HARAM-NYA MENISBATKAN DIRI SEBAGAI ANAK KEPADA SELAIN AYAH-NYA DENGAN SENGAJA
Di Susun oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISALM
---
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
*****
DI KUTIP DARI KITAB RIYADHUSH SHOLIHIN KARYA AL-IMAM AN-NAWAWI
Al-Imam an-Nawawi berkata :
**بَابُ تَحْرِيمِ انْتِسَابِ الإِنْسَانِ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَتَوَلِّيهِ إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ**
**Bab: Haram-nya Menisbatkan Diri Sebagai Anak Kepada Selain Ayahnya dan Menisbatkan Diri Kepada Selain Kabilah-nya [Suku-nya]**
1/1802- عَنْ سَعْدِ بنِ أَبِي وَقَّاصٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: «مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
**1/1802.** Dari Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:
_"Barangsiapa yang mengaku sebagai anak dari selain ayahnya, padahal dia tahu bahwa orang tersebut bukan ayahnya, maka surga diharamkan baginya."_ (Muttafaq ‘alayh).
2/1803- وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: «لَا تَرْغَبُوا عَنْ آبَائِكُمْ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ أَبِيهِ فَهُوَ كُفْرٌ». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
**2/1803.** Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ bersabda:
"Janganlah kalian berpaling dari ayah-ayah kalian. Barangsiapa berpaling dari ayahnya (tidak suka menasabkan dirinya kepada ayahnya), maka itu adalah kekufuran."_ (Muttafaq ‘alayh).
3/1804- وَعَنْ يَزِيدَ شَرِيكِ بنِ طَارِقٍ قَالَ: رَأَيْتُ عَلِيًّا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَلَى المِنْبَرِ يَخْطُبُ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: «لَا وَاللَّهِ مَا عِنْدَنَا مِنْ كِتَابٍ نَقْرَؤُهُ إِلَّا كِتَابَ اللَّهِ، وَمَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ»، فَنَشَرَهَا، فَإِذَا فِيهَا أَسْنَانُ الإِبِلِ، وَأَشْيَاءُ مِنَ الجِرَاحَاتِ، وَفِيهَا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: «الْمَدِينَةُ حَرَمٌ مَا بَيْنَ عَيْرٍ إِلَى ثَوْرٍ، فَمَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا، أَوْ آوَى مُحْدِثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا. ذِمَّةُ المُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ، فَمَنْ أَخْفَرَ مُسْلِمًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا، وَمَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ، أَوِ انْتَمَى إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ، لَا يَقْبَلُ اللَّهُ مِنْهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
**3/1804.** Dari Yazid Syarik bin Thariq, dia berkata:
"Aku melihat Ali radhiyallahu ‘anhu di atas mimbar sedang berkhutbah, lalu aku mendengarnya berkata;
'Demi Allah, tidak ada kitab yang kami baca kecuali Kitab Allah, dan apa yang ada di dalam lembaran ini,'
Lalu dia membukanya. Ternyata di dalamnya tertulis tentang umur unta dan beberapa perkara terkait pengobatan luka-luka (operasi pengobatan luka).
Dan di dalamnya juga terdapat hadits: Rasulullah ﷺ bersabda :
'Madinah adalah tanah haram antara ‘Ayr dan Tsaur. Barangsiapa yang membuat bid’ah di dalamnya atau melindungi pelaku bid’ah, maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya di hari kiamat suatu tebusan ataupun pengganti.'
Kaum Muslimin memiliki satu dzimmah (hak memebri jaminan / pemberian suaka kepada non muslim) yang sama, siapa saja dari mereka yang merusak dzimmah (hak memeberi jaminan / pemberian suaka kepada non muslim) tersebut, maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya di hari kiamat suatu tebusan ataupun pengganti.
Barangsiapa yang mengaku sebagai anak dari selain ayahnya atau menisbatkan dirinya kepada selain maulanya, maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia. Allah tidak akan menerima darinya di hari kiamat suatu tebusan ataupun pengganti." (Muttafaq ‘alayh).
4/1805- وَعَنْ أَبِي ذَرٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: «لَيْسَ مِنْ رَجُلٍ ادَّعَى لِغَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُهُ إِلَّا كَفَرَ، وَمَنِ ادَّعَى مَا لَيْسَ لَهُ، فَلَيْسَ مِنَّا، وَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ، وَمَنْ دَعَا رَجُلًا بِالْكُفْرِ، أَوْ قَالَ: عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلَّا حَارَ عَلَيْهِ». مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ، وَهَذَا لَفْظُ رِوَايَةِ مُسْلِمٍ.
**4/1805.** Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa ia mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:
_"Tidaklah seseorang yang mengaku-ngaku dirinya sebagai anak dari selain ayahnya, padahal dia tahu, kecuali ia telah kafir.
Dan barangsiapa yang mengaku-ngaku pada sesuatu yang bukan miliknya, maka ia bukan bagian dari kami, dan hendaklah ia menempati tempatnya di neraka.
Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan sebutan kafir atau mengatakan, 'Musuh Allah,' padahal ia tidak demikian, maka sebutan itu akan kembali kepada dirinya."_ (Muttafaq ‘alayh, dengan redaksi Muslim).
[SELESAI KUTIPAN DARI RIYADHUSH SHOLIHIN]
====*****====
SYARAH RIYADHUSH- SHOLIHIN OLEH SYEIKH BIN BAAZ – RAHIMAHULLAH-:
Syeikh Bin Baaz berkata :
الْحَمْدُ لِلَّهِ، وَصَلَّى اللَّهُ وَسَلَّمَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ اهْتَدَى بِهُدَاهُ.
أَمَّا بَعْدُ:
فَهَذِهِ الْأَحَادِيثُ الصَّحِيحَةُ كُلُّهَا تَتَعَلَّقُ بِتَحْرِيمِ الِانْتِسَابِ إِلَى غَيْرِ الْأَبِ، وَأَنَّ الْوَاجِبَ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ أَنْ يَنْتَسِبَ إِلَى أَبِيهِ وَإِلَى جَمَاعَتِهِ وَأَلَّا يَتْرُكَ ذَلِكَ لَا احْتِقَارًا وَلَا لِغَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْمَقَاصِدِ، بَلْ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ انْتِسَابُهُ إِلَى أَبِيهِ وَجَمَاعَتِهِ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يَنْتَسِبَ إِلَى زَيْدٍ أَوْ عَمْرٍو مِنْ أَجْلِ دُنْيَا أَوْ مَكَاسِبَ أُخْرَى، وَلِهَذَا تُوعِّدَ ﷺ فِي ذَلِكَ فِي الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ: مَنْ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ وَهَذَا وَعِيدٌ شَدِيدٌ، وَفِي اللَّفْظِ الْآخَرِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ، وَفِي لَفْظٍ إِنَّهُ كُفْرٌ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى شِدَّةِ الْوَعِيدِ وَأَنَّ الْوَاجِبَ الْحَذَرُ، وَالْمَعْنَى أَنَّهُ كُفْرٌ أَصْغَرُ، وَهُوَ فِيهِ الْوَعِيدُ الشَّدِيدُ، وَإِذَا اسْتَحَلَّ ذَلِكَ صَارَ كُفْرًا أَكْبَرَ، نَسْأَلُ اللَّهَ الْعَافِيَةَ.
فَالْوَاجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَحْذَرَ ذَلِكَ، وَأَنْ يَنْتَسِبَ إِلَى أَبِيهِ، وَأَلَّا يَتْرُكَ ذَلِكَ لَا احْتِقَارًا وَلَا لِمَقَاصِدَ أُخْرَى، بَعْضُ النَّاسِ يَنْتَسِبُ إِلَى عَمِّهِ أَوْ إِلَى زَيْدٍ لِأَجْلِ الْجِنْسِيَّةِ، لِأَنَّ عَمَّهُ مَشْهُورٌ أَوِ ابْنُ عَمِّهِ مَشْهُورٌ يَنْتَسِبُ إِلَيْهِ لِأَجْلِ أَنْ يُعْطَى الْجِنْسِيَّةَ فِي الْبَلَدِ الَّتِي هُوَ فِيهَا، وَهَذَا مُنْكَرٌ عَظِيمٌ، نَسْأَلُ اللَّهَ الْعَافِيَةَ،
وَبَعْضُهُمْ يَحْتَقِرُ أَبَاهُ وَيَنْتَسِبُ إِلَى غَيْرِ أَبِيهِ مِنْ أَجْلِ الدُّنْيَا، يَنْتَسِبُ إِلَى إِنْسَانٍ مَعْرُوفٍ حَتَّى يُوَظَّفَ، أَوْ حَتَّى يُعْطَى، أَوْ حَتَّى يُعْمَلَ لَهُ كَذَا، كُلُّ هَذَا مُنْكَرٌ عَظِيمٌ، وَالْوَاجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَحْذَرَ ذَلِكَ،
وَهَكَذَا مَوَالِيهِ إِذَا كَانَ مِنْ مَطِيرَةَ، مَا يَقُولُ أَنَا مِنْ عُتَيْبَةَ، وَإِذَا كَانَ مِنْ قُرَيْشٍ مَا يَقُولُ أَنَا مِنْ غَيْرِ قُرَيْشٍ، وَإِذَا كَانَ مِنْ غَيْرِ قُرَيْشٍ لَا يَقُولُ أَنَا مِنْ قُرَيْشٍ، يَنْتَسِبُ إِلَيْهِمْ وَيَكْذِبُ، أَوْ مُعْتِقِيهِ إِذَا أَعْتَقَتْهُ قُرَيْشٌ لَا يَنْتَسِبُ إِلَى غَيْرِهِمْ، أَعْتَقَهُ مَطِيرٌ لَا يَنْتَسِبُ إِلَى غَيْرِهِمْ، أَعْتَقَهُ فُلَانٌ لَا يَنْتَسِبُ إِلَى غَيْرِهِ إِلَى مَوَالِيهِ، فِي هَذَا الْوَعِيدِ مَنْ انْتَسَبَ إِلَى غَيْرِ مَوَالِيهِ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ هَذَا وَعِيدٌ عَظِيمٌ يُفِيدُ الْحَذَرَ مِنْ هَذِهِ الْخَصْلَةِ الذَّمِيمَةِ،
فَالْوَاجِبُ عَلَى الْمُؤْمِنِ أَنْ يَنْتَسِبَ إِلَى أَبِيهِ، وَإِلَى مَوَالِيهِ وَحَمُولَتِهِ وَقَرَابَتِهِ، وَيَحْذَرَ خِلَافَ ذَلِكَ كَمَا حَذَّرَهُ النَّبِيُّ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، وَفَّقَ اللَّهُ الْجَمِيعَ.
**Alhamdulillah**, segala puji bagi Allah, dan shalawat serta salam semoga tercurah kepada Rasulullah, keluarganya, sahabat-sahabatnya, serta siapa pun yang mengikuti petunjuknya.
**Amma ba'du (adapun setelah itu):**
Hadits-hadits sahih ini semuanya berkaitan dengan **larangan mengaku-ngaku dirinya sebagai anak orang lain** selain ayah kandung, dan bahwa setiap Muslim wajib menghubungkan nasabnya kepada ayahnya dan kepada keluarganya. Tidak boleh meninggalkan hal ini, baik karena merendahkan diri atau untuk tujuan lainnya. Sebaliknya, ia wajib menghubungkan nasabnya kepada ayah dan keluarganya.
Ia tidak boleh menisbatkan dirinya kepada Zaid atau Amr (orang lain) demi tujuan duniawi atau keuntungan lainnya.
Karena itu, Nabi ﷺ memberikan ancaman keras dalam hadits-hadits sahih:
*Barangsiapa mengaku-ngaku sebagai anak orang lain padahal ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, maka ia terkena laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia.*
Ini merupakan ancaman yang sangat berat.
Dalam redaksi lainnya, disebutkan bahwa *surga haram baginya*.
Dan dalam redaksi lain lagi disebutkan bahwa perbuatan itu adalah **kufur**.
Ini menunjukkan kerasnya ancaman tersebut dan bahwa wajib untuk berhati-hati.
**Maksud dari kufur di sini** adalah kufur kecil (kufur ashghar), yang tetap membawa ancaman berat, tetapi jika seseorang sengaja menghalalkan perbuatan tersebut, maka itu berubah menjadi kufur besar (kufur akbar).
Semoga Allah melindungi kita.
Oleh karena itu, wajib bagi seorang Muslim untuk berhati-hati terhadap hal ini, dan ia harus menisbatkan dirinya sebagai anak kepada ayahnya.
Ia tidak boleh meninggalkan hal ini, baik karena merendahkan ayahnya atau untuk tujuan duniawi lainnya.
Ada sebagian orang menisbatkan dirinya sebagai anak kepada pamannya atau Zaid demi memperoleh kewarganegaraan karena pamannya terkenal atau sepupunya terkenal, sehingga ia menisbatkan dirinya debagai anak kepada mereka demi mendapatkan kewarganegaraan di negara tempat ia tinggal. Ini adalah **kemungkaran yang besar**.
Semoga Allah melindungi kita.
Ada sebagian orang lainnya merendahkan ayahnya dan menisbatkan dirinya sebagai anak kepada orang lain demi tujuan duniawi, seperti agar mendapat pekerjaan, atau untuk diberikan sesuatu, atau untuk mendapatkan manfaat tertentu.
Semua ini adalah **kemungkaran yang besar**.
Wajib bagi seorang Muslim untuk berhati-hati terhadap hal ini.
Demikian juga halnya dengan Penisbatan Kabilah (suku):
Jika seseorang berasal dari kabilah *Muthoirah*, ia tidak boleh mengatakan bahwa ia berasal dari kabilah *‘Utaibah*.
Jika ia berasal dari kabilah *Quraisy*, ia tidak boleh mengaku berasal dari selain *Quraisy*.
Jika ia bukan berasal dari *Quraisy*, maka ia tidak boleh mengaku sebagai bagian dari *Quraisy* dengan berdusta.
Begitu juga jika budaknya telah dimerdekakan (maula) oleh seorang dari *Quraisy*, maka ia tidak boleh mengaku sebagai budak yang telah dimerdekakan oleh orang lain. Jika *Muthairah* yang memerdekakannya, maka ia tidak boleh mengaku dimerdekakan oleh selain mereka.
Jika si fulan yang memerdekakannya, maka ia tidak boleh mengaku sebagai budak orang lain selain dari yang memerdekakannya.
Dalam ancaman ini, siapa saja yang mengaku-ngaku kepada selain wali-walinya, maka atasnya laknat Allah, malaikat, dan seluruh manusia.
Ini adalah ancaman yang sangat besar yang menunjukkan kewajiban berhati-hati dari sifat tercela ini. Oleh karena itu, wajib bagi seorang mukmin untuk menisbatkan dirinya kepada ayahnya, wali-walinya, keluarga besarnya, serta kerabatnya, dan berhati-hati dari menyalahi ketentuan ini sebagaimana yang diperingatkan oleh Nabi ﷺ.
Semoga Allah memberikan taufik kepada kita semua".
===*****===
TANYA JAWAB DENGAN SYEIKH BIN BAAZ RAHIMAHULLAH
السُّؤَالُ: الاِنْتِسَابُ إِلَى الجَدِّ؟
جَوَابُ الشَّيْخِ: مَا يَجُوزُ، يَنْتَسِبُ إِلَى أَبِيهِ، وَالجَدُّ جَائِزٌ، وَلَكِنْ لاَ يَتْرُكُ الأَبَ عَمْدًا، وَإِلَّا لَوِ انْتَسَبَ إِلَيْهِ لِأَنَّهُ أَشْهَرُ انْتِسَابًا مِثْلَ قَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: أَنَا النَّبِيُّ لاَ كَذِبَ، أَنَا ابْنُ عَبْدِالمُطَّلِبِ، هُوَ جَدُّهُ، فَإِذَا انْتَسَبَ إِلَيْهِ لِشُهْرَتِهِ قَالَ: أَنَا مِنْ ذُرِّيَّتِهِ، فَهُوَ صَادِقٌ، هُوَ مِنْ ذُرِّيَّتِهِ، وَلَكِنْ فِي الجِنْسِيَّاتِ وَغَيْرِ الجِنْسِيَّاتِ لاَ، يَضَعُ الأَبَ لِأَنَّهُ يَكُونُ لَهُ إِخْوَةٌ، يَكُونُ لَهُ أَعْمَامٌ حَتَّى يُعْرَفَ.
**Pertanyaan**:
Apakah boleh menisbatkan diri sebagai anak kepada kakek?
**Jawaban Syaikh Bin Baaz:**
Tidak boleh. Ia harus menisbatkan diri kepada ayahnya, meskipun menisbatkan diri kepada kakek itu diperbolehkan. Namun, tidak boleh meninggalkan nisbat kepada ayah dengan sengaja, kecuali menisbatkan diri kepada kakeknya jika kakeknya lebih terkenal, seperti yang dilakukan oleh Nabi ﷺ ketika bersabda:
*Aku adalah nabi, tidak berbohong, aku adalah putra Abdul Muthalib.*
Abdul Muthalib adalah kakek beliau. Jika menisbatkan diri kepada kakek karena kakek lebih dikenal, maka hal itu diperbolehkan, karena ia memang keturunan kakek tersebut. Namun, dalam hal kewarganegaraan dan hal-hal resmi lainnya, tidak boleh meninggalkan nisbat kepada ayah, karena ia memiliki saudara-saudara dan paman yang harus dikenal.
السُّؤَالُ: الكُفْرُ هُنَا؟
جَوَابُ الشَّيْخِ: كُفْرٌ أَصْغَرُ إِلَّا مَنْ اسْتَحَلَّهُ.
**Pertanyaan:**
Apakah kufur di sini berarti kufur kecil?
**Jawaban Syaikh Bin Baaz:**
Ya, kufur kecil, kecuali jika seseorang menganggap perbuatan tersebut adalah halal.
------
السُّؤَالُ: فِي هَذَا البَابِ وَفِي غَيْرِهِ مِنَ الأَبْوَابِ إِذَا أُطْلِقَ الكُفْرُ وَالمُرَادُ الكُفْرُ الأَصْغَرُ، هَلْ هُوَ أَكْبَرُ مِنَ الكَبَائِرِ؟
جَوَابُ الشَّيْخِ: نَعَمْ، عِنْدَ أَهْلِ العِلْمِ الشِّرْكُ الأَصْغَرُ وَالكُفْرُ الأَصْغَرُ أَكْبَرُ مِنَ الكَبَائِرِ، نَسْأَلُ اللَّهَ العَافِيَةَ، جِنْسُ الكُفْرِ أَعْظَمُ مِنْ جِنْسِ المَعَاصِي.
**Pertanyaan:**
Dalam masalah ini dan yang lainnya, jika istilah “kufur” digunakan dan yang dimaksud adalah kufur asghar (kecil), apakah kufur asghar lebih besar dosanya daripada dosa-dosa besar?
** Jawaban Syaikh Bin Baaz:**
Ya, menurut para ulama, syirik asghar (kecil) dan kufur asghar lebih besar daripada dosa-dosa besar. Kita memohon perlindungan kepada Allah, karena jenis kekufuran lebih besar daripada jenis maksiat.
------
السُّؤَالُ: هَلْ يَجُوزُ أَنْ يَنْتَسِبَ إِلَى عَمِّهِ بِحُجَّةِ أَنَّهُ هُوَ الَّذِي رَبَّاهُ؟
جَوَابُ الشَّيْخِ: لاَ، مَا يَنْتَسِبُ، يَنْتَسِبُ إِلَى أَبِيهِ بَسْ، لاَ يَنْتَسِبُ إِلَى عَمِّهِ وَلاَ ابْنِ عَمِّهِ.
**Pertanyaan:**
Apakah boleh menisbatkan diri kepada paman karena ia yang membesarkannya?
**Jawaban Syaikh Bin Baaz:**
Tidak boleh. Ia harus menisbatkan diri kepada ayahnya, tidak kepada pamannya atau sepupunya.
-----
السُّؤَالُ: ...
جَوَابُ الشَّيْخِ: مَا يُخَالِفُ، وَلَكِنْ فِي الجِنْسِيَّةِ وَالإِقَامَةِ وَالأَشْيَاءِ الرَّسْمِيَّةِ لاَ بُدَّ يُصَحِّحُ الوَضْعَ إِلَى أَبِيهِ، أَمَّا الاِنْتِسَابُ العَامُّ فَلاَ بَأْسَ، مِثْلَ مَا انْتَسَبَ النَّبِيُّ ﷺ إِلَى عَبْدِالمُطَّلِبِ: أَنَا النَّبِيُّ لاَ كَذِبَ، أَنَا ابْنُ عَبْدِالمُطَّلِبِ، وَمِثْلَ مَا يُقَالُ العَرَبُ أَوْلاَدُ إِسْمَاعِيلَ نِسْبَةً إِلَى جَدِّهِمُ الأَعْلَى، وَاليَهُودُ أَوْلاَدُ إِسْحَاقَ جَدِّهِمُ الأَعْلَى إِسْحَاقَ، هَذَا لاَ بَأْسَ بِهِ، وَلَكِنْ الأُمُورُ الرَّسْمِيَّةُ لاَ بُدَّ يُثْبَتُ فِيهَا الأَبُ.
**Pertanyaan: ...**
**Jawaban Syaikh Bin Baaz:**
Tidak masalah, tetapi dalam hal kewarganegaraan, tempat tinggal, dan hal-hal resmi lainnya, statusnya harus sesuai dengan nasabnya kepada ayahnya.
Sedangkan untuk penisbatan umum, tidak masalah, seperti yang dilakukan Nabi ﷺ ketika menisbatkan dirinya kepada Abdul Muthalib, atau seperti yang biasa dikatakan bahwa orang Arab adalah keturunan Ismail, atau orang Yahudi keturunan Ishaq. Ini tidak masalah, tetapi untuk hal-hal resmi, nasabnya harus kepada ayahnya.
------
السُّؤَالُ: ابْنُ الأُخْتِ هَلْ يُنْسَبُ إِلَى أَخْوَالِهِ؟
جَوَابُ الشَّيْخِ: وَلَكِنْ لاَ يُنْسَبُ إِلَيْهِمْ فِي الرَّسْمِيَّاتِ، يَقُولُ: أَنَا أَخْوَالِي آلُ فُلاَنٍ، أَخْوَالِي مِنْ مَطِيرٍ، أَخْوَالِي مِنْ بَنِي هَاشِمٍ، وَلَكِنْ لاَ يَنْتَسِبُ إِلَيْهِمْ يَقُولُ: أَنَا ابْنُ فُلاَنٍ الهَاشِمِيُّ وَيَكْذِبُ.
**Pertanyaan:**
Apakah anak dari saudara perempuan boleh menisbatkan dirinya kepada paman dari pihak ibu?
**Jawaban Syaikh Bin Baaz:**
Ia boleh menisbatkan pada kabilah pamannya dari pihak ibu, seperti :
“Saya, paman-paman dari pihak ibuku adalah dari kabilah fulan,”
Tetapi tidak boleh menisbatkan diri secara resmi kepada kabilah mereka dengan mengatakan “Aku adalah putra fulan dari kabilah Hasyim” sambil berbohong.
-----
السُّؤَالُ: ...
جَوَابُ الشَّيْخِ: وَلَوْ، لاَ بُدَّ فِي الجِنْسِيَّةِ وَالإِقَامَةِ وَنَحْوِهَا يُبَيِّنُ أَبَاهُ، أَمَّا فِي العُمُومِ أَنَّهُ مِنْ أَوْلاَدِ فُلاَنٍ الجَدِّ المَشْهُورِ لاَ بَأْسَ، هَذَا مَوْجُودٌ فِي العَرَبِ يَنْتَسِبُونَ إِلَى آبَائِهِمُ المَشْهُورِينَ، وَلَكِنْ فِي الجِنْسِيَّاتِ الَّتِي عَلَيْهَا الأَحْكَامُ الشَّرْعِيَّةُ لاَ بُدَّ يَكُونُ إِلَى أَبِيهِ وَالجَدُّ أَبٌ.
**Pertanyaan: ...**
**Jawaban Syaikh Bin Baaz:**
Tidak peduli apa pun alasannya, dalam kewarganegaraan dan kartu domisili, harus dijelaskan nasab kepada ayahnya.
Sedangkan untuk nasab umum, menisbatkan diri kepada kakek yang terkenal, maka itu diperbolehkan. Karena gal ini sudah menjadi umum di kalangan Arab yang menisbatkan diri kepada leluhur mereka yang terkenal, tetapi dalam hal-hal resmi yang berhubungan dengan hukum syariah, nasabnya harus kepada ayahnya, dan kakek juga dianggap sebagai ayah.
0 Komentar