid dan konsep Dewa Dewi , antara konsep tauhid dan konsep Berhala atau paganisme . Allah SWT telah mengisyaratkannya dalam Al-Quran :

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِي حَاجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رَبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللَّهُ الْمُلْكَ إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِي وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللَّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ (258) }.

Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan," orang itu berkata: "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata: "Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim. ( QS. Al-Baqarah : 258 ).

Dalam menafsiri ayat ini Imam Sayuthi dalam tafsirnya Ad-Durorul Mantsur 3/260 menukil riwayat Ibnul Mundzir dari jalur Ibnu Jarir dari Ibnu Abbas , beliau berkata : " Dia adalah Namrud bin Kan'an , orang-orang menganggap dia adalah raja pertama di bumi , bertindak sewenang-wenang dengan membunuh manusia sekehendaknya dan membiarkannya hidup juga sekehendaknya, dan Namrud berkata : Akulah yang menghidupkan dan yang mematikan.

Abd bin Humeid dan Ibnu Jarir meriwayatkan dari Qotadah bahwa dia berkata: "Kami mengatakannya, bahwa dia adalah seorang raja, yang di sebut Namrud bin Kan'an, dan dia adalah raja pertama yang berkuasa dengan sewenang-wenang di muka bumi, dan dialah orang yang membangun istana dan menara yang menjulang tinggi di Babylon, maka dia memanggil dua orang, salah satunya dia bunuh, sementara yang satunya lagi dibiarkan hidup, lalu dia berkata : Sesungguhnya akulah yang menghidupkan atas kehendakku , dan aku pula yang mematikan atas kehendakku pula". ( Lihat Tafsir Ad-Durorul Mantsur 3/260 karya Imam Sayuthi ).

Perkataan Nabi Ibrahim as terhadap Namrud : “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat," sebagai tantangan terhadap Namrud untuk membuktikan jika benar Namrud itu merasa di dirinya sebagai dewa matahari , maka coba rubahlah arah terbit matahari !

******

KEDUA : KEHADIRAN FIR’AUN KE DUNIA SETELAH MATI.

Masyarakat mesir kuno meyakini bahwa para Fir’aun ketika ajalnya tiba, mereka tidak mati, melainkna pindah ke syurga, dan mereka bisa hadir kembali ke alam dunia, sesuai dengan yang mereka inginkan .

Kedudukan Para Fir’aun di masyarakat Mesir, disamping sebagai raja , juga di yakini sebagai Tuhan titisan Dewa Matahari.

Hari kelahiran para Fir’aun ini semas hidupnya senantiasa dirayakan oleh masyarakat Mesir sebagai bentuk pengagungan dan penyembahan kepada Fir’aun, Tuhan Dewa Matahari..

Oleh sebab itu salah seorang tokoh gereja Nasrani abad ke-3, yang bernama Origenes, menyatakan bahwa merupakan suatu perbuatan dosa jika mencari-cari tanggal kelahiran Jesus, sebab hal itu berarti menyamakan Kristus dengan seorang Fir’aun .

Maka umat Nasrani pada masa-masa awal tidak ada yang mau merayakan Natal (Ul-Tah), sebab mereka memandang perayaan ulang tahun sebagai bentuk kebiasaan orang kafir.

Dikarenakan Fir’aun telah mengklaim dirinya sebagai Tuhan titisan dewa Matahari, maka pada masa Nabi Musa ‘alaihis salam di utus, Allah SWT menurunkan kegelapan di siang hari, sebagai peringatan dan tantangan.    

Allah memerintahkan Musa untuk mengulurkan tangannya ke seluruh Mesir, dan ini menyebabkan kegelapan yang sangat pekat yang berlangsung selama tiga hari. Kegelapan ini bukanlah kegelapan biasa yang dapat dihindari. Namun, orang-orang Israel tetap bisa melihat dengan terang dan baik. Setelah tulah tersebut berakhir, Firaun memanggil Musa dan mencoba bernegosiasi. Firaun menawarkan untuk membiarkan semua orang Israel pergi, tetapi mereka harus meninggalkan ternak mereka di Mesir. Musa menolak persyaratan ini, bahkan Firaun harus menyediakan korban sementara orang Israel pergi. Ini membuat Firaun sangat marah, dan dia mengancam Musa dengan kematian yang mengerikan, kematian yang tidak akan pernah ada lagi seperti itu. [Sumber : **Kegelapan (10:21 - 10:29)**].

Dalam metology Mesir kuno di sebutkan bahwa masyarakat Mesir meyakini akan adanya penguasa sungai Nil, yaitu dewa Osiris salah satu Firaun Raja Mesir yang pernah berkuasa dan istrinya dewi Isis.

Mereka meyakini bahwa Osiris dan istrinya Isis meskipun telah wafat, kedua-duanya bisa hadir gentayangan turun ke bumi kapan saja, terutama turun ke sungai Nil di saat bertepatan dengan hari kelahiran-nya.

Osiris dalam bahasa Yunani, berarti dewa di alam baka. Osiris tidak hanya menghakimi orang-orang yang sudah mati di alam baka, tetapi dia juga membuat subur tumbuh-tumbuhan dan menyebabkan sungai Nil banjir.

Osiris anak Dewa Geb dari bumi dan Dewi Nut dari langit. Ia mempunyai saudara kembar laki-laki bernama Seth, dan adik perempuan kembar juga bernama Isis dan Nephthys. Setelah ayahnya pensiun dan tinggal di langit, Osiris meneruskan mengelola Mesir di muka bumi, dan mengawini adik perempuannya. Isis, sebagai permaisuri , dan Horus merupakan peranakannya.

Osiris terkenal sebagai firaun yang rajin mengajari rakyat Mesir, bagaimana menanam gandum dan anggur (tanaman) untuk menghasilkan roti dan anggur (minuman). Di bawah pengelolaannya, Mesir kuno menjadi negeri yang subur makmur, tata-tenteram, karta-raharja.

Tapi ia juga dimitoskan dibunuh oleh saudara kembarnya, Seth, yang iri melihat keberhasilannya sebagai firaun. Jenazahnya disemayamkan dalam piramida, dan ditiupi napas kehidupan oleh Isis . Setelah merasa segar sejuk Osiris hidup kembali, dan bisa pulang ke langit, tempat ayahnya menikmati masa pensiun sebagai dewa. Ia menetap di bintang Alnitak.

Kemudian dalam mitos Mesir Kuno rakyat mesir percaya bahwa Sungai Nil banjir setiap tahun karena kesedihan air matanya untuk kematian suaminya, Osiris. Ini menunjukkan adanya keyakinan terjadinya kematian dan kelahiran kembali .

Untuk mengenangnya kembali maka setiap tahun diadakan ritual-ritual perayaan hari kematian dan hari kelahiran kembali.

Penyembahan Isis akhirnya menyebar ke seluruh dunia termasuk diantaranya di Yunani dan Romawi dan berlanjut hingga penindasan paganisme di era Kristen . Dia dipuja sebagai ibu dan istri yang ideal serta pelindung alam dan sihir. Isis adalah Dewi keibuan, sihir dan kesuburan.

Kisah berakhirnya ritual Ruatan Sungai Nil di Mesir sebagai persembahan kepada Dewa Osiris dan Dewi Isis .

Ibnu Lahi'ah berkata : dari Qois bin Hajjaj dari orang yang bercerita padanya , dia berkata :

" Setelah Mesir ditaklukkan ( pada masa Khilafah Umar radhiyallahu ‘anhu ) , datanglah masyarakatnya menghadap 'Amr bin 'Ash – saat itu dia sebagai amirnya – ketika memasuki bulan Bauunah salah satu nama-nama bulan 'Ajam ( non arab ) , lantas mereka berkata : Wahai Amir , sesungguhnya sungai Nil kami punya tradisi ( sunnah ) yang tidak akan mengalir airnya , kecuali jika kami melaksankan tradisi itu . Beliau 'Amr bin 'Ash bertanya : " Tradisi apakah itu ? ".

Mereka menjawab : Yaitu setiap tanggal dua belas malam dari bulan ini lewat , kami mengambil seoarang gadis yang masih perawan yang berada bersama kedua orang tuanya , maka kami membujuk kedua orang tua gadis tersebut agar merelakannya , kemudian kami dandani dengan perhiasan dan pakaian yang terbaik , setelah itu kami melemparkannya ke sungai Nil ini .

Maka Amr bin 'Ash berkata kepada mereka : Yang demikian itu tidak ada dalam Islam , dan sesungguhnya Islam itu menghilangkan sesuatu yang telah ada sebelumnya". Setelah mereka menunggu selama bulan Bauunah ternyata sungai Nil ini tetap tidak mengalir , kemudian akhirnya mereka berniat hendak melaksanakan tradisi tersebut , maka 'Amr buru-buru menulis surat kepada Umar bin Khoththob tentang hal itu , maka Umar pun menulis surat balasan yang bunyinya :

" Sesungguhnya apa yang telah kamu lakukan adalah benar , dan sungguh aku telah mengirimkan kepada mu selembar kartu di dalam suratku ini , maka lemparkanlah kartu itu ke sungai Nil ".

Setelah kitab itu nyampai , 'Amr pun mengambil kartu tersebut dan membukannya , ternyata di dalamnya terdapat tulisan yang kata-katanya :

" Dari hamba Allah , Umar , Amirul Mu'minin kepada sungai Nil penduduk Mesir. Amma Ba'du ( adapun setelah itu ) : …. Maka sesungguhnya kamu , jika kamulah yang mengalirkan air itu dari diri kamu maka kamu tidak akan bisa mengalirkannya . Dan jika Allah yang Maha Tunggal dan Maha Perkasa yang mengalirkan kamu , maka kami akan memohon kepada Allah agar mengalirkan kamu".

Maka Amr' pun melemparkan kartu tadi ke sungai Niil , dan pada hari Sabtu di pagi harinya mereka menemukan sungai Niil dengan izin Allah telah mengaliGENTr dengan ketinggian enam belas hasta dalam satu malam . Dan Allah Ta'ala telah menghilangkan tradisi tersebut dari masyarakat Mesir hingga hari ini " .

 ( Kisah ini di riwayatkan oleh Abul Qosim Al-Lalakai Ath-Thobary dalam kitabnya As-Sunnah . Di dalam sanadnya ada kelemahan . Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 3/464 berkata : Di sanadnya terdapat Ibnu Lahi'ah , dan dia itu kodisinya di perdebatkan ". Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya At-Taqrib berkata : Dia Shoduq dari thobaqot ke tujuh , dia hafalannya suka keliru setelah terbakar kitab-kitabnya ).

*****

KETIGA : KEHADIRAN YESUS KRISTUS DALAM RITUAL EKARISTI (HIDANGAN LANGIT)

**Ekaristi Kudus** menurut umat Kristiani : merupakan Perjamuan Tuhan Yesus yang Ia lakukan bersama dengan kedua belas rasul-Nya. Injil mencatat bahwa Tuhan Yesus menetapkan hal ini ketika Dia makan pada perjamuan terakhir sebelum Dia ditangkap dan diadili.

Ekaristi atau hidangan langit ini telah diisyaratkan dalam Al-Qur’an :

﴿إِذْ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَن يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِّنَ السَّمَاءِ ۖ قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ . قَالُوا نُرِيدُ أَن نَّأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا وَنَعْلَمَ أَن قَدْ صَدَقْتَنَا وَنَكُونَ عَلَيْهَا مِنَ الشَّاهِدِينَ. قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِّنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِّأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِّنكَ ۖ وَارْزُقْنَا وَأَنتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ﴾

(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: "Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?". Isa menjawab: "Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman".

Mereka berkata: "Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".

Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rzekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama". [Maidah: 112-114]

**Menurut keyakinan umat kristiani** : Sesungguhnya, Yesus menegaskan Diri-Nya sebagai korban dan kurban yang dipersembahkan bagi pelunasan dosa dunia. Yesus menyatakan Diri-Nya sebagai Hidangan dan Santapan iman yang kita terima melalui Ekaristi Kudus. Ekaristi sebagai perjamuan yang menyediakan Hidangan dan Santapan iman akan membawa setiap orang yang percaya untuk berjumpa dengan Kristus.

Kehadiran nyata Kristus dalam ritual Ekaristi adalah istilah yang digunakan dalam teologi Kristen untuk mengungkapkan ajaran bahwa Yesus adalah benar-benar atau secara substansial hadir dalam Ekaristi atau Perjamuan Kudus, bukan hanya secara simbolis atau metaforis.

Yesus hadir dalam Ekaristi sebagai tanda kehadiran Allah di tengah umat yang merayakannya. 

Ekaristi merupakan salah satu ritual terpenting dalam tradisi Kristen yang dilakukan dengan memakan roti dan minum anggur atau sari buah anggur. 

Mereka berkeyakinan bahwa hidangan roti tersebut sebagai simbol dari daging Yesus, sementara minuman anggur adalah darah Yesus. Dan barang siapa yang mengkonsumsinya maka Yesus akan merasuk pada tubuhnya dan menyatu dengannya.

Karina Chrisyantia dalam artikel “ Kehadiran Kristus dalam Ekaristi” mengatakan :

Dapat kita fahami relasi Ekaristi dengan kehadiran Tuhan sebagai berikut :

Pertama, hakikat Ekaristi sendirilah yang telah menunjukkan kehadiran Tuhan Yesus. Kedua, Tuhan Yesus adalah roti hidup, roti yang memberi kesegaran kepada semua orang sebagaimana Dia katakan:

“Akulah roti hidup; barangsiapa datang kepadaKu, ia tidak akan lapar lagi, dan barangsiapa percaya kepada-Ku ia tidak akan haus lagi” (Yoh. 6:35).

Maka, Gereja sejak awal meyakini bahwa Ekaristi adalah kehadiran Kristus karena ketika memecah roti setiap orang percaya dan selalu ingat akan apamyang dilakukan-Nya.

Santo Paulus dalam Suratnya kepada jemaat Korintus mengatakan: “Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Tuhan Ia datang” (1 Kor. 11:26). Selain itu, Konsili Vatikan II dalam Sacrosanctum Concilium juga menyatakan bahwa Ekaristi adalah “sumber dan puncak kehidupan Gereja”.

Pernyataan ini secara implisit memberikan petunjuk dan penegasan bahwa Kristuslah menjadi pelaku utama Ekaristi.

Oleh sebab itu, tidaklah heran jikalau kemudian Santo Ireneus mengatakan: “Cara pikir kita sesuai dengan Ekaristi, dan sebaliknya Ekaristi memperkuat cara pikir kita”. Dia adalah pusat dari kehidupan orang Kristiani sehingga ketika seorang imam merayakan Ekaristi, ia merayakan atas nama Kristus. Inilah mengapa imam dalam Gereja sering disebut sebagai in persona Christi atau alter Christus.

Selain itu, kehadiran Kristus dalam Ekaristi bagi iman Katolik bukan sekadar suatu kenangan seperti seorang yang merayakan hari ulang tahunnya. Sebaliknya, iman Gereja mengakui bahwa kehadiran Kristus itu nyata (praesentia realis) yang terwujud dalam “Tubuh dan Darah Kristus”.

Memang, pemahaman akan hal ini tidak bisa dimengerti begitu saja oleh akal budi manusia karena “Bagaimana mungkin roti dan anggur bisa menjadi tubuh dan darah Kristus?”

Ini adalah penghayatan iman sehingga Gereja meyakini bahwa Kristus hadir dan selalu hadir dalam Ekaristi. Pemahaman ini ditegaskan kemudian oleh Katekismus Gereja Katolik: “Kristus hadir di dalam Sakramen (Ekaristi) ini oleh perubahan roti dan anggur menjadi tubuh dan darah-Nya” (KGK 1375).

Alhasil, kehadiran Kristus bagi Gereja adalah nyata dalam Ekaristi. Kristus memang tidak tampak rupanya seperti yang dilihat oleh para rasul, tetapi kehadiran-Nya tetap ada dalam rupa “Tubuh dan Darah Kristus” secara nyata.

Maka, Perayaan Ekaristi bukan berarti bahwa Kristus itu tidak hadir, tetapi Kristus belum datang kembali seperti ketika Dia memulai Perayaan Ekaristi pertama bersama dengan para rasul.

Inilah mengapa Tuhan Yesus mengatakan: “Aku berkata kepadamu: ‘Sesungguhnya Aku tidak akan minum lagi hasil pokok anggur sampai pada hari Aku meminumnya, yaitu yang baru, dalam Kerajaan Allah” (Mrk.14:25).

===*****====

ORANG BALI DIKENAL GEMAR DAN SUKA SEKALI MEMANGGIL ROH

Aryantha Soethama berkata :

“Berkesenian menjadi kegemaran orang Bali yang paling menonjol. Ada pula kegemaran menonjol lain: orang Bali dikenal suka sekali memanggil roh. Perhatikanlah jika menjelang hari baik ngaben, tempat praktek para pemanggil roh, orang Bali memanggilnya sebagai sedahan, sangat ramai dikunjungi. Mereka meminta roh yang akan diaben diturunkan oleh dukun tenung itu.

Si sedahan akan memanggil roh, dan menjadikan si dukun sebagai medium. Kegiatan ini disebut sebagai meluasang. Jika roh datang, ia akan bicara melalui si dukun. Biasanya, didahului oleh pertanyaan oleh sedahan benarkah roh yang datang ini sesuai dengan permintaan? Jika dijawab ya oleh yang meluasang, maka mulailah sedahan itu menjadi aktor, meniru perilaku sehari-hari roh ketika masih hidup.

Roh akan bertanya, siapa saja yang datang? Biasanya disertai isak tangis menanyakan kabar keluarga yang ditinggalkan. Jika roh yang turun itu meninggal karena peristiwa yang mengenaskan, dibunuh ditikam belati atau diracun misalnya, suasana haru dan mencekam akan menjadi ciri pertunjukan meluasang itu.

“Relakan saya pergi, saya sedang mengumpulkan tenaga untuk membalas kejahatan yang ditimpakan kepadaku,” tutur roh yang diracun itu lewat dukun tenung. Kerabat yang hadir pun, kendati sedih, manggut-manggut, karena dendam akan terbalaskan. “Kami akan mengabenkan engkau, semoga engkau bersedia,” ujar seorang sanak saudara.

Si dukun tenung kembali manggut-manggut. “Bersedia tentu, biar segera aku dapat tempat yang nyaman untuk membalaskan dendam ini.”

Jika pemanggilan roh berjalan lancar, keluarga sudah tenang untuk ngaben, lazimnya ada saja adegan-adegan ikutan yang biasanya serba ringan. Misalnya, roh menanyakan kabar beberapa anggota keluarga. “Putu, bagaimana sekolahnya?” Keluarga yang ditanya saling pandang, karena di keluarga itu ada banyak yang bernama Putu. “Putu yang mana?” “Ah, itu, si putu yang suka menabuh kendang.”

Keluarga kembali saling pandang, karena tidak ada di keluarga itu yang senang menabuh kendang. “Putu siapa? Kan nggak ada yang jadi penabuh kendang, keluarga kita biasanya jadi pemukul cengceng dan pemukul terompong. Putu siapa ya?”

Anggota keluarga saling pandang. “Ooo... mungkin yang dimaksud Putu yang ikut drum band di kampus,” sahut salah seorang. Maka seseorang segera melontarkan jawaban, “Kalau Putu drum band baik-baik saja, sekarang sudah semester tujuh.”

Dukun tenung itu kembali manggut-manggut. “Suruh dia rajin belajar, agar cepat jadi sarjana,” ujar si dukun. Kerabat kembali saling pandang. Ada yang berbisik, “Kan nggak bisa cepat-cepat jadi sarjana, kuliah kan berbatas waktunya?”

Memanggil roh tidak hanya dilakukan ketika hendak ngaben, juga ketika seseorang mengalami kecelakaan. Dulu, jika di tepi jalan ada sekelompok orang bersama pemangku menghaturkan sesaji, pertanda ada orang mengalami kecelakaan di tempat itu. Mungkin ada yang terkapar karena ulah sendiri, ngebut, tergelincir menggilas pasir. Mungkin ada kecelakaan besar, seseorang menyeberang jalan dan ditabrak mobil. Upacara kecil di tepi jalan itu disebut ngulapin, ritual memanggil roh.

Jika kecelakaan itu menyebabkan seseorang meninggal, ngulapin diperlukan agar roh tidak bingung, siapa tahu pergi ke tempat jauh, yang tidak dikenal. Ngulapin dilaksanakan agar roh tidak nyasar. Roh diupacarai untuk diajak pulang. Jika yang celaka itu cuma lecet-lecet, ngulapin tetap dilaksanakan, agar yang celaka tidak kaget, mengalami guncangan jiwa. Kadang ngulapin dianggap tidak cukup, korban harus diupacarai dengan mebayuh, agar si celaka, kendati cuma lecet-lecet, bisa tenang.

Sekarang ngulapin karena kecelakaan jarang dilakukan. Jika masih dilakoni seperti dulu, wah, bakalan berderet-deret ritual ngulapin di tepi jalan, karena saban hari banyak sekali orang celaka naik motor dan mobil. Bisa-bisa macet lalu lintas gara-gara orang Bali memanggil-manggil roh di tepi jalan yang hiruk pikuk. *


 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar