NAJISKAH AIR KENCING KUCING DAN KOTORAN-NYA ? LALU BAGAIMANA DENGAN HEWAN SELAIN-NYA?
Ditulis oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
====
DAFTAR ISI :
- KESUCIAN KUCING PELIHARAAN DAN HUKUM MEMELIHARANYA SERTA MEMILIKINYA
- NAJISKAH HUKUM AIR KENCING DAN KOTORAN KUCING ?
- PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG NAJIS-NYA URINE DAN KOTORAN KUCING SERTA LARANGAN SHALAT DI TEMPAT YANG TERKENA NAJISNYA.
- MENSUCIKAN TEMPAT SHALAT SERTA PERLENGKAPAN-NYA DARI URINE & KOTORAN KUCING
- HUKUM NAJIS ATAU SUCINYA URINE DAN KOTORAN SEMUA HEWAN SELAIN KUCING.
- MASALAH PERTAMA: KOTORAN DAN AIR KENCING HEWAN YANG TIDAK DAPAT DIMAKAN DAGINGNYA.
- MASALAH KEDUA: KOTORAN DAN AIR KENCING HEWAN YANG DAPAT DIMAKAN
- HUKUM AIR KENCING DAN KOTORAN YANG KELUAR DARI MANUSIA
- AIR KENCING BAYI PEREMPUAN DAN BAYI LAKI-LAKI.
- PERMASALAHAN PERTAMA: NAJISNYA AIR KENCING BAYI PEREMPUAN DAN BAYI LAKI-LAKI.
- MASALAH KEDUA: CARA MENYUCIKAN AIR KENCING BAYI LAKI-LAKI YANG BELUM MAKAN MAKANAN
- APA SAJAKAH HEWAN YANG SUCI DAN HEWAN YANG NAJIS?
===****===
بِسْمِ اللَّهِ
الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
===****===
**KESUCIAN KUCING PELIHARAAN DAN HUKUM MEMELIHARANYA SERTA MEMILIKINYA**
Memelihara kucing di rumah adalah diperbolehkan, namun orang yang
memelihara kucing harus memberinya makan secukupnya jika dia menahannya di dalam
rumah tanpa membiarkannya keluar. Jika tidak, maka ia harus membiarkannya keluar untuk
mencari makan dari serangga atau makhluk kecil di bumi, sebagaimana disebutkan
bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
دَخَلَتْ امْرَأَةٌ النَّارَ فِي هِرَّةٍ
رَبَطَتْهَا فَلَمْ تُطْعِمْهَا وَلَمْ تَدَعْهَا تَأْكُلُ مِنْ خَشَاشِ الْأَرْضِ
"Seorang wanita masuk neraka karena seekor kucing yang diikatnya,
tidak diberinya makan dan tidak dibiarkannya makan dari serangga di bumi."
(Diriwayatkan oleh Bukhari no. 3318 dan Muslim no. 2619).
Kucing peliharaan, kucing jinak dan kucing yang familiar adalah hewan
yang suci menurut mayoritas ulama fikih, begitu juga air liurnya. Yang najis
hanyalah air kencing, kotoran, dan darah yang mengalir darinya. Memeliharanya,
memiliki, dan merawatnya diperbolehkan.
Salah satu dalil yang menunjukkan kesucian kucing adalah hadis yang
diriwayatkan oleh para imam empat kitab sunan :
Dari Kabsyah binti Ka'ab bin Malik radhiyallahu 'anhuma, yang saat itu
sedang berada di rumah Ibnu Abi Qatadah radhiyallahu 'anhu. Abu Qatadah masuk
ke rumahnya, lalu Kabsyah berkata:
أنَّ أبا قَتادَةَ دَخَلَ عَلَيها، قالَت:
فَسَكَبْتُ لَهُ وَضوءًا. قالَت: فَجاءَتْ هِرَّةٌ تَشرَبُ، فَأصغَى لَها الإناءَ حَتَّى
شَرِبَتْ، قالَت كَبشَةُ: فَرآني أنظُرُ إِلَيهِ، فَقالَ: أَتَعجَبينَ يا بِنْتَ أَخِي؟
فَقُلتُ: نَعَم، فَقالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ
قالَ: «إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ، إِنَّمَا هِيَ مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ،
أَوِ الطَّوَّافَاتِ»
"Aku menuangkan air untuk wudunya, lalu datang seekor kucing yang
minum dari air tersebut. Abu Qatadah memiringkan bejana untuk kucing itu hingga
ia selesai minum." Kabsyah berkata: "Aku melihat ke arahnya (Abu
Qatadah), lalu dia berkata: 'Apakah kamu heran, wahai putri saudaraku?' Aku
menjawab, 'Iya.' Abu Qatadah lalu berkata: 'Rasulullah ﷺ bersabda: *'Sesungguhnya ia
(kucing) tidak najis, ia termasuk hewan yang sering berkeliling di sekitar
kalian.'*"
Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Daud no. 75 dan At-Tirmidzi dalam
*Sunan*-nya dan dia berkata:
هذا حديثٌ حَسَنٌ صَحيحٌ، وهوَ قولُ أكثرِ
العلماءِ مِن أَصحابِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ، والتَّابعينَ
ومَن بَعدَهُم مِثلَ: الشافِعِيِّ، وأحمَدَ، وإسحاقَ: لَم يَرَوا بِسُؤرِ الهِرَّةِ
بَأسًا، وَهذا أَحسنُ شَيءٍ في هذا البابِ.
"Hadis ini hasan sahih." Ini adalah pendapat mayoritas ulama
dari kalangan sahabat Nabi ﷺ, tabi'in, dan setelah
mereka, seperti Asy-Syafi'i, Ahmad, dan Ishaq, yang tidak memandang buruk sisa
air minuman kucing. Ini adalah dalil terbaik dalam masalah ini.
Di hukumi shahih oleh Abdul Haq al-Isybilly dalam al-Ahkam
asy-Syar’iyyah ash-Shughro no. 148 dan dihukumi Hasan Shahih oleh al-Albani
dalam shahih Abu Daud .
Sabda Rasulullah ﷺ: *'Sesungguhnya ia tidak
najis'* adalah pernyataan yang jelas tentang kesucian kucing dan air liurnya
tanpa adanya larangan. Ini adalah pendapat Imam Syafi'i, Malik, Ahmad, dan Abu
Yusuf dari kalangan Hanafiyah. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Muhammad asy-Syaybani, air
liur kucing adalah suci tetapi makruh, sebagaimana disebutkan oleh Al-Badr
Al-'Ayni dalam syarahnya terhadap *Sunan Abi Dawud*.
===*****===
**NAJISKAH HUKUM AIR KENCING DAN KOTORAN KUCING ?**
Adapun kencing dan kotoran kucing, maka keduanya dianggap najis menurut
mayoritas para ulama. Oleh karena itu, shalat
tetap sah di tempat yang diduduki kucing, tetapi tidak sah di tempat yang
terkena kencingnya atau kotorannya, sebelum tempat tersebut disucikan dengan
air.
Untuk mensuci-kan tanah yang terkena kencing kucing, maka cukup dengan
menuangkan air dan membasahinya. Namun, untuk sajadah atau benda serupa, maka harus
dicuci, dan tidak cukup hanya dengan menuangkan air. Mencucinya tidak harus
menggunakan sabun atau bahan lainnya, cukup dengan air saja.
Perlu diketahui bahwa pada dasarnya semua tempat pada umumnya dianggap
suci, jadi jika ada keraguan apakah suatu tempat terkena kencing kucing atau
tidak, maka salat di tempat itu tetap diperbolehkan selama tidak yakin bahwa
tempat itu terkena air kencing kucing atau kotoran-nya. Namun, yang lebih
hati-hati adalah salat di tempat lain yang tidak ada keraguan.
Bagian yang terkena kencing pada pakaian atau tubuh harus dicuci jika
diketahui oleh pemiliknya.
Jika diyakini ada najis di kaki kucing lalu ia berpindah ke benda lain,
maka diperbolehkan mengikuti pendapat mazhab Hanafi, yaitu : jika benda yang
terkena najis itu kering, sementara tangan seseorang bersentuhan dengannya atau
kakinya atau pakaiannya, misalnya, dalam keadaan basah, maka jika najis atau
bekasnya terlihat, maka benda tersebut menjadi najis. Jika tidak terlihat, maka
tidak dianggap najis.
Jika sulit bagi orang tersebut untuk menghilangkan najis tersebut, maka
diperbolehkan mengikuti mazhab Maliki, yang berpendapat bahwa menghilangkan
najis itu hanya sunnah.
Namun, yang lebih baik dan lebih berhati-hati agar shalat Anda yakin
sah adalah menyediakan tempat khusus untuk shalat yang tidak dimasuki kucing,
untuk menghindari air kencingnya atau kotorannya, bukan karena fisik kucingnya.
===*****====
**PERNYATAAN PARA ULAMA TENTANG NAJIS-NYA URINE DAN KOTORAN KUCING SERTA LARANGAN SHALAT DI TEMPAT YANG TERKENA NAJISNYA**
Adapun mengenai urine (air kencing) dan kotoran kucing, maka menurut
mayoritas para ulama fikih, hal itu dianggap najis dan harus dihindari. Tempat
shalat yang terkena najisnya harus disucikan.
Berikut ini pernyataan-pernyataan para ulama tentang masalah ini :
Al-Allamah ad-Damiri asy-Syafi'i dalam *an-Najmul Wahhaj* (1/410, cet. Dar
al-Minhaj) berkata:
"فَبَولُ ما لا يُؤكَلُ لَحمُهُ
نَجِسٌ بالإِجمَاعِ" اهـ.
"Kencing hewan yang tidak halal dagingnya untuk dimakan adalah
najis menurut ijma' (kesepakatan para ulama)."
----
Al-Allamah Ibnu Qudamah al-Hanbali dalam *al-Mughni* (2/64, cet. Maktabah
al-Qahirah) berkata:
(وَما خَرَجَ مِنَ الإِنسَانِ أو البَهِيمَةِ
الَّتي لا يُؤكَلُ لَحمُها مِن بَولٍ أو غَيرِه فَهو نَجِسٌ) اهـ.
"Segala sesuatu yang keluar dari manusia atau hewan yang tidak
halal dimakan dagingnya, baik berupa air kencing maupun selainnya, adalah
najis."
----
Imam al-Muhaddits Ibnu Abd al-Barr al-Maliki dalam *al-Kafi* (1/160, Maktabah Riyadh
al-Haditsah) berkata:
[والنَّجاساتُ: كُلُّ ما خَرَجَ مِن مَخرَجَي
بَني آدَم، وَمِن مَخرَجَي ما لا يُؤكَلُ لَحمُهُ مِنَ الحَيوانِ] اهـ.
"Benda-benda Najis adalah segala sesuatu yang keluar dari
dua saluran pada manusia, serta dari dua saluran hewan yang tidak halal dimakan
dagingnya."
----
**Fatwa Syaikh Bin Baz**
طهارةُ القِطَطِ :
القِطَطُ طاهِرَةٌ في ذاتِها ، ويُمكِنُ الوُضوءُ من الماءِ الَّذي شَرِبَتْ
منهُ ، كما ثَبَتَ في الحديثِ الصَّحيحِ ، ولا تُوجَدُ أدلَّةٌ شَرْعِيَّةٌ على أنَّ
القِطَطَ تَحمِلُ نَجَاسَةً من لُعابِها أو شَعرِها ، على عَكسِ الكِلابِ.
فَضَلاتُ القِطَطِ : على الرَّغمِ من طَهارةِ القِطَطِ
إلَّا أنَّ فَضَلاتِها (البُرازُ والبَولُ) تُعتَبَرُ نَجِسَةً ، ويَجِبُ على المُسلِمِ
أنْ يَتَطَهَّرَ مِنْها قَبلَ الصَّلاةِ أو قِراءةِ القُرآنِ.
**Kesucian
Kucing** : Kucing pada dasarnya suci, dan diperbolehkan berwudu dengan air yang
diminum oleh kucing, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits sahih. Tidak ada bukti
syar’i yang menunjukkan bahwa kucing membawa najis dari air liur atau bulunya,
berbeda dengan anjing.
**Kotoran
Kucing** Meskipun kucing itu suci, namun
kotorannya (baik tinja maupun air kencing) dianggap najis, dan seorang Muslim
harus menyucikan diri dari kotoran tersebut sebelum shalat atau membaca
Al-Qur’an.
Sumber
:
فَتوَى الشَّيخِ بن بازٍ حَولَ تَربيَةِ القِطَطِ في المَنزِلِ.
**Fatwa Syaikh Bin Baz tentang Memelihara Kucing di
Rumah**
“dlil-saudi.com
[https://dlil-saudi.com › news441167]”.
-----
**Fatwa Syaikh Shalih al-Fauzan**
-"[77 -3022] السُّؤالُ: مِنَ المَعْلومِ
أنَّ القِطَطَ مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْنَا والطَّوَّافَاتِ، وتَدخُلُ في البُيوتِ،
فَهَلْ يَكونُ بَولُها طَاهِرًا؟
الجَوابُ: نَعَم، القِطَطُ طَاهِرَةٌ، لِأنَّها مِنَ الطَّوَّافَاتِ،
نَعَم، شوفُوا يا إِخْوان، بَولُ ما لا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ نَجِسٌ، سَوَاءً القِطَطُ
أو غَيرُها، إِنَّما الرِّيقُ رِيقُ الهِرَّةِ، هذا طَاهِرٌ، وما أَكَلَتْ مِنهُ، يَعني
سُؤرَها، ما أَكَلَتْ مِنهُ أو شَرِبَتْ مِنهُ فَهوَ طَاهِرٌ، أَمَّا بَولُها فَهوَ
نَجِسٌ يَدْخُلُ في عُمُومِ الأَبْوَالِ، نَعَم."
[3022
– 77] Pertanyaan:
Diketahui
bahwa kucing sering berkeliling di sekitar kita dan memasuki rumah. Apakah
kencingnya suci?
Jawaban:
Ya,
kucing itu suci karena ia sering berada di sekitar kita. Namun, lihatlah, wahai
saudara-saudara, air kencing dari binatang yang tidak boleh dimakan dagingnya
itu najis, baik itu kucing atau yang lainnya. Hanya saja, air liur kucing itu
suci, begitu pula sisa makanan atau minuman yang disentuh oleh mulutnya. Namun,
air kencing kucing tetap najis karena termasuk dalam kategori air kencing
secara umum.
Sumber
: #فتاوى #مشروع_كبار_العلماء #فتاوى_الدروس
----
Al-Allamah Ibnu 'Abidin al-Hanafi dalam *Radd al-Muhtar* (1/220, cet. Dar
al-Fikr) berkata:
(وَفي
"
الخَانِيَّة": أَنَّ بَولَ الهِرَّةِ
وَالفَأرَةِ وَخَرَأَهُما نَجِسٌ في أَظهَرِ الرِّواياتِ، يُفْسِدُ الماءَ وَالثَّوبَ)
اهـ.
"Dalam *al-Khaniyah* disebutkan bahwa air kencing dan kotoran
kucing dan tikus adalah najis menurut pendapat paling kuat dalam riwayat, yang
dapat merusak kesucian air dan pakaian."
----
Ahmad At-Thahthawi al-Hanafi dalam
*Hasyiah At-Thahthawi Ala Maraqi Al-Falah* (1/11) berkata:
وَإِلا فَفِي التَّجْنِيسِ بَالَ
السِّنَّوْرُ فِي الْبِئْرِ نُزِحَ كُلُّهُ لأَنَّ بَوْلَهُ نَجِسٌ بِاتِّفَاقِ
الرِّوَايَاتِ, وَلِذَا لَوْ أَصَابَ الثَّوْبَ أَفْسَدَهُ لَكِنْ الْحَقُّ
صِحَّتُهَا, وَحَمْلُ الرِّوَايَاتِ عَلَى الرِّوَايَاتِ الطَّاهِرَةِ أَوْ
مُطْلَقًا, وَالْمُرَادُ السِّنَّوْرُ الَّذِي لا يَعْتَادُ الْبَوْلَ عَلَى
النَّاسِ, وَإِلا فَقَدْ حَكَى هُوَ فِي مَوْضِعٍ آخَرَ مِنْ التَّجْنِيسِ
اخْتِلافَ الْمَشَايِخِ فِيمَا إذَا بَالَ عَلَى الثَّوْبِ. وَفِي
الْخُلاصَةِ إذَا بَالَتْ الْهِرَّةُ فِي الإِنَاءِ أَوْ عَلَى ثَوْبٍ تَنَجَّسَ
وَكَذَا بَوْلُ الْفَأْرَةِ وَقَالَ الْفَقِيهُ أَبُو جَعْفَرٍ: يُنَجِّسُ
الإِنَاءَ دُونَ الثَّوْبِ ا ه
"Jika kucing berkemih di dalam sumur, maka seluruh airnya harus
dikuras karena air kencingnya najis berdasarkan **kesepakatan semua riwayat** (para
ulama madzhab Hanafi). Oleh karena itu, jika air kencingnya mengenai pakaian,
maka akan merusaknya.
Namun, benar bahwa keadaannya tetap sah, dan harus dilihat dari
riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa kucing yang tidak biasa berkemih di
tempat manusia adalah dibolehkan. Jika tidak, maka dia juga menjelaskan di
tempat lain tentang perbedaan pendapat para ulama mengenai kucing yang berkemih
di atas pakaian.
Kesimpulannya, jika kucing berkemih di dalam wadah atau di atas
pakaian, maka itu menjadi najis, begitu juga dengan kencing tikus.
Dan dikatakan oleh Faqih Abu Ja'far: "Air kencingnya akan menajiskan
wadah, bukan pakaian."
----
Al-Haththab ar-Ru’aini al-Maaliki dalam *Mawahib Al-Jalil fi Syarh
Mukhtashar Khalil* (1/5) berkata:
إِذَا بَالَتِ الْهِرَّةُ فِي الْإِنَاءِ
أَوْ عَلَى الثَّوْبِ تَنَجَّسَتْ، وَكَذَا بَوْلُ الْفَأْرَةِ.
"Jika seekor kucing berkemih di dalam wadah atau di atas pakaian,
maka akan menjadi najis, begitu pula dengan air kencing tikus."
----
Ibnu Najim al-Mashry al-Hanafi dalam *Al-Bahr Ar-Ra'iq Syarh Kanz Ad-Daqaiq*
(1/231) berkata :
وَفِيها بَوْلُ الْهِرَّةِ وَالْفَأْرَةِ
وَخَرَؤُهُمَا نَجِسٌ فِي أَظْهَرِ الرِّوَايَاتِ يُفْسِدُ الْمَاءَ، وَالثَّوْبَ.
"Demikian juga, air kencing kucing dan tikus, serta kotorannya,
adalah najis dalam pendapat yang paling kuat, dan dapat merusak kesucian air
dan pakaian."
===*****===
MENSUCIKAN TEMPAT SHALAT SERTA PERLENGKAPAN-NYA DARI URINE & KOTORAN KUCING
Macam-macam kondisi tempat shalat dan perlengkapan untuknya yang
terkait dengan kotoran dan air kencing kucing:
KONDISI PERTAMA : **Jika seseorang mengetahui dengan pasti bahwa suatu titik
tempat pada pakaian, tubuh, atau lokasi terkena kencing atau kotoran kucing,
maka wajib mencucinya dengan air suci sebelum melaksanakan shalat**.
Najis tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu, kemudian dituangkan
air pada tempat yang terkena najis hingga tidak ada lagi warna, rasa, atau
baunya yang tersisa.
Ini sesuai dengan ketentuan bahwa salah satu syarat sahnya shalat
adalah pakaian, tubuh, dan tempat yang suci, sebagaimana ijma' ulama yang
dinukil oleh Imam Ibnu Abd al-Barr al-Maliki. Lihat: *al-Tamhid* (22/242, Cet. Kementerian
Agama Umum dan Urusan Islam di Maroko).
KONDISI KEDUA : **Jika seseorang tidak mengetahui adanya najis di
tempat shalat yang ada kucingnya, maka sebaiknya ia memastikan lokasi tersebut
dan mencucinya.**
Imam Nawawi dalam *Raudhah at-Talibin wa 'Umdat al-Muftin* (1/31, Cet. Maktab
al-Islami-Beirut) berkata:
[الْوَاجِبُ فِي إِزَالَةِ النَّجَاسَةِ: الْغَسْلُ]
اهـ.
"Kewajiban dalam menghilangkan najis adalah dengan cara mencucinya."
Imam Ibnu Abdil Barr al-Maliki dalam *al-Istidzkar* (1/332, Cet. Dar
al-Kutub al-Ilmiyyah) berkata:
[وَاحْتَجُّوا بِإِجْمَاعِ الْجُمْهُورِ الَّذِينَ
هُمُ الْحُجَّةُ عَلَى مَنْ شَذَّ عَنْهُمْ، وَلَا يُعَدُّ خِلَافُهُمْ خِلَافًا عَلَيْهِمْ:
أَنَّ مَنْ صَلَّى عَامِدًا بِالنَّجَاسَةِ يَعْلَمُهَا فِي بَدَنِهِ أَوْ ثَوْبِهِ
أَوْ عَلَى الْأَرْضِ الَّتِي صَلَّى عَلَيْهَا، وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى إِزَاحَتِهَا
وَاجْتِنَابِهَا وَغَسْلِهَا، وَلَمْ يَفْعَلْ وَكَانَتْ كَثِيرَةً، أَنَّ صَلَاتَهُ
بَاطِلَةٌ، وَعَلَيْهِ إِعَادَتُهَا كَمَنْ لَمْ يُصَلِّهَا، فَدَلَّ هَذَا عَلَى مَا
وَصَفْنَا مِنْ أَمْرِ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِغَسْلِ
النَّجَاسَاتِ، وَغَسْلِهَا لَهُ مِنْ ثَوْبِهِ، عَلَى أَنَّ غَسْلَ النَّجَاسَةِ فَرْضٌ
وَاجِبٌ] اهـ.
"Mereka (para ulama) berpendapat dengan ijma' mayoritas, yang
merupakan hujah terhadap mereka yang menyelisihi dan tidak dianggap sebagai
perbedaan yang diakui: bahwa siapa pun yang shalat dengan sengaja dalam keadaan
terdapat najis di badannya, pakaiannya, atau tempat yang ia gunakan untuk
shalat, sementara ia mampu untuk menghilangkannya dan menghindarinya serta
mencucinya, namun ia tidak melakukannya, dan najis itu banyak, maka shalatnya
batal, dan ia harus mengulanginya seolah-olah ia belum melaksanakannya. Ini
menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mencuci
najis, sebagaimana beliau sendiri mencuci najis dari pakaiannya, yang
menunjukkan bahwa mencuci najis adalah kewajiban." [SELESAI]
KONDISI KETIGA : **Jika tidak ada kepastian alias meragukan bahwa najis
urine kucing yang lewat telah berpindah ke tempat shalat atau karpet sejadah,
maka tempat itu dianggap suci, berdasarkan kaidah asal, yaitu kesucian. Selain
itu, sesuatu tidak dianggap najis hanya berdasarkan keraguan. Seseorang harus
menyingkirkan keraguan tersebut dan tidak memikirkannya, untuk menghindari
was-was**.
Syamsul A'immah as-Sarkhasi dalam *al-Mabsuth* (1/86, Dar al-Ma'rifah)
berkata:
(وَمَن شَكَّ فِي الحَدَثِ فَهُوَ عَلَى وُضُوئِهِ،
وَإِن كَانَ مُحْدِثًا فَشَكَّ فِي الوُضُوءِ فَهُوَ عَلَى حَدَثِهِ؛ لِأَنَّ الشَّكَّ
لَا يُعَارِضُ اليَقِينَ، وَمَا تَيَقَّنَ بِهِ لَا يَرْتَفِعُ بِالشَّكِّ) اهـ.
"Barang siapa yang ragu mengenai hadats, ia tetap dianggap dalam
keadaan suci. Jika ia dalam keadaan hadats dan ragu mengenai wudhu, maka ia
tetap dianggap dalam keadaan hadats; karena keraguan tidak bisa menggugurkan
keyakinan, dan sesuatu yang telah diyakini tidak dapat dihapuskan dengan
keraguan."
Juga disebutkan dalam (1/85):
[(وَمَن سَالَ عَلَيْهِ مِن مَوْضِعٍ شَيْءٌ لَا
يَدْرِي مَا هُوَ فَغَسْلُهُ أَحْسَنُ)؛ لِأَنَّ غَسْلَهُ لَا يُرِيبُهُ، وَتَرْكَهُ
يُرِيبُهُ. وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: «دَعْ مَا يَرِيبُكَ
إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ»، فَإِنْ تَرَكَهُ جَازَ؛ لِأَنَّهُ عَلَى يَقِينٍ مِنَ الطَّهَارَةِ
فِي ثَوْبِهِ، وَفِي شَكٍّ مِن حَقِيقَةِ النَّجَاسَةِ، فَإِنْ كَانَ فِي أَكْبَرِ
رَأْيِهِ أَنَّهُ نَجِسٌ غَسَلَهُ؛ لِأَنَّ أَكْبَرَ الرَّأْيِ فِيمَا لَا تَعْلَمُ
حَقِيقَتَهُ كَاليَقِينِ، قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: «الْمُؤْمِنُ
يَنْظُرُ بِنُورِ اللهِ تَعَالَى»] اهـ.
"Barang siapa yang terkena sesuatu dari suatu tempat yang ia tidak
tahu apa itu, maka mencucinya adalah lebih baik; karena mencucinya tidak
menimbulkan keraguan, sementara membiarkannya dapat menimbulkan keraguan."
Rasulullah ﷺ bersabda: *Tinggalkan apa yang meragukanmu, menuju apa yang
tidak meragukanmu.* Jika ia membiarkannya, hal itu diperbolehkan karena ia
yakin bahwa pakaian tersebut suci, meskipun ia ragu mengenai apakah ada najis
atau tidak. Jika menurut perkiraannya yang kuat hal itu najis, maka ia harus
mencucinya, karena perkiraan kuat mengenai sesuatu yang tidak diketahui
kebenarannya dianggap seperti keyakinan. Rasulullah ﷺ bersabda: *Orang beriman
melihat dengan cahaya Allah Ta'ala.*"
"Dan berkata Syaikh Al-Hattab Al-Maliki dalam 'Mawhib Al-Jalil fi
Syarh Mukhtashar Khalil' (1/166, cet. Dar Al-Fikr):
[الْأَشْيَاءَ خُلِقَتْ طَاهِرَةً بِيَقِينٍ،
فَمَا لَا يُشَاهَدُ عَلَيْهِ نَجَاسَةٌ، وَلَا يَعْلَمُهَا يَقِينًا: يُصَلِّي
بِهِ، وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَتَوَصَّلَ بِالِاشْتِبَاهِ إلَى تَقْدِيرِ النَّجَاسَاتِ]
اهـ.
'Segala sesuatu diciptakan dalam keadaan suci dengan yakin dan pasti,
maka apa yang tidak terlihat padanya ada najis dan tidak diketahuinya dengan
pasti: maka boleh digunakan untuk shalat, dan tidak seharusnya berusaha untuk mengandalkan
pada keraguan untuk memperkirakan keberadaan najis.'
Dan berkata Al-Imam Al-Bahuti dalam 'Kasyaf Al-Qana' (1/45, cet. Dar
Al-Kutub Al-Ilmiyyah):
[(وَإِن شَكَّ فِي نَجَاسَةِ مَاءٍ أَو غَيْرِهِ)؛
كَثَوْبٍ أَو إِنَاءٍ (وَلَوْ) كَانَ الشَّكُّ فِي نَجَاسَةِ مَاءٍ (مَعَ تَغَيُّرٍ)
الْمَاءَ بَنَى عَلَى أَصْلِهِ، لِحَدِيثٍ: «دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ»،
وَالتَّغَيُّرُ يَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ بِمُكَثِّهِ أَو نَحْوِهِ، (أَو) شَكَّ فِي
(طَهَارَتِهِ) وَقَدْ تَيَقَّنَ نَجَاسَتَهُ قَبْلَ ذَٰلِكَ (بَنَى عَلَى أَصْلِهِ)
الَّذِي كَانَ مُتَيَقَّنًا قَبْلَ طُرُوءِ الشَّكِّ؛ لِأَنَّ الشَّيْءَ إِذَا كَانَ
عَلَى حَالٍ فَانتِقَالُهُ عَنْهَا يَفْتَقِرُ إِلَى عَدَمِهَا وَوُجُودِ الأُخْرَى،
وَبَقَاؤُهَا وَبَقَاءُ الأُولَى لَا يَفْتَقِرُ إِلَّا إِلَى مُجَرَّدِ الْبَقَاءِ،
فَيَكُونُ أَيْسَرَ مِنَ الْحَدِيثِ وَأَكْثَرَ، وَالْأَصْلُ إِلْحَاقُ الْفَرْدِ بِالْأَعَمِّ
الْأَغْلَبِ] اهـ.
'Dan jika seseorang ragu tentang najisnya air atau lainnya; seperti
pakaian atau wadah (meskipun) keraguannya itu mengenai najisnya air (dalam
keadaan) air tersebut sudah berubah, maka ia berpegang pada asalnya,
berdasarkan hadits:
'Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa
yang tidak meragukanmu.'
Perubahan itu mungkin disebabkan oleh lamanya waktu atau semacamnya,
atau ia ragu tentang kesuciannya padahal sebelumnya ia yakin akan najisnya
(maka ia berpegang pada asalnya) yang telah dipastikan sebelumnya sebelum
timbulnya keraguan; karena sesuatu yang berada dalam keadaan tertentu,
perpindahannya dari keadaan itu memerlukan ketidakadaan keadaan tersebut dan
adanya keadaan yang lain.
Keberadaan dan keberlanjutan keadaan yang pertama tidak memerlukan
apa-apa selain sekadar keberlanjutan, sehingga lebih mudah daripada hadits dan
lebih banyak, dan yang menjadi asal adalah menyamakan yang khusus dengan yang
umum.'" [SELESAI]
KONDISI KEEMPAT : **Jika seseorang merasa yakin dan pasti bahwa ada
najis di kaki kucing dan najis tersebut berpindah-pindah, maka diperbolehkan
untuk mengikuti mazhab Hanafi. Menurut mereka (Madzhab Hanafi), jika benda yang
terkena najis dalam keadaan kering, sedangkan tangan, kaki, atau pakaian yang
menyentuhnya dalam keadaan basah, maka jika terlihat ada sesuatu dari najis
tersebut atau bekasnya, maka benda itu dianggap terkena najis. Namun, jika
tidak terlihat apa pun, maka tidak dianggap terkena najis.
Imam Al-Haskafi al-Hanafi dalam kitab *Ad-Durr Al-Mukhtar* (1/345, cet.
Dar Al-Fikr) mengatakan:
"نَامَ أَوْ مَشَى عَلَى نَجَاسَةٍ، إِنْ
ظَهَرَ عَيْنُهَا تَنَجَّسَ وَإِلَّا لَا" اهـ.
"Jika seseorang tidur atau berjalan di atas najis, jika
tampak zat najisnya, maka ia menjadi najis. Namun, jika tidak tampak, maka
tidak dianggap najis."
Ulama besar Hanafi Ibnu Abidin dalam Hasyiah-nya (1/345, cet. Dar
Al-Fikr) memberikan penjelasan terkait pernyataan di atas:
[قَوْلُهُ: (نَامَ) أَيْ: فَعَرِقَ، وَقَوْلُهُ:
(أَوْ مَشَى) أَيْ: وَقَدَمُهُ مُبْتَلَّةٌ. قَوْلُهُ: (عَلَى نَجَاسَةٍ) أَيْ: يَابِسَةٍ؛
لِمَا فِي "مَتْنِ الْمُلْتَقَى"، لَوْ وَضَعَ ثَوْبًا رَطْبًا عَلَى مَا
طِينَ بِطِينٍ نَجِسٍ جَافٍّ لَا يَنْجُسُ، قَالَ الشَّارِحُ: لِأَنَّ بِالْجَفَافِ
تَنْجَذِبُ رُطُوبَةُ الثَّوْبِ مِنْ غَيْرِ عَكْسٍ، بِخِلَافِ مَا إِذَا كَانَ الطِّينُ
رَطْبًا. اهـ. قَوْلُهُ: (إِنْ ظَهَرَ عَيْنُهَا) الْمُرَادُ بِالْعَيْنِ مَا يَشْمَلُ
الْأَثَرَ؛ لِأَنَّهُ دَلِيلٌ عَلَى وُجُودِهَا، لَوْ عَبَّرَ بِهِ كَمَا فِي
"نُورِ الْإِيضَاحِ" لَكَانَ أَوْلَى] اهـ.
"Kata 'tidur' maksudnya adalah ia berkeringat, dan kata 'berjalan'
maksudnya adalah kakinya dalam keadaan basah. Kata 'di atas najis' maksudnya
adalah najis yang kering. Dalam *Matn Al-Multaqa* disebutkan bahwa jika
seseorang meletakkan pakaian basah di atas tanah yang berlumuran lumpur najis
yang kering, maka pakaian tersebut tidak menjadi najis. Sang pensyarah
menjelaskan bahwa kekeringan menarik kelembapan dari pakaian tanpa sebaliknya,
berbeda dengan lumpur yang basah." Kemudian, "Jika tampak zat
najisnya" di sini yang dimaksud adalah bekas yang menunjukkan keberadaan
najis tersebut, dan jika digunakan istilah seperti dalam *Nur Al-Idhah*, maka
itu lebih tepat”. [SELESAI]
KONDISI KELIMA : **Jika sulit bagi seseorang untuk menghilangkan bekas
najis, ia boleh mengikuti mazhab Maliki, di mana menghilangkan najis dari
pakaian orang yang salat, dari tubuhnya, atau tempat salatnya dianggap sebagai
sunah menurut salah satu pendapat dalam mazhab**.
Imam Ad-Dardir Al-Maliki dalam *Syarh Ash-Shaghir* (1/66, cet. Dar
Al-Ma’arif) mengatakan:
[إِزَالَةُ النَّجَاسَةِ وَاجِبَةٌ إِنْ ذَكَرَ
وَقَدَرَ هُوَ أَحَدُ الْمَشْهُورَيْنِ فِي الْمَذْهَبِ. وَعَلَيْهِ: فَإِنْ صَلَّى
بِهَا عَامِدًا قَادِرًا عَلَى إِزَالَتِهَا أَعَادَ صَلَاتَهُ أَبَدًا وُجُوبًا؛ لِبُطْلَانِهَا.
وَالْمَشْهُورُ الثَّانِي أَنَّ إِزَالَتَهَا سُنَّةٌ إِنْ ذَكَرَ وَقَدَرَ أَيْضًا،
فَإِنْ لَمْ يَذْكُرْهَا أَوْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى إِزَالَتِهَا أَعَادَ بِوَقْتٍ كَالْقَوْلِ
الْأَوَّلِ. وَأَمَّا الْعَامِدُ الْقَادِرُ فَيُعِيدُ أَبَدًا، لَكِنْ نَدْبًا. فَعُلِمَ
أَنَّهُمَا يَتَّفِقَانِ عَلَى الْإِعَادَةِ فِي الْوَقْتِ نَدْبًا فِي النَّاسِي وَغَيْرِ
الْعَالِمِ، وَفِي الْعَاجِزِ، وَيَتَّفِقَانِ عَلَى الْإِعَادَةِ أَبَدًا فِي الْعَامِدِ
الذَّاكِرِ لَكِنْ وُجُوبًا عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ، وَنَدْبًا عَلَى الثَّانِي]
اهـ.
"Menghilangkan najis adalah wajib jika ia ingat dan mampu, ini
adalah salah satu pendapat yang masyhur dalam mazhab. Jika seseorang salat
dengan sengaja dan mampu menghilangkan najis, ia harus mengulangi salatnya
selama-lamanya karena salatnya batal. Pendapat kedua yang masyhur adalah
menghilangkan najis hanya sunah, jika ia ingat dan mampu juga. Jika ia tidak
ingat atau tidak mampu, ia mengulang salat di waktu itu seperti pendapat
pertama. Adapun jika ia sengaja dan mampu, ia harus mengulang salatnya
selama-lamanya, tetapi hanya sunah. Kedua pendapat ini sepakat bahwa salat
diulang di waktu itu sebagai sunah bagi yang lupa, tidak tahu, atau tidak
mampu, serta sepakat bahwa salat diulang selama-lamanya bagi yang sengaja
ingat, tetapi wajib menurut pendapat pertama, dan sunah menurut pendapat
kedua."
**KESIMPULAN:**
Berdasarkan penjelasan di atas dan dalam kasus permasalahan ini, maka air
kencing dan kotoran kucing adalah najis, dan wajib mencuci tempat yang terkena
kencing tersebut pada pakaian atau tubuh jika diketahui oleh penanya.
Dalam kasus ketika yakin adanya najis di kaki kucing dan najis tersebut
berpindah-pindah, maka diperbolehkan mengikuti mazhab Hanafi.
**Menurut mereka (mazhab Hanafi) :**
Jika benda yang terkena najis dalam keadaan kering dan tangan, kaki,
atau pakaian yang basah menyentuhnya, jika ada bekas najis yang terlihat, maka
benda itu menjadi najis.
Namun, jika tidak ada bekas yang terlihat, maka tidak dianggap najis.
Jika sesorang merasa kesulitan dalam menghilangkan najis tersebut, maka
diperbolehkan mengikuti mazhab Maliki.
**Menurut mereka (mazhab Maliki)** : di mana membersihkan najis
dianggap sebagai amalan sunah.
Namun, yang lebih utama dan lebih hati-hati untuk urusan salatmu adalah
anda menyediakan tempat khusus untuk salat yang tidak dimasuki kucing, guna
menghindari kotorannya, bukan karena keberadaan kucing itu sendiri.
Atau, anda bisa menyediakan sajadah khusus untuk salat yang diletakkan
saat salat dan dilipat setelah selesai.
Wallahu a’lam
===*****===
**HUKUM NAJIS ATAU SUCINYA URINE DAN KOTORAN SEMUA HEWAN SELAIN KUCING**.
******
**MASALAH PERTAMA:
** KOTORAN DAN AIR KENCING DARI HEWAN YANG TIDAK HALAL DIMAKAN DAGINGNYA.
Kotoran hewan yang tidak dapat dimakan dagingnya dan air kencingnya
adalah najis. Hal ini disepakati oleh empat mazhab fiqih: Hanafi, Maliki,
Syafi'i, dan Hanbali.
REFERENSI :
**Sumber-sumber Mazhab Hanafi:** *Al-Bahr ar-Ra'iq* karya Ibn Najim
(1/241), lihat juga *Fath al-Qadir* karya al-Kamal Ibn al-Humam (1/202).
**Sumber-sumber Mazhab Maliki:** *Al-Kafi* karya Ibn Abd al-Barr
(1/160), lihat juga *Syarh Mukhtashar Khalil* karya al-Khursyi (1/94),
*Al-Qawanin al-Fiqhiyyah* karya Ibn Juzay (hal. 27).
**Sumber-sumber Mazhab Syafi'i:** *Al-Majmu'* karya an-Nawawi (2/548,
549), lihat juga *Al-Hawi al-Kabir* karya al-Mawardi (2/249).
**Sumber-sumber Mazhab Hanbali:** *Al-Insaf* karya al-Mardawi (1/340),
lihat juga *Al-Mughni* karya Ibn Qudamah (2/64).
**Sumber Ijma’ (konsensus) :** Telah dinyatakan Ijma’ mengenai hal ini.
Ibnu Qudamah al-Hanbali berkata:
(وَمَا خَرَجَ مِنَ الإِنْسَانِ، أَوْ الْبَهِيمَةِ
الَّتِي لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهَا مِنْ بَوْلٍ أَوْ غَيْرِهِ، فَهُوَ نَجِسٌ، يَعْنِي:
مَا خَرَجَ مِنَ السَّبِيلَيْنِ، كَالْبَوْلِ، وَالْغَائِطِ، وَالْمَذِي، وَالْوَدِي،
وَالدَّمِ، وَغَيْرِهِ. فَهَذَا لَا نَعْلَمُ فِي نَجَاسَتِهِ خِلَافًا، إِلَّا أَشْيَاءَ
يَسِيرَةً).
"Apa yang keluar dari manusia atau hewan yang tidak boleh dimakan
dagingnya, baik berupa air kencing atau lainnya, adalah najis, maksudnya: apa
yang keluar dari dua saluran, seperti air kencing, kotoran, madzi, wadi, darah,
dan lainnya. Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang najisnya,
kecuali beberapa hal yang sangat sedikit." (*Al-Mughni* (2/64)).
Al-Kasani al-Hanafi berkata:
(بَوْلُ مَا لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ، نَجِسٌ نَجَاسَةً
غَلِيظَةً بِالْإِجْمَاعِ).
"Air kencing dari hewan yang tidak boleh dimakan dagingnya adalah
najis dengan najis yang berat menurut konsensus." (*Badai' as-Sana'i*)
(1/81).
An-Nawawi asy-Syafi'i berkata:
(أَمَّا بَوْلُ بَاقِي الْحَيَوَانَاتِ الَّتِي
لَا يُؤْكَلُ لَحْمُهَا، فَنَجِسٌ عِندَنَا، وَعِندَ مَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ،
وَالْعُلَمَاءُ كَافَّةً)
"Adapun air kencing hewan lainnya yang tidak boleh dimakan dagingnya,
maka najis menurut kami, dan menurut Malik, Abu Hanifah, Ahmad, dan semua
ulama." (*Al-Majmu'* (2/548)).
=====
**DALIL-DALIL:**
-----
**DALIL PERTAMA : DARI AS-SUNNAH **
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:
((أَتَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْغَائِطَ، فَأَمَرَنِي أَنْ آتِيَه بِثَلاثَةِ أَحْجَارٍ، فَوَجَدْتُ حَجَرَيْنِ،
وَالْتَمَسْتُ الثَّالِثَ فَلَمْ أَجِدْهُ، فَأَخَذْتُ رَوْثَةً، فَأَتَيْتُه بِهَا،
فَأَخَذَ الْحَجَرَيْنِ وَأَلْقَى الرَّوْثَةَ، وَقَالَ: هَذَا رِكَسٌ)).
“Nabi ﷺ datang ke tempat buang air,
lalu beliau memerintahkan saya untuk membawa tiga batu. Saya menemukan dua
batu, dan saya mencari batu yang ketiga tetapi tidak menemukannya, lalu saya
mengambil kotoran, dan membawanya kepada beliau. Beliau mengambil dua batu dan
melemparkan kotoran tersebut, sambil berkata: ‘Ini adalah riks (najis).’”
(Diriwayatkan oleh Bukhari, 156).
Makna : ar-Rauts :
الرَّوْثُ: رَجِيعُ ذَوَاتِ الحَافِرِ.
**Kotoran:** adalah kotoran hewan berkuku. (Nihayah) oleh Ibn Al-Athir
(2/271), (Lisan Al-Arab) oleh Ibn Mandhur (2/156).
----
**DALIL KEDUA:**
Bahwa sebab diharamkannya dagingnya adalah karena kotoran makanannya;
demikian juga air kencing dan kotorannya. (Mujmu’ Fatawa Ibn Taimiyah)
(21/585).
******
**MASALAH KEDUA:
KOTORAN DAN AIR KENCING DARI HEWAN YANG HALAL DIMAKAN**
Kotoran dan air kencing hewan yang dapat dimakan adalah suci, dan ini
adalah pendapat dari Mazhab Maliki, Madzhab Hanbali, asy-Syawkani, Ibnu Taimiyah,
Syeikh Bin Baaz, Syeikh al-Utsaimin dan lainnya .
[Lihat : Mujmu’ Fatawa Ibn Taimiyah) (21/585, (Al-Inshaf) oleh
Al-Mardawi (1/339), dan lihat (Al-Mughni) oleh Ibn Qudamah (2/65)].
Ini juga merupakan pilihan dari Al-Syaukani, ia berkata:
(الظَّاهِرُ:
طَهَارَةُ الأَبْوَالِ وَالأَزْبَالِ مِن كُلِّ حَيَوَانٍ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ).
“Yang tampak jelas adalah kesucian air kencing dan kotoran dari setiap
hewan yang dagingnya dapat dimakan.” (Nail Al-Awtar) (1/50).
Syeikh Bin Baz berkata:
(هَذَا هُوَ الصَّوَابُ: أَنَّ بَوْلَ مَا يُؤْكَلُ
لَحْمُهُ وَرَوْثُهُ كُلُّهُ طَاهِرٌ، مِثْلَ الإِبِلِ وَالْبَقَرِ وَالْغَنَمِ وَالصَّيْدِ،
كُلُّهُ طَاهِرٌ).
“Ini adalah pendapat yang benar: bahwa air kencing dan kotoran dari
hewan yang dagingnya dapat dimakan adalah suci, seperti unta, sapi, domba, dan
hewan buruan; semuanya suci.” (Mujmu’ Fatawa Ibn Baz) (29/105).
Dan Syeikh Ibnu ‘Utsaimin berkata:
(بَوْلُ وَرَوْثُ الْحَيَوَانِ الْمَأْكُولِ،
طَاهِرٌ، وَلَا يَلْزَمُ إِذَا أَصَابَكَ مِنْهَا شَيْءٌ أَنْ تَغْسِلَ ثِيَابَكَ أَوْ
بَدَنَكَ). ((لِقَاءُ الْبَابِ الْمَفْتُوحِ)) (اللِّقَاءُ رَقْمُ: 35). وَقَالَ أَيْضًا:
(كُلُّ شَيْءٍ يُؤْكَلُ لَحْمُهُ، فَرَوْثُهُ وَبَوْلُهُ طَاهِرٌ).
“Air kencing dan kotoran dari hewan yang dapat dimakan adalah suci, dan
tidak wajib untuk mencuci pakaian atau tubuh jika terkena sesuatu dari mereka.”
(Pertemuan Pintu Terbuka) (Pertemuan No: 35). Ia juga berkata: “Segala sesuatu
yang dagingnya dapat dimakan, maka kotoran dan air kencingnya adalah suci.”
(Pertemuan Pintu Terbuka) (Pertemuan No: 17).
Telah diriwayatkan Ijma’ kesepakatan tentang hal ini. Sebagaimna yang dikutip oleh Ibnu Taimiyah.
Ibnu Taimiyah berkata:
(قَدْ ذَكَرْنَا عَنْ ابْنِ الْمُنْذِرِ وَغَيْرِهِ
أَنَّهُ لَمْ يُعْرَفْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الْقَوْلُ بِنَجَاسَتِهَا، وَمِنَ
الْمَعْلُومِ الَّذِي لَا شَكَّ فِيهِ أَنَّ هَذَا إِجْمَاعٌ عَلَى عَدَمِ النَّجَاسَةِ).
“Kami telah menyebutkan dari Ibn Al-Mundzir dan lainnya bahwa tidak ada
seorang pun dari generasi awal yang menyatakan bahwa kotoran itu najis, dan
yang diketahui tanpa keraguan adalah bahwa ini adalah kesepakatan tentang tidak
adanya najis.” (Mujmu’ Fatawa Ibn Taimiyah) (21/580).
Ia juga berkata:
(بَوْلُ مَا أُكِلَ لَحْمُهُ وَرَوْثُهُ، طَاهِرٌ،
لَمْ يَذْهَبْ أَحَدٌ مِنَ الصَّحَابَةِ إِلَى تَنْجُّسِهِ، بَلْ الْقَوْلُ بِنَجَاسَتِهِ
قَوْلٌ مُحْدَثٌ لَا سَلَفَ لَهُ مِنَ الصَّحَابَةِ).
“Air kencing dan kotoran dari hewan yang dagingnya dapat dimakan adalah
suci, tidak ada seorang pun dari sahabat yang berpendapat bahwa itu najis,
bahkan pendapat bahwa itu najis adalah pendapat yang baru dan tidak memiliki
landasan dari kalangan sahabat.” (Fatawa Kubra) (5/313).
Ia juga berkata:
(رُوِيَ عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَوْلُهُ:
(مَا أُكِلَ لَحْمُهُ، فَلَا بَأْسَ بِبَوْلِهِ) وَهُوَ قَوْلُ صَحَابِيٍّ، وَقَدْ
جَاءَ مِثْلُهُ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ؛ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ وَغَيْرِهِ،
فَيَنْبَنِي عَلَى أَنَّ قَوْلَ الصَّحَابَةِ أَوْلَى مِنْ قَوْلِ مَنْ بَعْدَهُمْ،
وَأَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ. وَإِنْ عُلِمَ أَنَّهُ انْتَشَرَ فِي سَائِرِهِمْ وَلَمْ
يُنْكَرْهُ، فَصَارَ إِجْمَاعًا سُكُوتِيًّا)
“Diriwayatkan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: ‘Apa yang
dagingnya dapat dimakan, maka tidak ada masalah dengan air kencingnya,’ dan ini
adalah ucapan seorang sahabat. Pendapat ini juga datang dari sahabat yang lain,
seperti Abu Musa Al-Asy’ari dan lainnya. Ini menunjukkan bahwa pendapat sahabat
lebih utama daripada pendapat orang-orang setelah mereka, dan lebih berhak
untuk diikuti. Jika diketahui bahwa pendapat tersebut menyebar di kalangan
mereka dan mereka tidak mengingkarinya, maka itu menjadi kesepakatan yang
diam.” (Mujmu’ Fatawa) (21/574).
=====
**DALIL-DALIL:**
-----
**DALIL PERTAMA : DARI AS-SUNNAH **
KE 1. Dari Anas radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
((قَدِمَ أناسٌ مِن عُكْلٍ أو عُرَينةَ، فاجْتَوَوْا
الْمَدِينَةَ، فَأَمَرَهُم النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِاللِّقَاحِ،
وَأَنْ يَشْرَبُوا مِنْ أَبْوَالِهَا وَأَلْبَانِهَا)).
"Sekelompok orang dari 'Ukl atau 'Urainah datang, lalu mereka
sakit di Madinah. Rasulullah ﷺ memerintahkan mereka untuk
meminum susu unta dan meminum air kencingnya." Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari (233) dan lafazhnya darinya, dan Muslim (1671).
**Makna dalil:**
Bahwa Nabi ﷺ memerintahkan orang-orang
'Urainah untuk meminum air kencing unta dan susunya. Jika air kencing itu
najis, maka beliau tidak akan memperbolehkan mereka untuk mengobati diri dengan
cara itu. Jika beliau memperbolehkan mereka karena keadaan darurat, seharusnya
beliau menjelaskan kepada mereka perlunya membersihkan mulut, tangan, dan wadah
mereka. Oleh karena itu, tidak ada hal tersebut, yang menunjukkan bahwa itu
bukan najis. (Majmu’ al-Fatawa) (21/559).
KE 2. Dari Jabir bin Samurah radhiyallahu 'anhu:
((أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى
اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:... أُصَلِّي فِي مَرَابِضِ الغَنَمِ؟ قَالَ: نَعَمْ)).
"Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah ﷺ:... Apakah aku boleh shalat di tempat ternak domba?"
Rasulullah ﷺ menjawab: "Ya." [Diriwayatkan oleh Muslim (360)].
KE 3. Dari Abdullah bin Mughaffal radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
((صَلُّوا فِي مَرَابِضِ الغَنَمِ، وَلَا تَصَلُّوا
فِي أَعْطَانِ الإبِلِ)).
"Rasulullah ﷺ bersabda: 'Shalatlah kalian
di tempat-tempat ternak domba, dan janganlah kalian shalat di tempat tinggal
unta.'"
Diriwayatkan oleh An-Nasa’i (735) pada akhir hadits tersebut, Ibn Majah
(769) dan lafazhnya darinya, dan Ahmad (16834).
Sanadnya dinyatakan hasan oleh Ibn Abd al-Barr dalam
"At-Tamhid" (22/334), dinyatakan hasan oleh An-Nawawi dalam
"Al-Majmu'" (3/160), sanadnya dinyatakan sahih oleh Al-Dzahabi dalam
"Tanqiḥ Taqrīr al-Tahqiq" (1/123), dan
dinyatakan sahih oleh Al-Albani dalam "Shahih Sunan Ibn Majah" (769),
serta Al-Wada’i dalam "Al-Shahih al-Musnad" (906).
KE 4- Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
((صَلُّوا في مَرابِضِ الغَنَمِ))
**"Shalatlah kalian di tempat penggembalaan domba."**
Diriwayatkan oleh Tirmidzi (348), Ibn Majah (768), dan Ahmad (9824).
Tirmidzi mengatakan: **"Hadits ini hasan shahih."**
Ibnu Hazm menggunakannya sebagai dalil dalam *al-Muhalla* (4/24), dan
Ahmad Syakir mensahihkannya dalam *Syarh Sunan Tirmidzi* (2/181), demikian juga
Al-Albani dalam *Shahih Sunan Tirmidzi* (348), dan Al-Wad'i dalam *Al-Sahih
Al-Musnad* (1269) serta mengatakan: **"Ini sesuai syarat kedua
Syaikh."**
**Makna dalil dari dua hadits tersebut:**
Bahwa Nabi ﷺ mengizinkan shalat di tempat
penggembalaan domba, dan jika air kencing dan kotoran domba itu najis, tentu
Nabi ﷺ tidak akan mengizinkan shalat di tempat tersebut, karena salah
satu syarat sah shalat adalah kesucian tempat. (*Mujam Fatawa* Ibn Taimiyyah
(21/571), *Al-Syarh Al-Mumt'i* Ibnu Utsaimin (1/450)).
KE 5- Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma, ia berkata:
((طافَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم في
حَجَّةِ الوَداعِ على بَعيرٍ، يَستَلِمُ الرُّكنَ بمِحْجَنٍ))
**"Nabi ﷺ melakukan tawaf dalam Haji
Wada' di atas unta, dan ia menyentuh Hajar Aswad dengan tongkat."**
Diriwayatkan oleh Bukhari (1607) dan lafazhnya adalah milik Bukhari,
serta Muslim (1272).
**Makna dalil:**
Bahwa memasukkan unta ke dalam masjid dan melakukan tawaf di atasnya
adalah bukti bahwa air kencing unta itu suci, karena tidak mungkin terhindar
dari air kencing unta saat tawaf. Diriwayatkan oleh Bukhari (1607) dan
lafazhnya adalah milik Bukhari, serta Muslim (1272).
----
**DALIL KEDUA:**
Kesucian asal (الْبَرَاءَةُ الْأَصْلِيَّةُ), sehingga asalnya adalah
suci, sampai datang dalil yang menyatakan sebaliknya. ((Al-Sharh Al-Mumti))
oleh Ibn Utsaimin (1/450).
Kucing adalah suci, dan ini disepakati oleh empat mazhab fiqih: Hanafi,
Maliki, Syafi'i, dan Hanbali.
**Sumber-sumber Hanafi:** ((Hashiyah Ibn Abidin)) (1/224), ((Al-Binayah
Syarh Al-Hidayah)) oleh Al-Aini (1/489).
**Sumber-sumber Maliki:** ((Al-Sharh Al-Kabir) oleh Al-Dardir) (1/44),
lihat juga: ((Al-Dzakhirah)) oleh Al-Qarafi (1/187).
**Sumber-sumber Syafi'i:** ((Al-Majmu')) oleh Al-Nawawi (1/172), lihat
juga: ((Al-Um)) oleh Al-Shafi'i (1/20).
**Sumber-sumber Hanbali:** ((Al-Furu')) oleh Ibn Muflih (1/333), lihat
juga: ((Al-Mughni)) oleh Ibn Qudamah (1/38).
====
**DALIL-DALIL:**
----
**Dalil Pertama:** Dari sunnah.
Dari Kabsyah binti K'ab bin Malik:
((أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ دَخَلَ عَلَيْهَا، فَسَكَبَتْ
لَهُ وَضَوءًا، قَالَت: فَجَاءَتْ هِرَّةٌ، فَأَصْغَى لَهَا الْإِنَاءَ حَتَّى شَرِبَتْ،
قَالَتْ كَبْشَةُ: فَرَآنِي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، قَالَ: أَتَعْجَبِينَ يَا ابْنَةَ أَخِي؟
فَقُلْتُ: نَعَمْ، قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ؛ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ))
((Bahwa Abu Qatadah masuk ke rumahnya, lalu dia menuangkan air wudhu
untuknya, dan datanglah seekor kucing, lalu ia menundukkan wadahnya hingga
kucing itu meminumnya. Kabsyah berkata: Dia melihatku sedang memperhatikannya,
dan dia berkata: Apakah kau kagum, wahai putri saudaraku? Aku menjawab: Ya, dan
dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya
kucing itu tidak najis; dia termasuk yang berkeliling di antara kalian dan yang
berkeliling di sekitar kalian.))
Diriwayatkan oleh Abu Dawud (75), Tirmidzi (92), An-Nasa’i (68), Ibn
Majah (367), Ahmad (22633), dan Malik dalam ((Al-Muwatha)) (2/30), dan
Al-Darimi (1/203) (736).
Bukhari mengatakan dalam ((Sunan Al-Kubra)) oleh Al-Bayhaqi (1/245):
Malik menyampaikan hadits ini dengan baik, dan riwayatnya lebih sahih daripada
riwayat yang lain.
Tirmidzi berkata, "Hasan sahih."
Dan Al-Aqili dalam ((Al-Dhu’afa Al-Kabir)) (2/142) berkata:
"Sanadnya sahih dan tetap."
Dan Al-Daraqutni seperti dalam ((Al-Muharrar)) (38) berkata: "Para
perawinya adalah orang-orang terpercaya yang dikenal."
Ibnu Hazm juga menggunakannya dalam ((Al-Muhalla)) (1/117),
Dan Ibn Abdul Barr dalam ((Al-Tamhiid)) (1/318), Al-Nawawi dalam
((Al-Majmu')) (1/117), Ibn Daqiq dalam ((Al-Iqtirooh)) (126), Ibn Hajar dalam
((Al-Matalib Al-Aliyyah)) (1/59), dan Al-Albani dalam ((Sahih Sunan Abu Dawud))
(75).
----
**Dalil Kedua:**
Bahwa kesuciannya adalah karena kesulitan untuk menghindarinya; karena
kucing termasuk makhluk yang berkeliling di antara manusia; sehingga ia sering
berada di sekitar mereka, maka jika kucing itu najis, tentu hal itu akan
menyulitkan manusia. ((Hashiyah Ibn Abidin)) (1/224), ((Al-Sharh Al-Mumti))
oleh Ibn Utsaimin (1/444).
===****===
**HUKUM AIR KENCING DAN KOTORAN YANG KELUAR DARI MANUSIA**
Air kencing atau kotoran yang keluar dari dua jalan (qubul dan dubur)
dari manusia adalah najis.
******
**DALIL-DALILNYA:**
====
**DALIL PERTAMA : DARI AS-SUNNAH**
Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu :
((أَنَّ أَعْرَابِيًّا بَالَ فِي الْمَسْجِدِ،
فَقَامَ إِلَيْهِ بَعْضُ الْقَوْمِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: دَعُوهُ وَلَا تُزْرِمُوهُ، قَالَ: فَلَمَّا فَرَغَ دَعَا بِدَلْوٍ مِن
مَاءٍ فَصَبَّهُ عَلَيْهِ))
bahwa ada seorang Arab Badui kencing di masjid, lalu sebagian orang
berdiri menghampirinya. Rasulullah ﷺ bersabda: "Biarkan dia
dan jangan hentikan dia." Setelah dia selesai, Rasulullah ﷺ memerintahkan untuk mengambil seember air dan menuangkannya ke
atas tempat kencing tersebut. [HR. Al-Bukhari (6025) dan Muslim (284) dengan
sedikit perbedaan]
*(Lafal "jangan hentikan dia" artinya jangan memotong
kencingnya. Lihat *Fathul Bari* oleh Ibnu Hajar (1/127).*
**Sisi Pendalilan:**
Perintah untuk menuangkan air pada tempat kencing menunjukkan bahwa air
kencing adalah najis. (*Sabilus Salam* oleh Ash-Shan'ani (1/25)).
**DALIL KEDUA : IJMA' PARA ULAMA**
Ijma' ini telah diriwayatkan oleh Ibnu Hazm, yang berkata:
(اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ بَوْلَ ابْنِ آدَمَ إِذَا
كَانَ كَثِيرًا وَلَمْ يَكُنْ كَرُؤُوسِ الْإِبَرِ، وَغَائِطَهُ؛ نَجِسٌ)
"Para ulama sepakat bahwa kencing manusia jika dalam jumlah
banyak, dan bukan seperti titik-titik kecil, serta kotorannya adalah
najis." (*Maratib al-Ijma'* (hal. 19)).
Juga diriwayatkan oleh Ibnu Qudamah yang berkata:
(مَا خَرَجَ مِنَ السَّبِيلَيْنِ كَالْبَوْلِ
وَالْغَائِطِ... فَهَذَا لَا نَعْلَمُ فِي نَجَاسَتِهِ خِلَافًا).
"Apa yang keluar dari dua jalan seperti kencing dan kotoran...
tidak kami ketahui adanya perbedaan pendapat mengenai kenajisannya."
(*Al-Mughni* (2/64)).
Imam Nawawi juga berkata:
(فَأَمَّا بَوْلُ الآدَمِيِّ الكَبِيرِ، فَنَجِسٌ
بِإِجْمَاعِ المُسْلِمِينَ)
"Adapun kencing manusia dewasa, maka itu najis berdasarkan ijma'
kaum Muslimin." (*Al-Majmu'* (2/548)).
Dan dia juga berkata:
(الإِجْمَاعُ عَلَى نَجَاسَةِ الغَائِطِ، وَلَا
فَرْقَ بَيْنَ غَائِطِ الصَّغِيرِ وَالكَبِيرِ بِالإِجْمَاعِ)
"Ijma' ulama sepakat bahwa kotoran manusia adalah najis, dan tidak
ada perbedaan antara kotoran anak kecil maupun orang dewasa menurut
ijma'." (*Al-Majmu'* (2/549)).
===******===
**AIR KENCING BAYI PEREMPUAN DAN BAYI LAKI-LAKI**
*****
**PERMASALAHAN PERTAMA:
NAJISNYA AIR KENCING BAYI
PEREMPUAN DAN BAYI LAKI-LAKI**
Air kencing bayi laki-laki—baik yang sudah makan makanan ataupun yang
belum makan—dan air kencing bayi perempuan, keduanya dianggap najis. Hal ini
disepakati oleh empat mazhab fiqih: Hanafi, Maliki (menurut pendapat yang
terkenal), Syafi'i, dan Hanbali, serta telah dinukil adanya ijma' (kesepakatan
ulama) tentang hal ini.
REFERENSI ;
**Sumber Mazhab Hanafi**:
- *Al-Binayah Syarh Al-Hidayah* karya Al-'Ayni (1/728),
- *Ad-Durr Al-Mukhtar* dengan hasyiah Ibnu 'Abidin (1/318).
**Sumber Mazhab Maliki**:
- *Manh Al-Jalil* karya 'Ulaysh (1/54),
- *Syarh Mukhtashar Khalil* karya Al-Kharshi (1/94).
**Sumber Mazhab Syafi'i**:
- *Al-Majmu'* karya An-Nawawi (2/548),
- Lihat juga *Al-Hawi Al-Kabir* karya Al-Mawardi (2/248).
**Sumber Mazhab Hanbali**:
- *Al-Insaf* karya Al-Mardawi (1/232),
- *Kasyaf Al-Qina'* karya Al-Buhuti (1/189).
**Sumber Ijma'**:
- Al-Mawardi berkata:
(أمَّا بَولُ الآدَمِيِّينَ، فَنَجِسٌ إجماعًا؛ صَغِيرًا كانَ أو كَبِيرًا،
ذَكَرًا كانَ أو أُنثَى).
"Adapun air kencing manusia, itu adalah najis menurut ijma' ulama,
baik anak kecil maupun dewasa, baik laki-laki maupun perempuan." (*Al-Hawi
Al-Kabir* 2/248).
- An-Nawawi berkata:
(اعْلَمْ أنَّ هذا الخِلافَ إنَّما هوَ في كَيفِيَّةِ تَطهِيرِ الشَّيءِ
الذي بالَ علَيهِ الصَّبِيُّ، ولا خِلافَ في نَجاسَتِهِ، وقدْ نَقَلَ بَعضُ أَصْحابِنا
إجْمَاعَ العُلَماءِ على نَجاسَةِ بَولِ الصَّبِيِّ، وأنَّهُ لمْ يُخالِفْ فيهِ إلَّا
داوُدُ الظَّاهِرِيُّ؛ قالَ الخَطّابِيُّ وغَيرُهُ: ولَيسَ تَجْوِيزُ مَن جَوَّزَ النَّضْحَ
في الصَّبِيِّ مِن أَجْلِ أنَّ بَولَهُ لَيسَ بِنَجِسٍ، ولَكِنَّهُ مِن أَجْلِ التَّخْفِيفِ
في إزَالَتِهِ، فَهذا هوَ الصَّوابُ، وأمَّا ما حَكَاهُ أَبُو الحَسَنِ بنُ بَطَّالٍ
ثُمَّ القَاضِي عِيَاضٌ عنِ الشَّافِعِيِّ وغَيرِهِ: أنَّهم قالُوا: بَولُ الصَّبِيِّ
طَاهِرٌ فيُنْضَحُ، فَحِكايةٌ باطِلَةٌ قَطْعًا).
"Ketahuilah bahwa perselisihan ini hanya terkait dengan cara
menyucikan benda yang terkena kencing anak laki-laki, dan tidak ada
perselisihan tentang kenajisannya. Sebagian ulama kami telah menukil adanya
ijma' ulama tentang najisnya air kencing anak laki-laki, kecuali pendapat Daud
Azh-Zhahiri; Al-Khattabi dan lainnya berkata: Pendapat yang memperbolehkan
menyiram dengan air pada kencing anak laki-laki bukan karena kencingnya tidak
najis, tetapi karena alasan kemudahan dalam membersihkannya. Ini adalah
pendapat yang benar. Adapun yang dinukil oleh Abu Al-Hasan Ibnu Baththal dan
kemudian Al-Qadhi 'Iyadh dari Asy-Syafi'i dan lainnya bahwa mereka berkata kencing
anak laki-laki adalah suci sehingga cukup disiram, itu adalah nukilan yang
salah." (*Syarh An-Nawawi 'ala Muslim* 3/195).
- Al-'Iraqi berkata:
(فيهِ نَجاسَةُ بَولِ الآدَمِيِّ، وهوَ إجْمَاعٌ مِن العُلَماءِ، إلَّا
ما حُكِيَ عنْ داوُدَ في بَولِ الصَّبِيِّ الذي لمْ يَطعَمْ أنَّهُ لَيْسَ بنَجِسٍ؛
للحَديثِ الصَّحيحِ (فَنَضَحَهُ ولَمْ يَغْسِلْهُ)، وهوَ مَرْدُودٌ بالإجْمَاعِ؛ فقَدْ
حَكَى بَعضُ أَصْحابِنا الإجْمَاعَ أَيضًا في نَجاسَةِ بَولِ الصَّبِيِّ).
"Air kencing manusia itu najis, dan ini adalah ijma' ulama,
kecuali yang dinukil dari Daud tentang air kencing anak laki-laki yang belum
makan, bahwa kencingnya tidak najis; berdasarkan hadits shahih (Rasulullah ﷺ hanya memercikkan air dan tidak mencucinya), tetapi pendapat
ini ditolak oleh ijma'. Sebagian ulama kami juga menukil adanya ijma' tentang
najisnya air kencing anak laki-laki." (*Tharh At-Tatsrib* 2/128).
-----
**DALIL-DALILNYA DARI SUNNAH:**
Dalil Ke 1. Dari Ummu Qais binti Mihshan :
((أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ، لَمْ
يَأْكُلِ الطَّعَامَ، إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَجْلَسَهُ
رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ،
فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ))
“Bahwasanya ia datang kepada Rasulullah ﷺ dengan membawa seorang anak
kecil yang belum makan makanan. Rasulullah ﷺ mendudukkan anak tersebut di
pangkuannya, lalu anak itu kencing di atas pakaiannya. Rasulullah ﷺ kemudian meminta air dan memercikkannya (ke tempat yang terkena
kencing) tanpa mencucinya”. [Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (223) dan
Muslim (287)].
Dalil Ke 2. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:
((كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ، فَيَدْعُو لَهُمْ، فَأُتِيَ بِصَبِيٍّ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ،
فَدَعَا بِمَاءٍ، فَأَتْبَعَهُ إِيَّاهُ، وَلَمْ يَغْسِلْهُ))
"Nabi ﷺ biasa didatangi oleh
anak-anak kecil, lalu beliau mendoakan mereka. Suatu ketika, beliau didatangi
seorang anak, dan anak itu kencing di atas pakaiannya. Rasulullah ﷺ lalu meminta air dan memercikkannya ke tempat tersebut, tanpa
mencucinya." [Hadis ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6355) dan Muslim
(286)].
Dalil Ke 3. Dari Abu As-Samh radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
((كُنْتُ أَخْدُمُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَكَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَ: وَلِّنِي قَفَاكَ، فَأُولِيهِ
قَفَايَ، فَأَسْتُرُهُ بِهِ، فَأُتِيَ بِحَسَنٍ أَوْ حُسَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا،
فَبَالَ عَلَى صَدْرِهِ، فَجِئْتُ أَغْسِلُهُ، فَقَالَ: يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ،
وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلَامِ))
"Aku biasa melayani Nabi ﷺ. Jika beliau ingin mandi,
beliau berkata: ‘Berilah aku punggungmu’, maka aku akan menutupi beliau dengan
punggungku. Suatu ketika, Hasan atau Husain radhiyallahu 'anhuma dibawa kepada
beliau, lalu mereka kencing di dadanya. Aku hendak mencucinya, namun beliau
berkata: 'Dari air kencing anak perempuan harus dicuci, sementara air kencing
anak laki-laki cukup diperciki air.'"
[Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (376), An-Nasa'i (224, 304), dan
Ibnu Majah (526).
Hadis ini dihasankan oleh Al-Bukhari sebagaimana dalam *At-Talkhis
Al-Habir* karya Ibnu Hajar (1/55), dipakai sebagai hujjah oleh Ibnu Hazm dalam
*Al-Muhalla* (1/101), disahihkan oleh Ibnul Qayyim dalam *I'lam Al-Muwaqqi'in*
(2/270), dihasankan sanadnya oleh Ibnu Rajab dalam *Fath Al-Bari* (1/334),
disahihkan oleh Ibnu Al-Mulaqqin dalam *Al-Badr Al-Munir* (1/532), Ibnu Hajar
dalam *Muwafaqat Al-Khabar Al-Khabar* (2/402), dan Al-Albani dalam *Shahih
Sunan Abi Dawud* (376).
Dalil Ke 4. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
ﷺ bersabda tentang air kencing anak laki-laki yang masih menyusu:
((أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ فِي بَوْلِ الْغُلَامِ الرَّضِيعِ: يُنْضَحُ بَوْلُ الْغُلَامِ، وَيُغْسَلُ
بَوْلُ الْجَارِيَةِ))
"Air kencing anak laki-laki cukup diperciki air, sedangkan air
kencing anak perempuan harus dicuci."
[Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (378), At-Tirmidzi (610), Ibnu
Majah (525), dan Ahmad (757).
At-Tirmidzi berkata: "Hadis ini hasan sahih" .
Dan An-Nawawi menghasankannya dalam *Al-Majmu'* (2/589).
Ibnu Hajar mensahihkan sanadnya dalam *At-Talkhis Al-Habir* (1/57) dan
berkata:
إلَّا أَنَّهُ اخْتُلِفَ فِي رَفْعِهِ
وَوَقْفِهِ، وَفِي وَصْلِهِ وَإِرْسَالِهِ، وَقَدْ رَجَّحَ الْبُخَارِيُّ صِحَّتَهُ،
وَكَذَا الدَّارَقُطْنِيُّ،
"Namun, terdapat perbedaan pendapat terkait apakah hadis ini
marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah ﷺ) atau mauquf (berhenti pada
sahabat), serta terkait kesambungannya atau adanya irsal. Al-Bukhari menguatkan
kesahihannya, begitu juga Ad-Daraquthni.
Ahmad Syakir juga mensahihkan sanadnya dalam *Musnad Ahmad* (2/111),
dan Al-Albani mensahihkannya dalam *Shahih Sunan At-Tirmidzi* (610).
Al-Wadi’i juga mensahihkannya dalam *Ash-Shahih Al-Musnad* (974), dan
berkata:
رِجَالُهُ ثِقَاتٌ، وَلَا يُعَلُّ بِالْمَوْقُوفِ.
'Para perawinya terpercaya, dan tidak ada kecacatan meskipun ada yang
menyebutkan riwayat yang mauquf.'"
******
**MASALAH KEDUA:
CARA MENYUCIKAN AIR KENCING BAYI
LAKI-LAKI YANG BELUM MAKAN MAKANAN**
Cukup untuk menyucikan air kencing anak laki-laki yang belum makan
makanan dengan cara diperciki dan disiram dengan air. Ini adalah pendapat dari
madzhab Syafi'i dan Hanbali, dan diikuti oleh sebagian ulama salaf. Pendapat
ini juga merupakan pilihan dari Ibnu Daqiq al-'Id, asy-Syaukani, Ibnu Baz, dan
Ibnu Utsaimin.
**Sumber-sumber Syafi'iyyah**: *Raudhah at-Thalibin* karya an-Nawawi
(1/31), *al-Majmu'* karya an-Nawawi (2/589).
**Sumber-sumber Hanabilah**: *al-Inshaf* karya al-Mardawi (1/323),
lihat juga *al-Mughni* karya Ibnu Qudamah (2/67).
Ibnu Qudamah berkata:
(وبِهِ قالَ عَطاءٌ وَالحَسَنُ وَالشَّافِعِيُّ
وَإِسحَاقُ).
"Ini juga merupakan pendapat 'Atha, al-Hasan, asy-Syafi'i, dan
Ishaq." (*al-Mughni* 2/67).
Ibnu Daqiq al-'Id berkata:
(والحَدِيثُ ظَاهِرٌ فِي الاِكتِفَاءِ بِالنَّضْحِ
وَعَدَمِ الغَسْلِ).
"Haditsnya secara jelas menunjukkan bahwa cukup dengan diperciki
air tanpa perlu dicuci." (*Ihkam al-Ahkam* hlm. 58).
Asy-Syaukani berkata setelah menjelaskan hadits-hadits tentang percikan
air pada kencing anak laki-laki dan cucian pada kencing anak perempuan:
(والحَاصِلُ: أَنَّهُ لَمْ يُعَارِضْ أَحَادِيثَ
البَابِ شَيءٌ يُوجِبُ الاِشتِغَالَ بِهِ).
"Kesimpulannya, tidak ada hadits lain yang bertentangan yang perlu
dipertimbangkan." (*Nail al-Autar* 1/48).
Syeikh Bin Baz berkata:
(وَبَولُ الصَّبِيِّ الَّذِي لَمْ يَأْكُلِ الطَّعَامَ
يُنْضَحُ، أَمَّا البَولُ لِلصَّبِيِّ الَّذِي يَأْكُلُ الطَّعَامَ فَيُغْسَلُ).
"Air kencing anak laki-laki yang belum makan makanan cukup
diperciki, sedangkan air kencing anak laki-laki yang sudah makan makanan harus
dicuci." (*Majmu' Fatawa Ibnu Baz* 29/22).
Ibnu Utsaimin berkata:
(بَولُ الصَّبِيِّ الذَّكَرِ الَّذِي لَمْ يَأْكُلِ
الطَّعَامَ وَإِنَّمَا يَتَغَذَّى بِالحَلِيبِ، خَفِيفُ النَّجَاسَةِ، يَكْفِي أَنْ
تَصُبَّ عَلَيهِ مَاءً يُغْمِرُهُ دُونَ فَرْكٍ وَلَا غَسْلٍ).
"Air kencing anak laki-laki yang belum makan makanan dan hanya
menyusu dianggap ringan najisnya, cukup dengan menyiramkan air hingga membasahi
tanpa perlu digosok atau dicuci." (*al-Liqa' asy-Syahri*, pertemuan
ke-54).
====
**DALIL-DALILNYA:**
----
**DALIL PERTAMA : DARI AS-SUNNAH **
KE 1. Dari Ummu Qais binti Mihshan:
((أنَّها أتَتْ بِابنٍ لَها صَغيرٍ، لَمْ يَأكُلِ
الطَّعامَ، إِلى رَسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم، فَأَجلَسَهُ رَسولُ اللهِ
صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّم في حِجرِهِ، فَبَالَ على ثَوبِهِ، فَدَعَا بِماءٍ فَنَضَحَهُ
ولَمْ يَغسِلْهُ)).
"Bahwa ia datang membawa seorang anak kecilnya yang belum makan
makanan kepada Rasulullah ﷺ, lalu Rasulullah ﷺ mendudukkannya di pangkuannya, kemudian anak itu kencing di
pakaian beliau. Maka Rasulullah ﷺ meminta air dan
memercikkannya, namun tidak mencucinya." (Diriwayatkan oleh al-Bukhari
(223) dan lafaznya dari beliau, serta Muslim (287)).
KE 2. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:
((أنَّها أتَتْ بِابْنٍ لَها صَغِيرٍ، لَمْ يَأْكُلِ
الطَّعَامَ، إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم، فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حِجْرِهِ، فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ، فَدَعَا
بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ)).
"Nabi ﷺ biasa didatangi oleh
anak-anak kecil dan beliau mendoakan mereka. Lalu, dibawalah seorang anak
kecil, kemudian anak itu kencing di pakaian beliau, maka beliau meminta air dan
menuangkan air tersebut pada bekas kencing itu, namun beliau tidak mencucinya."
(Diriwayatkan oleh al-Bukhari (6355) dan lafaznya dari beliau, serta Muslim
(286)).
KE 3. Dari Abu as-Samh radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
((كُنتُ أَخْدُمُ النَّبِيَّ صلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ، فَكَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَغْتَسِلَ قَالَ: وَلِّنِي قَفَاكَ، فَأُولِيهِ
قَفَايَ، فَأَسْتُرُهُ بِهِ، فَأُتِيَ بِحَسَنٍ أَوْ حُسَيْنٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا،
فَبَالَ عَلَى صَدْرِهِ، فَجِئْتُ أَغْسِلُهُ، فَقَالَ: يُغْسَلُ مِن بَوْلِ الجَارِيَةِ،
وَيُرَشُّ مِن بَوْلِ الغُلَامِ)).
"Saya biasa melayani Nabi ﷺ. Ketika beliau ingin mandi,
beliau berkata: 'Tutuplah punggungku,' maka aku menutupi punggungnya dengan
tubuhku. Lalu dibawakan Hasan atau Husain radhiyallahu 'anhuma, dan keduanya
kencing di dada beliau. Aku pun hendak mencucinya, namun beliau bersabda: 'Dari
kencing anak perempuan dicuci, sedangkan dari kencing anak laki-laki hanya
dipercikkan air.'"
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud (376) dan lafaznya dari beliau, serta
an-Nasa'i (224, 304), dan Ibnu Majah (526)).
Hadits ini dinilai hasan oleh al-Bukhari sebagaimana dalam *at-Talkhis
al-Habir* karya Ibnu Hajar (1/55), dan hadits ini juga dijadikan hujjah oleh
Ibnu Hazm dalam *al-Muhalla* (1/101), dinyatakan shahih oleh Ibnu Qayyim dalam
*I'lam al-Muwaqqi'in* (2/270), sanadnya dinyatakan hasan oleh Ibnu Rajab dalam
*Fath al-Bari* (1/334), dan dinyatakan shahih oleh Ibnu al-Mulaqqin dalam
*al-Badr al-Munir* (1/532), Ibnu Hajar dalam *Muwafaqat al-Khabar al-Khabar*
(2/402), serta al-Albani dalam *Shahih Sunan Abi Dawud* (376).
KE 4. Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu: Bahwa Rasulullah ﷺ bersabda tentang air kencing bayi:
((يُنضَحُ بَوْلُ الغُلامِ، وَيُغسَلُ بَوْلُ
الجَارِيَةِ)).
"Air kencing bayi laki-laki cukup dipercikkan air, sedangkan air
kencing bayi perempuan dicuci."
(Diriwayatkan oleh Abu Dawud (378), at-Tirmidzi (610), Ibnu Majah
(525), dan Ahmad (757)).
At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits ini hasan shahih”.
An-Nawawi menilainya hasan dalam *al-Majmu'* (2/589), dan Ibnu Hajar
menshahihkan sanadnya dalam *at-Talkhis al-Habir* (1/57), seraya mengatakan
bahwa hadits ini diperselisihkan apakah marfu' atau mauquf, serta ada perbedaan
mengenai kesambungan dan pengirimannya, namun al-Bukhari menilai hadits ini
shahih, begitu pula ad-Daraquthni. Ahmad Syakir juga menshahihkan sanadnya
dalam tahqiq *Musnad Ahmad* (2/111), dan al-Albani menshahihkannya dalam
*Shahih Sunan at-Tirmidzi* (610), begitu pula al-Wadi'i dalam *ash-Shahih al-Musnad*
(974), yang mengatakan bahwa para perawinya terpercaya dan hadits ini tidak
dianggap cacat dengan adanya riwayat yang mauquf.
----
**DALIL KEDUA:**
Air kencing bayi laki-laki itu biasanya menyebar luas, sehingga mencucinya akan
menyulitkan, maka oleh karena itu, diberikan keringanan. (Lihat: *I'lam
al-Muwaqqi'in* (2/45), *Tuhfat al-Mawdud* (hal. 216)).
===*****===
**APA SAJAKAH HEWAN YANG SUCI DAN HEWAN YANG NAJIS?**
Sesuai dengan
ketetapan syariat, bahwasanya hukum asal dari segala sesuatu dan segala yang
diciptakan (makhluk) adalah suci. Sesuatu tidak dihukumi najis, kecuali jika ada
dalil syar’i yang menunjukkan kenajisannya. Ada berbagai macam dan jenis hewan.
Para ulama
berbeda pendapat mengenai hukumnya dari segi kesucian atau kenajisannya. Bisa
dijelaskan secara global dalam keterangan berikut ini.
**PERTAMA : Setiap
hewan yang halal dimakan dagingnya adalah suci, sesuai dengan ijma’ para ulama.**
Ibnu Hazm
mengatakan :
"
وَكُلُّ مَا يُؤْكَلُ لَحْمُهُ ، فَلاَ خِلاَفَ فِي أَنَّهُ طَاهِرٌ ، قَالَ
اللَّهُ تَعَالَى : ( وَيُحِلُّ لَهُمْ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمْ
الْخَبَائِثَ ) ، فَكُلُّ حَلاَلٍ هُوَ طَيِّبٌ ، وَالطَّيِّبُ لاَ يَكُونُ
نَجِسًا ، بَلْ هُوَ طَاهِرٌ " انتهى
“Semua hewan
yang halal dimakan dagingnya, maka tidak ada perbedaan bahwa ia suci.
Allah Ta’ala berfirman,
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ
“…menghalalkan
segala yang baik bagi mereka, mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.” (QS.
Al-A’raf : 157), setiap yang halal adalah baik dan setiap yang baik tidaklah
najis, akan tetapi suci.” (Al-Muhalla, 1/129).
Ibnu Al-Mundzir
mengatakan :
"
أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ لَا اخْتِلَافَ بَيْنَهُمْ : أَنَّ سُؤْرَ مَا يُؤْكَلُ
لَحْمُهُ طَاهِرٌ ، يَجُوزُ شُرْبُهُ ، وَالتَّطَهُّرُ بِهِ "
“Ulama ijma’;
tidak ada perbedaan di antara mereka, bahwasanya bekas minum hewan yang halal
dimakan dagingnya suci, boleh diminum dan digunakan bersuci.” (Al-Ausath,
1/299).
An-Nawawi
berkata :
وَالسُّؤْرُ : هُوَ بَقِيَّةُ الشَّرَابِ
Su’run adalah sisa
bekas minum. Lihat Tahdzibul Asma’ wal Lughat, 3/132.
**KEDUA : Setiap
hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir adalah suci, di antaranya lalat,
belalang, semut, kalajengking, kecoa, kumbang, laba-laba. Semua hewan ini tidak
memiliki darah yang mengalir.**
Dalil yang
menunjukkan kesuciannya adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam,
"إِذَا
وَقَعَ الذُّبَابُ فِي إِنَاءِ أَحَدِكُمْ، فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ، ثُمَّ
لِيَطْرَحْهُ، فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ شِفَاءً، وَفِي الْآخَرِ دَاءً".
“Apabila
lalat jatuh di bejana salah satu di antara kalian, maka celupkanlah karena
pada salah satu sayapnya terdapat penyakit dan pada sayap lainnya terdapat obat
penawarnya.” (HR. Al-Bukhari, no. 5782).
Seandainya
najis, beliau tidak akan menyuruh untuk menyelupkan ke dalam bejana.
Ibnu Al-Qayyim
mengatakan :
"
فَهُوَ دَلِيلٌ ظَاهِرُ الدّلَالَةِ جِدّا عَلَى أَنّ الذّبَابَ إذَا مَاتَ فِي
مَاءٍ أَوْ مَائِعٍ فَإِنّهُ لَا يُنَجّسُهُ ، وَهَذَا قَوْلُ جُمْهُورِ
الْعُلَمَاءِ ، وَلَا يُعْرَفُ فِي السّلَفِ مُخَالِفٌ فِي ذَلِكَ
.
وَوَجْهُ الِاسْتِدْلَالِ بِهِ : أَنّ النّبِيّ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ أَمَرَ بِمَقْلِهِ ، وَهُوَ غَمْسُهُ فِي الطّعَامِ ، وَمَعْلُومٌ أَنّهُ
يَمُوتُ مِنْ ذَلِكَ ، وَلَا سِيّمَا إذَا كَانَ الطّعَامُ حَارّا ، فَلَوْ كَانَ
يُنَجّسُهُ لَكَانَ أَمْرًا بِإِفْسَادِ الطّعَامِ وَهُوَ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ إنّمَا أَمَرَ بِإِصْلَاحِهِ .
ثُمّ عُدّيَ هَذَا الْحُكْمُ إلَى كُلّ مَا لَا نَفْسَ لَهُ سَائِلَةٌ ،
كَالنّحْلَةِ ، وَالزّنْبُورِ ، وَالْعَنْكَبُوتِ ، وَأَشْبَاهِ ذَلِكَ "
انتهى
“Hadits ini
adalah dalil yang jelas sekali petunjuknya bahwa apabila lalat mati di dalam
air, maka tidak membuat airnya najis. Pendapat ini yang dianut oleh jumhur
ulama, dan tidak diketahui di kalangan ulama salaf yang berbeda tentang masalah
ini.
Segi Istidlalnya
adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menyuruh menyelupkan
ke dalam makanan, sedangkan diketahui bahwa lalat itu mati sebab terjatuh ke
dalam makanan, apalagi jika makanan tersebut panas. Seandainya lalat itu
membuatnya najis, niscaya beliau menyuruh untuk menganggap makanan itu telah
rusak, padahal beliau menyuruh untuk menganggap makanan itu bagus. Kemudian
hukum ini diterapkan pada segala hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir,
seperti lebah, tawon, laba-laba dan semisalnya.” (Zadul Ma’ad, 4/101).
**KETIGA : Hewan
yang berbaur dengan manusia dan mereka sulit menghindarinya hukumnya suci,
meskipun hewan tersebut tidak halal dimakan dagingnya atau termasuk hewan buas.
Di antaranya kucing, keledai, baghal (hewan peranakan kuda dan keledai), tikus,
dan semisalnya yang termasuk hewan-hewan yang menghuni rumah manusia**.
Hal itu
ditunjukkan oleh hadits,
كَبْشَةَ بِنْتِ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ وَكَانَتْ عِنْدَ ابْنِ أَبِي
قَتَادَةَ : " أَنَّ أَبَا قَتَادَةَ دَخَلَ عَلَيْهَا .قَالَتْ : فَسَكَبْتُ لَهُ وَضُوءًا ، فَجَاءَتْ
هِرَّةٌ تَشْرَبُ ، فَأَصْغَى لَهَا الْإِنَاءَ حَتَّى شَرِبَتْ .قَالَتْ كَبْشَةُ : فَرَآنِي أَنْظُرُ إِلَيْهِ .فَقَالَ : أَتَعْجَبِينَ يَا بِنْتَ أَخِي؟ .فَقُلْتُ : نَعَمْ .قَالَ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ ، إِنَّمَا هِيَ مِنْ
الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وْالطَّوَّافَاتِ ) .
Diriwayatkan
dari Kabsyah binti Ka’ab bin Malik (dan waktu itu ia masih menjadi istri putra
Abu Qatadah) bahwasanya Abu Qatadah pernah masuk menemuinya. Ia (Kabsyah)
berkata, “Aku menuangkan air wudhu untuknya. Lalu datanglah seekor kucing
meminum air wudhu. Maka Abu Qatadah memiringkan bejana tersebut agar kucing itu
bisa minum dengan leluasa.” Kabsyah berkata, “Abu Qatadah melihatku yang tengah
memperhatikan dengan penuh keheranan.” Lalu ia bertanya, ‘Apakah kamu heran
wahai anak saudaraku?’ Aku menjawab, “Ya, benar.” Ia berkata lagi,
‘Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam pernah
bersabda, ‘Kucing tidaklah najis. Ia hanyalah hewan yang seringkali
berkeliaran dan mengelilingi (berada di dekat) kalian.’”
(HR. Ashhabus
Sunan, dishahihkan oleh Al-Bukhari, At-Tirmidzi, Al-Uqaili dan Ad-Daruquthni).
“Makna At-Thawwafin
‘Alaina adalah yang memasuki dan berbaur dengan kita.” (At-Tamhid,
1/319).
“At-Thawwafun
adalah anak Adam. Mereka saling bertemu dengan sebagian yang lain
berulang-ulang. Sedangkan At-Thawwafat adalah hewan yang sering berada di
sekitar manusia, seperti kambing, sapi dan unta.
Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjadikan kucing termasuk ke dalam dua golongan,
karena ia sering berkeliling dan bercampur dengan manusia. Hal itu ditunjukkan
dengan Shigat (bentuk) Taf’il (تَفْعِيل) yang menunjukkan makna Taktsir (sering,
banyak) dan Mubalaghah (berlebihan).” (Baca : Syarah Abu
Daud, karya Al-Aini, 1/220).
“Beliau
menunjukkan bahwa Illat (alasan) hukum tidak najis bagi kucing
adalah keliaran yang ditimbulkan dari seringnya dia berkeliling di rumah, masuk
ke rumah, yang sangat menyulitkan untuk menjaga bejana-bejana dari kucing itu.
Maknanya
adalah kucing berkeliling pada kalian di rumah dan tempat tinggal kalian.
Kalian mengusap-usapnya dengan badan dan pakaian kalian. Kalau seandainya ia
najis, pasti aku akan menyuruh kalian untuk menjauhinya.” (‘Aunul Ma’bud,
1/141).
Ibnu Al-Qayyim
mengatakan :
" وَالَّذِي
جَاءَتْ بِهِ الشَّرِيعَةُ مِنْ ذَلِكَ فِي غَايَةِ الْحِكْمَةِ وَالْمَصْلَحَةِ، فَإِنَّهَا
لَوْ جَاءَتْ بِنَجَاسَتِهِمَا لَكَانَ فِيهِ أَعْظَمُ حَرَجٍ وَمَشَقَّةٍ عَلَى الْأُمَّةِ؛
لِكَثْرَةِ طَوَفَانِهِمَا عَلَى النَّاسِ لَيْلًا وَنَهَارًا، وَعَلَى فُرُشِهِمْ
وَثِيَابِهِمْ وَأَطْعِمَتِهِمْ"
“Hikmah dan
maslahat yang dibawa oleh syariat tentang masalah itu sangatlah luar biasa.
Sesungguhnya seandainya syariat menyatakan kenajisan keduanya (At-Thawwafun dan
At-Thawwafat), niscaya terjadi kesulitan dan kesempitan pada umat Islam, karena
keduanya banyak berkeliling pada manusia siang dan malam, pada tempat tidur,
pakaian dan makanan mereka.” (I’lamul Muwaqqi’in, 2/172).
Pendapat yang
menyatakan bahwa kucing itu suci adalah pendapat para fuqaha kota besar dari
kalangan penduduk Madinah, penduduk Kufah, penduduk Syam, dan seluruh penduduk
Hijaz, Iraq, dan para ahli hadits.” (Al-Ausath, karya Ibnu Al-Mundzir,
1/276).
Apabila kucing
itu minum dari suatu bejana atau makan makanan, maka tidak membuatnya najis.
Diqiyaskan
pada kucing adalah hewan lainnya yang tinggal di rumah yang sama kondisinya
dengan kucing.
Semua hewan
yang sering mengelilingi manusia, yang sulit untuk menghindarinya, maka
hukumnya sama dengan kucing, akan tetapi dikecualikan dari hukum ini
hewan-hewan yang dikecualikan oleh syariat, seperti anjing. Anjing juga hewan
yang sering mengelilingi manusia, namun anjing hukumnya najis.
Syaikh Ibnu
Utsaimin mengatakan :
"ظَاهِرُ
الحَدِيثِ: أَنَّ طَهَارَتَهَا لِمَشَقَّةِ التَّحَرُّزِ مِنْهَا؛ لِكَوْنِهَا مِنَ
الطَّوَّافِينَ عَلَيْنَا؛ فَيَكْثُرُ تَرَدُّدُهَا عَلَيْنَا، فَلَوْ كَانَتْ نَجِسَةً؛
لَشَقَّ ذَلِكَ عَلَى النَّاسِ.
وَعَلَى هَذَا يَكُونُ مَنَاطُ الحُكْمِ: التَّطْوَافُ الَّذِي تَحْصُلُ بِهِ
المَشَقَّةُ بِالتَّحَرُّزِ مِنْهَا، فَكُلُّ مَا شَقَّ التَّحَرُّزُ مِنْهُ فَهُوَ
طَاهِرٌ.
فَعَلَى هَذَا؛ البَغْلُ وَالحِمَارُ طَاهِرَانِ، وَهَذَا هُوَ القَوْلُ الرَّاجِحُ
الَّذِي اخْتَارَهُ كَثِيرٌ مِنَ العُلَمَاءِ." انتهى
“Teks hadits
menyatakan bahwa sucinya kucing karena alasan sulit untuk dihindari, karena ia
termasuk hewan yang mengelilingi kita. Ia bolak-balik menemui kita. Seandainya
kucing najis, pastilah akan menyulitkan manusia.
Atas dasar
inilah manath (alasan) hukumnya adalah berkeliling yang
menyebabkan kesulitan untuk menghindarinya. Semua yang sulit untuk
menghindarinya, maka hukumnya suci.
Atas dasar
inilah, maka baghal dan keledai itu suci. Inilah pendapat yang kuat, yang
dipilih oleh banyak ulama.” (As-Syarhul Mumti’, 1/444).
Pendapat ulama
yang benar adalah menyamakan keledai dan baghal dengan kucing mengenai kesucian
bekas dan keringatnya. Inilah pendapat madzhab Maliki dan Syafii, karena illat
yang sudah disebutkan, dan juga karena kebutuhan manusia pada kedua binatang
ini untuk ditunggangi dan dijadikan alat angkut.
Ibnu Qudamah
mengatakan :
"
وَالصَّحِيحُ عِنْدِي : طَهَارَةُ الْبَغْلِ وَالْحِمَارِ ؛ لِأَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْكَبُهَا ، وَتُرْكَبُ فِي زَمَنِهِ ،
وَفِي عَصْرِ الصَّحَابَةِ ، فَلَوْ كَانَ نَجِسًا لَبَيَّنَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَلِكَ ؛ وَلِأَنَّهُمَا لَا يُمْكِنُ التَّحَرُّزُ
مِنْهُمَا لِمُقْتَنِيهِمَا ، فَأَشْبَهَا السِّنَّوْرَ [الهرة] " انتهى
.
“Pendapat yang
benar menurut saya, baghal dan keledai itu suci, karena Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menungganginya, ditunggangi pada zaman beliau dan
zaman para sahabat. Kalau seandainya najis, pastilah Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjelaskan masalah itu, dan karena keduanya tidak
mungkin dihindari oleh para pemiliknya. Maka ia mirip dengan kucing.”
Al-Mughni, 1/68).
Syaikh
Abdurrahman As-Sa’di mengatakan :
"وَالصَّحِيحُ
الَّذِي لَا رَيْبَ فِيهِ: أَنَّ البَغْلَ وَالحِمَارَ طَاهِرَانِ فِي الحَيَاةِ كَالْهِرَّ،
فَيَكُونُ رِيقُهُمَا وَعَرَقُهُمَا طَاهِرًا، وَذَلِكَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَرْكَبُهُمَا كَثِيرًا، وَيُرْكَبَانِ فِي زَمَنِهِ، وَقَدْ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الهِرَّةِ: (إِنَّهَا مِنَ
الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ)، فَعَلَّلَ بِكَثْرَةِ طَوْفَانِهَا وَمَشَقَّةِ التَّحَرُّزِ
مِنْهَا، وَمِنَ المَعْلُومِ أَنَّ المَشَقَّةَ فِي الحِمَارِ وَالبَغْلِ أَشَدُّ مِنْ
ذَلِكَ." انتهى
“Pendapat yang
benar, yang tidak ada keraguan di dalamnya adalah baghal dan keledai itu suci
dalam kehidupan, seperti kucing. Maka, air liur dan keringatnya suci. Hal itu
karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sering
mengendarainya dan dikendarai pada zaman beliau. Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam telah bersabda mengenai kucing, “Ia hanyalah
hewan yang seringkali berkeliaran dan mengelilingi (berada di dekat)
kalian.” Illat (alasan)nya adalah sering berkeliling pada manusia dan
sulit untuk menghindarinya. Seperti diketahui bahwa kesulitan pada keledai dan
baghal lebih berat dari kucing.” (Al-Mukhtarat Al-Jaliyyah, hal. 27).
**KEEMPAT : Anjing
dan babi najis.**
Dalil yang
menunjukkan kenajisan babi adalah firman Allah Ta’ala,
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ
يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ
خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ
“Katakanlah,
‘Tidak kudapati di dalam apa yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan
memakannya bagi yang ingin memakannya, kecuali (daging) hewan yang mati
(bangkai), darah yang mengalir, daging babi karena ia najis….” (QS.
Al-An’am : 145).
Pendapat yang
menyatakan kenajisan babi adalah pendapat jumhur ulama dari kalangan salaf dan
khalaf.
Ibnu Hazm
mengatakan :
"وَاتَّفَقُوا
أَنَّ لَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَشَحْمَهُ وَوَدَكَهُ وَغُضْرُوفَهُ وَمُخَّهُ وَعَصَبَهُ:
حَرَامٌ كُلُّهُ، وَكُلُّ ذَلِكَ نَجِسٌ" انتهى
“Mereka (para
ulama) sepakat bahwa babi, gajih, lemak, otak dan uratnya semuanya haram, dan
semuanya najis.” (Maratibul Ijma’, hal. 23).
An-Nawawi
mengatakan :
"نَقَلَ
ابنُ المُنذِرِ إِجْمَاعَ العُلَمَاءِ عَلَى نَجَاسَةِ الخِنزِيرِ، وَهُوَ أَولَى مَا
يُحتَجُّ بِهِ لَوْ ثَبَتَ الإِجْمَاعُ، وَلَكِنَّ مَذْهَبَ مَالِكٍ طَهَارَةُ الخِنزِيرِ
مَا دَامَ حَيًّا" انتهى
“Ibnu
Al-Mundzir mengutip ijma para ulama atas kenajisan babi. Ijma’ ini merupakan
dalil paling utama yang digunakan untuk berargumen jika seandainya terjadi
ijma’. Akan tetapi madzhab Malik menyatakan sucinya babi selagi babi itu masih
hidup.” (Al-Majmu’, 2/568).
Sedangkan
kenajisan anjing ditunjukkan oleh sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam,
طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ : أَنْ يَغْسِلَهُ
سَبْعَ مَرَّاتٍ ، أُولاهُنَّ بِالتُّرَابِ رواه مسلم (279)
.
“Sucinya
bejana salah seorang dari kalian apabila dijilat oleh anjing adalah dibasuh
sebanyak tujuh kali, dan salah satunya dengan debu.” (HR. Muslim,
no. 279).
Al-Khaththabi
mengatakan :
"فِي
هَذَا الحَدِيثِ مِنَ الفِقهِ أَنَّ الكَلبَ نَجِسُ الذَّاتِ، وَلَولَا نَجَاسَتُهُ
لَمْ يَكُنْ لِأَمْرِهِ بِتَطْهِيرِ الإِنَاءِ مِنْ وُلُوغِهِ مَعْنًى، وَالطُّهُورُ
يَقَعُ فِي الأَصْلِ إِمَّا لِرَفعِ حَدَثٍ أَوْ لِإِزَالَةِ نَجَسٍ، وَالإِنَاءُ لَا
يَلْحَقُهُ حُكمُ الحَدَثِ، فَعُلِمَ أَنَّهُ قَصَدَ بِهِ إِزَالَةَ النَّجَسِ.
وَإِذَا ثَبَتَ أَنَّ لِسَانَهُ الَّذِي يَتَنَاوَلُ بِهِ المَاءَ نَجِسٌ يَجِبُ
تَطْهِيرُ الإِنَاءِ مِنْهُ، عُلِمَ أَنَّ سَائِرَ أَجزَائِهِ وَأَبعَاضِهِ فِي النَّجَاسَةِ
بِمَثَابَةِ لِسَانِهِ، فَبِأَيِّ جُزْءٍ مِنْ أَجزَاءِ بَدَنِهِ مَاسَّهُ وَجَبَ تَطْهِيرُهُ"
“Di dalam
hadits ini terdapat pemahaman bahwa anjing itu najis dzatnya. Seandainya tidak
najis, niscaya perintah beliau untuk mensucikan bejana dari jilatan anjing
tidak memiliki makna. Sedangkan kesucian pada dasarnya terjadi kadang dengan
dihilangkan hadatsnya atau dihilangkan najisnya. Sementara bejana tidak berlaku
hukum hadats. Maka dapat diketahui bahwa yang beliau maksud adalah
menghilangkan najis.
Apabila
ditetapkan bahwa lidah yang digunakan untuk meminum air itu najis dan bejana
itu harus disucikan darinya, maka dipahami bahwa seluruh anggota tubuh anjing
itu najis, sama kedudukannya dengan lidahnya. Dengan bagian tubuh manapun
anjing itu menyentuh, maka wajiblah disucikan.” (Ma’alimus Sunan, 1/39).
Sebagian ulama
berpendapat bahwasanya hadits menunjukkan yang najis adalah air liur, ludah dan
mulut anjing saja. Sementara badannya yang lain tetap suci. Inilah pendapat
(madzhab) Hanafi dan dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Lihat Majmu’
Al-Fatawa, 21/530.
Ibnu Daqiq
Al-‘Id Rahimahullah menyatakan dengan jelas bahwasanya
menghukumi najis pada seluruh tubuh anjing adalah ijtihad dari para ulama dan
bukanlah nash (pernyataan) Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kemudian
Ibnu Daqiq Al-‘Id mengatakan :
"فَتَبَيَّنَ
بِهَذَا أَنَّ الحَدِيثَ إِنَّمَا دَلَّ عَلَى النَّجَاسَةِ فِيمَا يَتَعَلَّقُ بِالفَمِ،
وَأَنَّ نَجَاسَةَ بَقِيَّةِ البَدَنِ بِطَرِيقِ الاِسْتِنْبَاطِ"
“Jelaslah
bahwa hadits ini tidak lain hanyalah menunjukkan najisnya anjing hanya terkait
dengan mulut saja. Kenajisan anggota tubuh anjing lainnya diperoleh dari Istinbath. (Ihkamul
Ahkam, hal. 24).
Pendapat yang
menyatakan najisnya anjing adalah pendapat madzhab Syafi’i dan Madzhab Hambali.
Ibnu Qudamah
mengatakan :
"
الْكَلْبُ وَالْخِنْزِيرُ : نَجِسَانِ بِجَمِيعِ أَجْزَائِهِمَا وَفَضَلَاتِهِمَا
، وَمَا يَنْفَصِلُ عَنْهُمَا " انتهى
“Anjing dan
babi adalah najis dengan semua bagian tubuhnya, kotorannya dan apa-apa yang
terpisah darinya.” (Al-Mughni, 2/67). Pendapat inilah yang dipilih oleh
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’.
Dalam fatwa
Al-Lajnah (23/89) disebutkan :
"الكَلْبُ
كُلَّهُ نَجِسٌ، لِعَابُهُ وَغَيْرُهُ" انتهى
“Anjing adalah
najis, air liur dan lainnya.”
**KELIMA : Sisa-sisa
dari hewan yang tidak termasuk pada bagian-bagian sebelumnya, baik hewan buas
seperti singa, harimau, macan tutul dan srigala atau burung-burung buas seperti
elang, rajawali dan semisalnya, atau binatang buas yang tidak halal dimakan
dagingnya seperti gajah, monyet, inilah yang menjadi titik perbedaan pendapat
di antara ulama**.
Madzhab Maliki
menyatakan bahwa semua hewan ini suci ketika masih hidup, dan tidak ada
pengecualian apapun tentang masalah ini.
Madzhab Hanafi
menyatakan bahwa semua hewan suci, kecuali babi.
Madzhab
Syafi’i menyatakan bahwa semua hewan suci, kecuali anjing dan babi.
Madzhab
Hambali menyatakan bahwa anjing, babi, dan hewan serta burung yang buas najis, sedangkan
selain itu suci.
Telah
disebutkan beberapa dalil berupa yang menunjukkan kenajisan dan kesuciannya,
akan tetapi dhaif (lemah) dan tidak sah dijadikan untuk Istidlal.
Dalil yang
paling kuat yang menunjukkan kesuciannya adalah berpegang pada asal muasalnya
(yaitu suci) serta diqiyaskan pada kucing.
Ibnu Abdil
Barr mengatakan :
"
وَلَمَّا ثَبَتَتِ السُّنَّةُ فِي الْهِرِّ وَهُوَ سَبُعٌ يَفْتَرِسُ وَيَأْكُلُ
الْمَيْتَةَ أَنَّهُ لَيْسَ بِنَجَسٍ ، دَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ كُلَّ حَيٍّ لَا
نَجَاسَةَ فِيهِ " انتهى
“Ketika hadits
menetapkan kucing yang merupakan hewan buas dan hewan yang memakan bangkai
tidak najis, hal itu menunjukkan bahwa sesungguhnya semua yang hidup tidaklah
najis.” (At-Tamhid, 1/336).
Dalil yang
paling kuat yang menunjukkan kenajisannya adalah :
Ke 1 : Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menghukumi suci terhadap kucing padahal ia termasuk
hewan buas dan memberikan alasan bahwa kucing termasuk hewan yang sering
mengelilingi kita. Dari hal itu bisa dipahami bahwa hewan buas lainnya yang
tidak mengelilingi kita sebagai hewan yang najis. Jika tidak demikian pasti
kucing dan hewan buas lainnya sama hukumnya. Maka alasan yang dinyatakan tidak
memilki makna.
Ke 2 : Hadits
Abdullah bin Umar, ia berkata :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ
يُسْأَلُ عَنْ الْمَاءِ يَكُونُ فِي الْفَلَاةِ مِنْ الْأَرْضِ ، وَمَا يَنُوبُهُ
مِنْ السِّبَاعِ وَالدَّوَابِّ ، فَقَالَ : ( إِذَا كَانَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ
لَمْ يَحْمِلْ الْخَبَثَ )
“Aku mendengar
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika beliau
ditanya tentang air yang ada di tanah lapang dan sering dikunjungi oleh
binatang buas dan hewan hewan lainnya. Maka Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam menjawab, ‘Apabila air itu mencapai dua
Qullah, maka tidak akan mengandung kotoran (najis).’”
Seandainya
binatang buas minum dari situ kemudian membuatnya najis, mereka tidak perlu
bertanya kepada beliau tentang masalah ini, dan jawaban beliau kepada mereka
tidak memiliki makna. Ibnu At-Turkumani mengatakan :
"وَظَاهِرُ
هَذَا يَدُلُّ عَلَى نَجَاسَةِ سُؤْرِ السُّبُعِ، إِذْ لَوْلَا ذَلِكَ لَمْ يَكُنْ
لِهَذَا الشَّرْطِ فَائِدَةٌ، وَلَكَانَ التَّقْيِيدُ بِهِ ضَائِعًا" انتهى
“Teks hadits
ini menunjukkan kenajisan bekas minum binatang buas. Kalau seandainya tidak
najis, niscaya syarat ini (apabila air itu mencapai dua Qullah) tidak memiliki
manfaat dan batasan tersebut sia-sia saja.” (Al-Jauhar An-Naqi, 1/250).
An-Nawawi
mengatakan :
"وَقَدْ
يُسْتَدَلُّ بِهَذَا الحَدِيثِ مَنْ يَقُولُ بِنَجَاسَةِ سُؤْرِ السِّبَاعِ، لِقَوْلِهِ:
(وَمَا يَنْوبُهُ مِنَ السُّبُعِ)، وَلَا دَلَالَةَ فِيهِ؛ لِأَنَّ السُّبُعَ إِذَا
وَرَدَتْ مِيَاهَ الغُدْرَانِ خَاضَتْهَا وَبَالَتْ فِيهَا فِي العَادَةِ، مَعَ أَنَّ
قَوَائِمَهَا وَنَحْوَهَا لَا تَخْلُو مِنَ النَّجَاسَةِ غَالِبًا، فَكَانَ سُؤَالُهُمْ
عَنْ ذَلِكَ، فَقَالَ لَهُمُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدَةً
عَامَّةً: أَنَّ المَاءَ إِذَا بَلَغَ قَلَّتَيْنِ لَا يَنجُسُ بِوُقُوعِ النَّجَاسَةِ،
وَمِيَاهَ الفَلَوَاتِ، وَالغُدْرَانِ لَا تَنْقُصُ عَنْ قَلَّتَيْنِ غَالِبًا"
انتهى
“Hadits ini
dijadikan sebagai dalil bagi orang yang mengatakan bahwa air bekas minum
binatang buas itu najis, berdasarkan sabda Rasulullah, ‘...dan sering
dikunjungi oleh binatang buas dan hewan hewan lainnya,’ sedangkan
petunjuk ke arah itu tidak ada di dalamnya, karena hewan buas jika mendatangi
air di anak sungai, maka ia akan menceburkan diri dan kencing di dalamnya,
padahal secara umum anggota tubuhnya tidak terlepas dari najis, kemudian mereka
menanyakan masalah itu kepada beliau. Beliau menjawab pertanyaan mereka sebagai
sebuah kaidah umum, “Sesungguhnya apabila air mencapai dua Qullah, maka tidak
menjadi najis dengan jatuhnya najis ke dalamnya. Air yang berada di alam liar
atau di anak sungai umumnya tidak kurang dari dua Qullah.” (Al-Ijaz fi Syarhi
Sunan Abi Daud, hal. 287).
Ubaidillah
Al-Mubarakfuri juga mengatakan :
"وَحَدِيثُ
القَلْتَيْنِ لَا يَدُلُّ عَلَى نَجَاسَةِ سُؤْرِ السُّبُعِ، كَمَا ظَنَّ هَـؤُلَاءِ،
فَإِنَّ مَنْشَأَ السُّؤَالِ أَنَّ الْمُعْتَادَ مِنَ السُّبُعِ إِذَا وَرَدَتِ الْمِيَاهَ
أَنْ تَخُوضَ فِيهَا وَتَبُولَ، وَرُبَّمَا لَا تَخْلُو أَعْضَاؤُهَا مِنْ لَوْثِ أَبْوَالِهَا
وَرَجْعِيَّهَا" انتهى
“Hadits
tentang dua Qullah tidak menunjukkan najisnya bekas minum binatang buas,
seperti dugaan mereka, karena asal dari pertanyaan adalah biasanya jika
binatang buas mendatangi air, ia akan menceburkan diri dan kencing di air, dan
mungkin anggota tubuhnya tidak lepas dari kotoran air kencingnya dan
kotorannya.” (Mir’atul Mafatih, 2/185).
Para ulama
Al-Lajnah Ad-Da’imah lil Ifta’ memilih pendapat yang menyatakan suci. Mereka
mengatakan :
"الراجحُ
طَهَارَةُ .. سُبُعَانِ البَهَائِمِ كَ الذِّئْبِ وَالنَّمِرِ وَالْأَسَدِ، وَجَوَارِحِ
الطَّيْرِ كَالصَّقْرِ وَالْحَدَأَةِ ... وَهُوَ الْمُوَافِقُ لِلْأَدِلَّةِ الشَّرْعِيَّةِ"
انتهى
“Pendapat yang
kuat adalah binatang buas seperti srigala, harimau, singa dan burung-burung
buas seperti elang dan rajawali itu suci. Inilah yang sesuai dengan dalil-dalil
syariat.” (Fatawal Lajnah Ad-Da’imah, 5/380 dibawah pimpinan Syaikh Bin Baz).
Begitu pula
dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. Beliau mengatakan :
"الصَّحِيحُ
أَنَّهَا طَاهِرَةٌ؛ لِأَنَّا لَوْ قُلْنَا بِأَنَّهَا نَجِسَةٌ لَأَدَّى ذَلِكَ إِلَى
مَشَقَّةٍ عَلَى النَّاسِ، فَإِنَّهُ يُوجَدُ مِنَ الغُدْرَانِ فِي الْبَرِّ مَا هُوَ
دُونَ الْقَلَّتَيْنِ، وَلَا شَكَّ أَنَّ السُّبُعَ وَالطُّيُورَ تَرِدُ هَذَا الْمَاءَ،
فَإِذَا قُلْنَا بِأَنَّهُ نَجِسٌ صَارَ بِهَذَا مَشَقَّةً عَلَى النَّاسِ، وَالنَّبِيُّ
عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ فِي مَا يَظْهَرُ لَنَا أَنَّهُ يَمُرُّ بِهَذِهِ
الْمِيَاهِ وَيَتَوَضَّأُ مِنْهَا."
“Pendapat yang benar adalah suci, karena
seandainya kita katakan najis, maka akan menyebabkan kesulitan pada manusia.
Sesungguhnya ada anak sungai (genangan air) di daratan ini yang kurang dari dua
Qullah. Dan tidak ragu lagi bahwa binatang buas dan burung-burung sering
mendatangi genangan air ini. Jika kita katakana najis, hal ini menjadikan
kesulitan bagi manusia. Sedangkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam -sesuai yang kami pahami -melewati sumber air ini dan berwudhu
dengan airnya.” (At-Ta’liqat ‘Alal Kafi, 1/41).
Kesimpulan
dari semua pembahasan tersebut, semua hewan dalam keadaan masih hidup adalah
suci, baik hewan tersebut halal dimakan dagingnya, binatang buas, serangga dan
lain sebagainya. Tidak ada hewan yang dikecualikan dari hewan-hewan tersebut,
kecuali anjing dan babi. Keduanya (anjing dan babi) najis.
Wallahu A’lam.
0 Komentar