KONTROVERSI USIA AISYAH (RA) SAAT MENIKAH DENGAN RASULULLAH ﷺ. 6 TAHUN ATAU 16 TAHUN?
---
DAN KAITANNYA DENGAN LEGALITAS
PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM ISLAM
*****
Di Susun Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
====
====
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN
- LATAR BELAKANG MUNCUL KAJIAN KRITIS TENTANG USIA AISYAH (R.A) SAAT MENIKAH
- STUDI HADITS ‘AISYAH (RA) MENIKAH DI USIA 6 TAHUN :
- KONTROVERSI TENTANG USIA AISYAH (RA) SAAT MENIKAH DENGAN RASULULLAH ﷺ
- PENDAPAT PERTAMA : BAHWA USIA AISYAH DIATAS 15 TAHUN
SAAT MENIKAH DENGAN NABI ﷺ, NAMUN HIDUP BERSAMA DENGAN-NYA SETELAH 3 TAHUN KEMUDIAN.
- PENDAPAT KEDUA : DI USIA 6 TAHUN, AISYAH (RA) MENIKAH
DENGAN NABI ﷺ DAN DI USIA 9 TAHUN MENJALIN KEHIDUPAN RUMAH
TANGGA :
- **KONTROVERSI USIA KAWIN AISYAH (R.A) DAN KAITANNYA DENGAN LEGALITAS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM ISLAM**
******
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
===*****===
PENDAHULUAN
Sejarah mengenai usia Aisyah radhiyallahu
'anha yang masih muda - 6 tahun saat dinikahkan dengan Rasulullah ﷺ dan 9 tahun saat mulai menjalani kehidupan rumah tangga - telah
dianggap sebagai data historis yang final dan memiliki kredibilitas tinggi oleh
berbagai kalangan para ulama dan sejarawan Islam selama berabad-abad.
Al-Hafidz Ibnu Katsir menegaskan bahwa tidak
ada perbedaan pendapat mengenai hal ini dengan ucapannya:
“تَزَوَّجَهَا وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ،
وَبَنَى بِهَا وَهِيَ ابْنَةُ تِسْعٍ، مَا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَدْ
ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَاتِ وَغَيْرِهَا، وَكَانَ بِنَاؤُهُ بِهَا -عَلَيْهِ السَّلَامُ-
فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ.”
"Beliau ﷺ menikahinya ketika Aisyah berusia enam tahun, dan hidup bersama dengannya (membangun rumah tangga) ketika ia berusia sembilan tahun, yang tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang, dan hal ini telah terbukti dalam kitab-kitab sahih dan lainnya. Dan hidup bersama dengannya (membangun rumah tangga) terjadi pada tahun kedua hijrah ke Madinah." [al-Bidayah wa al-Nihayah (3/131)]
Para ahli yang menulis biografi Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir, yang juga sesuai dengan riwayat-riwayat sahih yang diriwayatkan oleh para imam dalam kitab-kitab hadits sahih, sunan, musnad, dan mu’jam. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal usia Aisyah saat dinikahi, apakah enam atau tujuh tahun.
Ibnu Abdil Barr dalam *Al-Isti’ab* 4/1881,
setelah menyebutkan bahwa Aisyah dinikahi saat berusia enam atau tujuh tahun
dan mulai hidup bersama Rasulullah ﷺ pada usia sembilan tahun,
mengatakan :
"لَا أَعْلَمُهُمْ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ. وَكَانَتْ تُذْكَرُ لِجُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ وَتُسَمَّى
لَهُ ".
"Saya tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat dalam hal ini. Dan sebelum dijodohkan dengan Nabi ﷺ, ia disebut-sebut sebagai (calon istri) Jubair bin Muth'im dan dinisbatkan kepadanya. "
Lihat pula : *Tarikh Ath-Thabari* [2/9],
*Wafayat Al-A’yan* karya Ibnu Khallikan [3/16], dan *Siyar A'lam An-Nubala*
karya Adz-Dzahabi [2/148], serta *Zad Al-Ma'ad* karya Ibnu Qayyim [1/103].
===****===
LATAR BELAKANG MUNCUL KAJIAN KRITIS TENTANG USIA AISYAH (R.A) SAAT MENIKAH
Dalam akhir abad ini, banyak muncul kajian
kritis terkait usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Rasulullah ﷺ, dan terus mengalami perkembangan. Terutama di negara-negara Eropa
dan Asia yang keberadaan umat Islam sebagai penduduk minoritas di sana, seperti
di India dan sekitarnya.
Awalnya, kajian ini bertujuan membela dan
membersihkan nama Rasulullah ﷺ dari stigma buruk serta
tuduhan keji terhadapnya sebagai pengidap prilaku pedofilia.
Umat Kristen dan para Missionaris selalu
mengkritik Rasulullah ﷺ sebagai sosok pedofilia
dengan berkata : Jika Muhammad bukan pedofilia, kenapa ia tega menikahi Aisyah
yang masih berumur 6 tahun? Padahal Yesus saja tidak menikahi anak kecil?
Orang-orang Nasrani menyebarkan syubhat
ini untuk mencela kesucian Nabi ﷺ yang mulia serta meragukan
kesucian beliau.
Mereka berkata:
إِنَّ هَذَا الزَّوَاجَ
هُوَ زَوَاجٌ شَهْوَانِيٌّ جَمَعَ بَيْنَ الْكُهُولَةِ وَالطُّفُولَةِ،
'Pernikahan ini adalah pernikahan yang dipenuhi
nafsu, yang mengumpulkan antara aki-aki dan bocil.
Jika kesucian sang pembawa agama ini jatuh,
maka akan jatuh pula kesucian dan kemurnian agama yang dibawa oleh-nya.
Hal ini menyebabkan sebagian kaum Muslim yang tinggal sebagai minoritas atau sebagai pendatang di negara-negara non-Muslim mengalami perasaan rendah diri (inferiority complex) ketika Rasulullah ﷺ dihina dan direndahkan dengan tuduhan sebagai pelaku pedofilia. Kondisi ini terutama terasa dalam interaksi mereka dengan komunitas agama lain.
Sebagian besar dari
mereka ini memiliki latar belakang pendidikan Barat atau hidup dalam lingkungan
budaya Barat, sehingga merasa tidak nyaman saat Rasulullah ﷺ dituduh sebagai
pelopor praktik pernikahan anak di bawah umur (nikah al-shaghirah atau child
marriage).
Meskipun terdapat kontroversi dan kecaman dari sebagian para ulama kontemporer yang bermanhaj ahli hadits yang terus-menerus mengecam kajian ini, bahkan
menuduh para pendukungnya sebagai orang bodoh, dungu dan pengikut hawa nafsu, namun
kajian-kajian korektif ini tetap berjalan dan menunjukkan keberanian serta
kontribusi signifikan dalam studi hadits. Terutama di tengah tantangan untuk
mengharmoniskan hukum Islam dengan instrumen HAM internasional dan regulasi
nasional mengenai pernikahan usia dini.
Selain itu, fenomena pernikahan anak perempuan dibawah umur di beberapa negara Asia dan Afrika semakin marak, di mana sebagian para ulama dan tokoh agama Islam menjadikannya sebagai tradisi, berlandaskan pada hadits tentang pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha pada usia 6 tahun. Praktik ini sering kali dikemas dengan istilah "mengambil berkah dari ulama" dan "berkah mengikuti sunnah Nabi ﷺ." Bahkan di salah satu perkampungan di Tanah Air kita, terdapat kebiasaan menikahkan anak perempuan yang masih bersekolah di tingkat dasar, yang mengakibatkan banyak anak SD yang hamil dan sebagian besar berakhir dengan aborsi.
Diperkirakan orang yang pertama kali berupaya
melakukan kajian kritis ini adalah Muhammad Ali dari Lahore, dan kemudian diteruskan oleh
beberapa pemikir dari wilayah Asia Selatan, termasuk oleh sarjana-sarjana Anak
Benua India lainnya (contohnya seperti: Abu Thahir ‘Irfani, Ghulam Nabi Muslim Sahib, dan
Habibur Rahman Siddiqui Kandhalvi).
Mereka berpendapat bahwa terdapat kekeliruan
dalam penafsiran usia faktual Aisyah ketika menikah dengan Nabi ﷺ, dengan anggapan bahwa usia beliau sebenarnya lebih tua
daripada yang dinyatakan dalam literatur hadits tradisional. [[Lihat : Fadhl
al-Bari karya Maulana Muhammad Ali, (Lahore: Kirsi Salim, t.t.), 501].
Namun mayoritas para ulama hingga sekarang, justru
tetap bersepakat bahwa tidak ada persoalan dalam pernikahan mulia tersebut dan
disunnahkan. Sebaliknya, yang sering diangkat adalah hikmah serta keutamaan
yang terkandung dalam pernikahan historis ini, yang dianggap memiliki nilai
agung dan mendalam bagi umat Islam.
[ Referensi : (1) - Abu al-Fida’ Isma’il bin
‘Umar al-Qurasyi al-Dimasyqi bin Katsir, *al-Bidayah wa al-Nihayah* (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001). (2) - "Istinbáth Jurnal Hukum
Islam", halaman 298, "Kontroversi Usia Kawin Aisyah radhiyallahu
‘anha".]
====
Sekilas, diskursus mengenai usia pernikahan
Aisyah radhiyallahu 'anha (the age of Aisyah’s marriage)—seperti yang telah
disinggung sebelumnya—tampak hanya sebagai perdebatan terkait data sejarah.
Namun, ada sisi lain yang tidak boleh
diabaikan, yaitu dampaknya terhadap bangunan yurisprudensi Islam (al-fiqh
al-Islami) yang berkaitan langsung dengan struktur sosial dalam masyarakat
Muslim. Berdasarkan laporan dari para perawi hadits mengenai pernikahan Aisyah
radhiyallahu 'anha dengan Nabi ﷺ pada usia 6 tahun dan mulai
tinggal bersama pada usia 9 tahun, mayoritas fuqaha’ dari empat mazhab (al-madzahib
al-’arba‘ah) membolehkan pernikahan dengan gadis di bawah umur (nikah
al-shaghirah) tanpa menetapkan batas usia minimal.
Fakta hukum ini diduga kuat berkontribusi
terhadap berlanjutnya tradisi pernikahan anak (child marriage) di negara-negara
berpenduduk mayoritas Muslim, di mana pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu
'anha pada usia muda sering dijadikan model oleh sebagian umat Islam.
Perkembangan wacana hak asasi manusia (HAM)
secara internasional kini telah mendorong banyak negara untuk mengadopsi
pengakuan konkret di tingkat nasional dalam berbagai instrumen hukum.
Saat ini, mayoritas negara-negara telah
menetapkan usia minimal legal untuk pernikahan (the minimum legal age of
marriage) adalah 18 tahun, sebagai implementasi dari *International Convention
on the Rights of the Child* (Konvensi Hak-hak Anak Internasional) yang disahkan
oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1989.
===
Pada tahun 1990, Indonesia meratifikasi
Konvensi Hak Anak (KHA) yang mengatur perlindungan anak. Sebagai bentuk
implementasi, pemerintah kemudian mengesahkan UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU PA). Dalam hukum perkawinan Indonesia, UU Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) berdasarkan Inpres Nomor 1
Tahun 1991 menetapkan batas usia minimal untuk menikah, yaitu 19 tahun bagi
laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan. Dengan demikian, ketentuan dalam fikih
klasik yang tidak menetapkan batas usia minimal pernikahan bagi
perempuan—seperti yang telah diuraikan sebelumnya—menghadapi tantangan dalam
perkembangan hukum saat ini. Dalam konteks ini, fikih Islam dapat dianggap
melegitimasi praktik pernikahan anak di bawah umur menurut pandangan HAM
terkini dan hukum perkawinan nasional.
Berdasarkan masalah tersebut, tulisan ini
bertujuan untuk mengkaji ulang atas usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah
dengan Nabi ﷺ dengan mengumpulkan berbagai hasil riset dan penelitian para ulama
kontemporer yang telah berusaha untuk meninggikan kalimat Allah di atas kalimat
orang kafir, serta berusaha semaksimal mungkin untuk mensucikan nama baik orang
yang paling dicintainya, yaitu Nabi Mauhmmad ﷺ.
Kesimpulan terkait usia Aisyah radhiyallahu
'anha ini memiliki korelasi langsung dengan konstruksi jurisprudensi Islam
(fikih), yang selama ini dalam menentukan batas usia minimal pernikahan sering
merujuk pada pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu
'anha. Secara ringkas, sub-bahasan dalam tulisan ini mencakup:
(1) dialektika wacana terkait reliabilitas
riwayat usia pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha, baik dari pihak yang
mengkritik maupun yang menegaskan kesahihannya.
(2) kajian terhadap hadits-hadits tentang
pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha dengan Nabi Muhammad ﷺ untuk menghasilkan produk hukum yang lebih humanis terkait
pernikahan anak di bawah umur.
[Referensi :
(1). Syamsud-Din as-Sarkhasi, *al-Mabsuth*,
vol. 4 (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H), 212.
(2). Ibnu ‘Abdil-Barr al-Namri, *al-Kafi*
(Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1407 H), 231.
(3). Ibnu ‘Abdil-Barr al-Namri, *al-Tamhid*,
vol. 19 (Maroko: Wizarat al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah, 1387 H), 98.
(4). Imam Asy-Syafi’i, *al-Umm*, vol. 5
(Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1393 H), 167.
(5). ‘Abdullah bin Qudamah, *al-Kafi fi Fiqh
al-Imam Ahmad bin Hanbal*, vol. 3 (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1408 H), 26.
(6). Saranga Jain & Kathleen Kurz, “New
Insights on Preventing Child Marriage: A Global Analysis on Factors and
Programs,” artikel *International Center for Research on Women (ICRW)* untuk
United States Agency for International Development (April 2007).
===*****===
STUDI HADITS ‘AISYAH (RA) MENIKAH DI USIA 6 TAHUN :
Berikut ini studi hadits Aisyah radhiyallahu
'anha yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ menikahi-nya saat dirinya
berusia 6 tahun, dan tinggal serumah dengan beliau ﷺ saat dirinya berusia 9
tahun.
Ada beberapa jalur sanad :
Jalur ke 1 : **Jalur yang paling masyhur dan
terkenal adalah dari riwayat Hisyam bin Urwah bin Zubair, dari ayahnya Urwah
bin Zubair, dari Aisyah radhiyallahu 'anha**.
Ini adalah salah satu riwayat yang paling
sahih, karena Urwah bin Zubair adalah salah satu orang yang paling mengenal
Aisyah, karena dia adalah keponakannya rahimahullah.
Jalur ke 2 : **Jalur lain dari riwayat
Az-Zuhri, dari Urwah bin Zubair, dari Aisyah**, terdapat dalam *Shahih Muslim*
(1422).
Jalur ke 3 : **Jalur lain dari riwayat
Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Aisyah** yang berkata: “Rasulullah
ﷺ menikahinya saat ia berusia enam tahun, dan tinggal serumah
dengannya saat ia berusia sembilan tahun, dan Rasulullah wafat meninggalkannya
ketika ia berusia delapan belas tahun.” Diriwayatkan oleh Muslim (1422).
Jalur ke 4 : **Jalur lain dari riwayat
Muhammad bin Amr, dari Yahya bin Abdurrahman bin Hathib, dari Aisyah
radhiyallahu 'anha**. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (4937).
Syaikh Abu Ishaq Al-Huwaini rahimahullah
telah mengumpulkan nama-nama para pengikut Urwah bin Zubair, yaitu: Al-Aswad
bin Yazid, Al-Qasim bin Abdurrahman, Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakr, Amrah
binti Abdurrahman, dan Yahya bin Abdurrahman bin Hathib.
Beliau juga mengumpulkan nama-nama pengikut
Hisyam bin Urwah dalam meriwayatkan hadits ini, yaitu: Ibnu Syihab Az-Zuhri,
dan Abu Hamzah Maimun, maula Urwah.
Kemudian, beliau menyebutkan para perawi dari
Hisyam bin Urwah dari penduduk Madinah, agar pembaca mengetahui bahwa hadits
ini juga diriwayatkan oleh Hisyam di Madinah, yaitu: Abu Az-Zinad Abdullah bin
Dzakwan, anaknya Abdurrahman bin Abu Az-Zinad, dan Abdullah bin Muhammad bin
Yahya bin Urwah.
Adapun dari penduduk Mekah: Sufyan bin
'Uyainah.
Lafadz riwayat Hisyam bin Urwah bin Zubair,
dari ayahnya Urwah bin Zubair, dari Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa ia berkata
:
(تَزَوَّجَنِى النَّبِي ﷺ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ
سِنِينَ، فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ،
فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي فَوَفَى جُمَيْمَةً، فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ
وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي، فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لَا
أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي، فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ،
وَإِنِّي لأَنْهَجُ، حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي، ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ
فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي، ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ، فَإِذَا نِسْوَةٌ
مِنَ الأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ، فَقُلْنَ: عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ، وَعَلَى
خَيْرِ طَائِرٍ. فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي، فَلَمْ يَرُعْنِي
إِلَاّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ضُحًى، فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ
تِسْعِ سِنِينَ)
“Nabi ﷺ menikahiku saat aku berusia
enam tahun, lalu kami tiba di Madinah dan singgah di kampung Bani Al harits bin
Khazraj. Kemudian aku menderita demam hingga rambutku menjadi rontok. Setelah
sembuh, rambutku tumbuh lebat sehingga melebihi bahu. Kemudian ibuku, Ummu
Ruman datang menemuiku saat aku sedang berada dalam ayunan bersama
teman-temanku. Ibuku berteriak memanggilku lalu aku datangi sementara aku tidak
mengerti apa yang diinginkannya. Ibuku menggandeng tanganku lalu membawaku
hingga sampai di depan pintu rumah. Aku masih dalam keadaan terengah-engah
hingga aku menenangkan diri sendiri. Kemudian ibuku mengambil air lalu
membasuhkannya ke muka dan kepalaku lalu dia memasukkan aku ke dalam rumah itu
yang ternyata di sana ada beberapa wanita dari kaum Anshar yang menyambutku
dengan mengatakan;
"Mudah-mudahan memperoleh kebaikan dan
keberkahan dan dan mudah-mudahan mendapat nasib yang terbaik".
Lalu ibuku menyerahkan aku kepada mereka.
Mereka merapihkan penampilanku. Dan tidak ada yang membuatku terkejut melainkan
melihat Rasulullah ﷺ datang di pagi hari.
Akhirnya mereka menyerahkan aku kepada beliau, dimana saat itu usiaku sembilan
tahun".
[HR. Al-Bukhari (3894) dan Muslim (1422)].
Lafadz lain dari jalur Hisyam. Imam Ahmad
berkata : Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Dawud, ia berkata: Telah
mengabarkan kepada kami Abdurrahman, dari Hisham bin Urwah, dari ayahnya, ia
berkata: Aisyah rdhiyallahu ‘anha berkata:
تَزَوَّجَنِي رَسُولُ
اللهِ ﷺ وَأَنَا ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ بِمَكَّةَ، مُتَوَفَّى خَدِيجَةَ، وَدَخَلَ
بِي وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعِ سِنِينَ بِالْمَدِينَةِ.
"Rasulullah ﷺ menikahiku ketika aku
berusia enam tahun di Makkah, setelah wafatnya Khadijah. Namun beliau tinggal
bersamaku ketika aku berusia sembilan tahun di Madinah."
[HR. Ahmad (24867) dinilai shahih oleh
Syu’aib al-Arnauth dalam Takhrij al-Musnad 41/360 ].
Adapun dari jalur Al-A'masy, dari Ibrahim,
dari Al-Aswad, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha:
(تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ وَهِيَ بِنْتُ
سِتٍّ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ، وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانِ
عَشْرَةَ)
(Bahwa Rasulullah ﷺ menikahinya saat ia berusia
enam tahun, dan menggaulinya saat ia berusia sembilan tahun, dan Rasulullah ﷺ wafat saat ia berusia delapan belas tahun)." (HR. Muslim,
no. 1422).
Kisah pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah saat ia berusia sembilan tahun juga diriwayatkan
oleh selain Aisyah radhiyallahu 'anha, yaitu dari mereka yang mengetahui
kisahnya dan lebih mengenalnya daripada yang lain.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam *Musnad*
(6/211) dari Muhammad bin Basyar, ia berkata: Muhammad bin Amr menceritakan
kepada kami, ia berkata: Abu Salamah dan Yahya menceritakan kepada kami,
keduanya berkata:
(لَمَّا هَلَكَتْ خَدِيجَةُ جَاءَتْ خَوْلَةُ
بِنْتُ حَكِيمٍ امْرَأَةُ عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ، قَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ! أَلَا
تَزَوَّجْ؟ قَالَ: مَنْ؟ قَالَتْ: إِنْ شِئْتَ بِكْرًا، وَإِنْ شِئْتَ ثَيِّبًا. قَالَ:
فَمَنْ الْبِكْرُ؟ قَالَتْ: ابْنَةُ أَحَبِّ خَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْكَ:
عَائِشَةُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ...)
“Ketika Khadijah wafat, datanglah Khaulah
binti Hakim, istri Utsman bin Mazh’un, lalu ia berkata: ‘Wahai Rasulullah!
Tidakkah engkau menikah lagi?’ Beliau bertanya: ‘Dengan siapa?’ Khaulah
menjawab: ‘Jika engkau mau, ada gadis dan ada janda.’ Beliau bertanya: ‘Siapa
gadis itu?’ Khaulah menjawab: ‘Putri dari orang yang paling engkau cintai di
sisi Allah Azza wa Jalla, yaitu Aisyah binti Abu Bakar…’”
Dan dalam kisah tersebut disebutkan bahwa
Aisyah berusia enam tahun saat akad, dan sembilan tahun saat beliau ﷺ tinggal bersamanya.
[Untuk lebih jelasnya, silahkan lihat :
ISLAMQA Fatwa No. 124483. Judul artikel :
"تَحْقِيقٌ فِي عُمْرِ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عِنْدَمَا تَزَوَّجَهَا النَّبِيُّ ﷺ"
**ULAMA YANG MENDHA’IFKAN HADITS AISYAH (RA) MENIKAH DI USIA 6 TAHUN**
Ada sebagian para ulama yang mendhaifkan
hadits Aisyah radhiyallahu anha dengan mengatakan :
“Hadits yang menyebutkan usia Aisyah
diriwayatkan melalui lima jalur yang semuanya kembali kepada Hisyam bin Urwah.
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam *Hadyu as-Sari*
dan *Tahdzib at-Tahdzib* menyebutkan tentang Hisyam bin Urwah bin az-Zubair :
«قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بنُ يُوسُفَ بنِ خِرَاشٍ
وَكَانَ مَالِكٌ لَا يَرْضَاهُ، بَلَغَنِي أَنَّ مَالِكًا نَقَمَ عَلَيْهِ حَدِيثَهُ
لِأَهْلِ العِرَاقِ، قَدِمَ الكُوفَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ : مَرَّةً كَانَ يَقُولُ: حَدَّثَنِي
أَبِي، قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ وَقَدِمَ ـ جَاءَ ـ الثَّانِيَةَ فَكَانَ يَقُولُ:
أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ، وَقَدِمَ الثَّالِثَةَ فَكَانَ يَقُولُ: أَبِي عَنْ
عَائِشَةَ». وَالمَعْنَى بِبَسَاطَةٍ أَنَّ (هشام بن عروة) كَانَ صَدُوقًا فِي المَدِينَةِ
المُنَوَّرَةِ، ثُمَّ لَمَّا ذَهَبَ لِلعِرَاقِ بَدَأَ حِفْظُهُ لِلْحَدِيثِ يَسُوءُ
وَبَدَأَ (يُدَلِّسُ) أَيْ يُنْسِبُ الحَدِيثَ لِغَيْرِ رَاوِيهِ، ثُمَّ بَدَأَ يَقُولُ
(عَنْ) أَبِي، بَدَلًا مِنْ (سَمِعْتُ أَوْ حَدَّثَنِي)، وَفِي عِلْمِ الحَدِيثِ كَلِمَةُ
(سَمِعْتُ) أَوْ (حَدَّثَنِي) أَقْوَى مِنْ قَوْلِ الرَّاوِي (عَنْ فُلَانٍ)، وَالحَدِيثُ
فِي البُخَارِيِّ هَكَذَا يَقُولُ فِيهِ هِشَامٌ عَنْ (أَبِي وَلَيْسَ (سَمِعْتُ أَوْ
حَدَّثَنِي)، وَهُوَ مَا يُؤَيِّدُ الشَّكَّ فِي سَنَدِ الحَدِيثِ، ثُمَّ النُّقْطَةُ
الأَهَمُّ وَهِيَ أَنَّ الإِمَامَ (مَالِك) قَالَ: إِنَّ حَدِيثَ (هشام) بِالعِرَاقِ
لَا يُقْبَلُ، فَإِذَا طَبَّقْنَا هَذَا عَلَى الحَدِيثِ الَّذِي أَخْرَجَهُ البُخَارِيُّ
لَوَجَدْنَا أَنَّهُ مُحَقَّقٌ، فَالحَدِيثُ لَمْ يَرْوِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ مِنَ المَدِينَةِ،
بَلْ كُلُّهُمْ عِرَاقِيُّونَ مِمَّا يَقْطَعُ أَنَّ (هشام بن عروة) قَدْ رَوَاهُ بِالعِرَاقِ
بَعْدَ أَنْ سَاءَ حِفْظُهُ، وَلَا يَعْقِلُ أَنْ يَمْكُثَ (هشام) بِالمَدِينَةِ عُمْرًا
طَوِيلًا وَلَا يَذْكُرَ حَدِيثًا مِثْلَ هَذَا وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً، لِهَذَا
فَإِنَّنَا لَا نَجِدُ أَيَّ ذِكْرٍ لِعُمُرِ السَّيِّدَةِ (عَائِشَة) عِنْدَ زَوَاجِهَا
بِالنَّبِيِّ فِي كِتَابِ (المُوَطَّأ) لِلْإِمَامِ مَالِكٍ وَهُوَ الَّذِي رَأَى وَسَمِعَ
(هشام بن عروة) مُبَاشَرَةً بِالمَدِينَةِ، فَكَفَى بِهَاتَيْنِ العِلَّتَيْنِ لِلشَّكِّ
فِي سَنَدِ الرِّوَايَةِ السَّابِقَةِ». انتهى
"Abdurrahman bin Yusuf bin Khurrasy
berkata bahwa Malik tidak meridhainya. Malik dikabarkan tidak menyukai
hadits-hadits yang Hisyam bin Urwah sampaikan kepada penduduk Irak.
Hisyam datang ke Kufah tiga kali.
Pada kunjungan pertama, dia berkata,
'Ayahku bercerita kepadaku, aku mendengar dari Aisyah.'
Pada kunjungan kedua, dia berkata,
'Ayahku memberitahuku dari Aisyah.'
Pada kunjungan ketiga, dia hanya
mengatakan, 'Dari ayahku dari Aisyah.'"
Artinya, secara sederhana, Hisyam bin Urwah
adalah seorang perawi yang dapat dipercaya di Madinah. Namun, ketika dia pergi
ke Irak, hafalan haditsnya mulai melemah dan dia mulai *mudallis*
(menyembunyikan kelemahan sanad), yaitu mengaitkan hadits kepada orang yang
bukan perawi aslinya. Dia mulai menggunakan istilah "dari ayahku"
(*'an abi*) alih-alih "aku mendengar dari ayahku" (*sami'tu aw
haddatsani*).
Dalam ilmu hadits, kata "aku
mendengar" atau "ayahku bercerita" lebih kuat daripada sekadar
"dari ayahku". Hadits yang diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari
melalui Hisyam menggunakan kata *'an* (dari), bukan *sami'tu* atau
*haddatsani*, yang mendukung keraguan atas sanadnya.
Poin yang paling penting adalah bahwa Imam
Malik mengatakan, "Hadits Hisyam di Irak tidak dapat diterima." Jika
kita terapkan ini pada hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, kita akan menemukan
bahwa semua perawi hadits tersebut berasal dari Irak, bukan satu pun dari
Madinah.
Ini memperkuat kesimpulan bahwa Hisyam bin
Urwah meriwayatkannya ketika dia sudah berada di Irak setelah hafalannya
melemah. Tidak masuk akal jika Hisyam tinggal di Madinah dalam waktu yang lama
tetapi tidak pernah menyebutkan hadits ini sekali pun.
Sebagai bukti lebih lanjut, tidak ada satu
pun keterangan tentang usia Aisyah saat menikah dengan Nabi dalam *al-Muwaththa'*
karya Imam Malik, meskipun Imam Malik mendengar langsung dari Hisyam bin Urwah
di Madinah.
Dengan dua kelemahan ini, cukup alasan untuk
meragukan sanad hadits yang disebutkan di atas.
[Lihat pula : Tahdzibul Kamal karya al-Mizzy
30/239, Tarikh Baghdad karya al-Khatib al-Baghdadi 16/56 no. 7335, Syarah Ilal
at-Tirmidzy oleh Zainuddin Abdurrahman al-Baghdadi al-Hanbali 2/680, Qurratu
‘Ainil Muhtaaj oleh Muhammad bin Ali al-Itsyubi 1/355 dan Nakhbul Afkaar karya
Badruddin al-Aini al-Hanafi 2/91].
Peneliti yang melakukan penelitian ini adalah
Ustadz Islam Bahiri, dan hasil penelitiannya diterbitkan dalam edisi Ziro
(sebelum edisi pertama), halaman 21, surat kabar *al-Yaum as-Sabi* yang terbit
pada 15/7/2008.
DR. Suhaila berkata :
بَعْضُ الْعُلَمَاءِ
أَحْيَانًا:
وَبِالْمُنَاسَبَةِ
فَقَدْ كُنْتُ وَمَا زِلْتُ أَقُولُ إِنَّ جَامِعِي الْحَدِيثِ هُمْ بِكُلِّ يَقِينٍ
عُلَمَاءُ عُبَاقِرَةٌ مُخْلِصُونَ مُحِبُّونَ لِدِينِهِمْ وَلِنَبِيِّهِمْ حُبًّا
جَمًّا، لَكِنْ هَذَا لَا يَعْنِي أَبَدًا أَنَّهُمْ مَعْصُومُونَ عَنِ السَّهْوِ وَالْخَطَإِ
وَالنِّسْيَانِ. إِنَّهُمْ عُبَاقِرَةٌ حَقًّا، لَكِنَّهُمْ قَبْلَ ذَلِكَ وَبَعْدَهُ
بَشَرٌ. وَكُنْتُ كَذَلِكَ أَقُولُ إِنَّهُمْ يُشْبِهُونَ الصَّيَّادِينَ الَّذِينَ
يَطْرَحُونَ شِبَاكَهُمْ فِي الْبَحْرِ لِلْإِمْسَاكِ بِالسَّمَكِ، بَيْدَ أَنَّ الشَّبَكَةَ،
مَهْمَا يَكُنْ مِنْ إِحْكَامِهَا، يُمْكِنُ أَنْ تَفْلِتَ مِنْهَا بَعْضُ الْأَسْمَاكِ
الصَّغِيرَةِ كَالْبِيسَارِيَا مَثَلًا. إِلَّا أَنَّ هَذَا لَا يَعْنِي وَلَا يَنْبَغِي
أَنْ يَعْنِيَ أَنْ نُهَاجِمَ كُتُبَ الْحَدِيثِ وَأَصْحَابَهَا وَنَشُكَّكَ فِيهَا
وَفِيهِمْ جُمْلَةً وَتَفْصِيلًا كَمَا يُرِيدُ بَعْضُ الْمُوتُورِينَ التَّدْمِيرِيِّينَ
أَنْ نَفْعَلَ، وَإِلَّا حَقَّقْنَا لَهُمْ مَا يُرِيدُونَ وَدَمَّرْنَا جُزْءًا عَزِيزًا
وَغَالِيًا وَخَطِيرًا مِنْ تُرَاثِنَا الَّذِي لَا يُمْكِنُ أَنْ تَسْتَقِيمَ حَيَاتُنَا
الْعِلْمِيَّةُ وَالدِّينِيَّةُ بِدُونِهِ.
وَلْنُلَاحِظْ أَنَّ
الصَّحَفِيَّ الشَّابَّ الَّذِي تَنَبَّهَ لِمَا يَرَى أَنَّهُ خَطَأٌ مِنْ بَعْضِ
كُتُبِ الْحَدِيثِ قَدِ اسْتَعَانَ، فِيمَا اسْتَعَانَ بِهِ، بِتِلْكَ الْكُتُبِ، مِمَّا
يَدُلُّ عَلَى أَهَمِّيَّتِهَا الشَّدِيدَةِ الَّتِي لَا تُقَدَّرُ بِثَمَنٍ. أَمَّا
الِاعْتِقَادُ بِعِصْمَةِ رِجَالِ الْحَدِيثِ فَهُوَ تَنْزِيلٌ لَهُمْ فِي مَنْزِلَةِ
النُّبُوَّةِ، وَهَذَا لَا يَجُوزُ. كَمَا أَنَّ كُتُبَهُمْ رَغْمَ عَظَمَةِ الْجُهْدِ
وَالْإِخْلَاصِ وَالتَّدْقِيقِ الْمَبْذُولِ فِيهَا لَا يُمْكِنُ أَنْ تُضَاهِيَ الْقُرْآنَ
الْمَجِيدَ.
Sebagian ulama terkadang salah dan benar :
Sebagai catatan, saya selalu mengatakan bahwa
para penyusun kitab-kitab hadits adalah para ulama yang luar biasa, jenius,
ikhlas, dan sangat mencintai agama dan Nabi mereka dengan cinta yang mendalam.
Namun, ini sama sekali tidak berarti bahwa
mereka terbebas dari kesalahan, lupa, atau kelalaian. Mereka memang sangat
cerdas, tetapi tetaplah manusia sebelum dan setelah semuanya.
Saya juga selalu mengatakan bahwa mereka
mirip dengan para nelayan yang melemparkan jaringnya ke laut untuk menangkap
ikan. Namun, jaring itu, sekuat apapun, tetap bisa melewatkan beberapa ikan
kecil, seperti jenis ikan bésaria.
Namun, ini tidak berarti – dan tidak
seharusnya berarti – bahwa kita harus menyerang kitab-kitab hadits dan para
pengarangnya serta meragukan kitab-kitab tersebut secara keseluruhan seperti
yang diinginkan beberapa pihak yang berniat menghancurkan.
Jika tidak, kita justru akan memberi mereka
apa yang mereka inginkan dan menghancurkan bagian yang berharga, penting, dan
krusial dari warisan kita yang tanpanya kehidupan ilmiah dan agama kita tidak
akan kokoh.
Kita juga harus menyadari bahwa seorang
wartawan muda yang menyadari apa yang menurutnya adalah kesalahan dalam
beberapa kitab hadits, harus tetap menggunakan kitab-kitab tersebut sebagai
rujukan, yang menunjukkan betapa pentingnya kitab-kitab itu yang nilainya tidak
bisa diukur. Sementara keyakinan akan infalibilitas (ketidak mungkinan untuk
berbuat salah) ulama hadits adalah sebuah pengangkatan mereka ke tingkat
kenabian, dan ini tidak boleh dilakukan. Begitu pula kitab-kitab mereka,
meskipun luar biasa dari segi upaya, ketulusan, dan ketelitian yang dicurahkan
di dalamnya, tetap saja tidak bisa disetarakan dengan Al-Qur'an yang
mulia”[KUTIPAN SELESAI].
===****===
KONTROVERSI TENTANG USIA AISYAH (RA) SAAT MENIKAH DENGAN RASULULLAH ﷺ
Sebagaimana yang telah disebutkan diatas
bahwa kontroversi tentang usia Aisyah radhiyallahu ‘anha, sepengetahuan saya
sebagai penulis, diperkirakan baru muncul di abad sekarang ini. Dan hingga
kini, saya belum menemukan literatur-literatur dan referensi-referensi yang menyebutkan
bahwa itu sudah ada sebelumnya.
Secara garis besar, ada dua pendapat :
PENDAPAT PERTAMA :
BAHWA USIA AISYAH DIATAS 15 TAHUN
SAAT MENIKAH DENGAN NABI ﷺ, NAMUN HIDUP BERSAMA DENGAN-NYA
SETELAH 3 TAHUN KEMUDIAN.
Sebagian para ulama kontemporer meragukan
akan kebenaran riwayat yang menyatakan bahwa usia Aisyah radhiyallahu ‘anha
adalah 6 tahun saat menikah dengan Rasulullah ﷺ tepatnya pada bulan Syawal,
1 tahun sebelum hijrah, yang kemudian di usia 9 tahun dia mulai membangun rumah
tangga dengan beliau ﷺ, tepatnya di bulan syawal, 2
tahun setelah hijrah.
===****===
ALASAN DAN SEBAB DIRAGUKAN-NYA PERNIKAHAN AISYAH (RA) DI USIA 6 TAHUN:
Mereka yang meragukan riwayat Aisyah
radhiyallahu ‘anha menikah di usia 6 tahun, menyebutkan beberapa sebab dan
alasan :
*****
ALASAN PERTAMA : PERBANDINGAN DENGAN USIA ASMA’ (RA), SAUDARINYA :
Keraguan ini didasarkan pada usia saudari
perempuannya, yang bernama Asma' binti Abu Bakar radhiyallahu ‘anhuma, yang
lebih tua darinya sekitar **beberapa belas tahun** atau **belasan
tahun**. Sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Imam adz-Dzhabi dalam as-Siyar
2/288:
وَكَانَتْ أَسَنَّ
مِنْ عَائِشَةَ بِبِضْعَ عَشْرَةَ سَنَةً، هَاجَرَتْ حَامِلاً بِعَبْدِ اللهِ
“Dan ia lebih tua dari Aisyah dengan sekitar
**beberapa belas tahun**, berhijrah dalam keadaan mengandung Abdullah,
anaknya”.
Sementara usia Asma' menjelang hijrah adalah
27 tahun, dan dia meninggal pada tahun 73 H, pada usia sekitar seratus tahun.
Sedangkan makna **(بِضْعٌ = beberapa)** dalam
bahasa Arab bisa mencapai sembilan dalam hitungan. [*Mu'jam Al-Ma'ani
Al-Jami'*, makna "bidh'u"].
Dan al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani
menyebutkan :
"وَقَالَ أَبُو نُعَيْمٍ الْأَصْبَهَانِيُّ:
وُلِدَتْ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ سَنَةً، وَعَاشَتْ إِلَى أَوَائِلِ
سَنَةِ أَرْبَعٍ وَعِشْرِينَ".
"Abu Nu'aim Al-Ashbahani berkata: 'Dia
(Asma) lahir 27 tahun sebelum hijrah dan hidup hingga awal tahun 24 H.'"
[Lihat : *Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah*, 8/14.]
Maka ini menunjukkan bahwa usia Aisyah saat
menikah dengan Nabi Muhammad ﷺ adalah sekitar enam belas
tahun atau lebih."
Muhammad bin 'Abdullah al-Khathib
at-Tibriizi, dalam kitabnya *Misykat al-Mashabih* mencatat pula : bahwa Asma’,
saudari perempuan tertua Aisyah, adalah 10 tahun lebih tua dari Aisyah. Asma’
meninggal pada usia 100 tahun di tahun 73 H .
Sumber-sumber sejarah dengan tegas menyatakan
tanpa perbedaan bahwa Asma wafat setelah sebuah peristiwa terkenal dan
terdokumentasi, yaitu pembunuhan putranya, Abdullah bin Zubair, oleh al-Hajjaj,
seorang penguasa yang terkenal kejam, pada tahun 73 H. Saat itu, usia Asma
adalah 100 tahun penuh.
Jika kita menghitung mundur dari tahun
kematiannya (73 H) dan usianya (100 tahun), maka (100 - 73 = 27 tahun) adalah
usia Asma saat peristiwa hijrah Nabi. Ini sesuai dengan informasi usia Asma
yang tercantum dalam sumber-sumber sejarah.
Jika kita kurangi 10 tahun dari usia Asma,
yaitu selisih usia antara Asma dan Aisyah, maka usia Aisyah pada saat hijrah
adalah (27 - 10 = 17 tahun). Jika Nabi ﷺ mulai hidup bersama Aisyah
pada tahun kedua hijrah, maka usia Aisyah saat itu adalah (17 + 2 = 19 tahun).
Berdasarkan perhitungan ini, maka Aisyah
setidaknya berusia 19 tahun saat memulai kehidupan rumah tangganya dengan
Rasulullah ﷺ pada tahun 2 H dan berusia sekitar 14 atau 16 tahun ketika akad
nikah berlangsung (1 tahun sebelum tahun hijriah).
Ini juga menunjukkan bahwa ia lahir sekitar 4
hingga 6 tahun sebelum kenabian.
Hal ini juga didukung oleh keterangan dari
*ath-Thabari* dalam kitabnya *Tarikh al-Umam*, yang menegaskan :
أَنَّ كُلَّ أَوْلَادِ
أَبِي بَكْرٍ قَدْ وُلِدُوا فِي الجَاهِلِيَّةِ
“Bahwa semua anak Abu Bakar lahir pada masa
jahiliyah, sebelum datangnya Islam”.
Ini sejalan dengan kronologi yang benar dan
menunjukkan kelemahan riwayat al-Bukhari, karena Aisyah sebenarnya lahir empat
tahun sebelum kenabian dimulai.
[Lihat: al-Maktabah asy-Syamilah
al-Haditsiyyah 21/157 dan artikel زَوَاجُ
الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
فِي عُمْرِهَا التَّاسِعَةِ
oleh Majma’ Fuqohaa asy-Syari’ah no. Fatwa 78123].
Koreksi atas usia Aisyah ketika menikah
dengan Rasulullah ﷺ juga dinyatakan oleh tokoh
intelektual Ahmadiyyah Lahore, Ghulam Nabi Muslim Sahib, dalam artikel berjudul
:
*Hazrat Aishah Siddiqah’s Age at her
Marriage: Proves that The Holy Prophet Muhammad (pbuh) Married Hazrat Aishah when
She was 19 Years of Age and not When She was 9* :
Artinya : *Usia Sayyidah Aisyah
al-Shiddiqah Ketika Menikah : Terbukti bahwa Nabi Muhammad ﷺ Menikahinya Saat Berusia 19 Tahun, bukan 9 Tahun*).
Ini pertama kali diterbitkan pada *The
Light*, 24 September 1981, dan kemudian dipublikasikan kembali dalam jurnal
*The Message: World Quarterly* pada September 2002.
Menurutnya : “Mayoritas perawi keliru
menyatakan usia Aisyah saat menikah dengan Nabi ﷺ. Memang banyak yang
mengklaim pernikahan tersebut terjadi pada tahun ke-10 dari kenabian dan Aisyah
kala itu berusia 6 tahun. Namun, penelitian teliti membuktikan bahwa data
tersebut tidak akurat dan menunjukkan...
Aisyah radhiyallahu 'anha sebenarnya berusia
sekitar 19 atau 20 tahun ketika memasuki rumah Nabi Muhammad ﷺ sebagai istrinya pada tahun 2 H”.
[Referensi :
[1] *Siyar A'lam An-Nubala'*, 2/288 Asma binti Abu Bakr.
[2] Muhammad Ratib Al-Nablusi. *Mastasyriqin Am Muftarin*, salinan
tersimpan di situs Wayback Machine.
[3] Muzahim H. Siddiqi, *Prophet Muhammad's Wife Aisha*, PhD].
*****
ALASAN KE DUA : PERBANDINGAN ANTARA USIA FATHIMAH DAN USIA ‘AISYAH RADHIYALLAHU ‘ANHUMA.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkan dalam
*al-Ishabah* bahwa Fathimah lahir pada tahun pembangunan Ka'bah, ketika Nabi
berusia 35 tahun. Fathimah lebih tua lima tahun dari Aisyah. Berdasarkan
riwayat yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar, meskipun riwayat ini tidak kuat, jika
kita anggap riwayat tersebut benar, maka Ibnu Hajar secara tidak langsung
mendustakan riwayat al-Bukhari.
Jika Fathimah lahir ketika Nabi berusia 35
tahun, maka Aisyah lahir ketika Nabi berusia 40 tahun, yakni pada awal turunnya
wahyu. Dengan demikian, usia Aisyah saat hijrah adalah sama dengan lamanya masa
dakwah Nabi di Makkah, yaitu 13 tahun, bukan 9 tahun. Saya menyebutkan riwayat
ini hanya untuk menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam riwayat
al-Bukhari.
Jadi Usia Fathimah radhiyallahu ‘anha hingga
awal masuk tahun hijriah adalah 18 tahun, karena ia lahir 5 tahun sebelum masa
kenabian. Sementara masa kenabian selama di Makkah hingga menjelang hijrah
adalah 13 tahun. Jadi usia Fathimah adalah
5 + 13 =18.
Dan Fathimah menikah dengan Ali bin Abi
Thalib - radhiyallahu ‘anhuma- setelah perang Badar pada bulan Rajab Safar,
tahun ke 2 Hijriah. Berarti usia Fathimah saat menikah adalah 20 tahun.
Jika kita telah mengetahui bahwa Fathimah
radhiyallahu ‘anha, lahir lima tahun sebelum masa kenabian, dan usianya
menjelang awal tahun hijriah menjadi 18 tahun, maka pertanyaanya adalah :
Mungkinkah Rasulullah ﷺ menikahi seorang gadis berusia 6 tahun, yang jauh lebih muda
dari putri bungsunya yang berusia 17 tahun, dan saat itu putrinya belum
menikah, masih gadis ?.
Dr. Suhaila Hammad mengatakan:
إِنَّ الرَّسُولَ
ـ فِي تَقْدِيرِي ـ لَنْ يَتَزَوَّجَ بِفَتَاةٍ فِي عُمْرِ ابْنَتِهِ الصُّغْرَى أَوْ
أَصْغَرَ مِنْهَا. فَإِذَا عَلِمْنَا أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَامُ وُلِدَتْ
قَبْلَ الْبَعْثَةِ بِخَمْسِ سِنِينَ نَعْرِفُ أَنَّ عُمْرَهَا بَعْدَ الْهِجْرَةِ
يُصْبِحُ 18 عَامًا، وَعَلَى هَذَا فَأَنَا أُرَجِّحُ أَنْ يَكُونَ عُمْرُ عَائِشَةَ
أَكْبَرَ مِنْ عُمْرِ فَاطِمَةَ وَمِنْ ثَمَّ فَإِنَّنِي أُرَجِّحُ إِحْدَى الْفَرَضِيَّتَيْنِ:
الْأُولَى 28 سَنَةً أَوِ الثَّانِيَةَ 23 سَنَةً، هِيَ أَكْبَرُ مِنْ أُخْتِهَا عَائِشَةَ
أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ بِعَشْرِ سِنِينَ. يَسْتَتْبِعُ ذَلِكَ أَنَّ عُمْرَ عَائِشَةَ
قَبْلَ الْبَعْثَةِ كَانَ نَحْوَ خَمْسِ سَنَوَاتٍ عَلَى الْأَقَلِّ، وَلَعَلَّ الْإِشَارَةَ
فِي رِوَايَتِهَا بِأَنَّهَا كَانَتْ ذَاتَ سِتَّةِ سَنَوَاتٍ حِينَ خَطَبَهَا رَسُولُ
اللَّهِ كَانَتْ خَطَأً مِنَ الرَّاوِي، فَلَعَلَّهَا قَصَدَتْ أَنَّهَا كَانَتْ ابْنَةَ
سِتَّةِ سَنَوَاتٍ حِينَ بُعِثَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ إِذَا أَضَفْنَا
5 - 6 سَنَوَاتٍ وَهُوَ عُمْرُ عَائِشَةَ التَّقْرِيبِيُّ حِينَ الْبَعْثَةِ إِلَى
13 سَنَةً هُوَ عُمْرُ الْمَرْحَلَةِ الْمَكِّيَّةِ يَكُونُ النَّاتِجُ هُوَ 18 -
19 سَنَةً وَهُوَ يُمَثِّلُ عُمْرَهَا فِي الْمَدِينَةِ بَعْدَ الْهِجْرَةِ، لَمَّا
كَانَ عُمْرُ فَاطِمَةَ هُوَ 18 سَنَةً فِي ذَلِكَ الْحِينِ، نَسْتَطِيعُ الْقَوْلَ
أَنَّ عُمْرَ عَائِشَةَ التَّقْرِيبِيَّ حِينَ زَوَاجِهَا لَمْ يَكُنْ يَقِلُّ عَنْ
19 سَنَةً، وَهُوَ يُمَثِّلُ الْحَدَّ الْأَدْنَى لِعُمْرِهَا مِنْ خِلَالِ الِاسْتِقْرَاءِ
لِمَا بَيْنَ يَدَيَّ مِنْ مَصَادِرَ." مُقْتَبَسٌ مِنْ مَوْسُوعَةِ النَّابُلْسِيِّ
"Menurut pandangan saya, Rasulullah ﷺ tidak akan menikahi seorang gadis yang usianya sama atau lebih
muda dari putri bungsunya.
Jika kita mengetahui bahwa Fathimah
dilahirkan lima tahun sebelum kenabian, maka usianya setelah hijrah akan
menjadi 18 tahun. Berdasarkan ini, saya cenderung memperkirakan bahwa usia
Aisyah lebih tua daripada Fathimah. Maka, saya mendukung salah satu dari dua
hipotesis: pertama, bahwa usianya adalah 28 tahun, atau kedua, 23 tahun, yakni
sepuluh tahun lebih tua dari saudari Aisyah, Ummul Mukminin.
Hal ini menunjukkan bahwa usia Aisyah sebelum
kenabian sekitar lima tahun atau lebih. Barangkali, pernyataan dalam riwayatnya
yang mengatakan bahwa ia berusia enam tahun ketika dilamar oleh Rasulullah ﷺ adalah kesalahan perawi. Mungkin yang dimaksudnya adalah bahwa
ia berusia enam tahun ketika Nabi ﷺ diangkat menjadi Rasul.
Jika kita menambahkan 5–6 tahun, yaitu usia
perkiraan Aisyah saat kenabian, dengan 13 tahun masa dakwah di Mekkah, hasilnya
adalah 18–19 tahun. Ini mewakili usianya di Madinah setelah hijrah. Karena usia
Fathimah saat itu adalah 18 tahun, kita dapat mengatakan bahwa usia perkiraan
Aisyah saat pernikahannya (yakni : tinggal serumah dengan Nabi ﷺ) tidak kurang dari 19 tahun. Ini merupakan batas usia
minimumnya berdasarkan sumber-sumber yang saya miliki." [Dikutip
dari "Ensiklopedia Nabulsi]."
******
ALASAN KE TIGA : MEMORI INGATAN ‘AISYAH (RA) SAAT KEDUA ORANG TUA-NYA BARU MASUK ISLAM.
Penuturan Aisyah radhiyallahu 'anha sendiri
dalam *Shahih al-Bukhari*, Kitab al-Kafalat, (no. 6079) mengisahkan memori
ingatannya saat kedua orang tuanya awal memeluk Islam:
لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ
قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ
“Saya sama sekali tidak ingat (masa kecilku)
kecuali pada saat itu kedua orang tuaku telah memeluk Islam.”
Serta dalam hadits tersebut terdapat pula
kisah bahwa Aisyah menyaksikan terjadinya hijrah kaum muslimin ke Habasyah
(Ethiopia). Sementara hijrah pertama ke Habasyah terjadi pada tahun ke 5
Kenabian atau 8 tahun sebelum ada perintah hijrah ke Madinah. [Lihat *Shahih
al-Bukhari* no. 6079]
Perkataan Aisyah : "Saya sama sekali tidak ingat (masa
kecilku) kecuali bahwa kedua orang tuaku telah memeluk agama Islam”.
Pernyataan ini menunjukkan bahwa Aisyah
radhiyallahu 'anha kemungkinan lahir beberapa waktu sebelum kedua orang tuanya
memeluk Islam pada awal masa Kenabian, sehingga ia dapat mengingat ketika
mereka mulai menjalankan agama Islam sejak awal. Jika Aisyah radhiyallahu 'anha
lahir setelah orang tuanya memeluk Islam, seharusnya ia tidak akan menyatakan
bahwa ia hanya mengingat mereka sebagai penganut Islam. Sebaliknya, jika ia
lahir sebelum mereka menerima Islam, pernyataan tersebut masuk akal, karena
pada saat itu ia terlalu muda untuk mengingat kejadian-kejadian sebelum mereka
memeluk agama Islam.
Bahkan memory Aisyah mengungkapkan bahwa
dirinya menyaksikan terjadinya hijrah ke Habasyah (Ethiopia). Sementara hijrah
pertama ke Habasyah terjadi tahun ke 5 setelah kenabian atau 8 tahun sebelum
Hijrah. Ini menunjukkan bahwa Aisyah telah lahir sebelum-nya, bahkan saat itu
sudah di usia mumayyiz.
Dengan demikian, maka usia Aisyah jauh lebih
dari 6 tahun sebelum awal hijriah. Sementara pada bulan Syawal setahun sebelum
1 hijriah, ‘Aisyah menikah dengan Nabi ﷺ, namun tidak tinggal
serumah, karena mereka berdua kumpul serumah setelah hijrah ke Madinah,
tepat-nya pada bulan Syawal tahun 2 Hijriah.
Berikut ini lafadz hadits lengkapnya :
Dari 'Urwah bin Az Zubair bahwa 'Aisyah
radliallahu 'anha berkata;
"لَمْ
أَعْقِلْ أَبَوَيَّ قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ وَلَمْ يَمُرَّ عَلَيْنَا
يَوْمٌ إِلَّا يَأْتِينَا فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ طَرَفَيْ النَّهَارِ بُكْرَةً وَعَشِيَّةً
فَلَمَّا ابْتُلِيَ الْمُسْلِمُونَ خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا قِبَلَ الْحَبَشَةِ
حَتَّى إِذَا بَلَغَ بَرْكَ الْغِمَادِ لَقِيَهُ ابْنُ الدَّغِنَةِ وَهُوَ سَيِّدُ
الْقَارَةِ فَقَالَ أَيْنَ تُرِيدُ يَا أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَخْرَجَنِي
قَوْمِي فَأَنَا أُرِيدُ أَنْ أَسِيحَ فِي الْأَرْضِ فَأَعْبُدَ رَبِّي قَالَ ابْنُ
الدَّغِنَةِ إِنَّ مِثْلَكَ لَا يَخْرُجُ وَلَا يُخْرَجُ فَإِنَّكَ تَكْسِبُ الْمَعْدُومَ
وَتَصِلُ الرَّحِمَ وَتَحْمِلُ الْكَلَّ وَتَقْرِي الضَّيْفَ وَتُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ
الْحَقِّ وَأَنَا لَكَ جَارٌ فَارْجِعْ فَاعْبُدْ رَبَّكَ بِبِلَادِكَ فَارْتَحَلَ
ابْنُ الدَّغِنَةِ فَرَجَعَ مَعَ أَبِي بَكْرٍ فَطَافَ فِي أَشْرَافِ كُفَّارِ قُرَيْشٍ
فَقَالَ لَهُمْ إِنَّ أَبَا بَكْرٍ لَا يَخْرُجُ مِثْلُهُ وَلَا يُخْرَجُ أَتُخْرِجُونَ
رَجُلًا يُكْسِبُ الْمَعْدُومَ وَيَصِلُ الرَّحِمَ وَيَحْمِلُ الْكَلَّ وَيَقْرِي الضَّيْفَ
وَيُعِينُ عَلَى نَوَائِبِ الْحَقِّ فَأَنْفَذَتْ قُرَيْشٌ جِوَارَ ابْنِ الدَّغِنَةِ
وَآمَنُوا أَبَا بَكْرٍ وَقَالُوا لِابْنِ الدَّغِنَةِ مُرْ أَبَا بَكْرٍ فَلْيَعْبُدْ
رَبَّهُ فِي دَارِهِ فَلْيُصَلِّ وَلْيَقْرَأْ مَا شَاءَ وَلَا يُؤْذِينَا بِذَلِكَ
وَلَا يَسْتَعْلِنْ بِهِ فَإِنَّا قَدْ خَشِينَا أَنْ يَفْتِنَ أَبْنَاءَنَا وَنِسَاءَنَا
قَالَ ذَلِكَ ابْنُ الدَّغِنَةِ لِأَبِي بَكْرٍ فَطَفِقَ أَبُو بَكْرٍ يَعْبُدُ رَبَّهُ
فِي دَارِهِ وَلَا يَسْتَعْلِنُ بِالصَّلَاةِ وَلَا الْقِرَاءَةِ فِي غَيْرِ دَارِهِ
ثُمَّ بَدَا لِأَبِي بَكْرٍ فَابْتَنَى مَسْجِدًا بِفِنَاءِ دَارِهِ وَبَرَزَ فَكَانَ
يُصَلِّي فِيهِ وَيَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَيَتَقَصَّفُ عَلَيْهِ نِسَاءُ الْمُشْرِكِينَ
وَأَبْنَاؤُهُمْ يَعْجَبُونَ وَيَنْظُرُونَ إِلَيْهِ وَكَانَ أَبُو بَكْرٍ رَجُلًا
بَكَّاءً لَا يَمْلِكُ دَمْعَهُ حِينَ يَقْرَأُ الْقُرْآنَ فَأَفْزَعَ ذَلِكَ أَشْرَافَ
قُرَيْشٍ مِنْ الْمُشْرِكِينَ فَأَرْسَلُوا إِلَى ابْنِ الدَّغِنَةِ فَقَدِمَ عَلَيْهِمْ
فَقَالُوا لَهُ إِنَّا كُنَّا أَجَرْنَا أَبَا بَكْرٍ عَلَى أَنْ يَعْبُدَ رَبَّهُ
فِي دَارِهِ وَإِنَّهُ جَاوَزَ ذَلِكَ فَابْتَنَى مَسْجِدًا بِفِنَاءِ دَارِهِ وَأَعْلَنَ
الصَّلَاةَ وَالْقِرَاءَةَ وَقَدْ خَشِينَا أَنْ يَفْتِنَ أَبْنَاءَنَا وَنِسَاءَنَا
فَأْتِهِ فَإِنْ أَحَبَّ أَنْ يَقْتَصِرَ عَلَى أَنْ يَعْبُدَ رَبَّهُ فِي دَارِهِ
فَعَلَ وَإِنْ أَبَى إِلَّا أَنْ يُعْلِنَ ذَلِكَ فَسَلْهُ أَنْ يَرُدَّ إِلَيْكَ ذِمَّتَكَ
فَإِنَّا كَرِهْنَا أَنْ نُخْفِرَكَ وَلَسْنَا مُقِرِّينَ لِأَبِي بَكْرٍ الِاسْتِعْلَانَ
قَالَتْ عَائِشَةُ فَأَتَى ابْنُ الدَّغِنَةِ أَبَا بَكْرٍ فَقَالَ قَدْ عَلِمْتَ الَّذِي
عَقَدْتُ لَكَ عَلَيْهِ فَإِمَّا أَنْ تَقْتَصِرَ عَلَى ذَلِكَ وَإِمَّا أَنْ تَرُدَّ
إِلَيَّ ذِمَّتِي فَإِنِّي لَا أُحِبُّ أَنْ تَسْمَعَ الْعَرَبُ أَنِّي أُخْفِرْتُ
فِي رَجُلٍ عَقَدْتُ لَهُ قَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنِّي أَرُدُّ إِلَيْكَ جِوَارَكَ وَأَرْضَى
بِجِوَارِ اللَّهِ وَرَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَوْمَئِذٍ بِمَكَّةَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ قَدْ أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ رَأَيْتُ سَبْخَةً ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ
وَهُمَا الْحَرَّتَانِ فَهَاجَرَ مَنْ هَاجَرَ قِبَلَ الْمَدِينَةِ حِينَ ذَكَرَ ذَلِكَ
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَرَجَعَ إِلَى الْمَدِينَةِ بَعْضُ مَنْ كَانَ هَاجَرَ إِلَى أَرْضِ
الْحَبَشَةِ وَتَجَهَّزَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى
رِسْلِكَ فَإِنِّي أَرْجُو أَنْ يُؤْذَنَ لِي قَالَ أَبُو بَكْرٍ هَلْ تَرْجُو ذَلِكَ
بِأَبِي أَنْتَ قَالَ نَعَمْ فَحَبَسَ أَبُو بَكْرٍ نَفْسَهُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ لِيَصْحَبَهُ وَعَلَفَ رَاحِلَتَيْنِ كَانَتَا عِنْدَهُ وَرَقَ السَّمُرِ أَرْبَعَةَ
أَشْهُرٍ
"Saya sama sekali tidak ingat (masa
kecilku) kecuali bahwa kedua orang tuaku telah memeluk agama Islam.
Dan tidak berlalu satu haripun melainkan
Rasulullah ﷺ datang menemui kami di sepanjang hari baik pagi ataupun petang.
Ketika Kaum Muslimin mendapat ujian, Abu
Bakar keluar berhijrah menuju Habasyah (Ethiopia) hingga ketika sampai di
Barkal Ghomad dia didatangi oleh Ibnu Ad-Daghinah seorang kepala suku seraya
berkata; "Kamu hendak kemana, wahai Abu Bakar?"
Maka Abu Bakar menjawab: "Kaumku telah
mengusirku maka aku ingin keliling dunia agar aku bisa beribadah kepada
Tuhanku".
Ibnu Ad-Daghinah berkata: "Seharusnya
orang seperti anda tidak patut keluar dan tidak patut pula diusir karena anda
termasuk orang yang bekerja untuk mereka yang tidak punya, menyambung
silaturahim, menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu
menolong di jalan kebenaran. Maka aku akan menjadi pelindung anda untuk itu
kembalilah dan sembahlah Tuhanmu di negeri kelahiranmu.
Maka Ibnu Ad-Daghinah bersiap-siap dan
kembali bersama Abu Bakar lalu berjalan di hadapan Kafir Quraisy seraya
berkata, kepada mereka:
"Sesungguhnya orang sepeti Abu Bakar
tidak patut keluar dan tidak patut pula diusir. Apakah kalian mengusir orang
yang suka bekerja untuk mereka yang tidak punya, menyambung silaturahim,
menanggung orang-orang yang lemah, menjamu tamu dan selalu menolong di jalan
kebenaran?"
Akhirnya orang-orang Quraisy menerima
perlindungan Ibnu Ad-Daghinah dan mereka memberikan keamanan kepada Abu Bakar
lalu berkata, kepada Ibnu Ad-Daghinah:
"Perintahkanlah Abu Bakar agar beribadah
menyembah Tuhannya di rumahnya saja dan shalat serta membaca Al Qur'an
sesukanya dan dia jangan mengganggu kami dengan kegiatannya itu dan jangan
mengeraskannya karena kami telah khawatir akan menimbulkan fitnah terhadap
anak-anak dan isteri-isteri kami".
Maka Ibnu Ad-Daghinah menyampaikan hal ini
kepada Abu Bakar. Maka Abu Bakar mulai beribadah di rumahnya dan tidak
mengeraskan shalat bacaan Al Qur'an diluar rumahnya. Kemudian AbuBakar
membangun tempat shalat di halaman rumahnya sedikit melebar keluar dimana dia
shalat disana dan membaca Al Qur'an. Lalu istrei-isteri dan anak-anak Kaum
Musyrikin berkumpul disana dengan penuh keheranan dan menanti selesainya Abu
Bakar beribadah. Dan sebagaimana diketahui Abu Bakar adalah seorang yang suka
menangis yang tidak sanggup menahan air matanya ketika membaca Al Qur'an. Maka
kemudian kagetlah para pembesar Quraisy dari kalangan Musyrikin yang akhirnya mereka
memanggil Ibnu Ad-Daghinah ke hadapan mereka dan berkata, kepadanya:
"Sesungguhnya kami telah memberikan
perlindungan kepada Abu Bakr agar dia beribadah di rumahnya namun dia melanggar
hal tersebut dengan membangun tempat shalat di halaman rumahnya serta
mengeraskan shalat dan bacaan padahal kami khawatir hal itu akan dapat
mempengaruhi isteri-isteri dan anak-anak kami dan ternyata benar-benar terjadi.
Jika dia suka untuk tetap beribadah di rumahnya silahkan namun jika dia menolak
dan tetap menampakkan ibadahnya itu mintalah kepadanya agar dia mengembalikan
perlindungan anda ; karena kami tidak suka bila kamu melanggar perjanjian dan
kami tidak setuju bersepakat dengan Abu Bakar".
Berkata, 'Aisyah radliallahu 'anha: Maka Ibnu
Ad-Daghinah menemui Abu Bakar dan berkata:
"Kamu telah mengetahui perjanjian yang
kamu buat, maka apakah kamu tetap memeliharanya atau mengembalikan
perlindunganku kepadaku karena aku tidak suka bila orang-orang Arab mendengar
bahwa aku telah melanggar perjanjian hanya karena seseorang yang telah aku
berjanji kepadanya".
Maka Abu Bakar berkata: "Aku kembalikan
jaminanmu kepadamu dan aku ridho hanya dengan perlindungan Allah dan Rasul-Nya ﷺ.
Kejadian ini adalah di Makkah. Maka
Rasulullah ﷺ bersabda: "Sungguh aku telah ditampakkan negeri tempat
hijrah kalian dan aku melihat negeri yang subur ditumbuhi dengan pepohonan
kurma diantara dua bukit yang kokoh.
Maka berhijrahlah orang yang berhijrah menuju
Madinah ketika Rasulullah ﷺ menyebutkan hal itu.
Dan kembali pula sebagian dari mereka yang
pernah hijrah ke Habasyah lalu pergi hijrah ke Madinah, sementara Abu Bakar telah bersiap-siap pula
untuk berhijrah. Maka Rasulullah ﷺ berkata, kepadanya:
"Janganlah kamu tergesa-gesa karena aku
berharap aku akan diizinkan (untuk berhijrah) ".
Abu Bakar berkata: "Sungguh demi bapakku
tanggungannya, apakah benar Tuan mengharapkan itu?"
Beliau bersabda: "Ya benar".
Maka Abu Bakar berharap dalam dirinya bahwa
dia benar-benar dapat mendampingi Rasulullah ﷺ dalam berhijrah. Maka dia
memberi makan dua hewan tunggangan yang dimilikinya dengan dedaunan Samur
selama empat bulan. [HR. Bukhori no. 6079]
*****
**ALASAN KE EMPAT : SEBELUM DENGAN
NABI ﷺ, AISYAH HENDAK DINIKAHKAN DENGAN JUBAIR
BIN MUTH'IM**.
Para sejarawan menyebutkan bahwa Aisyah
sebelumnya telah dilamar oleh Jubair bin Muth’im bin Adiy sebelum dilamar oleh
Rasulullah ﷺ. Ini menunjukkan bahwa ‘Aisyah dalam usia layak nikah saat
dilamar oleh Nabi ﷺ.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah: Kapan
Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk putranya, Jubair bin Muth’im?
Sumber-sumber sejarah tidak memberikan keterangan!”
**Tentang kemungkinan waktu pinangan
terhadap Aisyah:**
Kemungkinan pertama : adalah bahwa ia
dilamar setelah masa kenabian.
Namun hal ini dianggap tidak mungkin
mengingat permusuhan yang sangat kuat dari kaum kafir terhadap risalah Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad ﷺ, terutama mengingat bahwa
Aisyah adalah putri Abu Bakar, sahabat dekat Rasulullah ﷺ dan salah satu orang pertama yang menerima Islam. Jadi,
kemungkinan besar Adiy tidak akan melamar Aisyah untuk putranya setelah Abu
Bakar memeluk Islam.
Kemungkinan kedua : adalah bahwa ia dilamar
sebelum masa kenabian.
Ini merupakan kemungkinan yang lebih kuat.
Namun, ini menimbulkan pertanyaan penting:
Berapa usia Aisyah saat itu sebelum kenabian?
Setahun? Dua tahun? Lima? Sepuluh?
Sejarah tetap diam, seperti sebelumnya”.
**Maka, mari kita beralih ke beberapa
hipotesis: Tentang Aisyah saat dilamar:**
-Hipotesis pertama:
Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk
putranya, Jubair bin Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar
15 tahun. Berdasarkan hipotesis ini, maka usia Aisyah ketika menikah dengan
Rasulullah ﷺ adalah 28 tahun, mengingat Nabi ﷺ menikahinya setelah hijrah
ke Yatsrib dan beliau tinggal di Mekah selama 13 tahun dalam periode dakwah
sebelum hijrah.
- Hipotesis kedua:
Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk
putranya, Jubair bin Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar
10 tahun. Berdasarkan hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan
Rasulullah adalah 23 tahun.
- Hipotesis ketiga:
Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk
putranya, Jubair bin Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar
5 tahun. Berdasarkan hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan
Rasulullah adalah 18 tahun.
- Hipotesis keempat:
Muth’im bin Adiy melamar Aisyah untuk
putranya, Jubair bin Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah baru 1
tahun saja - meskipun ini tentu saja tidak mungkin, namun mari kita anggap
demikian-, maka berdasarkan hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan
Rasulullah adalah 14 tahun, yang berarti 5 tahun lebih tua dari usia yang
banyak disebutkan”.
*****
**ALASAN KE LIMA: MASA TURUN-NYA SURAH AL-QAMAR**:
Dalam sebuah riwayat dari Bukhari, Aisyah
berkata:
" لَقَدْ أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ بِمَكَّةَ
وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ، {بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى
وَأَمَرُّ} [القمر: 46] "
“Sesungguhnya ayat ini diturunkan kepada
Muhammad ﷺ di Mekkah saat aku masih gadis kecil yang bermain-main,
{‘Sebenarnya hari Kiamat adalah waktu yang dijanjikan bagi mereka, dan hari
Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit’} [QS. Al-Qamar: 46].” [HR. Bukhori
no. 4876].
Muhammad Abdullah Al-Khathib menyatakan :
نَزَلَتْ سُورَةُ
الْقَمَرِ ثَمَانِي سِنِينَ قَبْلَ الْهِجْرَةِ
Surah Al-Qamar diturunkan delapan tahun
sebelum hijrah (Hifdz Al-Qur'an al-Karim, Al-Khatib, 1985), yang menunjukkan
bahwa surah ini turun pada tahun 614 M.
Sementara Muhammad Thahir Ibnu ‘Aasyuur
mengatakan :
وَكَانَ نُزُولُهَا
فِي حُدُودِ سَنَةِ خَمْسٍ قَبْلَ الْهِجْرَةِ فَفِي «الصَّحِيحِ» «أَنَّ عَائِشَةَ
قَالَتْ: أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ بِمَكَّةَ وَإِنِّي
لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهى وَأَمَرُّ
[الْقَمَر: 46]
......
وَذَكَرَ بَعْضُ
الْمُفَسِّرِينَ أَنَّ انْشِقَاقَ الْقَمَرِ كَانَ سَنَةَ خَمْسٍ قَبْلَ الْهِجْرَةِ
وَعَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ كَانَ بَيْنَ نُزُولِ آيَةِ سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ
الدُّبُرَ [الْقَمَر: 45] وَبَيْنَ بَدْرٍ سبع سِنِين
Dan waktu turunnya adalah sekitar lima tahun
sebelum hijrah. Dalam *Shahih* disebutkan bahwa Aisyah berkata: “Ayat ini
diturunkan kepada Muhammad di Mekkah ketika aku masih gadis kecil yang
bermain-main: {‘Sebenarnya hari Kiamat adalah waktu yang dijanjikan bagi
mereka, dan hari Kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit’} [Al-Qamar: 46]
Sebagian para ahli tafsir menyebutkan bahwa
peristiwa terbelahnya bulan terjadi pada tahun kelima sebelum hijrah. Ibnu
Abbas juga meriwayatkan bahwa terdapat selisih tujuh tahun antara turunnya ayat
*‘Akan dikalahkan golongan itu dan mereka akan mundur ke belakang’* [Al-Qamar:
45] dengan terjadinya Perang Badar. [Baca : at-Tahriir wat-Tanwiir 27/166. Dan
baca pula : Tafsir al-Wasitth karya Thanthawi 14/93]
Perang Badar terjadi pada tanggal 17
Ramadhan, tahun 2 Hijriah.
Jika Aisyah mulai hidup bersama Rasulullah ﷺ pada usia 9 tahun (sekitar tahun 623 atau 624 M), maka berarti
dia masih anak kecil ketika surah ini diturunkan.
Berdasarkan riwayat sebelumnya, Aisyah adalah
gadis kecil (jariyah) dan bukan anak kecil saat Surah Al-Qamar turun.
Karena kata "jariyah" digunakan
untuk menggambarkan seorang gadis yang masih bermain-main (Lane, Kamus Bahasa
Arab). Maka, kenyataan bahwa Aisyah adalah seorang jariyah — bukan anak kecil —
menunjukkan bahwa usianya saat itu antara 6 hingga 13 tahun ketika Surah
Al-Qamar turun. Dengan demikian, usianya berkisar antara 14 hingga 21 tahun
saat ia menikah dengan Rasulullah ﷺ.
Kesimpulan: Riwayat ini juga bertentangan dengan
pandangan bahwa Aisyah menikah pada usia sembilan tahun.
Baca pula artikel هَلْ
تَزَوَّجَتْ عَائِشَةُ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ وَهِيَ بِنْتُ السَّادِسَةِ؟ karya T.A. Shanavas,
diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Dr. Khalid As-Saaqi
*****
ALASAN KE ENAM : ** AISYAH MENYIAPKAN MASAKAN UNTUK BEKAL HIJRAH NABI ﷺ KE MADINAH **:
Ketika Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar radhiyallahu
‘anhu hendak berangkat hijrah ke Madinah, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ikut
terlibat menyiapkan masakan untuk bekal perjalanan hijrah mereka berdua,
sebagaimana yang disebutkan dalam shahih Bukhori dari ‘Aisyah, dia berkata :
"فَجَهَّزْنَاهُمَا أَحَثَّ الجِهَازِ، وَصَنَعْنَا
لَهُمَا سُفْرَةً فِي جِرَابٍ، فَقَطَعَتْ أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ قِطْعَةً
مِنْ نِطَاقِهَا، فَرَبَطَتْ بِهِ عَلَى فَمِ الجِرَابِ، فَبِذَلِكَ سُمِّيَتْ ذَاتَ
النِّطَاقَيْنِ قَالَتْ: ثُمَّ لَحِقَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ وَأَبُو بَكْرٍ بِغَارٍ فِي
جَبَلِ ثَوْرٍ، فَكَمَنَا فِيهِ ثَلَاثَ لَيَالٍ".
"Maka kami mempersiapkan
perbekalan untuk keduanya dengan persiapan yang cepat, dan kami menyiapkan
bekal makanan dalam sebuah kantong. Kemudian Asma binti Abu Bakar memotong kain
ikat pinggangnya menjadi dua bagian, lalu mengikat mulut kantong tersebut
dengan salah satunya. Karena itulah ia dijuluki *Dzatun Nithaqain* (wanita
dengan dua ikat pinggang).
Dia berkata:
'Kemudian Rasulullah ﷺ dan Abu Bakar pergi menuju sebuah gua di Gunung Tsur, lalu
mereka bersembunyi di sana selama tiga malam.'" [HR. Bukhori no. 3095].
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :
وَأَفَادَ الْوَاقِدِيُّ
أَنَّهُ كَانَ فِي السُّفْرَةِ شَاةٌ مَطْبُوخَةٌ
"Al-Waqidi menyampaikan bahwa dalam
bekal makanan tersebut terdapat seekor kambing yang telah dimasak."
[Fathul Bari 7/236].
Jika benar bahwa Aisyah di usia 6 tahun
menikah dengan Nabi, maka dengan demikian, usia Aisyah adalah 7 tahun saat
menyiapkan masakan kambing untuk bekal hijrah Nabi ﷺ dan ayahnya .
Pertanyaan-nya : Apa mungkin seorang anak
perempuan di usia 7 tahun mampu melakukannya?
*****
ALASAN KE TUJUH : **AISYAH (RA) IKUT SERTA DALAM PERANG BADAR DAN UHUD**:
Perang Badar terjadi pada tanggal 17
Ramadhan, tahun 2 Hijriah.
Dalam *Shahih Muslim*, terdapat hadits yang
menyebutkan partisipasi Aisyah dalam Perang Badar, yaitu dalam kitab berikut
ini :
51- (كِتَابُ الْجِهَادِ وَالسِّيَرِ، بَابُ
كَرَاهَةِ الِاسْتِعَانَةِ فِي الْغَزْوِ بِكَافِرٍ)
51- (Kitab Jihad dan Peperangan, Bab Larangan Menghina Kafir
dalam Perang).
Ketika Aisyah menceritakan perjalanan ke
Badar dan peristiwa penting di dalamnya, dia berkata:
ثُمَّ مَضَى حَتَّى
إِذَا كُنَّا بِالشَّجَرَةِ أَدْرَكَهُ الرَّجُلُ، فَقَالَ لَهُ كَمَا قَالَ أَوَّلَ
مَرَّةٍ، فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ ﷺ كَمَا قَالَ أَوَّلَ مَرَّةٍ، قَالَ: «فَارْجِعْ،
فَلَنْ أَسْتَعِينَ بِمُشْرِكٍ»
“Kemudian Rasulullah ﷺ melanjutkan perjalanan
hingga ketika kami berada di dekat pohon, orang tersebut menyusulnya dan
berkata kepadanya seperti yang dikatakannya pada pertama kali. Maka Rasulullah ﷺ menjawab kepadanya seperti jawaban yang sama pada pertama kali,
seraya berkata, “Kembalilah, aku tidak akan meminta bantuan dari seorang
musyrik.”
Maka jelas bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha
termasuk dalam rombongan yang berangkat ke Badar.
Dan jika benar usia Aisyah saat menikah
dengan Nabi ﷺ itu 6 tahun, yaitu 1 tahun sebelum hijriah, kemudian tinggal
serumah dengan Nabi ﷺ pada usia 9 tahun, yaitu
pada bulan syawal tahun 2 hijriah, maka dengan demikian usia Aisyah saat ikut
perang Badar adalah 9 tahun, yaitu sebulan sebelum kumpul serumah dengan Nabi ﷺ.
Aisyah juga termasuk di antara para wanita
yang ikut serta dalam Perang Uhud untuk memberi minum kepada pasukan yang
terluka. [*Shahih Al-Bukhari*, Kitab Al-Jihad wa As-Siyar, Bab Perang dan
Keterlibatan Wanita Bersama Pria.]
Perang Uhud terjadi pada bulan Syawal pada
tahun ke 3 Hijriah. Sementara ‘Aisyah mulai membangun rumah tangga dengan Nabi ﷺ pada bulan Syawal pada tahun ke 2 Hijriah, dan saat itu usianya
9 tahun. Maka dengan demikian saat perang Uhud usia Aisyah adalah 10 tahun.
Dalam *Shahih Bukhari* di sebutkan tentang
partisipasi Aisyah dalam Perang Uhud, yaitu dalam kitab berikut ini :
(كِتَابُ الْجِهَادِ وَالسِّيَرِ، بَابُ غَزْوِ
النِّسَاءِ وَقِتَالِهِنَّ مَعَ الرِّجَالِ)
(Kitab Jihad dan Peperangan, Bab
Perang yang Diikuti Perempuan bersama Laki-laki):
Dari Anas radliallahu 'anhu berkata :
لَمَّا كَانَ يَوْمُ
أُحُدٍ، انْهَزَمَ النَّاسُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ، قَالَ: وَلَقَدْ رَأَيْتُ عَائِشَةَ
بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ، وَأُمَّ سُلَيْمٍ وَإِنَّهُمَا لَمُشَمِّرَتَانِ، أَرَى
خَدَمَ سُوقِهِمَا تَنْقُزَانِ القِرَبَ، وَقَالَ غَيْرُهُ : تَنْقُلَانِ القِرَبَ
عَلَى مُتُونِهِمَا، ثُمَّ تُفْرِغَانِهِ فِي أَفْوَاهِ القَوْمِ، ثُمَّ تَرْجِعَانِ
فَتَمْلَآَنِهَا، ثُمَّ تَجِيئَانِ فَتُفْرِغَانِهَا فِي أَفْوَاهِ القَوْمِ
"
Ketika perang Uhud, orang-orang terpukul
mundur dan lari meninggalkan Nabi ﷺ.
Dia (Anas) berkata: "Sungguh aku melihat
**'Aisyah binti Abu Bakar** dan Ummu Sulaim berjalan dengan cepat hingga
terlihat gelang kaki keduanya (untuk memudahkan gerakan) sambil membawa qirab
(wadah air terbuat dari kulit).
Dan berkata perawi lain : mengangkut qirab,
dengan selendang keduanya lalu menuangkan ke mulut para pasukan. Kemudian
keduanya kembali untuk mengisi air kedalam qirab kemudian kembali datang
menuangkan air ke mulut para pasukan". [HR. Bukhori no. 2667, 2880, 3527]
Aisyah radhiyallahu 'anha mulai menjalani
kehidupan rumah tangganya dengan Nabi ﷺ sekitar satu tahun sebelum
Perang Uhud. Berdasarkan pandangan umum, Aisyah radhiyallahu 'anha diperkirakan
berusia 10 tahun pada saat itu, usia yang dianggap terlalu muda untuk terlibat
dalam situasi perang. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa Aisyah radhiyallahu
'anha saat itu mungkin lebih tua dari perkiraan tersebut.
MINIMAL USIA 16 TAHUN, SYARAT BAGI
YANG HENDAK IKUT PERANG PADA ZAMAN NABI ﷺ:
**Seleksi Usia Pasukan Menjelang Perang
Badar**.
Ada beberapa anak muda muslim berkeinginan
bergabung dengan pasukan muslim ke medan tempur di Badar, Nabi ﷺ memulangkan mereka karena usia yang masih terlalu belia,
kecuali seorang pemuda yang bernama ‘Umair bin Abu Waqqas yang diizinkan
menemani kakaknya, Sa’ad bin Abu Waqqas, seorang sahabat Nabi yang terkenal.
Sa'ad bin Abi Waqqash berkata :
" رَأَيْتُ أَخِيَ عُمَيْرَ بْنَ أَبِي وَقَّاصٍ
قَبْلَ أَنْ يَعْرِضَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِلْخُرُوجِ إِلَى بَدْرٍ يَتَوَارَى، فَقُلْتُ
مَا لَكَ يَا أَخِي؟ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ أَنْ يَرَانِيَ رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ فَيَسْتَصْغِرَنِي فَيَرُدَّنِي، وَأَنَا أُحِبُّ الْخُرُوجَ، لَعَلَّ اللَّهَ
يَرْزُقَنِي الشَّهَادَةَ، قَالَ: فَعُرِضَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَاسْتَصْغَرَهُ
فَقَالَ: «ارْجِعْ» ، فَبَكَى عُمَيْرٌ فَأَجَازَهُ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ. قَالَ سَعْدٌ:
فَكُنْتُ أَعْقِدُ لَهُ حَمَائِلَ سَيْفِهِ مِنْ صِغَرِهِ، فَقُتِلَ بِبَدْرٍ وَهُوَ
ابْنُ سِتَّ عَشْرَةَ سَنَةً. قَتَلَهُ عَمْرُو بْنُ عَبْدِ وَدٍّ ".
“Aku melihat saudaraku, Umair bin Abi Waqqash, sebelum
Rasulullah ﷺ mengizinkan kami untuk berangkat ke Badar, ia bersembunyi. Aku
pun bertanya, ‘Ada apa denganmu, wahai saudaraku?’ Ia menjawab, ‘Aku takut jika
Rasulullah ﷺ melihatku, beliau akan menganggapku terlalu muda dan
memulangkanku. Padahal aku sangat ingin ikut berangkat, semoga Allah memberiku
rezeki berupa kesyahidan.’
Ketika Umair diperlihatkan kepada Rasulullah ﷺ, beliau pun menganggapnya terlalu muda dan berkata,
‘Kembalilah.’ Maka Umair pun menangis, hingga Rasulullah ﷺ mengizinkannya. Sa'ad berkata, ‘Aku biasa mengikatkan tali
pedangnya karena ia masih kecil.’ Umair pun gugur di Badar dalam **usia enam
belas tahun**, terbunuh oleh Amr bin Abd Wudd.”
[HR. Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat al-Kubra 3/149-150,
al-Bazzaar dalam Musnadnya 2/315 no. 1770.
Lihat pula : *Al-Maghazi* (hal. 21, 145,
155), *Tarikh At-Thabari* (jilid 2, hal. 477), dan *Hadzf min Nasab Quraisy*
(hal. 62).
Muhammad al-Knadhlawi dalam Hayatush Shohabah
2/226 berkata :
وَأَخْرَجَهُ الْبَزَّارُ،
وَرِجَالُهُ ثِقَاتٌ؛ كَمَا فِي الْمَجْمَعِ
“Hadits ini diriwayatkan oleh
Al-Bazzar, dan para perawinya terpercaya, sebagaimana tercantum dalam
*Al-Majma*”.
Dalam lafadz lain :
وَعِنْدَمَا رَآهُ
النَّبِيُّ ﷺ اسْتَصْغَرَهُ فَرَدَّهُ، فَبَكَى عُمَيْرٌ بُكَاءً شَدِيدًا، فَرَقَّ
النَّبِيُّ لَهُ، وَأَجَازَهُ مَعَ الْمُقَاتِلِينَ، بَعْدَ أَنْ لَمَسَ حَمَاسَتَهُ
وَغَيْرَتَهُ الشَّدِيدَتَيْنِ، وَكَانَ مَعَ عُمَيْرٍ سَيْفٌ طَوِيلٌ يَكَادُ يَكُونُ
أَطْوَلَ مِنْهُ، لَا يَسْتَطِيعُ إِمْسَاكَهُ وَالضَّرْبَ بِهِ، فَرَبَطَ السَّيْفَ
لَهُ فِي يَدِهِ، قَالَ سَعْدٌ: فَكُنْتُ أَعْقِدُ لَهُ حَمَائِلَ سَيْفِهِ مِنْ صِغَرِهِ،
فَقُتِلَ فِي بَدْرٍ وَهُوَ ابْنُ سِتِّ عَشْرَةَ سَنَةً.
Ketika Rasulullah ﷺ melihatnya, beliau pun
menganggapnya terlalu muda dan memulangkannya. Umair menangis dengan sangat
sedih, hingga Rasulullah ﷺ merasa iba padanya dan
mengizinkannya bergabung dengan para pejuang setelah melihat semangat dan
keberaniannya yang besar.
Umair membawa pedang panjang yang hampir
lebih tinggi darinya, dan ia bahkan tidak bisa memegang atau mengayunkannya
dengan baik. Maka, pedangnya diikatkan pada tangannya.
Sa'ad berkata, ‘Aku biasa membantu
mengikatkan pedangnya karena ia masih sangat kecil.’ Akhirnya, Umair gugur
dalam Perang Badar pada usia enam belas tahun.
Sepakat semua pendapat secara Ijma’ : bahwa
Umair adalah syahid termuda dalam Islam. Ia gugur di tangan Amr bin Abd Wudd
al-Amiri, salah satu tokoh penting Quraisy, yang kemudian Amr bin Abd Wudd ini
terbunuh oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pada Perang Khandaq."
** Seleksi Usia Pasukan Menjelang Perang
Uhud**:
Selain perang Badar, Rasulullah ﷺ juga melarang sejumlah anak-anak muda untuk ikut dalam perang
Uhud, karena usia mereka masih terlalu muda. Di antara mereka ialah Rafi' bin
Khudaij dan Samurah bin Jundab, karena keduanya masih berusia 15 tahun.
Dalam al-Maghazi, al-Waqidy meriwayatkan :
وَعُرِضَ عَلَيْهِ
غِلْمَانٌ: عَبْدُ اللهِ بْنُ عُمَرَ، وَزَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ، وَأُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ،
وَالنّعْمَانُ بْنُ بَشِيرٍ، وَزَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ، وَالْبَرَاءُ بْنُ عَازِبٍ، وَأُسَيْدُ
بْنُ ظُهَيْرٍ، وَعَرَابَةُ بْنُ أَوْسٍ، وَأَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيّ، وَسَمُرَةُ
بْنُ جُنْدُبٍ، وَرَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ، فَرَدّهُمْ. قَالَ رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ، فَقَالَ
ظُهَيْرُ بْنُ رَافِعٍ: يَا رَسُولَ اللهِ إنّهُ رَامٍ !
وَجَعَلْت أَتَطَاوَلُ
وَعَلَيّ خُفّانِ لِي، فَأَجَازَنِي رَسُولُ اللهِ ﷺ، فَلَمّا أَجَازَنِي قَالَ سَمُرَةُ
بْنُ جُنْدُبٍ لِرَبِيبِهِ مُرَيّ بْنِ سِنَانٍ الْحَارِثِيّ، وَهُوَ زَوْجُ أُمّهِ:
يا أبة، أَجَازَ رَسُولُ اللهِ رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ وَرَدّنِي، وَأَنَا أَصْرَعُ
رَافِعَ بْنَ خَدِيجٍ.
فَقَالَ مُرَيّ
بْنُ سِنَانٍ الْحَارِثِيّ: يَا رَسُولَ اللهِ رَدَدْت ابْنِي وَأَجَزْت رَافِعَ بْنَ
خَدِيجٍ وَابْنِي يَصْرَعُهُ. فقال رسول الله ﷺ: تَصَارَعَا!
فَصَرَعَ سَمُرَةُ
رَافِعًا فَأَجَازَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ- وَكَانَتْ أُمّهُ امْرَأَةً مِنْ بَنِي أَسَدٍ
Ketika pendaftaran pasukan untuk Perang Uhud,
beberapa pemuda dihadapkan kepada Rasulullah ﷺ, di antaranya Abdullah bin
Umar, Zaid bin Tsabit, Usamah bin Zaid, Nu'man bin Basyir, Zaid bin Arqam,
Bara' bin Azib, Usaid bin Zuhair, Arabah bin Aus, Abu Sa'id al-Khudri, Samurah
bin Jundub, dan Rafi' bin Khadij. Namun, Rasulullah ﷺ menolak mereka karena usia
mereka yang masih muda.
Rafi' bin Khadij bercerita : Maka Zuhair bin
Rafi' berkata : “Wahai Rasulullah, Rafi' ini adalah pemanah yang terampil!”
Ketika mendengar ini, maka Rafi' berusaha
untuk menunjukkan dirinya lebih tinggi dengan mengenakan sepatu bot, dan
Rasulullah ﷺ akhirnya mengizinkannya untuk bergabung.
Setelah mendapatkan izin, Samurah bin Jundub,
yang merupakan anak tiri Murai bin Sinan al-Haritsi (suami ibunya), berkata
kepada ayah tirinya :
“Wahai ayah, Rasulullah mengizinkan Rafi' bin
Khadij untuk bergabung dan menolak aku, padahal aku bisa mengalahkannya dalam
gulat!”
Mendengar hal ini, Murai bin Sinan berkata
kepada Rasulullah ﷺ :
“Wahai Rasulullah, Engkau menolak anakku dan
mengizinkan Rafi' bin Khadij, sedangkan anakku mampu mengalahkannya.”
Rasulullah ﷺ kemudian memerintahkan,
“Bergulatlah kalian berdua!”
Samurah pun berhasil mengalahkan Rafi' dalam
gulat, dan akhirnya Rasulullah ﷺ mengizinkannya untuk
bergabung. Ibunya berasal dari suku Bani Asad.
[Baca : al-Maghazi karya al-Waqidi 1/216, Ansaab al-Asyraaf
karya al-Baladzari 1/315-316 no. 686 dan Imtaa’ al-Asmaa’ oleh Taqiyyuddin
al-Muqraizy 1/136]
**Menjelang Perang Khandak**:
Menjelang perang Khandak juga diberlakukan
syarat usia 15 tahun keatas bagi calon pasukan perang. Imam Bukhari juga
menyebutkan dalam :
(فِي
كِتَابِ الْمَغَازِي، بَابُ غَزْوَةِ الخَنْدَقِ وَهِيَ الأَحْزَابُ)
(Kitab Peperangan, Bab Perang
Khandaq, yaitu Ahzaab)
Ibnu Umar meriwayatkan :
أَنَّ النَّبِيَّ
ﷺ: «عَرَضَهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَلَمْ يُجِزْهُ،
وَعَرَضَهُ يَوْمَ الخَنْدَقِ، وَهُوَ ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَأَجَازَهُ»
“Bahwa Nabi ﷺ tidak mengizinkannya saat dia menawarkan diri untuk ikut serta dalam Perang Uhud karena ia masih berusia empat belas tahun saat itu. Tetapi Nabi ﷺ mengizinkannya dalam Perang Khandaq ketika ia berusia lima belas tahun”.
Berdasarkan hal ini :
(a) mereka yang berusia di bawah 15 tahun
tidak diizinkan ikut serta dalam Perang Uhud.
(b) dan Aisyah berpartisipasi dalam Perang
Badar dan Uhud.
Kesimpulan: Partisipasi Aisyah dalam Perang
Badar dan Uhud menunjukkan bahwa ia tidak berusia sembilan tahun, melainkan
setidaknya lima belas tahun. Bagaimanapun, para perempuan biasanya mendampingi
para laki-laki ke medan perang untuk membantu mereka, bukan menjadi beban.
Riwayat ini juga memberikan kontradiksi lain terkait usia Aisyah.
Sangat kecil kemungkinan jika Aisyah
radhiyallahu 'anha masih berusia 10 tahun, Nabi ﷺ mengizinkannya mengikuti pasukan ke medan
perang. Karenanya, berdasarkan bukti ini, Aisyah radhiyallahu 'anha
sekurang-kurangnya berusia 15 atau 16 tahun saat mulai tinggal serumah dengan
Nabi ﷺ sebagai istri pada tahun 2 Hijriyah, dengan perkawinan yang terjadi
tiga tahun sebelumnya.
**Aisyah ikut serta pula perang Tabuk**.
Pada saat perang Tabuk, perang melawan
pasukan Romawi, yang terjadi pada bulan Rajab tahun 9 hijriah, Aisyah
radhiyallahu ‘anha ikut serta pasukan kaum Muslimin bergerak menuju Tabuk. [Lihat
pula: Shahih Bukhori No. 2467].
Perang terakhir yang dipimpin oleh Nabi ﷺ. Perang Tabuk terjadi pada saat puncak-puncaknya terik matahari
di musim panas. Sehingga membuat orang-orang munafik berkata: "Janganlah
kalian keluar (pergi berperang) dalam panas terik ini". Sebagaimana yang
Allah firmankan :
﴿فَرِحَ الْمُخَلَّفُونَ بِمَقْعَدِهِمْ خِلَافَ
رَسُولِ اللَّهِ وَكَرِهُوا أَن يُجَاهِدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ وَقَالُوا لَا تَنفِرُوا فِي الْحَرِّ ۗ قُلْ نَارُ جَهَنَّمَ أَشَدُّ حَرًّا
ۚ لَّوْ كَانُوا يَفْقَهُونَ﴾
Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut
perang) itu, merasa gembira dengan tinggalnya mereka di belakang Rasulullah,
dan mereka tidak suka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah
dan mereka berkata: "Janganlah kalian berangkat (pergi berperang) dalam
panas terik ini". Katakanlah: "Api neraka jahannam itu lebih sangat
panas(nya)" jika mereka mengetahui. [QS. Tawbah: 81].
Sementara Jarak tempuh antar Madinah dan
Tabuk sekitar 800 KM.
*****
ALASAN KE DELAPAN: **KEILMUAN DAN KECERDASAN AISYAH (RA) DI ATAS KEBANYAKAN PARA SAHABAT SENIOR :**
Aisyah radhiyallahu ‘anha memiliki keilmuan Islam dan kecerdasan
yang pada masanya seorang pria dewasa pun belum tentu memilikinya .
Ada banyak hal dalam agama yang khusus untuk
perempuan, atau yang berkaitan dengan hubungan pria dengan istrinya dan
keluarganya, yang memerlukan seorang penghafal yang sadar agar dapat
menyampaikan ilmu tersebut kepada orang lain, dan itulah yang terjadi pada
dirinya, radhiyallahu 'anha.
Hal ini jelas terlihat dalam pernyataan Imam
az-Zuhri:
"لَوْ جُمعَ عِلْمُ عَائِشَةَ إِلَى عِلْمِ
جَمِيعِ أُمَّهَاتِ الْمُؤْمِنِينَ، وَعِلْمِ جَمِيعِ النِّسَاءِ لَكَانَ عِلْمُ عَائِشَةَ
أَفْضَلَ"
"Seandainya ilmu Aisyah digabungkan
dengan ilmu semua Ibu-Ibu orang beriman dan ilmu semua perempuan, maka ilmu
Aisyah akan lebih unggul." [Baca : al-Ishobah oleh Ibnu Hajar 8/233 dan
al-Manhal al-‘Adzeb al-Mawruud 1/72]
Dan Atha' bin Abi Rabah berkata:
«كَانَتْ عَائِشَةُ، أَفْقَهَ النَّاسِ وَأَعْلَمَ
النَّاسِ وَأَحْسَنَ النَّاسِ رَأْيًا فِي الْعَامَّةِ»
"Aisyah adalah orang yang paling faqih,
paling berpengetahuan, dan paling baik pendapatnya di kalangan masyarakat
umum." [Diriwayatkan oleh al-Hakim dalam al-Mustadrak 4/15 no. 7648 dan
al-Lalaka'i dalam "Aqidah Ahlus Sunnah" (2762)].
Dari Urwah :
«مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَعْلَمَ بِالْحَلَالِ
وَالْحَرَامِ وَالْعِلْمِ وَالشِّعْرِ وَالطِّبِّ مِنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ»
"Saya tidak pernah melihat seorang pun
yang lebih mengetahui tentang halal dan haram, ilmu, puisi, dan kedokteran
daripada Aisyah, Ummul Mukminin." [Diriwayatkan al-Hakim dlam al-Mutadrak
4/12 no. 6733].
Aisyah memiliki peran yang sangat penting
dalam menyampaikan banyak hukum Islam dan hadits Nabi, hingga Al-Hakim dalam
*Al-Mustadrak* berkata:
«إِنَّ رُبُعَ أَحْكَامِ الشَّرِيعَةِ نُقِلَتْ
عَنِ عَائِشَةَ»
'Seperempat hukum syariat diriwayatkan dari
Aisyah.'
Para sahabat terkemuka sering bertanya
kepadanya ketika mengalami kesulitan, sebagaimana Abu Musa Al-Asy'ari berkata :
«مَا أُشْكِلَ عَلَيْنَا أَصْحَابُ رَسُولِ اللهِ
حَدِيثٌ قَطُّ فَسَأَلْنَا عَائِشَةَ إِلَّا وَجَدْنَا عِنْدَهَا مِنْهُ عِلْمًا»
'Tidak pernah terjadi kepada kami, para
sahabat Rasulullah ﷺ, suatu hadits yang sulit,
kecuali ketika kami bertanya kepada Aisyah, kami pasti menemukan pengetahuan
tentangnya darinya.' [*Jami' At-Tirmidzi*, Kitab Ad-Da'awat, Bab Fadhilah
Aisyah radhiyallahu 'anha].
Pertanyaan-nya : di usia yang sangat dini ini, apakah mungkin ia mampu melakukan hal-hal seperti ini?
**CONTOHNYA :**
Contoh ke 1 : Dari Ibnu Syihab, bahwa Urwah
bin Zubair menceritakan kepadanya : Bahwa Aisyah berkata:
«أَلَا يُعْجِبُكَ أَبُو هُرَيْرَةَ! جَاءَ فَجَلَسَ
إِلَى جَانِبِ حُجْرَتِي، يُحَدِّثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ، يُسْمِعُنِي ذَلِكَ، وَكُنْتُ
أُسَبِّحُ، فَقَامَ قَبْلَ أَنْ أَقْضِيَ سُبْحَتِي، وَلَوْ أَدْرَكْتُهُ لَرَدَدْتُ
عَلَيْهِ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لَمْ يَكُنْ يَسْرُدُ الحَدِيثَ كَسَرْدِكُمْ»
'Tidakkah engkau heran
dengan Abu Hurairah! Ia datang lalu duduk di dekat kamarku, menyampaikan
hafalan hadits dari Rasulullah ﷺ dan membiarkan aku
mendengarnya, sedangkan aku sedang subhah (shalat Dhuha). Lalu Ia pun pergi
sebelum aku menyelesaikan shalat Dhuha-ku, dan seandainya aku sempat
menemuinya, aku akan mengingatkan: Sesungguhnya Rasulullah ﷺ tidak menyampaikan hadits seperti cara kalian menyampaikannya
(dengan cepat).'"
(Tampaknya Aisyah mengkritik Abu Hurairah
karena menyampaikan hafalan hadits dengan cepat).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata :
**مَعْنَى أُسَبِّحُ: أُصَلِّي نَافِلَةً،
وَهِيَ السُّبْحَةُ، قِيلَ الْمُرَادُ هُنَا صَلَاةُ الضُّحَى.
"Makna 'usabbihu' adalah aku
melaksanakan shalat sunnah, yaitu as-Subhah. Dan dikatakan bahwa yang dimaksud
di sini adalah shalat Dhuha”. [Lihat *Fathul Bari*, 7/390].
Ibnu Hajar berkata:
«وَاعْتُذِرَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ بِأَنَّهُ
كَانَ وَاسِعَ الرِّوَايَةِ كَثِيرَ الْمَحْفُوظِ فَكَانَ لَا يَتَمَكَّنُ مِنَ الْمَهَلِ
عِنْدَ إِرَادَةِ التَّحْدِيثِ كَمَا قَالَ بَعْضُ الْبُلَغَاءِ: أُرِيدُ أَنْ أَقْتَصِرَ
فَتَتَزَاحَمُ الْقَوَافِي عَلَى فِيَّ»
“Apa yang terjadi dengan Abu Hurairah ini
bisa dimaafkan; karena ia memiliki banyak riwayat dan hafalannya luas, sehingga
ia tidak bisa melambatkan penyampaian hafalan hadits ketika hendak menyampaikan
kepada Aisyah, sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian para ahli balaghah:
‘Aku ingin meringkasnya, tetapi berbagai syair berdesakan di lidahku.'” ["Fath
al-Bari": 7/390]
Contoh ke 2 : Pada kesempatan lain Aisyah
memuji dan membenarkan Abu Hurairah. Di antaranya adalah ketika Abdullah bin
Umar mendengar hadits dari Abu Hurairah yang berbunyi:
«مَنْ خَرَجَ مَعَ جَنَازَةٍ مِنْ بَيْتِهَا وَصَلَّى
عَلَيْهَا ثُمَّ تَبِعَهَا حَتَّى تُدْفَنَ كَانَ لَهُ قِيرَاطَانِ مِنْ أَجْرٍ، كُلُّ
قِيرَاطٍ مِثْلُ أُحُدٍ، وَمَنْ صَلَّى عَلَيْهَا ثُمَّ رَجَعَ كَانَ لَهُ مِنْ الأَجْرِ
مِثْلُ أُحُدٍ»
“Barang siapa yang keluar bersama jenazah
dari rumahnya, kemudian shalat untuknya dan mengikutinya hingga dikuburkan,
maka ia mendapatkan dua qirath pahala, setiap qirathnya sebesar gunung Uhud.
Dan barang siapa yang shalat untuk jenazah kemudian kembali, maka ia
mendapatkan pahala sebesar gunung Uhud.”
Maka Abdullah bin Umar mengirim Khabab kepada
Aisyah untuk menanyakan pendapatnya tentang ucapan Abu Hurairah. Aisyah berkata
kepada utusannya:
«صَدَقَ أبو هُرَيْرَةَ».
“Abu Hurairah benar.”
Maka Abdullah bin Umar memukul-mukul tanah
dengan kerikil di tangannya dan berkata:
«لَقَدْ فَرَّطْنَا فِي قَرَارِيطَ كَثِيرَةٍ»
“Sungguh, kita telah banyak
kehilangan qirath yang besar.”
[HR. Bukhori no. 47 dan Muslim no. 945].
Aisyah juga dikenal akan kefasihan dan
kepiawaiannya dalam berbahasa".
[Baca pula : "Thabaqat Ibnu Sa'd":
2/118, "Al-Bidayah wan Nihayah": 8/107, "Fathul-Bari"
1/225, *Al-Ijabah li Iirad ma Istadrokat Aisyah 'ala Ashhabah*, hal. 135 dan
Abdul Hamid Mahmoud Thohmaz, *Sayyidah Aisyah Ummul Mukminin dan Ilmuwan Wanita
Islam*, Damaskus, 1994, halaman 174].
Contoh ke 3 : Diriwayatkan bahwa 'A'isyah (ra) berkata:
مَنْ حَدَّثَكَ أَنَّ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى
رَبَّهُ فَقَدْ كَذَبَ وَهُوَ يَقُولُ { لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ } وَمَنْ
حَدَّثَكَ أَنَّهُ يَعْلَمُ الْغَيْبَ فَقَدْ كَذَبَ وَهُوَ يَقُولُ لَا يَعْلَمُ
الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ
"Barangsiapa menceritakan kepadamu bahwa Muhammad ﷺ melihat Tuhannya berarti ia telah dusta, karena Allah
berfirman: '(Ia tidak bisa diketahui oleh pandangan)' (Qs. Al An'am: 103). Dan
barangsiapa menceritakan kepadamu bahwa ia tahu yang ghaib, berarti ia telah
dusta, sebab Muhammad bersabda: 'Tidak ada yang tahu yang ghaib selain
Allah'." (HR. al-Bukhaari, al-Tauhid, 6832).
Riawayat lain: Dari [Masruq] dia berkata, "Ketika aku duduk
bersandar di samping [Aisyah], maka dia berkata:
'Wahai Abu Aisyah (Masruq)! Ada tiga perkara, barangsiapa yang
memperbincangkan salah satu darinya, berarti dia telah melakukan pembohongan
yang amat besar terhadap Allah.'
Aku bertanya: 'Apakah tiga perkara itu? '
Aisyah menjawab: 'Pertama, barangsiapa mengklaim bahwa Muhammad ﷺ melihat Tuhannya maka sungguh dia telah membesarkan
kebohongannya terhadap Allah.'
Aku yang duduk bersandar dari tadi, maka aku mulai duduk dengan baik,
lalu aku berkata:
'Wahai Ummul Mukminin! Berilah aku tempo, dan janganlah kamu membuatku
terburu-buru, (dengarlah kata-kataku ini terlebih dahulu), bukankah Allah telah
berfirman:
{ وَلَقَدْ رَآهُ بِالْأُفُقِ الْمُبِينِ }
'(Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang
asli) pada waktu yang lain) ' (Qs. Al Takwir: 23).
Dan Firman Allah lagi:
{ وَلَقَدْ رَآهُ نَزْلَةً أُخْرَى }
'(Dan sungguh Muhammad telah melihat 'dia' dalam bentuk rupanya yang
asal sekali lagi) ' (Qs. An Najm: 13).
Maka Aisyah menjawab:
"أَنَا أَوَّلُ هَذِهِ الْأُمَّةِ سَأَلَ عَنْ ذَلِكَ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ إِنَّمَا هُوَ جِبْرِيلُ لَمْ
أَرَهُ عَلَى صُورَتِهِ الَّتِي خُلِقَ عَلَيْهَا غَيْرَ هَاتَيْنِ الْمَرَّتَيْنِ
رَأَيْتُهُ مُنْهَبِطًا مِنْ السَّمَاءِ سَادًّا عِظَمُ خَلْقِهِ مَا بَيْنَ
السَّمَاءِ إِلَى الْأَرْضِ ".
'Aku adalah orang yang pertama bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai perkara ini dari kalangan umat ini. Beliau ﷺ telah menjawab dengan bersabda:
"Yang
dimaksud 'dia' dalam ayat itu adalah Jibril (bukan Allah), aku tidak pernah
melihat Jibril dalam bentuk asalnya kecuali dua kali saja, yaitu semasa dia
turun dari langit dalam keadaan yang terlalu besar sehingga memenuhi di antara
lagit dan bumi.'
Kemudian Aisyah
berkata lagi:
أَوَ لَمْ تَسْمَعْ أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ { لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ
وَهُوَ يُدْرِكُ الْأَبْصَارَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ } أَوَ لَمْ تَسْمَعْ
أَنَّ اللَّهَ يَقُولُ {وَمَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُكَلِّمَهُ اللَّهُ إِلَّا
وَحْيًا أَوْ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ أَوْ يُرْسِلَ رَسُولًا فَيُوحِيَ بِإِذْنِهِ
مَا يَشَاءُ إِنَّهُ عَلِيٌّ حَكِيمٌ }
'Apakah kamu tidak pernah mendengar bahwa Allah:
'(Dia
tidak dapat dilihat oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat dan
mengetahui hakikat segala penglihatan mata, dan Dialah Yang Maha Bersifat Lemah
Lembut lagi Maha Mendalam pengetahuannya) ' (Qs. Al An'am: 103).
Atau, apakah kamu tidak pernah mendengar firman Allah:
'(Dan tidaklah layak bagi seorang
manusia, bahwa Allah mengajaknya berbicara kecuali berupa wahyu (dengan diberi
mimpi) atau dari balik dinding (dengan mendengar suara saja) atau dengan
mengutuskan utusan (Malaikat), lalu utusan itu menyampaikan wahyu kepadanya
dengan izin Allah sesuatu yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi,
lagi Maha Bijaksana) '. (Qs. Asy Syura: 51).….. dst. [HR. Muslim No. 259].
Contoh ke 4 : Dari Abu Salamah bin Abdurrahman:
أَنَّ عَائِشَةَ لَمَّا تُوُفِّىَ سَعْدُ بْنُ أَبِى وَقَّاصٍ قَالَتِ
ادْخُلُوا بِهِ الْمَسْجِدَ حَتَّى أُصَلِّىَ عَلَيْهِ. فَأُنْكِرَ ذَلِكَ
عَلَيْهَا فَقَالَتْ وَاللَّهِ لَقَدْ صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- عَلَى ابْنَىْ بَيْضَاءَ فِى الْمَسْجِدِ سُهَيْلٍ وَأَخِيهِ. قَالَ
مُسْلِمٌ: سُهَيْلُ بْنُ دَعْدٍ وَهُوَ ابْنُ الْبَيْضَاءِ أُمُّهُ بَيْضَاءُ.
Bahwa ketika Sa’d bin Abu Waqash meninggal, Aisyah berkata: “Masukkanlah
ia ke dalam masjid hingga aku bisa menshalatkannya”.
Namun mereka tidak menyetujuinya, maka ia 'Aisyah (ra) pun berkata:
“Demi Allah, sungguh Rasulullah ﷺ telah menshalatkan jenazah dua orang putra Baidla` di dalam masjid, yaitu Suhail dan saudaranya.” Muslim berkata; “Suhail bin Da’d adalah Ibnul Baidla`, dan ibunya adalah Baidla". (HR Muslim no. 1617).
ORANG YANG PALING DI CINTAI RASULULLAH ﷺ :
Dari ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhu:
أنَّ النَّبيَّ ﷺ بَعَثَهُ علَى جَيْشِ ذَاتِ السَّلَاسِلِ، فأتَيْتُهُ فَقُلتُ: أيُّ النَّاسِ أحَبُّ إلَيْكَ؟ قَالَ: عَائِشَةُ، فَقُلتُ: مِنَ الرِّجَالِ؟ فَقَالَ: أبُوهَا، قُلتُ: ثُمَّ مَنْ؟ قَالَ: ثُمَّ عُمَرُ بنُ الخَطَّابِ، فَعَدَّ رِجَالًا.
Bahwa Nabi ﷺ mengutusnya pada pasukan yang disebut dengan "Jais Dzatu as-Salasil." Kemudian aku datang kepadanya dan bertanya, "Siapa orang yang paling kau cintai?"
Beliau menjawab, "Aisyah."
Aku bertanya, "Dan siapa di antara laki-laki?" Beliau menjawab, "Ayahnya."
Aku bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau menjawab, "Kemudian Umar bin Khattab."
Lalu beliau menyebutkan beberapa orang laki-laki lainnya. [HR. Bukhori no. 3662]
Inilah Siti Aisyah radhiyallahu 'anha, istri tercinta Nabi ﷺ dan orang yang paling dicintainya. Pernikahannya dengan Aisyah bukan semata-mata karena nafsu, dan motivasi pernikahan itu bukanlah sekadar kenikmatan pasangan, melainkan tujuannya adalah untuk menghormati Abu Bakar, mengutamakannya, mendekatkannya, dan menempatkan putrinya di posisi terhormat di rumah kenabian.
Aisyah radhiyallahu 'anha berada pada usia di mana seseorang memiliki pikiran yang lebih tenang dan lebih siap untuk menerima ilmu. Para istri Rasulullah ﷺ kebanyakan lebih tua, dan tidak diragukan lagi bahwa belajar di usia dini ibarat mengukir di atas batu.
Dari Abu Musa radliallahu 'anhu berkata; Rasulullah ﷺ bersabda:
وَإِنَّ فَضْلَ عَائِشَةَ عَلَى النِّسَاءِ كَفَضْلِ الثَّرِيدِ عَلَى سَائِرِ الطَّعَامِ
Keistimewaan 'Aisyah radliallahu 'anhu dibandingkan wanita-wanita lain adalah bagaikan keistimewaan makanan "tsarid" terhadap makanan yang lain". [HR. Bukhori no. 3159]
(Tsarid adalah sejenis makanan yang terbuat dari daging dan roti yang dibuat bubur dan berkuah).
*****
ALASAN KE SEMBILAN : SAAT ITU AISYAH (RA) ADALAH GADIS REMAJA, BUKAN BOCIL.
Menurut sebuah riwayat dari Ahmad bin Hanbal,
ketika Khadijah telah wafat, Khawlah datang kepada Nabi ﷺ dan menyarankannya untuk menikah lagi. Ketika Nabi ﷺ menanyakan siapa yang ia usulkan sebagai calon istri, Khawlah
menjawab :
إِنْ شِئْتَ بِكْرًا،
وَإِنْ شِئْتَ ثَيِّبًا؟
قَالَ: " فَمَنِ
الْبِكْرُ؟ " قَالَتْ: ابْنَةُ أَحَبِّ خَلْقِ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْكَ عَائِشَةُ
بِنْتُ أَبِي بَكْرٍ،
قَالَ: " وَمَنِ
الثَّيِّبُ؟ " قَالَتْ: سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ
"Jika engkau mau, (aku usulkan) seorang
gadis, dan jika engkau mau, seorang janda."
Nabi ﷺ bertanya, "Siapakah
gadis itu?"
Khawlah menjawab : "Putri dari orang
yang paling engkau cintai di antara makhluk Allah, yaitu Aisyah binti Abu
Bakar."
Beliau bertanya lagi, "Dan siapakah
janda itu?" Khawlah menjawab, "Saudah binti Zam'ah."
[HR. Ahmad 42/501 no. 25769. Di nilai hasan
oleh Syu’aib al-Arna’uth].
Semua orang yang memahami bahasa Arab tahu
bahwa kata "bikr" tidak digunakan untuk anak perempuan berusia sembilan
tahun; istilah yang tepat untuk usia tersebut adalah "jariyah."
Sementara itu, kata "bikr" merujuk pada seorang perempuan muda atau
gadis remaja yang belum pernah menikah sebelumnya, mirip dengan pengertian
"virgin" dalam bahasa Inggris. Oleh karena itu, anak berusia sembilan
tahun bukanlah gadis yang bisa disebut "bikr" (*Musnad Ahmad bin
Hanbal*, 42/501 no. 25769).
Kesimpulan: Makna harfiah dari kata
"bikr" dalam hadits tersebut adalah :
"اِمْرَأَةٌ بَالِغَةٌ لَيْسَتْ لَهَا تَجْرِبَةٌ
جِنْسِيَّةٌ قَبْلَ الزَّوَاجِ"
"seorang perempuan dewasa yang belum
memiliki pengalaman seksual sebelum pernikahan."
Maka, Aisyah adalah perempuan dewasa pada
hari pernikahannya.
Baca artikel هَلْ
تَزَوَّجَتْ عَائِشَةُ أُمُّ الْمُؤْمِنِينَ وَهِيَ بِنْتُ السَّادِسَةِ؟ karya T.A. Shanavas,
diterjemahkan ke bahasa Arab oleh Dr. Khalid As-Saaqi
****
**ALASAN KE SEPULUH : TIDAK ADA SAHABAT
YANG MENAWARKAN ANAK PEREMPUAN DIBAWAH UMUR KEPADA NABI ﷺ:
Jika benar Rasulullah ﷺ menikahi Aisyah radhiyallahu 'anha di usia 6 tahun, lalu kenapa setelah
itu tidak pernah ada seorang sahabat pun yang menawarkan anaknya yang dibawah
umur kepada Nabi untuk dinikahinya . Pada kenyataannya para sahabat yang
memiliki anak perempuan, mereka membiarkannya tumbuh dewasa, setelah itu mereka
menikahkannya dengan siapapun karena menunggu hingga mereka benar-benar yakin
bahwa Rasulullah ﷺ tidak menunjukkan keinginan
untuk menikahi anak gadis mereka.
Ini menunjukkan bahwa pernikahan beliau ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu 'anha bukan diusia kanak-kanak,
melainkan setelah benar-benar dewasa.
Al-Imam al-Baihaqi dalam kitabnya “شُعَبُ الإِيمَانِ” No. 1446 meriwayatkan
dengan sanadnya dari dari Abu Barzah al-Aslamii radhiyallahu ‘anhu, dia berkata
:
كَانَ أَصْحَابُ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ لِأَحَدِهِمْ أَيِّمٌ لَمْ
يُزَوِّجْهَا حَتَّى يَعْلَمَ أَلِرَسُولِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيهَا
حَاجَةٌ أَمْ لَا؟.
“Dulu para sahabat Nabi ﷺ jika salah satu diantara mereka memiliki anak perempuan dewasa,
tidak akan menikahkannya sampai dia tahu betul apakah Nabi ﷺ menginginkannya atau tidak?”.
[HR. Al-Baihaqi dalam “شُعَبُ الإِيمَانِ”no. 1446. Hadits ini di riwayatkan
pula oleh : Imam Ahmad no. 19417 , 19423 & 19446 , Imam Muslim no. 2472 ,
Ibnu Hibbaan No. 4111 , an-Nasaa’i dalam “السُّنَنُ
الكُبْرَى” no.
7016 , ath-Thoyaalisi dalam al-Musnad no. 955 , Ibnu Abi ‘Aaashim dalam “الأٓحَادُ وَالمَثَانِي” no. 2088 , al-Bazzaar No. 3254 &
3267 , al-Baihaqi dalam “السُّنَنُ الكُبْرَى”
no. 6463 , Abu Nu’aim al-Ashbahaani dalam “مَعْرِفَةُ
الصَّحَابَةِ” no.
1602 , Ar-Ruuyaani dalam Musnadnya no. 1300 dan al-Haafidz Ibnu Hajar dalam "المطَالبُ العَالية" No. 1627]
Hadits ini di Shahihkan oleh Syeikh
al-Albaani dalam “أَحْكَامُ الجَنَائِزِ” hal. 73 .
Dan Syu’aib al-Arna’uuth berkata dalam “تَعْلِيقُ
شُعَبِ الإِيمَانِ” :
إِسْنَادُهُ صَحِيحٌ
إِبْرَاهِيمُ بْنُ الحَجَّاجِ: ثِقَةٌ رَوَى لَهُ النَّسَائِيُّ، وَبَاقِي رِجَالِهِ
عَلَى شَرْطِ مُسْلِمٍ.
“ Sanadnya Shahih . Ibrahim bin
al-Hajjaaj itu Tsiqoh , dan sisa para perawinya sesuai dengan syarat Imam
Muslim “.
Makna “al-Aimu”:
الْأَيْمٌ: قَدْ
تُطْلَقُ الأَيْمُ عَلَى كُلِّ امْرَأَةٍ لَا زَوْجَ لَهَا بَكْرًا كَانَتْ أَمْ ثَيِّبًا.
"al-Aim": Istilah "aim" dapat digunakan untuk **setiap wanita yang tidak memiliki suami, baik dia seorang perawan maupun janda**.
---
Dan apa arti kata "aim" dan
"ayaamaa"? Kepada siapa perintah dalam firman Allah Ta'ala :
"وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ"
"Dan nikahkanlah orang-orang yang masih
single di antara kalian" [an-Nur : 32] ditujukan?
Jawabnya :
إِنَّ مَعْنَى كَلِمَةِ
"أَيِّمٍ" هُوَ "عَزَبٌ" رَجُلًا كَانَ أَمْ امْرَأَةً، سَوَاءٌ
تَزَوَّجَ مِنْ قَبْلُ أَمْ لَمْ يَتَزَوَّجْ، يُقَالُ رَجُلٌ أَيِّمٌ أَي لَا لَهُ
زَوْجٌ، وَامْرَأَةٌ أَيِّمٌ أَي لَا لَهَا زَوْجٌ، بَكْرًا كَانَتْ أَمْ ثَيِّبًا،
وَالْجَمْعُ "أَيَامَىٰ"
وَمِنْهُ قَوْلُهُ
تَعَالَى "وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ"
أَي الَّذِينَ لَا
أَزْوَاجَ لَهُمْ مِنَ الْجِنْسَيْنِ يَجِبُ تَزْوِيجُهُمْ وَيَتَعَيَّنُ إِعَانَةُ
الرَّاغِبِينَ مِنْهُمْ فِي الزَّوَاجِ، وَالْأَمْرُ هُنَا لِلْجَمَاعَةِ الْمُسْلِمَةِ.
Makna kata "aim" adalah
"jomblo", baik pria maupun wanita, apakah mereka sudah pernah menikah
sebelumnya atau belum. Dikatakan seorang pria adalah "aim" jika ia
tidak memiliki istri, dan seorang wanita adalah "aim" jika ia tidak
memiliki suami, baik itu seorang perawan maupun seorang janda. Jamaknya adalah
"ayami".
Dan dari firman-Nya Ta'ala "Dan nikahkanlah
orang-orang yang masih single di antara kalian," yang dimaksud adalah
mereka yang tidak memiliki pasangan dari kedua jenis kelamin, yang mana mereka
harus dinikahkan dan dibantu untuk menikah, dan perintah ini ditujukan kepada
komunitas Muslim.
**ALASAN KE SEBELAS : AL-QUR’AN ADALAH KITAB PETUNJUK DAN HIDAYAH**
Kaum Muslimin sepakat bahwa Al-Qur'an adalah
kitab petunjuk dan hidayah, sehingga kita harus mengambil petunjuk darinya
untuk menghilangkan kerancuan yang ditimbulkan oleh pandangan ulama klasik
terkait usia pernikahan Aisyah. Apakah hingga harus mengatakan bahwa Al-Qur'an
mengizinkan pernikahan dengan anak perempuan di usia tujuh tahun?
Tidak ada satu ayat pun yang membolehkan
pernikahan seperti itu. Bahkan, ada ayat yang menunjukkan cara membina anak
yatim, yang juga bisa menjadi panduan dalam mendidik anak-anak kita. Ayat
tersebut berbunyi:
﴿ وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ
الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا ﴾
“Dan janganlah kalian serahkan kepada
orang-orang yang belum sempurna akalnya harta (mereka yang ada dalam kekuasaan
kalian) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan...” (An-Nisa': 5-6).
Jika ayah dari seorang anak yatim meninggal,
maka seorang Muslim memiliki kewajiban untuk: 1) memberi makan anak yatim, 2)
memberinya pakaian, 3) mendidiknya, dan 4) mengujinya “hingga betul-betul
terbukti kecerdasan akalnya dan kedewasaannya.”
Allah SWT berfirman :
﴿وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا
النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُم مِّنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ
ۖ وَلَا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَن يَكْبَرُوا ۚ وَمَن كَانَ غَنِيًّا
فَلْيَسْتَعْفِفْ ۖ وَمَن كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ ۚ فَإِذَا دَفَعْتُمْ
إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ حَسِيبًا﴾
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup
umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai
memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah
kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu)
tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu
menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka
hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan
cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu). [QS. Nisa: 6]
Ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an memerintahkan
kita untuk memastikan kemampuan mental dan fisik anak yatim melalui ujian yang
obyektif sebelum usia dewasa agar ia mampu mengelola hartanya sendiri.
Berdasarkan ayat ini, tidak mungkin seorang
Muslim yang bertanggung jawab akan mempercayakan anak usia tujuh atau sembilan
tahun untuk mengelola harta. Jika seorang anak pada usia tersebut belum mampu
mengurus hartanya, bagaimana mungkin ia diharapkan memiliki kemampuan mental
dan fisik untuk menikah?
Ahmad bin Hanbal dalam *Musnad* (6/ 33 dan
99), menyebutkan : “bahwa Aisyah lebih tertarik bermain daripada mengurusi
urusan pernikahan”, sehingga sulit membayangkan Rasulullah ﷺ menikahinya saat ia berusia 6 tahun dan Rasulullah ﷺ berusia 50 tahun. Sulit pula membayangkan Rasulullah ﷺ mau menikahi seorang anak berusia 6 tahun.
Seorang wali juga memiliki kewajiban untuk
mendidik anak-anaknya. Kita bisa bertanya, "Berapa banyak dari kita yang
berpikir bahwa bisa menyelesaikan pendidikan anak sebelum usia 7 atau 9
tahun?"
Jawabannya adalah “Tidak ada.”
Secara logis, mustahil mendidik anak sepenuhnya sebelum usia 7 tahun. Maka,
bagaimana kita bisa percaya bahwa pendidikan Aisyah telah selesai di usia yang
diklaim saat pernikahannya?
Abu Bakar adalah seorang yang sangat
bijaksana. Maka, tidak diragukan lagi ia tidak akan menikahkan Aisyah kepada
siapa pun sebelum ia mencapai tingkat pendidikan yang ditetapkan oleh
Al-Qur'an. Seandainya Rasulullah ﷺ atau Abu Bakar ditawari
untuk menikahi seorang gadis yang belum cukup dalam pendidikannya, mereka akan
menolak tanpa ragu karena mereka tidak akan menentang ketentuan Al-Qur'an.
**Kesimpulan:**
Menikahkan Aisyah pada usia 6 tahun bertentangan
dengan hukum kedewasaan yang disebutkan dalam Al-Qur'an. Maka dari itu,
pernikahan Aisyah pada usia tujuh tahun hanyalah sebuah mitos.
*****
**ALASAN KE DUA BELAS : PERSETUJUAN DARI CALON ISTRI DALAM PERNIKAHAN:**
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah bersabda :
«لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتَأْمَرَ
وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ»
"Tidak boleh menikahkan seorang janda
sampai ia dimintai persetujuan, dan tidak boleh menikahkan seorang gadis sampai
ia dimintai izin." [Muttafaqun ‘alaihi].
"Dan dari Khansa binti Khidham
radhiyallahu ‘anha :
أَنْ أَبَاهَا زَوَّجَهَا
وَهِيَ ثَيِّبٌ فَكَرِهَتْ ذَلِكَ فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَرَدَّ نِكَاحَهَا
“Bahwa ayahnya menikahkannya, sedangkan ia
adalah seorang janda, namun ia tidak menyukai pernikahan itu. Maka ia
mendatangi Rasulullah ﷺ, lalu beliau membatalkan
pernikahannya." [HR. Bukhori no. 5138]
Dari sudut pandang Islam, persetujuan yang
jelas dari pihak perempuan adalah syarat sahnya sebuah pernikahan. Dalam
pandangan siapa pun, izin seorang anak berusia 6 tahun sama sekali tidak layak
dianggap sebagai persetujuan yang sah untuk menikah.
Sulit pula dibayangkan bahwa Abu Bakar,
seorang yang bijak, akan menganggap serius izin dari anak perempuannya yang
masih berusia 6 tahun untuk menikah dengan seorang pria berusia 50 tahun. Juga,
tidak mungkin Rasulullah ﷺ akan menerima izin dari
seorang anak yang, sebagaimana disebutkan dalam hadits Muslim, masih membawa
mainannya saat hendak tinggal bersama Rasulullah ﷺ di rumahnya.
**Kesimpulan:**
Rasulullah ﷺ tidak menikahi Aisyah pada
usia 6 tahun, karena hal itu bertentangan dengan ketentuan izin dalam hukum
Islam tentang pernikahan. Rasulullah ﷺ menikahi Aisyah ketika ia
sudah dewasa, baik secara mental maupun fisik.
**RINGKASAN:**
Tidak lazim bagi orang Arab untuk menikahkan
anak perempuan mereka pada usia 6 tahun, dan Rasulullah ﷺ juga tidak menikahi Aisyah pada usia tersebut. Orang-orang di
Jazirah Arab tidak pernah memprotes pernikahan tersebut karena pernikahan
seperti yang disebutkan dalam riwayat tidak pernah terjadi.
Riwayat dari Hisyam bin Urwah tentang
pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun tidak dapat dianggap benar, mengingat
terdapat sejumlah riwayat yang bertentangan. Selain itu, tidak ada alasan sama
sekali untuk menerima riwayat Hisyam bin Urwah saat sejumlah ulama, seperti
Malik bin Anas, menolak riwayat-riwayatnya ketika ia berada di Irak.
Pendapat ath-Thabari, al-Bukhari, dan Muslim
pun saling bertentangan dalam hal usia Aisyah. Bahkan beberapa ulama tersebut
memiliki kontradiksi dalam riwayat mereka sendiri.
Dengan demikian, riwayat tentang usia Aisyah
saat menikah tidak dapat dianggap sahih karena adanya kontradiksi dalam riwayat
yang ditemukan di kalangan ulama Islam terdahulu. Oleh karena itu, tidak ada
alasan sama sekali untuk mempercayai pernikahan Aisyah pada usia dini dan masih
bocil, sementara ada alasan yang masuk akal untuk menolaknya sebagai mitos.
Selain itu, Al-Qur'an melarang pernikahan anak perempuan dan laki-laki yang
belum dewasa serta melarang membebani mereka dengan tanggung jawab.
Wallaahu a’lam.
*****
PARA ULAMA KONTEMPORER YANG MENYATAKAN : DI USIA 16 TAHUN, AISYAH (RA) MENIKAH.
Di sini saya akan menyebutkan baberapa
artikel dari beberapa ulama yang meragukkan bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
menikah di usia 6 tahun, lalu dari hasil penelitiannya mereka menetapkan
usianya diatas 15 tahun saat menikah dengan Rasulullah ﷺ.
=====
PERTAMA : PROF. DR. MUHAMMAD AL-ADHAMI.
Profesor Dr. Muhammad Mudhafar Al-Adhami,
Ketua Komite Kebudayaan, Media, dan Seni Forum Irak untuk Elite dan
Profesional.:
عَائِشَةُ هِيَ
بِنْتُ الْخَلِيفَةِ الْأَوَّلِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ التَّيْمِيَّةِ الْقُرَشِيَّةِ،
ثَالِثُ زَوْجَاتِ النَّبِيِّ مُحَمَّدٍ ﷺ. وَقَدْ تَزَوَّجَهَا بَعْدَ غَزْوَةِ بَدْرٍ
فِي شَوَّالَ سَنَةِ 2 هـ وَكَانَ عُمْرُهَا سِتَّةَ عَشَرَ عَامًا.
إنَّ الْأَبْحَاثَ
الْمُعَاصِرَةَ تُشَكِّكُ فِي صِحَّةِ مَا قِيلَ عَنْ تَارِيخِ مَوْلِدِ عَائِشَةَ،
وَذَلِكَ اسْتِنَادًا إِلَى عُمُرِ أُخْتِهَا أَسْمَاءَ الَّتِي كَانَتْ تَكْبُرُهَا
بِبِضْعَ عَشَرَةَ سَنَةً، وَقَدْ مَاتَتْ أَسْمَاءُ سَنَةَ 73 هـ، عَنْ عُمْرٍ نَاهَزَ
مِئَةَ سَنَةٍ، وَيَقُولُ ابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلَانِيُّ أَنَّ أَبَا نُعَيْمٍ الْأَصْبَهَانِيَّ
قَالَ بِأَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ وُلِدَتْ قَبْلَ الْهِجْرَةِ بِسَبْعٍ
وَعِشْرِينَ سَنَةً، وَ(البِضْعُ) فِي اللُّغَةِ تَصِلُ إِلَى التِّسْعَةِ فِي التَّعْدَادِ،
فَيَكُونُ عُمْرُ عَائِشَةَ وَقْتَ زَوَاجِهَا بِالنَّبِيِّ مُحَمَّدٍ ﷺ سِتَّةَ عَشَرَ
سَنَةً.
Aisyah adalah putri khalifah pertama, Abu
Bakar Ash-Shiddiq At-Taimiyyah Al-Qurasyiyah, istri ketiga Nabi Muhammad ﷺ. Beliau menikahinya setelah Perang Badar pada bulan Syawal
tahun 2 H, saat usianya enam belas tahun.
Penelitian kontemporer meragukan keakuratan
informasi mengenai tanggal lahir Aisyah, berdasarkan usia kakaknya, Asma, yang
lebih tua darinya dengan belasan tahun. Asma meninggal pada tahun 73 H, dengan
usia hampir seratus tahun. Ibnu Hajar Al-Asqalani mengatakan bahwa Abu Nu'aim
Al-Ashbahani menyatakan bahwa Asma binti Abu Bakar lahir tujuh puluh tahun
sebelum hijrah. Dalam bahasa, (bidh'u) dapat berarti sampai sembilan dalam
hitungan. Maka, usia Aisyah saat menikah dengan Nabi Muhammad ﷺ adalah enam belas tahun.
====
KEDUA : DR. SUHAILA HAMMAD :
Surat kabar *Asy-Syarq Al-Awsath* yang
berbasis di London memposting berita pada hari Sabtu, 6 September 2008, bahwa
seorang peneliti dan sejarawan wanita asal Saudi Arabia sedang meneliti
kebenaran informasi yang menunjukkan bahwa Rasulullah -ﷺ- tidak menikahi Aisyah
ketika beliau masih berusia sembilan tahun.
Anggota Komite Studi dan Konsultasi di
Asosiasi Nasional Hak Asasi Manusia, Dr. Suhaila Zainal Abidin Hammad,
mengatakan :
“Sesungguhnya logika dan perhitungan bijak
umur Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq, dibandingkan dengan usia kakaknya,
Asma, yang lebih tua sepuluh tahun darinya, serta perbandingan sejumlah
peristiwa dan waktu hijrahnya Rasulullah -ﷺ-, cenderung menunjukkan
bahwa pernikahan Aisyah terjadi ketika dia berusia sembilan belas tahun”.
Dr. Suhaila Hammad menegaskan bahwa dirinya
sedang dalam proses untuk memverifikasi hal tersebut dan berusaha menghasilkan
temuan yang terdokumentasi, mengingat dia adalah seorang sejarawan dan peneliti
dalam bidang keislaman.
Selain itu, Dr. Suhaila Hammad, yang juga
anggota Persatuan Ulama Muslim Internasional, menunjukkan bahwa terlepas dari
pendapat mengenai pernikahan Rasulullah -ﷺ- dengan Aisyah ketika beliau
masih kecil atau pandangan yang menentangnya, penting untuk mempertimbangkan
perubahan kondisi zaman, serta perbedaan standar pernikahan dan respons
terhadap keinginan manusia di berbagai era.
Dia berkata :
“Saya
mencoba berpikir dengan keras untuk menelusuri usia Ummul Mukminin Aisyah,
rahimahallah, melalui pendekatan sejarah yang terlepas dari kabut sejarah yang
dipenuhi oleh orang-orang tanpa akal yang menyebarkan klaim bahwa Nabi, ketika
berusia 25 tahun, menikah dengan seseorang yang lebih tua 15 tahun darinya, dan
ketika beliau berusia 53 tahun, menikahi seseorang yang 44 tahun lebih muda
darinya”.
**Tentang orang-orang yang meminang Aisyah:**
Para sejarawan menyebut bahwa Aisyah
sebelumnya telah dilamar oleh (Jubair bin) Muth’im bin Adiy sebelum dilamar
oleh Rasulullah.
Pertanyaan yang muncul sekarang adalah: Kapan
(Muth’im bin ) Adiy melamar Aisyah untuk putranya, (Jubair bin) Muth’im?
Sumber-sumber sejarah tidak memberikan keterangan!”
**Tentang pinangan terhadap Aisyah:**
Kemungkinan pertama : adalah bahwa ia dilamar
setelah masa kenabian.
Namun hal ini dianggap tidak mungkin
mengingat permusuhan yang sangat kuat dari kaum kafir terhadap risalah Islam
yang dibawa oleh Nabi Muhammad, terutama mengingat bahwa Aisyah adalah putri
Abu Bakar, sahabat dekat Rasulullah dan salah satu orang pertama yang menerima
Islam. Jadi, kemungkinan besar Adiy tidak akan melamar Aisyah untuk putranya
setelah Abu Bakar memeluk Islam.
Kemungkinan kedua : adalah bahwa ia dilamar
sebelum masa kenabian.
Ini merupakan kemungkinan yang lebih kuat.
Namun, ini menimbulkan pertanyaan penting:
Berapa usia Aisyah saat itu sebelum kenabian?
Setahun? Dua tahun? Lima? Sepuluh?
Sejarah tetap diam, seperti sebelumnya”.
**Maka, mari kita beralih ke beberapa
hipotesis: Tentang Aisyah saat dilamar:**
- Hipotesis pertama:
(Muth’im bin) Adiy melamar Aisyah untuk
putranya, (Jubair bin) Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah
sekitar 15 tahun. Berdasarkan hipotesis ini, maka usia Aisyah ketika menikah
dengan Rasulullah adalah 28 tahun, mengingat Nabi menikahinya setelah hijrah ke
Yatsrib dan beliau tinggal di Mekah selama 13 tahun dalam periode dakwah
sebelum hijrah.
- Hipotesis kedua:
[Muth’im bin] Adiy melamar Aisyah untuk
putranya, [Jubair bin] Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah
sekitar 10 tahun. Berdasarkan hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan
Rasulullah adalah 23 tahun.
- Hipotesis ketiga:
[Muth’im bin] Adiy melamar Aisyah untuk
putranya, [Jubair bin] Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah sekitar
5 tahun. Berdasarkan hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan
Rasulullah adalah 18 tahun.
- Hipotesis keempat:
[Muth’im bin] Adiy melamar Aisyah untuk
putranya, [Jubair bin] Muth’im, sebelum masa kenabian ketika usia Aisyah baru 1
tahun saja - meskipun ini tentu saja tidak mungkin, namun mari kita anggap
demikian-, maka berdasarkan hipotesis ini, usia Aisyah ketika menikah dengan
Rasulullah adalah 14 tahun, yang berarti 5 tahun lebih tua dari usia yang
banyak disebutkan”.
**Kedua:**
Menurut saya, Rasulullah tidak akan menikahi
seorang gadis yang usianya sama dengan atau lebih muda dari putrinya. Jika kita
mengetahui bahwa Fathimah, 'alaihas-salam, lahir lima tahun sebelum masa
kenabian, maka kita tahu bahwa usianya setelah hijrah menjadi 18 tahun. Oleh
karena itu, saya lebih cenderung berpendapat bahwa usia Aisyah lebih tua dari Fathimah,
dan saya lebih memilih salah satu dari dua hipotesis: pertama, 28 tahun, atau
kedua, 23 tahun. Dia lebih tua 10 tahun dari saudara perempuannya, Asma binti
Abu Bakar.
Dengan demikian, usia Aisyah sebelum masa
kenabian diperkirakan setidaknya sekitar lima tahun. Kemungkinan besar,
pernyataan dalam riwayat yang mengatakan bahwa dia berusia enam tahun ketika
dilamar oleh Rasulullah adalah kesalahan dari perawi. Mungkin yang dimaksud
adalah dia berusia enam tahun ketika Nabi diutus sebagai rasul. Jika kita
menambahkan usia Aisyah sekitar 5-6 tahun pada saat kenabian dengan 13 tahun
periode dakwah di Mekah, maka hasilnya adalah 18-19 tahun, yang merupakan usianya
di Madinah setelah hijrah. Karena Fathimah berusia 18 tahun pada saat itu, kita
dapat mengatakan bahwa usia perkiraan Aisyah saat menikah tidak kurang dari 19
tahun, yang merupakan usia minimumnya berdasarkan analisis dari sumber-sumber
yang ada”.
Sebagian para ulama kadang-kadang mengatakan:
"Berkenaan dengan hal ini, saya selalu
menyatakan bahwa para pengumpul hadits adalah ilmuwan yang cerdas, tulus, dan
sangat mencintai agama serta Nabi mereka.
Namun, ini tidak berarti bahwa mereka
terhindar dari kesalahan, kelupaan, dan kekeliruan. Mereka memang cerdas,
tetapi mereka tetap manusia biasa. Saya juga mengatakan bahwa mereka mirip
dengan para nelayan yang melemparkan jaring mereka ke laut untuk menangkap
ikan, namun jaring tersebut, meskipun sekuat apa pun, mungkin masih dapat
menyisakan beberapa ikan kecil seperti basaraya.
Namun, ini tidak berarti kita harus menyerang
buku-buku hadits dan para penulisnya serta meragukan mereka secara keseluruhan,
sebagaimana yang diinginkan oleh beberapa orang yang ingin merusak. Jika kita
melakukan itu, kita akan memenuhi keinginan mereka dan menghancurkan bagian
berharga dan penting dari warisan kita yang tidak bisa dipisahkan dari
kehidupan ilmiah dan religius kita.
Perlu dicatat : bahwa jurnalis muda yang
memperhatikan apa yang dia anggap sebagai kesalahan dalam beberapa kitab hadits
telah menggunakan buku-buku tersebut dalam penyelidikannya, yang menunjukkan
betapa pentingnya kitab-kitab tersebut dan nilainya yang tak ternilai.
Keyakinan pada kemaksuman para perawi hadits
adalah setara dengan menempatkan mereka pada posisi kenabian, yang tidak
dibenarkan. Meskipun kitab-kitab mereka menunjukkan usaha, kesungguhan, dan
ketelitian yang besar, mereka tetap tidak dapat dibandingkan dengan Al-Qur'an
yang mulia ([1])."
====
KETIGA : DR. SYAUQI :
Dalam bukunya *Muhammad Khatam al-Mursalin*,
Dr. Shauqi Dhaif menulis bahwa ketika Nabi menikahi Aisyah, usianya adalah 18
atau 20 tahun, berdasarkan beberapa bukti yang juga digunakan oleh jurnalis
muda kita (lihat hal. 171 dari cetakan Dar al-Ma'arif). Sedangkan Abbas
al-Aqqad memperkirakan usianya saat itu antara 12 hingga 15 tahun (lihat
bukunya *Al-Siddiqah Bint Al-Siddiq*, Nahdat Misr, 2004, hal. 48).
Bagaimanapun juga, perilaku Aisyah di rumah
Nabi, menurut berbagai riwayat yang ada, menunjukkan bahwa dia adalah seorang
istri yang benar-benar dewasa, bukan gadis muda yang tidak tahu di rumah siapa
dia tinggal atau dengan siapa dia menikah. Selain itu, Aisyah sangat bahagia
dengan pernikahannya dengan Nabi ﷺ, menganggapnya sebagai suatu
kehormatan besar. Dia mencintai Nabi ﷺ dengan sangat mendalam dan
sangat cemburu kepadanya. Ada banyak hadits yang menggambarkan betapa besar
cinta dan kecemburuannya, yang menunjukkan betapa mendalamnya cinta itu
tertanam dalam dirinya.
Ketika Nabi ﷺ menawarkan kepadanya pilihan untuk tetap
bersamanya dalam kehidupan sederhana atau kembali ke rumah orang tuanya, dan
memintanya untuk berkonsultasi dengan keluarganya, Aisyah dengan tegas menolak
opsi itu, seperti yang kita semua ketahui. Selain itu, Aisyah dan istri-istri
Nabi lainnya dengan sukarela, penuh iman, cinta, dan penghormatan, mematuhi
perintah Al-Qur'an yang melarang mereka menikah lagi setelah wafatnya Nabi ﷺ.
Lalu, apa tujuan dari memunculkan keraguan
terhadap pernikahan yang dilandasi cinta dan kebahagiaan ini?
**Keraguan Mengenai Usia Pernikahan Sayyidah Aisyah:**
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bahwa
Aisyah sudah dilamar oleh seorang pria dari Mekah sebelum Nabi ﷺ melamarnya, yang menunjukkan bahwa pada saat itu dia sudah
berada pada usia yang dianggap layak untuk dilamar dan dinikahi, setidaknya
menurut standar masyarakat Mekah saat itu. Mengapa para misionaris yang bodoh
itu tidak meragukan lamaran tersebut dan hanya memusatkan kebencian mereka
kepada Nabi ﷺ, serta berusaha menimbulkan keraguan palsu terkait lamaran Nabi
ﷺ kepadanya? Selain itu, orang yang menawarkan Aisyah kepada Nabi
ﷺ adalah seorang wanita dari Mekah juga, artinya Nabi ﷺ tidak memikirkannya terlebih dahulu, dan bukan seorang pria
yang mengusulkannya kepadanya. Tidakkah ini menunjukkan bahwa, bahkan menurut
pandangan sesama perempuan, Aisyah sudah mencapai usia yang pantas untuk
menikah?
Selain itu, kita tidak pernah mendengar dari
Abu Bakar atau Ummu Ruman bahwa Aisyah masih terlalu kecil untuk menikah. Ini
menguatkan pernyataan kami bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha sudah cukup dewasa
untuk menikah, setidaknya menurut standar masyarakat dan zaman itu. Ini juga
membantah semua argumen yang diajukan oleh para misionaris dan mereka yang
mengikuti jejak mereka, yang sayangnya menggunakan nama-nama Islami.
**Poin Lain:**
Maryam alaihassalam, ketika dijodohkan dengan
Yusuf al-Najjar, berusia 12 tahun, sedangkan Yusuf adalah seorang pria tua yang
sudah berusia lebih dari lima puluh tahun, berdasarkan beberapa riwayat yang
berkaitan dengan masalah ini.
Apakah kita akan menggunakan fakta ini
sebagai alasan untuk menimbulkan keraguan yang menghina derajatnya yang mulia? ([2]).
===*****===
PENDAPAT KEDUA :
DI USIA 6 TAHUN, AISYAH (RA) MENIKAH
DENGAN NABI ﷺ DAN DI USIA 9 TAHUN MENJALIN KEHIDUPAN RUMAH TANGGA :
Sebagaimana yan disebutkan dalam pendahuluan
bahwa di usia 6 tahun Aisyah radhiyallahu 'anha dinikahkan dengan Rasulullah ﷺ dan 9 tahun saat mulai menjalani kehidupan rumah tangga - telah
dianggap sebagai data historis yang final dan memiliki kredibilitas tinggi oleh
berbagai kalangan para ulama dan sejarawan Islam selama berabad-abad.
Al-Hafidz Ibnu Katsir menegaskan bahwa tidak
ada perbedaan pendapat mengenai hal ini dengan ucapannya:
“تَزَوَّجَهَا وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ،
وَبَنَى بِهَا وَهِيَ ابْنَةُ تِسْعٍ، مَا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَدْ
ثَبَتَ فِي الصَّحِيحَاتِ وَغَيْرِهَا، وَكَانَ بِنَاؤُهُ بِهَا -عَلَيْهِ السَّلَامُ-
فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ.”
"Beliau ﷺ menikahinya ketika Aisyah berusia enam tahun, dan hidup bersama dengannya (membangun rumah tangga) ketika ia berusia sembilan tahun, yang tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang, dan hal ini telah terbukti dalam kitab-kitab sahih dan lainnya. Dan hidup bersama dengannya (membangun rumah tangga) terjadi pada tahun kedua hijrah ke Madinah." [al-Bidayah wa al-Nihayah (3/131)]
Para ahli yang menulis biografi Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Katsir, yang juga sesuai dengan riwayat-riwayat sahih yang diriwayatkan oleh para imam dalam kitab sahih, sunan, musnad, dan mu’jam. Mereka hanya berbeda pendapat dalam hal usia Aisyah saat dinikahi, apakah enam atau tujuh tahun.
Ibnu Abdil Barr dalam *Al-Isti’ab*, setelah
menyebutkan bahwa Aisyah dinikahi saat berusia enam atau tujuh tahun dan mulai
hidup bersama Rasulullah ﷺ pada usia sembilan tahun,
mengatakan :
"لَا أَعْلَمُهُمْ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ"
"Saya tidak mengetahui adanya perbedaan
pendapat dalam hal ini."
Lihat *Al-Ishabah* dengan *Al-Isti’ab* dalam
catatannya [4/346], *Tarikh At-Tabari* [2/9], *Wafayat Al-A’yan* karya Ibnu
Khallikan [3/16], dan *Siyar A'lam An-Nubala* karya Adz-Dzahabi [2/148], serta
*Zad Al-Ma'ad* karya Ibnu Qayyim [1/103].
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam *Fath Al-Bari*
[7/107] menyebutkan :
"كَانَ مَوْلِدُهَا فِي الْإِسْلَامِ قَبْلَ
الْهِجْرَةِ بِثَمَانِ سِنِينَ أَوْ نَحْوِهَا، وَمَاتَ النَّبِيُّ ﷺ وَلَهَا نَحْوُ
ثَمَانِيَةَ عَشَرَ عَامًا" اهـ.
"Ia (Aisyah) lahir pada masa Islam,
delapan tahun atau sekitar itu sebelum hijrah, dan Rasulullah ﷺ wafat saat usianya sekitar delapan belas tahun."
Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam *Al-Ishabah*
[4/348] juga berkata :
"وُلِدَتْ بَعْدَ الْمَبْعَثِ بِأَرْبَعِ
سِنِينَ أَوْ خَمْسِ سِنِينَ، فَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَزَوَّجَهَا
وَهِيَ بِنْتُ سِتٍّ وَقِيلَ سَبْعٍ، وَيُجْمَعُ بِأَنَّهَا كَانَتْ أَكْمَلَتِ السَّادِسَةَ
وَدَخَلَتْ فِي السَّابِعَةِ، وَدَخَلَ بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ" اهـ.
"Aisyah lahir empat atau lima tahun
setelah diutusnya Rasulullah ﷺ. Dalam riwayat sahih
disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ menikahinya ketika ia
berusia enam tahun, dan ada yang menyebut tujuh tahun; disimpulkan bahwa Aisyah
telah genap enam tahun dan memasuki usia tujuh tahun, dan Rasulullah ﷺ mulai hidup bersamanya ketika ia berusia sembilan tahun."
Dan Syeikh Ahmad Syakir menanggapi pernyataan
orang-orang yang mengingkarinya dengan mengatakan:
“أَمَّا زَعْمُهُ أَنَّ بَعْضَهُمْ يَرْفَعُهَا
فَوْقَ ذَلِكَ بُضْعَ سَنَوَاتٍ، فَإِنَّهُ قَوْلٌ مُبْتَكَرٌ لَمْ يَقُلْهُ أَحَدٌ
مِنَ الْعُلَمَاءِ، وَلَمْ يَرِدْ فِي رِوَايَةٍ مِنَ الرِّوَايَاتِ، وَإِنَّمَا يُرِيدُ
أَنْ يَتَزَيَّدَ بِهِ وَيَصِلَ إِلَى بُغْيَتِهِ.”
"Adapun klaimnya bahwa beberapa orang menganggapnya lebih dari itu beberapa tahun, itu adalah pernyataan yang baru muncul dan tidak pernah diucapkan oleh seorang pun dari kalangan ulama, dan tidak ada dalam salah satu riwayat, melainkan ia ingin menambah-nambahkan dan mencapai tujuannya." [Jamharat Maqalat Ahmad Syakir (1/355)]
===*****===
DALIL DAN BANTAHAN TERHADAP ORANG-ORANG YANG MENGINGKARI USIA 6 TAHUN, SAAT AISYAH MENIKAH DENGAN NABI ﷺ:
Di sini penulis akan mengutip beberapa
artikel yang isinya membela dan mendukung pendapat bahwa Aisyah radhiyallah
‘anha di usia 6 tahun menikah dengan Rasulullah ﷺ, dan di usia 9 tahun mulai
hidup bersama dengan beliau ﷺ.
Dan dalam artikel-artikel yang akan penulis
sebutkan di sini, sarat pula dengan bantahan-banthan terhadap para ulama yang
mengatakan di usia16 tahun bukan 6 tahun, Aisyah menikah dengan Nabi ﷺ, dan di usia 19 tahun bukan 9 tahun, Aisyah kumpul serumah
dengan nya ﷺ.
******
ARTIKEL PERTAMA :
PERNIKAHAN RASULULLAH ﷺ DENGAN AISYAH (RA) PADA USIA SEMBILAN TAHUN
**In the name of Allah, Most
Gracious, Most Merciful**
**ASSEMBLY OF MUSLIM JURISTS OF
AMERICA**
**Nomor Fatwa**: 78123
----
Diterjemahkan oleh Abu Haitsam Fakhry
===
**Judul Fatwa**:
زَوَاجُ الرَّسُولِ
عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ مِنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فِي عُمْرِهَا
التَّاسِعَةِ
PERNIKAHAN RASULULLAH ﷺ DENGAN AISYAH (RA) PADA USIA SEMBILAN TAHUN
------
Bagian: Keluarga dan Hukum Perdata (الْأُسْرَةُ وَالْأَحْوَالُ الشَّخْصِيَّةُ)
Pemberi Fatwa: Majelis Ahli Fiqih Syariah
(مَجْمَعُ فُقَهَاءِ الشَّرِيعَةِ).
Tanggal Fatwa : 21 Oktober 2012
===*****===
**PERTANYAAN:**
Yang terhormat Syaikh, assalamu ‘alaikum
warahmatullahi wabarakaatuh .
Mohon pencerahan yang benar mengenai masalah
pernikahan Rasulullah ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu
'anha saat beliau berusia sembilan tahun.
Ada seorang jurnalis yang berani meragukan
kebenaran riwayat yang dicatat oleh Imam al-Bukhari. Bukankah para ulama umat
Islam telah menerima riwayat tersebut selama lebih dari seribu tahun?
Kasus ini adalah tentang Rasulullah ﷺ menikahi Aisyah pada usia enam tahun dan mulai hidup bersama
dengannya (dalam arti, memasuki hubungan suami istri) saat usianya sembilan
tahun, sebagaimana yang diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari (bab Pernikahan
Nabi dengan Aisyah dan kedatangannya di Madinah serta hidup bersamanya 3894).
Diriwayatkan dari Furwah bin Abi al-Mughirah,
dari Ali bin Mushir, dari Hisyam, dari ayahnya, dari Aisyah radhiyallahu 'anha
bahwa ia berkata :
«تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ.. فَأَسْلَمَتْنِي
إِلَيْهِ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ»
"Nabi ﷺ menikahiku saat aku berusia
enam tahun, dan kami tiba di Madinah... lalu aku diserahkan kepadanya saat aku
berusia sembilan tahun."
Jurnalis tersebut mempersiapkan dirinya untuk
menghadapi masalah ini. Tidak puas hanya mengkritik masalah ini dari segi angka
dan penanggalan, ia juga mengkritik sanad (rantai perawi) hadits yang paling
masyhur ini, yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.
Dalam kedua kasus, jurnalis tersebut
menunjukkan kecerdasannya. Ia kemudian kembali menelusuri kitab-kitab sejarah
seperti *al-Kamil*, *Tarikh Dimasyq*, *Siyar A'lam an-Nubala'*, *Tarikh
ath-Thabari*, *Tarikh Baghdad*, dan *Wafayat al-A'yan*.
Ia menemukan bahwa masa kenabian berlangsung
selama 13 tahun di Makkah dan 10 tahun di Madinah.
Masa kenabian dimulai pada tahun 610 M.
Hijrah ke Madinah terjadi pada tahun 623 M setelah 13 tahun di Makkah. Nabi
wafat pada tahun 633 M.
Berdasarkan kronologi ini, Rasulullah ﷺ menikahi Aisyah tiga tahun sebelum hijrah, yaitu pada tahun 620
M, yang bertepatan dengan tahun kesepuluh kenabian. Saat itu, Aisyah berusia
enam tahun, dan Nabi ﷺ mulai hidup bersamanya pada
akhir tahun pertama hijrah, yaitu pada akhir tahun 623 M, ketika Aisyah berusia
sembilan tahun. Ini berarti, menurut kalender Masehi, Aisyah lahir pada tahun
614 M, yaitu tahun keempat setelah wahyu pertama, sesuai dengan riwayat
al-Bukhari. Namun, jurnalis tersebut menganggap perhitungan ini adalah
kesalahan besar.
=====
**Mengkritisi Riwayat Secara Historis
dengan Menghitung Usia Aisyah Berdasarkan Usia Kakaknya, Asma binti Abu Bakar
(yang dijuluki Dzat an-Nitaqain):**
Seluruh sumber sejarah yang telah disebutkan
sebelumnya sepakat bahwa Asma lebih tua 10 tahun dari Aisyah. Sumber-sumber
tersebut juga menyebutkan tanpa ada perbedaan pendapat bahwa Asma lahir 27
tahun sebelum hijrah ke Madinah. Ini berarti bahwa pada saat dimulainya
kenabian (tahun 610 M), Asma berusia 14 tahun, berdasarkan pengurangan usia
sebelum hijrah yaitu 13 tahun, yang merupakan lamanya periode dakwah di Makkah
(karena 27 - 13 = 14 tahun).
Sumber-sumber tersebut juga dengan tegas
menyebutkan bahwa Asma lebih tua 10 tahun dari Aisyah. Dengan demikian,
dipastikan bahwa usia Aisyah adalah 4 tahun pada saat dimulainya periode
kenabian di Makkah. Ini berarti Aisyah lahir 4 tahun sebelum wahyu pertama,
yaitu pada tahun 606 M.
Berdasarkan perhitungan sederhana, Rasulullah
ﷺ menikahi Aisyah di Makkah pada tahun ke-10 kenabian, ketika
usianya 14 tahun (karena 4 + 10 = 14 tahun). Dengan kata lain, Aisyah lahir
pada tahun 606 M dan menikah dengan Nabi ﷺ pada tahun 620 M ketika
usianya 14 tahun.
Rasulullah ﷺ mulai hidup bersama Aisyah
setelah tiga tahun dan beberapa bulan, yaitu pada akhir tahun pertama hijrah
dan awal tahun kedua, yaitu sekitar tahun 624 M. Pada saat itu, usia Aisyah
adalah 18 tahun (karena 14 + 3 + 1 = 18 tahun). Ini adalah usia sebenarnya
ketika Nabi ﷺ mulai hidup bersama Aisyah.
======
**Perhitungan Usia Aisyah Berdasarkan
Kematian Kakaknya, Asma (Dzat an-Nitaqain):**
Sumber-sumber sejarah yang telah disebutkan
sebelumnya dengan tegas menyatakan tanpa perbedaan bahwa Asma wafat setelah
sebuah peristiwa terkenal dan terdokumentasi, yaitu pembunuhan putranya,
Abdullah bin Zubair, oleh al-Hajjaj, seorang penguasa yang terkenal kejam, pada
tahun 73 H. Saat itu, usia Asma adalah 100 tahun penuh. Jika kita menghitung
mundur dari tahun kematiannya (73 H) dan usianya (100 tahun), maka (100 - 73 =
27 tahun) adalah usia Asma saat peristiwa hijrah Nabi. Ini sesuai dengan
informasi usia Asma yang tercantum dalam sumber-sumber sejarah.
Jika kita kurangi 10 tahun dari usia Asma,
yaitu selisih usia antara Asma dan Aisyah, maka usia Aisyah pada saat hijrah
adalah (27 - 10 = 17 tahun). Jika Nabi ﷺ mulai hidup bersama Aisyah
pada tahun kedua hijrah, maka usia Aisyah saat itu adalah (17 + 2 = 19 tahun).
Ini menunjukkan bahwa perhitungan usia Aisyah saat menikah dengan Nabi ﷺ adalah 19 tahun.
Hal ini juga didukung oleh keterangan dari
*ath-Thabari* dalam kitabnya *Tarikh al-Umam*, yang menegaskan :
أَنَّ كُلَّ أَوْلَادِ
أَبِي بَكْرٍ قَدْ وُلِدُوا فِي الجَاهِلِيَّةِ
“Bahwa semua anak Abu Bakar lahir pada masa
jahiliyah, sebelum datangnya Islam”.
Ini sejalan dengan kronologi yang benar dan
menunjukkan kelemahan riwayat al-Bukhari, karena Aisyah sebenarnya lahir empat
tahun sebelum kenabian dimulai.
======
**Perhitungan Usia Aisyah
Dibandingkan dengan Fathimah az-Zahra, Putri Nabi:**
Ibnu Hajar menyebutkan dalam *al-Ishabah*
bahwa Fathimah lahir pada tahun pembangunan Ka'bah, ketika Nabi berusia 35
tahun. Fathimah lebih tua lima tahun dari Aisyah. Berdasarkan riwayat yang
dikemukakan oleh Ibnu Hajar, meskipun riwayat ini tidak kuat, jika kita anggap
riwayat tersebut benar, maka Ibnu Hajar secara tidak langsung mendustakan
riwayat al-Bukhari.
Jika Fathimah lahir ketika Nabi berusia 35
tahun, maka Aisyah lahir ketika Nabi berusia 40 tahun, yakni pada awal turunnya
wahyu. Dengan demikian, usia Aisyah saat hijrah adalah sama dengan lamanya masa
dakwah Nabi di Makkah, yaitu 13 tahun, bukan 9 tahun. Saya menyebutkan riwayat
ini hanya untuk menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam riwayat
al-Bukhari.
======
**Kritik Terhadap Riwayat Berdasarkan
Kitab Hadits dan Sirah:**
Ibnu Katsir menyebutkan dalam *al-Bidayah wa
an-Nihayah* tentang orang-orang yang pertama kali masuk Islam:
«وَمِنَ النِّسَاءِ.. أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي
بَكْرٍ وَعَائِشَةُ وَهِيَ صَغِيرَةٌ فَكَانَ إِسْلَامُ هَؤُلَاءِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ
وَرَسُولُ اللَّهِ (صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ) يَدْعُو فِي خُفْيَةٍ، ثُمَّ
أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ رَسُولَهُ بِإِظْهَارِ الدَّعْوَةِ»
"Di antara kaum wanita yang pertama
masuk Islam adalah Asma binti Abu Bakar dan Aisyah, yang saat itu masih kecil.
Keislaman mereka terjadi dalam tiga tahun pertama ketika Rasulullah ﷺ berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Kemudian Allah
memerintahkan Rasul-Nya untuk menyiarkan dakwah secara terbuka."
Riwayat ini menunjukkan bahwa Aisyah telah
masuk Islam sebelum Rasulullah ﷺ secara terbuka mengumumkan
dakwahnya pada tahun ke-4 dari masa kenabian, yang setara dengan tahun 614 M.
Ini berarti, setidaknya Aisyah telah memeluk Islam pada tahun ke-3, yaitu
sekitar tahun 613 M.
Namun, jika mengikuti riwayat al-Bukhari yang
menyatakan bahwa Aisyah lahir pada tahun ke-4 dari masa kenabian, ini berarti
dia belum lahir saat Nabi ﷺ secara terbuka berdakwah
pada tahun ke-4, atau dia masih bayi saat itu. Hal ini bertentangan dengan
berbagai bukti lainnya.
Perhitungan yang lebih tepat menunjukkan
bahwa Aisyah lahir pada tahun ke-4 sebelum kenabian, yaitu pada tahun 606 M.
Ini berarti bahwa ketika Nabi ﷺ mulai berdakwah secara
terbuka pada tahun 614 M, usia Aisyah adalah 8 tahun. Perhitungan ini sesuai
dengan kronologi peristiwa yang benar dan membantah riwayat al-Bukhari.
Al-Bukhari sendiri meriwayatkan dalam ( BAB
"Keberadaan Abu Bakar di Masa Nabi") bahwa Aisyah berkata:
لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ
قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ، وَلَمْ يَمُرَّ عَلَيْنَا يَوْمٌ إِلَّا
يَأْتِينَا فِيهِ رَسُولُ اللَّهِ طَرَفَيِ النَّهَارِ بُكْرَةً وَعَشِيَّةً، فَلَمَّا
ابْتُلِيَ الْمُسْلِمُونَ خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا قِبَلَ الْحَبَشَةِ
"Aku tidak pernah ingat kedua orang
tuaku kecuali mereka telah memeluk agama (Islam), dan tidak ada satu hari pun
berlalu tanpa Rasulullah ﷺ datang kepada kami di pagi
dan sore hari. Ketika kaum Muslimin mendapat ujian, Abu Bakar berniat hijrah
sebelum hijrah ke Habasyah."
Saya tidak tahu bagaimana al-Bukhari
meriwayatkan ini, karena Aisyah mengatakan bahwa dia sudah memahami keadaan
kedua orang tuanya yang telah memeluk Islam sebelum hijrah ke Habasyah. Dia
juga menyebutkan bahwa Nabi ﷺ sering datang ke rumah
mereka setiap hari, yang menunjukkan bahwa dia sudah cukup dewasa untuk
mengingat peristiwa tersebut.
Perlu dicatat, menurut konsensus kitab-kitab
sejarah, hijrah ke Habasyah terjadi pada tahun ke-5 dari masa kenabian, yang
setara dengan tahun 615 M. Jika kita mengikuti riwayat al-Bukhari yang
menyatakan bahwa Aisyah lahir pada tahun ke-4 dari masa kenabian, yaitu tahun
614 M, maka pada saat hijrah ke Habasyah, Aisyah masih bayi, maka hal ini jelas
bertentangan dengan pernyataan :
لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ
قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ
"Aku tidak pernah ingat orang tuaku
kecuali mereka telah memeluk Islam."
Kata "ingat" (أعقل) di sini sangat jelas maknanya tidak memerlukan penjelasan
tambahan. Dengan perhitungan waktu yang benar, usia Aisyah pada saat itu adalah
(4 tahun sebelum kenabian + 5 tahun sebelum hijrah ke Habasyah = 9 tahun), yang
merupakan usia sebenarnya Aisyah pada waktu tersebut.
Hadits yang menyebutkan usia (Aisyah) datang
dari lima jalur yang semuanya kembali kepada Hisyam bin Urwah. Mengenai Hisyam
ini, Ibnu Hajar mengatakan dalam *Hady as-Sari* dan *Tahdzib*:
«قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بنُ يُوسُفَ بنِ خِرَاشٍ
وَكَانَ مَالِكٌ لَا يَرْضَاهُ، بَلَغَنِي أَنَّ مَالِكًا نَقَمَ عَلَيْهِ حَدِيثَهُ
لِأَهْلِ العِرَاقِ، قَدِمَ الكُوفَةَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ : مَرَّةً كَانَ يَقُولُ: حَدَّثَنِي
أَبِي، قَالَ سَمِعْتُ عَائِشَةَ وَقَدِمَ ـ جَاءَ ـ الثَّانِيَةَ فَكَانَ يَقُولُ:
أَخْبَرَنِي أَبِي عَنْ عَائِشَةَ، وَقَدِمَ الثَّالِثَةَ فَكَانَ يَقُولُ: أَبِي عَنْ
عَائِشَةَ». وَالمَعْنَى بِبَسَاطَةٍ أَنَّ (هشام بن عروة) كَانَ صَدُوقًا فِي المَدِينَةِ
المُنَوَّرَةِ، ثُمَّ لَمَّا ذَهَبَ لِلعِرَاقِ بَدَأَ حِفْظُهُ لِلْحَدِيثِ يَسُوءُ
وَبَدَأَ (يُدَلِّسُ) أَيْ يُنْسِبُ الحَدِيثَ لِغَيْرِ رَاوِيهِ، ثُمَّ بَدَأَ يَقُولُ
(عَنْ) أَبِي، بَدَلًا مِنْ (سَمِعْتُ أَوْ حَدَّثَنِي)، وَفِي عِلْمِ الحَدِيثِ كَلِمَةُ
(سَمِعْتُ) أَوْ (حَدَّثَنِي) أَقْوَى مِنْ قَوْلِ الرَّاوِي (عَنْ فُلَانٍ)، وَالحَدِيثُ
فِي البُخَارِيِّ هَكَذَا يَقُولُ فِيهِ هِشَامٌ عَنْ (أَبِي وَلَيْسَ (سَمِعْتُ أَوْ
حَدَّثَنِي)، وَهُوَ مَا يُؤَيِّدُ الشَّكَّ فِي سَنَدِ الحَدِيثِ، ثُمَّ النُّقْطَةُ
الأَهَمُّ وَهِيَ أَنَّ الإِمَامَ (مَالِك) قَالَ: إِنَّ حَدِيثَ (هشام) بِالعِرَاقِ
لَا يُقْبَلُ، فَإِذَا طَبَّقْنَا هَذَا عَلَى الحَدِيثِ الَّذِي أَخْرَجَهُ البُخَارِيُّ
لَوَجَدْنَا أَنَّهُ مُحَقَّقٌ، فَالحَدِيثُ لَمْ يَرْوِهِ رَاوٍ وَاحِدٌ مِنَ المَدِينَةِ،
بَلْ كُلُّهُمْ عِرَاقِيُّونَ مِمَّا يَقْطَعُ أَنَّ (هشام بن عروة) قَدْ رَوَاهُ بِالعِرَاقِ
بَعْدَ أَنْ سَاءَ حِفْظُهُ، وَلَا يَعْقِلُ أَنْ يَمْكُثَ (هشام) بِالمَدِينَةِ عُمْرًا
طَوِيلًا وَلَا يَذْكُرَ حَدِيثًا مِثْلَ هَذَا وَلَوْ مَرَّةً وَاحِدَةً، لِهَذَا
فَإِنَّنَا لَا نَجِدُ أَيَّ ذِكْرٍ لِعُمُرِ السَّيِّدَةِ (عَائِشَة) عِنْدَ زَوَاجِهَا
بِالنَّبِيِّ فِي كِتَابِ (المُوَطَّأ) لِلْإِمَامِ مَالِكٍ وَهُوَ الَّذِي رَأَى وَسَمِعَ
(هشام بن عروة) مُبَاشَرَةً بِالمَدِينَةِ، فَكَفَى بِهَاتَيْنِ العِلَّتَيْنِ لِلشَّكِّ
فِي سَنَدِ الرِّوَايَةِ السَّابِقَةِ». انتهى
"Abdurrahman bin Yusuf bin Khurrasy
berkata bahwa Malik tidak meridhainya. Malik dikabarkan tidak menyukai
hadits-hadits yang Hisyam bin Urwah sampaikan kepada penduduk Irak.
Hisyam datang ke Kufah tiga kali.
Pada kunjungan pertama, dia berkata,
'Ayahku bercerita kepadaku, aku mendengar dari Aisyah.'
Pada kunjungan kedua, dia berkata,
'Ayahku memberitahuku dari Aisyah.'
Pada kunjungan ketiga, dia hanya
mengatakan, 'Dari ayahku dari Aisyah.'"
Artinya, secara sederhana, Hisyam bin Urwah
adalah seorang perawi yang dapat dipercaya di Madinah. Namun, ketika dia pergi
ke Irak, hafalan haditsnya mulai melemah dan dia mulai *mudallis*
(menyembunyikan kelemahan sanad), yaitu mengaitkan hadits kepada orang yang
bukan perawi aslinya. Dia mulai menggunakan istilah "dari ayahku"
(*'an abi*) alih-alih "aku mendengar dari ayahku" (*sami'tu aw
haddatsani*).
Dalam ilmu hadits, kata "aku
mendengar" atau "ayahku bercerita" lebih kuat daripada sekadar
"dari ayahku". Hadits yang diriwayatkan dalam Sahih al-Bukhari
melalui Hisyam menggunakan kata *'an* (dari), bukan *sami'tu* atau
*haddatsani*, yang mendukung keraguan atas sanadnya.
Poin yang paling penting adalah bahwa Imam
Malik mengatakan, "Hadits Hisyam di Irak tidak dapat diterima." Jika
kita terapkan ini pada hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, kita akan menemukan
bahwa semua perawi hadits tersebut berasal dari Irak, bukan satu pun dari
Madinah.
Ini memperkuat kesimpulan bahwa Hisyam bin
Urwah meriwayatkannya ketika dia sudah berada di Irak setelah hafalannya
melemah. Tidak masuk akal jika Hisyam tinggal di Madinah dalam waktu yang lama
tetapi tidak pernah menyebutkan hadits ini sekali pun.
Sebagai bukti lebih lanjut, tidak ada satu
pun keterangan tentang usia Aisyah saat menikah dengan Nabi dalam *al-Muwatha'*
karya Imam Malik, meskipun Imam Malik mendengar langsung dari Hisyam bin Urwah
di Madinah.
Dengan dua kelemahan ini, cukup alasan untuk
meragukan sanad hadits yang disebutkan di atas.
[Selesai].
Siapakah peneliti yang melakukan investigasi
ini? Dia adalah Tuan “Islam Bahiri,” dan hasil penelitiannya diterbitkan pada
edisi nol (sebelum edisi pertama) halaman 21 dari surat kabar *al-Yaum as-Sabi’*,
yang diterbitkan pada 15/7/2008.
=====
JAWABAN ATAS PERTANYAAN DAN PERNYATAAN DIATAS :
**JAWABAN:**
Segala puji bagi Allah dan salawat serta
salam atas Rasul-Nya. Adapun setelah itu, saya akan membagi jawaban saya atas
pertanyaan Anda dalam tiga poin utama:
1. Penjelasan mengenai ijma' (konsensus) umat
atas kebenaran apa yang ada di dalam Shahihain (Shahih Bukhari dan Shahih
Muslim).
2. Penjelasan mengenai kesalahan penulis
dalam pendapatnya.
3. Menyelesaikan permasalahan terkait
pernikahan Rasulullah ﷺ dengan Ummul Mukminin,
Aisyah.
POINT KE 1 : PENJELASAN MENGENAI
IJMA' UMAT ATAS KEBENARAN APA YANG ADA DI DALAM SHAHIHAIN:
Sesungguhnya umat telah bersepakat atas
kebenaran hadits-hadits yang terdapat di dalam Shahihain. Baik kalangan muda
maupun tua menyadari hal ini, bahkan keyakinan tersebut telah menjadi bagian
dari kesadaran kolektif umat Islam. Sejumlah ulama pakar telah menukil ijma'
para ulama atas hal ini. Imam Nawawi berkata:
"اتَّفَقَ العُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللهُ
عَلَى أَنَّ أَصَحَّ الكُتُبِ بَعْدَ القُرْآنِ العَزِيزِ الصَّحِيحَانِ البُخَارِيُّ
وَمُسْلِمٌ، وَتَلَقَّتْهُمَا الأُمَّةُ بِالقَبُولِ"
"Para ulama rahimahullah telah
bersepakat bahwa kitab yang paling sahih setelah Al-Qur'an adalah Shahihain,
yakni Shahih Bukhari dan Muslim, dan umat telah menerima keduanya dengan penuh
penerimaan." ([Syarah Muslim 1/14]).
(Dengan ini, penekanan ijma' atas otoritas Shahihain dalam
tradisi ilmu hadits menjadi penting sebagai referensi yang tidak diperdebatkan
lagi oleh mayoritas ulama sejak zaman dahulu hingga sekarang).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"فَلَيْسَ تَحْتَ أَدِيمِ السَّمَاءِ كِتَابٌ
أَصَحُّ مِنَ البُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ بَعْدَ القُرْآنِ"
*"Tidak ada kitab di bawah kolong langit
yang lebih sahih daripada Shahih Bukhari dan Muslim setelah Al-Qur'an."*
([Al-Fatawa 18/74])
Adapun kritik terhadap beberapa lafaz dalam
Shahihain (Bukhari dan Muslim) oleh para ulama besar ahli hadits, itu sudah
dikenal dan disebutkan, dan hal tersebut tidak termasuk dalam ijma' ini.
Mengenai hal ini, Imam Ibnu Shalah, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Hafidzh
Ibnu Hajar, berkata:
"مَا أُخِذَ عَلَيْهِمَا - يُرِيدُ البُخَارِيَّ
وَمُسْلِمًا - وَقَدَحَ فِيهِ مُعْتَمَدٌ مِنَ الحُفَّاظِ، فَهُوَ مُسْتَثْنًى مِمَّا
ذَكَرْنَاهُ لِعَدَمِ الإِجْمَاعِ عَلَى تَلَقِّيهِ بِالْقَبُولِ"
*"Apa yang dikritik dari
keduanya—maksudnya Shahih Bukhari dan Muslim—dan dicela oleh ulama-ulama ahli
hadits terpercaya, maka hal itu dikecualikan dari apa yang telah kami sebutkan
karena tidak ada ijma' dalam penerimaan penuh terhadapnya."* ([Hady
as-Sari 505]).
Namun demikian, kritik mereka terhadap
hadits-hadits tersebut hanyalah karena hadits-hadits tersebut dianggap tidak
mencapai standar tinggi yang telah ditetapkan oleh kedua penyusun Shahihain
terhadap diri mereka sendiri terkait kesahihan. Mereka mencela beberapa lafaz
dalam sebagian hadits, namun tidak ada satu pun hadits dalam Shahihain yang
tidak memiliki asal usul yang sahih.
Jika hal ini telah jelas, maka meragukan
keshahihan Shahihain sama dengan meragukan kitab-kitab hadits paling sahih
dalam Islam. Ini adalah cara paling utama untuk meruntuhkan agama dan
menanamkan keraguan dalam hati kaum Muslimin, sehingga setelah itu mereka tidak
akan tahu bagaimana melaksanakan shalat, puasa, haji, atau urusan muamalah
mereka. Semua rincian hukum-hukum tersebut ada di dalam kitab-kitab hadits.
Barang siapa yang meragukan keduanya dengan maksud tersebut, tidak perlu
dijelaskan lagi hukum atasnya, karena keadaannya sudah jelas.
Sedangkan mereka yang terjerumus dalam hal
ini karena sikap longgar atau terburu-buru, namun tidak dengan niat buruk,
tidak kurang dari layak disebut sebagai orang yang kurang pertimbangan dan
berani menyentuh sesuatu yang tidak ia kuasai dan membahas perkara yang tidak
ia pahami. Jika hal tersebut dilakukan oleh orang yang bukan dari kalangan
ulama, maka keadaannya lebih parah dan lebih buruk.
Namun, jika yang terjatuh dalam hal ini
adalah seseorang yang bersemangat dalam menjaga agama, mencintai Nabi ﷺ, dan merasa sedih dengan tuduhan yang dilemparkan musuh-musuh
terhadap beliau, lalu ia ingin membela kehormatan beliau, maka kita berharap
baginya, meskipun ia keliru, agar ia diberi pahala atas kecintaannya dan
kecemburuannya. Kita juga menasihatinya untuk bertanya kepada ulama-ulama yang
terpercaya sebelum membahas perkara-perkara agama.
Adapun menyebutkan hal tersebut dalam
perdebatan dengan non-Muslim dalam konteks menyampaikan apa yang pernah
dikatakan tanpa memastikannya, setelah menjelaskan pendapat yang rajih (lebih
kuat) dan memberikan penjelasan—sebagaimana yang akan dijelaskan dalam poin
ketiga—maka mungkin saja hal tersebut diperbolehkan demi mencapai tujuan
dakwah. Karena dalam perdebatan, cakupannya lebih luas daripada dalam
penelitian ilmiah, dan ada hal yang diperbolehkan dalam perdebatan yang tidak
diperbolehkan dalam penelitian ilmiah, yang pada gilirannya lebih luas
cakupannya daripada mengajarkan kepada khalayak umum.
===
POINT KE 2 : PENJELASAN MENGENAI
KESALAHAN PENULIS DALAM PENDAPATNYA:
([Saya mendapatkan manfaat dalam penulisan
dari dua artikel karya Dr. Muhammad Amarah dan Mahmoud Abdu, peneliti dalam
ilmu-ilmu Islam, semoga Allah membalas kebaikan mereka.])
A) **Secara umum**.
Penulis —semoga Allah memberi petunjuk
kepadanya dan kita semua— telah mencela apa yang sudah ditetapkan dalam
kitab-kitab hadits, bahkan dalam kitab yang paling sahih, dengan mengklaim
kelemahan sanad. Kemudian, ia justru menggunakan argumen yang bersumber dari
kitab-kitab sejarah, yang dalam penyusunan riwayat tidak dijaga seteliti
kitab-kitab hadits. Selain itu, ia mengutip dari kitab yang sebelumnya ia cela
sebagai sumber argumen, bahkan mengutip dari perawi yang juga telah ia cela
sebelumnya.
Penulis juga terlalu memaksakan dalam
memahami teks, terkadang keliru dalam menyampaikan riwayat, bahkan mengutip
sesuatu yang tidak memiliki dasar. Ia membuat pernyataan yang mencengangkan dan
tak ragu mengklaim telah melakukan penelitian menyeluruh, padahal tidak ada
satupun yang ia dapatkan dengan tepat, sehingga ia terjatuh dalam kesalahan
yang sangat fatal.
Selain itu, ia hanya memilih riwayat yang
sesuai dengan keinginannya dan mengabaikan yang lain, meskipun yang ia abaikan
lebih sahih dan lebih kuat, bahkan tercatat dalam sumber yang sama dari mana ia
mengutip.
B) **Kritiknya terhadap riwayat sahih terkait
usia Sayyidah Aisyah dalam kaitannya dengan usia kakaknya, Asma binti Abu
Bakar**.
Penulis bergantung pada riwayat yang tidak
sahih, yang menyatakan bahwa perbedaan usia antara keduanya adalah sepuluh
tahun, dan ia mengklaim adanya ijma' (konsensus) para sejarawan atas hal
tersebut. Namun, klaim ini tidak sahih.
Meskipun penulis menyebutkan sejumlah kitab
sejarah, semuanya merujuk pada satu riwayat dari Abdurrahman bin Abi Zinaad,
yang menyendiri dalam meriwayatkannya.
Riwayat ini lemah.
Dalam kitab *Tahdzib at-Tahdzib*, Imam Ahmad
menyebutkan bahwa Abdurrahman bin Abi Zinaad adalah perawi yang haditsnya tidak
stabil.
Ibnu Ma’in mengatakan bahwa haditsnya tidak
dijadikan hujjah oleh para ahli hadits.
Abu Hatim berkata bahwa haditsnya ditulis,
tetapi tidak dijadikan hujjah.
An-Nasa'i juga berkata bahwa haditsnya tidak
dijadikan hujjah. ([Tahdzib at-Tahdzib 6/172])
Berlawanan dengan penentuan yang diklaim oleh
penulis, dalam kitab *Siyar A'lam an-Nubala'* dan *Tarikh al-Islam* disebutkan
:
"وَكَانَتْ [أَسْمَاءُ] أَسَنَّ مِنْ عَائِشَةَ
بِبِضْعِ عَشْرَةَ سَنَةً"
Bahwa, "Asma lebih tua dari Aisyah lebih
dari sepuluh tahun." ([As-Siyar 3/522])
Jika riwayat yang disebutkan oleh penulis
berasal dari perawi yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah, dan riwayat tersebut
bertentangan dengan riwayat lain dalam kitab-kitab sejarah, bagaimana mungkin
riwayat tersebut dapat digunakan untuk menentang apa yang ada di dalam
Shahihain?
Adapun kabar bahwa Asma wafat pada usia
seratus tahun, itu diriwayatkan oleh Hisyam bin Urwah, perawi yang juga dicela
oleh penulis.
C) **Pemahaman penulis mengenai pernyataan
at-Thabari terkait istri-istri Abu Bakar dan anak-anaknya**.
Bahwa semua anaknya lahir pada masa
jahiliyah, adalah pemahaman yang keliru.
At-Thabari berkata :
«تَزَوَّجَ أَبُو بَكْرٍ فِي الجَاهِلِيَّةِ
(قُتَيْلَةَ).. فَوَلَدَتْ لَهُ عَبْدَ اللهِ وَأَسْمَاءَ، وَتَزَوَّجَ أَيْضًا فِي
الجَاهِلِيَّةِ (أُمَّ رُومَانَ). فَوَلَدَتْ لَهُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ وَعَائِشَةَ،
فَكُلُّ هَؤُلَاءِ الأَرْبَعَةِ مِنْ أَوْلَادِهِ وُلِدُوا مِنْ زَوْجَتَيْهِ اللَّتَيْنِ
سَمَّيْنَاهُمَا فِي الجَاهِلِيَّةِ»
"Abu Bakar menikah di masa jahiliyah
(dengan Qutailah)... dan ia melahirkan Abdullah dan Asma. Dia juga menikah di
masa jahiliyah (dengan Ummu Ruman) dan ia melahirkan Abdurrahman dan Aisyah.
Maka, semua dari empat anaknya ini lahir dari dua istrinya yang disebutkan pada
masa jahiliyah."
Jika riwayat ini sahih, Thabari sedang
membicarakan tentang pernikahan Abu Bakar yang terjadi di masa jahiliyah, bukan
bahwa semua anaknya lahir pada masa jahiliyah. Meski pemahaman tersebut
mungkin, riwayat yang ambigu harus dikembalikan kepada riwayat yang pasti,
yaitu pernyataan eksplisit dari Aisyah mengenai usianya dalam banyak riwayat
lain serta teks-teks lainnya yang mendukungnya.
**D) Adapun perhitungan usia Aisyah
dibandingkan dengan Fathimah**.
Dan klaim bahwa Fathimah lahir pada tahun
pembangunan Ka'bah saat Nabi ﷺ berusia 35 tahun, penulis
mengutip ini dari kitab *al-Ishabah*. Namun, ia tidak menyebutkan
riwayat-riwayat lain serta koreksi dari penulis kitab itu sendiri, yaitu
Al-Hafidzh Ibnu Hajar, yang menyebutkan riwayat lain yang lebih sahih bahwa Fathimah
lahir pada tahun ke-41 dari kelahiran Nabi.
Selain itu, perbedaan usia antara keduanya
(Aisyah dan Fathimah) tidak disepakati. Adz-Dzahabi dalam *Siyar A'lam
an-Nubala'* berkata:
"وَعَائِشَةُ مِمَّنْ وُلِدَ فِي الإِسْلَامِ،
وَهِيَ أَصْغَرُ مِنْ فَاطِمَةَ بِثَمَانِ سِنِينَ"
*"Aisyah lahir dalam Islam dan ia lebih
muda delapan tahun dari Fathimah."* ([Siyar A'lam an-Nubala 3/429]).
Dalam biografi Fathimah, Adz-Dzahabi juga
menyatakan:
"مَوْلِدُهَا قَبْلَ البَعْثَةِ بِقَلِيلٍ"
*"Fathimah lahir sedikit sebelum masa
kenabian."* ([As-Siyar 3/417]).
E) **Adapun kutipan penulis dari Ibnu Katsir
dalam *al-Bidayah wa an-Nihayah*:**
"وَمِنَ النِّسَاءِ.. أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي
بَكْرٍ وَعَائِشَةُ وَهِيَ صَغِيرَةٌ فَكَانَ إِسْلَامُ هَؤُلَاءِ فِي ثَلَاثِ سِنِينَ
وَرَسُولُ اللهِ ﷺ يَدْعُو فِي خِفْيَةٍ، ثُمَّ أَمَرَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ رَسُولَهُ
بِإِظْهَارِ الدَّعْوَةِ"
*"Di antara para wanita adalah Asma
binti Abu Bakar dan Aisyah, yang saat itu masih kecil. Mereka memeluk Islam
dalam tiga tahun, ketika Rasulullah ﷺ masih berdakwah secara
sembunyi-sembunyi. Kemudian Allah memerintahkan Rasul-Nya untuk menampakkan
dakwah."*
Saya tidak tahu di mana penulis menemukan hal
ini, karena tidak ada riwayat seperti itu dalam kitab tersebut, sebagaimana
telah dijelaskan oleh Dr. Muhammad Amarah.
Jika riwayat itu benar-benar ada di dalam
kitab tersebut, bagaimana penulis bisa mengabaikan perkataan orang-orang yang
melihat Aisyah dari kalangan tabi’in dan lebih memilih perkataan sebagian ulama
yang datang belakangan dan tidak memiliki sanad yang sahih.
F) **Adapun pernyataannya:**
"وَالْمُؤَكَّدُ أَنْ هِجْرَةَ الحَبَشَةِ
إِجْمَاعًا بَيْنَ كُتُبِ التَّارِيخِ كَانَتْ فِي عَامِ (5) مِنْ بَدْءِ البَعْثَةِ
النَّبَوِيَّةِ مَا يُوَازِي عَامَ (615م)"
*"Yang pasti, berdasarkan kesepakatan
kitab-kitab sejarah, hijrah ke Habasyah terjadi pada tahun kelima dari
permulaan kenabian, yang bertepatan dengan tahun 615 M."*
Kemudian ia mengutip:
"...خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا قَبْلَ
هِجْرَةِ الحَبَشَةِ"
*"...Abu Bakar keluar berhijrah sebelum
hijrah ke Habasyah."*
Terdapat perbedaan antara satu hijrah
tertentu dengan aliran sahabat yang terus-menerus berhijrah ke Habasyah. Saya
tidak tahu dari mana ia mendapatkan kepastian bahwa semua yang berhijrah ke
Habasyah melakukannya pada tahun kelima, karena hijrah ke sana tidak berhenti
hingga datangnya hijrah ke Madinah.
Penulis juga melakukan kesalahan dalam
kutipan dengan mengatakan:
"...خَرَجَ أَبُو بَكْرٍ مُهَاجِرًا قَبْلَ
هِجْرَةِ الحَبَشَةِ"
*"...Abu Bakar keluar berhijrah sebelum
hijrah ke Habasyah"*
Padahal yang benar adalah *" قِبَلَ الحَبَشَةِ / ke arah Habasyah"*,
yakni dalam perjalanan menuju Habasyah.
Tampaknya Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu hendak
berhijrah sebelum hijrah ke Madinah, karena ketika ia kembali ke Mekah dan
mendapat perlindungan dari Ibnu ad-Daghinnah, Rasulullah ﷺ memberikan kabar gembira kepadanya dan bersabda:
"قَدْ أُرِيْتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ، رَأَيْتُ
سَبْخَةً ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ"
*"Aku telah diperlihatkan tempat hijrah
kalian, berupa tanah berpasir yang memiliki pepohonan kurma di antara dua bukit
yang berbatu."* [HR. Bukhori].
G) **Adapun kritik penulis terhadap sanad
dengan mencela Hisyam bin Urwah**.
Ini tidak berarti apa-apa, karena hadits
tersebut diriwayatkan oleh selain Hisyam, seperti Az-Zuhri dari Urwah dari
Aisyah, dan Ibrahim dari Al-Aswad dari Aisyah. Semua perawi ini adalah ulama
besar dalam bidang hadits dan fiqih, serta hadits tersebut diriwayatkan dalam
banyak kitab hadits.
Adapun klaim bahwa Hisyam bin Urwah hanya
diriwayatkan oleh ulama Irak dan bahwa riwayat ulama Irak dari Hisyam
dipertanyakan, jawabannya adalah hadits ini diriwayatkan dari Hisyam oleh ulama
Madinah, seperti Abu Az-Zinad Abdullah bin Dzakwan, putranya Abdurrahman bin
Abi Az-Zinad, dan Abdullah bin Muhammad bin Yahya bin Urwah.
Dari ulama Mekkah, hadits ini diriwayatkan
oleh Sufyan bin ‘Uyainah. Dari ulama Ray, hadits ini diriwayatkan oleh Jarir
bin Abdul Hamid Adh-Dhabbi. Maka, bukan hanya ulama Irak yang meriwayatkan dari
Hisyam.
Adapun Hisyam sendiri, ia telah dinilai
tsiqah (terpercaya) oleh Yahya bin Ma’in, Ibnu Hibban, Abu Hatim, Ibnu Hajar,
Adz-Dzahabi, dan ulama lainnya. Hisyam adalah perawi hadits dalam kitab Shahihain
dan kitab-kitab Sunan. Pendapat yang diterima di kalangan ahli ilmu adalah
bahwa Hisyam tidak mengalami ikhtilat (kekacauan hafalan).
Adz-Dzahabi berkata:
"هشامُ بْنُ عُرْوَةَ، أَحَدُ الأَعْلَامِ،
حُجَّةٌ إِمَامٌ، لَكِنْ فِي الكِبَرِ تَنَاقَصَ حِفْظُهُ، وَلَمْ يَخْتَلِطْ أَبَدًا..."
*"Hisyam bin Urwah adalah salah satu
ulama besar, hujjah, dan imam. Meskipun di masa tua daya ingatnya berkurang, ia
tidak pernah mengalami ikhtilat..."* ([Mizan al-I'tidal 4/301-302]).
**H)** Sungguh, ada banyak riwayat yang
menunjukkan usia kecil Aisyah ketika menikah dengan Nabi ﷺ.**
Dalam hadits al-ifk /الإِفْكُ
(kisah al-ifk terjadi pada tahun keenam hijrah sepulang dari perang Tabuk) yang
diriwayatkan dalam Sahih Bukhari, Aisyah mengatakan tentang dirinya:
«فَلَمْ يَسْتَنْكِرْ القَوْمُ خِفَّةَ الهُودَجِ
حِينَ رَفَعُوهُ وَحَمَلُوهُ، وَكُنْتُ جَارِيَةً حَدِيثَةَ السِّنِّ..»
"Maka orang-orang tidak menganggap aneh
ringan nya Haudaj (skedup di atas unta) saat mereka mengangkat dan membawanya,
dan aku adalah seorang gadis yang masih muda..." Dan dia dinikahkan kepada
Nabi ﷺ serta bermain dengannya. Barirah radhiyallahu ‘anha, salah satu
pelayannya, mengatakan kepada Rasulullah ﷺ:
وَالَّذِي بَعَثَكَ
بِالْحَقِّ مَا رَأَيْتُ عَلَيْهَا أَمْرًا قَطُّ أَغْمَصَهُ أَكْثَرَ مِنْ أَنَّهَا
جَارِيَةٌ حَدِيثَةُ السِّنِّ تَنَامُ عَنْ عَجِينِ أَهْلِهَا فَتَأْتِي الدَّاجِنُ
فَتَأْكُلُهُ."
"Demi yang mengutusmu dengan kebenaran,
aku tidak pernah melihat pada dirinya sesuatu yang lebih buruk dari dia adalah
seorang gadis yang masih muda yang tertidur di atas adonan keluarganya hingga
datang hewan peliharaan dan memakannya."
Ini semua terjadi dalam peristiwa al-ifk pada
tahun keenam hijrah.
====
POINT KE 3 : MENGHILANGKAN KERAGUAN
TENTANG PERNIKAHAN RASULULLAH ﷺ DENGAN AISYAH (RA).
Ke 1. Orang-orang yang bijak tidak membaca
peristiwa sejarah terlepas dari konteks yang mengikutinya dan faktor-faktor
yang membentuknya serta norma-norma yang mengelilinginya. Menilai baik atau
buruknya suatu tindakan, di mata orang-orang yang bijak dari berbagai agama,
tidak terpisah dari situasi dan keadaan yang menyertai tindakan tersebut.
Dan ini menunjukkan bahwa menikahi seseorang
yang seusia Aisyah radhiyallahu 'anha adalah hal yang diperbolehkan dalam
norma-norma waktu dan tempat di mana pernikahan yang diberkahi ini terjadi.
Aisyah radhiyallahu 'anha sudah dilamar oleh orang lain sebelum Nabi ﷺ melamarnya, dan mereka yang banyak mencemooh Nabi ﷺ karena menikahi Zainab radhiyallahu 'anha karena bertentangan
dengan norma dan adat mereka, tidak mengatakan apapun tentang pernikahannya
dengan Aisyah radhiyallahu 'anha.
Ke 2. Nabi ﷺ menikahi Aisyah di Mekah dan
menghabiskan malam bersamanya setelah kedatangannya di Madinah, meninggalkan
Mekah karena penindasan dan kezaliman orang-orangnya, dan belum ada kepastian
baginya di tempat pengungsian setelah itu. Tidak masuk akal jika ia menentang
norma-norma yang berlaku saat itu.
Ke 3. Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, yang
menikahkan putrinya Aisyah dengan Rasulullah ﷺ, adalah sosok yang sangat
kita hormati sebagai umat Muslim, tetapi - sebagaimana disepakati oleh Muslim
dan non-Muslim - dia adalah salah satu pemimpin besar dalam sejarah yang
mempengaruhi perjalanannya. Seorang pria dengan kehormatan dan kedudukan
seperti itu tidak akan menginginkan dirinya dan putrinya dihina, jika
pernikahan pada usia ini merugikan kehormatan dan martabatnya di antara orang Arab.
Ke 4. Perubahan norma masyarakat tidak dapat
disangkal oleh orang yang waras, dan perubahan tersebut mengenai usia
pernikahan telah terjadi di seluruh bangsa.
Misalnya, Negara Bagian California di Amerika
Serikat telah mengubah usia hukum untuk melakukan hubungan seksual secara
sukarela beberapa kali selama seperempat abad terakhir.
Hingga tahun 1889, usianya adalah sepuluh
tahun, kemudian menjadi empat belas tahun, lalu dinaikkan pada tahun 1897
menjadi enam belas tahun, dan pada tahun 1913 dinaikkan lagi menjadi delapan
belas tahun.
Namun, hingga sekarang usia tersebut adalah
tiga belas tahun di New Mexico dan empat belas tahun di Iowa, Mississippi, dan
Maine.
[Sumber :
http://www.ageofconsent.com/comments/numberone.htm]
Lihatlah - semoga Allah mengampuni saya dan
Anda - kepada hal itu, karena ini adalah suatu umat yang berbeda dari umat
lainnya dan zaman yang berbeda dari zaman lainnya. Dan usia hukum untuk
melakukan hubungan seksual secara sukarela hingga saat itu adalah sepuluh
tahun.
Lalu bagaimana dengan umat lain, adat yang
berbeda, dan zaman lain yang telah berlalu selama empat belas abad?
Perubahan besar dalam keadaan dunia pada
zaman-zaman terakhir ini telah menyebabkan perubahan besar dalam adat istiadat
penduduknya. Oleh karena itu, tidak adil atau bijak bagi orang-orang di zaman
modern ini untuk mengadili sejarah umat manusia dengan standar mereka yang
baru.
Masalah di zaman kita adalah adanya kelompok
tertentu yang menganggap diri mereka lebih unggul dan sewenang-wenang dalam
menetapkan standar untuk semua umat, tanpa membedakan antara daerah tengah
Afrika, daerah terpencil Siberia, suku-suku India di Amerika Latin, dan
bangsa-bangsa di China. Pekerjaan anak-anak dulu dianggap umum, diterima, dan
diatur hingga waktu yang baru-baru ini. Namun sekarang, setelah mereka tidak
lagi membutuhkannya berkat kekayaan yang mereka kumpulkan dengan cara yang
benar atau salah, mereka mulai mengejek bangsa-bangsa yang masih membutuhkan
pekerjaan itu. Mereka tidak hanya ingin menerapkan standar mereka di seluruh
dunia, tetapi juga ingin mengadili semua umat di muka bumi sejak awal
penciptaan di hadapan pengadilan adat mereka yang baru.
Islam adalah agama yang realistis yang
memungkinkan seorang wanita untuk menikah kapan pun walinya melihat maslahat
baginya dalam hal itu, dan tidak mengizinkan suaminya untuk berhubungan seksual
hingga dia memenuhi syarat secara fisik dan psikologis. Namun, Islam tidak
menetapkan usia tertentu bagi para wali, karena adat istiadat masyarakat
berbeda-beda dan kebutuhan mereka pun bervariasi. Setiap zaman dan tempat
memiliki norma yang sesuai untuk mereka. Nenek-nenek kita menikah pada usia dua
belas tahun atau sekitarnya, tetapi kita tidak melakukan hal yang sama dengan
putri-putri kita. Demikian pula, Taurat dan Injil tidak menetapkan - dalam
salah satu salinannya yang ada - usia untuk menikah.
Ke 7. Bahwa kesesuaian untuk melakukan hubungan
suami istri hanya akan terjadi ketika wanita telah mencapai usia yang
memungkinkan terjadinya hubungan tanpa adanya dampak negatif. Usia ini
berbeda-beda dan biasanya berkisar pada waktu pubertas atau sedikit di luar
itu. Lalu, kapan seorang wanita dikatakan sudah dewasa?
Pengetahuan medis modern menunjukkan bahwa
kebanyakan wanita mencapai pubertas antara usia dua belas dan empat belas
tahun, dengan rata-rata usia sekitar (12,75) tahun.
Namun, usia pubertas dapat bervariasi secara
signifikan dari satu gadis ke gadis lainnya dan dari satu lingkungan ke
lingkungan lainnya; ada kasus di mana pubertas terjadi lebih awal. Bahkan,
seorang gadis di Peru, Amerika Selatan, pernah hamil dan melahirkan pada usia
lima tahun enam bulan.
[[*Nelson Textbook of Pediatrics*, Edisi
ke-15, Halaman 1579-1580]
Lihat juga *Kajian Fikih dalam Isu-Isu Medis
Kontemporer* oleh beberapa ulama, *Studi tentang Haid, Nifas, dan Kehamilan
antara Fikih dan Kedokteran* (hal. 137-142). Dr. Umar al-Asyqar menyebutkan
dalam karya tersebut bahwa ada seorang anak perempuan yang menampakkan
tanda-tanda baligh pada usia dua tahun].
Pubertas sebelum usia sembilan tahun tidaklah
jarang, dan dokter tidak menganggap pubertas sebagai masalah ketika seorang
gadis mencapai usia tujuh atau delapan tahun. ([Baligh menurut dokter berbeda
dari haid karena baligh mendahului haid satu atau dua tahun.])
Jika di bawah usia itu, kondisi kesehatan
gadis tersebut akan diperiksa untuk memastikan tidak ada tumor atau penyakit
yang menyebabkan pubertas dini. Dalam banyak kasus, tidak ada penyakit yang
terdeteksi.
[Saenger, Paul. "Overview of Precocious
Puberty." Dalam: *UpToDate*, diedit oleh Rose, BD, *UpToDate*, Waltham,
MA, 2007.]
Ke 8- Banyak negara di dunia, termasuk negara
bagian di Amerika dan lainnya, menganggap seorang gadis berusia enam belas
tahun sebagai cukup matang untuk melakukan hubungan seksual dan menikah (bahkan
usia empat belas tahun juga dipertimbangkan seperti yang telah disebutkan
sebelumnya). Sekarang kita bertanya, apakah seorang gadis yang berusia sembilan
tahun, seperti Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah, dapat dibandingkan
dengan gadis berusia enam belas tahun dari segi ukuran dan struktur tubuh?
Tentu saja bisa, dan ini tidak hanya mempertimbangkan perbedaan zaman, tempat,
dan lingkungan, tetapi juga mengacu pada laju pertumbuhan alami yang tidak luar
biasa yang diukur dalam rentang antara urutan ketujuh dan sembilan puluh tujuh
sebagai batas atas dan ketiga sebagai batas bawah. Hal ini menunjukkan bahwa
gadis-gadis saat ini di negara bagian tengah Amerika memiliki variasi dalam
laju pertumbuhan alami mereka, sehingga berat seorang gadis berusia sembilan
setengah tahun pada urutan sembilan puluh tujuh sama dengan berat gadis berusia
enam belas tahun pada urutan ketiga, yaitu empat puluh lima kilogram, dan
tinggi gadis yang pertama adalah seratus lima sentimeter, hanya sembilan
sentimeter lebih pendek dari gadis yang kedua, yang lebih tinggi dari gadis
berusia empat belas tahun pada urutan ketiga. Semua ini berada dalam batas
pertumbuhan yang normal, dan para dokter anak tahu bahwa banyak dari mereka
melampaui urutan di atas sembilan puluh tujuh dan di bawah ketiga tanpa adanya
penyakit atau masalah. Semua ini terjadi saat ini di Amerika.
[http://www.cdc.gov/nchs/data/nhanes/growthcharts/set2clinical/cj41l071.pdf
]
Ke 9- Adapun ketika orang-orang bertindak
sewenang-wenang berdasarkan hawa nafsu mereka dalam menentukan kelayakan untuk
menikah, hal ini menyebabkan kontradiksi yang mencolok. Di negara yang sama,
pernikahan dengan seorang gadis berusia empat belas tahun adalah legal di
beberapa negara bagiannya, sedangkan di negara bagian lainnya dianggap sebagai
kejahatan hingga usia delapan belas tahun, dan suaminya diperlakukan sebagai
pemerkosa.
Ini berarti jika Anda berada di sebelah timur
garis perbatasan antara dua negara bagian, Anda adalah suami yang sah dan
sesuai dengan hukum, tetapi jika Anda berada di sebelah baratnya, Anda adalah
pemerkosa terhadap seorang gadis malang yang layak mendapatkan hukuman
maksimal.
﴿ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِندِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا
فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا﴾
“Kalau kiranya Al Quran itu bukan dari sisi
Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. [QS.
Nisa: 82]
Ke 10. Aisyah sendiri telah tumbuh dengan baik, dia
adalah yang berkata - yang paling mengenal dirinya sendiri -:
إِذَا بَلَغَتِ
الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِينَ فَهِيَ امْرَأَةٌ
"Jika seorang gadis mencapai usia
sembilan tahun, maka dia adalah seorang wanita."
Setelah menikah dengan Rasulullah ﷺ selama sekitar dua tahun, dia ikut dalam salah satu peperangan.
Anas radhiyallahu 'anhu berkata:
"لَمَّا كان يَوْمُ أُحُدٍ انْهَزَمَ
نَاسٌ من الناس عن النبي ﷺ... وَلَقَدْ
رأيت عَائِشَةَ بِنْتَ أبي بَكْرٍ وَأُمَّ سُلَيْمٍ وَإِنَّهُمَا لَمُشَمِّرَتَانِ
أَرَى خَدَمَ سُوقِهِمَا تَنْقُلَانِ الْقِرَبَ على مُتُونِهِمَا ثُمَّ
تُفْرِغَانِهِ في أَفْوَاهِهِمْ ثُمَّ تَرْجِعَانِ فتملأنها ثُمَّ تَجِيئَانِ
تُفْرِغَانِهِ في أَفْوَاهِ الْقَوْمِ."
"Ketika terjadi hari Uhud, beberapa
orang melarikan diri dari Rasulullah ﷺ... Dan saya melihat Aisyah
binti Abu Bakar dan Ummu Sulaim, keduanya bersiap-siap dan saya melihat mereka
membawa kantong air di punggung mereka, kemudian mereka mengosongkannya ke
mulut para pejuang, lalu mereka kembali dan mengisinya lagi, dan kemudian
mereka datang kembali untuk mengosongkannya ke mulut para pejuang." ([HR.
Muslim 3/1443])
Ini membuktikan bahwa dia tumbuh dengan baik
dan siap untuk menjalani peran wanita, tanpa mengesampingkan kenyataan bahwa
dia menikah pada usia sembilan tahun. Tidak heran jika beberapa wanita pada
usia sekitar dua belas tahun dapat melakukan apa yang disebutkan Anas, karena
perbedaan dalam laju pertumbuhan sangat bervariasi dari satu individu ke
individu lainnya dan dari satu lingkungan ke lingkungan lainnya.
Ke 11. Anak yang teraniaya seringkali menderita
kesulitan psikologis dan berbagai hambatan mental. Jika ia berhasil
mengatasinya, sangat jarang ia dapat mencapai kesuksesan, dan jika ia berhasil,
tidak mungkin ia dapat menyampaikan pesan dari orang yang telah berbuat jahat
padanya dan menyebarkannya di kalangan masyarakat. Apakah hal semacam itu
terjadi pada Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha? Ataukah dia justru
memimpin umat dan menyampaikan pesan dari Sang Terpilih, yang sisa hidupnya
dipenuhi dengan kesetiaan terhadapnya dan mengenangnya dengan menyebutnya ﷺ sebagai kekasih?
Apakah pernikahannya dengan beliau ﷺ adalah jalan untuk kebahagiaan dan kehormatan di dunia dan
akhirat?
Tidak ada wanita dalam sejarah yang lebih
bahagia dengan suaminya daripada dia.
Ke 12. Yang mengherankan dari ahli kitab adalah
bahwa mereka memanfaatkan pernikahan Nabi ﷺ untuk mencemoohnya,
sementara kita tidak menemukan satu pun ayat di dalam Perjanjian Lama dan
Perjanjian Baru yang menetapkan usia untuk menikah.
Sebaliknya, dalam Kitab Bilangan pasal 31
ayat 17-18, mereka menyebutkan bahwa Musa ‘alaihis salam berkata:
"فَالْآنَ اقْتُلُوا كُلَّ ذَكَرٍ مِّنَ
الْأَطْفَالِ، وَكُلَّ امْرَأَةٍ عَرَفَتْ رَجُلًا بِمُضَاجَعَةِ ذَكَرٍ اقْتُلُوهَا
- لَكِنْ جَمِيعَ الْأَطْفَالِ مِنَ النِّسَاءِ الَّذِينَ لَمْ يَعْرِفْنَ مُضَاجَعَةَ
ذَكَرٍ أَبْقُوهُنَّ لَكُمْ حَيَّاتٍ."
"Maka sekarang bunuhlah setiap anak
laki-laki. Dan setiap wanita yang telah mengenal seorang pria dengan
bersetubuh, bunuhlah; tetapi semua anak perempuan yang tidak mengenal seorang
pria dengan bersetubuh, biarkanlah mereka hidup untuk kalian."
Jadi, Musa ‘alaihis salam membolehkan dalam
narasi Taurat untuk berhubungan dengan anak-anak dari tawanan wanita.
Apakah Aisyah radhiyallahu 'anha tidak lebih baik
daripada wanita yang disebutkan kisahnya dalam Taurat bersama Dawud ‘alaihis
salam? Dalam Kitab Raja-raja yang pertama, pasal pertama ayat 1-3 disebutkan:
"وَشَاخَ الْمَلِكُ دَاوُدُ، تَقَدَّمَ فِي
الْأَيَّامِ، وَكَانُوا يَدَثِّرُونَهُ بِالثِّيَابِ فَلَمْ يَدْفَأْ. فَقَالَ لَهُ
عَبِيدُهُ لِيَفْتَشُوا لِسَيِّدِنَا الْمَلِكِ عَلَى فَتَاةٍ عَذْرَاءَ فَلْتَقِفْ
أَمَامَ الْمَلِكِ وَلْتَكُنْ لَهُ حَاضِنَةً وَلْتَضْطَجِعْ فِي حَضْنِكَ فَيَدْفَأَ
سَيِّدُنَا الْمَلِكُ. فَفَتَّشُوا عَلَى فَتَاةٍ جَمِيلَةٍ فِي جَمِيعِ تَخُومِ إِسْرَائِيلَ
فَوَجَدُوا أَبِيْشَجَ الشُّونَمِيَّةَ فَجَاءُوا بِهَا إِلَى الْمَلِكِ. وَكَانَتِ
الْفَتَاةُ جَمِيلَةً جِدًّا فَكَانَتْ حَاضِنَةَ الْمَلِكِ وَكَانَتْ تَخْدِمُهُ وَلَكِنَّ
الْمَلِكَ لَمْ يَعْرِفْهَا."
"Dan Raja Dawud telah tua. Ia sudah
lanjut usia. Dan mereka menutupi dia dengan pakaian, tetapi ia tidak merasa
hangat. Maka hamba-hambanya berkata kepadanya, 'Biarkanlah kami mencari seorang
gadis perawan untuk tuan kita raja, supaya ia berdiri di depan raja dan menjadi
pengasuhnya, dan supaya ia berbaring di pangkuan tuan kita raja, agar tuan kita
raja merasa hangat.'
Lalu mereka mencari seorang gadis yang cantik
di seluruh wilayah Israel, dan mereka menemukan Abisag, seorang Sunamite, dan
membawa dia kepada raja. Gadis itu sangat cantik dan menjadi pengasuh raja, dan
melayaninya, tetapi raja tidak mengenalnya."
Dawud digambarkan dalam Mazmur sebagai anak
Allah, maka kami katakan kepada mereka:
"Ya Allah, sesungguhnya Aisyah
radhiyallahu 'anha telah menjalani hidup bahagia bersama pemimpin sekalian
makhluk yang selalu berlomba dan bercanda dengannya, dan mengajarinya hal-hal
yang menjadikannya mulia serta mengangkat namanya di antara manusia setelah
kematiannya."
Ke 13. Jika yang dimaksud Rasulullah ﷺ adalah hasrat, mengapa beliau meninggalkan Aisyah di rumah
ayahnya selama tiga tahun setelah menikahinya? Dan jika yang beliau inginkan
dari sisa pernikahan beliau, mengapa beliau mengabaikan para istri beliau
ketika mereka meminta perpanjangan nafkah hingga beliau memberi mereka pilihan?
Allah Ta’ala berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ
إِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ
أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا * وَإِن كُنتُنَّ تُرِدْنَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَالدَّارَ الْآخِرَةَ فَإِنَّ اللَّهَ أَعَدَّ
لِلْمُحْسِنَاتِ مِنكُنَّ أَجْرًا عَظِيمًا﴾
*(Wahai Nabi, katakan kepada istri-istrimu,
"Jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka
datanglah, akan Kuberikan kepada kalian dan Kuberhentikan kalian dengan cara
yang baik. Dan jika kalian menginginkan Allah dan Rasul-Nya serta kehidupan
akhirat, maka sesungguhnya Allah telah menyediakan bagi orang-orang yang
berbuat baik di antara kalian pahala yang besar")* [Al-Ahzab 28-29].
Bukankah pemilik hasrat akan memanjakan
istri-istrinya dan menyenangkan mereka? Ataukah beliau mendorong mereka untuk
hidup zuhud dan sederhana sementara beliau mampu hidup seperti raja?
Ya Allah, semoga salawat dan salam selalu
tercurahkan kepada beliau, dan ridailah para ibu orang-orang beriman yang
memilihmu, Rasul-Mu, dan kehidupan akhirat.
Di antara orang-orang Muslim, ada yang segera
mencari alasan dan pembenaran setiap kali mereka dihadapkan pada keraguan yang
ditimbulkan oleh setan yang menyesatkan kepada musuh yang marah atau orang yang
bodoh dan terpedaya.
Seandainya mereka lebih baik dalam mencari
dan mempelajari, mereka akan menemukan kitab Tuhan mereka dan sunnah Nabi
mereka yang sah sebagai sumber segala kehormatan dan kebanggaan, dan tidak ada
satu pun dalamnya yang bisa mereka minta maaf atau malu untuk dibicarakan.
Ya Allah, berilah petunjuk kepada kami dan
semua hamba-Mu, dan semoga salawat dan salam selalu tercurahkan kepada penutup
para Rasul dan pemimpin ciptaan-Mu, Muhammad.
(SELESAI)
===*****===
ARTIKEL KE DUA :
KAJIAN TENTANG USIA AISYAH (RA) SAAT DINIKAHI NABI ﷺ
تَحْقِيقٌ فِي عُمْرِ
أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا عِنْدَمَا تَزَوَّجَهَا النَّبِيُّ
ﷺ
Dari ISLAMQA NO FATWA : 124483
Artikel berbahasa arab. Diterjemahkan
oleh Abu Haitsam Fakhry.
Terjemahannya adalah sebagai berikut :
**KAJIAN TENTANG USIA AISYAH (RA)
SAAT DINIKAHI NABI ﷺ**
Alhamdulillah.
**PEMBAHASAN PERTAMA:**
Batasan usia Aisyah radhiallahu anha saat
dinikahi Nabi ﷺ saat dia berusia 6 ahun dan
digauli saat dia berusia 9 tahun, bukanlah merupakan ijtihad para ulama, sehingga
perlu lagi dikaji benar atau tidaknya. Akan tetapi dia merupakan peristiwa
sejarah yang valid dan menguatkan keshahihannya serta keharusan menerimanya.
Hal tersebut karena beberapa sebab;
Ke1 : Terdapat riwayat yang bersumber dari pelaku pada peristiwa itu,
yaitu Aisyah radhiallahu anha tentang dirinya, yaitu dengan dia berkata,
تَزَوَّجَنِى
النَّبِي ﷺ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ ، فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا
فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ خَزْرَجٍ ، فَوُعِكْتُ فَتَمَرَّقَ شَعَرِي فَوَفَى
جُمَيْمَةً ، فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ
وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي ، فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا لاَ أَدْرِي مَا تُرِيدُ
بِي ، فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى بَابِ الدَّارِ ، وَإِنِّي
لأَنْهَجُ ، حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي ، ثُمَّ أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ
فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي ، ثُمَّ أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ ، فَإِذَا
نِسْوَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ ، فَقُلْنَ : عَلَى الْخَيْرِ
وَالْبَرَكَةِ ، وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ . فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ
مِنْ شَأْنِي ، فَلَمْ يَرُعْنِي إِلاَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ضُحًى ،
فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ ، وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
“Aku dinikahi oleh Nabi ﷺ saat aku berusia 6 tahun. Lalu kami datang ke Madinah, dan kami
tinggal di Bani Harits bin Khazraj. Lalu aku menderita sakit sehingga rambutku
rontok kemudian banyak lagi. Lalu ibuku, Ummu Ruman, mendatangiku saat aku
berada di ayunan bersama teman-temanku. Lalu dia memanggilku, maka aku
mendatanginya, aku tidak tahu apa yang dia inginkan. Maka dia mengajakku hingga
aku tiba di depan pintu sebuah rumah. Aku sempat merasa khawatir, namun
akhirnya jiwaku tenang. Kemudian ibuku mengambil sedikit air dan mengusapkannya
ke wajah dan kepalaku.
Kemudian dia mengajakku masuk ke rumah
tersebut. Ternyata di dalamnya terdapat beberapa orang wanita kaum Anshar.
Mereka berkata, “Selamat dan barokah, selamat dengan kebaikan.”
Lalu ibuku menyerahkanku kepada mereka dan
kemudian mereka mulai merapihkan aku. Tidak ada yang mengagetkan aku kecuali
kedatangan Rasulullah ﷺ pada waktu Dhuha. Kemudian
ibuku menyerahkan aku kepadanya dan ketika itu aku berusia 9 tahun.” (HR.
Bukhari, no. 3894, Muslim, no. 1422)
Ke 2. Riwayat Aisyah ini terdapat dalam kitab
yang paling shahih setelah Kitabullah Taala, yaitu kitab shahih Bukhari dan
Muslim.
Ke 3. Terdapat riwayat dari Aisyah dari
berbagai jalur sanad, bukan Cuma satu jalur sebagaimana tuduhan orang-orang
yang bodoh.
Jalur yang terkenal adalah riwayat Hisyam bin
Urwah bin Zubair, dari bapaknya Urwah bin Zubair, dari Aisyah radhiallahu anha,
dan ini merupakan riwayat yang paling shahih. Urwah bin Zubair merupakan orang
yang paling mengenal Aisyah, karena Aisyah adalah bibinya.
-Jalur lainnya adalah dari riwayat Zuhri,
dari Urwah bin Zubair dari Aisyah dalam riwayat Muslim (1422).
- Jalur lainnya lagi adalah dari riwayat
A’masy, dari Ibrahim, dari Aswad, dari Aisyah, dia berkata,
تَزَوَّجَهَا رَسُولُ
اللهِ ﷺ وَهِيَ بِنْتُ سِتٍّ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ، وَمَاتَ عَنْهَا
وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانِ عَشْرَةَ.
“Rasulullah ﷺ menikahinya saat dia berusia
6 tahun, dan menggaulinya saat dia berusia 9 tahun. Beliau meninggal saat
Aisyah berusia 18 tahun.” (HR. Muslim, no. 1422)
Jalur lain lagi dari Muhamad bin Amr, dari
Yahya bin Abdurrahman bin Hatib dari Aisyah radhiallahu anha (HR. Abu Daud, no.
4937)
Syekh Abu Ishaq Al-Huwaini telah mengumpulkan
nama-nama yang mengambil hadits ini dari Urwah, yaitu, Aswad bin Yazid, Qasim
bin Abdurrahman, Qasim bin Muhamad bin Abu Bakar, Umrah bin Abdurrahman, Yahya
bin Abdurrahman bin Hatib.
Beliau juga mengumpulkan nama-nama yang
mengambil hadits ini dari Hisyam bin Urwah, yaitu Ibnu Syihab Az-Zuhri, Abu
Hamzah Maimun, budak Urwah.
Para perawi tersebut menyebut beberapa
penduduk Madinah yang mengambil riwayat dari Hisyam bin Urwah, agar para
pembaca mengetahui bahwa hadits ini termasuk yang disampaikan Hisyam di Madinah
juga. Mereka adalah; Abu Zanad Abdullah bin Zakwan, puteranya Abdurrahman bin
Zanad dan Abdullah bin Muhamad bin Yahya bin Urwah.
Adapun perawi yang merupakan penduduk Mekah
adalah Sufyan bin Uyaiynah, Jarir bin Abdulhamid Adh-Dhabi, penduduk Ray.
Sedangkan dari penduduk Bahrah adalah Hamad bin Salamah, Hamad bin Zaid, Wuhaib
bin Khalid, dll.
Lihat ceramah yang disampaikan oleh Abu Ishaq
Al-Huwainy yang menjelaskan ketidaktahuan penulis artikel tersebut dalam soal
jawab. Berikut linknya.
http://www.islamway.com/?iw_s=Lesson&iw_a=view&lesson_id=86106
Demikin juga link ini,
http://www.islamway.com/?iw_s=Lesson&iw_a=view&lesson_id=86495
Data ini semuanya untuk menolak syubhat kaum
yang bodoh bahwa Hisyam bin Urwah sendiri yang meriwayatkan. Walaupun jika
diterima perkiraan bahwa Hisyam di akhir hidupnya mengalami gangguan hafalan,
akan tetapi tuduhan ini hanya dinyatakan oleh Hasan bin Qathan dalam ‘Bayanul
Wahmi Wal Iham’ dan dia keliru dalam masalah ini.
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,
“Hisyam bin Urwah, salah seorang pemuka
ulama, akan tetapi, pada usia senja, hafalannya berkurang, akan tetapi sama
sekali tidak rancu. Apa yang dinyatakan oleh Abul Hasan Al-Qathan bahwa beliau
dan Suhail bin Abi Shalih kacau hafalannya dan berubah adalah tidak dianggap.
Ya, hafalannya sempat terganggu sedikit, daya hafalnya tidak sebagaimana dia
semasa mudah, sehingga dirinya lupa sebagian yang dihafal atau keliru.
Lalu mengapa? Apakah dia maksum dari sifat
lupa?
Ketika dia datang Irak di akhir usianya dia
banyak meriwayatkan ilmu, dalam waktu yang singkat itu, ada beberapa hadits
yang tidak dia ingat. Perkara seperti ini dapat terjadi pada Imam Malki,
Syu’bah, Waki’ dan para tokoh perawi yang terpercaya.
Maka tinggalkan kesimpangsiuran ini, jangan
campuradukkan tokoh ulama terpercaya dengan perawi-perawi yang lemah serta yang
riwayatnya sering tercampur.
Hisyam merupakan Syakhul Islam. Maka kita
sedih dengan apa yang disampaikan oleh Ibnu Qathan. Begitupula apa yang
diucapkan oleh Abdurrahman bin Kharras, ‘Dahulu Malik tidak ridha kepadanya.
Beliau tidak menyukai haditsnya untuk penduduk Irak.” (Mizanul I’tidal,
4/301-302)
Ke 4. Demikian pula yang meriwayatkan kisah
pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah saat dia
berusia 9 tahun, adalah orang-orang selain Aisyah dan mereka bertemu dengannya
serta orang yang lebih mengetahui tentang Aisyah dibanding selain mereka.
Imam Ahmad meriwayatkan dalam kitab Musnad,
6/211, dari Muhamad bin Bisyr, dia bekata, telah menyampaikan kepada kami
Muhamad bin Amr, dia berkata, telah menyampaikan kepada kami Abu Salamah dan
Yahya, keduanya berkata :
“Ketika Khadijah wafat, Khaulah binti Hakim,
isteri Utsman bin Maz’un, lalu dia berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah engkau
tidak ingin menikah (lagi)?’Beliau berkata, ‘(Dengan) siapa?’ dia berkata,
‘Kalau engkau suka dapat dengan seorang gadis, kalau engkau suka, dapat dengan
seorang janda.’ Beliau berkata, ‘Dengan gadis (siapa)?’ Dia berkata, ‘Dengan
puteri makhluk Allah yang paling engkau cintai; Aisyah bintu Abu Bakar…”
Lalu disebutkanlah kisahnya secara
terperinci, di dalamnya disebutkan bahwa ketika akad Aisyah berusiah 6 tahun,
kemuian baru digauli ketika dia berusia 9 tahun.”
Ke 5. Dan riwayat ini yang langsung Aisyah
sendiri yang meriwayatkannya, juga diriwayatkan oleh orang-orang selainnya, hal
inilah yang dijadikan sebagai sejarah yang berbicara tentang riwayat hidupnya.
Tidak ada perbedaan pendapat dalam masalah ini. Perkara ini bukan tempatnya
untuk berijtihad, karena ketika seseorang telah meriwayatkan apa yang terjadi
pada dirinya, maka tidak ada seorang punyang boleh berijihad
Ke 6. Rujukan-rujukan sejarah telah sepakat
bahwa Aisyah radhiallahu anha dilahirkan setelah datangnya Islam. Yaitu 4 atau
5 tahun setelah kenabian .
Imam Baihaqi rahimahullah berkata ketika
beliau berkomentar terhadap hadits, ketika mengomentari hadits,
لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ
قَطُّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ الدِّينَ
“Aku belum baligh ketika kedua orang tuaku
telah memeluk agama itu (Islam).”
“Aisyah radhiallahu anha di lahirkan dalam
masa Islam, karena kedua orang tuanya telah masuk Islam sejak pertama kali Nabi
diutus.
Terdapat riwayat shahih dari Aswad dari
Aisyah radhiallahu anha bahwa Rasulullah ﷺ menikahinya saat dia berusia
6 tahun dan menggaulinya saat dia berusia 9 tahun, dan Rasulullah ﷺ wafat saat dia berusia 18 tahun.
Akan tetapi, Asma dilahirkan pada masa
jahiliah, lalu dia masuk Islam seiring dengan Islamnya sang bapak. Sebagaiman
disebutkan oleh Abu Abdillah bin Mandah, sebuah hikayat dari Ibnu Abi Zanadd,
bahwa Asma binti Abu Bakar sepuluh tahun lebih tua dari Aisyah sedangkan
Islamnya Asma terlambat.
Asma radhiallahu anha berkata, “Ibuku
mendatangiku saat dia masih musyrik..” lalu dia mengisahkan, namun sang ibu
terbunuh. Ibunya Asma bukan ibunya Aisyah. Karena Islamnya Asma karena Islamnya
sang bapak, bukan karena sang ibu.
Adapun Abdurrahman bin Abu Bakar, tampaknya
dia sudah baligh ketika kedua orang tuanya masuk Islam, namun dia tidak segera
mengikuti keduanya masuk Islam dan baru masuk Islam setelah selang waktu sekian
lama. Dia adalah anak Abu Bakar yang paling tua.” (As-Sunan Al-Kubra, 6/203)
Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, “Aisyah
termasuk yang dilahirkan setelah Islam, dia lebih muda 8 tahun dari Fathimah.
Dia berkata, ‘Aku belum baligh saat kedua orang tuaku memeluk Islam.” (Siyar A’lam
An-Nubala, 2/139)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Aku dilahirkan, maksudnya Aisyah, 4 atau 5 tahun setelah diutus (Rasulullah ﷺ).” (Al-Ishabah, 8/16)
Maka, usianya saat hijrah adalah 8 atau 9
tahun. Hal ini sesuai dengan hadits sebelumnya.
Ke 7- Sumber-sumber sejarah juga sepakat
bahwa Nabi ﷺ wafat saat Aisyah berusia 18 tahun, maka ketika hijrah, dia
berusia 9 tahun.
Ke 8- Sebagaiman meriwayatkan juga buku-buku
sirah, tarikh, biorgrafi, bahwa Aisyah radhiallahu anha wafat saat berusia 63
tahun. Yaitu pada tahun 57 H. Maka usianya sebelum hijrah adalah 6 tahun. Maka
jika digenapkan, sebagaimana kebiasaan masyarakat Arab yang menggenapkan dalam
menghitung tahun, maka usianya saat hijrah adalah 8 tahun, sedangkan usianya
saat digauli Nabi shallallau alaihi wa sallam 8 bulan setelah hijrah adalah 9
tahun.
Ke 9. Apa yang disebutkan sebelumnya, juga
sesuai sebagaimana yang diberitakan para ulama tentang perbedaan antara usia
Asma binti Abu Bakar dan Aisyah radhiallahu anha. Adz-Dzahabi rahimahullah
berkata, “Dia, maksdunya Asma, lebih tua sepuluh tahun lebih dari Aisyah.”
(Siyar A’lam An-Nubala, 2/188)
Aisyah dilahirkan 4 atau 5 tahun setelah masa
kenabian. Abu Nuaim berkata dalam Mu’jam Ash-Shahabat, tentang Asma, bahwa dia
dilahirkan 10 tahun sebelum diutusnya Nabi ﷺ.
Maka selisih usia antara Aisyah dan Asma
adalah 14 atau 15 tahun. Ini merupakan ucapan AzZahibi terdahulu, yaitu bahwa
dia, Asma, lebih tua sepuluh tahun lebih dari Aisyah.”
Ke 10. Meskipun kami kutip angka-angka yang
valid dari buku-buku sejarah dan biografi, akan tetapi, pedoman dasar kami
adalah riwayat yang berdasarkan sanad shahih, apa yang kami kutip dari
buku-buku tersebut bukan kutipan tanpa sanad, akan tetapi, kutipan-kutipan tadi
seluruhnya sesuai dengan apa yang telah kami sebutkan di awal jawaban berupa
hadits-hadits shahih seterang matahari, karena itu kami sertakan pula informasi
penguat dari buku-buku sejarah.
**PEMBAHASAN KEDUA:**
Adapun jawaban tentang alasan penulis artikel
tersebut bahwa sesuai informasi yang disebutkan dalam sebagian referensi bahwa
perbedaan usia antara Asma dan Aisyah adalah 10 tahun, maka kami katakan, bahwa
sesungguhnya semua itu tidak terdapat dalam sanad yang shahih, seandainya
sanadnya shahih, maka mungkin dipahami dengan menyesuaikan dalil-dalil yang
tegas sebelumnya.
Adapun dari segi sanad, riwayat ini
diriwayatkan dari Abdurrahman bin Abi Zanad, dia berkata, “Adalah Asma binti
Abu Bakar 10 tahun lebih tua dari Aisyah.”
Riwayat ini berasal dari dua jalur;
Jalur pertama;
Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dalam Tarikh
Dimasyq (10/69), dia berkata, “Menyampaikan kepada kami Abul Hasan Ali bin
Ahmad Al-Maliki, menyampaikan kepada kami Ahmad bin Abdul Wahid As-Silmy,
menyapaikan kepada kami Abu Muhamad bin Zubr, menyampaikan kepada kami Ahmad
bin Saad bin Ibrahim Az-Zuhri, menyampaikan kepada kami Muhamad bin Abi Sufyan,
menyampaikan kepada kami Al-Ashmai, menyampaikan kepada kami Ibnu Abi Zanad,
dia berkata, lalu dia menyebutkannya (riwayat tersebut).
Jalur kedua:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dalam
Al-Isti’ab Fi Ma’rifatil Ashab (2/616), dia berkata, ‘Telah menyampaikan kepada
kami Ahmad bin Qasim, telah menyampaikan kepada kami Muhamad bin Muawiyah,
telah menyampaikan kepada kami Ibrahim bin Musa bin Jamil, telah menyampaikan
kepada kami Ismail bin Ishaq Alqadhi, telah menyampaikan kepada kami Nashr bin
Ali, telah menyampaikan kepada kami Al-Ashmai, dia berkata, telah menyampaikan
kepada kami Ibnu Abi Zanad, dia berkata, ‘Asma binti Abu Bakar berkata, dia
kurang lebih sepuluh tahun lebih tua dari Aisyah.
Jika seorang peneliti yang obyektif
memperhatikan riwayat-riwayat ini, maka akan tampak baginya bahwa mengambil
zahir satu riwayat lalu meruntuhkan dalil-dalil shahih yang bertentangan
dengannya, merupakan kejahatan ilmiah.
Hal tersebut sebagai berikut;
Ke 1. Sendirinya Abdurrahman bin Abi Zanad
(100 – 174 H) dalam menetapkan perbedaan usia Asma dan Aisyah radhiallahu
anhuuma sebanyak 10 tahun. Adapun dalil-dalil sebelumnya sangat banyak dan
diriwayatkan oleh lebih dari seorang tabiin. Perlu diketahui bahwa yang lebih
banyak didahulukan dari yang sedikit.
Ke 2. Para ulama sendiri mayoritas melemahkan
Abdurrahman bin Abi Zanad. Terdapat dalam biografinya dalam kitab Tahdzib
At-Tahdzib (6/172) mengutip perkataan Imam Ahmad, di dalamnya beliau menyatakan
bahwa dia (Abdurrahman bin Abi Zanad) adalah mudhtaribul hadits (haditsnya
tidak ajeg).
Begitu pula ucapan Ibnu Main tentangnya,
“Bukan orang yang dijadikan sebagai hujjah oleh ahli hadits.”
Ucapan Ibnu Madiny, “Apa yang dia riwayatkan
di Madinah adalah shahih, tapi apa yang diriwayatkan di Baghdad telah dirusak
oleh orang-orang Baghdad. Dan aku melihat Abdurrahman, maksudnya Ibnu Mahdy,
telah menulis hadits-hadits Abdurrahman bin Abi Zanad, dia berkata dalam
haditsnya tentang guru-guru merka, lalu orang-orang Baghdad menerimanya dari
para ahli fiqih merek dengan menyebutkannya, dari fulan, fulan dan fulan.” Abu
Hatim berkata, “Dia menuliskan haditsnya namun tidak dijadikan hujah”. An-Nasai
berkata, “Haditsnya tidak dapat dijadikan hujah.” Abu Ahmad bin Adi berkata,
“Sebagian yang dia riwayatkan, tidak dapat diikuti.”
Adapun Tirmidzi menyatakan dia sebagai tsiqah
dalam sunannya pada hadits no. 1755, maka hal itu bertentangan dengan kritik
yang telah diuraikan sebelumnya. Hal ini (kritik) lebih dianggap ketimbang
rekomendasi. Khususnya karena sendirinya Abdurrahman bin Abi Zanad dengan
redaksi yang bertentangan dengan apa yang telah dikenal dalam kitab-kitab sunah
dan sejarah.
2.Ucapannya dalam riwayat Ibnu Abdil Barr,
“Dia (Asma) kurang lebih 10 tahun lebih tua dari Aisyah.” Riwayat ini lebih
shahih dari riwayat Ibnu Asakir, karena Nashr bin Ali, yang merawikan dari
Al-Ashmai dan sanad Ibnu Abdil Barr adalah tsiqah dan hafiz, sebagaiman
disebutkan dalam Tahdzib At-Tahdzib (10/431), adapun Muhamad bin Abi Sufyan,
perawi dari Al-Ashmai dalam sanad Ibnu Asakir, tidak ada seorang pun yang
menyatakan tsiqah.
Ucapannya dalam riwayat Ibnu Abdil Bar (atau
semacamnya) merupakan dalil bahwa beliau tidak membatasi angka sepuluh tahun,
hal ini menunjukkan lemahnya periwayatannya, maka tidak dibenarkan bagi seorang
peneliti yang obyektif membantah dalil-dalil sebelumnya (yang shahih) hanya
karena riwayat yang meragukan ini.
Ke 3. Kemudian, masih mungkin untuk melakukan
kompromi antara riwayat ini dengan riwayat-riwayat lainnya. Yaitu dengan
mengatakan, bahwa kelahiran Asma adalah 5 atau 6 tahun sebelum diutusnya
kenabian, sedangkan Aisyah dilahirkan 4 atau 5 tahun sesudah kenabian. Ketika
Asma wafat pada tahun 73 H, usianya 91 atau 92 tahun.
Ini yang disebutkan Adz-Dzahabi dalam Siyar
A’lam An-Nubala (3/380), “Ibnu Zanad berkata, ‘Dia (Asma) 10 tahun lebih tua
dari Aisyah.’
Aku (Adz-Dzahabi) berkata, ‘Maka dengan
demikian, usianya adalah 91 tahun. Adapun Hisyam bin Urwah berkata, ‘Aisyah
usianya 100 tahun dan giginya tidak rontok, dan hal ini tidak diingkari
logika.”
Demikian pula, memungkinkan untuk dikatakan
bahwa Asma dilahirkan 14 tahun sebelum masa kenabian. Hal ini diakui oleh
penulis penulis itu sendiri dalam artikelnya tersebut.
Usianya pada tahun peristiwa hijrah adalah 27
tahun, sedangkan usianya ketika wafat pada tahun 73 H, adalah 100 tahun. Maka
kesimpulan ini cocok dengan referensi buku-buku sejarah terkait dengan Asma
binti Abu Bakar radhiallahu anha, yaitu bahwa wafatnya terjadi pada tahun
peristiwa pembunuhan terhadap Abdullah bin Zubair (73H) dan bahwa dia wafat
pada usia 100 tahun.
Hisyam bin Urwah berkata dari bapakanya,
“Asma mencapai usia 100 tahun dan tidak ada giginya yang rontok, hal ini tidak
diingkari secara logika.”
Berikut ini nama kitab-kitab referensi yang
menyebutkan hal itu; Hilyatul Auliya (2/56), Mu’jam Ash-Shahabah, Abu Nu’aim
Al-Ashbahani dalam kitab Al-Isti’ab, Ibnu Abdil Barr (4/1783), Tarikh Dimasyq,
Ibnu Asakir (8/69), Usdul Ghobah, Ibnu Atsir (12/7), Al-Ishabah, Ibnu Hajar
(7/487), Tahzibul Kamal (35/125)
Adapun dia dilahirkan 10 tahun sebelum masa
kenabian, hal ini dinyatakan oleh Abu Nuaim Al-Asfahani dengan redaksi yang di
dalamnya terdapat ungkapan :
‘Dia (Asma) adalah saudara perempuan sebapak
dengan Aisyah, dia lebih tua dari Aisyah, dilahirkan 27 sebelum sebelum hijrah,
dan 10 tahun sebelum kenabian Rasulullah ﷺ, sedangkan bapaknya
dilahirkan 21 tahun sebelum kelahirannya. Asma wafat pada tahun 73 H di Mekah
beberapa hari setelah puteranya Abdullah bin Zubair terbunuh . Dia berusia 100
tahun dan matanya sudah menjadi buta”
Seakan-akan yang dimaksud Abu Nuaim bahwa
masa tinggalnya di Mekah selama 17 tahun. Ini adalah pendapat sebagian ahli
sejarah, namun ini pendapat yang lemah. Akan tetapi hendaknya diingatkan
masalah ini apabila hendak memahami perkataan Abu Nuaim.
Wallahu a’lam..
===*****===
ARTIKEL KE TIGA:
**BANTAHAN TERHADAP TUDUHAN PERNIKAHAN NABI ﷺ DENGAN AISYAH DI USIA 18 TAHUN**
الرَّدُّ عَلَى
فِرْيَةِ زَوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ بِعَائِشَةَ وَلَهَا ١٨ سَنَةً
Dari ISLAMQA Fatwa No. 12253
Berikut ini terjemahannya :
**Bantahan Terhadap Tuduhan
Pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah di Usia 18
Tahun**
Segala puji bagi Allah.
**PEMBAHASAN PERTAMA:**
Hadits-hadits sahih telah menyebutkan bahwa
Nabi ﷺ melangsungkan akad nikah dengan Aisyah radhiyallahu 'anha saat
ia berusia enam tahun, dan memasuki hidup bersama beliau saat berusia sembilan
tahun. Di antaranya adalah:
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:
(تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ ﷺ وَأَنَا بِنْتُ
سِتِّ سِنِينَ فَقَدِمْنَا الْمَدِينَةَ فَنَزَلْنَا فِي بَنِي الْحَارِثِ بْنِ
خَزْرَجٍ فَوُعِكْتُ [أي : أصابتها حمى] ... فَأَتَتْنِي أُمِّي أُمُّ رُومَانَ
وَإِنِّي لَفِي أُرْجُوحَةٍ وَمَعِي صَوَاحِبُ لِي ، فَصَرَخَتْ بِي فَأَتَيْتُهَا
لَا أَدْرِي مَا تُرِيدُ بِي ، فَأَخَذَتْ بِيَدِي حَتَّى أَوْقَفَتْنِي عَلَى
بَابِ الدَّارِ وَإِنِّي لَأُنْهِجُ حَتَّى سَكَنَ بَعْضُ نَفَسِي ، ثُمَّ
أَخَذَتْ شَيْئًا مِنْ مَاءٍ فَمَسَحَتْ بِهِ وَجْهِي وَرَأْسِي ، ثُمَّ
أَدْخَلَتْنِي الدَّارَ ، فَإِذَا نِسْوَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ فِي الْبَيْتِ
فَقُلْنَ : عَلَى الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ وَعَلَى خَيْرِ طَائِرٍ .
فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِنَّ فَأَصْلَحْنَ مِنْ شَأْنِي فَلَمْ يَرُعْنِي إِلَّا
رَسُولُ اللَّهِ ﷺ ضُحًى فَأَسْلَمَتْنِي إِلَيْهِ وَأَنَا يَوْمَئِذٍ بِنْتُ
تِسْعِ سِنِينَ)
"Nabi ﷺ menikahiku ketika aku
berusia enam tahun, lalu kami pindah ke Madinah dan kami tinggal di Bani Harits
bin Khazraj. Kemudian aku jatuh sakit (yaitu terkena demam) ... Kemudian ibuku,
Ummu Ruman, mendatangiku saat aku sedang bermain ayunan bersama teman-temanku,
dan ia memanggilku. Aku pun datang kepadanya tanpa mengetahui apa yang
diinginkannya dariku. Ia kemudian memegang tanganku dan membawaku hingga
berdiri di depan pintu rumah. Saat itu aku masih terengah-engah hingga napasku
mereda, lalu ia mengambil sedikit air dan mengusapkannya pada wajah dan
kepalaku, kemudian membawaku masuk ke dalam rumah.
Di sana ada sejumlah perempuan dari kaum
Anshar yang mengucapkan, ‘Semoga keberuntungan, keberkahan, dan dalam nasib
yang baik.’
Lalu mereka menyerahkanku kepada mereka untuk
dibenahi penampilanku. Tiba-tiba Rasulullah ﷺ datang pada waktu dhuha,
lalu mereka menyerahkanku kepada beliau. Pada hari itu, aku berusia sembilan
tahun.” (HR. Bukhari no. 3894 dan Muslim no. 1422).
Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:
(كُنْتُ أَلْعَبُ بِالْبَنَاتِ عِنْدَ
النَّبِيِّ ﷺ وَكَانَ لِي صَوَاحِبُ يَلْعَبْنَ مَعِي ، فَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
إِذَا دَخَلَ يَتَقَمَّعْنَ [أي : يتخفين] مِنْهُ فَيُسَرِّبُهُنَّ إِلَيَّ
فَيَلْعَبْنَ مَعِي)
“Aku bermain dengan boneka-bonekaan di dekat
Nabi ﷺ, dan aku memiliki teman-teman perempuan yang bermain bersamaku.
Ketika Rasulullah ﷺ masuk, mereka bersembunyi
darinya, lalu beliau mengizinkan mereka masuk dan bermain bersamaku.” (HR.
Bukhari no. 7130 dan Muslim no. 2440).
Abu Dawud (4932) meriwayatkan dari Aisyah
radhiyallahu 'anha, ia berkata:
(قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنْ غَزْوَةِ
تَبُوكَ أَوْ خَيْبَرَ وَفِي سَهْوَتِهَا سِتْرٌ فَهَبَّتْ رِيحٌ فَكَشَفَتْ
نَاحِيَةَ السِّتْرِ عَنْ بَنَاتٍ لِعَائِشَةَ لُعَبٍ فَقَالَ :مَا هَذَا يَا
عَائِشَةُ ؟ قَالَتْ : بَنَاتِي . وَرَأَى بَيْنَهُنَّ فَرَسًا لَهُ جَنَاحَانِ
مِنْ رِقَاعٍ فَقَالَ :
مَا هَذَا
الَّذِي أَرَى وَسْطَهُنَّ ؟ قَالَتْ : فَرَسٌ قَالَ : وَمَا هَذَا الَّذِي
عَلَيْهِ ؟ قَالَتْ : جَنَاحَانِ . قَالَ : فَرَسٌ لَهُ جَنَاحَانِ ؟! قَالَتْ :
أَمَا سَمِعْتَ أَنَّ لِسُلَيْمَانَ خَيْلًا لَهَا أَجْنِحَةٌ ؟ قَالَتْ :
فَضَحِكَ حَتَّى رَأَيْتُ نَوَاجِذَهُ)
“Rasulullah ﷺ pulang dari Perang Tabuk
atau Khaibar, dan di tempat penyimpananku ada tirai. Lalu angin bertiup dan
tersingkaplah tirai tersebut sehingga terlihat boneka-boneka milikku.
Rasulullah ﷺ bertanya, ‘Apa ini, wahai Aisyah?’ Aku menjawab, ‘Ini adalah
boneka-bonekaku.’ Beliau melihat di antara boneka-boneka itu ada kuda bersayap
dari potongan kain, dan beliau bertanya, ‘Apa yang aku lihat di tengah-tengah
ini?’ Aku menjawab, ‘Kuda.’ Beliau bertanya lagi, ‘Apa yang menempel padanya
ini?’ Aku menjawab, ‘Sayap.’ Beliau bertanya, ‘Kuda bersayap?’ Aku berkata,
‘Tidakkah engkau mendengar bahwa Sulaiman memiliki kuda bersayap?’ Lalu
Rasulullah ﷺ tertawa hingga terlihat gigi-giginya.”
Hadits ini dinilai sahih oleh Al-Albani dalam
“Adab Az-Zifaf” (hal. 203).
Al-Hafidz berkata:
قَالَ
الْخَطَّابِيُّ : وَإِنَّمَا أَرْخَصَ لِعَائِشَة فِيهَا [أي : اللعب] لِأَنَّهَا
إِذْ ذَاكَ كَانَتْ غَيْر بَالِغ . قُلْت : وَفِي الْجَزْم بِهِ نَظَرٌ لَكِنَّهُ
مُحْتَمَل ; لِأَنَّ عَائِشَة كَانَتْ فِي غَزْوَة خَيْبَر بِنْت أَرْبَع عَشْرَة
سَنَة إِمَّا أَكْمَلْتهَا أَوْ جَاوَزْتهَا أَوْ قَارَبْتهَا . وَأَمَّا فِي
غَزْوَة تَبُوك فَكَانَتْ قَدْ بَلَغَتْ قَطْعًا فَيَتَرَجَّح رِوَايَة مَنْ قَالَ
فِي خَيْبَر" انتهى
"Al-Khattabi berkata, 'Diperbolehkannya
Aisyah bermain [dengan boneka] saat itu dikarenakan ia belum mencapai usia
baligh.' Saya berkata: Kepastian ini masih perlu dipertimbangkan, tetapi itu
mungkin. Karena Aisyah saat Perang Khaibar berusia empat belas tahun, mungkin
telah mencapainya, atau melewatinya, atau hampir mencapainya. Adapun saat
Perang Tabuk, ia sudah pasti telah mencapai usia baligh, sehingga riwayat yang
menyebutkan bahwa ia bermain pada waktu Perang Khaibar lebih dapat
diterima."
[Perang Khaibar terjadi pada tahun tujuh
Hijriah].
Muslim (1422) meriwayatkan dari Aisyah
radhiyallahu 'anha :
(أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ
بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ ،
وَلُعَبُهَا مَعَهَا ، وَمَاتَ عَنْهَا وَهِيَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ)
“Bahwa Nabi ﷺ menikahinya ketika ia
berusia tujuh tahun, lalu tinggal bersamanya saat berusia sembilan tahun, dan
mainan-mainan bonekaannya bersamanya, dan beliau wafat saat Aisyah berusia
delapan belas tahun”.
An-Nawawi berkata:
"الْمُرَاد هَذِهِ اللُّعَب
الْمُسَمَّاة بِالْبَنَاتِ [العرائس] الَّتِي تَلْعَب بِهَا الْجَوَارِي الصِّغَار
, وَمَعْنَاهُ التَّنْبِيه عَلَى صِغَر سِنّهَا" انتهى .
"Maksudnya adalah mainan berbentuk
boneka yang biasa dimainkan oleh gadis-gadis kecil, dan ini menunjukkan usia
Aisyah yang masih sangat muda."
Dalam riwayat ini disebutkan:
وَأَنَا بِنْتُ
سَبْعِ سِنِينَ
(Aku berusia tujuh tahun)
Dan dalam sebagian besar riwayat disebutkan:
بِنْتُ سِتٍّ
(berusia enam tahun).
Penggabungan keduanya adalah bahwa ia berusia
enam tahun lebih beberapa bulan; kadang ia hanya menyebutkan tahunnya saja, dan
di waktu lain ia menyebutkan tahun yang sedang dijalani. Hal ini dijelaskan
oleh An-Nawawi dalam Syarh Muslim.
Dan Ibnu Katsir rahimahullah telah
menyampaikan bahwa ini adalah perkara yang disepakati oleh para ulama, dan
tidak ada satu pun dari mereka yang menyebutkan sebaliknya. Ia rahimahullah
berkata:
قَوْلُهُ : (تَزَوَّجَهَا
وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ ابْنَةُ تِسْعٍ) مِمَّا لَا خِلَافَ
فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ - وَقَدْ ثَبَتَ فِي الصِّحَاحِ وَغَيْرِهَا - وَكَانَ بَنَاؤُهُ
بِهَا عَلَيْهِ السَّلاَمُ فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الْهِجْرَةِ إِلَى الْمَدِينَةِ
"انْتَهَى".
"Beliau ﷺ menikahinya ketika Aisyah berusia enam tahun, dan hidup bersama dengannya (membangun rumah tangga) ketika ia berusia sembilan tahun, yang tidak ada perbedaan pendapat di antara orang-orang, dan hal ini telah terbukti dalam kitab-kitab sahih dan lainnya. Dan hidup bersama dengannya (membangun rumah tangga) terjadi pada tahun kedua hijrah ke Madinah." [al-Bidayah wa al-Nihayah (3/131)]
Dan diketahui bahwa ijma' (konsensus) adalah
ma'shum dari kesalahan; karena umat ini tidak akan bersatu dalam kesesatan.
Telah diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2167) dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma
bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
(إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى
ضَلَالَةٍ)
(Sesungguhnya Allah tidak mengumpulkan umatku
di atas kesesatan).
Dan Albani menyatakannya sahih dalam
"Sahih Al-Jami'" (1848).
**PEMBAHASAN KEDUA:**
Penulis artikel yang disebutkan tersebut
terjebak dalam kebodohan dan fanatisme terhadap ucapan yang salah, sehingga
banyak menyebarkan kebohongan dan penipuan, dengan maksud untuk membela
kebatilan yang diyakininya.
Contohnya adalah apa yang disebutkan tentang
Ibnu Katsir dalam "Al-Bidayah wa al-Nihayah" bahwa ia berkata tentang
mereka yang lebih dahulu masuk Islam:
"وَمِنَ النِّسَاءِ : أَسْمَاءُ بِنْتُ أَبِي
بَكْرٍ وَعَائِشَةُ وَهِيَ صَغِيرَةٌ فَكَانَ إِسْلَامُ هَؤُلَاءِ فِي ثَلاَثِ سِنِينَ"
"Dan di antara wanita: Asma' binti Abu
Bakar dan Aisyah yang masih kecil, maka Islam mereka terjadi dalam waktu tiga
tahun."
Namun kami tidak menemukan ucapan ini dalam
"Al-Bidayah wa al-Nihayah". Sebaliknya, Ibnu Katsir (3/25) berkata:
"فَكَانَ أَوَّلُ مَنْ بَادَرَ إِلَى التَّصْدِيقِ
مِنَ الرِّجَالِ الْأَحْرَارِ: أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ. وَمِنَ الْغُلْمَانِ : عَلِيُّ
بِنُ أَبِي طَالِبٍ. وَمِنَ النِّسَاءِ : خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ" انْتَهَى.
"Orang pertama yang cepat percaya di
antara para lelaki merdeka adalah Abu Bakar As-Siddiq. Di antara anak-anak: Ali
bin Abi Thalib. Di antara wanita: Khadijah binti Khuwailid."
Tidak disebutkan nama Asma' atau Aisyah
radhiyallahu 'anhuma.
Aisyah radhiyallahu 'anha lahir sekitar empat
tahun setelah kenabian.
Dari itu juga ada ucapannya:
"وَكَمَا
ذَكَرْتُ جَمِيعُ الْمَصَادِرِ بِلَا اخْتِلَافٍ أَنَّهَا - يَعْنِي أَسْمَاءَ - أَكْبَرُ
مِنْ عَائِشَةَ بِـ 10 سِنِينَ " .
"Dan semua sumber menyebutkan tanpa
perbedaan bahwa dia - maksudnya Asma' - lebih tua dari Aisyah sepuluh
tahun."
Padahal kenyataannya tidak demikian, karena
Al-Dzahabi dalam "Siyar A'lam Al-Nubala" (3/522) menyebutkan:
"أَنَّ أَسْمَاءَ
كَانَتْ أَسْنَ مِنْ عَائِشَةَ بِبِضْعَ عَشَرَ سَنَةً" انْتَهَى.
"Bahwa Asma' lebih tua dari Aisyah dengan selisih lebih
dari sepuluh tahun."
Dan "البِضْعُ" dalam angka adalah
antara tiga dan sepuluh.
**PEMBAHASAN KE TIGA:**
Tidak ada yang bisa dipertanyakan dalam
pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu
'anha saat dia berusia sembilan tahun. Sudah diketahui bahwa usia dewasa wanita
berbeda-beda tergantung pada suku dan iklim. Di daerah panas, seorang gadis
akan mencapai kedewasaan lebih awal, sementara di daerah kutub yang dingin,
usia dewasa dapat terlambat hingga usia 21 tahun.
Imam Turmuzi berkata:
قَالَتْ عَائِشَةُ
: إِذَا بَلَغَتْ الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِينَ فَهِيَ امْرَأَةٌ .
Aisyah berkata, "Jika seorang gadis
telah berusia sembilan tahun, maka dia adalah seorang wanita."
["Sunna Turmuzi" (2/409)].
Imam Syafi'i berkata,
"رَأَيْتُ بِالْيَمَنِ بَنَاتٍ تِسْعٍ يَحِضْنَ
كَثِيرًا".
"Saya melihat di Yaman ada gadis berusia
sembilan tahun yang sudah haid."
["Siar A'lam an-Nubala" (10 / 91)].
Dan Al-Baihaqi (1588) meriwayatkan dari
Al-Syafi'i:
" أَعْجَلُ مَنْ سَمِعْتُ بِهِ مِنَ
النِّسَاءِ يَحِضْنَ نِسَاءٌ بِتِهَامَةَ يَحِضْنَ لِتِسْعِ سِنِينَ " .
"Seorang wanita yang saya dengar cepat
haid berasal dari Tihamah, mereka haid di usia sembilan tahun."
Imam Syafi'i juga berkata,
" رَأَيْتُ بِصَنْعَاءَ جَدَّةً بِنْتَ
إِحْدَى وَعِشْرِينَ سَنَةً ، حَاضَتْ ابْنَةَ تِسْعٍ وَوَلَدَتْ ابْنَةَ عَشْرٍ ،
وَحَاضَتِ الْبِنْتُ ابْنَةَ تِسْعٍ وَوَلَدَتْ ابْنَةَ عَشْرٍ "
"Aku melihat di Shana'a seorang nenek berusia *dua puluh satu
tahun*. Ia mengalami haid (menstruasi) pada usia *sembilan tahun* dan melahirkan pada usia *sepuluh
tahun*. Anak perempuannya juga mengalami haid pada usia *sembilan tahun* dan
melahirkan pada usia *sepuluh tahun*". ["Al-Sunan al-Kubra
Al-Baihaqi" (1 / 319)].
Oleh karena itu, Nabi ﷺ menikahi Aisyah radhiyallahu 'anha ketika dia sudah dewasa atau
hampir mencapai usia dewasa.[SELESAI DARI ISLAMQA]
===****===
ARTIKEL KE EMPAT :
**USIA UMMUL MUKMININ AISYAH SAAT MENIKAH DENGAN NABI ﷺ: KAJIAN DAN BANTAHAN TERHADAP SYUBHAT**
سِنُّ أُمِّ المُؤْمِنِينَ
عَائِشَةَ عِنْدَ زَوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ بِهَا تَحْقِيقٌ وَدَفْعُ شُبْهَةٍ
Oleh : **Alaa Ibrahim Abdur Rahim Abdur Rahim**
Di Terjemahkan oleh Abu Haitsam Fakhry
===****===
**PENDAHULUAN**
Para penentang sering kali mahir menghias
klaim-klaim mereka yang batil dengan dalih penalaran rasional dan
hitungan-hitungan yang tidak berdasar. Mereka berusaha memberi kesan akademis
dan objektif ilmiah, namun kenyataannya bertolak belakang dengan klaim mereka,
dan metode ilmiah justru membuktikan sebaliknya. Dengan contoh, akan jelaslah
pembahasan ini.
Salah satu contoh adalah tuduhan sebagian
penulis yang meragukan keakuratan banyak hadits dan riwayat yang berkaitan
dengan Islam dan diterima oleh mayoritas Muslim, seperti riwayat pernikahan
Rasulullah ﷺ dengan Sayyidah Aisyah saat usianya sembilan tahun.
[Inilah yang diklaim oleh Islam Al-Buhairi.
Berikut tautan perkataannya:
https://www.youm7.com/story/2008/10/16/%D8%B2%D9%88%D8%A7%D8%AC-%D8%A7%D9%84%D9%86%D8%A8%D9%89-%D9%85%D9%86-%D8%B9%D8%A7%D8%A6%D8%B4%D8%A9-%D9%88%D9%87%D9%89-%D8%A8%D9%86%D8%AA-9-%D8%B3%D9%86%D9%8A%D9%86-%D9%83%D8%B0%D8%A8%D8%A9-%D9%83%D8%A8%D9%8A%D8%B1%D8%A9/44788
.
Sebelumnya, klaim ini juga pernah disampaikan
oleh penulis lain, seperti Abbas Mahmud Al-‘Aqqad, yang menulis sebuah buku
untuk menolak hadits-hadits sahih terkait pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu 'anha saat beliau berusia enam
tahun, berjudul *As-Siddiqah Bint As-Siddiq*, diterbitkan oleh Dar Al-Ma'arif,
Mesir. Syekh Ahmad Syakir menanggapinya dalam artikel berjudul *Tahqiq Sann
Aisyah* yang diterbitkan di Majalah Al-Muqtathaf, edisi Rabi'ul Awal 1363 H,
April 1944 M].
Sebagian dari mereka bahkan berlebihan dengan
menyatakan bahwa pernikahan Rasulullah ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu
'anha pada usia sembilan tahun adalah sebuah "kebohongan besar" dalam
kitab-kitab hadits ([Lihat : Artikel Jamal Al-Banna dalam bukunya *Tajrid
Al-Bukhari wa Muslim min Al-Ahadits Allati La Talzam* (hal. 74)]).
Tulisan ini adalah sebuah pembahasan ilmiah
yang tenang terhadap tuduhan dan hitungan tersebut; disusun sesuai dengan
metodologi ilmiah, dan jauh dari sikap emosional. Caranya adalah dengan
menyebutkan hadits, menjelaskan derajatnya, bagaimana diterima oleh para ulama,
lalu mendiskusikan tuduhan-tuduhan tersebut dengan adil, tanpa berlebihan.
Allah Ta'ala adalah tujuan akhir, dan Dia adalah sebaik-baik penolong.
*****
** PERTAMA: TEKS HADITS:**
Dari Hisyam bin Urwah, dari ayahnya, dari
Aisyah radhiyallahu 'anha :
أَنَّ النَّبِيَّ
ﷺ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَأُدْخِلَتْ عَلَيْهِ وَهِيَ بِنْتُ
تِسْعٍ، وَمَكَثَتْ عِنْدَهُ تِسْعًا
“Bahwa Nabi ﷺ menikahinya ketika ia
berusia enam tahun, dan mulai serumah dengannya ketika ia berusia sembilan
tahun, dan Aisyah tinggal bersamanya selama sembilan tahun”. ([Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari (5133) dan Muslim (1422)]).
** KEDUA: DERAJAT HADITS DAN PENERIMAAN
PARA ULAMA:**
Hadits ini memiliki derajat sahih tertinggi;
diriwayatkan oleh dua imam ahli hadits – al-Bukhari dan Muslim – dalam kitab
sahih mereka yang merupakan kitab paling sahih setelah Al-Qur'an. Maka, hadits
ini jelas “dengan lafaz-lafaz yang tidak mungkin ditakwilkan oleh para
penginterpretasi, dan tidak bisa dimainkan oleh para pelaku kebatilan” ([Lihat:
*Jamharot Maqalat Ahmad Syakir* (1/354)]).
Hadits ini sama sekali tidak mengandung cela;
karena tidak hanya diriwayatkan oleh Urwah dari Aisyah, begitu pula bukan hanya
Hisyam bin Urwah yang meriwayatkannya dari Urwah, seperti yang diklaim sebagian
pihak.
[*] Urwah tidak sendirian dalam meriwayatkan hadits
ini dari Aisyah; bersama dengan beliau juga ada Al-Aswad bin Yazid sebagaimana
dalam riwayat Muslim (1422/72), Ibnu Abi Mulaikah ([Diriwayatkan oleh An-Nasa’i
dalam *As-Sunan Al-Kubra* (5345).]), Abu Ubaidah ([Diriwayatkan oleh An-Nasa’i
dalam *Al-Mujtaba* (3257).]), Abu Salamah bin Abdurrahman ([Diriwayatkan oleh
An-Nasa’i dalam *Al-Mujtaba* (3379)]), dan lainnya.
[*] Hisyam juga bukan satu-satunya yang
meriwayatkan hadits ini dari Urwah; karena Imam Ibnu Syihab Az-Zuhri juga
meriwayatkannya dari Urwah, dan haditsnya terdapat dalam riwayat Muslim (Sahih
Muslim 1422/71).
[*] Hadits ini juga tidak hanya diriwayatkan
oleh para perawi dari Irak dari Hisyam; karena ada yang meriwayatkannya dari
beliau seperti Sufyan bin Uyaynah yang berasal dari Makkah ([Diriwayatkan oleh
Abu Awanah dalam *Al-Mustakhraj* (4260)]), Abdurrahman bin Abi Az-Zinad yang
berasal dari Madinah ([Diriwayatkan oleh Ahmad dalam *Al-Musnad* (41/360)]),
dan Abu Usamah yang berasal dari Kufah ([Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (3896)]),
serta lainnya.
Hadits ini juga datang dari jalur lain yang
sahih selain dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha; hadits ini
diriwayatkan pula oleh Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Amr bin Ash, dan
lainnya. Beberapa ulama bahkan menyatakan bahwa hadits ini mutawatir. Syaikh
Ahmad Syakir, dalam menanggapi Abbas Mahmud Al-Aqqad, menyatakan:
“ثُمَّ ما بالُهُ يَدَعُ الرِّواياتِ الصَّحيحَةَ
المُتَواتِرَةَ، ولا يَسْتَنِدُ إِلَّا إلى الرِّواياتِ الشّاذَّةِ أَوِ المُنْكَرَةِ،
الَّتي تُخالِفُ كُلَّ رِوايَةٍ صَحيحَةٍ؟”
"Mengapa ia meninggalkan riwayat-riwayat
sahih yang mutawatir, dan malah hanya bersandar pada riwayat-riwayat yang syadz
atau mungkar yang bertentangan dengan semua riwayat yang sahih?" ([Baca :
*Jamharat Maqalat Ahmad Syakir* (1/357)]).
Oleh karena itu, para ulama sepakat menerima hadits
ini tanpa ada yang mencelanya. Maka dari itu, al-Hafidz Ibnu Abdil Barr
mengatakan :
“لَا أَعْلَمُهُمْ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ”
“Aku
tidak mengetahui ada di antara mereka yang berselisih tentang hal itu.”
([*Al-Isti'ab fi Ma’rifat Al-Ashab* (4/1881)])
Al-Hafidz Ibnu Katsir juga menegaskan tidak
adanya perbedaan pendapat mengenai hal ini dengan mengatakan:
“تَزَوَّجَهَا وَهِيَ ابْنَةُ سِتِّ سِنِينَ،
وَبَنَى بِهَا وَهِيَ ابْنَةُ تِسْعٍ، مَا لَا خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ، وَقَدْ
ثَبَتَ فِي الصِّحَاحِ وَغَيْرِهَا، وَكَانَ بِنَاؤُهُ بِهَا -عَلَيْهِ السَّلَامُ-
فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ مِنَ الهِجْرَةِ إِلَى المَدِينَةِ”
“Beliau menikahinya saat ia berusia enam
tahun, dan membina rumah tangga dengannya ketika ia berusia sembilan tahun. Hal
ini tidak ada perbedaan pendapat di antara umat manusia, dan hal tersebut tercantum
dalam kitab-kitab sahih dan lainnya. Pernikahan beliau dengannya terjadi pada
tahun kedua hijrah ke Madinah.” ([*Al-Bidayah wa An-Nihayah* (3/131)]).
Beberapa penulis berusaha menggambarkan
masalah ini seolah-olah merupakan sesuatu yang diperdebatkan oleh para ulama;
ia berkata :
"وَتَخْتَلِفُ الأَقْوَالُ فِي سِنِّ السَّيِّدَةِ
عَائِشَةَ يَوْمَ زُفَّتْ إِلَى النَّبِيِّ -عَلَيْهِ السَّلَام- فِي السَّنَةِ الثَّانِيَةِ
مِنَ الهِجْرَةِ، فَيَحْسِبُهَا بَعْضُهُمْ تِسْعًا، وَيَرْفَعُهَا بَعْضُهُمْ فَوْقَ
ذَلِكَ بِضْعَ سَنَوَاتٍ"
“Pendapat tentang usia Aisyah ketika dinikahi
oleh Nabi ﷺ pada tahun kedua hijrah itu berbeda; ada yang mengatakan
sembilan tahun, sementara sebagian lainnya menaikkannya beberapa tahun lebih
tua dari itu”([ *As-Siddiqah Bint As-Siddiq* karya Abbas Mahmud Al-‘Aqqad (hal.
64).]).
Syaikh Ahmad Syakir menanggapi pernyataan ini
dengan berkata :
"أَمَّا زَعْمُهُ أَنَّ بَعْضَهُمْ يَرْفَعُهَا
فَوْقَ ذَلِكَ بِضْعَ سَنَوَاتٍ، فَإِنَّهُ قَوْلٌ مُبْتَكَرٌ لَمْ يَقُلْهُ أَحَدٌ
مِنَ الْعُلَمَاءِ، وَلَمْ يَرِدْ فِي رِوَايَةٍ مِنَ الرِّوَايَاتِ، وَإِنَّمَا يُرِيدُ
أَنْ يَتَزَيَّدَ بِهِ وَيَصِلَ إِلَى بَغْيَتِهِ"
“Adapun klaim bahwa sebagian orang menaikkan
usianya beberapa tahun lebih tua dari itu, maka ini adalah pernyataan yang
dibuat-buat, tidak pernah dikatakan oleh seorang pun dari kalangan ulama, dan
tidak ada dalam satu riwayat pun. Ia hanya ingin menambahkan sesuatu yang tidak
benar untuk mencapai tujuannya”([ *Jamharat Maqalat Ahmad Syakir* (1/355)]).
** KETIGA: MENOLAK ANGGAPAN BAHWA HADITS
INI BERTENTANGAN DENGAN REALITAS MASYARAKAT SAAT INI **
Anggapan yang berkembang di kalangan
masyarakat saat ini bahwa seorang anak perempuan berusia sembilan tahun masih
tergolong anak kecil dan belum mampu menanggung beban pernikahan, tidak bertentangan
dengan hadits sahih dari Nabi ﷺ ini. Penjelasannya sebagai
berikut:
**Pertama**: Bahwa pernikahan Nabi ﷺ dengan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu ‘anha adalah
berdasarkan wahyu dari Allah Ta’ala. Allah menjamin keselamatan dalam tindakan
Nabi ﷺ dan menjauhkan kesalahan darinya. Hal ini ditunjukkan dalam
riwayat shahih yang terdapat dalam *Shahih al-Bukhari* dan *Muslim* dari Aisyah
radhiyallahu ‘anha, yang berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
"أُرِيتُكِ فِي الْمَنَامِ ثَلاَثَ لَيَالٍ،
جَاءَنِي بِكِ الْمَلَكُ فِي سَرَاقَةٍ مِنْ حَرِيرٍ، فَيَقُولُ: هَذِهِ امْرَأَتُكِ،
فَأَكْشِفُ عَنْ وَجْهِكِ فَإِذَا أَنْتِ هِيَ، فَأَقُولُ: إِن يَكُ هذا مِنْ عِندِ
اللَّهِ يُمْضِهُ"
“Aku melihatmu dalam mimpiku selama tiga
malam, seorang malaikat datang kepadaku dengan membawa dirimu dalam sehelai
kain sutera. Malaikat itu berkata, ‘Ini adalah istrimu,’ maka aku membuka kain
penutup wajahmu dan ternyata itu adalah engkau. Maka aku berkata, ‘Jika ini
memang dari Allah, maka Allah pasti akan melaksanakannya’”. ([Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari (3895) dan Muslim (2438)]).
Makna Kata *سَرَاقَةٍ* berarti potongan kain putih
dari sutra khusus. Lihat *Gharib Al-Hadith* karya Abu Ubaid (5/268).
**Kedua**: Tidak ada yang perlu dipertanyakan
dalam pernikahan Nabi ﷺ dengan Ummul Mukminin Aisyah
radhiyallahu 'anha ketika ia berusia sembilan tahun, karena hal ini sesuai
dengan adat istiadat Arab dan apa yang umum pada waktu itu; di mana gadis yang
berusia sembilan tahun dianggap telah mencapai usia baligh dan dapat bertanggung
jawab. Imam al-Baghawi mengatakan:
“لِمَا عُلِمَ أَنَّ كَثِيرًا مِن نِسَاءِ الْعَرَبِ
يَدْرِكْنَ إِذَا بَلَغْنَ هَذَا السِّنَّ”.
Karena diketahui bahwa banyak wanita Arab
mencapai usia ini" ([*Syarh As-Sunnah* (9/37).]).
Hal ini juga dinyatakan oleh Ummul Mukminin
Aisyah radhiyallahu 'anha yang berkata:
“إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِينَ
فَهِيَ امْرَأَةٌ”
"
"Jika seorang gadis telah berusia
sembilan tahun, maka ia adalah seorang wanita"
([Disebutkan tanpa sanad oleh At-Tirmidzi
dalam *As-Sunan* (3/410), Al-Baihaqi dalam *Al-Kubra* (1/476), dan Al-Baghawi
dalam *Syarh As-Sunnah* (9/37).]),
Dan maksudnya -sebagaimana dijelaskan oleh
al-Hafidz al-Bayhaqi-:
“تَعْنِي -وَاللَّهُ أَعْلَمُ-: فَحَاضَتْ، فَهِيَ
امْرَأَةٌ”
"Ia maksudkan -Wallahu A'lam-: Jika ia
telah haid, maka ia adalah seorang wanita" ([*As-Sunan Al-Kubra*
(1/476)]).
Nabi ﷺ tidak melangsungkan
pernikahan dengan Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha kecuali setelah ia
mencapai usia baligh; hal ini dikuatkan dan dibuktikan dengan apa yang
dikatakan oleh al-Dawudi:
“وَكَانَتْ عَائِشَةُ قَدْ شَبَّتْ شَبَابًا حَسَنًا”
"Aisyah telah tumbuh menjadi seorang
gadis yang cantik" ([Lihat: *Ikmal Al-Mu’allim bi Fawa’id Muslim* karya
Al-Qadi ‘Iyadh (4/573).]).
**Ketiga**: Nabi ﷺ tinggal selama dua puluh
tiga tahun menyeru manusia kepada Islam. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, ia
berkata:
أَنزِلَ عَلَى رَسُولِ
اللهِ ﷺ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعِينَ، فَمَكَثَ بِمَكَّةَ ثَلاثَ عَشْرَةَ سَنَةً، ثُمَّ
أُمِرَ بِالْهِجْرَةِ فَهَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ، فَمَكَثَ بِهَا عَشْرَ سِنِينَ،
ثُمَّ تُوُفِّيَ ﷺ.
"Turun wahyu kepada Rasulullah ﷺ saat beliau berusia empat puluh tahun. Beliau tinggal di Makkah
selama tiga belas tahun, kemudian diperintahkan untuk berhijrah, lalu beliau
hijrah ke Madinah dan tinggal di sana selama sepuluh tahun, lalu beliau wafat ﷺ" ([Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (3851) dan Muslim
(2351).]).
Beliau menikahi Ummul Mukminin Aisyah di
Makkah dua tahun sebelum hijrah saat Aisyah berusia enam tahun. Diketahui bahwa
orang-orang musyrik di Makkah selalu mengintai dakwah beliau ﷺ dan menuduhnya dengan berbagai klaim dan kebohongan yang
menyesatkan yang menghalangi orang-orang dari Islam dan mencegah mereka untuk
mendengarkan beliau ﷺ.
Jika pernikahan beliau ﷺ dengan Aisyah saat dia berusia enam tahun dianggap aneh di
kalangan orang Arab, tentu mereka akan sangat menentang beliau ﷺ dan menyebarluaskan pernyataan tersebut di antara suku-suku
Arab. Namun, karena tidak ada hal seperti itu yang terjadi, ini menunjukkan
bahwa pernikahan tersebut tidak dianggap aneh di kalangan mereka dan bukan
merupakan objek celaan atau penghinaan. Kitab-kitab sirah dan sejarah menjadi
saksi terbaik untuk ini.
Begitu juga di Madinah; Nabi ﷺ terus berdakwah kepada masyarakat di Madinah selama sepuluh
tahun, dan saat itu beliau dikelilingi oleh orang-orang Yahudi yang membenci
dakwah beliau dan para munafik yang menunggu kesempatan untuk menyerang
orang-orang beriman. Jika pernikahan Nabi ﷺ dengan Ummul Mukminin Aisyah
saat dia berusia sembilan tahun merupakan hal yang aneh bagi mereka, mereka
pasti akan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak wajar dan menyebarkan
kebohongan di sekitarnya serta menciptakan berbagai tuduhan untuk menghalangi
orang dari dakwah beliau ﷺ. Namun, karena mereka tidak
melakukan hal itu, ini menunjukkan bahwa pernikahan tersebut merupakan hal yang
biasa bagi mereka dan tidak dianggap aneh .
([Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat tautan
berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=vyllXDocs7A]).]
**Keempat**: Penyebaran hal ini di kalangan
para ulama Islam dan pemilik empat mazhab yang diikuti, di mana mereka
mengandalkan hal ini untuk menentukan usia minimum di mana seorang wanita dapat
mengalami haidh. Muhammad bin Muqatil Al-Razi rahimahullah memperkirakan usia
baligh seorang wanita adalah sembilan tahun; karena Nabi ﷺ menikahi Aisyah radhiyallahu 'anha ketika dia berusia sembilan
tahun, dan tampaknya beliau menikahinya setelah baligh. Abu Mut’ah Al-Balkhi
memiliki seorang putri yang menjadi nenek pada usia sembilan belas tahun
([Lihat: *Al-Mabsuth* karya As-Sarakhsi (3/149)]).
Sebagaimana yang diriwayatkan dari Imam
Syafi'i rahimahullah, dia mengatakan:
“أَعْجَلُ مِمَّا سَمِعْتُ مِنَ النِّسَاءِ تَحِيضُ
نِسَاءُ تَهَامَةَ؛ فَإِنَّهُنَّ يَحِضْنَ لِتِسْعِ سِنِينَ”
"Paling cepat yang saya dengar dari
wanita-wanita di Thama adalah bahwa mereka haid pada usia sembilan tahun"
([Lihat: *Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Asy-Syafi’i* karya Asy-Syirazi
(1/77).]).
Muhammad bin Abdul Hakim meriwayatkan bahwa
dia mendengar Syafi'i berkata:
“تَحْمِلُ الْمَرْأَةُ بِالْيَمَنِ لِبِنْتِ تِسْعٍ
-أَوْ: عَشَرَ-“، شَكَّ ابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ.
"Seorang wanita bisa hamil di Yaman
ketika dia berusia sembilan—atau sepuluh tahun," Abdul Hakim ragu-ragu
([Lihat: *Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu* karya Ibnu Abi Hatim (hal. 38)]).
Dia juga berkata:
“رَأَيْتُ بِالْيَمَنِ بَنَاتِ تِسْعٍ يَحِضْنَ
كَثِيرًا”
"Saya melihat di Yaman gadis-gadis berusia sembilan
tahun, banyak yang haid" ([ Lihat: *Siyar A’lam
An-Nubala* (10/91)]).
**Kelima**: Hal ini tidak hanya terbatas pada
bangsa Arab, tetapi juga menyebar dan dikenal di seluruh dunia dan dalam
hukum-hukum lainnya. Terdapat bukti yang tidak dapat disangsikan tentang adanya
pernikahan gadis-gadis kecil pada usia sembilan atau sepuluh tahun di masa itu
dan setelahnya. Perhatikan apa yang tercantum dalam Ensiklopedia Katolik bahwa
Maria Perawan bertunangan dengan Yusuf tukang kayu saat dia berusia dua belas
tahun, sementara Yusuf berusia lebih dari sembilan puluh tahun, artinya selisih
usia di antara mereka lebih dari tujuh puluh delapan tahun.
[Untuk rincian lebih lanjut tentang peristiwa
dan kasus ini, lihat tautan berikut:
https://ar.islamway.net/article/2978/%D8%B4%D8%A8%D9%87%D8%A9-%D8%B2%D9%88%D8%A7%D8%AC-%D8%A7%D9%84%D9%86%D8%A8%D9%8A-%D8%B5%D9%84%D9%89-%D8%A7%D9%84%D9%84%D9%87-%D8%B9%D9%84%D9%8A%D9%87-%D9%88%D8%B3%D9%84%D9%85-%D9%85%D9%86-%D8%B9%D8%A7%D8%A6%D8%B4%D8%A9-%D9%88%D9%87%D9%8A-%D8%B5%D8%BA%D9%8A%D8%B1%D8%A9-%D8%A7%D9%84%D8%B3%D9%86].
Dan contoh-contoh tentang hal ini jauh lebih
banyak daripada yang bisa dihitung; jadi, bagaimana mungkin seseorang
mengingkari pernikahan Nabi ﷺ dengan Ummul Mukminin
Aisyah—atas wahyu dari Allah Ta'ala—ketika dia berusia sembilan tahun?!
**Keenam**: Bahwa adalah kesalahan
metodologis dan ketidakadilan dalam sikap untuk menghakimi suatu peristiwa di
luar konteks waktu dan tempatnya, kemudian menghakimi dengan adat, kebiasaan,
dan tradisi yang muncul lebih dari seribu empat ratus tahun setelahnya,
sehingga mereka mengabaikan perbedaan zaman, adat, dan kebiasaan. Ini adalah
bentuk kezaliman dalam mengadili tindakan apa pun.
Jika ini sudah jelas, maka mudah untuk
menjawab keraguan yang diajukan oleh penulis mengenai usia Ummul Mukminin
Aisyah radhiyallahu 'anha ketika dinikahi oleh Nabi ﷺ.
**KEEMPAT: KERAGUAN TENTANG KESALAHAN
DALAM MENGHITUNG USIA AISYAH JIKA DIBANDINGKAN DENGAN SAUDARANYA, ASMA'**
Penulis artikel mengklaim bahwa semua sumber
sejarah - yaitu yang telah disebutkan sebelumnya - menyebutkan bahwa Asma'
lebih tua dari saudaranya Aisyah 10 tahun, dan bahwa dia lahir sebelum hijrah
ke Madinah 27 tahun.
** JAWABAN TERHADAP KERAGUAN **:
Dijawab bahwa klaim bahwa semua sumber
sejarah menyebutkan bahwa Asma' lebih tua dari saudaranya Aisyah sepuluh tahun
adalah klaim yang tidak benar, dan para ulama telah membantahnya; karena Al-Hafidz
Al-Dzahabi dalam *Siyar A'lam Al-Nubala* - yang merupakan salah satu sumber
yang disebutkan penulis telah digunakannya - menyebutkan bahwa Asma' lebih tua
dari Aisyah radhiyallahu 'anhuma dengan beberapa belas tahun ([*Siyar A’lam
An-Nubala* (2/288)]).
Dan makan *البِضْعُ* dalam bahasa Arab: adalah
bilangan dari tiga hingga sembilan. ([Lihat: *Tahdzib Al-Lughah* karya
Al-Azhari (1/309) dan *Al-Mu’jam Al-Wasit* (1/60)]).
Jadi, jika kita menghitung selisih waktu
dengan benar berdasarkan ini, kita akan yakin bahwa Nabi ﷺ menikahi Ummul Mukminin Aisyah ketika dia berusia sembilan
tahun, yang menegaskan kesesuaian hadits dengan kenyataan.
Dan jika kita menganggap klaim ini benar,
maka dapat dibantah bahwa penulis telah menyimpang dari metodologi ilmiah dalam
kritik; karena dia mengandalkan pernyataan yang tercantum dalam buku-buku
sejarah, dan mengedepankannya di atas hadits-hadits yang sahih dengan sanad
yang kuat dari Rasulullah ﷺ, yang mana telah dianggap
oleh sebagian ulama sebagai hadits yang mutawatir.
([Di antara yang mengemukakan hal ini adalah
Syekh Ahmad Syakir dalam artikelnya *Tahqiq Sinni Aisyah* di Majalah
Al-Muqtathaf, edisi Rabi’ul Akhir 1363 H, April 1944 M.]).
Diketahui bahwa para sejarawan - terutama
yang lebih modern - tidak mengandalkan sanad dalam menilai berita dan riwayat
mereka, sedangkan sejarawan awal seperti Khalifah bin Khayyat dan Ibnu Jarir
Al-Tabari banyak mengambil materi sejarah mereka dari perawi yang dinilai lemah
oleh para ahli hadits, dan mereka tidak terlalu ketat dalam mengkritik perawi
berita seperti yang mereka lakukan terhadap perawi hadits; karena hadits
berhubungan dengan hukum syar'i, berbeda dengan riwayat sejarah.
([Lihat: *Buhuts fi Tarikh As-Sunnah
Al-Musyarrafah* karya Akram Diya’ Al-Umari (hal. 210)]).
Bagaimana mungkin hadits yang sahih dan
benar, dengan perawi yang adil dan akurat, dapat dibandingkan dengan riwayat
dan pernyataan sejarah yang sama sekali tidak memiliki sanad?
Penulis menetapkan dan menolak berdasarkan
pendapatnya meskipun ada teks yang jelas dan kesepakatan di antara ahli hadits,
sirah, dan sejarah tentang pernikahan Nabi ﷺ dengan Siti Aisyah ketika
dia berusia enam atau tujuh tahun, dan dia berhubungan dengan Aisyah ketika dia
berusia sembilan tahun!
Ditambahkan pula bahwa siapa pun yang
menelusuri usia Aisyah dalam kitab-kitab sunnah dan sirah akan dengan jelas
melihat bahwa klaim penulis tidak benar; perhatikan - sebagai contoh - apa yang
dikatakan oleh Imam Al-Dzahabi mengenai peristiwa *hadits al-Ifk*:
“كَانَ فِي غَزْوَةِ الْمُرَيْسِعِ سَنَةَ خَمْسٍ
مِنَ الْهِجْرَةِ، وَعُمْرُهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهَا يَوْمَئِذٍ اثْنَتَيْ عَشَرَةَ
سَنَةً”
"Peristiwa itu terjadi dalam Perang Al-Muraisi'
pada tahun kelima Hijriah, dan pada saat itu usia Aisyah radhiyallahu 'anha dua
belas tahun" ([*Siyar A’lam An-Nubala* (2/153).]).
**KELIMA: KERAGUAN TENTANG KESALAHAN
DALAM MENGHITUNG USIA AISYAH JIKA DIBANDINGKAN DENGAN FATHIMAH**
Penulis menyebutkan dari Ibnu Hajar dalam
“Al-Isabah” bahwa Fathimah lahir pada tahun pembangunan Ka'bah dan Nabi ﷺ berusia lima puluh tahun, serta bahwa Fathimah lebih tua dari
Aisyah lima tahun. Dengan demikian, Aisyah lahir ketika Nabi ﷺ berusia empat puluh tahun.
**JAWABAN TERHADAP KERAGUAN:**
Klaim ini tidak valid dari dua sisi:
**Pertama:** Bahwa riwayat yang disebutkan
oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar lemah; karena berasal dari jalur Al-Waqidi, ringkasan
penilaian terhadapnya seperti yang dikatakan Al-Hafiz Ibnu Hajar:
“مُحَمَّدُ بْنُ عُمَرَ بْنِ وَاقِدٍ الأَسْلَمِيُّ
الوَاقِدِيُّ المَدَنِيُّ القَاضِي، نَزِيلُ بَغْدَادَ، مَتْرُوكٌ مَعَ سَعَةِ عِلْمِهِ”
“Muhammad bin Umar bin Waqid Al-Aslami
Al-Waqidi, seorang hakim yang menetap di Baghdad, dianggap ditinggalkan
meskipun memiliki ilmu yang luas”. ([*Taqrib At-Tahdzib* (hal. 498)]).
**Kedua:** Al-Hafiz Ibnu Hajar tidak hanya
mengandalkan riwayat yang disebutkan, tetapi juga menambahkannya dengan yang
lebih sahih dan lebih sesuai; ia mengutip dari Abu Umar—yaitu Ibnu Abd
al-Barr—dari Ubaidullah bin Muhammad bin Sulayman bin Ja'far Al-Hashimi:
“أَنَّهَا وُلِدَتْ سَنَةَ إِحْدَى وَأَرْبَعِينَ
مِن مَوْلِدِ النَّبِيِّ ﷺ، وَكَانَ مَوْلِدُهَا قَبْلَ الْبَعْثَةِ بِقَلِيلٍ نَحْوَ
سَنَةٍ أَوْ أَكْثَرَ، وَهِيَ أَسْنُّ مِنْ عَائِشَةَ بِنَحْوِ خَمْسِ سِنِينَ”
“Bahwa ia lahir pada tahun ke-41 setelah
kelahiran Nabi ﷺ, dan kelahirannya terjadi
sebelum kenabian sedikit lebih dari setahun, serta ia lebih tua dari Aisyah
sekitar lima tahun ([*Al-Ishabah fi Tamyiz Ash-Shahabah* (8/263)]).
Pernyataan ini adalah yang benar dan sesuai
dengan apa yang dikemukakan dalam hadits sahih yang kita miliki.
Jika Aisyah lebih muda dari Fathimah
radhiyallahu 'anhuma lima tahun, maka ini menunjukkan bahwa dia lahir pada
tahun keempat dari kenabian, dan usianya saat dinikahi oleh Nabi ﷺ -sebelum hijrah- adalah enam atau tujuh tahun, sesuai dengan
yang dinyatakan dalam hadits.
Hal ini didukung oleh pernyataan Ibnu Sa'd
dalam kitab "Tabaqat": "Dan Aisyah lahir pada tahun keempat dari
kenabian di awalnya, dan Rasulullah menikahinya pada tahun kesepuluh di bulan
Syawal, dan pada saat itu dia berusia enam tahun".([*At-Thabaqat Al-Kubra*
(8/79)]).
**KEENAM: SANGGAHAN BAHWA AISYAH
TERMASUK ORANG-ORANG YANG AWAL MEMELUK ISLAM**
Penulis mengklaim mengutip pernyataan Ibnu
Katsir dalam "Al-Bidayah wa Al-Nihayah" tentang mereka yang lebih
dahulu memeluk Islam:
أَسْمَاءُ بِنْتُ
أَبِي بَكْرٍ، وَعَائِشَةَ وَهِيَ صَغِيرَةٌ، فَكَانَ إِسْلَامُ هَـؤُلَاءِ فِي ثَلاثِ
سِنِينَ
"Asma binti Abu Bakar, dan Aisyah saat
masih kecil, maka Islam mereka terjadi dalam tiga tahun".
Lalu dia menyimpulkan bahwa usianya saat itu
adalah delapan tahun.
JAWABAN TERHADAP SANGGAHAN:
Kata-kata yang dikaitkan kepada Ibnu Katsir
tidak terdapat dalam "Al-Bidayah wa Al-Nihayah," dan tidak diketahui
bahwa ia mengatakannya; hal ini sebenarnya terdapat pada Al-Muthahhar bin Tahir
Al-Maqdisi dalam bukunya "Al-Bida' wa Al-Tarikh"(4/146), yang
merupakan pernyataan tidak benar yang telah dijelaskan oleh para ulama sebagai
suatu kebohongan; kata Al-Hafidz Al-Mughaltai -sebagai komentar terhadap
pernyataan mereka tentang orang pertama yang memeluk Islam-:
وَأَسْمَاءُ بِنْتُ
أَبِي بَكْرٍ، وَعَائِشَةُ أُخْتُهَا، كَذَا قَالَهُ ابْنُ إِسَحَاقَ وَغَيْرُهُ، وَهُوَ
وَهْمٌ؛ لَمْ تَكُنْ عَائِشَةُ وُلِدَتْ بَعْدُ، فَكَيْفَ تَسْلَمُ؟! وَكَانَ مَوْلِدُهَا
سَنَةَ أَرْبَعٍ مِنَ النُّبُوَّةِ
"Dan Asma binti Abu Bakar, dan Aisyah
saudarinya, demikianlah dikatakan oleh Ibnu Ishaq ([Lihat: *Sirah Ibnu Hisyam*
(1/254)]) dan lainnya, dan ini adalah kesalahan; Aisyah belum lahir, jadi
bagaimana dia bisa berislam?! Dan dia lahir pada tahun keempat dari
kenabian" ([Lihat : *Al-Isyarah ila Sirah Al-Mustafa wa Tarikh Man Ba’dahu
min Al-Khulafa* karya Maghaltay (hal. 109). Lihat pula *Al-Mawahib Al-Laduniyah
bi Al-Minah Al-Muhammadiyah* karya Al-Qastalani (1/134)]).
**KETUJUH: KERAGUAN TENTANG
PENGHITUNGAN USIA AISYAH BERDASARKAN HIJRAHNYA ABU BAKAR KE ABYSSINIA**.
Penulis berusaha mengaitkan antara hijrah ke
Abyssinia yang terjadi pada tahun kelima dengan usia Aisyah; yang didukung
dengan hadits:
“لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ
الدِّينَ”.
"Aku tidak ingat kedua orang tuaku
kecuali mereka berdua memeluk agama ini."
**Jawaban atas keraguan tersebut**:
Hadits yang disebutkan oleh penulis adalah
benar, diriwayatkan oleh Imam Bukhari di beberapa tempat dalam Shahihnya (476,
2298, 3905, 6079), tetapi pemahaman terhadap hadits tersebut seperti yang
dijelaskan oleh penulis sangat jauh dari kebenaran. Ini adalah pemahaman yang
salah dan tidak dikatakan oleh siapa pun dari kalangan ulama. Konteks hadits
tersebut menunjukkan bahwa dia radhiyallahu 'anha menceritakan beberapa
peristiwa dan kejadian yang menimpa ayahnya radhiyallahu 'anhu, dan tidak ada
keharusan bahwa dia hadir dalam semua peristiwa dan kejadian tersebut. Imam
Bukhari juga menyadari hal ini, sehingga tidak mencantumkan hadits ini di :
“بَابُ تَزْوِيجِ النَّبِيِّ ﷺ عَائِشَةَ، وَقَدُومِهَا
الْمَدِينَةَ، وَبِنَائِهِ بِهَا”.
"Bab Pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah, kedatangannya ke Madinah, dan pernikahannya
dengannya" [Sahih Al-Bukhari (5/55)]
Tetapi mencantumkannya di bab yang
berikutnya:
“بَابُ هِجْرَةِ النَّبِيِّ ﷺ وَأَصْحَابِهِ إِلَى
الْمَدِينَةِ”.
"Bab Hijrah Nabi ﷺ dan para sahabat ke Madinah." [Sahih Al-Bukhari (5/56)]
Jawaban dapat dirangkum dalam beberapa poin:
Ke 1. Bahwa Ummul Mukminin Aisyah mengatakan:
“لَمْ أَعْقِلْ أَبَوَيَّ إِلَّا وَهُمَا يَدِينَانِ
الدِّينَ”.
"Aku tidak ingat kedua orang tuaku
kecuali mereka berdua memeluk agama ini".
Yang berarti: mereka berdua memeluk Islam.
Ini menunjukkan bahwa pada saat itu, setidaknya, dia lebih besar dari lima
tahun, yang merupakan usia umum untuk hal tersebut, seperti dalam hadits Mahmud
bin al-Rabi:
“عَقَلْتُ مِنَ النَّبِيِّ ﷺ مَجَّةً مَجَّهَا
فِي وَجْهِي وَأَنَا ابْنُ خَمْسِ سِنِينَ مِنْ دَلْوٍ”.
"Aku ingat dari Nabi ﷺ suatu percikan air yang ditumpahkan di wajahku ketika aku
berusia lima tahun dari sebuah timba"([ Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
(77)]).
Dan tidak ada keharusan dari ucapannya:
"Aku tidak ingat kedua orang tuaku kecuali mereka berdua memeluk agama
ini" bahwa semua peristiwa yang diceritakannya setelahnya terjadi pada
waktu itu.
Ke 2. Ucapannya radhiyallahu 'anha dalam hadits:
“فَلَمَّا ابْتُلِيَ الْمُسْلِمُونَ خَرَجَ أَبُو
بَكْرٍ مُهَاجِرًا قِبَلَ الْحَبَشَةِ”.
"Ketika kaum Muslimin diuji, Abu Bakar
keluar hijrah menuju Abyssinia", menceritakan apa yang terjadi pada
ayahnya ketika hendak hijrah ke Abyssinia, dan tidak ada keharusan bahwa dia
hadir dalam cerita tersebut; yang ada hanyalah informasi yang dia sampaikan
tentang kisah itu. Ini adalah hal yang disepakati oleh para ahli sejarah, dan
mereka tidak menyebutkan kehadirannya dalam cerita itu.
([Lihat: *As-Sirah An-Nabawiyah wa Akhbar
Al-Khulafa* karya Ibnu Hibban (1/81), *Jawami’ As-Sirah* karya Ibnu Hazm (hal.
65), dan *Al-Isyarah ila Sirah Al-Mustafa wa Tarikh Man Ba’dahu min Al-Khulafa*
(hal. 127).]).
Ke 3. Apa yang dia katakan dalam hadits yang
sama:
“فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ لِلْمُسْلِمِينَ: «إِنِّي
أُرِيتُ دَارَ هِجْرَتِكُمْ ذَاتَ نَخْلٍ بَيْنَ لَابَتَيْنِ» وَهُمَا الْحَرَتَانِ،
فَهَاجَرَ مَن هَاجَرَ قَبْلَ الْمَدِينَةِ”.
"Maka Nabi ﷺ berkata kepada kaum
Muslimin: 'Sesungguhnya aku telah melihat rumah hijrah kalian yang memiliki
pohon kurma di antara dua bukit', yaitu dua bukit, dan mereka yang hijrah
sebelum ke Madinah," diketahui bahwa penglihatan ini terjadi sebelum
hijrah ke Madinah, sehingga terlambat dibandingkan hijrah ke Abyssinia selama
bertahun-tahun.
4- Dan ucapannya setelahnya: "Dan Abu
Bakar mempersiapkan diri menuju kota Medina, lalu Rasulullah ﷺ berkata kepadanya: «Pelan-pelanlah; karena aku berharap akan
diizinkan (berhijrah)»," dan kesiapan Abu Bakar untuk berhijrah ke Medina
terjadi setelah ucapan Nabi ﷺ:
«إِنِّي أُرِيتُ دارَ هِجْرَتِكُمْ»
“Saya telah diperlihatkan tempat hijrah
kalian.”, maksudnya: adalah Madinah.
5- Oleh karena itu, Aisyah radhiyallahu ‘anha
berkata setelah itu:
“فَحَبَسَ أَبُو بَكْرٍ نَفْسَهُ عَلَى رَسُولِ
الله ﷺ لِيُصَاحِبَهُ، وَعَلَفَ رَاحِلَتَيْنِ كَانَتَا عِندَهُ وَرَقَ السُّمُرِ
-وَهُوَ الْخَبَطُ- أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ”
"Maka Abu Bakar menahan dirinya untuk
bersama Rasulullah ﷺ, dan memberi makan dua unta
yang ada padanya dengan daun-daun semur -yaitu pepohonan- selama empat
bulan,"
Dan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu melakukan
ini agar siap menemani Nabi ﷺ dalam hijrahnya ke
Medina.
Semua yang telah disebutkan menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan waktu dalam peristiwa-peristiwa yang diceritakan oleh Ummul
Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha, dan dia tidak hanya menceritakan apa yang
dia ingat ketika masih kecil.
**KEDELAPAN: KERAGUAN TENTANG
PENAWARAN KHAWLAH BINTI HAKIM KEPADA NABI ﷺ UNTUK MENIKAHI AISYAH**
Penulis menyebutkan hadits dari Ummul
Mukminin Aisyah yang berkata:
لَمَّا تُوُفِّيَتْ
خَدِيجَةُ قَالَتْ خَوْلَةُ بِنْتُ حَكِيمٍ بْنِ أُمَيَّةَ بْنِ الْأَوْقَصِ -امْرَأَةُ
عُثْمَانَ بْنِ مَظْعُونٍ، وَذَلِكَ بِمَكَةَ-: يَا رَسُولَ الله، أَلَا تَزَوَّجُ؟
قَالَ: «مَنْ؟»، قَالَتْ: إِن شِئْتَ بَكْرًا، وَإِن شِئْتَ ثَيِّبًا، قَالَ: «فَمَنْ
الْبَكْرُ؟»، قَالَتْ: ابْنَةُ أَحَبِّ خَلْقِ الله إِلَيْكَ عَائِشَةُ بِنْتُ أَبِي
بَكْرٍ، قَالَ: «وَمَنِ الثَّيِّبُ؟»، قَالَتْ: سُودَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ، آمَنَتْ بِكَ
وَاتَّبَعَتْكَ عَلَى مَا أَنتَ عَلَيْهِ
"Ketika Khadijah wafat, Khawlah binti
Hakim bin Umayyah bin Al-Auqash -istri Utsman bin Maz'uun, itu terjadi di
Mekah- berkata: Wahai Rasulullah, tidakkah engkau menikah? Nabi ﷺ bertanya: «Dengan siapa?», Khawlah menjawab: Jika engkau mau,
ada yang perawan, dan jika engkau mau, ada yang janda. Nabi ﷺ bertanya: «Siapa yang perawan?», Khawlah menjawab: Putri
makhluk yang paling dicintai oleh Allah, Aisyah binti Abu Bakar. Nabi ﷺ bertanya: «Siapa yang janda?», Khawlah menjawab: Saudah binti
Zam'ah, dia telah beriman kepadamu dan mengikutimu dalam apa yang engkau
jalani”.
([Diriwayatkan oleh Ahmad (42/501) dan
Ath-Thabrani dalam *Al-Kabir* (23/23, 24/30), dinilai hasan sanadnya oleh Al-Hafidz
Ibnu Hajar dalam *Fath Al-Bari* (7/225).]).
Penulis menyimpulkan dari hal itu dan
berkata:
“المؤكَّدُ من سِياقِ الحَديثِ أَنَّهَا تُعَرِّضُهُنَّ
لِلزِّواجِ الحَالِيِّ؛ بدَليلِ قَولِها: (إن شِئْتَ بَكْرًا، وَإن شِئْتَ ثَيِّبًا)؛
وَلِذَلِكَ لا يُعقَلُ أَنْ تَكُونَ عَائِشَةُ فِي ذَاكَ الوَقْتِ طِفْلَةً فِي السَّادِسَةِ
مِنْ عُمْرِهَا، وَتُعَرِّضُهَا خَوْلَةُ لِلزِّواجِ بِقَوْلِهَا: بَكْرًا”
“Yang pasti dari konteks hadits tersebut
adalah bahwa ia menawarkan mereka untuk dinikahi saat itu; sebagai bukti dari
ucapannya: ‘Jika engkau mau, ada yang perawan, dan jika engkau mau, ada yang
janda’; maka tidak masuk akal jika Aisyah pada saat itu adalah seorang anak
perempuan berusia enam tahun, dan Khawlah menawarkan Aisyah untuk dinikahi
dengan menyebutnya: perawan.”
**JAWABAN ATAS SYUBHAT:**
Tidak diketahui dari mana penulis mendapatkan
kepastian ini! Dan kesimpulan yang diambilnya adalah salah dari beberapa sisi:
**Pertama:** Apa yang tertulis dalam hadits
itu sendiri:
قَالَ أَبُو بَكْرٍ
الصِّدِّيقُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لِخَوْلَةَ: ادْعِي لِي رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، فَدَعَتْهُ،
فَزَوَّجَهَا إِيَّاهُ وَعَائِشَةُ يَوْمَئِذٍ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ.
“Abu Bakar as-Siddiq radhiyallahu 'anhu
berkata kepada Khawlah: "Panggillah untukku Rasulullah ﷺ." Maka dia pun memanggilnya, lalu menikahkan mereka berdua
dan Aisyah saat itu berusia enam tahun”.
Dalam hadits tersebut terdapat nash yang
jelas bahwa Nabi ﷺ menikahi Aisyah radhiyallahu
'anha ketika dia berusia enam tahun; jadi, apakah setelah nash ini masih ada
ruang untuk kemungkinan lain?! Dan apakah tepat dikatakan setelah hal yang
jelas: "Di mana?"
**Kedua:** Hal lain yang menghilangkan
kemungkinan yang diyakini penulis adalah: Apa yang telah disebutkan sebelumnya
bahwa pernikahan Nabi ﷺ dengan Ummul Mukminin
Aisyah—yang saat itu berusia enam tahun—adalah atas wahyu dari Allah Ta'ala.
**Ketiga:** Penjelasan yang jelas dalam hadits
itu sendiri, dan persetujuan Nabi ﷺ untuk menikah dengan mereka
berdua. Dalam hadits tersebut dikatakan:
«فَاذْهَبِي فَاذْكُرِيهُمَا عَلَيَّ»
"Maka pergi dan sebutkan mereka berdua
padaku".
Dan juga bahwa beliau ﷺ telah menikahi Suda binti Zam'a ketika berada di Mekah.
**Keempat:** Apa yang dikatakan oleh Al-Qadhi
al-Mawardi dalam hal ini:
“الْفُقَهَاءُ يَقُولُونَ: تَزَوَّجَ عَائِشَةَ
قَبْلَ سُودَةَ، وَالْمُحَدِّثُونَ يَقُولُونَ: تَزَوَّجَ سُودَةَ قَبْلَ عَائِشَةَ،
وَقَدْ يُجْمَعُ بَيْنَهُمَا أَنَّهُ عَقَدَ عَلَى عَائِشَةَ وَلَمْ يَدْخُلْ بِهَا،
وَدَخَلَ بِسُودَةَ”، وَأَقَرَّهُ الْحَافِظُ عَلَى هَذَا التَّوْجِيهِ فَقَالَ: “وَالرِّوَايَةُ
الَّتِي ذَكَرْتُهَا عَنْ الطَّبَرَانِيِّ تَرْفَعُ الْإِشْكَالَ، وَتُوَجِّهُ الْجَمْعَ
الْمَذْكُورَ”
"Para fuqaha mengatakan: Nabi menikahi
Aisyah sebelum Suda, sedangkan para muhadditsin mengatakan: Nabi menikahi Suda
sebelum Aisyah, dan keduanya dapat dipadukan dengan mengatakan bahwa beliau
menikahi Aisyah namun tidak menggaulinya, dan menggauli Suda." Dan Al-Hafidz
menyetujui penjelasan ini dan berkata: "Dan riwayat yang saya sebutkan
dari Al-Thabari menghilangkan keraguan, dan menjelaskan penggabungan yang
disebutkan" ([*Fath Al-Bari* (7/225).]). Maksudnya adalah hadits
sebelumnya dari Aisyah radhiyallahu 'anha.
**SEMBILAN: SANGKAAN JANJI MUTH'IM
BIN ADIY UNTUK MELAMAR AISYAH UNTUK PUTRANYA SEBELUM NABI ﷺ:**
Dalam hadits Khawlah binti Hakim di hadapan
Imam Ahmad: bahwa Muth’im bin Adiy telah menyebutkan - maksudnya: Aisyah -
untuk anaknya - maksudnya: Jubair – ([ *Musnad Ahmad* (42/502)]); penulis
mengeluarkan pernyataan yang belum pernah ada sebelumnya; ia berkata:
“مِنَ المُسْتَحِيلِ أَنْ يَخْطُبَ أَبُو بَكْرٍ
ابْنَتَهُ لِأَحَدِ الْمُشْرِكِينَ وَهُمْ يُؤْذُونَ الْمُسْلِمِينَ فِي مَكَّةَ؛ مِمَّا
يُدِلُّ عَلَى أَنَّ هَذَا كَانَ وَعْدًا بِالْخِطْبَةِ، وَذَٰلِكَ قَبْلَ بَدْءِ الْبِعْثَةِ
النَّبَوِيَّةِ حَيْثُ كَانَ الْاثْنَانِ فِي سِنٍّ صَغِيرَةٍ، وَهُوَ مَا يُؤَكِّدُ
أَنَّ عَائِشَةَ وُلِدَتْ قَبْلَ بَدْءِ الْبِعْثَةِ النَّبَوِيَّةِ يَقِينًا”
“Adalah mustahil bagi Abu Bakar untuk melamar
putrinya kepada salah satu orang musyrik ketika mereka menyakiti umat Islam di
Mekkah; ini menunjukkan bahwa ini adalah janji untuk dilamar, dan itu terjadi
sebelum dimulainya kenabian ketika keduanya masih dalam usia muda, yang
menegaskan bahwa Aisyah lahir sebelum dimulainya kenabian dengan pasti”
[Penulis mengikuti pendapat Abbas Mahmud Al-‘Aqqad dalam bukunya *As-Siddiqah
Bint As-Siddiq* (hal. 65)].
** JAWABAN ATAS SYUBHAT TERSEBUT:**
Jawaban atas sangkaan ini ada dari beberapa
sudut:
**Pertama:** Konteks cerita menjelaskan kebatilan apa
yang dikemukakan penulis; dan isinya:
“فَدَخَلَتْ -يَعْنِي: خَوْلَةَ بِنْتَ حَكِيمٍ-
بَيْتَ أَبِي بَكْرٍ، فَقَالَتْ: يَا أُمَّ رُومَانَ، مَاذَا أَدْخَلَ اللَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ عَلَيْكُمْ مِنَ الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ؟ قَالَتْ: وَمَا ذَاكَ؟ قَالَتْ:
أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَخْطُبُ عَلَيْهِ عَائِشَةَ، قَالَتْ: انْتَظِرِي أَبَا
بَكْرٍ حَتَّى يَأْتِيَ، فَجَاءَ أَبُو بَكْرٍ، فَقَالَتْ: يَا أَبَا بَكْرٍ، مَاذَا
أَدْخَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْكُمْ مِنَ الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ؟ قَالَ: وَمَا
ذَاكَ؟ قَالَتْ: أَرْسَلَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَخْطُبُ عَلَيْهِ عَائِشَةَ، قَالَ:
وَهَلْ تَصْلُحُ لَهُ؟ إِنَّمَا هِيَ ابْنَةُ أَخِيهِ. فَرَجَعْتُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ
ﷺ فَذَكَرْتُ ذَٰلِكَ لَهُ، قَالَ: «ارْجِعِي إِلَيْهِ فَقُولِي لَهُ: أَنَا أَخُوكَ،
وَأَنْتَ أَخِي فِي الْإِسْلَامِ، وَابْنَتُكَ تَصْلُحُ لِي»، فَرَجَعْتُ فَذَكَرْتُ
ذَٰلِكَ لَهُ، قَالَ: انْتَظِرِي وَخَرَجَ، قَالَتْ أُمُّ رُومَانَ: إِنَّ مَطْعَمَ
بْنَ عَدِيٍّ قَدْ كَانَ ذَكَرَهَا عَلَى ابْنِهِ، فَوَاللَّهِ مَا وَعَدَ وَعْدًا
قَطُّ فَأَخْلَفَهُ لِأَبِي بَكْرٍ، فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى مَطْعَمَ بْنِ عَدِيٍّ
وَعِندَهُ امْرَأَتُهُ أُمُّ الْفَتَى، فَقَالَتْ: يَا ابْنَ أَبِي قُحَافَةَ، لَعَلَّكَ
مُصْبِئُ صَاحِبِنَا؛ مُدْخِلُهُ فِي دِينِكَ الَّذِي أَنتَ عَلَيْهِ إِنْ تَزَوَّجَ
إِلَيْكَ، قَالَ أَبُو بَكْرٍ لِلْمَطْعَمِ بْنِ عَدِيٍّ: أَقُولُ هَذِهِ تَقُولُ،
قَالَ: إِنَّهَا تَقُولُ ذَٰلِكَ، فَخَرَجَ مِنْ عِندِهِ، وَقَدْ أَذْهَبَ اللَّهُ
عَزَّ وَجَلَّ مَا كَانَ فِي نَفْسِهِ مِنْ عِدَّتِهِ الَّتِي وَعَدَهُ، فَرَجَعَ فَقَالَ
لِخَوْلَةَ: ادْعِي لِي رَسُولَ اللَّهِ ﷺ، فَدَعَتْهُ فَزَوَّجَهَا إِيَّاهُ، وَعَائِشَةُ
يَوْمَئِذٍ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ”
"Maka Khawlah binti Hakim masuk ke rumah
Abu Bakar, ia berkata: 'Wahai Ummu Ruman, apa yang Allah Azza wa Jalla masukkan
kepada kalian dari kebaikan dan keberkahan?'
Ia menjawab: 'Apa itu?'
Ia berkata: 'Rasulullah ﷺ mengutusku untuk melamar Aisyah.' Ia berkata: 'Tunggu Abu Bakar
hingga datang.'
Ketika Abu Bakar datang, ia berkata: 'Wahai
Abu Bakar, apa yang Allah Azza wa Jalla masukkan kepada kalian dari kebaikan
dan keberkahan?' Ia menjawab: 'Apa itu?'
Ia berkata: 'Rasulullah ﷺ mengutusku untuk melamar Aisyah.'
Ia berkata: 'Apakah ia layak untuknya? Dia
hanyalah putri saudaranya.'
Maka aku kembali kepada Rasulullah ﷺ dan menyampaikan itu kepadanya, ia berkata: 'Kembalilah
kepadanya dan katakan: Aku adalah saudaramu, dan engkau adalah saudaraku dalam
Islam, dan putrimu layak untukku.'
Aku kembali dan memberitahukan itu kepadanya,
ia berkata: 'Tunggu.'
Dan ia keluar, kata Ummu Ruman: 'Sesungguhnya
Muth’im bin Adiy telah menyebutkan dia untuk anaknya, demi Allah, ia tidak
pernah berjanji dan mengingkarinya kepada Abu Bakar.'
Maka Abu Bakar masuk ke Muth’im bin Adiy dan
bersamanya adalah istrinya Ummu Al-Fattah, ia berkata: 'Wahai anak Abu Quhafah,
mungkin engkau akan mendatangkan pemeluk agama kami; jika ia menikah denganmu,
ia akan masuk dalam agamamu.'
Abu Bakar kepada Muth’im bin Adiy berkata:
'Aku katakan ini.'
Ia berkata: 'Dia berkata demikian.' Maka ia
keluar darinya, dan Allah Azza wa Jalla telah menghilangkan apa yang ada dalam
hatinya tentang janji yang ia buat, maka ia kembali dan berkata kepada Khawlah:
'Panggilkan untukku Rasulullah ﷺ,' maka ia memanggilnya dan
ia menikahkannya dengan Aisyah ketika itu Aisyah berusia enam tahun”. ([
Diriwayatkan oleh Ahmad (42/501-502)]).
*"Dan hadits ini adalah jelas dari segi
kata dan makna. Penulis berusaha memutarbalikkan makna untuk menunjukkan
kebalikan dari kata-kata yang jelas dan makna yang terang, sehingga ia tidak
menyampaikan hadits tersebut sesuai dengan asalnya, tetapi justru
memutarbalikkan dengan kata-kata dari versinya sendiri ([Lihat penjelasan Syekh
Ahmad Syakir dalam artikelnya *Tahqiq Sann Aisyah* sebagai tanggapan atas Abbas
Al-‘Aqqad]).
**Kedua:** Apa yang disebutkan penulis tentang
ketidakmungkinan Abu Bakar untuk meminang putrinya untuk salah satu dari
kalangan musyrikin adalah pernyataan yang batil dan tidak ada buktinya; penulis
membangunnya di atas larangan pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki
non-Muslim. Seandainya penulis menyadari waktu di mana hukum ini berlaku, maka
ia akan mengetahui kesalahan dari kesimpulan yang diambilnya; karena pernikahan
wanita Muslimah dengan laki-laki musyrik adalah diperbolehkan pada awal Islam,
dan Allah tidak mengharamkannya sampai setelah Perjanjian Hudaibiyah di akhir
tahun keenam hijrah; di mana Allah menegaskan larangan tersebut dengan
firman-Nya:
﴿ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّونَ
لَهُنَّ ﴾
{ Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir
itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka} [Al-Mumtahanah:
10];
Al-Hafidz Ibnu Katsir mengatakan:
“هَذِهِ الْآيَةُ هِيَ الَّتِي حَرَّمَتِ الْمُسْلِمَاتِ
عَلَى الْمُشْرِكِينَ، وَقَدْ كَانَ جَائِزًا فِي ابْتِدَاءِ الْإِسْلَامِ أَنْ يَتَزَوَّجَ
الْمُشْرِكُ الْمُؤْمِنَةَ”
“Ayat ini adalah yang mengharamkan wanita
Muslimah untuk musyrikin, dan pada awal Islam adalah diperbolehkan bagi musyrik
untuk menikahi wanita mukminah” ([*Tafsir Ibnu Katsir* (8/93)]).
**Ketiga:** Kesimpulan yang diambil penulis bertentangan
dengan apa yang tercantum dalam hadits bahwa Abu Bakar menikahkannya kepada
Nabi ﷺ dan Aisyah pada saat itu berusia enam tahun.
Pertanyaannya adalah: Mengapa penulis
bersikeras untuk mendapatkan penegasan -dari versinya sendiri- yang tidak
berdasar dan bertentangan dengan teks-teks yang jelas dan sahih?! Bukankah ini
bertentangan dengan dasar-dasar metode ilmiah dan prinsip-prinsipnya?*
**KESEPULUH: DUGAAN TENTANG
PENGGUNAAN TURUNNYA SURAH AL-QAMAR**
Penulis berusaha menciptakan perbedaan antara
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya dan apa yang dikemukakan
penulis tentang kesepakatan para ulama - sesuai klaimnya - mengenai turunnya
Surah Al-Qamar. Dia menyebutkan hadits Bukhari dari Aisyah Ummul Mukminin
radhiyallahu 'anha yang berkata:
“لَقَدْ أُنزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ ﷺ بِمَكَّةَ
وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ: ﴿بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَىٰ
وَأَمَرُّ﴾ [القَمَر: 46]”
“Sungguh, wahyu diturunkan kepada Muhammad ﷺ di Makkah sementara aku masih seorang gadis yang sedang
bermain: { Sebenarnya hari kiamat itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan
kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit} [Al-Qamar: 46]” ([Sahih Al-Bukhari
(4876)]).
Kemudian penulis melanjutkan dengan
mengatakan:
“وَالْمَعْلُومُ بِلَا خِلَافٍ أَنَّ سُورَةَ
الْقَمَرِ نَزَلَتْ بَعْدَ أَرْبَعِ سِنِينَ مِنْ بَدْءِ الْوَحْيِ”
“Diketahui tanpa perdebatan bahwa Surah
Al-Qamar diturunkan empat tahun setelah dimulainya wahyu”,
Dengan tujuan untuk menyimpulkan bahwa umur
Aisyah pada tahun keempat setelah dimulainya wahyu saat turunnya surah tersebut
adalah delapan tahun.
** JAWABAN ATAS SYUBHAT TERSEBUT:**
Pernyataan penulis ini adalah sebuah
kesalahan besar, dan kesimpulan yang dia dapatkan tidak berdasar dan tidak
memiliki landasan. Penjelasannya adalah bahwa para ulama berbeda pendapat
tentang waktu turunnya Surah Al-Qamar, dan pendapat yang paling benar adalah
bahwa surah tersebut diturunkan sekitar tahun kelima sebelum hijrah, dan hadits
yang terdapat dalam Bukhari mendukung hal ini. Beberapa mufassir menyebutkan
bahwa terbelahnya bulan terjadi pada tahun kelima sebelum hijrah. Dari Ibnu
Abbas:
كَانَ بَيْنَ نُزُولِ
آيَةِ ﴿ سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ﴾ [القمر: 45] وَبَيْنَ بَدْرٍ
سَبْعُ سِنِينَ
Dinyatakan bahwa antara turunnya ayat {
Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. } [Al-Qamar:
45] dan Perang Badar adalah tujuh tahun ([Lihat: *At-Tahrir wa At-Tanwir*
(27/166)]).
Pertanyaan yang sama muncul: Bagaimana
mungkin hadits yang sahih dan tetap ditolak hanya dengan dugaan dan spekulasi?!
Apakah pencarian untuk memperkuat pendapat dan mendukungnya membenarkan
pengabaian terhadap teks-teks yang jelas? Tentu saja, ini bukan bagian dari
metode ilmiah yang berlandaskan pada prinsip ketidakberpihakan dan keadilan.
**KESEBELAS: SANGGAHAN ATAS KLAIM
PERTENTANGAN ANTARA PERKATAAN DAN PERBUATAN NABI ﷺ **:
Penulis mengklaim adanya pertentangan antara
apa yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu
'anhu tentang Nabi ﷺ yang bersabda:
«وَلَا تُنكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تَسْتَأْذِنَ»،
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَكَيْفَ إِذْنُهَا؟ قَالَ: «أَنْ تَسْكُتَ»
"Dan janganlah dinikahi gadis sampai ia
meminta izin," mereka bertanya: "Wahai Rasulullah, bagaimana izin
itu?" Nabi ﷺ menjawab: "Dengan
diam" ([Sahih Al-Bukhari (5136), Sahih Muslim (1419)]), dengan
perbuatannya ﷺ yang menikahi Aisyah ketika
ia berusia enam tahun dan menyetubuhinya ketika ia berusia sembilan tahun;
untuk kemudian mempertanyakan: "Bagaimana mungkin Rasul yang mulia
mengatakan ini dan melakukan sebaliknya?!".
**JAWABAN ATAS SANGGAHAN: **
Sama sekali tidak ada pertentangan antara apa
yang shahih dari perkataan Nabi ﷺ dan perbuatan serta
persetujuannya; semua itu merupakan sunnah yang diperintahkan Allah SWT untuk
kita ikuti; Allah berfirman:
﴿وَمَا
آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ﴾
Apa yang Rasul datangkan kepadamu, maka
terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. [QS. Al Hasyr:
7]
Apa yang dianggap sebagian orang bertentangan
sesungguhnya hanya terlihat demikian, tidak sesuai dengan kenyataannya; oleh
karena itu, para ulama berusaha menjelaskan cara-cara penggabungan antara
hal-hal yang tampak bertentangan, dan mereka memiliki pembahasan panjang dan
terperinci dalam bab pertentangan dan penentuan dalam usul fikih.
Mengenai apa yang kita bicarakan, perkataan
Nabi ﷺ tentang izin untuk gadis, itu merujuk kepada gadis yang sudah
baligh; karena tidak ada makna izin bagi yang tidak mengetahui apa itu izin dan
apa arti diamnya ([Lihat: *Fath Al-Bari* karya Ibnu Hajar (9/193)]).
Perbuatan ﷺ menikahi Ummul Mukminin
Aisyah tidak bertentangan dengan makna ini; semua umat Muslim sepakat bahwa
seorang ayah diperbolehkan menikahkan putrinya yang masih kecil; berdasarkan hadits
ini, dan jika ia telah baligh, maka tidak ada pilihan baginya untuk membatalkan
pernikahan tersebut menurut mazhab Maliki dan Syafi'i serta ulama Hijaz
lainnya. Sementara itu, para ahli fikih Irak berpendapat bahwa ia memiliki
pilihan jika telah baligh ([Lihat: *Syarh An-Nawawi ala Sahih Muslim*
(9/206)]).
Dan jika seorang anak perempuan yatim telah
berusia sembilan tahun dan dinikahkan serta ia meridhainya, maka pernikahan itu
sah, dan tidak ada pilihan baginya jika ia telah dewasa, seperti yang dikatakan
oleh Imam Ahmad dan Ishaq; keduanya berhujah dengan hadits Aisyah bahwa Nabi ﷺ menikahinya ketika ia berusia sembilan tahun, dan Aisyah
berkata:
“إِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ تِسْعَ سِنِينَ
فَهِيَ امْرَأَةٌ”
"Jika seorang gadis telah mencapai
sembilan tahun, maka ia adalah seorang wanita" ([Lihat: *‘Aun Al-Ma’bud wa
Hashiyat Ibnu Al-Qayyim* (6/83)]).
Maka, segala puji bagi Allah yang telah
membimbing hamba-hamba-Nya untuk mengikuti petunjuk Nabi ﷺ dan sunnah-Nya, serta tidak bertentangan dengan hawa nafsu dan
pendapat-pendapat. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada
junjungan kita Muhammad, keluarganya, dan para sahabatnya, serta semoga
keselamatan yang banyak dilimpahkan hingga hari kiamat. [SELESAI]
===****===
ARTIKEL KE LIMA:
** PERNIKAHAN ANAK DI BAWAH UMUR DAN TANGGAPAN TERHADAP SUHAILA ZAIN AL ABIDIN**
زَوَاجُ الْقَاصِرَاتِ
" وَالرَّدُّ عَلَى سُهَيْلَةَ زَيْنِ الْعَابِدِينَ
*Di tulis dalam bahasa arab oleh: Samir bin Khalil Al Maliki*
Diterjemahkan oleh Abu Haitsam
Fakhry.
=====
Segala puji bagi Allah semata dan shalawat
serta salam untuk Nabi yang tiada nabi sesudahnya.
Belakangan ini, banyak pembahasan tentang
hukum pernikahan antara orang yang lebih tua dengan anak perempuan yang masih
kecil. Beberapa kasus pun muncul di pengadilan syariah untuk meminta pembatalan
pernikahan beberapa anak perempuan yang masih muda. Para jurnalis turut menulis
tentang hal ini dan mengusulkan agar pernikahan semacam itu dilarang, serta
menetapkan batasan usia yang sesuai untuk menikah, sebagaimana yang diterapkan
di beberapa negara Arab.
Saya merasa perlu menulis tentang masalah ini
agar mereka yang belum mengetahui dapat memahami hukum Allah dan Rasul-Nya ﷺ serta pandangan ulama umat mengenai hal ini.
Secara singkat, saya katakan:
**Tidak ada batasan usia tertentu untuk
pernikahan anak perempuan dalam Al-Qur'an maupun Sunnah Rasulullah ﷺ**.
Beberapa ayat dalam kitab Allah menunjukkan
diperbolehkannya menikahkan anak perempuan sebelum mencapai usia baligh,
sebagaimana berikut:
1. Firman Allah:
{ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ .... }
*"Dan jika kamu takut tidak akan dapat
berlaku adil terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah wanita-wanita yang kamu
senangi: dua, tiga atau empat..."* (An-Nisa: 3).
Ayat ini menunjukkan kebolehan menikahi anak
yatim perempuan, yang berarti mereka belum mencapai usia baligh. Sebab turunnya
ayat ini juga mendukung hal tersebut. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan :
" أَيْ إِذَا كَانَ تَحْتَ حَجْرِ أَحَدِكُمْ
يَتِيمَةٌ وَخَافَ أَنْ لَا يُعْطِيَهَا مَهْرَ مِثْلِهَا ، فَلْيَعْدِلْ إِلَى مَا
سِوَاهَا مِنَ النِّسَاءِ ، فَإِنَّهُنَّ كَثِيرٌ وَلَمْ يُضَيِّقِ اللَّهُ عَلَيْهِ
"
"Jika salah seorang dari kalian memiliki
anak yatim perempuan di bawah asuhan, dan dia khawatir tidak dapat memberikan
mahar yang sesuai baginya, maka hendaklah dia menikahi wanita lain yang lebih
banyak dan Allah tidak mempersempit pilihannya."
Aisyah radhiyallahu 'anha juga meriwayatkan
sebab turunnya ayat ini dengan makna serupa (lihat Shahih al-Bukhari
9/197).
Al-Bukhari memberikan judul bab untuk riwayat
ini dengan :
" بَابُ تَزْوِيجِ الْيَتِيمَةِ " لِقَوْلِ
اللَّهِ تَعَالَى { وَإِنْ خِفْتُمْ أَنْ لَا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا
}
"Bab Menikahkan Anak Yatim"
berdasar firman Allah *"Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil
terhadap anak-anak yatim, maka nikahilah..."*
Ibnu Hajar berkata dalam syarahnya :
" وَفِيهِ دَلَالَةٌ عَلَى تَزْوِيجِ الْوَلِيِّ
غَيْرِ الْأَبِ ، الَّتِي دُونَ الْبُلُوغِ ، بَكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا ، لِأَنَّ
حَقِيقَةَ الْيَتِيمَةِ مَنْ كَانَتْ دُونَ الْبُلُوغِ وَلَا أَبَ لَهَا ، وَقَدْ أُذِنَ
فِي تَزْوِيجِهَا بِشَرْطِ أَنْ لَا يُبْخَسَ مِنْ صَدَاقِهَا ، فَيَحْتَاجُ مَنْ مَنَعَ
ذَلِكَ إِلَى دَلِيلٍ قَوِيٍّ " اهـ .
"Di dalamnya terdapat petunjuk tentang
pernikahan yang dilakukan oleh wali selain ayah terhadap perempuan yang belum
baligh, baik ia perawan maupun janda, karena hakikat yatimah adalah perempuan
yang belum baligh dan tidak memiliki ayah. Telah diizinkan untuk menikahkannya
dengan syarat tidak mengurangi maharnya. Maka, bagi yang melarang hal tersebut,
diperlukan dalil yang kuat."
2. Ayat lain dalam Surah An-Nisa :
{ وَيَسْتَفْتُونَكَ فِي النِّسَاءِ ، قُلِ اللَّهُ
يُفْتِيكُمْ فِيهِنَّ وَمَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ فِي يَتَامَى النِّسَاءِ
الَّاتِي لَا تُؤْتُونَهُنَّ مَا كُتِبَ لَهُنَّ وَتَرْغَبُونَ أَنْ تَنْكِحُوهُنَّ
... }
*"Dan mereka meminta fatwa kepadamu
tentang para wanita. Katakanlah: Allah memberikan fatwa kepadamu tentang mereka
dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Kitab (Al-Qur’an) tentang anak-anak yatim
perempuan yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang telah ditetapkan
untuk mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka…”* (An-Nisa: 127).
3. Firman Allah :
{ وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ
نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ ، وَاللَّائِي لَمْ
يَحِضْنَ ..... }
*"Dan perempuan-perempuan yang tidak
haid lagi di antara istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddah mereka),
maka iddah mereka adalah tiga bulan; begitu pula bagi perempuan-perempuan yang
belum haid…”* (At-Talaq: 4).
Ayat ini menjadi bukti jelas diperbolehkannya
menikahi anak perempuan yang belum mengalami haid, dan masa iddahnya jika
bercerai adalah tiga bulan, sama seperti wanita yang sudah lanjut usia.
Adapun teks-teks dari sunnah, cukuplah bagi
kita kisah pernikahan Rasulullah ﷺ dengan Aisyah. Riwayat yang
paling sahih dari para imam, yaitu al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud,
an-Nasa'i, ad-Darimi, Ibnu Majah, al-Baihaqi, dan lainnya, telah menyebutkan
bahwa Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha menyatakan :
أَنَّ النَّبِيَّ
ﷺ تَزَوَّجَهَا وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ.
“Bahwa Nabi ﷺ menikahinya saat ia berusia
enam tahun, dan mulai hidup bersamanya ketika berusia sembilan tahun”. [[Lihat
Jami' al-Ushul [11/404] dan Irwa' al-Ghalil [6/230]].
Saya berkata: Terdapat pula lafaz lain dari hadits Aisyah
radhiyallahu 'anha yang menyatakan bahwa beliau menikahinya ketika berusia
tujuh tahun.
Al-Bukhari dalam kitabnya Sahih al-Bukhari,
dalam Kitab an-Nikah [9/123], memberi judul:
بَابُ تَزْوِيجِ
الصِّغَارِ مِنَ الْكِبَارِ.
"Bab Pernikahan Gadis Kecil
dengan Pria Dewasa."
Ibnu Hajar dalam syarahnya menyatakan bahwa
Ibnu Baththal berkata :
قَالَ ابْنُ بَطَّالٍ:
يَجُوزُ تَزْوِيجُ الصَّغِيرَةِ بِالْكَبِيرِ إِجْمَاعًا وَلَوْ كَانَتْ فِي الْمَهْدِ،
لَكِنْ لَا يُمْكِنُ مِنْهَا حَتَّى تَصْلُحَ لِلْوَطْءِ " اهـ.
"Diperbolehkan menikahkan gadis kecil
dengan pria dewasa menurut ijma’, walaupun ia masih dalam ayunan, namun tidak
dapat digauli hingga ia siap untuk itu."
Al-Bukhari juga memberi judul dalam Sahih-nya
[9/189]:
" بَابُ إِنْكَاحِ الرَّجُلِ وَلَدَهُ الصِّغَارَ،
لِقَوْلِهِ تَعَالَى ( وَاللَّائِي لَمْ يَحِضْنَ ) فَجَعَلَ عِدَّتَهُنَّ ثَلَاثَةَ
أَشْهُرٍ قَبْلَ الْبُلُوغِ " اهـ.
"Bab Menikahkan Seorang Pria dengan Anak
Perempuannya yang Masih Kecil," berdasarkan firman Allah Ta'ala: *Dan
perempuan-perempuan yang belum haid* (yang masa iddahnya tiga bulan sebelum
baligh)."
Ibnu Hajar dalam syarahnya menyebutkan :
" قَالَ الْمُهَلَّبُ: أَجْمَعُوا عَلَى
أَنَّهُ يَجُوزُ لِلْأَبِ تَزْوِيجُ ابْنَتِهِ الصَّغِيرَةِ الْبِكْرِ وَلَوْ كَانَتْ
لَا يُوطَأُ مِثْلُهَا. إِلَّا أَنَّ الطَّحَاوِيَّ حَكَى عَنِ ابْنِ شُبْرُمَةَ مَنْعَهُ
فِيمَنْ لَا تُوطَأُ، وَحَكَى ابْنُ حَزْمٍ عَنِ ابْنِ شُبْرُمَةَ مُطْلَقًا أَنَّ
الْأَبَ لَا يُزَوِّجُ بِنْتَهُ الْبِكْرَ الصَّغِيرَةَ حَتَّى تَبْلُغَ وَتَأْذَنَ،
وَزَعَمَ أَنَّ تَزْوِيجَ النَّبِيِّ ﷺ عَائِشَةَ وَهِيَ بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ كَانَ
مِنْ خَصَائِصِهِ " اهـ.
“Bahwa al-Muhallab berkata: Para ulama
sepakat bahwa ayah boleh menikahkan anak perempuannya yang masih kecil dan
belum cukup umur untuk digauli. Namun, ath-Thahawi menyebutkan pendapat Ibnu
Syubrumah yang melarang menikahkan gadis yang belum cukup umur, dan Ibnu
Hazm mengutip dari Ibnu Syubrumah bahwa ayah tidak boleh menikahkan anak
perempuannya yang masih kecil sampai ia baligh dan memberi izin, serta
mengklaim bahwa pernikahan Nabi ﷺ dengan Aisyah yang berusia
enam tahun adalah kekhususan beliau”.
Saya berkata: Apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Hazm dari
Ibnu Syubrumah hanyalah pendapat ganjil yang menyelisihi pendapat mayoritas
ulama. Para ahli fiqh membagi perempuan ke dalam beberapa kategori terkait
dengan hak wali dalam menikahkan: (1) gadis dewasa, (2) gadis kecil, (3) janda
dewasa, dan (4) janda kecil.
Mereka juga membagi para wali menjadi dua
kelompok: ayah dan selain ayah. Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari [9/191]
menyebutkan :
" فَالثَّيِّبُ الْبَالِغُ لَا يُزَوِّجُهَا
الْأَبُ وَلَا غَيْرُهُ إِلَّا بِرِضَاهَا اتِّفَاقًا، إِلَّا مَنْ شَذَّ، وَالْبِكْرُ
الصَّغِيرَةُ يُزَوِّجُهَا اتِّفَاقًا إِلَّا مَنْ شَذَّ، وَالثَّيِّبُ غَيْرُ الْبَالِغِ
اخْتَلَفَ فِيهَا ... وَالْبِكْرُ يُزَوِّجُهَا أَبُوهَا وَكَذَا غَيْرُهُ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ،
وَاخْتَلَفَ فِي اسْتِئْمَارِهَا " الخ.
"Untuk janda dewasa, ayah maupun wali
lainnya tidak boleh menikahkannya kecuali dengan izinnya, berdasarkan
kesepakatan para ulama, kecuali sebagian kecil yang menyelisihi. Sedangkan
gadis kecil, ayahnya boleh menikahkannya dengan ijma', kecuali sebagian kecil
yang menyelisihi. Untuk janda kecil, terdapat perbedaan pendapat... dan gadis
kecil dapat dinikahkan oleh ayahnya, begitu juga oleh wali lainnya, meskipun
terdapat perbedaan pendapat mengenai perlunya persetujuannya."
Ibnu Qudamah dalam kitab al-Mughni [9/398]
menyatakan :
" قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: أَجْمَعَ كُلُّ
مَنْ نَحْفَظُ عَنْهُ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ، أَنَّ نِكَاحَ الْأَبِ ابْنَتَهُ الْبِكْرَ
الصَّغِيرَةَ جَائِزٌ، إِذَا زَوَّجَهَا مِنْ كُفْءٍ، وَيَجُوزُ لَهُ تَزْوِيجُهَا
مَعَ كَرَاهِيَتِهَا وَامْتِنَاعِهَا.
"Ibnu Mundzir berkata: Para ulama yang
kami ketahui telah sepakat bahwa ayah boleh menikahkan anak perempuannya yang
masih kecil dan perawan jika menikahkannya dengan pria yang sepadan, dan ia
boleh menikahkannya meskipun dengan ketidaksukaannya."
Diperbolehkannya menikahkan gadis kecil
berdasarkan firman Allah Ta'ala:
( وَاللَّائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ
نِسَائِكُمْ إِذَا ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَاثَةُ أَشْهُرٍ، وَاللَّائِي لَمْ
يَحِضْنَ ).
*Dan perempuan-perempuan yang telah putus
haid di antara istri-istrimu jika kamu ragu-ragu, maka masa iddah mereka adalah
tiga bulan, dan perempuan-perempuan yang belum haid* (mereka juga memiliki masa
iddah tiga bulan).
Hal ini menunjukkan bahwa perempuan yang
belum haid memiliki masa iddah tiga bulan, yang hanya terjadi karena talak
dalam pernikahan atau pembatalan, yang berarti ia dapat dinikahkan dan
diceraikan tanpa persetujuannya.
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata :
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ
ﷺ وَأَنَا ابْنَةُ سِتٍّ، وَبَنَى بِي وَأَنَا ابْنَةُ تِسْعٍ
"Nabi ﷺ menikahiku saat aku berusia
enam tahun, dan mulai hidup bersamaku saat aku berusia sembilan tahun."
(Muttafaqun 'alaih).
Diketahui bahwa pada saat itu, izinnya belum
dianggap.
Diriwayatkan oleh al-Atsram :
أَنَّ قُدَامَةَ
بْنَ مَظْعُونٍ تَزَوَّجَ ابْنَةَ الزُّبَيْرِ حِينَ نَفِسَتْ، فَقِيلَ لَهُ، فَقَالَ:
ابْنَةُ الزُّبَيْرِ، إِنْ مِتُّ وَرِثَتْنِي، وَإِنْ عِشْتُ كَانَتْ امْرَأَتِي.
“Bahwa Qudamah bin Mazh'un menikahi putri az-Zubair
setelah ia melahirkan, lalu orang-orang berkata kepadanya. Ia menjawab,
"Ia putri az-Zubair. Jika aku meninggal, ia akan mewarisiku, dan jika aku
hidup, ia adalah istriku."
Ali juga menikahkan putrinya, Ummu Kultsum,
dengan Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhuma saat ia masih kecil.
Sedangkan mengenai wanita perawan yang sudah
baligh dan berakal, ada dua riwayat dari Ahmad. Riwayat pertama menyatakan
bahwa ayahnya memiliki hak untuk memaksanya menikah dan menikahkannya tanpa
izinnya, sebagaimana halnya dengan anak perempuan yang masih kecil. Ini adalah
pendapat Malik, Ibnu Abi Laila, asy-Syafi'i, dan Ishaq. Riwayat kedua
menyatakan bahwa ayahnya tidak memiliki hak tersebut.
Saya katakan : Para ulama membedakan antara gadis kecil dan
gadis yang sudah baligh dalam hal pemaksaan pernikahan, dan Ibnu al-Mundzir
meriwayatkan adanya ijma' bahwa ayah boleh memaksanya jika menikahkannya dengan
pasangan yang sepadan.
Kami telah menyebutkan sebelumnya pendapat
al-Hafidz dalam *Fath al-Bari* mengenai hukum ini.
Adapun gadis yang sudah baligh, ada perbedaan
pendapat dalam hal pemaksaan pernikahan terhadapnya, dan pembahasan mendetail
mengenai hal ini akan dibahas dalam kajian tersendiri, insya Allah.
Semua ini dipersyaratkan bahwa calon suami
adalah sepadan dengannya. Jika ia menikahkannya dengan orang yang tidak
sepadan, maka pernikahannya tidak sah.
Ibnu Qudamah berkata :
"وَقَوْلُ الْخِرَقِيِّ " فَوَضَعَهَا
فِي كَفَاءَةٍ " يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ إِذَا زَوَّجَهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ ، وَهُوَ إِحْدَى الرِّوَايَتَيْنِ عَنْ أَحْمَدَ ، وَأَحَدُ قَوْلَيْ الشَّافِعِيِّ
، لِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ لَهُ تَزْوِيجُهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ ، فَلَمْ يَصِحَّ ،
كَسَائِرِ الْأَنْكِحَةِ الْمُحَرَّمَةِ ، وَلِأَنَّهُ عَقْدٌ لِمَوْلِيَّتِهِ عَقْدًا
لَا حَظَّ لَهَا فِيهِ بِغَيْرِ إِذْنِهَا ، فَلَمْ يَصِحَّ ، كَبَيْعِهِ عَقَارَهَا
مِنْ غَيْرِ غِبْطَةٍ وَلَا حَاجَةٍ ، أَوْ بَيْعِهِ بِدُونِ ثَمَنِ مِثْلِهِ. وَلِأَنَّهُ
نَائِبٌ عَنْهَا شَرْعًا فَلَمْ يَصِحَّ تَصَرُّفُهُ لَهَا شَرْعًا بِمَا لَا حَظَّ
لَهَا فِيهِ ، كَالْوَكِيلِ..."
“Dan pernyataan al-Khiraqi, ‘maka ia
menetapkannya dalam kesepadanan,’ menunjukkan bahwa jika ia menikahkannya
dengan orang yang tidak sepadan, maka nikahnya batal. Ini adalah salah satu
dari dua riwayat dari Ahmad dan salah satu dari dua pendapat asy-Syafi'i,
karena tidak diperbolehkan baginya untuk menikahkannya dengan orang yang tidak
sepadan, sehingga pernikahan itu tidak sah, seperti halnya
pernikahan-pernikahan yang dilarang lainnya. Karena ia mengikatkan perwalian
untuk orang yang tidak ada maslahat baginya tanpa izinnya, maka pernikahan itu
tidak sah, sebagaimana jika ia menjual propertinya tanpa keuntungan atau
kebutuhan, atau menjualnya dengan harga yang kurang dari nilai pasarnya. Karena
ia adalah wakil dari syariat untuknya, maka tidak sah baginya bertindak yang
tidak ada maslahatnya, sebagaimana seorang wakil tidak sah."
Kemudian Ibnu Qudamah berkata :
"وَعَلَى كِلْتَا الرِّوَايَتَيْنِ ، فَلَا
يَحِلُّ لَهُ تَزْوِيجُهَا مِنْ غَيْرِ كُفْءٍ وَلَا مِنْ مَعِيبٍ ، لِأَنَّ اللَّهَ
تَعَالَى أَقَامَهُ مَقَامَهَا ، نَاظِرًا لَهَا فِيمَا فِيهِ الْحَظُّ ، وَمُتَصَرِّفًا
لَهَا لِعَجْزِهَا عَنِ التَّصَرُّفِ فِي نَفْسِهَا ، فَلَا يَجُوزُ لَهُ فِعْلُ مَا
لَا حَظَّ لَهَا فِيهِ ، كَمَا فِي مَالِهَا ، وَلِأَنَّهُ إِذَا حُرِمَ عَلَيْهِ التَّصَرُّفُ
فِي مَالِهَا بِمَا لَا حَظَّ لَهَا فِيهِ ، فَفِي نَفْسِهَا أَوْلَى" اهـ
“Dan pada kedua riwayat ini, tidak halal
baginya menikahkannya dengan orang yang tidak sepadan atau yang memiliki cacat,
karena Allah Ta'ala telah menjadikannya sebagai penggantinya, yang mengurusinya
dalam hal yang mendatangkan maslahat, dan bertindak untuknya karena
ketidakmampuannya bertindak untuk dirinya sendiri. Maka, tidak diperbolehkan
baginya melakukan sesuatu yang tidak ada maslahatnya, sebagaimana halnya dengan
hartanya. Karena jika dilarang baginya untuk bertindak atas hartanya tanpa
maslahat, maka hal ini lebih utama lagi berlaku pada dirinya sendiri.”
[*al-Mughni*, 9/401].
Saya berkata: Saya memanjangkan kutipan dari perkataan
Imam Ibnu Qudamah di sini karena pentingnya dalam masalah pernikahan anak
perempuan dengan laki-laki yang setara (kufu’), baik anak perempuan itu masih
kecil ataupun sudah dewasa. Pertimbangannya adalah kecocokan, dan rinciannya
akan dibahas dalam penelitian tersendiri, insyaAllah.
Kita kembali pada masalah pernikahan anak
kecil. Saya telah melihat dalil yang jelas dari Al-Qur'an tentang
diperbolehkannya hal ini, khususnya pada ayat tentang talak. Ayat ini sangat
jelas menunjukkan bahwa jika seorang anak kecil menikah, suaminya telah
melakukan hubungan dengannya, dan kemudian ia dicerai sebelum ia mengalami
haid, maka masa iddahnya adalah tiga bulan. Ayat ini berkaitan dengan perempuan
yang telah digauli sebelum baligh, karena jika tidak ada hubungan suami-istri,
maka ia tidak memiliki masa iddah sama sekali, baik dia tergolong yang bisa
mengalami haid atau tidak, sebagaimana disebutkan dalam ayat Al-Ahzab [49]:
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمْ
الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمْهُنَّ مِن قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ
عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا }
*"Wahai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi wanita-wanita mukminah kemudian kamu menceraikan mereka
sebelum kamu menggaulinya, maka tidak ada iddah atas mereka yang harus kamu
hitung."*
Ayat ini berlaku khusus untuk wanita yang
dicerai tanpa adanya hubungan suami-istri, baik gadis ataupun janda, baik kecil
maupun dewasa.
Ibnu Qudamah juga menyebutkan ayat:
{ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى
}
*"Dan jika kamu takut tidak akan berlaku
adil terhadap anak-anak yatim..."*
Kemudian ia berkata :
" فَمَفْهُومُهُ أَنَّهُ إِذَا لَمْ يَخَفْ
فَلَهُ تَزْوِيجُ الْيَتِيمَةِ، وَالْيَتِيمُ مَنْ لَمْ يَبْلُغْ لِقَوْلِ النَّبِيِّ
ﷺ " لَا يَتِيمَ بَعْدَ احْتِلَامٍ " ...".
*"Pemahaman dari ayat ini adalah bahwa
jika tidak ada kekhawatiran, maka diperbolehkan menikahkan anak yatim. Anak
yatim adalah orang yang belum baligh, berdasarkan sabda Nabi ﷺ: *"Tidak ada status yatim setelah baligh."*…"*
Saya berkata: Di antara dalil dari sunnah juga yang
menunjukkan diperbolehkannya menikahi anak kecil sebelum baligh adalah hadits:
" تَسْتَأْمَرُ الْيَتِيمَةُ فِي نَفْسِهَا،
فَإِنْ سَكَتَتْ فَهُوَ إِذْنُهَا، وَإِنْ أَبَتْ فَلَا جَوَازَ عَلَيْهَا "
*"Mintalah persetujuan anak yatim dalam
urusan dirinya. Jika ia diam, itu adalah izinnya, dan jika ia menolak, maka
pernikahan tidak sah."* (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, An-Nasa’i, dan
At-Tirmidzi). Lihat *Jami'ul Ushul* [11/461].
Dalil dari sunnah lainnya adalah hadits Ibnu
Umar :
أَنَّ قُدَامَةَ
بْنَ مَظْعُونٍ زَوَّجَ ابْنَ عُمَرَ ابْنَةَ أَخِيهِ عُثْمَانَ، فَرُفِعَ ذَلِكَ إِلَى
النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَ " إِنَّهَا يَتِيمَةٌ، وَلَا تُنْكَحُ إِلَّا بِإِذْنِهَا
".
Bahwa Qudamah bin Mazh'un menikahkan anak
perempuan saudaranya, Utsman bin Mazh'un, kepada Ibnu Umar, lalu hal itu
diangkat kepada Nabi ﷺ, dan beliau bersabda,
*"Dia adalah anak yatim, dan tidak boleh dinikahkan kecuali dengan
izinnya."*
(Diriwayatkan oleh Ahmad [2/130], Al-Hakim
[2/167], dan Al-Baihaqi [7/120]).
Saya berkata: Kedua hadits ini menunjukkan bahwa menikahi
anak yatim, yaitu seorang gadis kecil yang ayahnya telah meninggal,
diperbolehkan dengan syarat ia harus meminta izin, dan walinya tidak boleh
memaksanya untuk menikah. Berbeda dengan gadis kecil yang masih memiliki ayah,
karena ayahnya boleh menikahkannya tanpa izin, dengan syarat kecocokan
(kefahaman) sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni [9/402]:
" لَيْسَ لِغَيْرِ الأَبِ إِجْبَارُ كَبِيرَةٍ
وَلَا تَزْوِيجُ صَغِيرَةٍ ..."
"Tidak ada pihak lain selain ayah yang
dapat memaksa seorang gadis dewasa atau menikahkan gadis kecil..."
Kemudian Ibnu Qudamah—rahimahullah—mengutip
dua hadits yang telah disebutkan sebelumnya, lalu ia berkata:
" وَلِأَنَّ غَيْرَ الأَبِ قَاصِرُ الشَّفَقَةِ
، فَلَا يَلِي نِكَاحَ صَغِيرَةٍ ، كَالأَجْنَبِيِّ ... " اهـ .
"Karena bukan ayah itu kurang perhatian,
sehingga tidak boleh menikahi gadis kecil, seperti orang asing..."
Ia melanjutkan :
" فَصْلٌ : وَإِذَا بَلَغَتِ الْجَارِيَةُ
تِسْعَ سِنِينَ ، فَفِيهَا رِوَايَتَانِ ، إِحْدَاهُمَا : أَنَّهَا كَمَنْ لَمْ تَبْلُغْ
تِسْعًا . نَصَّ عَلَيْهِ فِي رِوَايَةِ الأَثْرَمِ . وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ وَالشَّافِعِيِّ
وَأَبِي حَنِيفَةَ وَسَائِرِ الفُقَهَاءِ .
قَالُوا : حُكْمُ
بِنْتِ تِسْعِ سِنِينَ حُكْمُ بِنْتِ ثَمَانٍ ، لِأَنَّهَا غَيْرُ بَالِغَةٍ ، وَلِأَنَّ
إِذْنَهَا لَا يُعْتَبَرُ فِي سَائِرِ التَّصَرُّفَاتِ ، فَكَذَلِكَ فِي النِّكَاحِ.
وَالرِّوَايَةُ
الثَّانِيَةُ ، حُكْمُهَا : حُكْمُ البَالِغَةِ ، نَصَّ عَلَيْهِ فِي رِوَايَةِ ابْنِ
مَنْصُورٍ ، لِمَفْهُومِ الآيَةِ ، وَدَلَالَةِ الخَبَرَيْنِ بِعُمُومِهِمَا عَلَى
أَنَّ الْيَتِيمَةَ تُنْكَحُ بِإِذْنِهَا ، وَإِنْ أَبَتْ فَلَا جَوَازَ عَلَيْهَا
.. " اهـ .
"Bab: Jika seorang gadis telah berumur
sembilan tahun, ada dua pendapat, yang pertama: dia diperlakukan seperti belum
mencapai sembilan tahun. Hal ini dinyatakan dalam riwayat Al-Atsram. Ini adalah
pendapat Malik, Syafi'i, Abu Hanifah, dan seluruh fuqaha.
Mereka berkata: Hukum bagi gadis berumur sembilan tahun sama
dengan hukum gadis berumur delapan tahun, karena ia belum baligh, dan izinnya
tidak dipertimbangkan dalam segala tindakan hukum, maka demikian juga dalam
pernikahan.
Pendapat kedua adalah: hukumnya seperti orang dewasa,
sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Ibnu Mansur, dengan memahami ayat, dan
dalil dari kedua hadits secara umum bahwa seorang yatim dinikahi dengan
izinnya, dan jika ia menolak, maka tidak ada kewajiban baginya..."
Saya berkata: Adz-Dzahabi juga menyebutkan dalam Sir A'lam
Al-Nubala [3/500] dalam biografi Ummu Kultsum, putri Fathimah radhiyallahu
'anha, bahwa Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu melamar dia saat ia masih
kecil dari ayahnya, Ali bin Abi Talib, dan disebutkan bahwa ia lahir sekitar
tahun keenam Hijriah. Lihat juga Al-Ishabah oleh Ibnu Hajar [4/467].
Saya berkata: Diketahui bahwa Umar bin Khattab menjabat
sebagai khalifah pada tahun ke-13 Hijriah dan masa pemerintahannya berlangsung
selama sepuluh tahun. Ia menikahi Ummu Kultsum, putri Ali, selama masa
pemerintahannya, dan ia meninggal dalam usia sekitar tujuh belas tahun.
Ini berarti usia Ummu Kultsum saat menikah
dengannya berada di antara tujuh dan tujuh belas tahun. Al-Dzahabi dan lainnya
menyebutkan :
أنَّ عُمَرَ بْنَ
الخَطَّابِ مَاتَ عَنْهَا وَلَهَا مِنْهُ زَيْدٌ وَرُقَيَّةُ
“Bahwa Umar bin Khattab meninggal dunia saat
dia memiliki dua anak darinya, Zaid dan Ruqayyah”.
Ini juga menunjukkan bahwa ia masih di bawah
usia lima belas tahun saat menikah. Al-Dzahabi dan lainnya dengan tegas
menyatakan bahwa ia masih kecil saat menikah, yang menunjukkan bahwa ia berada
di bawah umur baligh. Wallahu a'lam.
Umar bin Khattab juga pernah melamar Ummu
Kultsum, putri Abu Bakar As-Siddiq, yang usianya kurang dari sepuluh tahun
karena dia lahir setelah ayahnya, Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, wafat. Al-Hafidz
Ibnu Hajar berkata dalam kitab Al-Ishabah [4/469]:
" مَاتَ أَبُوهَا وَهِيَ حَمْلٌ ".
"Ayahnya meninggal ketika dia masih
dalam kandungan."
Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni [9/404]:
" وَقَدْ خَطَبَ عُمَرُ أُمَّ كُلْثُومٍ
ابْنَةَ أَبِي بَكْرٍ بَعْدَ مَوْتِهِ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَأَجَابَتْهُ
، وَهِيَ لِدُونِ عَشْرٍ ، لِأَنَّهَا إِنَّمَا وُلِدَتْ بَعْدَ مَوْتِ أَبِيهَا ،
وَإِنَّمَا كَانَتْ وِلَايَةُ عُمَرَ عَشْرًا ، فَكَرِهَتْهُ الجَارِيَةُ ، فَتَزَوَّجَهَا
طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ ، وَلَمْ يُنْكِرْهُ مُنْكِرٌ ، فَدَلَّ عَلَى اتِّفَاقِهِمْ
عَلَى صِحَّةِ تَزْوِيجِهَا قَبْلَ بُلُوغِهَا بِوِلَايَةِ غَيْرِ أَبِيهَا ، وَاللهُ
أَعْلَمُ " ا هـ .
"Umar pernah melamar Ummu Kultsum, putri
Abu Bakar, untuk Aisyah radhiyallahu 'anha setelah wafatnya Abu Bakar, dan
Aisyah menjawab lamaran itu. Ummu Kultsum masih di bawah usia sepuluh tahun
karena ia baru lahir setelah ayahnya meninggal. Masa pemerintahan Umar sendiri
berlangsung sepuluh tahun, namun gadis itu menolak lamaran tersebut, lalu ia
menikah dengan Thalhah bin Ubaidillah. Tidak ada yang mengingkari hal ini,
menunjukkan kesepakatan para ulama bahwa menikahkan seorang anak perempuan
sebelum baligh oleh wali selain ayahnya adalah sah. Wallahu a'lam."
Kesimpulannya: pernikahan dengan anak perempuan yang belum
baligh, dan bahkan berhubungan dengannya jika ia sudah mampu untuk berhubungan,
adalah sah berdasarkan nash dan ijma’. Pendapat yang menyimpang atau melarang
hal tersebut, baik dari orang yang mengaku memiliki ilmu atau yang
mengatasnamakan hak-hak perempuan atau hak asasi manusia di zaman ini, tidaklah
dianggap, karena Allah lebih mengetahui dan lebih mengasihi hamba-hamba-Nya.
Tidak ada yang bisa menolak ketetapan-Nya atau mengubah keputusan-Nya.
Saya telah membaca apa yang diterbitkan oleh surat kabar
Al-Madinah pada tanggal 27/4/1430 H atas nama penulis Suhaila Zainal Abidin.
Saya mendapati bahwa artikelnya tidak memiliki hubungan dengan ilmu. Bahkan
isinya adalah omong kosong dan tak berfaedah, karena penulis - semoga Allah
memberinya petunjuk - meragukan sesuatu yang tidak seharusnya diragukan. Ia
melemahkan riwayat Aisyah tentang pernikahannya dengan Nabi ﷺ saat ia masih kecil, dengan alasan yang ganjil. Ia mengklaim
bahwa hadits tersebut lemah karena kelemahan para perawinya, padahal mereka
adalah para al-Hafidz terkemuka dan tokoh-tokoh besar dalam periwayatan,
seperti Imam Sufyan ats-Tsauri dan lainnya. Ini adalah usaha yang sia-sia untuk
mendukung pandangannya tentang ketidakbolehan menikahi anak perempuan kecil.
Si Penulis juga menyebutkan bahwa usia Aisyah
adalah tujuh belas tahun saat menikah dengan Rasulullah ﷺ, dan mengandalkan apa yang disebutkan oleh Imam Ibnu Katsir
dalam Al-Bidayah wan-Nihayah dalam biografi Asma binti Abu Bakar As-Siddiq
radhiyallahu 'anhuma, bahwa Asma lebih tua sepuluh tahun dari Aisyah.
Aku berkata: Ibnu Katsir telah membuat biografi Asma'
binti Abu Bakar dalam kitab *al-Bidayah wa an-Nihayah* [8/346] pada peristiwa
tahun 73 H, dan ia menyebutkan bahwa Asma' wafat pada usia seratus tahun. Ini
berarti bahwa usianya saat hijrah adalah 27 tahun, sebagaimana yang ditegaskan
oleh Abu Nu'aim al-Ashbahani. Lihat *al-Ishabah* karya Ibnu Hajar [4/225].
Namun, adz-Dzahabi menyebutkan dalam *Siyar
A'lam an-Nubala'* [2/228] :
أنَّ أَسْماءَ كانَتْ
أَسَنَّ مِنْ عائِشَةَ بِبِضْعِ عَشْرَةَ سَنَةً
“Bahwa Asma' lebih tua dari Aisyah sekitar
belasan tahun”.
“Belasan” di sini berarti dari tiga hingga
sembilan tahun. Jadi, jika kita mengatakan bahwa maksudnya adalah ia lebih tua
sembilan belas tahun, maka usianya saat hijrah adalah 27 tahun, sehingga usia
Aisyah saat hijrah adalah 8 tahun, yang sejalan dengan riwayat-riwayat yang
sahih dan disepakati.
Perlu diperhatikan bahwa pernyataan Ibnu
Katsir bahwa Asma' lebih tua dari Aisyah sepuluh tahun tidak memiliki dasar
yang jelas; itu hanyalah ijtihad darinya, dan itu keliru tanpa diragukan,
karena bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sahih mengenai usia Aisyah dan
Asma' pada waktu hijrah. Bukti lain yang menguatkan kekeliruan perhitungan itu
adalah bahwa Ibnu Katsir sendiri menyebutkan dalam *al-Bidayah wa an-Nihayah*
[8/91] dalam biografi Aisyah :
أَنَّهَا تَزَوَّجَتْ
وَعُمْرُهَا سِتُّ سِنِينَ وَبُنِيَ بِهَا وَعُمْرُهَا تِسْعُ سِنِينَ.
“Bahwa ia dinikahi pada usia enam tahun dan
hidup serumah pada usia sembilan tahun.
Ibnu Katsir juga menyebutkan dalam tempat
lain [3/131] :
أَنَّ هَذَا لَا
خِلَافَ فِيهِ بَيْنَ النَّاسِ.
“Bahwa tidak ada perbedaan pendapat mengenai
hal ini”.
Semua yang menulis biografi Ummul Mukminin
Aisyah radhiyallahu 'anha sepakat dengan apa yang disebutkan oleh Ibnu Katsir,
sebagaimana yang tercantum dalam riwayat-riwayat sahih yang dikeluarkan oleh
para imam dalam kitab-kitab sahih, sunan, musnad, dan mu'jam, dan mereka hanya
berbeda pendapat mengenai usia enam atau tujuh tahun saat pernikahan.
Ibnu 'Abd al-Barr dalam kitab *al-Isti'ab*
mengatakan, setelah menyebutkan bahwa ia dinikahi pada usia enam atau tujuh
tahun dan hidup serumah pada usia sembilan tahun :
" لَا أَعْلَمُهُمْ اخْتَلَفُوا فِي ذَلِكَ
"
"Aku tidak mengetahui adanya perbedaan
pendapat dalam hal ini."
[Lihat *al-Ishabah* dengan catatan
*al-Isti'ab* [4/346], *Tarikh ath-Thabari* [2/9], *Wafayat al-A'yan* karya Ibnu
Khallikan [3/16], dan lihat juga *Siyar* karya adz-Dzahabi [2/148], serta *Zad
al-Ma'ad* karya Ibnu Qayyim [1/103]].
Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam *Fath al-Bari*
[7/107] mengatakan :
" كَانَ مَوْلِدُهَا فِي الْإِسْلَامِ قَبْلَ
الْهِجْرَةِ بِثَمَانِ سِنِينَ أَوْ نَحْوِهَا ، وَمَاتَ النَّبِيُّ ﷺ وَلَهَا نَحْوُ
ثَمَانِيَةَ عَشَرَ عَامًا " اٰهـ .
"Ia lahir dalam Islam sekitar delapan
tahun sebelum hijrah, dan Nabi ﷺ wafat saat usianya sekitar
delapan belas tahun."
" وُلِدَتْ بَعْدَ الْمَبْعَثِ بِأَرْبَعِ
سِنِينَ أَوْ خَمْسِ سِنِينَ ، فَقَدْ ثَبَتَ فِي الصَّحِيحِ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ تَزَوَّجَهَا
وَهِيَ بِنْتُ سِتٍ وَقِيلَ سَبْعٍ، وَيُجْمَعُ بِأَنَّهَا كَانَتْ أَكْمَلَتِ السَّادِسَةَ
وَدَخَلَتْ فِي السَّابِعَةِ ، وَدَخَلَ بِهَا وَهِيَ بِنْتُ تِسْعٍ " اٰهـ .
Ibnu Hajar juga berkata dalam *al-Ishabah*
[4/348], "Ia lahir empat atau lima tahun setelah diutusnya Nabi, dan dalam
riwayat sahih disebutkan bahwa Nabi ﷺ menikahinya saat ia berusia
enam atau tujuh tahun, dan ini berarti ia telah mencapai usia enam tahun dan
memasuki usia tujuh, dan Nabi ﷺ hidup serumah dengannya pada
usia sembilan tahun."
Kemudian kepada si penulis ini dikatakan,
mengapa engkau mengabaikan pernyataan Ibnu Katsir dalam menetapkan usia Aisyah
saat dinikahi oleh Nabi ﷺ, yang sesuai dengan
kesepakatan ulama, dan malah bersandar pada perhitungannya tentang perbedaan
usia antara Aisyah dan Asma', padahal ia tidak menyebutkan dasarnya, dan itu
hanyalah ijtihad belaka dari Ibnu Katsir yang bertentangan dengan kenyataan dan
merupakan kekeliruan dari beliau – semoga Allah mengampuninya.
Si Penulis – semoga Allah memberi petunjuk
kepadanya – rupanya tidak memahami ilmu hadits, riwayat, serta jarh wa ta’dil
sama sekali. Namun demikian, ia telah menempatkan dirinya sebagai kritikus hadits
dan sanad. Dia mengatakan bahwa dirinya telah "mengkritisi"
perawi-perawi sanad Al-Bukhari dan Muslim dalam ilmu jarh wa ta’dil, yaitu
seperti Sufyan Ats-Tsauri, Wahb bin Khalid, Ali bin Mushir, Hammad bin Usamah,
dan Hisyam bin Urwah, dan ia menemukan bahwa “mereka semua memiliki
kelemahan”!!
Subhanallah, betapa ajaibnya apa yang dapat
dilakukan oleh kebodohan dan hawa nafsu pada pemiliknya. Artikel tersebut
memperlihatkan sejauh mana kebodohan penulis dan keberaniannya dalam menyerang
sunnah, seolah-olah dia ingin berkata:
“Inilah para perawi dan pembawa sunnah
kalian; semuanya lemah, maka jangan mengambil riwayat dari mereka, tetapi
ambillah ilmu dariku saja dan dari mereka yang mengikuti metode ini dalam
menyerang ilmu dan sunnah.”
Yang benar adalah, bahwa si penulis ini
bukanlah orang pertama di antara orang-orang bodoh yang menyerang sunnah;
sebelumnya, sudah banyak orang yang ingin menyerang agama dengan cara menyerang
para perawinya. Ini adalah bid'ah lama yang dipimpin oleh para zindik pada
abad-abad yang lalu, dan diikuti oleh setiap orang yang memberontak terhadap
umat ini dari pengikut sekte-sekte yang menyimpang dan sesat.
Tidak diragukan lagi bahwa sunnah Nabi ﷺ terjaga, Allah telah berjanji untuk melindunginya dari
perusakan oleh para perusak dan penyelewengan oleh orang-orang bodoh. Oleh
karena itu, para salaf saleh kita telah berusaha mencatat hadits dan sunnah
sejak masa kenabian dan mengandalkan sanad dalam penyampaiannya. Itulah
sebabnya Ibnul Mubarak mengatakan :
"الإسنادُ مِنَ الدِّينِ، وَلَوْلَا الإسنادُ
لَقَالَ مَن شَاءَ مَا شَاءَ"
“Sanad adalah bagian dari agama. Seandainya
tidak ada sanad, maka siapa pun bisa berkata semaunya.” Hal ini diriwayatkan
oleh Muslim dalam muqaddimah Shahih-nya.
Siapa pun yang ingin menyerang sanad dan para
perawi tanpa bukti, dan hanya karena hawa nafsu dan dugaan, pada hakikatnya dia
ingin menyerang agama.
Si Penulis sebenarnya bisa saja, jika ingin
membela pendapatnya dalam masalah ini, cukup menyampaikan pendapatnya tanpa
menyentuh agama dan menyerang sanad-sanad yang sahih serta riwayat-riwayat yang
telah disepakati. Jika ia hanya mengkritik satu riwayat saja, maka hal itu
masih bisa dianggap remeh. Namun, cara dia menyerang para perawi berdampak pada
seluruh riwayat lainnya. Karena jika ia menyerang perawi seperti Hisyam bin
Urwah, Hammad bin Usamah, Ats-Tsauri, dan sejenisnya, maka itu berarti ia
menyerang ratusan bahkan ribuan sanad yang diriwayatkan melalui jalur mereka.
Dan jika kita menerima kritik terhadap
orang-orang terpercaya dan kredibel seperti mereka, maka hanya akan tersisa
beberapa individu dari para perawi hadits yang tidak disebutkan sedikit pun
catatan atau kekurangan dalam biografi mereka, sehingga akhirnya kebergantungan
pada sunnah atau sebagian besarnya akan hilang.
Dan saya yakin bahwa si penulis tidak
bermaksud untuk mencela sebagian besar hadits, tetapi tindakannya mengarah ke
sana.
Saya ingin mengingatkan si penulis, dan siapa
pun yang serupa dengannya dari orang-orang dungu yang terpedaya oleh sebagian
pengetahuan yang mereka miliki, dan mungkin meniru orang lain yang mereka
anggap berada di jalan yang benar dari kalangan pengikut hawa nafsu, yang
jumlahnya sangat banyak di zaman kita ini.
Saya ingin mengingatkan mereka bahwa
ungkapan-ungkapan dalam ilmu kritik dan penilaian yang disebutkan dalam kitab-kitab
rijal, seperti at-Tahdzib, al-Mizan, dan lainnya, hanya dapat dipahami oleh
ahli di bidangnya, yaitu para ahli hadits dan ulama sunnah. Ada beberapa
ungkapan dalam Ilmu Rijal mungkin dianggap sebagai celaan padahal tidak
demikian, seperti at-Tadlīs misalnya, yang bukanlah celaan
secara mutlak, tetapi memiliki hukum dan syarat serta berbagai jenis dan
kategori. Maka tidak setiap orang yang dijuluki dengan ungkapan tersebut
ditolak haditsnya, seperti yang dipahami oleh orang yang bodoh dalam ilmu ini.
Dan hal serupa berlaku untuk ungkapan-ungkapan lain yang mungkin dipahami oleh
orang dungu dengan cara yang salah.
Saya juga ingin menekankan tentang hal lain,
yaitu bahwa kitab-kitab hadits memiliki derajat yang berbeda-beda, dan tidak
setara dalam hal kesahihan dan penerimaan.
Yang tertinggi adalah Sahih Bukhari, kemudian
Sahih Muslim, lalu diikuti oleh kitab-kitab sahih dan sunah yang terkenal serta
Musnad Imam Ahmad dan lainnya.
Adapun buku-buku sejarah, sirah, dan
al-maghazi, kedudukannya jauh lebih rendah dalam hal kesehatan dibandingkan
itu.
Jadi jika ada perbedaan antara apa yang
disebutkan dalam kitab-kitab sahih dan sunah dengan yang ada dalam kitab-kitab
sejarah, maka kita lebih mengutamakan yang pertama daripada yang kedua, bukan
sebaliknya.
Masih ada beberapa masalah dalam artikel si penulis,
yaitu dalil-dalil yang mereka klaim dapat menolak hadits Aisyah yang
disepakati.
Pertama: Bahwa Umul Mukminin Aisyah telah bertunangan
sebelum menikah dengan Rasulullah ﷺ dengan Jubair bin Muth'im,
dan penulis berpendapat bahwa pertunangan ini terjadi sebelum masa kenabian,
dengan argumen yang bersifat spekulatif tanpa ada pengetahuan yang bermanfaat
atau sanad yang dapat dijadikan pegangan, melainkan hanya dugaan:
وَإِنَّ الظَّنَّ
لَا يُغْنِي مِنَ الْحَقِّ شَيْئًا
“Dan sesungguhnya dugaan tidak mengandung
kebenaran sedikit pun”.
Jawaban saya terhadap keraguan yang rusak
parah ini adalah bahwa kenyataan bahwa ia pernah bertunangan dengan Jubair bin
Muth'im tidak menunjukkan usianya.
Ibnu Abdul Barr dalam kitab Al-Isti'ab [dalam
catatan Al-Ishabah 4/346] berkata :
"وَكَانَتْ تُذْكَرُ لِجُبَيْرِ بْنِ مُطْعِمٍ
وَتُسَمَّى لَهُ" اهـ
"Dan dia (Aisyah) sering disebut-sebut
untuk Jubeir bin Muth'im dan namanya disebutkan."
Ibnu Hajar dalam Al-Ishabah [4/348]
mengomentari pernyataan ini :
"أَخْرَجَهُ ابْنُ سَعْدٍ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ
عَبَّاسٍ بِسَنْدٍ فِيهِ الْكُلَبِيُّ، وَأَخْرَجَهُ أَيْضًا عَنْ ابْنِ نُمَيْرٍ عَنْ
الْأَجْلَحِ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ: قَالَ أَبُو بَكْرٍ: كُنْتُ أَعْطَيْتُهَا
مَطْعَمًا لِابْنِهِ جُبَيْرٍ، فَدَعْنِي حَتَّى أَسْأَلَهَا مِنْهُمْ فَاسْتَلَبَتْهَا"
اهـ.
"Dikeluarkan oleh Ibnu Sa'ad dari hadits
Ibnu Abbas dengan sanad yang terdapat di dalamnya Al-Kulabi, dan juga
dikeluarkan oleh Ibnu Numair dari Al-Ajlah dari Ibnu Abi Mulaykah yang berkata:
Abu Bakr berkata: Aku telah memberikannya sebagai mahar untuk anaknya Jubeir,
maka biarkan aku sampai aku menanyakan mereka tentangnya, lalu dia
memintanya."
Saya katakan: Begitulah yang tercantum dalam Al-Ishabah,
dan aku telah melihat di dalam Thabaqat Ibnu Sa'ad [8/58], maka aku menemukan
riwayat pertama seperti ini: Ibnu Sa'ad berkata:
أَخْبَرَنَا هِشَامُ
بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ السَّائِبِ الْكُلَبِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ عَائِشَةَ
فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ كُنتُ وَعَدْتُ بِهَا، أَوْ ذَكَرْتُهَا،
لِمَطْعَمِ بْنِ عَدِيٍّ بْنِ نَوْفَلَ بْنِ عَبْدِمَنَافٍ لِابْنِهِ جُبَيْرٍ، فَدَعْنِي
حَتَّى أَسْلَهَا مِنْهُمْ، فَفَعَلَ، ثُمَّ تَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ، وَكَانَتْ
بَكْرًا" اهـ.
"Telah mengabarkan kepada kami Hisham
bin Muhammad bin Sa'ib Al-Kulabi dari ayahnya dari Abu Shalih dari Ibnu Abbas
berkata: Rasulullah ﷺ melamar Aisyah kepada Abu
Bakr Ash-Shiddiq. Abu Bakr berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah
berjanji untuk menikahkannya, atau menyebutkannya, untuk Muth'im bin Adi bin
Naufal bin Abdul Manaf untuk anaknya Jubeir, maka biarkan aku sampai aku
menanyakan mereka tentangnya." Maka dia melakukannya, kemudian Rasulullah ﷺ menikahinya, dan dia adalah seorang gadis."
Dan sanad ini, seperti yang Anda lihat,
tampak lemah, oleh karena itu Ibnu Hajar menyebutkan hal itu dengan mengatakan
: "Dengan sanad yang terdapat Al-Kulabi."
Al-Kulabi adalah Muhammad bin Sa'ib,
tentangnya Al-Hafidz berkata dalam At-Taqrib [5901], "Dituduh berbohong
dan dituduh syiah rafidhah."
Anaknya, Hisham, disebutkan oleh Adz-Dzahabi
dalam Al-Mizan [4/304] dan mengutip dari Ad-Daraqutni yang berkata tentangnya,
"Ditinggalkan," dan ucapan Ibnu Asakir, "Seorang rafidhah yang
tidak dapat dipercaya," dan ucapan Imam Ahmad, "Aku tidak mengira ada
orang yang meriwayatkannya." Kemudian Adz-Dzahabi berkata, "Dan
Hisham tidak dapat dipercaya."
Sedangkan riwayat lainnya, Ibnu Sa'ad
mengeluarkannya [8/59] sebagai berikut:
"أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نُمَيْرٍ
عَنْ الْأَجْلَحِ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ قَالَ: خَطَبَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ عَائِشَةَ إِلَى أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ
إِنِّي كُنْتُ أَعْطَيْتُهَا مَطْعَمًا لِابْنِهِ جُبَيْرٍ فَدَعْنِي حَتَّى أَسَلَّهَا
مِنْهُمْ، فَاسْتَسْلَهَا مِنْهُمْ، فَطَلَّقَهَا، فَتَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللَّهِ
ﷺ" اهـ.
"Telah mengabarkan kepada kami Abdullah
bin Numair dari Al-Ajlah dari Abdullah bin Abi Mulaykah yang berkata:
‘Rasulullah ﷺ melamar Aisyah kepada Abu
Bakr Ash-Shiddiq. Maka dia berkata: Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah
memberikannya sebagai mahar untuk anaknya Jubeir. Maka biarkan aku sampai aku
menanyakannya kepada mereka, lalu dia menanyakannya kepada mereka, lalu
menceraikannya, dan Rasulullah ﷺ menikahinya’."
Saya katakan: Dan sanad ini juga terdapat permasalahan,
karena sanad ini terputus, karena Ibnu Abi Mulaykah tidak menyandarkan, tetapi
ia menyampaikannya. Kemudian, perawi darinya adalah Al-Ajlah bin Abdullah
Al-Kindi, Al-Hafidz berkata dalam At-Taqrib [285], "Dia seorang yang
jujur, seorang syi'ah."
Dalam Tahdzib Al-Mizzi [2/282] ia menyebutkan
ucapan An-Nasa'i tentangnya, "Lemah, tidak terlalu baik, dan dia memiliki
pandangan buruk," dan Al-Jawzajani berkata, "Pembohong," dan ia
menyebutkan orang-orang yang menganggapnya terpercaya di antara para imam, dan
beberapa di antara mereka memberikan penilaian sedang dan berkata, "Tidak
ada masalah dengan dirinya."
Saya katakan: Dan Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa
An-Nihayah [3/131] menyampaikan sebuah riwayat dari Musnad Ahmad yang
mengatakan :
أَنَّ أَبَا بَكْرٍ
كَانَ قَدْ وَعَدَ الْمَطْعَمَ بْنَ عَدِيٍّ أَنْ يُزَوِّجَ عَائِشَةَ لِابْنِهِ جُبَيْرٍ،
وَكَانَ إِذَاكَ صَبِيًّا. وَجُبَيْرُ بْنُ مُطْعِمٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ صَحَابِيٌّ
أَسْلَمَ فِي الْفَتْحِ أَوْ قَبْلَ ذَلِكَ، وَتَوُفِّيَ سَنَةَ 58 أَوْ 59 لِلْهِجْرَةِ
“Bahwa Abu Bakr telah berjanji kepada Muth'im
bin Adi untuk menikahkan Aisyah untuk anaknya Jubeir, yang saat itu masih
kecil. Jubeir bin Muth'im radhiyallahu 'anhu adalah seorang sahabat yang
memeluk Islam pada masa Fath (penaklukan Makkah) atau sebelum itu, dan ia wafat
pada tahun 58 atau 59 Hijriyah”. Lihat Tahrib Al-Mizzi [4/509].
Dan dengan mengandaikan bahwa riwayat ini sahih,
maka tidak ada yang bertentangan dengan riwayat-riwayat yang sahih mengenai
pernikahan Aisyah radhiyallahu 'anha, karena sangat mungkin dia telah dilamar
sebelumnya oleh Jubeir, dan hal ini dikenal dan terkenal di kalangan Arab, dan
juga di zaman kita, bahwa seorang gadis dapat dilamar meskipun masih dalam
buaian.
Dengan demikian, terlihat jelas kekacau
balauan keraguan yang disampaikan oleh si penulis.
Adapun **syubhat lain** yang disampaikan oleh
penulis, yaitu ucapannya :
'Sesungguhnya ayat :
﴿سَيُهْزَمُ الْجَمْعُ وَيُوَلُّونَ الدُّبُرَ﴾
‘Golongan itu pasti akan dikalahkan dan
mereka akan mundur ke belakang [Al Qamar: 45]’, turun pada tahun ke-6 dari masa
kenabian dan saat itu Sayyidah Aisyah masih seorang gadis yang sedang bermain.
Lalu, tahun berapa ia dilahirkan?'
Saya katakan: Mengenai perkataan Aisyah, itu diriwayatkan
oleh Bukhari dan lainnya dengan lafaz :
"لَقَد نَزَلَ بِمَكَّةَ عَلَى مُحَمَّدٍ
ﷺ وَإِنِّي لَجَارِيَةٌ أَلْعَبُ : بَلِ السَّاعَةُ مَوْعِدُهُمْ وَالسَّاعَةُ أَدْهَى
وَأَمَرُ"
'Sesungguhnya wahyu turun kepada Muhammad ﷺ ketika aku masih seorang gadis yang sedang bermain: Bahkan saat
itulah waktu mereka, dan saat itu lebih dahsyat dan lebih menyakitkan' [9/38].
Tidak terdapat dalam riwayat bahwa Surah
Al-Qamar turun pada tahun ke-6 dari masa kenabian; bahkan ada perbedaan
pendapat dalam hal ini.
Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari [6/632]
menyebutkan dalam penjelasan Hadits terbelahnya bulan : bahwa itu terjadi di
Mekkah sekitar lima tahun sebelum hijrah.
Ibnu Hajar juga menyebutkan bahwa Aisyah
radhiyallahu 'anha lahir sekitar delapan tahun sebelum hijrah, sehingga usianya
saat terbelahnya bulan adalah sekitar tiga tahun, dan bisa dikatakan bahwa ia
adalah gadis kecil yang sedang bermain.
Saya juga melihat Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan
ayat terbelahnya bulan dalam kitab-nya Al-Bidayah wa an-Nihayah [3/118] setelah
menyebutkan Israk dan Mi'raj, dan sebelum itu ia menyebutkan perbedaan pendapat
tentang waktu Israk di kalangan para sejarawan, ada yang mengatakan itu terjadi
pada tahun kesepuluh masa kenabian, dan ada yang mengatakan setahun sebelum
hijrah.
Oleh karena itu, terbelahnya bulan dan
turunnya Surah Al-Qamar terjadi, entah pada tahun kesepuluh masa kenabian atau
setelahnya, dan usia Aisyah saat itu sekitar enam tahun.
Apapun itu, tidaklah benar jika kita
meragukan riwayat yang sahih dan disepakati hanya berdasarkan apa yang
dikemukakan oleh para sejarawan dan ahli sejarah, terutama karena telah terjadi
perbedaan pendapat tentang waktu turunnya Surah Al-Qamar.
**Syubhat terakhir** yang disebutkan oleh si penulis adalah bahwa
Aisyah radhiyallahu 'anha telah menyaksikan Perang Badar dan Uhud, jadi
bagaimana Rasulullah ﷺ membolehkan membawa putri
berusia 9 tahun.
Jawaban untuk syubhat ini adalah bahwa
kehadirannya di Badar bersama Nabi ﷺ dipertanyakan, karena Ibnu Katsir
dalam bukunya "Al-Bidayah wa al-Nihayah" [8/91] menyebutkan bahwa
Nabi ﷺ menikahinya setelah Perang Badar, dan demikian pula yang
dikatakan Al-Dzahabi dalam "Siyar" [2/135].
Ada sebagian lain yang berpendapat bahwa
beliau menikahinya sebelum itu. Tidak ada satu pun di antara mereka yang
menyebutkan bahwa Aisyah menyaksikan perang Badar.
Andai saja dia menyaksikannya saat masih
kecil, itu tidak menjadi masalah, karena dia tidak menyaksikannya untuk
berperang, melainkan untuk membantu para pejuang, seperti yang dilakukan wanita
lainnya, merawat yang terluka dan memberikan minuman kepada para pejuang, dan
sebagainya. Lihat "Fath al-Bari" [6/78].
Setelah itu, saya telah membaca artikel kedua
dari penulis yang sama, Suhailah Zainal Abidin, yang merupakan lanjutan dari
artikel pertamanya, yang diterbitkan di surat kabar Al-Madinah pada tanggal
5/5/1430 H.
Saya tidak melihat ada yang layak untuk
dibalas dan dikomentari, karena itu adalah artikel yang tidak terarah dan tidak
memiliki substansi. Si penulis menegaskan bahwa dia tidak memahami dasar-dasar
ilmu agama dan tujuan syariat, dan bahwa dia berbicara tanpa pengetahuan, serta
mengeluarkan pendapat sembarangan. Yang paling mengejutkan dalam artikelnya
adalah pernyataannya :
"مِن هُنَا أَضَعُ هَذِهِ الدِّرَاسَةَ الْمُتَوَاضِعَةَ
بَيْنَ يَدَي وَزَارَةِ الْعَدْلِ ..." الخ.
"Dari sini, saya menempatkan kajian yang
sederhana ini di hadapan Kementerian Kehakiman ..."
Saya katakan: Penulis tidak hanya berhenti pada apa yang
dia sebutkan dalam artikel pertamanya tentang kritik terhadap para perawi
sunnah yang terpercaya, tetapi juga meminta Kementerian Kehakiman untuk
menyetujui kebodohan semacam ini yang dia sebut "kajian".
Namun, dia jujur dalam deskripsinya bahwa dia
"sederhana", dan memang dia benar-benar sederhana sampai-sampai tidak
layak untuk mendapatkan perhatian.
Kemudian, saya juga membaca artikel si penulis
Nabilah Husni Mahjub di surat kabar Al-Madinah pada tanggal 6/5/1430 H, di mana
si penulis berpendapat serupa dengan Suhailah tentang melarang pernikahan anak
di bawah usia delapan belas tahun.
Dia juga meragukan keabsahan pernikahan
Aisyah radhiyallahu 'anha saat masih kecil, tetapi merujuk pembaca kepada
artikel seorang jurnalis Mesir bernama Islam Buhairi, yang dipublikasikan di
sebuah surat kabar Mesir, dan menyebutkan bahwa jurnalis ini telah melakukan
kajian terhadap riwayat pernikahan Ummul Mukminin dan telah melemahkan riwayat tersebut,
serta menegaskan bahwa usia Aisyah saat menikah adalah 18 tahun.
Saya katakan: Tampaknya penulis, Suhaila Zainal Abidin,
telah mengambil artikel dan studinya dari artikel jurnalis Mesir itu, wallahu
a'lam.
Artikel penulis, Nabilah Mahjuub, meskipun
secara keseluruhan sejalan dengan artikel Suhaila dalam menolak pernikahan
anak-anak, namun ia kurang berani dan berbahaya dibandingkan, karena beberapa
alasan:
Pertama: Karena ia tidak tegas meragukan
keabsahan riwayat yang jelas tentang usia Aisyah saat menikah, melainkan hanya
meragukannya dan merujuk pembaca ke artikel jurnalis Mesir tersebut.
Kedua: Karena di akhir artikelnya, ia meminta
kepada Dewan Ulama Besar untuk meninjau penelitian tersebut dan mengeluarkan
pernyataan tentangnya.
Ketiga: Karena ia meminta kepada para
peneliti yang ahli dalam ilmu hadits dan sejarah untuk meninjau dan mengkritik
riwayat tersebut.
Sedangkan penulis Suhaila, dia sendiri yang
mengkritik riwayat-riwayat tanpa merujuk kepada ahli yang berkompeten, jika dia
sendiri yang mempelajari kitab hadits dan sejarah.
Di sini saya ingin memberikan nasihat kepada
kedua penulis: Suhaila dan Nabila, serta kepada orang lain yang telah atau akan
menulis tentang topik ini agar pertama-tama merujuk kepada ahli yang berkompeten
dalam masalah agama dan syariah, karena setiap ilmu memiliki ahlinya. Seperti
kalian mengakui bahwa ilmu-ilmu lain tidak bisa dibicarakan kecuali oleh para
ahli, seperti kedokteran, teknik, dan ilmu pengetahuan alam serta astronomi,
demikian juga ilmu agama seperti hadits, fiqh, tafsir, dan lainnya, tidak layak
untuk dibicarakan oleh jurnalis atau para pencela budaya yang tidak mempelajari
ilmu-ilmu tersebut secara mendalam, terutama ilmu hadits, jarh wa ta'dil,
karena merupakan salah satu ilmu syariah yang paling sulit dipahami dan paling
dalam.
Saya juga ingin menunjukkan di sini, bukan
dari sudut kebanggaan, tetapi dari sudut ilmu dan informasi, bahwa saya –
Alhamdulillah – telah mengambil spesialisasi dalam ilmu syariah setelah
menyelesaikan studi teknik sipil dari salah satu universitas terbaik di
kerajaan, yaitu Universitas Minyak dan Mineral, dan saya menemukan bahwa ilmu
syariah jauh lebih sulit dibandingkan ilmu-ilmu lainnya, terutama ilmu hadits,
dan membutuhkan pembacaan, penelitian yang terus-menerus, serta kemampuan dalam
menghafal dan memahami serta mengingat teks dan pendapat serta mazhab, terutama
saat memilih satu mazhab atau pendapat dan mengutamakannya di atas yang lain.
Setelah itu, saya telah memperpanjang
pembicaraan dan tidak ingin berlama-lama. Masih ada beberapa masalah yang akan
saya bahas secara terpisah, di antaranya: hukum memaksa wanita untuk menikah
dengan orang yang tidak diinginkannya, dan masalah kecocokan dalam pernikahan.
Ini yang ingin saya sampaikan, Alhamdulillah,
baik di awal maupun di akhir, dan semoga shalawat serta salam tercurahkan
kepada junjungan kita, Nabi Muhammad ﷺ dan keluarganya serta para
sahabatnya.
Ditulis dalam bahasa arab oleh: Samir bin
Khalil Al-Maliki Al-Makki Al-Hasani.
Diterjemahkan oleh Abu Haitsam Fakhry.
===*****===
**KONTROVERSI USIA KAWIN AISYAH (R.A) DAN KAITANNYA DENGAN LEGALITAS PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR DALAM ISLAM**
Di Tulis Oleh Yusuf Hanafi
******
**Abstract:**
The accounts of Aisyah’s age, which was still
young (6 years) when she married the Prophet Muhammad and 9 years when she
started her family life, were considered valid and reliable for centuries.
Today, critical studies of Aisyah’s age at the time of her early marriage have
developed. This research was first initiated by Muhammad Ali and continued by
Muslim scholars from the Indian subcontinent. They argued that there was a
mistake in interpreting Aisyah’s actual age when she married the Prophet. She
was allegedly older than what was stated in the historical reports, including
hadith. Based on these controversies, this study examines the quality of hadith
that reports Aisyah's age when she married, both in terms of sanad and matn.
Using textual analysis, this study also focuses on analyzing corrective theses
regarding Aisyah's age, exploring various reasons for her marriage, and then
offers a historiographical perspective on the corrective discourse. This research
presents an analytical disagreement as an antithesis to the corrective
discourse on Aisyah's marital age.
**Key Words:** Child marriage, nikah
al-shaghirah, Aisyah’s marriage.
**Abstrak:**
Sejarah usia Aisyah yang masih muda (6 tahun
ketika menikah dengan Muhammad ﷺ dan 9 tahun ketika ia
memulai kehidupan keluarganya) dianggap sebagai data sejarah yang final dan
terpercaya selama berabad-abad. Saat ini, kajian kritis terkait usia Aisyah
saat menikah dengan Muhammad ﷺ semakin berkembang. Kajian
ini pertama kali dimulai oleh Muhammad Ali dan diteruskan oleh para pemikir
dari benua India. Mereka menyatakan bahwa ada kesalahan dalam penafsiran usia
faktual Aisyah ketika menikah dengan Nabi Muhammad ﷺ, dan beliau sebenarnya lebih
tua dari yang tercantum dalam literatur hadits. Berdasarkan latar belakang
penelitian ini, fokus permasalahannya adalah: (1) mengumpulkan tesis-tesis
korektif terkait usia Aisyah dan berbagai alasan pernikahannya yang tercatat
dalam sejarah pemikiran wacana korektif; (2) menjelaskan perbedaan analisis
terhadap mazhab Sunni sebagai antitesis dari wacana korektif mengenai usia
Aisyah saat menikah; (3) memberikan penjelasan yang akurat dan interpretasi
mengenai hukum Islam (fiqh), instrumen HAM internasional, dan hukum positif di
Indonesia terkait masalah pernikahan anak. Penelitian ini merupakan penelitian
pustaka dengan metode analisis teks.
**Kata Kunci:** pernikahan anak, nikah
al-shaghirah, pernikahan Aisyah dalam hadits, sub Benua India.
===
**A. PENDAHULUAN**
Hadits-hadits yang melaporkan perkawinan Nabi
Muhammad ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu 'anha di usia kanak-kanak
diriwayatkan oleh seluruh kolektor hadits dalam *al-Kutub al-Sittah* dan Ahmad
bin Hanbal (164-241 H) dalam *Musnad*-nya. Selain dilaporkan oleh al-Jama'ah
(istilah untuk para imam hadits penulis *al-Kutub al-Sittah* ditambah Ahmad bin
Hanbal), perkawinan Nabi ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu
'anha yang disebut masih belia itu juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi (384-458
H/994-1066 M) dalam *al-Sunan al-Kubra*, al-Hakim (321-405 H/933-1014 M) dalam
*al-Mustadrak*, dan al-Thabrani (260-340 H/873-952 M) dalam *al-Mu'jam
al-Kabir*. Singkatnya, riwayat-riwayat hadits yang mengisahkan ini sangat
banyak, sehingga dapat disimpulkan bahwa informasi tersebut mencapai level
mutawatir. Ibnu Katsir (1301-1372 M) dalam *al-Bidayah wa al-Nihayah*
menyatakan bahwa perkawinan Nabi ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu
'anha merupakan konsensus semua orang (la khilaf fih bain al-nas).
Berdasarkan telaah atas substansi (matn)
hadits, ditemukan riwayat yang menyatakan bahwa usia Aisyah radhiyallahu 'anha
ketika dinikahi Nabi ﷺ adalah 6 tahun—sebagaimana
dituturkan sendiri olehnya. Namun, ada juga hadits yang menyebutkan bahwa
Aisyah radhiyallahu 'anha kala itu berusia 7 tahun. Untuk menentukan mana yang
lebih kuat, baik pengakuan Aisyah radhiyallahu 'anha sendiri atau kesimpulan
periwayat, tentunya yang paling kredibel adalah penuturan dari pelaku sejarah
yang mengalami langsung peristiwa tersebut. Oleh karena itu, riwayat yang
menyatakan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha dinikahi oleh Nabi ﷺ pada usia 6 tahun adalah yang paling kuat dan terpercaya.
**Pada dasarnya, kajian ini berbasis metode
analisis teks**, mengingat fokusnya adalah pro dan kontra reliabilitas
riwayat-riwayat tentang usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dalam
literatur hadits. Metode lain yang digunakan adalah analisis sejarah
(*historical analysis*) untuk memahami konteks objektif di wilayah Anak Benua
India, khususnya India-Pakistan, saat tesis-tesis korektif mengenai usia Aisyah
radhiyallahu 'anha diformulasikan oleh sarjana-sarjana Ahmadiyyah Lahore.
Metode ini penting untuk merekonstruksi secara menyeluruh elemen-elemen yang
mempengaruhi gagasan-gagasan korektif tersebut sehingga dapat dipahami dengan
jelas konteks yang melingkupinya.
Selain itu, kajian ini juga menggunakan
pembacaan genealogis atas tesis-tesis korektif dari para intelektual di Anak
Benua India. Model pembacaan ini akan merujuk pada teori-teori pendekatan
sejarah, seperti yang dijelaskan dalam F.R. Ankersmit, *Refleksi tentang
Sejarah*, terjemahan Dik Hartoko dari *Denken over Geschiedenis* (Jakarta:
Gramedia, 1987). *Istinbáth: Jurnal Hukum Islam* berguna untuk mengamati
perkembangan diakronis dan rantai intelektual antar-generasi di kalangan
intelektual Anak Benua India. Jurnal ini menyoroti bagaimana ide-ide pemikiran
berkembang dan diwariskan antar-generasi intelektual di wilayah tersebut.
Tulisan ini juga menggunakan metode
komparatif untuk membandingkan perbedaan antara prinsip-prinsip
filosofis-juridis dari fikih Islam, hukum perkawinan nasional, dan instrumen
HAM internasional yang berkaitan dengan isu pernikahan anak di bawah umur—isu
yang dalam konteks Islam hampir selalu dikaitkan dengan hadits pernikahan
Aisyah radhiyallahu 'anha. Pendekatan ini diharapkan dapat meredakan ketegangan
antara sistem-sistem hukum tersebut, serta menjadi langkah awal dalam upaya
harmonisasi guna menjawab tantangan legislasi di masa kini.
====
**B. USIA KAWIN AISYAH R.A. DAN LEGALITAS USIA KAWIN WANITA**
Riwayat tentang usia Aisyah radhiyallahu
'anha yang masih kanak-kanak (6 tahun ketika menikah dengan Nabi Muhammad ﷺ, dan 9 tahun pada saat mengawali kehidupan rumah tangganya)
merupakan data sejarah yang dianggap final dan reliabel selama puluhan abad.
Tidak mengherankan jika kemudian banyak di antara umat Islam yang mempraktikkan
model perkawinan tersebut dengan dalih meneladani perkawinan historis Nabi ﷺ dengan putri Abu Bakar itu. Terlebih, fikih klasik—yang berwenang
mengelola ranah pranata sosial Islam—cenderung “membiarkan” praktik tersebut
dengan indikator ketidaktegasannya dalam persoalan batas usia kawin minimal.
Menariknya, belakangan muncul kajian kritis
yang menyoroti usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Nabi ﷺ, yang dipelopori Muhammad Ali dan kemudian diteruskan oleh
sarjana-sarjana Anak Benua India lainnya (seperti Abu Thahir ‘Irfani, Ghulam
Nabi Muslim Sahib, dan Habib-ur-Rahman Siddiqui Kandhalvi). Menurut mereka,
telah terjadi kekeliruan periwayatan usia Aisyah radhiyallahu 'anha yang
faktual, di mana ia pada saat perkawinannya dengan Nabi ﷺ sesungguhnya lebih tua dari usia yang diwartakan dalam
literatur-literatur hadits.
Terlepas dari segala kontroversinya,
tesis-tesis korektif itu merupakan langkah berani sekaligus terobosan besar
dalam lapangan penelitian hadits, terlebih lagi di tengah kebuntuan hukum Islam
vis-à-vis instrumen HAM internasional dan hukum nasional dalam persoalan
perkawinan anak di bawah umur.
Dalam sub-bahasan ini akan dipaparkan:
pertama, gugatan atas kesahihan usia kawin Aisyah radhiyallahu 'anha dan
motif-motif yang melatarinya, sekaligus menyusun historiografi pemikiran
seputar wacana korektif itu. Kedua, sanggahan balik atas wacana korektif
perihal usia kawin Aisyah radhiyallahu 'anha. Ketiga, nalar fikih kontemporer
dalam mengarifi usia kawin Aisyah radhiyallahu 'anha sebagai ikhtiar mengikis
praktik perkawinan anak di bawah umur.
===
**[1] - GUGATAN ATAS KESAHIHAN USIA
KAWIN AISYAH **
Muhammad Ali (1874–1951 M), pemimpin
*Ahmadiyya Anjuman Ishaat-i-Islam* (Ahmadiyya Association for the Propagation
of Islam) dari tahun 1914 hingga 1951, adalah sarjana Muslim pertama yang
secara terbuka mengoreksi catatan klasik tentang usia Aisyah radhiyallahu 'anha
saat menikah dengan Nabi ﷺ. Muhammad Ali berani
menyimpulkan bahwa anggapan usia 6 atau 7 tahun saat menikah dan 9 tahun ketika
Aisyah mulai hidup bersama Nabi ﷺ adalah suatu kesalahpahaman
besar (*a great misconception*). Pandangan ini disampaikannya dalam beberapa
tulisannya, antara lain: (1) buklet dalam bahasa Inggris *The Prophet of
Islam*; (2) bukunya yang lebih tebal dalam bahasa Inggris berjudul *Muhammad,
the Prophet*; dan (3) *Living Thoughts of the Prophet Muhammad*, yang ketiganya
diterbitkan pada periode 1920–1930-an.
Muhammad Ali mengajukan setidaknya empat
bukti bahwa riwayat mengenai usia Aisyah dalam literatur hadits—yakni 6 atau 7
tahun saat menikah dan 9 tahun saat mulai berumah tangga—tidak akurat.
**Pertama**, Abu Bakar telah merencanakan
pernikahan Aisyah dengan Jubair bin Muth'im ketika ia hijrah ke Habasyah pada
tahun ke-8 sebelum hijrah.
**Kedua**, Aisyah lebih muda lima tahun dari
putri Nabi ﷺ, Fathimah, yang lahir lima tahun sebelum kenabian (Nubuwwah)
bertepatan dengan renovasi Ka’bah.
**Ketiga**, Aisyah sudah gadis remaja
(*jariyah*) ketika QS al-Qamar diwahyukan pada tahun ke-6 kenabian, yang
terbukti karena ia mengingat dan hafal beberapa ayatnya.
**Keempat**, bukti menunjukkan bahwa
kehidupan rumah tangga Aisyah dimulai pada tahun ke-2 hijriah di bulan Syawal,
menandakan bahwa ada jeda lima tahun penuh antara akad nikah dan awal kehidupan
rumah tangganya.
Menurut kesimpulan Muhammad Ali, tidak ada
keraguan bahwa Aisyah setidaknya berusia 9 atau 10 tahun pada saat pernikahan
dan berusia 14 atau 15 tahun saat mulai hidup bersama Nabi ﷺ.
**Catatan Referensi:**
1. Lihat Maulana Muhammad Ali, *The Prophet
of Islam* (Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1924), hlm. 30;
lihat pula Maulana Muhammad Ali, *Living Thoughts of the Prophet Muhammad*
(Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1992), hlm. 30.
2. Periksa dalam buku-buku Maulana Muhammad
Ali berikut: *The Prophet of Islam* (Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam
Lahore, 1924), hlm. 30; *Muhammad, the Prophet* (Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman
Isha’at Islam Lahore, 1993), hlm. 183–184; *Living Thoughts of the Prophet
Muhammad* (Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1992), hlm. 30.
Buku-buku tersebut tersedia untuk diunduh gratis di situs *Ahmadiyya Anjuman
Ishaat-i-Islam Lahore* (www.aaiil.org).
===
Dua dalil lain diajukan Muhammad Ali dalam
catatan kaki dari buku terjemahan dan komentarnya (edisi bahasa Urdu) atas
Shahih al-Bukhari yang berjudul *Fadhl al-Bari*. Muhammad Ali mengemukakan dua
laporan peristiwa yang mengindikasikan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha tidak
mungkin lahir setelah tahun Kenabian (610 M).
**Pertama**, penuturan Aisyah radhiyallahu 'anha sendiri
dalam *Shahih al-Bukhari*, Kitab al-Kafalat, perihal memorinya saat orang
tuanya telah menjadi pemeluk Islam, “Saya sama sekali tidak ingat (masa
kecilku) kecuali pada saat itu kedua orang tuaku telah memeluk Islam.” [Redaksi
hadits selengkapnya lihat al-Bukhari, *Shahih al-Bukhari*, vol. 7, 81; vol. 12,
294.]
Menurut Muhammad Ali, Aisyah radhiyallahu
'anha tentunya lahir beberapa waktu sebelum orang tuanya memeluk Islam (pada
awal tahun Kenabian), sehingga ia dapat mengingat saat mereka mempraktikkan
Islam sedari awal. Jika Aisyah radhiyallahu 'anha lahir setelah orang tuanya
menerima Islam, tentunya ia tidak akan mengatakan bahwa ia selalu ingat orang
tuanya sebagai pengikut Islam. Sebaliknya, jika ia lahir sebelum mereka
menerima Islam, maka sungguh masuk akal baginya untuk mengatakan bahwa ia hanya
dapat mengingat orang tuanya telah menjadi Muslim, karena ia terlalu muda untuk
mengingat hal-hal sebelum mereka memeluk Islam. [Referensi: Maulana Muhammad
Ali, *Fadhl al-Bari* (Lahore: Kirsi Salim, t.t.), 501].
**Kedua**, keikutsertaan Aisyah radhiyallahu 'anha
dalam Perang Badar (tahun 2 H) dan Perang Uhud (3 H). [Referensi: Al-Bukhari,
*Shahih al-Bukhari*, vol. 9, 500].
Menurut Muhammad Ali, Aisyah radhiyallahu
'anha mulai menjalani kehidupan rumah tangganya dengan Nabi ﷺ hanya berselang satu tahun sebelum Perang Uhud. Berdasarkan
pandangan umum, Aisyah radhiyallahu 'anha saat itu berusia 10 tahun, yang
tentunya tidak cocok untuk terlibat dalam situasi perang karena masih berusia
kanak-kanak. Fakta tersebut mengindikasikan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha
ketika itu tidak semuda itu. Ditambahkan pula, pada kesempatan sebelumnya
(yakni Perang Badar), ketika sejumlah bocah Muslim berhasrat untuk berangkat
bersama pasukan Muslim ke medan pertempuran, Nabi ﷺ mengirim mereka pulang
dengan pertimbangan usia yang masih terlalu belia (dengan hanya memperbolehkan
seorang anak muda bernama ‘Umair bin Abu Waqqas untuk menemani kakaknya,
sahabat Nabi yang terkenal, Sa’ad bin Abu Waqqas).
Karena itu, sangat tidak mungkin jika Aisyah
radhiyallahu 'anha masih berusia 10 tahun, Nabi ﷺ membiarkannya mengikuti
pasukan ke medan pertempuran. Karenanya, dapat disimpulkan dari semua bukti
yang dikemukakan oleh Muhammad Ali di atas, Aisyah radhiyallahu 'anha
sekurang-kurangnya berusia 15 tahun ketika menemani Nabi ﷺ sebagai istrinya di tahun 2 Hijriyah, sedangkan perkawinannya terjadi
lima tahun sebelumnya. [Muhammad Ali, *Fadhl al-Bari*, 651].
Penelitian berikutnya setelah era Muhammad
Ali menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu 'anha ketika menikah dengan Nabi ﷺ berusia lebih tua dari koreksi yang diajukan Muhammad Ali
sebelumnya. Pamflet dalam bahasa Urdu *Rukhsati kai Waqt Sayyida Aisha Siddiqa
ki Umar* (Usia Sayidah Aisyah Ketika Menikah) karya Abu Thahir ‘Irfani
merupakan karya ringkas yang sangat ekselen karena mengemukakan bukti-bukti
baru perihal kekeliruan penetapan usia Aisyah dalam literatur-literatur hadits.
[Referensi: Zahid Aziz, “Age of Aisha (RA) at
Time of Marriage” dalam [muslim.org] (http://www.muslim.org/islam/aisha-age.php)
(Diakses 25 Desember 2008 dari
www.muslim.org, the website of Ahmadiyya Anjuman Isha`at Islam Lahore Inc.
U.S.A.)].
====
**Bukti-bukti Baru Mengenai Usia
Aisyah (RA) saat Menikah dengan Rasulullah ﷺ**
**Pertama**, sejarawan Muslim klasik, Ibnu
Jarir al-Thabari (838–923 M/224–310 H), mencatat dalam *Tarikh*-nya bahwa
seluruh anak Abu Bakar, termasuk Aisyah radhiyallahu 'anha, lahir pada era
Jahiliyah (periode pra-Islam). Menurut Abu Thahir ‘Irfani, jika Aisyah
radhiyallahu 'anha lahir sebelum Islam, berarti ia lahir sebelum tahun kenabian
(sebelum 610 M).
**Kedua**, kolektor hadits ternama, Muhammad
bin 'Abdullah al-Khathib, dalam bukunya *Misykat al-Mashabih*, mencatat bahwa
Asma', kakak Aisyah, berusia 10 tahun lebih tua dari Aisyah. Asma' wafat pada
usia 100 tahun di tahun 73 H, yang menunjukkan bahwa Asma' berusia sekitar
27–28 tahun pada tahun 1 H (tahun Hijrah). Berdasarkan perhitungan ini, usia
Aisyah saat pernikahan dengan Rasulullah ﷺ (tahun ke-10 kenabian atau 3
tahun sebelum Hijrah) diperkirakan sekitar 14 atau 15 tahun, dan saat memulai
kehidupan rumah tangga pada tahun 2 H, Aisyah berusia sekitar 19 tahun.
**Ketiga**, koreksi usia ini juga didukung
oleh Ghulam Nabi Muslim Sahib, intelektual Ahmadiyyah Lahore, dalam artikelnya
yang pertama kali diterbitkan di *The Light* pada 24 September 1981, kemudian
dipublikasikan dalam jurnal *The Message: World Quarterly* pada September 2002.
Menurutnya, penelitian lebih mendalam menunjukkan bahwa Aisyah radhiyallahu
'anha berusia sekitar 19 atau 20 tahun saat memasuki rumah Nabi ﷺ sebagai istrinya.
Koreksi ini juga banyak didukung oleh para
intelektual dari Anak Benua India, terutama melalui karya Habib-ur-Rahman
Siddiqui Kandhalvi (w. 8 April 1991 M) dalam bukunya “Tehqiq e Umar e Siddiqah
e Ka’inat.” Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Nigar
Erfaney dengan judul *A Research Work: Age of ‘Aishah, the Truthful Woman*,
yang diterbitkan oleh al-Rahman Publishing Trust, Karachi, Pakistan, pada
Desember 1997.
Habib-ur-Rahman Siddiqui Kandhalvi tidak
hanya merangkum temuan sebelumnya yang mengoreksi usia Aisyah saat menikah,
tetapi juga memberikan bukti baru yang berdasar pada al-Qur'an, hadits, 'atsar
sahabat, ilmu rijal (biografi perawi), dan pengakuan langsung dari Aisyah,
khususnya dalam bagian pertama bukunya yang berisi hujjah 1 hingga 11. Pada
bagian kedua, hujjah 12 hingga 24, ia lebih banyak mendasarkan argumentasinya
pada fakta sejarah, sosiologi, psikologi, seksologi, dan statistik.
**Pokok Bahasan Utama Karya Kandhalvi**:
1]. **Kapan Aisyah radhiyallahu 'anha
dilahirkan?**
2]. **Berapakah usianya saat menikah?**
3]. **Kapan ia mulai tinggal serumah dengan
Nabi Muhammad ﷺ?**
Kandhalvi menyimpulkan bahwa riwayat tentang
usia Aisyah saat menikah bukanlah bagian dari sunnah qauli, fi'li, maupun
taqriri. Setelah meneliti literatur hadits, Kandhalvi menemukan bahwa beberapa
perawi mencatat riwayat tersebut sebagai perkataan Aisyah radhiyallahu 'anha,
sementara lainnya sebagai perkataan 'Urwah, seorang tabi'in. Hal ini memperkuat
argumentasinya bahwa riwayat tersebut bukanlah perkataan Nabi ﷺ sendiri.
Ia juga menunjukkan bahwa riwayat mengenai
usia 6 dan 9 tahun tersebut didominasi oleh periwayatan dari Hisham bin 'Urwah
yang tinggal di Kufah, Iraq, dan mengalami penurunan ingatan pada usia lanjut,
sehingga riwayat tersebut layak ditinjau ulang.
**[2]. SANGGAHAN BALIK ATAS WACANA
KOREKTIF PERIHAL USIA KAWIN AISYAH (RA)**:
Rangkaian koreksi yang memiliki relasi
genealogis tersebut, mulai dari koreksi yang diajukan oleh Muhammad Ali
(sekitar dekade 1920-1930-an) hingga Habib-ur-Rahman Siddiqui Kandhalvi (akhir
dekade 1990-an), merupakan tesis-tesis kontroversial. Hal ini karena mereka
mencoba menggugat bahkan membantah catatan klasik perihal usia Aisyah
radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Nabi ﷺ, yang selama berabad-abad
dianggap final dan dapat diandalkan. Tidak mengherankan apabila koreksi-koreksi
yang dikemukakan para intelektual dari Anak Benua India tersebut kemudian
memancing reaksi dan sanggahan balik dari para sarjana Muslim lainnya, terutama
dari kalangan Sunni.
Gibril Fouad Haddad melalui artikelnya di
situs Sunni Path yang berjudul *"Our Mother ‘Aisha’s Age at the Time of
Her Marriage to the Prophet"* menjawab hampir seluruh koreksi yang
mengkritisi usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Nabi ﷺ dalam literatur-literatur hadits kanonik (mudawwanah).
Menurutnya, para korektor usia Aisyah radhiyallahu 'anha tersebut telah
menggunakan data-data yang diragukan reliabilitasnya dan berspekulasi dalam
penghitungannya. Mereka mengabaikan hadits-hadits sahih, tetapi ironisnya lebih
memilih informasi-informasi sirah dan tarikh yang belum teruji validitasnya.
Mereka meremehkan kesaksian yang secara tegas memastikan usia Aisyah
radhiyallahu 'anha, namun justru mengedepankan peristiwa-peristiwa pembanding
yang sulit ditentukan penanggalannya secara akurat. Tidak heran jika kemudian
mereka tidak mencapai kesepakatan dalam menyimpulkan usia definitif Aisyah
radhiyallahu 'anha saat menikah—di mana antara Muhammad Ali (sebagai pencetus
gagasan korektif) dan para suksesor pemikirannya (seperti Abu Thahir 'Irfani,
Ghulam Nabi Muslim Sahib, hingga Habib-ur-Rahman Siddiqui Kandhalvi) ditemukan
adanya inkonsistensi dalam kesimpulan mereka.
Bantahan serupa juga datang dari Ayman bin
Khalid melalui tulisannya *"The Age of Aishah’s (RA) Marriage Between
Historians and Hadith Scholars"* di situs Multaqa Ahl al-Hadith. Dalam
pandangannya, meski Muhammad Ali dan para penerusnya beralasan bahwa upaya
korektif ini bertujuan luhur, yakni untuk menjaga citra Nabi Muhammad ﷺ dari tuduhan sebagai "penganiaya anak" (child molester)
yang melakukan kekerasan seksual (sexual abuse), namun di balik semua itu
tersembunyi target khusus. Secara apriori, ia meyakini bahwa sunnah Nabi adalah
sasaran akhir untuk diruntuhkan kredibilitasnya, dimulai dengan meragukan
kredibilitas Shahihain, serta literatur-literatur hadits lainnya yang termasuk
dalam kelompok al-Kutub al-Sittah.
Dialektika wacana mengenai reliabilitas usia
Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah dengan Nabi ﷺ dalam literatur-literatur
hadits tidak hanya terbatas di India-Pakistan, tetapi juga meluas hingga ke
Mesir. Muhammad Imarah (lahir 1931 M), seorang pemikir moderat al-Azhar yang
dikenal responsif terhadap tren pemikiran Islam yang ia pandang menyimpang,
membantah wacana korektif atas usia Aisyah radhiyallahu 'anha saat menikah yang
diintrodusir oleh Jamal al-Banna melalui koran *al-Mishri al-Yaum* (edisi 13
Agustus 2008). Dalam artikelnya yang berjudul *al-Radd ‘ala Man Tha’ana fi Sinn
Zawaj Aisyah* (Bantahan terhadap Orang yang Menggugat Usia Aisyah kala
Menikah), Imarah mempertanyakan kredibilitas dan kejujuran akademik Jamal
al-Banna. Menurutnya, Jamal telah melakukan banyak manipulasi data dan fakta
dengan hanya menyajikan kutipan-kutipan yang mendukung wacana korektifnya, yang
sesungguhnya merupakan lanjutan dari tesis-tesis korektif yang berkembang di
Anak Benua India sebelumnya.
Referensi:
1]- Gibril Fouad Haddad, *"Our Mother
‘Aisha’s Age at the Time of Her Marriage to the Prophet"*, dalam :
[http://qa.sunnipath.com/issue_view.asp?HD=7&ID=4604&CATE=1](http://qa.sunnipath.com/issue_view.asp?HD=7&ID=4604&CATE=1)
(03 Juli 2005).
2]- Ayman bin Khalid, *"The Age of
Aishah’s (RA) Marriage Between Historians and Hadith Scholars"*, dalam
[http://www.ahlalhdeeth.com/vb/index.php](http://www.ahlalhdeeth.com/vb/index.php)
(28 Oktober 2007).
**[3]. MENGKAJI USIA KAWIN AISYAH (RA)
SEBAGAI IKHTIAR MENGIKIS PRAKTIK PERKAWINAN ANAK DI BAWAH UMUR **
Pada bagian ini, penulis akan mencoba untuk
mengkaji usia kawin Aisyah radhiyallahu 'anha yang dipertentangkan di atas guna
menjawab tantangan legislasi. Sebab, ada semacam ketegangan antara fikih Islam
dan sistem-sistem hukum lain dalam diskursus legalitas perkawinan anak di bawah
umur, di mana ada perbedaan perspektif hukum antara fikih Islam, instrumen HAM
internasional, dan UU nasional dalam melihat persoalan tersebut.
**a. Perkawinan Anak di Bawah Umur dalam
Perspektif Fikih Islam**
Sejujurnya, perkawinan anak di bawah umur
(nikah al-shaghirah atau *child marriage*) di kalangan pakar hukum Islam masih
simpang-siur, mengingat istilah ini sesungguhnya tidak lahir dari rahim tradisi
keilmuan Islam.
Mayoritas fuqaha’ mendefinisikannya dengan
“perkawinan anak yang belum baligh bagi laki-laki, dan belum mencapai
menstruasi bagi perempuan.”
Tidak ada ketentuan usia di dalamnya, karena
memang fikih tidak menetapkan batasan usia tertentu untuk menikah. Hukum Islam
hanya menetapkan bahwa tolok ukur dari kebolehan seorang istri kanak-kanak
(*shaghirah*) untuk “digauli” adalah kesiapan ragawinya untuk berhubungan
seksual yang ditandai dengan tibanya usia pubertas (*bulugh*).
Itu artinya, Islam lebih memilih faktor
“biologis” sebagai standar penentuan kedewasaan dari seseorang, mengingat
antara satu individu dengan individu lainnya tidak bersamaan waktunya. Berbeda
halnya dengan *International Convention on the Rights of the Child* (Konvensi
Hak-Hak Anak Internasional), usia kedewasaan (*the age of consent*—ada pula
yang mengistilahkan *the age of sexual consent*, *the age of protection*, dan
*the age of sexual maturity*) ditetapkan 18 tahun. Penetapan usia kedewasaan di
sini lebih didasarkan kepada faktor “budaya” (human culture), khususnya kultur
negara-negara Barat, ketimbang faktor-faktor lainnya.
Adapun perundang-undangan di Indonesia
memiliki ketentuan yang cukup variatif dalam persoalan batas usia kedewasaan
ini, terentang antara usia 16–21 tahun.
Istilah yang lazim digunakan dalam keilmuan
fikih untuk menyebut tibanya fase kedewasaan adalah *bulugh*. Adapun ukuran
yang dipakai sebagai penanda adalah “mimpi basah” (*hulum*), seperti dinyatakan
dalam ayat berikut:
{"Jika anak-anak kalian telah mencapai
(usia kedewasaan dengan) mimpi basah...."} (QS. An-Nur: 59)
Khusus untuk gadis, fase kedewasaannya—selain
ditandai dengan mimpi basah—juga diidentifikasi dengan menstruasi atau
kehamilan yang dialaminya. Pakar hukum Islam sepakat bahwa mimpi basah
merupakan indikator yang paling jelas bahwa seorang bocah lelaki dan perempuan
telah mencapai fase taklif (wajib menjalankan hukum agama).
Meski demikian, fuqaha’ berbeda pendapat
dalam memperkirakan batas usia kedewasaan di mana seseorang itu menjadi
berstatus mukallaf, dan perkawinan yang dilakukannya itu tidak dinyatakan
sebagai perkawinan di bawah umur. Pertama, mayoritas fuqaha’ mazhab Hanafi
berpendapat bahwa seseorang itu belum dikatakan dewasa (baligh) hingga ia
berusia 18 tahun. Dasarnya adalah firman Allah SWT berikut:
{"Janganlah Kamu mendekati
(mempergunakan) harta anak yatim, kecuali dengan cara yang paling baik, sampai
ia mencapai usia kedewasaan...."}. (QS. Al-Isra': 34)
Ibnu 'Abbas menggarisbawahi, kata tersebut
adalah usia 18 tahun. Ditambahkan pula, perkembangan kedewasaan anak perempuan
itu relatif lebih cepat setahun daripada anak lelaki. Karenanya, menurut
estimasi Ibnu 'Abbas, usia kedewasaan anak perempuan itu berkisar pada angka 17
tahun.
*Kedua*, menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali
serta beberapa ulama mazhab Hanafi yang lain (seperti Abu Yusuf dan Muhammad
al-Syaibani), fase kedewasaan itu tiba pada kisaran usia 15 tahun. Dasarnya
adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Umar berikut ini:
“Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhu menceritakan
bahwa menjelang Perang Uhud (tahun 3 Hijriyah), ia yang masih berusia 14 tahun
menawarkan diri kepada Nabi ﷺ untuk ikut berpartisipasi
dalam peperangan. Tetapi beliau menolaknya. Hal serupa kembali dilakukan Ibnu
'Umar menjelang Perang Khandaq (5 H) ketika dirinya telah berusia 15 tahun.
Dan, kala itu Nabi ﷺ memberinya izin.”
Selain dua pendapat di atas, ada pula yang
menandai tibanya usia kedewasaan dengan tumbuhnya bulu kemaluan (*inbat*),
sebagaimana dinyatakan Syafi’i dengan mendasarkan argumentasinya pada riwayat
'Athiyyah al-Quradhi berikut ini:
Abd al-Malik bin 'Umair menyatakan: “Saya
mendengar 'Athiyyah al-Quradhi berkisah bahwa ia dan kaumnya (Bani Quraidhah)
dihadapkan kepada Nabi ﷺ (sebagai tawanan perang
akibat pengkhianatan mereka dalam Perang Khandaq). Tawanan yang telah punya
bulu kemaluan dihukum bunuh, sedangkan yang bulu kemaluannya belum tumbuh
dibiarkan hidup. Aku termasuk orang yang belum tumbuh bulu kemaluannya kala itu
sehingga tetap dibiarkan hidup.”
Al-Jasshash (w. 370 H) dalam tafsirnya,
*Ahkam al-Qur'an*, mengemukakan pandangan yang berbeda. Menurutnya,
pendapat-pendapat yang menetapkan usia kedewasaan pada angka 15 dan 18 tahun di
atas tidak tepat, karena bertentangan secara diametral dengan penegasan Allah
SWT bahwa indikator tibanya kedewasaan adalah peristiwa mimpi basah (*hulum*)
bukan usia tertentu. Terlebih dalam sebuah hadits yang ditransmisikan melalui
berbagai jalur, Rasulullah ﷺ menegaskan hal serupa.
Pena pencatat amal perbuatan itu diangkat
(tidak difungsikan) dari tiga kelompok manusia, yakni: dari orang gila yang
kehilangan ingatan sampai ia tersadar (sembuh), dari orang yang tidur hingga ia
terbangun, dan dari anak kecil sampai ia mimpi basah. Dalam sebuah riwayat,
disebutkan (sampai mencapai usia pubertas), dan dalam riwayat yang lain (sampai
dewasa).”[^39]
Sekali lagi, dalam hadits di atas, usia
kedewasaan tidak diukur dengan usia tertentu, namun dengan peristiwa mimpi
basah.
Adapun pendapat yang mendasarkan pengukuran
usia kedewasaan pada tumbuhnya bulu kemaluan juga ditolak oleh mayoritas
fuqaha’. Sebab, tolok ukur yang lebih berorientasi pada fisik tersebut
berpotensi “bias” mengingat perkembangan fisiologis antara satu individu dengan
lainnya itu beragam. Terkadang seseorang itu belum baligh, tetapi ukuran
fisiknya tinggi dan pesat. Kadang seseorang itu telah baligh, namun pertumbuhan
fisiknya pelan dan lambat. Apalagi al-Syafi'i sesungguhnya tidak melontarkan
pendapat di atas dalam konteks penetapan batas usia kedewasaan, tetapi dalam
konteks hak anak-anak orang kafir untuk terbebas dari hukuman tawanan perang
ataukah tidak.[^40]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, dalam
perspektif hukum Islam sendiri, terdapat varian pandangan dalam menyikapi
persoalan perkawinan anak di bawah umur. Fikih klasik pada prinsipnya tidak
menetapkan batas usia minimal bagi laki-laki dan perempuan untuk melangsungkan
perkawinan. Tidak mengherankan, wacana perkawinan anak-anak (*nikah
al-shaghirah*) justru berkonotasi positif, jika hal itu dilakukan atas
pertimbangan kemaslahatan moral dan agama. Hanya saja fuqaha’ menggarisbawahi,
gadis-gadis yang dikawinkan di usia kanak-kanak itu baru boleh “digauli”, jika
mereka telah mengalami menstruasi (haid). Dasarnya adalah riwayat perkawinan
Nabi Muhammad ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu
'anha yang dinikahi di usia 6 tahun, dan baru “dikumpuli” ketika telah berusia
9 tahun (usia haid).[^38]
Dari sudut pandang yang berbeda, pakar hukum
Islam kontemporer menghendaki terobosan hukum (*expressis verbis*) terkait
dengan legalitas perkawinan anak di bawah umur. Mereka melihat bahwa agama pada
dasarnya tidak melarang secara tegas perkawinan di bawah umur, namun juga tidak
pernah menganjurkannya, terlebih jika dilaksanakan tanpa mengindahkan
dimensi-dimensi fisik, mental, dan hak-hak anak. Adapun perkawinan historis
Nabi ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu 'anha itu diposisikan sebagai suatu
eksepsi (pengecualian) dan previlige (kekhususan) yang mengusung tujuan dan
hikmah tertentu dalam agama. Lebih lanjut, di mata para pemikir muslim
kontemporer itu, perkawinan anak di bawah umur itu cacat dari sisi ketiadaan
persetujuan dari calon mempelai perempuan untuk dinikahkan, padahal itu
diisyaratkan oleh sejumlah ayat al-Qur’an.
[*] Ahmad bin ‘Ali al-Razi al-Jasshash,
*Ahkam al-Qur’an* (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), III, 408. Baca kembali
al-Qur’an, 24 (al-Nur): 59.
[*] Abu Dawud, *Sunan Abu Dawud*, vol. 2,
545.
[*] Ash-Shabuni, *Rawa’i‘ al-Bayan*, 212.
**b. Perkawinan Anak di Bawah Umur dalam
Perspektif Hukum Internasional dan Nasional**
Dari perspektif hukum internasional,
perkawinan anak di bawah umur (*child marriage*) didefinisikan sebagai
perkawinan yang dilakukan oleh individu yang berusia di bawah 18 tahun. Secara
massif, PBB mengampanyekannya sebagai praktik tradisi yang berbahaya (*the
harmful traditional practice*). Di antara upaya-upaya strategis yang
dilakukannya ialah:
1]. Memberlakukan instrumen-instrumen HAM
internasional yang dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum bagi anak
dan perempuan dari tindak kekerasan fisik, psikis, maupun seksual, khususnya
dari praktik perkawinan anak di bawah umur, seperti *Convention on Consent to
Marriage, Minimum Age for Marriage, and Registration of Marriages* (Konvensi
tentang Kesepakatan untuk Menikah, Umur Minimum Menikah, dan Pencatatan
Pernikahan tahun 1964) dan *International Convention on the Rights of the
Child* (Konvensi Internasional tentang Hak-hak Anak tahun 1989);
2]. Mendesak pemerintah-pemerintah di seluruh
negara agar meratifikasi dan menerapkan secara efektif instrumen-instrumen HAM
internasional tersebut, untuk selanjutnya menuangkannya dalam rancangan
perundang-undangan nasional yang mampu melindungi anak dan perempuan dari
praktik perkawinan di bawah umur.
Meski hukum perkawinan di Indonesia (UU
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun
1991) telah menetapkan batas usia minimal untuk menikah, yakni 19 tahun bagi
laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, masih terdapat celah-celah hukum bagi
terjadinya praktik perkawinan di bawah umur, yaitu:
1. Adanya institusi dispensasi nikah bagi
mereka yang hendak menikah, tetapi belum memenuhi ketentuan usia di atas;
2. Konsep perwalian yang sangat menekankan
izin wali sebagai syarat sah perkawinan. Dengan adanya ketentuan ini, kawin
paksa (*ijbar*) atas anak yang masih di bawah umur menjadi hal yang
dimungkinkan, sekalipun melalui institusi dispensasi nikah;
3. Usia minimum untuk menikah bagi perempuan
yang masih terlalu rendah, yakni 16 tahun. Mengacu pada rekomendasi WHO dan
*International Convention on the Rights of the Child*, usia anak adalah sampai
18 tahun. Oleh karena itu, usia minimum untuk menikah perlu disesuaikan dengan
Konvensi tersebut. Jika tidak, hukum perkawinan di Indonesia dapat dituding
menyemaikan bahkan melanggengkan praktik perkawinan anak di bawah umur.
Jika ketiga sistem hukum di atas didialogkan,
maka fikih Islam (klasik) akan berada pada posisi yang “canggung” (untuk tidak
mengatakan “tersudut”). Sebab, produk hukum dari fikih klasik yang tidak
menetapkan batas usia kawin minimal bagi perempuan dapat dikategorikan
melegitimasi praktik perkawinan anak di bawah umur, baik dari sudut pandang
hukum perkawinan nasional maupun dari perspektif HAM internasional.
**c. Terobosan Hukum dalam Menyikapi
Persoalan Perkawinan Anak di Bawah Umur**
Saat penulis mencermati nalar fikih klasik
dalam merumuskan hukum perkawinan anak di bawah umur, tampak jelas bahwa model
pendekatannya adalah “pendekatan tekstual.” Pendekatan ini seringkali disebut
juga dengan “pendekatan literal.” Cara kerjanya, redaksi teks normatif (ayat,
hadits, dan atsar) dipahami secara lahiriah, untuk selanjutnya digali
kandungannya tanpa mengindahkan konteks-konteks khusus maupun pesan-pesan
moralnya. Dalam paradigma mazhab tekstual-literal ini, teks agama dianggap
sebagai sesuatu yang transenden, dan karenanya bersifat absolut-mutlak.
Hadits perkawinan Aisyah radhiyallahu 'anha,
yang berisi perilaku Nabi Muhammad ﷺ ketika menikahi puteri Abu
Bakr, juga dianggap sebagai teks yang transenden. Dalam arti, ajaran atau nilai
yang terkandung dalam hadits-hadits itu bersifat adikodrati sehingga patut
diteladani. Dalam nalar fikih klasik, perkawinan Nabi Muhammad ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu 'anha yang masih kanak-kanak itu
tidak didasari oleh nafsu birahi maupun syahwat pribadi, serta bukan pula
karena dorongan orientasi seksual yang menyimpang (baca: pedofilia). Sebab,
Nabi Muhammad ﷺ itu ma‘shum (terpelihara
dari dosa)—di mana semua tindakannya itu berdasarkan wahyu Ilahi dan tuntunan
suci yang selalu mengusung misi-misi profetik. Dengan nalar pembacaan seperti
itu, fuqaha’ menfatwakan perihal keabsahan perkawinan anak yang masih di bawah
umur. Berikut adalah bagan nalar fikih klasik dalam melihat persoalan tersebut:
Nalar Fikih Klasik dalam merumuskan hukum
perkawinan anak di bawah umur
Berbeda dari nalar fikih klasik yang bersifat
tekstual/literal di atas, para pemikir muslim kontemporer berusaha mencari
terobosan hukum (*exepressip verbis*) di tengah kebuntuan hukum Islam dalam
persoalan perkawinan anak di bawah umur vis-à-vis hukum internasional dan UU
nasional. Caranya, dengan melakukan kombinasi pendekatan antara nash (teks
agama), Maqashid al-Syari‘ah (ideal-moral), dan instrumen HAM internasional
serta UU nasional (baca: akal publik).
Jika nalar fikih klasik sebelumnya
teridentifikasi bersifat tekstual/literal (baca: lebih berorientasi pada
hujjiyat al-nash), karena sifatnya yang hanya bertumpu pada sisi lahiriah teks,
maka nalar fikih kontemporer ini dapat diidentifikasi bersifat “kontekstual,”
karena sangat mempertimbangkan aktualitas teks sehingga tidak bersikap rigid
terhadapnya. Ia berusaha mengkompromikan redaksi teks dengan realitas aktual,
dengan cara menggali ideal-moral-universal yang terkandung dalam teks, yang
memungkinkannya untuk dijadikan sebagai pijakan ataupun titik tolak bagi
praksis realitas yang berbeda-beda dan kondisional (baca: lebih mengedepankan
hujjiyat al-maqashid). Ideal-moral dalam setiap teks adalah kemaslahatan
manusia. Dalam setiap zaman, tuntutan kemaslahatan berbeda satu sama lain. Teks
agama, karena lahir dalam kurun waktu tertentu, jelas mengakomodir tuntutan
kemaslahatan pada saat teks tersebut hadir. Ketika zaman berganti, tuntutan
kemaslahatan pun berganti, maka teks tidak bisa serta-merta diterapkan secara
“pukul rata,” mutlak, dan absolut. Akan tetapi, teks harus menerima pembacaan
baru dan pendekatan tertentu sesuai dengan tuntutan kemaslahatan yang berkembang.
Dahulu, masyarakat belum menyadari sepenuhnya
tentang risiko dan bahaya fisik serta psikis yang mungkin timbul dari praktik
perkawinan anak di bawah umur. Selain itu, tempo dulu jelas belum ada
kecenderungan global seperti sekarang ini yang menghendaki adanya perhatian
serius terhadap hak-hak anak atas pendidikan, perkembangan mental, serta
perlindungannya dari eksploitasi, trafficking, dan sejenisnya. Karenanya, tidak
terlintas dalam benak masyarakat zaman dulu perihal sisi-sisi negatif dari
praktik perkawinan anak di bawah umur. Justru sebaliknya, dampak yang dilihat
adalah kemaslahatannya secara sosial, kultural, dan politik dalam komunitas
tribal ketika itu, khususnya untuk tujuan memelihara budi pekerti para
pemuda-pemudi dari pergaulan permisif dan segera menginsyafkan mereka akan
tanggung jawabnya. Sekarang, ketika dunia modern menginformasikan betapa
berisikonya gadis (kanak-kanak) yang melakukan perkawinan di bawah umur,
khususnya terhadap kesehatan reproduksi dan kejiwaannya, maka praktik tersebut
seyogyanya ditelaah ulang atas dasar pertimbangan perlindungan terhadap anak
(*child protection*).
Hal ini penting untuk terus ditekankan
mengingat pemahaman agama akan lebih banyak diapresiasi dengan parameter:
seberapa besar kontribusinya bagi kemaslahatan manusia. Sebuah pemahaman, meski
diatribusikan pada kitab suci, hadits nabawi, atau petunjuk normatif yang absah
sekalipun, tetapi dalam implementasinya tidak bisa memberi kontribusi bagi
terwujudnya peradaban yang lebih baik, atau justru sebaliknya: kontras dengan
ideal kemaslahatan manusia. Maka, pemahaman seperti itu sesungguhnya sama
halnya dengan “penjungkirbalikan” esensi Islam itu sendiri sebagai agama.
Sebab, Islam adalah agama kemanusiaan yang bertujuan untuk mewujudkan
kemaslahatan bagi umat manusia kapan pun dan di mana pun. Tidak hanya
kemaslahatan bagi bangsa Arab di abad ke-7 Masehi saja.
**Berikut, Alur Pikir dari Fikih Kontemporer
dalam Menggagas Larangan Praktik Perkawinan Anak di Bawah Umur:**
Pada titik ini, penulis sependapat dengan terobosan
yang digagas oleh para pakar hukum Islam kontemporer yang menghendaki perubahan
hukum dalam persoalan perkawinan di bawah umur—di mana mereka mengusulkan
penetapan batas usia kawin minimal yang tegas, pendewasaan usia kawin (18
tahun), dan rekonsepsi perwalian dari wali ijbar menjadi wali ikhtiyar.
Jika dianalisis lebih jauh, produk hukum yang
digagas oleh para pemikir muslim kontemporer di atas jelas sangat berorientasi
pada hujjiyat al-maqashid (kekuatan nilai-nilai dan tujuan-tujuan syara’), yakni
merengkuh kemaslahatan dan menghilangkan kemudaratan. Kecenderungan tersebut
justru berbanding terbalik dari fikih klasik yang lebih mengedepankan hujjiyat
al-nash (kekuatan dan otoritas teks dalil). Penulis berpandangan, pertimbangan
realisasi maqashid al-syari‘ah sebagai prinsip dan nilai universal Islam harus
mengungguli dominasi teks—sebagaimana yang terjadi dalam kajian fikih pada
umumnya.
**C. PENUTUP**
Berdasarkan paparan data dan bahasan
sebelumnya, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal seputar kontroversi
reliabilitas hadits-hadits perkawinan Aisyah radhiyallahu 'anha, dalam
kaitannya dengan legalitas perkawinan anak di bawah umur.
Pertama, hadits-hadits yang melaporkan
perkawinan Nabi Muhammad ﷺ dengan Aisyah radhiyallahu
'anha di usia kanak-kanak itu sama sekali “tidak bermasalah,” baik dari sisi
sanad maupun matn.
Kedua, wacana korektif itu, mulai dari
koreksi yang diajukan oleh Muhammad Ali hingga T.O. Shanavas, merupakan mata
rantai pemikiran yang senafas dan berkesinambungan. Gerak perkembangan
diakronik dan rantai intelektual antar generasi pewacana koreksi atas usia
Aisyah radhiyallahu 'anha itu secara akademis dapat disebut sebagai “genealogi
intelegensia.”
Ketiga, bantahan balik dari para sarjana
muslim Sunni menginformasikan bahwa sunnah nabawiyah itulah yang menjadi target
pelemahan dan bidikan pemakzulan dari para pewacana koreksi atas usia Aisyah
radhiyallahu 'anha, dengan cara meragukan kredibilitas akademik dan integritas
moral dari para ahli hadits, dengan menuding mereka semua telah keliru dalam
memberitakan usia kawin Aisyah radhiyallahu 'anha.
Keempat, jika perspektif hukum Islam, HAM
internasional, dan UU nasional didialogkan dalam konteks persoalan perkawinan
anak di bawah umur, maka fikih Islam (klasik) akan berada pada posisi yang
“canggung” bahkan “tersudut.” Sebab, fikih klasik yang tidak menetapkan batas
usia kawin minimal bagi perempuan dapat dikategorikan melegitimasi praktik
perkawinan anak di bawah umur, baik dari sudut pandang HAM internasional maupun
dari perspektif hukum perkawinan nasional.
Karenanya, terobosan yang digagas oleh para
pakar hukum Islam kontemporer yang menghendaki perubahan hukum dalam persoalan
perkawinan di bawah umur—di mana mereka mengusulkan penetapan batas usia kawin
minimal yang tegas, pendewasaan usia kawin (18 tahun), dan rekonsesi perwalian
dari wali ijbar menjadi wali ikhtiyar untuk menghindari kawin paksa—sungguh
sangat relevan.
====
**DAFTAR PUSTAKA**
1. Abu Dawud, Sulaiman bin al-’Asy’ath.
*Sunan Abu Dawud*. Beirut: Dar al-Fikr, 1994.
2. al-Bukhari, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin
Isma’il. *Shahih al-Bukhari*. Kairo: Dar al-Hadits, 2004.
3. Ali, Maulana Muhammad. *Fadhl al-Bari*.
Lahore: Kirsi Salim, t.t.
4. Ali, Maulana Muhammad. *Living Thoughts of
the Prophet Muhammad*. Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1992.
5. Ali, Maulana Muhammad. *Muhammad, the
Prophet*. Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1993.
6. Ali, Maulana Muhammad. *The Prophet of
Islam*. Ohio, USA: Ahmadiyya Anjuman Isha’at Islam Lahore, 1924.
7. al-Jasshash, Ahmad bin ‘Ali al-Razi.
*Ahkam al-Qur’an*. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
8. al-Khathib, Muhammad bin ‘Abd Allah.
*Misykat al-Mashabih*. Delhi: Kutubkhanah Rashidiyah, 1955.
9. al-Nadawi, Sulaiman. *Sirah al-Sayyidah
Aisyah Umm al-Mu’minin RA*, diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul
*Aisyah, the True Beauty*. Jakarta: Pena Ilmu dan Amal, 2007.
10. al-Namri, Ibnu ‘Abd al-Barr. *al-Kaif*.
Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1407 H.
11. al-Namri, Ibnu ‘Abd al-Barr. *al-Tamhid*,
vol. 19. Maroko: Wizarat al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyah, 1387 H.
12. al-Qarari, Sulaiman. “Tazwij al-Banat li
Tis’ Sinin bain al-Nah wa al-Itsbat”. Dalam
www.ahlalhdeeth.com/vb/attachment.php.
13. al-Sarakhasi, Syams al-Din. *al-Mabsuth*,
vol. 4. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H.
14. al-Shabuni, Muhammad ‘Ali. *Rawa’i‘
al-Bayan: Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an*. Makkah: t.p, 1391 H.
15. al-Sya'fi. *al-Umm*, vol. 5. Beirut: Dar
al-Ma’rifah, 1393 H.
16. Al-Syaukani. *Nail al-Authar*, vol. 6.
Beirut: Dar al-Jil, 1973.
17. Ankersmit, F.R. *Refleksi tentang
Sejarah*. Diterjemahkan oleh Dik Hartoko dari *Denken over Geschiedenis*.
Jakarta: Gramedia, 1987.
18. Aziz, Zahid. “Age of Aisha (RA) at Time
of Marriage”. Diakses dari http://www.muslim.org/islam/aisha-age.php pada 25
Desember 2008.
19. Courtesy of Weloveallah. 2008. “What was
Ayesha’s (RA) Age at the Time of her Marriage?” Diakses dari
http://www.understanding-islam.com/ri/mi-004.htm pada 24 Desember 2008.
20. Fauq, Abdul H. “Did Sayyida Ayesha (R.A.)
Marry Muhammad (P.B.U.H), the Prophet of Islam, at Age 6?” Diakses dari
http://www.newageislam.com/NewAgeIslamArticleDetail.aspx?ArticleID=817
pada 28 September 2008.
21. Haddad, Gibril Fouad. “Our Mother
A’isha’s Age at the Time of her Marriage to the Prophet”, diakses dari
http://qa.sunnipath.com/ pada 03 Juli 2005.
22. Ibnu Katsir, Abu al-Fida’ Isma’il bin
‘Umar. *al-Bidayah wa al-Nihayah*. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001.
23. Ibnu Khalid, Ayman. “The Age of Aishah’s
(RA) Marriage Between Historians and Hadith Scholars”. Diakses dari
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/index.php pada 28 Oktober 2007.
24. Ibnu Majah, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin
Yazid. *Sunan Ibnu Majah*. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.
25. Ibnu Qudamah, ‘Abd Allah. *al-Kaif Fiqh
al-Imam Ahmad bin Hanbal*, vol. 3. Beirut: al-Maktab al-Islami, 1408 H.
26. Imarah, Muhammad. “al-Radd ‘ala Man
Tha’ana ‘Ala Sinn Zawaj ‘Aishah”, diakses dari
http://www.alukah.net/articles/1/3388.aspx pada 24 Agustus 2008.
27. Jain, Saranga & Kurtz, Kathlee. “New
Insights on Preventing Child Marriage: A Global Analysis on Factors and Programs”,
artikel International Center for Research on Women (ICRW) untuk the United
States Agency for International Development. April 2007.
28. Kandhalvi, Habib-ur-Rahman Siddiqui. *A
Research Work: Age of ‘Aishah, the Truthful Woman*. Diterjemahkan dari *Tehqiq
e Umer e Siddiqah e Ka’inat* oleh Nigar Erfaney. Karachi: Al-Rahman Publishing
Trust, 1997.
29. Kompilasi Hukum Islam (KHI), Inpres Nomor
1 Tahun 1991.
30. *Legal Age of Consent*. Diakses dari
http://www.ageofconsent.com/definitions.htm.
31. Muslim bin al-Hajjaj, Abu al-Husain.
*al-Jami’ al-Shahih*. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.
32. Sahib, Ghulam Nabi Muslim. “Hazrat Aishah
Siddiqah’s Age at her Marriage: Proves that The Holy Prophet Muhammad (pbuh)
Married Hazrat Aishah when She was 19 Years of Age and not When She was 9”.
Dalam *The Message: World Quarterly*, diterjemaahkan oleh Mas’ud Akhtar.
Trinidad & Tobago: The Muslim Literary Trust, 2002.
33. Sahib, Ghulam Nabi Muslim. “Hazrat Aisyah
Siddiqah’s Age at her Marriage: Proves that The Holy Prophet Muhammad (pbuh)
Married Hazrat Aisyah when She was 19 Years of Age and not When She was 9”,
diterjemahkan dari Bahasa Urdu oleh Mas’ud Akhtar dalam *The Light*, 24
September 1981.
34. Shanavas, T.O. “Was Ayesha A Six-Year-Old
Bride?”, diakses dari
http://www.iiie.net/node/58 pada 2001,
diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh Cahyo Prihartono dengan judul “Apakah
Nabi SAW Menikahi Aisyah yang di bawah Umur?”.
35. UNICEF. *Child Marriage Advocacy
Programme: Fact Sheet on Child Marriage and Early Union*. New York: UNFPA,
2004.
36. UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak (UU PA).
37. UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
38. Williamson, dkk. *The Research Craft: an
Introduction to Social Science Methods*. Toronto: Little, Brown and Company,
1977.
([1]) - وذكرت
صحيفة "الشرق الأوسط" اللندنية السبت 6-9- 2008 أن باحثة
ومؤرخة سعودية تحقق من صحة معلومات تشير إلى عدم زواج الرسول -صلى الله عليه وسلم-
من السيدة عائشة وهي في التاسعة من العمر، وتقول عضو لجنة الدراسات والاستشارات بالجمعية
الوطنية لحقوق الإنسان د. سهيلة زين العابدين حمّاد إن المنطق والمعادلة الحسابية
لعمر السيدة عائشة بنت أبي بكر الصدّيق مقارنة بأختها أسماء التي تكبرها بعشر
سنوات ومقارنتها بعدد من الأحداث وتوقيت هجرة الرسول -صلى الله عليه وسلم- ترجّح
أن زواج عائشة تمّ وهي في التاسعة عشرة من عمرها،
وأكدت الدكتورة سهيلة حمّاد أنها
بصدد التحقق من ذلك والخروج بنتائج موثقة بالنظر إلى كونها مؤرخة وباحثة في الشأن
الإسلامي
وإلى ذلك لفتت الدكتورة سهيلة حمّاد،
وهي عضوة في الاتحاد العالمي للعلماء المسلمين، إلى أنه بعيداً عن قول زواج الرسول
-صلى الله عليه وسلم- بعائشة وهي صغيرة والقول المخالف في ذلك، فإنه يجب النظر
بعين الاعتبار إلى تغيّر الظروف الزمنية وطبيعة الاستجابة للرغبات الإنسانية على
مرّ العصور واختلاف معايير الزواج في الوقت الراهن.:إِنَّ المَنْطِقَ
وَالمُعَادَلَةَ الحِسَابِيَّةَ لِعُمْرِ السَّيِّدَةِ عَائِشَةَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ
الصِّدِّيقِ مُقَارَنَةً بِأُخْتِهَا أَسْمَاءَ الَّتِي تَكْبُرُهَا بِعَشْرِ سِنِينَ
وَمُقَارَنَتِهَا بِعَدَدٍ مِنَ الأَحْدَاثِ وَتَوْقِيتِ هِجْرَةِ الرَّسُولِ -صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- تُرَجِّحُ أَنَّ زَوَاجَ عَائِشَةَ تَمَّ وَهِيَ فِي التَّاسِعَةَ
عَشَرَةَ مِنْ عُمْرِهَا.
أحاول أن أفكر بصوت مرتفع لاستقراء
عمر أم المؤمنين عائشة رحمها الله استقراءا تاريخيا بعيدا عن الضبابية التاريخية
التي أغرقنا فيها من لا عقل له من الذين روجوا أن النبي حينما كان في الخامسة
والعشرين من عمره تزوج بمن تكبره بخمسة عشر من السنين ، و حينما أصبح في الثالثة
والخمسين تزوج بمن تصغره بـأربع وأربعين عاما.
خطب عائشة:
ذكر المؤرخون أن عائشة كانت مخطوبة
لمطعم بن عدي قبل أن يخطبها رسول الله. السؤال الآن: متى خطبها عدي لابنه مطعم ؟
تسكت المصادر التاريخية!!!
عن خطبة السيدة عائشة:
الاحتمال الأول: أن يكون خطبها بعد
البعثة النبوية وهو أمر مستبعد نظرا للعداء الشديد من قبل الكافرين برسالة محمد
تجاه المؤمنين بها ولاسيما أن عائشة هي بنت أبي بكر صديق الرسول ومن أوائل
المؤمنين برسالته. من المستبعد إذاً أن يخطب عدي عائشة لابنه وأبوها من المؤمنين
الأول.
الاحتمال الثاني: أن يكون خطبها قبل
البعثة وهو الاحتمال الأقوى، ولكنه يثير سؤالا هاما: كم كان عمرها قبل البعثة؟عام؟
عامين؟ خمسة؟ عشرة؟ يسكت التاريخ كما سكت من قبل.
إذاً نلجأ لبعض الفرضيات:عائشة عند خطبتها:
الفرضية الأولى: خطبها عدي لابنه
مطعم قبل البعثة حين كان عمرها خمسة عشر سنة ـ مثلا. بموجب هذه الفرضية يكون عمر
عائشة حين تزوجها الرسول الكريم هو 28 سنة، حيث أن النبي تزوجها بعد الهجرة إلى
يثرب وأنه أقام في مكة ثلاثة عشر من السنين خلال الدعوة المكية قبل الهجرة.
الفرضية الثانية: خطبها عدي لابنه
مطعم قبل البعثة حين كان عمرها عشر سنين ـ مثلا. بموجب هذه الفرضية يكون عمر عائشة
حين تزوجها الرسول الكريم هو 23 سنة.
الفرضية الثالثة: خطبها عدي لابنه
مطعم قبل البعثة حين كان عمرها خمس سنوات ـ مثلا. بموجب هذه الفرضية يكون عمر
عائشة حين تزوجها الرسول الكريم هو 18 سنة.
الفرضية الرابعة: الفرضية الثالثة:
خطبها عدي لابنه مطعم قبل البعثة حين كان عمرها سنة واحدة فقط ـ مثلا وهو أمر غير
ممكن طبعا ولكن لنفترضه. بموجب هذه الفرضية يكون عمر عائشة حين تزوجها الرسول
الكريم هو 14 سنة، وهو أكبر من الرقم الذي ذكروه بخمس سنين.
والثانية:
إن الرسول ـ في تقديري ـ لن يتزوج
بفتاة في عمر ابنته الصغرى أو أصغر منها. فإذا علمنا أن فاطمة عليها السلام ولدت
قبل البعثة بخمس سنين نعرف أن عمرها بعد الهجرة يصبح 18 عاما، وعلى هذا فأنا أرجح
أن يكون عمر عائشة أكبر من عمر فاطمة ومن ثم فإنني أرجح احدي الفرضيتين: الأولى 28
سنة أو الثانية 23 سنة، هي أكبر من أختها عائشة أم المؤمنين بعشر سنين. يستتبع ذلك
أن عمر عائشة قبل البعثة كان نحو خمس سنوات على الأقل، ولعل الإشارة في روايتها
بأنها كانت ذات ستة سنوات حين خطبها رسول الله كانت خطأ من الراوي، فلعلها قصدت
أنها كانت ابنة ستة سنوات حين بعث النبي صلى الله عليه إذا أضفنا 5 - 6 سنوات وهو
عمر عائشة التقريبي حين البعثة إلى 13 سنة هو عمر المرحلة المكية يكون الناتج هو
18 - 19 سنة وهو يمثل عمرها في المدينة بعد الهجرة، لما كان عمر فاطمة هو 18 سنة
في ذلك الحين، نستطيع القول أن عمر عائشة التقريبي حين زواجها لم يكن يقل عن 19
سنة، وهو يمثل الحد الأدنى لعمرها من خلال الاستقراء لما بين يدي من مصادر.
بعض العلماء أحياناً:
وبالمناسبة فقد كنت وما زلت أقول إن
جامعى الحديث هم بكل يقين علماء عباقرة مخلصون محبون لدينهم ولنبيهم حبا جما، لكن
هذا لا يعنى أبدا أنهم معصومون عن السهو والخطأ والنسيان. إنهم عباقرة حقا، لكنهم
قبل ذلك وبعده بشر. وكنت كذلك أقول إنهم يشبهون الصيادين الذين يطرحون شباكهم في
البحر للإمساك بالسمك، بيد أن الشبكة، مهما يكن من إحكامها، يمكن أن تفلت منها بعض
الأسماك الصغيرة كالبيساريا مثلا. إلا أن هذا لا يعنى ولا ينبغي أن يعنى أن نهاجم
كتب الحديث وأصحابها ونشكك فيها وفيهم جملة وتفصيلا كما يريد بعض الموتورين
التدميريين أن نفعل ، وإلا حققنا لهم ما يريدون ودمرنا جزءا عزيزا وغاليا وخطيرا
من تراثنا الذي لا يمكن أن تستقيم حياتنا العلمية والدينية بدونه.
ولنلاحظ
أن الصحفى الشاب الذي تنبه لما يرى أنه خطأ من بعض كتب الحديث قد استعان، فيما
استعان به، بتلك الكتب، مما يدل على أهميتها الشديدة التي لا تقدر بثمن. أما
الاعتقاد بعصمة رجال الحديث فهو تنزيل لهم في منزلة النبوة، وهذا لا يجوز. كما أن
كتبهم رغم عظمة الجهد والإخلاص والتدقيق المبذول فيها لا يمكن أن تضاهى القرآن
المجيد.
([2]) - وبالمناسبة أيضا فقد كتب الدكتور
شوقي ضيف في كتابه: "محمد خاتم المرسلين" أن عائشة حين بنى بها الرسول
كان عمرها 18 أو 20 عاما، مستندا في ذلك إلى بعض ما استند إليه صحفينا الشاب،
(ص171 من طبعة دار المعارف).
أما العقاد فقد رجح أن يكون عمرها آنذاك ما بين 12 و15 عاما
(انظر كتابه: الصديقة بنت الصديق/ نهضة مصر/ 2004م/ 48.
ومهما يكن من أمر فإن تصرفات السيدة عائشة في بيت النبي حسب
عموم الروايات التي وردت في هذا لتدل على أنها كانت زوجة ناضجة تمام النضج، وليست
صبية لا تدرك في أي بيت تعيش ولا بمن تزوجت. ومهما يكن كذلك من أمر فإنها كانت
سعيدة أشد سعادة بزواجها من النبي عليه الصلاة والسلام، وترى أنه فخر لها وإكرام
أي إكرام. وكانت تحبه صلى الله عليه وسلم حبا شديدا وتغار عليه بقوة. وهناك أحاديث
تصور هذا الحب الشديد وتلك الغيرة القوية التي تدل على مدى تغلغل هذا الحب في
نفسها. كما أنها، حين عرض النبي عليه السلام عليها البقاء معه على الوضع المتقشف
الذي كان عليه بيته أو تسريحها إلى بيت أبويها، وطلب منها أن تشاور أهلها في ذلك،
رفضت ذلك الحل على الفور بعنف وإصرار كما نعلم جميعا. كذلك التزمت هي وسائر أمهات
المؤمنين عن رضا وإيمان وحب وإجلال بما فرضه عليهن القرآن من حرمة الزواج بأي
إنسان آخر بعد وفاة النبي عليه الصلاة والسلام. فما معنى إثارة الشبهات حول هذا
الزواج القائم على الحب والسعادة؟
وشبهات حول سن زواج السيدة عائشة:
شيء آخر: هو أن عائشة كانت مخطوبة لواحد من أهل مكة قبل
خطبة النبي لها بما يدل على أنها كانت في سن الخطبة والزواج على الأقل بمعايير المجتمع
المكي في ذلك الزمان. فلماذا لا يشكك المبشرون السخفاء في تلك الخطبة ويصبون كل
حقدهم على النبي ويعملون على إثارة الشبهات الباطلة حول خطبته لها فقط؟ كما أن
التي عرضتها عليه هي سيدة من أهل مكة أيضا، أي أنه لم يفكر فيها ابتداء ولا
اقترحها عليه رجل مثله. أفلا يدل هذا على أنها، حتى في نظر بنات جنسها، كانت قد
بلغت سن الزواج بكل جدارة؟ كذلك لم نسمع من أبى بكر أو أم رومان أن الفتاة صغيرة
لا تصلح للزواج. وهو ما يعضد ما قلناه من أنها رضي الله عنها كانت ناضجة بما فيه
الكفاية للزواج، على الأقل بمقاييس ذلك المجتمع وذلك العصر، وينسف كل تنطع يتنطعه
المبشرون ومن يجرى في إثرهم من الرقعاء الذين يحملون للأسف أسماء إسلامية.السلام :
شيء
آخر: هو أن مريم عليها السلام، حين كان مقررا لها أن تتزوج بيوسف النجار، كان
عمرها 12عاما، وكان يوسف رجلا شيخا كبيرا تجاوز الخمسين ببضع عشرات من السنين فيما
أذكر بناء على الروايات التي تتعلق بهذه المسألة. فهل نتخذ من هذه النقطة متكأ
نثير بسببه الشبهات المسيئة لقدرها الكريم؟.
0 Komentar