Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

KONTROVERSI USIA AISYAH (RA) SAAT MENIKAH DENGAN RASULULLAH (ﷺ). 6 TAHUN ATAU 16 TAHUN ?

KONTROVERSI USIA AISYAH (RA) SAAT MENIKAH DENGAN RASULULLAH . 6 TAHUN ATAU 16 TAHUN?

---

DAN KAITANNYA DENGAN LEGALITAS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM ISLAM

*****

Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

====

====

DAFTAR ISI :

  • PENDAHULUAN
  • LATAR BELAKANG MUNCUL KAJIAN KRITIS TENTANG USIA AISYAH (R.A) SAAT MENIKAH
  • STUDI HADITS ‘AISYAH (RA) MENIKAH DI USIA 6 TAHUN :
  • KONTROVERSI TENTANG USIA AISYAH (RA) SAAT MENIKAH DENGAN RASULULLAH
  • PENDAPAT PERTAMA : BAHWA USIA AISYAH DIATAS 15 TAHUN SAAT MENIKAH DENGAN NABI , NAMUN HIDUP BERSAMA DENGAN-NYA SETELAH 3 TAHUN KEMUDIAN.
  • PENDAPAT KEDUA : DI USIA 6 TAHUN, AISYAH (RA) MENIKAH DENGAN NABI DAN DI USIA 9 TAHUN MENJALIN KEHIDUPAN RUMAH TANGGA :
  • **KONTROVERSI USIA KAWIN AISYAH (R.A) DAN KAITANNYA DENGAN LEGALITAS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM ISLAM**

******

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ

===*****===

PENDAHULUAN

Sejarah mengenai usia Aisyah radhiyallahu 'anha yang masih muda - 6 tahun saat dinikahkan dengan Rasulullah dan 9 tahun saat mulai menjalani kehidupan rumah tangga - telah dianggap sebagai data historis yang final dan memiliki kredibilitas tinggi oleh berbagai kalangan para ulama dan sejarawan Islam selama berabad-abad.

Al-Hafidz Ibnu Katsir menegaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini dengan ucapannya:

“تَزَوَّجَهَا وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ ابْنَةُ تِسْعٍ، مَا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَاتِ وَغَيْرِهَا، وَكَانَ بِنَاؤُهُ بِهَا -عَلَيْهِ السَّلَامُ- فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ.”

"Beliau menikahinya ketika Aisyah berusia enam tahun, dan hidup bersama dengannya (membangun rumah tangga) ketika ia berusia sembilan tahun, yang tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang, dan hal ini telah terbukti dalam kitab-kitab sahih dan lainnya. Dan hidup bersama dengannya (membangun rumah tangga) terjadi pada tahun kedua hijrah ke Madinah." [al-Bidayah wa al-Nihayah (3/131)]

Para ahli yang menulis biografi Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir, yang juga sesuai dengan riwayat-riwayat sahih yang diriwayatkan oleh para imam dalam kitab-kitab hadits sahih, sunan, musnad, dan mu’jam. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal usia Aisyah saat dinikahi, apakah enam atau tujuh tahun.

Ibnu Abdil Barr dalam *Al-Isti’ab* 4/1881, setelah menyebutkan bahwa Aisyah dinikahi saat berusia enam atau tujuh tahun dan mulai hidup bersama Rasulullah pada usia sembilan tahun, mengatakan :

"لَا أَعْلَمُهُمْ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ. وَكَانَتْ تُذْكَرُ لِجُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ وَتُسَمَّى لَهُ ".

"Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. Dan sebelum dijodohkan dengan Nabi ﷺ, ia disebut-sebut sebagai (calon istri) Jubair bin Muth'im dan dinisbatkan kepadanya. "

Lihat pula : *Tarikh Ath-Thabari* [2/9], *Wafayat Al-A’yan* karya Ibnu Khallikan [3/16], dan *Siyar A'lam An-Nubala* karya Adz-Dzahabi [2/148], serta *Zad Al-Ma'ad* karya Ibnu Qayyim [1/103].

===****===

LATAR BELAKANG MUNCUL KAJIAN KRITIS TENTANG USIA AISYAH (R.A) SAAT MENIKAH

Dalam akhir abad ini, banyak muncul kajian kritis terkait usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Rasulullah , dan terus mengalami perkembangan. Terutama di negara-negara Eropa dan Asia yang keberadaan umat Islam sebagai penduduk minoritas di sana, seperti di India dan sekitarnya.

Awalnya, kajian ini bertujuan membela dan membersihkan nama Rasulullah dari stigma buruk serta tuduhan keji terhadapnya sebagai pengidap prilaku pedofilia.

Umat Kristen dan para Missionaris selalu mengkritik Rasulullah sebagai sosok pedofilia dengan berkata : Jika Muhammad bukan pedofilia, kenapa ia tega menikahi Aisyah yang masih berumur 6 tahun? Padahal Yesus saja tidak menikahi anak kecil?

Orang-orang Nasrani menyebarkan syubhat ini untuk mencela kesucian Nabi yang mulia serta meragukan kesucian beliau.

Mereka berkata:

إِنَّ هَذَا الزَّوَاجَ هُوَ زَوَاجٌ شَهْوَانِيٌّ جَمَعَ بَيْنَ الْكُهُولَةِ وَالطُّفُولَةِ،

'Pernikahan ini adalah pernikahan yang dipenuhi nafsu, yang mengumpulkan antara aki-aki dan bocil.

Jika kesucian sang pembawa agama ini jatuh, maka akan jatuh pula kesucian dan kemurnian agama yang dibawa oleh-nya.

Hal ini menyebabkan sebagian kaum Muslim yang tinggal sebagai minoritas atau sebagai pendatang di negara-negara non-Muslim mengalami perasaan rendah diri (inferiority complex) ketika Rasulullah dihina dan direndahkan dengan tuduhan sebagai pelaku pedofilia. Kondisi ini terutama terasa dalam interaksi mereka dengan komunitas agama lain.

Sebagian besar dari mereka ini memiliki latar belakang pendidikan Barat atau hidup dalam lingkungan budaya Barat, sehingga merasa tidak nyaman saat Rasulullah dituduh sebagai pelopor praktik pernikahan anak di bawah umur (nikah al-shaghirah atau child marriage).

Meskipun terdapat kontroversi dan kecaman dari sebagian para ulama kontemporer yang bermanhaj ahli hadits yang terus-menerus mengecam kajian ini, bahkan menuduh para pendukungnya sebagai orang bodoh, dungu dan pengikut hawa nafsu, namun kajian-kajian korektif ini tetap berjalan dan menunjukkan keberanian serta kontribusi signifikan dalam studi hadits. Terutama di tengah tantangan untuk mengharmoniskan hukum Islam dengan instrumen HAM internasional dan regulasi nasional mengenai pernikahan usia dini.

Selain itu, fenomena pernikahan anak perempuan dibawah umur di beberapa negara Asia dan Afrika semakin marak, di mana sebagian para ulama dan tokoh agama Islam menjadikannya sebagai tradisi, berlandaskan pada hadits tentang pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha pada usia 6 tahun. Praktik ini sering kali dikemas dengan istilah "mengambil berkah dari ulama" dan "berkah mengikuti sunnah Nabi ." Bahkan di salah satu perkampungan di Tanah Air kita, terdapat kebiasaan menikahkan anak perempuan yang masih bersekolah di tingkat dasar, yang mengakibatkan banyak anak SD yang hamil dan sebagian besar berakhir dengan aborsi.

Diperkirakan orang yang pertama kali berupaya melakukan kajian kritis ini adalah Muhammad Ali dari Lahore, dan kemudian diteruskan oleh beberapa pemikir dari wilayah Asia Selatan, termasuk oleh sarjana-sarjana Anak Benua India lainnya (contohnya seperti: Abu Thahir ‘Irfani, Ghulam Nabi Muslim Sahib, dan Habibur Rahman Siddiqui Kandhalvi).

Mereka berpendapat bahwa terdapat kekeliruan dalam penafsiran usia faktual Aisyah ketika menikah dengan Nabi , dengan anggapan bahwa usia beliau sebenarnya lebih tua daripada yang dinyatakan dalam literatur hadits tradisional. [[Lihat : Fadhl al-Bari karya Maulana Muhammad Ali, (Lahore: Kirsi Salim, t.t.), 501].

Namun mayoritas para ulama hingga sekarang, justru tetap bersepakat bahwa tidak ada persoalan dalam pernikahan mulia tersebut dan disunnahkan. Sebaliknya, yang sering diangkat adalah hikmah serta keutamaan yang terkandung dalam pernikahan historis ini, yang dianggap memiliki nilai agung dan mendalam bagi umat Islam.

[ Referensi : (1) - Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar al-Qurasyi al-Dimasyqi bin Katsir, *al-Bidayah wa al-Nihayah* (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001). (2) - "Istinbáth Jurnal Hukum Islam", halaman 298, "Kontroversi Usia Kawin Aisyah radhiyallahu ‘anha".]

====

Sekilas, diskursus mengenai usia pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha (the age of Aisyah’s marriage)—seperti yang telah disinggung sebelumnya—tampak hanya sebagai perdebatan terkait data sejarah.

Namun, ada sisi lain yang tidak boleh diabaikan, yaitu dampaknya terhadap bangunan yurisprudensi Islam (al-fiqh al-Islami) yang berkaitan langsung dengan struktur sosial dalam masyarakat Muslim. Berdasarkan laporan dari para perawi hadits mengenai pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha dengan Nabi pada usia 6 tahun dan mulai tinggal bersama pada usia 9 tahun, mayoritas fuqaha’ dari empat mazhab (al-madzahib al-’arba‘ah) membolehkan pernikahan dengan gadis di bawah umur (nikah al-shaghirah) tanpa menetapkan batas usia minimal.

Fakta hukum ini diduga kuat berkontribusi terhadap berlanjutnya tradisi pernikahan anak (child marriage) di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, di mana pernikahan Nabi dengan Aisyah radhiyallahu 'anha pada usia muda sering dijadikan model oleh sebagian umat Islam.

Perkembangan wacana hak asasi manusia (HAM) secara internasional kini telah mendorong banyak negara untuk mengadopsi pengakuan konkret di tingkat nasional dalam berbagai instrumen hukum.

Saat ini, mayoritas negara-negara telah menetapkan usia minimal legal untuk pernikahan (the minimum legal age of marriage) adalah 18 tahun, sebagai implementasi dari *International Convention on the Rights of the Child* (Konvensi Hak-hak Anak Internasional) yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989.

===

Pada tahun 1990, Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) yang mengatur perlindungan anak. Sebagai bentuk implementasi, pemerintah kemudian mengesahkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA). Dalam hukum perkawinan Indonesia, UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991 menetapkan batas usia minimal untuk menikah, yaitu 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Dengan demikian, ketentuan dalam fikih klasik yang tidak menetapkan batas usia minimal pernikahan bagi perempuan—seperti yang telah diuraikan sebelumnya—menghadapi tantangan dalam perkembangan hukum saat ini. Dalam konteks ini, fikih Islam dapat dianggap melegitimasi praktik pernikahan anak di bawah umur menurut pandangan HAM terkini dan hukum perkawinan nasional.

Berdasarkan masalah tersebut, tulisan ini bertujuan untuk mengkaji ulang atas usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Nabi dengan mengumpulkan berbagai hasil riset dan penelitian para ulama kontemporer yang telah berusaha untuk meninggikan kalimat Allah di atas kalimat orang kafir, serta berusaha semaksimal mungkin untuk mensucikan nama baik orang yang paling dicintainya, yaitu Nabi Mauhmmad .

Kesimpulan terkait usia Aisyah radhiyallahu 'anha ini memiliki korelasi langsung dengan konstruksi jurisprudensi Islam (fikih), yang selama ini dalam menentukan batas usia minimal pernikahan sering merujuk pada pernikahan Nabi dengan Aisyah radhiyallahu 'anha. Secara ringkas, sub-bahasan dalam tulisan ini mencakup:

(1) dialektika wacana terkait reliabilitas riwayat usia pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha, baik dari pihak yang mengkritik maupun yang menegaskan kesahihannya.

(2) kajian terhadap hadits-hadits tentang pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha dengan Nabi Muhammad untuk menghasilkan produk hukum yang lebih humanis terkait pernikahan anak di bawah umur.

[Referensi :

(1). Syamsud-Din as-Sarkhasi, *al-Mabsuth*, vol. 4 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H), 212.

(2). Ibnu ‘Abdil-Barr al-Namri, *al-Kafi* (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407 H), 231.

(3). Ibnu ‘Abdil-Barr al-Namri, *al-Tamhid*, vol. 19 (Maroko: Wizarat al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah, 1387 H), 98.

(4). Imam Asy-Syafi’i, *al-Umm*, vol. 5 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H), 167.

(5). ‘Abdullah bin Qudamah, *al-Kafi fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal*, vol. 3 (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1408 H), 26.

(6). Saranga Jain & Kathleen Kurz, “New Insights on Preventing Child Marriage: A Global Analysis on Factors and Programs,” artikel *International Center for Research on Women (ICRW)* untuk United States Agency for International Development (April 2007).

===*****===

STUDI HADITS ‘AISYAH (RA) MENIKAH DI USIA 6 TAHUN :

Berikut ini studi hadits Aisyah radhiyallahu 'anha yang menceritakan bahwa Rasulullah menikahi-nya saat dirinya berusia 6 tahun, dan tinggal serumah dengan beliau saat dirinya berusia 9 tahun.

Ada beberapa jalur sanad :

Jalur ke 1 : **Jalur yang paling masyhur dan terkenal adalah dari riwayat Hisyam bin Urwah bin Zubair, dari ayahnya Urwah bin Zubair, dari Aisyah radhiyallahu 'anha**.

Ini adalah salah satu riwayat yang paling sahih, karena Urwah bin Zubair adalah salah satu orang yang paling mengenal Aisyah, karena dia adalah keponakannya rahimahullah.

Jalur ke 2 : **Jalur lain dari riwayat Az-Zuhri, dari Urwah bin Zubair, dari Aisyah**, terdapat dalam *Shahih Muslim* (1422).

Jalur ke 3 : **Jalur lain dari riwayat Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah** yang berkata: “Rasulullah menikahinya saat ia berusia enam tahun, dan tinggal serumah dengannya saat ia berusia sembilan tahun, dan Rasulullah wafat meninggalkannya ketika ia berusia delapan belas tahun.” Diriwayatkan oleh Muslim (1422).

Jalur ke 4 : **Jalur lain dari riwayat Muhammad bin Amr, dari Yahya bin Abdurrahman bin Hathib, dari Aisyah radhiyallahu 'anha**. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (4937).

Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini rahimahullah telah mengumpulkan nama-nama para pengikut Urwah bin Zubair, yaitu: Al-Aswad bin Yazid, Al-Qasim bin Abdurrahman, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, Amrah binti Abdurrahman, dan Yahya bin Abdurrahman bin Hathib.

Beliau juga mengumpulkan nama-nama pengikut Hisyam bin Urwah dalam meriwayatkan hadits ini, yaitu: Ibnu Syihab Az-Zuhri, dan Abu Hamzah Maimun, maula Urwah.

Kemudian, beliau menyebutkan para perawi dari Hisyam bin Urwah dari penduduk Madinah, agar pembaca mengetahui bahwa hadits ini juga diriwayatkan oleh Hisyam di Madinah, yaitu: Abu Az-Zinad Abdullah bin Dzakwan, anaknya Abdurrahman bin Abu Az-Zinad, dan Abdullah bin Muhammad bin Yahya bin Urwah.

Adapun dari penduduk Mekah: Sufyan bin 'Uyainah.

Lafadz riwayat Hisyam bin Urwah bin Zubair, dari ayahnya Urwah bin Zubair, dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa ia berkata :

(تَزَوَّجَنِى النَّبِي ﷺ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ، فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي فَوَفَى جُمَيْمَةً، فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي، فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لَا أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي، فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ، وَإِنِّي لأَنْهَجُ، حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي، ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي، ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ، فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ، فَقُلْنَ: عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ، وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ. فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي، فَلَمْ يَرُعْنِي إِلَاّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ضُحًى، فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ)

“Nabi menikahiku saat aku berusia enam tahun, lalu kami tiba di Madinah dan singgah di kampung Bani Al harits bin Khazraj. Kemudian aku menderita demam hingga rambutku menjadi rontok. Setelah sembuh, rambutku tumbuh lebat sehingga melebihi bahu. Kemudian ibuku, Ummu Ruman datang menemuiku saat aku sedang berada dalam ayunan bersama teman-temanku. Ibuku berteriak memanggilku lalu aku datangi sementara aku tidak mengerti apa yang diinginkannya. Ibuku menggandeng tanganku lalu membawaku hingga sampai di depan pintu rumah. Aku masih dalam keadaan terengah-engah hingga aku menenangkan diri sendiri. Kemudian ibuku mengambil air lalu membasuhkannya ke muka dan kepalaku lalu dia memasukkan aku ke dalam rumah itu yang ternyata di sana ada beberapa wanita dari kaum Anshar yang menyambutku dengan mengatakan;

"Mudah-mudahan memperoleh kebaikan dan keberkahan dan dan mudah-mudahan mendapat nasib yang terbaik".

Lalu ibuku menyerahkan aku kepada mereka. Mereka merapihkan penampilanku. Dan tidak ada yang membuatku terkejut melainkan melihat Rasulullah datang di pagi hari. Akhirnya mereka menyerahkan aku kepada beliau, dimana saat itu usiaku sembilan tahun".

[HR. Al-Bukhari (3894) dan Muslim (1422)].

Lafadz lain dari jalur Hisyam. Imam Ahmad berkata : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Abdurrahman, dari Hisham bin Urwah, dari ayahnya, ia berkata: Aisyah rdhiyallahu ‘anha berkata:

تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ وَأَنَا ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ بِمَكَّةَ، مُتَوَفَّى خَدِيجَةَ، وَدَخَلَ بِي وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعِ سِنِينَ بِالْمَدِينَةِ.

"Rasulullah menikahiku ketika aku berusia enam tahun di Makkah, setelah wafatnya Khadijah. Namun beliau tinggal bersamaku ketika aku berusia sembilan tahun di Madinah."

[HR. Ahmad (24867) dinilai shahih oleh Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrij al-Musnad 41/360 ].

Adapun dari jalur Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:

(تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ وَهِيَ بِنْتُ سِتٍّ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ، وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانِ عَشْرَةَ)

(Bahwa Rasulullah menikahinya saat ia berusia enam tahun, dan menggaulinya saat ia berusia sembilan tahun, dan Rasulullah wafat saat ia berusia delapan belas tahun)." (HR. Muslim, no. 1422).

Kisah pernikahan Nabi dengan Aisyah saat ia berusia sembilan tahun juga diriwayatkan oleh selain Aisyah radhiyallahu 'anha, yaitu dari mereka yang mengetahui kisahnya dan lebih mengenalnya daripada yang lain.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam *Musnad* (6/211) dari Muhammad bin Basyar, ia berkata: Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Salamah dan Yahya menceritakan kepada kami, keduanya berkata:

(لَمَّا هَلَكَتْ خَدِيجَةُ جَاءَتْ خَوْلَةُ بِنْتُ حَكِيمٍ امْرَأَةُ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ! أَلَا تَزَوَّجْ؟ قَالَ: مَنْ؟ قَالَتْ: إِنْ شِئْتَ بِكْرًا، وَإِنْ شِئْتَ ثَيِّبًا. قَالَ: فَمَنْ الْبِكْرُ؟ قَالَتْ: ابْنَةُ أَحَبِّ خَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْكَ: عَائِشَةُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ...)

“Ketika Khadijah wafat, datanglah Khaulah binti Hakim, istri Utsman bin Mazh’un, lalu ia berkata: ‘Wahai Rasulullah! Tidakkah engkau menikah lagi?’ Beliau bertanya: ‘Dengan siapa?’ Khaulah menjawab: ‘Jika engkau mau, ada gadis dan ada janda.’ Beliau bertanya: ‘Siapa gadis itu?’ Khaulah menjawab: ‘Putri dari orang yang paling engkau cintai di sisi Allah Azza wa Jalla, yaitu Aisyah binti Abu Bakar…’”

Dan dalam kisah tersebut disebutkan bahwa Aisyah berusia enam tahun saat akad, dan sembilan tahun saat beliau tinggal bersamanya.

[Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat : ISLAMQA Fatwa No. 124483. Judul artikel :

"تَحْقِيقٌ فِي عُمْرِ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عِنْدَمَا تَزَوَّجَهَا النَّبِيُّ ﷺ"

**ULAMA YANG MENDHA’IFKAN HADITS AISYAH (RA) MENIKAH DI USIA 6 TAHUN**

Ada sebagian para ulama yang mendhaifkan hadits Aisyah radhiyallahu anha dengan mengatakan :

“Hadits yang menyebutkan usia Aisyah diriwayatkan melalui lima jalur yang semuanya kembali kepada Hisyam bin Urwah.

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam *Hadyu as-Sari* dan *Tahdzib at-Tahdzib* menyebutkan tentang Hisyam bin Urwah bin az-Zubair :

«قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بنُ يُوسُفَ بنِ خِرَاشٍ وَكَانَ مَالِكٌ لَا يَرْضَاهُ، بَلَغَنِي أَنَّ مَالِكًا نَقَمَ عَلَيْهِ حَدِيثَهُ لِأَهْلِ العِرَاقِ، قَدِمَ الكُوفَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ : مَرَّةً كَانَ يَقُولُ: حَدَّثَنِي أَبِي، قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ وَقَدِمَ ـ جَاءَ ـ الثَّانِيَةَ فَكَانَ يَقُولُ: أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ، وَقَدِمَ الثَّالِثَةَ فَكَانَ يَقُولُ: أَبِي عَنْ عَائِشَةَ». وَالمَعْنَى بِبَسَاطَةٍ أَنَّ (هشام بن عروة) كَانَ صَدُوقًا فِي المَدِينَةِ المُنَوَّرَةِ، ثُمَّ لَمَّا ذَهَبَ لِلعِرَاقِ بَدَأَ حِفْظُهُ لِلْحَدِيثِ يَسُوءُ وَبَدَأَ (يُدَلِّسُ) أَيْ يُنْسِبُ الحَدِيثَ لِغَيْرِ رَاوِيهِ، ثُمَّ بَدَأَ يَقُولُ (عَنْ) أَبِي، بَدَلًا مِنْ (سَمِعْتُ أَوْ حَدَّثَنِي)، وَفِي عِلْمِ الحَدِيثِ كَلِمَةُ (سَمِعْتُ) أَوْ (حَدَّثَنِي) أَقْوَى مِنْ قَوْلِ الرَّاوِي (عَنْ فُلَانٍ)، وَالحَدِيثُ فِي البُخَارِيِّ هَكَذَا يَقُولُ فِيهِ هِشَامٌ عَنْ (أَبِي وَلَيْسَ (سَمِعْتُ أَوْ حَدَّثَنِي)، وَهُوَ مَا يُؤَيِّدُ الشَّكَّ فِي سَنَدِ الحَدِيثِ، ثُمَّ النُّقْطَةُ الأَهَمُّ وَهِيَ أَنَّ الإِمَامَ (مَالِك) قَالَ: إِنَّ حَدِيثَ (هشام) بِالعِرَاقِ لَا يُقْبَلُ، فَإِذَا طَبَّقْنَا هَذَا عَلَى الحَدِيثِ الَّذِي أَخْرَجَهُ البُخَارِيُّ لَوَجَدْنَا أَنَّهُ مُحَقَّقٌ، فَالحَدِيثُ لَمْ يَرْوِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ مِنَ المَدِينَةِ، بَلْ كُلُّهُمْ عِرَاقِيُّونَ مِمَّا يَقْطَعُ أَنَّ (هشام بن عروة) قَدْ رَوَاهُ بِالعِرَاقِ بَعْدَ أَنْ سَاءَ حِفْظُهُ، وَلَا يَعْقِلُ أَنْ يَمْكُثَ (هشام) بِالمَدِينَةِ عُمْرًا طَوِيلًا وَلَا يَذْكُرَ حَدِيثًا مِثْلَ هَذَا وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً، لِهَذَا فَإِنَّنَا لَا نَجِدُ أَيَّ ذِكْرٍ لِعُمُرِ السَّيِّدَةِ (عَائِشَة) عِنْدَ زَوَاجِهَا بِالنَّبِيِّ فِي كِتَابِ (المُوَطَّأ) لِلْإِمَامِ مَالِكٍ وَهُوَ الَّذِي رَأَى وَسَمِعَ (هشام بن عروة) مُبَاشَرَةً بِالمَدِينَةِ، فَكَفَى بِهَاتَيْنِ العِلَّتَيْنِ لِلشَّكِّ فِي سَنَدِ الرِّوَايَةِ السَّابِقَةِ». انتهى

"Abdurrahman bin Yusuf bin Khurrasy berkata bahwa Malik tidak meridhainya. Malik dikabarkan tidak menyukai hadits-hadits yang Hisyam bin Urwah sampaikan kepada penduduk Irak.

Hisyam datang ke Kufah tiga kali.

Pada kunjungan pertama, dia berkata, 'Ayahku bercerita kepadaku, aku mendengar dari Aisyah.'

Pada kunjungan kedua, dia berkata, 'Ayahku memberitahuku dari Aisyah.'

Pada kunjungan ketiga, dia hanya mengatakan, 'Dari ayahku dari Aisyah.'"

Artinya, secara sederhana, Hisyam bin Urwah adalah seorang perawi yang dapat dipercaya di Madinah. Namun, ketika dia pergi ke Irak, hafalan haditsnya mulai melemah dan dia mulai *mudallis* (menyembunyikan kelemahan sanad), yaitu mengaitkan hadits kepada orang yang bukan perawi aslinya. Dia mulai menggunakan istilah "dari ayahku" (*'an abi*) alih-alih "aku mendengar dari ayahku" (*sami'tu aw haddatsani*).

Dalam ilmu hadits, kata "aku mendengar" atau "ayahku bercerita" lebih kuat daripada sekadar "dari ayahku". Hadits yang diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari melalui Hisyam menggunakan kata *'an* (dari), bukan *sami'tu* atau *haddatsani*, yang mendukung keraguan atas sanadnya.

Poin yang paling penting adalah bahwa Imam Malik mengatakan, "Hadits Hisyam di Irak tidak dapat diterima." Jika kita terapkan ini pada hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, kita akan menemukan bahwa semua perawi hadits tersebut berasal dari Irak, bukan satu pun dari Madinah.

Ini memperkuat kesimpulan bahwa Hisyam bin Urwah meriwayatkannya ketika dia sudah berada di Irak setelah hafalannya melemah. Tidak masuk akal jika Hisyam tinggal di Madinah dalam waktu yang lama tetapi tidak pernah menyebutkan hadits ini sekali pun.

Sebagai bukti lebih lanjut, tidak ada satu pun keterangan tentang usia Aisyah saat menikah dengan Nabi dalam *al-Muwaththa'* karya Imam Malik, meskipun Imam Malik mendengar langsung dari Hisyam bin Urwah di Madinah.

Dengan dua kelemahan ini, cukup alasan untuk meragukan sanad hadits yang disebutkan di atas.

[Lihat pula : Tahdzibul Kamal karya al-Mizzy 30/239, Tarikh Baghdad karya al-Khatib al-Baghdadi 16/56 no. 7335, Syarah Ilal at-Tirmidzy oleh Zainuddin Abdurrahman al-Baghdadi al-Hanbali 2/680, Qurratu ‘Ainil Muhtaaj oleh Muhammad bin Ali al-Itsyubi 1/355 dan Nakhbul Afkaar karya Badruddin al-Aini al-Hanafi 2/91].

Peneliti yang melakukan penelitian ini adalah Ustadz Islam Bahiri, dan hasil penelitiannya diterbitkan dalam edisi Ziro (sebelum edisi pertama), halaman 21, surat kabar *al-Yaum as-Sabi* yang terbit pada 15/7/2008.

DR. Suhaila berkata :

بَعْضُ الْعُلَمَاءِ أَحْيَانًا: 

وَبِالْمُنَاسَبَةِ فَقَدْ كُنْتُ وَمَا زِلْتُ أَقُولُ إِنَّ جَامِعِي الْحَدِيثِ هُمْ بِكُلِّ يَقِينٍ عُلَمَاءُ عُبَاقِرَةٌ مُخْلِصُونَ مُحِبُّونَ لِدِينِهِمْ وَلِنَبِيِّهِمْ حُبًّا جَمًّا، لَكِنْ هَذَا لَا يَعْنِي أَبَدًا أَنَّهُمْ مَعْصُومُونَ عَنِ السَّهْوِ وَالْخَطَإِ وَالنِّسْيَانِ. إِنَّهُمْ عُبَاقِرَةٌ حَقًّا، لَكِنَّهُمْ قَبْلَ ذَلِكَ وَبَعْدَهُ بَشَرٌ. وَكُنْتُ كَذَلِكَ أَقُولُ إِنَّهُمْ يُشْبِهُونَ الصَّيَّادِينَ الَّذِينَ يَطْرَحُونَ شِبَاكَهُمْ فِي الْبَحْرِ لِلْإِمْسَاكِ بِالسَّمَكِ، بَيْدَ أَنَّ الشَّبَكَةَ، مَهْمَا يَكُنْ مِنْ إِحْكَامِهَا، يُمْكِنُ أَنْ تَفْلِتَ مِنْهَا بَعْضُ الْأَسْمَاكِ الصَّغِيرَةِ كَالْبِيسَارِيَا مَثَلًا. إِلَّا أَنَّ هَذَا لَا يَعْنِي وَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَعْنِيَ أَنْ نُهَاجِمَ كُتُبَ الْحَدِيثِ وَأَصْحَابَهَا وَنَشُكَّكَ فِيهَا وَفِيهِمْ جُمْلَةً وَتَفْصِيلًا كَمَا يُرِيدُ بَعْضُ الْمُوتُورِينَ التَّدْمِيرِيِّينَ أَنْ نَفْعَلَ، وَإِلَّا حَقَّقْنَا لَهُمْ مَا يُرِيدُونَ وَدَمَّرْنَا جُزْءًا عَزِيزًا وَغَالِيًا وَخَطِيرًا مِنْ تُرَاثِنَا الَّذِي لَا يُمْكِنُ أَنْ تَسْتَقِيمَ حَيَاتُنَا الْعِلْمِيَّةُ وَالدِّينِيَّةُ بِدُونِهِ. 

وَلْنُلَاحِظْ أَنَّ الصَّحَفِيَّ الشَّابَّ الَّذِي تَنَبَّهَ لِمَا يَرَى أَنَّهُ خَطَأٌ مِنْ بَعْضِ كُتُبِ الْحَدِيثِ قَدِ اسْتَعَانَ، فِيمَا اسْتَعَانَ بِهِ، بِتِلْكَ الْكُتُبِ، مِمَّا يَدُلُّ عَلَى أَهَمِّيَّتِهَا الشَّدِيدَةِ الَّتِي لَا تُقَدَّرُ بِثَمَنٍ. أَمَّا الِاعْتِقَادُ بِعِصْمَةِ رِجَالِ الْحَدِيثِ فَهُوَ تَنْزِيلٌ لَهُمْ فِي مَنْزِلَةِ النُّبُوَّةِ، وَهَذَا لَا يَجُوزُ. كَمَا أَنَّ كُتُبَهُمْ رَغْمَ عَظَمَةِ الْجُهْدِ وَالْإِخْلَاصِ وَالتَّدْقِيقِ الْمَبْذُولِ فِيهَا لَا يُمْكِنُ أَنْ تُضَاهِيَ الْقُرْآنَ الْمَجِيدَ.

Sebagian ulama terkadang salah dan benar :

Sebagai catatan, saya selalu mengatakan bahwa para penyusun kitab-kitab hadits adalah para ulama yang luar biasa, jenius, ikhlas, dan sangat mencintai agama dan Nabi mereka dengan cinta yang mendalam.

Namun, ini sama sekali tidak berarti bahwa mereka terbebas dari kesalahan, lupa, atau kelalaian. Mereka memang sangat cerdas, tetapi tetaplah manusia sebelum dan setelah semuanya.

Saya juga selalu mengatakan bahwa mereka mirip dengan para nelayan yang melemparkan jaringnya ke laut untuk menangkap ikan. Namun, jaring itu, sekuat apapun, tetap bisa melewatkan beberapa ikan kecil, seperti jenis ikan bésaria.

Namun, ini tidak berarti – dan tidak seharusnya berarti – bahwa kita harus menyerang kitab-kitab hadits dan para pengarangnya serta meragukan kitab-kitab tersebut secara keseluruhan seperti yang diinginkan beberapa pihak yang berniat menghancurkan.

Jika tidak, kita justru akan memberi mereka apa yang mereka inginkan dan menghancurkan bagian yang berharga, penting, dan krusial dari warisan kita yang tanpanya kehidupan ilmiah dan agama kita tidak akan kokoh.

Kita juga harus menyadari bahwa seorang wartawan muda yang menyadari apa yang menurutnya adalah kesalahan dalam beberapa kitab hadits, harus tetap menggunakan kitab-kitab tersebut sebagai rujukan, yang menunjukkan betapa pentingnya kitab-kitab itu yang nilainya tidak bisa diukur. Sementara keyakinan akan infalibilitas (ketidak mungkinan untuk berbuat salah) ulama hadits adalah sebuah pengangkatan mereka ke tingkat kenabian, dan ini tidak boleh dilakukan. Begitu pula kitab-kitab mereka, meskipun luar biasa dari segi upaya, ketulusan, dan ketelitian yang dicurahkan di dalamnya, tetap saja tidak bisa disetarakan dengan Al-Qur'an yang mulia”[KUTIPAN SELESAI].

===****===

KONTROVERSI TENTANG USIA AISYAH (RA) SAAT MENIKAH DENGAN RASULULLAH

Sebagaimana yang telah disebutkan diatas bahwa kontroversi tentang usia Aisyah radhiyallahu ‘anha, sepengetahuan saya sebagai penulis, diperkirakan baru muncul di abad sekarang ini. Dan hingga kini, saya belum menemukan literatur-literatur dan referensi-referensi yang menyebutkan bahwa itu sudah ada sebelumnya.

Secara garis besar, ada dua pendapat :

PENDAPAT PERTAMA :
BAHWA USIA AISYAH DIATAS 15 TAHUN SAAT MENIKAH DENGAN NABI , NAMUN HIDUP BERSAMA DENGAN-NYA SETELAH 3 TAHUN KEMUDIAN.

Sebagian para ulama kontemporer meragukan akan kebenaran riwayat yang menyatakan bahwa usia Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah 6 tahun saat menikah dengan Rasulullah tepatnya pada bulan Syawal, 1 tahun sebelum hijrah, yang kemudian di usia 9 tahun dia mulai membangun rumah tangga dengan beliau , tepatnya di bulan syawal, 2 tahun setelah hijrah.

===****===

ALASAN DAN SEBAB DIRAGUKAN-NYA PERNIKAHAN AISYAH (RA) DI USIA 6 TAHUN:

Mereka yang meragukan riwayat Aisyah radhiyallahu ‘anha menikah di usia 6 tahun, menyebutkan beberapa sebab dan alasan :

*****

ALASAN PERTAMA : PERBANDINGAN DENGAN USIA ASMA’ (RA), SAUDARINYA :

Keraguan ini didasarkan pada usia saudari perempuannya, yang bernama Asma' binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma, yang lebih tua darinya sekitar **beberapa belas tahun** atau **belasan tahun**. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam adz-Dzhabi dalam as-Siyar 2/288:

وَكَانَتْ ‌أَسَنَّ ‌مِنْ ‌عَائِشَةَ ‌بِبِضْعَ ‌عَشْرَةَ ‌سَنَةً، هَاجَرَتْ حَامِلاً بِعَبْدِ اللهِ

“Dan ia lebih tua dari Aisyah dengan sekitar **beberapa belas tahun**, berhijrah dalam keadaan mengandung Abdullah, anaknya”.

Sementara usia Asma' menjelang hijrah adalah 27 tahun, dan dia meninggal pada tahun 73 H, pada usia sekitar seratus tahun.

Sedangkan makna **(بِضْعٌ = beberapa)** dalam bahasa Arab bisa mencapai sembilan dalam hitungan. [*Mu'jam Al-Ma'ani Al-Jami'*, makna "bidh'u"].

Dan al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan :

"وَقَالَ أَبُو نُعَيْمٍ الْأَصْبَهَانِيُّ: وُلِدَتْ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً، وَعَاشَتْ إِلَى أَوَائِلِ سَنَةِ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ".

"Abu Nu'aim Al-Ashbahani berkata: 'Dia (Asma) lahir 27 tahun sebelum hijrah dan hidup hingga awal tahun 24 H.'" [Lihat : *Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah*, 8/14.]

Maka ini menunjukkan bahwa usia Aisyah saat menikah dengan Nabi Muhammad adalah sekitar enam belas tahun atau lebih."

Muhammad bin 'Abdullah al-Khathib at-Tibriizi, dalam kitabnya *Misykat al-Mashabih* mencatat pula : bahwa Asma’, saudari perempuan tertua Aisyah, adalah 10 tahun lebih tua dari Aisyah. Asma’ meninggal pada usia 100 tahun di tahun 73 H .

Sumber-sumber sejarah dengan tegas menyatakan tanpa perbedaan bahwa Asma wafat setelah sebuah peristiwa terkenal dan terdokumentasi, yaitu pembunuhan putranya, Abdullah bin Zubair, oleh al-Hajjaj, seorang penguasa yang terkenal kejam, pada tahun 73 H. Saat itu, usia Asma adalah 100 tahun penuh.

Jika kita menghitung mundur dari tahun kematiannya (73 H) dan usianya (100 tahun), maka (100 - 73 = 27 tahun) adalah usia Asma saat peristiwa hijrah Nabi. Ini sesuai dengan informasi usia Asma yang tercantum dalam sumber-sumber sejarah.

Jika kita kurangi 10 tahun dari usia Asma, yaitu selisih usia antara Asma dan Aisyah, maka usia Aisyah pada saat hijrah adalah (27 - 10 = 17 tahun). Jika Nabi mulai hidup bersama Aisyah pada tahun kedua hijrah, maka usia Aisyah saat itu adalah (17 + 2 = 19 tahun).

Berdasarkan perhitungan ini, maka Aisyah setidaknya berusia 19 tahun saat memulai kehidupan rumah tangganya dengan Rasulullah pada tahun 2 H dan berusia sekitar 14 atau 16 tahun ketika akad nikah berlangsung (1 tahun sebelum tahun hijriah).

Ini juga menunjukkan bahwa ia lahir sekitar 4 hingga 6 tahun sebelum kenabian.

Hal ini juga didukung oleh keterangan dari *ath-Thabari* dalam kitabnya *Tarikh al-Umam*, yang menegaskan :

أَنَّ كُلَّ أَوْلَادِ أَبِي بَكْرٍ قَدْ وُلِدُوا فِي الجَاهِلِيَّةِ

“Bahwa semua anak Abu Bakar lahir pada masa jahiliyah, sebelum datangnya Islam”.

Ini sejalan dengan kronologi yang benar dan menunjukkan kelemahan riwayat al-Bukhari, karena Aisyah sebenarnya lahir empat tahun sebelum kenabian dimulai.

[Lihat: al-Maktabah asy-Syamilah al-Haditsiyyah 21/157 dan artikel زَوَاجُ الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِي عُمْرِهَا التَّاسِعَةِ oleh Majma’ Fuqohaa asy-Syari’ah no. Fatwa 78123].

Koreksi atas usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah juga dinyatakan oleh tokoh intelektual Ahmadiyyah Lahore, Ghulam Nabi Muslim Sahib, dalam artikel berjudul :

*Hazrat Aishah Siddiqah’s Age at her Marriage: Proves that The Holy Prophet Muhammad (pbuh) Married Hazrat Aishah when She was 19 Years of Age and not When She was 9* :

Artinya : *Usia Sayyidah Aisyah al-Shiddiqah Ketika Menikah : Terbukti bahwa Nabi Muhammad Menikahinya Saat Berusia 19 Tahun, bukan 9 Tahun*).

Ini pertama kali diterbitkan pada *The Light*, 24 September 1981, dan kemudian dipublikasikan kembali dalam jurnal *The Message: World Quarterly* pada September 2002.

Menurutnya : “Mayoritas perawi keliru menyatakan usia Aisyah saat menikah dengan Nabi . Memang banyak yang mengklaim pernikahan tersebut terjadi pada tahun ke-10 dari kenabian dan Aisyah kala itu berusia 6 tahun. Namun, penelitian teliti membuktikan bahwa data tersebut tidak akurat dan menunjukkan...

Aisyah radhiyallahu 'anha sebenarnya berusia sekitar 19 atau 20 tahun ketika memasuki rumah Nabi Muhammad sebagai istrinya pada tahun 2 H”.

[Referensi :

[1] *Siyar A'lam An-Nubala'*, 2/288 Asma binti Abu Bakr.

[2] Muhammad Ratib Al-Nablusi. *Mastasyriqin Am Muftarin*, salinan tersimpan di situs Wayback Machine.

[3] Muzahim H. Siddiqi, *Prophet Muhammad's Wife Aisha*, PhD].

*****

ALASAN KE DUA : PERBANDINGAN ANTARA USIA FATHIMAH DAN USIA ‘AISYAH RADHIYALLAHU ‘ANHUMA.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan dalam *al-Ishabah* bahwa Fathimah lahir pada tahun pembangunan Ka'bah, ketika Nabi berusia 35 tahun. Fathimah lebih tua lima tahun dari Aisyah. Berdasarkan riwayat yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar, meskipun riwayat ini tidak kuat, jika kita anggap riwayat tersebut benar, maka Ibnu Hajar secara tidak langsung mendustakan riwayat al-Bukhari.

Jika Fathimah lahir ketika Nabi berusia 35 tahun, maka Aisyah lahir ketika Nabi berusia 40 tahun, yakni pada awal turunnya wahyu. Dengan demikian, usia Aisyah saat hijrah adalah sama dengan lamanya masa dakwah Nabi di Makkah, yaitu 13 tahun, bukan 9 tahun. Saya menyebutkan riwayat ini hanya untuk menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam riwayat al-Bukhari.

Jadi Usia Fathimah radhiyallahu ‘anha hingga awal masuk tahun hijriah adalah 18 tahun, karena ia lahir 5 tahun sebelum masa kenabian. Sementara masa kenabian selama di Makkah hingga menjelang hijrah adalah 13 tahun. Jadi usia Fathimah adalah  5 + 13 =18.

Dan Fathimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib - radhiyallahu ‘anhuma- setelah perang Badar pada bulan Rajab Safar, tahun ke 2 Hijriah. Berarti usia Fathimah saat menikah adalah 20 tahun.

Jika kita telah mengetahui bahwa Fathimah radhiyallahu ‘anha, lahir lima tahun sebelum masa kenabian, dan usianya menjelang awal tahun hijriah menjadi 18 tahun, maka pertanyaanya adalah :

Mungkinkah Rasulullah menikahi seorang gadis berusia 6 tahun, yang jauh lebih muda dari putri bungsunya yang berusia 17 tahun, dan saat itu putrinya belum menikah, masih gadis ?.

Dr. Suhaila Hammad mengatakan:

إِنَّ الرَّسُولَ ـ فِي تَقْدِيرِي ـ لَنْ يَتَزَوَّجَ بِفَتَاةٍ فِي عُمْرِ ابْنَتِهِ الصُّغْرَى أَوْ أَصْغَرَ مِنْهَا. فَإِذَا عَلِمْنَا أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ وُلِدَتْ قَبْلَ الْبَعْثَةِ بِخَمْسِ سِنِينَ نَعْرِفُ أَنَّ عُمْرَهَا بَعْدَ الْهِجْرَةِ يُصْبِحُ 18 عَامًا، وَعَلَى هَذَا فَأَنَا أُرَجِّحُ أَنْ يَكُونَ عُمْرُ عَائِشَةَ أَكْبَرَ مِنْ عُمْرِ فَاطِمَةَ وَمِنْ ثَمَّ فَإِنَّنِي أُرَجِّحُ إِحْدَى الْفَرَضِيَّتَيْنِ: الْأُولَى 28 سَنَةً أَوِ الثَّانِيَةَ 23 سَنَةً، هِيَ أَكْبَرُ مِنْ أُخْتِهَا عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ بِعَشْرِ سِنِينَ. يَسْتَتْبِعُ ذَلِكَ أَنَّ عُمْرَ عَائِشَةَ قَبْلَ الْبَعْثَةِ كَانَ نَحْوَ خَمْسِ سَنَوَاتٍ عَلَى الْأَقَلِّ، وَلَعَلَّ الْإِشَارَةَ فِي رِوَايَتِهَا بِأَنَّهَا كَانَتْ ذَاتَ سِتَّةِ سَنَوَاتٍ حِينَ خَطَبَهَا رَسُولُ اللَّهِ كَانَتْ خَطَأً مِنَ الرَّاوِي، فَلَعَلَّهَا قَصَدَتْ أَنَّهَا كَانَتْ ابْنَةَ سِتَّةِ سَنَوَاتٍ حِينَ بُعِثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ إِذَا أَضَفْنَا 5 - 6 سَنَوَاتٍ وَهُوَ عُمْرُ عَائِشَةَ التَّقْرِيبِيُّ حِينَ الْبَعْثَةِ إِلَى 13 سَنَةً هُوَ عُمْرُ الْمَرْحَلَةِ الْمَكِّيَّةِ يَكُونُ النَّاتِجُ هُوَ 18 - 19 سَنَةً وَهُوَ يُمَثِّلُ عُمْرَهَا فِي الْمَدِينَةِ بَعْدَ الْهِجْرَةِ، لَمَّا كَانَ عُمْرُ فَاطِمَةَ هُوَ 18 سَنَةً فِي ذَلِكَ الْحِينِ، نَسْتَطِيعُ الْقَوْلَ أَنَّ عُمْرَ عَائِشَةَ التَّقْرِيبِيَّ حِينَ زَوَاجِهَا لَمْ يَكُنْ يَقِلُّ عَنْ 19 سَنَةً، وَهُوَ يُمَثِّلُ الْحَدَّ الْأَدْنَى لِعُمْرِهَا مِنْ خِلَالِ الِاسْتِقْرَاءِ لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنْ مَصَادِرَ." مُقْتَبَسٌ مِنْ مَوْسُوعَةِ النَّابُلْسِيِّ

"Menurut pandangan saya, Rasulullah tidak akan menikahi seorang gadis yang usianya sama atau lebih muda dari putri bungsunya.

Jika kita mengetahui bahwa Fathimah dilahirkan lima tahun sebelum kenabian, maka usianya setelah hijrah akan menjadi 18 tahun. Berdasarkan ini, saya cenderung memperkirakan bahwa usia Aisyah lebih tua daripada Fathimah. Maka, saya mendukung salah satu dari dua hipotesis: pertama, bahwa usianya adalah 28 tahun, atau kedua, 23 tahun, yakni sepuluh tahun lebih tua dari saudari Aisyah, Ummul Mukminin.

Hal ini menunjukkan bahwa usia Aisyah sebelum kenabian sekitar lima tahun atau lebih. Barangkali, pernyataan dalam riwayatnya yang mengatakan bahwa ia berusia enam tahun ketika dilamar oleh Rasulullah adalah kesalahan perawi. Mungkin yang dimaksudnya adalah bahwa ia berusia enam tahun ketika Nabi diangkat menjadi Rasul.

Jika kita menambahkan 5–6 tahun, yaitu usia perkiraan Aisyah saat kenabian, dengan 13 tahun masa dakwah di Mekkah, hasilnya adalah 18–19 tahun. Ini mewakili usianya di Madinah setelah hijrah. Karena usia Fathimah saat itu adalah 18 tahun, kita dapat mengatakan bahwa usia perkiraan Aisyah saat pernikahannya (yakni : tinggal serumah dengan Nabi ) tidak kurang dari 19 tahun. Ini merupakan batas usia minimumnya berdasarkan sumber-sumber yang saya miliki." [Dikutip dari "Ensiklopedia Nabulsi]."

******

ALASAN KE TIGA : MEMORI INGATAN ‘AISYAH (RA) SAAT KEDUA ORANG TUA-NYA BARU MASUK ISLAM.

Penuturan Aisyah radhiyallahu 'anha sendiri dalam *Shahih al-Bukhari*, Kitab al-Kafalat, (no. 6079) mengisahkan memori ingatannya saat kedua orang tuanya awal memeluk Islam:

لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ

“Saya sama sekali tidak ingat (masa kecilku) kecuali pada saat itu kedua orang tuaku telah memeluk Islam.”

Serta dalam hadits tersebut terdapat pula kisah bahwa Aisyah menyaksikan terjadinya hijrah kaum muslimin ke Habasyah (Ethiopia). Sementara hijrah pertama ke Habasyah terjadi pada tahun ke 5 Kenabian atau 8 tahun sebelum ada perintah hijrah ke Madinah. [Lihat *Shahih al-Bukhari* no. 6079]

Perkataan Aisyah : "Saya sama sekali tidak ingat (masa kecilku) kecuali bahwa kedua orang tuaku telah memeluk agama Islam”.

Pernyataan ini menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha kemungkinan lahir beberapa waktu sebelum kedua orang tuanya memeluk Islam pada awal masa Kenabian, sehingga ia dapat mengingat ketika mereka mulai menjalankan agama Islam sejak awal. Jika Aisyah radhiyallahu 'anha lahir setelah orang tuanya memeluk Islam, seharusnya ia tidak akan menyatakan bahwa ia hanya mengingat mereka sebagai penganut Islam. Sebaliknya, jika ia lahir sebelum mereka menerima Islam, pernyataan tersebut masuk akal, karena pada saat itu ia terlalu muda untuk mengingat kejadian-kejadian sebelum mereka memeluk agama Islam.

Bahkan memory Aisyah mengungkapkan bahwa dirinya menyaksikan terjadinya hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Sementara hijrah pertama ke Habasyah terjadi tahun ke 5 setelah kenabian atau 8 tahun sebelum Hijrah. Ini menunjukkan bahwa Aisyah telah lahir sebelum-nya, bahkan saat itu sudah di usia mumayyiz.

Dengan demikian, maka usia Aisyah jauh lebih dari 6 tahun sebelum awal hijriah. Sementara pada bulan Syawal setahun sebelum 1 hijriah, ‘Aisyah menikah dengan Nabi , namun tidak tinggal serumah, karena mereka berdua kumpul serumah setelah hijrah ke Madinah, tepat-nya pada bulan Syawal tahun 2 Hijriah.

Berikut ini lafadz hadits lengkapnya :

Dari 'Urwah bin Az Zubair bahwa 'Aisyah radliallahu 'anha berkata;

"لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ وَلَمْ يَمُرَّ عَلَيْنَا يَوْمٌ إِلَّا يَأْتِينَا فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ طَرَفَيْ النَّهَارِ بُكْرَةً وَعَشِيَّةً فَلَمَّا ابْتُلِيَ الْمُسْلِمُونَ خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا قِبَلَ الْحَبَشَةِ حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَرْكَ الْغِمَادِ لَقِيَهُ ابْنُ الدَّغِنَةِ وَهُوَ سَيِّدُ الْقَارَةِ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ يَا أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَخْرَجَنِي قَوْمِي فَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أَسِيحَ فِي الْأَرْضِ فَأَعْبُدَ رَبِّي قَالَ ابْنُ الدَّغِنَةِ إِنَّ مِثْلَكَ لَا يَخْرُجُ وَلَا يُخْرَجُ فَإِنَّكَ تَكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ وَأَنَا لَكَ جَارٌ فَارْجِعْ فَاعْبُدْ رَبَّكَ بِبِلَادِكَ فَارْتَحَلَ ابْنُ الدَّغِنَةِ فَرَجَعَ مَعَ أَبِي بَكْرٍ فَطَافَ فِي أَشْرَافِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ فَقَالَ لَهُمْ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ لَا يَخْرُجُ مِثْلُهُ وَلَا يُخْرَجُ أَتُخْرِجُونَ رَجُلًا يُكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَيَصِلُ الرَّحِمَ وَيَحْمِلُ الْكَلَّ وَيَقْرِي الضَّيْفَ وَيُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَأَنْفَذَتْ قُرَيْشٌ جِوَارَ ابْنِ الدَّغِنَةِ وَآمَنُوا أَبَا بَكْرٍ وَقَالُوا لِابْنِ الدَّغِنَةِ مُرْ أَبَا بَكْرٍ فَلْيَعْبُدْ رَبَّهُ فِي دَارِهِ فَلْيُصَلِّ وَلْيَقْرَأْ مَا شَاءَ وَلَا يُؤْذِينَا بِذَلِكَ وَلَا يَسْتَعْلِنْ بِهِ فَإِنَّا قَدْ خَشِينَا أَنْ يَفْتِنَ أَبْنَاءَنَا وَنِسَاءَنَا قَالَ ذَلِكَ ابْنُ الدَّغِنَةِ لِأَبِي بَكْرٍ فَطَفِقَ أَبُو بَكْرٍ يَعْبُدُ رَبَّهُ فِي دَارِهِ وَلَا يَسْتَعْلِنُ بِالصَّلَاةِ وَلَا الْقِرَاءَةِ فِي غَيْرِ دَارِهِ ثُمَّ بَدَا لِأَبِي بَكْرٍ فَابْتَنَى مَسْجِدًا بِفِنَاءِ دَارِهِ وَبَرَزَ فَكَانَ يُصَلِّي فِيهِ وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَيَتَقَصَّفُ عَلَيْهِ نِسَاءُ الْمُشْرِكِينَ وَأَبْنَاؤُهُمْ يَعْجَبُونَ وَيَنْظُرُونَ إِلَيْهِ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَجُلًا بَكَّاءً لَا يَمْلِكُ دَمْعَهُ حِينَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ أَشْرَافَ قُرَيْشٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَأَرْسَلُوا إِلَى ابْنِ الدَّغِنَةِ فَقَدِمَ عَلَيْهِمْ فَقَالُوا لَهُ إِنَّا كُنَّا أَجَرْنَا أَبَا بَكْرٍ عَلَى أَنْ يَعْبُدَ رَبَّهُ فِي دَارِهِ وَإِنَّهُ جَاوَزَ ذَلِكَ فَابْتَنَى مَسْجِدًا بِفِنَاءِ دَارِهِ وَأَعْلَنَ الصَّلَاةَ وَالْقِرَاءَةَ وَقَدْ خَشِينَا أَنْ يَفْتِنَ أَبْنَاءَنَا وَنِسَاءَنَا فَأْتِهِ فَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى أَنْ يَعْبُدَ رَبَّهُ فِي دَارِهِ فَعَلَ وَإِنْ أَبَى إِلَّا أَنْ يُعْلِنَ ذَلِكَ فَسَلْهُ أَنْ يَرُدَّ إِلَيْكَ ذِمَّتَكَ فَإِنَّا كَرِهْنَا أَنْ نُخْفِرَكَ وَلَسْنَا مُقِرِّينَ لِأَبِي بَكْرٍ الِاسْتِعْلَانَ قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَتَى ابْنُ الدَّغِنَةِ أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ قَدْ عَلِمْتَ الَّذِي عَقَدْتُ لَكَ عَلَيْهِ فَإِمَّا أَنْ تَقْتَصِرَ عَلَى ذَلِكَ وَإِمَّا أَنْ تَرُدَّ إِلَيَّ ذِمَّتِي فَإِنِّي لَا أُحِبُّ أَنْ تَسْمَعَ الْعَرَبُ أَنِّي أُخْفِرْتُ فِي رَجُلٍ عَقَدْتُ لَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنِّي أَرُدُّ إِلَيْكَ جِوَارَكَ وَأَرْضَى بِجِوَارِ اللَّهِ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَوْمَئِذٍ بِمَكَّةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ قَدْ أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ رَأَيْتُ سَبْخَةً ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ وَهُمَا الْحَرَّتَانِ فَهَاجَرَ مَنْ هَاجَرَ قِبَلَ الْمَدِينَةِ حِينَ ذَكَرَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَرَجَعَ إِلَى الْمَدِينَةِ بَعْضُ مَنْ كَانَ هَاجَرَ إِلَى أَرْضِ الْحَبَشَةِ وَتَجَهَّزَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى رِسْلِكَ فَإِنِّي أَرْجُو أَنْ يُؤْذَنَ لِي قَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ تَرْجُو ذَلِكَ بِأَبِي أَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَحَبَسَ أَبُو بَكْرٍ نَفْسَهُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ لِيَصْحَبَهُ وَعَلَفَ رَاحِلَتَيْنِ كَانَتَا عِنْدَهُ وَرَقَ السَّمُرِ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ

"Saya sama sekali tidak ingat (masa kecilku) kecuali bahwa kedua orang tuaku telah memeluk agama Islam.

Dan tidak berlalu satu haripun melainkan Rasulullah datang menemui kami di sepanjang hari baik pagi ataupun petang.

Ketika Kaum Muslimin mendapat ujian, Abu Bakar keluar berhijrah menuju Habasyah (Ethiopia) hingga ketika sampai di Barkal Ghomad dia didatangi oleh Ibnu Ad-Daghinah seorang kepala suku seraya berkata; "Kamu hendak kemana, wahai Abu Bakar?"

Maka Abu Bakar menjawab: "Kaumku telah mengusirku maka aku ingin keliling dunia agar aku bisa beribadah kepada Tuhanku".

Ibnu Ad-Daghinah berkata: "Seharusnya orang seperti anda tidak patut keluar dan tidak patut pula diusir karena anda termasuk orang yang bekerja untuk mereka yang tidak punya, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu menolong di jalan kebenaran. Maka aku akan menjadi pelindung anda untuk itu kembalilah dan sembahlah Tuhanmu di negeri kelahiranmu.

Maka Ibnu Ad-Daghinah bersiap-siap dan kembali bersama Abu Bakar lalu berjalan di hadapan Kafir Quraisy seraya berkata, kepada mereka:

"Sesungguhnya orang sepeti Abu Bakar tidak patut keluar dan tidak patut pula diusir. Apakah kalian mengusir orang yang suka bekerja untuk mereka yang tidak punya, menyambung silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu menolong di jalan kebenaran?"

Akhirnya orang-orang Quraisy menerima perlindungan Ibnu Ad-Daghinah dan mereka memberikan keamanan kepada Abu Bakar lalu berkata, kepada Ibnu Ad-Daghinah:

"Perintahkanlah Abu Bakar agar beribadah menyembah Tuhannya di rumahnya saja dan shalat serta membaca Al Qur'an sesukanya dan dia jangan mengganggu kami dengan kegiatannya itu dan jangan mengeraskannya karena kami telah khawatir akan menimbulkan fitnah terhadap anak-anak dan isteri-isteri kami".

Maka Ibnu Ad-Daghinah menyampaikan hal ini kepada Abu Bakar. Maka Abu Bakar mulai beribadah di rumahnya dan tidak mengeraskan shalat bacaan Al Qur'an diluar rumahnya. Kemudian AbuBakar membangun tempat shalat di halaman rumahnya sedikit melebar keluar dimana dia shalat disana dan membaca Al Qur'an. Lalu istrei-isteri dan anak-anak Kaum Musyrikin berkumpul disana dengan penuh keheranan dan menanti selesainya Abu Bakar beribadah. Dan sebagaimana diketahui Abu Bakar adalah seorang yang suka menangis yang tidak sanggup menahan air matanya ketika membaca Al Qur'an. Maka kemudian kagetlah para pembesar Quraisy dari kalangan Musyrikin yang akhirnya mereka memanggil Ibnu Ad-Daghinah ke hadapan mereka dan berkata, kepadanya:

"Sesungguhnya kami telah memberikan perlindungan kepada Abu Bakr agar dia beribadah di rumahnya namun dia melanggar hal tersebut dengan membangun tempat shalat di halaman rumahnya serta mengeraskan shalat dan bacaan padahal kami khawatir hal itu akan dapat mempengaruhi isteri-isteri dan anak-anak kami dan ternyata benar-benar terjadi. Jika dia suka untuk tetap beribadah di rumahnya silahkan namun jika dia menolak dan tetap menampakkan ibadahnya itu mintalah kepadanya agar dia mengembalikan perlindungan anda ; karena kami tidak suka bila kamu melanggar perjanjian dan kami tidak setuju bersepakat dengan Abu Bakar".

Berkata, 'Aisyah radliallahu 'anha: Maka Ibnu Ad-Daghinah menemui Abu Bakar dan berkata:

"Kamu telah mengetahui perjanjian yang kamu buat, maka apakah kamu tetap memeliharanya atau mengembalikan perlindunganku kepadaku karena aku tidak suka bila orang-orang Arab mendengar bahwa aku telah melanggar perjanjian hanya karena seseorang yang telah aku berjanji kepadanya".

Maka Abu Bakar berkata: "Aku kembalikan jaminanmu kepadamu dan aku ridho hanya dengan perlindungan Allah dan Rasul-Nya .

Kejadian ini adalah di Makkah. Maka Rasulullah bersabda: "Sungguh aku telah ditampakkan negeri tempat hijrah kalian dan aku melihat negeri yang subur ditumbuhi dengan pepohonan kurma diantara dua bukit yang kokoh.

Maka berhijrahlah orang yang berhijrah menuju Madinah ketika Rasulullah menyebutkan hal itu.

Dan kembali pula sebagian dari mereka yang pernah hijrah ke Habasyah lalu pergi hijrah ke Madinah,  sementara Abu Bakar telah bersiap-siap pula untuk berhijrah. Maka Rasulullah berkata, kepadanya:

"Janganlah kamu tergesa-gesa karena aku berharap aku akan diizinkan (untuk berhijrah) ".

Abu Bakar berkata: "Sungguh demi bapakku tanggungannya, apakah benar Tuan mengharapkan itu?"

Beliau bersabda: "Ya benar".

Maka Abu Bakar berharap dalam dirinya bahwa dia benar-benar dapat mendampingi Rasulullah dalam berhijrah. Maka dia memberi makan dua hewan tunggangan yang dimilikinya dengan dedaunan Samur selama empat bulan. [HR. Bukhori no. 6079]

*****

**ALASAN KE EMPAT : SEBELUM DENGAN NABI , AISYAH HENDAK DINIKAHKAN DENGAN JUBAIR BIN MUTH'IM**.

Para sejarawan menyebutkan bahwa Aisyah sebelumnya telah dilamar oleh Jubair bin Muth’im bin Adiy sebelum dilamar oleh Rasulullah . Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah dalam usia layak nikah saat dilamar oleh Nabi .

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah: Kapan Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk putranya, Jubair bin Muth’im? Sumber-sumber sejarah tidak memberikan keterangan!”

**Tentang kemungkinan waktu pinangan terhadap Aisyah:**

Kemungkinan pertama : adalah bahwa ia dilamar setelah masa kenabian.

Namun hal ini dianggap tidak mungkin mengingat permusuhan yang sangat kuat dari kaum kafir terhadap risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad , terutama mengingat bahwa Aisyah adalah putri Abu Bakar, sahabat dekat Rasulullah dan salah satu orang pertama yang menerima Islam. Jadi, kemungkinan besar Adiy tidak akan melamar Aisyah untuk putranya setelah Abu Bakar memeluk Islam.

Kemungkinan kedua : adalah bahwa ia dilamar sebelum masa kenabian.

Ini merupakan kemungkinan yang lebih kuat. Namun, ini menimbulkan pertanyaan penting:

Berapa usia Aisyah saat itu sebelum kenabian? Setahun? Dua tahun? Lima? Sepuluh?

Sejarah tetap diam, seperti sebelumnya”.

**Maka, mari kita beralih ke beberapa hipotesis: Tentang Aisyah saat dilamar:**

-Hipotesis pertama:

Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk putranya, Jubair bin Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar 15 tahun. Berdasarkan hipotesis ini, maka usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 28 tahun, mengingat Nabi menikahinya setelah hijrah ke Yatsrib dan beliau tinggal di Mekah selama 13 tahun dalam periode dakwah sebelum hijrah.

- Hipotesis kedua:

Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk putranya, Jubair bin Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar 10 tahun. Berdasarkan hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 23 tahun.

- Hipotesis ketiga:

Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk putranya, Jubair bin Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar 5 tahun. Berdasarkan hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 18 tahun.

- Hipotesis keempat:

Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk putranya, Jubair bin Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah baru 1 tahun saja - meskipun ini tentu saja tidak mungkin, namun mari kita anggap demikian-, maka berdasarkan hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 14 tahun, yang berarti 5 tahun lebih tua dari usia yang banyak disebutkan”.

*****

**ALASAN KE LIMA: MASA TURUN-NYA SURAH AL-QAMAR**:

Dalam sebuah riwayat dari Bukhari, Aisyah berkata:

" لَقَدْ أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ بِمَكَّةَ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ، {بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُّ} [القمر: 46] "

“Sesungguhnya ayat ini diturunkan kepada Muhammad di Mekkah saat aku masih gadis kecil yang bermain-main, {‘Sebenarnya hari Kiamat adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka, dan hari Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit’} [QS. Al-Qamar: 46].” [HR. Bukhori no. 4876].

Muhammad Abdullah Al-Khathib menyatakan :

نَزَلَتْ سُورَةُ الْقَمَرِ ثَمَانِي سِنِينَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ

Surah Al-Qamar diturunkan delapan tahun sebelum hijrah (Hifdz Al-Qur'an al-Karim, Al-Khatib, 1985), yang menunjukkan bahwa surah ini turun pada tahun 614 M.

Sementara Muhammad Thahir Ibnu ‘Aasyuur mengatakan :

وَكَانَ ‌نُزُولُهَا ‌فِي ‌حُدُودِ ‌سَنَةِ ‌خَمْسٍ ‌قَبْلَ ‌الْهِجْرَةِ فَفِي «الصَّحِيحِ» «أَنَّ عَائِشَةَ قَالَتْ: أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ بِمَكَّةَ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهى وَأَمَرُّ [الْقَمَر: 46] ......

وَذَكَرَ بَعْضُ الْمُفَسِّرِينَ أَنَّ انْشِقَاقَ الْقَمَرِ كَانَ سَنَةَ خَمْسٍ قَبْلَ الْهِجْرَةِ وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ كَانَ بَيْنَ نُزُولِ آيَةِ سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ [الْقَمَر: 45] وَبَيْنَ بَدْرٍ سبع سِنِين

Dan waktu turunnya adalah sekitar lima tahun sebelum hijrah. Dalam *Shahih* disebutkan bahwa Aisyah berkata: “Ayat ini diturunkan kepada Muhammad di Mekkah ketika aku masih gadis kecil yang bermain-main: {‘Sebenarnya hari Kiamat adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka, dan hari Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit’} [Al-Qamar: 46]

Sebagian para ahli tafsir menyebutkan bahwa peristiwa terbelahnya bulan terjadi pada tahun kelima sebelum hijrah. Ibnu Abbas juga meriwayatkan bahwa terdapat selisih tujuh tahun antara turunnya ayat *‘Akan dikalahkan golongan itu dan mereka akan mundur ke belakang’* [Al-Qamar: 45] dengan terjadinya Perang Badar. [Baca : at-Tahriir wat-Tanwiir 27/166. Dan baca pula : Tafsir al-Wasitth karya Thanthawi 14/93]

Perang Badar terjadi pada tanggal 17 Ramadhan, tahun 2 Hijriah.

Jika Aisyah mulai hidup bersama Rasulullah pada usia 9 tahun (sekitar tahun 623 atau 624 M), maka berarti dia masih anak kecil ketika surah ini diturunkan.

Berdasarkan riwayat sebelumnya, Aisyah adalah gadis kecil (jariyah) dan bukan anak kecil saat Surah Al-Qamar turun.

Karena kata "jariyah" digunakan untuk menggambarkan seorang gadis yang masih bermain-main (Lane, Kamus Bahasa Arab). Maka, kenyataan bahwa Aisyah adalah seorang jariyah — bukan anak kecil — menunjukkan bahwa usianya saat itu antara 6 hingga 13 tahun ketika Surah Al-Qamar turun. Dengan demikian, usianya berkisar antara 14 hingga 21 tahun saat ia menikah dengan Rasulullah .

Kesimpulan: Riwayat ini juga bertentangan dengan pandangan bahwa Aisyah menikah pada usia sembilan tahun.

Baca pula artikel هَلْ تَزَوَّجَتْ عَائِشَةُ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ وَهِيَ بِنْتُ السَّادِسَةِ؟ karya T.A. Shanavas, diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Dr. Khalid As-Saaqi

*****

ALASAN KE ENAM : ** AISYAH MENYIAPKAN MASAKAN UNTUK BEKAL HIJRAH NABI KE MADINAH **:

Ketika Rasulullah dan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu hendak berangkat hijrah ke Madinah, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ikut terlibat menyiapkan masakan untuk bekal perjalanan hijrah mereka berdua, sebagaimana yang disebutkan dalam shahih Bukhori dari ‘Aisyah, dia berkata :

"فَجَهَّزْنَاهُمَا أَحَثَّ الجِهَازِ، وَصَنَعْنَا لَهُمَا سُفْرَةً فِي جِرَابٍ، ‌فَقَطَعَتْ ‌أَسْمَاءُ ‌بِنْتُ ‌أَبِي ‌بَكْرٍ ‌قِطْعَةً ‌مِنْ ‌نِطَاقِهَا، فَرَبَطَتْ بِهِ عَلَى فَمِ الجِرَابِ، فَبِذَلِكَ سُمِّيَتْ ذَاتَ النِّطَاقَيْنِ قَالَتْ: ثُمَّ لَحِقَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَأَبُو بَكْرٍ بِغَارٍ فِي جَبَلِ ثَوْرٍ، فَكَمَنَا فِيهِ ثَلَاثَ لَيَالٍ".

"Maka kami mempersiapkan perbekalan untuk keduanya dengan persiapan yang cepat, dan kami menyiapkan bekal makanan dalam sebuah kantong. Kemudian Asma binti Abu Bakar memotong kain ikat pinggangnya menjadi dua bagian, lalu mengikat mulut kantong tersebut dengan salah satunya. Karena itulah ia dijuluki *Dzatun Nithaqain* (wanita dengan dua ikat pinggang).

Dia berkata: 'Kemudian Rasulullah dan Abu Bakar pergi menuju sebuah gua di Gunung Tsur, lalu mereka bersembunyi di sana selama tiga malam.'" [HR. Bukhori no. 3095].

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :

وَأَفَادَ الْوَاقِدِيُّ ‌أَنَّهُ ‌كَانَ ‌فِي ‌السُّفْرَةِ ‌شَاةٌ ‌مَطْبُوخَةٌ

"Al-Waqidi menyampaikan bahwa dalam bekal makanan tersebut terdapat seekor kambing yang telah dimasak." [Fathul Bari 7/236].

Jika benar bahwa Aisyah di usia 6 tahun menikah dengan Nabi, maka dengan demikian, usia Aisyah adalah 7 tahun saat menyiapkan masakan kambing untuk bekal hijrah Nabi dan ayahnya .

Pertanyaan-nya : Apa mungkin seorang anak perempuan di usia 7 tahun mampu melakukannya?

*****

ALASAN KE TUJUH : **AISYAH (RA) IKUT SERTA DALAM PERANG BADAR DAN UHUD**:

Perang Badar terjadi pada tanggal 17 Ramadhan, tahun 2 Hijriah.

Dalam *Shahih Muslim*, terdapat hadits yang menyebutkan partisipasi Aisyah dalam Perang Badar, yaitu dalam kitab berikut ini :

51- (كِتَابُ الْجِهَادِ وَالسِّيَرِ، بَابُ كَرَاهَةِ الِاسْتِعَانَةِ فِي الْغَزْوِ بِكَافِرٍ)

51- (Kitab Jihad dan Peperangan, Bab Larangan Menghina Kafir dalam Perang).

Ketika Aisyah menceritakan perjalanan ke Badar dan peristiwa penting di dalamnya, dia berkata:

ثُمَّ مَضَى حَتَّى إِذَا كُنَّا بِالشَّجَرَةِ أَدْرَكَهُ الرَّجُلُ، فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ، قَالَ: «فَارْجِعْ، فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ»

“Kemudian Rasulullah melanjutkan perjalanan hingga ketika kami berada di dekat pohon, orang tersebut menyusulnya dan berkata kepadanya seperti yang dikatakannya pada pertama kali. Maka Rasulullah menjawab kepadanya seperti jawaban yang sama pada pertama kali, seraya berkata, “Kembalilah, aku tidak akan meminta bantuan dari seorang musyrik.”

Maka jelas bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha termasuk dalam rombongan yang berangkat ke Badar.

Dan jika benar usia Aisyah saat menikah dengan Nabi itu 6 tahun, yaitu 1 tahun sebelum hijriah, kemudian tinggal serumah dengan Nabi pada usia 9 tahun, yaitu pada bulan syawal tahun 2 hijriah, maka dengan demikian usia Aisyah saat ikut perang Badar adalah 9 tahun, yaitu sebulan sebelum kumpul serumah dengan Nabi .

Aisyah juga termasuk di antara para wanita yang ikut serta dalam Perang Uhud untuk memberi minum kepada pasukan yang terluka. [*Shahih Al-Bukhari*, Kitab Al-Jihad wa As-Siyar, Bab Perang dan Keterlibatan Wanita Bersama Pria.]

Perang Uhud terjadi pada bulan Syawal pada tahun ke 3 Hijriah. Sementara ‘Aisyah mulai membangun rumah tangga dengan Nabi pada bulan Syawal pada tahun ke 2 Hijriah, dan saat itu usianya 9 tahun. Maka dengan demikian saat perang Uhud usia Aisyah adalah 10 tahun.

Dalam *Shahih Bukhari* di sebutkan tentang partisipasi Aisyah dalam Perang Uhud, yaitu dalam kitab berikut ini :

(كِتَابُ الْجِهَادِ وَالسِّيَرِ، بَابُ غَزْوِ النِّسَاءِ وَقِتَالِهِنَّ مَعَ الرِّجَالِ)

(Kitab Jihad dan Peperangan, Bab Perang yang Diikuti Perempuan bersama Laki-laki):

Dari Anas radliallahu 'anhu berkata :

لَمَّا كَانَ يَوْمُ أُحُدٍ، انْهَزَمَ النَّاسُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، قَالَ: ‌وَلَقَدْ ‌رَأَيْتُ ‌عَائِشَةَ ‌بِنْتَ ‌أَبِي ‌بَكْرٍ، ‌وَأُمَّ ‌سُلَيْمٍ ‌وَإِنَّهُمَا ‌لَمُشَمِّرَتَانِ، ‌أَرَى ‌خَدَمَ ‌سُوقِهِمَا تَنْقُزَانِ القِرَبَ، وَقَالَ غَيْرُهُ : تَنْقُلَانِ القِرَبَ عَلَى مُتُونِهِمَا، ثُمَّ تُفْرِغَانِهِ فِي أَفْوَاهِ القَوْمِ، ثُمَّ تَرْجِعَانِ فَتَمْلَآَنِهَا، ثُمَّ تَجِيئَانِ فَتُفْرِغَانِهَا فِي أَفْوَاهِ القَوْمِ "

Ketika perang Uhud, orang-orang terpukul mundur dan lari meninggalkan Nabi .

Dia (Anas) berkata: "Sungguh aku melihat **'Aisyah binti Abu Bakar** dan Ummu Sulaim berjalan dengan cepat hingga terlihat gelang kaki keduanya (untuk memudahkan gerakan) sambil membawa qirab (wadah air terbuat dari kulit).

Dan berkata perawi lain : mengangkut qirab, dengan selendang keduanya lalu menuangkan ke mulut para pasukan. Kemudian keduanya kembali untuk mengisi air kedalam qirab kemudian kembali datang menuangkan air ke mulut para pasukan". [HR. Bukhori no. 2667, 2880, 3527]

Aisyah radhiyallahu 'anha mulai menjalani kehidupan rumah tangganya dengan Nabi sekitar satu tahun sebelum Perang Uhud. Berdasarkan pandangan umum, Aisyah radhiyallahu 'anha diperkirakan berusia 10 tahun pada saat itu, usia yang dianggap terlalu muda untuk terlibat dalam situasi perang. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha saat itu mungkin lebih tua dari perkiraan tersebut.

MINIMAL USIA 16 TAHUN, SYARAT BAGI YANG HENDAK IKUT PERANG PADA ZAMAN NABI :

**Seleksi Usia Pasukan Menjelang Perang Badar**.

Ada beberapa anak muda muslim berkeinginan bergabung dengan pasukan muslim ke medan tempur di Badar, Nabi memulangkan mereka karena usia yang masih terlalu belia, kecuali seorang pemuda yang bernama ‘Umair bin Abu Waqqas yang diizinkan menemani kakaknya, Sa’ad bin Abu Waqqas, seorang sahabat Nabi yang terkenal.

Sa'ad bin Abi Waqqash berkata :

" رَأَيْتُ أَخِيَ عُمَيْرَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ قَبْلَ أَنْ يَعْرِضَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِلْخُرُوجِ إِلَى بَدْرٍ يَتَوَارَى، فَقُلْتُ مَا لَكَ يَا أَخِي؟ فَقَالَ: إِنِّي ‌أَخَافُ ‌أَنْ ‌يَرَانِيَ ‌رَسُولُ ‌اللَّهِ ‌ﷺ ‌فَيَسْتَصْغِرَنِي ‌فَيَرُدَّنِي، وَأَنَا أُحِبُّ الْخُرُوجَ، لَعَلَّ اللَّهَ يَرْزُقَنِي الشَّهَادَةَ، قَالَ: فَعُرِضَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَاسْتَصْغَرَهُ فَقَالَ: «ارْجِعْ» ، فَبَكَى عُمَيْرٌ فَأَجَازَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ. قَالَ سَعْدٌ: فَكُنْتُ أَعْقِدُ لَهُ حَمَائِلَ سَيْفِهِ مِنْ صِغَرِهِ، فَقُتِلَ بِبَدْرٍ وَهُوَ ابْنُ سِتَّ عَشْرَةَ سَنَةً. قَتَلَهُ عَمْرُو بْنُ عَبْدِ وَدٍّ ".

“Aku melihat saudaraku, Umair bin Abi Waqqash, sebelum Rasulullah mengizinkan kami untuk berangkat ke Badar, ia bersembunyi. Aku pun bertanya, ‘Ada apa denganmu, wahai saudaraku?’ Ia menjawab, ‘Aku takut jika Rasulullah melihatku, beliau akan menganggapku terlalu muda dan memulangkanku. Padahal aku sangat ingin ikut berangkat, semoga Allah memberiku rezeki berupa kesyahidan.’

Ketika Umair diperlihatkan kepada Rasulullah , beliau pun menganggapnya terlalu muda dan berkata, ‘Kembalilah.’ Maka Umair pun menangis, hingga Rasulullah mengizinkannya. Sa'ad berkata, ‘Aku biasa mengikatkan tali pedangnya karena ia masih kecil.’ Umair pun gugur di Badar dalam **usia enam belas tahun**, terbunuh oleh Amr bin Abd Wudd.”

[HR. Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra 3/149-150, al-Bazzaar dalam Musnadnya 2/315 no. 1770.

Lihat pula : *Al-Maghazi* (hal. 21, 145, 155), *Tarikh At-Thabari* (jilid 2, hal. 477), dan *Hadzf min Nasab Quraisy* (hal. 62).

Muhammad al-Knadhlawi dalam Hayatush Shohabah 2/226 berkata :

وَأَخْرَجَهُ الْبَزَّارُ، وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ؛ كَمَا فِي الْمَجْمَعِ

Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar, dan para perawinya terpercaya, sebagaimana tercantum dalam *Al-Majma*”.

Dalam lafadz lain :

وَعِنْدَمَا رَآهُ النَّبِيُّ ﷺ اسْتَصْغَرَهُ فَرَدَّهُ، فَبَكَى عُمَيْرٌ بُكَاءً شَدِيدًا، فَرَقَّ النَّبِيُّ لَهُ، وَأَجَازَهُ مَعَ الْمُقَاتِلِينَ، بَعْدَ أَنْ لَمَسَ حَمَاسَتَهُ وَغَيْرَتَهُ الشَّدِيدَتَيْنِ، وَكَانَ مَعَ عُمَيْرٍ سَيْفٌ طَوِيلٌ يَكَادُ يَكُونُ أَطْوَلَ مِنْهُ، لَا يَسْتَطِيعُ إِمْسَاكَهُ وَالضَّرْبَ بِهِ، فَرَبَطَ السَّيْفَ لَهُ فِي يَدِهِ، قَالَ سَعْدٌ: فَكُنْتُ أَعْقِدُ لَهُ حَمَائِلَ سَيْفِهِ مِنْ صِغَرِهِ، فَقُتِلَ فِي بَدْرٍ وَهُوَ ابْنُ سِتِّ عَشْرَةَ سَنَةً.

Ketika Rasulullah melihatnya, beliau pun menganggapnya terlalu muda dan memulangkannya. Umair menangis dengan sangat sedih, hingga Rasulullah merasa iba padanya dan mengizinkannya bergabung dengan para pejuang setelah melihat semangat dan keberaniannya yang besar.

Umair membawa pedang panjang yang hampir lebih tinggi darinya, dan ia bahkan tidak bisa memegang atau mengayunkannya dengan baik. Maka, pedangnya diikatkan pada tangannya.

Sa'ad berkata, ‘Aku biasa membantu mengikatkan pedangnya karena ia masih sangat kecil.’ Akhirnya, Umair gugur dalam Perang Badar pada usia enam belas tahun.

Sepakat semua pendapat secara Ijma’ : bahwa Umair adalah syahid termuda dalam Islam. Ia gugur di tangan Amr bin Abd Wudd al-Amiri, salah satu tokoh penting Quraisy, yang kemudian Amr bin Abd Wudd ini terbunuh oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pada Perang Khandaq."

** Seleksi Usia Pasukan Menjelang Perang Uhud**:

Selain perang Badar, Rasulullah juga melarang sejumlah anak-anak muda untuk ikut dalam perang Uhud, karena usia mereka masih terlalu muda. Di antara mereka ialah Rafi' bin Khudaij dan Samurah bin Jundab, karena keduanya masih berusia 15 tahun.

Dalam al-Maghazi, al-Waqidy meriwayatkan :

وَعُرِضَ عَلَيْهِ غِلْمَانٌ: عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، وَالنّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ، وَزَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ، وَالْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ، وَأُسَيْدُ بْنُ ظُهَيْرٍ، وَعَرَابَةُ بْنُ أَوْسٍ، وَأَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيّ، وَسَمُرَةُ بْنُ جُنْدُبٍ، وَرَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ، فَرَدّهُمْ. قَالَ رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ، فَقَالَ ظُهَيْرُ بْنُ رَافِعٍ: يَا رَسُولَ اللهِ إنّهُ رَامٍ !

وَجَعَلْت أَتَطَاوَلُ وَعَلَيّ خُفّانِ لِي، فَأَجَازَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ، فَلَمّا أَجَازَنِي قَالَ سَمُرَةُ بْنُ جُنْدُبٍ لِرَبِيبِهِ مُرَيّ بْنِ سِنَانٍ الْحَارِثِيّ، وَهُوَ زَوْجُ أُمّهِ: يا أبة، ‌أَجَازَ ‌رَسُولُ ‌اللهِ ‌رَافِعَ ‌بْنَ ‌خَدِيجٍ ‌وَرَدّنِي، وَأَنَا أَصْرَعُ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ.

فَقَالَ مُرَيّ بْنُ سِنَانٍ الْحَارِثِيّ: يَا رَسُولَ اللهِ رَدَدْت ابْنِي وَأَجَزْت رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ وَابْنِي يَصْرَعُهُ. فقال رسول الله ﷺ: تَصَارَعَا!

فَصَرَعَ سَمُرَةُ رَافِعًا فَأَجَازَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ- وَكَانَتْ أُمّهُ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ

Ketika pendaftaran pasukan untuk Perang Uhud, beberapa pemuda dihadapkan kepada Rasulullah , di antaranya Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, Usamah bin Zaid, Nu'man bin Basyir, Zaid bin Arqam, Bara' bin Azib, Usaid bin Zuhair, Arabah bin Aus, Abu Sa'id al-Khudri, Samurah bin Jundub, dan Rafi' bin Khadij. Namun, Rasulullah menolak mereka karena usia mereka yang masih muda.

Rafi' bin Khadij bercerita : Maka Zuhair bin Rafi' berkata : “Wahai Rasulullah, Rafi' ini adalah pemanah yang terampil!”

Ketika mendengar ini, maka Rafi' berusaha untuk menunjukkan dirinya lebih tinggi dengan mengenakan sepatu bot, dan Rasulullah akhirnya mengizinkannya untuk bergabung.

Setelah mendapatkan izin, Samurah bin Jundub, yang merupakan anak tiri Murai bin Sinan al-Haritsi (suami ibunya), berkata kepada ayah tirinya :

“Wahai ayah, Rasulullah mengizinkan Rafi' bin Khadij untuk bergabung dan menolak aku, padahal aku bisa mengalahkannya dalam gulat!”

Mendengar hal ini, Murai bin Sinan berkata kepada Rasulullah :

“Wahai Rasulullah, Engkau menolak anakku dan mengizinkan Rafi' bin Khadij, sedangkan anakku mampu mengalahkannya.”

Rasulullah kemudian memerintahkan, “Bergulatlah kalian berdua!”

Samurah pun berhasil mengalahkan Rafi' dalam gulat, dan akhirnya Rasulullah mengizinkannya untuk bergabung. Ibunya berasal dari suku Bani Asad.

[Baca : al-Maghazi karya al-Waqidi 1/216, Ansaab al-Asyraaf karya al-Baladzari 1/315-316 no. 686 dan Imtaa’ al-Asmaa’ oleh Taqiyyuddin al-Muqraizy 1/136]

**Menjelang Perang Khandak**:

Menjelang perang Khandak juga diberlakukan syarat usia 15 tahun keatas bagi calon pasukan perang. Imam Bukhari juga menyebutkan dalam :

(فِي كِتَابِ الْمَغَازِي، بَابُ غَزْوَةِ الخَنْدَقِ وَهِيَ الأَحْزَابُ)

(Kitab Peperangan, Bab Perang Khandaq, yaitu Ahzaab)

Ibnu Umar meriwayatkan :

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ: «عَرَضَهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْهُ، وَعَرَضَهُ يَوْمَ الخَنْدَقِ، وَهُوَ ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَهُ»

“Bahwa Nabi  tidak mengizinkannya saat dia menawarkan diri untuk ikut serta dalam Perang Uhud karena ia masih berusia empat belas tahun saat itu. Tetapi Nabi  mengizinkannya dalam Perang Khandaq ketika ia berusia lima belas tahun”.

Berdasarkan hal ini :

(a) mereka yang berusia di bawah 15 tahun tidak diizinkan ikut serta dalam Perang Uhud.

(b) dan Aisyah berpartisipasi dalam Perang Badar dan Uhud.

Kesimpulan: Partisipasi Aisyah dalam Perang Badar dan Uhud menunjukkan bahwa ia tidak berusia sembilan tahun, melainkan setidaknya lima belas tahun. Bagaimanapun, para perempuan biasanya mendampingi para laki-laki ke medan perang untuk membantu mereka, bukan menjadi beban. Riwayat ini juga memberikan kontradiksi lain terkait usia Aisyah.

Sangat kecil kemungkinan jika Aisyah radhiyallahu 'anha masih berusia 10 tahun, Nabi mengizinkannya mengikuti pasukan ke medan perang. Karenanya, berdasarkan bukti ini, Aisyah radhiyallahu 'anha sekurang-kurangnya berusia 15 atau 16 tahun saat mulai tinggal serumah dengan Nabi sebagai istri pada tahun 2 Hijriyah, dengan perkawinan yang terjadi tiga tahun sebelumnya.

**Aisyah ikut serta pula perang Tabuk**.

Pada saat perang Tabuk, perang melawan pasukan Romawi, yang terjadi pada bulan Rajab tahun 9 hijriah, Aisyah radhiyallahu ‘anha ikut serta pasukan kaum Muslimin bergerak menuju Tabuk. [Lihat pula: Shahih Bukhori No. 2467].

Perang terakhir yang dipimpin oleh Nabi . Perang Tabuk terjadi pada saat puncak-puncaknya terik matahari di musim panas. Sehingga membuat orang-orang munafik berkata: "Janganlah kalian keluar (pergi berperang) dalam panas terik ini". Sebagaimana yang Allah firmankan :

﴿فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَن يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنفِرُوا فِي الْحَرِّ ۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا ۚ لَّوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ﴾

Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata: "Janganlah kalian berangkat (pergi berperang) dalam panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka jahannam itu lebih sangat panas(nya)" jika mereka mengetahui. [QS. Tawbah: 81].

Sementara Jarak tempuh antar Madinah dan Tabuk sekitar 800 KM.

*****

ALASAN KE DELAPAN: **KEILMUAN DAN KECERDASAN AISYAH (RA) DI ATAS KEBANYAKAN PARA SAHABAT SENIOR :**

Aisyah radhiyallahu ‘anha memiliki keilmuan Islam dan kecerdasan yang pada masanya seorang pria dewasa pun belum tentu memilikinya .

Ada banyak hal dalam agama yang khusus untuk perempuan, atau yang berkaitan dengan hubungan pria dengan istrinya dan keluarganya, yang memerlukan seorang penghafal yang sadar agar dapat menyampaikan ilmu tersebut kepada orang lain, dan itulah yang terjadi pada dirinya, radhiyallahu 'anha.

Hal ini jelas terlihat dalam pernyataan Imam az-Zuhri:

"لَوْ جُمعَ عِلْمُ عَائِشَةَ إِلَى عِلْمِ جَمِيعِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ، وَعِلْمِ جَمِيعِ النِّسَاءِ لَكَانَ عِلْمُ عَائِشَةَ أَفْضَلَ"

"Seandainya ilmu Aisyah digabungkan dengan ilmu semua Ibu-Ibu orang beriman dan ilmu semua perempuan, maka ilmu Aisyah akan lebih unggul." [Baca : al-Ishobah oleh Ibnu Hajar 8/233 dan al-Manhal al-‘Adzeb al-Mawruud 1/72]

Dan Atha' bin Abi Rabah berkata:

«‌كَانَتْ ‌عَائِشَةُ، ‌أَفْقَهَ ‌النَّاسِ ‌وَأَعْلَمَ ‌النَّاسِ وَأَحْسَنَ النَّاسِ رَأْيًا فِي الْعَامَّةِ»

"Aisyah adalah orang yang paling faqih, paling berpengetahuan, dan paling baik pendapatnya di kalangan masyarakat umum." [Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/15 no. 7648 dan al-Lalaka'i dalam "Aqidah Ahlus Sunnah" (2762)].

Dari Urwah :

«مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَعْلَمَ بِالْحَلَالِ وَالْحَرَامِ وَالْعِلْمِ وَالشِّعْرِ وَالطِّبِّ مِنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ»

"Saya tidak pernah melihat seorang pun yang lebih mengetahui tentang halal dan haram, ilmu, puisi, dan kedokteran daripada Aisyah, Ummul Mukminin." [Diriwayatkan al-Hakim dlam al-Mutadrak 4/12 no. 6733].

Aisyah memiliki peran yang sangat penting dalam menyampaikan banyak hukum Islam dan hadits Nabi, hingga Al-Hakim dalam *Al-Mustadrak* berkata:

«إِنَّ رُبُعَ أَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ نُقِلَتْ عَنِ عَائِشَةَ»

'Seperempat hukum syariat diriwayatkan dari Aisyah.'

Para sahabat terkemuka sering bertanya kepadanya ketika mengalami kesulitan, sebagaimana Abu Musa Al-Asy'ari berkata :

«مَا أُشْكِلَ عَلَيْنَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ حَدِيثٌ قَطُّ فَسَأَلْنَا عَائِشَةَ إِلَّا وَجَدْنَا عِنْدَهَا مِنْهُ عِلْمًا»

'Tidak pernah terjadi kepada kami, para sahabat Rasulullah , suatu hadits yang sulit, kecuali ketika kami bertanya kepada Aisyah, kami pasti menemukan pengetahuan tentangnya darinya.' [*Jami' At-Tirmidzi*, Kitab Ad-Da'awat, Bab Fadhilah Aisyah radhiyallahu 'anha].

Pertanyaan-nya : di usia yang sangat dini ini, apakah mungkin ia mampu melakukan hal-hal seperti ini?

**CONTOHNYA :**

Contoh ke 1 : Dari Ibnu Syihab, bahwa Urwah bin Zubair menceritakan kepadanya : Bahwa Aisyah berkata: 

«أَلَا يُعْجِبُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ! جَاءَ فَجَلَسَ إِلَى جَانِبِ حُجْرَتِي، يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، يُسْمِعُنِي ذَلِكَ، وَكُنْتُ أُسَبِّحُ، فَقَامَ قَبْلَ أَنْ أَقْضِيَ سُبْحَتِي، وَلَوْ أَدْرَكْتُهُ لَرَدَدْتُ عَلَيْهِ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الحَدِيثَ كَسَرْدِكُمْ»

'Tidakkah engkau heran dengan Abu Hurairah! Ia datang lalu duduk di dekat kamarku, menyampaikan hafalan hadits dari Rasulullah dan membiarkan aku mendengarnya, sedangkan aku sedang subhah (shalat Dhuha). Lalu Ia pun pergi sebelum aku menyelesaikan shalat Dhuha-ku, dan seandainya aku sempat menemuinya, aku akan mengingatkan: Sesungguhnya Rasulullah tidak menyampaikan hadits seperti cara kalian menyampaikannya (dengan cepat).'"

(Tampaknya Aisyah mengkritik Abu Hurairah karena menyampaikan hafalan hadits dengan cepat).

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :

**مَعْنَى أُسَبِّحُ: أُصَلِّي نَافِلَةً، وَهِيَ السُّبْحَةُ، قِيلَ الْمُرَادُ هُنَا صَلَاةُ الضُّحَى.

"Makna 'usabbihu' adalah aku melaksanakan shalat sunnah, yaitu as-Subhah. Dan dikatakan bahwa yang dimaksud di sini adalah shalat Dhuha”. [Lihat *Fathul Bari*, 7/390].

Ibnu Hajar berkata:

«وَاعْتُذِرَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ بِأَنَّهُ كَانَ وَاسِعَ الرِّوَايَةِ كَثِيرَ الْمَحْفُوظِ فَكَانَ لَا يَتَمَكَّنُ مِنَ الْمَهَلِ عِنْدَ إِرَادَةِ التَّحْدِيثِ كَمَا قَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: أُرِيدُ أَنْ أَقْتَصِرَ فَتَتَزَاحَمُ الْقَوَافِي عَلَى فِيَّ»

“Apa yang terjadi dengan Abu Hurairah ini bisa dimaafkan; karena ia memiliki banyak riwayat dan hafalannya luas, sehingga ia tidak bisa melambatkan penyampaian hafalan hadits ketika hendak menyampaikan kepada Aisyah, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian para ahli balaghah: ‘Aku ingin meringkasnya, tetapi berbagai syair berdesakan di lidahku.'” ["Fath al-Bari": 7/390]

Contoh ke 2 : Pada kesempatan lain Aisyah memuji dan membenarkan Abu Hurairah. Di antaranya adalah ketika Abdullah bin Umar mendengar hadits dari Abu Hurairah yang berbunyi:

«مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ، كُلُّ قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ، وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الأَجْرِ مِثْلُ أُحُدٍ»

“Barang siapa yang keluar bersama jenazah dari rumahnya, kemudian shalat untuknya dan mengikutinya hingga dikuburkan, maka ia mendapatkan dua qirath pahala, setiap qirathnya sebesar gunung Uhud. Dan barang siapa yang shalat untuk jenazah kemudian kembali, maka ia mendapatkan pahala sebesar gunung Uhud.”

Maka Abdullah bin Umar mengirim Khabab kepada Aisyah untuk menanyakan pendapatnya tentang ucapan Abu Hurairah. Aisyah berkata kepada utusannya:

«صَدَقَ أبو هُرَيْرَةَ».

“Abu Hurairah benar.”

Maka Abdullah bin Umar memukul-mukul tanah dengan kerikil di tangannya dan berkata:

«لَقَدْ فَرَّطْنَا فِي قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ»

“Sungguh, kita telah banyak kehilangan qirath yang besar.”

[HR. Bukhori no. 47 dan Muslim no. 945].

Aisyah juga dikenal akan kefasihan dan kepiawaiannya dalam berbahasa".

[Baca pula : "Thabaqat Ibnu Sa'd": 2/118, "Al-Bidayah wan Nihayah": 8/107, "Fathul-Bari" 1/225, *Al-Ijabah li Iirad ma Istadrokat Aisyah 'ala Ashhabah*, hal. 135 dan Abdul Hamid Mahmoud Thohmaz, *Sayyidah Aisyah Ummul Mukminin dan Ilmuwan Wanita Islam*, Damaskus, 1994, halaman 174].

Contoh ke 3 : Diriwayatkan bahwa 'A'isyah (ra) berkata:

مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ وَهُوَ يَقُولُ { لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ } وَمَنْ حَدَّثَكَ أَنَّهُ يَعْلَمُ الْغَيْبَ فَقَدْ كَذَبَ وَهُوَ يَقُولُ لَا يَعْلَمُ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

"Barangsiapa menceritakan kepadamu bahwa Muhammad melihat Tuhannya berarti ia telah dusta, karena Allah berfirman: '(Ia tidak bisa diketahui oleh pandangan)' (Qs. Al An'am: 103). Dan barangsiapa menceritakan kepadamu bahwa ia tahu yang ghaib, berarti ia telah dusta, sebab Muhammad bersabda: 'Tidak ada yang tahu yang ghaib selain Allah'." (HR. al-Bukhaari, al-Tauhid, 6832). 

Riawayat lain: Dari [Masruq] dia berkata, "Ketika aku duduk bersandar di samping [Aisyah], maka dia berkata:

'Wahai Abu Aisyah (Masruq)! Ada tiga perkara, barangsiapa yang memperbincangkan salah satu darinya, berarti dia telah melakukan pembohongan yang amat besar terhadap Allah.'

Aku bertanya: 'Apakah tiga perkara itu? '

Aisyah menjawab: 'Pertama, barangsiapa mengklaim bahwa Muhammad melihat Tuhannya maka sungguh dia telah membesarkan kebohongannya terhadap Allah.'

Aku yang duduk bersandar dari tadi, maka aku mulai duduk dengan baik, lalu aku berkata:

'Wahai Ummul Mukminin! Berilah aku tempo, dan janganlah kamu membuatku terburu-buru, (dengarlah kata-kataku ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah berfirman:

{ وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ }

'(Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain) ' (Qs. Al Takwir: 23).

Dan Firman Allah lagi:

{ وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى }

'(Dan sungguh Muhammad telah melihat 'dia' dalam bentuk rupanya yang asal sekali lagi) ' (Qs. An Najm: 13).

Maka Aisyah menjawab:

"أَنَا أَوَّلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيلُ لَمْ أَرَهُ عَلَى صُورَتِهِ الَّتِي خُلِقَ عَلَيْهَا غَيْرَ هَاتَيْنِ الْمَرَّتَيْنِ رَأَيْتُهُ مُنْهَبِطًا مِنْ السَّمَاءِ سَادًّا عِظَمُ خَلْقِهِ مَا بَيْنَ السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ".

'Aku adalah orang yang pertama bertanya kepada Rasulullah mengenai perkara ini dari kalangan umat ini. Beliau telah menjawab dengan bersabda:

"Yang dimaksud 'dia' dalam ayat itu adalah Jibril (bukan Allah), aku tidak pernah melihat Jibril dalam bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia turun dari langit dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara lagit dan bumi.'

Kemudian Aisyah berkata lagi:

أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ { لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ } أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ {وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ }

'Apakah kamu tidak pernah mendengar bahwa Allah:

'(Dia tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat dan mengetahui hakikat segala penglihatan mata, dan Dialah Yang Maha Bersifat Lemah Lembut lagi Maha Mendalam pengetahuannya) ' (Qs. Al An'am: 103).

Atau, apakah kamu tidak pernah mendengar firman Allah:

'(Dan tidaklah layak bagi seorang manusia, bahwa Allah mengajaknya berbicara kecuali berupa wahyu (dengan diberi mimpi) atau dari balik dinding (dengan mendengar suara saja) atau dengan mengutuskan utusan (Malaikat), lalu utusan itu menyampaikan wahyu kepadanya dengan izin Allah sesuatu yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi, lagi Maha Bijaksana) '. (Qs. Asy Syura: 51).….. dst. [HR. Muslim No. 259].

Contoh ke 4 : Dari Abu Salamah bin Abdurrahman:

أَنَّ عَائِشَةَ لَمَّا تُوُفِّىَ سَعْدُ بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ قَالَتِ ادْخُلُوا بِهِ الْمَسْجِدَ حَتَّى أُصَلِّىَ عَلَيْهِ. فَأُنْكِرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا فَقَالَتْ وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَى ابْنَىْ بَيْضَاءَ فِى الْمَسْجِدِ سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ. قَالَ مُسْلِمٌ: سُهَيْلُ بْنُ دَعْدٍ وَهُوَ ابْنُ الْبَيْضَاءِ أُمُّهُ بَيْضَاءُ.

Bahwa ketika Sa’d bin Abu Waqash meninggal, Aisyah berkata: “Masukkanlah ia ke dalam masjid hingga aku bisa menshalatkannya”.

Namun mereka tidak menyetujuinya, maka ia 'Aisyah (ra) pun berkata:

“Demi Allah, sungguh Rasulullah telah menshalatkan jenazah dua orang putra Baidla` di dalam masjid, yaitu Suhail dan saudaranya.” Muslim berkata; “Suhail bin Da’d adalah Ibnul Baidla`, dan ibunya adalah Baidla". (HR Muslim no. 1617).

ORANG YANG PALING DI CINTAI RASULULLAH  :

Dari ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhu:

أنَّ النَّبيَّ ﷺ بَعَثَهُ علَى جَيْشِ ذَاتِ السَّلَاسِلِ، فأتَيْتُهُ فَقُلتُ: أيُّ النَّاسِ أحَبُّ إلَيْكَ؟ قَالَ: عَائِشَةُ، فَقُلتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ فَقَالَ: أبُوهَا، قُلتُ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ، فَعَدَّ رِجَالًا.

Bahwa Nabi  mengutusnya pada pasukan yang disebut dengan "Jais Dzatu as-Salasil." Kemudian aku datang kepadanya dan bertanya, "Siapa orang yang paling kau cintai?"

Beliau menjawab, "Aisyah."

Aku bertanya, "Dan siapa di antara laki-laki?" Beliau menjawab, "Ayahnya."

Aku bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Kemudian Umar bin Khattab."

Lalu beliau menyebutkan beberapa orang laki-laki lainnya. [HR. Bukhori no. 3662]

Inilah Siti Aisyah radhiyallahu 'anha, istri tercinta Nabi  dan orang yang paling dicintainya. Pernikahannya dengan Aisyah bukan semata-mata karena nafsu, dan motivasi pernikahan itu bukanlah sekadar kenikmatan pasangan, melainkan tujuannya adalah untuk menghormati Abu Bakar, mengutamakannya, mendekatkannya, dan menempatkan putrinya di posisi terhormat di rumah kenabian.

Aisyah radhiyallahu 'anha berada pada usia di mana seseorang memiliki pikiran yang lebih tenang dan lebih siap untuk menerima ilmu. Para istri Rasulullah  kebanyakan lebih tua, dan tidak diragukan lagi bahwa belajar di usia dini ibarat mengukir di atas batu.

Dari Abu Musa radliallahu 'anhu berkata; Rasulullah  bersabda:

وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ

Keistimewaan 'Aisyah radliallahu 'anhu dibandingkan wanita-wanita lain adalah bagaikan keistimewaan makanan "tsarid" terhadap makanan yang lain". [HR. Bukhori no. 3159]

(Tsarid adalah sejenis makanan yang terbuat dari daging dan roti yang dibuat bubur dan berkuah).

*****

ALASAN KE SEMBILAN : SAAT ITU AISYAH (RA) ADALAH GADIS REMAJA, BUKAN BOCIL.

Menurut sebuah riwayat dari Ahmad bin Hanbal, ketika Khadijah telah wafat, Khawlah datang kepada Nabi dan menyarankannya untuk menikah lagi. Ketika Nabi menanyakan siapa yang ia usulkan sebagai calon istri, Khawlah menjawab :

إِنْ ‌شِئْتَ ‌بِكْرًا، ‌وَإِنْ ‌شِئْتَ ‌ثَيِّبًا؟

قَالَ: " فَمَنِ الْبِكْرُ؟ " قَالَتْ: ابْنَةُ أَحَبِّ خَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْكَ عَائِشَةُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ،

قَالَ: " وَمَنِ الثَّيِّبُ؟ " قَالَتْ: سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ

"Jika engkau mau, (aku usulkan) seorang gadis, dan jika engkau mau, seorang janda."

Nabi bertanya, "Siapakah gadis itu?"

Khawlah menjawab : "Putri dari orang yang paling engkau cintai di antara makhluk Allah, yaitu Aisyah binti Abu Bakar."

Beliau bertanya lagi, "Dan siapakah janda itu?" Khawlah menjawab, "Saudah binti Zam'ah."

[HR. Ahmad 42/501 no. 25769. Di nilai hasan oleh Syu’aib al-Arna’uth].

Semua orang yang memahami bahasa Arab tahu bahwa kata "bikr" tidak digunakan untuk anak perempuan berusia sembilan tahun; istilah yang tepat untuk usia tersebut adalah "jariyah." Sementara itu, kata "bikr" merujuk pada seorang perempuan muda atau gadis remaja yang belum pernah menikah sebelumnya, mirip dengan pengertian "virgin" dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, anak berusia sembilan tahun bukanlah gadis yang bisa disebut "bikr" (*Musnad Ahmad bin Hanbal*, 42/501 no. 25769).

Kesimpulan: Makna harfiah dari kata "bikr" dalam hadits tersebut adalah :

"اِمْرَأَةٌ بَالِغَةٌ لَيْسَتْ لَهَا تَجْرِبَةٌ جِنْسِيَّةٌ قَبْلَ الزَّوَاجِ"

"seorang perempuan dewasa yang belum memiliki pengalaman seksual sebelum pernikahan."

Maka, Aisyah adalah perempuan dewasa pada hari pernikahannya.

Baca artikel هَلْ تَزَوَّجَتْ عَائِشَةُ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ وَهِيَ بِنْتُ السَّادِسَةِ؟ karya T.A. Shanavas, diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Dr. Khalid As-Saaqi

****

**ALASAN KE SEPULUH : TIDAK ADA SAHABAT YANG MENAWARKAN ANAK PEREMPUAN DIBAWAH UMUR KEPADA NABI :

Jika benar Rasulullah menikahi Aisyah radhiyallahu 'anha di usia 6 tahun, lalu kenapa setelah itu tidak pernah ada seorang sahabat pun yang menawarkan anaknya yang dibawah umur kepada Nabi untuk dinikahinya . Pada kenyataannya para sahabat yang memiliki anak perempuan, mereka membiarkannya tumbuh dewasa, setelah itu mereka menikahkannya dengan siapapun karena menunggu hingga mereka benar-benar yakin bahwa Rasulullah tidak menunjukkan keinginan untuk menikahi anak gadis mereka.

Ini menunjukkan bahwa pernikahan beliau dengan Aisyah radhiyallahu 'anha bukan diusia kanak-kanak, melainkan setelah benar-benar dewasa.  

Al-Imam al-Baihaqi dalam kitabnya “شُعَبُ الإِيمَانِ” No. 1446 meriwayatkan dengan sanadnya dari dari Abu Barzah al-Aslamii radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :

كَانَ أَصْحَابُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ لِأَحَدِهِمْ أَيِّمٌ لَمْ يُزَوِّجْهَا حَتَّى يَعْلَمَ أَلِرَسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا حَاجَةٌ أَمْ لَا؟.

“Dulu para sahabat Nabi jika salah satu diantara mereka memiliki anak perempuan dewasa, tidak akan menikahkannya sampai dia tahu betul apakah Nabi menginginkannya atau tidak?”.

[HR. Al-Baihaqi dalam “شُعَبُ الإِيمَانِno. 1446. Hadits ini di riwayatkan pula oleh : Imam Ahmad no. 19417 , 19423 & 19446 , Imam Muslim no. 2472 , Ibnu Hibbaan No. 4111 , an-Nasaa’i dalam “السُّنَنُ الكُبْرَى no. 7016 , ath-Thoyaalisi dalam al-Musnad no. 955 , Ibnu Abi ‘Aaashim dalam “الأٓحَادُ وَالمَثَانِي no. 2088 , al-Bazzaar No. 3254 & 3267 , al-Baihaqi dalam “السُّنَنُ الكُبْرَى  no. 6463 , Abu Nu’aim al-Ashbahaani dalam “مَعْرِفَةُ الصَّحَابَةِ no. 1602 , Ar-Ruuyaani dalam Musnadnya no. 1300 dan al-Haafidz Ibnu Hajar dalam "المطَالبُ العَالية" No. 1627]

Hadits ini di Shahihkan oleh Syeikh al-Albaani dalam “أَحْكَامُ الجَنَائِزِ hal. 73 .

Dan Syu’aib al-Arna’uuth berkata dalam “تَعْلِيقُ شُعَبِ الإِيمَانِ :

إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ إِبْرَاهِيمُ بْنُ الحَجَّاجِ: ثِقَةٌ رَوَى لَهُ النَّسَائِيُّ، وَبَاقِي رِجَالِهِ عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ.

Sanadnya Shahih . Ibrahim bin al-Hajjaaj itu Tsiqoh , dan sisa para perawinya sesuai dengan syarat Imam Muslim “.  

Makna “al-Aimu”:

الْأَيْمٌ: قَدْ تُطْلَقُ الأَيْمُ عَلَى كُلِّ امْرَأَةٍ لَا زَوْجَ لَهَا بَكْرًا كَانَتْ أَمْ ثَيِّبًا.

 "al-Aim": Istilah "aim" dapat digunakan untuk **setiap wanita yang tidak memiliki suami, baik dia seorang perawan maupun janda**.

---

Dan apa arti kata "aim" dan "ayaamaa"? Kepada siapa perintah dalam firman Allah Ta'ala :

"وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ"

"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih single di antara kalian" [an-Nur : 32] ditujukan?

Jawabnya :

إِنَّ مَعْنَى كَلِمَةِ "أَيِّمٍ" هُوَ "عَزَبٌ" رَجُلًا كَانَ أَمْ امْرَأَةً، سَوَاءٌ تَزَوَّجَ مِنْ قَبْلُ أَمْ لَمْ يَتَزَوَّجْ، يُقَالُ رَجُلٌ أَيِّمٌ أَي لَا لَهُ زَوْجٌ، وَامْرَأَةٌ أَيِّمٌ أَي لَا لَهَا زَوْجٌ، بَكْرًا كَانَتْ أَمْ ثَيِّبًا، وَالْجَمْعُ "أَيَامَىٰ"

وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى "وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ"

أَي الَّذِينَ لَا أَزْوَاجَ لَهُمْ مِنَ الْجِنْسَيْنِ يَجِبُ تَزْوِيجُهُمْ وَيَتَعَيَّنُ إِعَانَةُ الرَّاغِبِينَ مِنْهُمْ فِي الزَّوَاجِ، وَالْأَمْرُ هُنَا لِلْجَمَاعَةِ الْمُسْلِمَةِ.

Makna kata "aim" adalah "jomblo", baik pria maupun wanita, apakah mereka sudah pernah menikah sebelumnya atau belum. Dikatakan seorang pria adalah "aim" jika ia tidak memiliki istri, dan seorang wanita adalah "aim" jika ia tidak memiliki suami, baik itu seorang perawan maupun seorang janda. Jamaknya adalah "ayami".

Dan dari firman-Nya Ta'ala "Dan nikahkanlah orang-orang yang masih single di antara kalian," yang dimaksud adalah mereka yang tidak memiliki pasangan dari kedua jenis kelamin, yang mana mereka harus dinikahkan dan dibantu untuk menikah, dan perintah ini ditujukan kepada komunitas Muslim.

**ALASAN KE SEBELAS : AL-QUR’AN ADALAH KITAB PETUNJUK DAN HIDAYAH**

Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur'an adalah kitab petunjuk dan hidayah, sehingga kita harus mengambil petunjuk darinya untuk menghilangkan kerancuan yang ditimbulkan oleh pandangan ulama klasik terkait usia pernikahan Aisyah. Apakah hingga harus mengatakan bahwa Al-Qur'an mengizinkan pernikahan dengan anak perempuan di usia tujuh tahun?

Tidak ada satu ayat pun yang membolehkan pernikahan seperti itu. Bahkan, ada ayat yang menunjukkan cara membina anak yatim, yang juga bisa menjadi panduan dalam mendidik anak-anak kita. Ayat tersebut berbunyi:

﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا ﴾

“Dan janganlah kalian serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan kalian) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan...” (An-Nisa': 5-6).

Jika ayah dari seorang anak yatim meninggal, maka seorang Muslim memiliki kewajiban untuk: 1) memberi makan anak yatim, 2) memberinya pakaian, 3) mendidiknya, dan 4) mengujinya “hingga betul-betul terbukti kecerdasan akalnya dan kedewasaannya.”

Allah SWT berfirman :

﴿وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَن يَكْبَرُوا ۚ وَمَن كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا﴾

Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). [QS. Nisa: 6]

Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an memerintahkan kita untuk memastikan kemampuan mental dan fisik anak yatim melalui ujian yang obyektif sebelum usia dewasa agar ia mampu mengelola hartanya sendiri.

Berdasarkan ayat ini, tidak mungkin seorang Muslim yang bertanggung jawab akan mempercayakan anak usia tujuh atau sembilan tahun untuk mengelola harta. Jika seorang anak pada usia tersebut belum mampu mengurus hartanya, bagaimana mungkin ia diharapkan memiliki kemampuan mental dan fisik untuk menikah?

Ahmad bin Hanbal dalam *Musnad* (6/ 33 dan 99), menyebutkan : “bahwa Aisyah lebih tertarik bermain daripada mengurusi urusan pernikahan”, sehingga sulit membayangkan Rasulullah menikahinya saat ia berusia 6 tahun dan Rasulullah berusia 50 tahun. Sulit pula membayangkan Rasulullah mau menikahi seorang anak berusia 6 tahun.

Seorang wali juga memiliki kewajiban untuk mendidik anak-anaknya. Kita bisa bertanya, "Berapa banyak dari kita yang berpikir bahwa bisa menyelesaikan pendidikan anak sebelum usia 7 atau 9 tahun?"

 Jawabannya adalah “Tidak ada.” Secara logis, mustahil mendidik anak sepenuhnya sebelum usia 7 tahun. Maka, bagaimana kita bisa percaya bahwa pendidikan Aisyah telah selesai di usia yang diklaim saat pernikahannya?

Abu Bakar adalah seorang yang sangat bijaksana. Maka, tidak diragukan lagi ia tidak akan menikahkan Aisyah kepada siapa pun sebelum ia mencapai tingkat pendidikan yang ditetapkan oleh Al-Qur'an. Seandainya Rasulullah atau Abu Bakar ditawari untuk menikahi seorang gadis yang belum cukup dalam pendidikannya, mereka akan menolak tanpa ragu karena mereka tidak akan menentang ketentuan Al-Qur'an.

**Kesimpulan:**

Menikahkan Aisyah pada usia 6 tahun bertentangan dengan hukum kedewasaan yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Maka dari itu, pernikahan Aisyah pada usia tujuh tahun hanyalah sebuah mitos.

*****

**ALASAN KE DUA BELAS : PERSETUJUAN DARI CALON ISTRI DALAM PERNIKAHAN:**

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda :

«لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ»

"Tidak boleh menikahkan seorang janda sampai ia dimintai persetujuan, dan tidak boleh menikahkan seorang gadis sampai ia dimintai izin." [Muttafaqun ‘alaihi].

"Dan dari Khansa binti Khidham radhiyallahu ‘anha :

أَنْ أَبَاهَا زَوَّجَهَا وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَرَدَّ نِكَاحَهَا

“Bahwa ayahnya menikahkannya, sedangkan ia adalah seorang janda, namun ia tidak menyukai pernikahan itu. Maka ia mendatangi Rasulullah , lalu beliau membatalkan pernikahannya." [HR. Bukhori no. 5138]

Dari sudut pandang Islam, persetujuan yang jelas dari pihak perempuan adalah syarat sahnya sebuah pernikahan. Dalam pandangan siapa pun, izin seorang anak berusia 6 tahun sama sekali tidak layak dianggap sebagai persetujuan yang sah untuk menikah.

Sulit pula dibayangkan bahwa Abu Bakar, seorang yang bijak, akan menganggap serius izin dari anak perempuannya yang masih berusia 6 tahun untuk menikah dengan seorang pria berusia 50 tahun. Juga, tidak mungkin Rasulullah akan menerima izin dari seorang anak yang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Muslim, masih membawa mainannya saat hendak tinggal bersama Rasulullah di rumahnya.

**Kesimpulan:**

Rasulullah tidak menikahi Aisyah pada usia 6 tahun, karena hal itu bertentangan dengan ketentuan izin dalam hukum Islam tentang pernikahan. Rasulullah menikahi Aisyah ketika ia sudah dewasa, baik secara mental maupun fisik.

**RINGKASAN:**

Tidak lazim bagi orang Arab untuk menikahkan anak perempuan mereka pada usia 6 tahun, dan Rasulullah juga tidak menikahi Aisyah pada usia tersebut. Orang-orang di Jazirah Arab tidak pernah memprotes pernikahan tersebut karena pernikahan seperti yang disebutkan dalam riwayat tidak pernah terjadi.

Riwayat dari Hisyam bin Urwah tentang pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun tidak dapat dianggap benar, mengingat terdapat sejumlah riwayat yang bertentangan. Selain itu, tidak ada alasan sama sekali untuk menerima riwayat Hisyam bin Urwah saat sejumlah ulama, seperti Malik bin Anas, menolak riwayat-riwayatnya ketika ia berada di Irak.

Pendapat ath-Thabari, al-Bukhari, dan Muslim pun saling bertentangan dalam hal usia Aisyah. Bahkan beberapa ulama tersebut memiliki kontradiksi dalam riwayat mereka sendiri.

Dengan demikian, riwayat tentang usia Aisyah saat menikah tidak dapat dianggap sahih karena adanya kontradiksi dalam riwayat yang ditemukan di kalangan ulama Islam terdahulu. Oleh karena itu, tidak ada alasan sama sekali untuk mempercayai pernikahan Aisyah pada usia dini dan masih bocil, sementara ada alasan yang masuk akal untuk menolaknya sebagai mitos. Selain itu, Al-Qur'an melarang pernikahan anak perempuan dan laki-laki yang belum dewasa serta melarang membebani mereka dengan tanggung jawab.

Wallaahu a’lam.

*****

PARA ULAMA KONTEMPORER YANG MENYATAKAN : DI USIA 16 TAHUN, AISYAH (RA) MENIKAH.

Di sini saya akan menyebutkan baberapa artikel dari beberapa ulama yang meragukkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha menikah di usia 6 tahun, lalu dari hasil penelitiannya mereka menetapkan usianya diatas 15 tahun saat menikah dengan Rasulullah .

=====

PERTAMA : PROF. DR. MUHAMMAD AL-ADHAMI.

Profesor Dr. Muhammad Mudhafar Al-Adhami, Ketua Komite Kebudayaan, Media, dan Seni Forum Irak untuk Elite dan Profesional.:

عَائِشَةُ هِيَ بِنْتُ الْخَلِيفَةِ الْأَوَّلِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ التَّيْمِيَّةِ الْقُرَشِيَّةِ، ثَالِثُ زَوْجَاتِ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ ﷺ. وَقَدْ تَزَوَّجَهَا بَعْدَ غَزْوَةِ بَدْرٍ فِي شَوَّالَ سَنَةِ 2 هـ وَكَانَ عُمْرُهَا سِتَّةَ عَشَرَ عَامًا.

إنَّ الْأَبْحَاثَ الْمُعَاصِرَةَ تُشَكِّكُ فِي صِحَّةِ مَا قِيلَ عَنْ تَارِيخِ مَوْلِدِ عَائِشَةَ، وَذَلِكَ اسْتِنَادًا إِلَى عُمُرِ أُخْتِهَا أَسْمَاءَ الَّتِي كَانَتْ تَكْبُرُهَا بِبِضْعَ عَشَرَةَ سَنَةً، وَقَدْ مَاتَتْ أَسْمَاءُ سَنَةَ 73 هـ، عَنْ عُمْرٍ نَاهَزَ مِئَةَ سَنَةٍ، وَيَقُولُ ابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلَانِيُّ أَنَّ أَبَا نُعَيْمٍ الْأَصْبَهَانِيَّ قَالَ بِأَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ وُلِدَتْ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً، وَ(البِضْعُ) فِي اللُّغَةِ تَصِلُ إِلَى التِّسْعَةِ فِي التَّعْدَادِ، فَيَكُونُ عُمْرُ عَائِشَةَ وَقْتَ زَوَاجِهَا بِالنَّبِيِّ مُحَمَّدٍ ﷺ سِتَّةَ عَشَرَ سَنَةً.

Aisyah adalah putri khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq At-Taimiyyah Al-Qurasyiyah, istri ketiga Nabi Muhammad . Beliau menikahinya setelah Perang Badar pada bulan Syawal tahun 2 H, saat usianya enam belas tahun.

Penelitian kontemporer meragukan keakuratan informasi mengenai tanggal lahir Aisyah, berdasarkan usia kakaknya, Asma, yang lebih tua darinya dengan belasan tahun. Asma meninggal pada tahun 73 H, dengan usia hampir seratus tahun. Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa Abu Nu'aim Al-Ashbahani menyatakan bahwa Asma binti Abu Bakar lahir tujuh puluh tahun sebelum hijrah. Dalam bahasa, (bidh'u) dapat berarti sampai sembilan dalam hitungan. Maka, usia Aisyah saat menikah dengan Nabi Muhammad adalah enam belas tahun.

====

KEDUA : DR. SUHAILA HAMMAD :

Surat kabar *Asy-Syarq Al-Awsath* yang berbasis di London memposting berita pada hari Sabtu, 6 September 2008, bahwa seorang peneliti dan sejarawan wanita asal Saudi Arabia sedang meneliti kebenaran informasi yang menunjukkan bahwa Rasulullah -- tidak menikahi Aisyah ketika beliau masih berusia sembilan tahun.

Anggota Komite Studi dan Konsultasi di Asosiasi Nasional Hak Asasi Manusia, Dr. Suhaila Zainal Abidin Hammad, mengatakan :

“Sesungguhnya logika dan perhitungan bijak umur Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq, dibandingkan dengan usia kakaknya, Asma, yang lebih tua sepuluh tahun darinya, serta perbandingan sejumlah peristiwa dan waktu hijrahnya Rasulullah --, cenderung menunjukkan bahwa pernikahan Aisyah terjadi ketika dia berusia sembilan belas tahun”.

Dr. Suhaila Hammad menegaskan bahwa dirinya sedang dalam proses untuk memverifikasi hal tersebut dan berusaha menghasilkan temuan yang terdokumentasi, mengingat dia adalah seorang sejarawan dan peneliti dalam bidang keislaman.

Selain itu, Dr. Suhaila Hammad, yang juga anggota Persatuan Ulama Muslim Internasional, menunjukkan bahwa terlepas dari pendapat mengenai pernikahan Rasulullah -- dengan Aisyah ketika beliau masih kecil atau pandangan yang menentangnya, penting untuk mempertimbangkan perubahan kondisi zaman, serta perbedaan standar pernikahan dan respons terhadap keinginan manusia di berbagai era.

Dia berkata :

 “Saya mencoba berpikir dengan keras untuk menelusuri usia Ummul Mukminin Aisyah, rahimahallah, melalui pendekatan sejarah yang terlepas dari kabut sejarah yang dipenuhi oleh orang-orang tanpa akal yang menyebarkan klaim bahwa Nabi, ketika berusia 25 tahun, menikah dengan seseorang yang lebih tua 15 tahun darinya, dan ketika beliau berusia 53 tahun, menikahi seseorang yang 44 tahun lebih muda darinya”.

**Tentang orang-orang yang meminang Aisyah:**

Para sejarawan menyebut bahwa Aisyah sebelumnya telah dilamar oleh (Jubair bin) Muth’im bin Adiy sebelum dilamar oleh Rasulullah.

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah: Kapan (Muth’im bin ) Adiy melamar Aisyah untuk putranya, (Jubair bin) Muth’im? Sumber-sumber sejarah tidak memberikan keterangan!”

**Tentang pinangan terhadap Aisyah:**

Kemungkinan pertama : adalah bahwa ia dilamar setelah masa kenabian.

Namun hal ini dianggap tidak mungkin mengingat permusuhan yang sangat kuat dari kaum kafir terhadap risalah Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, terutama mengingat bahwa Aisyah adalah putri Abu Bakar, sahabat dekat Rasulullah dan salah satu orang pertama yang menerima Islam. Jadi, kemungkinan besar Adiy tidak akan melamar Aisyah untuk putranya setelah Abu Bakar memeluk Islam.

Kemungkinan kedua : adalah bahwa ia dilamar sebelum masa kenabian.

Ini merupakan kemungkinan yang lebih kuat. Namun, ini menimbulkan pertanyaan penting:

Berapa usia Aisyah saat itu sebelum kenabian? Setahun? Dua tahun? Lima? Sepuluh?

Sejarah tetap diam, seperti sebelumnya”.

**Maka, mari kita beralih ke beberapa hipotesis: Tentang Aisyah saat dilamar:**

- Hipotesis pertama:

(Muth’im bin) Adiy melamar Aisyah untuk putranya, (Jubair bin) Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar 15 tahun. Berdasarkan hipotesis ini, maka usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 28 tahun, mengingat Nabi menikahinya setelah hijrah ke Yatsrib dan beliau tinggal di Mekah selama 13 tahun dalam periode dakwah sebelum hijrah.

- Hipotesis kedua:

[Muth’im bin] Adiy melamar Aisyah untuk putranya, [Jubair bin] Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar 10 tahun. Berdasarkan hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 23 tahun.

- Hipotesis ketiga:

[Muth’im bin] Adiy melamar Aisyah untuk putranya, [Jubair bin] Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar 5 tahun. Berdasarkan hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 18 tahun.

- Hipotesis keempat:

[Muth’im bin] Adiy melamar Aisyah untuk putranya, [Jubair bin] Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah baru 1 tahun saja - meskipun ini tentu saja tidak mungkin, namun mari kita anggap demikian-, maka berdasarkan hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan Rasulullah adalah 14 tahun, yang berarti 5 tahun lebih tua dari usia yang banyak disebutkan”.

**Kedua:**

Menurut saya, Rasulullah tidak akan menikahi seorang gadis yang usianya sama dengan atau lebih muda dari putrinya. Jika kita mengetahui bahwa Fathimah, 'alaihas-salam, lahir lima tahun sebelum masa kenabian, maka kita tahu bahwa usianya setelah hijrah menjadi 18 tahun. Oleh karena itu, saya lebih cenderung berpendapat bahwa usia Aisyah lebih tua dari Fathimah, dan saya lebih memilih salah satu dari dua hipotesis: pertama, 28 tahun, atau kedua, 23 tahun. Dia lebih tua 10 tahun dari saudara perempuannya, Asma binti Abu Bakar.

Dengan demikian, usia Aisyah sebelum masa kenabian diperkirakan setidaknya sekitar lima tahun. Kemungkinan besar, pernyataan dalam riwayat yang mengatakan bahwa dia berusia enam tahun ketika dilamar oleh Rasulullah adalah kesalahan dari perawi. Mungkin yang dimaksud adalah dia berusia enam tahun ketika Nabi diutus sebagai rasul. Jika kita menambahkan usia Aisyah sekitar 5-6 tahun pada saat kenabian dengan 13 tahun periode dakwah di Mekah, maka hasilnya adalah 18-19 tahun, yang merupakan usianya di Madinah setelah hijrah. Karena Fathimah berusia 18 tahun pada saat itu, kita dapat mengatakan bahwa usia perkiraan Aisyah saat menikah tidak kurang dari 19 tahun, yang merupakan usia minimumnya berdasarkan analisis dari sumber-sumber yang ada”.

Sebagian para ulama kadang-kadang mengatakan:

"Berkenaan dengan hal ini, saya selalu menyatakan bahwa para pengumpul hadits adalah ilmuwan yang cerdas, tulus, dan sangat mencintai agama serta Nabi mereka.

Namun, ini tidak berarti bahwa mereka terhindar dari kesalahan, kelupaan, dan kekeliruan. Mereka memang cerdas, tetapi mereka tetap manusia biasa. Saya juga mengatakan bahwa mereka mirip dengan para nelayan yang melemparkan jaring mereka ke laut untuk menangkap ikan, namun jaring tersebut, meskipun sekuat apa pun, mungkin masih dapat menyisakan beberapa ikan kecil seperti basaraya.

Namun, ini tidak berarti kita harus menyerang buku-buku hadits dan para penulisnya serta meragukan mereka secara keseluruhan, sebagaimana yang diinginkan oleh beberapa orang yang ingin merusak. Jika kita melakukan itu, kita akan memenuhi keinginan mereka dan menghancurkan bagian berharga dan penting dari warisan kita yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan ilmiah dan religius kita.

Perlu dicatat : bahwa jurnalis muda yang memperhatikan apa yang dia anggap sebagai kesalahan dalam beberapa kitab hadits telah menggunakan buku-buku tersebut dalam penyelidikannya, yang menunjukkan betapa pentingnya kitab-kitab tersebut dan nilainya yang tak ternilai.

Keyakinan pada kemaksuman para perawi hadits adalah setara dengan menempatkan mereka pada posisi kenabian, yang tidak dibenarkan. Meskipun kitab-kitab mereka menunjukkan usaha, kesungguhan, dan ketelitian yang besar, mereka tetap tidak dapat dibandingkan dengan Al-Qur'an yang mulia ([1])."

====

KETIGA : DR. SYAUQI :

Dalam bukunya *Muhammad Khatam al-Mursalin*, Dr. Shauqi Dhaif menulis bahwa ketika Nabi menikahi Aisyah, usianya adalah 18 atau 20 tahun, berdasarkan beberapa bukti yang juga digunakan oleh jurnalis muda kita (lihat hal. 171 dari cetakan Dar al-Ma'arif). Sedangkan Abbas al-Aqqad memperkirakan usianya saat itu antara 12 hingga 15 tahun (lihat bukunya *Al-Siddiqah Bint Al-Siddiq*, Nahdat Misr, 2004, hal. 48).

Bagaimanapun juga, perilaku Aisyah di rumah Nabi, menurut berbagai riwayat yang ada, menunjukkan bahwa dia adalah seorang istri yang benar-benar dewasa, bukan gadis muda yang tidak tahu di rumah siapa dia tinggal atau dengan siapa dia menikah. Selain itu, Aisyah sangat bahagia dengan pernikahannya dengan Nabi , menganggapnya sebagai suatu kehormatan besar. Dia mencintai Nabi dengan sangat mendalam dan sangat cemburu kepadanya. Ada banyak hadits yang menggambarkan betapa besar cinta dan kecemburuannya, yang menunjukkan betapa mendalamnya cinta itu tertanam dalam dirinya.

Ketika Nabi menawarkan kepadanya pilihan untuk tetap bersamanya dalam kehidupan sederhana atau kembali ke rumah orang tuanya, dan memintanya untuk berkonsultasi dengan keluarganya, Aisyah dengan tegas menolak opsi itu, seperti yang kita semua ketahui. Selain itu, Aisyah dan istri-istri Nabi lainnya dengan sukarela, penuh iman, cinta, dan penghormatan, mematuhi perintah Al-Qur'an yang melarang mereka menikah lagi setelah wafatnya Nabi .

Lalu, apa tujuan dari memunculkan keraguan terhadap pernikahan yang dilandasi cinta dan kebahagiaan ini?

**Keraguan Mengenai Usia Pernikahan Sayyidah Aisyah:**

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa Aisyah sudah dilamar oleh seorang pria dari Mekah sebelum Nabi melamarnya, yang menunjukkan bahwa pada saat itu dia sudah berada pada usia yang dianggap layak untuk dilamar dan dinikahi, setidaknya menurut standar masyarakat Mekah saat itu. Mengapa para misionaris yang bodoh itu tidak meragukan lamaran tersebut dan hanya memusatkan kebencian mereka kepada Nabi , serta berusaha menimbulkan keraguan palsu terkait lamaran Nabi kepadanya? Selain itu, orang yang menawarkan Aisyah kepada Nabi adalah seorang wanita dari Mekah juga, artinya Nabi tidak memikirkannya terlebih dahulu, dan bukan seorang pria yang mengusulkannya kepadanya. Tidakkah ini menunjukkan bahwa, bahkan menurut pandangan sesama perempuan, Aisyah sudah mencapai usia yang pantas untuk menikah?

Selain itu, kita tidak pernah mendengar dari Abu Bakar atau Ummu Ruman bahwa Aisyah masih terlalu kecil untuk menikah. Ini menguatkan pernyataan kami bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha sudah cukup dewasa untuk menikah, setidaknya menurut standar masyarakat dan zaman itu. Ini juga membantah semua argumen yang diajukan oleh para misionaris dan mereka yang mengikuti jejak mereka, yang sayangnya menggunakan nama-nama Islami.

**Poin Lain:**

Maryam alaihassalam, ketika dijodohkan dengan Yusuf al-Najjar, berusia 12 tahun, sedangkan Yusuf adalah seorang pria tua yang sudah berusia lebih dari lima puluh tahun, berdasarkan beberapa riwayat yang berkaitan dengan masalah ini.

Apakah kita akan menggunakan fakta ini sebagai alasan untuk menimbulkan keraguan yang menghina derajatnya yang mulia? ([2]).

===*****===

PENDAPAT KEDUA :
DI USIA 6 TAHUN, AISYAH (RA) MENIKAH DENGAN NABI DAN DI USIA 9 TAHUN MENJALIN KEHIDUPAN RUMAH TANGGA :

Sebagaimana yan disebutkan dalam pendahuluan bahwa di usia 6 tahun Aisyah radhiyallahu 'anha dinikahkan dengan Rasulullah dan 9 tahun saat mulai menjalani kehidupan rumah tangga - telah dianggap sebagai data historis yang final dan memiliki kredibilitas tinggi oleh berbagai kalangan para ulama dan sejarawan Islam selama berabad-abad.

Al-Hafidz Ibnu Katsir menegaskan bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini dengan ucapannya:

“تَزَوَّجَهَا وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ ابْنَةُ تِسْعٍ، مَا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَاتِ وَغَيْرِهَا، وَكَانَ بِنَاؤُهُ بِهَا -عَلَيْهِ السَّلَامُ- فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ.”

"Beliau menikahinya ketika Aisyah berusia enam tahun, dan hidup bersama dengannya (membangun rumah tangga) ketika ia berusia sembilan tahun, yang tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang, dan hal ini telah terbukti dalam kitab-kitab sahih dan lainnya. Dan hidup bersama dengannya (membangun rumah tangga) terjadi pada tahun kedua hijrah ke Madinah." [al-Bidayah wa al-Nihayah (3/131)]

Para ahli yang menulis biografi Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir, yang juga sesuai dengan riwayat-riwayat sahih yang diriwayatkan oleh para imam dalam kitab sahih, sunan, musnad, dan mu’jam. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal usia Aisyah saat dinikahi, apakah enam atau tujuh tahun.

Ibnu Abdil Barr dalam *Al-Isti’ab*, setelah menyebutkan bahwa Aisyah dinikahi saat berusia enam atau tujuh tahun dan mulai hidup bersama Rasulullah pada usia sembilan tahun, mengatakan :

"لَا أَعْلَمُهُمْ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ"

"Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini."

Lihat *Al-Ishabah* dengan *Al-Isti’ab* dalam catatannya [4/346], *Tarikh At-Tabari* [2/9], *Wafayat Al-A’yan* karya Ibnu Khallikan [3/16], dan *Siyar A'lam An-Nubala* karya Adz-Dzahabi [2/148], serta *Zad Al-Ma'ad* karya Ibnu Qayyim [1/103].

Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam *Fath Al-Bari* [7/107] menyebutkan :

"كَانَ مَوْلِدُهَا فِي الْإِسْلَامِ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِثَمَانِ سِنِينَ أَوْ نَحْوِهَا، وَمَاتَ النَّبِيُّ ﷺ وَلَهَا نَحْوُ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ عَامًا" اهـ. 

"Ia (Aisyah) lahir pada masa Islam, delapan tahun atau sekitar itu sebelum hijrah, dan Rasulullah wafat saat usianya sekitar delapan belas tahun."

Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam *Al-Ishabah* [4/348] juga berkata :

"وُلِدَتْ بَعْدَ الْمَبْعَثِ بِأَرْبَعِ سِنِينَ أَوْ خَمْسِ سِنِينَ، فَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتٍّ وَقِيلَ سَبْعٍ، وَيُجْمَعُ بِأَنَّهَا كَانَتْ أَكْمَلَتِ السَّادِسَةَ وَدَخَلَتْ فِي السَّابِعَةِ، وَدَخَلَ بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ" اهـ.

"Aisyah lahir empat atau lima tahun setelah diutusnya Rasulullah . Dalam riwayat sahih disebutkan bahwa Rasulullah menikahinya ketika ia berusia enam tahun, dan ada yang menyebut tujuh tahun; disimpulkan bahwa Aisyah telah genap enam tahun dan memasuki usia tujuh tahun, dan Rasulullah mulai hidup bersamanya ketika ia berusia sembilan tahun."

Dan Syeikh Ahmad Syakir menanggapi pernyataan orang-orang yang mengingkarinya dengan mengatakan:

“أَمَّا زَعْمُهُ أَنَّ بَعْضَهُمْ يَرْفَعُهَا فَوْقَ ذَلِكَ بُضْعَ سَنَوَاتٍ، فَإِنَّهُ قَوْلٌ مُبْتَكَرٌ لَمْ يَقُلْهُ أَحَدٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ، وَلَمْ يَرِدْ فِي رِوَايَةٍ مِنَ الرِّوَايَاتِ، وَإِنَّمَا يُرِيدُ أَنْ يَتَزَيَّدَ بِهِ وَيَصِلَ إِلَى بُغْيَتِهِ.”

"Adapun klaimnya bahwa beberapa orang menganggapnya lebih dari itu beberapa tahun, itu adalah pernyataan yang baru muncul dan tidak pernah diucapkan oleh seorang pun dari kalangan ulama, dan tidak ada dalam salah satu riwayat, melainkan ia ingin menambah-nambahkan dan mencapai tujuannya." [Jamharat Maqalat Ahmad Syakir (1/355)]

===*****===

DALIL DAN BANTAHAN TERHADAP ORANG-ORANG YANG MENGINGKARI  USIA 6 TAHUN, SAAT AISYAH MENIKAH DENGAN NABI :

Di sini penulis akan mengutip beberapa artikel yang isinya membela dan mendukung pendapat bahwa Aisyah radhiyallah ‘anha di usia 6 tahun menikah dengan Rasulullah , dan di usia 9 tahun mulai hidup bersama dengan beliau . 

Dan dalam artikel-artikel yang akan penulis sebutkan di sini, sarat pula dengan bantahan-banthan terhadap para ulama yang mengatakan di usia16 tahun bukan 6 tahun, Aisyah menikah dengan Nabi , dan di usia 19 tahun bukan 9 tahun, Aisyah kumpul serumah dengan nya . 

******

ARTIKEL PERTAMA :
PERNIKAHAN RASULULLAH  DENGAN AISYAH (RA) PADA USIA SEMBILAN TAHUN

**In the name of Allah, Most Gracious, Most Merciful**

**ASSEMBLY OF MUSLIM JURISTS OF AMERICA**

**Nomor Fatwa**: 78123

----

Diterjemahkan oleh Abu Haitsam Fakhry

===

**Judul Fatwa**:

زَوَاجُ الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِي عُمْرِهَا التَّاسِعَةِ

PERNIKAHAN RASULULLAH DENGAN AISYAH (RA) PADA USIA SEMBILAN TAHUN

------

Bagian: Keluarga dan Hukum Perdata (الْأُسْرَةُ وَالْأَحْوَالُ الشَّخْصِيَّةُ)

Pemberi Fatwa: Majelis Ahli Fiqih Syariah (مَجْمَعُ فُقَهَاءِ الشَّرِيعَةِ).

Tanggal Fatwa : 21 Oktober 2012

===*****===

**PERTANYAAN:**

Yang terhormat Syaikh, assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh .

Mohon pencerahan yang benar mengenai masalah pernikahan Rasulullah dengan Aisyah radhiyallahu 'anha saat beliau berusia sembilan tahun.

Ada seorang jurnalis yang berani meragukan kebenaran riwayat yang dicatat oleh Imam al-Bukhari. Bukankah para ulama umat Islam telah menerima riwayat tersebut selama lebih dari seribu tahun?

Kasus ini adalah tentang Rasulullah menikahi Aisyah pada usia enam tahun dan mulai hidup bersama dengannya (dalam arti, memasuki hubungan suami istri) saat usianya sembilan tahun, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari (bab Pernikahan Nabi dengan Aisyah dan kedatangannya di Madinah serta hidup bersamanya 3894).

Diriwayatkan dari Furwah bin Abi al-Mughirah, dari Ali bin Mushir, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa ia berkata :

«تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ.. فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ»

"Nabi menikahiku saat aku berusia enam tahun, dan kami tiba di Madinah... lalu aku diserahkan kepadanya saat aku berusia sembilan tahun."

Jurnalis tersebut mempersiapkan dirinya untuk menghadapi masalah ini. Tidak puas hanya mengkritik masalah ini dari segi angka dan penanggalan, ia juga mengkritik sanad (rantai perawi) hadits yang paling masyhur ini, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.

Dalam kedua kasus, jurnalis tersebut menunjukkan kecerdasannya. Ia kemudian kembali menelusuri kitab-kitab sejarah seperti *al-Kamil*, *Tarikh Dimasyq*, *Siyar A'lam an-Nubala'*, *Tarikh ath-Thabari*, *Tarikh Baghdad*, dan *Wafayat al-A'yan*.

Ia menemukan bahwa masa kenabian berlangsung selama 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah.

Masa kenabian dimulai pada tahun 610 M. Hijrah ke Madinah terjadi pada tahun 623 M setelah 13 tahun di Makkah. Nabi wafat pada tahun 633 M.

Berdasarkan kronologi ini, Rasulullah menikahi Aisyah tiga tahun sebelum hijrah, yaitu pada tahun 620 M, yang bertepatan dengan tahun kesepuluh kenabian. Saat itu, Aisyah berusia enam tahun, dan Nabi mulai hidup bersamanya pada akhir tahun pertama hijrah, yaitu pada akhir tahun 623 M, ketika Aisyah berusia sembilan tahun. Ini berarti, menurut kalender Masehi, Aisyah lahir pada tahun 614 M, yaitu tahun keempat setelah wahyu pertama, sesuai dengan riwayat al-Bukhari. Namun, jurnalis tersebut menganggap perhitungan ini adalah kesalahan besar.

=====

**Mengkritisi Riwayat Secara Historis dengan Menghitung Usia Aisyah Berdasarkan Usia Kakaknya, Asma binti Abu Bakar (yang dijuluki Dzat an-Nitaqain):**

Seluruh sumber sejarah yang telah disebutkan sebelumnya sepakat bahwa Asma lebih tua 10 tahun dari Aisyah. Sumber-sumber tersebut juga menyebutkan tanpa ada perbedaan pendapat bahwa Asma lahir 27 tahun sebelum hijrah ke Madinah. Ini berarti bahwa pada saat dimulainya kenabian (tahun 610 M), Asma berusia 14 tahun, berdasarkan pengurangan usia sebelum hijrah yaitu 13 tahun, yang merupakan lamanya periode dakwah di Makkah (karena 27 - 13 = 14 tahun).

Sumber-sumber tersebut juga dengan tegas menyebutkan bahwa Asma lebih tua 10 tahun dari Aisyah. Dengan demikian, dipastikan bahwa usia Aisyah adalah 4 tahun pada saat dimulainya periode kenabian di Makkah. Ini berarti Aisyah lahir 4 tahun sebelum wahyu pertama, yaitu pada tahun 606 M.

Berdasarkan perhitungan sederhana, Rasulullah menikahi Aisyah di Makkah pada tahun ke-10 kenabian, ketika usianya 14 tahun (karena 4 + 10 = 14 tahun). Dengan kata lain, Aisyah lahir pada tahun 606 M dan menikah dengan Nabi pada tahun 620 M ketika usianya 14 tahun.

Rasulullah mulai hidup bersama Aisyah setelah tiga tahun dan beberapa bulan, yaitu pada akhir tahun pertama hijrah dan awal tahun kedua, yaitu sekitar tahun 624 M. Pada saat itu, usia Aisyah adalah 18 tahun (karena 14 + 3 + 1 = 18 tahun). Ini adalah usia sebenarnya ketika Nabi mulai hidup bersama Aisyah.

======

**Perhitungan Usia Aisyah Berdasarkan Kematian Kakaknya, Asma (Dzat an-Nitaqain):**

Sumber-sumber sejarah yang telah disebutkan sebelumnya dengan tegas menyatakan tanpa perbedaan bahwa Asma wafat setelah sebuah peristiwa terkenal dan terdokumentasi, yaitu pembunuhan putranya, Abdullah bin Zubair, oleh al-Hajjaj, seorang penguasa yang terkenal kejam, pada tahun 73 H. Saat itu, usia Asma adalah 100 tahun penuh. Jika kita menghitung mundur dari tahun kematiannya (73 H) dan usianya (100 tahun), maka (100 - 73 = 27 tahun) adalah usia Asma saat peristiwa hijrah Nabi. Ini sesuai dengan informasi usia Asma yang tercantum dalam sumber-sumber sejarah.

Jika kita kurangi 10 tahun dari usia Asma, yaitu selisih usia antara Asma dan Aisyah, maka usia Aisyah pada saat hijrah adalah (27 - 10 = 17 tahun). Jika Nabi mulai hidup bersama Aisyah pada tahun kedua hijrah, maka usia Aisyah saat itu adalah (17 + 2 = 19 tahun). Ini menunjukkan bahwa perhitungan usia Aisyah saat menikah dengan Nabi adalah 19 tahun.

Hal ini juga didukung oleh keterangan dari *ath-Thabari* dalam kitabnya *Tarikh al-Umam*, yang menegaskan :

أَنَّ كُلَّ أَوْلَادِ أَبِي بَكْرٍ قَدْ وُلِدُوا فِي الجَاهِلِيَّةِ

“Bahwa semua anak Abu Bakar lahir pada masa jahiliyah, sebelum datangnya Islam”.

Ini sejalan dengan kronologi yang benar dan menunjukkan kelemahan riwayat al-Bukhari, karena Aisyah sebenarnya lahir empat tahun sebelum kenabian dimulai.

======

**Perhitungan Usia Aisyah Dibandingkan dengan Fathimah az-Zahra, Putri Nabi:**

Ibnu Hajar menyebutkan dalam *al-Ishabah* bahwa Fathimah lahir pada tahun pembangunan Ka'bah, ketika Nabi berusia 35 tahun. Fathimah lebih tua lima tahun dari Aisyah. Berdasarkan riwayat yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar, meskipun riwayat ini tidak kuat, jika kita anggap riwayat tersebut benar, maka Ibnu Hajar secara tidak langsung mendustakan riwayat al-Bukhari.

Jika Fathimah lahir ketika Nabi berusia 35 tahun, maka Aisyah lahir ketika Nabi berusia 40 tahun, yakni pada awal turunnya wahyu. Dengan demikian, usia Aisyah saat hijrah adalah sama dengan lamanya masa dakwah Nabi di Makkah, yaitu 13 tahun, bukan 9 tahun. Saya menyebutkan riwayat ini hanya untuk menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam riwayat al-Bukhari.

======

**Kritik Terhadap Riwayat Berdasarkan Kitab Hadits dan Sirah:**

Ibnu Katsir menyebutkan dalam *al-Bidayah wa an-Nihayah* tentang orang-orang yang pertama kali masuk Islam:

«وَمِنَ النِّسَاءِ.. أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ وَعَائِشَةُ وَهِيَ صَغِيرَةٌ فَكَانَ إِسْلَامُ هَؤُلَاءِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ وَرَسُولُ اللَّهِ (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) يَدْعُو فِي خُفْيَةٍ، ثُمَّ أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ رَسُولَهُ بِإِظْهَارِ الدَّعْوَةِ»

"Di antara kaum wanita yang pertama masuk Islam adalah Asma binti Abu Bakar dan Aisyah, yang saat itu masih kecil. Keislaman mereka terjadi dalam tiga tahun pertama ketika Rasulullah berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk menyiarkan dakwah secara terbuka."

Riwayat ini menunjukkan bahwa Aisyah telah masuk Islam sebelum Rasulullah secara terbuka mengumumkan dakwahnya pada tahun ke-4 dari masa kenabian, yang setara dengan tahun 614 M. Ini berarti, setidaknya Aisyah telah memeluk Islam pada tahun ke-3, yaitu sekitar tahun 613 M.

Namun, jika mengikuti riwayat al-Bukhari yang menyatakan bahwa Aisyah lahir pada tahun ke-4 dari masa kenabian, ini berarti dia belum lahir saat Nabi secara terbuka berdakwah pada tahun ke-4, atau dia masih bayi saat itu. Hal ini bertentangan dengan berbagai bukti lainnya.

Perhitungan yang lebih tepat menunjukkan bahwa Aisyah lahir pada tahun ke-4 sebelum kenabian, yaitu pada tahun 606 M. Ini berarti bahwa ketika Nabi mulai berdakwah secara terbuka pada tahun 614 M, usia Aisyah adalah 8 tahun. Perhitungan ini sesuai dengan kronologi peristiwa yang benar dan membantah riwayat al-Bukhari.

Al-Bukhari sendiri meriwayatkan dalam ( BAB "Keberadaan Abu Bakar di Masa Nabi") bahwa Aisyah berkata:

لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ، وَلَمْ يَمُرَّ عَلَيْنَا يَوْمٌ إِلَّا يَأْتِينَا فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ طَرَفَيِ النَّهَارِ بُكْرَةً وَعَشِيَّةً، فَلَمَّا ابْتُلِيَ الْمُسْلِمُونَ خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا قِبَلَ الْحَبَشَةِ

"Aku tidak pernah ingat kedua orang tuaku kecuali mereka telah memeluk agama (Islam), dan tidak ada satu hari pun berlalu tanpa Rasulullah datang kepada kami di pagi dan sore hari. Ketika kaum Muslimin mendapat ujian, Abu Bakar berniat hijrah sebelum hijrah ke Habasyah."

Saya tidak tahu bagaimana al-Bukhari meriwayatkan ini, karena Aisyah mengatakan bahwa dia sudah memahami keadaan kedua orang tuanya yang telah memeluk Islam sebelum hijrah ke Habasyah. Dia juga menyebutkan bahwa Nabi sering datang ke rumah mereka setiap hari, yang menunjukkan bahwa dia sudah cukup dewasa untuk mengingat peristiwa tersebut.

Perlu dicatat, menurut konsensus kitab-kitab sejarah, hijrah ke Habasyah terjadi pada tahun ke-5 dari masa kenabian, yang setara dengan tahun 615 M. Jika kita mengikuti riwayat al-Bukhari yang menyatakan bahwa Aisyah lahir pada tahun ke-4 dari masa kenabian, yaitu tahun 614 M, maka pada saat hijrah ke Habasyah, Aisyah masih bayi, maka hal ini jelas bertentangan dengan pernyataan :

لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ

"Aku tidak pernah ingat orang tuaku kecuali mereka telah memeluk Islam."

Kata "ingat" (أعقل) di sini sangat jelas maknanya tidak memerlukan penjelasan tambahan. Dengan perhitungan waktu yang benar, usia Aisyah pada saat itu adalah (4 tahun sebelum kenabian + 5 tahun sebelum hijrah ke Habasyah = 9 tahun), yang merupakan usia sebenarnya Aisyah pada waktu tersebut.

Hadits yang menyebutkan usia (Aisyah) datang dari lima jalur yang semuanya kembali kepada Hisyam bin Urwah. Mengenai Hisyam ini, Ibnu Hajar mengatakan dalam *Hady as-Sari* dan *Tahdzib*:

«قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بنُ يُوسُفَ بنِ خِرَاشٍ وَكَانَ مَالِكٌ لَا يَرْضَاهُ، بَلَغَنِي أَنَّ مَالِكًا نَقَمَ عَلَيْهِ حَدِيثَهُ لِأَهْلِ العِرَاقِ، قَدِمَ الكُوفَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ : مَرَّةً كَانَ يَقُولُ: حَدَّثَنِي أَبِي، قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ وَقَدِمَ ـ جَاءَ ـ الثَّانِيَةَ فَكَانَ يَقُولُ: أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ، وَقَدِمَ الثَّالِثَةَ فَكَانَ يَقُولُ: أَبِي عَنْ عَائِشَةَ». وَالمَعْنَى بِبَسَاطَةٍ أَنَّ (هشام بن عروة) كَانَ صَدُوقًا فِي المَدِينَةِ المُنَوَّرَةِ، ثُمَّ لَمَّا ذَهَبَ لِلعِرَاقِ بَدَأَ حِفْظُهُ لِلْحَدِيثِ يَسُوءُ وَبَدَأَ (يُدَلِّسُ) أَيْ يُنْسِبُ الحَدِيثَ لِغَيْرِ رَاوِيهِ، ثُمَّ بَدَأَ يَقُولُ (عَنْ) أَبِي، بَدَلًا مِنْ (سَمِعْتُ أَوْ حَدَّثَنِي)، وَفِي عِلْمِ الحَدِيثِ كَلِمَةُ (سَمِعْتُ) أَوْ (حَدَّثَنِي) أَقْوَى مِنْ قَوْلِ الرَّاوِي (عَنْ فُلَانٍ)، وَالحَدِيثُ فِي البُخَارِيِّ هَكَذَا يَقُولُ فِيهِ هِشَامٌ عَنْ (أَبِي وَلَيْسَ (سَمِعْتُ أَوْ حَدَّثَنِي)، وَهُوَ مَا يُؤَيِّدُ الشَّكَّ فِي سَنَدِ الحَدِيثِ، ثُمَّ النُّقْطَةُ الأَهَمُّ وَهِيَ أَنَّ الإِمَامَ (مَالِك) قَالَ: إِنَّ حَدِيثَ (هشام) بِالعِرَاقِ لَا يُقْبَلُ، فَإِذَا طَبَّقْنَا هَذَا عَلَى الحَدِيثِ الَّذِي أَخْرَجَهُ البُخَارِيُّ لَوَجَدْنَا أَنَّهُ مُحَقَّقٌ، فَالحَدِيثُ لَمْ يَرْوِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ مِنَ المَدِينَةِ، بَلْ كُلُّهُمْ عِرَاقِيُّونَ مِمَّا يَقْطَعُ أَنَّ (هشام بن عروة) قَدْ رَوَاهُ بِالعِرَاقِ بَعْدَ أَنْ سَاءَ حِفْظُهُ، وَلَا يَعْقِلُ أَنْ يَمْكُثَ (هشام) بِالمَدِينَةِ عُمْرًا طَوِيلًا وَلَا يَذْكُرَ حَدِيثًا مِثْلَ هَذَا وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً، لِهَذَا فَإِنَّنَا لَا نَجِدُ أَيَّ ذِكْرٍ لِعُمُرِ السَّيِّدَةِ (عَائِشَة) عِنْدَ زَوَاجِهَا بِالنَّبِيِّ فِي كِتَابِ (المُوَطَّأ) لِلْإِمَامِ مَالِكٍ وَهُوَ الَّذِي رَأَى وَسَمِعَ (هشام بن عروة) مُبَاشَرَةً بِالمَدِينَةِ، فَكَفَى بِهَاتَيْنِ العِلَّتَيْنِ لِلشَّكِّ فِي سَنَدِ الرِّوَايَةِ السَّابِقَةِ». انتهى

"Abdurrahman bin Yusuf bin Khurrasy berkata bahwa Malik tidak meridhainya. Malik dikabarkan tidak menyukai hadits-hadits yang Hisyam bin Urwah sampaikan kepada penduduk Irak.

Hisyam datang ke Kufah tiga kali.

Pada kunjungan pertama, dia berkata, 'Ayahku bercerita kepadaku, aku mendengar dari Aisyah.'

Pada kunjungan kedua, dia berkata, 'Ayahku memberitahuku dari Aisyah.'

Pada kunjungan ketiga, dia hanya mengatakan, 'Dari ayahku dari Aisyah.'"

Artinya, secara sederhana, Hisyam bin Urwah adalah seorang perawi yang dapat dipercaya di Madinah. Namun, ketika dia pergi ke Irak, hafalan haditsnya mulai melemah dan dia mulai *mudallis* (menyembunyikan kelemahan sanad), yaitu mengaitkan hadits kepada orang yang bukan perawi aslinya. Dia mulai menggunakan istilah "dari ayahku" (*'an abi*) alih-alih "aku mendengar dari ayahku" (*sami'tu aw haddatsani*).

Dalam ilmu hadits, kata "aku mendengar" atau "ayahku bercerita" lebih kuat daripada sekadar "dari ayahku". Hadits yang diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari melalui Hisyam menggunakan kata *'an* (dari), bukan *sami'tu* atau *haddatsani*, yang mendukung keraguan atas sanadnya.

Poin yang paling penting adalah bahwa Imam Malik mengatakan, "Hadits Hisyam di Irak tidak dapat diterima." Jika kita terapkan ini pada hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, kita akan menemukan bahwa semua perawi hadits tersebut berasal dari Irak, bukan satu pun dari Madinah.

Ini memperkuat kesimpulan bahwa Hisyam bin Urwah meriwayatkannya ketika dia sudah berada di Irak setelah hafalannya melemah. Tidak masuk akal jika Hisyam tinggal di Madinah dalam waktu yang lama tetapi tidak pernah menyebutkan hadits ini sekali pun.

Sebagai bukti lebih lanjut, tidak ada satu pun keterangan tentang usia Aisyah saat menikah dengan Nabi dalam *al-Muwatha'* karya Imam Malik, meskipun Imam Malik mendengar langsung dari Hisyam bin Urwah di Madinah.

Dengan dua kelemahan ini, cukup alasan untuk meragukan sanad hadits yang disebutkan di atas.  [Selesai].

Siapakah peneliti yang melakukan investigasi ini? Dia adalah Tuan “Islam Bahiri,” dan hasil penelitiannya diterbitkan pada edisi nol (sebelum edisi pertama) halaman 21 dari surat kabar *al-Yaum as-Sabi’*, yang diterbitkan pada 15/7/2008.

=====

JAWABAN ATAS PERTANYAAN DAN PERNYATAAN DIATAS :

**JAWABAN:**

Segala puji bagi Allah dan salawat serta salam atas Rasul-Nya. Adapun setelah itu, saya akan membagi jawaban saya atas pertanyaan Anda dalam tiga poin utama:

1. Penjelasan mengenai ijma' (konsensus) umat atas kebenaran apa yang ada di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih Muslim).

2. Penjelasan mengenai kesalahan penulis dalam pendapatnya.

3. Menyelesaikan permasalahan terkait pernikahan Rasulullah dengan Ummul Mukminin, Aisyah.

POINT KE 1 : PENJELASAN MENGENAI IJMA' UMAT ATAS KEBENARAN APA YANG ADA DI DALAM SHAHIHAIN:

Sesungguhnya umat telah bersepakat atas kebenaran hadits-hadits yang terdapat di dalam Shahihain. Baik kalangan muda maupun tua menyadari hal ini, bahkan keyakinan tersebut telah menjadi bagian dari kesadaran kolektif umat Islam. Sejumlah ulama pakar telah menukil ijma' para ulama atas hal ini. Imam Nawawi berkata:

"اتَّفَقَ العُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللهُ عَلَى أَنَّ أَصَحَّ الكُتُبِ بَعْدَ القُرْآنِ العَزِيزِ الصَّحِيحَانِ البُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ، وَتَلَقَّتْهُمَا الأُمَّةُ بِالقَبُولِ"

"Para ulama rahimahullah telah bersepakat bahwa kitab yang paling sahih setelah Al-Qur'an adalah Shahihain, yakni Shahih Bukhari dan Muslim, dan umat telah menerima keduanya dengan penuh penerimaan." ([Syarah Muslim 1/14]).

(Dengan ini, penekanan ijma' atas otoritas Shahihain dalam tradisi ilmu hadits menjadi penting sebagai referensi yang tidak diperdebatkan lagi oleh mayoritas ulama sejak zaman dahulu hingga sekarang).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:

"فَلَيْسَ تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ كِتَابٌ أَصَحُّ مِنَ البُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ بَعْدَ القُرْآنِ"

*"Tidak ada kitab di bawah kolong langit yang lebih sahih daripada Shahih Bukhari dan Muslim setelah Al-Qur'an."* ([Al-Fatawa 18/74])

Adapun kritik terhadap beberapa lafaz dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) oleh para ulama besar ahli hadits, itu sudah dikenal dan disebutkan, dan hal tersebut tidak termasuk dalam ijma' ini. Mengenai hal ini, Imam Ibnu Shalah, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidzh Ibnu Hajar, berkata:

"مَا أُخِذَ عَلَيْهِمَا - يُرِيدُ البُخَارِيَّ وَمُسْلِمًا - وَقَدَحَ فِيهِ مُعْتَمَدٌ مِنَ الحُفَّاظِ، فَهُوَ مُسْتَثْنًى مِمَّا ذَكَرْنَاهُ لِعَدَمِ الإِجْمَاعِ عَلَى تَلَقِّيهِ بِالْقَبُولِ"

*"Apa yang dikritik dari keduanya—maksudnya Shahih Bukhari dan Muslim—dan dicela oleh ulama-ulama ahli hadits terpercaya, maka hal itu dikecualikan dari apa yang telah kami sebutkan karena tidak ada ijma' dalam penerimaan penuh terhadapnya."* ([Hady as-Sari 505]).

Namun demikian, kritik mereka terhadap hadits-hadits tersebut hanyalah karena hadits-hadits tersebut dianggap tidak mencapai standar tinggi yang telah ditetapkan oleh kedua penyusun Shahihain terhadap diri mereka sendiri terkait kesahihan. Mereka mencela beberapa lafaz dalam sebagian hadits, namun tidak ada satu pun hadits dalam Shahihain yang tidak memiliki asal usul yang sahih.

Jika hal ini telah jelas, maka meragukan keshahihan Shahihain sama dengan meragukan kitab-kitab hadits paling sahih dalam Islam. Ini adalah cara paling utama untuk meruntuhkan agama dan menanamkan keraguan dalam hati kaum Muslimin, sehingga setelah itu mereka tidak akan tahu bagaimana melaksanakan shalat, puasa, haji, atau urusan muamalah mereka. Semua rincian hukum-hukum tersebut ada di dalam kitab-kitab hadits. Barang siapa yang meragukan keduanya dengan maksud tersebut, tidak perlu dijelaskan lagi hukum atasnya, karena keadaannya sudah jelas.

Sedangkan mereka yang terjerumus dalam hal ini karena sikap longgar atau terburu-buru, namun tidak dengan niat buruk, tidak kurang dari layak disebut sebagai orang yang kurang pertimbangan dan berani menyentuh sesuatu yang tidak ia kuasai dan membahas perkara yang tidak ia pahami. Jika hal tersebut dilakukan oleh orang yang bukan dari kalangan ulama, maka keadaannya lebih parah dan lebih buruk.

Namun, jika yang terjatuh dalam hal ini adalah seseorang yang bersemangat dalam menjaga agama, mencintai Nabi , dan merasa sedih dengan tuduhan yang dilemparkan musuh-musuh terhadap beliau, lalu ia ingin membela kehormatan beliau, maka kita berharap baginya, meskipun ia keliru, agar ia diberi pahala atas kecintaannya dan kecemburuannya. Kita juga menasihatinya untuk bertanya kepada ulama-ulama yang terpercaya sebelum membahas perkara-perkara agama.

Adapun menyebutkan hal tersebut dalam perdebatan dengan non-Muslim dalam konteks menyampaikan apa yang pernah dikatakan tanpa memastikannya, setelah menjelaskan pendapat yang rajih (lebih kuat) dan memberikan penjelasan—sebagaimana yang akan dijelaskan dalam poin ketiga—maka mungkin saja hal tersebut diperbolehkan demi mencapai tujuan dakwah. Karena dalam perdebatan, cakupannya lebih luas daripada dalam penelitian ilmiah, dan ada hal yang diperbolehkan dalam perdebatan yang tidak diperbolehkan dalam penelitian ilmiah, yang pada gilirannya lebih luas cakupannya daripada mengajarkan kepada khalayak umum.

===

POINT KE 2 : PENJELASAN MENGENAI KESALAHAN PENULIS DALAM PENDAPATNYA:

([Saya mendapatkan manfaat dalam penulisan dari dua artikel karya Dr. Muhammad Amarah dan Mahmoud Abdu, peneliti dalam ilmu-ilmu Islam, semoga Allah membalas kebaikan mereka.])

A) **Secara umum**.

Penulis —semoga Allah memberi petunjuk kepadanya dan kita semua— telah mencela apa yang sudah ditetapkan dalam kitab-kitab hadits, bahkan dalam kitab yang paling sahih, dengan mengklaim kelemahan sanad. Kemudian, ia justru menggunakan argumen yang bersumber dari kitab-kitab sejarah, yang dalam penyusunan riwayat tidak dijaga seteliti kitab-kitab hadits. Selain itu, ia mengutip dari kitab yang sebelumnya ia cela sebagai sumber argumen, bahkan mengutip dari perawi yang juga telah ia cela sebelumnya.

Penulis juga terlalu memaksakan dalam memahami teks, terkadang keliru dalam menyampaikan riwayat, bahkan mengutip sesuatu yang tidak memiliki dasar. Ia membuat pernyataan yang mencengangkan dan tak ragu mengklaim telah melakukan penelitian menyeluruh, padahal tidak ada satupun yang ia dapatkan dengan tepat, sehingga ia terjatuh dalam kesalahan yang sangat fatal.

Selain itu, ia hanya memilih riwayat yang sesuai dengan keinginannya dan mengabaikan yang lain, meskipun yang ia abaikan lebih sahih dan lebih kuat, bahkan tercatat dalam sumber yang sama dari mana ia mengutip.

B) **Kritiknya terhadap riwayat sahih terkait usia Sayyidah Aisyah dalam kaitannya dengan usia kakaknya, Asma binti Abu Bakar**.

Penulis bergantung pada riwayat yang tidak sahih, yang menyatakan bahwa perbedaan usia antara keduanya adalah sepuluh tahun, dan ia mengklaim adanya ijma' (konsensus) para sejarawan atas hal tersebut. Namun, klaim ini tidak sahih.

Meskipun penulis menyebutkan sejumlah kitab sejarah, semuanya merujuk pada satu riwayat dari Abdurrahman bin Abi Zinaad, yang menyendiri dalam meriwayatkannya.

Riwayat ini lemah.

Dalam kitab *Tahdzib at-Tahdzib*, Imam Ahmad menyebutkan bahwa Abdurrahman bin Abi Zinaad adalah perawi yang haditsnya tidak stabil.

Ibnu Ma’in mengatakan bahwa haditsnya tidak dijadikan hujjah oleh para ahli hadits.

Abu Hatim berkata bahwa haditsnya ditulis, tetapi tidak dijadikan hujjah.

An-Nasa'i juga berkata bahwa haditsnya tidak dijadikan hujjah. ([Tahdzib at-Tahdzib 6/172])

Berlawanan dengan penentuan yang diklaim oleh penulis, dalam kitab *Siyar A'lam an-Nubala'* dan *Tarikh al-Islam* disebutkan :

"وَكَانَتْ [أَسْمَاءُ] أَسَنَّ مِنْ عَائِشَةَ بِبِضْعِ عَشْرَةَ سَنَةً"

Bahwa, "Asma lebih tua dari Aisyah lebih dari sepuluh tahun." ([As-Siyar 3/522])

Jika riwayat yang disebutkan oleh penulis berasal dari perawi yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah, dan riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat lain dalam kitab-kitab sejarah, bagaimana mungkin riwayat tersebut dapat digunakan untuk menentang apa yang ada di dalam Shahihain?

Adapun kabar bahwa Asma wafat pada usia seratus tahun, itu diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah, perawi yang juga dicela oleh penulis.

C) **Pemahaman penulis mengenai pernyataan at-Thabari terkait istri-istri Abu Bakar dan anak-anaknya**.

Bahwa semua anaknya lahir pada masa jahiliyah, adalah pemahaman yang keliru.

At-Thabari berkata :

«تَزَوَّجَ أَبُو بَكْرٍ فِي الجَاهِلِيَّةِ (قُتَيْلَةَ).. فَوَلَدَتْ لَهُ عَبْدَ اللهِ وَأَسْمَاءَ، وَتَزَوَّجَ أَيْضًا فِي الجَاهِلِيَّةِ (أُمَّ رُومَانَ). فَوَلَدَتْ لَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ وَعَائِشَةَ، فَكُلُّ هَؤُلَاءِ الأَرْبَعَةِ مِنْ أَوْلَادِهِ وُلِدُوا مِنْ زَوْجَتَيْهِ اللَّتَيْنِ سَمَّيْنَاهُمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ»

"Abu Bakar menikah di masa jahiliyah (dengan Qutailah)... dan ia melahirkan Abdullah dan Asma. Dia juga menikah di masa jahiliyah (dengan Ummu Ruman) dan ia melahirkan Abdurrahman dan Aisyah. Maka, semua dari empat anaknya ini lahir dari dua istrinya yang disebutkan pada masa jahiliyah."

Jika riwayat ini sahih, Thabari sedang membicarakan tentang pernikahan Abu Bakar yang terjadi di masa jahiliyah, bukan bahwa semua anaknya lahir pada masa jahiliyah. Meski pemahaman tersebut mungkin, riwayat yang ambigu harus dikembalikan kepada riwayat yang pasti, yaitu pernyataan eksplisit dari Aisyah mengenai usianya dalam banyak riwayat lain serta teks-teks lainnya yang mendukungnya.

**D) Adapun perhitungan usia Aisyah dibandingkan dengan Fathimah**.

Dan klaim bahwa Fathimah lahir pada tahun pembangunan Ka'bah saat Nabi berusia 35 tahun, penulis mengutip ini dari kitab *al-Ishabah*. Namun, ia tidak menyebutkan riwayat-riwayat lain serta koreksi dari penulis kitab itu sendiri, yaitu Al-Hafidzh Ibnu Hajar, yang menyebutkan riwayat lain yang lebih sahih bahwa Fathimah lahir pada tahun ke-41 dari kelahiran Nabi.

Selain itu, perbedaan usia antara keduanya (Aisyah dan Fathimah) tidak disepakati. Adz-Dzahabi dalam *Siyar A'lam an-Nubala'* berkata:

"وَعَائِشَةُ مِمَّنْ وُلِدَ فِي الإِسْلَامِ، وَهِيَ أَصْغَرُ مِنْ فَاطِمَةَ بِثَمَانِ سِنِينَ"

*"Aisyah lahir dalam Islam dan ia lebih muda delapan tahun dari Fathimah."* ([Siyar A'lam an-Nubala 3/429]).

Dalam biografi Fathimah, Adz-Dzahabi juga menyatakan:

"مَوْلِدُهَا قَبْلَ البَعْثَةِ بِقَلِيلٍ"

*"Fathimah lahir sedikit sebelum masa kenabian."* ([As-Siyar 3/417]).

E) **Adapun kutipan penulis dari Ibnu Katsir dalam *al-Bidayah wa an-Nihayah*:**

"وَمِنَ النِّسَاءِ.. أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ وَعَائِشَةُ وَهِيَ صَغِيرَةٌ فَكَانَ إِسْلَامُ هَؤُلَاءِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ وَرَسُولُ اللهِ ﷺ يَدْعُو فِي خِفْيَةٍ، ثُمَّ أَمَرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ رَسُولَهُ بِإِظْهَارِ الدَّعْوَةِ"

*"Di antara para wanita adalah Asma binti Abu Bakar dan Aisyah, yang saat itu masih kecil. Mereka memeluk Islam dalam tiga tahun, ketika Rasulullah masih berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk menampakkan dakwah."*

Saya tidak tahu di mana penulis menemukan hal ini, karena tidak ada riwayat seperti itu dalam kitab tersebut, sebagaimana telah dijelaskan oleh Dr. Muhammad Amarah.

Jika riwayat itu benar-benar ada di dalam kitab tersebut, bagaimana penulis bisa mengabaikan perkataan orang-orang yang melihat Aisyah dari kalangan tabi’in dan lebih memilih perkataan sebagian ulama yang datang belakangan dan tidak memiliki sanad yang sahih.

F) **Adapun pernyataannya:**

"وَالْمُؤَكَّدُ أَنْ هِجْرَةَ الحَبَشَةِ إِجْمَاعًا بَيْنَ كُتُبِ التَّارِيخِ كَانَتْ فِي عَامِ (5) مِنْ بَدْءِ البَعْثَةِ النَّبَوِيَّةِ مَا يُوَازِي عَامَ (615م)"

*"Yang pasti, berdasarkan kesepakatan kitab-kitab sejarah, hijrah ke Habasyah terjadi pada tahun kelima dari permulaan kenabian, yang bertepatan dengan tahun 615 M."*

Kemudian ia mengutip:

"...خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا قَبْلَ هِجْرَةِ الحَبَشَةِ"

*"...Abu Bakar keluar berhijrah sebelum hijrah ke Habasyah."*

Terdapat perbedaan antara satu hijrah tertentu dengan aliran sahabat yang terus-menerus berhijrah ke Habasyah. Saya tidak tahu dari mana ia mendapatkan kepastian bahwa semua yang berhijrah ke Habasyah melakukannya pada tahun kelima, karena hijrah ke sana tidak berhenti hingga datangnya hijrah ke Madinah.

Penulis juga melakukan kesalahan dalam kutipan dengan mengatakan:

"...خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا قَبْلَ هِجْرَةِ الحَبَشَةِ"

*"...Abu Bakar keluar berhijrah sebelum hijrah ke Habasyah"*

Padahal yang benar adalah *" قِبَلَ الحَبَشَةِ / ke arah Habasyah"*, yakni dalam perjalanan menuju Habasyah.

Tampaknya Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu hendak berhijrah sebelum hijrah ke Madinah, karena ketika ia kembali ke Mekah dan mendapat perlindungan dari Ibnu ad-Daghinnah, Rasulullah memberikan kabar gembira kepadanya dan bersabda:

"قَدْ أُرِيْتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ، رَأَيْتُ سَبْخَةً ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ"

*"Aku telah diperlihatkan tempat hijrah kalian, berupa tanah berpasir yang memiliki pepohonan kurma di antara dua bukit yang berbatu."* [HR. Bukhori].

G) **Adapun kritik penulis terhadap sanad dengan mencela Hisyam bin Urwah**.

Ini tidak berarti apa-apa, karena hadits tersebut diriwayatkan oleh selain Hisyam, seperti Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah, dan Ibrahim dari Al-Aswad dari Aisyah. Semua perawi ini adalah ulama besar dalam bidang hadits dan fiqih, serta hadits tersebut diriwayatkan dalam banyak kitab hadits.

Adapun klaim bahwa Hisyam bin Urwah hanya diriwayatkan oleh ulama Irak dan bahwa riwayat ulama Irak dari Hisyam dipertanyakan, jawabannya adalah hadits ini diriwayatkan dari Hisyam oleh ulama Madinah, seperti Abu Az-Zinad Abdullah bin Dzakwan, putranya Abdurrahman bin Abi Az-Zinad, dan Abdullah bin Muhammad bin Yahya bin Urwah.

Dari ulama Mekkah, hadits ini diriwayatkan oleh Sufyan bin ‘Uyainah. Dari ulama Ray, hadits ini diriwayatkan oleh Jarir bin Abdul Hamid Adh-Dhabbi. Maka, bukan hanya ulama Irak yang meriwayatkan dari Hisyam.

Adapun Hisyam sendiri, ia telah dinilai tsiqah (terpercaya) oleh Yahya bin Ma’in, Ibnu Hibban, Abu Hatim, Ibnu Hajar, Adz-Dzahabi, dan ulama lainnya. Hisyam adalah perawi hadits dalam kitab Shahihain dan kitab-kitab Sunan. Pendapat yang diterima di kalangan ahli ilmu adalah bahwa Hisyam tidak mengalami ikhtilat (kekacauan hafalan).

Adz-Dzahabi berkata:

"هشامُ بْنُ عُرْوَةَ، أَحَدُ الأَعْلَامِ، حُجَّةٌ إِمَامٌ، لَكِنْ فِي الكِبَرِ تَنَاقَصَ حِفْظُهُ، وَلَمْ يَخْتَلِطْ أَبَدًا..."

*"Hisyam bin Urwah adalah salah satu ulama besar, hujjah, dan imam. Meskipun di masa tua daya ingatnya berkurang, ia tidak pernah mengalami ikhtilat..."* ([Mizan al-I'tidal 4/301-302]).

**H)** Sungguh, ada banyak riwayat yang menunjukkan usia kecil Aisyah ketika menikah dengan Nabi .**

Dalam hadits al-ifk /الإِفْكُ (kisah al-ifk terjadi pada tahun keenam hijrah sepulang dari perang Tabuk) yang diriwayatkan dalam Sahih Bukhari, Aisyah mengatakan tentang dirinya:

«فَلَمْ يَسْتَنْكِرْ القَوْمُ خِفَّةَ الهُودَجِ حِينَ رَفَعُوهُ وَحَمَلُوهُ، وَكُنْتُ جَارِيَةً حَدِيثَةَ السِّنِّ..»

"Maka orang-orang tidak menganggap aneh ringan nya Haudaj (skedup di atas unta) saat mereka mengangkat dan membawanya, dan aku adalah seorang gadis yang masih muda..." Dan dia dinikahkan kepada Nabi serta bermain dengannya. Barirah radhiyallahu ‘anha, salah satu pelayannya, mengatakan kepada Rasulullah :

وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ مَا رَأَيْتُ عَلَيْهَا أَمْرًا قَطُّ أَغْمَصَهُ أَكْثَرَ مِنْ أَنَّهَا جَارِيَةٌ حَدِيثَةُ السِّنِّ تَنَامُ عَنْ عَجِينِ أَهْلِهَا فَتَأْتِي الدَّاجِنُ فَتَأْكُلُهُ."

"Demi yang mengutusmu dengan kebenaran, aku tidak pernah melihat pada dirinya sesuatu yang lebih buruk dari dia adalah seorang gadis yang masih muda yang tertidur di atas adonan keluarganya hingga datang hewan peliharaan dan memakannya."

Ini semua terjadi dalam peristiwa al-ifk pada tahun keenam hijrah.

====

POINT KE 3 : MENGHILANGKAN KERAGUAN TENTANG PERNIKAHAN RASULULLAH DENGAN AISYAH (RA).

Ke 1. Orang-orang yang bijak tidak membaca peristiwa sejarah terlepas dari konteks yang mengikutinya dan faktor-faktor yang membentuknya serta norma-norma yang mengelilinginya. Menilai baik atau buruknya suatu tindakan, di mata orang-orang yang bijak dari berbagai agama, tidak terpisah dari situasi dan keadaan yang menyertai tindakan tersebut.

Dan ini menunjukkan bahwa menikahi seseorang yang seusia Aisyah radhiyallahu 'anha adalah hal yang diperbolehkan dalam norma-norma waktu dan tempat di mana pernikahan yang diberkahi ini terjadi. Aisyah radhiyallahu 'anha sudah dilamar oleh orang lain sebelum Nabi melamarnya, dan mereka yang banyak mencemooh Nabi karena menikahi Zainab radhiyallahu 'anha karena bertentangan dengan norma dan adat mereka, tidak mengatakan apapun tentang pernikahannya dengan Aisyah radhiyallahu 'anha.

Ke 2. Nabi menikahi Aisyah di Mekah dan menghabiskan malam bersamanya setelah kedatangannya di Madinah, meninggalkan Mekah karena penindasan dan kezaliman orang-orangnya, dan belum ada kepastian baginya di tempat pengungsian setelah itu. Tidak masuk akal jika ia menentang norma-norma yang berlaku saat itu.

Ke 3. Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, yang menikahkan putrinya Aisyah dengan Rasulullah , adalah sosok yang sangat kita hormati sebagai umat Muslim, tetapi - sebagaimana disepakati oleh Muslim dan non-Muslim - dia adalah salah satu pemimpin besar dalam sejarah yang mempengaruhi perjalanannya. Seorang pria dengan kehormatan dan kedudukan seperti itu tidak akan menginginkan dirinya dan putrinya dihina, jika pernikahan pada usia ini merugikan kehormatan dan martabatnya di antara orang Arab.

Ke 4. Perubahan norma masyarakat tidak dapat disangkal oleh orang yang waras, dan perubahan tersebut mengenai usia pernikahan telah terjadi di seluruh bangsa.

Misalnya, Negara Bagian California di Amerika Serikat telah mengubah usia hukum untuk melakukan hubungan seksual secara sukarela beberapa kali selama seperempat abad terakhir.

Hingga tahun 1889, usianya adalah sepuluh tahun, kemudian menjadi empat belas tahun, lalu dinaikkan pada tahun 1897 menjadi enam belas tahun, dan pada tahun 1913 dinaikkan lagi menjadi delapan belas tahun.

Namun, hingga sekarang usia tersebut adalah tiga belas tahun di New Mexico dan empat belas tahun di Iowa, Mississippi, dan Maine.

[Sumber : http://www.ageofconsent.com/comments/numberone.htm] 

Lihatlah - semoga Allah mengampuni saya dan Anda - kepada hal itu, karena ini adalah suatu umat yang berbeda dari umat lainnya dan zaman yang berbeda dari zaman lainnya. Dan usia hukum untuk melakukan hubungan seksual secara sukarela hingga saat itu adalah sepuluh tahun.

Lalu bagaimana dengan umat lain, adat yang berbeda, dan zaman lain yang telah berlalu selama empat belas abad?

Perubahan besar dalam keadaan dunia pada zaman-zaman terakhir ini telah menyebabkan perubahan besar dalam adat istiadat penduduknya. Oleh karena itu, tidak adil atau bijak bagi orang-orang di zaman modern ini untuk mengadili sejarah umat manusia dengan standar mereka yang baru.

Masalah di zaman kita adalah adanya kelompok tertentu yang menganggap diri mereka lebih unggul dan sewenang-wenang dalam menetapkan standar untuk semua umat, tanpa membedakan antara daerah tengah Afrika, daerah terpencil Siberia, suku-suku India di Amerika Latin, dan bangsa-bangsa di China. Pekerjaan anak-anak dulu dianggap umum, diterima, dan diatur hingga waktu yang baru-baru ini. Namun sekarang, setelah mereka tidak lagi membutuhkannya berkat kekayaan yang mereka kumpulkan dengan cara yang benar atau salah, mereka mulai mengejek bangsa-bangsa yang masih membutuhkan pekerjaan itu. Mereka tidak hanya ingin menerapkan standar mereka di seluruh dunia, tetapi juga ingin mengadili semua umat di muka bumi sejak awal penciptaan di hadapan pengadilan adat mereka yang baru.

Islam adalah agama yang realistis yang memungkinkan seorang wanita untuk menikah kapan pun walinya melihat maslahat baginya dalam hal itu, dan tidak mengizinkan suaminya untuk berhubungan seksual hingga dia memenuhi syarat secara fisik dan psikologis. Namun, Islam tidak menetapkan usia tertentu bagi para wali, karena adat istiadat masyarakat berbeda-beda dan kebutuhan mereka pun bervariasi. Setiap zaman dan tempat memiliki norma yang sesuai untuk mereka. Nenek-nenek kita menikah pada usia dua belas tahun atau sekitarnya, tetapi kita tidak melakukan hal yang sama dengan putri-putri kita. Demikian pula, Taurat dan Injil tidak menetapkan - dalam salah satu salinannya yang ada - usia untuk menikah.

Ke 7. Bahwa kesesuaian untuk melakukan hubungan suami istri hanya akan terjadi ketika wanita telah mencapai usia yang memungkinkan terjadinya hubungan tanpa adanya dampak negatif. Usia ini berbeda-beda dan biasanya berkisar pada waktu pubertas atau sedikit di luar itu. Lalu, kapan seorang wanita dikatakan sudah dewasa?

Pengetahuan medis modern menunjukkan bahwa kebanyakan wanita mencapai pubertas antara usia dua belas dan empat belas tahun, dengan rata-rata usia sekitar (12,75) tahun.

Namun, usia pubertas dapat bervariasi secara signifikan dari satu gadis ke gadis lainnya dan dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya; ada kasus di mana pubertas terjadi lebih awal. Bahkan, seorang gadis di Peru, Amerika Selatan, pernah hamil dan melahirkan pada usia lima tahun enam bulan.

[[*Nelson Textbook of Pediatrics*, Edisi ke-15, Halaman 1579-1580] 

Lihat juga *Kajian Fikih dalam Isu-Isu Medis Kontemporer* oleh beberapa ulama, *Studi tentang Haid, Nifas, dan Kehamilan antara Fikih dan Kedokteran* (hal. 137-142). Dr. Umar al-Asyqar menyebutkan dalam karya tersebut bahwa ada seorang anak perempuan yang menampakkan tanda-tanda baligh pada usia dua tahun].

Pubertas sebelum usia sembilan tahun tidaklah jarang, dan dokter tidak menganggap pubertas sebagai masalah ketika seorang gadis mencapai usia tujuh atau delapan tahun. ([Baligh menurut dokter berbeda dari haid karena baligh mendahului haid satu atau dua tahun.])

Jika di bawah usia itu, kondisi kesehatan gadis tersebut akan diperiksa untuk memastikan tidak ada tumor atau penyakit yang menyebabkan pubertas dini. Dalam banyak kasus, tidak ada penyakit yang terdeteksi.

[Saenger, Paul. "Overview of Precocious Puberty." Dalam: *UpToDate*, diedit oleh Rose, BD, *UpToDate*, Waltham, MA, 2007.]

Ke 8- Banyak negara di dunia, termasuk negara bagian di Amerika dan lainnya, menganggap seorang gadis berusia enam belas tahun sebagai cukup matang untuk melakukan hubungan seksual dan menikah (bahkan usia empat belas tahun juga dipertimbangkan seperti yang telah disebutkan sebelumnya). Sekarang kita bertanya, apakah seorang gadis yang berusia sembilan tahun, seperti Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah, dapat dibandingkan dengan gadis berusia enam belas tahun dari segi ukuran dan struktur tubuh? Tentu saja bisa, dan ini tidak hanya mempertimbangkan perbedaan zaman, tempat, dan lingkungan, tetapi juga mengacu pada laju pertumbuhan alami yang tidak luar biasa yang diukur dalam rentang antara urutan ketujuh dan sembilan puluh tujuh sebagai batas atas dan ketiga sebagai batas bawah. Hal ini menunjukkan bahwa gadis-gadis saat ini di negara bagian tengah Amerika memiliki variasi dalam laju pertumbuhan alami mereka, sehingga berat seorang gadis berusia sembilan setengah tahun pada urutan sembilan puluh tujuh sama dengan berat gadis berusia enam belas tahun pada urutan ketiga, yaitu empat puluh lima kilogram, dan tinggi gadis yang pertama adalah seratus lima sentimeter, hanya sembilan sentimeter lebih pendek dari gadis yang kedua, yang lebih tinggi dari gadis berusia empat belas tahun pada urutan ketiga. Semua ini berada dalam batas pertumbuhan yang normal, dan para dokter anak tahu bahwa banyak dari mereka melampaui urutan di atas sembilan puluh tujuh dan di bawah ketiga tanpa adanya penyakit atau masalah. Semua ini terjadi saat ini di Amerika.

[http://www.cdc.gov/nchs/data/nhanes/growthcharts/set2clinical/cj41l071.pdf ]

Ke 9- Adapun ketika orang-orang bertindak sewenang-wenang berdasarkan hawa nafsu mereka dalam menentukan kelayakan untuk menikah, hal ini menyebabkan kontradiksi yang mencolok. Di negara yang sama, pernikahan dengan seorang gadis berusia empat belas tahun adalah legal di beberapa negara bagiannya, sedangkan di negara bagian lainnya dianggap sebagai kejahatan hingga usia delapan belas tahun, dan suaminya diperlakukan sebagai pemerkosa.

Ini berarti jika Anda berada di sebelah timur garis perbatasan antara dua negara bagian, Anda adalah suami yang sah dan sesuai dengan hukum, tetapi jika Anda berada di sebelah baratnya, Anda adalah pemerkosa terhadap seorang gadis malang yang layak mendapatkan hukuman maksimal.

﴿ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا﴾

“Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. [QS. Nisa: 82]

Ke 10. Aisyah sendiri telah tumbuh dengan baik, dia adalah yang berkata - yang paling mengenal dirinya sendiri -:

إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِينَ فَهِيَ امْرَأَةٌ

"Jika seorang gadis mencapai usia sembilan tahun, maka dia adalah seorang wanita."

Setelah menikah dengan Rasulullah selama sekitar dua tahun, dia ikut dalam salah satu peperangan. Anas radhiyallahu 'anhu berkata:

"لَمَّا كان يَوْمُ أُحُدٍ انْهَزَمَ نَاسٌ من الناس عن النبي ... وَلَقَدْ رأيت عَائِشَةَ بِنْتَ أبي بَكْرٍ وَأُمَّ سُلَيْمٍ وَإِنَّهُمَا لَمُشَمِّرَتَانِ أَرَى خَدَمَ سُوقِهِمَا تَنْقُلَانِ الْقِرَبَ على مُتُونِهِمَا ثُمَّ تُفْرِغَانِهِ في أَفْوَاهِهِمْ ثُمَّ تَرْجِعَانِ فتملأنها ثُمَّ تَجِيئَانِ تُفْرِغَانِهِ في أَفْوَاهِ الْقَوْمِ."

"Ketika terjadi hari Uhud, beberapa orang melarikan diri dari Rasulullah ... Dan saya melihat Aisyah binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim, keduanya bersiap-siap dan saya melihat mereka membawa kantong air di punggung mereka, kemudian mereka mengosongkannya ke mulut para pejuang, lalu mereka kembali dan mengisinya lagi, dan kemudian mereka datang kembali untuk mengosongkannya ke mulut para pejuang." ([HR. Muslim 3/1443])

Ini membuktikan bahwa dia tumbuh dengan baik dan siap untuk menjalani peran wanita, tanpa mengesampingkan kenyataan bahwa dia menikah pada usia sembilan tahun. Tidak heran jika beberapa wanita pada usia sekitar dua belas tahun dapat melakukan apa yang disebutkan Anas, karena perbedaan dalam laju pertumbuhan sangat bervariasi dari satu individu ke individu lainnya dan dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya.

Ke 11. Anak yang teraniaya seringkali menderita kesulitan psikologis dan berbagai hambatan mental. Jika ia berhasil mengatasinya, sangat jarang ia dapat mencapai kesuksesan, dan jika ia berhasil, tidak mungkin ia dapat menyampaikan pesan dari orang yang telah berbuat jahat padanya dan menyebarkannya di kalangan masyarakat. Apakah hal semacam itu terjadi pada Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha? Ataukah dia justru memimpin umat dan menyampaikan pesan dari Sang Terpilih, yang sisa hidupnya dipenuhi dengan kesetiaan terhadapnya dan mengenangnya dengan menyebutnya sebagai kekasih?

Apakah pernikahannya dengan beliau adalah jalan untuk kebahagiaan dan kehormatan di dunia dan akhirat?

Tidak ada wanita dalam sejarah yang lebih bahagia dengan suaminya daripada dia.

Ke 12. Yang mengherankan dari ahli kitab adalah bahwa mereka memanfaatkan pernikahan Nabi untuk mencemoohnya, sementara kita tidak menemukan satu pun ayat di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yang menetapkan usia untuk menikah.

Sebaliknya, dalam Kitab Bilangan pasal 31 ayat 17-18, mereka menyebutkan bahwa Musa ‘alaihis salam berkata:

"فَالْآنَ اقْتُلُوا كُلَّ ذَكَرٍ مِّنَ الْأَطْفَالِ، وَكُلَّ امْرَأَةٍ عَرَفَتْ رَجُلًا بِمُضَاجَعَةِ ذَكَرٍ اقْتُلُوهَا - لَكِنْ جَمِيعَ الْأَطْفَالِ مِنَ النِّسَاءِ الَّذِينَ لَمْ يَعْرِفْنَ مُضَاجَعَةَ ذَكَرٍ أَبْقُوهُنَّ لَكُمْ حَيَّاتٍ."

"Maka sekarang bunuhlah setiap anak laki-laki. Dan setiap wanita yang telah mengenal seorang pria dengan bersetubuh, bunuhlah; tetapi semua anak perempuan yang tidak mengenal seorang pria dengan bersetubuh, biarkanlah mereka hidup untuk kalian."

Jadi, Musa ‘alaihis salam membolehkan dalam narasi Taurat untuk berhubungan dengan anak-anak dari tawanan wanita.

Apakah Aisyah radhiyallahu 'anha tidak lebih baik daripada wanita yang disebutkan kisahnya dalam Taurat bersama Dawud ‘alaihis salam? Dalam Kitab Raja-raja yang pertama, pasal pertama ayat 1-3 disebutkan:

"وَشَاخَ الْمَلِكُ دَاوُدُ، تَقَدَّمَ فِي الْأَيَّامِ، وَكَانُوا يَدَثِّرُونَهُ بِالثِّيَابِ فَلَمْ يَدْفَأْ. فَقَالَ لَهُ عَبِيدُهُ لِيَفْتَشُوا لِسَيِّدِنَا الْمَلِكِ عَلَى فَتَاةٍ عَذْرَاءَ فَلْتَقِفْ أَمَامَ الْمَلِكِ وَلْتَكُنْ لَهُ حَاضِنَةً وَلْتَضْطَجِعْ فِي حَضْنِكَ فَيَدْفَأَ سَيِّدُنَا الْمَلِكُ. فَفَتَّشُوا عَلَى فَتَاةٍ جَمِيلَةٍ فِي جَمِيعِ تَخُومِ إِسْرَائِيلَ فَوَجَدُوا أَبِيْشَجَ الشُّونَمِيَّةَ فَجَاءُوا بِهَا إِلَى الْمَلِكِ. وَكَانَتِ الْفَتَاةُ جَمِيلَةً جِدًّا فَكَانَتْ حَاضِنَةَ الْمَلِكِ وَكَانَتْ تَخْدِمُهُ وَلَكِنَّ الْمَلِكَ لَمْ يَعْرِفْهَا."

"Dan Raja Dawud telah tua. Ia sudah lanjut usia. Dan mereka menutupi dia dengan pakaian, tetapi ia tidak merasa hangat. Maka hamba-hambanya berkata kepadanya, 'Biarkanlah kami mencari seorang gadis perawan untuk tuan kita raja, supaya ia berdiri di depan raja dan menjadi pengasuhnya, dan supaya ia berbaring di pangkuan tuan kita raja, agar tuan kita raja merasa hangat.'

Lalu mereka mencari seorang gadis yang cantik di seluruh wilayah Israel, dan mereka menemukan Abisag, seorang Sunamite, dan membawa dia kepada raja. Gadis itu sangat cantik dan menjadi pengasuh raja, dan melayaninya, tetapi raja tidak mengenalnya."

Dawud digambarkan dalam Mazmur sebagai anak Allah, maka kami katakan kepada mereka:

"Ya Allah, sesungguhnya Aisyah radhiyallahu 'anha telah menjalani hidup bahagia bersama pemimpin sekalian makhluk yang selalu berlomba dan bercanda dengannya, dan mengajarinya hal-hal yang menjadikannya mulia serta mengangkat namanya di antara manusia setelah kematiannya."

Ke 13. Jika yang dimaksud Rasulullah adalah hasrat, mengapa beliau meninggalkan Aisyah di rumah ayahnya selama tiga tahun setelah menikahinya? Dan jika yang beliau inginkan dari sisa pernikahan beliau, mengapa beliau mengabaikan para istri beliau ketika mereka meminta perpanjangan nafkah hingga beliau memberi mereka pilihan? Allah Ta’ala berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا * وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا﴾

*(Wahai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, "Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka datanglah, akan Kuberikan kepada kalian dan Kuberhentikan kalian dengan cara yang baik. Dan jika kalian menginginkan Allah dan Rasul-Nya serta kehidupan akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi orang-orang yang berbuat baik di antara kalian pahala yang besar")* [Al-Ahzab 28-29].

Bukankah pemilik hasrat akan memanjakan istri-istrinya dan menyenangkan mereka? Ataukah beliau mendorong mereka untuk hidup zuhud dan sederhana sementara beliau mampu hidup seperti raja?

Ya Allah, semoga salawat dan salam selalu tercurahkan kepada beliau, dan ridailah para ibu orang-orang beriman yang memilihmu, Rasul-Mu, dan kehidupan akhirat.

Di antara orang-orang Muslim, ada yang segera mencari alasan dan pembenaran setiap kali mereka dihadapkan pada keraguan yang ditimbulkan oleh setan yang menyesatkan kepada musuh yang marah atau orang yang bodoh dan terpedaya.

Seandainya mereka lebih baik dalam mencari dan mempelajari, mereka akan menemukan kitab Tuhan mereka dan sunnah Nabi mereka yang sah sebagai sumber segala kehormatan dan kebanggaan, dan tidak ada satu pun dalamnya yang bisa mereka minta maaf atau malu untuk dibicarakan.

Ya Allah, berilah petunjuk kepada kami dan semua hamba-Mu, dan semoga salawat dan salam selalu tercurahkan kepada penutup para Rasul dan pemimpin ciptaan-Mu, Muhammad.

(SELESAI)

===*****===

ARTIKEL KE DUA :
KAJIAN TENTANG USIA AISYAH (RA) SAAT DINIKAHI NABI 

تَحْقِيقٌ فِي عُمْرِ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عِنْدَمَا تَزَوَّجَهَا النَّبِيُّ ﷺ

Dari ISLAMQA NO FATWA : 124483

Artikel berbahasa arab. Diterjemahkan oleh Abu Haitsam Fakhry.

Terjemahannya adalah sebagai berikut :

**KAJIAN TENTANG USIA AISYAH (RA) SAAT DINIKAHI NABI **

Alhamdulillah.

**PEMBAHASAN PERTAMA:**

Batasan usia Aisyah radhiallahu anha saat dinikahi Nabi saat dia berusia 6 ahun dan digauli saat dia berusia 9 tahun, bukanlah merupakan ijtihad para ulama, sehingga perlu lagi dikaji benar atau tidaknya. Akan tetapi dia merupakan peristiwa sejarah yang valid dan menguatkan keshahihannya serta keharusan menerimanya.

Hal tersebut karena beberapa sebab;

Ke1 : Terdapat riwayat yang bersumber dari pelaku pada peristiwa itu, yaitu Aisyah radhiallahu anha tentang dirinya, yaitu dengan dia berkata,

تَزَوَّجَنِى النَّبِي ﷺ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ ، فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي فَوَفَى جُمَيْمَةً ، فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي ، فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لاَ أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي ، فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ ، وَإِنِّي لأَنْهَجُ ، حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي ، ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي ، ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ ، فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ ، فَقُلْنَ : عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ ، وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ . فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي ، فَلَمْ يَرُعْنِي إِلاَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ضُحًى ، فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

“Aku dinikahi oleh Nabi saat aku berusia 6 tahun. Lalu kami datang ke Madinah, dan kami tinggal di Bani Harits bin Khazraj. Lalu aku menderita sakit sehingga rambutku rontok kemudian banyak lagi. Lalu ibuku, Ummu Ruman, mendatangiku saat aku berada di ayunan bersama teman-temanku. Lalu dia memanggilku, maka aku mendatanginya, aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Maka dia mengajakku hingga aku tiba di depan pintu sebuah rumah. Aku sempat merasa khawatir, namun akhirnya jiwaku tenang. Kemudian ibuku mengambil sedikit air dan mengusapkannya ke wajah dan kepalaku.

Kemudian dia mengajakku masuk ke rumah tersebut. Ternyata di dalamnya terdapat beberapa orang wanita kaum Anshar. Mereka berkata, “Selamat dan barokah, selamat dengan kebaikan.”

Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka dan kemudian mereka mulai merapihkan aku. Tidak ada yang mengagetkan aku kecuali kedatangan Rasulullah pada waktu Dhuha. Kemudian ibuku menyerahkan aku kepadanya dan ketika itu aku berusia 9 tahun.” (HR. Bukhari, no. 3894, Muslim, no. 1422)

Ke 2. Riwayat Aisyah ini terdapat dalam kitab yang paling shahih setelah Kitabullah Taala, yaitu kitab shahih Bukhari dan Muslim.

Ke 3. Terdapat riwayat dari Aisyah dari berbagai jalur sanad, bukan Cuma satu jalur sebagaimana tuduhan orang-orang yang bodoh. 

Jalur yang terkenal adalah riwayat Hisyam bin Urwah bin Zubair, dari bapaknya Urwah bin Zubair, dari Aisyah radhiallahu anha, dan ini merupakan riwayat yang paling shahih. Urwah bin Zubair merupakan orang yang paling mengenal Aisyah, karena Aisyah adalah bibinya.

-Jalur lainnya adalah dari riwayat Zuhri, dari Urwah bin Zubair dari Aisyah dalam riwayat Muslim (1422).

- Jalur lainnya lagi adalah dari riwayat A’masy, dari Ibrahim, dari Aswad, dari Aisyah, dia berkata,

تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ وَهِيَ بِنْتُ سِتٍّ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ، وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانِ عَشْرَةَ.

“Rasulullah menikahinya saat dia berusia 6 tahun, dan menggaulinya saat dia berusia 9 tahun. Beliau meninggal saat Aisyah berusia 18 tahun.” (HR. Muslim, no. 1422) 

Jalur lain lagi dari Muhamad bin Amr, dari Yahya bin Abdurrahman bin Hatib dari Aisyah radhiallahu anha (HR. Abu Daud, no. 4937) 

Syekh Abu Ishaq Al-Huwaini telah mengumpulkan nama-nama yang mengambil hadits ini dari Urwah, yaitu, Aswad bin Yazid, Qasim bin Abdurrahman, Qasim bin Muhamad bin Abu Bakar, Umrah bin Abdurrahman, Yahya bin Abdurrahman bin Hatib.

Beliau juga mengumpulkan nama-nama yang mengambil hadits ini dari Hisyam bin Urwah, yaitu Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abu Hamzah Maimun, budak Urwah.  

Para perawi tersebut menyebut beberapa penduduk Madinah yang mengambil riwayat dari Hisyam bin Urwah, agar para pembaca mengetahui bahwa hadits ini termasuk yang disampaikan Hisyam di Madinah juga. Mereka adalah; Abu Zanad Abdullah bin Zakwan, puteranya Abdurrahman bin Zanad dan Abdullah bin Muhamad bin Yahya bin Urwah.

Adapun perawi yang merupakan penduduk Mekah adalah Sufyan bin Uyaiynah, Jarir bin Abdulhamid Adh-Dhabi, penduduk Ray. Sedangkan dari penduduk Bahrah adalah Hamad bin Salamah, Hamad bin Zaid, Wuhaib bin Khalid, dll.

Lihat ceramah yang disampaikan oleh Abu Ishaq Al-Huwainy yang menjelaskan ketidaktahuan penulis artikel tersebut dalam soal jawab. Berikut linknya. 

http://www.islamway.com/?iw_s=Lesson&iw_a=view&lesson_id=86106

Demikin juga link ini,

http://www.islamway.com/?iw_s=Lesson&iw_a=view&lesson_id=86495

Data ini semuanya untuk menolak syubhat kaum yang bodoh bahwa Hisyam bin Urwah sendiri yang meriwayatkan. Walaupun jika diterima perkiraan bahwa Hisyam di akhir hidupnya mengalami gangguan hafalan, akan tetapi tuduhan ini hanya dinyatakan oleh Hasan bin Qathan dalam ‘Bayanul Wahmi Wal Iham’ dan dia keliru dalam masalah ini.

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,

“Hisyam bin Urwah, salah seorang pemuka ulama, akan tetapi, pada usia senja, hafalannya berkurang, akan tetapi sama sekali tidak rancu. Apa yang dinyatakan oleh Abul Hasan Al-Qathan bahwa beliau dan Suhail bin Abi Shalih kacau hafalannya dan berubah adalah tidak dianggap. Ya, hafalannya sempat terganggu sedikit, daya hafalnya tidak sebagaimana dia semasa mudah, sehingga dirinya lupa sebagian yang dihafal atau keliru.

Lalu mengapa? Apakah dia maksum dari sifat lupa?

Ketika dia datang Irak di akhir usianya dia banyak meriwayatkan ilmu, dalam waktu yang singkat itu, ada beberapa hadits yang tidak dia ingat. Perkara seperti ini dapat terjadi pada Imam Malki, Syu’bah, Waki’ dan para tokoh perawi yang terpercaya.

Maka tinggalkan kesimpangsiuran ini, jangan campuradukkan tokoh ulama terpercaya dengan perawi-perawi yang lemah serta yang riwayatnya sering tercampur.

Hisyam merupakan Syakhul Islam. Maka kita sedih dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu Qathan. Begitupula apa yang diucapkan oleh Abdurrahman bin Kharras, ‘Dahulu Malik tidak ridha kepadanya. Beliau tidak menyukai haditsnya untuk penduduk Irak.” (Mizanul I’tidal, 4/301-302)

Ke 4. Demikian pula yang meriwayatkan kisah pernikahan Nabi dengan Aisyah saat dia berusia 9 tahun, adalah orang-orang selain Aisyah dan mereka bertemu dengannya serta orang yang lebih mengetahui tentang Aisyah dibanding selain mereka.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad, 6/211, dari Muhamad bin Bisyr, dia bekata, telah menyampaikan kepada kami Muhamad bin Amr, dia berkata, telah menyampaikan kepada kami Abu Salamah dan Yahya, keduanya berkata :

“Ketika Khadijah wafat, Khaulah binti Hakim, isteri Utsman bin Maz’un, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau tidak ingin menikah (lagi)?’Beliau berkata, ‘(Dengan) siapa?’ dia berkata, ‘Kalau engkau suka dapat dengan seorang gadis, kalau engkau suka, dapat dengan seorang janda.’ Beliau berkata, ‘Dengan gadis (siapa)?’ Dia berkata, ‘Dengan puteri makhluk  Allah yang paling engkau cintai; Aisyah bintu Abu Bakar…”

Lalu disebutkanlah kisahnya secara terperinci, di dalamnya disebutkan bahwa ketika akad Aisyah berusiah 6 tahun, kemuian baru digauli ketika dia berusia 9 tahun.”

Ke 5. Dan riwayat ini yang langsung Aisyah sendiri yang meriwayatkannya, juga diriwayatkan oleh orang-orang selainnya, hal inilah yang dijadikan sebagai sejarah yang berbicara tentang riwayat hidupnya. Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Perkara ini bukan tempatnya untuk berijtihad, karena ketika seseorang telah meriwayatkan apa yang terjadi pada dirinya, maka tidak ada seorang punyang boleh berijihad

Ke 6. Rujukan-rujukan sejarah telah sepakat bahwa Aisyah radhiallahu anha dilahirkan setelah datangnya Islam. Yaitu 4 atau 5 tahun setelah kenabian . 

Imam Baihaqi rahimahullah berkata ketika beliau berkomentar terhadap hadits, ketika mengomentari hadits,

لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ

“Aku belum baligh ketika kedua orang tuaku telah memeluk agama itu (Islam).” 

“Aisyah radhiallahu anha di lahirkan dalam masa Islam, karena kedua orang tuanya telah masuk Islam sejak pertama kali Nabi diutus.

Terdapat riwayat shahih dari Aswad dari Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah menikahinya saat dia berusia 6 tahun dan menggaulinya saat dia berusia 9 tahun, dan Rasulullah wafat saat dia berusia 18 tahun.

Akan tetapi, Asma dilahirkan pada masa jahiliah, lalu dia masuk Islam seiring dengan Islamnya sang bapak. Sebagaiman disebutkan oleh Abu Abdillah bin Mandah, sebuah hikayat dari Ibnu Abi Zanadd, bahwa Asma binti Abu Bakar sepuluh tahun lebih tua dari Aisyah sedangkan Islamnya Asma terlambat. 

Asma radhiallahu anha berkata, “Ibuku mendatangiku saat dia masih musyrik..” lalu dia mengisahkan, namun sang ibu terbunuh. Ibunya Asma bukan ibunya Aisyah. Karena Islamnya Asma karena Islamnya sang bapak, bukan karena sang ibu.

Adapun Abdurrahman bin Abu Bakar, tampaknya dia sudah baligh ketika kedua orang tuanya masuk Islam, namun dia tidak segera mengikuti keduanya masuk Islam dan baru masuk Islam setelah selang waktu sekian lama. Dia adalah anak Abu Bakar yang paling tua.” (As-Sunan Al-Kubra, 6/203)

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Aisyah termasuk yang dilahirkan setelah Islam, dia lebih muda 8 tahun dari Fathimah. Dia berkata, ‘Aku belum baligh saat kedua orang tuaku memeluk Islam.” (Siyar A’lam An-Nubala, 2/139)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Aku dilahirkan, maksudnya Aisyah, 4 atau 5 tahun setelah diutus (Rasulullah ).” (Al-Ishabah, 8/16)  

Maka, usianya saat hijrah adalah 8 atau 9 tahun. Hal ini sesuai dengan hadits sebelumnya. 

Ke 7- Sumber-sumber sejarah juga sepakat bahwa Nabi wafat saat Aisyah berusia 18 tahun, maka ketika hijrah, dia berusia 9 tahun. 

Ke 8- Sebagaiman meriwayatkan juga buku-buku sirah, tarikh, biorgrafi, bahwa Aisyah radhiallahu anha wafat saat berusia 63 tahun. Yaitu pada tahun 57 H. Maka usianya sebelum hijrah adalah 6 tahun. Maka jika digenapkan, sebagaimana kebiasaan masyarakat Arab yang menggenapkan dalam menghitung tahun, maka usianya saat hijrah adalah 8 tahun, sedangkan usianya saat digauli Nabi shallallau alaihi wa sallam 8 bulan setelah hijrah adalah 9 tahun. 

Ke 9. Apa yang disebutkan sebelumnya, juga sesuai sebagaimana yang diberitakan para ulama tentang perbedaan antara usia Asma binti Abu Bakar dan Aisyah radhiallahu anha. Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Dia, maksdunya Asma, lebih tua sepuluh tahun lebih dari Aisyah.” (Siyar A’lam An-Nubala, 2/188) 

Aisyah dilahirkan 4 atau 5 tahun setelah masa kenabian. Abu Nuaim berkata dalam Mu’jam Ash-Shahabat, tentang Asma, bahwa dia dilahirkan 10 tahun sebelum diutusnya Nabi .

Maka selisih usia antara Aisyah dan Asma adalah 14 atau 15 tahun. Ini merupakan ucapan AzZahibi terdahulu, yaitu bahwa dia, Asma, lebih tua sepuluh tahun lebih dari Aisyah.”  

Ke 10. Meskipun kami kutip angka-angka yang valid dari buku-buku sejarah dan biografi, akan tetapi, pedoman dasar kami adalah riwayat yang berdasarkan sanad shahih, apa yang kami kutip dari buku-buku tersebut bukan kutipan tanpa sanad, akan tetapi, kutipan-kutipan tadi seluruhnya sesuai dengan apa yang telah kami sebutkan di awal jawaban berupa hadits-hadits shahih seterang matahari, karena itu kami sertakan pula informasi penguat dari buku-buku sejarah.

**PEMBAHASAN KEDUA:**

Adapun jawaban tentang alasan penulis artikel tersebut bahwa sesuai informasi yang disebutkan dalam sebagian referensi bahwa perbedaan usia antara Asma dan Aisyah adalah 10 tahun, maka kami katakan, bahwa sesungguhnya semua itu tidak terdapat dalam sanad yang shahih, seandainya sanadnya shahih, maka mungkin dipahami dengan menyesuaikan dalil-dalil yang tegas sebelumnya.

Adapun dari segi sanad, riwayat ini diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Zanad, dia berkata, “Adalah Asma binti Abu Bakar 10 tahun lebih tua dari Aisyah.”

Riwayat ini berasal dari dua jalur;

Jalur pertama;

Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq (10/69), dia berkata, “Menyampaikan kepada kami Abul Hasan Ali bin Ahmad Al-Maliki, menyampaikan kepada kami Ahmad bin Abdul Wahid As-Silmy, menyapaikan kepada kami Abu Muhamad bin Zubr, menyampaikan kepada kami Ahmad bin Saad bin Ibrahim Az-Zuhri, menyampaikan kepada kami Muhamad bin Abi Sufyan, menyampaikan kepada kami Al-Ashmai, menyampaikan kepada kami Ibnu Abi Zanad, dia berkata, lalu dia menyebutkannya (riwayat tersebut). 

Jalur kedua:

Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam Al-Isti’ab Fi Ma’rifatil Ashab (2/616), dia berkata, ‘Telah menyampaikan kepada kami Ahmad bin Qasim, telah menyampaikan kepada kami Muhamad bin Muawiyah, telah menyampaikan kepada kami Ibrahim bin Musa bin Jamil, telah menyampaikan kepada kami Ismail bin Ishaq Alqadhi, telah menyampaikan kepada kami Nashr bin Ali, telah menyampaikan kepada kami Al-Ashmai, dia berkata, telah menyampaikan kepada kami Ibnu Abi Zanad, dia berkata, ‘Asma binti Abu Bakar berkata, dia kurang lebih sepuluh tahun lebih tua dari Aisyah.

Jika seorang peneliti yang obyektif memperhatikan riwayat-riwayat ini, maka akan tampak baginya bahwa mengambil zahir satu riwayat lalu meruntuhkan dalil-dalil shahih yang bertentangan dengannya, merupakan kejahatan ilmiah.

Hal tersebut sebagai berikut;

Ke 1. Sendirinya Abdurrahman bin Abi Zanad (100 – 174 H) dalam menetapkan perbedaan usia Asma dan Aisyah radhiallahu anhuuma sebanyak 10 tahun. Adapun dalil-dalil sebelumnya sangat banyak dan diriwayatkan oleh lebih dari seorang tabiin. Perlu diketahui bahwa yang lebih banyak didahulukan dari yang sedikit.

Ke 2. Para ulama sendiri mayoritas melemahkan Abdurrahman bin Abi Zanad. Terdapat dalam biografinya dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib (6/172) mengutip perkataan Imam Ahmad, di dalamnya beliau menyatakan bahwa dia (Abdurrahman bin Abi Zanad) adalah mudhtaribul hadits (haditsnya tidak ajeg).

Begitu pula ucapan Ibnu Main tentangnya, “Bukan orang yang dijadikan sebagai hujjah oleh ahli hadits.”

Ucapan Ibnu Madiny, “Apa yang dia riwayatkan di Madinah adalah shahih, tapi apa yang diriwayatkan di Baghdad telah dirusak oleh orang-orang Baghdad. Dan aku melihat Abdurrahman, maksudnya Ibnu Mahdy, telah menulis hadits-hadits Abdurrahman bin Abi Zanad, dia berkata dalam haditsnya tentang guru-guru merka, lalu orang-orang Baghdad menerimanya dari para ahli fiqih merek dengan menyebutkannya, dari fulan, fulan dan fulan.” Abu Hatim berkata, “Dia menuliskan haditsnya namun tidak dijadikan hujah”. An-Nasai berkata, “Haditsnya tidak dapat dijadikan hujah.” Abu Ahmad bin Adi berkata, “Sebagian yang dia riwayatkan, tidak dapat diikuti.”  

Adapun Tirmidzi menyatakan dia sebagai tsiqah dalam sunannya pada hadits no. 1755, maka hal itu bertentangan dengan kritik yang telah diuraikan sebelumnya. Hal ini (kritik) lebih dianggap ketimbang rekomendasi. Khususnya karena sendirinya Abdurrahman bin Abi Zanad dengan redaksi yang bertentangan dengan apa yang telah dikenal dalam kitab-kitab sunah dan sejarah. 

2.Ucapannya dalam riwayat Ibnu Abdil Barr, “Dia (Asma) kurang lebih 10 tahun lebih tua dari Aisyah.” Riwayat ini lebih shahih dari riwayat Ibnu Asakir, karena Nashr bin Ali, yang merawikan dari Al-Ashmai dan sanad Ibnu Abdil Barr adalah tsiqah dan hafiz, sebagaiman disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib (10/431), adapun Muhamad bin Abi Sufyan, perawi dari Al-Ashmai dalam sanad Ibnu Asakir, tidak ada seorang pun yang menyatakan tsiqah.

Ucapannya dalam riwayat Ibnu Abdil Bar (atau semacamnya) merupakan dalil bahwa beliau tidak membatasi angka sepuluh tahun, hal ini menunjukkan lemahnya periwayatannya, maka tidak dibenarkan bagi seorang peneliti yang obyektif membantah dalil-dalil sebelumnya (yang shahih) hanya karena riwayat yang meragukan ini.

Ke 3. Kemudian, masih mungkin untuk melakukan kompromi antara riwayat ini dengan riwayat-riwayat lainnya. Yaitu dengan mengatakan, bahwa kelahiran Asma adalah 5 atau 6 tahun sebelum diutusnya kenabian, sedangkan Aisyah dilahirkan 4 atau 5 tahun sesudah kenabian. Ketika Asma wafat pada tahun 73 H, usianya 91 atau 92 tahun.

Ini yang disebutkan Adz-Dzahabi dalam Siyar A’lam An-Nubala (3/380), “Ibnu Zanad berkata, ‘Dia (Asma) 10 tahun lebih tua dari Aisyah.’

Aku (Adz-Dzahabi) berkata, ‘Maka dengan demikian, usianya adalah 91 tahun. Adapun Hisyam bin Urwah berkata, ‘Aisyah usianya 100 tahun dan giginya tidak rontok, dan hal ini tidak diingkari logika.” 

Demikian pula, memungkinkan untuk dikatakan bahwa Asma dilahirkan 14 tahun sebelum masa kenabian. Hal ini diakui oleh penulis penulis itu sendiri dalam artikelnya tersebut.

Usianya pada tahun peristiwa hijrah adalah 27 tahun, sedangkan usianya ketika wafat pada tahun 73 H, adalah 100 tahun. Maka kesimpulan ini cocok dengan referensi buku-buku sejarah terkait dengan Asma binti Abu Bakar radhiallahu anha, yaitu bahwa wafatnya terjadi pada tahun peristiwa pembunuhan terhadap Abdullah bin Zubair (73H) dan bahwa dia wafat pada usia 100 tahun.

Hisyam bin Urwah berkata dari bapakanya, “Asma mencapai usia 100 tahun dan tidak ada giginya yang rontok, hal ini tidak diingkari secara logika.”

Berikut ini nama kitab-kitab referensi yang menyebutkan hal itu; Hilyatul Auliya (2/56), Mu’jam Ash-Shahabah, Abu Nu’aim Al-Ashbahani dalam kitab Al-Isti’ab, Ibnu Abdil Barr (4/1783), Tarikh Dimasyq, Ibnu Asakir (8/69), Usdul Ghobah, Ibnu Atsir (12/7), Al-Ishabah, Ibnu Hajar (7/487), Tahzibul Kamal (35/125)

Adapun dia dilahirkan 10 tahun sebelum masa kenabian, hal ini dinyatakan oleh Abu Nuaim Al-Asfahani dengan redaksi yang di dalamnya terdapat ungkapan :

‘Dia (Asma) adalah saudara perempuan sebapak dengan Aisyah, dia lebih tua dari Aisyah, dilahirkan 27 sebelum sebelum hijrah, dan 10 tahun sebelum kenabian Rasulullah , sedangkan bapaknya dilahirkan 21 tahun sebelum kelahirannya. Asma wafat pada tahun 73 H di Mekah beberapa hari setelah puteranya Abdullah bin Zubair terbunuh . Dia berusia 100 tahun dan matanya sudah menjadi buta”

Seakan-akan yang dimaksud Abu Nuaim bahwa masa tinggalnya di Mekah selama 17 tahun. Ini adalah pendapat sebagian ahli sejarah, namun ini pendapat yang lemah. Akan tetapi hendaknya diingatkan masalah ini apabila hendak memahami perkataan Abu Nuaim.

Wallahu a’lam..

 

===*****===

ARTIKEL KE TIGA:
**BANTAHAN TERHADAP TUDUHAN PERNIKAHAN NABI  DENGAN AISYAH DI USIA 18 TAHUN**

الرَّدُّ عَلَى فِرْيَةِ زَوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ بِعَائِشَةَ وَلَهَا ١٨ سَنَةً

Dari ISLAMQA Fatwa No. 12253

Berikut ini terjemahannya :

**Bantahan Terhadap Tuduhan Pernikahan Nabi dengan Aisyah di Usia 18 Tahun**

Segala puji bagi Allah.

**PEMBAHASAN PERTAMA:**

Hadits-hadits sahih telah menyebutkan bahwa Nabi melangsungkan akad nikah dengan Aisyah radhiyallahu 'anha saat ia berusia enam tahun, dan memasuki hidup bersama beliau saat berusia sembilan tahun. Di antaranya adalah:

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:

(تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ ﷺ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ فَوُعِكْتُ [أي : أصابتها حمى] ... فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي ، فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لَا أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي ، فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ وَإِنِّي لَأُنْهِجُ حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي ، ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي ، ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ ، فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ فَقُلْنَ : عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ . فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي فَلَمْ يَرُعْنِي إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ضُحًى فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ)

"Nabi menikahiku ketika aku berusia enam tahun, lalu kami pindah ke Madinah dan kami tinggal di Bani Harits bin Khazraj. Kemudian aku jatuh sakit (yaitu terkena demam) ... Kemudian ibuku, Ummu Ruman, mendatangiku saat aku sedang bermain ayunan bersama teman-temanku, dan ia memanggilku. Aku pun datang kepadanya tanpa mengetahui apa yang diinginkannya dariku. Ia kemudian memegang tanganku dan membawaku hingga berdiri di depan pintu rumah. Saat itu aku masih terengah-engah hingga napasku mereda, lalu ia mengambil sedikit air dan mengusapkannya pada wajah dan kepalaku, kemudian membawaku masuk ke dalam rumah.

Di sana ada sejumlah perempuan dari kaum Anshar yang mengucapkan, ‘Semoga keberuntungan, keberkahan, dan dalam nasib yang baik.’

Lalu mereka menyerahkanku kepada mereka untuk dibenahi penampilanku. Tiba-tiba Rasulullah datang pada waktu dhuha, lalu mereka menyerahkanku kepada beliau. Pada hari itu, aku berusia sembilan tahun.” (HR. Bukhari no. 3894 dan Muslim no. 1422).

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:

(كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ النَّبِيِّ ﷺ وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ [أي : يتخفين] مِنْهُ فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ فَيَلْعَبْنَ مَعِي)

“Aku bermain dengan boneka-bonekaan di dekat Nabi , dan aku memiliki teman-teman perempuan yang bermain bersamaku. Ketika Rasulullah masuk, mereka bersembunyi darinya, lalu beliau mengizinkan mereka masuk dan bermain bersamaku.” (HR. Bukhari no. 7130 dan Muslim no. 2440).

Abu Dawud (4932) meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:

(قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنْ غَزْوَةِ تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ :مَا هَذَا يَا عَائِشَةُ ؟ قَالَتْ : بَنَاتِي . وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ :

مَا هَذَا الَّذِي أَرَى وَسْطَهُنَّ ؟ قَالَتْ : فَرَسٌ قَالَ : وَمَا هَذَا الَّذِي عَلَيْهِ ؟ قَالَتْ : جَنَاحَانِ . قَالَ : فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ ؟! قَالَتْ : أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ ؟ قَالَتْ : فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ)

“Rasulullah pulang dari Perang Tabuk atau Khaibar, dan di tempat penyimpananku ada tirai. Lalu angin bertiup dan tersingkaplah tirai tersebut sehingga terlihat boneka-boneka milikku. Rasulullah bertanya, ‘Apa ini, wahai Aisyah?’ Aku menjawab, ‘Ini adalah boneka-bonekaku.’ Beliau melihat di antara boneka-boneka itu ada kuda bersayap dari potongan kain, dan beliau bertanya, ‘Apa yang aku lihat di tengah-tengah ini?’ Aku menjawab, ‘Kuda.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa yang menempel padanya ini?’ Aku menjawab, ‘Sayap.’ Beliau bertanya, ‘Kuda bersayap?’ Aku berkata, ‘Tidakkah engkau mendengar bahwa Sulaiman memiliki kuda bersayap?’ Lalu Rasulullah tertawa hingga terlihat gigi-giginya.”

Hadits ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam “Adab Az-Zifaf” (hal. 203).

Al-Hafidz berkata:

قَالَ الْخَطَّابِيُّ : وَإِنَّمَا أَرْخَصَ لِعَائِشَة فِيهَا [أي : اللعب] لِأَنَّهَا إِذْ ذَاكَ كَانَتْ غَيْر بَالِغ . قُلْت : وَفِي الْجَزْم بِهِ نَظَرٌ لَكِنَّهُ مُحْتَمَل ; لِأَنَّ عَائِشَة كَانَتْ فِي غَزْوَة خَيْبَر بِنْت أَرْبَع عَشْرَة سَنَة إِمَّا أَكْمَلْتهَا أَوْ جَاوَزْتهَا أَوْ قَارَبْتهَا . وَأَمَّا فِي غَزْوَة تَبُوك فَكَانَتْ قَدْ بَلَغَتْ قَطْعًا فَيَتَرَجَّح رِوَايَة مَنْ قَالَ فِي خَيْبَر" انتهى

"Al-Khattabi berkata, 'Diperbolehkannya Aisyah bermain [dengan boneka] saat itu dikarenakan ia belum mencapai usia baligh.' Saya berkata: Kepastian ini masih perlu dipertimbangkan, tetapi itu mungkin. Karena Aisyah saat Perang Khaibar berusia empat belas tahun, mungkin telah mencapainya, atau melewatinya, atau hampir mencapainya. Adapun saat Perang Tabuk, ia sudah pasti telah mencapai usia baligh, sehingga riwayat yang menyebutkan bahwa ia bermain pada waktu Perang Khaibar lebih dapat diterima."

[Perang Khaibar terjadi pada tahun tujuh Hijriah].

Muslim (1422) meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha :

(أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ ، وَلُعَبُهَا مَعَهَا ، وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ)

“Bahwa Nabi menikahinya ketika ia berusia tujuh tahun, lalu tinggal bersamanya saat berusia sembilan tahun, dan mainan-mainan bonekaannya bersamanya, dan beliau wafat saat Aisyah berusia delapan belas tahun”.

An-Nawawi berkata:

"الْمُرَاد هَذِهِ اللُّعَب الْمُسَمَّاة بِالْبَنَاتِ [العرائس] الَّتِي تَلْعَب بِهَا الْجَوَارِي الصِّغَار , وَمَعْنَاهُ التَّنْبِيه عَلَى صِغَر سِنّهَا" انتهى .

"Maksudnya adalah mainan berbentuk boneka yang biasa dimainkan oleh gadis-gadis kecil, dan ini menunjukkan usia Aisyah yang masih sangat muda."

 

Dalam riwayat ini disebutkan:

وَأَنَا بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ

(Aku berusia tujuh tahun)

Dan dalam sebagian besar riwayat disebutkan:

بِنْتُ سِتٍّ

(berusia enam tahun).

Penggabungan keduanya adalah bahwa ia berusia enam tahun lebih beberapa bulan; kadang ia hanya menyebutkan tahunnya saja, dan di waktu lain ia menyebutkan tahun yang sedang dijalani. Hal ini dijelaskan oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim.

Dan Ibnu Katsir rahimahullah telah menyampaikan bahwa ini adalah perkara yang disepakati oleh para ulama, dan tidak ada satu pun dari mereka yang menyebutkan sebaliknya. Ia rahimahullah berkata:

قَوْلُهُ : (تَزَوَّجَهَا وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ ابْنَةُ تِسْعٍ) مِمَّا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ - وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصِّحَاحِ وَغَيْرِهَا - وَكَانَ بَنَاؤُهُ بِهَا عَلَيْهِ السَّلاَمُ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ "انْتَهَى".

"Beliau menikahinya ketika Aisyah berusia enam tahun, dan hidup bersama dengannya (membangun rumah tangga) ketika ia berusia sembilan tahun, yang tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang, dan hal ini telah terbukti dalam kitab-kitab sahih dan lainnya. Dan hidup bersama dengannya (membangun rumah tangga) terjadi pada tahun kedua hijrah ke Madinah." [al-Bidayah wa al-Nihayah (3/131)]

Dan diketahui bahwa ijma' (konsensus) adalah ma'shum dari kesalahan; karena umat ini tidak akan bersatu dalam kesesatan. Telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2167) dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah bersabda:

(إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ)

(Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku di atas kesesatan).

Dan Albani menyatakannya sahih dalam "Sahih Al-Jami'" (1848).

**PEMBAHASAN KEDUA:**

Penulis artikel yang disebutkan tersebut terjebak dalam kebodohan dan fanatisme terhadap ucapan yang salah, sehingga banyak menyebarkan kebohongan dan penipuan, dengan maksud untuk membela kebatilan yang diyakininya.

Contohnya adalah apa yang disebutkan tentang Ibnu Katsir dalam "Al-Bidayah wa al-Nihayah" bahwa ia berkata tentang mereka yang lebih dahulu masuk Islam:

"وَمِنَ النِّسَاءِ : أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ وَعَائِشَةُ وَهِيَ صَغِيرَةٌ فَكَانَ إِسْلَامُ هَؤُلَاءِ فِي ثَلاَثِ سِنِينَ"

"Dan di antara wanita: Asma' binti Abu Bakar dan Aisyah yang masih kecil, maka Islam mereka terjadi dalam waktu tiga tahun."

Namun kami tidak menemukan ucapan ini dalam "Al-Bidayah wa al-Nihayah". Sebaliknya, Ibnu Katsir (3/25) berkata:

"فَكَانَ أَوَّلُ مَنْ بَادَرَ إِلَى التَّصْدِيقِ مِنَ الرِّجَالِ الْأَحْرَارِ: أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ. وَمِنَ الْغُلْمَانِ : عَلِيُّ بِنُ أَبِي طَالِبٍ. وَمِنَ النِّسَاءِ : خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ" انْتَهَى.

"Orang pertama yang cepat percaya di antara para lelaki merdeka adalah Abu Bakar As-Siddiq. Di antara anak-anak: Ali bin Abi Thalib. Di antara wanita: Khadijah binti Khuwailid."

Tidak disebutkan nama Asma' atau Aisyah radhiyallahu 'anhuma.

Aisyah radhiyallahu 'anha lahir sekitar empat tahun setelah kenabian.

Dari itu juga ada ucapannya:

"وَكَمَا ذَكَرْتُ جَمِيعُ الْمَصَادِرِ بِلَا اخْتِلَافٍ أَنَّهَا - يَعْنِي أَسْمَاءَ - أَكْبَرُ مِنْ عَائِشَةَ بِـ 10 سِنِينَ " .

"Dan semua sumber menyebutkan tanpa perbedaan bahwa dia - maksudnya Asma' - lebih tua dari Aisyah sepuluh tahun."

Padahal kenyataannya tidak demikian, karena Al-Dzahabi dalam "Siyar A'lam Al-Nubala" (3/522) menyebutkan:

"أَنَّ أَسْمَاءَ كَانَتْ أَسْنَ مِنْ عَائِشَةَ بِبِضْعَ عَشَرَ سَنَةً" انْتَهَى.

"Bahwa Asma' lebih tua dari Aisyah dengan selisih lebih dari sepuluh tahun."

Dan "البِضْعُ" dalam angka adalah antara tiga dan sepuluh.

**PEMBAHASAN KE TIGA:**  

Tidak ada yang bisa dipertanyakan dalam pernikahan Nabi dengan Aisyah radhiyallahu 'anha saat dia berusia sembilan tahun. Sudah diketahui bahwa usia dewasa wanita berbeda-beda tergantung pada suku dan iklim. Di daerah panas, seorang gadis akan mencapai kedewasaan lebih awal, sementara di daerah kutub yang dingin, usia dewasa dapat terlambat hingga usia 21 tahun. 

Imam Turmuzi berkata:

قَالَتْ عَائِشَةُ : إِذَا بَلَغَتْ الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِينَ فَهِيَ امْرَأَةٌ .

Aisyah berkata, "Jika seorang gadis telah berusia sembilan tahun, maka dia adalah seorang wanita." ["Sunna Turmuzi" (2/409)]. 

Imam Syafi'i berkata,

"رَأَيْتُ بِالْيَمَنِ بَنَاتٍ تِسْعٍ يَحِضْنَ كَثِيرًا".

"Saya melihat di Yaman ada gadis berusia sembilan tahun yang sudah haid."  ["Siar A'lam an-Nubala" (10 / 91)]. 

Dan Al-Baihaqi (1588) meriwayatkan dari Al-Syafi'i:

" أَعْجَلُ مَنْ سَمِعْتُ بِهِ مِنَ النِّسَاءِ يَحِضْنَ نِسَاءٌ بِتِهَامَةَ يَحِضْنَ لِتِسْعِ سِنِينَ " .

"Seorang wanita yang saya dengar cepat haid berasal dari Tihamah, mereka haid di usia sembilan tahun." 

Imam Syafi'i juga berkata,

" رَأَيْتُ بِصَنْعَاءَ جَدَّةً بِنْتَ إِحْدَى وَعِشْرِينَ سَنَةً ، حَاضَتْ ابْنَةَ تِسْعٍ وَوَلَدَتْ ابْنَةَ عَشْرٍ ، وَحَاضَتِ الْبِنْتُ ابْنَةَ تِسْعٍ وَوَلَدَتْ ابْنَةَ عَشْرٍ "

"Aku melihat di Shana'a seorang nenek berusia *dua puluh satu tahun*. Ia mengalami haid (menstruasi) pada usia *sembilan tahun* dan melahirkan pada usia *sepuluh tahun*. Anak perempuannya juga mengalami haid pada usia *sembilan tahun* dan melahirkan pada usia *sepuluh tahun*". ["Al-Sunan al-Kubra Al-Baihaqi" (1 / 319)]. 

Oleh karena itu, Nabi menikahi Aisyah radhiyallahu 'anha ketika dia sudah dewasa atau hampir mencapai usia dewasa.[SELESAI DARI ISLAMQA] 

===****===

ARTIKEL KE EMPAT :
**USIA UMMUL MUKMININ AISYAH SAAT MENIKAH DENGAN NABI : KAJIAN DAN BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT**

سِنُّ أُمِّ المُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ عِنْدَ زَوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ بِهَا تَحْقِيقٌ وَدَفْعُ شُبْهَةٍ

Oleh : **Alaa Ibrahim Abdur Rahim Abdur Rahim**

Di Terjemahkan oleh Abu Haitsam Fakhry

===****===

**PENDAHULUAN**

Para penentang sering kali mahir menghias klaim-klaim mereka yang batil dengan dalih penalaran rasional dan hitungan-hitungan yang tidak berdasar. Mereka berusaha memberi kesan akademis dan objektif ilmiah, namun kenyataannya bertolak belakang dengan klaim mereka, dan metode ilmiah justru membuktikan sebaliknya. Dengan contoh, akan jelaslah pembahasan ini.

Salah satu contoh adalah tuduhan sebagian penulis yang meragukan keakuratan banyak hadits dan riwayat yang berkaitan dengan Islam dan diterima oleh mayoritas Muslim, seperti riwayat pernikahan Rasulullah dengan Sayyidah Aisyah saat usianya sembilan tahun.

[Inilah yang diklaim oleh Islam Al-Buhairi. Berikut tautan perkataannya: 

https://www.youm7.com/story/2008/10/16/%D8%B2%D9%88%D8%A7%D8%AC-%D8%A7%D9%84%D9%86%D8%A8%D9%89-%D9%85%D9%86-%D8%B9%D8%A7%D8%A6%D8%B4%D8%A9-%D9%88%D9%87%D9%89-%D8%A8%D9%86%D8%AA-9-%D8%B3%D9%86%D9%8A%D9%86-%D9%83%D8%B0%D8%A8%D8%A9-%D9%83%D8%A8%D9%8A%D8%B1%D8%A9/44788 .

Sebelumnya, klaim ini juga pernah disampaikan oleh penulis lain, seperti Abbas Mahmud Al-‘Aqqad, yang menulis sebuah buku untuk menolak hadits-hadits sahih terkait pernikahan Nabi dengan Aisyah radhiyallahu 'anha saat beliau berusia enam tahun, berjudul *As-Siddiqah Bint As-Siddiq*, diterbitkan oleh Dar Al-Ma'arif, Mesir. Syekh Ahmad Syakir menanggapinya dalam artikel berjudul *Tahqiq Sann Aisyah* yang diterbitkan di Majalah Al-Muqtathaf, edisi Rabi'ul Awal 1363 H, April 1944 M].

Sebagian dari mereka bahkan berlebihan dengan menyatakan bahwa pernikahan Rasulullah dengan Aisyah radhiyallahu 'anha pada usia sembilan tahun adalah sebuah "kebohongan besar" dalam kitab-kitab hadits ([Lihat : Artikel Jamal Al-Banna dalam bukunya *Tajrid Al-Bukhari wa Muslim min Al-Ahadits Allati La Talzam* (hal. 74)]).

Tulisan ini adalah sebuah pembahasan ilmiah yang tenang terhadap tuduhan dan hitungan tersebut; disusun sesuai dengan metodologi ilmiah, dan jauh dari sikap emosional. Caranya adalah dengan menyebutkan hadits, menjelaskan derajatnya, bagaimana diterima oleh para ulama, lalu mendiskusikan tuduhan-tuduhan tersebut dengan adil, tanpa berlebihan. Allah Ta'ala adalah tujuan akhir, dan Dia adalah sebaik-baik penolong.

*****

** PERTAMA: TEKS HADITS:**

Dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah radhiyallahu 'anha :

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَأُدْخِلَتْ عَلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ، وَمَكَثَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا

“Bahwa Nabi menikahinya ketika ia berusia enam tahun, dan mulai serumah dengannya ketika ia berusia sembilan tahun, dan Aisyah tinggal bersamanya selama sembilan tahun”. ([Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (5133) dan Muslim (1422)]).

** KEDUA: DERAJAT HADITS DAN PENERIMAAN PARA ULAMA:**

Hadits ini memiliki derajat sahih tertinggi; diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits – al-Bukhari dan Muslim – dalam kitab sahih mereka yang merupakan kitab paling sahih setelah Al-Qur'an. Maka, hadits ini jelas “dengan lafaz-lafaz yang tidak mungkin ditakwilkan oleh para penginterpretasi, dan tidak bisa dimainkan oleh para pelaku kebatilan” ([Lihat: *Jamharot Maqalat Ahmad Syakir* (1/354)]).

Hadits ini sama sekali tidak mengandung cela; karena tidak hanya diriwayatkan oleh Urwah dari Aisyah, begitu pula bukan hanya Hisyam bin Urwah yang meriwayatkannya dari Urwah, seperti yang diklaim sebagian pihak.

[*] Urwah tidak sendirian dalam meriwayatkan hadits ini dari Aisyah; bersama dengan beliau juga ada Al-Aswad bin Yazid sebagaimana dalam riwayat Muslim (1422/72), Ibnu Abi Mulaikah ([Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *As-Sunan Al-Kubra* (5345).]), Abu Ubaidah ([Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *Al-Mujtaba* (3257).]), Abu Salamah bin Abdurrahman ([Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *Al-Mujtaba* (3379)]), dan lainnya.

[*] Hisyam juga bukan satu-satunya yang meriwayatkan hadits ini dari Urwah; karena Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri juga meriwayatkannya dari Urwah, dan haditsnya terdapat dalam riwayat Muslim (Sahih Muslim 1422/71).

[*] Hadits ini juga tidak hanya diriwayatkan oleh para perawi dari Irak dari Hisyam; karena ada yang meriwayatkannya dari beliau seperti Sufyan bin Uyaynah yang berasal dari Makkah ([Diriwayatkan oleh Abu Awanah dalam *Al-Mustakhraj* (4260)]), Abdurrahman bin Abi Az-Zinad yang berasal dari Madinah ([Diriwayatkan oleh Ahmad dalam *Al-Musnad* (41/360)]), dan Abu Usamah yang berasal dari Kufah ([Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (3896)]), serta lainnya.

Hadits ini juga datang dari jalur lain yang sahih selain dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha; hadits ini diriwayatkan pula oleh Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Amr bin Ash, dan lainnya. Beberapa ulama bahkan menyatakan bahwa hadits ini mutawatir. Syaikh Ahmad Syakir, dalam menanggapi Abbas Mahmud Al-Aqqad, menyatakan:

“ثُمَّ ما بالُهُ يَدَعُ الرِّواياتِ الصَّحيحَةَ المُتَواتِرَةَ، ولا يَسْتَنِدُ إِلَّا إلى الرِّواياتِ الشّاذَّةِ أَوِ المُنْكَرَةِ، الَّتي تُخالِفُ كُلَّ رِوايَةٍ صَحيحَةٍ؟”

"Mengapa ia meninggalkan riwayat-riwayat sahih yang mutawatir, dan malah hanya bersandar pada riwayat-riwayat yang syadz atau mungkar yang bertentangan dengan semua riwayat yang sahih?" ([Baca : *Jamharat Maqalat Ahmad Syakir* (1/357)]).

Oleh karena itu, para ulama sepakat menerima hadits ini tanpa ada yang mencelanya. Maka dari itu, al-Hafidz Ibnu Abdil Barr mengatakan :

“لَا أَعْلَمُهُمْ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ”

 “Aku tidak mengetahui ada di antara mereka yang berselisih tentang hal itu.” ([*Al-Isti'ab fi Ma’rifat Al-Ashab* (4/1881)])

Al-Hafidz Ibnu Katsir juga menegaskan tidak adanya perbedaan pendapat mengenai hal ini dengan mengatakan:

“تَزَوَّجَهَا وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ ابْنَةُ تِسْعٍ، مَا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصِّحَاحِ وَغَيْرِهَا، وَكَانَ بِنَاؤُهُ بِهَا -عَلَيْهِ السَّلَامُ- فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الهِجْرَةِ إِلَى المَدِينَةِ”

“Beliau menikahinya saat ia berusia enam tahun, dan membina rumah tangga dengannya ketika ia berusia sembilan tahun. Hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara umat manusia, dan hal tersebut tercantum dalam kitab-kitab sahih dan lainnya. Pernikahan beliau dengannya terjadi pada tahun kedua hijrah ke Madinah.” ([*Al-Bidayah wa An-Nihayah* (3/131)]).

Beberapa penulis berusaha menggambarkan masalah ini seolah-olah merupakan sesuatu yang diperdebatkan oleh para ulama; ia berkata :

"وَتَخْتَلِفُ الأَقْوَالُ فِي سِنِّ السَّيِّدَةِ عَائِشَةَ يَوْمَ زُفَّتْ إِلَى النَّبِيِّ -عَلَيْهِ السَّلَام- فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الهِجْرَةِ، فَيَحْسِبُهَا بَعْضُهُمْ تِسْعًا، وَيَرْفَعُهَا بَعْضُهُمْ فَوْقَ ذَلِكَ بِضْعَ سَنَوَاتٍ"

“Pendapat tentang usia Aisyah ketika dinikahi oleh Nabi pada tahun kedua hijrah itu berbeda; ada yang mengatakan sembilan tahun, sementara sebagian lainnya menaikkannya beberapa tahun lebih tua dari itu”([ *As-Siddiqah Bint As-Siddiq* karya Abbas Mahmud Al-‘Aqqad (hal. 64).]).

Syaikh Ahmad Syakir menanggapi pernyataan ini dengan berkata :

"أَمَّا زَعْمُهُ أَنَّ بَعْضَهُمْ يَرْفَعُهَا فَوْقَ ذَلِكَ بِضْعَ سَنَوَاتٍ، فَإِنَّهُ قَوْلٌ مُبْتَكَرٌ لَمْ يَقُلْهُ أَحَدٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ، وَلَمْ يَرِدْ فِي رِوَايَةٍ مِنَ الرِّوَايَاتِ، وَإِنَّمَا يُرِيدُ أَنْ يَتَزَيَّدَ بِهِ وَيَصِلَ إِلَى بَغْيَتِهِ"

“Adapun klaim bahwa sebagian orang menaikkan usianya beberapa tahun lebih tua dari itu, maka ini adalah pernyataan yang dibuat-buat, tidak pernah dikatakan oleh seorang pun dari kalangan ulama, dan tidak ada dalam satu riwayat pun. Ia hanya ingin menambahkan sesuatu yang tidak benar untuk mencapai tujuannya”([ *Jamharat Maqalat Ahmad Syakir* (1/355)]).

** KETIGA: MENOLAK ANGGAPAN BAHWA HADITS INI BERTENTANGAN DENGAN REALITAS MASYARAKAT SAAT INI **

Anggapan yang berkembang di kalangan masyarakat saat ini bahwa seorang anak perempuan berusia sembilan tahun masih tergolong anak kecil dan belum mampu menanggung beban pernikahan, tidak bertentangan dengan hadits sahih dari Nabi ini. Penjelasannya sebagai berikut:

**Pertama**: Bahwa pernikahan Nabi dengan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah berdasarkan wahyu dari Allah Ta’ala. Allah menjamin keselamatan dalam tindakan Nabi dan menjauhkan kesalahan darinya. Hal ini ditunjukkan dalam riwayat shahih yang terdapat dalam *Shahih al-Bukhari* dan *Muslim* dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, yang berkata bahwa Rasulullah bersabda :

"أُرِيتُكِ فِي الْمَنَامِ ثَلاَثَ لَيَالٍ، جَاءَنِي بِكِ الْمَلَكُ فِي سَرَاقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ، فَيَقُولُ: هَذِهِ امْرَأَتُكِ، فَأَكْشِفُ عَنْ وَجْهِكِ فَإِذَا أَنْتِ هِيَ، فَأَقُولُ: إِن يَكُ هذا مِنْ عِندِ اللَّهِ يُمْضِهُ"

“Aku melihatmu dalam mimpiku selama tiga malam, seorang malaikat datang kepadaku dengan membawa dirimu dalam sehelai kain sutera. Malaikat itu berkata, ‘Ini adalah istrimu,’ maka aku membuka kain penutup wajahmu dan ternyata itu adalah engkau. Maka aku berkata, ‘Jika ini memang dari Allah, maka Allah pasti akan melaksanakannya’”. ([Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (3895) dan Muslim (2438)]).

Makna Kata *سَرَاقَةٍ* berarti potongan kain putih dari sutra khusus. Lihat *Gharib Al-Hadith* karya Abu Ubaid (5/268).

**Kedua**: Tidak ada yang perlu dipertanyakan dalam pernikahan Nabi dengan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha ketika ia berusia sembilan tahun, karena hal ini sesuai dengan adat istiadat Arab dan apa yang umum pada waktu itu; di mana gadis yang berusia sembilan tahun dianggap telah mencapai usia baligh dan dapat bertanggung jawab. Imam al-Baghawi mengatakan:

“لِمَا عُلِمَ أَنَّ كَثِيرًا مِن نِسَاءِ الْعَرَبِ يَدْرِكْنَ إِذَا بَلَغْنَ هَذَا السِّنَّ”.

Karena diketahui bahwa banyak wanita Arab mencapai usia ini" ([*Syarh As-Sunnah* (9/37).]).

Hal ini juga dinyatakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha yang berkata:

“إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِينَ فَهِيَ امْرَأَةٌ”

"

"Jika seorang gadis telah berusia sembilan tahun, maka ia adalah seorang wanita"

([Disebutkan tanpa sanad oleh At-Tirmidzi dalam *As-Sunan* (3/410), Al-Baihaqi dalam *Al-Kubra* (1/476), dan Al-Baghawi dalam *Syarh As-Sunnah* (9/37).]),

Dan maksudnya -sebagaimana dijelaskan oleh al-Hafidz al-Bayhaqi-:

“تَعْنِي -وَاللَّهُ أَعْلَمُ-: فَحَاضَتْ، فَهِيَ امْرَأَةٌ”

"Ia maksudkan -Wallahu A'lam-: Jika ia telah haid, maka ia adalah seorang wanita" ([*As-Sunan Al-Kubra* (1/476)]).

Nabi tidak melangsungkan pernikahan dengan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha kecuali setelah ia mencapai usia baligh; hal ini dikuatkan dan dibuktikan dengan apa yang dikatakan oleh al-Dawudi:

“وَكَانَتْ عَائِشَةُ قَدْ شَبَّتْ شَبَابًا حَسَنًا”

"Aisyah telah tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik" ([Lihat: *Ikmal Al-Mu’allim bi Fawa’id Muslim* karya Al-Qadi ‘Iyadh (4/573).]).

**Ketiga**: Nabi tinggal selama dua puluh tiga tahun menyeru manusia kepada Islam. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, ia berkata:

أَنزِلَ عَلَى رَسُولِ اللهِ ﷺ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعِينَ، فَمَكَثَ بِمَكَّةَ ثَلاثَ عَشْرَةَ سَنَةً، ثُمَّ أُمِرَ بِالْهِجْرَةِ فَهَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ، فَمَكَثَ بِهَا عَشْرَ سِنِينَ، ثُمَّ تُوُفِّيَ ﷺ.

"Turun wahyu kepada Rasulullah saat beliau berusia empat puluh tahun. Beliau tinggal di Makkah selama tiga belas tahun, kemudian diperintahkan untuk berhijrah, lalu beliau hijrah ke Madinah dan tinggal di sana selama sepuluh tahun, lalu beliau wafat " ([Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (3851) dan Muslim (2351).]).

Beliau menikahi Ummul Mukminin Aisyah di Makkah dua tahun sebelum hijrah saat Aisyah berusia enam tahun. Diketahui bahwa orang-orang musyrik di Makkah selalu mengintai dakwah beliau dan menuduhnya dengan berbagai klaim dan kebohongan yang menyesatkan yang menghalangi orang-orang dari Islam dan mencegah mereka untuk mendengarkan beliau .

Jika pernikahan beliau dengan Aisyah saat dia berusia enam tahun dianggap aneh di kalangan orang Arab, tentu mereka akan sangat menentang beliau dan menyebarluaskan pernyataan tersebut di antara suku-suku Arab. Namun, karena tidak ada hal seperti itu yang terjadi, ini menunjukkan bahwa pernikahan tersebut tidak dianggap aneh di kalangan mereka dan bukan merupakan objek celaan atau penghinaan. Kitab-kitab sirah dan sejarah menjadi saksi terbaik untuk ini.

Begitu juga di Madinah; Nabi terus berdakwah kepada masyarakat di Madinah selama sepuluh tahun, dan saat itu beliau dikelilingi oleh orang-orang Yahudi yang membenci dakwah beliau dan para munafik yang menunggu kesempatan untuk menyerang orang-orang beriman. Jika pernikahan Nabi dengan Ummul Mukminin Aisyah saat dia berusia sembilan tahun merupakan hal yang aneh bagi mereka, mereka pasti akan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak wajar dan menyebarkan kebohongan di sekitarnya serta menciptakan berbagai tuduhan untuk menghalangi orang dari dakwah beliau . Namun, karena mereka tidak melakukan hal itu, ini menunjukkan bahwa pernikahan tersebut merupakan hal yang biasa bagi mereka dan tidak dianggap aneh .

([Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat tautan berikut: 

https://www.youtube.com/watch?v=vyllXDocs7A]).]

**Keempat**: Penyebaran hal ini di kalangan para ulama Islam dan pemilik empat mazhab yang diikuti, di mana mereka mengandalkan hal ini untuk menentukan usia minimum di mana seorang wanita dapat mengalami haidh. Muhammad bin Muqatil Al-Razi rahimahullah memperkirakan usia baligh seorang wanita adalah sembilan tahun; karena Nabi menikahi Aisyah radhiyallahu 'anha ketika dia berusia sembilan tahun, dan tampaknya beliau menikahinya setelah baligh. Abu Mut’ah Al-Balkhi memiliki seorang putri yang menjadi nenek pada usia sembilan belas tahun ([Lihat: *Al-Mabsuth* karya As-Sarakhsi (3/149)]).

Sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam Syafi'i rahimahullah, dia mengatakan:

“أَعْجَلُ مِمَّا سَمِعْتُ مِنَ النِّسَاءِ تَحِيضُ نِسَاءُ تَهَامَةَ؛ فَإِنَّهُنَّ يَحِضْنَ لِتِسْعِ سِنِينَ”

"Paling cepat yang saya dengar dari wanita-wanita di Thama adalah bahwa mereka haid pada usia sembilan tahun" ([Lihat: *Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i* karya Asy-Syirazi (1/77).]).

Muhammad bin Abdul Hakim meriwayatkan bahwa dia mendengar Syafi'i berkata:

“تَحْمِلُ الْمَرْأَةُ بِالْيَمَنِ لِبِنْتِ تِسْعٍ -أَوْ: عَشَرَ-“، شَكَّ ابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ.

"Seorang wanita bisa hamil di Yaman ketika dia berusia sembilan—atau sepuluh tahun," Abdul Hakim ragu-ragu ([Lihat: *Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu* karya Ibnu Abi Hatim (hal. 38)]).

Dia juga berkata:

“رَأَيْتُ بِالْيَمَنِ بَنَاتِ تِسْعٍ يَحِضْنَ كَثِيرًا”

"Saya melihat di Yaman gadis-gadis berusia sembilan tahun, banyak yang haid" ([ Lihat: *Siyar A’lam An-Nubala* (10/91)]).

**Kelima**: Hal ini tidak hanya terbatas pada bangsa Arab, tetapi juga menyebar dan dikenal di seluruh dunia dan dalam hukum-hukum lainnya. Terdapat bukti yang tidak dapat disangsikan tentang adanya pernikahan gadis-gadis kecil pada usia sembilan atau sepuluh tahun di masa itu dan setelahnya. Perhatikan apa yang tercantum dalam Ensiklopedia Katolik bahwa Maria Perawan bertunangan dengan Yusuf tukang kayu saat dia berusia dua belas tahun, sementara Yusuf berusia lebih dari sembilan puluh tahun, artinya selisih usia di antara mereka lebih dari tujuh puluh delapan tahun.

[Untuk rincian lebih lanjut tentang peristiwa dan kasus ini, lihat tautan berikut: 

https://ar.islamway.net/article/2978/%D8%B4%D8%A8%D9%87%D8%A9-%D8%B2%D9%88%D8%A7%D8%AC-%D8%A7%D9%84%D9%86%D8%A8%D9%8A-%D8%B5%D9%84%D9%89-%D8%A7%D9%84%D9%84%D9%87-%D8%B9%D9%84%D9%8A%D9%87-%D9%88%D8%B3%D9%84%D9%85-%D9%85%D9%86-%D8%B9%D8%A7%D8%A6%D8%B4%D8%A9-%D9%88%D9%87%D9%8A-%D8%B5%D8%BA%D9%8A%D8%B1%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%B3%D9%86].

Dan contoh-contoh tentang hal ini jauh lebih banyak daripada yang bisa dihitung; jadi, bagaimana mungkin seseorang mengingkari pernikahan Nabi dengan Ummul Mukminin Aisyah—atas wahyu dari Allah Ta'ala—ketika dia berusia sembilan tahun?!

**Keenam**: Bahwa adalah kesalahan metodologis dan ketidakadilan dalam sikap untuk menghakimi suatu peristiwa di luar konteks waktu dan tempatnya, kemudian menghakimi dengan adat, kebiasaan, dan tradisi yang muncul lebih dari seribu empat ratus tahun setelahnya, sehingga mereka mengabaikan perbedaan zaman, adat, dan kebiasaan. Ini adalah bentuk kezaliman dalam mengadili tindakan apa pun.

Jika ini sudah jelas, maka mudah untuk menjawab keraguan yang diajukan oleh penulis mengenai usia Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha ketika dinikahi oleh Nabi .

**KEEMPAT: KERAGUAN TENTANG KESALAHAN DALAM MENGHITUNG USIA AISYAH JIKA DIBANDINGKAN DENGAN SAUDARANYA, ASMA'**

Penulis artikel mengklaim bahwa semua sumber sejarah - yaitu yang telah disebutkan sebelumnya - menyebutkan bahwa Asma' lebih tua dari saudaranya Aisyah 10 tahun, dan bahwa dia lahir sebelum hijrah ke Madinah 27 tahun.

** JAWABAN TERHADAP KERAGUAN **:

Dijawab bahwa klaim bahwa semua sumber sejarah menyebutkan bahwa Asma' lebih tua dari saudaranya Aisyah sepuluh tahun adalah klaim yang tidak benar, dan para ulama telah membantahnya; karena Al-Hafidz Al-Dzahabi dalam *Siyar A'lam Al-Nubala* - yang merupakan salah satu sumber yang disebutkan penulis telah digunakannya - menyebutkan bahwa Asma' lebih tua dari Aisyah radhiyallahu 'anhuma dengan beberapa belas tahun ([*Siyar A’lam An-Nubala* (2/288)]).

Dan makan *البِضْعُ* dalam bahasa Arab: adalah bilangan dari tiga hingga sembilan. ([Lihat: *Tahdzib Al-Lughah* karya Al-Azhari (1/309) dan *Al-Mu’jam Al-Wasit* (1/60)]).

Jadi, jika kita menghitung selisih waktu dengan benar berdasarkan ini, kita akan yakin bahwa Nabi menikahi Ummul Mukminin Aisyah ketika dia berusia sembilan tahun, yang menegaskan kesesuaian hadits dengan kenyataan.

Dan jika kita menganggap klaim ini benar, maka dapat dibantah bahwa penulis telah menyimpang dari metodologi ilmiah dalam kritik; karena dia mengandalkan pernyataan yang tercantum dalam buku-buku sejarah, dan mengedepankannya di atas hadits-hadits yang sahih dengan sanad yang kuat dari Rasulullah , yang mana telah dianggap oleh sebagian ulama sebagai hadits yang mutawatir.

([Di antara yang mengemukakan hal ini adalah Syekh Ahmad Syakir dalam artikelnya *Tahqiq Sinni Aisyah* di Majalah Al-Muqtathaf, edisi Rabi’ul Akhir 1363 H, April 1944 M.]).

Diketahui bahwa para sejarawan - terutama yang lebih modern - tidak mengandalkan sanad dalam menilai berita dan riwayat mereka, sedangkan sejarawan awal seperti Khalifah bin Khayyat dan Ibnu Jarir Al-Tabari banyak mengambil materi sejarah mereka dari perawi yang dinilai lemah oleh para ahli hadits, dan mereka tidak terlalu ketat dalam mengkritik perawi berita seperti yang mereka lakukan terhadap perawi hadits; karena hadits berhubungan dengan hukum syar'i, berbeda dengan riwayat sejarah.

([Lihat: *Buhuts fi Tarikh As-Sunnah Al-Musyarrafah* karya Akram Diya’ Al-Umari (hal. 210)]).

Bagaimana mungkin hadits yang sahih dan benar, dengan perawi yang adil dan akurat, dapat dibandingkan dengan riwayat dan pernyataan sejarah yang sama sekali tidak memiliki sanad?

Penulis menetapkan dan menolak berdasarkan pendapatnya meskipun ada teks yang jelas dan kesepakatan di antara ahli hadits, sirah, dan sejarah tentang pernikahan Nabi dengan Siti Aisyah ketika dia berusia enam atau tujuh tahun, dan dia berhubungan dengan Aisyah ketika dia berusia sembilan tahun!

Ditambahkan pula bahwa siapa pun yang menelusuri usia Aisyah dalam kitab-kitab sunnah dan sirah akan dengan jelas melihat bahwa klaim penulis tidak benar; perhatikan - sebagai contoh - apa yang dikatakan oleh Imam Al-Dzahabi mengenai peristiwa *hadits al-Ifk*:

“كَانَ فِي غَزْوَةِ الْمُرَيْسِعِ سَنَةَ خَمْسٍ مِنَ الْهِجْرَةِ، وَعُمْرُهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهَا يَوْمَئِذٍ اثْنَتَيْ عَشَرَةَ سَنَةً”

"Peristiwa itu terjadi dalam Perang Al-Muraisi' pada tahun kelima Hijriah, dan pada saat itu usia Aisyah radhiyallahu 'anha dua belas tahun" ([*Siyar A’lam An-Nubala* (2/153).]).

**KELIMA: KERAGUAN TENTANG KESALAHAN DALAM MENGHITUNG USIA AISYAH JIKA DIBANDINGKAN DENGAN FATHIMAH**

Penulis menyebutkan dari Ibnu Hajar dalam “Al-Isabah” bahwa Fathimah lahir pada tahun pembangunan Ka'bah dan Nabi berusia lima puluh tahun, serta bahwa Fathimah lebih tua dari Aisyah lima tahun. Dengan demikian, Aisyah lahir ketika Nabi berusia empat puluh tahun. 

**JAWABAN TERHADAP KERAGUAN:** 

Klaim ini tidak valid dari dua sisi: 

**Pertama:** Bahwa riwayat yang disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar lemah; karena berasal dari jalur Al-Waqidi, ringkasan penilaian terhadapnya seperti yang dikatakan Al-Hafiz Ibnu Hajar:

“مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ وَاقِدٍ الأَسْلَمِيُّ الوَاقِدِيُّ المَدَنِيُّ القَاضِي، نَزِيلُ بَغْدَادَ، مَتْرُوكٌ مَعَ سَعَةِ عِلْمِهِ”

“Muhammad bin Umar bin Waqid Al-Aslami Al-Waqidi, seorang hakim yang menetap di Baghdad, dianggap ditinggalkan meskipun memiliki ilmu yang luas”. ([*Taqrib At-Tahdzib* (hal. 498)]). 

**Kedua:** Al-Hafiz Ibnu Hajar tidak hanya mengandalkan riwayat yang disebutkan, tetapi juga menambahkannya dengan yang lebih sahih dan lebih sesuai; ia mengutip dari Abu Umar—yaitu Ibnu Abd al-Barr—dari Ubaidullah bin Muhammad bin Sulayman bin Ja'far Al-Hashimi:

“أَنَّهَا وُلِدَتْ سَنَةَ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ مِن مَوْلِدِ النَّبِيِّ ﷺ، وَكَانَ مَوْلِدُهَا قَبْلَ الْبَعْثَةِ بِقَلِيلٍ نَحْوَ سَنَةٍ أَوْ أَكْثَرَ، وَهِيَ أَسْنُّ مِنْ عَائِشَةَ بِنَحْوِ خَمْسِ سِنِينَ”

“Bahwa ia lahir pada tahun ke-41 setelah kelahiran Nabi , dan kelahirannya terjadi sebelum kenabian sedikit lebih dari setahun, serta ia lebih tua dari Aisyah sekitar lima tahun ([*Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah* (8/263)]). 

Pernyataan ini adalah yang benar dan sesuai dengan apa yang dikemukakan dalam hadits sahih yang kita miliki.

Jika Aisyah lebih muda dari Fathimah radhiyallahu 'anhuma lima tahun, maka ini menunjukkan bahwa dia lahir pada tahun keempat dari kenabian, dan usianya saat dinikahi oleh Nabi -sebelum hijrah- adalah enam atau tujuh tahun, sesuai dengan yang dinyatakan dalam hadits.

Hal ini didukung oleh pernyataan Ibnu Sa'd dalam kitab "Tabaqat": "Dan Aisyah lahir pada tahun keempat dari kenabian di awalnya, dan Rasulullah menikahinya pada tahun kesepuluh di bulan Syawal, dan pada saat itu dia berusia enam tahun".([*At-Thabaqat Al-Kubra* (8/79)]).

**KEENAM: SANGGAHAN BAHWA AISYAH TERMASUK ORANG-ORANG YANG AWAL MEMELUK ISLAM**

Penulis mengklaim mengutip pernyataan Ibnu Katsir dalam "Al-Bidayah wa Al-Nihayah" tentang mereka yang lebih dahulu memeluk Islam:

أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ، وَعَائِشَةَ وَهِيَ صَغِيرَةٌ، فَكَانَ إِسْلَامُ هَـؤُلَاءِ فِي ثَلاثِ سِنِينَ

"Asma binti Abu Bakar, dan Aisyah saat masih kecil, maka Islam mereka terjadi dalam tiga tahun".

Lalu dia menyimpulkan bahwa usianya saat itu adalah delapan tahun.

JAWABAN TERHADAP SANGGAHAN:

Kata-kata yang dikaitkan kepada Ibnu Katsir tidak terdapat dalam "Al-Bidayah wa Al-Nihayah," dan tidak diketahui bahwa ia mengatakannya; hal ini sebenarnya terdapat pada Al-Muthahhar bin Tahir Al-Maqdisi dalam bukunya "Al-Bida' wa Al-Tarikh"(4/146), yang merupakan pernyataan tidak benar yang telah dijelaskan oleh para ulama sebagai suatu kebohongan; kata Al-Hafidz Al-Mughaltai -sebagai komentar terhadap pernyataan mereka tentang orang pertama yang memeluk Islam-:

وَأَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ، وَعَائِشَةُ أُخْتُهَا، كَذَا قَالَهُ ابْنُ إِسَحَاقَ وَغَيْرُهُ، وَهُوَ وَهْمٌ؛ لَمْ تَكُنْ عَائِشَةُ وُلِدَتْ بَعْدُ، فَكَيْفَ تَسْلَمُ؟! وَكَانَ مَوْلِدُهَا سَنَةَ أَرْبَعٍ مِنَ النُّبُوَّةِ

"Dan Asma binti Abu Bakar, dan Aisyah saudarinya, demikianlah dikatakan oleh Ibnu Ishaq ([Lihat: *Sirah Ibnu Hisyam* (1/254)]) dan lainnya, dan ini adalah kesalahan; Aisyah belum lahir, jadi bagaimana dia bisa berislam?! Dan dia lahir pada tahun keempat dari kenabian" ([Lihat : *Al-Isyarah ila Sirah Al-Mustafa wa Tarikh Man Ba’dahu min Al-Khulafa* karya Maghaltay (hal. 109). Lihat pula *Al-Mawahib Al-Laduniyah bi Al-Minah Al-Muhammadiyah* karya Al-Qastalani (1/134)]).

**KETUJUH: KERAGUAN TENTANG PENGHITUNGAN USIA AISYAH BERDASARKAN HIJRAHNYA ABU BAKAR KE ABYSSINIA**.

Penulis berusaha mengaitkan antara hijrah ke Abyssinia yang terjadi pada tahun kelima dengan usia Aisyah; yang didukung dengan hadits:

“لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ”.

"Aku tidak ingat kedua orang tuaku kecuali mereka berdua memeluk agama ini."

**Jawaban atas keraguan tersebut**:

Hadits yang disebutkan oleh penulis adalah benar, diriwayatkan oleh Imam Bukhari di beberapa tempat dalam Shahihnya (476, 2298, 3905, 6079), tetapi pemahaman terhadap hadits tersebut seperti yang dijelaskan oleh penulis sangat jauh dari kebenaran. Ini adalah pemahaman yang salah dan tidak dikatakan oleh siapa pun dari kalangan ulama. Konteks hadits tersebut menunjukkan bahwa dia radhiyallahu 'anha menceritakan beberapa peristiwa dan kejadian yang menimpa ayahnya radhiyallahu 'anhu, dan tidak ada keharusan bahwa dia hadir dalam semua peristiwa dan kejadian tersebut. Imam Bukhari juga menyadari hal ini, sehingga tidak mencantumkan hadits ini di :

“بَابُ تَزْوِيجِ النَّبِيِّ ﷺ عَائِشَةَ، وَقَدُومِهَا الْمَدِينَةَ، وَبِنَائِهِ بِهَا”.

"Bab Pernikahan Nabi dengan Aisyah, kedatangannya ke Madinah, dan pernikahannya dengannya" [Sahih Al-Bukhari (5/55)]

Tetapi mencantumkannya di bab yang berikutnya:

“بَابُ هِجْرَةِ النَّبِيِّ ﷺ وَأَصْحَابِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ”.

"Bab Hijrah Nabi dan para sahabat ke Madinah." [Sahih Al-Bukhari (5/56)]

Jawaban dapat dirangkum dalam beberapa poin:

Ke 1. Bahwa Ummul Mukminin Aisyah mengatakan:

“لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ”.

"Aku tidak ingat kedua orang tuaku kecuali mereka berdua memeluk agama ini".

Yang berarti: mereka berdua memeluk Islam. Ini menunjukkan bahwa pada saat itu, setidaknya, dia lebih besar dari lima tahun, yang merupakan usia umum untuk hal tersebut, seperti dalam hadits Mahmud bin al-Rabi:

“عَقَلْتُ مِنَ النَّبِيِّ ﷺ مَجَّةً مَجَّهَا فِي وَجْهِي وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ مِنْ دَلْوٍ”.

"Aku ingat dari Nabi suatu percikan air yang ditumpahkan di wajahku ketika aku berusia lima tahun dari sebuah timba"([ Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (77)]).

Dan tidak ada keharusan dari ucapannya: "Aku tidak ingat kedua orang tuaku kecuali mereka berdua memeluk agama ini" bahwa semua peristiwa yang diceritakannya setelahnya terjadi pada waktu itu.

Ke 2. Ucapannya radhiyallahu 'anha dalam hadits:

“فَلَمَّا ابْتُلِيَ الْمُسْلِمُونَ خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا قِبَلَ الْحَبَشَةِ”.

"Ketika kaum Muslimin diuji, Abu Bakar keluar hijrah menuju Abyssinia", menceritakan apa yang terjadi pada ayahnya ketika hendak hijrah ke Abyssinia, dan tidak ada keharusan bahwa dia hadir dalam cerita tersebut; yang ada hanyalah informasi yang dia sampaikan tentang kisah itu. Ini adalah hal yang disepakati oleh para ahli sejarah, dan mereka tidak menyebutkan kehadirannya dalam cerita itu.

([Lihat: *As-Sirah An-Nabawiyah wa Akhbar Al-Khulafa* karya Ibnu Hibban (1/81), *Jawami’ As-Sirah* karya Ibnu Hazm (hal. 65), dan *Al-Isyarah ila Sirah Al-Mustafa wa Tarikh Man Ba’dahu min Al-Khulafa* (hal. 127).]).

Ke 3. Apa yang dia katakan dalam hadits yang sama:

“فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِلْمُسْلِمِينَ: «إِنِّي أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ» وَهُمَا الْحَرَتَانِ، فَهَاجَرَ مَن هَاجَرَ قَبْلَ الْمَدِينَةِ”.

"Maka Nabi berkata kepada kaum Muslimin: 'Sesungguhnya aku telah melihat rumah hijrah kalian yang memiliki pohon kurma di antara dua bukit', yaitu dua bukit, dan mereka yang hijrah sebelum ke Madinah," diketahui bahwa penglihatan ini terjadi sebelum hijrah ke Madinah, sehingga terlambat dibandingkan hijrah ke Abyssinia selama bertahun-tahun.

4- Dan ucapannya setelahnya: "Dan Abu Bakar mempersiapkan diri menuju kota Medina, lalu Rasulullah berkata kepadanya: «Pelan-pelanlah; karena aku berharap akan diizinkan (berhijrah)»," dan kesiapan Abu Bakar untuk berhijrah ke Medina terjadi setelah ucapan Nabi :

«إِنِّي أُرِيتُ دارَ هِجْرَتِكُمْ»

“Saya telah diperlihatkan tempat hijrah kalian.”, maksudnya: adalah Madinah. 

5- Oleh karena itu, Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata setelah itu:

“فَحَبَسَ أَبُو بَكْرٍ نَفْسَهُ عَلَى رَسُولِ الله ﷺ لِيُصَاحِبَهُ، وَعَلَفَ رَاحِلَتَيْنِ كَانَتَا عِندَهُ وَرَقَ السُّمُرِ -وَهُوَ الْخَبَطُ- أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ”

"Maka Abu Bakar menahan dirinya untuk bersama Rasulullah , dan memberi makan dua unta yang ada padanya dengan daun-daun semur -yaitu pepohonan- selama empat bulan,"

Dan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu melakukan ini agar siap menemani Nabi dalam hijrahnya ke Medina. 

Semua yang telah disebutkan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan waktu dalam peristiwa-peristiwa yang diceritakan oleh Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha, dan dia tidak hanya menceritakan apa yang dia ingat ketika masih kecil. 

**KEDELAPAN: KERAGUAN TENTANG PENAWARAN KHAWLAH BINTI HAKIM KEPADA NABI UNTUK MENIKAHI AISYAH**

Penulis menyebutkan hadits dari Ummul Mukminin Aisyah yang berkata:

لَمَّا تُوُفِّيَتْ خَدِيجَةُ قَالَتْ خَوْلَةُ بِنْتُ حَكِيمٍ بْنِ أُمَيَّةَ بْنِ الْأَوْقَصِ -امْرَأَةُ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ، وَذَلِكَ بِمَكَةَ-: يَا رَسُولَ الله، أَلَا تَزَوَّجُ؟ قَالَ: «مَنْ؟»، قَالَتْ: إِن شِئْتَ بَكْرًا، وَإِن شِئْتَ ثَيِّبًا، قَالَ: «فَمَنْ الْبَكْرُ؟»، قَالَتْ: ابْنَةُ أَحَبِّ خَلْقِ الله إِلَيْكَ عَائِشَةُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ، قَالَ: «وَمَنِ الثَّيِّبُ؟»، قَالَتْ: سُودَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ، آمَنَتْ بِكَ وَاتَّبَعَتْكَ عَلَى مَا أَنتَ عَلَيْهِ

"Ketika Khadijah wafat, Khawlah binti Hakim bin Umayyah bin Al-Auqash -istri Utsman bin Maz'uun, itu terjadi di Mekah- berkata: Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menikah? Nabi bertanya: «Dengan siapa?», Khawlah menjawab: Jika engkau mau, ada yang perawan, dan jika engkau mau, ada yang janda. Nabi bertanya: «Siapa yang perawan?», Khawlah menjawab: Putri makhluk yang paling dicintai oleh Allah, Aisyah binti Abu Bakar. Nabi bertanya: «Siapa yang janda?», Khawlah menjawab: Saudah binti Zam'ah, dia telah beriman kepadamu dan mengikutimu dalam apa yang engkau jalani”.

([Diriwayatkan oleh Ahmad (42/501) dan Ath-Thabrani dalam *Al-Kabir* (23/23, 24/30), dinilai hasan sanadnya oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam *Fath Al-Bari* (7/225).]).

Penulis menyimpulkan dari hal itu dan berkata:

“المؤكَّدُ من سِياقِ الحَديثِ أَنَّهَا تُعَرِّضُهُنَّ لِلزِّواجِ الحَالِيِّ؛ بدَليلِ قَولِها: (إن شِئْتَ بَكْرًا، وَإن شِئْتَ ثَيِّبًا)؛ وَلِذَلِكَ لا يُعقَلُ أَنْ تَكُونَ عَائِشَةُ فِي ذَاكَ الوَقْتِ طِفْلَةً فِي السَّادِسَةِ مِنْ عُمْرِهَا، وَتُعَرِّضُهَا خَوْلَةُ لِلزِّواجِ بِقَوْلِهَا: بَكْرًا”

“Yang pasti dari konteks hadits tersebut adalah bahwa ia menawarkan mereka untuk dinikahi saat itu; sebagai bukti dari ucapannya: ‘Jika engkau mau, ada yang perawan, dan jika engkau mau, ada yang janda’; maka tidak masuk akal jika Aisyah pada saat itu adalah seorang anak perempuan berusia enam tahun, dan Khawlah menawarkan Aisyah untuk dinikahi dengan menyebutnya: perawan.”

**JAWABAN ATAS SYUBHAT:**

Tidak diketahui dari mana penulis mendapatkan kepastian ini! Dan kesimpulan yang diambilnya adalah salah dari beberapa sisi:

**Pertama:** Apa yang tertulis dalam hadits itu sendiri:

قَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِخَوْلَةَ: ادْعِي لِي رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، فَدَعَتْهُ، فَزَوَّجَهَا إِيَّاهُ وَعَائِشَةُ يَوْمَئِذٍ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ.

“Abu Bakar as-Siddiq radhiyallahu 'anhu berkata kepada Khawlah: "Panggillah untukku Rasulullah ." Maka dia pun memanggilnya, lalu menikahkan mereka berdua dan Aisyah saat itu berusia enam tahun”.

Dalam hadits tersebut terdapat nash yang jelas bahwa Nabi menikahi Aisyah radhiyallahu 'anha ketika dia berusia enam tahun; jadi, apakah setelah nash ini masih ada ruang untuk kemungkinan lain?! Dan apakah tepat dikatakan setelah hal yang jelas: "Di mana?"

**Kedua:** Hal lain yang menghilangkan kemungkinan yang diyakini penulis adalah: Apa yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pernikahan Nabi dengan Ummul Mukminin Aisyah—yang saat itu berusia enam tahun—adalah atas wahyu dari Allah Ta'ala.

**Ketiga:** Penjelasan yang jelas dalam hadits itu sendiri, dan persetujuan Nabi untuk menikah dengan mereka berdua. Dalam hadits tersebut dikatakan:

«فَاذْهَبِي فَاذْكُرِيهُمَا عَلَيَّ»

"Maka pergi dan sebutkan mereka berdua padaku".

Dan juga bahwa beliau telah menikahi Suda binti Zam'a ketika berada di Mekah.

**Keempat:** Apa yang dikatakan oleh Al-Qadhi al-Mawardi dalam hal ini:

“الْفُقَهَاءُ يَقُولُونَ: تَزَوَّجَ عَائِشَةَ قَبْلَ سُودَةَ، وَالْمُحَدِّثُونَ يَقُولُونَ: تَزَوَّجَ سُودَةَ قَبْلَ عَائِشَةَ، وَقَدْ يُجْمَعُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ عَقَدَ عَلَى عَائِشَةَ وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا، وَدَخَلَ بِسُودَةَ”، وَأَقَرَّهُ الْحَافِظُ عَلَى هَذَا التَّوْجِيهِ فَقَالَ: “وَالرِّوَايَةُ الَّتِي ذَكَرْتُهَا عَنْ الطَّبَرَانِيِّ تَرْفَعُ الْإِشْكَالَ، وَتُوَجِّهُ الْجَمْعَ الْمَذْكُورَ”

"Para fuqaha mengatakan: Nabi menikahi Aisyah sebelum Suda, sedangkan para muhadditsin mengatakan: Nabi menikahi Suda sebelum Aisyah, dan keduanya dapat dipadukan dengan mengatakan bahwa beliau menikahi Aisyah namun tidak menggaulinya, dan menggauli Suda." Dan Al-Hafidz menyetujui penjelasan ini dan berkata: "Dan riwayat yang saya sebutkan dari Al-Thabari menghilangkan keraguan, dan menjelaskan penggabungan yang disebutkan" ([*Fath Al-Bari* (7/225).]). Maksudnya adalah hadits sebelumnya dari Aisyah radhiyallahu 'anha.

**SEMBILAN: SANGKAAN JANJI MUTH'IM BIN ADIY UNTUK MELAMAR AISYAH UNTUK PUTRANYA SEBELUM NABI :**

Dalam hadits Khawlah binti Hakim di hadapan Imam Ahmad: bahwa Muth’im bin Adiy telah menyebutkan - maksudnya: Aisyah - untuk anaknya - maksudnya: Jubair – ([ *Musnad Ahmad* (42/502)]); penulis mengeluarkan pernyataan yang belum pernah ada sebelumnya; ia berkata:

“مِنَ المُسْتَحِيلِ أَنْ يَخْطُبَ أَبُو بَكْرٍ ابْنَتَهُ لِأَحَدِ الْمُشْرِكِينَ وَهُمْ يُؤْذُونَ الْمُسْلِمِينَ فِي مَكَّةَ؛ مِمَّا يُدِلُّ عَلَى أَنَّ هَذَا كَانَ وَعْدًا بِالْخِطْبَةِ، وَذَٰلِكَ قَبْلَ بَدْءِ الْبِعْثَةِ النَّبَوِيَّةِ حَيْثُ كَانَ الْاثْنَانِ فِي سِنٍّ صَغِيرَةٍ، وَهُوَ مَا يُؤَكِّدُ أَنَّ عَائِشَةَ وُلِدَتْ قَبْلَ بَدْءِ الْبِعْثَةِ النَّبَوِيَّةِ يَقِينًا”

“Adalah mustahil bagi Abu Bakar untuk melamar putrinya kepada salah satu orang musyrik ketika mereka menyakiti umat Islam di Mekkah; ini menunjukkan bahwa ini adalah janji untuk dilamar, dan itu terjadi sebelum dimulainya kenabian ketika keduanya masih dalam usia muda, yang menegaskan bahwa Aisyah lahir sebelum dimulainya kenabian dengan pasti” [Penulis mengikuti pendapat Abbas Mahmud Al-‘Aqqad dalam bukunya *As-Siddiqah Bint As-Siddiq* (hal. 65)].

** JAWABAN ATAS SYUBHAT TERSEBUT:**

Jawaban atas sangkaan ini ada dari beberapa sudut:

**Pertama:** Konteks cerita menjelaskan kebatilan apa yang dikemukakan penulis; dan isinya:

“فَدَخَلَتْ -يَعْنِي: خَوْلَةَ بِنْتَ حَكِيمٍ- بَيْتَ أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَتْ: يَا أُمَّ رُومَانَ، مَاذَا أَدْخَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ مِنَ الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ؟ قَالَتْ: وَمَا ذَاكَ؟ قَالَتْ: أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَخْطُبُ عَلَيْهِ عَائِشَةَ، قَالَتْ: انْتَظِرِي أَبَا بَكْرٍ حَتَّى يَأْتِيَ، فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَتْ: يَا أَبَا بَكْرٍ، مَاذَا أَدْخَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ مِنَ الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ؟ قَالَ: وَمَا ذَاكَ؟ قَالَتْ: أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَخْطُبُ عَلَيْهِ عَائِشَةَ، قَالَ: وَهَلْ تَصْلُحُ لَهُ؟ إِنَّمَا هِيَ ابْنَةُ أَخِيهِ. فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَذَكَرْتُ ذَٰلِكَ لَهُ، قَالَ: «ارْجِعِي إِلَيْهِ فَقُولِي لَهُ: أَنَا أَخُوكَ، وَأَنْتَ أَخِي فِي الْإِسْلَامِ، وَابْنَتُكَ تَصْلُحُ لِي»، فَرَجَعْتُ فَذَكَرْتُ ذَٰلِكَ لَهُ، قَالَ: انْتَظِرِي وَخَرَجَ، قَالَتْ أُمُّ رُومَانَ: إِنَّ مَطْعَمَ بْنَ عَدِيٍّ قَدْ كَانَ ذَكَرَهَا عَلَى ابْنِهِ، فَوَاللَّهِ مَا وَعَدَ وَعْدًا قَطُّ فَأَخْلَفَهُ لِأَبِي بَكْرٍ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى مَطْعَمَ بْنِ عَدِيٍّ وَعِندَهُ امْرَأَتُهُ أُمُّ الْفَتَى، فَقَالَتْ: يَا ابْنَ أَبِي قُحَافَةَ، لَعَلَّكَ مُصْبِئُ صَاحِبِنَا؛ مُدْخِلُهُ فِي دِينِكَ الَّذِي أَنتَ عَلَيْهِ إِنْ تَزَوَّجَ إِلَيْكَ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ لِلْمَطْعَمِ بْنِ عَدِيٍّ: أَقُولُ هَذِهِ تَقُولُ، قَالَ: إِنَّهَا تَقُولُ ذَٰلِكَ، فَخَرَجَ مِنْ عِندِهِ، وَقَدْ أَذْهَبَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مَا كَانَ فِي نَفْسِهِ مِنْ عِدَّتِهِ الَّتِي وَعَدَهُ، فَرَجَعَ فَقَالَ لِخَوْلَةَ: ادْعِي لِي رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، فَدَعَتْهُ فَزَوَّجَهَا إِيَّاهُ، وَعَائِشَةُ يَوْمَئِذٍ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ”

"Maka Khawlah binti Hakim masuk ke rumah Abu Bakar, ia berkata: 'Wahai Ummu Ruman, apa yang Allah Azza wa Jalla masukkan kepada kalian dari kebaikan dan keberkahan?'

Ia menjawab: 'Apa itu?'

Ia berkata: 'Rasulullah mengutusku untuk melamar Aisyah.' Ia berkata: 'Tunggu Abu Bakar hingga datang.'

Ketika Abu Bakar datang, ia berkata: 'Wahai Abu Bakar, apa yang Allah Azza wa Jalla masukkan kepada kalian dari kebaikan dan keberkahan?' Ia menjawab: 'Apa itu?'

Ia berkata: 'Rasulullah mengutusku untuk melamar Aisyah.'

Ia berkata: 'Apakah ia layak untuknya? Dia hanyalah putri saudaranya.'

Maka aku kembali kepada Rasulullah dan menyampaikan itu kepadanya, ia berkata: 'Kembalilah kepadanya dan katakan: Aku adalah saudaramu, dan engkau adalah saudaraku dalam Islam, dan putrimu layak untukku.'

Aku kembali dan memberitahukan itu kepadanya, ia berkata: 'Tunggu.'

Dan ia keluar, kata Ummu Ruman: 'Sesungguhnya Muth’im bin Adiy telah menyebutkan dia untuk anaknya, demi Allah, ia tidak pernah berjanji dan mengingkarinya kepada Abu Bakar.'

Maka Abu Bakar masuk ke Muth’im bin Adiy dan bersamanya adalah istrinya Ummu Al-Fattah, ia berkata: 'Wahai anak Abu Quhafah, mungkin engkau akan mendatangkan pemeluk agama kami; jika ia menikah denganmu, ia akan masuk dalam agamamu.'

Abu Bakar kepada Muth’im bin Adiy berkata: 'Aku katakan ini.'

Ia berkata: 'Dia berkata demikian.' Maka ia keluar darinya, dan Allah Azza wa Jalla telah menghilangkan apa yang ada dalam hatinya tentang janji yang ia buat, maka ia kembali dan berkata kepada Khawlah: 'Panggilkan untukku Rasulullah ,' maka ia memanggilnya dan ia menikahkannya dengan Aisyah ketika itu Aisyah berusia enam tahun”. ([ Diriwayatkan oleh Ahmad (42/501-502)]).

*"Dan hadits ini adalah jelas dari segi kata dan makna. Penulis berusaha memutarbalikkan makna untuk menunjukkan kebalikan dari kata-kata yang jelas dan makna yang terang, sehingga ia tidak menyampaikan hadits tersebut sesuai dengan asalnya, tetapi justru memutarbalikkan dengan kata-kata dari versinya sendiri ([Lihat penjelasan Syekh Ahmad Syakir dalam artikelnya *Tahqiq Sann Aisyah* sebagai tanggapan atas Abbas Al-‘Aqqad]). 

**Kedua:** Apa yang disebutkan penulis tentang ketidakmungkinan Abu Bakar untuk meminang putrinya untuk salah satu dari kalangan musyrikin adalah pernyataan yang batil dan tidak ada buktinya; penulis membangunnya di atas larangan pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim. Seandainya penulis menyadari waktu di mana hukum ini berlaku, maka ia akan mengetahui kesalahan dari kesimpulan yang diambilnya; karena pernikahan wanita Muslimah dengan laki-laki musyrik adalah diperbolehkan pada awal Islam, dan Allah tidak mengharamkannya sampai setelah Perjanjian Hudaibiyah di akhir tahun keenam hijrah; di mana Allah menegaskan larangan tersebut dengan firman-Nya:

﴿ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ ﴾

{ Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka} [Al-Mumtahanah: 10];

Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan:

“هَذِهِ الْآيَةُ هِيَ الَّتِي حَرَّمَتِ الْمُسْلِمَاتِ عَلَى الْمُشْرِكِينَ، وَقَدْ كَانَ جَائِزًا فِي ابْتِدَاءِ الْإِسْلَامِ أَنْ يَتَزَوَّجَ الْمُشْرِكُ الْمُؤْمِنَةَ”

“Ayat ini adalah yang mengharamkan wanita Muslimah untuk musyrikin, dan pada awal Islam adalah diperbolehkan bagi musyrik untuk menikahi wanita mukminah” ([*Tafsir Ibnu Katsir* (8/93)]). 

**Ketiga:** Kesimpulan yang diambil penulis bertentangan dengan apa yang tercantum dalam hadits bahwa Abu Bakar menikahkannya kepada Nabi dan Aisyah pada saat itu berusia enam tahun.

Pertanyaannya adalah: Mengapa penulis bersikeras untuk mendapatkan penegasan -dari versinya sendiri- yang tidak berdasar dan bertentangan dengan teks-teks yang jelas dan sahih?! Bukankah ini bertentangan dengan dasar-dasar metode ilmiah dan prinsip-prinsipnya?*

**KESEPULUH: DUGAAN TENTANG PENGGUNAAN TURUNNYA SURAH AL-QAMAR**

Penulis berusaha menciptakan perbedaan antara apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan apa yang dikemukakan penulis tentang kesepakatan para ulama - sesuai klaimnya - mengenai turunnya Surah Al-Qamar. Dia menyebutkan hadits Bukhari dari Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu 'anha yang berkata:

“لَقَدْ أُنزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ بِمَكَّةَ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ: ﴿بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَىٰ وَأَمَرُّ﴾ [القَمَر: 46]”

“Sungguh, wahyu diturunkan kepada Muhammad di Makkah sementara aku masih seorang gadis yang sedang bermain: { Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit} [Al-Qamar: 46]” ([Sahih Al-Bukhari (4876)]).

Kemudian penulis melanjutkan dengan mengatakan:

“وَالْمَعْلُومُ بِلَا خِلَافٍ أَنَّ سُورَةَ الْقَمَرِ نَزَلَتْ بَعْدَ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ بَدْءِ الْوَحْيِ”

“Diketahui tanpa perdebatan bahwa Surah Al-Qamar diturunkan empat tahun setelah dimulainya wahyu”,

Dengan tujuan untuk menyimpulkan bahwa umur Aisyah pada tahun keempat setelah dimulainya wahyu saat turunnya surah tersebut adalah delapan tahun.

** JAWABAN ATAS SYUBHAT TERSEBUT:**

Pernyataan penulis ini adalah sebuah kesalahan besar, dan kesimpulan yang dia dapatkan tidak berdasar dan tidak memiliki landasan. Penjelasannya adalah bahwa para ulama berbeda pendapat tentang waktu turunnya Surah Al-Qamar, dan pendapat yang paling benar adalah bahwa surah tersebut diturunkan sekitar tahun kelima sebelum hijrah, dan hadits yang terdapat dalam Bukhari mendukung hal ini. Beberapa mufassir menyebutkan bahwa terbelahnya bulan terjadi pada tahun kelima sebelum hijrah. Dari Ibnu Abbas:

كَانَ بَيْنَ نُزُولِ آيَةِ ﴿ سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ﴾ [القمر: 45] وَبَيْنَ بَدْرٍ سَبْعُ سِنِينَ

Dinyatakan bahwa antara turunnya ayat { Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. } [Al-Qamar: 45] dan Perang Badar adalah tujuh tahun ([Lihat: *At-Tahrir wa At-Tanwir* (27/166)]).

Pertanyaan yang sama muncul: Bagaimana mungkin hadits yang sahih dan tetap ditolak hanya dengan dugaan dan spekulasi?! Apakah pencarian untuk memperkuat pendapat dan mendukungnya membenarkan pengabaian terhadap teks-teks yang jelas? Tentu saja, ini bukan bagian dari metode ilmiah yang berlandaskan pada prinsip ketidakberpihakan dan keadilan.

**KESEBELAS: SANGGAHAN ATAS KLAIM PERTENTANGAN ANTARA PERKATAAN DAN PERBUATAN NABI **:

Penulis mengklaim adanya pertentangan antara apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu tentang Nabi yang bersabda:

«وَلَا تُنكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تَسْتَأْذِنَ»، قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: «أَنْ تَسْكُتَ»

"Dan janganlah dinikahi gadis sampai ia meminta izin," mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimana izin itu?" Nabi menjawab: "Dengan diam" ([Sahih Al-Bukhari (5136), Sahih Muslim (1419)]), dengan perbuatannya yang menikahi Aisyah ketika ia berusia enam tahun dan menyetubuhinya ketika ia berusia sembilan tahun; untuk kemudian mempertanyakan: "Bagaimana mungkin Rasul yang mulia mengatakan ini dan melakukan sebaliknya?!". 

**JAWABAN ATAS SANGGAHAN: **

Sama sekali tidak ada pertentangan antara apa yang shahih dari perkataan Nabi dan perbuatan serta persetujuannya; semua itu merupakan sunnah yang diperintahkan Allah SWT untuk kita ikuti; Allah berfirman:

 ﴿وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ﴾

Apa yang Rasul datangkan kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. [QS. Al Hasyr: 7]

Apa yang dianggap sebagian orang bertentangan sesungguhnya hanya terlihat demikian, tidak sesuai dengan kenyataannya; oleh karena itu, para ulama berusaha menjelaskan cara-cara penggabungan antara hal-hal yang tampak bertentangan, dan mereka memiliki pembahasan panjang dan terperinci dalam bab pertentangan dan penentuan dalam usul fikih. 

Mengenai apa yang kita bicarakan, perkataan Nabi tentang izin untuk gadis, itu merujuk kepada gadis yang sudah baligh; karena tidak ada makna izin bagi yang tidak mengetahui apa itu izin dan apa arti diamnya ([Lihat: *Fath Al-Bari* karya Ibnu Hajar (9/193)]). 

Perbuatan menikahi Ummul Mukminin Aisyah tidak bertentangan dengan makna ini; semua umat Muslim sepakat bahwa seorang ayah diperbolehkan menikahkan putrinya yang masih kecil; berdasarkan hadits ini, dan jika ia telah baligh, maka tidak ada pilihan baginya untuk membatalkan pernikahan tersebut menurut mazhab Maliki dan Syafi'i serta ulama Hijaz lainnya. Sementara itu, para ahli fikih Irak berpendapat bahwa ia memiliki pilihan jika telah baligh ([Lihat: *Syarh An-Nawawi ala Sahih Muslim* (9/206)]). 

Dan jika seorang anak perempuan yatim telah berusia sembilan tahun dan dinikahkan serta ia meridhainya, maka pernikahan itu sah, dan tidak ada pilihan baginya jika ia telah dewasa, seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad dan Ishaq; keduanya berhujah dengan hadits Aisyah bahwa Nabi menikahinya ketika ia berusia sembilan tahun, dan Aisyah berkata:

“إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِينَ فَهِيَ امْرَأَةٌ”

"Jika seorang gadis telah mencapai sembilan tahun, maka ia adalah seorang wanita" ([Lihat: *‘Aun Al-Ma’bud wa Hashiyat Ibnu Al-Qayyim* (6/83)]). 

Maka, segala puji bagi Allah yang telah membimbing hamba-hamba-Nya untuk mengikuti petunjuk Nabi dan sunnah-Nya, serta tidak bertentangan dengan hawa nafsu dan pendapat-pendapat. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada junjungan kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya, serta semoga keselamatan yang banyak dilimpahkan hingga hari kiamat. [SELESAI]

===****===

ARTIKEL KE LIMA:
** PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR DAN TANGGAPAN TERHADAP SUHAILA ZAIN AL ABIDIN**

زَوَاجُ الْقَاصِرَاتِ " وَالرَّدُّ عَلَى سُهَيْلَةَ زَيْنِ الْعَابِدِينَ

*Di tulis dalam bahasa arab oleh: Samir bin Khalil Al Maliki*

Diterjemahkan oleh Abu Haitsam Fakhry.

=====

Segala puji bagi Allah semata dan shalawat serta salam untuk Nabi yang tiada nabi sesudahnya. 

Belakangan ini, banyak pembahasan tentang hukum pernikahan antara orang yang lebih tua dengan anak perempuan yang masih kecil. Beberapa kasus pun muncul di pengadilan syariah untuk meminta pembatalan pernikahan beberapa anak perempuan yang masih muda. Para jurnalis turut menulis tentang hal ini dan mengusulkan agar pernikahan semacam itu dilarang, serta menetapkan batasan usia yang sesuai untuk menikah, sebagaimana yang diterapkan di beberapa negara Arab. 

Saya merasa perlu menulis tentang masalah ini agar mereka yang belum mengetahui dapat memahami hukum Allah dan Rasul-Nya serta pandangan ulama umat mengenai hal ini. 

Secara singkat, saya katakan: 

**Tidak ada batasan usia tertentu untuk pernikahan anak perempuan dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah **.

Beberapa ayat dalam kitab Allah menunjukkan diperbolehkannya menikahkan anak perempuan sebelum mencapai usia baligh, sebagaimana berikut: 

1. Firman Allah:

{ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ .... }

*"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita yang kamu senangi: dua, tiga atau empat..."* (An-Nisa: 3). 

Ayat ini menunjukkan kebolehan menikahi anak yatim perempuan, yang berarti mereka belum mencapai usia baligh. Sebab turunnya ayat ini juga mendukung hal tersebut. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan :

" أَيْ إِذَا كَانَ تَحْتَ حَجْرِ أَحَدِكُمْ يَتِيمَةٌ وَخَافَ أَنْ لَا يُعْطِيَهَا مَهْرَ مِثْلِهَا ، فَلْيَعْدِلْ إِلَى مَا سِوَاهَا مِنَ النِّسَاءِ ، فَإِنَّهُنَّ كَثِيرٌ وَلَمْ يُضَيِّقِ اللَّهُ عَلَيْهِ "

"Jika salah seorang dari kalian memiliki anak yatim perempuan di bawah asuhan, dan dia khawatir tidak dapat memberikan mahar yang sesuai baginya, maka hendaklah dia menikahi wanita lain yang lebih banyak dan Allah tidak mempersempit pilihannya."

Aisyah radhiyallahu 'anha juga meriwayatkan sebab turunnya ayat ini dengan makna serupa (lihat Shahih al-Bukhari 9/197). 

Al-Bukhari memberikan judul bab untuk riwayat ini dengan :

" بَابُ تَزْوِيجِ الْيَتِيمَةِ " لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { وَإِنْ خِفْتُمْ أَنْ لَا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا }

"Bab Menikahkan Anak Yatim" berdasar firman Allah *"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah..."*

Ibnu Hajar berkata dalam syarahnya :

" وَفِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى تَزْوِيجِ الْوَلِيِّ غَيْرِ الْأَبِ ، الَّتِي دُونَ الْبُلُوغِ ، بَكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا ، لِأَنَّ حَقِيقَةَ الْيَتِيمَةِ مَنْ كَانَتْ دُونَ الْبُلُوغِ وَلَا أَبَ لَهَا ، وَقَدْ أُذِنَ فِي تَزْوِيجِهَا بِشَرْطِ أَنْ لَا يُبْخَسَ مِنْ صَدَاقِهَا ، فَيَحْتَاجُ مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ إِلَى دَلِيلٍ قَوِيٍّ " اهـ .

"Di dalamnya terdapat petunjuk tentang pernikahan yang dilakukan oleh wali selain ayah terhadap perempuan yang belum baligh, baik ia perawan maupun janda, karena hakikat yatimah adalah perempuan yang belum baligh dan tidak memiliki ayah. Telah diizinkan untuk menikahkannya dengan syarat tidak mengurangi maharnya. Maka, bagi yang melarang hal tersebut, diperlukan dalil yang kuat."

2. Ayat lain dalam Surah An-Nisa :

{ وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ ، قُلِ اللَّهُ يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ الَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ ... }

*"Dan mereka meminta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: Allah memberikan fatwa kepadamu tentang mereka dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Kitab (Al-Qur’an) tentang anak-anak yatim perempuan yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang telah ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka…”* (An-Nisa: 127). 

3. Firman Allah :

{ وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ ، وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ..... }

*"Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi di antara istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddah mereka), maka iddah mereka adalah tiga bulan; begitu pula bagi perempuan-perempuan yang belum haid…”* (At-Talaq: 4). 

Ayat ini menjadi bukti jelas diperbolehkannya menikahi anak perempuan yang belum mengalami haid, dan masa iddahnya jika bercerai adalah tiga bulan, sama seperti wanita yang sudah lanjut usia.

Adapun teks-teks dari sunnah, cukuplah bagi kita kisah pernikahan Rasulullah dengan Aisyah. Riwayat yang paling sahih dari para imam, yaitu al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud, an-Nasa'i, ad-Darimi, Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan lainnya, telah menyebutkan bahwa Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha menyatakan :

أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ.

“Bahwa Nabi menikahinya saat ia berusia enam tahun, dan mulai hidup bersamanya ketika berusia sembilan tahun”. [[Lihat Jami' al-Ushul [11/404] dan Irwa' al-Ghalil [6/230]].

Saya berkata: Terdapat pula lafaz lain dari hadits Aisyah radhiyallahu 'anha yang menyatakan bahwa beliau menikahinya ketika berusia tujuh tahun.

Al-Bukhari dalam kitabnya Sahih al-Bukhari, dalam Kitab an-Nikah [9/123], memberi judul:

بَابُ تَزْوِيجِ الصِّغَارِ مِنَ الْكِبَارِ.

"Bab Pernikahan Gadis Kecil dengan Pria Dewasa."

Ibnu Hajar dalam syarahnya menyatakan bahwa Ibnu Baththal berkata :

قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ: يَجُوزُ تَزْوِيجُ الصَّغِيرَةِ بِالْكَبِيرِ إِجْمَاعًا وَلَوْ كَانَتْ فِي الْمَهْدِ، لَكِنْ لَا يُمْكِنُ مِنْهَا حَتَّى تَصْلُحَ لِلْوَطْءِ " اهـ.

"Diperbolehkan menikahkan gadis kecil dengan pria dewasa menurut ijma’, walaupun ia masih dalam ayunan, namun tidak dapat digauli hingga ia siap untuk itu."

Al-Bukhari juga memberi judul dalam Sahih-nya [9/189]:

" بَابُ إِنْكَاحِ الرَّجُلِ وَلَدَهُ الصِّغَارَ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى ( وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ) فَجَعَلَ عِدَّتَهُنَّ ثَلَاثَةَ أَشْهُرٍ قَبْلَ الْبُلُوغِ " اهـ.

"Bab Menikahkan Seorang Pria dengan Anak Perempuannya yang Masih Kecil," berdasarkan firman Allah Ta'ala: *Dan perempuan-perempuan yang belum haid* (yang masa iddahnya tiga bulan sebelum baligh)."

Ibnu Hajar dalam syarahnya menyebutkan :

" قَالَ الْمُهَلَّبُ: أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْأَبِ تَزْوِيجُ ابْنَتِهِ الصَّغِيرَةِ الْبِكْرِ وَلَوْ كَانَتْ لَا يُوطَأُ مِثْلُهَا. إِلَّا أَنَّ الطَّحَاوِيَّ حَكَى عَنِ ابْنِ شُبْرُمَةَ مَنْعَهُ فِيمَنْ لَا تُوطَأُ، وَحَكَى ابْنُ حَزْمٍ عَنِ ابْنِ شُبْرُمَةَ مُطْلَقًا أَنَّ الْأَبَ لَا يُزَوِّجُ بِنْتَهُ الْبِكْرَ الصَّغِيرَةَ حَتَّى تَبْلُغَ وَتَأْذَنَ، وَزَعَمَ أَنَّ تَزْوِيجَ النَّبِيِّ ﷺ عَائِشَةَ وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ كَانَ مِنْ خَصَائِصِهِ " اهـ.

“Bahwa al-Muhallab berkata: Para ulama sepakat bahwa ayah boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan belum cukup umur untuk digauli. Namun, ath-Thahawi menyebutkan pendapat Ibnu Syubrumah yang melarang menikahkan gadis yang belum cukup umur, dan Ibnu Hazm mengutip dari Ibnu Syubrumah bahwa ayah tidak boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil sampai ia baligh dan memberi izin, serta mengklaim bahwa pernikahan Nabi dengan Aisyah yang berusia enam tahun adalah kekhususan beliau”.

Saya berkata: Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dari Ibnu Syubrumah hanyalah pendapat ganjil yang menyelisihi pendapat mayoritas ulama. Para ahli fiqh membagi perempuan ke dalam beberapa kategori terkait dengan hak wali dalam menikahkan: (1) gadis dewasa, (2) gadis kecil, (3) janda dewasa, dan (4) janda kecil.

Mereka juga membagi para wali menjadi dua kelompok: ayah dan selain ayah. Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari [9/191] menyebutkan :

" فَالثَّيِّبُ الْبَالِغُ لَا يُزَوِّجُهَا الْأَبُ وَلَا غَيْرُهُ إِلَّا بِرِضَاهَا اتِّفَاقًا، إِلَّا مَنْ شَذَّ، وَالْبِكْرُ الصَّغِيرَةُ يُزَوِّجُهَا اتِّفَاقًا إِلَّا مَنْ شَذَّ، وَالثَّيِّبُ غَيْرُ الْبَالِغِ اخْتَلَفَ فِيهَا ... وَالْبِكْرُ يُزَوِّجُهَا أَبُوهَا وَكَذَا غَيْرُهُ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ، وَاخْتَلَفَ فِي اسْتِئْمَارِهَا " الخ.

"Untuk janda dewasa, ayah maupun wali lainnya tidak boleh menikahkannya kecuali dengan izinnya, berdasarkan kesepakatan para ulama, kecuali sebagian kecil yang menyelisihi. Sedangkan gadis kecil, ayahnya boleh menikahkannya dengan ijma', kecuali sebagian kecil yang menyelisihi. Untuk janda kecil, terdapat perbedaan pendapat... dan gadis kecil dapat dinikahkan oleh ayahnya, begitu juga oleh wali lainnya, meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai perlunya persetujuannya."

Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni [9/398] menyatakan :

" قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعَ كُلُّ مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، أَنَّ نِكَاحَ الْأَبِ ابْنَتَهُ الْبِكْرَ الصَّغِيرَةَ جَائِزٌ، إِذَا زَوَّجَهَا مِنْ كُفْءٍ، وَيَجُوزُ لَهُ تَزْوِيجُهَا مَعَ كَرَاهِيَتِهَا وَامْتِنَاعِهَا.

"Ibnu Mundzir berkata: Para ulama yang kami ketahui telah sepakat bahwa ayah boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan perawan jika menikahkannya dengan pria yang sepadan, dan ia boleh menikahkannya meskipun dengan ketidaksukaannya."

Diperbolehkannya menikahkan gadis kecil berdasarkan firman Allah Ta'ala:

( وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِذَا ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ، وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ).

*Dan perempuan-perempuan yang telah putus haid di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu, maka masa iddah mereka adalah tiga bulan, dan perempuan-perempuan yang belum haid* (mereka juga memiliki masa iddah tiga bulan).

Hal ini menunjukkan bahwa perempuan yang belum haid memiliki masa iddah tiga bulan, yang hanya terjadi karena talak dalam pernikahan atau pembatalan, yang berarti ia dapat dinikahkan dan diceraikan tanpa persetujuannya.

Aisyah radhiyallahu 'anha berkata :

تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ ﷺ وَأَنَا ابْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَى بِي وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ

"Nabi menikahiku saat aku berusia enam tahun, dan mulai hidup bersamaku saat aku berusia sembilan tahun." (Muttafaqun 'alaih).

Diketahui bahwa pada saat itu, izinnya belum dianggap.

Diriwayatkan oleh al-Atsram :

أَنَّ قُدَامَةَ بْنَ مَظْعُونٍ تَزَوَّجَ ابْنَةَ الزُّبَيْرِ حِينَ نَفِسَتْ، فَقِيلَ لَهُ، فَقَالَ: ابْنَةُ الزُّبَيْرِ، إِنْ مِتُّ وَرِثَتْنِي، وَإِنْ عِشْتُ كَانَتْ امْرَأَتِي.

“Bahwa Qudamah bin Mazh'un menikahi putri az-Zubair setelah ia melahirkan, lalu orang-orang berkata kepadanya. Ia menjawab, "Ia putri az-Zubair. Jika aku meninggal, ia akan mewarisiku, dan jika aku hidup, ia adalah istriku."

Ali juga menikahkan putrinya, Ummu Kultsum, dengan Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhuma saat ia masih kecil.

Sedangkan mengenai wanita perawan yang sudah baligh dan berakal, ada dua riwayat dari Ahmad. Riwayat pertama menyatakan bahwa ayahnya memiliki hak untuk memaksanya menikah dan menikahkannya tanpa izinnya, sebagaimana halnya dengan anak perempuan yang masih kecil. Ini adalah pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, asy-Syafi'i, dan Ishaq. Riwayat kedua menyatakan bahwa ayahnya tidak memiliki hak tersebut.

Saya katakan : Para ulama membedakan antara gadis kecil dan gadis yang sudah baligh dalam hal pemaksaan pernikahan, dan Ibnu al-Mundzir meriwayatkan adanya ijma' bahwa ayah boleh memaksanya jika menikahkannya dengan pasangan yang sepadan.

Kami telah menyebutkan sebelumnya pendapat al-Hafidz dalam *Fath al-Bari* mengenai hukum ini.

Adapun gadis yang sudah baligh, ada perbedaan pendapat dalam hal pemaksaan pernikahan terhadapnya, dan pembahasan mendetail mengenai hal ini akan dibahas dalam kajian tersendiri, insya Allah.

Semua ini dipersyaratkan bahwa calon suami adalah sepadan dengannya. Jika ia menikahkannya dengan orang yang tidak sepadan, maka pernikahannya tidak sah.

Ibnu Qudamah berkata :

"وَقَوْلُ الْخِرَقِيِّ " فَوَضَعَهَا فِي كَفَاءَةٍ " يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ إِذَا زَوَّجَهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ ، وَهُوَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ ، وَأَحَدُ قَوْلَيْ الشَّافِعِيِّ ، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ تَزْوِيجُهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ ، فَلَمْ يَصِحَّ ، كَسَائِرِ الْأَنْكِحَةِ الْمُحَرَّمَةِ ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ لِمَوْلِيَّتِهِ عَقْدًا لَا حَظَّ لَهَا فِيهِ بِغَيْرِ إِذْنِهَا ، فَلَمْ يَصِحَّ ، كَبَيْعِهِ عَقَارَهَا مِنْ غَيْرِ غِبْطَةٍ وَلَا حَاجَةٍ ، أَوْ بَيْعِهِ بِدُونِ ثَمَنِ مِثْلِهِ. وَلِأَنَّهُ نَائِبٌ عَنْهَا شَرْعًا فَلَمْ يَصِحَّ تَصَرُّفُهُ لَهَا شَرْعًا بِمَا لَا حَظَّ لَهَا فِيهِ ، كَالْوَكِيلِ..."

“Dan pernyataan al-Khiraqi, ‘maka ia menetapkannya dalam kesepadanan,’ menunjukkan bahwa jika ia menikahkannya dengan orang yang tidak sepadan, maka nikahnya batal. Ini adalah salah satu dari dua riwayat dari Ahmad dan salah satu dari dua pendapat asy-Syafi'i, karena tidak diperbolehkan baginya untuk menikahkannya dengan orang yang tidak sepadan, sehingga pernikahan itu tidak sah, seperti halnya pernikahan-pernikahan yang dilarang lainnya. Karena ia mengikatkan perwalian untuk orang yang tidak ada maslahat baginya tanpa izinnya, maka pernikahan itu tidak sah, sebagaimana jika ia menjual propertinya tanpa keuntungan atau kebutuhan, atau menjualnya dengan harga yang kurang dari nilai pasarnya. Karena ia adalah wakil dari syariat untuknya, maka tidak sah baginya bertindak yang tidak ada maslahatnya, sebagaimana seorang wakil tidak sah."

Kemudian Ibnu Qudamah berkata :

"وَعَلَى كِلْتَا الرِّوَايَتَيْنِ ، فَلَا يَحِلُّ لَهُ تَزْوِيجُهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ وَلَا مِنْ مَعِيبٍ ، لِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى أَقَامَهُ مَقَامَهَا ، نَاظِرًا لَهَا فِيمَا فِيهِ الْحَظُّ ، وَمُتَصَرِّفًا لَهَا لِعَجْزِهَا عَنِ التَّصَرُّفِ فِي نَفْسِهَا ، فَلَا يَجُوزُ لَهُ فِعْلُ مَا لَا حَظَّ لَهَا فِيهِ ، كَمَا فِي مَالِهَا ، وَلِأَنَّهُ إِذَا حُرِمَ عَلَيْهِ التَّصَرُّفُ فِي مَالِهَا بِمَا لَا حَظَّ لَهَا فِيهِ ، فَفِي نَفْسِهَا أَوْلَى" اهـ

“Dan pada kedua riwayat ini, tidak halal baginya menikahkannya dengan orang yang tidak sepadan atau yang memiliki cacat, karena Allah Ta'ala telah menjadikannya sebagai penggantinya, yang mengurusinya dalam hal yang mendatangkan maslahat, dan bertindak untuknya karena ketidakmampuannya bertindak untuk dirinya sendiri. Maka, tidak diperbolehkan baginya melakukan sesuatu yang tidak ada maslahatnya, sebagaimana halnya dengan hartanya. Karena jika dilarang baginya untuk bertindak atas hartanya tanpa maslahat, maka hal ini lebih utama lagi berlaku pada dirinya sendiri.” [*al-Mughni*, 9/401].

Saya berkata: Saya memanjangkan kutipan dari perkataan Imam Ibnu Qudamah di sini karena pentingnya dalam masalah pernikahan anak perempuan dengan laki-laki yang setara (kufu’), baik anak perempuan itu masih kecil ataupun sudah dewasa. Pertimbangannya adalah kecocokan, dan rinciannya akan dibahas dalam penelitian tersendiri, insyaAllah.

Kita kembali pada masalah pernikahan anak kecil. Saya telah melihat dalil yang jelas dari Al-Qur'an tentang diperbolehkannya hal ini, khususnya pada ayat tentang talak. Ayat ini sangat jelas menunjukkan bahwa jika seorang anak kecil menikah, suaminya telah melakukan hubungan dengannya, dan kemudian ia dicerai sebelum ia mengalami haid, maka masa iddahnya adalah tiga bulan. Ayat ini berkaitan dengan perempuan yang telah digauli sebelum baligh, karena jika tidak ada hubungan suami-istri, maka ia tidak memiliki masa iddah sama sekali, baik dia tergolong yang bisa mengalami haid atau tidak, sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Ahzab [49]:

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمْ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمْهُنَّ مِن قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا }

*"Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kamu menceraikan mereka sebelum kamu menggaulinya, maka tidak ada iddah atas mereka yang harus kamu hitung."*

Ayat ini berlaku khusus untuk wanita yang dicerai tanpa adanya hubungan suami-istri, baik gadis ataupun janda, baik kecil maupun dewasa.

Ibnu Qudamah juga menyebutkan ayat:

{ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى }

*"Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak-anak yatim..."*

Kemudian ia berkata :

" فَمَفْهُومُهُ أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَخَفْ فَلَهُ تَزْوِيجُ الْيَتِيمَةِ، وَالْيَتِيمُ مَنْ لَمْ يَبْلُغْ لِقَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ " لَا يَتِيمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ " ...". 

*"Pemahaman dari ayat ini adalah bahwa jika tidak ada kekhawatiran, maka diperbolehkan menikahkan anak yatim. Anak yatim adalah orang yang belum baligh, berdasarkan sabda Nabi : *"Tidak ada status yatim setelah baligh."*…"*

Saya berkata: Di antara dalil dari sunnah juga yang menunjukkan diperbolehkannya menikahi anak kecil sebelum baligh adalah hadits:

" تَسْتَأْمَرُ الْيَتِيمَةُ فِي نَفْسِهَا، فَإِنْ سَكَتَتْ فَهُوَ إِذْنُهَا، وَإِنْ أَبَتْ فَلَا جَوَازَ عَلَيْهَا "

*"Mintalah persetujuan anak yatim dalam urusan dirinya. Jika ia diam, itu adalah izinnya, dan jika ia menolak, maka pernikahan tidak sah."* (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasa’i, dan At-Tirmidzi). Lihat *Jami'ul Ushul* [11/461].

Dalil dari sunnah lainnya adalah hadits Ibnu Umar :

أَنَّ قُدَامَةَ بْنَ مَظْعُونٍ زَوَّجَ ابْنَ عُمَرَ ابْنَةَ أَخِيهِ عُثْمَانَ، فَرُفِعَ ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ " إِنَّهَا يَتِيمَةٌ، وَلَا تُنْكَحُ إِلَّا بِإِذْنِهَا ".

Bahwa Qudamah bin Mazh'un menikahkan anak perempuan saudaranya, Utsman bin Mazh'un, kepada Ibnu Umar, lalu hal itu diangkat kepada Nabi , dan beliau bersabda, *"Dia adalah anak yatim, dan tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya."*

(Diriwayatkan oleh Ahmad [2/130], Al-Hakim [2/167], dan Al-Baihaqi [7/120]).

Saya berkata: Kedua hadits ini menunjukkan bahwa menikahi anak yatim, yaitu seorang gadis kecil yang ayahnya telah meninggal, diperbolehkan dengan syarat ia harus meminta izin, dan walinya tidak boleh memaksanya untuk menikah. Berbeda dengan gadis kecil yang masih memiliki ayah, karena ayahnya boleh menikahkannya tanpa izin, dengan syarat kecocokan (kefahaman) sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni [9/402]:

" لَيْسَ لِغَيْرِ الأَبِ إِجْبَارُ كَبِيرَةٍ وَلَا تَزْوِيجُ صَغِيرَةٍ ..."

"Tidak ada pihak lain selain ayah yang dapat memaksa seorang gadis dewasa atau menikahkan gadis kecil..."

Kemudian Ibnu Qudamah—rahimahullah—mengutip dua hadits yang telah disebutkan sebelumnya, lalu ia berkata:

" وَلِأَنَّ غَيْرَ الأَبِ قَاصِرُ الشَّفَقَةِ ، فَلَا يَلِي نِكَاحَ صَغِيرَةٍ ، كَالأَجْنَبِيِّ ... " اهـ .

"Karena bukan ayah itu kurang perhatian, sehingga tidak boleh menikahi gadis kecil, seperti orang asing..."

Ia melanjutkan :

" فَصْلٌ : وَإِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِينَ ، فَفِيهَا رِوَايَتَانِ ، إِحْدَاهُمَا : أَنَّهَا كَمَنْ لَمْ تَبْلُغْ تِسْعًا . نَصَّ عَلَيْهِ فِي رِوَايَةِ الأَثْرَمِ . وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَسَائِرِ الفُقَهَاءِ .

قَالُوا : حُكْمُ بِنْتِ تِسْعِ سِنِينَ حُكْمُ بِنْتِ ثَمَانٍ ، لِأَنَّهَا غَيْرُ بَالِغَةٍ ، وَلِأَنَّ إِذْنَهَا لَا يُعْتَبَرُ فِي سَائِرِ التَّصَرُّفَاتِ ، فَكَذَلِكَ فِي النِّكَاحِ.

وَالرِّوَايَةُ الثَّانِيَةُ ، حُكْمُهَا : حُكْمُ البَالِغَةِ ، نَصَّ عَلَيْهِ فِي رِوَايَةِ ابْنِ مَنْصُورٍ ، لِمَفْهُومِ الآيَةِ ، وَدَلَالَةِ الخَبَرَيْنِ بِعُمُومِهِمَا عَلَى أَنَّ الْيَتِيمَةَ تُنْكَحُ بِإِذْنِهَا ، وَإِنْ أَبَتْ فَلَا جَوَازَ عَلَيْهَا .. " اهـ .

"Bab: Jika seorang gadis telah berumur sembilan tahun, ada dua pendapat, yang pertama: dia diperlakukan seperti belum mencapai sembilan tahun. Hal ini dinyatakan dalam riwayat Al-Atsram. Ini adalah pendapat Malik, Syafi'i, Abu Hanifah, dan seluruh fuqaha.

Mereka berkata: Hukum bagi gadis berumur sembilan tahun sama dengan hukum gadis berumur delapan tahun, karena ia belum baligh, dan izinnya tidak dipertimbangkan dalam segala tindakan hukum, maka demikian juga dalam pernikahan.

Pendapat kedua adalah: hukumnya seperti orang dewasa, sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Ibnu Mansur, dengan memahami ayat, dan dalil dari kedua hadits secara umum bahwa seorang yatim dinikahi dengan izinnya, dan jika ia menolak, maka tidak ada kewajiban baginya..."

Saya berkata: Adz-Dzahabi juga menyebutkan dalam Sir A'lam Al-Nubala [3/500] dalam biografi Ummu Kultsum, putri Fathimah radhiyallahu 'anha, bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu melamar dia saat ia masih kecil dari ayahnya, Ali bin Abi Talib, dan disebutkan bahwa ia lahir sekitar tahun keenam Hijriah. Lihat juga Al-Ishabah oleh Ibnu Hajar [4/467].

Saya berkata: Diketahui bahwa Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah pada tahun ke-13 Hijriah dan masa pemerintahannya berlangsung selama sepuluh tahun. Ia menikahi Ummu Kultsum, putri Ali, selama masa pemerintahannya, dan ia meninggal dalam usia sekitar tujuh belas tahun.

Ini berarti usia Ummu Kultsum saat menikah dengannya berada di antara tujuh dan tujuh belas tahun. Al-Dzahabi dan lainnya menyebutkan :

أنَّ عُمَرَ بْنَ الخَطَّابِ مَاتَ عَنْهَا وَلَهَا مِنْهُ زَيْدٌ وَرُقَيَّةُ

“Bahwa Umar bin Khattab meninggal dunia saat dia memiliki dua anak darinya, Zaid dan Ruqayyah”.

Ini juga menunjukkan bahwa ia masih di bawah usia lima belas tahun saat menikah. Al-Dzahabi dan lainnya dengan tegas menyatakan bahwa ia masih kecil saat menikah, yang menunjukkan bahwa ia berada di bawah umur baligh. Wallahu a'lam.

Umar bin Khattab juga pernah melamar Ummu Kultsum, putri Abu Bakar As-Siddiq, yang usianya kurang dari sepuluh tahun karena dia lahir setelah ayahnya, Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, wafat. Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Al-Ishabah [4/469]:

" مَاتَ أَبُوهَا وَهِيَ حَمْلٌ ".

"Ayahnya meninggal ketika dia masih dalam kandungan."

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni [9/404]:

" وَقَدْ خَطَبَ عُمَرُ أُمَّ كُلْثُومٍ ابْنَةَ أَبِي بَكْرٍ بَعْدَ مَوْتِهِ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَأَجَابَتْهُ ، وَهِيَ لِدُونِ عَشْرٍ ، لِأَنَّهَا إِنَّمَا وُلِدَتْ بَعْدَ مَوْتِ أَبِيهَا ، وَإِنَّمَا كَانَتْ وِلَايَةُ عُمَرَ عَشْرًا ، فَكَرِهَتْهُ الجَارِيَةُ ، فَتَزَوَّجَهَا طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ ، وَلَمْ يُنْكِرْهُ مُنْكِرٌ ، فَدَلَّ عَلَى اتِّفَاقِهِمْ عَلَى صِحَّةِ تَزْوِيجِهَا قَبْلَ بُلُوغِهَا بِوِلَايَةِ غَيْرِ أَبِيهَا ، وَاللهُ أَعْلَمُ " ا هـ .

"Umar pernah melamar Ummu Kultsum, putri Abu Bakar, untuk Aisyah radhiyallahu 'anha setelah wafatnya Abu Bakar, dan Aisyah menjawab lamaran itu. Ummu Kultsum masih di bawah usia sepuluh tahun karena ia baru lahir setelah ayahnya meninggal. Masa pemerintahan Umar sendiri berlangsung sepuluh tahun, namun gadis itu menolak lamaran tersebut, lalu ia menikah dengan Thalhah bin Ubaidillah. Tidak ada yang mengingkari hal ini, menunjukkan kesepakatan para ulama bahwa menikahkan seorang anak perempuan sebelum baligh oleh wali selain ayahnya adalah sah. Wallahu a'lam."

Kesimpulannya: pernikahan dengan anak perempuan yang belum baligh, dan bahkan berhubungan dengannya jika ia sudah mampu untuk berhubungan, adalah sah berdasarkan nash dan ijma’. Pendapat yang menyimpang atau melarang hal tersebut, baik dari orang yang mengaku memiliki ilmu atau yang mengatasnamakan hak-hak perempuan atau hak asasi manusia di zaman ini, tidaklah dianggap, karena Allah lebih mengetahui dan lebih mengasihi hamba-hamba-Nya. Tidak ada yang bisa menolak ketetapan-Nya atau mengubah keputusan-Nya.

Saya telah membaca apa yang diterbitkan oleh surat kabar Al-Madinah pada tanggal 27/4/1430 H atas nama penulis Suhaila Zainal Abidin. Saya mendapati bahwa artikelnya tidak memiliki hubungan dengan ilmu. Bahkan isinya adalah omong kosong dan tak berfaedah, karena penulis - semoga Allah memberinya petunjuk - meragukan sesuatu yang tidak seharusnya diragukan. Ia melemahkan riwayat Aisyah tentang pernikahannya dengan Nabi saat ia masih kecil, dengan alasan yang ganjil. Ia mengklaim bahwa hadits tersebut lemah karena kelemahan para perawinya, padahal mereka adalah para al-Hafidz terkemuka dan tokoh-tokoh besar dalam periwayatan, seperti Imam Sufyan ats-Tsauri dan lainnya. Ini adalah usaha yang sia-sia untuk mendukung pandangannya tentang ketidakbolehan menikahi anak perempuan kecil.

Si Penulis juga menyebutkan bahwa usia Aisyah adalah tujuh belas tahun saat menikah dengan Rasulullah , dan mengandalkan apa yang disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wan-Nihayah dalam biografi Asma binti Abu Bakar As-Siddiq radhiyallahu 'anhuma, bahwa Asma lebih tua sepuluh tahun dari Aisyah.

Aku berkata: Ibnu Katsir telah membuat biografi Asma' binti Abu Bakar dalam kitab *al-Bidayah wa an-Nihayah* [8/346] pada peristiwa tahun 73 H, dan ia menyebutkan bahwa Asma' wafat pada usia seratus tahun. Ini berarti bahwa usianya saat hijrah adalah 27 tahun, sebagaimana yang ditegaskan oleh Abu Nu'aim al-Ashbahani. Lihat *al-Ishabah* karya Ibnu Hajar [4/225].

Namun, adz-Dzahabi menyebutkan dalam *Siyar A'lam an-Nubala'* [2/228] :

أنَّ أَسْماءَ كانَتْ أَسَنَّ مِنْ عائِشَةَ بِبِضْعِ عَشْرَةَ سَنَةً

“Bahwa Asma' lebih tua dari Aisyah sekitar belasan tahun”.

“Belasan” di sini berarti dari tiga hingga sembilan tahun. Jadi, jika kita mengatakan bahwa maksudnya adalah ia lebih tua sembilan belas tahun, maka usianya saat hijrah adalah 27 tahun, sehingga usia Aisyah saat hijrah adalah 8 tahun, yang sejalan dengan riwayat-riwayat yang sahih dan disepakati.

Perlu diperhatikan bahwa pernyataan Ibnu Katsir bahwa Asma' lebih tua dari Aisyah sepuluh tahun tidak memiliki dasar yang jelas; itu hanyalah ijtihad darinya, dan itu keliru tanpa diragukan, karena bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sahih mengenai usia Aisyah dan Asma' pada waktu hijrah. Bukti lain yang menguatkan kekeliruan perhitungan itu adalah bahwa Ibnu Katsir sendiri menyebutkan dalam *al-Bidayah wa an-Nihayah* [8/91] dalam biografi Aisyah :

أَنَّهَا تَزَوَّجَتْ وَعُمْرُهَا سِتُّ سِنِينَ وَبُنِيَ بِهَا وَعُمْرُهَا تِسْعُ سِنِينَ.

“Bahwa ia dinikahi pada usia enam tahun dan hidup serumah pada usia sembilan tahun.

Ibnu Katsir juga menyebutkan dalam tempat lain [3/131] :

أَنَّ هَذَا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ.

“Bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai hal ini”.

Semua yang menulis biografi Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha sepakat dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Katsir, sebagaimana yang tercantum dalam riwayat-riwayat sahih yang dikeluarkan oleh para imam dalam kitab-kitab sahih, sunan, musnad, dan mu'jam, dan mereka hanya berbeda pendapat mengenai usia enam atau tujuh tahun saat pernikahan.

Ibnu 'Abd al-Barr dalam kitab *al-Isti'ab* mengatakan, setelah menyebutkan bahwa ia dinikahi pada usia enam atau tujuh tahun dan hidup serumah pada usia sembilan tahun :

" لَا أَعْلَمُهُمْ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ "

"Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini."

[Lihat *al-Ishabah* dengan catatan *al-Isti'ab* [4/346], *Tarikh ath-Thabari* [2/9], *Wafayat al-A'yan* karya Ibnu Khallikan [3/16], dan lihat juga *Siyar* karya adz-Dzahabi [2/148], serta *Zad al-Ma'ad* karya Ibnu Qayyim [1/103]].

Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam *Fath al-Bari* [7/107] mengatakan :

" كَانَ مَوْلِدُهَا فِي الْإِسْلَامِ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِثَمَانِ سِنِينَ أَوْ نَحْوِهَا ، وَمَاتَ النَّبِيُّ ﷺ وَلَهَا نَحْوُ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ عَامًا " اٰهـ . 

"Ia lahir dalam Islam sekitar delapan tahun sebelum hijrah, dan Nabi wafat saat usianya sekitar delapan belas tahun."

" وُلِدَتْ بَعْدَ الْمَبْعَثِ بِأَرْبَعِ سِنِينَ أَوْ خَمْسِ سِنِينَ ، فَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتٍ وَقِيلَ سَبْعٍ، وَيُجْمَعُ بِأَنَّهَا كَانَتْ أَكْمَلَتِ السَّادِسَةَ وَدَخَلَتْ فِي السَّابِعَةِ ، وَدَخَلَ بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ " اٰهـ .

Ibnu Hajar juga berkata dalam *al-Ishabah* [4/348], "Ia lahir empat atau lima tahun setelah diutusnya Nabi, dan dalam riwayat sahih disebutkan bahwa Nabi menikahinya saat ia berusia enam atau tujuh tahun, dan ini berarti ia telah mencapai usia enam tahun dan memasuki usia tujuh, dan Nabi hidup serumah dengannya pada usia sembilan tahun."

Kemudian kepada si penulis ini dikatakan, mengapa engkau mengabaikan pernyataan Ibnu Katsir dalam menetapkan usia Aisyah saat dinikahi oleh Nabi , yang sesuai dengan kesepakatan ulama, dan malah bersandar pada perhitungannya tentang perbedaan usia antara Aisyah dan Asma', padahal ia tidak menyebutkan dasarnya, dan itu hanyalah ijtihad belaka dari Ibnu Katsir yang bertentangan dengan kenyataan dan merupakan kekeliruan dari beliau – semoga Allah mengampuninya.

Si Penulis – semoga Allah memberi petunjuk kepadanya – rupanya tidak memahami ilmu hadits, riwayat, serta jarh wa ta’dil sama sekali. Namun demikian, ia telah menempatkan dirinya sebagai kritikus hadits dan sanad. Dia mengatakan bahwa dirinya telah "mengkritisi" perawi-perawi sanad Al-Bukhari dan Muslim dalam ilmu jarh wa ta’dil, yaitu seperti Sufyan Ats-Tsauri, Wahb bin Khalid, Ali bin Mushir, Hammad bin Usamah, dan Hisyam bin Urwah, dan ia menemukan bahwa “mereka semua memiliki kelemahan”!!

Subhanallah, betapa ajaibnya apa yang dapat dilakukan oleh kebodohan dan hawa nafsu pada pemiliknya. Artikel tersebut memperlihatkan sejauh mana kebodohan penulis dan keberaniannya dalam menyerang sunnah, seolah-olah dia ingin berkata:

“Inilah para perawi dan pembawa sunnah kalian; semuanya lemah, maka jangan mengambil riwayat dari mereka, tetapi ambillah ilmu dariku saja dan dari mereka yang mengikuti metode ini dalam menyerang ilmu dan sunnah.”

Yang benar adalah, bahwa si penulis ini bukanlah orang pertama di antara orang-orang bodoh yang menyerang sunnah; sebelumnya, sudah banyak orang yang ingin menyerang agama dengan cara menyerang para perawinya. Ini adalah bid'ah lama yang dipimpin oleh para zindik pada abad-abad yang lalu, dan diikuti oleh setiap orang yang memberontak terhadap umat ini dari pengikut sekte-sekte yang menyimpang dan sesat.

Tidak diragukan lagi bahwa sunnah Nabi terjaga, Allah telah berjanji untuk melindunginya dari perusakan oleh para perusak dan penyelewengan oleh orang-orang bodoh. Oleh karena itu, para salaf saleh kita telah berusaha mencatat hadits dan sunnah sejak masa kenabian dan mengandalkan sanad dalam penyampaiannya. Itulah sebabnya Ibnul Mubarak mengatakan :

"الإسنادُ مِنَ الدِّينِ، وَلَوْلَا الإسنادُ لَقَالَ مَن شَاءَ مَا شَاءَ"

“Sanad adalah bagian dari agama. Seandainya tidak ada sanad, maka siapa pun bisa berkata semaunya.” Hal ini diriwayatkan oleh Muslim dalam muqaddimah Shahih-nya.

Siapa pun yang ingin menyerang sanad dan para perawi tanpa bukti, dan hanya karena hawa nafsu dan dugaan, pada hakikatnya dia ingin menyerang agama.

Si Penulis sebenarnya bisa saja, jika ingin membela pendapatnya dalam masalah ini, cukup menyampaikan pendapatnya tanpa menyentuh agama dan menyerang sanad-sanad yang sahih serta riwayat-riwayat yang telah disepakati. Jika ia hanya mengkritik satu riwayat saja, maka hal itu masih bisa dianggap remeh. Namun, cara dia menyerang para perawi berdampak pada seluruh riwayat lainnya. Karena jika ia menyerang perawi seperti Hisyam bin Urwah, Hammad bin Usamah, Ats-Tsauri, dan sejenisnya, maka itu berarti ia menyerang ratusan bahkan ribuan sanad yang diriwayatkan melalui jalur mereka.

Dan jika kita menerima kritik terhadap orang-orang terpercaya dan kredibel seperti mereka, maka hanya akan tersisa beberapa individu dari para perawi hadits yang tidak disebutkan sedikit pun catatan atau kekurangan dalam biografi mereka, sehingga akhirnya kebergantungan pada sunnah atau sebagian besarnya akan hilang.

Dan saya yakin bahwa si penulis tidak bermaksud untuk mencela sebagian besar hadits, tetapi tindakannya mengarah ke sana. 

Saya ingin mengingatkan si penulis, dan siapa pun yang serupa dengannya dari orang-orang dungu yang terpedaya oleh sebagian pengetahuan yang mereka miliki, dan mungkin meniru orang lain yang mereka anggap berada di jalan yang benar dari kalangan pengikut hawa nafsu, yang jumlahnya sangat banyak di zaman kita ini.

Saya ingin mengingatkan mereka bahwa ungkapan-ungkapan dalam ilmu kritik dan penilaian yang disebutkan dalam kitab-kitab rijal, seperti at-Tahdzib, al-Mizan, dan lainnya, hanya dapat dipahami oleh ahli di bidangnya, yaitu para ahli hadits dan ulama sunnah. Ada beberapa ungkapan dalam Ilmu Rijal mungkin dianggap sebagai celaan padahal tidak demikian, seperti at-Tadlīs misalnya, yang bukanlah celaan secara mutlak, tetapi memiliki hukum dan syarat serta berbagai jenis dan kategori. Maka tidak setiap orang yang dijuluki dengan ungkapan tersebut ditolak haditsnya, seperti yang dipahami oleh orang yang bodoh dalam ilmu ini. Dan hal serupa berlaku untuk ungkapan-ungkapan lain yang mungkin dipahami oleh orang dungu dengan cara yang salah. 

Saya juga ingin menekankan tentang hal lain, yaitu bahwa kitab-kitab hadits memiliki derajat yang berbeda-beda, dan tidak setara dalam hal kesahihan dan penerimaan.

Yang tertinggi adalah Sahih Bukhari, kemudian Sahih Muslim, lalu diikuti oleh kitab-kitab sahih dan sunah yang terkenal serta Musnad Imam Ahmad dan lainnya.

Adapun buku-buku sejarah, sirah, dan al-maghazi, kedudukannya jauh lebih rendah dalam hal kesehatan dibandingkan itu.

Jadi jika ada perbedaan antara apa yang disebutkan dalam kitab-kitab sahih dan sunah dengan yang ada dalam kitab-kitab sejarah, maka kita lebih mengutamakan yang pertama daripada yang kedua, bukan sebaliknya. 

Masih ada beberapa masalah dalam artikel si penulis, yaitu dalil-dalil yang mereka klaim dapat menolak hadits Aisyah yang disepakati. 

Pertama: Bahwa Umul Mukminin Aisyah telah bertunangan sebelum menikah dengan Rasulullah dengan Jubair bin Muth'im, dan penulis berpendapat bahwa pertunangan ini terjadi sebelum masa kenabian, dengan argumen yang bersifat spekulatif tanpa ada pengetahuan yang bermanfaat atau sanad yang dapat dijadikan pegangan, melainkan hanya dugaan:

وَإِنَّ الظَّنَّ لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا

“Dan sesungguhnya dugaan tidak mengandung kebenaran sedikit pun”. 

Jawaban saya terhadap keraguan yang rusak parah ini adalah bahwa kenyataan bahwa ia pernah bertunangan dengan Jubair bin Muth'im tidak menunjukkan usianya.

Ibnu Abdul Barr dalam kitab Al-Isti'ab [dalam catatan Al-Ishabah 4/346] berkata :

"وَكَانَتْ تُذْكَرُ لِجُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ وَتُسَمَّى لَهُ" اهـ

"Dan dia (Aisyah) sering disebut-sebut untuk Jubeir bin Muth'im dan namanya disebutkan." 

Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah [4/348] mengomentari pernyataan ini :

"أَخْرَجَهُ ابْنُ سَعْدٍ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ بِسَنْدٍ فِيهِ الْكُلَبِيُّ، وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا عَنْ ابْنِ نُمَيْرٍ عَنْ الْأَجْلَحِ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ: كُنْتُ أَعْطَيْتُهَا مَطْعَمًا لِابْنِهِ جُبَيْرٍ، فَدَعْنِي حَتَّى أَسْأَلَهَا مِنْهُمْ فَاسْتَلَبَتْهَا" اهـ. 

"Dikeluarkan oleh Ibnu Sa'ad dari hadits Ibnu Abbas dengan sanad yang terdapat di dalamnya Al-Kulabi, dan juga dikeluarkan oleh Ibnu Numair dari Al-Ajlah dari Ibnu Abi Mulaykah yang berkata: Abu Bakr berkata: Aku telah memberikannya sebagai mahar untuk anaknya Jubeir, maka biarkan aku sampai aku menanyakan mereka tentangnya, lalu dia memintanya." 

Saya katakan: Begitulah yang tercantum dalam Al-Ishabah, dan aku telah melihat di dalam Thabaqat Ibnu Sa'ad [8/58], maka aku menemukan riwayat pertama seperti ini: Ibnu Sa'ad berkata:

أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّائِبِ الْكُلَبِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ عَائِشَةَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ كُنتُ وَعَدْتُ بِهَا، أَوْ ذَكَرْتُهَا، لِمَطْعَمِ بْنِ عَدِيٍّ بْنِ نَوْفَلَ بْنِ عَبْدِمَنَافٍ لِابْنِهِ جُبَيْرٍ، فَدَعْنِي حَتَّى أَسْلَهَا مِنْهُمْ، فَفَعَلَ، ثُمَّ تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ، وَكَانَتْ بَكْرًا" اهـ. 

"Telah mengabarkan kepada kami Hisham bin Muhammad bin Sa'ib Al-Kulabi dari ayahnya dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah melamar Aisyah kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq. Abu Bakr berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah berjanji untuk menikahkannya, atau menyebutkannya, untuk Muth'im bin Adi bin Naufal bin Abdul Manaf untuk anaknya Jubeir, maka biarkan aku sampai aku menanyakan mereka tentangnya." Maka dia melakukannya, kemudian Rasulullah menikahinya, dan dia adalah seorang gadis." 

Dan sanad ini, seperti yang Anda lihat, tampak lemah, oleh karena itu Ibnu Hajar menyebutkan hal itu dengan mengatakan : "Dengan sanad yang terdapat Al-Kulabi." 

Al-Kulabi adalah Muhammad bin Sa'ib, tentangnya Al-Hafidz berkata dalam At-Taqrib [5901], "Dituduh berbohong dan dituduh syiah rafidhah." 

Anaknya, Hisham, disebutkan oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan [4/304] dan mengutip dari Ad-Daraqutni yang berkata tentangnya, "Ditinggalkan," dan ucapan Ibnu Asakir, "Seorang rafidhah yang tidak dapat dipercaya," dan ucapan Imam Ahmad, "Aku tidak mengira ada orang yang meriwayatkannya." Kemudian Adz-Dzahabi berkata, "Dan Hisham tidak dapat dipercaya." 

Sedangkan riwayat lainnya, Ibnu Sa'ad mengeluarkannya [8/59] sebagai berikut:

"أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ عَنْ الْأَجْلَحِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَائِشَةَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي كُنْتُ أَعْطَيْتُهَا مَطْعَمًا لِابْنِهِ جُبَيْرٍ فَدَعْنِي حَتَّى أَسَلَّهَا مِنْهُمْ، فَاسْتَسْلَهَا مِنْهُمْ، فَطَلَّقَهَا، فَتَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ" اهـ.

"Telah mengabarkan kepada kami Abdullah bin Numair dari Al-Ajlah dari Abdullah bin Abi Mulaykah yang berkata:

‘Rasulullah melamar Aisyah kepada Abu Bakr Ash-Shiddiq. Maka dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah memberikannya sebagai mahar untuk anaknya Jubeir. Maka biarkan aku sampai aku menanyakannya kepada mereka, lalu dia menanyakannya kepada mereka, lalu menceraikannya, dan Rasulullah menikahinya’." 

Saya katakan: Dan sanad ini juga terdapat permasalahan, karena sanad ini terputus, karena Ibnu Abi Mulaykah tidak menyandarkan, tetapi ia menyampaikannya. Kemudian, perawi darinya adalah Al-Ajlah bin Abdullah Al-Kindi, Al-Hafidz berkata dalam At-Taqrib [285], "Dia seorang yang jujur, seorang syi'ah." 

Dalam Tahdzib Al-Mizzi [2/282] ia menyebutkan ucapan An-Nasa'i tentangnya, "Lemah, tidak terlalu baik, dan dia memiliki pandangan buruk," dan Al-Jawzajani berkata, "Pembohong," dan ia menyebutkan orang-orang yang menganggapnya terpercaya di antara para imam, dan beberapa di antara mereka memberikan penilaian sedang dan berkata, "Tidak ada masalah dengan dirinya." 

Saya katakan: Dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah [3/131] menyampaikan sebuah riwayat dari Musnad Ahmad yang mengatakan :

أَنَّ أَبَا بَكْرٍ كَانَ قَدْ وَعَدَ الْمَطْعَمَ بْنَ عَدِيٍّ أَنْ يُزَوِّجَ عَائِشَةَ لِابْنِهِ جُبَيْرٍ، وَكَانَ إِذَاكَ صَبِيًّا. وَجُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَحَابِيٌّ أَسْلَمَ فِي الْفَتْحِ أَوْ قَبْلَ ذَلِكَ، وَتَوُفِّيَ سَنَةَ 58 أَوْ 59 لِلْهِجْرَةِ

“Bahwa Abu Bakr telah berjanji kepada Muth'im bin Adi untuk menikahkan Aisyah untuk anaknya Jubeir, yang saat itu masih kecil. Jubeir bin Muth'im radhiyallahu 'anhu adalah seorang sahabat yang memeluk Islam pada masa Fath (penaklukan Makkah) atau sebelum itu, dan ia wafat pada tahun 58 atau 59 Hijriyah”. Lihat Tahrib Al-Mizzi [4/509]. 

Dan dengan mengandaikan bahwa riwayat ini sahih, maka tidak ada yang bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sahih mengenai pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha, karena sangat mungkin dia telah dilamar sebelumnya oleh Jubeir, dan hal ini dikenal dan terkenal di kalangan Arab, dan juga di zaman kita, bahwa seorang gadis dapat dilamar meskipun masih dalam buaian. 

Dengan demikian, terlihat jelas kekacau balauan keraguan yang disampaikan oleh si penulis.

Adapun **syubhat lain** yang disampaikan oleh penulis, yaitu ucapannya :

'Sesungguhnya ayat :

﴿سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ﴾

‘Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang [Al Qamar: 45]’, turun pada tahun ke-6 dari masa kenabian dan saat itu Sayyidah Aisyah masih seorang gadis yang sedang bermain. Lalu, tahun berapa ia dilahirkan?'

Saya katakan: Mengenai perkataan Aisyah, itu diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya dengan lafaz :

"لَقَد نَزَلَ بِمَكَّةَ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ : بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى وَأَمَرُ"

'Sesungguhnya wahyu turun kepada Muhammad ketika aku masih seorang gadis yang sedang bermain: Bahkan saat itulah waktu mereka, dan saat itu lebih dahsyat dan lebih menyakitkan' [9/38].

Tidak terdapat dalam riwayat bahwa Surah Al-Qamar turun pada tahun ke-6 dari masa kenabian; bahkan ada perbedaan pendapat dalam hal ini.

Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari [6/632] menyebutkan dalam penjelasan Hadits terbelahnya bulan : bahwa itu terjadi di Mekkah sekitar lima tahun sebelum hijrah.

Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha lahir sekitar delapan tahun sebelum hijrah, sehingga usianya saat terbelahnya bulan adalah sekitar tiga tahun, dan bisa dikatakan bahwa ia adalah gadis kecil yang sedang bermain.

Saya juga melihat Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan ayat terbelahnya bulan dalam kitab-nya Al-Bidayah wa an-Nihayah [3/118] setelah menyebutkan Israk dan Mi'raj, dan sebelum itu ia menyebutkan perbedaan pendapat tentang waktu Israk di kalangan para sejarawan, ada yang mengatakan itu terjadi pada tahun kesepuluh masa kenabian, dan ada yang mengatakan setahun sebelum hijrah.

Oleh karena itu, terbelahnya bulan dan turunnya Surah Al-Qamar terjadi, entah pada tahun kesepuluh masa kenabian atau setelahnya, dan usia Aisyah saat itu sekitar enam tahun.

Apapun itu, tidaklah benar jika kita meragukan riwayat yang sahih dan disepakati hanya berdasarkan apa yang dikemukakan oleh para sejarawan dan ahli sejarah, terutama karena telah terjadi perbedaan pendapat tentang waktu turunnya Surah Al-Qamar.

**Syubhat terakhir** yang disebutkan oleh si penulis adalah bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha telah menyaksikan Perang Badar dan Uhud, jadi bagaimana Rasulullah membolehkan membawa putri berusia 9 tahun.

Jawaban untuk syubhat ini adalah bahwa kehadirannya di Badar bersama Nabi dipertanyakan, karena Ibnu Katsir dalam bukunya "Al-Bidayah wa al-Nihayah" [8/91] menyebutkan bahwa Nabi menikahinya setelah Perang Badar, dan demikian pula yang dikatakan Al-Dzahabi dalam "Siyar" [2/135].

Ada sebagian lain yang berpendapat bahwa beliau menikahinya sebelum itu. Tidak ada satu pun di antara mereka yang menyebutkan bahwa Aisyah menyaksikan perang Badar.

Andai saja dia menyaksikannya saat masih kecil, itu tidak menjadi masalah, karena dia tidak menyaksikannya untuk berperang, melainkan untuk membantu para pejuang, seperti yang dilakukan wanita lainnya, merawat yang terluka dan memberikan minuman kepada para pejuang, dan sebagainya. Lihat "Fath al-Bari" [6/78].

Setelah itu, saya telah membaca artikel kedua dari penulis yang sama, Suhailah Zainal Abidin, yang merupakan lanjutan dari artikel pertamanya, yang diterbitkan di surat kabar Al-Madinah pada tanggal 5/5/1430 H.

Saya tidak melihat ada yang layak untuk dibalas dan dikomentari, karena itu adalah artikel yang tidak terarah dan tidak memiliki substansi. Si penulis menegaskan bahwa dia tidak memahami dasar-dasar ilmu agama dan tujuan syariat, dan bahwa dia berbicara tanpa pengetahuan, serta mengeluarkan pendapat sembarangan. Yang paling mengejutkan dalam artikelnya adalah pernyataannya :

"مِن هُنَا أَضَعُ هَذِهِ الدِّرَاسَةَ الْمُتَوَاضِعَةَ بَيْنَ يَدَي وَزَارَةِ الْعَدْلِ ..." الخ.

"Dari sini, saya menempatkan kajian yang sederhana ini di hadapan Kementerian Kehakiman ..."

Saya katakan: Penulis tidak hanya berhenti pada apa yang dia sebutkan dalam artikel pertamanya tentang kritik terhadap para perawi sunnah yang terpercaya, tetapi juga meminta Kementerian Kehakiman untuk menyetujui kebodohan semacam ini yang dia sebut "kajian".

Namun, dia jujur dalam deskripsinya bahwa dia "sederhana", dan memang dia benar-benar sederhana sampai-sampai tidak layak untuk mendapatkan perhatian.

Kemudian, saya juga membaca artikel si penulis Nabilah Husni Mahjub di surat kabar Al-Madinah pada tanggal 6/5/1430 H, di mana si penulis berpendapat serupa dengan Suhailah tentang melarang pernikahan anak di bawah usia delapan belas tahun.

Dia juga meragukan keabsahan pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha saat masih kecil, tetapi merujuk pembaca kepada artikel seorang jurnalis Mesir bernama Islam Buhairi, yang dipublikasikan di sebuah surat kabar Mesir, dan menyebutkan bahwa jurnalis ini telah melakukan kajian terhadap riwayat pernikahan Ummul Mukminin dan telah melemahkan riwayat tersebut, serta menegaskan bahwa usia Aisyah saat menikah adalah 18 tahun.

Saya katakan: Tampaknya penulis, Suhaila Zainal Abidin, telah mengambil artikel dan studinya dari artikel jurnalis Mesir itu, wallahu a'lam.

Artikel penulis, Nabilah Mahjuub, meskipun secara keseluruhan sejalan dengan artikel Suhaila dalam menolak pernikahan anak-anak, namun ia kurang berani dan berbahaya dibandingkan, karena beberapa alasan:

Pertama: Karena ia tidak tegas meragukan keabsahan riwayat yang jelas tentang usia Aisyah saat menikah, melainkan hanya meragukannya dan merujuk pembaca ke artikel jurnalis Mesir tersebut.

Kedua: Karena di akhir artikelnya, ia meminta kepada Dewan Ulama Besar untuk meninjau penelitian tersebut dan mengeluarkan pernyataan tentangnya.

Ketiga: Karena ia meminta kepada para peneliti yang ahli dalam ilmu hadits dan sejarah untuk meninjau dan mengkritik riwayat tersebut.

Sedangkan penulis Suhaila, dia sendiri yang mengkritik riwayat-riwayat tanpa merujuk kepada ahli yang berkompeten, jika dia sendiri yang mempelajari kitab hadits dan sejarah.

Di sini saya ingin memberikan nasihat kepada kedua penulis: Suhaila dan Nabila, serta kepada orang lain yang telah atau akan menulis tentang topik ini agar pertama-tama merujuk kepada ahli yang berkompeten dalam masalah agama dan syariah, karena setiap ilmu memiliki ahlinya. Seperti kalian mengakui bahwa ilmu-ilmu lain tidak bisa dibicarakan kecuali oleh para ahli, seperti kedokteran, teknik, dan ilmu pengetahuan alam serta astronomi, demikian juga ilmu agama seperti hadits, fiqh, tafsir, dan lainnya, tidak layak untuk dibicarakan oleh jurnalis atau para pencela budaya yang tidak mempelajari ilmu-ilmu tersebut secara mendalam, terutama ilmu hadits, jarh wa ta'dil, karena merupakan salah satu ilmu syariah yang paling sulit dipahami dan paling dalam.

Saya juga ingin menunjukkan di sini, bukan dari sudut kebanggaan, tetapi dari sudut ilmu dan informasi, bahwa saya – Alhamdulillah – telah mengambil spesialisasi dalam ilmu syariah setelah menyelesaikan studi teknik sipil dari salah satu universitas terbaik di kerajaan, yaitu Universitas Minyak dan Mineral, dan saya menemukan bahwa ilmu syariah jauh lebih sulit dibandingkan ilmu-ilmu lainnya, terutama ilmu hadits, dan membutuhkan pembacaan, penelitian yang terus-menerus, serta kemampuan dalam menghafal dan memahami serta mengingat teks dan pendapat serta mazhab, terutama saat memilih satu mazhab atau pendapat dan mengutamakannya di atas yang lain.

Setelah itu, saya telah memperpanjang pembicaraan dan tidak ingin berlama-lama. Masih ada beberapa masalah yang akan saya bahas secara terpisah, di antaranya: hukum memaksa wanita untuk menikah dengan orang yang tidak diinginkannya, dan masalah kecocokan dalam pernikahan.

Ini yang ingin saya sampaikan, Alhamdulillah, baik di awal maupun di akhir, dan semoga shalawat serta salam tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad dan keluarganya serta para sahabatnya.

Ditulis dalam bahasa arab oleh: Samir bin Khalil Al-Maliki Al-Makki Al-Hasani.

Diterjemahkan oleh Abu Haitsam Fakhry.

===*****===

**KONTROVERSI USIA KAWIN AISYAH (R.A) DAN KAITANNYA DENGAN LEGALITAS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM ISLAM**

Di Tulis Oleh Yusuf Hanafi

******

**Abstract:**

The accounts of Aisyah’s age, which was still young (6 years) when she married the Prophet Muhammad and 9 years when she started her family life, were considered valid and reliable for centuries. Today, critical studies of Aisyah’s age at the time of her early marriage have developed. This research was first initiated by Muhammad Ali and continued by Muslim scholars from the Indian subcontinent. They argued that there was a mistake in interpreting Aisyah’s actual age when she married the Prophet. She was allegedly older than what was stated in the historical reports, including hadith. Based on these controversies, this study examines the quality of hadith that reports Aisyah's age when she married, both in terms of sanad and matn. Using textual analysis, this study also focuses on analyzing corrective theses regarding Aisyah's age, exploring various reasons for her marriage, and then offers a historiographical perspective on the corrective discourse. This research presents an analytical disagreement as an antithesis to the corrective discourse on Aisyah's marital age. 

**Key Words:** Child marriage, nikah al-shaghirah, Aisyah’s marriage. 

**Abstrak:**

Sejarah usia Aisyah yang masih muda (6 tahun ketika menikah dengan Muhammad dan 9 tahun ketika ia memulai kehidupan keluarganya) dianggap sebagai data sejarah yang final dan terpercaya selama berabad-abad. Saat ini, kajian kritis terkait usia Aisyah saat menikah dengan Muhammad semakin berkembang. Kajian ini pertama kali dimulai oleh Muhammad Ali dan diteruskan oleh para pemikir dari benua India. Mereka menyatakan bahwa ada kesalahan dalam penafsiran usia faktual Aisyah ketika menikah dengan Nabi Muhammad , dan beliau sebenarnya lebih tua dari yang tercantum dalam literatur hadits. Berdasarkan latar belakang penelitian ini, fokus permasalahannya adalah: (1) mengumpulkan tesis-tesis korektif terkait usia Aisyah dan berbagai alasan pernikahannya yang tercatat dalam sejarah pemikiran wacana korektif; (2) menjelaskan perbedaan analisis terhadap mazhab Sunni sebagai antitesis dari wacana korektif mengenai usia Aisyah saat menikah; (3) memberikan penjelasan yang akurat dan interpretasi mengenai hukum Islam (fiqh), instrumen HAM internasional, dan hukum positif di Indonesia terkait masalah pernikahan anak. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka dengan metode analisis teks. 

**Kata Kunci:** pernikahan anak, nikah al-shaghirah, pernikahan Aisyah dalam hadits, sub Benua India. 

===

**A. PENDAHULUAN**

Hadits-hadits yang melaporkan perkawinan Nabi Muhammad dengan Aisyah radhiyallahu 'anha di usia kanak-kanak diriwayatkan oleh seluruh kolektor hadits dalam *al-Kutub al-Sittah* dan Ahmad bin Hanbal (164-241 H) dalam *Musnad*-nya. Selain dilaporkan oleh al-Jama'ah (istilah untuk para imam hadits penulis *al-Kutub al-Sittah* ditambah Ahmad bin Hanbal), perkawinan Nabi dengan Aisyah radhiyallahu 'anha yang disebut masih belia itu juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi (384-458 H/994-1066 M) dalam *al-Sunan al-Kubra*, al-Hakim (321-405 H/933-1014 M) dalam *al-Mustadrak*, dan al-Thabrani (260-340 H/873-952 M) dalam *al-Mu'jam al-Kabir*. Singkatnya, riwayat-riwayat hadits yang mengisahkan ini sangat banyak, sehingga dapat disimpulkan bahwa informasi tersebut mencapai level mutawatir. Ibnu Katsir (1301-1372 M) dalam *al-Bidayah wa al-Nihayah* menyatakan bahwa perkawinan Nabi dengan Aisyah radhiyallahu 'anha merupakan konsensus semua orang (la khilaf fih bain al-nas).

Berdasarkan telaah atas substansi (matn) hadits, ditemukan riwayat yang menyatakan bahwa usia Aisyah radhiyallahu 'anha ketika dinikahi Nabi adalah 6 tahun—sebagaimana dituturkan sendiri olehnya. Namun, ada juga hadits yang menyebutkan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha kala itu berusia 7 tahun. Untuk menentukan mana yang lebih kuat, baik pengakuan Aisyah radhiyallahu 'anha sendiri atau kesimpulan periwayat, tentunya yang paling kredibel adalah penuturan dari pelaku sejarah yang mengalami langsung peristiwa tersebut. Oleh karena itu, riwayat yang menyatakan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha dinikahi oleh Nabi pada usia 6 tahun adalah yang paling kuat dan terpercaya.

**Pada dasarnya, kajian ini berbasis metode analisis teks**, mengingat fokusnya adalah pro dan kontra reliabilitas riwayat-riwayat tentang usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dalam literatur hadits. Metode lain yang digunakan adalah analisis sejarah (*historical analysis*) untuk memahami konteks objektif di wilayah Anak Benua India, khususnya India-Pakistan, saat tesis-tesis korektif mengenai usia Aisyah radhiyallahu 'anha diformulasikan oleh sarjana-sarjana Ahmadiyyah Lahore. Metode ini penting untuk merekonstruksi secara menyeluruh elemen-elemen yang mempengaruhi gagasan-gagasan korektif tersebut sehingga dapat dipahami dengan jelas konteks yang melingkupinya.

Selain itu, kajian ini juga menggunakan pembacaan genealogis atas tesis-tesis korektif dari para intelektual di Anak Benua India. Model pembacaan ini akan merujuk pada teori-teori pendekatan sejarah, seperti yang dijelaskan dalam F.R. Ankersmit, *Refleksi tentang Sejarah*, terjemahan Dik Hartoko dari *Denken over Geschiedenis* (Jakarta: Gramedia, 1987). *Istinbáth: Jurnal Hukum Islam* berguna untuk mengamati perkembangan diakronis dan rantai intelektual antar-generasi di kalangan intelektual Anak Benua India. Jurnal ini menyoroti bagaimana ide-ide pemikiran berkembang dan diwariskan antar-generasi intelektual di wilayah tersebut.

Tulisan ini juga menggunakan metode komparatif untuk membandingkan perbedaan antara prinsip-prinsip filosofis-juridis dari fikih Islam, hukum perkawinan nasional, dan instrumen HAM internasional yang berkaitan dengan isu pernikahan anak di bawah umur—isu yang dalam konteks Islam hampir selalu dikaitkan dengan hadits pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha. Pendekatan ini diharapkan dapat meredakan ketegangan antara sistem-sistem hukum tersebut, serta menjadi langkah awal dalam upaya harmonisasi guna menjawab tantangan legislasi di masa kini.

====

**B. USIA KAWIN AISYAH R.A. DAN LEGALITAS USIA KAWIN WANITA**

Riwayat tentang usia Aisyah radhiyallahu 'anha yang masih kanak-kanak (6 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad , dan 9 tahun pada saat mengawali kehidupan rumah tangganya) merupakan data sejarah yang dianggap final dan reliabel selama puluhan abad. Tidak mengherankan jika kemudian banyak di antara umat Islam yang mempraktikkan model perkawinan tersebut dengan dalih meneladani perkawinan historis Nabi dengan putri Abu Bakar itu. Terlebih, fikih klasik—yang berwenang mengelola ranah pranata sosial Islam—cenderung “membiarkan” praktik tersebut dengan indikator ketidaktegasannya dalam persoalan batas usia kawin minimal.

Menariknya, belakangan muncul kajian kritis yang menyoroti usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Nabi , yang dipelopori Muhammad Ali dan kemudian diteruskan oleh sarjana-sarjana Anak Benua India lainnya (seperti Abu Thahir ‘Irfani, Ghulam Nabi Muslim Sahib, dan Habib-ur-Rahman Siddiqui Kandhalvi). Menurut mereka, telah terjadi kekeliruan periwayatan usia Aisyah radhiyallahu 'anha yang faktual, di mana ia pada saat perkawinannya dengan Nabi sesungguhnya lebih tua dari usia yang diwartakan dalam literatur-literatur hadits.

Terlepas dari segala kontroversinya, tesis-tesis korektif itu merupakan langkah berani sekaligus terobosan besar dalam lapangan penelitian hadits, terlebih lagi di tengah kebuntuan hukum Islam vis-à-vis instrumen HAM internasional dan hukum nasional dalam persoalan perkawinan anak di bawah umur.

Dalam sub-bahasan ini akan dipaparkan: pertama, gugatan atas kesahihan usia kawin Aisyah radhiyallahu 'anha dan motif-motif yang melatarinya, sekaligus menyusun historiografi pemikiran seputar wacana korektif itu. Kedua, sanggahan balik atas wacana korektif perihal usia kawin Aisyah radhiyallahu 'anha. Ketiga, nalar fikih kontemporer dalam mengarifi usia kawin Aisyah radhiyallahu 'anha sebagai ikhtiar mengikis praktik perkawinan anak di bawah umur.

===

**[1] - GUGATAN ATAS KESAHIHAN USIA KAWIN AISYAH **

Muhammad Ali (1874–1951 M), pemimpin *Ahmadiyya Anjuman Ishaat-i-Islam* (Ahmadiyya Association for the Propagation of Islam) dari tahun 1914 hingga 1951, adalah sarjana Muslim pertama yang secara terbuka mengoreksi catatan klasik tentang usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Nabi . Muhammad Ali berani menyimpulkan bahwa anggapan usia 6 atau 7 tahun saat menikah dan 9 tahun ketika Aisyah mulai hidup bersama Nabi adalah suatu kesalahpahaman besar (*a great misconception*). Pandangan ini disampaikannya dalam beberapa tulisannya, antara lain: (1) buklet dalam bahasa Inggris *The Prophet of Islam*; (2) bukunya yang lebih tebal dalam bahasa Inggris berjudul *Muhammad, the Prophet*; dan (3) *Living Thoughts of the Prophet Muhammad*, yang ketiganya diterbitkan pada periode 1920–1930-an.

Muhammad Ali mengajukan setidaknya empat bukti bahwa riwayat mengenai usia Aisyah dalam literatur hadits—yakni 6 atau 7 tahun saat menikah dan 9 tahun saat mulai berumah tangga—tidak akurat.

**Pertama**, Abu Bakar telah merencanakan pernikahan Aisyah dengan Jubair bin Muth'im ketika ia hijrah ke Habasyah pada tahun ke-8 sebelum hijrah.

**Kedua**, Aisyah lebih muda lima tahun dari putri Nabi , Fathimah, yang lahir lima tahun sebelum kenabian (Nubuwwah) bertepatan dengan renovasi Ka’bah.

**Ketiga**, Aisyah sudah gadis remaja (*jariyah*) ketika QS al-Qamar diwahyukan pada tahun ke-6 kenabian, yang terbukti karena ia mengingat dan hafal beberapa ayatnya.

**Keempat**, bukti menunjukkan bahwa kehidupan rumah tangga Aisyah dimulai pada tahun ke-2 hijriah di bulan Syawal, menandakan bahwa ada jeda lima tahun penuh antara akad nikah dan awal kehidupan rumah tangganya.

Menurut kesimpulan Muhammad Ali, tidak ada keraguan bahwa Aisyah setidaknya berusia 9 atau 10 tahun pada saat pernikahan dan berusia 14 atau 15 tahun saat mulai hidup bersama Nabi .

**Catatan Referensi:**

1. Lihat Maulana Muhammad Ali, *The Prophet of Islam* (Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1924), hlm. 30; lihat pula Maulana Muhammad Ali, *Living Thoughts of the Prophet Muhammad* (Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1992), hlm. 30.

2. Periksa dalam buku-buku Maulana Muhammad Ali berikut: *The Prophet of Islam* (Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1924), hlm. 30; *Muhammad, the Prophet* (Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1993), hlm. 183–184; *Living Thoughts of the Prophet Muhammad* (Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1992), hlm. 30. Buku-buku tersebut tersedia untuk diunduh gratis di situs *Ahmadiyya Anjuman Ishaat-i-Islam Lahore* (www.aaiil.org).

===

Dua dalil lain diajukan Muhammad Ali dalam catatan kaki dari buku terjemahan dan komentarnya (edisi bahasa Urdu) atas Shahih al-Bukhari yang berjudul *Fadhl al-Bari*. Muhammad Ali mengemukakan dua laporan peristiwa yang mengindikasikan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha tidak mungkin lahir setelah tahun Kenabian (610 M).

**Pertama**, penuturan Aisyah radhiyallahu 'anha sendiri dalam *Shahih al-Bukhari*, Kitab al-Kafalat, perihal memorinya saat orang tuanya telah menjadi pemeluk Islam, “Saya sama sekali tidak ingat (masa kecilku) kecuali pada saat itu kedua orang tuaku telah memeluk Islam.” [Redaksi hadits selengkapnya lihat al-Bukhari, *Shahih al-Bukhari*, vol. 7, 81; vol. 12, 294.]

Menurut Muhammad Ali, Aisyah radhiyallahu 'anha tentunya lahir beberapa waktu sebelum orang tuanya memeluk Islam (pada awal tahun Kenabian), sehingga ia dapat mengingat saat mereka mempraktikkan Islam sedari awal. Jika Aisyah radhiyallahu 'anha lahir setelah orang tuanya menerima Islam, tentunya ia tidak akan mengatakan bahwa ia selalu ingat orang tuanya sebagai pengikut Islam. Sebaliknya, jika ia lahir sebelum mereka menerima Islam, maka sungguh masuk akal baginya untuk mengatakan bahwa ia hanya dapat mengingat orang tuanya telah menjadi Muslim, karena ia terlalu muda untuk mengingat hal-hal sebelum mereka memeluk Islam. [Referensi: Maulana Muhammad Ali, *Fadhl al-Bari* (Lahore: Kirsi Salim, t.t.), 501].

**Kedua**, keikutsertaan Aisyah radhiyallahu 'anha dalam Perang Badar (tahun 2 H) dan Perang Uhud (3 H). [Referensi: Al-Bukhari, *Shahih al-Bukhari*, vol. 9, 500].

Menurut Muhammad Ali, Aisyah radhiyallahu 'anha mulai menjalani kehidupan rumah tangganya dengan Nabi hanya berselang satu tahun sebelum Perang Uhud. Berdasarkan pandangan umum, Aisyah radhiyallahu 'anha saat itu berusia 10 tahun, yang tentunya tidak cocok untuk terlibat dalam situasi perang karena masih berusia kanak-kanak. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha ketika itu tidak semuda itu. Ditambahkan pula, pada kesempatan sebelumnya (yakni Perang Badar), ketika sejumlah bocah Muslim berhasrat untuk berangkat bersama pasukan Muslim ke medan pertempuran, Nabi mengirim mereka pulang dengan pertimbangan usia yang masih terlalu belia (dengan hanya memperbolehkan seorang anak muda bernama ‘Umair bin Abu Waqqas untuk menemani kakaknya, sahabat Nabi yang terkenal, Sa’ad bin Abu Waqqas).

Karena itu, sangat tidak mungkin jika Aisyah radhiyallahu 'anha masih berusia 10 tahun, Nabi membiarkannya mengikuti pasukan ke medan pertempuran. Karenanya, dapat disimpulkan dari semua bukti yang dikemukakan oleh Muhammad Ali di atas, Aisyah radhiyallahu 'anha sekurang-kurangnya berusia 15 tahun ketika menemani Nabi sebagai istrinya di tahun 2 Hijriyah, sedangkan perkawinannya terjadi lima tahun sebelumnya. [Muhammad Ali, *Fadhl al-Bari*, 651].

Penelitian berikutnya setelah era Muhammad Ali menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha ketika menikah dengan Nabi berusia lebih tua dari koreksi yang diajukan Muhammad Ali sebelumnya. Pamflet dalam bahasa Urdu *Rukhsati kai Waqt Sayyida Aisha Siddiqa ki Umar* (Usia Sayidah Aisyah Ketika Menikah) karya Abu Thahir ‘Irfani merupakan karya ringkas yang sangat ekselen karena mengemukakan bukti-bukti baru perihal kekeliruan penetapan usia Aisyah dalam literatur-literatur hadits.

[Referensi: Zahid Aziz, “Age of Aisha (RA) at Time of Marriage” dalam [muslim.org] (http://www.muslim.org/islam/aisha-age.php)

(Diakses 25 Desember 2008 dari www.muslim.org, the website of Ahmadiyya Anjuman Isha`at Islam Lahore Inc. U.S.A.)].

====

**Bukti-bukti Baru Mengenai Usia Aisyah (RA) saat Menikah dengan Rasulullah **

**Pertama**, sejarawan Muslim klasik, Ibnu Jarir al-Thabari (838–923 M/224–310 H), mencatat dalam *Tarikh*-nya bahwa seluruh anak Abu Bakar, termasuk Aisyah radhiyallahu 'anha, lahir pada era Jahiliyah (periode pra-Islam). Menurut Abu Thahir ‘Irfani, jika Aisyah radhiyallahu 'anha lahir sebelum Islam, berarti ia lahir sebelum tahun kenabian (sebelum 610 M).

**Kedua**, kolektor hadits ternama, Muhammad bin 'Abdullah al-Khathib, dalam bukunya *Misykat al-Mashabih*, mencatat bahwa Asma', kakak Aisyah, berusia 10 tahun lebih tua dari Aisyah. Asma' wafat pada usia 100 tahun di tahun 73 H, yang menunjukkan bahwa Asma' berusia sekitar 27–28 tahun pada tahun 1 H (tahun Hijrah). Berdasarkan perhitungan ini, usia Aisyah saat pernikahan dengan Rasulullah (tahun ke-10 kenabian atau 3 tahun sebelum Hijrah) diperkirakan sekitar 14 atau 15 tahun, dan saat memulai kehidupan rumah tangga pada tahun 2 H, Aisyah berusia sekitar 19 tahun.

**Ketiga**, koreksi usia ini juga didukung oleh Ghulam Nabi Muslim Sahib, intelektual Ahmadiyyah Lahore, dalam artikelnya yang pertama kali diterbitkan di *The Light* pada 24 September 1981, kemudian dipublikasikan dalam jurnal *The Message: World Quarterly* pada September 2002. Menurutnya, penelitian lebih mendalam menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha berusia sekitar 19 atau 20 tahun saat memasuki rumah Nabi sebagai istrinya.

Koreksi ini juga banyak didukung oleh para intelektual dari Anak Benua India, terutama melalui karya Habib-ur-Rahman Siddiqui Kandhalvi (w. 8 April 1991 M) dalam bukunya “Tehqiq e Umar e Siddiqah e Ka’inat.” Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Nigar Erfaney dengan judul *A Research Work: Age of ‘Aishah, the Truthful Woman*, yang diterbitkan oleh al-Rahman Publishing Trust, Karachi, Pakistan, pada Desember 1997.

Habib-ur-Rahman Siddiqui Kandhalvi tidak hanya merangkum temuan sebelumnya yang mengoreksi usia Aisyah saat menikah, tetapi juga memberikan bukti baru yang berdasar pada al-Qur'an, hadits, 'atsar sahabat, ilmu rijal (biografi perawi), dan pengakuan langsung dari Aisyah, khususnya dalam bagian pertama bukunya yang berisi hujjah 1 hingga 11. Pada bagian kedua, hujjah 12 hingga 24, ia lebih banyak mendasarkan argumentasinya pada fakta sejarah, sosiologi, psikologi, seksologi, dan statistik.

**Pokok Bahasan Utama Karya Kandhalvi**:

1]. **Kapan Aisyah radhiyallahu 'anha dilahirkan?**

2]. **Berapakah usianya saat menikah?**

3]. **Kapan ia mulai tinggal serumah dengan Nabi Muhammad ?**

Kandhalvi menyimpulkan bahwa riwayat tentang usia Aisyah saat menikah bukanlah bagian dari sunnah qauli, fi'li, maupun taqriri. Setelah meneliti literatur hadits, Kandhalvi menemukan bahwa beberapa perawi mencatat riwayat tersebut sebagai perkataan Aisyah radhiyallahu 'anha, sementara lainnya sebagai perkataan 'Urwah, seorang tabi'in. Hal ini memperkuat argumentasinya bahwa riwayat tersebut bukanlah perkataan Nabi sendiri.

Ia juga menunjukkan bahwa riwayat mengenai usia 6 dan 9 tahun tersebut didominasi oleh periwayatan dari Hisham bin 'Urwah yang tinggal di Kufah, Iraq, dan mengalami penurunan ingatan pada usia lanjut, sehingga riwayat tersebut layak ditinjau ulang.

**[2]. SANGGAHAN BALIK ATAS WACANA KOREKTIF PERIHAL USIA KAWIN AISYAH (RA)**:

Rangkaian koreksi yang memiliki relasi genealogis tersebut, mulai dari koreksi yang diajukan oleh Muhammad Ali (sekitar dekade 1920-1930-an) hingga Habib-ur-Rahman Siddiqui Kandhalvi (akhir dekade 1990-an), merupakan tesis-tesis kontroversial. Hal ini karena mereka mencoba menggugat bahkan membantah catatan klasik perihal usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Nabi , yang selama berabad-abad dianggap final dan dapat diandalkan. Tidak mengherankan apabila koreksi-koreksi yang dikemukakan para intelektual dari Anak Benua India tersebut kemudian memancing reaksi dan sanggahan balik dari para sarjana Muslim lainnya, terutama dari kalangan Sunni.

Gibril Fouad Haddad melalui artikelnya di situs Sunni Path yang berjudul *"Our Mother ‘Aisha’s Age at the Time of Her Marriage to the Prophet"* menjawab hampir seluruh koreksi yang mengkritisi usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Nabi dalam literatur-literatur hadits kanonik (mudawwanah). Menurutnya, para korektor usia Aisyah radhiyallahu 'anha tersebut telah menggunakan data-data yang diragukan reliabilitasnya dan berspekulasi dalam penghitungannya. Mereka mengabaikan hadits-hadits sahih, tetapi ironisnya lebih memilih informasi-informasi sirah dan tarikh yang belum teruji validitasnya. Mereka meremehkan kesaksian yang secara tegas memastikan usia Aisyah radhiyallahu 'anha, namun justru mengedepankan peristiwa-peristiwa pembanding yang sulit ditentukan penanggalannya secara akurat. Tidak heran jika kemudian mereka tidak mencapai kesepakatan dalam menyimpulkan usia definitif Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah—di mana antara Muhammad Ali (sebagai pencetus gagasan korektif) dan para suksesor pemikirannya (seperti Abu Thahir 'Irfani, Ghulam Nabi Muslim Sahib, hingga Habib-ur-Rahman Siddiqui Kandhalvi) ditemukan adanya inkonsistensi dalam kesimpulan mereka.

Bantahan serupa juga datang dari Ayman bin Khalid melalui tulisannya *"The Age of Aishah’s (RA) Marriage Between Historians and Hadith Scholars"* di situs Multaqa Ahl al-Hadith. Dalam pandangannya, meski Muhammad Ali dan para penerusnya beralasan bahwa upaya korektif ini bertujuan luhur, yakni untuk menjaga citra Nabi Muhammad dari tuduhan sebagai "penganiaya anak" (child molester) yang melakukan kekerasan seksual (sexual abuse), namun di balik semua itu tersembunyi target khusus. Secara apriori, ia meyakini bahwa sunnah Nabi adalah sasaran akhir untuk diruntuhkan kredibilitasnya, dimulai dengan meragukan kredibilitas Shahihain, serta literatur-literatur hadits lainnya yang termasuk dalam kelompok al-Kutub al-Sittah.

Dialektika wacana mengenai reliabilitas usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Nabi dalam literatur-literatur hadits tidak hanya terbatas di India-Pakistan, tetapi juga meluas hingga ke Mesir. Muhammad Imarah (lahir 1931 M), seorang pemikir moderat al-Azhar yang dikenal responsif terhadap tren pemikiran Islam yang ia pandang menyimpang, membantah wacana korektif atas usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah yang diintrodusir oleh Jamal al-Banna melalui koran *al-Mishri al-Yaum* (edisi 13 Agustus 2008). Dalam artikelnya yang berjudul *al-Radd ‘ala Man Tha’ana fi Sinn Zawaj Aisyah* (Bantahan terhadap Orang yang Menggugat Usia Aisyah kala Menikah), Imarah mempertanyakan kredibilitas dan kejujuran akademik Jamal al-Banna. Menurutnya, Jamal telah melakukan banyak manipulasi data dan fakta dengan hanya menyajikan kutipan-kutipan yang mendukung wacana korektifnya, yang sesungguhnya merupakan lanjutan dari tesis-tesis korektif yang berkembang di Anak Benua India sebelumnya.

Referensi:

1]- Gibril Fouad Haddad, *"Our Mother ‘Aisha’s Age at the Time of Her Marriage to the Prophet"*, dalam :

[http://qa.sunnipath.com/issue_view.asp?HD=7&ID=4604&CATE=1](http://qa.sunnipath.com/issue_view.asp?HD=7&ID=4604&CATE=1) (03 Juli 2005).

2]- Ayman bin Khalid, *"The Age of Aishah’s (RA) Marriage Between Historians and Hadith Scholars"*, dalam [http://www.ahlalhdeeth.com/vb/index.php](http://www.ahlalhdeeth.com/vb/index.php) (28 Oktober 2007).

**[3]. MENGKAJI USIA KAWIN AISYAH (RA) SEBAGAI IKHTIAR MENGIKIS PRAKTIK PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR **

Pada bagian ini, penulis akan mencoba untuk mengkaji usia kawin Aisyah radhiyallahu 'anha yang dipertentangkan di atas guna menjawab tantangan legislasi. Sebab, ada semacam ketegangan antara fikih Islam dan sistem-sistem hukum lain dalam diskursus legalitas perkawinan anak di bawah umur, di mana ada perbedaan perspektif hukum antara fikih Islam, instrumen HAM internasional, dan UU nasional dalam melihat persoalan tersebut.

**a. Perkawinan Anak di Bawah Umur dalam Perspektif Fikih Islam**

Sejujurnya, perkawinan anak di bawah umur (nikah al-shaghirah atau *child marriage*) di kalangan pakar hukum Islam masih simpang-siur, mengingat istilah ini sesungguhnya tidak lahir dari rahim tradisi keilmuan Islam.

Mayoritas fuqaha’ mendefinisikannya dengan “perkawinan anak yang belum baligh bagi laki-laki, dan belum mencapai menstruasi bagi perempuan.”

Tidak ada ketentuan usia di dalamnya, karena memang fikih tidak menetapkan batasan usia tertentu untuk menikah. Hukum Islam hanya menetapkan bahwa tolok ukur dari kebolehan seorang istri kanak-kanak (*shaghirah*) untuk “digauli” adalah kesiapan ragawinya untuk berhubungan seksual yang ditandai dengan tibanya usia pubertas (*bulugh*).

Itu artinya, Islam lebih memilih faktor “biologis” sebagai standar penentuan kedewasaan dari seseorang, mengingat antara satu individu dengan individu lainnya tidak bersamaan waktunya. Berbeda halnya dengan *International Convention on the Rights of the Child* (Konvensi Hak-Hak Anak Internasional), usia kedewasaan (*the age of consent*—ada pula yang mengistilahkan *the age of sexual consent*, *the age of protection*, dan *the age of sexual maturity*) ditetapkan 18 tahun. Penetapan usia kedewasaan di sini lebih didasarkan kepada faktor “budaya” (human culture), khususnya kultur negara-negara Barat, ketimbang faktor-faktor lainnya.

Adapun perundang-undangan di Indonesia memiliki ketentuan yang cukup variatif dalam persoalan batas usia kedewasaan ini, terentang antara usia 16–21 tahun.

Istilah yang lazim digunakan dalam keilmuan fikih untuk menyebut tibanya fase kedewasaan adalah *bulugh*. Adapun ukuran yang dipakai sebagai penanda adalah “mimpi basah” (*hulum*), seperti dinyatakan dalam ayat berikut:

{"Jika anak-anak kalian telah mencapai (usia kedewasaan dengan) mimpi basah...."} (QS. An-Nur: 59)

Khusus untuk gadis, fase kedewasaannya—selain ditandai dengan mimpi basah—juga diidentifikasi dengan menstruasi atau kehamilan yang dialaminya. Pakar hukum Islam sepakat bahwa mimpi basah merupakan indikator yang paling jelas bahwa seorang bocah lelaki dan perempuan telah mencapai fase taklif (wajib menjalankan hukum agama).

Meski demikian, fuqaha’ berbeda pendapat dalam memperkirakan batas usia kedewasaan di mana seseorang itu menjadi berstatus mukallaf, dan perkawinan yang dilakukannya itu tidak dinyatakan sebagai perkawinan di bawah umur. Pertama, mayoritas fuqaha’ mazhab Hanafi berpendapat bahwa seseorang itu belum dikatakan dewasa (baligh) hingga ia berusia 18 tahun. Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut:

{"Janganlah Kamu mendekati (mempergunakan) harta anak yatim, kecuali dengan cara yang paling baik, sampai ia mencapai usia kedewasaan...."}. (QS. Al-Isra': 34)

Ibnu 'Abbas menggarisbawahi, kata tersebut adalah usia 18 tahun. Ditambahkan pula, perkembangan kedewasaan anak perempuan itu relatif lebih cepat setahun daripada anak lelaki. Karenanya, menurut estimasi Ibnu 'Abbas, usia kedewasaan anak perempuan itu berkisar pada angka 17 tahun.

*Kedua*, menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali serta beberapa ulama mazhab Hanafi yang lain (seperti Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani), fase kedewasaan itu tiba pada kisaran usia 15 tahun. Dasarnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Umar berikut ini:

“Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu menceritakan bahwa menjelang Perang Uhud (tahun 3 Hijriyah), ia yang masih berusia 14 tahun menawarkan diri kepada Nabi untuk ikut berpartisipasi dalam peperangan. Tetapi beliau menolaknya. Hal serupa kembali dilakukan Ibnu 'Umar menjelang Perang Khandaq (5 H) ketika dirinya telah berusia 15 tahun. Dan, kala itu Nabi memberinya izin.”

Selain dua pendapat di atas, ada pula yang menandai tibanya usia kedewasaan dengan tumbuhnya bulu kemaluan (*inbat*), sebagaimana dinyatakan Syafi’i dengan mendasarkan argumentasinya pada riwayat 'Athiyyah al-Quradhi berikut ini:

Abd al-Malik bin 'Umair menyatakan: “Saya mendengar 'Athiyyah al-Quradhi berkisah bahwa ia dan kaumnya (Bani Quraidhah) dihadapkan kepada Nabi (sebagai tawanan perang akibat pengkhianatan mereka dalam Perang Khandaq). Tawanan yang telah punya bulu kemaluan dihukum bunuh, sedangkan yang bulu kemaluannya belum tumbuh dibiarkan hidup. Aku termasuk orang yang belum tumbuh bulu kemaluannya kala itu sehingga tetap dibiarkan hidup.”

Al-Jasshash (w. 370 H) dalam tafsirnya, *Ahkam al-Qur'an*, mengemukakan pandangan yang berbeda. Menurutnya, pendapat-pendapat yang menetapkan usia kedewasaan pada angka 15 dan 18 tahun di atas tidak tepat, karena bertentangan secara diametral dengan penegasan Allah SWT bahwa indikator tibanya kedewasaan adalah peristiwa mimpi basah (*hulum*) bukan usia tertentu. Terlebih dalam sebuah hadits yang ditransmisikan melalui berbagai jalur, Rasulullah menegaskan hal serupa.

Pena pencatat amal perbuatan itu diangkat (tidak difungsikan) dari tiga kelompok manusia, yakni: dari orang gila yang kehilangan ingatan sampai ia tersadar (sembuh), dari orang yang tidur hingga ia terbangun, dan dari anak kecil sampai ia mimpi basah. Dalam sebuah riwayat, disebutkan (sampai mencapai usia pubertas), dan dalam riwayat yang lain (sampai dewasa).”[^39]

Sekali lagi, dalam hadits di atas, usia kedewasaan tidak diukur dengan usia tertentu, namun dengan peristiwa mimpi basah.

Adapun pendapat yang mendasarkan pengukuran usia kedewasaan pada tumbuhnya bulu kemaluan juga ditolak oleh mayoritas fuqaha’. Sebab, tolok ukur yang lebih berorientasi pada fisik tersebut berpotensi “bias” mengingat perkembangan fisiologis antara satu individu dengan lainnya itu beragam. Terkadang seseorang itu belum baligh, tetapi ukuran fisiknya tinggi dan pesat. Kadang seseorang itu telah baligh, namun pertumbuhan fisiknya pelan dan lambat. Apalagi al-Syafi'i sesungguhnya tidak melontarkan pendapat di atas dalam konteks penetapan batas usia kedewasaan, tetapi dalam konteks hak anak-anak orang kafir untuk terbebas dari hukuman tawanan perang ataukah tidak.[^40]

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, dalam perspektif hukum Islam sendiri, terdapat varian pandangan dalam menyikapi persoalan perkawinan anak di bawah umur. Fikih klasik pada prinsipnya tidak menetapkan batas usia minimal bagi laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan perkawinan. Tidak mengherankan, wacana perkawinan anak-anak (*nikah al-shaghirah*) justru berkonotasi positif, jika hal itu dilakukan atas pertimbangan kemaslahatan moral dan agama. Hanya saja fuqaha’ menggarisbawahi, gadis-gadis yang dikawinkan di usia kanak-kanak itu baru boleh “digauli”, jika mereka telah mengalami menstruasi (haid). Dasarnya adalah riwayat perkawinan Nabi Muhammad dengan Aisyah radhiyallahu 'anha yang dinikahi di usia 6 tahun, dan baru “dikumpuli” ketika telah berusia 9 tahun (usia haid).[^38]

Dari sudut pandang yang berbeda, pakar hukum Islam kontemporer menghendaki terobosan hukum (*expressis verbis*) terkait dengan legalitas perkawinan anak di bawah umur. Mereka melihat bahwa agama pada dasarnya tidak melarang secara tegas perkawinan di bawah umur, namun juga tidak pernah menganjurkannya, terlebih jika dilaksanakan tanpa mengindahkan dimensi-dimensi fisik, mental, dan hak-hak anak. Adapun perkawinan historis Nabi dengan Aisyah radhiyallahu 'anha itu diposisikan sebagai suatu eksepsi (pengecualian) dan previlige (kekhususan) yang mengusung tujuan dan hikmah tertentu dalam agama. Lebih lanjut, di mata para pemikir muslim kontemporer itu, perkawinan anak di bawah umur itu cacat dari sisi ketiadaan persetujuan dari calon mempelai perempuan untuk dinikahkan, padahal itu diisyaratkan oleh sejumlah ayat al-Qur’an.

[*] Ahmad bin ‘Ali al-Razi al-Jasshash, *Ahkam al-Qur’an* (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), III, 408. Baca kembali al-Qur’an, 24 (al-Nur): 59.

[*] Abu Dawud, *Sunan Abu Dawud*, vol. 2, 545.

[*] Ash-Shabuni, *Rawa’i‘ al-Bayan*, 212.

**b. Perkawinan Anak di Bawah Umur dalam Perspektif Hukum Internasional dan Nasional**

Dari perspektif hukum internasional, perkawinan anak di bawah umur (*child marriage*) didefinisikan sebagai perkawinan yang dilakukan oleh individu yang berusia di bawah 18 tahun. Secara massif, PBB mengampanyekannya sebagai praktik tradisi yang berbahaya (*the harmful traditional practice*). Di antara upaya-upaya strategis yang dilakukannya ialah:

1]. Memberlakukan instrumen-instrumen HAM internasional yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi anak dan perempuan dari tindak kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, khususnya dari praktik perkawinan anak di bawah umur, seperti *Convention on Consent to Marriage, Minimum Age for Marriage, and Registration of Marriages* (Konvensi tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah, dan Pencatatan Pernikahan tahun 1964) dan *International Convention on the Rights of the Child* (Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak tahun 1989);

2]. Mendesak pemerintah-pemerintah di seluruh negara agar meratifikasi dan menerapkan secara efektif instrumen-instrumen HAM internasional tersebut, untuk selanjutnya menuangkannya dalam rancangan perundang-undangan nasional yang mampu melindungi anak dan perempuan dari praktik perkawinan di bawah umur.

Meski hukum perkawinan di Indonesia (UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991) telah menetapkan batas usia minimal untuk menikah, yakni 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, masih terdapat celah-celah hukum bagi terjadinya praktik perkawinan di bawah umur, yaitu:

1. Adanya institusi dispensasi nikah bagi mereka yang hendak menikah, tetapi belum memenuhi ketentuan usia di atas;

2. Konsep perwalian yang sangat menekankan izin wali sebagai syarat sah perkawinan. Dengan adanya ketentuan ini, kawin paksa (*ijbar*) atas anak yang masih di bawah umur menjadi hal yang dimungkinkan, sekalipun melalui institusi dispensasi nikah;

3. Usia minimum untuk menikah bagi perempuan yang masih terlalu rendah, yakni 16 tahun. Mengacu pada rekomendasi WHO dan *International Convention on the Rights of the Child*, usia anak adalah sampai 18 tahun. Oleh karena itu, usia minimum untuk menikah perlu disesuaikan dengan Konvensi tersebut. Jika tidak, hukum perkawinan di Indonesia dapat dituding menyemaikan bahkan melanggengkan praktik perkawinan anak di bawah umur.

Jika ketiga sistem hukum di atas didialogkan, maka fikih Islam (klasik) akan berada pada posisi yang “canggung” (untuk tidak mengatakan “tersudut”). Sebab, produk hukum dari fikih klasik yang tidak menetapkan batas usia kawin minimal bagi perempuan dapat dikategorikan melegitimasi praktik perkawinan anak di bawah umur, baik dari sudut pandang hukum perkawinan nasional maupun dari perspektif HAM internasional.

**c. Terobosan Hukum dalam Menyikapi Persoalan Perkawinan Anak di Bawah Umur**

Saat penulis mencermati nalar fikih klasik dalam merumuskan hukum perkawinan anak di bawah umur, tampak jelas bahwa model pendekatannya adalah “pendekatan tekstual.” Pendekatan ini seringkali disebut juga dengan “pendekatan literal.” Cara kerjanya, redaksi teks normatif (ayat, hadits, dan atsar) dipahami secara lahiriah, untuk selanjutnya digali kandungannya tanpa mengindahkan konteks-konteks khusus maupun pesan-pesan moralnya. Dalam paradigma mazhab tekstual-literal ini, teks agama dianggap sebagai sesuatu yang transenden, dan karenanya bersifat absolut-mutlak.

Hadits perkawinan Aisyah radhiyallahu 'anha, yang berisi perilaku Nabi Muhammad ketika menikahi puteri Abu Bakr, juga dianggap sebagai teks yang transenden. Dalam arti, ajaran atau nilai yang terkandung dalam hadits-hadits itu bersifat adikodrati sehingga patut diteladani. Dalam nalar fikih klasik, perkawinan Nabi Muhammad dengan Aisyah radhiyallahu 'anha yang masih kanak-kanak itu tidak didasari oleh nafsu birahi maupun syahwat pribadi, serta bukan pula karena dorongan orientasi seksual yang menyimpang (baca: pedofilia). Sebab, Nabi Muhammad itu ma‘shum (terpelihara dari dosa)—di mana semua tindakannya itu berdasarkan wahyu Ilahi dan tuntunan suci yang selalu mengusung misi-misi profetik. Dengan nalar pembacaan seperti itu, fuqaha’ menfatwakan perihal keabsahan perkawinan anak yang masih di bawah umur. Berikut adalah bagan nalar fikih klasik dalam melihat persoalan tersebut:

Nalar Fikih Klasik dalam merumuskan hukum perkawinan anak di bawah umur

Berbeda dari nalar fikih klasik yang bersifat tekstual/literal di atas, para pemikir muslim kontemporer berusaha mencari terobosan hukum (*exepressip verbis*) di tengah kebuntuan hukum Islam dalam persoalan perkawinan anak di bawah umur vis-à-vis hukum internasional dan UU nasional. Caranya, dengan melakukan kombinasi pendekatan antara nash (teks agama), Maqashid al-Syari‘ah (ideal-moral), dan instrumen HAM internasional serta UU nasional (baca: akal publik).

Jika nalar fikih klasik sebelumnya teridentifikasi bersifat tekstual/literal (baca: lebih berorientasi pada hujjiyat al-nash), karena sifatnya yang hanya bertumpu pada sisi lahiriah teks, maka nalar fikih kontemporer ini dapat diidentifikasi bersifat “kontekstual,” karena sangat mempertimbangkan aktualitas teks sehingga tidak bersikap rigid terhadapnya. Ia berusaha mengkompromikan redaksi teks dengan realitas aktual, dengan cara menggali ideal-moral-universal yang terkandung dalam teks, yang memungkinkannya untuk dijadikan sebagai pijakan ataupun titik tolak bagi praksis realitas yang berbeda-beda dan kondisional (baca: lebih mengedepankan hujjiyat al-maqashid). Ideal-moral dalam setiap teks adalah kemaslahatan manusia. Dalam setiap zaman, tuntutan kemaslahatan berbeda satu sama lain. Teks agama, karena lahir dalam kurun waktu tertentu, jelas mengakomodir tuntutan kemaslahatan pada saat teks tersebut hadir. Ketika zaman berganti, tuntutan kemaslahatan pun berganti, maka teks tidak bisa serta-merta diterapkan secara “pukul rata,” mutlak, dan absolut. Akan tetapi, teks harus menerima pembacaan baru dan pendekatan tertentu sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang berkembang.

Dahulu, masyarakat belum menyadari sepenuhnya tentang risiko dan bahaya fisik serta psikis yang mungkin timbul dari praktik perkawinan anak di bawah umur. Selain itu, tempo dulu jelas belum ada kecenderungan global seperti sekarang ini yang menghendaki adanya perhatian serius terhadap hak-hak anak atas pendidikan, perkembangan mental, serta perlindungannya dari eksploitasi, trafficking, dan sejenisnya. Karenanya, tidak terlintas dalam benak masyarakat zaman dulu perihal sisi-sisi negatif dari praktik perkawinan anak di bawah umur. Justru sebaliknya, dampak yang dilihat adalah kemaslahatannya secara sosial, kultural, dan politik dalam komunitas tribal ketika itu, khususnya untuk tujuan memelihara budi pekerti para pemuda-pemudi dari pergaulan permisif dan segera menginsyafkan mereka akan tanggung jawabnya. Sekarang, ketika dunia modern menginformasikan betapa berisikonya gadis (kanak-kanak) yang melakukan perkawinan di bawah umur, khususnya terhadap kesehatan reproduksi dan kejiwaannya, maka praktik tersebut seyogyanya ditelaah ulang atas dasar pertimbangan perlindungan terhadap anak (*child protection*).

Hal ini penting untuk terus ditekankan mengingat pemahaman agama akan lebih banyak diapresiasi dengan parameter: seberapa besar kontribusinya bagi kemaslahatan manusia. Sebuah pemahaman, meski diatribusikan pada kitab suci, hadits nabawi, atau petunjuk normatif yang absah sekalipun, tetapi dalam implementasinya tidak bisa memberi kontribusi bagi terwujudnya peradaban yang lebih baik, atau justru sebaliknya: kontras dengan ideal kemaslahatan manusia. Maka, pemahaman seperti itu sesungguhnya sama halnya dengan “penjungkirbalikan” esensi Islam itu sendiri sebagai agama. Sebab, Islam adalah agama kemanusiaan yang bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia kapan pun dan di mana pun. Tidak hanya kemaslahatan bagi bangsa Arab di abad ke-7 Masehi saja.

**Berikut, Alur Pikir dari Fikih Kontemporer dalam Menggagas Larangan Praktik Perkawinan Anak di Bawah Umur:**

Pada titik ini, penulis sependapat dengan terobosan yang digagas oleh para pakar hukum Islam kontemporer yang menghendaki perubahan hukum dalam persoalan perkawinan di bawah umur—di mana mereka mengusulkan penetapan batas usia kawin minimal yang tegas, pendewasaan usia kawin (18 tahun), dan rekonsepsi perwalian dari wali ijbar menjadi wali ikhtiyar.

Jika dianalisis lebih jauh, produk hukum yang digagas oleh para pemikir muslim kontemporer di atas jelas sangat berorientasi pada hujjiyat al-maqashid (kekuatan nilai-nilai dan tujuan-tujuan syara’), yakni merengkuh kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan. Kecenderungan tersebut justru berbanding terbalik dari fikih klasik yang lebih mengedepankan hujjiyat al-nash (kekuatan dan otoritas teks dalil). Penulis berpandangan, pertimbangan realisasi maqashid al-syari‘ah sebagai prinsip dan nilai universal Islam harus mengungguli dominasi teks—sebagaimana yang terjadi dalam kajian fikih pada umumnya.

**C. PENUTUP**

Berdasarkan paparan data dan bahasan sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal seputar kontroversi reliabilitas hadits-hadits perkawinan Aisyah radhiyallahu 'anha, dalam kaitannya dengan legalitas perkawinan anak di bawah umur.

Pertama, hadits-hadits yang melaporkan perkawinan Nabi Muhammad dengan Aisyah radhiyallahu 'anha di usia kanak-kanak itu sama sekali “tidak bermasalah,” baik dari sisi sanad maupun matn.

Kedua, wacana korektif itu, mulai dari koreksi yang diajukan oleh Muhammad Ali hingga T.O. Shanavas, merupakan mata rantai pemikiran yang senafas dan berkesinambungan. Gerak perkembangan diakronik dan rantai intelektual antar generasi pewacana koreksi atas usia Aisyah radhiyallahu 'anha itu secara akademis dapat disebut sebagai “genealogi intelegensia.”

Ketiga, bantahan balik dari para sarjana muslim Sunni menginformasikan bahwa sunnah nabawiyah itulah yang menjadi target pelemahan dan bidikan pemakzulan dari para pewacana koreksi atas usia Aisyah radhiyallahu 'anha, dengan cara meragukan kredibilitas akademik dan integritas moral dari para ahli hadits, dengan menuding mereka semua telah keliru dalam memberitakan usia kawin Aisyah radhiyallahu 'anha.

Keempat, jika perspektif hukum Islam, HAM internasional, dan UU nasional didialogkan dalam konteks persoalan perkawinan anak di bawah umur, maka fikih Islam (klasik) akan berada pada posisi yang “canggung” bahkan “tersudut.” Sebab, fikih klasik yang tidak menetapkan batas usia kawin minimal bagi perempuan dapat dikategorikan melegitimasi praktik perkawinan anak di bawah umur, baik dari sudut pandang HAM internasional maupun dari perspektif hukum perkawinan nasional.

Karenanya, terobosan yang digagas oleh para pakar hukum Islam kontemporer yang menghendaki perubahan hukum dalam persoalan perkawinan di bawah umur—di mana mereka mengusulkan penetapan batas usia kawin minimal yang tegas, pendewasaan usia kawin (18 tahun), dan rekonsesi perwalian dari wali ijbar menjadi wali ikhtiyar untuk menghindari kawin paksa—sungguh sangat relevan.

====

**DAFTAR PUSTAKA**

1. Abu Dawud, Sulaiman bin al-’Asy’ath. *Sunan Abu Dawud*. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.

2. al-Bukhari, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Isma’il. *Shahih al-Bukhari*. Kairo: Dar al-Hadits, 2004.

3. Ali, Maulana Muhammad. *Fadhl al-Bari*. Lahore: Kirsi Salim, t.t.

4. Ali, Maulana Muhammad. *Living Thoughts of the Prophet Muhammad*. Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1992.

5. Ali, Maulana Muhammad. *Muhammad, the Prophet*. Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1993.

6. Ali, Maulana Muhammad. *The Prophet of Islam*. Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1924.

7. al-Jasshash, Ahmad bin ‘Ali al-Razi. *Ahkam al-Qur’an*. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

8. al-Khathib, Muhammad bin ‘Abd Allah. *Misykat al-Mashabih*. Delhi: Kutubkhanah Rashidiyah, 1955.

9. al-Nadawi, Sulaiman. *Sirah al-Sayyidah Aisyah Umm al-Mu’minin RA*, diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul *Aisyah, the True Beauty*. Jakarta: Pena Ilmu dan Amal, 2007.

10. al-Namri, Ibnu ‘Abd al-Barr. *al-Kaif*. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H.

11. al-Namri, Ibnu ‘Abd al-Barr. *al-Tamhid*, vol. 19. Maroko: Wizarat al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah, 1387 H.

12. al-Qarari, Sulaiman. “Tazwij al-Banat li Tis’ Sinin bain al-Nah wa al-Itsbat”. Dalam www.ahlalhdeeth.com/vb/attachment.php.

13. al-Sarakhasi, Syams al-Din. *al-Mabsuth*, vol. 4. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H.

14. al-Shabuni, Muhammad ‘Ali. *Rawa’i‘ al-Bayan: Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an*. Makkah: t.p, 1391 H.

15. al-Sya'fi. *al-Umm*, vol. 5. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H.

16. Al-Syaukani. *Nail al-Authar*, vol. 6. Beirut: Dar al-Jil, 1973.

17. Ankersmit, F.R. *Refleksi tentang Sejarah*. Diterjemahkan oleh Dik Hartoko dari *Denken over Geschiedenis*. Jakarta: Gramedia, 1987.

18. Aziz, Zahid. “Age of Aisha (RA) at Time of Marriage”. Diakses dari http://www.muslim.org/islam/aisha-age.php pada 25 Desember 2008.

19. Courtesy of Weloveallah. 2008. “What was Ayesha’s (RA) Age at the Time of her Marriage?” Diakses dari http://www.understanding-islam.com/ri/mi-004.htm pada 24 Desember 2008.

20. Fauq, Abdul H. “Did Sayyida Ayesha (R.A.) Marry Muhammad (P.B.U.H), the Prophet of Islam, at Age 6?” Diakses dari

http://www.newageislam.com/NewAgeIslamArticleDetail.aspx?ArticleID=817 pada 28 September 2008.

21. Haddad, Gibril Fouad. “Our Mother A’isha’s Age at the Time of her Marriage to the Prophet”, diakses dari http://qa.sunnipath.com/ pada 03 Juli 2005.

22. Ibnu Katsir, Abu al-Fida’ Isma’il bin ‘Umar. *al-Bidayah wa al-Nihayah*. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001.

23. Ibnu Khalid, Ayman. “The Age of Aishah’s (RA) Marriage Between Historians and Hadith Scholars”. Diakses dari http://www.ahlalhdeeth.com/vb/index.php pada 28 Oktober 2007.

24. Ibnu Majah, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Yazid. *Sunan Ibnu Majah*. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.

25. Ibnu Qudamah, ‘Abd Allah. *al-Kaif Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal*, vol. 3. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1408 H.

26. Imarah, Muhammad. “al-Radd ‘ala Man Tha’ana ‘Ala Sinn Zawaj ‘Aishah”, diakses dari http://www.alukah.net/articles/1/3388.aspx pada 24 Agustus 2008.

27. Jain, Saranga & Kurtz, Kathlee. “New Insights on Preventing Child Marriage: A Global Analysis on Factors and Programs”, artikel International Center for Research on Women (ICRW) untuk the United States Agency for International Development. April 2007.

28. Kandhalvi, Habib-ur-Rahman Siddiqui. *A Research Work: Age of ‘Aishah, the Truthful Woman*. Diterjemahkan dari *Tehqiq e Umer e Siddiqah e Ka’inat* oleh Nigar Erfaney. Karachi: Al-Rahman Publishing Trust, 1997.

29. Kompilasi Hukum Islam (KHI), Inpres Nomor 1 Tahun 1991.

30. *Legal Age of Consent*. Diakses dari http://www.ageofconsent.com/definitions.htm.

31. Muslim bin al-Hajjaj, Abu al-Husain. *al-Jami’ al-Shahih*. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

32. Sahib, Ghulam Nabi Muslim. “Hazrat Aishah Siddiqah’s Age at her Marriage: Proves that The Holy Prophet Muhammad (pbuh) Married Hazrat Aishah when She was 19 Years of Age and not When She was 9”. Dalam *The Message: World Quarterly*, diterjemaahkan oleh Mas’ud Akhtar. Trinidad & Tobago: The Muslim Literary Trust, 2002.

33. Sahib, Ghulam Nabi Muslim. “Hazrat Aisyah Siddiqah’s Age at her Marriage: Proves that The Holy Prophet Muhammad (pbuh) Married Hazrat Aisyah when She was 19 Years of Age and not When She was 9”, diterjemahkan dari Bahasa Urdu oleh Mas’ud Akhtar dalam *The Light*, 24 September 1981.

34. Shanavas, T.O. “Was Ayesha A Six-Year-Old Bride?”, diakses dari

http://www.iiie.net/node/58 pada 2001, diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Cahyo Prihartono dengan judul “Apakah Nabi SAW Menikahi Aisyah yang di bawah Umur?”.

35. UNICEF. *Child Marriage Advocacy Programme: Fact Sheet on Child Marriage and Early Union*. New York: UNFPA, 2004.

36. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UU PA).

37. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

38. Williamson, dkk. *The Research Craft: an Introduction to Social Science Methods*. Toronto: Little, Brown and Company, 1977.

 



([1]) - وذكرت صحيفة "الشرق الأوسطاللندنية السبت 6-9- 2008 أن باحثة ومؤرخة سعودية تحقق من صحة معلومات تشير إلى عدم زواج الرسول -صلى الله عليه وسلم- من السيدة عائشة وهي في التاسعة من العمر، وتقول عضو لجنة الدراسات والاستشارات بالجمعية الوطنية لحقوق الإنسان د. سهيلة زين العابدين حمّاد إن المنطق والمعادلة الحسابية لعمر السيدة عائشة بنت أبي بكر الصدّيق مقارنة بأختها أسماء التي تكبرها بعشر سنوات ومقارنتها بعدد من الأحداث وتوقيت هجرة الرسول -صلى الله عليه وسلم- ترجّح أن زواج عائشة تمّ وهي في التاسعة عشرة من عمرها،

وأكدت الدكتورة سهيلة حمّاد أنها بصدد التحقق من ذلك والخروج بنتائج موثقة بالنظر إلى كونها مؤرخة وباحثة في الشأن الإسلامي

وإلى ذلك لفتت الدكتورة سهيلة حمّاد، وهي عضوة في الاتحاد العالمي للعلماء المسلمين، إلى أنه بعيداً عن قول زواج الرسول -صلى الله عليه وسلم- بعائشة وهي صغيرة والقول المخالف في ذلك، فإنه يجب النظر بعين الاعتبار إلى تغيّر الظروف الزمنية وطبيعة الاستجابة للرغبات الإنسانية على مرّ العصور واختلاف معايير الزواج في الوقت الراهن.:إِنَّ المَنْطِقَ وَالمُعَادَلَةَ الحِسَابِيَّةَ لِعُمْرِ السَّيِّدَةِ عَائِشَةَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ مُقَارَنَةً بِأُخْتِهَا أَسْمَاءَ الَّتِي تَكْبُرُهَا بِعَشْرِ سِنِينَ وَمُقَارَنَتِهَا بِعَدَدٍ مِنَ الأَحْدَاثِ وَتَوْقِيتِ هِجْرَةِ الرَّسُولِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تُرَجِّحُ أَنَّ زَوَاجَ عَائِشَةَ تَمَّ وَهِيَ فِي التَّاسِعَةَ عَشَرَةَ مِنْ عُمْرِهَا.

أحاول أن أفكر بصوت مرتفع لاستقراء عمر أم المؤمنين عائشة رحمها الله استقراءا تاريخيا بعيدا عن الضبابية التاريخية التي أغرقنا فيها من لا عقل له من الذين روجوا أن النبي حينما كان في الخامسة والعشرين من عمره تزوج بمن تكبره بخمسة عشر من السنين ، و حينما أصبح في الثالثة والخمسين تزوج بمن تصغره بـأربع وأربعين عاما.

خطب عائشة:

ذكر المؤرخون أن عائشة كانت مخطوبة لمطعم بن عدي قبل أن يخطبها رسول الله. السؤال الآن: متى خطبها عدي لابنه مطعم ؟ تسكت المصادر التاريخية!!!

عن خطبة السيدة عائشة:

الاحتمال الأول: أن يكون خطبها بعد البعثة النبوية وهو أمر مستبعد نظرا للعداء الشديد من قبل الكافرين برسالة محمد تجاه المؤمنين بها ولاسيما أن عائشة هي بنت أبي بكر صديق الرسول ومن أوائل المؤمنين برسالته. من المستبعد إذاً أن يخطب عدي عائشة لابنه وأبوها من المؤمنين الأول

الاحتمال الثاني: أن يكون خطبها قبل البعثة وهو الاحتمال الأقوى، ولكنه يثير سؤالا هاما: كم كان عمرها قبل البعثة؟عام؟ عامين؟ خمسة؟ عشرة؟ يسكت التاريخ كما سكت من قبل.

إذاً نلجأ لبعض الفرضيات:عائشة عند خطبتها:

الفرضية الأولى: خطبها عدي لابنه مطعم قبل البعثة حين كان عمرها خمسة عشر سنة ـ مثلا. بموجب هذه الفرضية يكون عمر عائشة حين تزوجها الرسول الكريم هو 28 سنة، حيث أن النبي تزوجها بعد الهجرة إلى يثرب وأنه أقام في مكة ثلاثة عشر من السنين خلال الدعوة المكية قبل الهجرة

الفرضية الثانية: خطبها عدي لابنه مطعم قبل البعثة حين كان عمرها عشر سنين ـ مثلا. بموجب هذه الفرضية يكون عمر عائشة حين تزوجها الرسول الكريم هو 23 سنة

الفرضية الثالثة: خطبها عدي لابنه مطعم قبل البعثة حين كان عمرها خمس سنوات ـ مثلا. بموجب هذه الفرضية يكون عمر عائشة حين تزوجها الرسول الكريم هو 18 سنة

الفرضية الرابعة: الفرضية الثالثة: خطبها عدي لابنه مطعم قبل البعثة حين كان عمرها سنة واحدة فقط ـ مثلا وهو أمر غير ممكن طبعا ولكن لنفترضه. بموجب هذه الفرضية يكون عمر عائشة حين تزوجها الرسول الكريم هو 14 سنة، وهو أكبر من الرقم الذي ذكروه بخمس سنين.

والثانية:

إن الرسول ـ في تقديري ـ لن يتزوج بفتاة في عمر ابنته الصغرى أو أصغر منها. فإذا علمنا أن فاطمة عليها السلام ولدت قبل البعثة بخمس سنين نعرف أن عمرها بعد الهجرة يصبح 18 عاما، وعلى هذا فأنا أرجح أن يكون عمر عائشة أكبر من عمر فاطمة ومن ثم فإنني أرجح احدي الفرضيتين: الأولى 28 سنة أو الثانية 23 سنة، هي أكبر من أختها عائشة أم المؤمنين بعشر سنين. يستتبع ذلك أن عمر عائشة قبل البعثة كان نحو خمس سنوات على الأقل، ولعل الإشارة في روايتها بأنها كانت ذات ستة سنوات حين خطبها رسول الله كانت خطأ من الراوي، فلعلها قصدت أنها كانت ابنة ستة سنوات حين بعث النبي صلى الله عليه إذا أضفنا 5 - 6 سنوات وهو عمر عائشة التقريبي حين البعثة إلى 13 سنة هو عمر المرحلة المكية يكون الناتج هو 18 - 19 سنة وهو يمثل عمرها في المدينة بعد الهجرة، لما كان عمر فاطمة هو 18 سنة في ذلك الحين، نستطيع القول أن عمر عائشة التقريبي حين زواجها لم يكن يقل عن 19 سنة، وهو يمثل الحد الأدنى لعمرها من خلال الاستقراء لما بين يدي من مصادر.

بعض العلماء أحياناً:

وبالمناسبة فقد كنت وما زلت أقول إن جامعى الحديث هم بكل يقين علماء عباقرة مخلصون محبون لدينهم ولنبيهم حبا جما، لكن هذا لا يعنى أبدا أنهم معصومون عن السهو والخطأ والنسيان. إنهم عباقرة حقا، لكنهم قبل ذلك وبعده بشر. وكنت كذلك أقول إنهم يشبهون الصيادين الذين يطرحون شباكهم في البحر للإمساك بالسمك، بيد أن الشبكة، مهما يكن من إحكامها، يمكن أن تفلت منها بعض الأسماك الصغيرة كالبيساريا مثلا. إلا أن هذا لا يعنى ولا ينبغي أن يعنى أن نهاجم كتب الحديث وأصحابها ونشكك فيها وفيهم جملة وتفصيلا كما يريد بعض الموتورين التدميريين أن نفعل ، وإلا حققنا لهم ما يريدون ودمرنا جزءا عزيزا وغاليا وخطيرا من تراثنا الذي لا يمكن أن تستقيم حياتنا العلمية والدينية بدونه.

ولنلاحظ أن الصحفى الشاب الذي تنبه لما يرى أنه خطأ من بعض كتب الحديث قد استعان، فيما استعان به، بتلك الكتب، مما يدل على أهميتها الشديدة التي لا تقدر بثمن. أما الاعتقاد بعصمة رجال الحديث فهو تنزيل لهم في منزلة النبوة، وهذا لا يجوز. كما أن كتبهم رغم عظمة الجهد والإخلاص والتدقيق المبذول فيها لا يمكن أن تضاهى القرآن المجيد.

([2]) - وبالمناسبة أيضا فقد كتب الدكتور شوقي ضيف في كتابه: "محمد خاتم المرسلين" أن عائشة حين بنى بها الرسول كان عمرها 18 أو 20 عاما، مستندا في ذلك إلى بعض ما استند إليه صحفينا الشاب، (ص171 من طبعة دار المعارف).

أما العقاد فقد رجح أن يكون عمرها آنذاك ما بين 12 و15 عاما (انظر كتابه: الصديقة بنت الصديق/ نهضة مصر/ 2004م/ 48.

ومهما يكن من أمر فإن تصرفات السيدة عائشة في بيت النبي حسب عموم الروايات التي وردت في هذا لتدل على أنها كانت زوجة ناضجة تمام النضج، وليست صبية لا تدرك في أي بيت تعيش ولا بمن تزوجت. ومهما يكن كذلك من أمر فإنها كانت سعيدة أشد سعادة بزواجها من النبي عليه الصلاة والسلام، وترى أنه فخر لها وإكرام أي إكرام. وكانت تحبه صلى الله عليه وسلم حبا شديدا وتغار عليه بقوة. وهناك أحاديث تصور هذا الحب الشديد وتلك الغيرة القوية التي تدل على مدى تغلغل هذا الحب في نفسها. كما أنها، حين عرض النبي عليه السلام عليها البقاء معه على الوضع المتقشف الذي كان عليه بيته أو تسريحها إلى بيت أبويها، وطلب منها أن تشاور أهلها في ذلك، رفضت ذلك الحل على الفور بعنف وإصرار كما نعلم جميعا. كذلك التزمت هي وسائر أمهات المؤمنين عن رضا وإيمان وحب وإجلال بما فرضه عليهن القرآن من حرمة الزواج بأي إنسان آخر بعد وفاة النبي عليه الصلاة والسلام. فما معنى إثارة الشبهات حول هذا الزواج القائم على الحب والسعادة؟

وشبهات حول سن زواج السيدة عائشة:

شيء آخر: هو أن عائشة كانت مخطوبة لواحد من أهل مكة قبل خطبة النبي لها بما يدل على أنها كانت في سن الخطبة والزواج على الأقل بمعايير المجتمع المكي في ذلك الزمان. فلماذا لا يشكك المبشرون السخفاء في تلك الخطبة ويصبون كل حقدهم على النبي ويعملون على إثارة الشبهات الباطلة حول خطبته لها فقط؟ كما أن التي عرضتها عليه هي سيدة من أهل مكة أيضا، أي أنه لم يفكر فيها ابتداء ولا اقترحها عليه رجل مثله. أفلا يدل هذا على أنها، حتى في نظر بنات جنسها، كانت قد بلغت سن الزواج بكل جدارة؟ كذلك لم نسمع من أبى بكر أو أم رومان أن الفتاة صغيرة لا تصلح للزواج. وهو ما يعضد ما قلناه من أنها رضي الله عنها كانت ناضجة بما فيه الكفاية للزواج، على الأقل بمقاييس ذلك المجتمع وذلك العصر، وينسف كل تنطع يتنطعه المبشرون ومن يجرى في إثرهم من الرقعاء الذين يحملون للأسف أسماء إسلامية.السلام :

شيء آخر: هو أن مريم عليها السلام، حين كان مقررا لها أن تتزوج بيوسف النجار، كان عمرها 12عاما، وكان يوسف رجلا شيخا كبيرا تجاوز الخمسين ببضع عشرات من السنين فيما أذكر بناء على الروايات التي تتعلق بهذه المسألة. فهل نتخذ من هذه النقطة متكأ نثير بسببه الشبهات المسيئة لقدرها الكريم؟.

Posting Komentar

0 Komentar