Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

ROSULULLAH ﷺ SENANTIASA BERTABAYYUN TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMVONIS HUKUM AMALAN SAHABAT.

ROSULULLAH SENANTIASA BERTABAYYUN TERLEBIH DAHULU SEBELUM MEMVONIS HUKUM AMALAN SAHABAT.

Di Susun oleh Abu Haitsam Fakhri

KAJIAN NIDA AL-ISALM

======


===*****===

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ

*****

PENDAHULUAN

Firman Allah SWT ayat ke 6 hingga ke 8 dari surat al-Hujuroot : 

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (6) وَاعْلَمُوا أَنَّ فِيكُمْ رَسُولَ اللَّهِ لَوْ يُطِيعُكُمْ فِي كَثِيرٍ مِنَ الأمْرِ لَعَنِتُّمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الإيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ (7) فَضْلا مِنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (8) }

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasik membawa suatu berita, maka bertabayyunlah [periksalah dengan teliti], agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan kalian itu.

Dan ketahuilah oleh kalian bahwa di kalangan kalian ada Rasulullah. Kalau ia menuruti (kemauan) kalian dalam beberapa urusan, maka kalian benar-benar akan mendapat kesusahan, akan tetapi Allah menjadikan kalian cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hati kalian serta menjadikan kalian benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. [QS. Al-Hujuraat : 6-8].

Nabi  telah memberikan teladan kepada para sahabatnya ketika dihadapkan kepada dua kelompok yang saling berselisih, maka Nabi ﷺ sebelum menjatuhkan vonis hukum, maka beliau ﷺ terlebih dahulu  mendengar argumentasi dari kedua belah pihak . Contohnya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ummu Salamah (radhiyallahu ‘anha):

سَمِعَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ جَلَبَةَ خِصَامٍ عِنْدَ بَابِهِ، فَخَرَجَ عليهم فَقالَ: إنَّما أنَا بَشَرٌ، وإنَّه يَأْتِينِي الخَصْمُ، فَلَعَلَّ بَعْضًا أنْ يَكونَ أبْلَغَ مِن بَعْضٍ، أقْضِي له بذلكَ وأَحْسِبُ أنَّه صَادِقٌ، فمَن قَضَيْتُ له بحَقِّ مُسْلِمٍ فإنَّما هي قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ، فَلْيَأْخُذْهَا أوْ لِيَدَعْهَا.

Pernah Nabi    mendengar suara gaduh percekcokan di pintunya, lantas beliau menemui mereka dengan mengatakan :

"Saya hanyalah manusia biasa seperti kalian, dan sengketa kalian diadukan kepadaku, dan bisa jadi diantara kalian ada yang lebih pandai ber-argumentasi daripada yang lain sehingga aku memenangkannya karena aku mengira dirinya yang benar, maka siapa yang kumenangkan dengan merampas hak muslim lainnya, maka sesungguhnya itu adalah potongan api nereka, maka silahkan ia mengambilnya atau meninggalkannya !" [HR. Bukhori no. 7185].

TAFSIR AYAT-AYAT DIATAS :

Ayat-ayat diatas menyuruh kita untuk bertabayyun [memeriksa dan menelusuri dengan teliti] ketika menerima berita dan informsi, terutama yang berkaitan dengan hukum agama. Ketika ada perbedaan pendapat antara kaum muslimin tentang sebuah hukum agama , maka wajib bagi kita untuk bersikap bijak dan inshoof alias tidak berpihak. Kita harus mau mendengar dan membaca dalil masing-masing pihak yang berbeda pendapat . Setelah itu, baru kita putuskan mana yang benar atau lebih benar atau yang rajih .

Ketika kita menyalahkan pendapat ulama lain atau menganggapnya sesat , maka sebelum memvonis sesat, wajib bagi kita untuk bertabayun dengan mempelajari terlebih dahulu dalil-dalil mereka serta meneliti keabsahannya , tidak cukup dengan hanya mendengar kata sesat dari guru kita atau hanya membaca kitab-kitab yang direkomendasikan guru kita , tanpa meneliti dan membaca dalil pendapat orang yang kita anggap sesat terlebih dahulu.

Jika kita hanya mau mendengar dalil sepihak saja, yaitu dalil pendapat guru kita saja, maka pada hakikatnya kita telah bertaklid kepadanya, bahkan kadang kita memaksa orang lain untuk bertaklid pula pada guru kita.   

Bagi kelompok yang berpandangan bahwa taklid itu haram , maka dengan demikian menurut mereka masing-masing umat Islam wajib berijtihad. Dan salah satu syarat dalam berijtihad adalah menguasai semua dalil masing-masing pihak yang berselisih, bahkan lebih dari itu dengan terus menggali semua dalil masalah yang diperselisihkan tersebut. Setelah itu dia berijtihad dengan memutuskan sendiri hasil ijtihadnya : mana yang paling kuat dalilnya ? Bukan dengan cara ikut-ikutan dan mati-matian membela pendapat gurunya atau madzhabnya.

Ada sekelompok da’i dan ustadz diabad sekarang ini yang mengharamkan membaca dalil-dalil pendapat yang berbeda dengan mereka . Mereka mengklaim bahwa dalil-dalil pendapat selain golongannnya itu pasti sarat dengan syubhat dan menyesatkan ; maka menurut mereka haram membacanya. Bahkan ada sebagian dari mereka yang menyuruh untuk membakar kitab-kitab syubhat tersebut, seperti terhadap kitab Fathul Baari syarah Bukhori karya al-Hafidz Ibnu Hajar dan Syarah Shahih Muslim karya Imam an-Nawawi.

Al-Hafidz Ibnu Katsir ketika mentafsiri ayat-ayat tersebut diatas , dia berkata :

“ Allah Swt. memerintahkan (kaum mukmin) untuk memeriksa dengan teliti berita dari orang fasik, dan hendaklah mereka bersikap hati-hati dalam menerimanya dan jangan menerimanya dengan begitu saja, yang akibatnya akan membalikkan kenyataan. Orang yang menerima dengan begitu saja berita darinya, berarti sama dengan mengikuti jejaknya [taklid buta]. Sedangkan Allah Swt. telah melarang kaum mukmin mengikuti jalan orang-orang yang rusak.

Berangkat dari pengertian inilah ada sejumlah ulama yang melarang kita menerima berita (riwayat) dari orang yang tidak dikenal, karena barangkali dia adalah orang yang fasik. Tetapi sebagian ulama lainnya mau menerimanya dengan alasan bahwa kami hanya diperintahkan untuk meneliti kebenaran berita orang fasik, sedangkan orang yang tidak dikenal (alias majhul) masih belum terbukti kefasikannya karena dia tidak diketahui keadaannya.

Lalu Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata :

“ Banyak ulama tafsir yang menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Walid ibnu Uqbah ibnu Abu Mu'it ketika dia diutus oleh Rasulullah untuk memungut zakat orang-orang Bani al-Mushtholiq. Hal ini telah diriwayatkan melalui berbagai jalur, dan yang terbaik ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam kitab musnadnya melalui riwayat pemimpin orang-orang Bani al-Mushtholiq, yaitu Al-Haris ibnu Abu Dirar, orang tua Siti Juwariyah Ummul Mu’minin r.a.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sabiq, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku ayahku, bahwa ia pernah mendengar Al-Haris ibnu Abu Dirar Al-Khuza'i r.a. menceritakan hadis berikut:

"قَدِمْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، فَدَعَانِي إِلَى الْإِسْلَامِ، فَدَخَلْتُ فِيهِ وَأَقْرَرْتُ بِهِ، وَدَعَانِي إِلَى الزَّكَاةِ فَأَقْرَرْتُ بِهَا، وَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَرْجِعُ إِلَيْهِمْ فَأَدْعُوهُمْ إِلَى الْإِسْلَامِ وَأَدَاءِ الزَّكَاةِ، فَمَنِ اسْتَجَابَ لِي جَمَعْتُ زَكَاتَهُ، ويُرسل إليَّ رَسُولُ اللَّهِ رَسُولًا لإبَّان كَذَا وَكَذَا لِيَأْتِيَكَ بِمَا جمَعتُ مِنَ الزَّكَاةِ. فَلَمَّا جَمَعَ الْحَارِثُ الزَّكَاةَ مِمَّنِ اسْتَجَابَ لَهُ، وَبَلَغَ الْإِبَّانَ الَّذِي أَرَادَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إن يَبْعَثَ إِلَيْهِ، احْتُبِسَ عَلَيْهِ الرَّسُولُ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَظَنَّ الْحَارِثُ أَنَّهُ قَدْ حَدَثَ فِيهِ سُخْطة مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ، فَدَعَا بسَرَوات قَوْمِهِ، فَقَالَ لَهُمْ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ وَقَّت لِي وَقْتًا يُرْسِلُ إِلَيَّ رَسُولَهُ لِيَقْبِضَ مَا كَانَ عِنْدِي مِنَ الزَّكَاةِ، وَلَيْسَ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ الخُلْف، وَلَا أَرَى حَبْسَ رَسُولِهِ إِلَّا مِنْ سُخْطَةٍ كَانَتْ، فَانْطَلِقُوا فَنَأْتِي رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، وَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْوَلِيدَ بْنَ عُقْبَةَ إِلَى الْحَارِثِ لِيَقْبِضَ مَا كَانَ عِنْدَهُ مِمَّا جَمَعَ مِنَ الزَّكَاةِ، فَلَمَّا أَنْ سَارَ الْوَلِيدُ حَتَّى بَلَغَ بَعْضَ الطَّرِيقِ فَرَق -أَيْ: خَافَ-فَرَجَعَ فَأَتَى رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ الْحَارِثَ مَنَعَنِي الزَّكَاةَ وَأَرَادَ قَتْلِي. فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْبَعْثَ إِلَى الْحَارِثِ. وَأَقْبَلَ الْحَارِثُ بِأَصْحَابِهِ حَتَّى إِذَا اسْتَقْبَلَ الْبَعْثُ وفَصَل عَنِ الْمَدِينَةِ لَقِيَهُمُ الْحَارِثُ، فَقَالُوا: هَذَا الحارث، فلما

غَشِيَهُمْ قَالَ لَهُمْ: إِلَى مَنْ بُعثتم؟ قَالُوا: إِلَيْكَ. قَالَ: وَلِمَ؟ قَالُوا: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ بَعَثَ إِلَيْكَ الْوَلِيدَ بْنَ عُقْبَةَ، فَزَعَمَ أَنَّكَ مَنَعْتَهُ الزَّكَاةَ وَأَرَدْتَ قَتْلَهُ. قَالَ: لَا وَالَّذِي بَعَثَ مُحَمَّدًا بِالْحَقِّ مَا رَأَيْتُهُ بَتَّةً وَلَا أَتَانِي. فَلَمَّا دَخَلَ الْحَارِثُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَالَ: "مَنَعْتَ الزَّكَاةَ وَأَرَدْتَ قَتْلَ رَسُولِي؟ ". قَالَ: لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا رَأَيْتُهُ وَلَا أَتَانِي، وَمَا أَقْبَلْتُ إِلَّا حِينَ احْتُبِسَ عَلَيَّ رَسُولُ رَسُولِ اللَّهِ (1) ﷺ، خَشِيتُ أَنْ يَكُونَ كَانَتْ سُخْطَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ. قَالَ: فَنَزَلَتِ الْحُجُرَاتُ: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ} إِلَى قَوْلِهِ: {حَكِيمٌ}".

Aku datang menghadap kepada Rasulullah Beliau menyeruku untuk masuk Islam, lalu aku masuk Islam dan menyatakan diri masuk Islam. Beliau menyeruku untuk membayar zakat, dan aku terima seruan itu dengan penuh keyakinan.

Aku berkata : "Wahai Rasulullah, aku akan kembali kepada mereka dan akan kuseru mereka untuk masuk Islam dan menunaikan zakat. Maka barang siapa yang memenuhi seruanku, aku kumpulkan harta zakatnya. Dan engkau, ya Rasulullah, silahkan mengirimkan utusan engkau [petugas zakat] kepadaku sesudah datang waktu anu dan anu, agar dia membawa harta zakat yang telah kukumpulkan kepada engkau."

Setelah Al-Haris mengumpulkan zakat dari orang-orang yang memenuhi seruannya dan masa yang telah ia janjikan kepada Rasulullah telah tiba untuk mengirimkan zakat kepadanya, ternyata utusan dari Rasulullah belum juga tiba. Akhirnya Al-Haris mengira bahwa telah terjadi kemarahan Allah dan Rasul-Nya terhadap dirinya. Untuk itu Al-Haris mengumpulkan semua orang kaya kaumnya, lalu ia berkata kepada mereka :

"Sesungguhnya Rasulullah telah menetapkan kepadaku waktu bagi pengiriman utusannya [petugas zakatnya] kepadaku untuk mengambil harta zakat yang ada padaku sekarang, padahal Rasulullah tidak pernah menyalahi janji, dan aku merasa telah terjadi suatu hal yang membuat Allah dan Rasul-Nya murka. Karena itu, marilah kita berangkat menghadap kepada Rasulullah (untuk menyampaikan harta zakat kita sendiri)."

Bertepatan dengan itu Rasulullah telah mengutus Al-Walid ibnu Uqbah kepada Al-Haris untuk mengambil harta zakat yang telah dikumpulkannya. Namun ketika Al-Walid sampai di tengah jalan, tiba-tiba hatinya gentar dan takut, lalu ia kembali kepada Rasulullah dan melapor kepadanya :

"Hai Rasulullah, sesungguhnya Al-Haris tidak mau memberikan zakatnya kepadaku, dan dia akan membunuhku."

Mendengar laporan itu Rasulullah marah, lalu beliau mengirimkan sejumlah pasukan kepada Al-Haris.

Ketika Al-Haris dan teman-temannya sudah dekat dengan kota Madinah, mereka berpapasan dengan pasukan yang dikirim oleh Rasulullah itu. Pasukan tersebut melihat kedatangan Al-Haris dan mereka mengatakan :

"Itu dia Al-Haris"

Lalu mereka mengepungnya. Setelah Al-Haris dan teman-temannya terkepung, ia bertanya:

"Kepada siapakah kalian dikirim?"

Mereka menjawab : "Kepadamu."

Al-Haris bertanya : "Mengapa?"

Mereka menjawab, "Sesungguhnya Rasulullah telah mengutus Al-Walid ibnu Uqbah kepadamu, lalu ia memberitakan bahwa engkau menolak bayar zakat dan bahkan akan membunuhnya."

Al-Haris menjawab : "Tidak, demi Tuhan yang telah mengutus Muhammad dengan membawa kebenaran, aku sama sekali tidak pernah melihatnya dan tidak pernah pula dia datang kepadaku."

Ketika Al-Haris masuk menemui Rasulullah , beliau bertanya, "Apakah engkau menolak bayar zakat dan hendak membunuh utusanku?"

Al-Haris menjawab : "Tidak, demi Tuhan yang telah mengutusmu dengan membawa kebenaran, aku belum melihatnya dan tiada seorang utusan pun yang datang kepadaku. Dan tidaklah aku datang melainkan pada saat utusan engkau datang terlambat kepadaku, maka aku merasa takut bila hal ini membuat murka Allah dan Rasul-Nya."

Al-Haris melanjutkan kisahnya :

“Lalu turunlah ayat dalam surat Al-Hujurat ini, yaitu: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita. (Al-Hujurat: 6) sampai dengan firman-Nya: lagi Mahabijaksana. (Al-Hujurat: 8)

[Penulis katakan : Kedudukan Hadis

Hadis ini memiliki sanad yang jayyid (baik). Al Hafiz As Suyuthi dalam Lubabun Nuqul Fi Asbabun Nuzul surah Al Hujurat ayat 6 berkata :

أَخْرَجَ أَحْمَدُ وَغَيْرُهُ بِسَنَدٍ جَيِّدٍ عَنِ الْحَرْثِ بْنِ ضَرَّارٍ الْخُزَامِيِّ

Dikeluarkan oleh Ahmad dan yang lainnya dengan sanad yang jayyid dari Harits bin Dhirar Al Khuza’i.

Kemudian Al Hafiz Suyuthi menyebutkan riwayat tersebut setelah itu ia berkata

رِجَالُ إسْنَادِه ثِقَاتٌ

“Para perawi sanad ini tsiqat”

Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid 7/238 hadis no 11352 juga membawakan hadis ini dan mengatakan bahwa para perawi Ahmad tsiqat.

Ibnu Katsir dalam Tafsir Ibnu Katsir 7/370 ketika menafsirkan Al Hujurat ayat 6 telah membawakan hadis ini dan beliau menyatakan bahwa hadis ini hasan.

Dalam Musnad Ahmad Tahqiq Syaikh Ahmad Syakir dan Hamzah Zain hadis no 18371 disebutkan bahwa “sanadnya shahih”.

Pentahqiq kitab Lubabun Nuqul Abdurrazaq Mahdi juga mengakui bahwa sanad hadis ini jayyid dalam keterangannya terhadap riwayat no 1014].

Lalu Ibnu Katsir menyebutkan beberapa riwayat lain yang berkenaan dengan sebab turunnya ayat-ayat diatas , diantaranya dia berkata :

"وَقَالَ مُجَاهِدٌ وَقَتَادَةُ: أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ الْوَلِيدَ بْنَ عُقْبَةَ إِلَى بَنِي الْمُصْطَلِقِ ليُصدّقهم، فَتَلَقَّوْهُ بِالصَّدَقَةِ، فَرَجَعَ فَقَالَ: إِنَّ بَنِي الْمُصْطَلِقِ قَدْ جَمَعَتْ لَكَ لِتُقَاتِلَكَ -زَادَ قَتَادَةُ: وَإِنَّهُمْ قَدِ ارْتَدُّوا عَنِ الْإِسْلَامِ-فَبَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ خَالِدَ بْنَ الْوَلِيدِ إِلَيْهِمْ، وَأَمَرَهُ أَنْ يَتَثَبَّتَ وَلَا يَعْجَلَ. فَانْطَلَقَ حَتَّى أَتَاهُمْ لَيْلًا فَبَعَثَ عُيُونَهُ، فَلَمَّا جَاءُوا أَخْبَرُوا خَالِدًا أَنَّهُمْ مُسْتَمْسِكُونَ بِالْإِسْلَامِ، وَسَمِعُوا أَذَانَهُمْ وَصَلَاتَهُمْ، فَلَمَّا أَصْبَحُوا أَتَاهُمْ خَالِدٌ فَرَأَى الَّذِي يُعْجِبُهُ، فَرَجَعَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَأَخْبَرَهُ الْخَبَرَ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ. قَالَ قَتَادَةُ: فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: "التَّبيُّن مِنَ اللَّهِ، والعَجَلَة مِنَ الشَّيْطَانِ"

Mujahid dan Qatadah menceritakan bahwa Rasulullah mengirimkan Al-Walid ibnu Uqbah kepada Bani al-Mushtholiq untuk mengambil harta zakat mereka. Lalu Bani al-Mushtholiq menyambut kedatangannya dengan membawa zakat (yakni berupa ternak), tetapi Al-Walid kembali lagi dan melaporkan bahwa sesungguhnya Bani al-Mushtholiq telah menghimpun kekuatan untuk memerangi Rasulullah.

Menurut riwayat Qatadah, disebutkan bahwa selain itu mereka murtad dari Islam.

Maka Rasulullah mengirimkan Khalid ibnul Walid r.a. kepada mereka, tetapi beliau berpesan kepada Khalid agar meneliti dahulu kebenaran berita tersebut dan jangan cepat-cepat mengambil keputusan sebelum cukup buktinya. Khalid berangkat menuju ke tempat Bani al-Mushtholiq, ia sampai di dekat tempat mereka di malam hari.

Maka Khalid mengirimkan mata-matanya untuk melihat keadaan mereka; ketika mata-mata Khalid kembali kepadanya, mereka menceritakan kepadanya bahwa Bani al-Mushtholiq masih berpegang teguh pada Islam, dan mereka mendengar suara azan di kalangan Bani al-Mushtholiq serta suara salat mereka.

Maka pada keesokan harinya Khalid r.a. mendatangai mereka dan melihat hal yang menakjubkan dirinya di kalangan mereka, lalu ia kembali kepada Rasulullah dan menceritakan semua apa yang disaksikannya, lalu tidak lama kemudian Allah Swt. menurunkan ayat ini.

Qatadah mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda:

"التَّبيُّن مِنَ اللَّهِ، والعَجَلَة مِنَ الشَّيْطَانِ".

“Tabayyun [periksa dengan teliti] itu dari Allah dan terburu-buru itu dari syetan”.

Hal yang sama telah disebutkan pula bukan hanya oleh seorang kalangan ulama Salaf saja, antaranya : Ibnu Abu Laila, Yazid ibnu Ruman, Ad-Dahhak, Muqatil ibnu Hayyan, dan lain-lainnya. Mereka mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Al-Walid ibnu Uqbah. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui [Selesai kutipan dari Tafsir Ibnu Katsir].

Penulis katakan : akan tetapi hadits riwayat mujahid ini lemah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Saami bin Muhammad Salamah , pentaqiq Tafsir Ibnu Katsir 7/372 :

"وَقَدْ ذَهَبَ إِلَى ذَلِكَ كَثِيرٌ مِنَ الْمُفَسِّرِينَ، وَهَذَا الْقَوْلُ فِيهِ نَظَرٌ؛ فَإِنَّ الرِّوَايَاتِ الَّتِي سَاقَتِ الْقِصَّةَ مَعْلُولَةٌ، وَأَحْسَنُهَا وَهِيَ رِوَايَةُ أَحْمَدَ عَنِ الْحَارِثِ بْنِ ضَرَارٍ الْخُزَاعِيِّ، وَفِي إِسْنَادِهَا مَجْهُولٌ، وَقَدْ أَنْكَرَ الْقَاضِي أَبُو بَكْرِ بْنُ الْعَرَبِيِّ فِي كِتَابِهِ "الْعَوَاصِمِ مِنَ الْقَوَاصِمِ" (ص102) هَذِهِ الْقِصَّةَ."

"Banyak dari para mufassir telah berpandangan seperti itu, namun pandangan ini masih perlu dipertimbangkan . Karena riwayat-riwayat yang membawakan kisah tersebut memiliki cacat. Dan riwayat yang paling baik adalah riwayat Ahmad diatasa dari al-Harith bin Dhirar al-Khuza’i. Dalam sanad riwayat Mujahid ini terdapat perawi yang tidak dikenal. Hakim Abu Bakr bin al-Arabi telah menolak kisah ini dalam kitabnya "Al-‘Awasim min al-Qawasim" (halaman 102)."

FIQIH AYAT :

Allah Swt. memerintahkan (kaum mukmin) untuk memeriksa dengan teliti berita dari orang fasik, dan hendaklah mereka bersikap hati-hati dalam menerimanya dan jangan menerimanya dengan begitu saja, yang akibatnya akan membalikkan kenyataan. Orang yang menerima dengan begitu saja berita darinya, berarti sama dengan mengikuti jejaknya. Sedangkan Allah Swt. telah melarang kaum mukmin mengikuti jalan orang-orang yang rusak.

Berangkat dari pengertian inilah ada sejumlah ulama yang melarang kita menerima berita (riwayat) dari orang yang tidak dikenal, karena barangkali dia adalah orang yang fasik. Tetapi sebagian ulama lainnya mau menerimanya dengan alasan bahwa kami hanya diperintahkan untuk meneliti kebenaran berita orang fasik, sedangkan orang yang tidak dikenal (majhul) masih belum terbukti kefasikannya karena dia tidak diketahui keadaannya.

Kita harus bertabayyun terhadap argumentasi pendapat lain .

===****===

NABI SENANTIASA BERTABAYYUN :

Nabi ketika ada sahabat yang menanyakan sebuah amalan yang belum ada tuntunan dari Nabi dan amalan tersebut ada keterkaitan dengan aqidah seperti mantra-mantra [doa ruqyah] atau tempat ritual seperti tempat nadzar berqurban atau waktu ritual seperti waktu pelaksanaan tersebut , maka Nabi tidak serta merta memvonis bahwa amalan itu dilarang atau syirik , melainkan beliau bertabayyun terlebih dahulu :

Apa tujuannya ?

Apakah ada unsur kesyirikan ?

Apakah di lokasi tersebut ada berhala yang disembah ?

Apakah ditempat tersebut biasa ada ritual tahunan yang dilakukan oleh kaum musyrikin ?

Setelah semua itu terbukti tidak ada , maka Rosulullah mengizinkannya .

===***===

BERIKUT INI CONTOH-CONTOHNYA :

*****

PERTAMA : HADITS TENTANG MANTRA-MANTRA [DOA RUQYAH]

Dari Auf bin Malik al-‘Asyja’i beliau berkata:

كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ

Kami dulu biasa meruqyah di masa Jahiliyyah, maka kami bertanya : Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda tentang hal itu?

Nabi menjawab : " Tunjukkanlah padaku ruqyah-ruqyah kalian. Tidak mengapa ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan ". ( HR. Muslim no. 2200, 4079).

*****

KEDUA : HADITS TENTANG NADZAR BERQURBAN DI SUATU TEMPAT DI LUAR HARI RAYA IDUL ADLHA DAN HARI-HARI TASYRIQ :

HADITS KE 1 :

Dari Tsabit bin Adh-Dhahak Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

نَذَرَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ ﷺ أَنْ يَنْحَرَ إِبِلاً بِبُوَانَةَ, فَأَتَى رَسُولَ اَللَّهِ ﷺ فَسَأَلَهُ: فَقَالَ: هَلْ كَانَ فِيهَا وَثَنٌ يُعْبَدُ ?  قَالَ: لَا. قَالَ : فَهَلْ كَانَ فِيهَا عِيدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ ? فَقَالَ : لَا . فَقَالَ : " أَوْفِ بِنَذْرِكَ ؛ فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اَللَّهِ ، وَلَا فِي قَطِيعَةِ رَحِمٍ، وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ اِبْنُ آدَمَ ".

Pada zaman Rasulullah  ada seorang laki-laki yang bernadzar bahwa dia akan berqurban Unta di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah .

Lalu nabi pun bertanya kepadanya: “Apakah di sana ada berhala yang disembah?” Beliau menjawab: ” Tidak.”

Nabi bertanya lagi: “Apakah di sana dirayakah salah satu hari raya mereka?” Beliau menjawab: “Tidak.”

Lalu nabi bersabda: “Penuhilah nadzarmu, sesungguhnya tidak boleh memenuhi nadzar yang mengandung maksiat kepada Allah, nadzar untuk memutuskan silaturahim, dan tidak pula nadzar pada harta yang tidak dimiliki manusia.”

(HR. Abu Daud no. 3313 dan ini adalah lafadznya .Di riwayatkan pula oleh Ath-Thabarani no. 2/76 no. 1341 dan al-Baihaqi no. 20634 .

Di Shahihkan isnadnya oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Buluughul Maram dan oleh al-Jawroqooni dalam al-Abaathiil wal Manaakiir 2/202 dan al-Albaani dalam al-Misykaah no. 3437 )

HADITS KE 2 :

Dalam Sunan Abu Daud No. 3312. Dari Abdullah bin Amru bin Al-Ash radhiyallahu ‘anhu:

أَنَّ امْرَأَةً أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَضْرِبَ عَلَى رَأْسِكَ بِالدُّفِّ قَالَ أَوْفِي بِنَذْرِكِ قَالَتْ إِنِّي نَذَرْتُ أَنْ أَذْبَحَ بِمَكَانِ كَذَا وَكَذَا مَكَانٌ كَانَ يَذْبَحُ فِيهِ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ لِصَنَمٍ قَالَتْ لَا قَالَ لِوَثَنٍ قَالَتْ لَا قَالَ أَوْفِي بِنَذْرِكِ

Bahwasanya seorang perempuan datang kepada Rasulullah lalu berkata :

"Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bernadzar untuk memukul rebana di hadapanmu."

Rasulullah berkata : "Laksanakanlah nadzarmu itu! 

Perempuan tersebut berkata : "Sesungguhnya aku bernadzar menyembelih di tempat ini dan itu —tempat yang biasa digunakan menyembelih orang-orang Jahiliyah—.

Rasulullah bertanya : "Apakah untuk berhala?" 

Perempuan itu menjawab : "Tidak."

Rasulullah bertanya lagi : "Untuk patung?" 

Perempuan itu menjawab, "Tidak."

Rasulullah bersabda : "Tepatilah nadzarmu itu!" 

(di Hasankan oleh al-Albaani dalam Al-Irwa' (nomor 4587)

HADITS KE 3 :

Dalam Sunan Abu Daud No. 3314. Dari Maimunah binti Kardam, ia berkata:

خَرَجْتُ مَعَ أَبِي فِي حِجَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَسَمِعْتُ النَّاسَ يَقُولُونَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلْتُ أُبِدُّهُ بَصَرِي فَدَنَا إِلَيْهِ أَبِي وَهُوَ عَلَى نَاقَةٍ لَهُ مَعَهُ دِرَّةٌ كَدِرَّةِ الْكُتَّابِ فَسَمِعْتُ الْأَعْرَابَ وَالنَّاسَ يَقُولُونَ الطَّبْطَبِيَّةَ الطَّبْطَبِيَّةَ فَدَنَا إِلَيْهِ أَبِي فَأَخَذَ بِقَدَمِهِ قَالَتْ فَأَقَرَّ لَهُ وَوَقَفَ فَاسْتَمَعَ مِنْهُ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي نَذَرْتُ إِنْ وُلِدَ لِي وَلَدٌ ذَكَرٌ أَنْ أَنْحَرَ عَلَى رَأْسِ بُوَانَةَ فِي عَقَبَةٍ مِنْ الثَّنَايَا عِدَّةً مِنْ الْغَنَمِ قَالَ لَا أَعْلَمُ إِلَّا أَنَّهَا قَالَتْ خَمْسِينَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلْ بِهَا مِنْ الْأَوْثَانِ شَيْءٌ قَالَ لَا قَالَ فَأَوْفِ بِمَا نَذَرْتَ بِهِ لِلَّهِ قَالَتْ فَجَمَعَهَا فَجَعَلَ يَذْبَحُهَا فَانْفَلَتَتْ مِنْهَا شَاةٌ فَطَلَبَهَا وَهُوَ يَقُولُ اللَّهُمَّ أَوْفِ عَنِّي نَذْرِي فَظَفِرَهَا فَذَبَحَهَا

Aku keluar bersama ayahku dalam haji yang dilakukan oleh Rasulullah , lalu aku melihat Rasulullah dan aku mendengar orang-orang berkata : "Rasulullah."

Pandanganku terus mengikuti Rasulullah, lalu ayahku mendekatinya dalam keadaan berkendaraan onta dan membawa cambuk seperti cambuk para juru tulis.

Aku mendengar orang-orang badui dan yang lain berkata : "Pembawa cambuk! Pembawa cambuk!" .

Ayahku mendekati Rasulullah , lalu memegang kakinya.

Maimunah melanjutkann kisahnya:

Kemudian ayahku mengakui (risalah Rasulullah ) dan berdiri mendengarkannya. Setelah itu ayahku berkata :

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku bernadzar, jika mempunyai anak laki-laki, aku akan menyembelih beberapa kambing di atas Gunung Buwanah, yaitu di jalan tanjakan gunung."

—Perawi hadits berkata: Aku tidak tahu kecuali perempuan (Maimunah) itu mengucapkan lima puluh (50) ekor kambing—

Rasulullah bertanya : "Apakah di sana ada berhalanya?" Ayahku menjawab, "Tidak."

Rasulullah bersabda, "Tepatilah apa yang kamu nadzarkan itu karena Allah.'" 

Maimunah melanjutkan kisahnya:

Kemudian ayahku mengumpulkan kambing-kambing itu dan menyembelihnya. Akan tetapi ada satu kambing yang terlepas, lalu ayahku mengejarnya dan berdoa :

"Ya Allah, tepatilah dariku nadzarku."

Maka kambing yang terlepas itu tertangkap lalu disembelih ayahku. 

(Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 3314 dan Ibnu Majah no. 2131).

HADITS KE 4 :

Dalam Sunan Abu Daud No. 3315 . Dari Maimunah binti Kardam bin Sufyan dari ayahnya... sama seperti hadits di atas, namun ada tambahan sebagai berikut:  

قَالَ هَلْ بِهَا وَثَنٌ أَوْ عِيدٌ مِنْ أَعْيَادِ الْجَاهِلِيَّةِ قَالَ لَا قُلْتُ إِنَّ أُمِّي هَذِهِ عَلَيْهَا نَذْرٌ وَمَشْيٌ أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا وَرُبَّمَا قَالَ ابْنُ بَشَّارٍ أَنَقْضِيهِ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ

Rasulullah bertanya, "Apakah di sana ada berhalanya atau ada tradisi hari raya Jahiliyah?"  Ayahku menjawab, 'Tidak."

Aku berkata : "Sesungguhnya ibuku mempunyai nadzar BERJALAN, apakah aku menunaikan nadzar ibuku itu?"

-Terkadang Ibnu Basyar (perawi) meriwayatkan: Apakah kami yang menunaikan nadzar ibuku itu?— 

Rasulullah bersabda, "Ya." 

(Di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah no. 2131).

*****

KETIGA : HADITS TENTANG PEMAKAIAN JIMAT :

Dari Imran bin Husein radhiyallahu 'anhu menuturkan bahwa Rasulullah melihat seorang laki-laki memakai gelang yang terbuat dari kuningan, kemudian beliau bertabayyun dengan menanyakan tujuannya :

"مَا هَذِهِ؟" قَالَ : هَذِهِ مِنَ الْوَاهِنَةِ. فَقَالَ : " انْزِعْهَا , فَإِنّهَا لاَ تَزِيدُكَ إِلاّ وَهْناً ، فإنَّكَ لوْ مِتَّ وهي عليْك ، ما أَفْلَحتَ أبداً ".

“Apakah itu ?” .

Orang laki-laki itu menjawab : “gelang penangkal penyakit”.

Lalu Nabi bersabda : “lepaskan gelang itu, karena sesungguhnya ia tidak akan menambah kecuali kelemahan pada dirimu, dan jika kamu mati sedangkan gelang ini masih ada pada tubuhmu maka kamu tidak akan beruntung selama-lamanya ".

( HR. Ahmad 4/445 , Ibnu Majah no. 3531 dan Ibnu Hibban no. 1410 .

Hadits ini di Shahihkan oleh Al-Hakim dan di setujui oleh Adz-Dzahaby. Akan tetapi di dlaifkan oleh Syeikh Al-Albaany di Silsilah ahaadits Dlaifah no. 1029 . Yang rajih adalah yang di katakana Al-Busyeiry dalam kitabnya az-Zawaid : " Isnadnya hasan , karena orang yang bernama Mubarok ini adalah ibnu Fadlolah ".

*****

KEEMPAT : BACAAN SEORANG SAHABAT DALAM SHALAT YANG DIDUGA MENYELISIHI SUNNAH NABI :

HADITS KE 1 :

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu :

أنَّ رجلًا كانَ يلزَمُ قراءةَ : قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ في الصَّلاةِ في كلِّ سورةٍ وَهوَ يؤمُّ أصحابَهُ ، فَقالَ لَهُ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّه عليهِ وعلَى آلِهِ وسلَّمَ : ما يُلزِمُكَ هذِهِ السُّورةَ ؟ قالَ : إنِّي أحبُّها . قالَ : حبُّها أدخلَكَ الجنَّةَ .

Bahwa seorang pria bermulazamah membaca : " Qul Hualloohu Ahad" dalam sholat pada setiap selesai baca surat , dan dia menjadi imam shalat para sahabatnya.

Maka Rosulullah bertanya kepada nya : " Apa yang mendorongmu untuk bermulazamah membaca surat ini ? ".

Dia menjawab : " Sesungguhnya aku mencintainya ".

Lalu Beliau bersabda : " Kecintaan-mu pada nya akan memasukanmu ke dalam syurga".

[ Hadits ini di hasankan oleh al-Waadi'i dalam ash-Shahih al-Musnad no. 87].

Riwayat lain dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu .

Anas bin Malik berkata :

كَانَ رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَؤُمُّهُمْ فِي مَسْجِدِ قُبَاءَ فَكَانَ كُلَّمَا افْتَتَحَ سُورَةً يَقْرَأُ لَهُمْ فِي الصَّلَاةِ فَقَرَأَ بِهَا افْتَتَحَ بِقُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ حَتَّى يَفْرُغَ مِنْهَا ثُمَّ يَقْرَأُ بِسُورَةٍ أُخْرَى مَعَهَا وَكَانَ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَكَلَّمَهُ أَصْحَابُهُ فَقَالُوا إِنَّكَ تَقْرَأُ بِهَذِهِ السُّورَةِ ثُمَّ لَا تَرَى أَنَّهَا تُجْزِئُكَ حَتَّى تَقْرَأَ بِسُورَةٍ أُخْرَى فَإِمَّا أَنْ تَقْرَأَ بِهَا وَإِمَّا أَنْ تَدَعَهَا وَتَقْرَأَ بِسُورَةٍ أُخْرَى قَالَ مَا أَنَا بِتَارِكِهَا إِنْ أَحْبَبْتُمْ أَنْ أَؤُمَّكُمْ بِهَا فَعَلْتُ وَإِنْ كَرِهْتُمْ تَرَكْتُكُمْ وَكَانُوا يَرَوْنَهُ أَفْضَلَهُمْ وَكَرِهُوا أَنْ يَؤُمَّهُمْ غَيْرُهُ فَلَمَّا أَتَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخْبَرُوهُ الْخَبَرَ فَقَالَ يَا فُلَانُ مَا يَمْنَعُكَ مِمَّا يَأْمُرُ بِهِ أَصْحَابُكَ وَمَا يَحْمِلُكَ أَنْ تَقْرَأَ هَذِهِ السُّورَةَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أُحِبُّهَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ حُبَّهَا أَدْخَلَكَ الْجَنَّةَ 

“Seorang sahabat Anshar mengimami mereka di Masjid Quba`, setiap kali mengawali untuk membaca surat (setelah al fatihah -pent) dalam shalat, ia selalu memulainya dengan membaca QUL HUWALLAHU AHAD hingga selesai, lalu ia melanjutkan dengan surat yang lain, dan ia selalu melakukannya di setiap rakaat.

Lantas para sahabatnya berbicara padanya, kata mereka; "Kamu membaca surat itu lalu menurutmu itu tidak mencukupimu, hingga kamu melanjutkannya dengan surat yang lain, bacalah surat tersebut atau tinggalkan lalu bacalah surat yang lain!."

Sahabat Anshar itu berkata; "Aku tidak akan meninggalkannya, bila kalian ingin aku menjadi imam kalian dengan membacanya, maka aku akan melakukannya dan bila kalian tidak suka, aku akan meninggalkan kalian."

Sementara mereka menilainya sebagai orang yang paling mulia di antara mereka, maka mereka tidak ingin diimami oleh orang lain. Saat Nabi mendatangi mereka, mereka memberitahukan masalah itu .

Lalu beliau bertanya : "Hai fulan, apa yang menghalangimu untuk melakukan yang diperintahkan teman-temanmu dan apa yang mendorongmu membaca surat itu disetiap rakaat?"

Ia menjawab ; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyukainya."

Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya mencintainya akan memasukkanmu ke dalam surga."

[ Al-Bukhari meriwayakannya dalam Shahihnya secara mu'allaq dengan shighat Jazm (774), Dan diriwayatkan  secara maushul oleh Tirmidzi no. (2826, 2901), Ahmad (hadis no. 11982 dan 12054) dan al-Darimi (hadis no. 3300)].

Abu Isa at-Tirmidzy berkata ;

Hadits ini hasan gharib, shahih dari jalur ini dari hadits 'Ubaidullah bin Umar dari Tsabit. [Mubarak bin Fadlalah] meriwayatkan dari [Tsabit] dari [Anas] bahwa seseorang berkata;

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku menyukai surat ini, yaitu QUL HUWALLAAHU AHAD."

Beliau bersabda: "Sesungguhnya mencintainya akan memasukkanmu ke dalam surga." 

====****====

BOLEHKAH SEORANG MUJTAHID MENGKLAIM BAHWA HASIL IJTIHADNYA PASTI BENAR?

Dalam masalah-masalah Ijtihadiyah, Nabi sendiri tidak pernah mengklaim bahwa hasil ijtihadnya pasti benar, meski beliau telah berusaha melakukan tabayyun dalil dari semua sumber, kecuali jika diperkuat oleh wahyu . 

Contohnya ketika Nabi kedatangan dua orang yang berselisih dan mereka meminta agar beliau menjadi hakim diantara keduanya, maka yang pertama kali beliau lakukan adalah mendengar argumentasi dari kedua belah pihak , lalu setelah itu beliau jatuhkan vonis hukum. Namun demikian beliau masih mengakui akan adanya kemungkinan salah dalam vonisnya. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha : Bahwa Rasulullah bersabda:

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ وَإِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ، وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ فَأَقْضِي عَلَى نَحْوِ مَا أَسْمَعُ. فَمَنْ قَضَيْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا فَلاَ يَأْخُذْهُ، فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنْ النَّارِ.

Saya hanyalah manusia biasa, dan kalian mengadukan sengketa kepadaku, bisa jadi sebagian diantara kalian lebih pandai berbicara daripada yang lainnya sehingga aku putuskan seperti yang kudengar dan yang nampak.

Maka barang siapa yang kuputuskan (menang) dengan mengambil hak saudaranya (karena dia tahu bahwa itu bukan haknya dan dia telah berargumentasi bohong dan palsu dihadapan Nabi ), maka janganlah ia mengambilnya ! Sebab itu seakan-akan aku memberikan potongan api neraka untuknya. [HR. Bukhori no. 7165 dan Muslim no. 1713]

Dalam lafadz riwayat lain dari Ummu Salamah (radhiyallahu ‘anhu):

سَمِعَ النَّبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ جَلَبَةَ خِصَامٍ عِنْدَ بَابِهِ، فَخَرَجَ عليهم فَقالَ: إنَّما أنَا بَشَرٌ، وإنَّه يَأْتِينِي الخَصْمُ، فَلَعَلَّ بَعْضًا أنْ يَكونَ أبْلَغَ مِن بَعْضٍ، أقْضِي له بذلكَ وأَحْسِبُ أنَّه صَادِقٌ، فمَن قَضَيْتُ له بحَقِّ مُسْلِمٍ فإنَّما هي قِطْعَةٌ مِنَ النَّارِ، فَلْيَأْخُذْهَا أوْ لِيَدَعْهَا.

Pernah Nabi    mendengar suara gaduh percekcokan di pintunya, lantas beliau menemui mereka dengan mengatakan :

"Saya hanyalah manusia biasa seperti kalian, dan sengketa kalian diadukan kepadaku, dan bisa jadi diantara kalian ada yang lebih pandai ber-argumentasi daripada yang lain sehingga aku memenangkannya karena aku mengira dirinya yang benar, maka siapa yang kumenangkan dengan merampas hak muslim lainnya, maka sesungguhnya itu adalah potongan api nereka, maka silahkan ia mengambilnya atau meninggalkannya !" [HR. Bukhori no. 7185].

*****

NABI KADANG SALAH DALAM BERPENDAPAT

Salah satu contoh kesalahan Nabi dalam berpendapat adalah sbb :

Dari Thalhah radhiyallahu anhu , dia berkata;

" مَرَرْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَوْمٍ عَلَى رُءُوسِ النَّخْلِ فَقَالَ مَا يَصْنَعُ هَؤُلَاءِ فَقَالُوا يُلَقِّحُونَهُ يَجْعَلُونَ الذَّكَرَ فِي الْأُنْثَى فَيَلْقَحُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا أَظُنُّ يُغْنِي ذَلِكَ شَيْئًا قَالَ فَأُخْبِرُوا بِذَلِكَ فَتَرَكُوهُ فَأُخْبِرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَلِكَ فَقَالَ إِنْ كَانَ يَنْفَعُهُمْ ذَلِكَ فَلْيَصْنَعُوهُ فَإِنِّي إِنَّمَا ظَنَنْتُ ظَنًّا فَلَا تُؤَاخِذُونِي بِالظَّنِّ وَلَكِنْ إِذَا حَدَّثْتُكُمْ عَنْ اللَّهِ شَيْئًا فَخُذُوا بِهِ فَإِنِّي لَنْ أَكْذِبَ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ ".

"Saya pernah bersama Rasulullah berjalan melewati orang-orang yang sedang berada di pucuk pohon kurma. Tak lama kemudian beliau bertanya: 'Apa yang dilakukan orang-orang itu? '"

Para sahabat menjawab : 'Mereka sedang mengawinkan pohon kurma dengan meletakkan benang sari pada putik agar lekas berbuah.'

Maka Rasulullah pun bersabda : 'Aku kira perbuatan mereka itu tidak ada gunanya.'

Thalhah berkata : 'Kemudian mereka diberitahukan tentang sabda Rasulullah itu. Lalu mereka tidak mengawinkan pohon kurma.' Selang beberapa hari kemudian, Rasulullah diberitahu bahwa pohon kurma yang dahulu tidak dikawinkan itu tidak berbuah lagi.

Lalu Rasulullah bersabda: 'Jika okulasi (perkawinan) pohon kurma itu berguna bagi mereka, maka hendaklah mereka terus melanjutkannya. Sebenarnya aku hanya berpendapat secara pribadi. Oleh karena itu, janganlah menyalahkanku karena adanya pendapat pribadiku. Tetapi, jika aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu dari Allah, maka hendaklah kalian menerimanya. Karena, aku tidak pernah berdusta atas nama Allah.'[HR. Muslim no. 4356].

 

 

Posting Komentar

0 Komentar