SETELAH PUASA SUNAH 6 HARI DI BULAN SYAWAL, BOLEHKAH PUASA SELAIN-NYA?
----
Di Tulis Oleh Abu Haitsam
Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
----
===
بِسْمِ
اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ
===****===
HUKUM PUASA LAIN SEBELUM ATAU SESUDAH PUASA SUNAH 6 HARI DI BULAN SYAWAL
Tidaklah mengapa alias diperbolehkan bagi seseorang yang telah selesai melaksakan puasa sunnah 6 hari dari bulan Syawal, kemudian dia melakukan puasa lainnya, seperti puasa sunnah selain 6 Syawal atau puasa qodho.
Atau sebaliknya setelah puasa sunah lainnya atau puasa Qodho, lalu dia melaksanakan puasa sunah 6 hari di bulan Syawwal.
Bahkan disunnahkan mengqodho puasa sunnah ayyamul baidh yang luput pada bulan Sya'ban, lalu diqodho pada bulan Syawal.
Sebagaimana diriwayatkan dari Imran bin Hushain radhiyallahu 'anhuma :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِرَجُلٍ: (هَلْ صُمْتَ مِنْ سَرَرِ هَذَا الشَّهْرِ شَيْئًا؟ قَالَ: لَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: فَإِذَا أَفْطَرْتَ مِنْ رَمَضَانَ فَصُمْ يَوْمَيْنِ مَكَانَهُ)
Bahwa Nabi ﷺ bersabda kepada seorang laki-laki: "Apakah engkau telah berpuasa pada sarar (ayyamul baidh) bulan ini (yakni; bulan Sya'ban) ?"
Ia menjawab: "Tidak."
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Jika engkau telah berbuka dari Ramadhan, maka berpuasalah dua hari sebagai gantinya."
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1983 dan Muslim 1161, dan lafadz ini milik Muslim].
Dan dalam lafadz Bukhori terdapat tambahan :
قالَ أبو عبدِ اللَّهِ: وقالَ ثَابِتٌ: عن مُطَرِّفٍ، عن عِمْرَانَ، عَنِ النبيِّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ: مِن سَرَرِ شَعْبَانَ.
Abu Abdillah berkata: Tsabit meriwayatkan dari Mutharrif, dari Imran, dari Nabi ﷺ: *dari sarar bulan Sya'ban.*
MAKNA SAROR [سَرَرِ] :
Dalam ad-Duror as-Saniyyah, Syeikh ‘Alawi Abdul Qadir as-Saqqoof berkata :
قيل: سَرَرُ الشَّهرِ هي وَسْطُ الشَّهرِ؛ فالسَّررُ جمْعُ سُرَّةٍ، وسُرَّةُ الشَّيءِ وَسْطُه، فالمرادُ الأيَّامُ البِيضُ: الثالثَ عشَرَ، والرابعَ عشَرَ، والخامسَ عشَرَ.
“Dikatakan: 'Sarar' bulan adalah pertengahan bulan; karena 'sarar' adalah jamak dari 'surrat', dan 'surrat suatu benda' adalah bagian tengahnya. Maka yang dimaksud adalah 'Ayyaamul Baidh (hari-hari putih)', yaitu; tanggal tiga belas, empat belas, dan lima belas”.
Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/232 berkata:
وَفِي الْحَدِيثِ مَشْرُوعِيَّةُ قَضَاءِ التَّطَوُّعِ وَقَدْ يُؤْخَذُ مِنْهُ قَضَاءُ الْفَرْضِ بِطَرِيقِ الْأَوْلَى خِلَافًا لمن منع ذَلِك
“Dan dalam hadits ini terdapat pensyari’atan mengqadha puasa sunnah, dan bisa diambil darinya : bahwa pensyari’atan mengqadha puasa wajib itu lebih utama, berbeda dengan yang berpendapat melarang hal itu”. [SELESAI]
Berikut ini penulis kutip Fatwa ISLAMQA No.
174705, yang dibawah bimbingan Syaikh Muhammad Shaleh al-Munajjid .
PERTANYAAN :
أُرِيدُ أَنْ أَعْرِفَ
حُكْمَ مُوَاصَلَةِ الصِّيَامِ دُونَ تَوَقُّفٍ حَتَّى بَعْدَ الِانْتِهَاءِ مِنَ السِّتِّ
مِنْ شَوَّالٍ، فَقَدْ قَضَيْتُ مَا كَانَ عَلَيَّ مِنْ صِيَامٍ، ثُمَّ صُمْتُ السِّتَّ
مِنْ شَوَّالٍ، ثُمَّ رَأَى زَوْجِي أَنْ نَسْتَمِرَّ فِي الصِّيَامِ تَطَوُّعًا..
فَمَا حُكْمُ الشَّرْعِ فِي هَذَا؟ جَزَاكُمُ اللَّهُ خَيْرًا.
"Saya ingin mengetahui hukum melanjutkan puasa
tanpa berhenti, bahkan setelah selesai puasa enam hari di bulan Syawal. Saya
telah mengqadha puasa yang menjadi tanggungan saya, kemudian saya berpuasa enam
hari di bulan Syawal, lalu suami saya berpendapat agar kami terus melanjutkan
puasa sunnah. Maka, apa hukum syariat dalam hal ini? Semoga Allah membalas
kalian dengan kebaikan".
JAWABAN :
Pertama:
لَا بَأْسَ أَنْ
يَصِلَ الإِنْسَانُ صَوْمَ التَّطَوُّعِ بِصَوْمِ الْقَضَاءِ أَوِ السِّتِّ مِنْ شَوَّالٍ؛
لِعُمُومِ الْأَدِلَّةِ الدَّالَّةِ عَلَى التَّرْغِيبِ بِصِيَامِ التَّطَوُّعِ مِنْ
غَيْرِ فَصْلٍ بَيْنَ التَّطَوُّعِ وَالْقَضَاءِ.
Tidak apa-apa seseorang menyambung puasa
sunnah dengan puasa qadha’ atau dengan puasa enam hari di bulan Syawal; karena
umumnya dalil yang memberi semangat kepada kita untuk berpuasa sunnah tanpa ada
jeda antara puasa sunnah dan puasa qadha’.
Kedua:
إِنْ كَانَ الْمَقْصُودُ
مِنِ اسْتِمْرَارِكُمْ فِي الصَّوْمِ، بَعْدَ الِانْتِهَاءِ مِنْ صَوْمِ السِّتِّ مِنْ
شَوَّالٍ، سَرْدَ صَوْمِ التَّطَوُّعِ حَتَّى نِهَايَةِ شَوَّالٍ، أَوْ أَيَّامًا مُعَيَّنَةً
تَرَوْنَ أَنْ تَتَطَوَّعُوا لِلَّهِ بِصَوْمِهَا، فَهَذَا لَا بَأْسَ بِهِ، مَا لَمْ
يَتَضَرَّرْ أَيُّ مِنْكُمَا بِذَلِكَ، أَوْ يُضَيِّعْ بِهِ حَقَّ غَيْرِهِ.
مَعَ أَنَّ الْهَدْيَ
الْفَاضِلَ فِي ذَلِكَ أَلَّا يُتِمَّ صِيَامَ شَهْرٍ، سِوَى شَهْرِ رَمَضَانَ، بَلْ
يُخْلِطَ صَوْمَهُ بِفِطْرٍ، وَفِطْرَهُ بِصَوْمٍ، كَمَا كَانَ هَدْيُ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: (كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لَا يَصُومُ، فَمَا
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ
إِلَّا رَمَضَانَ، وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ) رَوَاهُ
الْبُخَارِيُّ (١٩٦٩).
قَالَ الشَّيْخُ
ابْنُ جِبْرِين رَحِمَهُ اللَّهُ: "يَجُوزُ سَرْدُ الصَّوْمِ أَيَّامًا مُتَتَابِعَةً،
ثُمَّ سَرْدُ الْإِفْطَارِ أَيَّامًا أُخْرَى، وَالدَّلِيلُ الْحَدِيثُ الْمَذْكُورُ
فِي السُّؤَالِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ تَطَوُّعٌ مُسْتَحَبٌّ". اِنْتَهَى مِنْ
"فَتَاوَى الشَّيْخِ ابْنِ جِبْرِين".
وَأَمَّا إِنْ كَانَ
الْمَقْصُودُ هُوَ سَرْدَ الصَّوْمِ إِلَى الْعَامِ الْقَادِمِ عَدَا يَوْمَيِ الْعِيدَيْنِ
وَأَيَّامِ التَّشْرِيقِ، فَهَذَا يُسَمَّى عِنْدَ الْعُلَمَاءِ بِصَوْمِ الدَّهْرِ،
وَحُكْمُهُ أَنَّهُ مَكْرُوهٌ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ أَقْوَالِ الْعُلَمَاءِ.
Jika yang anda maksud dengan meneruskan puasa
adalah setelah selesai melaksanakan puasa enam hari di bulan Syawal, lalu
dilanjutkan dengan puasa sunnah (lainnya) sampai akhir bulan Syawal atau sampai
hari-hari tertentu, maka tidak apa-apa, selama tidak mendatang bahaya apapun
kepada anda berdua atau menghilangkan hak orang lain karena puasa anda.
Padahal petunjuk yang utama dalam hal itu
agar tidak menyempurnakan puasa satu bulan sepenuhnya, kecuali hanya pada bulan
Ramadhan saja, akan tetapi perlu menyela puasa sunnah dengan tidak berpuasa
atau sebaliknya sebagaimana petunjuk Nabi ﷺ.
Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata:
( كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لَا يُفْطِرُ وَيُفْطِرُ حَتَّى
نَقُولَ لَا يَصُومُ فَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ أَكْثَرَ
صِيَامًا مِنْهُ فِي شَعْبَانَ )
“Bahwa Rasulullah ﷺ pernah berpuasa sampai kami
mengatakan beliau tidak pernah tidak berpuasa, dan beliau tidak berpuasa sampai
kami mengatakan beliau tidak pernah berpuasa, dan saya tidak pernah melihat
Rasulullah ﷺ menyempurnakan puasa satu bulan kecuali pada bulan Ramadhan,
dan saya tidak pernah melihat beliau lebih banyak puasa (sunnahnya) kecuali
pada bulan Sya’ban”. (HR. Bukhori: 1969)
Syeikh Ibnu Jibrin –rahimahullah- berkata:
Dibolehkan menyambung puasa beberapa hari
berturut-turut, kemudian menyambung tidak berpuasa selama beberapa, dalilnya
adalah hadits yang telah disebutkan dalam pertanyaan di atas; karena hal itu
bersifat sunnah”. (Fatawa Syeikh Ibnu Jibrin)
Adapun jika yang dimaksud dengan menyambung
puasa sampai tahun depan, selain pada dua hari raya dan hari-hari
tasyriq, inilah yang dikatakan sebagai puasa satu tahun, hukumnya makruh
menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat para ulama. [KUTIPAN SELESAI].
BERIKUT INI FATWA YANG MENGHARAMKAN :
Al-Ustadz al-'Allamah Azhar Khalid Bin Seff - hafidzohullah-, beliau melarang puasa Ayyamul Baidh di bulan Syawwal, setelah puasa sunnah 6 hari .
HUKUM MENGGABUNGKAN NIAT PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL DENGAN PUASA AYYAAMUL BAIDH
Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata :
سَأَلْتُ شَيْخَنَا
الشَّيْخَ عَبْدَ العَزِيزِ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بَازٍ عَنْ هَذِهِ المَسْأَلَةِ
فَأَجَابَ بِأَنَّهُ يُرْجَى لَهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ يَصْدُقُ أَنَّهُ صَامَ السِّتَّ
مِنْ شَوَّالٍ كَمَا يَصْدُقُ أَنَّهُ صَامَ الأَيَّامَ الْبِيضَ وَفَضْلُ اللَّهِ
وَاسِعٌ.
وَعَنْ المَسْأَلَةِ
نَفْسِهَا أَجَابَنِي فَضِيلَةُ الشَّيْخِ مُحَمَّدِ بْنِ صَالِحِ العُثَيْمِينِ بِمَا
يَلِي:
"نَعَمْ، إِذَا صَامَ سِتَّ أَيَّامٍ مِنْ
شَوَّالٍ سَقَطَتْ عَنْهُ الْبِيضُ، سَوَاءٌ صَامَهَا عِندَ الْبِيضِ أَوْ قَبْلَ أَوْ
بَعْدَ لِأَنَّهُ يَصْدُقُ عَلَيْهِ أَنَّهُ صَامَ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ الشَّهْرِ،
وَقَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ لَا يُبَالِي أَصَامَهَا مِنْ
أَوَّلِ الشَّهْرِ أَوْ وَسَطِهِ أَوْ آخِرِهِ، وَهِيَ مِنْ جِنْسِ سُقُوطِ تَحِيَّةِ
الْمَسْجِدِ بِالْرَّاتِبَةِ فَلَوْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ وَصَلَّى السُّنَّةَ الرَّاتِبَةَ
سَقَطَتْ عَنْهُ تَحِيَّةُ الْمَسْجِدِ..."
Saya telah bertanya kepada Sheikh kami,
Sheikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz tentang masalah ini, dan beliau menjawab
: “Bahwa hal itu diperbolehkan karena dapat dikatakan bahwa dia telah berpuasa
enam hari dari Syawal, sebagaimana dapat dikatakan bahwa dia juga telah
berpuasa Ayyaamul Baidh. Dan karunia Allah sangat luas”.
Tentang masalah yang sama, saya bertanya
kepada Sheikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, dan beliau menjawab sebagai
berikut:
"Ya, jika seseorang berpuasa enam hari
dari Syawal, maka Ayyaamul Baidh telah gugur baginya [yakni; telah tercukupi],
baik dia berpuasa pada ayyamul baidh tersebut atau sebelumnya atau sesudahnya,
karena dapat dikatakan bahwa dia telah berpuasa tiga hari dalam sebulan.
Aisyah radhiyallahu 'anha mengatakan: Nabi
ﷺ biasa berpuasa tiga hari setiap bulan
tanpa mempermasalahkan apakah dia berpuasa pada awal bulan, pertengahan, atau
akhirnya.
Ini mirip dengan batalnya salat tahiyatul
masjid dengan salat sunnah yang mu'akkadah; jika seseorang masuk masjid dan
langsung melaksanakan salat sunnah, maka tahiyatul masjid pun batal."
[ISLAMQA NO. 4015].
===***===
HADITS-HADITS ANJURAN PUASA DI BULAN SYAWAL SELAIN 6 HARI
Dari Ikrimah bin Khalid Al-Makhzumi, ia
berkata:
حَدَّثَنِي عَرِيفٌ،
مِنْ عُرَفَاءِ قُرَيْشٍ، عَنْ أَبِيهِ، سَمِعَهُ مِنْ فَلَقٍ فِي رَسُولِ اللهِ صَلَّى
اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ صَامَ رَمَضَانَ وَشَوَّالًا وَالْأَرْبِعَاءَ
وَالْخَمِيسَ دَخَلَ الْجَنَّةَ".
Seorang pemimpin dari Quraisy menceritakan
kepadaku, dari ayahnya, yang mendengar langsung dari lisan Rasulullah ﷺ, beliau bersabda:
"Barang siapa berpuasa Ramadan, kemudian
(juga) berpuasa di bulan Syawal, serta puasa Rabu dan Kamis, maka ia masuk
surga."
[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnadnya,
nomor: 16714, (27/78), an-Nasaai no. 2778 dan al-Harits dalam Bughyatul Baahits
1/421 no. 335]
Syu'aib al-Arnauth dalam Tahqiq al-Musnad menyatakan : Bahwa hadits ini sanadnya lemah, karena di dalamnya terdapat seorang perawi yang tidak disebutkan namanya, yaitu guru dari ‘Ikrimah bin Khalid al-Makhzumi. Adapun para perawi lainnya adalah perawi-perawi yang terpercaya dan merupakan perawi dua Syaikh (Bukhari dan Muslim), kecuali Hilal bin Khabbab al-‘Abdi, yang diriwayatkan oleh para penulis kitab Sunan, dan dia adalah perawi yang terpercaya.
‘Abdul Shamad adalah Ibn ‘Abdul Warits
al-‘Anbari, dan ‘Affan adalah Ibn Muslim ash-Shaffar, sedangkan Tsabit bin
Yazid Abu Zaid adalah al-Ahwal.
Hadis ini juga diriwayatkan oleh al-Baihaqi
dalam *Syu’ab al-Iman* (3870) melalui jalur ‘Arim dari Tsabit dengan sanad ini.
Al-Haitsami mencantumkannya dalam *Majma‘
az-Zawa’id* 3/190, dan berkata:
رَوَاهُ أَحْمَدُ،
وَفِيهِ مَنْ لَمْ يُسَمَّ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ.
Diriwayatkan oleh Ahmad, dan di dalamnya
terdapat perawi yang tidak disebutkan namanya, sedangkan perawi lainnya adalah
perawi yang terpercaya.
Namun al-Bushairy dalam Ittihaaf
al-Khiyaratul Maharah 3/86 no. 2242 menyebutkannya dengan sanadnya, lalu berkata
:
رَواهُ الْحَارِثُ
بْنُ أَبِي أُسَامَةَ وَرُوَاتُهُ ثِقَاتٌ
“Diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi Usamah
dan para perawinya terpercaya”.
Dan dari Ubaidullah bin Muslim Al-Qurasyi,
dari ayahnya, ia berkata:
سَأَلْتُ أَوْ سُئِلَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صِيَامِ الدَّهْرِ، فَقَالَ: «إِنَّ
لِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، صُمْ رَمَضَانَ وَالَّذِي يَلِيهِ، وَكُلَّ أَرْبِعَاءَ
وَخَمِيسٍ، فَإِذَا أَنْتَ قَدْ صُمْتَ الدَّهْرَ»
Aku bertanya —atau Nabi ﷺ ditanya— tentang puasa sepanjang tahun, maka beliau ﷺ bersabda:
"Sesungguhnya keluargamu memiliki hak
atasmu. Berpuasalah di bulan Ramadan dan bulan setelahnya, serta setiap hari
Rabu dan Kamis. Maka dengan begitu, engkau telah berpuasa sepanjang
tahun."
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam *As-Sunan*
2/812, nomor (2432). Dan oleh At-Tirmidzi dalam *As-Sunan* 3/123, nomor (748)].
Dan an-Nasai dalam al-Kubra no. 278]
Hadis ini terdapat dalam *At-Tarikh Al-Kabir*
karya Al-Bukhari, jilid 7, halaman 253–254, hadis nomor 1077.
Al-Mundziri berkata :
قَالَ الْمُمْلِي
عَبْدُ الْعَظِيمِ وَرُوَاته ثِقَات
Al-Mumli Abdul ‘Azhim berkata : “Dan para
perawinya adalah terpercaya”.
[Lihat : at-Targhib Wa at-Tarhib lil Mundziri,
Tahqiq Ibrahim Syamsuddin, Cet. Darul Kutub al-Ilmiyah].
Sanad hadits ini dinilai dho’if oleh al-Albani dalam Dho’if
al-Jami’ ash-Shoghir no. 1914 dan 3489
Namun Mahmud as-Subki dalam ad-Diin al-Kholish
8/404 berkata :
وَقَدْ جَاءَ فِي
هَذَا أَحَادِيثُ ضَعِيفَةٌ يُقَوِّي بَعْضُهَا بَعْضًا.
“Telah datang dalam hal ini beberapa hadis
yang lemah, namun saling menguatkan satu sama lain”.
Dari Yazid bin Abdullah bin Usamah, dari
Muhammad bin Ibrahim :
أَنَّ أُسَامَةَ
بْنَ زَيْدٍ كَانَ يَصُومُ أَشْهُرَ الْحَرَمِ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ صَلَّى
اللَّهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "صُمْ شَوَّالًا" فَتَرَكَ أَشْهُرَ الْحَرَمِ،
ثُمَّ لَمْ يَزَلْ يَصُومُ شَوَّالًا حَتَّى مَاتَ.
bahwa Usamah bin Zaid dahulu berpuasa pada
bulan-bulan haram, lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya:
"Berpuasalah di bulan Syawal." Maka
Usamah pun meninggalkan puasa di bulan-bulan haram dan terus-menerus berpuasa
di bulan Syawal hingga wafat.
[Diriwayatkan oleh Ibn Majah dalam Sunannya nomor: (1744)
(2/631)]
Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij Sunan Ibnu
Majah 2/631 berkata :
Ini adalah sanad yang para perawinya
terpercaya, namun sanad ini mursal, karena Muhammad bin Ibrahim (yang dikenal
dengan Al-Taimi) tidak mendengar langsung dari Usama bin Zaid (putra dari
Haritsah). Oleh karena itu, menurut Al-Hafidz Ibn Rajab dalam "Lata'if
Al-Ma'arif" hal. 233, sanad ini terputus.
Al-Taimi dalam hadis ini diikuti oleh Ibn
Muhammad bin Usama melalui kakeknya, Usama, yang terdapat dalam
"Musnad" Abu Ya'la sebagaimana yang tercantum dalam "Mishbah
Al-Zujajah" oleh Al-Busiri pada halaman 114.
Ini adalah mutaba’ah (follow-up) yang lemah
karena ketidakjelasan status Ibn Muhammad bin Usamah, dan perawi darinya,
Muhammad bin Ishaq bin Yasar Al-Mutalibi, adalah mudallis yang melakukan
'an'anah.
Dan tidak bisa disimpulkan dari pernyataan
Al-Hafidz Ibn Rajab dalam "Al-Lata'if" tentang sanad ini yang
mengatakan "sanad terhubung" bahwa sanad ini sahih, karena meskipun
sanadnya terhubung, terkadang ada masalah pada perawi-perawinya, seperti yang
terjadi pada sanad ini.
Al-Hafidz Dhiya'uddin Al-Maqdisi dalam
"Mukhtarat" (1359) mensahihkan hadis ini dari jalan Abdul Aziz bin
Muhammad Al-Darawardi dengan sanad ini. [SELESAI]
Al-Bushairy dalam Mishbahuz Zujajah 2/78 no.
631 berkata :
هَذَا إِسْنَاد
رِجَاله ثِقَات وَفِيه مقَال قَالَ العلائي فِي الْمَرَاسِيل ذكر فِي التَّهْذِيب أَن
مُحَمَّد بن إِبْرَاهِيم التَّيْمِيّ أرسل عَن أُسَامَة بن زيد وَأسيد بن الْحضير
“Ini adalah sanad yang para perawinya
terpercaya, namun ada masalah pada sanad ini. Al-‘Ala'i dalam "Al-Maraasiil"
menyebutkan dalam "Al-Tahzib" bahwa Muhammad bin Ibrahim Al-Taimi
meriwayatkan secara mursal dari Usama bin Zaid dan Asid bin Al-Hadhrir”.
Hadits ini di nilai dho’if oleh al-Albani dalam Dho’if Ibnu Majah no. 1744.
===***===
PUASA ENAM HARI DI BULAN SYAWAL BOLEH DILAKUKAN SECARA BERURUTAN ATAU TERPISAH, SAMA SAJA.
Boleh berpuasa enam hari itu secara berurutan
atau terpisah di awal Syawal, pertengahannya, atau akhirnya.
Ibnu Qudamah berkata dalam *Asy-Syarh
al-Kabiir* 7/521 no. 1095 (T. At-Turky):
فلا فَرْقَ بينَ
كَوْنِها مُتَتابِعَةً أو مُتَفَرِّقَةً، في أَوَّلِ الشَّهْرِ أو في آخِرِه؛ لأنَّ
الحَدِيثَ وَرَد مُطْلَقًا مِن غيرِ تَقْيِيدٍ، ولأنَّ فَضِيلَتَها لكَوْنِها تَصِيرُ
مع الشَّهْرِ عُشْرَ السَّنَةِ، والحَسَنَةُ بعَشْرِ أَمْثالِها، فيكونُ كَأنَّه صام
السَّنَةَ كُلَّها، فإِذا وُجِد ذلك في كُلِّ سَنَةٍ صار كصيامِ الدَّهْرِ كُلِّه.
وهذا المَعْنَى يَحْصُلُ مع التَّفْرِيقِ. واللهُ أَعْلَمُ
"Tidak ada perbedaan antara melakukannya
secara berurutan atau terpisah, di awal bulan atau di akhirnya, karena hadits
menyebutkannya secara mutlak tanpa pembatasan. Dan karena keutamaannya adalah
karena ia menjadi dengan bulan Ramadhan sejumlah tiga puluh enam hari, dan satu
kebaikan dibalas sepuluh kali lipatnya, maka menjadi seperti tiga ratus enam
puluh hari." Wallahu a’lam.
Syaikh Bin Baz berkata:
وَهَٰذِهِ السِّتُّ
لَيْسَ لَهَا أَيَّامٌ مَعْدُودَةٌ مُعَيَّنَةٌ، بَلْ يَخْتَارُهَا الْمُؤْمِنُ مِنْ
جَمِيعِ الشَّهْرِ، فَإِنْ شَاءَ صَامَهَا فِي أَوَّلِهِ، وَإِنْ شَاءَ صَامَهَا فِي
أَثْنَائِهِ، وَإِنْ شَاءَ صَامَهَا فِي آخِرِهِ، وَإِنْ شَاءَ فَرَّقَهَا، صَامَ بَعْضَهَا
فِي أَوَّلِهِ، وَبَعْضَهَا فِي وَسَطِهِ، وَبَعْضَهَا فِي آخِرِهِ، الْأَمْرُ وَاسِعٌ
بِحَمْدِ اللَّهِ، وَإِنْ بَادَرَ إِلَيْهَا وَتَابَعَهَا فِي أَوَّلِ الشَّهْرِ كَانَ
ذَلِكَ أَفْضَلَ مِنْ بَابِ الْمُسَارَعَةِ إِلَى الْخَيْرِ، وَلَكِنْ لَيْسَ فِي هَذَا
ضِيقٌ بِحَمْدِ اللَّهِ، بَلِ الْأَمْرُ فِيهَا وَاسِعٌ، إِنْ شَاءَ تَابَعَ وَإِنْ
شَاءَ فَرَّقَ، ثُمَّ إِذَا صَامَهَا بَعْضَ السِّنِينَ وَتَرَكَهَا بَعْضَ السِّنِينَ
فَلَا بَأْسَ؛ لِأَنَّهَا نَافِلَةٌ، تَطَوُّعٌ، لَيْسَتْ فَرِيضَةً، فَإِذَا صَامَهَا
فِي بَعْضِ السِّنِينَ وَتَرَكَهَا فِي بَعْضِ السِّنِينَ، أَوْ صَامَ بَعْضَهَا وَتَرَكَ
بَعْضَهَا؛ فَلَا حَرَجَ عَلَيْهِ.
"Enam hari ini tidak memiliki hari-hari
tertentu yang ditentukan, tetapi seorang mukmin boleh memilih dari seluruh
bulan. Jika ia mau, ia boleh berpuasa di awal bulan, jika ia mau, ia boleh
berpuasa di pertengahannya, jika ia mau, ia boleh berpuasa di akhirnya, jika ia
mau, ia boleh memisah-misahkannya — sebagian di awal bulan, sebagian di
pertengahan, sebagian di akhir. Masalah ini luas dengan pujian bagi Allah.
Jika seseorang menyegerakannya dan
melakukannya secara berurutan di awal bulan, maka itu lebih utama sebagai
bentuk bersegera dalam kebaikan. Namun tidak ada kesempitan dalam hal ini,
dengan pujian bagi Allah, bahkan masalah ini luas; jika mau boleh berurutan,
jika mau boleh dipisah-pisah.
Jika seseorang berpuasa pada sebagian tahun
dan meninggalkannya di sebagian tahun lain, tidak mengapa; karena ia adalah
amalan sunnah, tathawwu', bukan kewajiban. Maka jika seseorang berpuasa di
sebagian tahun dan tidak di sebagian tahun lainnya, atau berpuasa sebagian
harinya dan tidak yang lainnya, maka tidak mengapa."
[Sumber : نُورٌ
عَلَى الدَّرْبِ/ حُكْمُ صِيَامِ السِّتِّ مِنْ شَوَّالٍ مُتَتَابِعَةٍ وَمُفَرَّقَةٍ
وَصَوْمِهَا وَتَرْكِهَا
]
Syaikh Ibnu Jibrin rahimahullah berkata:
"يَجُوزُ سَرْدُ الصَّوْمِ أَيَّامًا مُتَتَابِعَةً،
ثُمَّ سَرْدُ الْإِفْطَارِ أَيَّامًا أُخْرَى، وَالدَّلِيلُ الْحَدِيثُ الْمَذْكُورُ
فِي السُّؤَالِ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ تَطَوُّعٌ مُسْتَحَبٌ". اِنْتَهَى
"Boleh berpuasa secara berurutan beberapa hari, kemudian berbuka di hari-hari lainnya, dan dalilnya adalah hadits yang disebutkan dalam pertanyaan; karena itu adalah ibadah sunnah yang dianjurkan." Selesai dari *Fatawa Syaikh Ibnu Jibrin*.
BERBEDA DENGAN PENDAPAT IMAM MALIK :
Imam Malik, Imam Darul Hijrah, memiliki
pendapat lain dalam masalah ini. Ia melarang puasa enam hari tersebut agar
tidak disangka sebagai bagian dari kewajiban puasa Ramadhan yang telah
ditetapkan dalam nash-nash yang qath’i (pasti).
Dalam *Al-Muwaththa’* disebutkan:
(قَالَ يَحْيَى
وَسَمِعْت مَالِكًا يَقُولُ فِي صِيَامِ سِتَّةِ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ
إنِّي لَمْ أَرَ أَحَدًا مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ وَالْفِقْهِ يَصُومُهَا وَلَمْ
يَبْلُغْنِي ذَلِكَ عَنْ أَحَدٍ مِنْ السَّلَفِ وَأَنَّ أَهْلَ الْعِلْمِ يَكْرَهُونَ
ذَلِكَ وَيَخَافُونَ بِدْعَتَهُ وَأَنْ يُلْحِقَ بِرَمَضَانَ مَا لَيْسَ مِنْهُ أَهْلُ
الْجَهَالَةِ وَالْجَفَاءِ لَوْ رَأَوْا فِي ذَلِكَ خِفَّتَهُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ
وَرَأَوْهُمْ يَعْمَلُونَ ذَلِكَ)
Yahya berkata: Aku mendengar Malik berkata
tentang puasa enam hari setelah Idul Fitri dari Ramadhan:
"Sesungguhnya aku tidak pernah melihat
seorang pun dari ahli ilmu dan fiqih yang melakukannya, dan tidak sampai
kepadaku bahwa ada seorang pun dari kalangan salaf yang melakukannya.
Dan sesungguhnya para ulama membenci hal itu
dan khawatir akan bid’ahnya serta dikhawatirkan orang-orang bodoh dan kasar
akan menyangka bahwa hal itu bagian dari Ramadhan jika mereka melihat para
ulama meremehkan hal tersebut dan melakukannya." Selesai. [Lihat :
al-Muntaqa Syarah al-Muwaththa 2/76]
Al-Baji berkata dalam *Al-Muntaqa*, yaitu
syarah *Al-Muwaththa’* 2/76:
وَهَذَا كَمَا قَالَ
إنَّ صَوْمَ هَذِهِ السِّتَّةِ الْأَيَّامِ بَعْدَ الْفِطْرِ لَمْ تَكُنْ مِنْ الْأَيَّامِ
الَّتِي كَانَ السَّلَفُ يَتَعَمَّدُونَ صَوْمَهَا.
وَقَدْ كَرِهَ ذَلِكَ
مَالِكٌ وَغَيْرُهُ مِنْ الْعُلَمَاءِ، وَقَدْ أَبَاحَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ النَّاسِ وَلَمْ
يَرَوْا بِهِ بَأْسًا، وَإِنَّمَا كَرِهَ ذَلِكَ مَالِكٌ لِمَا خَافَ مِنْ إلْحَاقِ
عَوَامِّ النَّاسِ ذَلِكَ بِرَمَضَانَ وَأَنْ لَا يُمَيِّزُوا بَيْنَهَا وَبَيْنَهُ
حَتَّى يَعْتَقِدُوا جَمِيعَ ذَلِكَ فَرْضًا وَالْأَصْلُ فِي صِيَامِ هَذِهِ الْأَيَّامِ
السِّتَّةِ مَا رَوَاهُ سَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِي أَيُّوبَ
الْأَنْصَارِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ»
وَسَعْدُ بْنُ سَعِيدٍ هَذَا مِمَّنْ لَا يَحْتَمِلُ الِانْفِرَادَ بِمِثْلِ هَذَا
فَلَمَّا وَرَدَ الْحَدِيثُ عَلَى مِثْلِ هَذَا وَوَجَدَ مَالِكٌ عُلَمَاءَ الْمَدِينَةِ
مُنْكَرِينَ الْعَمَلَ بِهَذَا احْتَاطَ بِتَرْكِهِ لِئَلَّا يَكُونَ سَبَبًا لِمَا
قَالَهُ قَالَ مُطَّرِفٌ إنَّمَا كَرِهَ مَالِكٌ صِيَامَهَا لِئَلَّا يُلْحِقَ أَهْلُ
الْجَهْلِ ذَلِكَ بِرَمَضَانَ، وَأَمَّا مَنْ رَغِبَ فِي ذَلِكَ لِمَا جَاءَ فِيهِ
فَلَمْ يَنْهَهُ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ وَأَحْكَمُ
"Dan ini sebagaimana yang dikatakan
(oleh Imam Malik), bahwa puasa enam hari setelah Idul Fitri bukanlah termasuk
hari-hari yang biasa dikhususkan untuk berpuasa oleh para salaf. Dan Malik
serta selainnya dari para ulama memakruhkan hal tersebut, sementara sekelompok
orang memperbolehkannya dan tidak melihatnya sebagai masalah. Malik
memakruhkannya karena khawatir orang-orang awam akan menyangka bahwa puasa itu
bagian dari Ramadhan dan mereka tidak membedakan antara keduanya, hingga mereka
mengira seluruhnya adalah fardhu.
Dasar puasa enam hari ini adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Sa’d bin Sa’id dari Umar bin Tsabit dari Abu Ayyub
Al-Anshari, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 'Barang siapa
berpuasa Ramadhan kemudian diikuti dengan enam hari dari bulan Syawal, maka
seolah-olah ia berpuasa sepanjang tahun.' Dan Sa’d bin Sa’id ini termasuk orang
yang tidak kuat jika meriwayatkan hadits sendirian dalam hal seperti ini. Maka
ketika hadits ini datang dari perawi seperti ini, dan Imam Malik mendapati para
ulama Madinah mengingkari pengamalan hadits ini, ia berhati-hati dengan
meninggalkannya agar tidak menjadi sebab dari apa yang ia khawatirkan.
Mutarrif berkata: 'Sesungguhnya Malik memakruhkan puasa ini agar orang-orang bodoh tidak menganggapnya sebagai bagian dari Ramadhan. Adapun orang yang menginginkannya karena keutamaan yang disebutkan dalam hadits, maka ia tidak dilarang melakukannya.' Dan Allah lebih mengetahui dan lebih bijaksana." [Kutipan Selesai].
0 Komentar